I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan bagian dari kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Kawasan ini memiliki beragam fungsi strategis, antara lain sebagai kawasan lindung dan tata air, sumber plasma nutfah, kawasan penyangga dan budidaya pertanian dan non pertanian. Dikarenakan posisi geografis yang signifikan dari kawasan ini, kawasan Puncak juga dianggap sebagai kawasan hinter land yang menjaga kehidupan penduduk di sekitarnya seperti Depok, Bogor dan Ibukota negara DKI Jakarta. Eksistensi kawasan ini sangat diperhitungkan karena dampak permasalahan di dalamnya mempengaruhi kawasan-kawasan penting lainnya. Selain itu kawasan ini memiliki keindahan alam dan udara yang sejuk karena didominasi oleh pegunungan dengan hamparan perkebunan teh yang terletak pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut sehingga menjadi andalan wisata Jawa Barat dan trade mark bagi Bangsa Indonesia di forum pariwisata internasional. Beberapa keunggulan diatas, menjadikan kawasan ini memiliki daya tarik yang cukup tinggi sehingga banyak pihak yang memanfaatkannya tidak hanya sebagai alternatif tempat pariwisata untuk menikmati keindahan alam di akhir pekan, tetapi lebih pada keinginan untuk menguasai lahan dan tempat investasi, mulai dari investasi skala kecil hingga skala besar, sehingga jumlah penduduk di kawasan ini meningkat pesat dan membawa konsekuensi pada penggunaan lahan yang meningkat pula. Menurut sensus penduduk pada tahun 1980 dan 2000 terjadi peningkatan jumlah penduduk dari 5,7 menjadi 11,7 juta jiwa (Alihar, 2002). Apalagi sejak tahun 1960, dengan terbukanya jalur intensif JakartaBandung, perkembangan pembangunan di kawasan ini sulit dikendalikan. Dominasi pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan telah menyebabkan perubahan perkembangan fisik dan kehidupan sosial yang pesat dan terkadang destruktif. Kondisi ini mengakibatkan perubahan fungsi lahan yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukannya. Sebagai contoh, kawasan hutan, daerah pertanian, dan daerah resapan air telah berubah menjadi kawasan perumahan bahkan untuk
industri. Akibat dari perubahan fungsi ini bermunculan persoalan-persoalan lingkungan yang memiliki dampak ekologis seperti banjir, erosi dan lain-lain, yang tidak saja terjadi di kawasan Puncak Kabupaten Bogor tapi juga pada kawasan-kawasan di sekitarnya. Salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi masalah ini adalah memperketat aturan main (perundang-undangan) di kawasan Puncak. Melalui Keppres 114/1999, pemerintah menetapkan kawasan Puncak sebagai kawasan konservasi dengan pembangunan terkendali dan terkontrol di dalamnya. Sebelumnya, telah terbit PP no 13/1963, Keppres 48/1983, Keppres no 79/1985 dan PP no 47/1997, yang dijadikan sebagai landasan operasional penataan di Kawasan Puncak, namun semuanya dianggap tidak relevan dengan dinamika pembangunan di lapangan, karena peraturan yang ada tidak menggambarkan kondisi rill di lapangan. Hingga saat ini Keppres 114/1999 masih diberlakukan. (Pemda kabupaten Bogor, 2000). Meskipun aturan hukum telah tersedia, permasalahan-permasalahan di kawasan Puncak belum dapat terselesaikan. Permasalahan-permasalahan khusus dalam upaya mempertahankan fungsi Kawasan Bogor Puncak Cianjur, yang diidentifikasi oleh Bappeda Pemda Kabupaten Bogor dan disampaikan dalam Forum Sosialisasi Keppres Nomor 114 Tahun 1999 antara lain adalah : 1. Menurunnya kualitas lingkungan yang berdampak pada tata air di kawasan Bopunjur, khususnya pada Kecamatan Cisarua, Ciawi dan Mega Mendung sebagai “Kawasan Prioritas”. 2. Kurangnya pemahaman akan fungsi kawasan dan penanganannya oleh pemerintah pusat dan swasta. 3. Rendahnya
komitmen
untuk
mematuhi
peraturan/ketentuan
dalam
pengendalian pembangunan di kawasan Bopunjur baik di tingkat pusat maupun daerah. 4. Masih tingginya permintaan penggunaan lahan untuk pembangunan perumahan, pariwisata, dan industri. 5. Rendahnya dukungan dana sektoral untuk penataan ruang. 6. Adanya permohonan hak atas tanah terhadap tanah-tanah negara yang HGUnya telah habis masa berlakunya. Selain itu, terjadinya mutasi tanah garapan
