I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini persoalan buruh anak makin banyak diperhatikan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena buruh anak merupakan persoalan serius dan menyangkut kepentingan banyak pihak. Salah satu persoalan klasik, kompleks dan masih tetap berlangsung adalah eksploitasi ekonomi terhadap anak. Eksploitasi terjadi karena tekanan kemiskinan yang dihadapi keluarga, sehingga sering kali anak-anak di bawah umur bekerja pa da pekerjaan terburuk dan sangat berbahaya. Seiring dengan berkembangnya perhatian terhadap buruh anak, telah menggeser pemahaman berbagai pihak dalam menyikapi keberadaan dan persoalan pekerja anak. Sebelumnya, persoalan pekerja anak berada dalam kerangka pasar tenaga kerja yang memandang eksistensi pekerja anak sebagai ancaman terhadap kesempatan kerja kaum dewasa dan ketakutan kaum humanitarian atas munculnya kelas proletariat. Bagi kelompok yang menganut pandangan ini, anak-anak yang bekerja dianggap akan melestarikan kemiskinan karena anak yang bekerja tumbuh menjadi dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, sehingga pekerja anak akan terus berlanjut. Upaya yang ditawarkan untuk mengatasinya bersifat anti pekerja anak yang terwujud dalam gerakan penghapusan pekerja anak. Namun, menolak anak-anak yang bekerja bukanlah pilihan yang terbaik, akan tetapi dapat menciptakan kemiskinan karena bagi keluarga miskin peranan anak bekerja sangat penting terutama dalam membantu ekonomi keluarga. Oleh karena itu kebijakan anti pekerja anak tidak realistis dan kontradiktif. Sehubungan dengan itu muncullah paradigma baru1 yang mendukung adanya pekerja anak disertai jaminan pemenuhan hak anak atas pendidikan dan pelayanan kesehatan. 1
Paradigma baru ini dikenal dengan “pro pekerja anak” yang berkembang seiring dengan disahkannya Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menekankan adanya pemahaman baru tentang anak sebagai anggota masyarakat dan individu yang tidak hanya memiliki kewajiban tetapi juga memiliki hak. Pasal 32 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa pekerja anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spritual, moral maupun perkembangan sosial atau mengganggu pendidikan mereka (Tjandraningsih dan Anarita, 2002).
2
Idealnya anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja, maka menghapus pekerja anak merupakan tindakan yang tidak logis (Putranto, 1994). Senada dengan itu White (1994), menyatakan pekerja anak sebaiknya tidak usah dilara ng sepanjang anakanak masih mempunyai kesempatan bersekolah dan pekerjaannya masih dalam batas kemampuannya. Lebih lanjut, Tjandraningsih (1995), menyatakan persoalan pekerja anak tidak perlu ditolak tanpa melihat terlebih dahulu situasi lingkungan si anak secara menyeluruh dan faktor-faktor yang menyebabkan anak terpaksa harus bekerja. Dalam batas-batas tertentu, anak diperbolehkan bekerja sepanjang tidak mengganggu pendidikan, kesehatan dan masa depan anak. Di tengah perdebatan kedua paradigma tersebut, studi mengenai pekerja anak tetap merupakan tema yang penting di tengah kehidupan global
yang
mendorong munculnya ketimpangan dan kemiskinan. Berbagai studi yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa fenomena pekerja anak makin meluas. Berdasarkan hasil Surve Angkatan Kerja Nasional dapat dilihat perkembangan pekerja anak. Pada tahun 2002 terdapat 842,228 ribu orang yang bekerja, menurun menjadi sebesar 566,526 ribu pada tahun 2003. Pekerja anak di perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Pa da tahun 2002, anak yang bekerja di pe desaan berjumlah 82 persen, dan pada tahun 2003 menurun menjadi sebesar 447,027 persen. Di perkotaan, jumlah anak yang bekerja sebesar 18 persen atau 150,931 ribu. Dengan demikian pekerja anak lebih banyak berada di pedesaan dibandingkan perkotaan (Sakernas, 2002 dan 2003). Sayangnya, berbagai literatur mengenai pekerja anak menunjukkan bahwa studi-studi selama ini cenderung melihat permasalahan anak yang bekerja di kotakota besar, seperti anak jalanan yang secara kasat mata mudah terlihat, sementara permasalahan pekerja anak di pedesaan seperti di sektor perkebunan masih jarang dilakukan. Padahal, dilihat dari jumlah dan kondisi kerja yang dilakukan pekerja anak di sektor perkebunan tidak jauh berbeda, bahkan jauh lebih eksploitatif dan marginal. Eksploitatif berkaitan dengan jam kerja anak yang lama dan upah kerja rendah, sementara marginal letak perkebunan yang jauh dari masyarakat luas. Sebagaimana dikemukakan Sitorus (1999), bentuk-bentuk pekerjaan anak di perkebuna n berbeda -beda sesuai dengan jenis tanaman. Di perkebunan kakao,
3
