I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah “Trowulan”, sebagai entitas ruang permukiman kota kuno, diyakini berasal dari beragam mula. Raffles (2008) meyakini “Trowulan” bermula dari sebuah desa bersebelahan bernama “Trawulan” atau “Trang Wulan”, berarti Terang Bulan. Sementara itu, dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa nama “Trowulan” berasal dari “Antawulan”.(Kriswanto, 2009) “Sira ta dhinarmmeng Kapopongan, bhiseka ring Crnggapura. Pratistha ring Antawulan” (Raja didarmakan di Kapopongan, di Crnggapura. Bangunan sucinya (candinya) berada di Antawulan.)
Krom pun menyatakan bahwa Crnggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakrtagama, sementara “Antawulan” dalam Pararaton sama
dengan
“Antarsasi”
dalam
Nagarakrtagama.
Demikian,
sehingga
disimpulkan bahwa dharma atau tempat suci raja berada di Kapopongan (Crnggapura/Cri Ranggapura), dan pratista-nya (bangunan suci) berada di “Antawulan” atau yang dikenal sebagai Trowulan (Kartodirdjo, 1993; BP3, 2005 dalam Rukmi, 2008). Ini berbeda dengan keyakinan masyarakat setempat masa kini, yang menganggap bahwa “Antawulan” adalah nama salah satu candi, dan konon diyakini sebagai candi tertua di Trowulan. “Sastrowulan. Pundenipun wonten Kedungwulan menika, candinipun Candi Antawulan... Yang pertama. Rama Wijaya menika kan teng Inggil menika.. Sitinggil menika Antawulan. Candi Antawulan... Nek ‘Antawulan’ itu kan candi, menawi ‘Trowulan’ menika 'Sastrawulan'. 'Sastra' menika kan sastra; sastra yang berhubungan dengan bulan, berhubungan dengan candra... Dadi pitung, tahun, menika ndamel wulan-wulanwulan menika. Sanes surya.”(CL A-45)
|1
(Sastrowulan. Pundennya 1 berada di dusun Kedungwulan, candinya bernama Candi Antawulan... Candi yang pertama. Rama Wijaya berada di Inggil itu. Sitinggil itu “Antawulan”. Candi Antawulan... “Antawulan” adalah candi, sedang “Trowulan” adalah “Sastrawulan”. “Sastra” adalah sastra; sastra yang berhubungan dengan bulan, berhubungan dengan candra... Jadi perhitungan tahun menggunakan bulan. Bukan matahari.)
Rupanya, toponim “Trowulan” memiliki keragaman sejarah. Tulisan sejarah ―bersumber dari Kitab Nagarakrtagama dan Pararaton maupun “History of Java” karya Raffles― yang selama ini terpercaya sebagai sumber ilmiah, realitanya tak mampu menghapus pengetahuan lokal masyarakat yang mengendap kuat menjadi keyakinan. Mengingat luas serta padatnya temuan arkeologis di Trowulan sebagai daerah bekas Kota Kerajaan Majapahit, para ahli arkeologi dan ahli sejarah kuno Indonesia berkesimpulan bahwa Trowulan merupakan "inti" ruang Kota Majapahit, dan berkembang melalui beberapa trayektori yang secara historiososiologis terlacak sejak jaman Siva-Buddha hingga jaman Indonesia Modern di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan Orde Baru. Oleh karenanya, Trowulan untuk sementara dapat dipahami sebagai ruang yang menyandang potensi politikbudaya-sejarah dan ekonomi serta fisik-geografis. Zaman Siva-Buddha Majapahit (sebelum perempat kedua abad XIV), permukiman dan ruang perkotaan di Trowulan secara fungsional dan struktural terkait sangat erat dengan situs-situs purbakala berupa tempat pemujaan, candimakam, dan sebagainya. Kaitan fungsional terbentuk melalui kegiatan peribadatan dan pemakaman dari agama-agama yang dianut mayoritas penduduk pada saat itu (Siva dan Buddha), sedangkan kaitan struktural permukiman dan ruang perkotaan dengan situs tersebut terletak pada kosmologi spasial yang
1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), pundén dimengerti sebagai tempat yang di dalamnya terdapat makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa yang bersangkutan. Karena penghormatan terhadap orang tersebut, maka pundén pun menjadi tempat yang dihormati, tempat keramat.
