BAB I PENDAHULUAN I.
LATAR BELAKANG MASALAH World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi perdagangan
dunia yang
menangani dan berfokus pada permasalahan perdagangan
internasional. Organisasi ini mengatur segala regulasi mengenai arus perdagangan internasional dan memiliki tujuan untuk mereduksi peran pemerintah dalam restriksi kebijakan perdagangan internasional.1 Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar Negara anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Dalam penyelesaian sengketa dagang, WTO pun sudah mempunyai aturan main dalam penyelesaiannya. Setiap Negara yang bersengketa dan membawa sengketa dagangnya harus melalui empat tahap aturan, yaitu konsultasi, proses panel, banding serta implementasi. Pada tahap implementasi inilah dikenal adanya retaliasi. Di dalam ketentuan WTO, retaliasi merupakan tindakan suatu negara dalam menangguhkan konsesi atau kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah dinikmatinya, sebagai balasan akibat adanya tindakan atau kebijakan perdagangan dari negara lain tersebut merugikan kepentingan perdagangannya. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam teorinya, volume perdagangan yang terkena retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor yang diberlakukan oleh Negara yang mana retaliasi ingin diterapkan. Menurut Pasal 22 DSU Agreement WTO dikemukakan bahwa ganti kerugian dan penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya merupakan tindakan sementara yang Kementrian Luar Negeri, “World Trade Organization (WTO)” (daring), 2015,
, diakses pada 21 Oktober 2015. 1
1
diberikan apabila rekomendasi dan keputusan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu yang wajar.2 Bila permintaan ganti rugi ini tidak dapat dilaksanakan oleh pihak yang tergugat maka pihak penggugat dapat melakukan tindakan retaliasi.3 Tidak semua kasus yang diselesaikan dalam proses penyelesaian sengketa WTO diselesaikan melalui proses retaliasi. Negara yang memenangkan sengketa belum tentu memiliki keberanian untuk mengajukan tindakan retaliasi meskipun negara yang kalah tidak mau melaksanakan keputusan DSB hingga batas waktu yang telah ditentukan.4 Sejalan dengan hal tersebut, negara yang dijatuhi tindakan retaliasi pun belum tentu dapat melaksanakan retaliasi karena kondisi perekonomian negara tersebut yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan retaliasi. Retaliasi pada sampai saat ini, telah dilakukan oleh beberapa negara maju anggota WTO, yaitu Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia dalam kasus European Communities-Regime for the Importation, Sale and Distribution of Bananas, European Communities-Measures Concerning Meat and Meat Products (Hormones), Australia-Measures Affecting the Importation of Salmon.5 Dari beberapa kasus tersebut retaliasi terpaksa dilakukan karena pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan dan rekomendasi DSB sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada Negara berkembang yang berani dan berhasil melakukan retaliasi ditambah lagi jika pihak yang diajukan untuk dilakukan retaliasi adalah Negara maju. Sebagai contohnya, Ekuador melawan Uni Eropa pada sengketa banana serta Indonesia-Amerika Serikat dalam 2
D. Palmeter dan Petros C. Mavroidis, 2004, Dispute Settlement in The World Trade Organization, Cambridge University Press, New York, pp. 6-7. F.J Palawi, “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian WTO” (daring), 2007, , diakses pada 21 Oktober 2015. 3
4
William J Davey, 2005, The WTO Dispute Settlement System: How Have Developing Countries Fared?, Illinois Public Law and Legal Theory Research Paper Series, Research Paper No.05-17, p.13. 5
Peter Van den Bossche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization: Text, Cases and Materials, Cambridge University Press, USA, p. 222.
2
sengketa rokok kretek. Jangankan melaksanakan, mengajukan permintaan penjatuhan retaliasi pun seakan tidak berani meskipun negara berkembang dan negara kurang maju tersebut memenangkan sengketa pada proses penyelesaian sengketa WTO. Hal ini terjadi pada Indonesia sebagai contoh Negara berkembang yang tidak melakukan tahapan retaliasi dalam sengketa perdagangan internasional dengan Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek. Berdasarkan rekomendasi Panel Sengketa WTO, Panel memutuskan memenangkan gugatan Indonesia, Section 907 dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act dengan menyebutkan bahwa Amerika Serikat terbukti melanggar aturan WTO dengan melarang penjualan dan peredaran rokok kretek namun membebaskan rokok menthol,6 sampai pada tahap akhirnya Indonesia diberikan hak untuk melakukan retaliasi dan tetap Indonesia tidak mengimplementasikannya. Kasus Indonesia bisa menjadi contoh pembuktian dimana prosedur pelaksanaan retaliasi memang sulit untuk dilakukan oleh Negara anggota, terlebih lagi bagi Negara berkembang. Oleh sebab itu, penulis ingin meneliti mengenai mengapa mekanisme retaliasi dalam
kerangka
penyelesaian
sengketa
dagang
di
WTO
sulit
untuk
diimplementasikan meskipun sudah ada aturan jelas mengenai tahapan pelaksanaan retaliasi yang seharusnya bisa dilakukan oleh setiap Negara anggota yang bersengketa. II.
RUMUSAN MASALAH Dalam penelitian yang berjudul “Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian
Sengketa Dispute Settlement Mechanism (DSM) World Trade Organization (WTO) dan berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menarik sebuah rumusan masalah, yaitu:
A. Kamaludin, Kata Data (Business Insight), “Sengketa Diakhiri AS tetap Tolak Rokok Kretek Indonesia” (daring), 2014, , diakses pada 22 Desember 2014. 6
3
“Mengapa mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO seringkali sulit untuk diimplementasikan terutama bagi Negara berkembang?” Dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mengkaji mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO melalui satu kasus antara Negara berkembang dengan Negara maju yaitu kasus antara Indonesia dengan Amerika Serikat mengenai sengketa rokok kretek yang terjadi pada tahun 2009-2014 lalu. III.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian dan penulisan tesis ini secara umum dimaksudkan untuk
mengkaji dan memberi gambaran objektif mengenai implementasi retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa Dispute Settlement Mechanism (DSM) WTO dalam contoh kasus sengketa dagang rokok kretek antara Indonesia dan Amerika. Penulisan tesis ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai tahaptahap retaliasi dalam aturan WTO yang bisa dilakukan suatu Negara dalam menghadapi sengketa dalam dunia internasional. Tesis ini mampu mengkaji dan memberikan gambaran objektif mengenai mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO yang nyatanya sulit untuk diimplementasikan. IV.
TINJAUAN LITERATUR Prosedur penyelesaian sengketa dagang dalam WTO diatur dalam artikel
XXII dan XXIII GATT 1994 dan Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU). (Article XXII dan XXIII GATT 1994 dan Artikel 4 DSU). Salah satu jalan keluar dan merupakan upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa, apabila pihak pelanggar tidak dapat melaksanakan rekomendasi DSB dikenal sebagai tahap retaliasi7 atau penangguhan konsesi.