pekerja anak terlibat dalam pekerjaan memanen coklat, membersihkan benalu, dan memangkas tunas tanaman. Di perkebunan sawit, anak bekerja untuk memindahkan polybag dari tempat pengisian tanah ke tempat pembibitan, menyiram bibit, dan mengumpulkan buah sawit yang berserakan. Hal yang sama ditemukan pada perkebunan di Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara, dimana bentuk-bentuk pekerjaan yang melibatkan anak sudah lama terjadi, bahkan telah menja di sebuah fenomena yang dianggap lumrah (Sairin, 1994, Breman, 1997, Ikhsan, 1999, Tjandraningsih & Anarita, 2002). Kabupaten Deli Serdang merupakan kawasan yang didominasi oleh perkebunan milik negara PTPN II, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Perusahaan Perkebunan Swasta Asing. Komoditas utama sawit, karet, tebu, tembakau dan Kakao dengan luas keseluruhan areal perkebunan 138.373 Km2 Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memperkirakan bahwa pada tahun 2000 ada sekitar 10.000.000 buruh yang bekerja di perkebunan di Sumatera Utara dan Riau, diantaranya 10,8 persen tergolong pekerja anak dengan usia di bawah 18 tahun. Sementara itu, Ikhsan (1999), melalui penelitiannya di perkebunan tebu Sei Semayang PTPN II di Deli Serdang, memperkirakan 40.000 pekerja anak baik sebagai tenaga keluarga maupun sebagai pekerja upahan. Berbagai penelitian terdahulu yang mengungkap masalah pekerja anak di perkebunan memperlihatkan bahwa faktor utama munculnya pekerja anak di perkebunan karena sistem pekerjaan yang berlaku di perkebunan. Sairin (1994) menunjukkan bahwa anak-anak yang bekerja di perkebunan karet tidak dapat dilepaskan dari keadaan kemiskinan keluarga, sehingga cenderung eksploitatif. Fenomena eksploitasi anak dan kemiskinan keluarga di perkebunan diindikasikan adanya anak-anak yang bekerja dalam usia muda dengan upah yang rendah dan tidak memiliki jenjang karir yang tinggi. Ikhsan (1999) menunjukkan bahwa secara kultural keluarga pekerja anak memberi makna terhadap anak yang bekerja karena upaya anak untuk menunjukkan keperdulian dan bakti anak kepada orang tuanya. Alasan putus sekolah merupakan wujud dari beberapa hal yakni ketiadaan biaya sekolah, dan disuruh berhenti sekolah untuk membantu pekerjaan orang tua.
4
Sementara itu, Tjandraningsih dan Anarita (2002) menemukan bahwa anak-anak terlibat dalam pekerjaan di perkebunan karena didorong oleh faktor historis, sosio-kultural dan sistem manajemen perkebunan. Faktor-faktor ini dalam prosesnya saling terkait dan menempatkan anak-anak sebagai tenaga ker ja, baik sebagai tenaga kerja keluarga yang tidak diupah, maupun yang diupah karena hubungan kerja secara individu dan langsung dengan perusahaan. Seiring dengan perkembangan jaman khususnya yang terkait dengan perkembangan ekonomi, demokratisasi serta ka rakteristik manajemen perkebunan di Indonesia, tampaknya fenomena pekerja anak di perkebunan tetap menonjol dan tidak banyak berubah, paling tidak bila dibandingkan dengan masa kolonial Belanda. Rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli2 di Deli Serdang sebagian besar masih menginginkan anaknya menja di generasi buruh di perkebunan. Padahal kesempatan kerja di luar sektor perkebunan sudah mulai terbuka dan dapat diakses oleh anak-anak dan pemuda di desa perkebunan. Penelitian Sairin (1994), Ikhsan (1999), Tjandraningsih dan Anarita (2002) kurang memberi tempat pada kajian fenomena adanya pewarisan nilai- nilai kerja buruh terhadap anak-anak di perkebunan. Meskipun dalam kerangka pemikiran gejala tersebut diungkapkan secara implisit, tetapi dalam analisa yang lebih mendalam masalah ini belum dikaji sama sekali. Kenyataan yang terjadi saat ini keluarga buruh tembakau Deli melakukan sosialisasi nilai-nilai kerja terhadap anak-anak dengan cara melibatkan mereka bekerja di perkebunan, di sawah, dan pekerjaan domes tik lainnya, meskipun usia anak-anak masih muda. Sosialisasi nilai kerja dilakukan agar anak-anak memiliki keterampilan kerja sebagaimana yang diharapkan pihak perkebunan. Keadaan inilah yang mendorong anak-anak yang belum mencapai usia kerja terpaksa harus bekerja. Anak-anak yang bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja , melainkan untuk membantu kebutuhan ekonomi dan bagian dari strategi bertahan hidup keluarga. 2
Pada awalnya tembakau Deli merupakan tanaman yang diproduksi penduduk Melayu secara tradisional. Penanaman tembakau secara intensif melalaui usaha komersial dikembangkan oleh Neinhiyus yang membawa hasil memuaskan dengan aroma yang khas, sehingga banyak disukai konsumen di pasar lelang Breman. Pada saat tembakau mulai dilelang ke Breman nama tembakau belum ada, sehingga tembakau tersebut diberi nama sesuai dengan asal daerahnya tembakau Deli. Pemberian nama Deli, kemudiaan bukan saja karena asal daerahnya, tetapi juga ciri khas daun tembakau yang memberikan aroma khas yang tidak dapat ditandingi oleh produsen tembakau lainnya baik di dalam negeri seperti di Jember maupun dari negara lain.
