I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat petani di Indonesia lekat dengan image atau citra sebagai komunitas lapisan kelas bawah, hidup serba kekurangan atau pas-pasan, atau bahkan masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini seakan menggambarkan bahwa masyarakat petani identik dengan masyarakat miskin yang terbelakang dalam segala hal. Pandangan ini dapat dipahami karena kondisi masyarakat petani di Indonesia memang sebagian besar adalah masyarakat miskin dan tinggal di pedesaan yang belum memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli atau penghasilan yang diperoleh dari hasil pertanian) (Moehtadi, 2008). Berdasarkan Sensus Pertanian (ST 2013) yg diselenggarakan BPS dari tahun 1963 memperlihatkan bahwa sekitar 28,28 juta orang miskin di Indonesi dan didominasi oleh para pekerja di sektor pertanian sebanyak 80-90 %. Akibat masyarakat petani yang cenderung miskin, banyak yang pindah dan beralih profesi di sektor informal dan formal, seperti bekerja di industri dan transportasi. BPS tahun 2013 melaporkan, jumlah petani di Indonesia menurun 5 juta orang. Perbedaan yang sangat kontras ketika kondisi masyarakat petani di Indonesia dibandingkan dengan masyarakat petani di negara- maju seperti Jepang. bahwa masyarakat petani dapat dikategorikan sebagai kelompok sejahtera dan.makmur. Petani di negara maju menekuni profesi sebagai petani adalah dalam rangka penanaman rnodal sehingga melalui usaha bertani, modal yang dikeluarkan bisa kembali dan mendapat keuntungan. Di Indonesia apabila masyarakat sebagai pengusaha pertanian tetap dianggap memiliki status sosial yang sama dengan masyarakat lain (Grabowski & Sivan, 1983). Sementara petani di Indonesia, umumnya menekuni profesi sebagai petani karena disebabkan faktor keadaan misalnya tingkat pendidikan yang rendah sehingga tidak memungkinkan untuk menekuni profesi lain selain menjadi petani. Konsep petani yang demikian sesuai dengan konsep petani yang dikemukakan Redfield (1982) yang menyebut petani sebagai kelompok masyarakat yang
1
pertaniannya adalah suatu rnata pencaharian dan bukan terutama untuk mencari keuntungan. Rendahnya
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
petani
di
Indonesia
dibandingkan dengan petani di negara-negara maju seperti di Jepang, disebabkan berbagai faktor di antaranya perbedaan mendasar dalam penanganan bidang pertanian dalam hal ini terkait dengan adopsi inovasi (Scott, 1983).1 Adopsi inovasi dalam usaha pertanian tersebut mencakup proses pengolahan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan pengolahan Tanaman Menghasilkan (TM). Adopsi inovasi pada proses TBM misalnya: (1) pembukaan hutan/semak belukar/ilalang, (2) pembukaan tanaman ulang, (3) pembukaan tanaman konversi, (4) pembukaan blok kebun, (5) pembukaan ajir teras, (6) pembibitan, (7) tanaman naungan sementara, dan (8) penilaian tanaman. Sementara proses TM misalnya pemupukan, panen dan pascapanen (Winarto, 2003). Di negara-negara maju, penanganan usaha pertanian mulai dari proses pengolahan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) sampai pada pengolahan Tanaman Menghasilkan (TM) telah menerapkan adopsi inovasi. Hal ini dapat dicontohkan dari cara pemilihan dan mempersiapkan lahan. Petani modern cenderung akan melakukan observasi dan pemilihan lahan terlebih dahulu sebelum melakukan penanaman. Hal ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor syarat tumbuh yaitu: iklim, tanah, topografi, dan elevasi serta membandingkan dengan kriteria yang dapat menunjang produktivitas (Pedoman Pengelolaan Budidaya Kopi Arabika, 1997). Pentingnya mempersiapkan lahan dengan baik karena kondisi tanah di tiap tempat tidak selalu sama, misalnya ada tanah yang unsur haranya kurang baik, tingkat ph
1
Para sosiolog pertanian Indonesia mengalami kesulitan apabila harus mengaplikasikan dua konsep yang berasal dari sosiologi Barat yang membedakan penggunaan kata “peasants” dan “farmers”. “Peasant” adalah petani yang memiliki lahan yang sempit dan memanfaatkan sebagian terbesar dari hasil produksi pertaniannya untuk kepentingannya sendiri, sehingga “peasant” sering disebut “subsistance farmer”. Sedangkan “farmers” adalah orang-orang yang hidup dari mengolah tanah pertanian tetapi berbeda dengan “peasants”, karena “farmers” menjual bagian terbanyak dari hasil pertanian mereka dan akrab menggunakan tekonologi pertanian yang modern, sehingga mereka sering disebut “commercial farmers”. Dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia, tidak ada kata yang berbeda bagi mereka yang hidup dari usahatani, sehingga hanya digunakan satu kata, yaitu petani. Apabila dilihat dari luas lahan yang dimiliki oleh para petani Indonesia (< 0,5 ha/petani), maka dapat dikatakan bahwa para petani Indonesia dapat digolongkan sebagai “peasants” atau “subsistance famers” dan bukan “farmers” seperti halnya para petani di negara-negara maju, seperti Inggris, Amerika Serikat dan Australia. 2
atau keasaman tanah yang terlalu tinggi sehingga tidak cocok untuk jenis tanaman tertentu (Winarto, 2003). Sementara petani di Indonesia, belum banyak melakukan hal tersebut (Hasanuddin, 2005). Penangan usaha tani seperti pada TBM ini yang belum dilakukan oleh petani di Indonesia. Petani masih belum terbiasa melakukan pengolahan tanah secara baik sebelum menanam tanaman. Padahal, cara penanganan usaha pertanian baik pada TBM maupun TM sangat mempengaruhi efisiensi waktu, biaya, dan tenaga. Mengolah tanah dengan menggunakan tenaga manusia (secara tradisional) misalnya, jelas kurang efektif dibandingkan dengan menggunakan traktor (cara yang lebih modern) (Winarto, 2003). Antara petani yang melakukan adopsi inovasi dengan petani yang masih menerapkan pola tradisional akan berbeda dalam hal perolehan tingkat produksinya. Petani yang melakukan adopsi inovasi akan memperoleh tingkat produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani trandisional. Tingkat produksi petani yang meningkat secara langsung akan berdampak pada tingkat pendapatan dan kesejahteran petani tersebut (Hasanuddin, 2005). Pagaran merupakan salah satu kecamatan yang ada di Tapanuli Utara di samping
beberapa
kecamatan
lainnya
dimana
masyarakatnya
umumnya
menggantungkan hidup dari hasil pertanian di sawah dan juga kemenyan. Akan tetapi, hasil pertanian seperti kemenyan yang sudah sejak lama menjadi andalan masyarakat di wilayah ini perlahan-lahan menurun. Kondisi perekonomian masyarakat pun semakin sulit dan terpuruk. Dalam kondisi yang demikian, masyarakat kemudian termotivasi untuk meniru masyarakat yang ada di kecamatanm lain di Tapanuli Utara khususnya Kecamatan si Borong-borong yang sukses menjadi petani kopi. Masyarakat di Kecamatan Pagaran umumnya bertanam kopi jenis kopi Arabika. Peralihan minat masyarakat ke usaha tanaman kopi di Kecamatan Pagaran tersebut, juga seiring dengan adanya upaya pemerintah mengarahkan bibit kopi ke jenis bibit Sigararuntung2 (bahasa Batak Toba, arti harafiah: si pembayar untung) 2
Kopi yang dibudidayakan petani di Siborong-borong mayoritas adalah kopi jenis hasil persilangan kopi Arabika dengan Robusta yang diperoleh dari Jember, Jawa Timur yang disebut dengan varietas Catimor. Penduduk setempat menyebutnya jenis varietas Catimor dengan kopi Ateng karena pokoknya yang rendah dan mudah dipanen. 3
yang berasal dari Tapanuli Utara. Bibit Sigararuntung itu telah menghasilkan pada umur dua tahun dengan produktivitas sekitar 1,2 ton per hektar per tahun. Selain itu, minat masyarakat di Kecamatan Pagaran terhadap tanaman kopi semakin tinggi terutama ketika kopi yang dibudidayakan petani di Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, mulai dilirik gerai kopi terbesar di dunia asal Amerika Serikat yakni Starbucks (Kompas, 2009). Bahkan, eksportir yang khusus menyuplai kebutuhan kopi untuk Starbucks siap membeli harga kopi dari petani lebih mahal dibandingkan dengan harga pasar. Hal ini memperlihatkan peran pemerintah misalnya penyuluh, masyarakat petani kopi yang telah berhasil seperti yang ada di Kecamatan Siborongborong adalah merupakan inisiator, motivator, dan fasilitator awal bagi masyarakat petani kopi untuk mengenal inovasi kopi bagi masyarakat di Kecamatan Pagaran. Tingginya minat masyarakat untuk menanam kopi di Kecamatan Pagaran Tapanuli Utara didukung hasil prasurvei yang dilakukan pada bulan Agustus 2010. Hasil pengamatan memperlihatkan minat masyarakat untuk menanam kopi sangat tinggi. Setiap keluarga di wilayah ini berusaha untuk ikut menanam kopi. Boleh dikatakan 80 persen penduduk di Kecamatan Pagaran menggantungkan hidup pada tanaman kopi. Meskipun minat masyarakat di Kecamatan Pagaran tinggi dalam menanam kopi, namun dalam pengelolaannya, masyarakat masih cenderung melakukannya secara tradisional. Dapat dikatakan bahwa masyarakat petani kopi yang ada di wilayah tersebut merupakan contoh petani yang belum melakukan adopsi inovasi kopi. Inovasi kopi dalam kajian ini dimaksudkan berkaitan dengan beberapa hal, seperti: (1) pemupukan tanaman dengan cara yang baik. Pemupukan tanaman kopi tidak bisa dilakukan dengan asal-asalan tetapi harus mempertimbangkan: (a) takaran pupuk sesuai dengan jenis tanah, (b) melakukan analisa tanah sebelum penentuan dosis pupuk, (c) melakukan analisa daun sebelum penentuan dosis pupuk, (4) takaran pupuk sesuai dengan musim yang sedang berlangsung, (5) takaran pupuk sesuai dengan jenis pupuk kimia yang digunakan, (6) menggunakan takaran pupuk KSP, KCL, Urea sesuai dengan jenis anjuran dengan dosis rekomendasi, dan (7) menggunakan takaran pupuk organik sesuai dengan kebutuhan tanaman. Petani kopi di Kecamatan Pagaran belum melakukan cara pemupukan tersebut.