7
Retaliation: Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tariffs or other trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations withcountries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value
4
Sebelum WTO terbentuk pada tahun 1995, di dalam kerangka GATT telah dikenal pula instrumen retaliasi. Di dalam kerangka GATT, retaliasi berarti adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu Negara dimana ekspor dari negara tersebut terkena imbas kenaikan tarif masuk dan hambatan perdagangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. GATT mengijinkan negara yang merasa dirugikan untuk melakukan tindakan pembalasan secara terbatas kepada negara lain yang menjadi penyebab kerugian perdagangan, namun hal ini dilakukan setelah konsultasi dengan negara-negara anggota lainnya atau negaranegara yang mengalami nasib yang sama akibat tindakan dari suatu negara tersebut. Dalam teorinya volume perdagangan yang terkena tindakan retaliasi nilainya harus diperkirakan sama dengan nilai proteksi impor yang diberlakukan oleh negara yang mana retaliasi ingin diterapkan.8 Namun, dalam praktek di WTO, instrumen retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Oleh karena itu, tinjauan literatur penelitian ini meliputi tiga isu penting yakni: a) Keefektifan
mekanisme
retaliasi
sebagai
bagian
dari
kerangka
penyelesaian sengketa WTO. Prasukma Kristioadi (2012) dalam penelitiannya mengenai analisa yuridis terhadap tindakan retaliasi dalam sistem penyelesaian sengketa WTO (World Trade Organization) menjelaskan tentang tinjauan umum mekanisme retaliasi yang diatur dalam GATT dan WTO. Dari mekanisme tersebut, dijelaskan pula mengenai alasan retaliasi kembali diatur dalam Pasal 22 DSU serta penerapannya setelah WTO terbentuk, implikasi dari tindakan retaliasi bagi negara berkembang khususya
Indonesia
dalam
kaitannya
dengan
kepentingan
perdagangan
internasional. Dalam penelitiannya, Prasukma (2012) ini juga membahas tentang of trade affected by the precipitating change in import protection. Dikutip dari Freddy Josep Pelawi, Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO, “Bulletin KPI Edisi 46/KPI/2007. 8
Freddy Josep Pelawi, Retaliasi dalam Kerangka Penyelesaian Sengketa WTO, “Bulletin KPI Edisi 46/KPI/2007, p. 2.
5
tinjauan umum WTO dan pengaturan WTO dalam bidang perdagangan internasional khususnya di bidang penyelesaian sengketa, termasuk di dalamnya dibahas mengenai pembentukan WTO yang bertujuan untuk menyempurnakan sistem perdagangan internasional yang diatur dalam GATT. Terkait dengan penyelesaian sengketa, penelitian ini membahas mengenai faktor penyebab timbulnya
sengketa
perdagangan
internasional
serta
bagaimana
WTO
menyelesaikan sengketa tersebut terhadap negara secara umum dan ketentuan khusus bagi negara berkembang, yaitu mulai dari konsultasi dan cara damai, panel, banding, serta pengawasan terhadap pelaksanaan putusan. Terkait dengan pembahasan retaliasi, penelitian ini hanya membahas tentang mekanisme retaliasi dalam sistem GATT dan WTO, serta perbedaan retaliasi dalam WTO dan GATT dan terkait dengan penerapan retaliasi. Senada dengan penelitian Prasukma (2012), Dewi Krisna (2013) dalam penelitiannya mengenai retaliasi dalam World Trade Organization (WTO) sebagai bentuk perlindungan hukum dalam ranah perdagangan, Dewi menjelaskan bagaimana proses pelaksanaan retaliasi yang pernah dilakukan oleh negara-negara anggota WTO. Pada penelitian ini juga diuraikan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh negara Indonesia sebagai bagian dari anggota WTO beserta pengaruh dan manfaat dari sistem retaliasi bagi negara Indonesia. Menurut Dewi Krisna (2013), aturan yang dibuat didalam DSU mengenai retaliasi menyatakan bahwa tujuan mekanisme penyelesaian sengketa adalah untuk memperoleh cara penyelesaian perselisihan yang positif. Cara penyelesaian yang diterima timbal balik oleh para pihak dalam perselisihan dan sesuai dengan persetujuan tersebut jelas lebih disukai. Bila tidak terdapat cara penyelesaian perselisihan yang disepakati bersama, tujuan pertama dari mekanisme penyelesaian perselisihan biasanya adalah untuk memastikan penarikan tindakan yang diketahui tidak sesuai dengan ketentuan dalam setiap persetujuan WTO. Akan tetapi pada kenyataannya sanksi retaliasi ini amat jarang digunakan oleh negara berkembang karena implementasinya terkadang justru memberatkan negara berkembang meskipun mekanisme retaliasi ini sebagai bentuk dari perlindungan hukum bagi Negara yang sedang bersengketa.
6
Menyempurnakan dan menambahkan pendapat dari penelitian sebelumnya mengenai
mekanisme
pelaksanaan
retaliasi,
Freddy
J.P
(2012)
dalam
penelitiannya mengenai perdebatan retaliasi dalam sengketa penyelesaian sengketa WTO, mengatakan bahwa retaliasi dalam praktek pelaksanaannya sangat rumit dan baru beberapa Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saja yang sudah berhasil melaksanakannya. Indonesia sebagai Negara berkembang dan ingin memajukan perekonomiannya, khususnya dalam hal ini di bidang perdagangan harus memiliki sikap tegas dalam pergaulan internasional. Meskipun unsur politis sangat kuat mewarnai tiap kebijakan dari Negara berkembang, dalam hal ini termasuk Indonesia, namun di sisi lain keberhasilan Indonesia dalam proses ini akan memberikan stigma positif terhadap posisi Indonesia dalam dunia internasional, khususnya dalam lingkup WTO. b) Manfaat retaliasi sebagai bagian dari kerangka penyelesaian sengketa perdagangan internasional. Meskipun dari beberapa penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa mekanisme retaliasi nyatanya sulit untuk diimplementasikan, mekanisme retaliasi ini tentunya juga mempunyai manfaat bagi setiap Negara yang ingin dan berhasil melakukannya. Dalam penelitiannya mengenai tinjauan yuridis manfaat retaliasi sebagai bagian dari resolusi konflik perdagangan dalam sistem WTO, Benny (2011) memiliki fokus penelitian yang berbeda. Retaliasi pun dapat memberikan manfaat bagi Negara penggugat (retaliating country). Dimana Negara penggugat dapat “memaksakan” Negara tergugat untuk bisa segera comply dengan aturan WTO. Retaliasi juga dapat menjadi bagian tahapan untuk membuktikan bahwa Negara penggugat berani untuk bisa “melawan” Negara tergugat. Menurut Patricia Sarah (2015) pun, ia menyampaikan pendapatnya hampir sama dengan Benny (2011) dimana Patricia dalam penelitiannya mengenai analisis penggunaan hak retaliasi, Patricia menjelasan bahwa di dalam mekanisme retaliasi yang sulit terdapat dua tujuan retaliasi dapat dilihat melalui 2 (dua) sudut pandang, yaitu dari sudut pandang negara pelaksana retaliasi (Retaliating Country) dan negara yang dikenakan retaliasi (Non Compliance Country). Pertama dilihat dari sudut pandang non compliance country dengan meningkatkan
7
