SISTEM PENGUPAHAN BAGI PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 (STUDI PADA PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU)
TESIS
Oleh
LAHMUDDIN 077005080/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
SISTEM PENGUPAHAN BAGI PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 (STUDI PADA PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU)
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
LAHMUDDIN 077005080/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Judul Tesis
: SISTEM PENGUPAHAN BAGI PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 (STUDI PADA PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU) Nama Mahasiswa : Lahmuddin Nomor Pokok : 077005080 Program Studi : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum) Ketua
(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota
Ketua Program Studi
(Dr. Agusmidah, SH, M.Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus: 10 September 2009
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Telah diuji pada Tanggal 10 september 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
:
Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
Anggota
:
1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 2. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
ABSTRAK
Peraturan ketenagakerjaan melarang pengusaha melakukan diskriminasi pemberian upah terhadap para pekerja karena jenis kelamin, suku, agama dan juga status pekerja, misalnya sebagai pekerja kontrak. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, bahwa: “Setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 serta peraturan pelaksanaannya yang antara lain dituangkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja harus dipahami dan dipatuhi oleh semua pihak yang terkait dengan hubungan kerja, hal ini disebabkan dalam perjanjian kerja merupakan dasar hukum bagi masing-masing pihak bila terjadi perselisihan dikemudian hari, maka penyusunan perjanjian kerja yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan hal yang sangat penting dan strategis. Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Apakah sistem pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu sudah sesuai dengan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; bagaimana perlindungan hukum atas upah yang diterima tenaga kerja pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu; dan faktor apa saja yang menyebabkan tidak terlaksananya isi perjanjian kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian juridis. Sifat penelitian dilakukan dengan pendekatan yang bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan dan menganalisis teori-teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Metode juridis digunakan karena penelitian ini membahas penerapan peraturan perundang-undangan tersebut di lapangan (studi lapangan) Sistem pengupahan yang dilakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu jika dilihat terjadi perbedaan dalam penetapan upah dan fasilitas-fasilitas lainnya antara pekerja tetap dengan pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sehingga mengakibatkan tidak adanya keseragaman upah antara pekerja yang satu dengan pekerja lainnya. Sistem pengupahan yang dilakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu baik itu kepada pekerja tetap maupun pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. PKWT menjadi problematik karena beberapa hal. Pertama, adanya kemungkinan perlakuan berbeda dalam hal pemenuhan hak-hak dasar pekerja antar pekerja permanen (PKWTT) dan pekerja tidak tetap (PKWT). Kedua, adanya upaya pembatasan atau pengaturan atas PKWT dengan konsep “hukum” yang kabur. Akibatnya, masalah PKWT dalam perspektif UU No. 13/2003 adalah tentang pembatasan jenis pekerjaan yang diperbolehkan yaitu hanya pada jenis pekerjaan Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
yang bersifat tidak tetap dan tidak diperbolehkan untuk pekerjaan yang bersifat tetap serta terdapat dua faktor penentu yaitu jangka waktu dan selesainya pekerjaan.
Kata kunci:
Upah, Sistem Pengupahan, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
ABSTRACT Regulations prohibit the employment of wage discriminate against workers because of gender, race, religion, and also the status of workers, such as contract workers. Article 88 paragraph (1) Law Number 13 Year 2003 on the Labor, that: "Every worker / laborer is entitled to earn a decent livelihood meet for humanity." In connection with this, in Act No. 13 of 2003 and the implementation of regulations, among others, poured in the Decree of the Minister of Labor must be understood and obeyed by all parties associated with the working relationship, this is due in the workplace agreement is a legal basis for their respective parties in the case of disputes dikemudian day, the preparation of the agreement is correct and in accordance with the regulations is very important and strategic. Problems in this research are as follows: Does the system work pengupahan agreement at a particular time (PKWT) At PT. Labuhan Batu Binanga Mandala is in accordance with Law No. 13 years of Labor in 2003; how the law on the protection of the wages received by workers at the PT. Mandala Binanga Labuhan Batu, and what factors cause the contents of the agreement progress does not work in the labor agreement at a particular time (PKWT) at the PT. Mandala Binanga Labuhan Batu Method used in this research is research juridis. The nature of research conducted with the approach that is descriptive analytical that aims to describe, inventory and analyze the theories and rules related to the problems in the research. Juridis method is used because this research discusses the application of the laws and regulations in the field(field study). Honors system conducted by PT. Mandala Binanga Labuhan Batu see if differences occur in the determination of wages and other facilities between workers with permanent workers in the Working Time Agreement so that the resulting lack of uniformity in wages between workers who are working with one other system of honors made by PT. Mandala Binanga Labuhan Batu either to keep workers and workers in the Working Time Agreement does not comply with the provisions of Law. 13 of 2003 on Manpower. PKWT become problematic because of several things. First, the possibility of different treatment in terms of the fundamental rights of workers among the permanent workers (PKWTT) and workers are not fixed (PKWT). Second, the effort of setting up or PKWT with the concept of "law" is vague. As a result, the problem in perspective PKWT Law. 13/2003 is the restriction on the type of work that is permitted only on the type of work that is fixed and not allowed to work that is fixed and there are two factors that determines the time period and the completion of work
Keywords: Honors, System of Honors, Time Work Agreement (PKWT)
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, di Medan. Adapun judul Tesis ini adalah: “Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 (Studi Pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu)”. Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr.,Budiman Ginting S.H., M.Hum.,
Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., dan Dr. Agusmidah, S.H., M.Hum.,
Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna karena kemampuan penulis yang sangat terbatas. Untuk itu dengan segenap kerendahan
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatmya membangun dari semua pihak untuk penyempurnaannya dikemudian hari. Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada: 1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumetera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B., M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H. Selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.M.Hum. sebagai Ketua Komisi Pembimbing
penulis,
yang
telah
meluangkan
waktunya
untuk
membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat substansi sehingga Tesis ini selesai di tulis. 4. Dr. Sunarmi, SH.,M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis. 5. Dr. Agusmidah, S.H.,M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing, dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini.
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
6. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepada Allah SWT. 7. Kepada Istriku Maryam, SE., M.Pd dan Anak-anakku Hasanatul Chair Harahap dan Muhammad Arif Harahap, saudara-saudara ku, kakak dan adik yang Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini. 8. Kepada Rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana USU dan rekan-rekan kerja yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga ALLAH SWT membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda. Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
LAHMUDDIN
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
RIWAYAT HIDUP Nama
: LAHMUDDIN
Tempat/Tanggal Lahir
: Sungai Berombang 1964
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Pendidikan
:
1. Sekolah Dasar Kihajar Dewantara, Sungai Berombang, Lulus Tahun1976 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2, Rantau Perapat, Lulus Tahun 1980 3. Sekolah Menengah Atas Negeri 1, Rantau Perapat, Lulus tahun 1983 4. Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Lulus tahun 1989 5. Kelas Khusus Hukum Administrasi
Negara
Megister Ilmu Hukum
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2009
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ................................................................................................ i ABSTRACT ................................................................................................ iii KATA PENGANTAR ............................................................................... iv RIWAYAT HIDUP ................................................................................... vii DAFTAR ISI ............................................................................................. viii DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi
BAB I
: PENDAHULUAN ................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................ 9 C. Tujuan Penelitian ................................................................ 9 D. Manfaat Penelitian .............................................................. 10 E. Keaslian Penelitian ............................................................. 11 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................. 13 G. Metode Penelitian ............................................................... 24
BAB II :
SISTEM PENGUPAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DI PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU ............................................ 27 A. Sistem Pengupahan ........................................................... 27 1. Pengertian Upah ............................................................ 27 2. Ketentuan Hukum Pengupahan dalam Perjanjian Kerja .. 29 3. Klasifikasi Ketentuan Hukum tentang Pengupahan......... 32
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
B. Tinjauan Umum tentang Sistem Hubungan Kerja PKWT … 33 1. Syarat dan Ketentuan UU tentang Pengaturan PKWT … 33 2. PKWT yang Melanggar Syarat dan Ketentuan Otomatis berubah Menjadi PKWTT .............................. 52 C. Sistem Pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu ................
53
BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM ATAS UPAH YANG DITERIMA TENAGA KERJA PADA PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU ................................................................... 67 A. Pelanggaran Pembayaran Upah di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu ....................................................................... 67 B. Perlindungan Hukum atas Upah di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu ………………………………………………. ..
70
1. Komponen Upah .............................................................. 70 2. Dasar Hukum Sistem Pengupahan di Indonesia ................. 76 3. Klasifikasi Upah pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu ................................................................................
89
4. Perlindungan Hukum atas Upah di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu Belum Terlaksana ...................................... 93 C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Pelanggaran Upah di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu ....
96
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
BAB IV : FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIDAK TERLAKSANANYA SISTEM PENGUPAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) PADA PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU ........... 116 A. Perjanjian Kerja ................................................................... 116 B. Isi Perjanjian Kerja .............................................................. 127 C. Kategori Pekerjaan dalam PKWT ......................................... 132 D. Pelaksanaan Perjanjian......................................................... 137 E. Faktor yang Menyebabkan tidak Terlaksananya Isi Perjanjian Kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu .............. 139
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 144 A. Kesimpulan ....................................................................... 144 B. Saran ................................................................................. 146
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 148
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
1
Perbandingan Pengaturan PKWT menurut Kepmen 1993 dan 2004 ................ 51
2
Ketentuan Pidana Terhadap Pelanggaran Pembayaran Upah ................. 68
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejak awal tahun 2000-an, Indonesia berada pada tahap pemulihan dari krisis ekonomi. Meskipun beberapa indikator makro menunjukkan perbaikan, kondisi ketenagakerjaan dan kemiskinan masih belum membaik. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pengangguran terbuka, banyaknya tenaga kerja dengan upah rendah dan posisi daya tawar tenaga kerja yang rendah. Sistem pengupahan di Indonesia berfungsi tidak hanya sebagai bagian dari mekanisme pasar untuk alokasi yang efisien dari sumber-sumber, tetapi juga memiliki fungsi kebijakan sosial yang penting yaitu untuk melindungi yang lemah dengan mengaitkan upah dengan sedemikian rupa. Upah merupakan suatu elemen yang esensial dalam perjanjian kerja.
Pengupahan
sering
menjadi
polemik, 1
karena
perbedaan
interpretasi terhadap perhitungannya yang dianggap tidak memenuhi harapan baik dari pekerja, pengusaha bahkan pemerintah yang menjadi wasit dalam penentuan dan pengawasan pengupahan. Bagi pekerja, upah merupakan sumber pendapatan yang utama, bahkan kadangkala upah 1
Lihat juga dalam Yunus Shamad, Pengupahan Pedoman Bagi Pengelola Sumberdaya Manusia di Perusahaan, Bina Sumber Daya Manusia , 1992, hal.V. Penulis menyatakan dalam penyelesaian perselisihan menyangkut upah beda pendapat sukar dipertemukan karena perbedaan pandangan antara pekerja dan pengusaha. Mereka memandang upah dari sudut pandangannya masingmasing tanpa memahami aspek lain dari upah. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
menjadi satu-satunya sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu sistem upah pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja/buruh karena memuat segala konsekuensi yang menjadi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Selain itu sistem upah pekerja dalam PKWT dianggap perlu, paling tidak
didasarkan pada empat alasan, yaitu: Pertama, PKWT
merupakan fenomena baru yang hadir dengan tujuan awal mengisi pekerjaan yang memang mempunyai batasan waktu dalam pekerjaannya. Kedua, PKWT merupakan bagian dari perubahan hukum di bidang ketenagakerjaan/ perburuhan. Ketiga, penerapan aturan dari PKWT melahirkan masalah baru bagi pekerja/ buruh dan pengusaha yaitu dalam menentukan persyaratan, kategori dan kondisi seperti apa yang dapat diberlakukan PKWT. Keempat, bagaimana perlindungan terhadap pekerja/ buruh yang terikat dengan PKWT 2 Merupakan wujud sistem pengupahan di Indonesia di atur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, merupakan pengganti Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kemajuan perkembangan masalah ketenagakerjaan. 2
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hal. xi. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Peraturan
ketenagakerjaan
melarang
pengusaha
melakukan
diskriminasi pemberian upah terhadap para pekerja karena jenis kelamin, suku, agama dan juga status pekerja misalnya sebagai pekerja kontrak. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, bahwa: “Setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Perlindungan upah dalam Undang-Undang tersebut sebagian besar hanya berlaku bagi pekerja dengan status tetap atau yang terikat dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu, sedangkan bagi pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, ketentuan-ketentuan soal pengupahan diatur secara rinci dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja yaitu KEP. 49/ MEN/ IV/ 2004, Tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah. Adanya pembagian kerja dengan PKWT dan PKWTT, berawal dari adanya pekerjaan yang memang membutuhkan waktu tertentu (terbatas) dalam pelaksanaan pekerjaannya, berbeda dengan pekerja dengan PKWTT yang pada Pasal 1603q KUH Perdata ayat (1) yang dinyatakan bahwa pekerja yang lamanya hubungan kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan majikan maupun dalam peraturan perundang-undangan atau pula menurut kebiasaan. Sedangkan
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
PKWT berdasarkan Pasal 56 ayat (2) dinyatakan bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Kedua jenis pekerjaan untuk waktu tertentu tersebut di atas, PKWT atas dasar jangka waktu, menimbulkan implikasi bagi pekerja/ buruh. 3 Implikasi ini disebabkan dengan diakuinya PKWT atas dasar jangka waktu ini menimbulkan interpretasi bahwa pekerjaan yang tidak didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara dapat diperjanjikan berdasarkan PKWT atas jangka waktu. Penafsiran ini tentu tidak sejalan dengan Pasal 59 ayat (2) yang menyatakan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan dalam ayat (7) dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (2) akan berakibat PKWT tersebut demi hukum berubah menjadi PKWTT. 4 Berdasarkan uraian tersebut maka seyogyanya aturan PKWT atas jangka waktu direvisi karena tidak sejalan dengan Pasal 59 Ayat (2). Adanya interpretasi bahwa PKWT dapat diperjanjikan dengan tidak didasarkan pada jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara melahirkan praktik perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha
3
Aloysius Uwiyono, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi, Vol. 22 No. 5, (Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, 2003), Hlm. 10. Pasal 59 ayat 2 berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. 4 Ibid Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
yang tidak sesuai dengan tujuan pengaturan PKWT. Hal ini bisa disebabkan karena alasan, yaitu: Pertama, ketidaktahuan dari salah satu atau masing-masing pihak pekerja/ buruh
dan pengusaha. Kedua,
karena kekosongan hukum. Ketiga, ada iktikad buruk dari pengusaha dan ketidaktahuan pekerja/ buruh juga karena inkonsistensi dalam Pasal 56 ayat (2) dan 59 ayat (2) yang memungkinkan PKWT dengan tidak berdasarkan jenis, sifat atau kegiatan yang bersifat sementara dapat dilaksanakan. Akibatnya perlindungan terhadap pekerja/ buruh menjadi lemah, hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, diantaranya pekerja tidak berhak atas sejumlah tunjangan (jamsostek, asuransi kecelakaan dan pensiun), uang penghargaan kerja pada saat terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah yang lebih rendah, tidak adanya jaminan kerja dan jaminan pengembangan karir. Bahkan belakangan muncul fenomena adanya PHK massal dan penggantian status pekerja oleh perusahaan dari PKWTT menjadi PKWT. Praktik-praktik yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang ini merupakan salah satu dari tuntutan buruh pada saat ini sering dilakukan. 5 Kondisi buruh yang sudah dipinggirkan, ditambah adanya diskriminasi
perlindungan
terhadap
pekerja
PKWT
menambah
keprihatinan. 5
Tim Kontan, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontan Vol. II/EDISI XXIII,07-20 Mei 2006, Jakata, 2006, hlm. 9 Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Terlepas dari tujuan pengusaha untuk meningkatkan daya saing dan
efisiensi,
juga
tujuan
pengusaha
kesempatan kerja seluas-luasnya,
agar
dapat
menciptakan
perlindungan hukum terhadap
pekerja/ buruh juga harus tetap menjadi perioritas. Pentingnya perlindungan
bagi
pekerja/
buruh
biasanya
berhadapan
dengan
kepentingan pengusaha untuk tetap dapat bertahan dalam menjalankan usahanya. Sehingga seringkali pihak yang terkait secara langsung adalah pengusaha dan pekerja/buruh. 6 Pengadopsian sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam perjanjian kerja cenderung merugikan pekerja/ buruh alasannya kebijakan penggunaan buruh kontrak dan buruh sub-kontrak sering dijadikan celah pengusaha untuk mempekerjakan buruh dengan upah rendah, bahkan terkadang sistem ini pun tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi buruh. Menghadapi realita tersebut peran pemerintah diperlukan untuk melakukan campur tangan dengan tujuan mewujudkan perburuhan yang adil
melalui
peraturan
perundang-undangan. 7
Hubungan
antara
pengusaha dan buruh idealnya merupakan hubungan yang saling menguntungkan namun sering kali posisi pekerja/ buruh tidak seimbang dengan posisi pengusaha. 6 7
Eggi Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, (Jakarta: Renaissan, 2005).hlm. Lalu Husni, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), hlm.12.
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Ketidak seimbangan posisi tersebut diantaranya karena rendahnya pendidikan pekerja/ buruh sehingga tidah mengetahui hak dan kewajibannya, tidak memiliki keahlian khusus serta regulasi dalam hukum perburuhan tidak seimbang dalam mengatur hak dan kewajiban pihak pekerja/ buruh dan pengusaha. Melihat kenyataan di atas dituntut adanya perlindungan terhadap pekerja/ buruh dalam sistem pengupahan khususnya bagi pekerja/ buruh dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Jika ditinjau dari segi perlindungan perburuhan yaitu UndangUndang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diharapkan dapat memberikan perlindungan perburuhan yang dapat dilihat dari tiga aspek yaitu:
aspek
perlindungan
sosial,
perlindungan
ekonomis
dan
perlindungan teknis. Perlindungan sosial pada dasarnya merupakan suatu perlindungan perburuhan yang bertujuan agar pekerja/ buruh dihargai harkat dan martabatnya sebagai menusia, bukan hanya sebagai faktor produksi (faktor ekstern) melainkan diperlakukan sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya (faktor intern atau konstitutif). 8 Perlindungan ekonomis merupakan perlindungan perburuhan yang bertujuan agar pekerja/ buruh dapat menikmati penghasilan secara layak 8
Aloysius Uwiyono, Op. Cit.
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
dalam memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Sedangkan perlindungan teknis merupakan perlindungan yang bertujuan agar buruh dapat terhindar dari segala resiko yang timbul dalam suatu hubungan kerja. Berdasarkan kondisi yang dialami, pemerintah berusaha untuk mempertahankan sistem PKWT karena pada dasarnya
ada pekerjaan
yang memiliki batas dalam pengerjaannya. 9 Untuk tujuan itu pemerintah menerbitkan
Undang-Undang
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan dengan Kepmen No. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT yang ditandatangani pada tanggal 21 Juni 2004. Dalam Kepmen itu dijelaskan PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama tiga tahun. Peraturan itu juga mengatur sistem PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman dan PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru. Diharapkan dengan adanya pengaturan dalam Kepmen tersebut tidak ada lagi permasalahan yang timbul yang berhubungan dengan pekerja/ buruh dengan PKWT terutama dalam hal pemberian upah.
9
Rochmad Fitriana, Sistem Subkontrak Antara Benci dan Kebutuhan. Diakses dari http://www.okezone.com/com/page 47 tanggal 3 Februari 2009. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Berdasarkan uraian pada latar belakang, penulis memilih judul penelitian “Sistem Pengupahan bagi Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu), adapun Penulis memilih penelitian di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dikarenakan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu merupakan perusahaan perkebunan yang masih menerapkan sistem pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), serta dikarenakan adanya kesenjangan antara law in book (normatif) dengan kenyataan-kenyataan di lapangan (observasi).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penelitian ini di fokuskan pada beberapa permasalahan
yang
dirumuskan sebagai
berikut: 1. Apakah sistem pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan?. 2. Bagaimana Perlindungan hukum atas upah yang diterima tenaga kerja pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu?.
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
3. Faktor apa saja yang menyebabkan tidak terlaksananya isi perjanjian kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu?.
C. Tujuan Penelitian Sesuai
dengan
permasalahan
yang
telah
dirumuskan,
maka
penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan menganalisis apakah Sistem Pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 2. Mengetahui dan menganalisis bagaimana Perlindungan Hukum atas Upah yang Diterima Tenaga Kerja pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. 3. Mengetahui dan menganalisis faktor apa saja yang menyebabkan tidak terlaksananya isi perjanjian kerja
tentang Sistem Pengupahan bagi
Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu.
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini dapat dilihat secara teoritis dan praktis sebagai berikut: 1.
Secara teoritis, penelitian ini dapat pengembangan-pengembangan
hukum
memberi
sumbangan
ketenagakerjaan/
bagi
perburuhan
khususnya di bidang sistem pengupahan bagi pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 2.
Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi masukan bagi pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dan perusahaanperusahaan lain seperti PT. Binanga Mandala Labuhan Batu yang dapat mengurangi kendala-kendala yang dihadapi dalam sistem pengupahan bagi
pekerja dalam PKWT. Dengan pola penyelesaian yang terpadu
melibatkan pemerintah melalui Dinas Tenaga kerja, pihak perusahaan dan pekerja akan menjadi lebih efektif dan efisien untuk memilih alternatif dalam menyelesaikan permasalahan sistem pengupahan bagi pekerja, sehingga kerugian yang dialami pihak pekerja/ buruh akan semakin berkurang. Diharapkan pekerja/ buruh khususnya yang terkait dalam PKWT dan pengusaha, mengetahui sekaligus terjaminnya hak-hak dan kewajibannya dan pada gilirannya pekerja/ buruh serta pengusaha dapat saling merasakan kesejahteraan. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Penelitian ini juga diharapkan
bermanfaat memberikan
masukan kepada pembuat peraturan dalam hal ini pemerintah agar hukum ketenagakerjaan/ perburuhan itu seimbang dalam mengatur hak dan kewajiban pihak pekerja/ buruh dan pengusaha.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang telah di lakukan di Perpustakaan
Sekolah
Pascasarjana
Universitas
Sumatera
Utara
terhadap hasil-hasil penelitian yang ada, ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai
“Sistem Pengupahan bagi Pekerja
dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu)”. Tetapi penelitian ini memiliki relevansi dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh: 1. M. Laidi (2003), tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja, Tenaga Kerja Asal Aceh oleh Pengguna Jasa Tenaga Kerja di Malaysia (Suatu Penelitian di Banda Aceh). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian kerja terjadi secara langsung dan bentuk perjanjian kerja adalah tertulis. Hak dan Kewajiban kedua belah pihak ada yang disebutkan dalam perjanjian dan ada yang tidak disebutkan, tetapi sekalipun tidak disebutkan dalam perjanjian
tetap
mengikat
kepada
pihak
tenaga
kerja.