4
Inovasi kopi juga dapat dilihat dari pengolahan tanah, pemeliharaan jalan dan saluran air, pengendalian gulma, menyulam, pangkasan, pemeliharaan naungan, pengendalian hama, dan penyiraman. Pengolahan tanah misalnya dalam inovasi kopi perlu mempertimbangkan beberapa hal, yakni: (1) pembukaan hutan/semak belukar/ilalang, (2) pembukaan tanaman ulang, (3) pembukaan tanaman konversi, (4) pembukaan blok kebun, (5) pembukaan ajir teras, (6) pembibitan, (7) tanaman naungan sementara, dan (8) penilaian tanaman. Akan tetapi, pengelolaan tanaman kopi di Kecamatan Pagaran belum melakukannya. Pengolahan tanah masih dilakukan secara manual, belum ada saluran air, belum ada cara pengendalian gulma yang efektif, serta belum dilakukan pemeliharaan naungan. Hal ini mengindikasikan bahwa petani kopi di Kecamatan Pagaran pada umumnya belum melakukan adopsi inovasi kopi. Cara pengelolaan tanaman kopi yang masih tradisional di Kecamatan Pagaran ini, juga didukung hasil prasurvei yang dilakukan peneliti pada bulan Agustus 2010 lalu. Hal tersebut ditunjukkan adri cara mengolah tanah, cara memberantas gulma dan hama, pemupukan tanaman kopi di beberapa desa yang ada di Kecamatan Pagaran3 cenderung masih menerapkan cara-cara tradisional. Dalam mengolah tanah misalnya, petani masih melakukannya secara manual yakni dengan menggunakan tenaga manusia. Kondisi lahan di beberapa desa tersebut umumnya juga termasuk merupakan lahan kering (up land), sehingga membutuhkan pengolahan yang lebih baik. Dalam membersihkan gulma pada lahan juga dilakukan dengan cara membakar sehingga perkembangan gulma tidak dapat tertangani secara tuntas. Dilihat dari cara petani menanam kopi juga masiah sangat tradisional yakni tanpa memperhatikan jarak tanaman kopi yakni hanya 1 sampai 1,5 meter, sedangkan idealnya adalah 2 sampai 2,5 meter. Jarak yang tidak memenuhi standar penanaman ini, mengakibatkan banyak batang kopi yang mati. Pemupukan yang dilakukan petani kopi juga masih mengandalkan cara-cara tradisional, seperti cara menentukan takaran pupuk, jenis pupuk yang digunakan. Waktu pemupukan yang tepat untuk tanaman kopi juga masih berdasarkan perkiraanperkiraan petani itu sendiri. Jenis pupuk yang digunakan juga masih mengandalkan 3
Desa Sibaragas, Desa Lumban Ina Ina, Desa Parhorboan, Desa Sipultak, Desa Dolok Saribu, Desa Lumban Silintong, Desa Simamora Hasibuan, Desa Sipultak Dolok, Desa Hasibuan 5
pupuk kimia, sehingga lambat laun tanah justru semakin kering dan gersang. Selain dapat mengerdilkan tanah, cara pemupukan yang kurang tepat juga dapat membuat sebagian tanaman mati. Terkait dengan masih rendahnya adopsi inovasi yang dilakukan masyarakat petani kopi di Kecamatan Pagaran tersebut, secara langsung berdampak pada tingkat produksi kopi yang dihasilkan. Dilihat dari luas tanaman kopi di Kecamatan Pagaran dibandingkan dengan rata-rata produksi tergolong rendah. Hasil produksi tahun 2003 – 2007, belum mampu mencapai 1 ton/Ha. Padahal, menurut Ichwan (2009) idealnya tanaman kopi setiap ha menghasilkan 1 ton. Kecenderungan petani kopi di Kecamatan Pagaran yang masih menerapkan cara-cara tradisional merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi kopi di kecamatan ini. Masyarakat pertani kopi masih enggan melakukan adopsi inovasi. Di satu sisi, hal ini dikarenakan minimnya atau ketidaktahuan petani akan inovasiinovasi pertanian. Namun di sisi lain, bisa juga karena informasi yang disampaikan oleh penyuluh, kurang meyakinkan sehingga petani enggan mengikuti anjuran dari penyuluh tersebut. Hal ini didasarkan pada sejumlah informasi yang diperoleh dari lapangan bahwa sebenanrnya di lokasi ini sebelumnya sudah cukup banyak penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan pada petani (Sihotang, 1996). Hasil prasurvei yang dilakukan pada bulan Agustus 2010, memperlihatkan bahwa kondisi petani di wilayah ini meliputi dua hal tersebut yakni, sebagian petani belum melakukan adopsi inovasi karena ketidaktahuannya tetapi juga sebagian petani sudah pernah mengikuti pelatihan dan mendapat informasi dari penyuluh atau mengikuti pendidikan dan pelatihan. Keengganan petani untuk melakukan adopsi inovasi ini salah satunya disebabkan penyebaran informasi yang oleh Roger (1995) dinamakan proses difusi di bidang pertanian masih belum memadai. Rogers & Shoemakers (1971) mengemukakan bahwa proses difusi inovasi berpengaruh terhadap percepatan adopsi inovasi pada petani (Hays, 1996; Hazell & Wood, 2000). Proses difusi inovasi ini memiliki empat elemen utama yakni: inovasi-inovasi, saluran inovasi, waktu (over time), dan sistem sosial. Inovasi-inovasi ini mencakup gagasan, tindakan dengan berbagai atribut inovasi yang menandai yakni: keuntungankeuntungan relatif (relative advantages), keserasian (compatibility), kerumitan (complexity), dapat diujicobakan (triability), dan dapat dilihat (observability). 6