kepatuhan (inducing complance), dimana retaliasi dalam bentuk pengenaan sanksi selain bertujuan untuk mendorong kepatuhan, dapat juga digunakan untuk pencegahan dalam hal kemungkinan pelanggaran di masa yang akan datang. Pasal 22 ayat (2) dan (8) dari DSU menyatakan sifat sementara dari retaliasi. Sifat sementara dari retaliasi menunjukan bahwa pada dasarnya retaliasi digunakan untuk memaksa agar negara anggota melaksanakan putusan Panel DSB dan menyesuaikan kebijakan perdagangan internasional sesuai dengan ketentuan WTO. Singkatnya, sifat sementara retaliasi menunjukkan bahwa DSU memiliki preferensi yang kuat untuk peningkatan kepatuhan dan retaliasi adalah ukuran alternatif dapat diterapkan sampai kepatuhan terjadi. Kedua adalah sudut pandang retaliating country dengan mengembalikan kerugian yang hilang akibat tindakan non compliance country (rebalancing), dimana ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) dan (7) menunjukkan bahwa retaliasi memiliki lebih menunjukan sifatnya yang memberikan kompensasi dan bukan memberikan hukuman. Dengan adanya sifat kompensatoris tersebut, DSU mengakui tujuan lain dari retaliasi adalah untuk mengembalikan keseimbangan konsesi yang timbul dari ketidakpatuhan atau singkatnya adalah tujuan penyeimbangan. c) Retaliasi dalam praktek pelaksanaannya. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa sudah ada mekanisme dan aturan tentang sistem penyelesaian sengketa perdagangan internasional serta sudah dijelaskan beberapa tujuan dan manfaat dari aturan tersebut terutama tentang retaliasi. Akan tetapi, ada banyak pula yang berpendapat bahwa mekanisme tersebut sulit untuk dilakukan, karena sampai saat ini mekanisme retaliasi amat jarang dilakukan oleh Negara anggota apalagi negara berkembang melawan Negara maju. Meskipun dalam sengketa dagang tersebut Negara sudah diberikan hak untuk melakukannya, namun kebanyakan dari negara tersebut memilih untuk mengurungkan niatnya. Sebagai contoh adalah negara Ekuador dalam kasus Banana dengan Uni Eropa. Seperti yang dijelaskan I.G.K Catur Bimantara (2013) dalam penelitiannya Catur menjelaskan tentang keputusan Ekuador akhirnya untuk tidak melakukan retaliasi silangnya. Dimana Ekuador merupakan satu-satunya negara Amerika Latin yang mendapatkan otorisasi
8
retaliasi silang dari WTO sejumlah US$ 201,6 juta per tahunnya. Walapun Ekuador tidak mengimplementasikan hak retaliasi silangnya, UE mengubah rezim impor pisangnya dengan menghilangkan kuota pada negara ACP secara gradual. Sepanjang tahun 2002-2006 merupakan transisi perubahan rezim dan hingga tahun 2012 penetapan kouta bagi negara ACP telah dihilangkan. Perubahan dalam rezim pisang Uni Eropa tentunya menguntungkan bagi sejumlah negara eksportif pisang, termasuk Amerika Serikat dan Ekuador. Dalam hal ini kemudian dapat dianalisis beberapa hal yang menjadi faktor pendorong UE mengubah rezim pisangnya. Adanya Amerika Serikat yang juga mendapatkan otorisasi retaliasi silang akan memberikan tekanan bagi Uni Eropa. Amerika Serikat berupaya untuk melindungi perusahaan asal AS yang menjadi eksportir pisang ke Uni Eropa. Terkait beberapa faktor tersebut terlihat bahwa walaupun tidak menggunakan hak retaliasinya Ekuador dapat menikmati hasil perubahan rezim pisang Uni Eropa karena adanya faktor pendorong lain. Dari kasus ini dapat kita lihat bahwa pada kenyataannya, walaupun telah ada mekanisme retaliasi silang akan tetapi masih sulit diterapkan jika sengketa tersebut melibatkan negara maju dan negara berkembang. Salah satu langkah kemudian yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk koalisi antara beberapa negara dengan membawa kasus yang sama, sehingga efek menekan negara pelanggar dapat lebih besar. Banyak kalangan yang juga kemudian pesimis dengan keefektifan mekanisme retaliasi ini sehingga
selayaknya
harus
dirumuskan
mekanisme
yang
dapat
lebih
menguntungkan negara berkembang dalam sistem perdagangan internasional. Berdasarkan penjelasan di atas, terbukti bahwa mekanisme retaliasi memang sulit untuk dilakukan oleh Negara berkembang dan baru Negara Ekuador dan Indonesia saja yang tidak ingin melakukan retaliasi meskipun sudah diberikan hak oleh Arbitrase untuk melakukannya sebagai bagian dalam kerangka penyelesaian sengketa WTO. Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian ini akan lebih berfokus pada alasan Negara-negara anggota WTO terutama Negara berkembang belum berhasil melaksanakan tahapan retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa dalam DSM WTO meskipun sudah diberikan hak untuk melakukannya dengan melihat
9
contoh kasus sengketa dagang rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat pada kurun waktu 2009 sampai pada tahun 2014. V.
KERANGKA KONSEPTUAL Retaliasi atau tindakan pembalasan di bidang perdagangan antar Negara
dalam kerangka WTO dilakukan oleh suatu Negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses penyelesaian sengketa. Pengertian yang terdapat dalam ketentuan WTO9, retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan.10 Dalam praktek di WTO, instrumen retaliasi sungguh jarang dilakukan oleh Negara anggota. Hal ini dikarenakan banyak hal yang melatarbelakangi tidak dilakukannya retaliasi di antara anggota WTO. Salah satu alasan yang mungkin dapat diterima adalah tingginya suatu Negara anggota kepada Negara anggota lainnya. Oleh sebab itu, untuk mendukung penjelasan terkait mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO yang sulit untuk diimplementasikan oleh Negara anggota khususnya Negara berkembang, penulis mencoba merangkai penjelasan hal tersebut dari sebuah contoh kasus yaitu sengketa kasus rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat di atas dengan kerangka konseptual yang terkait dan bisa menjelaskan lebih dalam antara hubungan keduanya secara teoritis. 1. Konsep Rezim Internasional Menurut Stephen D. Krasner (1982), pengertian rezim internasional adalah suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, aturan, proses pembuatan keputusan yang bersifat eksplisit maupun implicit dan saling 9
Action taken by a country whose exports are adversely affected by the raising of tarrifs on trade restricting measures by another country. The GATT permits an adversely affected contracting party (CP) to impose limited restraints on imports from another CP that has raised its trade barriers (after consultations with countries whose trade might be affected). In theory, the volume of trade affected by such retaliatory measures should approximate the value of trade affected by the precipitating chage in import protection. 10
Artikel 22 ayat 1, DSU Agreement.
10
berkaitan dengan ekspektasi atau pengharapan aktor-aktor dan memuat kepentingan aktor tersebut dalam hubungan internasional. Sedangkan Donald Puchala dan Raymond Hopkins berpendapat bahwa rezim ada di setiap substantif isu-area dalam hubungan internasional di mana pun ada keteraturan dalam perilaku, beberapa jenis prinsip, norma atau harus ada aturan untuk menjelaskannya. Dalam perkembangannya, Stephen Haggard dan Beth A. Simmons (1987) mengatakan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, rezim internasional muncul sebagai fokus terpenting dan utama dari hasil penelitian secara empiris dan debat teoritis di dalam hubungan internasional.11 Akan tetapi, menurut Young ada beberapa komponen dasar yang terdapat dalam sebuah rezim, yaitu konsep subtantif, prosedural dan implementasi. Pertama, komponen subtantif menetapkan hak-hak dan aturan-aturan rezim. Kedua, komponen prosedural merupakan pengaturan yang telah diakui bersama, menyangkut cara-cara mengambil pilihan kolektif dalam keadaan yang membutuhkan penyelesaian bersama. Sedangkan ketiga, yaitu implementasi, mengacu pada mekanisme-mekanisme dalam rezim yang dapat membuat para anggotanya patuh pada kepentingan yang telah dicapai bersama.12 Rezim ini dibentuk oleh kedua negara untuk mengatur kerjasama agar menjadi lebih efektif mengingat tingkat interdependensi antar kedua negara yang semakin rumit dan kompleks. Oleh karena itu, dibentuknya rezim internasional merupakan sebuah upaya untuk menciptakan kerangka kerjasama internasional dan untuk memfasilitasi proses pembuatan kebijakan yang dapat dilakukan bersama. Berdasarkan Donald J. Puchala dan Raymond F. Hopkins yang juga mendukung
T. Haggard & Beth A. Simmons, 1987, “ Theories of International Regimes”, International Organization, Vol. 41, No. 3 (Summer, 1987), pp. 491-493 . 11
12
Oran R. Young, 1982, ”Regime Dynamics: The Rise And Fall Of International Regimes”, dalam International Organization, Vol. 36, No. 2, International Regimes,published by The MIT Press,. pp. 277-279.
