BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah Semangat globalisasi yang pada awalnya ingin mempersatukan dan meleburkan batas-
batas wilayah menyebabkan banyak persoalan. Saat ini disadari bahwa pemain-pemain utama dari globalisasi adalah mereka yang mendominasi pengetahuan dan kepemilikan modal. Globalisasi sepertinya tidak jauh berbeda dengan masa kolonialisasi dimana ada relasi yang tidak setara antara satu negara dengan negara lainya. Masa kolonialisasi dan globalisasi sesungguhnya meninggalkan jejak yang sama yaitu melihat bangsa dunia ke tiga sebagai objek demi kepentingan-kepentinganya. Keagungan budaya barat dan eropa yang selama ini digambarkan kaumnya membentuk masyarakat Indonesia banyak meniru kebudayaan khas barat, Salah satu contohnya adalah fenomena makanan cepat saji. Di Indonesia makanan cepat saji adalah bagian dari kebudayaan sehari-hari yang mudah ditemukan. Konsep tersebut pada awalnya lahir di Amerika dengan dibukanya rumah makan-rumah makan makanan cepat saji ternama seperti KFC, Mcdonald, Pizza Hut dan masih banyak lagi. Eric Schlosser (2004 : 5) Menjelaskan pada tahun 1968, makanan cepat saji McDonald telah mengoperasikan seribu restoran, Tiap tahun perusahaan tersebut diperkirakan memperkerjakan sekitar satu juta orang. Bisa dibayangkan bagaimana perusahaan makanan cepat saji tersebut begitu mempengaruhi kehidupan banyak dari masyarakat, baik sebagai konsumen atau sebagai pekerja yang bergabung pada korporasi tersebut. Konsep makanan cepat saji yang dinilai efisien dan menghasilkan keutungan mengakibatkan banyak masyarakat dibelahan dunia manapun meniru konsep penjualan makanan dengan cepat tersebut. Para perusahaan makanan cepat saji memiliki target untuk membuka cabang diseluruh negeri. Negara-negara berkembang merupakan tujuan yang menghasilkan banyak keuntungan.. Rasanya tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia dimana makanan cepat saji menjadi
begitu biasa sehingga membentuk persepsi tersendiri bagi penikmatnya.
Efisiensi waktu serta rasa yang universal bisa menjadi sebuah alasan pemilihan konsumsi makanan cepat saji. Tidak hanya sampai pada rasa dan efisiensi waktu konsumsi, makanan cepat saji di negara berkembang juga menunjukan relasi kelas bagi konsumenya. Lahirnya
makanan cepat saji yang berasal dari negara-negera maju, membuat kebudayaan yang hadir didalam rumah makan tersebut memiliki status yang lebih tinggi. Indonesia juga merupakan tempat dimana makanan cepat saji tumbuh menjamur, baik yang asli dari negeri asalanya maupun makanan cepat saji lokal sebagai bentuk dari peniruan budaya. Fenomena makanan cepat saji sepertinya telah menjelma menjadi alat konsumsi baru. Pergerakan masyarakat ke ranah yang lebih modern menyebabkan fokus produksi telah bergeser kepada konsumsi. Makanan cepat saji seolah merasionalkan kegiatan konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan makanan menjadi lebih mudah. Rumah makan makanan cepat saji dapat ditemui dimana saja. Standart pelayanan serta penyajian makanan sudah diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi permintaan konsumen. Masyarakat dari latar belakang apapun dapat dengan mudah menikmati makanan cepat saji. Namun berkembangnya zaman melahirkan banyak variasi dari makanan cepat saji. Dalam penelitian kali ini makanan cepat saji digolongkan menjadi dua yaitu makanan cepat saji dan makanan cepat saji lokal. Makanan cepat saji lokal merupakan produk imitasi dari makanan cepat saji paa umumnya. Melihat saat ini makanan cepat saji sudah menjadi bagian dari kewajaran baik yang lokal maupun non lokal membuat hal ini menarik untuk dilihat lebih jauh bagaimana bentuk peniruan yang terjadi tehadap makan cepat saji, baik melalui aspek budaya, simbol simbol yang di produksi serta aspek peniruan lainya. Makanan cepat saji lokal sebut saja contohnya Olive Fried Chicken, Popeye Fried Chicken, Jogja Fried Chicken, Golden Chicken hadir dalam rangka memenuhi kebutuhan pemenuhan konsumsi makanan masyarakat Yogyakarta. Keberadaan makanan cepat saji lokal dirasakan sangat akrab dengan mahasiswa dan mahasiswi Yogyakarta. Rasa yang enak dan harga yang murah kiranya bisa menjadi alasan utama mengapa makanan cepat saji lokal disenangi oleh masyarakat khususnya mahasiswa dan mahasiswi yang berdomisili di Yogyakarta. Dalam kehidupan sosial masyarakat mengalami proses penyesuaian tingkah laku Sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajarinya. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam proses penyesuaian tersebut adalah meniru. Pada penelitian kali ini akan dilihat bagaimana imitasi yang terjadi pada rumah makan cepat saji lokal. Rumah makan cepat saji lokal merupakan sebuah fenomena yang dapat dilihat pada negara berkembang contohnya Yogyakarta. Fenomena meniru tersebut dilatarbeakangi oleh berbagai faktor. Golden Chicken
merupakan salah satu prouk imitasi dari rumah makan cepat saji yang saat ini terdapat diyogyakarta. Golden Chicken kiranya dapat menjelaskan bagaimana salah satu bentuk imitasi yang terjadi pada dunia kuliner. Rumah makan cepat saji lokal menjadi fenomena yang sangat menarik, proses peniruan yang dilakukan oleh Golden Chicken berangkat dari beberapa aspek yang saling berkaitan antara lain: Sejarah, kondisi sosial masyarakat, kebijakan pemerintah saat itu, dominasi pasar dan beberapa faktor lainya. Berikutnya akan dijelakan persepsi dari pendiridan pengelola Golden Chicken dalam melihat makanan saji sebagai objek serta produk dari imitasi yang telah diciptakanya yaitu Golden Chicken salah satu makanan cepat saji lokal yang telah berdiri sejak tahun 1997.