Sementara saluran difusi berkaitan dengan saluran yang dapat digunakan untuk menyebarkan informasi terkait dengan inovasi-inovasi. Saluran inovasi ini sebagai salah satu elemen penting dari proses difusi dan sangat dibutuhkan untuk meyalurkan informasi inovasi kepada para petani. Saluran difusi ini oleh Rogers (1995) diartikan sebagai rangkaian hubungan diantara individu sebagai akibat terjadinya pertukaran informasi mengenai inovasi-inovasi, sehingga membentuk pola-pola atau modelmodel jaringan komunikasi tertentu. Ketersediaan saluran difusi yang memadai dapat mempercepat proses adopsi inovasi bagi para petani Glass & Thurston, 1987). Elemen lain dari proses difusi adalah waktu (over time). Waktu menunjukkan adanya proses yang dibutuhkan petani untuk sampai pada suatu adopsi inovasi. Dalam hal ini, elemen waktu terkait dengan proses keputusan inovasi yaitu tahapan proses sejak seseorang menerima informasi pertama sampai ia menerima atau menolak inovasi (Abrahamson, 1991; Adams, 1992; Adam & Wilson, 1996). Hal tersebut memperlihatkan bahwa kepekaan setiap orang terhadap inovasi berbedabeda. Ada sebagian orang yang mudah menerima inovasi, namun ada juga yang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sampai pada keputusan inovasi. Sementara elemen lainnya dalam proses difusi adalah ketersediaan sistem sosial yang dapat menjadi motor atau penggerak inovasi. Sistem sosial dalam masyarakat memudahkan terjadinya adopsi inovasi karena sistem social tersebut umumnya bisa diterima oleh semua kalangan dan lapisan dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian dan peran proses difusi inovasi yang dikemukakan Rogers (1995) tersebut, tampak bahwa proses difusi sangat berperan dalam menentukan adopsi inovasi termasuk di bidang pertanian. Proses difusi inovasi yang memadai, memudahkan petani sampai pada keputusan inovasi. Kondisi petani kopi di Kecamatan Pagaran yang belum sampai pada adopsi inovasi, merupakan gambaran bahwa proses difusi inovasi di wilayah ini selama ini masih kurang memadai. Berdasarkan hasil prasurvei yang dilakukan peneliti pada bulan Mei 2008 memperlihatkan bahwa sebenarnya penyuluhan-penyuluan di lokasi ini sudah dilakukan. Pada bulan Mei tersebut, dilakukan penyuluhan kopi oleh Mohammad Husain ahli tanaman kopi dan hama/penyakit tanaman yang didatangkan langsung dari Jember Jawa Timur seorang pakar dari Universitas Jember. Pada saat pelatihan, jumlah petani yang datang juga termasuk banyak. Materi penyuluhan yang diberikan 7
tim penyuluh menurut peneliti juga termasuk cukup baik karena membicarakan secara lengkap mengenai cara bertanam kopi yang baik. Selain pelatihan tersebut, sebelumnya juga sudah beberapa kali dilakukan penyuluhan yang sama. Hal seperti dikemukakan Sanggam Hutapea Center (2008) bahwa penyuluhan kepada masyarakat petani di Kecamatan pagaran sudah banyak dilakukan baik secara langsung di lapangan maupun dengan mengikuti workshop atau pelatihan khusus. Pendidikan dan pelatihan juga pernah dilakukan oleh Sanggam Hutapea Center dengan cara mengirimkan 25 orang petani dari seluruh kecamatan di Tapanuli Utara ke Brastagi selama satu minggu. Dalam Diklat ini, petani kopi dibekali sejumlah pengetahuan dan praktik untuk mengatasi berbagai permasalahan teknis budidaya yang dihadapi (Sanggam Hutapea Center, 2008). Uraian tersebut memperlihatkan bahwa informasi-informasi mengenai inovasi pertanian melalui penyuluhan-penyuluhan sudah cukup sering didapatkan petani kopi. Akan tetapi, petani kopi enggan melakukan adopsi inovasi seperti tampak dari pernyataan seorang petani kopi kepada Toruan (2008) selaku salah seorang penyuluh seperti berikut: “Unang diajari ho ahu mangula, alana andorang so tubu pe ho nungga mangula ahu. Muse kopi ni halak an diulahon songon nanidok ni angka penyuluh i, hape tong do sarupa dohot kopikkon.” (Jangan kamu ajari saya bertani, karena sebelum kamu lahirpun saya sudah bertani. Lagipula, orang sana melakukan apa yang disampaikan oleh penyuluh tapi hasilnya sama saja dengan produksi kopi saya) (Lumbantoruan, 2008). Sulitnya petani kopi di Kecamatan Pagaran untuk menerima inovasi-inovasi seperti yang disampaikan oleh para penyuluh, dapat disebabkan berbagai faktor di antaranya proses difusi yang ada selama ini kurang sesuai dengan keadaan masyarakat setempat (Butar-butar, 1990). Seperti diketahui bahwa karakteristik masyarakat petani kopi di wilayah ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan masyarakat di wilayah atau daerah lain. Sebagai petani kopi yang memiliki etnis Batak Toba, nilai-nilai budaya masih sangat dijunjung tinggi oleh semua kalangan masyarakat seperti sistem sosial yang dinamakan Dalihan Na Tolu4. Dapat 4
Dalihan Na Tolu atau yang juga disebut „„Dalihan Nan Tungku Tiga‟‟ (artinya Tungku Nan Tiga). Dalihan Na Tolu adalah suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak. Istilah Dalihan Na Tolu merupakan kiasan yakni tungku yang biasa digunakan masyarakat Batak Toba untuk memasak. Dalihan artinya tungku, Na Tolu artinya yang bertiga. Tungku 8
dikatakan bahwa seluruh aktivitas masyarakat Batak Toba biasanya selalu berkaitan dengan Dalihan Na Tolu. Bagi masyarakat Batak Toba, Dalihan Na Tolu sudah diterima sebagai sebuah pengikat tata cara kehidupan bermasyarakat. Tidak hanya bagi orang Batak Toba yang tinggal di tanah Batak, tetapi juga berlaku bagi semua orang Batak Toba tanpa memandang status sosial, agama, jabatan di tempat kerja, tempat berdomisili (dalam dan luar negeri), dan tingkat pendidikan. Mengacu pada sistem sosial yang sangat kuat dan mengakar pada kalangan masyarakat Batak Toba tersebut, Dalihan Na Tolu dapat diduga sebagai sebuah sarana yang efektif dalam proses difusi inovasi pada masyarakat petani kopi. Melalui peran Dalihan Na Tolu dalam proses difusi inovasi, dapat mempercepat petani kopi sampai pada keputusan adopsi inovasi. Pentingnya kesesuaian proses difusi yang diterapkan pada suatu masyarakat seperti pada masyarakat petani kopi di Kecamatan Pagaran, karena informasiinformasi yang disampaikan oleh pihak berkompeten seperti penyuluh pertanian, Litbang, lebih mudah diterima petani. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan konsep pembangunan yang pernah digalakkan Raja Inal Siregar, selaku Gubernur Sumatera Utara sewaktu masa pemerintahannya yakni membangun provinsi ini sesuai dengan semboyan masyarakat Batak Toba dengan “MARTABE” (singkatan dari Marsipature Hutanabe,
artinya:
masing-masing
memperbaiki/membangun
kampungnya).