|2
diyakini (tata susunan dan hubungan ruang permukiman rakyat, istana, makam, dan sebagainya sesuai dengan sistem religinya). Walau banyak perdebatan mengenai kesamaan-perbedaan Siva dengan Buddha, tak disangkal bahwa kepercayaan Jawa yang mengakar dalam pikiran dan kebudayaan masyarakat mempengaruhi pertautan dua agama tersebut serta mempengaruhi perkembangan struktur sosial-politik-ekonomi juga fisik yang dibuktikan melalui artefak-artefak yang ditinggalkannya. Zaman kerajaan muslim (mulai perempat akhir abad XIV), Trowulan mengalami masa yang relatif "baru" karena faktor-faktor: bencana alam yang menghilangkan permukiman lama dan situs-situs pemujaan Siva-Buddha, migrasi penduduk dari daerah sekitar serta pendirian mekanisme pemerintahan Mataram pada abad berikutnya yang menyuburkan praktik sosial dari agama Islam (Graff dan Pigeaud, 1974). Dari peninggalan arkeologis, kedatangan Islam ini dimungkinkan sudah diawali sejak abad ke-11 melalui hubungan pelayaran perdagangan dan politik antara Majapahit dengan Samudra-Pasai dan Malaka juga dengan negeri-negeri Arab, Iran, Persia, Gujarat, Bengali India dan sebagainya. Ada anggapan bahwa “Islamisasi” adalah faktor penyebab keruntuhan Majapahit yang dimulai pada tahun 1478 M, namun ada juga beberapa ahli yang tidak sependapat. Dengan situasi terakhir Majapahit tersebut, maka dalam hal peninggalan fisik yang tampak adalah adanya hubungan fungsional antara permukiman dan situs purbakala dalam bentuk kepercayaan asli masyarakat yang masih tersisa, misalkan tradisi memberikan sesaji pada awal dimulainya suatu konstruksi baru atau memberikannya pada situs purbakala yang dianggap sakral, sedangkan hubungan struktural kosmologi spasial tampak lenyap seiring dengan lenyapnya keyakinan. Perubahan signifikan terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX semasa Penjajahan Belanda. Bagi kota kuno Trowulan, ini adalah seperti "SivaBuddha Revival": situs-situs purbakala ditemu-lestarikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi situs arkeologis, dan dikunjungi pula oleh publik dari luar daerah Trowulan sebagai cagar budaya. Selain sejarah Museum Trowulan yang juga diawali pada masa ini dan berkembang hingga kini, bahkan beberapa situs
|3
lama seperti: Candi Tikus, Candi Brahu dan lain-lain, justru menjadi tempat pemujaan "baru" atau setidaknya "lahir kembali", di antara situs-situs yang tampaknya tetap berperan sebagai situs purbakala murni. Pada periode ini, interseksi antara ruang permukiman dan ruang pertanian mulai mencolok didominasi oleh tujuan ekonomi. Hal itu tampak jelas melalui komodifikasi pertanian tradisional. Dengan sendirinya, arsitektur permukiman rakyat pun berubah: yang tadinya bersesuaian dengan aktivitas persawahan, menjadi aktivitas industri pertanian. Keadaan di atas berlangsung sejak tahun 1830-an sampai dengan tahun 1930-an. Setelah mengalami masa stagnasi selama ± 30 tahun dengan gejolak di sekitar Kemerdekaan Republik Indonesia dan Orde Lama, Trowulan memasuki masa signifikan perubahan kedua. Pada zaman Orde Baru khususnya sejak tahun 1970-an sampai dengan hari ini, perkembangan tersebut seolah terulang belaka dengan intensitas yang lebih tinggi. Selain situs-situs purbakala lama yang menjadi tempat pemujaan baru, muncul situs-situs pemujaan legendaris yang berkembang melalui penyebaran informasi oleh para penggagas dan pengguna situs pemujaan tersebut. Hal itu dijumpai pada beberapa situs yang justru banyak dimanfaatkan oleh publik luar daerah sebagai tempat mencari berkah demi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan emblem sosial tertentu. Saat ini, keragaman sosio-kultural yang muncul dapat dikategorikan ke dalam 2 kelompok, yaitu dalam skema sosio-ekonomi tertemukan kelompok masyarakat pelaku aktivitas ekonomi yang terjalin tak hanya secara internal, tetapi juga secara eksternal dengan mekanisme pasar di luar Trowulan. Dalam skema kultural, jalinan eksternal yang sama terbentuk dengan komunitas yang mengambil manfaat dari situs-situs pemujaan dalam hal ini termasuk pendirian beberapa fasilitas pemujaan baru. Beberapa kepercayaan dan keyakinan hidup bersama dalam ruang dan waktu yang sama. Ruang kawasan pusat situs Majapahit ini secara historis telah mengalami pluralisme dan relativisme sekaligus. Pluralisme tampak pada kenyataan adanya kecenderungan