11
pernyataan Oran, menyatakan bahwa rezim internasional mempunyai 5 ciri utama, yaitu:13 a) Rezim mempunyai kemampuan untuk membentuk perilaku kepatuhan terhadap prinsip-prinsip, norma dan aturan. Rezim bersifat subjektif, dia hanya bisa eksis berdasarkan pemahaman, ekspektasi dan keyakinan para partisipannya mengenai legitimasi, kelayakan atau perilaku yang bermoral; b) Rezim internasional dapat menciptakan mekanisme atau prosedur bagi pembuatan kebijakan. Karakteristik ini menunjukkan bahwa rezim internasional bukan hanya sekedar berisikan norma substantif. Tapi lebih dari itu, rezim internasional adalah tentang bagaimana prinsip-prinsip tersebut dibuat yang melibatkan unsur-unsur seperti siapa partisipannya, kepentingan apa yang mendominasi atau yang menjadi prioritas dan aturan apa yang dapat melindungi dari dominasi dalam proses pembuatan kebijakan; c) Sebuah
rezim
selalu
mempunyai
prinsip-prinsip
yang
dapat
menguatkannya, sebagaimana halnya sebuah norma dapat menetapkan kebenaran dan melarang perilaku yang menyimpang; d) Dalam setiap rezim selalu terdapat aktor yang berperan di dalamnya. Partisipan (aktor utama) dalam kebanyakan rezim internasional adalah pemerintahan negara-bangsa, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga ada dari aktor-aktor non-negara. Peran mereka sebagai partisipan sangat krusial, yakni menciptakan, menjalankan dan mematuhi aturan yang telah dibuat; e) Eksistensi rezim internasional adalah untuk mencocok nilai-nilai, tujuantujuan, dan prosedur pembuatan kebijakan yang dapat mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua partisipan. Dalam hubungan internasional, bentuk-bentuk kerjasama internasional bermacam-macam, ada yang dibuat dalam spektrum yang paling rendah (tidak 13
Donald J. Puchala & Raymond F. Hopkins, 1982, ”Internationalregimes: lessons from inductive analysis”, dalam International Organization,Vol. 36, No. 2, International Regimes, published by The MIT Press,. pp. 245-246.
12
mengikat) sampai yang paling kuat (mengikat). Untuk mengetahui apakah perjanjian itu mengikat atau tidak, salah satu caranya bisa dilakukan dengan menganalisis teks perjanjanjian yang dihasilkan didalam kesepakatan yang ada dengan tujuan untuk mengetahui derajat kerjasama suatu perjanjian internasional yang disebut sebagai tingkat legalisasi. Menurut Judith Goldstein dkk menyatakan bahwa bentuk legalisasi sebuah perjanjian merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk mengukur efektifan produk hukum yang dihasilkan oleh suatu organisasi internasional.14 Jika semakin tinggi tingkat legalisasi (hard law) suatu perjanjian kerjasama, maka perjanjian dalam kerjasama tersebut semakin mengikat, namun sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah (soft law) maka dapat
dikatakan
perjanjian
itu
kurang
mengikat
yang
secara
teoritis
implementasinya akan cenderung kurang efektif.15 Dalam konsep legalisasi menurut Abbot dkk ada tiga ukuran untuk menilai apakah perjanjian itu berbentuk hard law atau soft law, yaitu: Kewajiban (obligation), ketepatan (precision) dan delegasi (delegation).16 Kewajiban (obligation) dapat diartikan sebagai keterikatan suatu negara untuk memenuhi kewajiban atau komitmen yang tertera dalam sebuah perjanjian. Dengan demikian perilaku negara dibatasi oleh seperangkat aturan atau komitmen yang telah disusun dan disepakatinya.17 Derajat kepatuhan (obligasi) sebuah perjanjian internasional dapat diukur dari adanya indikator yang menunjukkan derajat dari yang tinggi (high) sampai rendah (low) dalam legalisasi dari suatu perjanjian kerjasama sangat penting, karena semakin tinggi tingkat legalisasi suatu perjanjian maka akan mendorong negara untuk patuh terhadap perjanjian tersebut dan 14
Judith, Goldstein .Dkk, 2000, “Introduction: Legalization and World Politics” dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., p. 387. 15
Fuat Albayumi, 2012, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN Charter)”, Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, pp. 1-2. 16
Abbot, dkk, 2000, “The Concept of Legalization” dalam International Organization Journal: Legalization and World Politics. Vol. 54 No.3. Summer 2000., p. 401. 17
Fuat Albayumi, 2012, “Soft Law Sebagai Sebuah Strategi: Studi Kasus Piagam Asean (ASEAN Charter)”, Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional Vol. 12, No. 2, p. 4.