Semboyan ini cukup efektif dalam memotivasi masyarakat Batak Toba untuk membangun kampung halamannya masing-masing.5
terdiri dari tiga batu yang dibentuk atau diletakkan dalam posisi segitiga dan di atasnya diletakkan atau dijadikan untuk memasak berbagai kebutuhan seperti teh, nasi, sayur, dan lain-lain. Filosofi tungku ini dijadikan sebagai sistem kekerabatan yang dinamakan Dalihan Na Tolu, karena untuk menjadikan tungku dapat berfungsi dengan baik bila dibentuk dari tiga buah batu, ketiganya harus ada dan akan saling menopang satu sama lain. Tungku tidak akan bisa berfungsi bila satu di antaranya tidak ada. Hal yang sama juga demikian dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba yang dinamakan Dalihan Na Tolu. Di dalam Dalihan Na Tolu terdapat tiga unsur hubungan kekeluargaan, yakni: (1) Dongan Sabutuha (teman semarga), (2) Hula-hula (keluarga dari pihak isteri), dan (3) Boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki). ketiga unsur ini saling menopang dan selalu harus ada. 5 Martabe, merupakan semboyan yang dicanangkan oleh Raja Inal Siregar, Mantan Gubernur Sumatera Utara. Semboyan ini efektif memotivasi masyarakat Batak Toba untuk membangun kampung halamannya masing-masing. Tidak saja oleh orang-orang yang tinggal di kampung halaman, tetapi juga masyakarat Batak Toba yang ada di perantauan seperti di kota-kota besar. Masyarakat yang ada diperantauan biasanya ikut berpartisipasi membangun sarana dan prasarana di kampung halamannya masing-masing dengan memberikan sumbangan berupa uang atau dana. Selain itu, juga aktif membangun perekonomian keluarganya. Tindakan ini jelas mampu meningkatkan perekonomian masing-masing desa. 9
Berdasarkan pengamatan di lapangan, dapat diketahui bahwa cara pengolahan tanaman kopi yang dilakukan masyarakat selama ini, cenderung masih menggunakan cara-cara tradisional. Namun, sedikit telah menerapkan hal-hal baru (inovasi) dalam pengelolaannya. Tabel 1.1. Sistem Pengelolaan Tanaman Kopi di Kecamatan Pagaran Unsur-unsur Pengolahan Pengolahan tanah Pemeliharaan jalan dan saluran air Pengendalian gulma Menyulam Pangkasan Pemeliharaan naungan Pengendalian hama Penyiraman Pemupukan Sumber: Hasil observasi dan wawancara
Tradisional √ √ √ √ √ √ √ √ √
Inovasi √
√ √ √ √
Petani kopi sejak lama sebagian besar mengolah tanah masih dengan cara-cara tradisional yakni dengan cara manual. Dalam hal ini, pertimbangan inovasi teknologi pengolahan lahan sangat penting, misalnya dengan cara penggunaan traktor. Traktor merupakan mesin yang digunakan untuk menggerakan implement berupa bajak untuk mengolah tanah. Dengan adanya traktor, traktor dapat meringankan kerja yang tidak manusiawi seperti mencangkul lahan yang sangat luas dengan tenaga manusia. Dengan adanya traktor maka kerja-kerja yang seperti itu dapat dilaksanakan dengan cepat dan efisien, juga dapat meringankan beban petani sehingga petani dapat mengerjakan pekerjaan lain dalam proses produksi produk pertanian (Kramadibrata, 2008). Dalam hal pemeliharaan jalan dan saluran air, pengendalian gulma, menyulam, dan penyiraman masih dilakukan secara tradisional. Artinya, petani tidak melakukan kegiatan-kegiatan tersebut secara teratur. Tanaman kopi yang sudah ditanam cenderung dibiarkan bertumbuh tanpa ada perlakuan khusus yang dapat mempercepat tanaman tersebut untuk bisa berproduksi. Tanaman kopi yang tidak mendapatkan air atau penyiraman yang cukup tentunya akan berdampak pada pertumbuhan tanaman tersebut. Sementara untuk pangkasan, pemeliharaan naungan, pengendalian hama, dan pemupukan, sebagian petani masih melakukan cara-cara tradisional dan sebagian petani lainnya telah melakukan inovasi. Misalnya, untuk 10
pemupukan ada sebagian petani yang sejak lama tetap menggunakan pupuk kimia. Padahal, pupuk kimia memiliki dampak buruk bagi unsur hara tanah. Tanah akan menjadi kerdil dan gersang karena tanah terlalu banyak menyerap zat-zat kimia. Sementara sebagian petani lainnya telah melakukan inovasi, misalnya menggunakan pupuk organik yang diolah sendiri sehingga tanah akan menjadi lebih sehat dan memiliki umur produksi yang lebih panjang. Mengacu pada kondisi petani kopi tersebut, pembangunan petani kopi dalat dilakukan dengan menggunakan sistem sosial Dalihan Na Tolu sebagai proses difusi inovasi. Tingginya penghormatan masyarakat Batak Toba terhadap sistem sosial Dalihan Na Tolu dapat memudahkan masyarakat petani kopi menerima inovasiinovasi di bidang pertanian. Hal ini didukung dengan berbagai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya seperti dilakukan Butarbutar (1990) mengenai “Tapanuli Utara, Petani dan Adat”. Penelitian dilakukan di 54 Desa di Tapanuli Utara dengan mewawancarai sebanyak 70 keluarga petani. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa sistem sosial Dalihan Na Tolu, berperan efektif sebagai penggerak pembangunan desa. Masyarakat Tapanuli Utara yang sebagian besar (72,5 %) adalah petani yang tinggal di pedesaan dan disebut sebagai masyarakat tradisionil atau masyarakat Dalihan Na Tolu. Penggerakan pembangunan di desa ini memerlukan motor penggerak. Selain penggerak yang meliputi kekuasaan pemerintahan, kekuasaan non-pemerintahan, dan kekuasaan personal dapat diketahui bahwa penggerak pembangunan di wilayah ini adalah sistem sosial Dalihan Na Tolu. Hasil penelitian Butarbutar (1990) memperlihatkan bahwa Dalihan Na Tolu menjadi motor penggerak masyarakat Tapanuli Utara dalam pembangunan. Hal tersebut dilakukan melalui kegiatan gotong-royong. Dalihan Na Tolu sebagai penggerak pembangunan, mendorong pembangunan yang dilakukan di desa tersebut perlahan-lahan menuju suatu proses modernisasi dan proses modernisasi ini dipercepat oleh terbukanya berbagai akses misalnya gotong-royong membuat jalan. Konsep gotong-royong dalam masyarakat pada masyarakat petani juga ditunjukkan dalam melakukan suatu ulaon (pesta) 6. Hasil penelitian yang dilakukan 6
Suatu upacara yang semulanya adalah ulaon na metmet (pesta kecil) ternyata dapat menjadi suatu ulaon nabalga (pesta besar). Pola Dalihan Na Tolu membenarkan dan kenyataannya tidak mendapat tantangan dari masyarakat. Tetapi suatu ulaon na balga tidak dapat tertransformer menjadi ulaon na metmet, suatu ulaon na balga haruslah mencakup semua bagian, pengurangan-pengurangan 11
Butarbutar pada masyarakat petani memperlihatkan adanya unsur gotong royong yang sangat kuat pada Dalihan Na Tolu. Dalam garis besarnya, sebelum melaksanakan suatu upacara terencana bersifat sukacita, pemilik pesta (suhut) harus terlebih dahulu menyadari: sampai dimana kesiapan pelaku-pelakunya dan pembiayaan. Setelah itu – H-day ditetapkan – hasrat disampaikan dalam tonggo raja (pertemuan yang terdiri dari kerabat dekat suhut, tetangga atau teman satu lingkungan dari marga-marga lain atas undangan suhut – direncanakan segala sesuatu untuk Hdays. Pada hari pelaksanaan pesta, terlihatlah peristiwa publik yang didukung secara gotong-royong oleh pelaku-pelakunya menurut pola Dalihan Na Tolu dan dukungan dari teman selingkungan, semua terlaksana rapi dalam suasana kekeluargaan. Hal lain yang ditemukan di lapangan dalam sistem Dalihan Na Tolu, adalah ditemukannya orang-orang yang berperan sebagai penggagas, innovator dalam masyarakat. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya beberapa orang yang dituakan di antara warga yang berperan aktif dibandingkan dengan yang lain. Orang tersebut biasa diharapkan dapat membuat kebijakan yang disetujui bersama, dan menjadi utusan dalam bermusyawarah dengan huta (desa) yang lain. Selain sebagai penggerak atau motor pembangunan di pedesaan, Dalihan Na Tolu juga berperan efektif sebagai saluran informasi. Hasil penelitian Butar-butar (1990) memperlihatkan adanya kebiasaan di kalangan petani yakni mereka harus menyelenggarakan dan memelihara hubungan sosial7 sesama mereka, umpamanya: seorang yang telah meningkat dewasa harus mencari jodoh diluar rumah tangga dimana mereka dilahirkan8, saling kunjung mengunjungi dalarn berbagai kegiatan secara spontan9 ataupun tidak spontan10 dan sebagainya. Dalam pertemuan seperti ini, sesama petani dapat saling tukar menukar pengetahuan yang dimilikinya. Hasil penelitian lainnya dilakukan Siahaan (1982) mengenai “Prinsip Dalihan Na Tolu dan Gotong-royong pada Masyarakat Batak Toba.” Hasil akan menimbulkan masalah, kenyataan yang dapat dilihat dalam upacara-upacara, bahwa klien marga itu menunggu dengan sabar pembagian jambar 7 dalam masyarakat Batak adalah “aib” bila seseorang itu disebut tidak beradat (nasomaradat), dan ini merupakan sanksi psikologis yang berat bagi nereka yang tidak menyelenggarakan dan memelihara hubungan sosialnya 8 Perkawinan eksogami, dalam masyarakat Batak terdapat juga perkawinan ideal antar seorang anak laki-laki dengan anak perempuan dari saudara kandung laki-laki ibunya 9 Di dalam berbagai peristiwa, terutama peristiwa kemalangan 10 Gokkon sipaimaon, jou-jou sialusan. (penantian terhadap undangan dan respon terhadap panggilan) 12
penelitiannya memperlihatkan bahwa sistem Dalihan Na Tolu yang ada pada masyarakat Batak Toba dapat menjadi penggerak pembangunan dan persatuan dalam masyarakat yang diwujudkan melalui kegiatan gotong-royong. Kegiatan gotongroyong tersebut biasanya dilakukan dalam tujuh macam kegiatan yakni: (1) gotongroyong yang timbul bila ada kematian atau beberapa kesengsaraan lain yang menimpa penghuni desa; (2) gotong-royong yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat desa; (3) gotong-royong yang terjadi bila seorang penduduk desa menyelenggarakan suatu pesta; (4) sistem gotong-royong yang dipraktekkan untuk memelihara dan membersihkan kuburan nenek moyang; (5) gotong-royong membangun rumah; (6) sistem gotong-royong dalam pertanian seperti membangun tali air atau irigasi, dan (7) kegiatan
gotong-royong
yang
berdasarkan
pada
kewajiban
kuli
dalam
menyumbangkan tenaga manusia untuk kepentingan masyarakat. Penelitian lainnya dilakukan Armawi (2008) mengenai “Kearifan Lokal Batak Toba Dalihan Na Tolu dan Good Governance dalam Birokrasi Publik.” Berdasarkan hasil penelitian tersebut dijelaskan bahwa Dalihan Na Tolu dapat berperan mengatur dan mengendalikan kehidupan orang Batak Toba tidak hanya dalam konteks ikatan adat saja, tetapi juga dalam bidang ekonomi, agama, politik, bahkan birokrasi. Penggunaan budaya Dalihan Na Tolu dalam penyelenggaraan birokrasi akan dapat menyulitkan seseorang dalam menjalankan dan melaksanakan aturan legal formal atau memenuhi dan memenangkan tuntutan adat. Pengaruh yang begitu kuat dari budaya Dalihan Na Tolu terhadap orang Batak Toba ada kemungkinan memenangkan tuntutan adat dalam penyelenggaraan birokrasi. Hal ini memperlihatkan bahwa Dalihan Na Tolu memiliki peran yang sangat kuat sehingga sistem sosial ini akan dapat efektif dalam mempengaruhi perilaku masyarakat Batak Toba. Kajian lainnya dilakukan Siregar (2010) mengenai “Revitalisasi Kearifan Lokal Batak Toba dalam Memperkuat Kerukunan Umat Beragama.” Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa Dalihan Na Tolu dapat berperan sebagai wadah dalam mempererat kerukunan umat beragama. Sistem Dalihan Na Tolu berwujud dalam bentuk hubungan-hubungan yang erat dan padu. Di antara wujud hubungan itu adal saling membantu dalam semua aspek kehidupan, yang diwujudkan dalam bentuk: (1) marsiripa, bergotong-royong dalam mengerjakan fasilitas umum; (2) marsiadapari, saling membantu dalam mengerjakan usaha dengan cara saling tukar-
13
menukar tenaga kerja; (3) tumpak, bantuan sukarela dari pihak boru kepada pihak hula-hula ( atau sebaliknya) dalam pelaksanaan upacara adat. Hasil penelitian Siregar (2010) memperlihatkan bahwa Dalihan Na Tolu dapat berperan efektif sebagai wadah dalam pengambilan keputusan melalui partungkoan (musyawarah). Partungkoan bagi suku Batak Toba memiliki fungsi sebagai: (1) wadah musyawarah tentang adat dan kepentingan umum; (2) lembaga pertimbanga kehakiman untuk memutuskan perkara akibat pelanggaran hukum dan penyelesaian perselisihan; (3) wadah Pembina warga, terutama dalam hal adat dan kemasyarakatan. Peran Dalihan Na Tolu melalui partungkoan sebagai wadah dalam berbagai macam hal kegiatan dalam masyarakat salah satunya tampak dalam hal penyelesaian konflik antarpihak dalam keluarga dekat atau masyarakat. Kegiatan semacam ini disebut dengan mardame atau mardenggan (berarti: berdamai atau berbaikan kembali). Dalam pelaksanaannya, pranata pardamean melibatkan orang-orang atau pihak-pihak yang bertikai dan juru damai. Juru damai yang berperan dalam acara itu disesuaikan dengan jenis, tingkatakn konflik dan orang-orang yang terlibat. Hal ini dapat dijelaskan: (1) perselisihan antara dongan sabutuha, juru damainya pihak boru dan hula-hula, (2) perselisihan antara dua pihak yang bukan dongan sabutuha, juru damainya pemuka adat (raja/kepala kampung); (3) perselisihan antara huta (kampung) juru damainya raja panimbang (raja naualu). Berdasarkan kajian-kajian yang pernah dilakukan oleh peneliti tersebut tampak bahwa Dalihan Na Tolu berperan sebagai saluran, wadah, dan penggerak dalam berbagai kegiatan di masyarakat baik yang berkaitan dengan kegiatan adat, ekonomi, penyelesaian konflik, maupun dalam pengembangan kegiatan pertanian. Pentingnya Dalihan Na Tolu sebagai saluran, wadah, dan penggerak berbagai kegiatan dalam masyarakat Batak Toba seiring dengan tingginya penghormatan masyarakat di wilayah ini terhadap sistem social tersebut. Hal tersebut ditinjukkan dengan filosofi Dalihan Na Tolu, yakni: Somba mar-Hula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Somba mar-Hula-hula, artinya harus hormat kepada pihak Hula-hula11 (keluarga isteri atau yang semarga dengan isteri). 11
Hula-hula bagi masyarakat Batak Toba adalah pihak yang dijunjung tinggi. Tingginya penghormatan orang Batak terhadap hula-hula tercermin dari kiasan yang digunakan yakni Debata na tarida (Tuhan yang nampak), meskipun sebagian kecil menolak hal tersebut. Oleh karena itu, apapun yang dikemukakan oleh hula-hula wajib ditaati, bahkan sekalipun bertentangan dengan prinsip hidup pribadi. 14
Manat mardongan tubu, mardongan tubu12, artinya harus bersikap hati-hati kepada saudara kandung, teman semarga, atau marga yang masih serumpun. Bersikap hati-hati dimaksudkan tidak boleh sembarangan memperlakukan Dongan Tubu, karena Dongan Tubu-lah yang menjadi teman untuk berdiskusi bila ada acara penting, misalnya dengan cara bergotong royong dalam hal dana, tenaga. Apabila hubungan tidak baik dengan Dongan Tubu, maka dengan sendirinya bebannya akan menjadi lebih berat. Elek marboru13, artinya terhadap Boru harus bersifat membujuk, merayu, pendekatan persuasif. Hal ini sesuai dengan karakter Boru yang pada umumnya mudah merajuk, sehingga dalam menghadapi pihak Boru harus bersikap lembut dan merayu. Dalam kaitannya dengan proses difusi, sistem Dalihan Na Tolu dapat berperan sebagai saluran difusi, wadah difusi, dan penggerak difusi. Proses difusi dilihat dari elemennya sebagai saluran difusi, memiliki relevansi dengan peran Dalihan Na Tolu sebagai saluran informasi yakni melalui kebiasaan di kalangan orang Batak Toba seperti martandang, saling kunjung-mengunjungi, arisan, parpunguan. Dalam kegiatan tersebut, terjadi saling tukar-menukar informasi termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan pertanian. Hal tersebut didukung hasil penelitian Butarbutar (1990) yang menunjukkan peran Dalihan Na Tolu dalam kegiatan pertanian. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat Batak Toba yakni martandang ke rumah family merupakan salah satu kesempatan bagi petani untuk saling berbagi informasi dengan anggota keluarga lainnya. Selain sebagai saluran difusi, Dalihan Na Tolu dalam kegiatan pertanian juga dapat menjadi suatu wadah difusi yang oleh Rogers (1995) disebut sebagai elemen disuse waktu (over time). Dalihan Na Tolu sebagai wadah difusi dimaksudkan sebagai tempat berdiskusi, bekerjasama, dan media belajar berkaitan dengan tanaman kopi. Hal ini didukung hasil penelitian yang dilakukan Siregar (2010) bahwa Dalihan Na Tolu bisa menjadi suatu wadah musyawarah dalam membicarakan banyak hal termasuk dalam hal pertanian. Sementara peran Dalihan Na Tolu sebagai penggerak atau motor dalam masyarakat sangat jelas dalam kajian yang dilakukan Butarbutar 12