II.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Proses Mcdonalisasi yang terjadi pada Golden Chicken? 2. Karakteristik Imitasi seperti apa yang ditiru oleh Golden Chicken?
III.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana proses imitasi yang terjadi pada makanan cepat saji melalui makanan cepat saji lokal. Belakangan ini makanan cepat saji berkembang cukup pesat, hal tersebut ditandai dengan munculnya produk tiruan dari makanan cepat saji barat. Produk tiruan dari makanan cepat saji barat adalah makanan cepat saji dengan merek lokal. Menarik melihat bagaimana makanan cepat saji lokal berkembang dengan meniru beberapa elemen dan simbol yang terdapat pada makanan cepat saji global serta alasan-lasan dari tebentuknya makanan cepat saji lokal. Pemenuhan kebutuhan makan merupakan hal yang sangat esensial bagi seluruh maysarakat. Makanan cepat saji lokal hadir untuk memenuhi kebutuhan makanan yang cepat dan praktis. Penawaran harga yang lebih murah sering dimanfaatkan oleh pendiri rumah makan untuk pencapaian untung serta alternatif dari makanan cepat saji barat. Harga yang relative murah dimanfaatkan oleh mahasiwa untuk pemenuhan kebutuhan
makan. Penelitian ini ingin melihat bagaimana makanan cepat saji lokal dalam melihat fenomena makanan cepat saji, alasan-alasan terbentuknya makanan cepat saji lokal, perbedaan makanan cepat saji lokal dan global serta melihat produk makanan cepat saji lokal dari beberapa sudut pandang ilmu pengetahuan seperti sosial budaya dan ekonomi.
IV.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu menambahkan literatur terkait kajian sosiologis yang telah hadir di Indonesia khususnya mengenai makanan. Makanan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan oleh semua masyarakat dan akan sangat menarik bila hal yang dekat dengan keseharian tersebut untuk diteliti lebih lanjut. Makanan khususnya makanan cepat saji merupakan satu fenomena yang tidak terelakan. Kecepatanya berkembang sangat berjalan lurus dengan kemajuan zaman, untuk merespon hal tersebut maka kajian ini diharapkan dapat memberikan pengetuhan lebih dalam mengenai dinamika makanan cepat saji. Respon terhadap Globalisasi yang kian semarak menyebabkan beragamnya produk untuk dikonsumsi. Makanan cepat saji misalnya, keberagamanya pun sudah bergerak dengan cepat. Masyarakat dapat memilih konsumsi keseharianya dengan berbagai macam variasi pilihan. Sanagat menarik meneliti lebih dalam terkait proses meniru yang dilakukan oleh makanan cepat saji lokal.
V.
Tinjauan Pustaka
a. Pemaknaan Makanan Cepat Saji pada Masayarakat Kelas Bawah
Penelitian mengenai makanan cepat saji sebelumnya pernah dilakukan oleh Reny Pebriasari mahasiwi jurusan Sosiologi Universitas Gajah Mada dalam skripsinya pada tahun 2012. Dalam penelitian tersebut peneliti mencoba menjelaskan bagaimana Pemaknaan makanan cepat saji pada masyarakat kelas bawah. Pada bagian awal peneliti menjelaskan bagaimana spesifikasi masyarakat kelas bawah dan siapa sajakah masyarakat yang bisa digolongkan sebagai masyarakat kelas bawah. Penggolongan masyarakat tersebut dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan kerangka teori kelas milik max webber, dimana masyarakat secara umum dibedakan
menjadi tiga golongan yaitu: kelas atas (upper class), kelas menengah (midle class) dan kelas bawah (lower class), selanjutnya peneliti mencoba mengumpulkan informasi mengenai pemaknaan makana cepat saji pada salah kelas yaitu kelas bawah. Hasil dari penelitian tersebut adalah mayoritas dari masyarakat kelas bawah yang mengunjungi rumah makan makanan cepat saji mcdonalds adalah masyarakat berusia remaja yang belum memiliki penghasilan sendiri. Selanjutnya pengunjung biasanya mengkonsumsi makanan-makanan sekunder seperti: es krim, minuman soda, kentang dan lain-lain. Mayoritas responden menyebutkan bahwa makanan cepat saji memiliki arti makanan yang praktis dan cepat dalam proses penyajian. Beberapa responden menyebutkan bahwa makanan cepat saji juga sebagai bagaian dari makanan barat. Dalam penelitian tersebut peneliti menyebutkan bahwa masyarakat tidak menyebutkan secara langsung bagaimana makna makanan cepat saji bagi kehidupan mereka hanya sebatas alat pemenuh kebutuhan dasar manusia yaitu keutuhan untuk makan, namun peneliti berasumsi dalam era modern seperti saat ini fenomena tersebut tidak terlepas dari nilai budaya yaitu sebagai simbol dari status sosial tertentu.