atau
pandangan
yang
menghargai
kemajemukan
serta
penghormatannya terhadap keberbedaan serta keterlibatannya dalam proses dialog
|4
dalam rangka mencari persamaan. Relativisme dipahami sebagai sebuah pandangan mengenai kebenaran relatif dari nilai dan kebenaran yang ditentukan oleh pandangan hidup dan kerangka berpikir setiap individu atau masyarakat (Kartodirdjo, 1992). Perubahan kerangka pikir dalam pengertian relativisme di atas, tertemukan pada kenyataan eksistensi ruang yang berubah menjadi potensi ekonomi yang dimanfaatkan pihak-pihak yang berkepentingan, misalnya: lahan pertanian sawah menjadi pekebunan tebu, kemudian menjadi lahan industri batu bata; situs pemujaan menjadi tempat pencapaian tujuan ekonomi, berdagang, dan sebagainya. Dalam konteks sosiologi atau praktik sosial keagamaan, terbentuknya mentalitas keyakinan-keyakinan keagamaan dapat mengantarkan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi. Praktik-praktik semacam itu pada akhirnya membentuk keunikan karakter setiap lokus atau ruang sesuai dengan pluralitas yang terjadi: spiritual, ekonomi, budaya dan sosial. Sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafat, pemaknaan kebudayaan ―yang semula dipahami sebagai pedoman dalam tingkah laku dan “cetak-biru” pengarah perjalanan hidup manusia― berkembang dan bergeser pada pemaknaan diferensial yang dipahami sebagai suatu sistem tentang konsepsi yang mewujud sebagai simbol, sebagai cara manusia untuk berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan serta sikapnya terhadap kehidupan (Bakker, 1984; Abdullah, 2006). Dengan pergeseran makna dan pemosisian kebudayaan ini, maka makna atas simbol menuju pada arah yang relatif dan terbuka untuk diperdebatkan. Seiring dengannya, perubahan masyarakat yang makin terintegrasi dalam suatu tatanan lebih luas dan bersifat global, mengarah pada kecenderungan pencairan batas ruang fisik yang semula menjadi dasar penentuan batas-batas atau pengelompokan suatu kebudayaan. Akibatnya, makna suatu simbol sangat tergantung pada struktur hubungan sosial dan kekuasaan yang berubah. Ruang yang menjadi wadah tempat kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dilestarikan dan atau diubah, mau tak mau memerlukan-mengalami redefinisi sejalan dengan pertumbuhan dan pergeseran pemaknaan kebudayaan tersebut. Orientasi nilai baru dalam pemanfaatan sekaligus penataan ruang menunjukkan pergeseran pandangan dan gaya hidup penghuni dan penggunanya, kepentingan
|5
dan kekuasaan yang menjadikannya sebagai objek kompetitif, yang pada akhirnya menjadikan kebudayaan lebih banyak melayani dan dimanfaatkan bagi legitimasi kepentingan pihak-pihak tersebut. Ruang kawasan pusat situs Majapahit Trowulan pun dipahami sebagai rajutan simbol objek material (artefak) dan interaksi sosial yang maknanya dihasilkan oleh suatu proses yang melibatkan pandangan dan kepentingan banyak pihak, dan terintegrasi dalam suatu tatanan dunia lebih luas.
1.2. Pertanyaan Penelitian Persoalan penting menyangkut ruang sebagai wadah kebudayaan yang mengiringi perkembangan makna kebudayaan sebagai suatu sistem simbol, mengarahkan penelitian ini pada rumusan masalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana ruang terbentuk melalui simbol-simbol objek material (artefak) dan interaksi sosial, Kedua, apa ideologi dibalik kenyataan simbol objek material dan hubungan-hubungan antara manusia sebagai penghuni-pengguna ruang dengan artefak-artefak, dan bagaimana ideologi tersebut terbentuk dan berproses mempengaruhi dan mencipta ruang Kawasan Pusat Situs Purbakala di Trowulan? Ketiga, apa makna dibalik fenomena ruang-ruang dari, dan ruang Kawasan Pusat Situs Purbakala Majapahit?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memahami makna dibalik fenomena ruang-ruang dari, dan ruang Kawasan Pusat Situs Purbakala Majapahit yang terbangun melalui simbol-simbol objek material (artefak) dan interaksi sosial. Lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk: −
