58
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Parasitoid Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakter antena, sayap depan dan alat genitalia imago jantan menunjukkan bahwa parasitoid Trichogrammatidae yang digunakan pada penelitian ini adalah spesies T. chilotraeae (Gambar 1). Pada karakter antena ditemukan bagian club tidak bersegmen dengan rambut yang panjang (Gambar 1A). Sayap depan mempunyai setae yang letaknya tersusun dalam suatu susunan barisan, mempunyai tiga sampai empat trichia pada Rs1 dengan stigma yang mengarah kebawah dan fringe setae yang berukuran lebih pendek jika dibandingkan dengan genus Trichogrammatoidea (Gambar 1B). Alat genitalia jantan mempunyai dorsal expansion gonobase (DEG) kurang lebih berbentuk segitiga dengan ujung yang runcing, chelat structure (CS) yang besar dan terletak jauh dari ujung gonoforceps (GF) serta mempunyai aedagus yang panjang dan runcing. Hal ini sesuai dengan deskripsi berdasarkan sumber Nagarkatti dan Nagaraja (1977), Alba (1988) dan Nurindah (2002) (Gambar 2a, 2b dan 2c). Parasitoid T. chilotraeae mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut; imago jantan berwarna kuning dengan pronotum, mesopleurum, mesoscutum, abdominal terga dan koksa tungkai belakang berwarna kehitaman. Imago betina berwarna kekuningan pada bagian depan dan sebagian besar bagian mesoscutum. Panjang imago 0,373 – 0,526 mm (tidak termasuk kepala). Pada umumnya imago betina berukuran lebih besar daripada imago jantan.
59
A
B
C
Gambar 1 Karakter morfologi T. chilotraeae hasil identifikasi; Antena (A); sayap depan (B) dan genitalia imago jantan (C). Hasil pemotretan (kamera Olympus BX 50 pembesaran 400 x ), Laboratorium Bioekologi Parasitoid IPB (20 April 2006).
a
b
c
Gambar 2 Karakter morfologi T. chilotraeae berdasarkan kunci identifikasi; antena (a): 1-scapus, 2-pedicel, 3-anneli, 4-funicle, 5-club, 6-flagellum; Sayap (b): 1-submarginal vein, 2-pre marginal vein, 3-marginal vein, 4-stigma vein, 5-fringe setae, 6-Rs1; Alat genitalia (c): DEG (dorsal expansion gonobase); CR (chitized ridge); CS (chelate structure); MVP (median ventral projection) GF (gonoforceps); A (Aedagus). (a dan b sumber Nurindah 2002; c sumber Alba 1988).
60 Spesies T. chilotraeae yang memarasit telur P. xylostella yang ditemukan pada penelitian ini relatif baru diketahui dan berbeda dengan spesies Trichogrammatidae yang dilaporkan sebelumnya. Meilin (1999) melaporkan, dari hasil eksplorasi di beberapa tempat di pulau Jawa, ditemukan tiga spesies Trichogrammatidae yang menyerang telur P. xylostella yakni T. flandersi, T. cojuangcoi dan T. armigera, di Filipina di laporkan dari spesies T. evanescens yang diintroduksi dari Jerman (Alba 1988), sedangkan di India yakni spesies T. armigera (Manjunath 1972 dalam Alba 1988).
Selama ini, T. chilotraeae
dilaporkan memarasit telur H. armigera pada tanaman kapas dan jagung, O. furnacalis pada tanaman jagung,dan C. infuscatella pada tanaman tebu (Alba 1989 ; Nurindah & Bindra 1989), tetapi belum pernah dilaporkan menyerang telur P. xylostella. Di Malaysia, India, Kamboja, Filipina dan Thailand, parasitoid ini dilaporkan menyerang telur hama penggerek batang padi bergaris C. suppressalis pada tanaman padi dan O. furnacalis (Suasa 2002).
Perilaku Penemuan dan Penerimaan Inang Hasil pengamatan perilaku penemuan dan penerimaan inang menunjukkan bahwa sebelum menemukan inang, parasitoid melakukan kegiatan berjalan mengelilingi sisi tabung secara acak selama 1 sampai 3 menit, kemudian hinggap pada pias. Sebagian parasitoid langsung memeriksa inang sesaat setelah terjadi kontak dengan inang dan selanjutnya melakukan oviposisi. Sebagian lainnya berjalan secara acak melewati beberapa telur inang dan kemudian menetapkan pilihan pada salah satu inang. Perilaku ini berhubungan dengan sifat bahwa setelah menemukan inang untuk perkembangan keturunannya, parasitoid betina harus dapat menentukan apakah individu inang tersebut dapat diterima. Beberapa individu inang kemungkinan tidak dapat diterima atau tidak tepat untuk fase perkembangan keturunan parasitoid, misalnya karena adanya penyakit pada inang, kematian inang atau inang sudah diparasit oleh betina parasitoid yang sama (Arthur 1981). Setelah terjadi kontak dengan inang, parasitoid selanjutnya memeriksa inangnya dengan cara mengetuk-ketukkan antenanya (drumming) pada permukaan inang. Selain itu, parasitoid juga menggunakan abdomennya untuk mengetuk inang (tapping) kemudian memasukkan ovipositornya ke dalam inang.
61 Pada saat pengamatan parasitoid betina terlihat melakukan gerakan memasukkan ovipositornya dalam inang, ternyata parasitoid tidak selalu meletakkan telur. Menurut Salt (1935) dalam Arthur (1981), untuk dapat diterima atau tidak suatu inang, maka selain melakukan drumming dan tapping, parasitoid akan kembali memeriksa dan mengukur inang pada saat memasukkan ovipositor. Bila inang dianggap cocok maka parasitoid akan segera meletakkan telur dan bila inang dianggap tidak cocok, maka ovipositor akan kembali dicabut tanpa melakukan kegiatan peletakan telur. Parasitoid T. chilotraeae mampu mengenali inang yang sudah terparasit. Hal ini ditunjukkan oleh parasitoid yang tidak mau melakukan oviposisi pada telur inang yang sudah terparasit sebelumnya. Sejalan dengan penjelasan Doutt et al. (1976) bahwa imago betina Trichogramma mempunyai kemampuan untuk membedakan antara inang yang sehat dan inang yang sudah terparasit melalui reseptor penginderaan pada antena, tarsi dan ovipositornya. Lebih jauh hasil penelitian Salt (1937) dalam Arthur (1981) menunjukkan bahwa parasitoid Trichogramma mempunyai kemampuan untuk membedakan antara telur yang bersih dan telur yang hanya dilewati oleh betina parasitoid lain dalam satu spesies. Jika inang hanya dilewati, maka parasitoid dapat dengan cepat membedakan dari sehatnya inang dan kemudian menyerangnya. Sebagai contoh, parasitoid betina T. evanescens menggunakan feromon untuk menandai telur yang telah dicoba atau telah diparasit dan ini memungkinkan betina lain untuk dapat membedakan antara telur inang yang siap diparasit dengan telur yang tidak bisa diparasit. Kemampuan untuk membedakan telur yang sudah terparasit ini menurut Jackson (1968) dalam Arthur (1981) karena adanya feromon yang juga dimasukkan ke dalam inang bersamaan dengan peletakan telur. Sekresi ini kemungkinan dihasilkan dalam acid dan alkalin gland dalam tubuh betina.