b. Fast Food sebagai Identitas Baru di Kalangan Kaum Muda Penelitian berikutnya adalah mengenai makanan cepat saji yang ditelusuri melalui kaca mata budaya. Penelitian ini berjudul Subjektivitas dan Identitas Kebudayaan Indonesia : FastFood sebagai Identitas Baru di Kalangan Kaum Muda. Penelitian ini dilakukan oleh Evi Fadillawati Mahasiswi Pendidikan Sosiologi 2011, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta. Peneliti mencoba melihat bagaimana makanan cepat saji sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat modern. Fenomena menjamurnya makanan cepat saji dianggap telah mengubah selera pemenuhan kebutuhan makan masyarakat Indonesia. Peneliti menilai bahwa makanan cepat saji merupakan bagian dari budaya populer, budaya populer menurutnya yakni budaya dominan yang sedang digemari oleh suatu masyarakat. Kedatangan makanan cepat saji di Indonesia pada tahun 1970 an hingga saat ini berhasil membuka rumah makan hampir diseluruh pelosok daerah. Menjamurnya makanan cepat saji tersebut menjadikan salah satu bukti bahwa makanan cepat saji digemari. Tidak hanya sampai disitu, Peneliti menilai bahwa Fenomena makanan cepat saji sering digunakan oleh kaum muda sebagai tempat
memproduksi simbol khas kelompok sosial tertentu. Keterlekatan makanan cepat saji dan modernitas dianggap mampu menjadi penanda bahwa siapa saja yang mengkonsumsinya adalah bagian dari kelas sosial yang memiliki pengetahuan akan modernitas. Disisi lain peneliti juga menganggap bahwa makana cepat saji merupakan bagian dari budaya massa, Dimana makanan cepat saji menyebar dan menjamur dengan campur tangan media massa. Hal tersebut dapat dilihat melaui iklan-iklan yang dipasang berganti-ganti dalam periode waktu tertentu. Budaya massa menurut peneliti memiliki tujuan guna menarik massa dan memperoleh keuntungan. Makanan cepat saji hadir guna memenuhi kebutuhan makan lalu bertambah nilai menjadi simbol bagi suatu kelas tertentu serta bagian dari budaya massa dimana iklan serta penawaran promosi dilakukan melaui media untuk mempengaruhi masyarakat. Makanan cepat saji dalam kacamata cultural studies melihat bahwa identitas serta selera masyarakat merupakan kontruksi yang dibuat oleh lingkungan sekitarnya. Pada dasarnya makanan cepats aji merupakan sebuah sarana ekonomi waralaba yang diperdagangkan keseluruh dunia. Kepentingan dalam bisnis tersebut murni demi mendapatkan keuntungan dan melipat gandakan modal. Sisi sebaliknya mencoba mengkemas makanan cepat saji sebagai budaya populer karena beragam manfaat seperti rasa yang universal (dapat diterima oleh banyak orang), Efisien serta efektif selain itu makanan cepat saji juga menawarkan simbol-simbol kelas tertentu. Pada kesimpulan peneliti menambahkan bahwa muara dari menjamurnya makanan cepats aji sesungguhnya adalah perangkap kapitalisme yang mencoba membentuk identitas baru.
c. Peran Modal Sosial dalam Menciptakan Jaringan Pengembang Kegiatan Ekonomi
Penelitian berikutnya adalah mengenai rumah makan cepat saji lokal Yogya chicken. Dalam penelitian kali ini peneliti inging melihat bagaimana modal sosial serta jaringan berperan dalam upaya pengembangan bisnis. Peneliti melihat bahwa yogya Chicken merupakan perusahaan lokal yang cukup kuat untuk bersaing dengan rumah makan lainya. Hal tersebut terbukti dengan bertahanya Yogya Chicken pada masa krisis, merebaknya virus fluburung dan kenaikan harga ayam yang sangat fluktuatif.