Dongan Tubu, arti harafiah: teman lahir), ini merujuk kepada saudara kandung khususnya anak laki-laki. Dongan tubu juga dimaksudkan teman semarga, atau marga yang masih serumpun. 13 Boru, arti harafiah: anak perempuan, ini merujuk kepada anak perempuan dan pihak suaminya. 15
bahwa sistem sosial ini selama ini dapat menjadi penggerak pembangunan termasuk dalam hal pertanian. Hal yang menjadi masalah adalah bahwa selama ini peran Dalihan Na Tolu sebagai saluran, wadah, dan penggerak selama ini belum dilakukan kajian ilmiah terkait dengan proses difusi. Padahal, dampak peran Dalihan Na Tolu dalam berbagai kegiatan masyarakat sangat positif misalnya adanya gotong-royong untuk membangun tali air dapat mengatasi kekurangan air pada tanaman. Proses difusi inovasi yang belum memadai selama ini, dapat dipengaruhi banyak faktor seperti sumber informasi yang kurang memadai, dalam hal ini agen perubahan (agent change) sebagai inovator (Litbang, penyuluh, peneliti). Inovator yang ada selama ini sebagai sumber informasi tidak mampu menjalankan perannya sebagai sumber informasi di bidang pertanian sesuai dengan karakteristik masyarakat yang ada di Kecamatan Pagaran. Selain keterbatasan sumber informasi, proses difusi juga masih terhambat dengan kelangkaan saluran informasi yang ada di wilayah tersebut yakni rendahnya akses petani terhadap informasi inovasi melalui media elektronik (TV, Radion, VCD/Video, rekaman) maupun media cetak (surat kabar, majalah pertanian, brosur, poster). Di lokasi penelitian, barang-barang elektronik tersebut dapat dikatakan masih termasuk barang mewah atau lux karena belum semua masyarakat bisa memilikinya. Demikian halnya dengan media cetak yang belum banyak menyentuh masyarakat di pedesaan. Terbatasnya akses petani pada saluran informasi ini dapat mempengaruhi proses difusi. Proses difusi yang kurang memadai akan dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi pada petani kopi. Selain proses difusi yang belum memadai, kecepatan adopsi inovasi juga dapat dipengaruhi karakteristik petani itu sendiri seperti tingkat pendidikan, pengalaman, luas lahan, dan partisipasinya dalam kelompok. Hasil prasurvei yang dilakukan bahwa tingkat pendidikan masyarakat petani umumnya rendah yakni hanya berpendidikan SD. Pengalaman di bidang pertanian juga sangat terbatas. Dilihat dari luas lahan yang dimilikinya juga tergolong sempit sehingga petani kopi tidak termotivasi untuk melakukan pengolahan dengan menerapkan cara-cara yang lebih modern, misalnya mengolah lahan yang sempit cukup dengan tenaga manusia.
16
Sementara keterlibatan dalam kelompok khususnya di bidang kelompok tani juga masih sangat terbatas. Kondisi dari karakteristik petani ini, juga dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi pada petani kopi (Elgar, 1995). Mengacu pada kondisi tersebut, kajian mengenai pengaruh Dalihan Na Tolu dalam proses difusi inovasi merupakan hal yang penting untuk dikaji mengingat masyarakat petani kopi masih memegang teguh prinsip Dalihan Na Tolu dalam seluruh kegiatannya sehari-hari. Peran Dalihan Na Tolu dalam proses difusi inovasi sebagai sistem social pada masyarakat petani yang sangat dijunjung tinggi, dapat diduga menjadi saluran difusi, wadah difusi, dan penggerak difusi inovasi yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi pada petani kopi. 1.2. Rumusan Masalah Inovasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dalam pertanian seperti pada masyarakat petani kopi baik dilihat dari proses pengolahan maupun pengolahan hasil-hasil produksinya. Inovasi memiliki nilai-nilai positif dan lebih menguntungkan bagi masyarakat petani dibandingkan dengan pengolahan secara tradisional. Meskipun inovasi lebih menguntungkan bagi masyarakat petani, namun masih banyak petani yang tidak mengadopsi inovasi seperti yang terjadi pada masyarakat petani kopi di Kecamatan Pagaran. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kebanyakan petani kopi masih menerapkan pola tradisional dalam mengelola tanamannya. Hal itu berdampak pada hasil yang diperoleh kurang optimal dibandingkan dengan petani kopi yang melakukan adopsi inovasi. Kondisi petani kopi yang belum sampai pada adopsi inovasi ini, mengindikasikan bahwa proses difusi inovasi yang ada selama ini belum memadai dalam menyebarkan informasi di bidang pertanian. Proses difusi inovasi yang belum memadai ini dapat disebabkan berbagai hal di antaranya sumber informasi (penyuluh pertanian, peneliti) dan saluran informasi (media cetak dan elektronik) yang kurang memadai. Sumber informasi dan saluran informasi yang kurang memadai berdampak pada proses difusi yang kurang memadai. Hal ini akan mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi pada petani kopi.
17
Dalihan Na Tolu sebagai sistem sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat sekitar, dapat diduga sebagai sarana efektif dalam proses difusi inovasi sehingga akan mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi pada petani kopi di Kecamatan Pagaran. Tingginya penghormatan dan penghargaan masyarakat Batak Toba terhadap sistem Dalihan Na Tolu dapat menjadi sarana yang berpengaruh dalam proses difusi inovasi pada masyarakat petani kopi di Kecamatan Pagaran. Melalui sistem sosial ini, proses difusi yang mencakup saluran difusi, wadah difusi, dan penggerak difusi inovasi dapat menjadi sarana yang efektif menjembatani petani untuk sampai pada adopsi inovasi. Saluran difusi sebagai salah satu elemen dari proses difusi inovasi merupakan penyebaran informasi tentang inovasi-inovasi. Dalam konteks masyarakat Batak Toba, saluran difusi ini memiliki relevansi yakni penyampaian informasi dari mulut ke mulut (WOM) melalui berbagai kebiasaan masyarakat Batak Toba seperti martandang, arisan, dan parpunguan. Dalam berbagai kebiasaan atau kegiatan ini, informasi-informasi tentang inovasi dapat disampaikan kepada petani kopi. Hal yang sama juga terjadi pada wadah difusi yang diartikan sebagai perhimpunan, medan, terwadahi, ajang, penampung, dan berwadahkan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dijelaskan bahwa wadah berkaitan dengan sarana atau tempat dilakukannya berbagai kegiatan dalam hal ini wadah difusi sebagai sarana untuk berdiskusi, bekerjasama, dan media belajar seperti yang didukung hasil penelitian Butarbutar (1990). Dalihan Na Tolu sebagai wadah atau sarana tempat bagi para petani kopi untuk berdiskusi, bekerjasama, dan mempelajari inovasi-inovasi di bidang pertanian khususnya tanaman kopi.
Wadah sebagai sarana perhimpunan,
penampung, atau ajang dimaksudkan sebagai perkumpulan para petani kopi. Dalam membantu petani kopi sampai pada adopsi inovasi, sangat dibutuhkan adanya penggerak difusi. Penggerak difusi tersebut ditandai dengan adanya aktivis, penggagas, pemrakarsa, dan pengambil inisiatif inovasi. Hal tersebut dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan yang ada dalam masyarakat tertentu seperti gotong royong (marsiurupan), kongsi (saling menyumbang), dan ikatan sosial berdasarkan kedekatan pada masyarakat Batak Toba yang menekuni pekerjaan sebagai petani kopi.
