1 BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar belakang masalah
Dalam semua agama ditemukan pola mistik sebagai puncak penghayatan keagamaan. Dalam hal ini ekstase adalah tahap akhir dari pengalaman mistik itu, dimana jiwa bersatu dengan Tuhan.1 Dimensi penghayatan keagamaan tersedia dalam simbol-simbol untuk merumuskan pengalaman mistis. Pengalaman mistis inilah sebagai landasan terbentuknya fenomena keagamaan. Perumusan simbolsimbol dari pengalaman mistis ini akan selalu berhubungan erat dengan hasrat beragama, yaitu mistik. Dalam hal ini tujuan mistik religius ialah mengalami perjumpaan dengan Allah atau Yang Ilahi dalam suatu intuisi yang langsung2, dan ekstase mengambil bentuk yang jelas sebagai tahapan akhirnya.
Dengan melihat pola mistik terbentuknya suatu agama, maka agama bersifat unik dan juga subyektif. Maka terlihat aneh ketika orang beragama kemudian mempertentangkan bahkan mempertandingkan puncak penghayatan agamanya dengan agama milik orang lain. Transfer atas pengintepretasian simbol-simbol seringkali dibatasi oleh legitimasi atas pembenaran yang lebih dari simbol-simbol agama lain. Inilah yang menjadikan potret buram atas kiprah agama selama ini. Kebenaran yang subyektif sifatnya dalam wadah penghayatan keagamaan, dipakai untuk menghantam kebenaran subyektif lainnya.
Kita dapat melihat contoh-contoh dari kiprah para tokoh-tokoh besar di bidang kemanusiaan, seperti bunda Teresa dan Mahatma Gandhi. Di balik kiprahnya, adakah kekuatan yang menjadi penyemangat dan yang akan membentuk cara pandang religiusitasnya? Hipotesa awal penyusun adalah kekuatan tersebut dapat dijelaskan secara psikologis. Dengan sudut pandang psikologi maka akan didapatkan pengertian yang memadai mengenai sebab-sebab mengapa orang berpikir dan bertindak seperti yang mereka lakukan.3 Kita dapat melihat ada tidaknya suatu kekuatan yang menjadikannya mampu membebaskan diri dari belenggu kehendak, kepentingan dan bahkan 1
Kees Bertens, Agama, Mistik, dan Ecstasy, artikel Kompas, Rabu 12 November 2003 Nico Syukur Diester, Psikologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), p. 13 3 Rita L. Atkinson, dkk, Pengantar Psikologi edisi ke sebelas, jilid 1, (Batam: Interaksara, tanpa tahun), p. 14 2
2 kebutuhan mendasar akan hidupnya, ketika ia mampu secara aktif dan kreatif mengolah segenap potensi yang ada dalam dirinya. Kehidupan demikian sering disebut orang sebagai seorang mistikus, yang dalam strata sosial menempatkan diri sebagai kaum bijak dari umat pada umumnya. Mereka berani menjalani hidup mistis karena terinspirasi oleh pengalaman-pengalaman mistisnya, yaitu suatu pengalaman yang tidak bisa diungkapkan oleh kata dan bahasa. Pengalaman yang juga tidak dapat digantikan dengan obat-obatan pelumpuh saraf, sebagai bentuk manipulasi untuk menuju pengalaman mistis.
II.
Permasalahan
Dengan melihat subyektifitas dari inti penghayatan keagamaan yang mendasarkan pada pengalaman berpola mistis, maka sebenarnya pengalaman keagamaan juga menyangkut makna citra diri, identitas atas sebuah hubungan sosial yang telah terbentuk. Jadi ketika masuk dalam inti penghayatan keagamaan, maka kita akan melihat identitas keagamaan yang terpancar dalam setiap pengalaman-pengalaman berpola mistis. Dalam mengalami penghayatan keagamaan tersebut, maka setiap orang akan memiliki pemahaman yang berbeda satu dengan yang lain dan karena itu akan terdapat jalinan relasi antar penghayatan keagamaan. Ketika melihat keterkaitan penghayatan keagamaan tersebut berinteraksi dengan penghayatan keagamaan yang lain, kita perlu mengetahui deskripsi yang memadai tentang puncak penghayatan keagamaan itu sendiri, yang berpola mistis. Dengan deskripsi yang memadai, maka kita akan lebih mampu untuk melihat fenomena-fenomena keagamaan dalam rangka penarikan kesimpulan serta aksi-aksi teologis.