Penelitian ini dibuat dengan studi life story dari pendiriYogya Chiken, Pendirimenceritakan sejarah serta bagaimana pada awalnya rumah makan Yogya Chicken tersebut berdiri. Data diperoleh melalui Observasi, Wawancara serta dokumentasi. Metode pembingkai penelitian adalah metode penelitian kualitatif deskriptif. Pemilihan Informan dilakukan melalui Metode Purposive dengan fokus penelitian di kantor pusat Yogya Chicken di Jl Gejayan Palemkecut no. 36 B, Rt13/ RW 04, Depok, Sleman, Yogyakarta. Dalam temuan penelitian, peneliti menunjukan bahwa ada beberapa modal yang digunakan Yogya Chicken dalam pengembangan usahanya. Modal yang pertama digunakan adalah modal sosial. Menurut peneliti modal sosial merupakan kunci utama dari berlangsungnya usaha Rumah makan cepat saji lokal Yogya Chicken. Peneliti membagi menjadi lima kategori dari penjabaran modal sosial antara lain: (1) modal awal yang diberikan oleh seseorang bernama Totok Diyarto kepada
rekanya
Sukarsisi.
(2)
Hubungan
dengan
pihak
Suplierr
yang
mengandalkan kepercayaan menimbulkan keuntungan bagi kedua belah pihak. (3) system pemasaram melalui bentuk Word of mouth. (4) Sistem perekrutan yang tidak hanya mengutamakan keahlian namun juga relasi. Menurut peneliti system perekrutan internal bertujuan untuk membangun kepercayaan yang lebih besar kepada karyawan. (5) membangun kemitraan yang mendasarkan angka pembagian hasil hal tersebut ditujukan untuk memperkuat usaha karena tidak hanya sematamata melihat dari segi keuntungan. Modal berikutnya adalah modal ekonomi yaitu berupa uang sebagai modal awal usaha yang kemudian mereka gunakan untuk merintis Yogya Chicken. Ketiga, Modal budaya yaitu berupa: (1) latar dekorasi rumah makan mereka dengan papan menu, mesin kasir dan lain-lain yang di konsep sama dengan rumah makan cepats aji laianya. (2) Pengethuan akan pengelolaan rumah makan cepat saji sebagai dasar untuk menjalankan rumah makan cepat saji lokal. Bedasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Yogya Chiken menggunakan modal sosial sebagai kunci dimana kepercayaan yang telah terbangun dapat membangun jaringan dan dari jaringan yang terbangun dapat tercipta beberapa norma bersama. Prinsip serta nilai yang telah dibangun dipercayai dapat membuat usaha berjalan langgeng dan memperoleh keutungan sesuai dengan rencana. Beberapa penelitian yang telah dilakukan diatas memeliki beberapa perbedaan dengan penelitian mengenai imitasi makanan cepat saji lokal. Perbedaan antara
penelitian pertama dan penelitian kali ini adalah objek kajian yang bukan masyarakat dari kelas bawah melainkan Pendiridari rumah makan makanan cepat saji lokal yaitu Golden Friedchicken. Perbedaan berikutnya adalah lokasi penelitian, dimana peneliti sebelumnya meneliti makanan cepat saji bertaraf internasional yaitu Mcdonald’s, Pada penelitian kali ini dilakukan pada rumah makan-gera Golden Friedchicken yang tersebar di wilayah Yogyakarta. Makanan cepat saji lokal sepertinya bisa menjadi alternatif bagi para mahasiswa dalam pemenuhan kebutuhan konsusmsi makanan. Budaya makanan cepat saji pada saat ini sudah menjadi bagian dari keseharian dimana makanan cepat saji adalah sebuah kewajaran karena dapat dijumpai diberbagai belahan negara. Bentuknya pun bermacam macam. Beberapa merpakan wujud asli dari makanan cepat saji, dan beberapa ada yang menyerupai sebagai bentuk replikasi dari makanan cepat saji. Penelitian kedua ini sesungguhnya masih memiliki banyak kemiripan dengan penelitian pertama dimana ditemukan kesimpulan bahwa makanan cepat saji sudah menjadi suatu budaya yang cukup digemari khususnya oleh pemuda. Tinjauan tersebut dikiranya mampu menambahkan refrensi terhadap pemaknanan makanan cepats aji lokal bagi masyarakat. Berkembang zaman memunculkan fenomena baru sebagai replika dari makanan cepat saji global yaitu makanan cepat saji lokal. Makanan cepat saji lokal memiliki banyak kemiripan dan juga perbedaan. Perbedaan penelitian yang ketiga dengan penelitian imitasi makanan cepats aji lokal adalah fokus kajianya. Dimana pada penelitian sebelumnya peneliti memaparkan strategi bertahan dari makanan cepat saji lokal serta modal apa saja yang digunakan untuk mempertahankan usahanya. Peneliti menekankan bahwa modal sosial terkait jaringan merupakan modal kunci dari berlangsungnya usaha tersebut. Kepercayaan serta pembahian kerja yang bersifat kekeluargaan menjadi pembeda bagi makanan cepat saji lokal tersebut. Pada penelitian imitasi makanan cepat saji lokal peneliti fokus pada sejarah dan motivasi dari makanan cepat saji lokal tersebut, selain itu peneliti mengidentifikasi proses imitasi yang terjadi dan mencocokan dengan karakteristik peniruan. Peneliti selanjutnya menganalisis hasil apa saja yang telah di produksi oleh makanan cepat saji lokal selain dari fungsi ekonomi yang dimiliki oleh rumah makan tersebut tetapi juga aspek budaya serta penguatan unsur lokal.