menggali simbol-simbol objek material (artefak) dan interaksi sosial, dan membangun pemahaman mengenai terbentuknya ruang melalui simbolsimbol tersebut,
|6
−
menggali ideologi di balik kenyataan simbol objek material dan hubunganhubungan antara manusia sebagai penghuni-pengguna ruang dengan artefakartefak pada Kawasan Pusat Situs Purbakala di Trowulan, dan membangun pemahaman mengenai bagaimana ideologi tersebut terbentuk dan berproses mempengaruhi dan mencipta ruang,
−
menemukan makna di balik fenomena ruang-ruang dari, dan ruang Kawasan Pusat Situs Purbakala Majapahit. Simbol adalah lambang yang mengekspresikan ide, motif, pengalaman,
pengetahuan, dan keyakinan manusia penciptanya, yang terikat konteks ruang dan waktu (Geertz, 1973; Susanne dan Shibutani dalam Sobur, 2009). Ideologi yang dimaksud di sini adalah konsep tersistem yang menjadi azas, yang memberikan arah dan tujuan dalam kelangsungan hidup seseorang, meliputi kesatuan ide, orientasi nilai, mitos dan segala struktur kesadaran. Kesatuan ide dipahami sebagai gagasan-gagasan yang tersusun dalam pikiran. Orientasi nilai merupakan kecenderungan/titikberat pandangan terhadap hal-hal yang dianggap berguna bagi individu atau sekelompok orang. Mitos adalah penafsiran tentang asal-usul semesta alam dan manusia atau suatu bangsa yang ditransmisikan secara historis dan mendalam dalam wujud cerita-cerita serta menjadi kepercayaan bagi masyarakat yang meyakininya. Struktur kesadaran dipahami sebagai suatu cara penyusunan pengertian mengenai pengalaman yang dialami - dirasakan dan membentuk kesadaran bagi individu, atau dapat juga dipahami sebagai suatu susunan pengertian tentang pengalaman tersebut (Kartodirdjo, 1992). Dengan demikian, yang dimaksud penggalian makna ruang yang menjadi tujuan penelitian ini adalah penggalian kesatuan perwujudan pandangan hidupkehidupan, gagasan, cita-cita, orientasi nilai dan sistem kepercayaan dari suatu individu/kelompok dibalik simbol-simbol objek material (artefak) dan interaksi sosial yang membentuk ruang.
|7
1.4. Manfaat Penelitian Dengan tergalinya makna ruang, penelitian ini diharapkan dapat: pertama, menyumbangkan temuan-temuan dari sudut pandang sosio-kultural pada teori ruang; kedua, menyumbangkan pendekatan sosial-ekonomi-budaya-spiritual yang berakar pada nilai-nilai lokal pada teori perencanaan dan perancangan ruang. Ketiga,
temuan-temuan
kajian
tentang
makna ruang
diharapkan
dapat
memperkaya metode penelitian maupun metode pendekatan dalam perencanaan dan perancangan ruang pada tema sejenis.
1.5. Keaslian Penelitian Disadari bahwa sudah begitu banyak penelitian yang dilakukan para ahli dalam negeri maupun luar negeri mengenai Majapahit dari tinjauan fisikgeografis, arkeologis, masyarakat dan kepercayaan, kebudayaan, aktivitas ekonomi juga sejarahnya. Sebagian besar kajian tersebut terbatas pada salah satu aspek saja. Beberapa di antaranya: arkeologi dan inskripsi
Majapahit yang
dilakukan Mundarjito, Wawan Yogaswara, Lies Mariani, dan Agus Aries Munandar dari Universitas Indonesia, Slamet Mulyana; arsitektur-hunian Majapahit dilakukan oleh Graaf (1936), Bondan Hermani Slamet (1999), Parmono Atmadi; artefak dan ornamen Majapahit oleh Ufi Saraswasi, Sudarti, Mundardjito, dan Agus Aries Munandar dari Universitas Indonesia; ruangkosmologi dan atau makna ruang secara umum oleh Karlina Leksono Supelli, Laksmi Gondokusumo Siregar, Osrifoel Oesman; kebudayaan-keyakinan dan akulturasi Jawa-Majapahit oleh Moehamad Habib Mustopo (1986), Hery Santosa; dan sejarah oleh Pigeaud dan de Graaf (1974 dan 1976). Penelitian pada lokus yang sama dan dalam fokus penelitian eksplorasi makna ruang, belum pernah dilakukan. Melalui cara pandang fenomenologi Husserlian, penelitian ini pada dasarnya diarahkan pada tujuan tergalinya makna ruang. Simbol-simbol artefak dan interaksi sosial yang berkaitan dengan fenomena keruangan pada pusat-kawasan situs purbakala Majapahit di Trowulan, akan dipahami sebagai artikulasi dari nilai-nilai yang beragam dan senantiasa
|8
berubah,
yang akan dikaji dan dipergunakan menyingkapkan makna ruang.
Selain fokus penelitian, pilihan metodologi penelitian fenomenologi sekaligus menjadi pembeda antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
|9