Dalam
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
pelaksanaannya hak dan kewajiban ditemui adanya wan prestasi dalam bentuk pengabdian kewajiban dari pihak majikan atau penguna jasa. 2. Muhammad Fajrin Pane (2008), tentang Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja / Buruh dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengaturan PKWT dalam peraturan perundang-undangan menimbulkan perbedaan tafsir, PKWT yang diterapkan pengusaha tidak sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang ketenagakerjaan, dengan berbagai alasan
pekerja
menerima PKWT meskipun bertentangan dengan perundang-undangan. Kedua penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian
ini
dapat
dipertang.gungjawabkan
secara
keaslian akademis
berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Hubungan
antara
pekerja/
buruh
dengan
pengusaha
terjadi
perbedaan bahkan kesenjangan diantara kedua belah pihak yakni terletak pada posisi tawar (bargaining position). Secara yuridis pekerja/ buruh memang Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
manusia yang bebas, sebagaimana prinsip bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan, berhak mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak. Namun secara sosiologis hal ini sering ditemukan, pekerja/ buruh tidak menempati posisi di mana dia harus diberlakukan sebagai manusia yang bermartabat, tidak hanya sebagai faktor produksi tetapi juga pihak yang ikut menentukan keberhasilan seorang pengusaha. Begitu juga sebaliknya dengan pihak pengusaha menganggap dirinya adalah pihak yang juga berhak mendapatkan keadilan dalam hubungannya dengan pihak pekerja/ buruh. Pada gilirannya sampai pada permasalahan bahwa rasa keadilan mana yang harus dikedepankan dan didahulukan apakah pekerja/ buruh dengan kondisinya yang serba terbatas dan lemah baik dari keberadaannya dalam mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan upah yang dijanjikan guna tercapainya tujuan negara dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dengan menekan angka kemiskinan dan pengangguran. Pihak pengusaha dengan segala kelebihan modal yang dimilikinya mampu mendapatkan pekerja/ buruh yang sesuai dengan kebutuhannya akibat tingginya angka pengangguran menjadikan posisi pekeja/ buruh menjadi serba dilematis. Pengusaha dengan alasan selalu ingin membatasi
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
biaya operasional/ produksi yang dikeluarkannya hingga menekan pada titik yang serendah mungkin. Hal di atas seperti ditegaskan sebelumnya bila dibiarkan terusmenerus maka akan tetap jauh dari kenyataan tujuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) telah ditentukan landasan hukum sebagai berikut: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan demikian maka upah yang harus diterima buruh atau para tenaga kerja kita atas jasa-jasa yang dijualnya haruslah berupa upah yang wajar. Sistem hubungan pekerja/ buruh dengan pengusaha suatu bangsa senantiasa mencerminkan sistem pembangunan yang pada dasarnya adalah cerminan sistem ekonomi atau sistem pembangunan dan ideologi yang dianut. Misalnya sistem ekonomi yang serba liberalistik, kapitalistik ataupun serba etatis, komunistik akan melahirkan sistem hubungan industrial yang sama sebagai pencerminannya. 10 Pengaruh
politik
ekonomi
juga
sangat
menentukan
hukum
ketenagakerjaan dalam era globalisasi perdagangan, hukum yang berlaku adalah hukum pasar bebas yang menghendaki peranan pemerintah
10
Suhardiman, Kedudukan, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Dalam Pembangunan Indonesia, dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan, Peny. Selo Soemardjan, (Jakarta: YIIS dan Gramedia,), hlm. 104-105. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
menjadi semakin berkurang dan peranan swasta menjadi lebih besar. Hukum ini berlaku juga untuk bidang ketenagakerjaan. 11 Menurut para ahli seperti dijelaskan Bismar Nasution, masalah mendasar organisasi sosial adalah bagaimana mengkoordinir kegiatan ekonomi jutaan individu. Secara fundamental hanya ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, secara terpusat melalui paksaan seperti yang dilakukan oleh negara totaliter dengan menggunakan militer. Kedua, kerjasama sukarela (voluntary) di antara individu melalui mekanisme pasar. Model masyarakat yang diorganisir secara sukarela dikenal dengan free private enterprise exchange economy, yang diistilahkan Bismar Nasution dalam hal ini sebagai sistem ekonomi pro pasar. 12 Namun tidak semua hal dalam Hukum Ketenagakerjaan dapat diserahkan pada mekanisme pasar. Selain itu sistem hukum Indonesia juga tidak memberi ruang yang cukup luas untuk itu. Di sinilah pemerintah ditantang untuk menjalankan kebijakan perburuhan yang
11
Aloysius Uwiyono, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003), him. 41 dalam Agusmidah, Politik Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Disertasi (Medan: SPS USU, 2006), hal. 27. 12 Lihat Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi. Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap, dalam llmu Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (Medan: USU. 2004), hlm. 1. Sistem ekonomi pro pasar lebih berhasil mensejahterakan masyarakat dibandingkan sistem ekonomi sosialis. Bandingkan misalnya apa yang terjadi di antara Korea Utara dan Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan dengan Cina Daratan (sebelum Deng Xiaoping) atau antara Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum robohnya tembok Berlin dalam Milton Friedmen. Capitalism and Freedom, (Chicago: The University of Chicago Press, 2002), hlm. 15. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
mampu mengakomodir semua kepentingan, baik pemilik modal, pekerja/ buruh maupun pemerintah sendiri. 13 Jika dirujuk kepada cita-cita yang ingin dicapai hukum, paling tidak ada
tiga
yaitu
keadilan,
kepastian
dan
kegunaan/
kemanfaatan.
Selanjutnya kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa menimbulkan konflik (conflict of interest). Melalui hukum, konflik itu
bisa
ditekan
kepentingan
itu
sekecil-kecilnya. dilakukan
dengan
Pengorganisasian membatasi
dan
kepentinganmelindungi
kepentingan-kepentingan tersebut. Hukum dalam pengertiannya yang utama adalah suatu aturan yang dicita-citakan
dan
diwujudkan
dalam
Undang-Undang,
namun
sebelumnya perlu ditegaskan bahwa hukum memiliki dua pengertian yang perlu dipahami.
14
1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan=justitia). Maka di sini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana dicita-citakan. 13
Aloysius Uwiyono, Op. Cit. Hal ini juga ditegaskan Bismar Nasution bahwa kehadiran sistem ekonomi yang diistilahkannya dengan sistem pro pasar tentunya tidak menghilangkan peran pemerintah. sebaliknya sangat membutuhkan peran pemerintah karena pandangan yang menyatakan bahwa peran pemerintah harus dibuat seminimal mungkin, kalau bisa sampai ke titik nol, dikatakan kurang tepat diterapkan di Indonesia. Peran pemerintah yang dibutuhkan adalah sebagai forum untuk menetapkan rule of the game dan sebagai wasit yang menafsirkan dan menegakkan (enforce) dari rule of the game yang sudah ditetapkan, dalam Ibid, hlm. 2. 14 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 49. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
2. Hukum dalam arti Undang-Undang atau lexiwet. Kaidah-kaidah yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut. Hukum ketenagakerjaan seperti yang telah disinggung merupakan hukum yang dibentuk untuk mengadakan keadilan dalam hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha. Secara sosial ekonomi posisi pengusaha dan pekerja/ buruh sangat bertolak belakang. Hal ini menyebabkan hubungan antara keduanya diatur oleh hukum, yaitu hukum yang adil. Keadilan yang merupakan tujuan dasar dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum bahkan yang menjadi tujuan hidup bernegara tidak akan dicapai dengan menyerahkan sistem ekonomi semata-mata pada mekanisme pasar. 15 Keadilan bukanlah nilai yang diperhitungkan dari ekonomi pasar karena itu pendekatan pasar harus selalu diikuti oleh pendekatan normatif, salah satunya melalui hukum yang meletakkan batas-batas dan aturan-aturan. 16 Keadilan
sosial
adalah
keadilan
yang
berhubungan
dengan
pembagian nikmat dan beban dari suatu kerjasama sosial khususnya yang
15
Diungkapkan pula oleh Bustanul Arifin dan Didik J. Rachbini dalam Ekonomi Politik Kebijakan Publik. (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001). Hal 57, dalam Agusmidah. Op. Cit. hal. 27. 16 Umar Juoro. Dalam Agusmidah, Ibid, hal. 27-28. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
dilakukan oleh negara. 17 Di negara Indonesia yang mendasarkan diri pada Pancasila, keadilan sosial dengan tegas dinyatakan dalam Sila Kelima Pancasila. Nilai ini telah dicoba untuk dilaksanakan salah satunya dengan menetapkan tujuan negara yang sama diketahui adalah memajukan kesejahteraan umum. Masalah keadilan timbul dalam situasi yang oleh John Rawls disebut Circumstances Of Justice (COJ) suatu rumusan yang berasal dari David Hume. David Hume menyebut COJ untuk menggambarkan bahwa keadilan baru merupakan keutamaan yang relevan (relevant virtue) hanya apabila terjadi kelangkaan dan orang-orang tidak spontan tergerak dalam ikatan emosional untuk mengulurkan bantuan. COJ Rawls adalah objektif COJ yaitu situasi normal konflik klaim dimana kerjasama antar manusia mungkin dan perlu. Masalah keadilan atau ketidakadilan mustahil dibicarakan dalam konteks manusia yang masih dalam status alamiah atau pra sosial. 18
17
Karenanya dalam literatur keadilan sosial sering juga disebut sebagai keadilan distributif. Ada perbedaan antara keadilan sosial dan keadilan distributif di mana keadilan sosial bukan sekedar masalah distribusi ekonomi saja, melainkan jauh lebih luas, mencakup keseluruhan dimensi moral dalam penataan politik, ekonomi dan semua aspek masyarakat yang lain. Keadilan telah dikaji secara filsafat bahkan sejak awal sejarah filsafat itu sendiri dalam karya Plato yang terkenal Republic, dapat diberi anak judul Tentang Keadilan. Plato berkeyakinan bahwa negara ideal apabila didasarkan atas keadilan dan keadilan baginya adalah keseimbangan atau harmoni. Harmoni artinya bahwa warga hidup sejalan dan serasi dengan tujuan negara, di mana masing-masing warga menjalani hidup secara baik sesuai kodrat dan posisi sosialnya, dalam Bur Rasuanto, Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 6,8, dalam Agusmidah, Ibid, hal. 131. 18 Ibid, hlm. 132. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Sisi lain hubungan ketenagakerjaan masuk dalam lingkup hubungan ekonomi di mana pelaku bisnis berhak mendapatkan keadilan ekonomi. Dalam keadilan ekonomi berlaku aturan main hubungan-hubungan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip etik, sedangkan keadilan sosial merupakan hasil dari dipatuhinya aturan main keadilan ekonomi tersebut. 19 Menyangkut pengertian upah ditemukan adanya kesamaan unsur dalam peraturan-peraturan sebagai berikut: (a) UU No. 13/2003 pengertian upah terdapat dalam Pasal (1) angka 30, yaitu: “Upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah tau akan dilakukan”; (b) UU No.3/1992 pengertian upah terdapat dalam Pasal (1) angka 5, yaitu: “Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk suatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan 19
Mubyarto, Indonesia Unik Karena Ketahanan Ekonomi Rakyatnya (Laporan Pertemuan Dengan Presiden Megawati 18 Maret 2002), Jurnal Ekonomi Rakyat diakses dari http://www.ekonomirakvat.org/galeri_wat/wartalip-2.htm, diakses terakhir kali tanggal 12 November 2006 dalam Agusmidah, Ibid, hlm. 133. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
menurut suatu perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja termasuk tunjangan, baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya”; (c) Sedangkan dalam UU No.40/2004 tentang sistem Jaminan Sosial Nasional ditemukan pula pengertian upah dalam Pasal (1) angka 13, yang berbunyi: “ Gaji atau upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan di bayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan”. Ketiga peraturan yang mendefenisikan upah tersebut dapat ditarik adanya unsur-unsur yang harus terdapat dalam upah, yaitu: 1. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah atau akan dilakukan; 2. Dinyatakan dalam bentuk uang; 3. Besarnya ditetapkan dalam perjanjian kerja, perundang-undangan; 4. Meliputi juga tunjangan-tunjangan lainya.
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Secara umum dapat dikatakan bahwa tidak ditemukan adanya tumpang tindih atau inkonsistensi pengertian tentang upah antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya. Selanjutnya
mengenai
pengertian
hukum
perburuhan
dapat
didefinisikan sesuai pernyataan Iman Soepomo bahwa hukum perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. 20 Menurut Eggy Sudjana secara umum penyebab lemahnya kondisi pekerja/ buruh di Indonesia diantaranya yakni: 21 1. Lemahnya posisi tawar tenaga kerja berhadapan dengan pemilik perusahaan atau industri karena keahlian dan tingkat pendidikan yang rendah. 2. Kebijakan pemerintah yang kurang responsif dan akomodatif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat.
20
Iman Soepomo. Pengantar Hukum Perburuhan. Cet. VI. (Jakarta: Djambatan, 1983),
hlm. 3. 21
Eggy Sudjana, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi Publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center. Jakarta. 24 Juni 2005, hlm.2-3. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
2. Konsepsi Menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran tulisan ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu: 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja. 22 2. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. 23 3. Pekerja/ buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 24 4. Pengusaha ialah : 25 a. Orang
perseorangan,
persekutuan
atau
badan
hukum
yang
menjalankan suatu perusahaan milik sendiri. b. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
22
Rumusan ini berdasarkan Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 23 Pasal 1 Butir 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 24 Pasal 1 Butir 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 25 Pasal 1 Butir 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
c. Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. 5. Perusahaan adalah: a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/ buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
26
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 6. Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 27 Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. 28
26
Pasal 1 Butir 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 1 Butir 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 28 Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 27
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
7. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: 29 a. Jangka waktu; atau b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu. 8. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
30
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. 9. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan
dan
dibayarkan
menurut
suatu
perjanjian
kerja,
kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan
29 30
Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
G.
31
Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis dan sifat penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian juridis normatif. Sifat penelitian dilakukan dengan pendekatan yang bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan dan menganalisis teoriteori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian. Metode juridis normatif digunakan karena penelitian ini membahas penerapan peraturan perundang-undangan tersebut di lapangan. 32 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka (documentary research).
31
Pasal 1 Butir 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayu Publishing, Malang, 2006, hal. 269. 32
Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
Studi lapangan dilakukan di PT. Binanga Mandala, yang berlokasi di Desa Sigambal, Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhan Batu yang memiliki pekerja dengan berbagai tingkatan, antara lain pekerja dengan status PKWT dan
Buruh Harian Lepas atau
karyawan/ pekerja lepas. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan memahami secara mendalam mengenai pendapat responden tentang eksistensi hasil penelitian terhadap sistem pengupahan terhadap pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga dapat dijadikan bahan untuk menganalisis permasalahan dalam tesis ini. Studi lapangan di atas didukung oleh studi kepustakaan untuk mencari berbagi konsepsi, teori, asas, doktrin-doktrin dan berbagai dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. 3. Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan meliputi teknik pengumpulan data secara studi kepustakaan (library research), sebagai suatu teknis pengumpulan data dengan memanfaatkan berbagai literatur atau studi dokumen dan teknik pendukung lainnya seperti wawancara yang mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) kepada para informan yang terdiri dari: Manager Perkebunan Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
PT. Binanga Mandala labuhan Batu, pihak personalia perusahaan, pekerja dalam PKWT, pihak Dinas Tenaga Kerja dan pihak lain yang dapat memberikan informasi yang relevan. 4. Analisis data Keseluruhan data diorganisasikan dan diurutkan kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema seperti yang disarankan oleh data yang dianalisa secara kualitatif. 33 Data dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif, artinya data-data yang ada dianalisis secara mendalam, holistik dan komprehensif.
33
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002,
hal. 103. Lahmuddin : Sistem Pengupahan Bagi Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 (Studi Pada Pt. Binanga Mandala Labuhan Batu), 2009
BAB II SISTEM PENGUPAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) DI PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU
A. Sistem Pengupahan 1. Pengertian Upah Upah merupakan hak dari pekerja yang diterimanya sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukannya. Hak untuk menerima upah itu timbul pada saat dimulainya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Edwin B. Flippo menyatakan bahwa yang dimaksud dengan upah adalah harga untuk jasa yang telah diterima atau diberikan oleh orang lain bagi kepentingan seseorang atau badan hukum. 34 Dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah menyebutkan pengertian upah adalah sebagai berikut: “Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan dan dibayar atas dasar sesuatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarga”. Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak pekerja/ buruh yang 34
G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta 1986. hlm. 93.
27
diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dari pengertian di atas jelaslah bahwa sesungguhnya upah dibayarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, namun untuk menjaga agar jangan sampai upah yang diterima terlampau rendah, maka pemerintah turut serta dalam menetapkan standar upah terendah melalui peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan upah minimum. Eggi Sudjana memberikan pengertian upah dari sudut pandang ekonomi yakni segala macam bentuk-bentuk penghasilan (earning) yang diterima buruh/ pegawai (tenaga kerja), baik berupa uang maupun barang, dalam jangka waktu tertentu pada suatu kegiatan ekonomi. 35 Batasan tentang upah menurut Dewan Penelitian Perupahan adalah bahwa upah itu merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, yang berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah ditetapkan menurut suatu persetujuan undang-undang dan peraturan-
35
hlm. 89.
Eggi Sudjana, Buruh Menggugat Persfektif Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002,
peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia memberikan konsep defenisi upah/ gaji yaitu penerimaan buruh/ karyawan/ pegawai baik berupa uang ataupun barang selama sebulan yang dibayarkan oleh perusahaan/ kantor/ majikan setelah dikurangi dengan potongan-potongan, iuran wajib, pajak penghasilan dan sebagainya. 36 Selanjutnya secara sederhana dapat dikemukakan bahwa upah dapat diartikan sebagai pembayaran suatu imbalan yang wujudnya dapat bermacammacam, yang dilakukan atau diberikan oleh seseorang/ suatu kelembagaan atau instansi terhadap orang lain atas usaha, kerja dan prestasi kerja atau pelayanan (servicing) yang telah dilakukannya. Uraian-uraian di atas menuju pada kesimpulan bahwa defenisi dan pengertian mengenai upah keseluruhannya secara jelas mengandung maksud yang sama yaitu upah merupakan pengganti jasa yang telah diserahkan atau dikerahkan oleh seseorang kepada pihak lain/ pengusaha.
2. Ketentuan Hukum Pengupahan dalam Perjanjian Kerja Ketentuan hukum yang mengatur masalah pengupahan sangat banyak jumlahnya mulai dari tingkat undang-undang sampai peraturan daerah. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain: 36
Badan Pusat Statistik, Indikator Ketenagakerjaan Mei 2004, BPS, Jakarta, 2004, hlm. 2.
a. Ketentuan Pokok, yaitu: 1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN Republik Indonesia 2003 Nomor 39). 2) PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. b. Ketentuan Operasional Pengupahan: 1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01 Tahun 1999 jo Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000 tentang Upah minimum. 2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan. 3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 49 Tahun 2004 tentang Struktur dan Skala Upah. 4) Peraturan Daerah tentang Penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMPS). b. Ketentuan Penunjang, yaitu peraturan perundang-undangan yang secara tidak langsung berkaitan dengan perlindungan upah yakni peraturan perundang-undangan dalam hal pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), peraturan perundang-undangan dalam hal penyelesaian PHK dan penetapan
uang
pesangon
dan
uang
penghargaan,
pengaturan
perundang-undangan dan hal penentuan pajak atas upah, peraturan perundang-undangan
dalam
bidang
jaminan
sosial
tenaga
kerja
(Jamsostek) dan peraturan perundang-undangan dalam hal proses penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial. Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 memberikan pengertian perjanjian kerja yaitu suatu perjanjian antara pekerja/ buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Berdasarkan pengertian kerja di atas dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja yaitu: 37 a. Adanya unsur work atau pekerjaan b. Adanya unsur perintah, dan c. Adanya upah Adanya upah dalam unsur suatu perjanjian kerja adalah merupakan hukum yang harus dilaksanakan oleh para pihak yang memuat perjanjian kerja tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Dengan kata lain bahwa ketentuanketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, termasuk upah adalah merupakan undang-undang sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan oleh pekerja dan pengusaha dengan syarat perjanjian kerja tersebut dibuat secara sah. Perjanjian kerja sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam
37
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia edisi Revisi, PT. Raja Grafindo, Jakarta 2006, hal 56
Pasal 1320 KUHPerdata. Ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar: a. Kesepakatan kedua belah pihak; b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan dengan kedudukan perjanjian kerja yang sah sebagai ketentuan hukum dibidang pengupahan, maka syarat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan mempunyai makna bahwa pengaturan upah dalam perjanjian kerja dapat dijadikan sebagai ketentuan hukum apabila tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terutama dibidang pengupahan yang berlaku. Dalam hal ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ketentuan hukum pengupahan dapat diatur dalam perjanjian kerja dan berlaku sebagai ketentuan hukum bagi pihak-pihak yang membuatnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal perjanjian kerja tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan, perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum, dan secara otomatis tidak berlaku sebagai ketentuan hukum.
3. Klasifikasi Ketentuan Hukum tentang Pengupahan Ketentuan perundang-undangan tentang pengupahan pada umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Bersifat membatasi (Restrictive), yaitu: 1. Memberi batas minimum besarnya upah (Upah Minimum) 2. Membatasi waktu kerja 3. Membatasi jangka waktu penuntutan terhadap pembayaran upah 4. Membatasi besarnya pemberian tunjangan tetap sebagai upah disamping upah pokok, yakni maksimal 25% (dua puluh lima persen) dari keseluruhan upah. b. Bersifat Memberi Perangsang (Incentive), yaitu: 1. Pengaturan pemberian upah lembur untuk pekerjaan diluar jam kerja. 2. Pengaturan mengenai upah tetap, diberikan upah meskipun pekerja tidak melakukan pekerjaan dengan alasan-alasan tertentu. 3. Pengaturan mengenai penetapan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak bagi pekerja.