5
Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini dilaterbelakangi oleh suatu minat untuk melihat kelanjutan penelitian terdahulu dalam kasus serupa dengan masalah yang lebih terfokus pada aspek peranan pekerja anak dalam keluarga dan pewarisan nilai-nilai kerja buruh terhadap anak di Desa Buluh Cina Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara. Secara sosiologis gambaran penelitian ini sebagaimana yang diungkap di atas, cukup relevan digolongkan dalam paradigma fakta sosial, sehingga pendekatan struktural fungsional layak mewarnai kerangka pemikiran dan pembahasannya.
1.2. Perumusan Masalah Secara umum perkebunan memperlihatkan beberapa variasi, tergantung pada kehidupan perkebunan itu berada apakah di perkebunan yang dikelola oleh negara, swasta atau dikelola oleh rakyat. Demikian pula didalam setiap jenis perkebunan terdapat variasi keadaan sosial ekonomi penghuninya, tergantung pada status pekerjaannya. Komunitas perkebunan di Desa Buluh Cina mencerminkan suatu komunitas yang tersendiri dan terpisah dari komunitas sekelilingnya. Pekerjaan sebagai buruh perkebunan dianggap lebih terjamin keseja hteraannya dibanding dengan bekerja di sawah atau di luar kebun. Hal ini terkait dengan adanya fasilitas yang diberikan pihak perkebunan, seperti perumahan,
kesehatan
dan
pensiunan.
Implikasinya,
kehidupan
mereka
dipertaruhkan dari dan untuk kebun, sehingga regenerasi buruh kebun berlangsung secara alamiah, dimana mereka lahir, tumbuh dan berkembang hingga dewasa dan meninggal di lingkungan perkebunan pula. Tradisi melibatkan anak-anak bekerja di perkebunan dianggap sebagai bagian dar i proses sosialisasi nilai kerja dan pendewasaan diri agar anak-anak memiliki keterampilan kerja yang sesuai dengan kondisi di perkebunan. Sosialisasi nilai kerja dilakukan sejak usia anak masih muda. Pilihan ini dilakukan sebagai bagian dari strategi bertahan hidup rumahtangga buruh ditengah ketergantungan mereka terhadap perkebunan. Melihat kenyataan ini amatlah menarik bagi peneliti untuk mengkaji bagaimana sosialisasi nilai kerja pada keluarga buruh tembakau, sehingga dengan proses sosialisasi itu dapat memelihara stabilitas keluarga . Oleh karena itu pertanyaan utama yang diajukan
6
adalah bagaimana berlangsungnya proses sosialisasi nilai kerja dalam keluarga buruh. Berdasarkan pertanyaan itu, permasalahan yang hendak di jawab dalam penelitian ini adalah: 1.
Mengapa orang tua menginginkan anaknya menjadi pekerja anak di perkebunan tembakau Deli?
2.
Bagaimana proses sosialisasi nilai kerja yang berlangsung pada keluarga buruh perkebunan tembakau Deli?
3.
Bagaimana respon pekerja anak terhadap proses sosialisasi yang dilakukan keluarga dalam rumahtangga buruh perkebunan tembakau Deli?
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi
keluarga
buruh
mengharapkan anak-anaknya menjadi pekerja anak di perkebunan tembakau Deli. 2. Menggambarkan bagaimana proses sosialisasi nilai kerja yang dilakukan keluarga dalam mempersiapkan anak-anaknya menjadi buruh di perkebunan tembakau Deli. 3. Menjelaskan bagaimana respon pekerja anak terhadap keinginan orang tua dalam mempersiapkan generasi buruh di perkebunan.
1.4. Kegunaan Penelitian 1. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap studi mengenai pekerja anak, khususnya pekerja anak di perkebunan dan kaitannya dengan sosialisasi nilai kerja buruh. 2. Secara praktis, hasil penelitian dapat bermanfaat bagi para pemerhati pekerja anak, lembaga sosial, pemerintah dan lembaga yang berkepentingan untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam menanganai persoalan pekerja anak secara terencana, sistematis, dan berkesinambungan.