62
Pola Urutan Peletakan Telur Parasitoid T. chilotraeae Parasitoid betina T. chilotraeae memberikan respon yang berbeda terhadap jumlah inang dan kehadiran betina lainnya berupa pengaturan kelamin keturunan ketika proses peletakan telur. Pada pemaparan satu parasitoid betina, pada perlakuan jumlah inang yang terbatas (3 inang), parasitoid meresponnya dengan selalu menghasilkan satu keturunan jantan pada setiap rangkaian tiga peletakan telur pertama. Keturunan jantan cenderung dihasilkan pada peletakan telur kedua atau ketiga, sehingga pola peletakan telur pada perlakuan 3 inang umumnya adalah ”betina-betina-jantan”, dengan nilai 80% pada peletakan telur pertama, 55% pada peletakan telur kedua dan 35% pada peletakan telur ketiga (Gambar 3A). Ketika jumlah inang bertambah, parasitoid betina tidak selalu menghasilkan keturunan jantan pertama pada tiga peletakan telur pertama. Meskipun ada kecenderungan bahwa persentase keturunan betina berkurang pada peletakan telur ketiga, tetapi persentasenya masih lebih tinggi bila dibandingkan pada perlakuan 3 inang. Pada perlakuan 6 dan 12 inang, persentase keturunan betina paling rendah terjadi pada peletakan telur keempat, sehingga pola kelamin keturunan pada tiga peletakan telur pertama masih cenderung betinabetina-betina. Pada perlakuan 24, meskipun persentase keturunan betina menurun pada peletakan telur ketiga, tetapi pada peletakan telur kedua dihasilkan keturunan betina dengan persentase yang tinggi. Pada perlakuan 48 inang, persentase keturunan betina paling rendah baru dihasilkan pada peletakan telur ketujuh. Menurunnya persentase keturunan betina pada akhir rangkaian peletakan telur, seperti pada perlakuan 3 inang, juga terjadi pada perlakuan 24 inang (Gambar 3D) dan perlakuan 48 inang (Gambar 3E). Menurunnya grafik pada akhir rangkaian peletakan telur pada dua perlakuan tersebut, disebabkan oleh sebagian parasitoid betina yang sudah tidak memarasit lagi atau memang hanya menghasilkan keturunan jantan. Menurut Colazza dan Wajnberg (1998), meningkatnya keturunan jantan pada akhir rangkaian peletakan telur pada kondisi jumlah inang yang banyak, kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sperma sehingga keturunan yang dihasilkan adalah keturunan haploid (jantan). Namun, alasan ini menjadi kurang tepat bila dibandingkan dengan data pada gambar 9 yang menunjukkan bahwa parasitoid betina masih melakukan peletakan telur
63 sampai beberapa hari kemudian, meskipun dengan jumlah yang semakin berkurang dibanding dengan hari pertama.
Keturunan betina proporsinya juga
terlihat semakin berkurang setiap hari pengamatan (Gambar 12). Alasan lain yang kemungkinan lebih tepat untuk menjelaskan hal ini adalah penjelasan Bayram et al. (2004), yang menyatakan bahwa perilaku tersebut merupakan strategi induk betina untuk mengantisipasi adanya kematian keturunan jantan yang diletakkan pada awal rangkaian peletakan telur.
80.00
3 inang
80.00 60.00 40.00
60.00
20.00
20.00
40.00
0.00
0.00
Persentase keturunan betina
6 inang
100.00
100.00
1
2
3
A
1
2
3
4
5
B
6
100.00 12 inang
80.00
100.00 80.00
24 inang
60.00 60.00
40.00 40.00
20.00
20.00
0.00
0.00
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
C
23
D
100.00 80.00 60.00 40.00
48 inang
20.00 0.00 1
3
5
7
9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47
E
Urutan peletakan telur Gambar 3 Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai kepadatan inang, pemaparan satu parasitoid betina. ( ------ = 50% keturunan betina) Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraeae ini mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah inang yang ada dan meresponnya dengan mengubah alokasi keturunan betina atau jantan sepanjang peletakan telur. Kemampuan parasitoid untuk menaksir jumlah inang sesaat
64 sebelum melakukan peletakan telur dan mengatur alokasi kelamin keturunan pada suatu pola tertentu, kemungkinan disebabkan oleh beberapa petunjuk fisik yang telah diterima oleh parasitoid. Parasitoid yang mengeksploitasi suatu kelompok inang mempunyai kemampuan untuk mendapatkan informasi dengan cara berjalan dan mengetukkan antenanya pada atau dekat pinggiran suatu kelompok inang sebelum melakukan peletakan telur pertama (Colazza & Wajnberg 1998). Selain itu, adanya petunjuk kimia yang dihasilkan oleh inang juga dapat dijadikan petunjuk oleh parasitoid untuk mengukur jumlah inang (Bayram et al. 2004). Mekanisme pertama kemungkinan yang digunakan oleh parasitoid T. chilotraeae ini. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa parasitoid mempunyai perilaku berjalan cepat secara acak melewati beberapa inang sambil mengetuk-ketukkan antenanya sebelum menetapkan pilihan pada salah satu inang.
Perilaku ini
kemungkinan merupakan cara parasitoid untuk mendapatkan informasi tersebut. Bila alokasi kelamin keturunan yang dihasilkan induk betina pada setiap urutan peletakan telur dilihat secara keseluruhan mulai dari peletakan telur ke-1 sampai peletakan telur ke-n (Tabel 1), menunjukkan bahwa jumlah keturunan betina yang dihasilkan induk parasitoid cenderung akan semakin berkurang dari peletakan telur pertama sampai peletakan telur keempat, kemudian kembali meningkat pada peletakan telur kelima. Pada akhir rangkaian peletakan telur keturunan betina yang dihasilkan cenderung menurun.
65 Tabel 1 Alokasi jenis kelamin keturunan yang dihasilkan induk parasitoid T. chilotraeae pada peletakan telur ke-1 sampai peletakan telur ke- n Peletakan telur ke 1
Perlakuan 3 inang 6 inang 12 inang 24 inang 48 inang Total N
2
3
4
5
... n
?
?
?
?
?
?
?
?
?
?
16 13 12 14 15 70
4 2 3 2 0 11
11 12 17 19 12 71
7 6 0 0 3 16
7 13 10 10 12 52
10 5 7 5 2 29
10 7 12 10 39
6 8 6 7 27
13 14 16 10 53
3 4 3 2 12
81
87
81
66
65
(n: 3) (n: 6) (n: 12) (n: 24) (n: 36)
?
?