Ketentuan-ketentuan di atas dikatakan bersifat incentive karena bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja dari pekerja dengan kesadaran adanya jaminan kepastian hukum yang melindungi hak mereka.
B. Tinjauan Umum tentang Sistem Hubungan Kerja PKWT 1. Syarat dan Ketentuan UU tentang Pengaturan PKWT Pengertian perjanjian kerja tertentu atau lazim disebut dengan kesepakatan kerja tertentu ada ditentukan dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1986 yang berbunyi “Kesepakatan Kerja Tertentu adalah kesepakatan kerja antara pekerja dengan pengusaha yang diadakan untuk waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. 38 Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksana Perjanjian Kerja Tertentu disebutkan PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu. 39 Sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat
38
Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1986. Pasal 1 huruf a Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu. 39
tetap. 40 Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelaslah bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu lazimnya disebut dengan
perjanjian
kontrak
atau
perjanjian
kerja
tidak
tetap.
Status
pekerjaannya adalah pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tidak tertentu disebut dengan perjanjian kerja tetap atau status pekerjaannya adalah pekerja tetap
a. Pengaturan PKWT dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Menimbulkan Perbedaan Tafsir
Alasan pemerintah melegalkan sistem kerja dengan PKWT adalah untuk menuntaskan masalah pengangguran. Hal ini dapat dilihat bahwa sistem PKWT baru ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, walaupun dengan batasan-batasan yang tidak terlalu ketat. Pada Undang-Undang sebelumnya yaitu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 Tentang Kerja dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, hubungan kerja tidak tetap tersebut tidak ada diatur, sebaliknya juga tidak ada dilarang. Sehingga kalau terjadi hubungan kerja kontrak dikarenakan masyarakat menggunakannya sebagai suatu kebiasaan.
40
Pasal 1 huruf b Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Tertentu.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memberikan landasan yuridis yang lebih kuat dibandingkan dengan UndangUndang sebelumnya. Hal ini dapat terlihat bahwa PKWT terdapat pengaturan tersendiri dalam sub bab tentang hubungan kerja. Kemudian dibuatlah peraturan pelaksanaannya yaitu Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/MEN/VI/2004. Pengaturan tentang PKWT dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menimbulkan pengertian ganda sekaligus perbedaan tafsir dalam merumuskan tentang pekerjaan kontrak (apakah menurut jangka waktunya atau menurut selesainya pekerjaan). Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 ayat (2). Pengertian ganda tersebut dapat dilihat dalam hal: 41 1. Jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT. Apakah pekerjaan menurut jangka waktu atau menurut selesainya pekerjaan. Menurut jangka waktu, tidak mempersoalkan apakah pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja bersifat tetap atau tidak tetap. Banyak pekerjaan yang dilakukan dengan sistem PKWT namun bentuk pekerjaannya adalah pekerjaan inti yang juga dilakukan pekerja yang berstatus tetap. Dengan kata lain batasan yang diberikan oleh UndangUndang tentang PKWT telah ditafsirkan secara sepihak oleh kalangan pengusaha yang hanya berpegang pada bunyi Pasal 56 ayat (2); 41
Agusmidah, Op.Cit, hlm. 339.
2. Aturan tentang pembaruan perjanjian Pasal 59 ayat (6) digunakan sebagai dasar untuk terus menerus menggunakan pekerja kontrak meskipun pekerjaan yang dilakukan adalah jenis pekerjaan inti dan tetap. Dalam hal ini pemerintah berkeinginan untuk memberikan kesempatan bagi pengusaha yang akan menggunakan sistem kerja kontrak dengan lebih leluasa. Hal ini didukung oleh kondisi pasar kerja yang menyediakan banyak tenaga kerja potensial sehingga mengganti pekerja lama dengan pekerja baru bukan hal yang sulit bagi pengusaha. Untuk menghindari multitafsir ini maka perlu ditetapkan secara tegas tentang: a. Kategori pekerjaan tetap dan tidak tetap; b. Kategori pekerjaan inti dan non inti; c. Syarat perpanjangan dan pembaharuan PKWT; d. Sanksi yang tegas bagi pelanggaran butir-butir di atas. Mengenai jangka waktu PKWT juga diatur dengan tegas termasuk persoalan syarat perpanjangan dan pembaharuan PKWT dan sanksi apa yang dapat dijatuhkan pada pengusaha apabila melanggar ketentuan. Seorang pekerja yang dipekerjakan dalam PKWT tidak boleh terkait dengan perjanjian kerja selama lebih dari 3 (tiga) tahun, namun masih terdapat celah bagi
pengusaha untuk dapat lebih lama lagi mengikat pekerja dengan sistem PKWT, yaitu dengan melakukan perpanjangan dan pembaharuan PKWT.
b. Persyaratan PKWT Sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya, PKWT harus memenuhi syarat-syarat pembuatan sehingga perjanjian yang dibuat dapat mengikat dan menjadi Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Untuk pembuatan perjanjian atau kesepakatan kerja tertentu terdapat persyaratan yang harus dipenuhi yang terdiri dari dua macam syarat, yaitu formil dan syarat materil. Syarat materil diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Syarat-syarat materil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 42 a. Kesepakatan dan kemauan bebas dari kedua belah pihak; b. Adanya kemampuan dan kecakapan pihak-pihak untuk membuat kesepakatan; c. Adanya pekerjaan yang dijanjikan; d. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian, syarat materil dari perjanjian kerja tertentu disebutkan bahwa kesepakatan kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud ayat (1) pada angka 1 dan 2 atau 42
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan, 43 yaitu dengan permohonan atau gugatan kepada pengadilan, sedangkan yang bertentangan dengan permohonan atau gugatan kepada pengadilan, sedangkan yang bertentangan dengan ayat (1) angka 3 dan 4 atau tidak memenuhi syarat objektif maka secara otomatis perjanjian yang dibuat adalah batal demi hukum. 44 Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu harus dibuat secara tertulis. 45 Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. PKWT tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan. 46 Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja dan kesungguhan dan keahlian seorang pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat yang berwenang). Walau demikian, dalam masa percobaan ini pengusaha tetap dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Ketentuan ini membolehkan adanya masa percobaan dalam PKWT adalah karena perjanjian kerja berlangsung relatif singkat. PKWT yang
43
Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Djumadi, Op. Cit, hlm 67 akibat hukum yang tidak dipenuhi syarat-syarat tersebut juga sama dengan akibat yang diatur dalam perjanjian pada umumnya yang menganut asas konsensualisme seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 45 Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 46 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 44
mensyaratkan adanya
masa percobaan, maka PKWT tersebut batal demi
hukum. 47 PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. 48 Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/VI/2004 disebutkan bahwa dalam PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. 49 Apabila dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT tersebut dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Selanjutnya dalam PKWT uang didasarkan atas selesainnya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai, namun apabila dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan dapat dilakukan pembaruan PKWT. Pembaruan sebagaimana yang dimaksud yaitu dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja dan selama masa tenggang 30 (tiga puluh) hari tersebut tidak ada hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha. Selain itu disebutkan
47
Abdul khakim, Op. Cit, hlm 35. hal yang diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 48 Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 49 Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/VI/2004.
juga kedua belah pihak dapat mengatur hal lain dari ketentuan tersebut yang dituangkan dalam perjanjian. Adapun
syarat-syarat
formal
yang
harus
dipenuhi
oleh
suatu
kesepakatan kerja tertentu adalah sebagai berikut: 50 a. Kesepakatan kerja dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing digunakan untuk pekerja, pengusaha dan Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat yang masing-masing memiliki kekuatan hukum yang sama; b. Kesepakatan kerja harus didaftarkan pada kantor Departemen Tenaga Kerja setempat, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak ditandatangani kesepakatan kerja tertentu; c. Biaya yang timbul akibat pembuatan kesepakatan kerja tertentu semuanya ditanggung pengusaha; d. Kesepakatan kerja tertentu harus memuat identitas serta hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagai berikut: 51 a) Nama dan alamat pengusaha atau perusahaan; b) Nama, alamat, umur dan jenis kelamin pekerja; c) Jabatan atau jenis/ macam pekerjaan; d) Besarnya upah serta cara pembayaran; e) Hak dan kewajiban pekerja; f) Hak dan kewajiban pengusaha;
50 51
Djumadi, Op. cit, hlm. 67. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
g) Syarat-syarat kerjanya; h) Jangka waktu berlakunya kesepakatan kerja; i) Tempat atau alokasi kerja; j) Tempat dan tanggal kesepakatan kerja dibuat serta tanggal berlakunya; dan k) Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam PKWT tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang dimuat dalam peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 52 Bila syarat-syarat perjanjian kerja tersebut lebih rendah maka syaratsyarat yang berlaku adalah yang termuat dalam peraturan perundang-undangan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam
pasal
13
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
Nomor
KEP.100/VI/2004 disebutkan bahwa PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatangan.
c. Kategori Pekerjaan dalam PKWT Dalam praktik sering terjadi penyimpangan terhadap kategori pekerjaan untuk PKWT dengan latar belakang dan alasan tertentu kadang terdapat
52
Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
pengusaha dengan sengaja memperlakukan PKWT untuk jenis pekerjaan yang bersifat rutin dan tetap. Dalam PKWT terdapat beberapa kategori pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT sebagai dasar adanya hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : 1. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; 2. Pekerjaan yang diperkirakan pnyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; 3. Pekerjaan yang sifatnya musiman; atau 4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Dalam putusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 terdapat beberapa pasal yang mengatur kategori pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT antara lain terdapat dalam Pasal 3 sampai Pasal 12. hal-hal yang diatur tersebut antara lain : 1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, harus memuat antara lain: 53
53
Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
a) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. b) Jangka waktunya paling lama 3 (tiga) tahun. c) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan maka PKWT tersebut dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat pekerjaan selesai. d) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. e) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan dapat dilakukan pembaharuan PKWT. f) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. g) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut tidak ada hubungan kerja antara pekerja/ buruh dan pengusaha. h) Para pihak dapat mengatur hal lain yang dituangkan dalam perjanjian, 2. PKWT untuk pekerjaan yang sifatnya musiman, hal yang diatur antara lain: 54 a. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
54
Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
b. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan tersebut hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. c. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk pekerjaan tersebut hanya diberlakukan untuk pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. d. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/ buruh berdasarkan PKWT untuk pekerja/ buruh yang melakukan tambahan harus membuat daftar nama pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. 55 e. PKWT tidak dapat dilakukan pembaharuan. 56 3. PKWT untuk pekerja yang berhubungan dengan produk baru, hal yang diatur antara lain: 57 a. PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/ buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. b. PKWT tersebut hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun. c. PKWT tersebut juga tidak dapat dilakukan pembaharuan.
55
Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004. 56 Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004. 57 Pasal 8 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
d. PKWT tersebut hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan di luar pekerjaan
yang biasa dilakukan
perusahaan. 58 4. Perjanjian kerja harian atau lepas, hal yang diatur antara lain: 59 a. Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas. b. Perjanjian kerja harian atau lepas tersebut dilakukan dengan ketentuan pekerja/ buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan. c. Dalam hal pekerja/ buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. d. Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam hal tersebut dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya. e. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/ buruh.
58
Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004. 59 Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
f. Perjanjian kerja harian lepas dapat dibuat berupa daftar pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 10 sekurangkurangnya memuat: 1. Nama/ alamat perusahaan atau pemberi kerja. 2. Nama/ alamat pekerja/ buruh. 3. Jenis pekerjaan yang dilakukan. 4. Besaran upah atau imbalan lainnya. g. Daftar pekerja/ buruh harian lepas tersebut disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak mempekerjakan pekerja/ buruh. PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, 60 yaitu pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
d. Jangka Waktu PKWT Mengenai jangka waktu PKWT diatur dalam Pasal 59 ayat (3) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam membuat suatu
kesepakatan
kerja
tertentu
batas
maksimal
waktu
yang
boleh
diperjanjikan adalah 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang atau diperbaharui untuk satu kali saja karena satu hal tertentu. Perpanjangan tersebut hanya dapat 60
Pasal 59 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
dilakukan dalam jangka waktu yang sama, dengan catatan jumlah seluruh waktu dalam kesepakatan kerja tertentu tidak boleh melebihi dari 3 (tiga) tahun. Walaupun demikian karena alasan-alasan yang mendesak untuk jenis pekerjaan tertentu dengan seizin Menteri Tenaga Kerja ketentuan tersebut dapat dikesampingkan. 61 Perpanjangan adalah melanjutkan hubungan kerja setelah PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pembaharuan adalah melakukan hubungan baru setelah PKWT pertama berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari. Dengan berakhirnya jangak waktu yang disepakati dalam PKWT maka secara otomatis hubungan kerja berakhir demi hukum.
e. Berakhirnya PKWT Mengenai berakhirnya hubungan kerja dalam kesepakatan kerja tertentu terdapat dua kemungkinan yaitu karena: 62 a. Demi
hukum
yaitu
karena
berakhirnya
waktu
atau
objek
yang
diperjanjikan atau yang disepakati telah lampau. b. Pekerja meninggal dunia, dengan pengecualian jika yang meninggal dunia pihak pengusaha maka kesepakatan kerja untuk waktu tertentu tidak
61 62
Djumadi, Op. Cit, hlm. 68. Ibid, hlm. 69.
berakhir. Bahkan suatu kesempatan kerja untuk waktu tertentu tidak berakhir walaupun pengusaha jatuh pailit Dalam Pasal 16 ayat (1 dan 2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 3/MEN/1986 yang berbunyi bahwa: “kesepakatan kerja untuk waktu tertentu berlangsung terus sampai saat waktu yang telah ditentukan dalam kesepakatan kerja atau pada saat berakhir/ selesainya pekerjaan yang disepakati dalam kesepakatan kerja, 63 kecuali karena: 1. Kesalahan berat akibat perbuatan pekerja, misalnya: a. memberikan keterangan palsu sewaktu membuat kesepakatan kerja; b. mabuk, madat, memakai obat bius atau narkotik di tempat kerja; c. mencuri, penggelapan, menipu atau melakukan kejahatan lain; d. menganiaya, menghina secara kasar, mengancam pengusaha, keluarga pengusaha atau teman sekerja; e. membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan atau kesusilaan; f. dengan sengaja atau kecerobohannya merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya milik perusahaan; g. dengan sengaja walaupun sudah diperingatkan membiarkan dirinya atau teman sekerjanya dalam keadaan bahaya; h. membongkar rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan.
63
Pasal 16 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 5/MEN/1986.
2. Kesalahan berat akibat perbuatan pengusaha, 64 antara lain sebagai berikut: a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja, keluarga atau anggota rumah tangga pekerja atau membiarkan hal itu dilakukan oleh keluarga, anggota rumah tangga atau bawahan pengusaha; b. membujuk pekerja, keluarga atau sesama pekerja untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan huk um dan dengan kesusilaan atau hal itu dilakukan bawahan pengusaha; c. berulang kali tidak membayar upah pekerja pada waktunya; d. tidak memenuhi syarat-syarat atau t idak melakukan kewajiban yang ditetapkan dalam kesepakatan kerja; e. tidak
memberikan
pekerjaan
yang
cukup
pada
pekerja
yang
penghasilannya didasarkan atas hasil pekerjaan yang dilakukan; f. tidak atau tidak cukup menyediakan fasilitas kerja yang disyaratkan kepada pekerja; g. memerintahkan pekerja walaupun ditolak pekerja untuk melakukan sesuatu pekerjaan pada perusahaan lain, yang tidak sesuai dengan kesepakatan kerja;
64
Pasal 17 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 5/MEN/1986.
h. apabila dilanjutkan hubungan kerja dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan jiwa atau kesehatan pekerja sewaktu kesepakatan kerja diadakan; i. memerintahkan pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak layak dan tidak ada hubungannya dengan kesepakatan kerja sebagaimana yang dimaksud ayat 1 dan 2 3. karena
adanya
alasan-alasan
memaksa, 65 maksudnya
adalah
bahwa
berakhirnya hubungan kerja tersebut karena alasan tidak terduga dan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya. Sebagaimana disebutkan apabila pengusaha atau pekerja ternyata mengakhiri kesepakatan kerja untuk waktu tertentu, sebelum waktunya berakhir atau selesainya pekerjaan tertentu yang telah ditentukan dalam kesepakatan kerja, p ihak yang mengakhiri kesepakatan kerja tersebut diwaji bkan membayar kepada pihak lainnya, kecuali bila putusan hubungan kerja karena kesalahan berat atau alasan memaksa sebagaimana dimaksud pada pasal 17, 19 dan 20. 66 Maksud dari ketentuan pasal tersebut di atas adalah bahwa pengusaha maupun pekerja pada saat akan mengakhiri atau memutuskan hubungan kerja dan ternyata waktu atau objek yang telah mereka sepakati belum sampai atau berakhir, maka konsekuensinya pihak yang melakukan inisiatif untuk 65
Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 5/MEN/1986. 66 Pasal 16 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: 5/MEN/1986.
mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar sejumlah ganti rugi seperti upah pekerja sampai waktu atau sampai pekerjaannya seharusnya selesai. Kecua li bila berakhirnya hubungan kerja tersebut karena kesalahan berat atau alasan-alasan yang memaksa. Pihak yang ingin mengakhiri hubungan kerja karena alasan-alasan tersebut juga harus meminta izin terlebih dahulu kepada Panitia Penyelesaian Perburuhan Tingkat Daerah atau Tingkat Pusat (P4D/ P). Pengusaha sebelum mengakhiri hubungan kerja dapat memberikan surat pering atan kepada pekerja karena kesalahannya, apabila pekerja tetap menolak untuk mentaatinya maka pengusaha dapat memberikan pemutusan hubungan kerja. Pengaturan secara lebih rinci tentang PKWT dalam UU No. 13/ 2003 dapat disimak pada Pasal 60, Pasal 61 dan Pasal 62. Meskipun PKWT ini tidak disinggung dalam UU No. 3/ 1992, UU No. 21/ 2000, UU No. 2/ 2004 namun dalam Kepmen 1993 dan Kepmen 2004. Dapat dilihat suat u perbandingan p engaturan atas penerapan PKWT menurut jenis pekerjaan yang diperbolehkan s esuai dengan UU No. 13/ 2003 seperti disajikan pada tabel 1:
Tabel 1 Perbandingan Pengaturan PKWT menurut Kepmen 1993 dan 2004 Ruang Lingkup dan Jenis PKWT yang Diizinkan b agi Kepmen 1993 Pengusaha Pekerjaan yang sekali sele sai (a) maksimum 3 (tiga) tah un atau yang sementara sifatnya . (b) memungkinkan diperpanja ng dengan izin Menteri (c) kontrak dapat diperbaharui hanya satu kali untuk maksimum 2 (dua) tahun. Pekerjaan yang diperkirakan (a) maksimum 3 (tiga) tahun penyelesaiannya dalam waktu (b) memungkinkan dipe rpanjang dengan izin Menteri. yang tida k terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun. Pekerjaan musiman
yang
bersifat
Pekerjaan tetap atau kontinu
Untuk 1 (satu) musim .
Tidak diizinkan untuk pekerjaan tatap atau kontinu
Pekerjaan yang berhubung an (a) Maksimum 3 (tiga) tahun dengan produk baru, kegiat an (b) Memungkinkan diperpanja ng baru, atau produk tambahan dengan izin Menteri yang masih dala m percobaan ( c) Kontrak kerja da pat atau penjajakan. diperbaharui han ya sat u kali untuk maksimum 2 (du a) tahun. Pekerjaan harian
Tidak dicantumkan
Kepmen 2004 Maksimum 3 (tiga) tahun
Maksimum 3 (tiga) tahun, tetapi dapat diperpanjang jika pekerjaan tidak dapat dalam waktu diselesaikan tersebut. Untuk 1 (satu) musim dan harus pekerjaan yang bersifat tidak tetap. Tidak dijelaskan dalam Kepmen meskipun dalam Undang-Undang No. 13/ 2003 dinyatakan PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap (Pasal 59 ayat (2)). Maksimum 3 (tiga) tahun
(a) pekerja hari an dibayar menurut kehadiran. (b) hanya bekerja kurang dar i 21 (dua puluh satu) ha ri per bulan ( c) jika bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau selama 3 (tiga) bulan, menjadi pekerja permane n
Persyar atan pelaporan
Tidak dicantumkan
pengusaha harus mendaf tarkan semua pekerja harian dan PKWT ke Disnaker.
Sumber: Bambang Widianto (2004) dan Alisjahbana et.al. (2004).
Perbandingan pengaturan pada tabel di atas dapat di simak kembali adanya perbedaan pengaturan yang mencolok tentang PKWT, yaitu jika dibandingkan dengan Kepmen 2004, Kepmen 1993 secara jelas mengatur perpanjangan kontrak bagi PKWT hanya sekali melalui persetujuan Menteri (Depnaker). Kepmen 2004 hanya mensyaratkan keharusan pengusaha untuk mendaftarkan semua pekerja yang berstatus PKWT dan buruh harian pada Disnaker sehingga hal ini dapat diduga potensial membuka peluang terjadinya pelanggaran atas Pasal 59, UU No. 13/ 2003. Dalam parktik akan selalu ditemukan pola penerapan PKWT yang sangat bervariasi dan berdeviasi dari ketentuan yang ditetapkan. Variasi yang terjadi akan lebih tinggi pada aspek jangka waktu dan proses perpanjangan/ pembaharuan
bila dibandingkan
dengan kemungkinan variasi yang terjadi menurut jenis/ sifat pekerjaan.