18
Meskipun inovasi memiliki nilai-nilai positif bagi petani dalam meningkatkan produksinya, namun pada kenyataan tidak semua petani kopi menyikapinya dengan sikap positif dan antusias. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya petani kopi yang masih menerapkan cara-cara tradisional. Padahal, dilihat dari penyuluhanpenyuluhan mengenai tanaman kopi sudah pernah dilakukan oleh para pakar sebelumnya. Namun berbagai penyuluhan yang pernah diberikan kepada petani kopi, ternyata belum efektif mendorong petani sampai pada adopsi inovasi. Hal ini memperlihatkan bahwa proses difusi inovasi belum berjalan efektif. Sebagai komunitas masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya seperti sistem sosial Dalihan Na Tolu, sistem ini dapat dijadikan sebagai sarana dalam proses difusi inovasi sehingga petani kopi sampai pada adopsi inovasi. Dengan berperannya Dalihan Na Tolu sebagai saluran difusi, wadah difusi, dan penggerak difusi, maka petani kopi dapat lebih mudah menerima inovasi sehingga akan melakukan adopsi inovasi. Bertolak dari permasalahan tersebut, dapat dirumuskan permasalahan yakni ”Bagaimanakah pengaruh Dalihan Na Tolu dalam proses difusi terhadap adopsi inovasi kopi di Kecamatan Pagaran?” 1. Bagaimana Dalihan Na Tolu sebagai saluran difusi, wadah difusi, dan penggerak difusi berpengaruh terhadap adopsi inovasi kopi? 2. Bagaimana karakteristik petani yakni pendidikan, pengalaman, status ekonomi (luas lahan), dan partisipasi dalam kelompok berpengaruh terhadap adopsi inovasi kopi? 3. Bagaimana sumber dan saluran informasi,: penyuluh, peneliti (media cetak dan elektronik) berpengaruh terhadap terhadap adopsi inovasi kopi?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan utama yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Dalihan Na Tolu dalam proses difusi terhadap adopsi inovasi kopi di Kecamatan Pagaran. Secara lebih rinci tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui: 1. Pengaruh Dalihan Na Tolu sebagai saluran difusi, wadah difusi, dan penggerak difusi terhadap adopsi inovasi kopi.
19
2. Pengaruh karakteristik petani yakni pendidikan, pengalaman, status ekonomi (luas lahan), dan partisipasi dalam kelompok terhadap adopsi inovasi kopi. 3. Pengaruh sumber informasi dan saluran informasi: penyuluh, peneliti, media cetak dan elektronik terhadap terhadap adopsi inovasi kopi. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak terkait dalam kaitannya dengan proses difusi bagi masyarakat petani kopi. Adapun pihak-pihak yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani kopi dengan merancang
pengelolaan
kopi
yang
berteknologi
maju
sehingga
akan
menguntungkan masyarakat petani kopi. 2. Bagi Dinas Pertanian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Dinas Pertanian khususnya yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara dalam memberikan penyuluhan yang tepat atau sesuai kepada masyarakat petani kopi. Selain itu, juga dapat menjadi pertimbangan dalam memutuskan penyuluh yang diutus kepada masyarakat petani kopi. 3. Bagi Masyarakat Petani Kopi Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat petani kopi dalam mengelola tanaman kopi dengan cara mengadopsi teknologi yang lebih maju sehingga produktivitas kopi yang dihasilkan semakin meningkat baik dari kuantitas maupun kualitas atau mutu kopi.
1.5. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan baik melalui studi kepustakaan khususnya di perpustakaan Universitas Gadjah Mada maupun melalui internet mengenai penelitian yang menfokuskan peranan Dalihan Na Tolu dalam proses difusi inovasi pada masyarakat petani kopi di Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli 20
Utara belum pernah dilakukan. Namun kajian mengenai difusi inovasi sudah cukup banyak dilakukan oleh sejumlah peneliti terdahulu. Beberapa penelitian tersebut dapat diuraikan seperti pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Penelitian-penelitian Relevan Peneliti
Fokus
McNaught, Philips, Rossier & Winn (1999)
Adopsi tentang fasilitas komputer sebagai sumber pembelajaran
Metode
Temuan
Desain penelitian ASCILITE, N=73. Responden adalah studi kasus, menganggap bahwa mereka menggunakan sendiri sebagai kelompok atau panduan wawancara adopter awal. semi terstruktur, Orang dapat mengembangkan fokus group, proyek-proyeknya secara pemilihan sampel signifikan dengan sedikit didasarkan pada versi dukungan. Mayoritas dari staf modifikasi Rogers di universitas mereka (1955) kategori- berpotensi mengadopsi ICT. inovator+ adopter awal; potensial + adopter kemudian/selanjutnya ; resistors. N = 81. Geoghegan Karaktersitik Mengidentifikasi pada Para adopter awal: berfokus (1995) dari kategori adopter awal dan pada kekuatan teknologi, adopter pengguna potensial. pengalaman-pengalaman ke depan, mengambil risiko, nilainilai baik dari perubahan dan untuk diri sendiri. Pengguna potensial: berfokus pada masalah dan proses, konservatif, realistik/praktis, nilai-nilai baik dari perubahan, membutuhkan dukungan teknis Casey (1994) Karakteristik Mengadopsi kategori Inovator-inovator: maju, para dari kategori Rogers pemakai belajar sendiri, dapat adopter untuk menciptakan bahasa program. konselor Laggards: phobiateknologi sekolah Adopter awal lebih berpotensi dari para inovator, memperlihatkan bakat kepemimpinan melalui workhsop-workshop dan publikasi untuk keleganya. Starweather & Sikap dari staf Fokus grup dan Tema aktual: hambatan Clark (1999) universitas wawancara. menggunakan; kenyamaman dan mempergunakan Responden mendirikan portabilitas; relevansi dengan informasi sebuah tingkat kepustakaan; validitas dari berbasis homogenitas yang informasi yang ada di internet komputer yang dipilih oleh staf yang dan yang patut diakses; disediakan oleh mencerminkan perubahan; dengan sedikit perpustakaan kategori adopter perbedaan antara responden 21
akademi
Rogers (1995). Enam dari staf (3 sebagai inovator/adopter awal dan 3 laggards (penolak) diwawancarai dan 26 responden dibagi ke dalam tiga fokus grup (adopter awal, adopter mayoritas pengikut, dan laggards). Wawancara lebih dari satu jam dan fokus grup selama 90 menit.
fokus grup dan orang-orang yang diinterview. Bakat yang dicari ketika dibutuhkan dan sungguh dibutuhkan. Barries mengadopsi- ketiadaan waktu, kesulitan-kesulitan kampus untuk komputasi, masalah-masalah mencetak/print, dan keterbatasan waktu perpustakaan. Faktor-faktor sukses: kenyamaman mengakses elektronik merupakan kontributor mayor untuk mengadopsi. Catatan penting: responden dalam studi ini dialami sebagai pengaruh dari periode transisi untuk mencetak material secara elektronik. Semua staf mengakui dampak dan pengaruh perubahan teknologi di dunia pendidikan tinggi (pelajar/mahasiswa, staf, dan petugas perpustakaan.
Goldenfard (1995)
Tes kritis mengenai faktorfaktor yang sukses dalam difusi inovasi, mengidentifikasi literatur dan universitasuniversitas lain yang memainkan aturan difusi sistem informasi yang luas (CWIS)
Sepuluh departemen luar dari universitas di Australia. Komite sebagai pengendali mendesain variasi pilihan yang dihasilkan untuk direkomendasikan kepada masing-masing departemen untuk bertanggungjawab mendirikan, memperbaharui, dan merawat server milik mereka masing-masing
Fox (2001)
Adopsi teknologi baru
Wawancara dengan 75 responden di luar institusi pendidikan tinggi yang ada di Australia
Faktor-faktor yang membantu dalam adopsi: produk pemenang dan tingkat dukungan dari pemimpin mereka. Faktor-faktor umum yang sukses: pengguna yang memimpin pengguna yang memandu proyek; pengetahuan tentang publikasi dapat mengalami kesulitan untuk staf tang bakat ICT-nya terbatas. pada tahap produk pemenang bertanggungjawab mempublikasikan atau mempublikasikan sampai yang lain memperoleh bakat-bakat, dan pemimpin departemen menyelenggarakan komitmen jangka panjang dan dukungan. Dukungan dari posisi pemimpin di universitas. Kolaborasi termasuk semua departemen melalui penggunaan sumber daya yang bermanfaat Pengembangan suatu model-model terdiri dari empat elemen yang dibutuhkan dalam pembuatan keputusan tentang adopsi dan meninjau ulang teknologi baru. Elemen-elemen: peluang-peluang yang bersifat pendidikan, perubahan pelaksanaan di tempat kerja, teknologi non netral, dan
22
Akhmad Musyafak dan Tatang M Ibrahim (2005)
Strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung prima tani di Pontianak Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menemukan atau menciptakan inovasi pertanian maju dan strategis, (2) mengadaptasikan menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi, dan (3) menginformasika n dan menyediakan materi dasar inovasi/teknologi .