atas tanah negara (ex HGU). Di samping hal-hal di atas, pengelolaan di kawasan Puncak semakin kompleks dikarenakan sifat kepemilikan lahan yang dikuasai secara turun temurun yaitu sebagai tanah adat, yang memiliki kelemahan dalam kontrol penggunaannya. Dewasa ini, kepemilikan lahan secara adat dikarenakan alasan ekonomi dialihkan kepada pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan keuangan. Mutasi kepemilikan ini menyebabkan pemerintah sulit menghentikan pihak yang menguasai lahan tersebut dalam merubah lahan milik mereka menjadi perumahan (pemukiman) dan industri dikarenakan peruntukannya lebih menguntungkan secara ekonomi (Barlowe, 1986). Interdependensi dalam penggunaan sumber daya alam berupa lahan tidak hanya menjadi masalah individu. Lahan-lahan milik negara pun memiliki konsekuensi terjadinya perubahan fungsi lahan karena berbagai kepentingan sektor-sektor pembangunan lainnya dalam kepemilikan (ownership) lahan yang telah ada. Dari uraian tersebut diketahui bahwa, munculnya permasalahan dalam penggunaan lahan di Kawasan Puncak didominasi oleh faktor kelembagaan. Sejalan dengan itu Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Badan Pertanahan Nasional (2003) mengungkapkan bahwa faktor kelembagaan (institusi) berpengaruh 70% terhadap perubahan fungsi lahan sedangkan non kelembagaan hanya berperan 30%. Dalam hal ini institusi dipahami sebagai instrument yang mengatur hubungan orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam pemanfaatan sumber daya (Basuni, 2003). Suatu institusi dicirikan oleh tiga hal penting yaitu, batas yurisdiksi, property right, dan aturan representasi. Oleh karena itu penelitian ini ditinjau dari tiga aspek tersebut, untuk mengungkapkan permasalahan-permasalahan institusi dalam penataan Kawasan Puncak Bogor. Penelitian dilakukan di dua desa di kawasan puncak Bogor yaitu Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara. Kelurahan Cisarua mewakili pusat kota dari Kecamatan Cisarua dengan dinamika masyarakat yang cukup tinggi sedangkan Desa Tugu Utara mewakili wilayah yang memiliki beragam fungsi kawasan.
1.2. Perumusan Masalah Kawasan pariwisata Puncak yang memiliki luas 18.298,918 ha terdiri dari tiga
kecamatan
yaitu
Kecamatan
Cisarua
(7.460,565
ha),
Kecamatan
Megamendung (6.012,430 ha) dan Kecamatan Ciawi (4.825,923 ha), yang semula peruntukannya adalah sebagai kawasan non budidaya, diperuntukkan bagi pengaturan air, pencegahan erosi dan banjir, serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah (Dinas Tata Ruang, 2004). Akan tetapi, pada saat ini cenderung menjadi kawasan dengan fungsi pengembangan perkotaan, dengan meningkatnya berbagai macam pembangunan. Pesatnya pembangunan di kawasan ini menyebabkan berkurangnya kawasan hutan lindung dan meningkatnya luas kawasan lahan kritis. Dari wilayah Kabupaten Bogor dengan 11 kecamatan yang masuk wilayah Bopuncur terdapat 1.733,13 ha lahan kritis dan hutan lindung yang tergerus sebesar 4.475 ha (Natsir, 2005). Perkembangannya, kawasan-kawasan ini mengalami perubahan fungsi lahan yang mengarah pada perusakan lingkungan yang berdampak secara ekologis seperti banjir, erosi dan lain-lain, yang tidak saja terjadi di kawasan Puncak Kabupaten Bogor tapi juga pada kawasan-kawasan di sekitarnya. Berbagai aturan telah banyak diterbitkan, seminar, lokakarya, dan rapatrapat telah banyak dilakukan, namun tiga unsur pengendalian penataan ruang yakni perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tidaklah efektif. Selain itu penegakan hukum yang lemah, serta koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antar lembaga yang masih rendah, menyebabkan kawasan Puncak sulit dikendalikan. Dapat dikatakan kebijakan dalam pengelolaan kawasan Puncak selama ini belum sepenuhnya berhasil, terbukti dari masih sulitnya pengendalian pendirian bangunan yang semakin hari semakin bertambah. Permasalahan institusi dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Pengelolaan kawasan Puncak merupakan upaya untuk mengendalikan penggunaan lahan agar lebih kompatibel dengan fungsi peruntukan semula. Kenyataan yang ada penyimpangan penggunaan lahan untuk pemukiman, industri dan budidaya terus terjadi. 2. Salah satu faktor pendorong keberhasilan dalam menjaga integritas ekologis kawasan Puncak adalah meneguhkan struktur property rights akan lahan yang