2. PKWT yang Melanggar Syarat dan Ketentuan Otomatis Berubah Menjadi PKWTT Dalam hal PKWT tidak dipenuhi syaratnya maka PKWT juga dapat berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Hal ini diatur dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No mor: KEP.100/VI/2004 dan dapat terjadi bila:
1). PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. 67 2). Dalam hal PKWT dibuat tidak meme nuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja. 3). Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubunga n dengan produk baru menyimpang dari ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3), maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan. 4). Dalam hal pembaruan PKWT tidak melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari
setelah
berakhirnya
perpanjangan
PKWT
dan
tidak
diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut. 5). Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap buruh dengan hubungan PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), aya t (2), ayat (3) dan a yat (4), maka hak-hak pekerja/ buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan bagi PKWT
C. Sistem Pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu Sistem pengupahan yang ada pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dilakukan berdasarkan perhitungan sendiri oleh perusahaan dan didasarkan 67
Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/VI/2004
pada keadaan keuangan perusahaan. Para pekerja harian tidak ada mendapat tunjangan kerja dan juga tunjangan kesehatan, tetapi hanya gaji pokok dan insenti f lainnya yang jumlahnya disesuaikan dengan kemampuan perusahaan. 68 Pekerja yang bekerja dengan status karyawan harian tidak memiliki kontrak kerja dengan perusahaan, karena beberapa pekerja dipimpin oleh kepala kerja yang merupakan Karyawan tetap PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, sehingga status pekerja harian tersebut bukan merupakan karyawan tetap. Dan sistem pengupahan yang dilakukan sesuai dengan kebijakan perusahaan. Tanpa ada tunjangan masa kerja, tunjangan kesehatan. 69 Upah yang di terima dibawah Upah Minimum Regional (UMR) yang berlaku di Labuhan Batu, dan tidak adanya tunjangan kesehatan, serta tidak adanya jaminan uang pensiun serta tunjangan-tunjangan lainnya. Tunjangan Hari Raya (THR) yang di terima juga hanya sirup dan roti kaleng tanpa ada uang sedikitpun 70 Ketentuan mengenai sistem pengupahan bagi pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu jika dilihat berdasarkan data yang diperoleh mengenai upah pekerja dari bulan Pebruari 2008 hingga Oktober 2008, terdapat perbedaan antara upah yang
68
Joko HS, (Personalia PT. Binanga Mandala Labuhan Batu). Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009 di Medan 69 R. Alam Jaya(Manajer Kebun PT. Binanga Mandala Labuhan Batu). Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009 di Medan 70 Zulmah, Agus dan leni, Karyawan Lepas pada PT. Binanga Mandala Labuhan batu, hasil wawancara tertanggal 24 Juli 2009.
diterima oleh pekerja tetap dengan pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, dari bulan Pebruari-Maret 2008 Karyawan tetap menerima gaji pokok antara Rp. 731.940,- sampai Rp. 722.750,- sedangkan karyawan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menerima gaji pokok sejumlah Rp. 805.200,dari sisi gaji pokok lebih besar gaji yang diterima oleh pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, tetapi Pekerja dalam Perjanjian Kerja waktu tertentu tidak mendapatkan Tunjangan Golongan dan Tahun Masa Kerja yang ju mlah nya cukup lumayan guna memenuhi kebutuhan hidup. Pada bulan Mei 2008 hingga Oktober 2008 terjadi kenaikan gaji yaitu: Karyawan tetap yang semula menerima gaji pokok Rp. 731.940,- atau Rp. 722.750,-/ bulan naik menjadi Rp. 786.000,- ditambah dengan tunjangan golongan, tahun masa kerja, catu beras dan lembur jika pekerja melakukan lembur. Sementara itu pada bulan Mei hingga Agustus 2008 gaji pokok pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp. 805.200,- menjadi Rp. 902.100,-/ bulan tanpa tunjangan golongan dan tahun masa kerja. Tetapi pada bulan September 2008 gaji pokok pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu mengalami penurunan dari Rp. 902.100,-/ bulan menjadi Rp. 873.000,-/ bulan tetap tanpa tunjangan golongan dan tunjangan masa kerja. Bulan Oktober 2008 gaji pokok pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu mengalami kenaikan lagi menja di Rp.1.076.700,- / bulan tanpa tunjangan golongan dan tunjangan masa kerja.
Menurut data yang diperoleh dari PT. Binanga Mandala Labuhan Batu tentang honor karyawan harian jumlahnya bervariasi dari mulai Rp. 25.000,(dua puluh lima ribu rupiah) per hari sampai Rp. 33.000,- (tiga puluh tiga ribu rupiah) perhari, tetapi jika ditotal keseluruhannya honor tersebut masih sangat kecil dan jumlahnya tidak ada yang melebihi Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Sistem pengupahan yang dilakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu jika dilihat terjadi perbedaan dalam penetapan upah dan fasilitas-fasilitas lainnya antara pekerja tetap dengan pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sehingga mengakibatkan tidak adanya keseragaman upah antara pekerja yang satu dengan pekerja lainnya. Berdasarkan data penggajian dari bulan Pebruari 2008 hingga Oktober 2008, maka ada beberapa kekurangan yang dilakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, seperti tidak adanya tunjangan kesehatan, tidak adanya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Sistem Pengupahan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dibuat oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu terhadap karyawan PKWT merupakan sistem yang dibuat sendiri oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, tanpa mengacu kepada ketentuan UU Ketenagakerjaan yang berlaku. Banyaknya pegawai yang tidak memiliki kejelasan status dalam pekerjaan, apakah menjadi karyawan tetap atau karyawan honor. Banyak pekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu
yang
berdasarkan
ketentuan
UU
No.
13
tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan sudah seharusnya diangkat menjadi karyawan tetap tetapi
belum juga diangkat menjadi karyawan tetap. masih berstatus sebagai pekerja dalam Perjanjian Waktu Tertentu padahal sudah bekerja lebih dari 5 (lima) tahun. Sistem pengupahan yang dilakukan juga di bawah Upah Minimum Regional serta tidak dibarengi dengan pemenuhan hak-hak karyawan lainnya seperti tunjangan kesehatan, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), pesangon dan hak-hak pekerja lainnya. Pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu juga banyak yang tidak mengetahui kontrak kerja yang dilakukan dan tidak jarang para pekerja juga tidak memiliki kontrak tertulis terhadap pekerjaan yang dilakukan. Jadi sifatnya hanya lisan saja disampaikan oleh
perusahaan
kepada
pekerja. Kedudukan
yang
tidak
seimbang
menyebabkan pekerja hanya menerima saja perlakuan yang tidak adil dari perusahaan, karena para pekerja tersebut sangat membutuhkan pekerjaan demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian meningkat. Status yang tidak jelas dari pekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu menyulitkan pekerja dalam melakukan penuntutan terhadap hak-hak yang harus diperolehnya dari perusahaan (dalam hal ini PT. Binanga Mandala Labuhan Batu), padahal UU Ketenagakerjaan dengan tegas mensyaratkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk melakukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam suatu perusahaan. Tetapi pada praktiknya PT.
Binanga Mandala Labuhan Batu tidak mematuhi ketentuan perundangundangan yang berlaku khususnya UU Ketenaga kerjaan. Karena banyak pekerjaan yang dilakukan bukan merupakan pekerjaan musiman, tetapi pekerjaan yang bersifat tetap. Hal ini dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini : BAB IV Pasal 6 Penempatan dan Penggolongan Karyawan 1. Semua Karyawan akan ditempatkan/ ditugaskan oleh perusahaan sesuai dengan
kecakapan,
pengalaman,
kemampuan
kerja
dan
kebutuhan
perusahaan. 2. Untuk kepentingan perusahaan dan kelancaran jalannya produksi, Pimpinan Perusahaan berhak mempekerjakan Karyawan pada posisi ataupun tugas lainnya dalam lingkungan perusahaan tanpa mengurangi upahnya. 3. Perusahaan berhak memindah tugaskan Karyawan kebagian yang lebih rendah tingkatannya apabila perusahaan merasa tidak puas akan prestasi dan kecakapan kerja dan kondite Karyawan yang bersangkutan atau apabila Karyawan menunjukkan prestasi kerja yang terus menerus turun. Penurunan tingkat Karyawan tersebut akan diberitahukan secara tertulis kepada Karyawan tetapnya.
disertai
alasan-alasannya,
tanpa
mengurangi
penghasilan
Pasal 7 Karyawan Tetap Lain, Honorer dan Karyawan Harian Lepas 1. Disamping Karyawan Bulanan Tetap, terdapat juga Karyawan dengan status Honorer, Karyawan Tetap Lainnya dan Karyawan Harian Lepas (KHL). 2. Khusus untuk Karyawan Tetap Lainnya dan Karyawan Harian Lepas (KHL), pengaturan dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pasal 8 Penggolongan Jabatan Karyawan Karyawan Tetap dibagi dalam golongan sebagai berikut: 1. Pimpinan Atas
: Manager, Wakil Manager, Assiten Kepala, Kepala Biro.
2. Pimpinan Menengah : Assisten, Kepala Seksi. KTU, Konduktor, Kapala Bagian. 3. Pimpinan Pertama
: Mandor, Kepala Regu dan yang setingkat.
4. Karyawan Umum
: Karyawan.
Pasal 9 Daftar Penilaian Karya Daftar penilaian karya seseorang Karyawan adalah suatu laporan tentang prestasi, disiplin dan sikap yang digunakan untuk menilai prestasi dan disiplin Karyawan dan dibuat setiap tahun.
Pasal 10 Kenaikan Pangkat/ Golongan 1. Kenaikan pangkat/ golongan Karyawan diberikan secara berkala setelah kemampuan, prestasi kerjanya dinilai memuaskan oleh Perusahaan. 2. Kenaikan pangkat/ golongan istimewa Perusahaan memberikan kenaikan pangkat istimewa, apabila hasil kerjanya/ prestasinya dinilai sangat memuaskan oleh Perusahaan, dengan syarat sekurang-kurangnya sudah 1 (satu) tahun pada pangkat/ golongan terakhir, dengan nilai prestasi kerja rata-rata baik sekali. 3. Kenaikan pangkat/ golongan diperoleh melalui penilaian kondite rata-rata yang dilakukan oleh atasan yang bersangkutan untuk kemudian diajukan pada rapat pimpinan antar departemen. Hasil Rapat pimpinan kemudian di ajukan ke Direksi untuk mendapatkan persetujuan. Kenaikan pangkat/ golongan ditinjau tahunan dengan ketentuan kondite rata-rata sebagai berikut: a. Baik Sekali
1 Tahun nilai kondite 85 ke atas dan dinyatakan sebagai
karyawan berprestasi. b. Baik
2 Tahun nilai kondite 70 sampai dengan 84
c. Cukup
3 Tahun nilai kondite 55 sampai dengan 69.
Mereka yang konditenya kurang, melalui peringatan-peringatan dari Perusahaan selanjutnya akan dibina/ dikeluarkan dari Perusahaan.
4. Kenaikan pangkat dari golongan Karyawan Harian Tetap (KHT) ke golongan I, dari golongan II ke golongan III dan seterusnya harus melalui suatu promosi. 5. Khusus pengangkatan karyawan SKU, golongan I, golongan II proses administrasi dalam wujud penandatanganan SK Pengangkatan cukup antara Departemen yang bersangkutan dengan Biro Personalia, hak mengenai Keputusan Pengangkatannya tetap oleh Direksi.
Pasal 11 Mutasi/ Pemindahan Karyawan 1. Pengaturan penugasan, penempatan dan pemindahan Karyawan merupakan wewenang Perusahaan. 2. Perusahaan berwenang untuk mengangkat, menempatkan, memutasikan dan memindahkan Karyawan untuk sesuatu jabatan di dalam lingkungan Perusahaan lain dalam satu group. Ketentuan mengenai ini akan dikeluarkan tersendiri. 3. Karyawan yang menerima perintah tentang mutasinya harus menyerahkan tugas-tugasnya kepada penggantinya atau atasannya untuk melaksanakan tugasnya yang baru sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh Perusahaan.
4. Karyawan yang menolak mutasi tersebut dianggap melanggar disiplin kerja yang dapat dikenakan sanksi. Apabila setelah mendapatkan surat perintah, Karyawan tidak mematuhinya, akan dikenakan tindakan yang lebih tegas yaitu pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh Perusahaan. 5. Dua minggu sebelumnya kepada Karyawan yang akan dimutasikan akan diberitahukan tentang mutasinya, kecuali Direksi menentukan lain.
Bab V Penghasilan Pasal 12 Pengupahan dan Pendapatan 1. Perusahaan akan memberikan upah yang layak kepada Karyawan sesuai dengan pangkat dan golongan Karyawan, yang penempatannya berpedoman kepada ketentuan Upah Minimum Propinsi yang berlaku di Sumatera Utara. 2. Karyawan yang baru masuk akan mulai bekerja termasuk yang baru dalam masa percobaan 3 (tiga) bulan mulai bekerja antara tanggal 1 dan 15 dari satu bulan, menerima upah untuk bulan bersangkutan sebesar satu bulan. Sedangkan mereka yang masuk bekerja antara tanggal 16 dan akhir bulan untuk satu bulan, menerima upah untuk bulan yang bersangkutan sebesar 50% dari upah sebulan.
3. Apabila karena sesuatu alasan, “Karyawan Tetap’ diberhentikan dari pekerjaannya, maka pemberian upah diatur sebagai berikut: a. Berhenti antara tanggal 1 dan 15 untuk suatu bulan, kepadanya dibayarkan 50% dari upahnya untuk bulan yang bersangkutan. b. Berhenti antara tanggal 16 sampai akhir bulan suatu bulan, kepadanya akan diberikan 100% dari upah yang bersangkutan.
Pasal 13 Ketentuan Uang Lembur 1. a. Kepada Karyawan yang diperintahkan oleh Perusahaan melakukan tugasnya di luar jam kerja yang telah ditetapkan baginya sebanyakbanyaknya untuk waktu 3 (tiga) jam dalam satu hari dan 14 (empat belas) jam dalam satu minggu diberikan uang lembur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat 1.a. tersebut di atas hanya dapat dilakukan paling banyak: 1. 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari waktu kerja siang hari untuk melakukan pekerjaan pada waktu istirahat minggu atau 1 (satu) hari libur resmi ditetapkan.
2. 7 (tujuh) jam dalam 1 (satu) hari waktu kerja malam hari untuk melakukan pekerjaan pada waktu istirahat minggu atau hari libur resmi ditetapkan. 2. Besar upah lembur tersebut adalah sesuai dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja. 3. Penolakan terhadap perintah melakukan kerja lembur, seperti disebutkan pada ayat di atas, dapat dianggap sebagai penolakan perintah, karena itu dapat
diberikan
sanksi
kecuali
ada
alasan-alasan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. 4. Perhitungan upah lembur diatur menurut Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.102/MEN/VI/2004, yaitu ditentukan sebagai berikut: a) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja: 1) Jam kerja lembur pertama, dibayar sebesar 1.5 kali upah satu jam. 2) ………………………. b) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan hari resmi libur untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka: 1) Perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah satu jam, dan jam ke delapan dibayar 3 (tiga) kali
upah satu jam dan jam lembur ke sembilan dan ke sepuluh 4 (empat) kali upah satu jam. 2) Apabila hari libur resmi jatuh hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam kerja pertama dibayar 2 (dua) kali upah satu jam, jam ke- 6 (enam) 3 (tiga) kali upah satu jam dan jam ke- 7 dan ke- 8, dibayar 4 (empat) kali upah satu jam. 3) Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/ atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah satu jam, jam ke- 9 (sembilan) dibayar 3 (tiga) kali upah satu jam kerja dan jam ke- 10 (sepuluh) dan ke- 11 (sebelas) 4 (empat) kali upah satu jam. c) Cara perhitungan uang lembur: 1) Karyawan Bulanan
: 1/173 upah komponen perhitungan lembur.
2) Karyawan Harian Tetap : 3/20 upah rata-rata satu hari. 3) Karyawan Borongan : 1/7 upah satu hari. 5. Kerja lembur karyawan akan dilaksanakan melalui instruksi, untuk mana oleh pejabat yang diberi wewenang akan dikeluarkan Surat Perintah Lembur dan merupakan bagian dari dokumen pembayaran uang lembur.
6. Karyawan golongan Pimpinan Menengah ke atas, tidak diberikan lembur apabila diperintahkan untuk bekerja lebih dari 7 (tujuh) jam kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 3 pasal ini. 7. bagi Karyawan (pelayan mess, jaga malam dan pengemudi) apabila lebih dari 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu dihitung lembur. Pasal 14 Penyesuaian Skala Upah Penyesuaian skala upah secara umum dapat dipertimbangkan menurut kebutuhan, antara lain: 1. Nilai jabatan (Job Value) di pasaran meningkat, karena sesuatu atau berbagai sebab yang akan didasarkan pada penilaian berkala. 2. Adanya kebijaksanaan pemerintah dibidang moneter yang mengakibatkan harga yang signifikan. 3. Karena angka inflasi yang meningkat.
Pasal 17 Peninjauan dan Kenaikan Upah 1. Peninjauan upah diupayakan perusahaan sekali dalam setahun dengan memperhatikan: a. Kenaikan harga kebutuhan pokok
b. Kemampuan perusahaan. c. Keputusan Pemerintah tentang pengupahan. 2. Kenaikan upah perorangan tidak dilaksanakan secara otomatis pada setiap tahun, tetapi didasarkan atas pertimbangan prestasi Karyawan.
Pasal 16 Pajak Penghasilan 1. Pajak atas upah/ penghasilan lain dari Karyawan, ditanggung oleh Karyawan, yang dipotong melalui gaji setiap bulannya. 2. Perubahan dalam keluarga atau perusahaan tempat tinggal atau perubahan keyakinan, dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Biro Personalia dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan, dengan melampirkan bukti tertulis dari pejabat yang berwenang.
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM ATAS UPAH YANG DITERIMA TENAGA KERJA PADA PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU
A. Pelanggaran Pembayaran Upah di PT Binanga Mandala Labuhan Batu Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada ketentuan pidana terhadap pelanggaran pembayaran upah diatur seperti tercantum pada tabel 2. Satu hal yang harus diingat bahwa adanya ketentuan sanksi pidana penjara, kurungan dan/ atau denda tersebut tidak berarti menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak dan/ atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/ buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 189 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Jadi, walaupun pengusaha dipidana atau didenda, ia tetap berkewajiban membayar seluruh hak-hak dan/ atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/ buruh. Dapat dilihat pada Tabel 2:
67
Tabel 2 Ketentuan Pidana Terhadap Pelanggaran Pembayaran Upah
No.
Jenis Pelanggaran
Pelanggaran Terhadap Ketentuan
Bentuk Sanksi
Dasar Hukum Tindakan
(1) 1.
(2) Membayar upah dibawah ketentuan upah minimum
(3) Pasal 90 ayat (1) jo. Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003
(5) Pasal 185 UU No.13 Tahun 2003
2.
Tidak membayar upah terhadap pekerja/ buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan waktu istirahatnya Tidak membayar upah kerja lembur
Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003
(4) Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun, dan/ atau denda paling sedikit Rp.100 juta dan paling banyak Rp.400 juta Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun, dan/ atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp.400 juta
Tidak membayar upah kerja lembur pada hari libur resmi
Pasal 85 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003
3.
4.
Pasal 78 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003
Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp.10 juta dan paling banyak Rp.100 juta Pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan, dan/ atau denda paling sedikit Rp.10 juta dan paling banyak Rp.100 juta
Pasal 186 UU No.13 Tahun 2003
Pasal 187 UU No.13 Tahun 2003
Pasal 187 UU No.13 Tahun 2003
Menurut pengamatan penulis ketentuan pidana tersebut masih terdapat kekurangan, yakni tidak adanya sanksi bagi pengusaha yang tidak membayar upah yang terlambat dibayar berikut denda dengan bunganya. Memang jika ada
keterlambatan pembayaran upah, pengusaha wajib membayar denda dan bunganya (Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah), tetapi ketika pengusaha tersebut tidak juga membayar upah yang terlambat dibayar, denda dan bunganya, tidak ada sanksi apapun. Dalam pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jelas dinyatakan bahwa: “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/ buruh.” Bagaimana jika pasal ini dilanggar pengusaha?. Tentu perlu diatur sanksi pidana lebih lanjut. Jika tidak, akan sangat merugikan pekerja/ buruh. Kondisi demikian pernah terjadi di Kalimantan Timur, dimana pengusaha tidak membayar secara penuh upah yang terlambat dibayar selama 2 (dua) tahun termasuk denda dan bunganya. 71 Sistem pengupahan yang dilakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu baik itu kepada pekerja tetap maupun pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu seperti yang sudah dipaparkan dalam bab sebelumnya adalah tidak
sesuai
dengan
ketentuan
UU
No.
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, ada beberapa hak-hak yang juga merupakan komponen upah
71
Abdul Khakim, Aspek Hukum Pengupahan berdasarkan UU Nomor. 13 tahun 2003. Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hal.71
belum dipenuhi oleh pihak pengusaha. Tidak adanya Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), tunjangan kesehatan dan juga tidak adanya tunjangan golongan dan tahun masa kerja bagi pekerja dalam Perjanjian Kerja waktu Tertentu padahal sudah selayaknya pekerja dalam PKWT tersebut dinaikkan statusnya menjadi pekerja tetap karena telah memenuhi syarat-syarat yang dicantumkan oleh Undang-Undang sehingga pekerja tersebut juga berhak mendapatkan tunjangan golongan dan tahun masa kerja. Dalam melakukan pekerjaan di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, pekerja tidak ada mendapat perlindungan hukum akan hak-hak yang harusnya di dapatkan dari Perusahaan. 72 Kontrak atau perjanjian kerja terhadap pekerjaan yang di lakukan tidak ada diberikan kepada para pekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. 73 Dinas tenaga kerja sepertinya juga mengetahui akan kondisi yang terjadi di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, tetapi tetap saja diam dan para pekerja juga tidak berani mengadukan persoalan yang di hadapi, karena takut diberhentikan dan perusahaan dengan mudah mencari orang lain sebagai pengganti . 74
72
Agus, Pegawai Perawatan Tanaman di PT. Binanga Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009. 73 Leni, Pegawai Perawatan Tanaman di PT. Binanga Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009. 74 Zulmah, Pegawai Pemabantu Mandor di PT. Binanga Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009.