Pada penelitian kali ini. Peneliti ingin melihat bagaimana arti makanan cepat saji lokal bagi pendiri serta semanagat dibalik berdirinya makanan cepat saji lokal. Apakah hadirnya makanan cepat saji lokal terlekat dengan semangat penguatan yang lokal atau sekedar alternatif dari makanan cepats aji global yang harganya cenderung lebih mahal.
VI.
Kerangka Teori 1.
Teori Mcdonalidsasi
McDonalds didefinisikan oleh Ritzer sebagai model dari fenomena yang sangat problematis. Restoran McDonald dianggap sebagai sejarah munculnya analisis mengenai produksi dan konsumsi yang diterapkan pada ruang lingkup yang luas baik segi Ekonomi, Politik, Sosial dan Budaya. Ritzer mencatat bagaimana Mcdonald telah membentuk masyarakat Konsumsi yang jumlahnya meningkat tajam. Mcdonald dengan berbagai tanda yang diproduksinya telah menjamur keberbagai belahan dunia. Big Mac, Golden Arches, Ronald Mcdonald telah mendampingi pertumbuhan masyarakatnya hingga saat ini. Bisa dikatakan bahwa pertumbuhan hidup sesesorang yang lahir pada tahun 1990 telah akrab dengan berbagai atribut yang dimiliki oleh Mcdonald. Konseptualisasi tersebut muncul dimana-mana sehingga sampai saat ini makanan cepat saji tersebut menjadi bagian dari masyarkat dan menjadi sebuah kebudayaan yang sangat umum. Mcdonalds dan persebaranya dilihat Ritzer sebagai pola yang menganut empat nilai yang membuat masyarakatnya terus tergantung. Nilai tersebut adalah nilai efisiensi, nilai hitung, daya prediksi dan kontrol. Keempat nilai tersebut saling mengisi proses penyajian dari makanan cepat saji tersebut. Satu dimensi melengkapi dimensi lainya sehinga terciptalah sebuah sistem yang mapan dan dapat melengkapi kebutuhan masyarakat saat ini yang mengusung budaya modern dan menuntut berbagai hal menjadi cepat. Nilai pertama yaitu nilai efisiensi dimana Mcdonalds menawarkan optimalitas untuk menjangkau dari suatu hal kepada hal lainya. Rizer ( 2005 ) menyebutkan bahwa nilai efisiensi yang dipraktekan pada McDonalds memiliki arti sebagai pemilihan sarana sebaik mungkin. Sebaik mungkin disini memiliki maksud memilih
sarana yang paling optimal untuk tujuan akhir yang telah ditetapkan. McDonald mencoba menyebarkan bagaimana nilai efisiensi merubah tatanan hidup manusia. Sistem yang lebih mudah, cepat dan membuahkan hasil yang optimal dipilih. Pada jaman dahulu, sebuah keluarga berburu dan meramu dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari, setelah itu munculah toserba dan toko lokal dalam menunjang efisiensi masyarakat, setelah itu muncul supermarket sebagai bentuk optimalisasi selanjutnya dan pada abad ke 20 rumah makan cepat saji hadir, salah satu dari merek yang sangat populer pada saat itu adalah Mcdonalds. Mcdonalds hadir dalam rangka mengoptimalisasi kebutuhan makanan masyarakat pada saat itu. Pada awalnya seorang individu membutuhkan proses yang panjang dalam memenuhi kebutuhan makan, saat ini cukup datang ke konter dan menyediakan uang. Nilai berikutnya yang menjadi komponen dari rumah makan cepat saji adalah daya hitung. Ritzer ( 2005 ) menyebutkan bahwa daya hitung yang telah diterapkan dalam rumah makan cepat saji adalah penekanan kuantitas yang tidak pernah berubah. Ritzer melihat bahwa masyarakat yang mengkonsumsi Mcdonalds sedang diperkenalkan dan ditanamkan bagaimana kuantitas sebagai subtitusi dari kualitas. Menghasilkan kualitas yang tinggi membutuhkan biaya produksi yang tinggi. Mcdonalds mengambil alternatif pilihan lain yaitu menekan biaya produksi dengan melipatkan kuantitas. Mcdonalds dan makanan cepat saji lainya mencontohkan bagaimana promosi produk yang mereka tawarkan adalah variasi ukurandari produk yang mereka miliki. Semakin besar makanan atau minuman yang dikonsumsi maka harga yang lebih murah akan didapa Daya prediksi merupakan Nilai ketiga yang menjadi komponen dari rumah makan cepat saji. Mcdoalds menjamin bagaimana mutu dan kuantitas yang diberikan kepada konsumen sama pada setiap penyajianya. Bisa disebutka daya prediksi disini mcdonad mencoba membuat keteraturan terhadap produk yang disajikanya, Mcdonalds tidak menginginkan adanya kejutan-kejutan yang memiliki resiko. Bisa dibayangkan bahwa masyarakat yang memakan Big Mac pada tahun 1980 dengan masyarakat yang memakan pada tahun 2014 tidak memiliki perbedaan. Mcdonalds mencoba membangun zona nyaman pada konsumen sehingga Mcdonalds dapat masuk kedalam bagian individu tersebut dan embangun keinginan alam bawah sadar bahwa makana cepat saji memiliki rasa, bentuk, dan produk yang konsisten dan tidak berubah.