ada. Kenyataannya, alokasi pemanfaatan lahan tidak dapat efisien karena struktur kepemilikan lahan yang berubah-ubah. 3. Efektifitas pengelolaan kawasan Puncak dapat terwujud ketika setiap kelembagaan
yang
terlibat
dapat
konsisten
dan
tegas
dalam
mengejawantahkan berbagai kebijakan baik produk pemerintah pusat maupun kelembagaan daerah kemudian secara bersama-sama memiliki komitmen dalam kelestarian kawasan. Kenyataannya kebijakan hanya bersifat parsial dan komitmen pelestarian hanya milik lembaga tertentu. 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui dan menganalisis perubahan penggunaan lahan di kawasan Puncak kabupaten Bogor. 2. Mengetahui dan menganalisis penyebab terjadinya perubahan fungsi lahan di kawasan Puncak. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan-permasalahan institusi (batas yurisdiksi, property right, aturan representasi) yang dihadapi dalam melaksanakan pengelolaan kawasan Puncak. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Pemerintah daerah, dalam memetakan tata ruang Kawasan Puncak di Kabupaten Bogor sehingga memiliki cukup informasi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di lapangan. 2. Dunia akademis, sebagai referensi bagi penelitian sejenis atau penelitian lanjutan yang berkaitan dengan penataan kawasan Puncak di kabupaten Bogor. 3. Perkembangan ilmu pengetahuan, semoga dapat memberikan sumbangsih khususnya bagi manajemen tata ruang Indonesia.
1.5. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini digambarkan dalam skema yang disajikan dalam Gambar 1, uraian berikut ini merupakan penjelasannya, diawali dengan
pengukuhan Kawasan Puncak Bogor sebagai kawasan yang memiliki berbagai fungsi strategis seperti fungsi lindung atau konservasi, tata air, budidaya pertanian maupun budidaya non pertanian. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Cisarua dan Desa Tugu Utara, yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Cisarua. Ada empat faktor yang berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumber daya alam yaitu sumber daya alam (natural capital), sumber daya manusia (human capital), sumber daya buatan manusia (man made capital) serta pranata institusi formal maupun informal masyarakat (social capital) (Kartodihardjo dkk, 2000). Pengelolaan sebuah kawasan tidak akan efektif jika faktor institusi tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan pada Kelurahan Cisarua dan desa Tugu Utara telah terjadi pola panggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi peruntukkannya. Hal ini disebabkan individu, kelompok masyarakat dan pihakpihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan sangat ditentukan oleh gugus kesempatan yang tersedia yang oleh Nort, (1991) gugus kesempatan tersebut sangat tergantung pada aturan main baik formal maupun informal. Aturan main ini merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi antar individu dan kelompok masyarakat yang terlibat, dan institusi pula yang mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan dan dalam kondisi bagaimana seseorang dapat mengerjakan sesuatu. Dalam hal penggunaan lahan, institusi mengatur individu dan kelompok masyarakat dalam penetapan hak kepemilikan (property right), batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) dan aturan representasi (rule of representasi). Jika ketiga hal ini tidak berjalan baik maka pola penggunaan lahan tidak akan terkendali.
Fungsi-fungsi Kawasan Puncak : 1. Fungsi Lindung/Konservasi 2. Fungsi Penyangga Tata Air 3. Fungsi Budidaya Pertanian 4. Fungsi Budidaya Non Pertanian
Kawasan Puncak Kabupaten Bogor (Kel Cisarua & Desa Tugu Utara)
Peraturan Perundang-undangan
Perubahan Penggunaan Lahan
Institusi Non Formal
Permasalahan Institusi : - Batas Yurisdiksi - Property Right - Aturan Representasi
Institusi Formal
Pengendalian Penggunaan Lahan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Identifikasi Permasalahan Institusi dalam kompleksitas Penataan Kawasan Puncak