B. Perlindungan Hukum atas Upah di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu 1. Komponen Upah Pada dasarnya upah harus diberikan dalam bentuk uang yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Jika upah ditetapkan dalam mata uang asing, pembayaran akan dilakukan berdasarkan kurs resmi dari Bank Indonesia pada saat pembayaran upah. Upah yang diberikan dalam bentuk lain dapat berupa apa saja kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obatobatan dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% dari nilai upah yang seharusnya diterima. Disamping itu pemberian upah dapat pula berupa fasilitas, yaitu berupa kenikmatan dalam bentuk nyata yang diberikan perusahaan
kepada
pekerja
atau
karena
hal-hal
khusus
atau
untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas antar jemput atau makan secara cuma-cuma. Upah dapat dikelompokkan berdasarkan komponen, yang terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Berdasarkan hal tersebut, imbalan/ penghasilan yang diterima oleh buruh tidak selamanya disebut sebagai upah, karena bisa saja imbalan tersebut bukan termasuk komponen upah. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah menyebutkan bahwa :
1. Termasuk komponen upah adalah: a) Upah pokok; merupakan imbalan dasar yang dibayarkan kepada buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. b) Tunjangan tetap; suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk buruh dan keluarganya yang dibayarkan bersamaan dengan upah pokok, seperti tunjangan anak, tunjangan kesehatan, tunjangan perumahaan, tunjangan kehamilan, tunjangan
makan,
tunjangan
transport
dapat
dimasukkan
dalam
tunjangan pokok asalkan tidak dikaitkan dengan kehadiran buruh, dengan kata lain tunjangan tersebut diberikan tanpa mengindahkan kehadiran buruh dan diberikan bersamaan dengan dibayarnya upah pokok. c) Tunjangan tidak tetap; suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan buruh dan diberikan secara tidak tetap bagi buruh dan keluarganya serta dibayarkan tidak bersamaan dengan pembayaran upah pokok, seperti misalnya tunjangan transport yang diberikan atas dasar kehadiran. 2. Tidak termasuk komponen pokok a) Fasilitas; kenikmatan dalam bentuk nyata/ natura karena hal-hal yang bersifat khusus untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, seperti
fasilitas kendaraan antar jemput, pemberian makanan secara cumacuma, sarana ibadah, tempat penitipan bayi, koperasi, kantin dan sejenisnya. b) Bonus; pembayaran yang diterima buruh dari hasil keuntungan perusahaan atau karena buruh berprestasi melebihi target produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas, yang besarnya diatur kesepakatan. c) Tunjangan Hari Raya (THR); pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain. Bila komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah keseluruhan upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 96 UU Ketenagakerjaan). Penentuan komponen upah ini perlu sebagai dasar perhitungan upah untuk membayar upah lembur maupun pasongan dan penghargaan masa kerja yang mencakup upah pokok dan tunjangan tetap. Manfaat tunjangan tambahan baik tetap maupun tidak tetap bagi pekerja adalah: 1. Meningkatkan moral pekerja karena mereka merasakan perusahaan memperhatikan kepentingan mereka.
2. Meningkatkan rasa senang dalam bekerja dan berkurangnya keluhankeluhan yang dialami. 3. Bertambah baiknya hubungan pekerja dengan pengusaha. 4. Meningkatnya jaminan kerja dan pendapatan kerja. 5. Kesempatan
untuk
berpartisipasi
dalam
perusahaan
karena
bertambahnya pengertian pekerja terhadap kebijaksanaan dan sasaran perusahaan. Secara umum upah adalah merupakan pendapatan, akan tetapi pendapatan itu tidak selalu harus upah. Pendapatan dapat merupakan penghasilan lain, umpamanya keuntungan dari hasil penjualan barang yang dipercayakan kepada seseorang yang berupa income. Upah berdasarkan jenisnya antara lain dapat disebutkan sebagai berikut: a. Upah Nominal Upah nominal ialah sejumlah uang yang dibayarkan kepada para buruh yang berhak sebagai imbalan atas pengerahan jasa-jasa dan pelayanannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kerja di bidang industri atau perusahaan ataupun dalam organisasi kerja, dimana kedalam upah tersebut tidak ada tambahan atau keuntungan lain yang diberikan kepadanya. Upah nominal ini sering pula disebut dengan upah uang (money wages) sehubungan dengan secara keseluruhan.
wujudnya yang berupa uang
b. Upah Nyata Upah nyata ialah upah uang yang nyata benar-benar harus diterima oleh seseorang yang berhak. Upah nyata ini ditentukan oleh daya beli upah tersebut yang akan banyak tergantung dari: (1) Besar atau kecilnya jumlah uang yang diterima (2) Besar atau kecilnya biaya hidup yang diperlukan. Ada kalanya upah diterima dalam wujud uang dan fasilitas atau in natura, maka upah nyata yang diterima yaitu jumlah upah uang dan nilai rupiah dan fasilitas dan barang in natura tersebut.
c. Upah Hidup Dalam hal ini upah diterima seorang buruh itu relatif cukup untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan sosial keluarganya, misalnya pendidikan, bahan pangan yang memiliki nilai-nilai gizi yang lebih baik, iuran asuransi dan sebagainya. Upah hidup ini dapat diterima pekerja apabila perusahaan tempat kerja dapat berkembang dengan baik, sehingga menjadi perusahaan yang kuat.
d. Upah Minimum Upah minimum adalah seorang manusia dan dilihat dari segi kemanusiaan, sewajarnyalah kalau buruh itu mendapatkan penghargaan yang wajar dan
atau perlindungan yang layak. Dalam hal ini, maka upah minimum sebaiknya dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup buruh itu beserta keluarganya, walaupun dalam arti yang serba sederhana, cost of living perlulah diperhatikan dalam penentuan upah. e. Upah Wajar Upah wajar dimaksud sebagai upah yang secara relatif dinilai cukup wajar oleh pengusaha dan para buruhnya sebagai imbalan atas jasa-jasa yang diberikan buruh kepada pengusaha atau perusahaan, sesuai dengan perjanjian kerja diantara mereka. Upah wajar ini sangat bervariasi dan bergerak antara upah minimum dan upah hidup, yang diperkirakan cukup untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan buruh dan keluarganya. Faktor-faktor yang mempengaruhi upah wajar adalah: 75 (1) Kondisi ekonomi negara secara umum. (2) Nilai upah rata-rata di daerah dimana perusahaan tersebut beroperasi. (3) Posisi perusahaan dilihat dari struktur ekonomi negara. (4) Undang-Undang, terutama yang mengatur masalah upah dan jam kerja. (5) Ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam lingkungan perusahaan. (6) Peraturan perpajakan.
75
Saiful Anwar, Sendi-sendi Hubungan Pekerja dengan Pengusaha, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994, hlm. 66.
(7) Pengusaha dan organisasi buruh yang mengutamakan gerak saling menghargai dan musyawarah serta mufakat dalam mengatasi segala kesulitan. (8) Standar hidup dari para buruh itu sendiri.
2. Dasar Hukum Sistem Pengupahan di Indonesia Dilihat dari sejarah perkembangan hukum ketenagakerjaan yang pernah berlaku di Indonesia dapat diperhatikan bahwa sistem pengupahan dalam hubungan perburuhan/ ketenagakerjaan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan ini dapat dilihat dalam berbagai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem pengupahan yang berlaku dalam semua hubungan ketenagakerjaan yang berlangsung di Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan upah bagi pekerja karena upah memegang peranan penting dan merupakan ciri khas dalam hubungan kerja, bahkan dapat dikatakan upah merupakan tujuan utama dari seseorang bekerja dalam melakukan hubungan kerja. Perkembangan sistem pengupahan yang signifikan dalam hukum ketenagakerjaan dapat dilihat dari fakta bahwa dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 secara rinci telah mengatur kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk memperbaiki kondisi hubungan kerja di Indonesia, terutama dibidang pengupahan yang diatur dalam Bab X Bagian
kedua UU No. 13 Tahun 2003. Sedangkan dalam Undang-Undang Perburuhan sebelumnya seperti diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1948 dan UU No. 14 Tahun 1969 tidak ada mengatur secara rinci mengenai upah melainkan hanya memuat hak pekerja untuk mendapat penghasilan yang layak, misalnya dalam Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja yang menyatakan: “Tiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan”. Ketentuan tersebut merupakan satu-satunya ketentuan pengupahan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut. Kondisi ini telah diperbaharui dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang telah mengatur secara rinci dalam satu bagian tertentu dalam Undang-Undang tersebut mengenai kebijakan dibidang pengupahan ini. Dalam hubungan kerja yang berdasarkan kepada UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 dan berdasarkan hubungan Industrial Pancasila, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memberikan perlindungan upah. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Maksud dari penghidupan yang layak adalah dimana jumlah pendapatan pekerja dari hasil pekerjaannya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya secara wajar, yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahaan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.
Kebutuhan hidup secara wajar ini merupakan peningkatan dari kebutuhan hidup minimum dan kebutuhan fisik minimum. Salah satu kebijakan pengupahan yang ditetapkan pemerintah untuk mencapai penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk setiap pekerja adalah ketetapan upah minimum. Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Maksudnya adalah penetapan upah minimum harus pula sebanding dengan produktivitas kerja dari pekerja, sehingga tidak akan menimbulkan reaksi dari pada pengusaha yang merasa penetapan upah minimum merupakan perlakuan tidak adil karena dianggap terlalu berpihak kepada kelompok pekerja sedangkan bagi pengusaha kebijakan upah minimum tersebut tidak menguntungkan. Intervensi
pemerintah
dalam
rangka
penetapan
upah
minimum
merupakan suatu langkah maju dalam sistem pengupahan di Indonesia. Pada masa lalu dalam hubungan kerja di Indonesia, upah hanya ditentukan oleh kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, tanpa adanya campur tangan pemerintah sehingga dengan kondisi lapangan kerja yang sedikit akibat kondisi perekonomian negara yang lemah sehingga banyak pengangguran, maka penetapan upah berdasarkan kesepakatan seringkali sangat rendah dan tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja.
Dalam sistem pengupahan terdapat suatu prinsip “no work no pay” artinya bila buruh tidak bekerja maka upah tidak dibayar. Hal ini seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi buruh, karena kadangkala pekerja tidak melakukan
pekerjaannya
bukan
karena
keinginan
sendiri,
melainkan
disebabkan hal-hal yang diluar kendalinya. Oleh karena itu pemerintah menetapkan suatu kebijakan pengecualian terhadap prinsip “no work no pay” tersebut. Pengecualian ini diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, dimana buruh tetap berhak menerima upah dari pengusaha dalam hal sebagai berikut: 76 a. Jika pekerja sakit, termasuk pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan. b. Jika pekerja sakit (maksudnya sakit luar biasa, bukan akibat kecelakaan kerja) terus menerus sampai 12 (dua belas) bulan, maka upah dibayarkan pengusaha diatur:
100% (seratus persen) dari upah untuk 3 (tiga) bulan pertama.
75% (tujuh puluh lima persen) dari upah untuk 3 (tiga) bulan kedua
50% (lima puluh persen) dari upah untuk 3 (tiga) bulan ketiga
25% (dua puluh lima persen) dari upah untuk 3 (tiga) bulan keempat.
c. Jika pekerja tidak masuk karena kepentingan khusus:
Pernikahan pekerja sendiri
76
3 (tiga) hari
Abdul Hakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 80.
Pernikahan anak
2 (dua) hari
Khitanan atau baptis anak
2 (dua) hari
Istri melahirkan atau keguguran kandungan
2 (dua) hari
Meninggal anggota keluarga (suami/ istri,
orang tua/ mertua, anak/ menantu)
2 (dua) hari
Meninggalnya anggota keluarga dalam 1 (satu) rumah
1 (satu) hari
d. Jika pekerja menjalankan kewajiban terhadap negara, dalam hal ini maksimal 1 (satu) tahun. e. Jika pekerja memenuhi kewajiban agama, maksimal 3 (tiga) bulan. f. Jika pekerja tidak bekerja karena kesalahan pengusaha. g. Jika pekerja melaksanakan hak istirahat. h. Jika
pekerja
melaksanakan
tugas
serikat
pekerja
atas
persetujuan
pengusaha. i. Jika pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Pengecualian terhadap prinsip “no work no pay” ini merupakan perkembangan dari sistem pengupahan pada zaman saat masih menggunakan BW (Burgerlijk Wetboek) sebagai ketentuan hukum perburuhan, dimana dalam Pasal 1602 b memuat ketentuan prinsip “no work no pay” ini dengan tidak memaparkan secara jelas pengecualiannya seperti tersebut di atas, tetapi semuanya hanya bergantung pada kebijaksanaan pengusaha saja untuk tetap membayar upah atau tidak apabila buruh tidak bekerja karena peraturan
perundang-undangan pada waktu itu tidak ada yang menentukan lamanya pengecualian itu berlangsung. Sistem pengupahan dimasa sekarang ini juga ada mengatur mengenai prinsip pembatasan waktu kerja bagi pekerja. Ketentuan pembatasan waktu kerja ini dikecualikan bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, supir angkutan jarah jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal laut atau penebangan hutan. 77 Pengusaha
diminta
sedapat
mungkin
menghindarkan
untuk
mempekerjakan pekerja lebih dari waktu kerja karena pekerja perlu mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun dalam hal-hal tertentu, apabila terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera sehingga pekerja harus melebihi waktu kerja diperbolehkan. Bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja (kerja lembur), hal ini juga berarti penambahan biaya produksi karena upah kerja lembur jelas lebih besar dari upah biasa. Perusahaan yang mempekerjakan pekerja selama waktu kerja lembur berkewajiban untuk: 78 1. membayar upah kerja lembur. 2. memberikan kesempatan untuk istirahat secukupnya, dan
77
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004, hlm. 121. 78 Ibid, hlm. 123.
3. memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1400 (seribu empat ratus kalori) apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih dan tidak boleh digantikan dengan uang. Upah lembur ialah upah yang diberikan oleh pengusaha sebagai imbalan kepada pekerja karena telah melakukan pekerjaan atas permintaan pengusaha yang melebihi dari jam dan hari kerjanya yang diperjanjikan atau pada hari istirahat minggu, atau pada hari-hari besar yang telah ditetapkan pemerintah. 79 1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja, untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar satu setengah kali upah sejam, dan untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar dua kali upah se-jam. 2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/ atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar dua kali upah se-jam, dan jam kedelapan dibayar tiga kali upah se-jam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh empat kali upah se-jam. 3. Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan upah lembur lima jam pertama dibayar dua kali upah se-jam, jam keenam tiga kali upah se-jam, dan jam lembur ketujuh dan kedelapan empat kali upah se-jam. 79
Ibid, hlm 122.
4. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan, dan/ atau hari libur resmi untuk waktu kerja lima hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, perhitungan upah lembur untuk delapan jam pertama dibayar dua kali upah se-jam, jam kesembilan dibayar tiga kali upah se-jam dan kesepuluh dan jam kesebelas empat kali upah sejam. Perusahaan yang telah melaksanakan dasar perhitungan upah lembur yang nilainya lebih baik dari ketentuan di atas, perhitungan upah lembur tersebut tetap berlaku. 80 Untuk menetapkan perhitungan upah lembur harus diperhatikan nilai upah per-jam bagi setiap pekerja/ buruh, dengan formulasi: 81 a. Upah se-jam bagi pekerja bulanan 1/173 upah sebulan b. Upah se-jam bagi pekerja harian 3/20 upah sehari c. Upah se-jam bagi pekerja borongan/ satuan hasil kerja
1/7
rata-
rata hasil kerja sehari Persyaratan kerja lembur adalah harus ada persetujuan pekerja yang bersangkutan dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3(tiga) jam sehari dan 14 (empat belas) jam dalam satu minggu. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia juga mewajibkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan,
80 81
Ibid, hal 124 Abdul Khakim, Op Cit, hal.78.
jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi, serta melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Struktur upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai yang tertinggi. Skala upah adalah nilai nominal upah setiap kelompok jabatan. 82 Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah bagi pekerja serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah tertinggi dan terendah di perusahaan yang bersangkutan. Dalam penyusunan struktur dan skala upah dilaksanakan melalui analisa jabatan, uraian jabatan dan evaluasi jabatan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebagai dasar dalam penyusunan struktur upah adalah: 83 1. Struktur organisasi; 2. Rasio perbedaan bobot pekerjaan antar jabatan; 3. Kemampuan perusahaan; 4. Biaya keseluruhan tenaga kerja; dan 5. Upah minimum Sedangkan dasar pertimbangan dalam penyusunan skala upah adalah: 84 1. Tinggi rendahnya jarak antara golongan terendah dan tertinggi; 2. Jumlah jenjang golongan jabatan; 82
Mohd.Syaufii Syamsuddin,OpCit, hal 135. Ibid, hal 136 84 Ibid 83
3. Jumlah rasio nilai antar golongan jabatan, dan 4. Kisaran upah terendah dengan tertinggi pada tiap golongan jabatan. Penyusunan skala upah dapat dilakukan melalui nilai atau skala tunggal, yaitu untuk setiap jabatan hanya ada satu nilai nominal upah, sepanjang jabatannya sama, upah nominalnya sama atau dapat juga dilakukan melalui nilai/ skala ganda, yaitu setiap jabatan mempunyai nilai upah nominal terendah dan tertinggi, upah pekerja pada jabatan yang sama biasanya berbeda, tergantung pada kompetensi kerja. Dalam pelaksanaannya struktur dan skala upah sangat ditentukan oleh kondisi yang ada pada tiap perusahaan, dengan kata lain penetapan skala upah disesuaikan dengan kondisi dan strategi pengupahan masing-masing perusahaan. Praktik di lapangan, ada berbagai macam cara perusahaan dalam memberikan upah kepada pekerja/ buruhnya. Dalam teori dan praktik ada beberapa macam sistem pemberian upah, yaitu: 85 1. Sistem Upah Jangka Waktu, yaitu merupakan sistem pemberian upah menurut jangka waktu tertentu, misalnya harian, mingguan atau bulanan. 2. Sistem Upah Potongan, yang bertujuan untuk mengganti sistem upah jangka waktu jika hasil pekerjaannya tidak memuaskan. Sistem upah ini hanya dapat diberikan jika hasil pekerjaannnya dapat dinilai menurut
85
Zainul Asikin, dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal 72
ukuran tertentu, misalnya diukur dari banyaknya, beratnya dan sebagainya. Manfaat pengupahan dengan sistem ini adalah: a. Buruh mendapat dorongan untuk bekerja giat. b. Produktivitas semakin meningkat. c. Alat-alat produksi akan dipergunakan secara intensif. Sedangkan keburukannya adalah: b. Buruh selalu bekerja secara berlebih-lebihan. c. Buruh kurang menjaga kesehatan dan keselamatannya. d. Kadang-kadang kurang teliti dalam bekerja karena untuk mengejar jumlah potongan. e. Upah tidak tetap tergantung pada jumlah potongan yang dihasilkan 3. Sistem Upah Permufakatan, maksudnya adalah suatu sistem pemberian upah dengan cara memberikan sejumlah upah kepada kelompok tertentu, yang selanjutnya nanti kelompok ini akan membagi-bagikan kepada para anggota. 4. Sistem Skala Upah Berubah, yaitu jumlah upah yang diberikan berkaitan dengan harga penjualan hasil produksi di pasaran. Jika harga naik maka jumlah upahpun akan naik, sebaliknya jika harga turun, maka upahpun akan turun.
5. Sistem Upah Indeks, yaitu sistem upah yang didasarkan atas indeks biaya kebutuhan hidup. Dengan sistem ini upah itu akan naik turun sesuai dengan naik turunnya biaya penghidupan, meskipun tidak mempengaruhi nilai nyata dari upah. 6. Sistem Pembagian Keuntungan, yaitu sistem upah yang disamakan dengan pemberian bonus apabila perusahaan mendapat keuntungan di akhir tahun. Teori sistem pengupahan yang diterapkan dan berlaku untuk setiap hubungan kerja di Indonesia yang dituangkan dengan kebijakan pemerintah dalam peraturan perundang-undangan pada dasarnya sudah baik, tetapi dalam praktiknya sistem pengupahan ini belum dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut teori sistem pengupahan yang ada dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Ketentuan hukum di bidang pengupahan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah Sebagai Ketentuan Pokok, dan peraturan perundang-undangan lain yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur tentang pengupahan sebagai ketentuan operasional dan ketentuan penunjang. Ketentuan hukum tersebut saling melengkapi untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan pengupahan dalam setiap hubungan kerja di Indonesia, karena hukum itu sendiri bukanlah sekedar
kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Arti
pentingnya
suatu
peraturan
hukum
ialah
karena
hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain. 86 Menurut Pasal 77 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 ditetapkan waktu kerja sebagai berikut: 1. 7 (tujuh) jam satu hari dan 40 (empat puluh) jam dalam satu minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam satu minggu, atau 2. 8 (delapan) jam satu hari dan 40 (empat puluh) jam dalam satu minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam satu minggu. Ketentuan lamanya waktu kerja sehari ini sangat penting dalam hal untuk menghitung besarnya upah harian. Disamping itu ada beberapa ketentuan penting sehubungan dengan pengupahan yaitu: a. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum (Pasal 90 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003). Bila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, maka dapat dilakukan pertanggungan yang pelaksanaannya
diatur menurut
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku. b. Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh tidak boleh lebih
86
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,1995,hal 115
rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundangundangan yang berlaku (Pasal 91 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003). c. Upah tidak dibayar apabila pekerja/ buruh tidak melakukan pekerjaan (Pasal 93 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003). Tetapi ketentuan tersebut tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/ buruh tidak bekerja dengan alasan-alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003. d. Komponen upah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (Pasal 94 UU No. 13 Tahun 2003). e. Tuntunan pembayaran upah pekerja/ buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak (Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 jo Pasal 30 PP No. 8 Tahun 1981). f. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981). Menurut ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 jo Pasal 27 PP No. 8 Tahun 1981, dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hakhak lainnya dari pekerja/ buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 189 ayat (a) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, bahwa dalam hal pemberesan harta pailit dilakukan terlebih dahulu atau didahulukan pembayaran kepada kreditur yang mempunyai hak yang diistimewakan. Dalam hal ini upah dan hak-hak pekerja/ buruh lainnya merupakan hak yang diistimewakan. 3. Klasifikasi Upah pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu Klasifikasi Upah terdapat dalam Peraturan Perusahaan tentang Pengupahan
dan
Pendapatan
di
PT.