13
sebaliknya jika tingkat legalisasinya rendah maka negara berhak untuk tidak mematuhi perjanjian yang disepakati. Hal ini merupakan konseksuensi yang muncul dari dibuatnya sebuah perjanjian internasional yaitu tentang perilaku para partisipan yang menyepakatinya untuk konsisten dalam memenuhi semua kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian internasional tersebut. Perjanjian kerjasama yang disepakati kedua negara harus memiliki bentuk yang dapat dipahami kedua negara. Dalam situasi seperti ini, tentunya dibutuhkan upayaupaya kooperatif dari masing-masing negara anggota yang membuat perjanjian internasional. Bentuk dari upaya kooperatif yang dimaksud adalah kepatuhan (compliance) terhadap kesepakatan. Dengan terlibatnya suatu negara dalam sebuah perjanjian internasional, negara tersebut cenderung akan mengubah sikapnya menyesuaikan atuan-aturan yang berlaku, juga hubungan dan pengharapannya terhadap satu sama lain dari waktu ke waktu sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Menurut Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes (1995) telah menegaskan ada 3 (tiga) alasan utama yang mendorong sebuah negara mengambil tindakan untuk mematuhi perjanjian internasional, yaitu: efisiensi, kepentingan dan norma. Pertama faktor efisiensi. Efisiensi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara dalam upayanya untuk mematuhi sebuah perjanjian. Negara menghitung biaya dan keuntungan sebuah perjanjian melalui proses penghitungan dan analisis. Sehingga didapatlah sebuah hasil yang akan menjadi pertimbangan. Karena pada dasarnya pembuatan suatu perjanjian akan mengeluarkan transactional cost yang tidak sedikit. Kedua faktor yang mempengaruhi kepatuhan negara adalah kepentingan. Negara akan diri ikut serta dalam sebuah perjanjian yang dinilai sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Apabila tidak sesuai dengan kepentingan nasionalnya, negara tidak perlu mengikatkan diri pada sebuah perjanjian. Karena pada dasarnya, sebuah perjanjian dinilai sebagai alat pemenuh national interest dari negara. Didukung dengan pendapat kaum realis yang menganggap jika kepentingan nasional adalah hal penting yang menyebabkan negara mengikatkan
14
diri dan mematuhi sebuah perjanjian. Asumsi tersebut berasal dari fakta bahwa setiap negara mempunyai kepentingan nasionalnya masing-masing.18 Sedangkan faktor yang ketiga adalah norma. Dalam hukum, terdapat istilah pacta sunt servanda yang memiliki arti perjanjian ada untuk dipatuhi. Maksud dari istilah tersebut adalah sebuah perjanjian memiliki kekuatan legal untuk dipatuhi oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Secara normatif perjanjian internasional sering kali diakui sebagai sesuatu yang mengikat (legally binding) bagi negara yang telah meratifikasinya. Sehingga dengan begitu perjanjian internasional adalah norma hukum yang harus dipatuhi. Sebagaimana halnya prinsip dasar dari hukum internasional yakni pacta sunt servanda hukum harus dipatuhi. Faktor-faktor inilah yang menjadi asumsi dasar kecenderungan untuk mematuhi sebuah kesepakatan. Begitu pula dengan World Trade Organization (WTO) sebagai rezim internasional yang akan dibahas dalam mekanisme retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa DSM WTO dalam perdagangan internasional terkait contoh kasus sengketa rokok kretek antara Indonesia dan Amerika Serikat. WTO (World Trade Organization) adalah organisasi yang berbasiskan ‘aturan-aturan main atau rules’ yang merupakan hasil perundingan. Aturan tersebut disebut juga ‘perjanjian atau kesepakatan (agreements). Di atas kertas, perjanjian tersebut haruslah dihasilkan dari serangkaian perundingan yang dilakukan oleh semua Negara anggotadan mencerminkan kebutuhan anggota (member driven). Prosedur WTO menekankan pentingnya kepatuhan terhadap hukum WTO dan membuat sistem perdagangan jadi lebih aman dan dapat diprediksi. Sistem WTO didasarkan pada suatu peraturan yang jelas dan jadwal waktu tertentu untuk menyelesaikan suatu kasus. Kesepakatan WTO mengenai penyelesaian sengketa (Understanding on Rules dan Procedures Governing the Settlement of Disputes/DSU) menandai dimulainya proses yang lebih terstruktur dan tahaptahap prosedur yang lebih jelas. 18
Abram Chayes dan Antonia Handler Chayes, 1995, “The New Sovereignty: Compliance with International Regulatory Agreements”, Cambridge; Harvard University Press,. pp. 175-205.
15
Negara-negara anggota WTO telah sepakat bahwa jika ada negara anggota yang melanggar peraturan perdagangan WTO, negara-negara anggota tersebut akan menggunakan sistem penyelesaian multilateral dari pada melakukan aksi sepihak. Ini berarti negara-negara tersebut harus mematuhi prosedur yang telah disepakati dan menghormati putusan yang diambil. Negara yang telah melanggar aturan WTO karena menetapkan aturan perdagangan yang tidak konsisten dengan WTO harus segera mengkoreksi kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO. Jika negara tersebut masih saja melanggar aturan WTO, maka negara penggugat berhak mengajukan permintaan kepada Dispute Settlement Body (DSB) untuk melakukan negosiasi dengan negara tergugat dalam menyepakati kompensasi. Jika tidak tercapai kesepakatan dalam penentuan kompensasi, negara penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk melaksanakan retaliasi. Retaliasi dimaksudkan sebagai upaya terakhir (last resort) dengan tujuan agar negara pelanggar memperbaiki tindakannya agar sesuai dengan kewajibannya sebagai anggota WTO. Penerapan retaliasi biasanya dalam bentuk peningkatan drastis pengenaan bea masuk (tarif) pada produk-produk tertentu kepentingan ekspor dari negara pelanggar.19 Meskipun telah sampai pada tahap retaliasi, kadang kala masih saja suatu Negara (tergugat) tidak mematuhi aturan atau comply dengan aturan WTO sebagai rezim perdagangan internasional. Di bawah ini merupakan bagan dari proses penyelesaian sengketa di WTO sebelum sampai akhirnya Negara yang bersengketa mencapai tahap retaliasi, yaitu:
19
Nandang Sutrisno, Pemajuan kepentingan Negara-negara Berkembang Dalam Sistem WTO, IMR Press, Cianjur 2012, p. 129.
16
Bagan 1.1 Proses Penyelesaian Sengketa dalam WTO:20
20
A. Alavi, Legalization of Development in The WTO; Between Law and Politics, (The Netherlands: Kluwer Law International, 2009), p. 124.
17
Konsep Retaliasi Retaliasi merupakan suatu tindakan suatu Negara dalam menangguhkan konsesi atau kemudahan yang telah diberikan kepada negara lain dan telah dinikmatinya, sebagai balasan akibat adanya tindakan atau kebijakan perdagangan dari Negara lain tersebut merugikan kepentingan perdaganganya. Retaliasi dilakukan sebagai upaya terakhir ketika dalam suatu penyelesaian sengketa, upaya pemenuhan konsesi tidak dapat tercapai dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Hal ini diatur dalam Pasal 22 Dispute Settlement Understanding.21 Retaliasi termasuk dalam fase keempat dalam penyelesaian sengketa WTO, yaitu fase implementasi, dimana ini merupakan tahap terakhir yang tentunya sudah harus melewati tahap panjang sebelumnya.22 Dalam kasus negara berkembang melawan negara maju di WTO, negara berkembang kerap mengalami kesulitan untuk menekan negara maju kembali menaati konsesi yang dilanggarnya.23 Negara berkembang dianggap lebih merugikan diri sendiri jika mereka melakukan retaliasi pada negara maju secara ekonomi.24 Implementasi retaliasi dalam taraf tertentu merugikan negara penuntut, namun seringkali ancaman implementasi retaliasi sendiri dapat menekan negara pelanggar kembali mematuhi prinsip perdagangan bebas. Hal inilah yang terjadi kepada Indonesia melawan Amerika Serikat dalam sengketa rokok kretek.
D.K Hardjanti, “Retaliasi World Trade Organization (WTO) sebagai Bentuk Perlindungan Hukum dalam Ranah Perdagangan Internasional” (daring), 2013, , diakses pada 11 Desember 2015. 21
22
Pauwelyn, J. 2010, The Calculation and Design of Trade Retaliation in Context: What is the Goal of Suspending WTO Obligations?, dalam Bown, CP & Pauwelyn, J 2010 (eds), The Law, Economics and Politics of Retaliation in WTO Disputes Settlement, Cambridge University Press, New York, p. 46. 23
Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute Settlement, Brooking Instituion Press, Washington D.C. pp. 47-48. 24
Zimmermann, TA, 2006, Negotiating The Review of the WTO Dispute Settlement Understanding, Cameron May, London, p. 157.