Jika kita melihat fenomena terbentuknya sebuah institusi keagamaan, maka akan selalu bersinggungan dengan sebuah kenyataan mistis dalam pencapaian inti penghayatan keagamaan. Untuk dapat memahami perilaku manusia tentang landasan terbentuknya pola mistik suatu agama, yaitu pengalaman berpola mistis, maka psikologi sebagai ilmu pengetahuan empiris atau positif dapat dipakai. Psikologi hanya mampu menyajikan argumentasi pada hal-hal yang inderawi dan akal budi, lebih dari itu psikologi tidak dapat memberikan argumentasi apa-apa. Namun dalam keterbatasannya, psikologi berguna untuk mamahami proses-proses psikologis mana yang terlibat dalam fenomena keagamaan.4 4
scn 2, p. 9-10
3
Seorang psikolog Abraham Harold Maslow pernah mengungkapkan pandangannya tentang fenomena terbentuknya suatu agama yang pada dasarnya adalah kembali kepada relasi manusia dengan yang ilahi. Menurutnya terdapat hasrat akan kesatuan, kepenuhan dan kebulatan yang merupakan tempat timbulnya agama sebagai asal-usul psikologis dari eros agamawi. Di sisi lain hasrat tersebut belum begitu saja disebut agama, tempat timbulnya agama adalah tidak sama dengan agama itu sendiri.5 Jadi terbentuknya institusi keagamaan adalah pencapaian kepada inti penghayatan yang didirikan dalam bangunan doktriner keagamaan, yaitu pola relasi manusia dengan yang ilahi. Tetapi bangunan keagamaan itu tidak selalu identik dengan inti yang selalu dibawanya. Institusi keagamaan hanyalah semacam baju untuk menggambarkan aturan-aturan, jalan, atau caracara dalam rangka pencapaian inti penghayatan yang bersifat mistik. Di sini kita dapat melihat bahwa semangat membangun institusi keagamaan adalah membawa umat untuk mampu dibawa kepada inti agama tersebut, yakni menuju pengalaman “mistis”, suatu pengalaman kesatuan, kepenuhan dan kebulatan dalam sebuah relasi manusia dengan yang ilahi.
Relasi manusia dengan yang ilahi didapat dari jalan agama, ketika menjalani aturan-aturan dan menghayati doktrinal agama untuk menuju pengalaman mistis. Di sisi yang lain relasi manusia dengan yang ilahi dapat pula sebagai pembuktian dari kebenaran doktrinal agama yang notabene adalah menuju relasi manusia dengan yang ilahi. Dalam kajian psikologi sebagai ilmu empiris, maka saat ini kita akan melihat secara khusus titik berangkat pengalaman konkrit relasi manusia dengan yang ilahi. Pengalaman konkrit demikian adalah relasi yang bersifat mistis.
Martin Buber pernah mengungkapkan pandangannya untuk menjelaskan relasi ‘mistis’ antara manusia dan Engkau Abadi. Buber berangkat dari pemahaman bahwa manusia selalu tidak pernah berdiri sendiri. Manusia akan selalu berada dalam relasi. Pola hubungan yang pertama adalah I-You (I-Thou) dan yang kedua adalah I-It. Kedua relasi ini terbangun karena manusia dalam dunia bersikap ganda. Mengapa? Karena selalu terdapat dua kata dasar (basic words) yang tidak pernah berdiri sendiri.6 Persoalan keagamaan juga tidak bisa lepas dari kata dasar ini. Dalam melihat relasi manusia dengan Allah, Buber menolak pemahaman kesatuan mistis antara manusia dengan Allah yang berarti meleburnya manusia dalam diri Allah. Kesatuan peleburan dengan Allah bukanlah 5 6
sda, p. 27 Martin Buber, I And Thou, terj. Walter Kaufmann, (New York: Charles Scibner’s Sons, 1970), p.53
4 dalam suasana yang ekstasis. Situasi tersebut adalah dinamika dalam pola relasi manusia dengan Allah. Jadi pembicaraan bukanlah mengenai Allah dan bagaimana manusia meleburkannya, melainkan relasi terhadapnya.7 Buber menolak usaha-usaha pencarian Allah melalui jalan-jalan meditasi, karena dengan mencari adalah sikap bodoh dan tidak berpengharapan.8
Maslow tidak berseberangan dengan pandangan Buber yang demikian, ketika melihat penjelasannya mengenai pengalaman-pengalaman puncak kepenuhan dalam menerangkan seseorang yang berkepribadian sehat. Pengalaman-pengalaman puncak merupakan pengalaman spontan dan dapat saja terjadi tiba-tiba dan kadang-kadang terjadi setiap hari dalam tensi kuat ataupun ringan.9 Agaknya hal inilah sebagai dinamika dalam pola relasi manusia dengan Allah atau yang transenden. Dalam pola relasi yang demikian kita akan melihat lebih jauh pengistilahan pengalaman puncak dan pengalaman mistik seperti yang dikemukakan oleh Maslow; apakah sejenis ataukah berbeda? Lebih lanjut, Maslow melihat keterkaitan antara pengalaman-pengalaman puncak dengan kepribadian sehat yang digambarkan sebagai orang yang mengaktualisasikan diri.