10 11 6 0 27
3 4 5 2 14
Nilai tengah selisih betinajantan 4 7.5 7.5 9.5 7
41
Ket: n = peletakan telur terakhir
Berdasarkan hasil pengujian Kruskal-Wallis Test ternyata bahwa perlakuan jumlah inang 3, 6, 12, 24 dan 48 tidak berpengaruh nyata terhadap rasio kelamin keturunan betina-jantan pada setiap urutan peletakan telur (P = 0,403). Uji lanjut dengan Sign test dan Wilcoxon signed rank test, diperoleh nilai P= 0,000, yang berarti perbandingan kelamin keturunan (betina : jantan) bukan 50 : 50, dengan nilai tengah dari selisih keturunan betina dikurangi keturunan jantan adalah 8 dengan metode Sign test, dan nilai 7,5 dengan metode Wilcoxon signed rank test. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya alokasi kelamin keturunan pada parasitoid T. chilotraeae ini tidak sejalan dengan prediksi menurut teori Fisher yang menyatakan bahwa setiap betina pada suatu populasi akan menghasilkan keturunan betina dan jantan dengan proporsi yang sama. Pada perlakuan 3 inang, menurunya proporsi betina dapat terjadi karena beberapa hal. Pertama adalah ketiadaan sperma atau kedua karena memang hal ini merupakan pilihan parasitoid, yang berarti seekor induk betina dengan sengaja meletakkan keturunan jantan pada peletakan tersebut. Mekanisme kedua tampaknya lebih berperan dibanding mekanisme pertama. Hal ini disebabkan pada peletakan telur pertama dan peletakan telur kedua, induk betina lebih memilih meletakkan keturunan betina dibandingkan keturunan jantan. Akibatnya pada peletakan telur pada inang terakhir, keturunan jantan lebih banyak. Sebaliknya pada keadaan jumlah inang yang banyak, akan memberikan peluang yang lebih banyak pada induk betina untuk meletakkan telur, sehingga peletakan keturunan jantan tidak dilakukan pada peletakan telur tertentu. Hasil ini memberikan
66 implikasi penting pada kegiatan pelepasan parasitoid di lapangan. Jika kondisi inang di lapangan rendah dan bila peletakan telur terakhir bias jantan, maka hal ini akan memberikan implikasi tertentu pada perkembangan populasi parasitoid. Menurunnya proporsi betina pada akhir rangkaian peletakan telur pada perlakuan 24 dan 48 inang (juga digambarkan pada Gambar 1 D dan 1 E), ternyata disebabkan karena rendahnya jumlah inang terparasit pada akhir rangkaian peletakan telur, yakni hanya terdapat 11 inang terparasit pada perlakuan 24 inang dan 2 inang terparasit pada perlakuan 48 inang. Rendahnya inang terparasit pada akhir rangkaian peletakan telur disebabkan karena beberapa parasitoid sudah tidak memarasit lagi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat suatu kisaran optimum jumlah inang yang dapat diparasit oleh parasitoid T. chilotraeae ini dalam jangka waktu 3 jam. Pada pemaparan dua parasitoid betina (Gambar 4), terjadi pola yang hampir sama dengan pemaparan satu parasitoid betina, yakni terjadi peletakan keturunan betina pada peletakan telur awal. Meski demikian terdapat beberapa perbedaan; (1) pada umumnya persentase peletakan keturunan betina pada awal peletakan telur lebih rendah bila dibandingkan dengan pemaparan satu parasitoid betina; (2) persentase peletakan keturunan betina masih terjadi pada akhir rangkaian peletakan telur pada perlakuan 24 inang (Gambar 4C); (3) pada perlakuan 48 inang
terjadi peningkatan peletakan keturunan jantan pada
peletakan telur kedua (Gambar 4D). Berdasarkan hasil tersebut, mengindikasikan bahwa peningkatan kepadatan betina pada suatu kelompok inang, akan memberikan pengaruh kepada perilaku induk betina lainnya untuk mengatur alokasi peletakan keturunan jantan atau betina sepanjang peletakan telur pada suatu kelompok inang.
67 100.00
80.00
60.00
60.00
40.00
40.00
20.00
20.00 0.00
0.00 1
Persentase keturunan betina
6 inang
100.00
3 inang
80.00
2
A
3
100.00
1
2
3
4
5
6
100.00
12 inang
80.00
80.00
60.00
60.00
40.00
40.00
20.00
20.00
B
24 inang
0.00
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
C
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
D
100.00 80.00 48 inang
60.00 40.00 20.00 0.00 1
4
7
10
13
16 19
22
25
28 31
34
37
40 43
46
E Urutan peletakan telur Gambar 4 Persentase keturunan betina yang dihasilkan pada setiap urutan peletakan telur pada berbagai kepadatan inang, pemaparan dua parasitoid betina. ( ------ = 50% keturunan betina)
Meskipun dengan persentase yang berbeda, tetapi dapat dikatakan bahwa, induk betina parasitoid T. chilotraeae cenderung akan meletakkan keturunan betina pada peletakan telur awal. Hal ini terjadi baik pada pemaparan satu parasitoid maupun pada pemaparan dua parasitoid betina. Hasil ini berbeda bila dibandingkan dengan beberapa parasitoid Hymenoptera lainnya yang mempunyai pola reproduksi haplodiploid, dimana dilaporkan memulai rangkaian peletakan telur dengan menghasilkan keturunan jantan pada peletakan telur awal. Hasil penelitian Wanjberg (1993) menunjukkan, parasitoid T. brassicae, akan memulai rangkaian peletakan telur dengan menghasilkan keturunan jantan pada peletakan telur awal. Demikian pula pada hasil penelitian Colazza dan Wajnberg (1998)
68 pada parasitoid T. basalis dan penelitian Bayram et al. (2004) pada parasitoid T. busseolae, yang melaporkan bahwa urutan peletakan telur pada berbagai jumlah inang dalam suatu paket tidak diletakkan secara acak, peletakan telur pertama pada semua perlakuan berbagai jumlah inang selalu jantan (strategi “jantan pertama”). Dijelaskan lebih lanjut bahwa, parasitoid betina sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk dapat menaksir jumlah inang sesaat sebelum melakukan rangkaian peletakan telur pada suatu kelompok inang. Pola peletakan telur pada berbagai jumlah inang hanya merupakan pengaruh tidak langsung dari strategi jantan pertama. Bila inang
bertambah, maka setelah meletakkan
keturunan jantan pertama pada awal peletakan telur, parasitoid selanjutnya akan meletakkan keturunan jantan kedua setelah meletakkan keturunan betina dalam jumlah yang banyak. Wajnberg (1993), menjelaskan bahwa perilaku ini sebenarnya ditentukan oleh kontrol genetik. Bila dibandingkan dengan parasitoid T. chilotraeae pada penelitian ini, yang didasarkan pada pola alokasi kelamin keturunan pada tiga peletakan telur pertama (Tabel 2), dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraea juga mempunyai kecenderungan mengalokasikan keturunan jantan pertama pada peletakan telur ketiga dengan pola betina-betina-jantan, atau pada peletakan kedua dengan pola betina-jantan-betina. Akan tetapi, pola betina-betina-jantan
atau
betina-jantan-betina ini umumnya terjadi pada perlakuan 3 inang. Sedangkan pada pada perlakuan 6, 12, 24 inang umumnya pola betina-betina-betina. Jadi berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa, pengaturan alokasi kelamin keturunan sepanjang peletakan telur, dan dengan strategi peletakan keturunan betina pada awal rangkaian peletakan telur pada parasitoid T. chilotraea ini, kemungkinan bukan karena mekanisme kontrol genetik, akan tetapi memang disebabkan karena mekanisme kemampuan parasitoid untuk mengukur jumlah inang dan kepadatan parasitoid sebelum memulai rangkaian peletakan telur. Meskipun demikian, hasil ini masih harus dikaji lebih lanjut, karena beberapa faktor lain yang diabaikan pada penelitian ini sebenarnya dapat mempengaruhi alokasi kelamin keturunan oleh induk betina, yakni: ukuran inang (Mayhew & Godfray 1997; Bernal et al. 1999; Ode & Heinz 2002); dan umur inang (Ruberson & Kring 1993; Goidin & Boivin 2000). Selain itu, alokasi
69 keturunan kemungkinan juga dapat dipengaruhi oleh spesies inang yang digunakan. Nurafiatin (2000) melaporkan bahwa proporsi keturunan betina pada parasitoid T. cojuangcoi akan berbeda bila dibiakkan pada inang berbeda. Proporsi keturunan betina parasitoid T. cojuangcoi lebih tinggi pada telur inang P. xylostella, dibandingkan pada telur inang C. cephalonica atau H. armigera. Tabel 2 Frekuensi berbagai variasi pola urutan peletakan tiga telur pertama, parasitoid T. chilotraeae Pola peletakan telur ??? ??? ??? ??? ??? ??? ???