Wawancara observasi kelompok tani.
dan pada
Chandara & Patkar (2007)
Menguji adopsi dan difusi tentang ICT pada pendidik di India dalam dunia pendidikan yang lebih tinggi
Survey melalui pos para para pendidik di India. Mencoba mengidentifikasi: pengguna sebanyak 32 orang ahli teknologi; khususnya aplikasi software; bagaimana para pelajar dari tenaga pendidik menggunakan ICT secara terusmenerus; ketika pendidik akan merekomendasikan untuk mengadopsi sumber daya tertentu
konsekuensi dari adopsi teknologi baru. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah: (1) inovasi dalam prima tani harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani, (2) inovasi dalam prima tani harus memberikan keuntungan secara konkrit bagi petani, (3) inovasi dalam prima tani harus mempunyai kompatibilitas/keselarasan, (4) inovasi dalam prima tani harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas, (5) inovasi dapat mendayagunakan, (6) inovasi harus terjangkau, (7) inovasi harus sederhana tidak rumit, dan (8) inovasi dapatdiamati. Metode penyuluhan yakni: (1) metode penyuluhan media massa, (2) penyuluhan kelompok, (3) penyuluhan individu
Edukator/pendidik di sektor pendidikan tinggi tidak menggunakan ICT secara penuh dalam aturan pembelajaran. Hampir separuh dari tenaga pendidik tidak mampu mengidentifikasi bagaimana para pelajar memanfaatkan ICT. Pada pertengahan tahun 1995, tenaga pendidik tidak merencanakan menggunakan sumber daya ICT dengan para pelajarnya dalam waktu dekat.
Penelitian yang dilakukan McNaught et al. (1999) berkaitan dengan adopsi penggunaan
komputer
sebagai
sumber
pembelajaran.
Hasil
penelitiannya
memperlihatkan bahwa responden penelitian menamakan diri sebagai adopter awal dari inovasi-inovasi yang berhubungan dengan komputer yang ada di lingkungan perguruan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, juga diperlihatkan bahwa mayoritas dari staf di universitas mereka berpotensi mengadopsi ICT. 23
Geoghegan (1995) melakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik dan kategori dari adopter. Penelitian yang dilakukan tersebut mengidentifikasi adopter awal dan pengguna potensial. Hasil penelitiannya memperlihatkan adanya perbedaan yang prinsip mengenai dasar dari adopsi atau penerimaan inovasi. Para adopter awal berfokus pada kekuatan teknologi, pengalaman-pengalaman ke depan, mengambil risiko, nilai-nilai baik dari perubahan dan untuk diri sendiri. Casey (1994) melakukan penelitian mengenai karakteristik dari kategori adopter untuk konselor sekolah. Hasil penelitiannnya memperlihatkan bahwa inovator-inovator yang ada di sekolah merupakan kelompok yang aktif mencari inovasi dan pada dasarnya menyukai hal-hal baru dan sebagai pemula dalam adopsi inovasi. Penelitian yang dilakukan Starweather & Clark (1999) mengenai sikap dari staf universitas mempergunakan informasi berbasis komputer yang disediakan oleh perpustakaan akademi. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa inovasi memberikan manfaat yang sangat penting bagi seluruh warga kampus. Adopsi inovasi ini memberikan kenyamanan dalam menggunakan perpustakaan, portabilitas yang tinggi, relevansi dengan kepustakaan; validitas dari informasi yang ada di internet dan setiap perubahan. Namun terdapat perbedaan antara responden yang terlibat pada fokus grup dan orang-orang yang diinterview. Barries yang melakukan adopsi menyatakan kurang menguasai dan kurang memahami, mengalami kesulitankesulitan untuk komputasi atau perhitungan. Namun mayoritas staf mengakui dampak dan pengaruh perubahan teknologi di dunia pendidikan tinggi (pelajar/mahasiswa, staf, dan petugas perpustakaan) yang semakin baik. Goldenfard (1995) melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang sukses dalam difusi inovasi, mengidentifikasi literatur dan universitas-universitas lain yang menerapkan aturan difusi pada sistem informasi yang luas (CWIS). Hasil penelitiannya memperlihatkan faktor-faktor yang membantu dalam adopsi adalah produk unggulan dan tingkat dukungan dari pemimpin mereka. Faktor-faktor umum yang mendukung terjadinya adopsi inovasi di sejumlah perguruan tinggi sangat tergantung pada ada tidaknya dukungan dari pimpinannya. Adanya dukungan dari pimpinan mendorong pihak perguruan tinggi melakukan adopsi inovasi. Selain dukungan dari pimpinan, upaya adopter untuk memperkenalkan produk unggulan 24
merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya adopsi inovasi. Perkenalan keunggulan suatu produk yang telah mengadopsi inovasi, akan mendorong semua departemen dalam perguruan tinggi untuk mengadopsi inovasi yang ada. Fox (2001) melakukan penelitian mengenai adopsi teknologi baru. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang dibutuhkan dalam melakukan adopsi teknologi baru. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa pengembangan suatu model-model terdiri dari empat elemen yang dibutuhkan dalam pembuatan keputusan tentang adopsi dan meninjau ulang teknologi baru. Elemen-elemen yang dimaksud adalah peluang-peluang yang bersifat pendidikan, perubahan pelaksanaan di tempat kerja, teknologi non netral, dan konsekuensi dari adopsi teknologi baru. Penelitian dilakukan Musyafak dan Ibrahim (2005) mengenai strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung prima tani di Pontianak Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menemukan atau menciptakan inovasi pertanian maju dan strategis, (2) mengadaptasikan menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi, dan (3) menginformasikan dan menyediakan materi dasar inovasi/teknolog. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah: (1) inovasi dalam prima tani harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan, (2) inovasi dalam prima tani harus memberikan keuntungan secara konkrit bagi petani, (3) inovasi dalam prima tani harus mempunyai kompatibilitas/keselarasan, (4) inovasi dalam prima tani harus dapat mengatasi faktor-faktor pembatas, (5) inovasi harus mendayagunakan, (6) inovasi harus terjangkau, (7) inovasi harus sederhana tidak rumit, dan (8) inovasi harus mudah untuk diamati. Metode penyuluhan yakni: (1) metode penyuluhan media massa, (2) penyuluhan kelompok, (3) penyuluhan individu. Penelitian yang dilakukan Chandra dan Patkar (2007) mengenai adopsi dan difusi tentang ICT pada pendidik di India dalam dunia pendidikan yang lebih tinggi memperlihatkan bahwa Edukator/pendidik di sektor pendidikan tinggi tidak menggunakan ICT secara penuh dalam aturan pembelajaran. Hampir separuh dari tenaga pendidik tidak mampu mengidentifikasi bagaimana para pelajar memanfaatkan ICT. Pada pertengahan tahun 1995, tenaga pendidik tidak merencanakan menggunakan sumber daya ICT dengan para pelajarnya dalam waktu dekat. Hal ini memperlihatkan bahwa adopsi inovasi pada pendidik di India belum sepenuhnya
25
menggunakan atau menerima inovasi dalam pembelajaran. Oleh karena itu, adopter dapat dikategorikan sebagai early majority yakni kelompok yang mempunyai rasa kehati-hatian dalam mengambil dan akan mengadopsi setelah melihat bukti dari orang lain. Berdasarkan kajian-kajian pada penelitian terdahulu, dapat diketahui bahwa semua penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian ini difokuskan pada peranan Dalihan Na Tolu dalam proses difusi inovasi khususnya pada masyarakat petani kopi. Hal-hal yang menunjukkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu dapat dilihat dari beberapa hal yakni: (1) lokasi penelitian, (2) metode penelitian, dan (3) fokus penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pagaran Kabupaten Tapanuli Utara dimana masyarakatnya mayoritas adalah bersuku Batak Toba. Fokus penelitian juga berbeda yakni menyoroti proses difusi inovasi pada masyarakat petani kopi. Sementara yang menunjukkan adanya kesamaan hanya menyangkut teori yang digunakan yakni mengenai teori difusi inovasi. Namun keragaman literatur yang digunakan membuat penelitian ini memiliki perbedaan dalam hal teori-teori yang akan dikaji.
26