Seorang yang mampu dengan begitu tegarnya mengeksplorasi segenap potensi-potensi manusiawinya dibahasakan oleh Maslow sebagai orang yang telah mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri sebagai puncak akan kebutuhan manusia. Gerakan menuju aktualisasi diri ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang otomatis. Meski manusia memiliki kapasitas untuk bertumbuh, namun hanyalah sedikit orang yang mampu mencapai tahap demikian.10
Dengan melihat latar permasalahan di atas, penyusun akan merujuk atas sudut pandang psikologi humanistik dari Abraham Harold Maslow, tentang fenomena keagamaan dalam pola-pola mistik tersebut. Maslow memakai istilah pengalaman-pengalaman puncak dalam melihat realitas hubungan jiwa dengan Tuhan. Bagaimana keterkaitan antara aktualisasi diri dan pengalaman-pengalaman puncak dalam membawa inspirasi kepada tindakan-tindakan nyata? Berdasar atas penyelidikan yang dilakukan Maslow, ternyata orang-orang yang telah mengaktualisasikan diri telah mampu
7
sda, p. 135 sda, p. 128 9 Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian Sehat, terj. Drs. Yustinus MSc. OFM, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), p. 105 10 Lili Wulansari, Abraham Harold Maslow dalam Mengenal Teori Kepribadian Mutakhir (Paulus Budiharjo (ed), (Yogyakarta: Kanisius, 1997), p. 166 8
5 menunjukkan kegiatan yang intensif di bidang cinta kasih, kesenian, ilmu pengetahuan dan agama.11 Berdasarkan hal ini penyusun mempunyai asumsi dasar, bahwa kaum agamawan yang bergerak dalam kegiatan intensif bidang keagamaan sebagai wujud aktualisasi dirinya dapat berperan sebagai transformator dari umat. Peran transformasi ini dapat kita lihat dalam pergerakan agamawan untuk membimbing umat kepada kepribadian yang beraktualisasi diri, dan kepada pengalamanpengalaman puncak. Karenanya transformasi di bidang agama dapat kita lihat sejauh mana pengaruh yang dibawa dari terjaganya relasi manusia dengan yang ilahi dari umat, mampu menjadi daya gerak untuk merespon persoalan-persoalan faktual dalam aktualitas dirinya.
III.
Batasan masalah
Skripsi ini akan membatasi pembicaraan tentang aktualisasi diri dan pengalaman-pengalaman puncak dari sisi psikologi agama. Bagaimanakah pengalaman-pengalaman puncak menjadi landasan dalam puncak penghayatan keagamaan? Dan bagaimanakan keterkaitan pengalaman puncak dengan pribadi yang beraktualisasi diri?
IV.
Judul
Berdasarkan latar belakang permasalahan, permasalahan dan pembatasannya, maka skripsi ini diberi judul: Aktualisasi Diri Dan Pengalaman Puncak Menurut Abraham Harold Maslow (Suatu Tinjauan Teologis)
V.
Tujuan penulisan A. Mendeskripsikan pemikiran Maslow tentang aktualisasi diri dan pengalaman puncak. B. Meninjau pemikiran Maslow tentang aktualisasi diri dan pengalaman puncak secara teologis.
11
scn 2, p. 27
6 VI.
Metode pembahasan
Skripsi ini disajikan dengan bentuk pembahasan deskriptif-analisis. Pertama-tama akan dipaparkan bagaimana konsep aktualisasi diri dan pengalaman-pengalaman puncak seperti yang dimaksud oleh Maslow. Selain pemaparan deskriptif dari pemikiran Maslow, juga akan didiskusikan dengan tulisan-tulisan lain selama masih dalam satu topik bahasan.
VII.
Sistematika pembahasan
Dengan menggunakan metode deskriptif-analisis, skripsi ini akan disajikan dalam sistematika sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, permasalahan, batasan masalah, judul, tujuan penulisan, metode pembahasan dan sistematika pembahasan. Bab II. Psikologi Humanistik Abraham H Maslow A. Riwayat hidup B. Latar belakang psikologi C. Psikologi humanistik Bab III. Aktualisasi diri dan Pengalaman-pengalaman puncak A. Aktualisasi diri B. Pengalaman-pengalaman puncak Bab IV. Tinjauan teologis terhadap aktualisasi diri dan pengalaman puncak Bab V. Kesimpulan