1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota dapat menimbulkan efek
negatif terhadap lingkungan. Salah satu efek negatif tersebut adalah masalah lingkungan hidup yang disebabkan sampah. Kuantitas sampah yang terus meningkat diiringi meningkatnya kepadatan penduduk dan meningkatnya kawasan pemukiman kumuh di kota-kota besar semakin menyulitkan upaya pengelolaan sampah dari waktu ke waktu. Tanpa diimbangi dengan pengelolaan yang memadai, sampah bisa menjadi beban terhadap lingkungan dan berdampak negatif, seperti menimbulkan pencemaran air, tanah dan udara (KLH, 2005). Kota Jakarta adalah salah satu kota metropolitan di Indonesia yang mengalami efek negatif tersebut. Jakarta dengan luas 661.52 km2, jumlah penduduk 9,041 juta jiwa (Bappeda Jakarta, 2009), menghasilkan sampah 29,364 m3 perhari atau setara dengan 6,250 ton perhari (Kompas, 2009). Berdasarkan hasil kajian WJEMP DKI 3-11 tahun 2005 komposisi sampah rata-rata Jakarta terdiri dari 55.37% sampah organik dan 44.63% sampah nonorganik ( Dinas Kebersihan DKI, 2005 ). Sampah yang terangkut, kurang lebih 70% dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang, 16.5% ke lokasi-lokasi informal, dan 13% tidak terkelola, tercecer di dalam kota, di jalan, atau dibuang ke sembarang tempat. (Dinas Kebersihan DKI, 2001). Sampah yang dikirim ke TPST ini akan menimbulkan masalah apabila tidak dikelola dengan baik, karena sampah ini merupakan penyumbang gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO2. Fakta menunjukkan bahwa CH4 mempunyai kekuatan merusak 20-30 kali lipat dari CO2 dan pada konsentrasi 15% di udara gas metan berpotensi menimbulkan ledakan dengan sendirinya (KLH, 2007). Selain mencemari udara, berdasarkan penelitian yang dilakukan di lingkungan TPST pada tahun 1999 oleh Dinas Kesehatan dan Dinas L. H. Kota Bekasi disimpulkan bahwa sebanyak 40% pH air sudah diambang batas, 95% ditemukan bakteri E. Coli di air tanah, dan 35% tercemar salmonella. Dan, ditemukan bahwa 34% hasil foto rontgen ditemukan penduduk posistif menderita
2
TBC, 99% mengalami ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), dan 8% penduduk mengalami tukak lambung (Tri Bangun dan Suyoto, 2008). Dampak TPST terhadap lingkungan ini semakin meningkat ketika krisis ekonomi tahun 1997 terjadi. Krisis tersebut menyebabkan terjadinya PHK, pengangguran, dan tingginya harga bahan pokok. Hasilnya, sampah dijadikan sumber penghasilan bagi pengangguran dan warga sekitar TPST. Dampak sosial yang timbul diantaranya adalah terjadinya pencurian ratusan pipa ventilasi pada sanitary landfill yang berfungsi untuk membuang gas metan, sehingga menyebabkan saluran gas metan mengalami kebuntuan. Akibatnya timbul kebakaran di beberapa zona TPST sehingga menimbulkan asap dan pencemaran. Di samping itu timbul pula bau hingga mencapai kawasan Kemang Pratama, Kranji, Pekayon, dan wilayah yang berjarak 10 km dari TPST (Armandho, 2009). Selain menyebabkan masalah lingkungan udara dan air serta masalah sosial, TPST juga menyebabkan dampak pada hubungan dua pemerintah daerah. Masalah ini diawali sejak perubahan status Kota Administratif Bekasi menjadi Kota Bekasi pada tahun 1996, dengan UU RI No. 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996, yang menyebabkan tidak jelasnya kewenangan instansi pengelola sampah. Selama periode tersebut Pemerintah DKI kurang memperhatikan pengelolaan TPST. Kondisi ini—di mana TPST adalah milik Pemprov DKI sedangkan
wilayah
permasalahan
teritorial
pengelolaan
di
TPST
bawah menjadi
Pemkot
Bekasi—menyebabkan
semakin
kompleks.