18
Retaliasi dalam praktek pelaksanaannya sangat rumit dan baru beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa saja sudah berhasil melaksanakannya, dikarenakan persoalan implementasi itu tidak mudah dan ada hubungannya dengan persoalan politis. Dalam kerangka WTO, retaliasi sebagai instrument resolusi konflik harus mengakomodasi kepentingan dari seluruh negara anggota WTO. Namun faktanya, proses retaliasi amat jarang dilakukan oleh negara anggota. Hal ini disebabkan oleh adanya latar belakang yang bersifat politis dan juga adanya kepentingan ekonomi. Oleh karenanya, Indonesia sebagai negara berkembang mengurungkan niat dalam melakukan penengakkan hukum yang menyangkut proses retaliasi.25 Tahap yang panjang dan memerlukan waktu yang lama sebelum dan sampai pada tahap implementasi retaliasi menjadikan hal ini salah satu fakor penyebab proses penyelesaian sengketa ini dikatakan tahap yang rumit, karena pada dasarnya terdapat empat fase dalam proses penyelesaian sengketa dalam Dispute Settlement Mechanism (DSM) di WTO, yaitu:
Tabel 1.1 Tahapan Penyelesaian Sengketa WTO No 1 2 3 4
Tahapan (Proses) Konsultasi Proses Panel dan Hasil Putusan Panel Proses Banding Pengawasan Implementasi Total
Waktu yang dibutuhkan (Hari) 60 45 dan 180 60-90 30 405 Hari
Sumber: World Trade Organization (WTO)
Secara keseluruhan jika dapat dihitung, waktu yang dihabiskan oleh suatu negara (Indonesia) untuk melakukan retaliasi yaitu satu tahun lebih, itu belum termasuk waktu yang dihabiskan untuk menunggu realiasasi dari Negara tergugat 25
Freddy Joseph Pelawi, Retaliasi Dalam Kerangka WTO, KPI, Buletin 46, 2007, p. 1.
19
untuk mengajukan banding atau mengharmonisasikan aturan domestiknya sesuai aturan WTO. Setelah Panel memustuskan bahwa Indonesia memenangkan sengketa rokok kretek tersebut, Amerika Serikat merasa tidak puas dengan keputusan Panel sehingga Amerika mengajukan banding kepada Appellate Body untuk memeriksa kembali apakah putusan Panel tersebut sudah cukup benar. Nyatanya pun, hasilnya tetap sama. Appellate Body tetap memutuskan dan memastikan bahwa keputusannya untuk memenangkan Indonesia dalam sengketa rokok tersebut memang benar dan Indonesia diberikan hak untuk melakukan retaliasi.
Ketika suatu sengketa telah diputuskan oleh Panel dan Appelate Body WTO, maka negara pelanggar diperintahkan untuk memperbaiki atau mengubah pelanggarannya terhadap prinsip WTO. Negara penuntut berhak untuk meminta dibentuknya compliance panel untuk menilai apakah negara pelanggar telah memenuhi keputusan Panel dan Appelate Body. Jika Compliance Panel memutuskan bahwa negara pelanggar belum mengubah praktek dagangnya sesuai keputusan, maka negara penuntut berhak untuk meminta hak retaliasi pada Panel Arbitrasi. Berdasarkan Pasal 22.3 dari DSU yang mendeskripsikan retaliasi, secara sederhana retaliasi dapat dibagi menjadi 3 jenis26, yaitu: 1. Parallel Retaliation: negara penuntut harus melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam sektor perdagangan yang sama di mana pelanggaran terjadi. Retaliasi jenis ini tidak terbatas menaikkan tarif bagi komoditas sejenis, tetapi juga bisa dalam bentuk meminta ganti rugi dengan sejumlah uang yang setara dengan jumlah kerugian. 2. Cross‐sector Retaliation: Negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam sektor berbeda di bawah perjanjian yang sama, jika retaliasi dalam sektor yang sama terbukti tidak efektif.
26
Bown, CP. 2009, Self Enforcing Trde Developing Countries and WTO Dispute Settlement, Brooking Instituion Press, Washington D.C. pp. 47-48.
20
3. Cross‐Agreement Retaliation: Jika situasi dianggap cukup serius dan retaliasi beda sektor dianggap tidak efektif, maka negara penuntut dapat melakukan retaliasi pada negara pelanggar dalam perjanjian perdagangan yang berbeda. Akan tetapi pada kenyataannya sanksi atau retaliasi ini juga kemudian jarang digunakan oleh negara berkembang karena implementasinya terkadang justru memberatkan negara berkembang. Kemudian masalah muncul dari proses penyelesaian sengketa rokok kretek ini, karena hak retaliasi yang diberikan Appellate Body kepada Indonesia nyatanya tidak dilakukan oleh Indonesia. Indonesia lebih memilih menutup kasus ini dengan Amerika Serikat. Kerumitan implementasi retaliasi inilah salah satu yang menyebabkan Indonesia tidak melakukan retaliasi atas sengketa rokok kretek tersebut. Dalam proses menuju tahap retaliasi yang ingin dilakukan, Indonesia sebagai Negara penggugat harus melakukan beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu: Tabel 1.2 Ketentuan Pelaksanaan Retaliasi WTO Tahapan
Ketentuan dan Kewajiban
Setelah dinyatakan menang dalam keputusan Panel dan Arbitrase WTO setelah melewati fase banding, Retaliating Country yang Pertama
ingin melakukan retaliasi harus meminta kajian kepada ahli (experts) untuk bisa memberikan perhitungan keuntungan dan kerugian yang dialami jika melakukan retaliasi
Kedua
Sebagai salah satu tindakan formal, beban pembuktian seperti yang sudah tertera dalam Pasal 22 ayat (6) untuk proses Arbitrase sama halnya dari beban pembuktian dalam proses Panel di WTO.
21
Baik Negara anggota yang dianggap bertindak sesuai dengan kewajibannya dalam WTO maupun yang dianggap sebaliknya, memiliki beban pembuktian yang sama. Terkait dengan permintaan otorisasi pelaksanaan retaliasi, Arbiter biasanya akan meminta Retaliating Country untuk memberikan laporan perhitungan metodologis mengenai apa saja yang akan dikenakan tindakan retaliasi. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan mengingat bahaya yang akan ditimbulkan apabila retaliasi dilaksanakan hanya sebagai ‘pemuas’ bagi Retaliating Country dan digunakan sebagai alat penekan bagi Non Compliance Country.
Setelah memberikan laporan, sebelum dilakukannya tindakan retaliasi, terlebih dulu para pihak harus menegosiasikan Ketiga
mengenai kemungkinan pengenaan kompensasi27 selambatlambatnya sebelum berakhirnya jangka waktu yang wajar28 pelaksanaan putusan atau rekomendasi DSB. Dari sudut pandang ekonomi, pelaksanaan kompensasi lebih tepat digunakan daripada penangguhan konsesi. Namun, kompensasi juga
27
DSU, Pasal 22 ayat (2).