Nilai terakhir yang menjadi kompenen dari rumah makan cepat saji Mcdonalds menurut Ritzer ( 2005 ) adalah Kontrol. Kontrol disini menjelaskan bagaina pergantian manusia sebgai subyek pengontrol proses yang dimiliki oleh rumah makan cepat saji kepada teknologi non-Manusia. Ritzer mencoba menjelaskan bahwa proses pergantian inidimaksudkan untuk mengoptimalisasi terjadinya kesalahan, dimana teknologi memiliki presisi yang bisa diukur sedangkan manusia cenderung melakukan beberapa kesalahan. Proses pergantian dari manusi kepada teknologi dapat diartikan sebagai proses dehumanisasi dimana teknologi lebih banyak digunakan untuk menekan biaya produksi. Pemikiran ritzer mengenai Mcdonalisasi merupakan proses rasionalisasi yang sebelumnya telah disampaikan oleh Max Webber. Pandangan tersebut berisi mengenai sebuah birokrasi yang merupakan representasi dari proses rasionalisasi. Webber merasa bahwa sistem rasional itu tidak manusiawi dan melakukan tindakan dehumanisasi ( Ritzer, 2005 : xii ). Rumah makan cepat saji dengan ini berupaya membangun sebuah rasionalitas pada masing-masing dimensi. Jumlah gerai yang setiap harinya bertambah dan respon masyarakat terhadap penerimaan rumah makan cepats aji terbilang cukup baik.hal tersebut terbukti hingga saat ini rumah makan cepat saji masih berdiri sebagai industri raksasa yang dapat ditemukan pada berbagai belahan dunia.
2. Teori Imitasi Gabriel Tarde Gabriel Tarde dalam bukunya The law of Imitation ( Dalam Patric Joyce : 2002)
menyebutkan bahwa peniruan merupakan fenomena yang universal dan
menentukan asal mula dari semua ilmu (baik ilmu sosial maupun ilmu pasti). Menurut Tarde Hukum Imitasi dapat digunakan untuk mengukur fenomena sosial. Imitasi atau pengulangan bagi Tarde merupakan instrument pengukur yang dapat melihat bentuk melalui peningkatan dan pertumbuhan dari sebuah fenomena. Dalam ilmu sosial Tarde membedakan adanya konsekuensi yang dihasilkan dari proses peniruan tersebut. Konsekuensi yang diproduksi dapat ditentukan oleh adat, simpati, pendidikan, ketaatan, insting dan masih banyak lagi. Makanan cepat saji merupakan salah satu fenomena imitasi yang muncul disebabkan oleh salah satu
konsekuensi diatas, dimana didalamnya terdapat percampuran unsur lokal yang menjadi pembeda sekaligus unsur universal khas makanan cepat saji. Tarde selanjutnya menjelaskan imitasi dalam mekanisme pengulangannya memiliki setidaknya dua karakteristik. Pertama, pengulangan tidak mekanis yang berarti suatu inovasi dimodifikasi dan direkontruksi dalam rangka proses imitasi. Kedua, Imitasi dapat terjadi secara berlawanan, tarde mencontohkan bahwa imitasi dapat tepat atau kabur, sadar atau tidak sadar, sukarela atau terpaksa. Proses Imitasi mungkin datang kedalam kontak dengan satu sama lain dan juga memperkuat atau bersaing satu sama lain. Fenomena makanan cepat saji sepertinya terkait dengan karakterisitik pertama yang disebutkan oleh tarde yaitu inovasi yang dimodifikasi dan direkontruksi. Makanan cepat saji dalam perjalananya mengkomodifikasi produk dimana menu dan barang yang dijual disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakatnya selanjutnya direkontruksi dengan nama atau merek tertentu tetapi mengusung konsep yang tidak jauh berbeda dengan makanan cepat saji pada umumnya. Terdapat koridor-koridor yang batasnya ditentukan serta sistem yang telah digunakan, ditiru dan diadaptasikan sesuai dengan kehendak pendirimakanan cepat saji. Menurut tarde ada dua penyebab terjadinya tindakan imitasi. Pertama adalah penyebab logis dan penyebab non logis. Penyebab logis adalah mereka yang menyebabkan seorang individu memutuskan untuk meniru suatu inovasi dengan motif bahwa hal tersebut dianggap sangat berguna atau sesuatu yang sangat baik untuk dilakukan. Kedua, menyebutkan bahwa inovasi sangat terkait dengan entitas ( individu, kelompok, tempat bahkan tanggal), hal tersebut dianggap lebih unggul dan lebih mungkin untuk ditiru.