Frekuensi (kali) 3 inang 11 7 3 1
6 inang
12 inang
24 inang
48 inang
8 3 5 2 1 1 1
7 6 4
5 7 1 2
5 2 9 1
1
Total 25 29 26 8 3 1 1
Nisbah Kelamin Nisbah kelamin (proporsi betina) keturunan dipengaruhi oleh
jumlah
inang ( P = 0,000). Nisbah kelamin akan meningkat seiring bertambahnya inang, hal ini terjadi pada kepadatan satu parasitoid betina (Gambar 5), maupun pada kepadatan dua parasitoid betina (Gambar 6). Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kepadatan satu parasitoid betina, nisbah kelamin pada perlakuan 3 inang berbeda dengan semua perlakuan jumlah inang lainnya. Pada jumlah inang 6, 12, 24 dan 48 tidak berbeda nyata. Pada kepadatan dua parasitoid betina, nisbah kelamin pada perlakuan 3 dan 6 inang berbeda dengan semua perlakuan jumlah
70 inang lainnya. Pada kepadatan inang 12, 24 dan 48 tidak berbeda nyata. Nisbah kelamin yang rendah pada perlakuan jumlah inang rendah, disebabkan karena selalu diletakkannya satu keturunan jantan pada tiga peletakan telur pertama. Sejalan dengan yang dikemukakan Wajnberg (1994), bahwa umumnya pada parasitoid Trichogramma, nisbah kelamin akan bias betina bila jumlah inang meningkat. 0.90
0.90 cd
0.85
bc
c
c
0.85
c
b
d
d
24 I
48 I
0.80 Nisbah kelamin (proporsi betina)
Nisbah kelamin (proporsi betina)
0.80
0.75 a 0.70
0.65 0.60
0.55
0.75 0.70
a
0.65 0.60
0.55
0.50
0.50
0.45 3I
6I
12 I
24 I
48 I
Mean ±SE ±SD
Jumlah inang
Gambar 5 Nisbah kelamin keturunan dari satu induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang
0.45 3I
6I
12 I
Mean ±SE ±SD
Jumlah inang
Gambar 6 Nisbah kelamin keturunan dari dua induk betina yang meletakkan telur pada berbagai kepadatan inang
Bila melihat pengaruh kepadatan parasitoid terhadap nisbah kelamin, berdasarkan uji t, ternyata tidak terdapat pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan kepadatan betina pada masing- masing perlakuan (Tabel 3). Hasil ini sebenarnya bertolak belakang dengan hasil pengamatan pada bagian lain penelitian ini (perlakuan pengaruh kepadatan betina terhadap nisbah kelamin, (Gambar 14), dan tidak sejalan dengan prediksi local mate competition, yang menyatakan, nisbah kelamin akan menurun seiring bertambahnya kepadatan parasitoid. Akan tetapi hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Flanagan et al.(1998) yang menjelaskan bahwa, pada kelompok/kepadatan parasitoid yang kecil (dua parasitoid) maka ternyata nisbah kelamin parasitoid Nasonia vitripennis Walker (Hymenoptera: Pteromalidae) akan ikut meningkat. Tetapi dijelaskan lebih lanjut, hasil ini disebabkan karena faktor ukuran tubuh betina. Betina yang berukuran relatif lebih besar pada suatu kelompok inang, akan meletakkan telur dalam jumlah ya ng banyak, dan biasanya dengan proporsi betina yang lebih tinggi. Karena faktor tersebut akan meningkatkan nisbah kelamin keturunan.
71 Pada penelitian ini, kemungkinan disebabkan karena tidak terjadi superparasitisme oleh betina lain, karena selama percobaan berlangsung, selalu dicegah terjadinya superparasitisme dengan cara menyentuh betina yang akan melakukan superparasitisme dengan menggunakan kuas halus. Superparasitisme diketahui sebagai penyebab menurunnya nisbah kelamin, karena jika terjadi superparasitisme pada suatu inang, umumnya keturunan yang berhasil menjadi imago adalah jantan. Tabel 3 Rata-rata nisbah kelamin (proporsi betina) pada berbagai kepadatan inang dan kepadatan parasitoid Kepadatan inang
Nisbah kelamin pada berbagai kepadatan parasitoid betina (x ± SD)
P
1 parasitoid betina
2 parasitoid betina
3 inang
0,61 ± 0,10a
0,60 ± 0,09a
0,719
6 inang
0,72 ± 0,12a
0,69 ± 0,11a
0,354
12 inang
0,72 ± 0,11a
0,76 ± 0,11a
0,300
24 inang
0,76 ± 0,06a
0,76 ± 0,04a
0,699
48 inang
0,76 ± 0,06a
0,77 ± 0,40a
0,871
Ket : Nilai rataan dan simpangan baku selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0.05
Pengaruh Jumlah Inang dan Kepadatan Parasitoid Terhadap Parasitisasi Analisis sidik ragam menunjukan bahwa pada pemaparan satu parasitoid betina, jumlah inang berpengaruh nyata terhadap persentase inang terparasit (P = 0,000), persentase keturunan betina (P = 0,000) dan persentase keturunan jantan (P = 0,000). Pada pemaparan dua parasitoid betina, jumlah inang berpengaruh nyata terhadap persentase inang terparasit (P = 0,000) dan persentase keturunan betina (P = 0,000), tetapi tidak berbeda nyata pada persentase keturunan jantan (P = 0,210) (Tabel 4). Total inang terparasit semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah inang, baik pada pemaparan satu parasitoid betina maupun pada pemaparan dua parasitoid betina. Akan tetapi, bila dilihat dari persentase inang yang terparasit, menunjukkan bahwa pada perlakuan inang 48, persentase inang terparasit sangat rendah yakni 46,25% pada pemaparan satu parasitoid betina dan 65,52% pada
72 pemaparan dua parasitoid betina. Hasil ini menunjukkan bahwa parasitoid betina mempunyai kemampuan yang terbatas untuk memarasit inang dalam jumlah yang banyak pada jangka waktu 3 jam. Tabel 4. Total inang terparasit, persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai jumlah inang. Kepadatan parasitoid/ inang
Parameter n
Total inang terparasit
Persentase Inang terparasit (%)
Persentase Keturunan betina (%)
Persentase keturunan jantan (%)
1 parasitoid Inang 3
20
55
91,67 ± 14,81a
60,84 ± 9,79a
39,16 ± 9,79a
Inang 6
20
104
86,67 ± 11,60ab
65,33 ± 17,24ab
23,92 ± 11,49b
Inang 12
20
201
83,75 ± 8,75ab
67,63 ± 13,79ab
24,86 ± 11,28b
Inang 24
20
388
81,04 ± 9,41b
75,29 ± 7,69b
21,11 ± 8,04b
Inang 48
20
446
46,25 ± 5,64c
76,87 ± 5,73b
21,09 ± 6,19b
Inang 3
20
59
98,33 ± 7,45a
49,17 ± 16,65a
25,83 ± 15,74a
Inang 6
20
110
91,67 ± 10,12ab
65,92 ± 18,10b
20,50 ± 14,32a
Inang 12
20
217
90,42 ± 6,77b
65,48 ± 18,38b
17,32 ± 12,34a
Inang 24
20
378
78,75 ± 7,144c
74,09 ± 5,86b
20,11 ± 4,94a
Inang 48
20
630
65,52 ± 11,50d
75,35 ± 5,67b
22,16 ± 4,94a
2 parasitoid
Ket : Pada masing-masing perlakuan kepadatan parasitoid, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0,05
Pada pemaparan dua parasitoid betina, menunjukkan bahwa persentase inang terparasit pada setiap perlakuan memang lebih tinggi dibanding pada pemaparan satu parasitoid betina. Akan tetapi, berdasarkan uji t, menunjukkan bahwa kepadatan parasitoid berpengaruh nyata terhadap persentase inang terparasit pada perlakuan 12 inang (P = 0,011) dan 48 inang (P = 0,000) (Tabel 5).