Binanga
Mandala
Labuhan
Batu. Perusahaan akan memberikan upah yang layak kepada Pekerja sesuai dengan pangkat dan golongan Pekerja, yang penempatannya berpedoman kepada ketentuan Upah Minimum Propinsi yang berlaku di Sumatera Utara. Karyawan yang baru masuk akan mulai bekerja termasuk yang baru dalam masa percobaan 3 (tiga) bulan mulai bekerja antara tanggal 1 dan 15 dari satu bulan, menerima upah untuk bulan bersangkutan sebesar satu bulan. Sedangkan mereka yang masuk bekerja antara tanggal 16 dan akhir bulan untuk satu bulan, menerima upah untuk bulan yang bersangkutan sebesar 50% dari upah sebulan. Apabila karena sesuatu alasan, ‘Pekerja Tetap’ diberhentikan dari pekerjaannya, maka pemberian upah diatur sebagai berikut:
a. Berhenti antara tanggal 1 dan 15 untuk suatu bulan, kepadanya dibayarkan 50%
dari upahnya untuk bulan yang bersangkutan.
b. Berhenti antara tanggal 16 sampai akhir bulan suatu bulan, kepadanya akan diberikan 100% dari upah yang bersangkutan. Klasifikasi mengenai Ketentuan Uang Lembur sebagaimana diatur dalam Peraturan Perusahaan pada PT. Binanga Mandala, dinyatakan bahwa, kepada Pekerja yang diperintahkan oleh Perusahaan melakukan tugasnya di luar jam kerja yang telah ditetapkan baginya sebanyak-banyaknya untuk waktu 3 (tiga) jam dalam satu hari dan 14 (empat belas) jam dalam satu minggu diberikan uang lembur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat 1.a. tersebut di atas hanya dapat dilakukan paling banyak, 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari waktu kerja siang hari untuk melakukan pekerjaan pada waktu istirahat minggu atau 1 (satu) hari libur resmi ditetapkan. 7 (tujuh) jam dalam 1 (satu) hari waktu kerja malam hari untuk melakukan pekerjaan pada waktu istirahat minggu atau hari libur resmi ditetapkan. Besar upah lembur tersebut adalah sesuai dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja. Penolakan terhadap perintah melakukan kerja lembur, seperti disebutkan pada ayat di atas, dapat dianggap sebagai penolakan perintah, karena itu dapat diberikan
sanksi
kecuali
dipertanggungjawabkan. Perhitungan
ada upah
alasan-alasan
yang
dapat
lembur
menurut
Surat
diatur
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
No.
Kep.102/MEN/VI/2004, yaitu ditentukan sebagai berikut: Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja maka jam kerja lembur pertama, dibayar sebesar 1.5 kali upah satu jam. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan hari resmi libur untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka, perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah satu jam dan jam ke delapan dibayar 3 (tiga) kali upah satu jam dan jam lembur ke sembilan dan ke sepuluh 4 (empat) kali upah satu jam. Apabila hari libur resmi jatuh hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam kerja pertama dibayar 2 (dua) kali upah satu jam, jam ke6 (enam) 3 (tiga) kali upah satu jam dan jam ke- 7 dan ke- 8, dibayar 4 (empat) kali upah satu jam. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/ atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah satu jam, jam ke- 9 (sembilan) dibayar 3 (tiga) kali upah satu jam kerja dan jam ke- 10 (sepuluh) dan ke- 11 (sebelas) 4 (empat) kali
upah
satu
jam.
Adapun
Cara
perhitungan
Karyawan Bulanan : 1/173 upah komponen perhitung-an
uang
lembur
lembur.
yaitu,
Karyawan
Harian Tetap : 3/20 upah rata-rata satu hari. Karyawan Borongan : 1/7 upah satu hari. Kerja lembur karyawan akan dilaksanakan melalui instruksi, untuk mana oleh pejabat yang diberi wewenang akan dikeluarkan Surat Perintah Lembur dan merupakan bagian dari dokumen pembayaran uang lembur. Pekerja golongan Pimpinan Menengah ke atas, tidak diberikan lembur apabila diperintahkan untuk bekerja lebih dari 7 (tujuh) jam kerja sebagaimana dimaksud pada ayat 3 pasal ini. Bagi Pekerja (pelayan mess, jaga malam dan pengemudi) apabila lebih dari 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu dihitung lembur. Penyesuaian skala upah secara umum dapat dipertimbangkan menurut kebutuhan, antara lain: Nilai jabatan (Job Value) di pasaran meningkat, karena sesuatu
atau
berkala. Adanya
berbagai
sebab
yang
kebijaksanaan
akan
didasarkan
pemerintah
dibidang
pada
penilaian
moneter
yang
mengakibatkan harga yang signifikan. Karena angka inflasi yang meningkat. Peninjauan upah diupayakan perusahaan sekali dalam setahun dengan memperhatikan: Kenaikan
harga
kebutuhan
pokok,
kemampuan
perusahaan, keputusan pemerintah tentang pengupahan. Kenaikan upah perorangan tidak dilaksanakan secara otomatis pada setiap tahun, tetapi didasarkan atas pertimbangan prestasi pekerja. Pajak atas
upah/ penghasilan lain dari Pekerja, ditanggung oleh Pekerja, yang dipotong melalui gaji setiap bulannya. Perubahan dalam keluarga atau perusahaan tempat tinggal atau perubahan keyakinan, dilaporkan secara tertulis kepada Kepala Biro Personalia dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan, dengan melampirkan bukti tertulis dari pejabat yang berwenang. 4. Perlindungan Hukum atas Upah di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu Belum Terlaksana Perlindungan hukum atas Upah yang diterima pekerja pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu adalah mengacu kepada UU Ketenagakerjaan dan Ketentuan Pidana yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan tersebut. Upah yang diterima pekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu merupakan upah pokok yang jumlahnya dibawah Upah Minimum Kabupaten dan upah tersebut tidak ada dibuat secara tertulis melalui perjanjian kerja, penetapannya sepihak oleh Perusahaan, dan pekerja harus menerimanya tanpa boleh melakukan protes terhadap upah tersebut, tunjangan pokok seperti tunjangan kesehatan, tunjangan hari tua, asuransi, tunjangan anak dan tunjangan pokok lainnya
tidak pernah di dapat dari perusahaan. Apalagi
Tunjangan Hari Raya dan fasilitas lainnya sangat minim, tunjangan hari raya hanya diberikan sirup dan biskuit yang jumlahnya tidak memadai, bukan berbentuk uang. Di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu tidak ada
perlindungan upah yang diberikan oleh Perusahaan maupun oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Labuhan Batu. Jadi berapapun upah yang di terima, pekerja harus menerimanya.
87
Undang-undang menetapkan PKWT harus tertulis, ada sanksi jika tidak dibuat secara tertulis, yaitu hubungan kerja berubah demi hukum menjadi PKWTT, hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/VI/2004. Jaminan sosial dan kesejahteraan tenaga kerja yang terdapat di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu banyak yang belum terlaksana seperti yang tercantum dalam peraturan perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, perumahan untuk pekerja hanya beberapa orang saja yang memilikinya dan sebagian besar belum mendapatkannya. Tunjangan Perusahaan juga belum berjalan sebagaimana mestinya, THR yang diberikan hanya berupa sirup dan biskuit yang jumlahnya tidak mencukupi untuk menyambut hari raya. Tunjangan-tunjangan kesehatan lainnya juga belum berjalan sesuai dengan peraturan perusahaan di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Perlindungan terhadap kecelakaan kerja yang terjadi di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu juga belum maksimal diberikan oleh Perusahaan kepada para pekerjanya. Pengaturan tentang pensiun karyawan yang terdapat dalam peraturan perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu banyak yang belum berjalan,
87
Wirdia, Yudi, Yuliani, Perawat Tanaman di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 31 Juli 2009.
Karyawan dalam PKWT tidak ada mendapat uang pensiun dan jaminan hari tua. Pengangkutan untuk sekolah anak karyawan juga belum berjalan di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Ketentuan mengenai uang pesangon yang terdapat dalam Peraturan Perusahaan belum berjalan sebagaimana mestinya di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, sehingga Peraturan Perusahan yang mengatur mengenai hak-hak karyawan hanya formalitas saja terdapat di dalam buku, tapi pada pelaksanaanya banyak hal yang belum berjalan sesuai ketentuan peraturan tersebut. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu terhadap pekerjanya sangat minim, hanya penyakit-penyakit ringan saja yang ditanggung perusahaan, penyakit-penyakit yang membutuhkan biaya yang besar tidak ditanggung oleh perusahaan, PT. Binanga Mandala menyediakan Klinik Perusahaan dengan segala keterbatasannya dan tidak dapat berfungsi secara maksimal sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perjalanan Dinas dan cuti bagi karyawan yang terdapat dalam peraturan Perusahaan sebagian sudah berjalan sesuai ketentuan perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Perlindungan hukum atas upah yang terdapat di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu seperti Jamsostek, kesehatan dan lembur, banyak yang belum sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perusahaan, Peraturan
Perusahaan yang dibuat oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu tersebut banyak yang hanya memenuhi syarat-syarat formal dalam sebuah Peraturan Perusahaan, tetapi dalam implementasinya banyak yang belum dilaksanakan, khususnya mengenai upah yang diterima oleh para pekerja dalam perusahaan tersebut, banyak pekerja dalam PKWT yang menerima upah belum sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan dan Peraturan Perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Pelanggaran Upah di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu Dasar Pengaturan Pelanggaran Upah terdapat di dalam ketentuan Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 185, Pasal 186 dan Pasal 187, disamping itu diatur di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1081 tentang Perlindungan upah.
1. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah menyebutkan pengertian upah adalah sebagai berikut: “Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, atau peraturan perundang-undangan dan dibayar atas dasar sesuatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarga”.
Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian upah adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dari pengertian di atas jelaslah bahwa sesungguhnya upah dibayarkan atas kesepakatan para pihak, namun untuk menjaga agar jangan sampai upah yang diterima terlampau rendah, maka pemerintah turut serta dalam menetapkan standar upah terendah melalui peraturan perundang-undangan yang dikenal dengan upah minimum. Hak Dan Kewajiban Serikat Pekerja juga terdapat dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, yang diatur didalam Bab VI Pasal 25, 26 dan 27 Pasal 25, menyebutkan: “(1) Serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak : a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; b. mewakili pekerja/ buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial;
c. mewakili pekerja/ buruh dalam lembaga ketenagakerjaan; d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/ buruh; e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 25 Undang-Undang tersebut dengan jelas dikatakan Serikat Pekerja mempunyai hak-hak untuk ikut serta atau turut dilibatkan dalam memikirkan nasib dan kesejahteraan karyawan. Seharusnya Serikat Pekerja yang ada di PT. Binganga Mandala Labuhan Batu mempunyai kedudukan yang dijamin oleh Undang-Undang untuk membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan Pengusaha, sehingga jika serikat pekerja dilibatkan dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) maka hak-hak pekerja akan terakomodir di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tersebut. Di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu tersebut tidak ada dibuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada hanya Peraturan Perusahaan yang dibuat secara sepihak oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Seyogyanya Serikat pekerja dapat mewakili buruh untuk menyelesaikan perselisihan industrial yang terjadi pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu tersebut, tetapi kenyataannya tidak demikian.
Pasal 26, menyebutkan: “Serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh dapat berafiliasi dan/ atau bekerja sama dengan serikat pekerja/ serikat buruh internasional dan/ atau organisasi internasional lainnya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 27, menyebutkan: “Serikat pekerja/ serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban : a.
melindungi
dan
membela
anggota
dari
pelanggaran
hak-hak
dan
memperjuangkan kepentingannya; b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pada pasal 27 Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja dengan jelas dikatakan bahwa Serikat Pekerja yang sudah memenuhi persyaratan dapat memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya, tetapi yang terjadi tidak ada sedikitpun usaha-usaha dari perusahaan untuk membuat Serikat Pekerja menjadi berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Akibatnya
banyak hak-hak karyawan yang tidak terlindungi karena tidak ada dari Serikat Pekerja yang memperjuangkannya ke PT. Binanga Mandala Labuhan Batu.
2. Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 16 / Men/ 2001 tentang Pencatatan SP/ SB disebutkan mengenai Keberadaan Serikat Pekerja/ Serikat Buruh wajib dicatatkan di Dinas Tenaga Kerja, setelah dicatatkan maka ada hak dan kewajiban dari Serikat Pekerja tersebut termasuk ikut dalam LKS Tripartit Pasal 107 UU No 13 Tahun 2003, menyebutkan: (1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. (2) Lembaga kerja sama tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari : a. Lembaga kerja sama tripartit nasional, propinsi dan kabupaten/ kota; dan b. Lembaga kerja sama tripartit sektoral nasional, propinsi dan kabupaten/ kota.
(3) Keanggotaan lembaga kerja sama tripartit terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/ serikat buruh. (4) Tata kerja dan susunan organisasi lembaga kerja sama tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 88 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit menetapkan bahwa Lembaga Kerja Sama Tripartit yang selanjutnya disebut LKS Tripartit adalah forum
komunikasi,
konsultasi
dan
musyawarah
tentang
masalah
ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh, dan Pemerintah (Pasal 1 ayat (1)) 89
Lembaga Kerja Sama Tripartit terdiri dari : 1. Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional. Mempunyai tugas memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada Presiden dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan secara nasional. (Pasal 3). Dapat membentuk LKS Tripartit Sektoral Nasional.
88 89
Ibid. Ibid.
2. Lembaga Kerja Sama Tripartit Propinsi; Mempunyai tugas memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada Gubernur dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan Propinsi dan pemecahan masalah ketenagakerjaan di wilayah Propinsi yang bersangkutan. (Pasal 23). Dapat membentuk LKS Tripartit Sektoral Propinsi. 3. Lembaga Kerja Sama Tripartit Kabupaten/ Kota Mempunyai tugas memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada Bupati/ Walikota dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan di wilayah Kabupaten/ Kota yang bersangkutan
(Pasal
41).
Dapat
membentuk
LKS
Tripartit
Sektoral
Kabupaten/ Kota. 4. Lembaga Kerja Sama Tripartit Sektoral. Mempunyai tugas memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada Pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan untuk sektor tertentu. Lembaga Kerja Sama Tripartit merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan. Bahwa berdasarkan hal ini maka jika ada pihak-pihak yang menganggap bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merugikan atau tidak berpihak kepada pekerja/ buruh, maka dapat menyampaikan permasalahannya kepada Lembaga
Kerja Sama Tripartit/ Sektoral dengan menunjuk pasal yang menjadi permasalahan berikut alasannya. Lembaga Kerja Sama Tripartit merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan, maka cara-cara berdemo seharusnya sudah ditinggalkan tidak perlu lagi digunakan. Bahwa jika ada pihak atau pihak-pihak yang menganggap sistem kerja kontrak sangat merugikan pihak pekerja/ buruh seharusnya disampaikan dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit. Negara Indonesia adalah negara hukum. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Bahwa serikat pekerja/ serikat buruh bukan penafsir UU, tetapi pelaksana peraturan perundang-undangan. Jika serikat pekerja/ serikat buruh menganggap ada pasal atau pasal-pasal dalam UU No 13 Tahun 2003 yang merugikan pekerja/ buruh seharusnya dikomunikasikan, dikonsultasikan dan dimusyawarahkan dalam Lembaga Kerja Sama Tripartit. Hasil musyawarah kemudian disampaikan kepada pemerintah. Serikat Pekerja juga berhak untuk ikut dalam PKB. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh Disahkan dan diundangkan pada tanggal 4 Agustus 2000. Sejak disahkan dan diundangkan UU No 21 Tahun 2000 banyak dibentuk serikat pekerja/ serikat buruh. Bahwa antara UU No 21 Tahun 2000 dan UU No 13 Tahun 2003 yang lahir terlebih
dahulu adalah UU No 21 Tahun 2000. Dalam menyusun UU No 13 Tahun 2003 tentunya Serikat Pekerja/ Serikat Buruh turut berpartisipasi. Sekarang sistem kerja kontrak dan outsourching banyak dibicarakan karena dianggap merugikan pekerja/ buruh. Serikat Pekerja/ Serikat Buruh turut berpartisipasi dalam menyusun UU No 13 Tahun 2003 tapi serikat Pekerja/ Serikat buruh juga yang menolak. 90 Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Labuhan Batu seharusnya berusaha proaktif dalam melihat persoalan ketenagakaerjaan yang terjadi di PT. Binganga Mandala Labuhan Batu, sehingga persoalan-persoalan yang terjadi bisa langsung diselesaikan oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Labuhan Batu, agar sistem pengupahan yang ada di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dapat berjalan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Jika diperlukan harus dibuatkan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar ketentuan Ketenagakerjaan mengenai upah yang harus dibayarkan oleh setiap perusahaan kepada karyawannya.
3. Pengadilan Upaya-upaya penyelesaian perselisihan perburuhan, telah diatur oleh pemerintah dengan melalui ketentuan Undang-Undang serta peraturanperaturan
yang
dikeluarkan
oleh
Departemen
Tenaga
Kerja.
Dengan
berlakunya Sistem Hubungan Industrial Pancasila adalah menyarankan kepada 90
Ibid.
para pihak terlebih dahulu menyelesaikan persoalan secara musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh Pengusaha dengan pekerja ataupun serikat pekerja di perusahaan, duduk bersama mencari solusi terhadap permasalahan yang timbul, sehingga hasil yang dicapai dapat memuaskan kedua belah pihak. Ketentuan penyelesaian buruh yang lama, masih berada pada lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) sudah tidak cocok lagi, sehingga diganti dengan ketentuan PPHI. Dalam banyak kasus perselisihan buruh dan majikan, penyelesaian melalui P4D, atau P4P selama ini sangat lambat memberikan keputusan dan cenderung lebih berpihak kepada pengusaha. Pengusaha sebagai pihak yang mempunyai modal, teknologi dan usaha yang bertujuan untuk mencapai keuntungan tertentu. Sedangkan pihak pekerja/ buruh sebagai pihak yang bekerja untuk menjalankan usaha dari pengusaha dengan menerima upah atau imbalan.
Sistem
peradilan
satu
atap
termasuk
peradilan
perburuhan
(Pengadilan Hubungan Industrial), dimana peradilan satu atap adalah merupakan suatu sistem yang diatur oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pengawasannya serta pengaturannya dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dibantu oleh Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang ini adalah suatu ketentuan yang merupakan suatu sistem peradilan terhadap semua lingkungan peradilan di Indonesia termasuk
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. Dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 adalah tentang Pengadilan Hubungan Industrial dengan dilandaskan oleh Kitab Undang-Undang
Hukum
Acara
Perburuhan
di
dalam
menyelesaikan
perselisihan antara buruh dengan majikan, dengan melalui sistem peradilan yang baru diresmikan pemberlakuannya pada tanggal 14 Januari Tahun 2006. Dengan diundangkan dan diresmikannya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, maka penyebutan perselisihan perburuhan tersebut menjadi perselisihan hubungan Industrial untuk menyelaraskan dan keseragaman dengan istilah dari Peradilan Hubungan Industrial yang merupakan sebagai peradilan khusus yang menangani masalah perselisihan kepentingan, perselisihan hak, perselisihan PHK dan perselisihan antara serikat pekerja di dalam satu perusahaan. UndangUndang No. 2 Tahun 2004 menganut sistem yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan sebagai peradilan satu atap maka mengenai hal-hal yang berkaitan di bawah ini adalah: dalam hal mengenai pengertian ekonomis yaitu penyelesaian perkara perselisihan dengan cepat, adil dan biaya murah, UndangUndang No. 2 Tahun 2004 tidak memperincikan dengan dengan secara tegas, akan tetapi menjelaskan dan mengatur mengenai badan hukum yaitu Perusahaan/ majikan dengan perorangan/ serikat yaitu kaum buruh yang
terlibat di bidang usaha/ perekonomian yang timbul perselisihan dan sebelumnya sudah diupayakan penyelesaian diluar Pengadilan Hubungan Industrial, seperti Bipartit, Konsiliasi, Mediasi, Negosiasi dan Arbitrase. Setelah
satu
atap
penyebutan
perburuhan
menjadi
penyelesaian
perselisihan Hubungan Industrial yaitu menyelesaikan masalah-masalah perselisihan antara buruh dengan majikan serta hanya pada masalah perselisihan kepentingan, perselisihan hak, perselisihan PHK dan perselisihan antara serikat pekerja/ buruh pada satu perusahaan. Mengenai kepastian hukum, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial yang didasari oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tetang Kekuasaan Kehakiman adalah merupakan sebagai peradilan satu atap terhadap semua badan peradilan yang berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung dan dibantu oleh Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 adalah sebagai ketentuan perundangundangan yang berupaya untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berselisih, agar tidak lagi terkatung-katungnya perselisihan antara buruh dan majikan yang tidak ada ujung pangkalnya. Sangat jelas terlihat kepastian hukum dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, karena hanya satu badan
peradilan
(peradilan
khusus),
yang
menyelesaikan
perselisihan
Hubungan Industrial sampai kepada pengajuan permohonan eksekusinya (tidak adanya pendelegasian permohonan eksekusi yang dimohon kepada badan
peradilan yang lain karena Pengadilan Hubungan Industrial mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi. Jika dilihat dari unsur parktisnya, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Hubungan Industrial adalah
sangat
praktis
sekali,
karena
ketentuan
penyelesaian
perkara
perselisihan terutama perselihan hak dan Pemutusan Hubungan Kerja hanya diselesaikan dengan cepat pada tingkat pertama dan waktunya sudah ditentukan oleh Undang-Undang dalam hal ini oleh Undang-Undang Hukum Acara Perburuhan. Mengenai permohonan eksekusi dan penyelesaian perkara pada tingkat kasasi hanya dalam tempo 30 hari kerja, maka perkara tersebut harus sudah diputus. Hal ini untuk menghindari banyaknya perkara perselisihan antara buruh dengan majikan yang belum diselesaikan dan mendapatkan kepastian hukum. Dalam hal mengenai perlindungan hak, karena Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, merupakan suatu sistem peradilan khusus maka pengaturan mengenai perlindungan hak tidak diatur secara terperinci, yaitu hanya mengatur masalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan hak, perselisihan PHK dan perselisihan
antara
serikat
pekerja
pada
satu
perusahaan.
Mengenai
perlindungan hak antara buruh dan majikan sebatas mempunyai kedudukan yang sama dihadapan pengadilan atau meja hijau. Perlindungan hak tersebut diatur oleh Undang-Undang yang berada di luar sistem peradilan tersebut yang nantinya akan dapat dipertimbangkan oleh
Pengadilan Hubungan Industrial di dalam menjatuhkan putusannya. Sangat jelas sekali bahwa Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang bertujuan untuk dapat seefektif mungkin menyelesaikan perselisihan antara buruh dengan majikan. UndangUndang No. 2 tahun 2004 yang berlandaskan kepada: a. UUD 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), b. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (LN.No. 74 Tahun 1970, tambahan LN No. 2951) telah dirubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 (LN. No. 147 Tahun 1999 tambahan LN.No. 3879 dan sekarang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, c.Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (LN. No. 73 Tahun 1985 tambahan LN. No.3316) sekarang dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman.