Mengenai “reasonable period of time” dalam Pasal 22 ayat (1) DSU, terdapat 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan acuan untuk menetapkan jangka waktu yang wajar, yaitu: a. Periode yang diusulkan oleh anggota yang bersangkutan, asalkan disetujui oleh DSB; b. Dalam hal tidak adanya persetujuan DSB, maka jangka waktu yang wajar ditetapkan berdasarkan waktu disepakati bersama oleh para pihak yang bersengketa dalam waktu 45 hari dari penerapan laporan; c. Dalam hal tidak ada perjanjian tersebut, periode ditentukan melalui arbitrase dalam waktu 90 hari sejak mengadopsi laporan (David Palmeter dan Petros C.Mavroidids, 2004, Dispute Settlement in the World Trade Organization, Practice and Procedure, Cambridge: Cambridge University Press, p. 236). 28
22
memiliki kelemahan bagi Complainant Party terutama dari sudut pandang industri Complainant Party29 yang terkait dengan sengketa,
kelemahan
tersebut
adalah
kompensasi
berupa
pengurangan hambatan tidak secara efektif menghilangkan ketidakpatuhan Defendant Party. Jika tidak ada kesepakatan mengenai kompensasi dalam waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal berakhirnya jangka waktu yang wajar, pihak penggugat dapat meminta otorisasi dari DSB untuk melakukan retaliasi yang termasuk dalam Covered Agreements.30
Apabila Complainant Party telah mengajukan permohonan otorisasi untuk melaksanakan retaliasi, maka Negara tersebut masih memerlukan jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah habisnya jangka waktu yang wajar untuk penerapan putusan atau rekomendasi DSB dan tidak adanya kesepakatan mengenai kompensasi, Indonesia baru akan menerima otorisasi pelaksanaan retaliasi dari DSB, apabila retaliasi dilaksanakan masih dalam lingkup Covered Agreements dan tidak ada penolakan secara konsensus.31 Padahal, dalam pelaksanaan retaliasi, tidak jarang timbul sengketa mengenai seberapa jauh retaliasi boleh Keempat
dilaksanakan (level of suspension), prinsip, serta prosedur retaliasi. Dalam hal terjadinya sengketa, maka dapat diselesaikan melakui Arbitrase.32 Keputusan hasil Arbitrase ini bersifat final
29
Rumusan Pasal 22 ayat (2) DSU menggunakan istilah “any party having invoked the dispute settlement procedures” namun dalam tulisan ini yang dimaksud adalah pihak tergugat yang dinyatakan kalah oleh putusan DSB. 30
DSU, Pasal 22 ayat (2).
31
DSU, Pasal 22 ayat (6).
32
DSU, Pasal 22 ayat (6).
23
dan
oleh
karena
itu,
keputusan
tersebut
harus
segera
diberitahukan kepada DSB untuk diadopsi.33 Setelah keputusan tersebut diadopsi dan tidak ada konsensus yang menolak pemberian otorisasi tersebut, DSB harus memberikan otorisasi kepada Complainant Party untuk melaksanakan retaliasi sesuai dengan keputusan arbitrase.
Prosedur retaliasi di atas menjelaskan bagaimana kemudian kondisi suatu Negara tersebut bisa melakukan retaliasi. Kondisi tersebut didukung pula oleh bukti bahwa kebijakan dari Negara tergugat telah meyebabkan kerugian domestik yang diterima Negara penggugat serta Negara penggugat harus sudah melalui beberapa proses kerangka penyelesaian sengketa sebelumnya. Akan tetapi, kemudian ada pula beberapa kondisi yang akhirnya menyebabkan Negara penggugat (Negara berkembang) tak bisa untuk melakukan retaliasi karena sampai saat ini, belum ada Negara berkembang yang berhasil melakukannya serta retaliasi ini menjadi tahapan yang sulit dilakukan. Menurut Bown (2010), beberapa kondisi tersebut antara lain:34 a) Sanksi yang ditimbulkan dari retaliasi oleh Negara berkembang tidak mampu mendesak Negara tergugat untuk patuh pada aturan WTO.
DSM
diciptakan
untuk
mengatasi
kerugian
yang
ditimbulkan dari kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan WTO, akan tetapi dalam prakteknya mekanisme retaliasi tidak mampu dilaksanakan oleh Negara berkembang yang tidak memiliki kekuatan secara hukum, politik serta ekonomi untuk bisa memaksakan Negara tergugat (Negara maju) untuk bisa mematuhi aturan yang sudah disepakati sebelumnya.
33
DSU, Pasal 22 ayat (7).
Chad P. Bown & Joost Pauwelyn, 2010, “The Law, Economic and Politics of Retaliation in WTO Dispute Settlement”, Cambridge International Trade and Economics Law, Washington D.C, pp. 336-343. 34
24
b) Negara berkembang akan membahayakan dirinya sendiri jika melakukan retaliasi dengan memberikan sanksi terhadap Negara tergugat (Negara maju). Artinya, Negara berkembang akan mendapatkan kerugian ke depannya jika melawan Negara maju, karena nuansa politis di dalamnya yang masih sangat kental. c) Peraturan retaliasi justru dapat melawan kepentingan Negara berkembang. Tujuan dari dilaksanakan retaliasi adalah untuk mendapatkan ganti rugi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Negara lawan, akan tetapi hal ini justru akan menimbulkan masalah bagi Negara berkembang jika dilihat dari kalkulasi ekonomi yang dikeluarkan selama proses berlangsung karena biaya yang dikeluarkan suatu Negara untuk melakukan retaliasi tak sedikit. Dalam prakteknya, retaliasi nantinya hanya akan memberikan
keuntungan
bagi
Negara
berkembang
yang
dikategorisasikan memiliki tingkat perekonomian yang baik. Dalam kerangka penyelesaian sengketa di WTO termasuk proses retaliasi, tahapan ini nyatanya Negara penggugat memerlukan waktu dan proses yang panjang sampai akhirnya retaliasi bisa dilakukan. Setelah Negara tersebut melalui tahap retaliasi (dalam kasus ini Indonesia) dengan cara meminta sejumlah uang kepada Amerika Serikat, kepastian akan kepatuhan Amerika terhadap keputusan atas keputusan Panel masih diragukan. Hal ini pun terbukti dengan adanya keputusan Amerika Serikat tetap sama yaitu tidak ingin melakukan pembayaran ganti rugi atau comply dengan aturan WTO tersebut. Kerugian, kerumitan dan proses panjang yang harus dilewati sampai akhirnya ingin melakukan retaliasi pun tidak terlaksana. Setelah proses panjang, ukuran biaya pun menjadi pertimbangan bagi suatu Negara untuk melakukan retaliasi. Berdasarkan Peraturan Presiden (Pepres) No 54 Tahun 2010 Pasal 17, tentang pengadaan barang dan jasa, dijelaskan bahwa anggaran pemerintah dalam proses konsultasi dalam sengketa perdagangan maksimal senilai 100 Milyar Rupiah, akan tetapi dalam proses konsultasi dan kajian yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam sengketa rokok kretek menghabiskan biaya sekitar 10
25
Milyar Rupiah. Ini sudah menjadi bukti bahwa kebutuhan biaya akan penyelesaian suatu sengketa memang tak sedikit. Ditambah lagi, ketidakpatuhan Negara tergugat terhadap aturan yang sudah ada bahkan saat Negara penggugat sudah berusaha melanjutkan sengketa ke tahap berikutnya ditambah lagi Negara penggugat (Indonesia sebagai Negara berkembang) tidak mempunyai power untuk menekan Amerika Serikat agar patuh terhadap aturan WTO. Tak hanya itu, jika dilihat dalam kasus ini, Indonesia juga beranggapan jika retaliasi ini diteruskan dan berhasil untuk dilaksanakan, nantinya akan menyebabkan kerugian di masa depan bagi Indonesia sendiri dikarenakan kekhawatiran Indonesia terhadap perang dagang di masa depan, hubungan diplomatis yang sudah dijalin selama ini akan memburuk serta adanya tindakan pembalasan lain yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam sektor perdagangan atau sektor lainnya. Oleh sebab itu, banyak Negara memilih untuk tidak melakukan retaliasi dikarenakan pertimbangan-pertimbangan tersebut, karena dianggap penghentian sengketa dagang akan lebih menguntungkan dibandingkan melakukan retaliasi yang tahapannya sangat rumit dan membutuhkan biaya besar, ditambah lagi tekanan yang di dapat dari pihak ketiga serta ada kemungkinan tuntutan lain dari Negara tergugat akibat berlarut-larutnya penyelesaian sengketa pada tahap retaliasi ini. Hal itulah yang kemudian membuat Indonesia sebagai contoh Negara berkembang yang mengurungkan niatnya untuk tidak melakukan retaliasi terhadap Amerika
Serikat.