Meskipun
berbeda
nyata,
tetapi
parasitoid
betina
tidak
mampu
mengoptimalkan kemampuan memarasit secara optimum (dalam waktu 3 jam, total inang terparasit tidak menunjukkan angka dua kali lipat angka pada pemarasitan satu parasitoid betina). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran betina lain akan mempengaruhi kegiatan parasitisme. Bertambahnya jumlah inang cenderung memberikan pengaruh pada perilaku induk betina untuk lebih banyak menghasilkan keturunan betina. Sebaliknya
bertambahnya
inang
menyebabkan
kecenderungan persentase
73 keturunan jantan menjadi semakin berkurang. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan,
secara
umum
parasitoid
betina
mempunyai
perilaku
untuk
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk memaksimalkan kemampuan reproduksinya. Bila dibandingkan antar perlakuan kepadatan betina. Berdasarkan uji t, menunjukkan bahwa kepadatan parasitoid berpengaruh nyata terhadap persentase keturunan betina pada perlakuan 3 inang (P = 0,011), dan berpengaruh nyata pada persentase keturunan jantan pada perlakuan 3 inang (P = 0,003) dan 12 inang (P = 0,050). Tabel 5 Persentase inang terparasit, persentase keturunan betina dan persentase keturunan jantan pada berbagai kepadatan parasitoid. Jumlah inang Parameter
3
6
12
24
48
1P
91,67 ± 14,81a
86,67± 11,60a
83,75 ± 8,75a
81,04 ± 9,41a
46,25 ± 5,64a
2P
98,33 ± 74,5a
91,67 ±10,12a
90,42 ± 6,77b
78,75 ± 7,14a
65,52 ± 11,50b
1P
60,84 ± 9,79a
65,33 ± 7,24a
67,63 ± 3,79a
75,29 ± 7,69a
76,87 ± 5,73a
2P
49,17 ± 16,65b
65,92 ± 18,10a
65,48 ± 18,38a
74,09 ± 5,86a
75,35 ± 5,67a
1P
39,16 ± 9,79a
23,92 ± 11,49a
24,86 ± 11,28a
21,11 ± 8,04a
21,09 ± 6,19a
2P
25,83 ± 15,74b
20,50 ± 14,32a
17,32 ± 12,34b
20,11 ± 4,94a
22,16 ± 4,94a
Persentase Inang terparasit (%)
Persentase Keturunan betina (%)
Persentase keturunan jantan (%)
Ket : Pada masing-masing parameter, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0,05 1 P = Kepadatan satu parasitoid betina 2 P = Kepadatan dua parasitoid betina
74 Persentase selfsuperparasitism Analisis sidik ragam menunjukan bahwa jumlah inang berpengaruh nyata terhadap persentase selfsuperparasitim, baik pada pemaparan satu parasitoid betina (P = 0,009), maupun pada pemaparan dua parasitoid betina (P = 0,000) (Tabel 6). Pada pemaparan satu parasitoid betina, meskipun ada pengecualian pada inang 3, tetapi terjadi kecenderungan persentase selfsuperparasitism semakin berkurang seiring bertambahnya jumlah inang (10,75% pada perlakuan 6 inang dan menurun menjadi 2,03% pada perlakuan 48 inang). Pada pemaparan dua parasitoid betina juga terjadi kecenderungan yang sama bahwa persentase selfsuperparasitism semakin berkurang seiring bertambahnya jumlah inang (25,00% pada perlakuan 3 inang, menjadi 2,63% pada perlakuan 48 inang). Tabel 6 Persentase selfsupeparasitsm pada berbagai jumlah inang Kepadatan parasitoid/ inang 1 parasitoid Inang 3
n
Total Inang terparasit
Persentase selfsuperparasitism (%)
20
55
0,00 ± 0,00b
Inang 6
20
104
10,75 ± 18,84a
Inang 12
20
201
7,51 ± 11,32ab
Inang 24
20
388
3,60 ± 4,39ab
Inang 48
20
446
2,03 ± 4,35b
Inang 3
20
59
25,00 ± 23,88a
Inang 6
20
110
13,58 ± 16,04ab
Inang 12
20
217
17,20 ± 16,04ab
Inang 24
20
378
5,81 ± 6,83bc
Inang 48
20
630
2,63 ± 4,015c
2 parasitoid
Ket:
Pada masing-masing perlakuan kepadatan parasitoid, nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0,05
Bila data selfsuperparasitism dilihat secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa persentase selfsuperparasitism berkorelasi positif dengan rasio jumlah
75 inang dan kepadatan parasitoid betina. Hal ini ditunjukkan dari data persentase selfsuperparasitism tertinggi (25,00%) terdapat pada perlakuan jumlah inang rendah yakni inang 3 dengan kepadatan dua parasitoid betina. Bila dibandingkan antara perlakuan kepadatan betina, berdasarkan uji t, pengaruh kepadatan betina ternyata hanya terjadi pada perlakuan 3 dan 12 inang (Tabel 7). Menurut Suzuki et al.(1984)
dalam
Schmidt
(1994),
perilaku
superparasitisme
termasuk
selfsuperparasitism dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain terbatasnya jumlah inang atau kepadatan betina yang tinggi atau karena kualitas inang. Tabel 7 Persentase selfsuperparasitism pada berbagai kepadatan parasitoid Kepadatan inang
Persentase selfsuperparasitism (x ± SD) 1 parasitoid betina
P
2 parasitoid betina
3 inang
0,00 ± 0,00a
25,00 ± 23,88b
0,003
6 inang
10,75 ± 18,84a
13,58 ± 16,04a
0,612
12 inang
7,51 ± 11,32a
17,20 ± 16,04b
0,034
24 inang
3,60 ± 4,39a
5,81 ± 6,83b
0,232
48 inang
2,03 ± 4,35a
2,63 ± 4,015a
0,652
Ket:
Nilai rataan dan simpangan baku selajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji t pada a = 0,05
Perilaku selfsuperparasitism dapat dilakukan induk parasitoid sepanjang peletakan telur (Gambar 7 dan 8). Akan tetapi terdapat kecenderungan bahwa persentase selfsuperparasitism lebih tinggi pada peletakan telur awal. Hal ini diduga karena telur inang yang dipilih oleh parasitoid untuk pertama kalinya, adalah telur inang dengan kualitas yang baik (kemungkinan ukurannya lebih besar dari yang lainnya), sehingga parasitoid betina dapat mengukur bahwa nutrisi yang terdapat dalam inang mampu untuk memenuhi kebutuhan perkembangan beberapa individu keturunan. Mekanisme yang sama juga dapat digunakan untuk menjelaskan kenapa pada perlakuan 3 inang, dari 20 ulangan tidak satupun terjadi selfsuperparasitism. Hal ini kemungkinan juga disebabkan karena faktor ukuran inang. Inang yang ada pada unit perlakuan ini kemungkinan ukurannya relatif normal dan nutrisinya hanya cukup untuk satu keturunan, sehingga induk betina meresponnya dengan hanya meletakkan satu telur. Meskipun ini masih merupakan kesimpulan sementara, karena pada penelitian ini tidak dilakukan pengukuran
76 inang, sementara diketahui bahwa ukuran inang merupakan kriteria penting yang digunakan parasitoid betina Trichogramma selama proses penerimaan inang, termasuk berapa jumlah telur yang akan diletakkan (Schmidt 1994). Pengaruh ukuran inang terhadap perilaku selfsuperparasitism juga dilaporkan terjadi pada parasitoid T. evanessens. T. evanessens hanya akan meletakkan 1 telur pada inang S. cerealella, tetapi bila memarasit pada inang Estigmene acraea Drury yang relatif lebih besar, maka parasitoid betina akan meletakkan 1 sampai 10 telur (Clausen 1940). Menurut Salt (1937) dalam Arthur (1981), terdapat suatu kisaran ukuran inang yang dapat diterima parasitoid Trichogramma, parasitoid betina menggunakan objek yang berbentuk bulat dengan diameter antara 0,22 sampai 4,04 mm.