Dengan
demikian
jelaslah
bahwa
dengan
diberlakukannya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tetang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan menurut sistem peradilan yang diatur oleh UndangUndang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan dasar pemberlakuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 adalah untuk pengembangan lembaga peradilan di Indonesia dan untuk kepentingan umum, maka Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang No. 12
Tahun 1964 dianggap tidak berlaku lagi karena dianggap penyelesaian perselisihan perburuhan tersebut tidak efektif dan masih terlihatnya kaum buruh yang merasa tidak puas atas keputusan-keputusan yang dilakukan oleh Undang-Undang terdahulu. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 adalah sebagai upaya dari pemerintah untuk melakukan ratifikasi dan unifikasi UndangUndang Perburuhan di Indonesia agar dapat menyelesaikan secara efektif dan memperkecil ruang lingkup permasalahan perburuhan, yang mana sampai saat ini hak-hak kaum buruh belum terjamin dan mendapatkan kepastian hukum. Pada awal kemerdekaan mengenai pengertian perselisihan perburuhan, bertujuan untuk menjamin ketentraman serta kepastian hukum dan bekerja bagi kaum buruh. Berkaitan dengan maksud dan tujuan terjadinya penyelesaian perselisihan buruh adalah agar dapat melindungi hak kaum buruh yang selama ini diabaikan/ sebagai pihak yang lemah. Sedangkan perselisihan buruh setelah kemerdekaan adalah penyelesaian perselisihan yang bersumber kepada Pancasila dan UUD 1945, yang terdiri dari landasan Idiil, Kontitusional, Visional dan Operasional. Sedangkan mengenai proses penyelesaian perselisihan perburuhan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964. Kondisi penyelesaian perselisihan perburuhan pada orde baru yang terfokus kepada Perserikatan Buruh sesudah lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 yaitu untuk melindungi hak kaum buruh, dengan merealisasikan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1964 tentang
Ketentuan Pokok Tenaga Kerja, di mana proses perselisihan perburuhan di Indonesia adalah untuk menyelesaikan perselisihan perburuhan dalam hal mengenai perselisihan PHK, terdapatnya kebijakan penyelesaian perselisihan perburuhan yang terjadi adalah terlihat dari sangat banyaknya kasus perburuhan yang terjadi. Proses peradilan perburuhan dalam sistem peradilan satu atap yang sangat urgensi pada peradilan perburuhan di Indonesia yaitu dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, adalah merupakan sebagai lembaga peradilan khusus yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tersebut masih memberikan upaya pilihan hukum diluar pengadilan yaitu dengan melalui lembaga Bipartit Perburuhan, Konsiliasi Perburuhan, Mediasi Perburuhan, Negosiasi Perburuhan dan Arbitrase Perburuhan. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, juga mengatur
Ketentuan
Proses
Beracara
dalam
penyelesaian
perselisihan
Hubungan Industrial yaitu adanya beracara keperdataan di lingkungan perburuhan, berdasarkan ketentuan KUH Perdata mengenai perbuatan cedera janji (wanprestasi) dan perbuatan melawan hukum. Terdapatnya beracara kepidanaan di lingkungan perburuhan yaitu mengenai kejahatan yang bertentangan dengan ketentuan hukum pidana/ yang dilarang oleh UndangUndang dan kejahatan yang berupa pelanggaran atau adanya laporan/
pengaduan (Lex Generalis yang berlaku kepada ketentuan pidana khusus yaitu Lex Spesialis). Keberadan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Timbulnya sengketa-sengketa tersebut dihubungkan dengan keberadaan peradilan dan menimbulkan permasalahan kekuasaan mengadili, yang disebut dengan yurisdiksi (jurisdiction) ataupun kompentensi maupun kewenangan mengadili. Permasalahan kekuasaan atau yurisdiksi mengadili timbul disebabkan berbagai faktor, seperti faktor instansi pemerintah yang membedakan eksistensi antara peradilan banding dan kasasi sebagai peradilan yang lebih tinggi (superior court) berhadapan dengan peradilan tingkat pertama (inferior court). Perkara yang menjadi kewenangan peradilan yang lebih tinggi. Sengketa yang harus diselesaikan lebih dahulu oleh peradilan tingkat pertama, tidak dapat diajukan langsung kepada peradilan banding atau kasasi dan sebaliknya. 91 Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, kewenangan perselisihan yang timbul antara pengusaha dengan pekerja/ buruh atau SP/ SB, jatuh menjadi yurisdiksi absolut PHI yang bertindak : 1. Sebagai pengadilan khusus;
91
M. Yahya Harahap, Op. cit, hlm. 179.
2. Kewenangan
memeriksa,
mengadili
dan
memberikan
putusan
terhadap perselisihan Hubungan Industrial; dan 3. Organisasinya dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri. Sebagai organisasi pengadilan, hakim memegang peranan penting dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Dalam Pasal 28 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 memerintahkan hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pasal ini menegaskan bahwa hakim berperan dan bertindak sebagai perumus dan penggali nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat. 92 Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang (Pasal 31), dimana dalam kedudukannya hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, profesional dan berpengalaman dibidang hukum (Pasal 32). 93 Berdasarkan Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang telah menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan ini menentukan fungsi hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami 92 93
Ibid, hlm. 798. Lihat, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
hukum, sedangkan pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk merumus berdasarkan sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara. 94 Tugas hukum adalah untuk meramu 2 (dua) dunia yaitu ideal dan kenyataan yang selalu bertentangan. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena pada hakekatnya masyarakat tidak dapat menunggu sampai ditentukan adanya suatu persesuaian yang ideal antara keduanya itu. Secara implisit berdasarkan pendapat dari para sarjana, yang menjadi tujuan hukum adalah kepastian hukum, keadilan dan kegunaan. Peran hakim adalah melaksanakan tujuan hukum itu sendiri yang nantinya setiap putusan-putusan hakim merupakan pelaksanaan konkrit dari tujuan hukum tersebut. 95 Perlindungan hukum yang bisa dilakukan oleh para pekerja adalah melakukan
mekanisme
penyelesaian
perselisihan
Hubungan
Industrial
sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 2004, tetapi sebelum melakukan mekanisme melalui PPHI tersebut maka sebaiknya langkah yang dilakukan sejak bekerja pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu ialah membuat perundingan mengenai Perjanjian Kerja Bersama (PKB), sehingga PKB yang dihasilkan diharapkan akan dipatuhi oleh para pihak, baik itu PT. Binanga 94 95
Chainur Arrasjid, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Yani Corporation, 1998), hlm. 97. Ibid, hlm. 8.
Mandala
dengan
pekerja.
Di
dalam
PKB
tersebut
dapat
dituangkan
kesepakatan-kesepakatan yang mengacu kepada Undang-Undang yang berlaku seperti UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundangan lainnya tentang PKWT dan sistem pengupahan bagi pekerja, sehingga pekerja akan mendapatkan hak-haknya yang layak sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Ada banyak hakhak dari pekerja dalam PKWT yang belum dipenuhi oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Terhadap hal ini perusahaan bisa dikenakan sanksi pidana atas pelanggaran beberapa ketentuan yang dilakukan terhadap Pekerja PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Pekerja dalam PKWT dapat mengadukan permasalahan yang dialami pekerja baik masalah upah dan hak-hak lainnya yang belum dipenuhi oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Serta masalah status pekerja dan banyaknya pekerja yang tidak memiliki kontrak tertulis atas pekerjaan yang dilakukan, kesemuanya ini dapat dilaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat untuk mendapatkan perlindungan dan masukan-masukan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi penyelesaian persoalan pekerja yang dihadapi, tetapi jika dinas tenaga kerja juga tidak mampu menyelesaikan persoalan tersebut maka sebaiknya ditempuh jalur hukum melalui mekanisme penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial. Untuk melakukan penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial yang di atur dalam ketentuan UU No. 2 tahun 2004, disamping itu
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi yang terdapat ketentuan pidanannya maka pekerja dapat melaporkan tindakan tersebut kepada pihak Kepolisian RI untuk mendapat perlindungan hukum atas pelanggaran upah dan tindak lanjut atas laporan tersebut. Tindakan itu antara lain: Membayar upah di bawah ketentuan upah minimum, tidak membayar upah terhadap pekerja/ buruh yang tidak masuk kerja karena berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan waktu istirahatnya, tidak membayar upah kerja lembur, tidak membayar upah kerja lembur pada hari libur resmi. Dasar hukum tindakan terhadap pelanggaran tersebut yaitu Pasal 185, 186 dan 187 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upaya Hukum yang bisa dilakukan oleh Pekerja yaitu menjadikan SPSI sebagai kuasa dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi. Setelah itu diselesaikaan oleh Mediator di Dinas Tenaga Kerja, jika tidak selesai lagi maka dapat melalui mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
BAB IV FAKTOR YANG MENYEBABKAN TIDAK TERLAKSANANYA SISTEM PENGUPAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) PADA PT. BINANGA MANDALA LABUHAN BATU A. Perjanjian Kerja Adanya perbedaan yang prinsip antara perjanjian pada umumnya dengan perjanjian kerja, merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini disebabkan jika di dalam suatu perjanjian antara pihak yang membuatnya mempunyai derajat dan kondisi yang sama serta mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Namun tidak demikian halnya dalam ketentuan tentang perjanjian kerja. Karena antara para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, walaupun pada prinsipnya mempunyai kedudukan dan derajat yang sama dan seimbang, akan tetapi dikarenakan berbagai aspek yang melingkari di sekelilingnya maka kenyataan menunjukkan bahwa kedudukan dan derajat bagi pihak yang mengadakan perjanjian kerja tersebut menjadi tidak seimbang. 96 Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut arbeidsoverencom mempunyai
beberapa
pengertian.
KUHPerdata
memberikan
pengertian
perjanjian kerja sebagai suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain yaitu majikan untuk sewaktu-waktu tertentu melakukan suatu pekerjaan dengan menerima upah. 97
96 97
Djumadi, Op.Cit,hlm.27. Pasal 1601 a KUHPerdata
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/ buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. 98 Selain pengertian normatif di atas, Iman Soepomo berpendapat bahwa pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan buruh dan majikan terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah. 99 Perjanjian yang demikian itu disebut perjanjian kerja. Istilah perjanjian kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya perjanjian kerja timbul salah satu pihak untuk bekerja. Jadi berlainan dengan perjanjian perburuhan yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tetapi memuat syarat-syarat tentang perburuhan. 100 Dengan demikian adalah kurang tepat bila Mr. Wirjdono Prodjodikromo menggunakan istilah perburuhan untuk menunjuk istilah perjanjian kerja. Sedangkan untuk perjanjian kerja beliau menggunakan
98 99
Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2003),
hlm. 70. 100
Ibid.
istilah persetujuan perburuhan bersama. 101 Mr. R. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan perburuhan untuk perjanjian perburuhan diberinya nama persetujuan perburuhan kolektif. 102 Dari pengertian yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas menunjukkan bahwa posisi yang satu (pekerja/ buruh) adalah tidak sama dan seimbang yaitu di bawah. Apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak majikan dengan demikian dalam melaksanakan hubungan hukum atau kerja maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas tidak dalam posisi yang sama dan seimbang. Jika menggunakan Pasal 1313 KUHPerdata, batasan pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan diri pada orang lain untuk melakukan sesuatu hal. Bekerja pada pihak lainnya menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu sifatnya adalah bekerja di bawah pihak lain. Sifat ini perlu dikemukakan untuk membedakan dari hubungan antara dokter misalnya dengan seseorang yang berobat dimana dokter itu melakukan pekerjaan untuk orang yang berobat namun tidak dibawah pimpinannya. Karena itu perjanjian antara dokter dengan orang berobat bukanlah merupakan perjanjian kerja melainkan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu. Jadi dokter bukanlah buruh dan orang
101
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu Dalam Iman Soepomo, Ibid. 102 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan Keempat, hlm. 358 dan 362 dalam Iman Soepomi, Ibid.
yang berobat bukanlah majikan dan hubungan antara mereka bukanlah hubungan kerja. Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di bawah pimpinan pihak lainnnya serta menerima upah dan adanya majikan jika ia memimpin pekerjaan yang dilakukan pihak kesatu. Hubungan buruh majikan tidak juga terdapat pada pemborongan pekerjaan dengan perjanjian melakukan tertentu ialah bahwa perjanjian melakukan pekerjaan ini tidak melihat hasil yang dicapai. Jika orang yang berobat itu tidak menjadi sembuh bahkan akhirnya meninggal dunia, dokter itu telah memenuhi kewajiban menurut perjanjian. 103 Menyimak perjanjian kerja menurut KUHPerdata seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “di bawah perintah pihak lain”. Di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan antara bawahan dengan atasan (subordinansi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/ buruh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan pekerja lainnya. Sedangkan pengertian perjanjian kerja menurut Undang-Uundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sifatnya lebih umum. Dikatakan lebih umum karena hanya menunjuk pada hubungan antara pekerja 103
Ibid, hlm. 52.
dengan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap serikat pekerja sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah. Pengertian perjanjian kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ini tidak menyebutkan bentuk-bentuk perjanjian kerja itu lisan atau tulisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan pengertian Perjanjian Kerja di atas dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian, yaitu: a) Adanya unsur pekerjaan (work) Dalam suatu perjanjian harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian). Pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja dan hanya dengan seizin majikanlah pekerja dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUHPerdata Pasal 1603 a yang berbunyi: “buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga untuk menggantikannya”. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena yang bersangkutan dengan keterampilan/ keahliannya. Maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia, perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
b) Adanya unsur perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan yang diperjanjikan. Di sinilah perbedaan hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien dan pengacara dengan kliennya. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter dan pengacara tidak tunduk pada pasien dan klien. c) Adanya waktu tertentu 104 Dalam melakukan pekerjaan haruslah dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan dalam perjanjian kerja atau peraturan perundang-undangan. Oleh Karena itu dalam melakukan pekerjaannya tidak boleh sekehendak hati dari majikan atau dilakukan seumur hidup. Pekerjaan harus dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan pada perjanjian kerja atau peraturan perusahaan dan pelaksanannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan ketertiban umum. d) Adanya upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan perjanjian kerja. Bahkan dapat dikatakan tujuan utama seorang bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah maka suatu hubungan tersebut bukanlah merupakan hubungan kerja. Seperti seorang 104
Djumadi, Op. Cit, hlm. 39.
narapidana yang diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau seorang mahasiswa perhotelan yang sedang melakukan praktik di sebuah hotel. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata maksudnya bahwa pihak-pihak yang melakukan perjanjian kerja harus sepakat, seia sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu harus dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian merupakan syarat mutlak, maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha harus dalam keadaan cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batas umur minimal 18 tahun. 105 Selain seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwanya (waras). Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak. 105
Pasal 1 angka 26 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Objek perjanjian yaitu pekerjaan harus halal, yakni tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban hukum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut harus halal sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang dipenuhi adalah syarat subjektif maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara bebas demikian juga oleh orang tua/ wali atau pengampu bagi pihak yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim.
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan atau tertulis. 106 Secara normatif bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu dalam proses pembuktian. Namun tidak dapat dipungkiri masih banyak perusahaan-perusahaan yang tidak atau belum membuat perjanjian kerja secara tertulis disebabkan karena ketidakmampuan sumber daya manusia maupun karena kelaziman sehingga atas dasar kepercayaan membuat perjanjian kerja secara lisan. Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat keterangan: 107 a. Nama, alamat perusahaan serta jenis usaha; b. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/ buruh; c. Jabatan atau jenis pekerjaan; d. Tempat pekerjaan; e. Besarnya upah dan cara pembayaran; f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/ buruh; g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; h. Tempat dan tanggal perjanjian dibuat; dan i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
106 107
Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 54 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Selain hal-hal di atas terdapat juga beberapa hal lainnya yang perlu diatur dalam suatu perjanjian kerja, yaitu: 108 a. Macam pekerjaan; b. Cara-cara pelaksanaannya; c. Waktu dan jam kerja; d. Tempat kerja; e. Besarannya
imbalan
kerja,
macam-macamnya
serta
cara
pembayarannya; f. Fasilitas-fasilitas yang disediakan majikan/ perusahaan bagi pekerja/ buruh/ pegawai; g. Biaya kesehatan/ pengobatan bagi bagi pekerja/ buruh/ pegawai; h. Tunjangan-tunjangan tertentu; i. Perihal cuti; j. Perihal izin meninggalkan pekerjaan; k. Perihal hari libur; l. Perihal jaminan hidup dan masa depan pekerja; m. Perihal pakaian pekerja; n. Perihal jaminan perlindungan kerja; o. Perihal penyelesaian masalah-masalah kerja; p. Perihal uang pesangon dan uang jasa; dan
108
1990),
A. Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 23.
q. Berbagai masalah yang dianggap perlu. Kewajiban para pihak adalam suatu perjanjian umumnya disebut prestasi. Dalam hal prestasi ini Soebekti menulis: “suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak yang diperolehnya dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban dianggap sebagai kebalikan pengusaha dan sebaliknya apa yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerja/ buruh”. 109 Perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha menghasilkan hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja/ buruh dengan pengusaha yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Secara normatif pengertian hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. 110 Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)/ Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Demikian pula perjanjian kerja tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan yang dibuat pengusaha.
109
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 60. 110 Pasal 1 ayat (15) Undang_undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam perjanjian kerja, karena merupakan salah satu dari bentuk khusus perjanjian, apa yang dikemukakan olek Soebekti di atas berlaku juga. Artinya apa yang menjadi hak pekerja/ buruh akan menjadi kewajiban pengusaha dan sebaliknya yang menjadi hak pengusaha akan menjadi kewajiban pekerja. 111 Selain pekerja/ buruh yang melakukan hubungan kerja harus mentaati peraturan perusahaan, secara normatif peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. 112 Dengan pegertian tersebut, jelaslah bahwa peraturan perusahaan dibentuk oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/ buruh di perusahaan yang bersangkutan. Apabila peraturan perusahaan tersebut telah terbentuk, pengusaha diwajibkan untuk memberitahukan dan menjelaskan isi peraturan perusahaan yang berlaku di perusahaan yang bersangkutan. Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya memuat : a. Hak dan kewajiban pengusaha; b. Syarat kerja; c. Tata tertib perusahaan; dan d. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
111 112
Lalu Husni, Loc. Cit. Pasal 1603 d KUHPerdata
Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan paling lama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya. Ketentuannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian Kerja yang terdapat di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu hanya bersifat sepihak, yaitu perjanijan yang dibuat oleh perusahaan dengan mengacu kepada peraturan perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, yang menurut hukum sebenarnya perjanjian kerja tersebut tidak sah karena hanya satu pihak saja yang membuat dan pihak lain tidak dilibatkan dan tidak dimintai persetujuan atas perjanjian kerja tersebut, syarat perjanjian kerja adalah sepakat kedua belah pihak yang membuatnya.
B. Isi Perjanjian Kerja Sebagaimana perjanjian kerja pada umumnya, PKWT harus memenuhi syarat-syarat pembuatan sehingga perjanjian yang dibuat dapat mengikat dan menjadi Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Untuk pembuatan perjanjian atau kesepakatan kerja tertentu terdapat persyaratan yang harus dipenuhi yang terdiri dari dua macam syarat, yaitu formil dan syarat materil. Syarat materil diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Syarat-syarat materil yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 113 a.
Kesepakatan dan kemauan bebas dari kedua belah pihak;
113
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
b. Adanya kemampuan dan kecakapan pihak-pihak untuk membuat kesepakatan; c. Adanya pekerjaan yang dijanjikan; d. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian, syarat materil dari perjanjian kerja tertentu disebutkan bahwa kesepakatan kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud ayat (1) pada angka 1 dan 2 atau tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan, 114 yaitu dengan permohonan atau gugatan kepada pengadilan, sedangkan yang bertentangan dengan ayat (1) angka 3 dan 4 atau tidak memenuhi syarat objektif maka secara otomatis perjanjian yang dibuat adalah batal demi hukum. 115 Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu harus dibuat secara tertulis. 116 Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. PKWT tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan. 117 Masa percobaan adalah masa atau waktu untuk menilai kinerja dan kesungguhan dan keahlian seorang
114
Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Djumadi, Op. Cit, hlm 67 akibat hukum yang tidak dipenuhi syarat-syarat tersebut juga sama dengan akibat yang diatur dalam perjanjian pada umumnya yang menganut asas konsensualisme seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. 116 Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 117 Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 115
pekerja. Lama masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat yang berwenang). Walau demikian, dalam masa percobaan ini pengusaha tetap dilarang membayar upah dibawah upah minimum yang berlaku. Ketentuan ini membolehkan adanya masa percobaan dalam PKWT adalah karena perjanjian kerja berlangsung relatif singkat. PKWT yang mensyaratkan adanya
masa percobaan, maka PKWT tersebut batal demi
hukum. 118 PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. 119 Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/VI/2004 disebutkan bahwa dalam PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu dan dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun. 120 Apabila dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT tersebut dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Selanjutnya dalam PKWT, uang didasarkan atas selesainnya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai, namun apabila
118
Abdul khakim, Op. Cit, hlm 35. hal yang diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 119 Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 120 Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/VI/2004.
dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan dapat dilakukan pembaruan PKWT. Pembaruan sebagaimana yang dimaksud yaitu dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berkhirnya perjanjian kerja dan selama masa tenggang 30 (tiga puluh) hari tersebut tidak ada hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha. Selain itu disebutkan juga para pihak dapat mengatur hal lain dari ketentuan tersebut yang dituangkan dalam perjanjian. Adapun
syarat-syarat
formal
yang
harus
dipenuhi
oleh
suatu
kesepakatan kerja tertentu adalah sebagai berikut: 121 a. Kesepakatan
kerja
dibuat
rangkap
3
(tiga),
masing-masing
digunakan untuk pekerja, pengusaha dan Kantor Departemen Tenaga Kerja setempat yang masing-masing memiliki kekuatan hukum yang sama; b. Kesepakatan kerja harus didaftarkan pada kantor Departemen Tenaga Kerja setempat, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak ditandatangani kesepakatan kerja tertentu; c. Biaya yang timbul akibat pembuatan kesepakatan kerja tertentu semuanya ditanggung pengusaha; d. Kesepakatan kerja tertentu harus memuat identitas serta hak dan kewajiban para pihak sebagai berikut: 122
121 122
Djumadi, Op. cit, hlm. 67. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
1). Nama dan alamat pengusaha atau perusahaan; 2). Nama, alamat, umur dan jenis kelamin pekerja; 3) Jabatan atau jenis/ macam pekerjaan; 4). Besarnya upah serta cara pembayaran; 5). Hak dan kewajiban pekerja; 6). Hak dan kewajiban pengusaha; 7). Syarat-syarat kerjanya; 8). Jangka waktu berlakunya kesepakatan kerja; 9). Tempat atau lokasi kerja; 10).Tempat dan tanggal kesepakatan kerja dibuat serta tanggal berlakunya; dan 11).Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Syarat-syarat kerja yang dimuat dalam PKWT tidak boleh lebih rendah dari syarat-syarat kerja yang dimuat dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 123 Bila syarat-syarat perjanjian kerja tersebut lebih rendah maka syarat-syarat yang berlaku adalah yang termuat dalam peraturan perundangundangan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Dalam
pasal
13
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
Nomor
KEP.100/VI/2004 disebutkan bahwa PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha
123
Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/ kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.