Solusi
mengatasinya adalah diberikannya dana kompensasi (Community Development) sebesar 20% dari tipping fee yang dibayar dari tonase sampah masuk oleh Pemprov DKI kepada Pemkot Bekasi melalui pengelola TPST. Sejak tanggal 05 Desember 2008, melalui lelang terbuka yang dilakukan oleh Pemprov DKI, telah ditetapkan PT. Godang Tua Jaya joint operation dengan PT. Navigat Organic Energy Indonesia, sebagai investor baru untuk mengelola TPST Bantargebang. Pengelola baru ini menawarkan konsep baru untuk mengelola TPST, kombinasi antara sistem sanitary landfill dan teknologi modern yang ramah lingkungan, dan menjadikan TPST sebagai pusat industri daur ulang sampah yang akan menghasilkan produk-produk bermanfaat seperti: pupuk kompos, biji plastik dan produk-produk turunannya, serta listrik. Dengan
3
berubahnya sistem pembuangan sampah yang dilakukan di TPST Bantargebang, dari open dumping menjadi sanitary landfill
yang dikombinasikan dengan
pengolahan dengan teknologi modern ini diharapkan dapat meminimalisasi dampak pencemaran yang terjadi, karena sistem ini sudah didisain dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan. Di samping itu, cara ini juga akan menghasilkan produk-produk ekonomi, yang bermanfaat, sehingga dapat mengubah paradigma dari sampah sumber masalah menjadi sampah solusi masalah. Namun demikian, dampak-dampak negatif yang muncul akibat keberadaan TPST belum sepenuhnya tuntas. Pemulung masih beraktivitas di TPST. Menurut Simanjuntak (2002) kegiatan pemulung adalah sebagai ujung tombak proses pemanfaatan kembali sampah yang telah dibuang oleh masyarakat sekaligus pekerja sektor informal, menjadi salah satu alternatif untuk menyerap tenaga kerja di sektor tersebut sekaligus memberikan pendapatan yang cukup memadai dan memperbaiki kondisi kehidupan di masa mendatang. Sedang menurut Thurgood (1998) aktivitas pemulung menggangu kelancaran operasi landfill karena membahayakan baik pemulung itu sendiri maupun pegawai landfill. Namun, karena tidak dapat dihindarkan, aktivitas pemulung sebaiknya dikendalikan. Jadi untuk mengatasi semua masalah ini diperlukan usaha untuk menjaring masukan dari semua stakeholder untuk mendapatkan solusi bagi pengelolaan lingkungan di TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan. Optimasi pengelolaan lingkungan yang terpadu dan berkelanjutan ini meliputi optimasi pemanfaatan sampah dan optimasi pemanfaatan lahan. Dengan skenario ini diharapkan akan dihasilkan satu pengelolaan yang optimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal. Sedangkan pengelolaan sampah secara terpadu dimaksudkan memadukan 3 cara pengolahan sampah, yaitu: composting, recycling, dan combusting atau pyrolysis untuk menghasilkan energi listrik, dengan melibatkan masyarakat, sehingga mampu mereduksi sampah. Pengelolaan sampah yang berkelanjutan ini juga akan menerapkan prinsip-prinsip mekanisme pembangunan bersih atau CDM ( clean development mecahnisme).
4
1.2.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran untuk menghasilkan suatu skenario pengelolaan
TPST Bantargebang, dimulai dengan melihat dan mengevaluasi kondisi eksisting TPST. Masalah lingkungan, sosial ekonomi, ataupun masalah hukum dan kelembagaan yang muncul akibat keberadaan TPST memerlukan penanganan yang terpadu agar pengelolaan TPST dapat berlangsung optimal dan bermanfaat dari sudut pandang masing-masing stakeholder, yaitu Pemprov DKI sebagai pemilik TPST, Pemkot Bekasi sebagai otoritas yang memerintah di Bantargebang, investor selaku pengelola, pemerhati lingkungan, masyarakat sekitar TPST. Kondisi eksisting TPST ini dilihat dengan menganalisis kualitas air sumur, air sungai, air lindi, udara, kualitas tanah, dan komponen biologis. Juga dianalisis persepsi masyarakat sekitar dan analisis optimasi terhadap pengelolaan lingkungan TPST yang meliputi optimasi dalam pemanfaatan sampah dan optimasi pemanfaatan lahan pembangunan. Dengan skenario yang dihasilkan ini diharapkan akan dihasilkan satu strategi implementasi pengelolaan yang optimal di mana pengelolaan akan maksimal secara ekonomi, sosial, ekologi dengan teknologi yang ramah lingkungan dengan dampak lingkungan yang minimal. Kondisi Eksisting TPST
Kualitas Lingkungan (Air, Udara, dan Tanah)
Sosial Ekonomi Masyarakat
Kebijakan Pengelolaan Lingkungan
Pemanfaatan Lahan dan Sampah
Skenario Pengelolaan TPST Bantargebang
Teknologi
Keinginan Masyarakat dan Stakeholder
Strategi Implementasi
Gambar 1a. Kerangka Pemikiran Optimasi Pengelolaan Lingkungan Terpadu Berkelanjutan TPST Bantargebang 1.3.