45.00 35.00
6 inang
30.00
12 inang
Persentase superparasitisme
3 inang
25.00
24 inang
20.00
48 inang
15.00 10.00 5.00 0.00 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 Urutan peletakan telur
Gambar 7 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan satu parasitoid betina
Persentase superparasitisme
45.00
40.00
40.00 3 inang
35.00 30.00
6 inang
25.00
12 inang
20.00
24 inang
15.00
48 inang
10.00 5.00 0.00 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 Urutan peletakan telur
Gambar 8 Persentase selfsuperparasitism sepanjang peletakan telur, pemaparan dua parasitoid betina
Pada perilaku selfsuperparasitism ini, jumlah telur yang diletakkan oleh parasitoid betina T. chilotraeae pada inang C. cephalonica yaitu maksimal dua telur dan cenderung meletakkan individu betina-jantan dibandingkan jantan-jantan atau betina-betina. Hasil ini sejalan dengan laporan Wu dan Nordlund (2000) bahwa pada
parasitoid Anaphes iole Girault (Hymenoptera: Mymaridae),
umumnya meletakkan 2 telur pada setiap kejadian superparasitisme. Perilaku selfsuperparasitism ini dapat dilakukan secara berurutan selama peletakan telur, sampai maksimal dalam tiga kali peletakan (Tabel 8). Perilaku selfsuperparasitism ini sebenarnya merugikan karena keturunan yang dihasilkan adalah individu dengan ukuran yang relatif lebih kecil dari ukuran normalnya. Bila keturunan yang diletakkan adalah betina, maka akan dihasilkan imago betina
77 yang tidak bugar. Selain itu perilaku selfsuperparasitism dianggap
sebagai
pemborosan telur. Namun Godfray (1994) mengatakan, bahwa ada beberapa keuntungan bagi parasitoid yang melakukan selfsuperparasitism. Dua telur dalam satu inang memungkinkan parasitoid mampu mengimbangi sistem pertahanan inang. Selain itu selfsuperparasitism juga merupakan suatu strategi parasitoid untuk menggagalkan terjadinya superparasitisme dari betina lainnya. kedua
kemungkinan
tepat
untuk
menjelaskan
mekanisme
Alasan
terjadinya
selfsuperparasitism pada penelitian ini. Hal ini di dasarkan karena perilaku selfsuperparasitism pada parasitoid T. chilotraeae, pada umumnya terjadi pada peletakan telur awal. Bila alasan ini benar, berarti parasitoid T. chilotraeae memang mempunyai kemampuan untuk mengukur jumlah betina lainnya. Menurut Schmidt (1994) betina mampu mengenali adanya betina lain dengan adanya petunjuk-petunjuk kimia ataupun dengan terjadinya kontak dengan betina lainnya. Tabel 8 Frekuensi berbagai variasi selfsuperparasitism pada peletakan tiga telur pertama parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang, n=20 Pola peletakan telur (? ? )? ? (? ? )? ? (? ? )? ? (? ? )(? ? )? ? (? ? )? (? ? )(? ? )(? ? ) ? ? (? ? ) (? ? )? ? ? (? ? )? ? (? ? )? ? ? (? ? )
3 inang
Frekuensi (kali) 6 inang 12 inang 24 inang 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1
48 inang 2
Ket: ( ) selfsuperparasitism
Secara umum bahwa pengamatan perilaku reproduksi bertujuan untuk lebih memahami perilaku apa yang dilakukan parasitoid untuk tujuan memaksimalkan keberhasilan reproduksi dan keberlangsungan keturunannya nanti, yang secara langsung memberikan arti penting untuk memperbaiki keefektifan pengendalian hama sasaran di lapangan dalam suatu program pengendalian hayati.
78 Efisiensi Pemarasitan pada Berbagai Jumlah Inang Jumlah inang yang dipaparkan berpengaruh nyata terhadap total telur inang terparasit (P = 0,000), rata-rata inang terparasit perhari (P = 0,000) persentase kemunculan imago (P = 0,030) dan lama hidup (P = 0,045). Total jumlah inang terparasit dan rata-rata inang terparasit perhari meningkat seiring bertambahnya jumlah inang. Tidak terdapat korelasi antara jumlah inang terhadap persentase kemunculan imago. Lama hidup menunjukkan kecenderungan semakin singkat seiring bertambahnya jumlah inang (Tabel 9). Tabel 9 Total inang terparasit, rata-rata inang terparasit perhari, persentase kemunculan imago dan lama hidup parasitoid T. chilotraeae pada berbagai jumlah inang Jumlah inang/hari
Total Inang terparasit
Rata-rata inang terparasit/hari 2,00 ± 0,38a
Persentase kemunculan imago 0,97 ± 0,56a
3 inang
13,90 ± 5,94a
6 inang
6,75 ± 2,31a
21,20 ± 6,74a
3,57 ± 0,97b
0,98 ± 0,43a
6,15 ± 2,03ab
12 inang
35,10 ± 14,78b
6,78 ± 0,93c
0,92 ± 0,21ab
5,15 ± 1,90b
24 inang
53,70 ± 18,88c
8,98 ± 2,42d
0,80 ± 0,23b
6,10 ± 1,94ab
48 inang
54,25 ± 10,07c
9,99 ± 2,75d
0,89 ± 0,26ab
4,95 ± 2,31b
Ket:
Lama hidup (hari)
Nilai rataan dan simpangan baku sekolom yang diikuti huruf sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Tukey pada a = 0 ,05
Kecenderungan hubungan linier antara peningkatan jumlah inang dengan total inang terparasit, disebabkan karena jumlah inang yang dipaparkan berbeda. Meski demikian dari hasil analisis juga menunjukkan bahwa perlakuan jumlah inang 24 tidak berbeda nyata dengan jumlah inang 48. Lama hidup parasitoid akan semakin singkat dengan bertambahnya jumlah inang. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori bahwa jika jumlah inang bertambah, maka parasitoid akan memaksimalkan penggunaan semua sumberdaya untuk meletakkan telur dan kemudian mati (Vinson 1994 dalam Khan et al. 2004 ).