C. Kategori Pekerjaan dalam PKWT Dalam praktik sering terjadi penyimpangan terhadap kategori pekerjaan untuk PKWT dengan latar belakang dan alasan tertentu kadang terdapat pengusaha dengan sengaja memperlakukan PKWT untuk jenis pekerjaan yang bersifat rutin dan tetap. Dalam PKWT terdapat beberapa kategori pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT sebagai dasar adanya hubungan kerja antara pekerja/ buruh dengan pengusaha. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 1. Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; 2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; 3. Pekerjaan yang sifatnya musiman; atau 4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Dalam putusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 terdapat beberapa pasal yang mengatur kategori pekerjaan yang dapat dilakukan dengan PKWT antara lain terdapat dalam Pasal 3 sampai Pasal 12. hal-hal yang diatur tersebut antara lain: 1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun, harus memuat antara lain: 124 a). PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. b). Jangka waktunya paling lama 3 (tiga) tahun. c). Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan maka PKWT tersebut dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus
demi hukum pada saat pekerjaan
selesai. d). Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. e). Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
124
Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
f). Pembaharuan sebagaimana dimaksud dilakukan setelah melebihi masa tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. g). Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut tidak ada hubungan kerja antara pekerja/ buruh dan pengusaha. h). Para pihak dapat mengatur hal lain yang dituangkan dalam perjanjian, 2. PKWT untuk pekerjaan yang sifatnya musiman, hal yang diatur antara lain: 125 a) Pekerjaan
yang
bersifat
musiman
adalah
pekerjaan
yang
pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca. b) PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan tersebut hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. c) Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk pekerjaan tersebut hanya diberlakukan untuk pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. d) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh berdasarkan PKWT untuk pekerja/ buruh yang melakukan tambahan harus membuat daftar nama pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan tambahan. 126
125
Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
e) PKWT tidak dapat dilakukan pembaharuan. 127 3. PKWT untuk pekerja yang berhubungan dengan produk baru, hal yang diatur antara lain: 128 a). PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/ buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. b). PKWT tersebut hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun. c). PKWT tersebut juga tidak dapat dilakukan pembaharuan. d). PKWT tersebut hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan di luar pekerjaan
yang biasa dilakukan
perusahaan. 129 4. Perjanjian kerja harian atau lepas, hal yang diatur antara lain: 130 a).Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian atau lepas. 126
Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004. 127 Pasal 7 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004. 128 Pasal 8 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004. 129 Pasal 9 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004. 130 Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004.
b).Perjanjian kerja harian atau lepas tersebut dilakukan dengan ketentuan pekerja/ buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan. c). Dalam hal pekerja/ buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. d). Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam hal tersebut dikecualikan
dari ketentuan jangka
waktu PKWT pada umumnya. e). Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/ buruh. f). Perjanjian kerja harian lepas dapat dibuat berupa daftar pekerja/ buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud Pasal 10 sekurang-kurangnya memuat : 1. Nama/ alamat perusahaan atau pemberi kerja. 2. Nama/ alamat pekerja/ buruh. 3. Jenis pekerjaan yang dilakukan. 4. Besaran upah atau imbalan lainnya. g). Daftar pekerja/ buruh harian lepas tersebut disampaikan kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sejak mempekerjakan pekerja/ buruh. PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, 131 yaitu pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu sebenarnya pekerjaan yang bersifat tetap dan bukan pekerjaan yang sifatnya musiman, sehingga secara hukum sebenarnya harus masuk dalam kategori PKWTT bukan PKWT lagi.
D. Pelaksanaan Perjanjian Mengenai jangka waktu PKWT diatur dalam Pasal 59 ayat (3) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam membuat suatu
kesepakatan
kerja
tertentu
batas
maksimal
waktu
yang
boleh
diperjanjikan adalah 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang atau diperbaharui untuk satu kali saja karena satu hal tertentu. Perpanjangan tersebut hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang sama, dengan catatan jumlah seluruh waktu dalam kesepakatan kerja tertentu tidak boleh melebihi dari 3 (tiga) tahun. Walaupun demikian karena alasan-alasan yang mendesak untuk jenis 131
Pasal 59 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
pekerjaan tertentu dengan seizin Menteri Tenaga Kerja ketentuan tersebut dapat dikesampingkan. 132 Perpanjangan adalah melanjutkan hubungan kerja setelah PKWT berakhir tanpa adanya pemutusan hubungan kerja. Sedangkan pembaharuan adalah melakukan hubungan baru setelah PKWT pertama berakhir melalui pemutusan hubungan kerja dengan tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari. Dengan berakhirnya jangak waktu yang disepakati dalam PKWT maka secara otomatis hubungan kerja berakhir demi hukum. Pelaksanaan Perjanjian Kerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dilakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu terhadap para pekerja dalam perusahaan tersebut. Pedoman yang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan perjanjian adalah Peraturan Perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu yang dibuat oleh perusahaan
dan telah disahkan oleh Dinas
Tenaga Kerja Propinsi Sumatera Utara, Ketentuan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perusahaan banyak yang belum terlaksana di lapangan, pengaturan mengenai status pegawai juga belum terlihat jelas dalam peraturan perusahaan, bagaimana hak-hak dan kewajiban
pekerja dalam PKWT juga
belum terlihat jelas dan detail dalam peraturan perusahaan tersebut. Ketentuan mengenai upah pokok pada pekerja dalam PKWT belum terlaksana sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam peraturan perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, yang terjadi pada praktiknya di lapangan 132
Djumadi, Op. Cit, hlm. 68.
adalah dalam sistem pengupahan yang di lakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu banyak yang di dasarkan dari kebijakan Perusahaan itu sendiri, sehingga peraturan perusahaan yang dibuat belum dijalankan sepenuhnya oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu terhadap pekerja pada perusahaan tersebut. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimasukkan ke dalam Peraturan Perusahaan PT. Binanga Mandala Labuhnan Batu banyak yang belum terlaksana di lapangan, seperti mengenai status karyawan, upah pokok, THR, Tunjangan Kesehatan, Tunjangan Hari Tua, Cuti dan lembur.
E. Faktor-Faktor yang Menyebabkan tidak Terlaksananya Isi Perjanjian Kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu 1. Faktor Internal a) Faktor Kemampuan Perusahaan Perusahaan tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi semua tuntutan dan ketentuan yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga isi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak bisa diwujudkan. Disamping itu kepala kerja yang melakukan pekerjaan merupakan karyawan
dari PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, sehingga anggota dari karyawan tersebut tidak ada membuat Perjanjian Kerja. 133 PKWT yang dibuat oleh Perusahaan hanyalah PKWT antara Kepala Kerja yang merupakan Karyawan Tetap PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, sementara Kepala Kerja yang merekrut
pekerja lainya tidak ada membuat
PKWT. PKWT yang dibuat antara perusahaan dengan Kepala Kerja memuat ketentuan jangka waktu pekerjaan, jenis pekerjaan dan batas waktu pekerjaan di lakukan. Dan PKWT ini sering di perpanjang oleh perusahaan dengan membuat PKWT yang baru, sehingga waktunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
b. Faktor Kebutuhan Perusahaan Kebutuhan Perusahaan akan pekerja lepas dengan mudah dapat dipenuhi, tanpa harus memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan, karena untuk mencari tenaga harian di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu tidak begitu sulit, disebabkan banyaknya masyarakat yang siap bekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu tanpa harus menjadi pekerja tetap dan dengan upah yang tidak memenuhi ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan. 134
133
R. Alam Jaya, (Manager Kebun PT. Binanga Mandala Labuhan Batu). Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009 di Medan 134 Joko HS, (Personalia PT. Binanga Mandala Labuhan Batu). Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009 di Medan
c. Faktor Kebutuhan Pekerja Kebutuhan yang kian meningkat membuat pekerja mau untuk bekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, walaupun upah yang pekerja terima tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, tetapi pekerja membutuhkan pekerjaan itu dan bersedia untuk menerima penghasilan yang diberikan dari PT. Binanga Mandala Labuhan Batu secara sepihak 135 . Kebutuhan anak-anak untuk sekolah semakin meningkat, sehingga apapun pekerjaan yang dilakukan asalkan halal, pekerja mau mengerjakannya. Demi untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik itu pangan dan pendidikan 136 Disaat ini kondisi ekonomi semakin sulit, sehingga untuk mencari pekerjaan itu adalah hal yang sangat sulit bagi pekerja, jadi pekerja bersedia untuk bekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dengan penghasilan yang pas-pasan dan tanpa status yang jelas dari PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Sebenarnya ingin dapat penghasilan yang layak, tapi itu tidak mungkin dan apabila kami tidak bekerja pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, belum tentu kami bisa mendapatkan pekerjaan di tempat yang lain. 137 d. Faktor Perusahaan Ingin Meraih Untung yang Besar
135
Zulmah, Pegawai bagian pembantu mandor PT. Binanga Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009. 136 Agus, Pegawai Perawatan Tanaman PT. Binanga Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009. 137 Leni, Pegawai Perawatan Tanaman PT. Binanga Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 24 Juli 2009.
Faktor ingin meraih untung yang sebesar-besarnya oleh perusahaan, hal ini merupakan motif ekonomi yang sangat lazim digunakan oleh para pengusaha dalam membuat sistem pengupahan, karena sangat banyak perusahaan yang tidak memikirkan hak-hak dan kesejahteraan karyawannya tetapi
hanya
memikirkan
keuntungan
yang
sebesarnya-besarnya
bagi
perusahaan . Serta diduga adanya indikasi untuk menghindari pemberian hakhak pekerja seperti pesangon, tunjangan kesehatan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Dengan tidak adanya status yang jelas bagi pekerja maka pekerja akan sulit untuk menuntut hak-haknya. Hal ini juga bisa terjadi karena rendahnya keinginan pengusaha untuk memenuhi segala hak-hak pekerja seperti yang tercantum dalam ketentuan perundang-undangan khususnya UU tentang Ketenagakerjaan. Sehingga mengakibatkan pekerja menjadi korban dari kebijakan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu yang tidak memperhatilkan kesejahteraan dan hak-hak normatif dari pekerja khususnya dalam PKWT.
e. Kedudukan/ Posisi yang Berbeda antara Pengusaha dan Pekerja Kedudukan yang berbeda antara pekerja dan pengusaha juga menjadi salah satu faktor, karena pekerja merasa lemah dan pengusaha merasa kuat dan berkuasa. Dengan kedudukan yang tidak seimbang ini akan membuat PT. Binanga Mandala Labuhan Batu mendominasi dalam membuat perjanjian,
sehingga perjanjian kerja waktu tertentu yang dihasilkan sesuai dengan keinginan dari PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. Sedangkan faktor ekonomi menjadi satu hal yang paling penting bagi pekerja, karena sulitnya mendapat pekerjaan dan tingginya keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka pekerja dengan sangat terpaksa menerima perlakuan yang kurang layak dari PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dalam hal penetapan upah dan hak-hak lainnya terhadap pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Para pekerja ragu jika tidak bekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu mungkin belum tentu mendapat pekerjaan ditempat lain. Hal ini mengakibatkan rendahnya kualitas SDM pekerja sehingga tidak percaya diri terhadap kemampuannya sendiri.
2. Faktor Eksternal a. Peraturan yang Tidak Tegas Faktor penting lainnya adalah akibat rendahnya penegakan hukum tehadap pelanggaran ketentuan mengenai ketenagakerjaan. Sangat banyak kasus-kasus
yang
menimpa
pekerja,
selalu
dimenangi
oleh
pihak
pengusaha.Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan membuat mereka semakin yakin untuk terus melakukan pelanggaran. Padahal pelanggaran terhadap beberapa ketentuan mengenai upah dan PKWT memiliki sanksi pidana, tetapi hal ini sangat jarang
diterapkan. Kondisi seperti inilah yang juga menjadi pemicu dan salah satu faktor yang mengakibatkan tidak terlaksananya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu.
b. Dinas Tenaga Kerja yang tidak Berfungsi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Labuhan Batu yang seharusnya menjadi pelindung bagi pekerja tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Labuhan Batu tidak mengetahui permasalahan pengupahan yang terjadi pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu. 138 Dinas tenaga kerja Kabupaten Labuhan Batu, hanya mengetahui permasalahan tenaga kerja khususnya mengenai sistem pengupahan yang terjadi di PT. Mandala Labuhan Batu, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, hal ini disebabkan adanya komunikasi yang sudah terjalin erat antara pimpinan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dengan pimpinan di Disnaker Kabupaten Labuhan Batu dan Disnaker Labuhan Batu melihat bahwa pekerja banyak yang tidak keberatan terhadap sistem pengupahan yang diterapkan PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dan juga mengenai status kepegawaian yang bukan merupakan pekerja tetap. 139
138
Parida dan Ratih, Perawat Tanaman PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, Hasil Wawancara tertanggal 31 Juli 2009. 139 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan seorang staf di Disnaker Kabupaten Labuhan Batu, tertanggal 31 Juli 2009
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Sistem pengupahan yang dilakukan oleh PT. Binanga Mandala Labuhan Batu berdasarkan Peraturan Perusahaan yang terdapat pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu terlihat perbedaan dalam penetapan upah dan fasilitas-fasilitas lainnya antara pekerja tetap dengan pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sehingga mengakibatkan tidak adanya keseragaman upah antara pekerja yang satu dengan pekerja lainnya. Padahal dalam peraturan perusahaan dikatakan bahwa upah yang diberikan tidak di bawah Upah Minimum Regional (UMR), tapi kenyataanya masih banyak pekerja yang upahnya di bawah UMR. Pekerja di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu yang berdasarkan ketentuan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah layak untuk diangkat menjadi karyawan tetap tetapi belum juga diangkat menjadi karyawan tetap. Mereka masih berstatus sebagai pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 2. Perlindungan hukum yang bisa dilakukan oleh para pekerja adalah melakukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada
Pengadilan Negeri, tetapi sebelum melakukan gugatan maka sebaiknya dilakukan perundingan mengenai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang diharapkan akan dipatuhi oleh semua pihak, baik itu PT. Binanga Mandala dengan pekerja. Di dalam PKB tersebut dapat dituangkan kesepakatankesepakatan yang mengacu kepada Undang-undang yang berlaku seperti UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan peraturan perundangan lainnya tentang PKWT dan sistem pengupahan bagi pekerja, sehingga pekerja akan mendapatkan hak-haknya yang layak sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. 3. Faktor yang menyebabkan tidak terlaksananya isi perjanjian kerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada PT. Binanga Mandala Labuhan Batu, yaitu perusahaan ingin meraih untung yang sebesar-besarnya, hal ini merupakan motif ekonomi yang sangat lazim digunakan oleh para pengusaha dalam membuat sistem pengupahan, serta diduga adanya indikasi untuk menghindari pemberian hak-hak pekerja seperti pesangon, tunjangan kesehatan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Dengan tidak adanya kejelasan status bagi pekerja maka pekerja akan sulit untuk menuntut hak-haknya. Kedudukan yang berbeda antara pekerja dan pengusaha juga menjadi salah satu faktor, karena pekerja merasa lemah dan pengusaha merasa kuat dan berkuasa. Sedangkan faktor ekonomi menjadi satu hal yang paling penting bagi pekerja, karena sulitnya mendapat pekerjaan dan
tingginya keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka pekerja dengan sangat terpaksa menerima perlakuan yang kurang layak dari PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dalam hal penetapan upah dan hak-hak lainnya terhadap pekerja dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
B. Saran 1. Pengaturan dan kebijakan PKWT apapun yang dibuat sangatlah perlu diarahkan untuk menciptakan hubungan industrial yang semakin harmonis. Dalam perspektif ini, Pertama, hak-hak buruh, yang tercermin dalam ukuran takehome pay, bagi PKWT harus lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja PKWTT pada jenis pekerjaan/ tugas yang sama di suatu perusahaan. Kedua, faktor penentu utama PKWT didasarkan atas jangka waktu dengan penetapan hanya untuk jangka waktu maksimal atas suatu PKWT seperti 5-8 tahun. Penetapan jangka waktu maksimal sebaliknya disesuaikan dengan suatu hasil pengamatan rata-rata tenure yang diinginkan, sehingga mungkin kontrak bervariasi menurut lama waktu kontrak seperti berdasarkan bulan atau tahunan. Ketiga, peralihan status dari PKWT menjadi PKWTT tidak perlu secara ketat dibatasi melalui instrumen
pengaturan frekwensi
perpanjangan/ pembaruan kontrak, karena tidak ada lagi alasan dan keharusan yang menekankan bahwa PKWT wajib beralih menjadi PKWTT. Keempat, PKWT tidak dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu saja, tetapi
diserahkan pada kondisi aktual pasar tenaga kerja. Kelima, pengusaha wajib untuk memberikan informasi tentang isi kontrak kepada buruh baik secara individu maupun bersifat publik demi menumbuhkan pemahaman arti suatu kontrak kerja dan memenuhi aspek informed consent atau
right to be
informed bagi buruh. 2. Perlunya penegakan hukum yang serius oleh aparat penegak hukum dalam melakukan perlindungan atas upah bagi para pekerja, sehingga upah yang diterima pekerja sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku serta diperlukan adanya sanksi yang tegas kepada Perusahaan yang melakukan pelanggaran atas ketentuan perundangan ketenagakerjaan yang berlaku. 3. Perlu dibuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dengan Pekerja yang diwakili oleh Serikat Pekerja agar terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dalam menentukan hak dan kewajiban
dari
masing-masing
pihak
sehingga
faktor-faktor
yang
menyebabkan tidak terlaksananya isi perjanjian kerja dalam PKWT di PT. Binanga Mandala Labuhan Batu dapat segera diatasi.
DAFTAR PUSTAKA I. Buku Arinanto, Satya, Kumpulan Tulisan Politik Hukum 2, Pilipe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004. Anwar, Saiful Sendi-sendi Hubungan Pekerja dengan Pengusaha, Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, Medan, 1994 Asyhadie, Zaeni Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007. Asikin, Zainul dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993. Djumadi, Perjanjian Kerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990 Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995. Husni, Lalu, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2003. ------------, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia edisi Revisi, PT. Raja Grafindo, Jakarta 2006, G. Kartasapoetra, dkk, Hukum Perburuhan di Indonesia Berlandaskan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta 1986. Harahap, M. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986. Ibrahim, Jhonny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006. Khakim, Abdul, Aspek Hukum Pengupahan berdasarkan UU Nomor. 13 tahun 2003. Citra Aditya Bakti, Bandung 2006
148
-------------, Pengantar Hukum Tenaga Kerja di Indonesia, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003. Moleong. Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: remaja Rosdakarya. 2002. Mertokusumo, Sudikno Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,1995. Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Samsul,
Inosentius, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004.
Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Kerja), Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. VII, 1981. ------------, Pengantar Hukum Perburuhan, Cet. VI, Jakarta: Djambatan, 1983. Sudjana, Eggy, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Jakarta: Renaissan, 2005. -------------, Eggi Sudjana, Buruh Menggugat Persfektif Islam, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002. Suhardiman, Kedudukan, Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Dalam Pembangunan Indonesia dalam Hukum Kenegaraan Republik Indonesia, Teori, Tatanan dan Terapan, Peny. Selo Soemardjan, Jakarta: YIIS dan. PT. Gramedia. Syaufii Syamsuddin, Mohd. Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004
II. Jurnal Ilmiah, Makalah, Disertasi, Surat Kabar
Agusmidah, Politik Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan, Disertasi, Medan: SPS USU, 2006. Badan Pusat Statistik, Indikator Ketenagakerjaan Mei 2004, BPS, Jakarta, 2004 Lothion, Tamara, The Political Consequences of Labor Law Regimes: The Contractualist and Corporatist Models Compared, Cardozo Law Review, Vol. 7, 1986. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2003 Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam llmu Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU, Medan: USU, 2004. Sudjana Eggy, Nasib Dan Perjuangan Buruh di Indonesia, makalah disampaikan pada diskusi Publik Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia yang diselenggarakan Pusat Kajian Ketenagakerjaan Majelis Nasional KAHMI Center , Jakarta, 24 Juni 2005. Uwiyono, Aloysius, Implikasi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Terhadap Iklim Investasi, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 22 No. 5, Jakarta, 2003. ………………, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, 2003. Ronny Goldas Meir Hutahaean dan Jhonni Siregar, Laporan Praktek Kerja Lapangan pada PT. Perkebunan Binanga Mandala, Politeknik MBP. Medan 2004 Naskah Akademik Kajian Akademis Independen terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jakarta 2006.
III. Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen, Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Republik
Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan.
No.
13
Tahun
2003
Tentang
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 05/Men/1986 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksana Perjanjian Kerja Tertentu
IV. Internet Fitriana, Rochmad, "Sistem Subkontrak Antara Benci dan Kebutuhan", http://www.com,/servlet/page? pageid=477& dad=portal30& schema=PORT AL30&pared id=333071&patop id=010. Mubyarto, "Indonesia Unik Karena Ketahanan Ekonomi Rakyatnya (Laporan Pertemuan dengan Presiden Megawati 18 Maret 2002)", Jurnal Ekonomi Rakyat diakses dari http://www.ekonomirakyat.org/galeri wat/wartalip-2.htm.