Perumusan Masalah Jakarta sebagai kota metropolitan merupakan pusat kegiatan pendudukan
dan ekonomi. Aktivitas penduduk dan perekonomian ini akan menghasilkan
5
sampah. Produksi sampah Jakarta mencapai 6,250 ton perhari yang dikirim ke TPST Bantargebang, kota Bekasi dengan jumlah kurang lebih 5.000 ton perhari. Pengelolaan sampah Jakarta dilakukan melalui kerjasama antara dua pemerintah yaitu Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi melalu perjanjian bipartit di mana Pemprov DKI Jakarta membayar CD (Community Depelovment) kepada Pemkot Bekasi sebesar 20% dari tipping fee sampah yang masuk ke TPST. Sampah Jakarta ini diangkut menggunakan armada angkutan sampah, dan ini memberikan keuntungan berupa penyerapan tenaga kerja, tetapi juga menyebabkan dampak lingkungan berupa bau bagi wilayah yang dilalui armada tersebut. Wilayah-wilayah yang dilalui armada tersebut seperti kelima wilayah Jakarta dan melalui Jalan Alternatif Cibubur, Jalan Raya Cileungsi, Jalan Raya Narogong dengan jarak tempuh antara 15-50 km. Masyarakat yang dilalui oleh armada angkutan sampah menyampaikan keluhan terhadap dampak bau tersebut. Pengelolaan sampah di TPST dilakukan dengan system sanitary landfill pada lahan seluas 108 ha yang terbagi dalam lima zona. Pengelolaan sampah ini menyerap tenaga kerja sekitar 6,000 orang yang terdiri dari para pemulung, lapak, dan juragan. Namun besarnya tenaga kerja ini menimbulkan persaingan karena tidak adanya peraturan yang diberlakukan dalam area titik buang tersebut. Proses pembuangan sampah atau unloading dari armada ke area zona atau titik buang menggunakan bantuan alat berat (excavator) yang beroperasi selama 24 jam perhari, dan menyebabkan masalah lain seperti terancamnya keselamatan para pemulung dan terganggunya operasional alat berat tersebut. Pengelolaan
dengan
sitem
sanitary
landfill
ini
ternyata
masih
menimbulkan percemaran di lokasi TPST dan sekitarnya berupa pencemaran air sumur, sungai, dan air lindi oleh bakteri E-Coli, peningkatan kadar BOD dan COD, dan beberapa logam berat seperti Cd; pencemaran udara berupa bau. Bau ini menimbulkan keluhan dari masyarakat sekitar. Hal ini berarti bahwa sampah harus dimanfaatkan seoptimal mungkin sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan mendatangkan keuntungan ekonomi. Keberadaan TPST telah memberikan dampak ekonomi terhadap masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Masyarakat sekitar mendapatkan manfaat ekonomi dalam bentuk CD, kesempatan kerja dan berusaha. Pengusaha
6
dalam bentuk pengelolaan TPST berupa tipping fee yang dibayar oleh Pemprov DKI dari tonase sampah yang masuk. Sedangkan Pemkot Bekasi dalam bentuk PAD dari pajak dan CD yang dibayar pengelola. Permasalahan yang muncul kemudian adalah terjadinya perbedaan persepsi dalam hal pembagian dana CD. Pemerintah menyalurkan dana ini dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana sosial sementara masyarakat menginginkan dalam bentuk tunai. Dari
sisi
masyarakat,
sebagian
menganggap
keberadaan
TPST
memberikan keuntungan dan sebagian yang lain menganggap sebagai sumber masalah. Masyarakat yang menganggap TPST menguntungkan adalah yang dapat memanfaatkan keberadaan TPST sebagai sumber ekonomi, sedangkan yang menganggap sebagai sumber masalah adalah yang tidak merasakan manfaat tetapi hanya mendapatkan dampak pencemaran. Pemerintah menganggap TPST sebagai sesuatau yang harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulakan permasalaha, tetapi mendatangkan keuntungan berupa CD. Keterbatasan lahan TPST merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian karena sampah yang sudah menggunung selama 20 tahun mencapai deposit lebih kurang 10 juta m3 dan apabila sampah yang masuk tidak dikelola dengan teknologi modern yang ramah lingkunagn maka usia pakainya akan segera berakhir. Sementara itu lahan yang tersedia di sekitar TPST sangat terbatas. Dari uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana skenario pengelolaan TPST yang optimal, terpadu dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan partisipatif, yang digambarkan dalam bentuk diagram alir perumusan masalah sebagai berikut:
Kualitas Lingkungan TPST Persepsi Masyarakat dan Stakeholder
Skenario Pengelolaan Lingkungan TPST yang Optimal
Gambar 1b. Diagram Alir Perumusan Masalah
7
Berdasarkan
uraian
permasalahn
tersebut
dirumuskan
pertanyaan
penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas lingkungan sekitar TPST Bantargebang dan sekitarnya? 2. Bagaimana persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST Bantargebang? 3. Bagaimana pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal?
1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah untuk menghasilkan suatu skenario
pengelolaan TPST yang optimal, terpadu, dan berkelanjutan dengan menggunakan pendekatan dimensi sosial, ekologi, ekonomi, dan teknologi. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, penelitian ini dibagi menjadi 3 subtujuan, sebagai berikut: 4. Menganalisis kualitas lingkungan TPST Bantargebang dan sekitarnya. 5. Menganalisis persepsi masyarakat dan stakeholder terkait keberadaan TPST. 6. Menganalisis pengelolaan lingkungan TPST Bantargebang yang optimal.
1.5.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Memberikan kontribusi bagi para stakeholder yang terkait dengan pengelolaan TPST Bantargebang. 2. Sebagai bahan informasi bagi pengelola TPST dan Instansi Pemerintah yang berwenang dalam melakukan pengelolaan lingkungan TPST. 3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang meneliti pengelolaan lingkungan TPST.