Pada parasitoid
synovigenic mempunyai adaptasi untuk menunda produksi telur pada suatu kondisi inang yang rendah. Pada keadaan ini telur yang sudah siap diletakkan akan diserap kembali, dan selanjutnya akan diproduksi bila keadaan sudah
79 memungkinkan, hal inilah yang kemungkinan menyebabkan parasitoid dapat memperpanjang lama hidup pada kondisi inang rendah (Doutt et al.1976). Mekanisme yang terjadi pada parasitoid T. chilotraeae ini cenderung mengikuti asumsi pertama, berdasarkan data jumlah inang terparasit pada setiap hari pemaparan (Gambar 9). Pada perlakuan jumlah inang banyak (48 inang), menunjukkan bahwa pada hari pertama pemaparan, parasitoid akan langsung memaksimalkan kemampuan untuk memarasit dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, sedangkan pada hari kedua pemaparan, jumlah inang terparasit menurun tajam. Secara umum peletakkan telur semakin berkurang seiring bertambahnya umur parasitoid.
Jumlah inang terparasit
25 3 Inang
20
6 Inang
15
12 Inang
10
24 Inang 48 Inang
5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11
Hari pengamatan
Gambar 9 Grafik jumlah inang terparasit perhari
Hasil yang diperoleh tersebut memberikan informasi penting yang dapat digunakan untuk tujuan pelepasan parasitoid di lapangan dalam suatu program pengendalian hayati dengan metode inundatif.
Grafik pada Gambar 9,
menunjukkan bahwa parasitoid T. chilotraeae mempunyai kemampuan memarasit yang terbatas, baik dalam jumlah inang yang dapat diparasit, maupun dalam hal waktu pemarasitan efektif. Parasitoid T. chilotraeae ini hanya mampu memarasit rata-rata 24 inang pada hari pertama. Setelah hari kedua, jumlah inang yang mampu diparasit sudah menurun, yakni rata-rata 11 inang. Kemampuan memarasit ini akan terus menurun seiring bertambahnya umur parasitoid. Oleh karena itu, pelepasan massal parasitoid sebaiknya tidak dilakukan dalam sekali
80 saja, akan tetapi dilakukan secara berjadwal, minimal dalam jangka waktu setiap 3 hari sekali, tergantung keadaan hama di lapangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah inang berpengaruh terhadap nisbah kelamin total (proporsi betina) yang dihasilkan
(P = 0,000). Nisbah
kelamin akan semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah inang (Gambar 10). Rata-rata nisbah kelamin pada perlakuan 3 inang adalah 0,35, berbeda dengan semua perlakuan lainnya, 6 inang (0,61); 12 inang (0,76), 24 inang (0,76) dan 48 inang (0,80). Perlakuan inang 12 tidak berbeda dengan perlakuan inang 24 dan 48. 0.85 b
b
6i
12 i
0.80
bc
c
Nisbah kelamin (proporsi betina)
0.75 a 0.70 0.65 0.60 0.55 0.50 0.45 0.40 3i
24 i
48 i
Mean ±SE ±SD
Jumlah inang
Gambar 10 Nisbah kelamin total parasitoid betina pada berbagai jumlah inang Bila data nisbah kelamin yang dihasilkan induk betina dilihat secara keseluruhan (n = 40: data diperoleh dari data nisbah kelamin pada perlakuan pola peletakan telur dan perlakuan efisiensi pemarasitan), dapat dikatakan bahwa secara umum nisbah kelamin pada perlakuan jumlah inang sedikit (3, 6 dan 12 inang) lebih beragam/tersebar dibandingkan pada perlakuan jumlah inang banyak (24 dan 48 inang). Pada perlakuan 3 inang, nisbah kelamin berkisar 0,19 sampai 0,80, dengan kecenderungan lebih banyak pada kisaran 0,50 sampai 0,60, sementara pada perlakuan 6 inang, dengan rentang 0,30 sampai 0,88, dan kecenderungan lebih besar pada kisaran lebih dari 0,56. Pada pelakuan 12 inang, dengan rentang 0,34 sampai 0,88, dengan kecenderungan pada 0,71 sampai 0,80. Pada perlakuan 24 dan 48 inang mempunyai kisaran data yang sempit, dalam arti data nisbah kelamin pada kedua perlakuan ini tidak terlalu beragam, kisaran 0,52
81 sampai 0,83 pada perlakuan 24 inang, dan 0,59 sampai 0,92 pada perlakuan 48
Nisbah kelamin (proporsi betina)
inang (Gambar 11).
1.00 0.80
3 inang
0.60
6 inang 12 inang
0.40
24 inang
0.20
48 inang
0.00 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Individu ke-n
Gambar 11 Sebaran data nisbah kelamin parasitoid betina pada berbagai jumlah inang
Berkurangnya jumlah inang terparasit setiap hari, juga diikuti oleh semakin berkurangnya proporsi betina, bahkan pada hari kesembilan keturunan betina sudah tidak dihasilkan lagi (Gambar 12). Hasil pengamatan inilah yang menunjukkan terjadinya kehabisan sperma pada hari- hari terakhir peletakan telur.
Proporsi jantan/betina
1.20 1.00 0.80 Jantan
0.60 0.40
Betina 0.76
0.66
0.20
0.53
0.48
0.35
0.45 0.26
0.17
0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
0.00 9
Hari pengamatan
Gambar 12 Proporsi keturunan betina pada setiap hari pengamatan selama masa hidup induk betina.
82 Waktu Pemarasitan Paling Efektif Waktu pemarasitan paling efektif pada parasitoid T. chilotraeae yang berumur satu hari, hanya berlangsung pada tiga jam pertama pada hari pertama, dengan rata-rata jumlah inang yang dapat diparasit 21. Pada hari berikutnya, meski masih terjadi pemarasitan, akan tetapi jumlah inang yang dapat diparasit menurun drastis, dengan waktu pemarasitan efektif tidak berlangsung pada jam tertentu
(Gambar 13).
Berdasarkan hasil ini dan pemaparan diatas, dapat
dikatakan untuk tujuan efisiensi pada perbanyakan massal di laboratorium, maka rasio jumlah inang 24 dengan satu betina, akan lebih efisien bila dibandingkan dengan rasio 48 inang
dengan satu parasitoid, dan sebaiknya pemaparan
Jumlah inang terparasit
dilakukan pada parasitoid yang telah berumur satu hari. 25 20
3 jam pertama 3 jam kedua
15
3 jam ketiga
10
15 jam selanjutnya
5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Hari pengamatan
Pengaruh Betina inang Terhadap Nisbah GambarKepadatan 13 Grafik jumlah terparasit padaKelamin setiap 3 Keturunan jam pemaparan Hasil analisis menunjukkan bahwa kepadatan betina berpengaruh nyata terhadap nisbah kelamin (P = 0,000). Nisbah kelamin semakin berkurang seiring bertambahnya kepadatan induk betina pada suatu kelompok inang yang tetap. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan hanya kepadatan satu betina yang berbeda dengan perlakuan kepadatan betina lainnya. Nisbah kelamin tidak berbeda nyata pada perlakuan kepadatan dua sampai empat betina (Gambar 14).