3. Teori Imitasi Miller dan Dollard
Pandangan dasar yang dimiliki oleh Miller dan Dollard adalah tingkah laku yang dilakukan oleh manusia bisa terjadi karena dipengaruhi oleh proses imitasi ( Sarwono, 2000 : 21 ). Miller dan dollard mengatakan bahwa dalam bertingkah laku manusia memiliki dorongan yang menjadi landasan atau alasan. Alur yang coba
dijelaskan adalah seseorang memiliki alasan lalu seterusnya menangkap tanda dan setelahnya mendapatkan penghargaan dan mengulang pada alur pertama. Sarwono (2000) mengutip Miller dan Dollard mengelompokan tipe-tipe perilaku imitasi. Menurutnya perilaku imitasi dapat dididentifikasi kedalam beberapa kelompok. Tipe-tipe perilaku tersebut adalah sebagai berikut: 1. Same behavior, tingkah laku sama (same behaviour) terjadi bila dua orang bertingkah laku balas sama terhadap rangsang atau isyarat yang sama. 2. Copying, seseorang individu berusaha mencocokan perilakunya sedekat mungkin dengan perilaku orag lain. Individu dituntut untuk bisa membaca tanda-tanda kesamaan atau perbedaan anatara perilakunya sendiri dengan penampilan yang dijadikan model. 3. Matched-dependent behavior, tingkah laku ini timbul dalam hubungan antara dua pihak dimana salah satu pihak adalah lebih pintar, lebih tua, atau lebih mampu daripada pihak yang lain. dalam hal ini pihak yang lain itu akan menyesuaikan tingkah lakunya (match) dan akan tergantung (dependent) pada pihak pertama.
Ketiga karakteristik yang telah disebutkan sangat mewakili bagaimana proses imitasi yang terjadi pada Golden Chicken. Kesamaan Tanda, simbol, sejarah, produk merupakan aspek yang menjadi objek tiruan dari sebuah subyek. Pada penelitian kali ini akan melihat bagaiamana proses imitasi yang terjadi melaui latar belakan sosial bangsa indonesia sebagai negara berkembang dan meniru negara barat dalam beberapa hal. Isu pangan globlal juga ikut dirasakan oleh bangsa indonesia terbukti dengan hadirnya beberapa rumah makan rumah makan cepat saji merek internasional. Hal tersebut menimbulkan sebuah fenomen ayaitu imitasi dimana subjek melakukan perilaku tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Perilaku imitasi yang terjadi akan diidentifikasikan kedalam karakteristik dan selanjutnya mendapatkan hasil temuan penelitian.
4. Metode Penelitian a) Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Sugiyono (2010) menjelaskan bahwa metodologi kualitatif digunakan untukmendapatkan data yang mendalam dan merupakan data yang mengandung makna. Menurut Silalahi (2010:28), dalam penelitian deskriptif masalah sudah diketahui cukup banyak oleh peneliti. Mely G. Tan (dalam Silalahi, 2010) mengatakan: “Penelitian yang bersifat desktiptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan”.
b. Lokasi penelitian dan Unit Analisis Lokasi penelitian dilaksanakan pada kantor pusat Golden Chicken yaitu Jl. Selokan Mataram gang adas nomor 80 c, pringwulung, condongcatur, Depok, Sleman. Wawancara juga dilakukan di beberapa rumah makan Golden chicken yang berada di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi tersebut dipilih disebabkan juga oleh tingkat kesibukan yang tinggi bagi para pendiri rumah makan Golden Chicken sehingga waktu untuk wawancara sangat terbatas dan dilakukan di rumah makan-rumah makan Golden Chicken. Unit analisis dalam penelitian kali ini adalah pendiri dari makanan cepat saji lokal Yogyakarta. Pemilihan pendiri rumah makan makanan cepat saji lokal sebagai
subyek
penelitian
dikarenakan
pendirimerupakan
pendiri
yang
mengetahui asal mula serta alasan-alasan dibalik lahirnya sebuah makanan cepat saji lokal. Penentuan subyek penelitian akhirnya dipilih menjadi informan dengan menggunakan metode pemilihan snow ball yaitu metode pemilihan informan dengan cara bertanya kepada orang yang kita anggap menguasai daerah penelitian atau key person yang merupakan informan utama dan merekomendasikan para pihak yang dapat memeberikan informasi penelitian.
Informan pada peneilitaian kali ini merupakan pendirirumah makan makanan cepat saji lokal. Pendiridirasa sangat tepat sebagai informan karena pendiri mengetahui motif dibalik berdirinya sebuah makanan cepat saji lokal dan bagaimanan imitasi yang terjadi didalam. d. Alasan Pemilihan Informan
Alasan pemilihan Informan pada Golden chicken menggunakan teknik Key informan, dimana narasumber yang dianggap menguasai tema penelitian menjadi kunci utama. Selanjutnya orang yang dianggap sebagai key informan menunjukan beberapa orang yang menurutnya juga dianggap menguasi tema penelitian. Golden chicken dipilih menjadi objek penelitian karena dianggap sebagai pelopor rumah makan cepat saji lokal. Eksistensi Golden chicken sudah terbukti sejak tahun 1997. Golden Chicken telah berpartisipasi kurang lebih delapan belas tahun didunia kuliner Indonesia. Golden Chicken hadir dimana pada saat itu di Yogyakarta belum menjamur rumah makan cepat saji lokal. Golden chicken dalam perjalananya telah membuka kurang lebih sebelas gerai yang tersebar diseluruh Yogyakarta. Gerai yang telah tersebar membuktikan bahwa Golden Chiken mampu bertahan serta berkembang meskipun banyak dari competitor yang mengusung tema yang sama yaitu rumah makan cepat saji lokal dengan berbagi variasi merek. Golden chicken selain menjadi pelopor dalam rumah makan cepat saji lokal merupakan pihak yang bersedia memberikan data secara sukarela untuk diteliti. Pada saat itu penulis menghubungi beberapa pihak sebagai contoh dari rumah makan cepat saji lokal. Golden Chicken menjadi pihak yang paling pertama mengkonfirmasi bahwa rumah makan cepat sajo lokal miliknya bersedia untuk diteliti.
d. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi
Nasution (1988 dalam Sugyono, 2012 : 226) menyatakan bahwa, Observasi adalah dasar semua ilmu. Menurutnya para Ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, Yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Observasi merupakan tahap awal dalam sebuah proses penelitian. Melalui Observasi peniliti diharapakan dapat belajar mengenai perilaku dan arti dari perilaku tersebut. Pada proses Observasi peneliti melakukan pengamatan pada tempat lokasi penelitian yaitu pada rumah makan Golden Chicken. Tahap kedua yaitu pengamatan terhadap aktivitas yang berjalan pada rumah makan tersebut, apa saja yang dilakukan oleh pegawai, pelayanan seperti apa yang diberikan, Produk apa saja yang dijajaan pada konsumen serta bagaimana konsumen dapat merai kebutuhan yang mereka inginkan. Tahap terakhir yaitu peneliti melihat aktor yang bermain pada rumah makan Golden chicken, bagaimana relasi, serta informasi mengenai terbentuknya Rumah makan Golden Chicken.
2. Wawancara Semiterstruktur (Semistructure Interview) Wawancara Semiterstruktur merupakan salah satu teknik pengumpulan data. Dalam proses pengumpulan data peneliti menyiapkan instrumen penelitian agar peneliti mendapakan data atau informasi yang sesuai dengan kentuhan penelitian. Sugyono (2012 : 233) menyebutkan bahwa jenis wawancara ini sudah termasuk dalam katagori in-dept interview, dimana pelaksanaanya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dilakukanya wawancara semistruktur adalah untuk menemukan permasalah yang sifatnya masih terbuka. Pada penelitian ini informan pendirirumah makan makanan cepat saji lokal. Pemilihan
pendirimenjadi
informan dalam
penelitian ini
dikarenakan
pendiridirasa memiliki banyak informasi yang dibutuhkan sesui dengan teman penelitian pada kali ini. Pendiridinilai dapat memberikan informasi menganai apa itu makanan cepat saji lokal, sejarah berdirinya rumah makan makanan tersebut serta filosofi yang melandasi berdirinya rumah makan tersebut. Sebelum melakukan wawancara peneliti perlu menentukan proses pemilihan narasumber. Pada penelitin ini akan dilakukan pemilihan narasumber berdasarkan
teknik snow ball. Teknik snow ball diawali dari salah satu narasumber yang dikenal kemudian terus bergulir seperti bola salju dari satu narasumber ke narasumber lainnya. 3. Sumber Data Data merupakan hal yang terpenting dalam suatu penelitian. Suatu laporan tidak akan mungkin terwujud tanpa adanya suatu data, dan awalnya suatu penelitian tidak akan juga berjalan jika tidak ada referensi yang memadai. Pada penelitian ini menggunakan 2 sumber data yaitu : a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber yang berasal langsung dari hasil suatu penelitian. Hasil yang dimaksud seperti ketika melakukan observasi atau pengamatan maupun berasal dari hasil wawancara bersama informan. Jika tidak adanya suatu sumber data primer maka suatu penelitian tidak akan menjadi valid, sehingga pada sumber data primer ini merupakan kunci dari suatu penelitian. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder bisa berasal dari biografi suatu orang, buku, literatur, berita dll. Sumber data sekunder ini merupakan penunjang baik pada proses analisa maupun ide awal suatu penelitian. Tujuan lain adalah untuk memperkaya pengetahuan peneliti dalam menganalisa penelitiannya.
4. Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyurusn secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang
lain.
Analisis
data
dilakukan
dengan
mengorganisasikan
data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajarim dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.
a. Reduksi Data Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tiak perlu. Data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2012 : 334). b. Penyajian Data Penyajian data adalah proses dimana suatu data dibentuk sedemikian rupa berupa rangkaian penelitian secara diskriptif dengan tujuan agar mempermudah pembaca dalam memahami penelitian ini (Sugiyono, 2011 : 334) . c. Penarikan Kesimpulan Sugiyono (2012 : 345) menyebutkan pada proses penarikan kesimpulan ini bersifat awal atau bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti
pengumpulan
data
yang kuat
berikutnya.
yang mendukung pada
Tetapi
apabila
tahap
kesimpulan
yang
dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti bukti yang valid dan konsisten saat penelitian kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.