Dalam
hal
ini
terbukti
bahwa
Indonesia
cenderung
memaksimalkan keuntungan yang didapat dari kesepakatan menutup sengketa ini dengan Amerika Serikat salah satunya dengan memperbolehkan peredaran produk cigars dan cigarillos (sejenis cerutu) buatan Indonesia tetap masuk ke Negara Paman Sam tersebut. VI.
ARGUMEN UTAMA Implementasi retaliasi sebagai kerangka penyelesaian sengketa DSM
WTO sulit untuk dilakukan, disebabkan karena dua hal antara lain: Pertama, kerumitan mekanisme retaliasi dan pertimbangan kalkulasi karena suatu negara harus melalui beberapa tahap prosedural. Tahap panjang dan
26
tak
ada
batasan waktu
dalam penyelesaian sengketa
serta kerumitan
pelaksanaannya kemudian menjadikan Negara anggota jarang untuk memilih melakukan retaliasi dalam penyelesaian sengketa dagangnya dengan Negara lain. Penghitungan
kalkulasi
ekonomi
seperti
biaya
yang
diperlukan
untuk
penyelesaian sengketa juga menjadi faktor penting penyebab retaliasi sulit untuk diimplementasikan apalagi bagi Negara yang kondisi perekonomiannya tidak baik. Kedua, walaupun secara teknis, aturan pada rezim internasional pun sudah ada, tetapi dalam implementasinya nuansa politis sangat kental diantara Negaranegara anggota WTO, dikarenakan WTO sendiri tidak mampu membuat Negara anggotanya untuk mematuhi aturan yang telah disepakati. Sehingga, dalam prakteknya, prosedur pelaksanaan penyelesaian sengketa seperti retaliasi sulit untuk diimplementasikan oleh Negara berkembang. Seperti contohnya yang terjadi pada Amerika Serikat terkait rokok kretek. Pada kasus tersebut Amerika Serikat
tidak
mematuhi
aturan
rezim
internasional
dengan
tidak
mengharmonisasikan kebijakan domestiknya dengan aturan WTO. Kemudian, Indonesia yang posisinya terdesak karena khawatir hubungan diplomatis dengan Amerika Serikat akan memburuk, serta adanya kemungkinan Amerika Serikat akan membalas dengan tindakan lain. Oleh sebab itu, Indonesia akhirnya lebih memilih alternatif penyelesaian sengketa yang lebih rasional (seperti penyelesaian sengketa di luar kerangka DSM WTO) daripada melaksanakan retaliasi, dikarenakan tidak ada jaminan bagi Amerika Serikat untuk patuh terhadap putusan panel. VII.
METODE PENELITIAN Penulisan tesis yang membahas tentang mekanisme retaliasi dalam
kerangka penyelesaian sengketa Dispute Settlement Mechanism WTO yang sulit untuk diimplementasikan, dengan melihat kasus: sengketa rokok kretek antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini menggunakan metode kualitatif. Metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai literatur. Penulis menggunakan referensi buku yang memuat proses penyelesaian sengketa WTO serta karakteristik, kelemahan serta mekanisme dan tujuan dari retaliasi.
27
Penulis menggunakan referensi ini untuk menganalisa data-data sengketa yang berasal dari literatur online, berupa jurnal serta dokumen sengketa yang relevan dari WTO untuk menjawab rumusan masalah dan membuktikan argumen utama penulis. Analisa ini juga didukung dengan data-data dari organisasi dan institusi terkait sengketa seperti USTR, UNCTAD dan Kementrian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag). Penulis juga telah melakukan penelitian ke kantor Kementrian Perdagangan Republik Indonesia pada Dirjen Kerjasama Multilateral dan bilateral selama satu minggu serta melakukan wawancara dengan Kepala Seksi Aturan Perdangan Internasional beserta Staff. Dari hasil analisa sengketa, penulis menarik kesimpulan dari sengketa antara Indonesia dan Amerika Serikat yang dapat menjadi pertimbangan bagi negara berkembang terkait dengan mekanisme dan aturan pelaksanaan retaliasi. VIII.
SISTEMATIKA PENULISAN Dalam penulisan penelitian ini menjadi sebuah karya tulis, penulis
membagi dalam beberapa bab dimana diantara bab-bab tersebut saling berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan utuh. Bab I: Bab ini berisikan tentang pendahuluan, yang menjelaskan mengenai latar belakang adanya peraturan dan mekanisme penyelesaian sengketa oleh organisasi perdagangan dunia, WTO. Tahapan dan aturan main penyelesaian sengketa pun sudah disetujui oleh semua anggota WTO dalam perdagangan internasional. Tahapan tersebut meliputi tahapan konsultasi, proses panel, banding dan implementasi. Bab ini juga menjelaskan adanya tahap retaliasi yang menjadi bagian penting dalam implementasi yang kemudian ini nyatanya sulit untuk dilakukan. Kemudian, bab ini juga memuat rumusan masalah penulis, penjelasan kerangka konseptual untuk analisa sengketa, argumen utama, serta metode penelitian yang digunakan oleh penulis.. Bab II: Merupakan pembahasan bagian pertama, bagian ini menjelaskan mengenai prosedur pelaksanaan retaliasi dalam kerangka penyelesaian sengketa perdagangan internasional di WTO. Bab ini juga menjelaskan mengenai proses suatu Negara yang bersengketa sampai akhirnya mendapatkan putusan hak atas
28
retaliasi, akan tetapi tidak bisa terlaksana. Bab ini menjelaskan penyebab mekanisme retaliasi yang sulit untuk dilakukan oleh khususnya Negara berkembang. Bab III: Menjelaskan tentang contoh kasus sengketa pelarangan peredaran rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat, dimana dalam kasus ini Indonesia dan AS sudah melewati tahap panjang dalam proses penyelesaian sengketa yang pada akhirnya oleh Appellate Body Indonesia diberikan hak untuk melakukan retaliasi atas AS. Bab ini juga menjelaskan mekanisme retaliasi dalam kerangka WTO nyatanya
menyulitkan
Indonesia
sebagai
bagian
penutup
Negara
berkembang
untuk
mengimplementasikannya. Bab IV: Merupakan
yang
mencakup
rangkuman
mekanisme retaliasi dalam penyelesaian sengketa perdagangan internasional serta analisanya. Bab ini menggunakan sengketa pelarangan peredaran rokok kretek Indonesia di Amerika Serikat untuk memberikan gambaran umum bahwa mekanisme retaliasi nyatanya sulit untuk diimplementasikan terutama bagi Negara berkembang.
29