83
0.95 0.90
a
Nisbah kelamin (proporsi betina)
0.85 b
0.80 b b
0.75 0.70 0.65 0.60 0.55 0.50 1B
2B
3B
4B
Mean ±SE ±SD
Kepadatan betina
Gambar 14 Nisbah kelamin keturunan T.chilotraeae pada berbagai kepadatan parasitoid
Parasitoid T. chilotraeae mempunyai pola reproduksi haplodiploidi, dimana penentuan kelamin keturunan diatur oleh induk betina berdasarkan keadaan lingkungan. Faktor jumlah betina dalam suatu patch merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan induk betina untuk mengalokasikan keturunan haploid (jantan) atau diploid (betina), sehingga berpengaruh terhadap nisbah kelamin keturunan. Hasil penelitian menunjukkan induk betina parasitoid T. chilotraeae ini mampu merespon kehadiran betina lainnya pada suatu kelompok inang. Hal ini ditunjukkan dari data nisbah kelamin betina yang dihasilkan, yakni rata-rata 0,80 pada perlakuan kepadatan satu betina, menjadi 0,67 pada kepadatan dua betina, dan 0,64 pada kepadatan empat betina. Hasil ini, secara kualitatif cenderung sejalan dengan model Local Mate Competition (LMC) Hamilton (1976), tapi secara kuantitatif terlihat lebih rendah. Meskipun demikian, pada penelitian ini terdapat keterbatasan untuk lebih menekankan bahwa model reproduksi parasitoid T. chilotraeae ini mengikuti teori LMC. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya unit perlakuan kepadatan betina, sehingga prediksi nisbah kelamin akan mencapai nilai maksimal yakni 0,5 (jantan : betina = 1 : 1) pada kepadatan 25 betina sesuai dengan model LMC tidak dapat diamati. Sebagai pembanding, beberapa penelitian lain juga melaporkan secara kualitatif model LMC ini berlaku pada ektoparasitoid soliter D. basalis (Gauthier
84 et al. 1997) dan parasitoid L. heterotoma (Debout et al. 2002). Berdasarkan model LMC, dapat dijelaskan bahwa bila hanya terdapat satu induk betina pada suatu kelompok inang (patch), maka strategi terbaik yang biasa dilakukan betina adalah dengan meletakkan sejumlah keturunan jantan yang diperkirakan cukup untuk membuahi semua saudara betina yang lain. Pada parasitoid D. basalis, proporsi jantan 0,25 merupakan jumlah yang cukup untuk membuahi semua saudara betina yang lainnya (Gauthier et al. 1997). Sedangkan pada parasitoid T. chilotraeae pada penelitian ini, proporsi jantan 0,2 merupakan proporsi jantan yang cukup untuk membuahi semua saudara betina yang lain dari satu induk. Bila dilihat dari data rata-rata jumlah inang terparasit pada pemaparan 24 jam, yakni sebanyak 24, maka jumlah keturunan jantan yang harusnya dihasilkan adalah lima. Beberapa penjelasan yang menunjukkan bagaimana proporsi keturunan betina akan menurun bila pada suatu kelompok inang terdapat beberapa betina lainnya. Menurut Godfray (1994), mekanisme yang bisa terjadi adalah meningkatnya jumlah parasitoid betina sedangkan jumlah inang tetap, akan menyebabkan inang yang tersedia menjadi terbatas. Sebagai akibatnya, maka terjadi superparasitisme, pada keadaan ini biasanya imago yang berhasil keluar adalah imago jantan. Selain itu, umumnya parasitoid akan meletakkan keturunan jantan pada awal peletakan telur. Penjelasan Colazza
dan Wajnberg (1998)
menunjukkan bahwa parasitoid betina secara signifikan akan menggunakan strategi ”jantan pertama” pada suatu rangkaian urutan peletakan telur. Akan tetapi mekanisme ini tidak tepat untuk parasitoid T. chilotraeae ini, karena berdasarkan pengamatan pola peletakan telur, parasitoid T. chilotraeae ini justru meletakkan keturunan betina pada awal rangkaian peletakan telur.
Oleh karena itu,
mekanisme pertama kemungkinan lebih tepat untuk menjelaskan strategi pada parasitoid T. chilotraeae karena parasitoid ini mempunyai kecenderungan untuk melakukan superparasitisme, selain itu terdapat korelasi positif antara jumlah inang yang rendah dengan peningkatan kepadatan parasitoid betina terhadap meningkatnya perilaku selfsuperparasitism. Mekanisme lain yang kemungkinkan menyebabkan perubahan alokasi kelamin keturunan sebagai respon terhadap meningkatnya kepadatan betina adalah, (1) mekanisme cepat atau lambatnya penemuan inang yang siap diparasit;
85 (2) terjadinya gangguan oleh betina lain pada saat parasitoid betina sedang melakukan peletakan telur; (3) tanggapan parasitoid betina terhadap petujuk kimia yang dikeluarkan oleh betina lainnya (Gauthier et al. 1997). Pada parasitoid T. chilotareae pada penelitian ini, kemungkinan mekanisme yang terjadi adalah karena adanya petunjuk kimia atau karena gangguan fisik oleh betina lain. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sering terjadi gangguan dari betina lain pada saat parasitoid betina sudah siap melakukan peletakan telur. Jakson (1966) dalam Gauthier et al (1997) menjelaskan bahwa parasitoid betina mempunyai perilaku untuk menunda pelepasan aliran spermatozoa dari spermateka selama fase pembuahan bila terjadi gangguan, sebagai akibatnya akan meningkatkan jumlah telur yang tidak dibuahi. Dari keseluruhan penelitian ini, secara umum dapat dikatakan bahwa parasitoid T. chilotraeae berpotensi sebagai salah satu pilihan
yang dapat
digunakan untuk pengendalian hayati hama P. Xylostella. Hal ini didasarkan dari data kemampuan parasitoid T. chilotraeae ini untuk dapat menaksir jumlah inang maupun
kepadatan
betina
lainnya
dengan
mengatur
alokasi
kelamin
keturunannya. Selain itu, kecenderungan peletakan keturunan betina pada awal rangkaian peletakan telur dapat menjadi indikator kebugaran parasitoid ini di lapangan.
Keturunan
betina
pada
awal
peletakan
telur
memungkinkan
keberlanjutan keturunan, sehingga dapat diasumsikan bahwa parasitoid ini dapat mapan di lapangan dan bisa dilakukan program pengendalian hayati dengan metode inokulatif. Bila melihat keperidiannya, maka program pengendalian hayati dapat dilakukan dengan metode inundatif, karena parasitoid ini berpotensi untuk dikembangbiakan secara massal di laboratorium sebagai bagian dari penerapan metode inundatif. Meskipun demikian, beberapa faktor yang diabaikan pada penelitian ini sebenarnya dapat mempengaruhi berbagai perilaku dan ciri-ciri kebugaran parasitoid yakni: ukuran inang, umur inang, inang yang sebelumnya sudah terparasit serta umur imago. Selain itu, penelitian ini hanya menggunakan inang pengganti C. cephalonica. Untuk kedepannya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan inang asli yaitu inang serangga sasaran di lapangan.