37
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi BAL dari Susu Kambing Prinsip isolasi BAL adalah mendapatkan koloni tunggal yang akan diuji untuk mengetahui sifat-sifat BAL. Sebanyak 33 isolat BAL telah berhasil diisolasi dari susu kambing, masing-masing 16 isolat dari susu kambing PE dan 17 isolat dari susu kambing PESA. Karakteristik morfologi isolat BAL diketahui melalui pewarnaan Gram. Hasil pengujian menunjukkan 33 isolat yang berasal dari susu kambing PE dan PESA adalah bakteri Gram positif dengan 26 isolat berbentuk batang, 1 isolat berbentuk batang pendek, 3 isolat berbentuk bulat oval, dan 3 isolat berbentuk bulat. Hasil pewarnaan Gram dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Morfologi isolat BAL dari susu kambing PE dan PESA dengan pewarnaan Gram No. Asal Isolat
Kode Isolat
Pewarnaan
Bentuk
Gram 1.
PE
1,2,3,5,6,9,11,19,
Positif
Batang
22, 23,28,31 dan 32 2.
PE
13,29
Positif
Bulat oval
3.
PE
26
Positif
Bulat
4
PESA
4,8,10,12,14,15,1
Positif
Batang
6,18,20,21,24,25 dan 33 5.
PESA
17
Positif
Bulat oval
6.
PESA
K11,34
Positif
Bulat
7.
PESA
35
Positif
Batang pendek
Keterangan : PE (Peranakan Ettawa), PESA (Peranakan Saanen)
Klasifikasi spesies BAL susu kambing berdasarkan karakteristik fisiologis terdapat pada Tabel 4.2.
38
38
Tabel 4.2 Karakteristik fisiologi isolat BAL dari susu kambing o
No.
Asal isolat
Suhu ( C)
Kode Isolat (TW)
Katalase
Kadar garam (%)
pH
10
37
45
4
0
6.5
4.4
7.0
9.6
Prod CO2
Prod dekstran
Prod NH3
1
PE
1
-
+
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
-
2
PE
2
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
3
PE
3
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
4
PE
5
-
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
-
5
PE
6
-
-
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
-
6
PE
9
-
-
+
+
+
+
+
-
+
-
+
-
-
7
PE
11
-
+
+
+
+
+
+
-
+
+
-
-
-
8
PE
13
-
-
+
+
+
+
+
-
+
+
-
-
-
9
PE
19
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
10
PE
22
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
11
PE
23
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
12
PE
26
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
13
PE
28
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
14
PE
29
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
15
PE
31
-
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
-
16
PE
32
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
Identifikasi awal Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus homofermentatif Streptococcus homofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Streptococcus homofermentatif Lactobacillus homofermentatif Streptococcus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus homofermentatif
39
Tabel 4.2 Karakteristik fisiologi isolat BAL dari susu kambing (lanjutan) o
No.
Asal isolat
Kode Isolat (TW)
Katalase
17
PESA
4
18
PESA
19
Suhu ( C)
Kadar garam (%)
pH
Prod CO2
Prod dekstran
Prod NH3
10
37
45
4
0
6.5
4.4
7.9
9.6
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
8
-
-
+
-
+
+
+
+
+
+
-
-
-
PESA
10
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
20
PESA
12
-
-
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
-
21
PESA
14
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
22
PESA
15
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
23
PESA
16
-
-
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
-
24
PESA
17
-
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
-
25
PESA
18
-
-
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
-
26
PESA
20
-
-
+
+
+
+
+
-
+
+
+
-
-
27
PESA
21
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
28
PESA
24
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
29
PESA
25
-
-
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
-
30
PESA
K11
-
+
+
+
+
+
+
-
+
+
-
-
-
31
PESA
33
-
-
+
-
+
+
+
+
+
+
+
-
-
32
PESA
34
-
+
+
-
+
+
+
-
+
+
+
-
-
33
PESA
35
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
Identifikasi awal
Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Streptococcus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Streptococcus homofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Streptococcus heterofermentatif Lactobacillus heterofermentatif
39
40
Identifikasi BAL asal susu kambing semua bersifat katalase negatif, berbentuk batang atau bulat. Menurut Axelsson et al. (2004), BAL merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang atau bulat dan bersifat katalase negatif. Klasifikasi spesies BAL berdasarkan karakteristik fisiologi antara lain toleransi terhadap garam, pH, suhu dan konfigurasi asam laktat. Karakteristik juga dapat dilakukan berdasarkan fenotipik/biokimia dengan pengujian fermentasi karbohidrat, hidrolisis arginin, pembentukan aseton (Voges-Proskauer test), toleransi terhadap garam empedu, tipe hemolisis, produksi polisakarida ektraseluler, adanya enzim tertentu, karakteristik pertumbuhan dalam susu dan tipe serologi. Semua isolat BAL tumbuh pada suhu 37oC (100%), 24 isolat tumbuh pada suhu 45oC (72,7%), hanya 18 isolat (54,5 ) yang tumbuh pada suhu 10oC. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri adalah suhu. Berdasarkan suhu pertumbuhannya, maka bakteri dikelompokan menjadi 3 yaitu termofil dengan kisaran suhu minimum 25-45 oC, mesofil (10-20oC) dan psikrofil (-5 – 0oC) (Fardiaz 1992). Isolasi BAL dari keju yang diuji terhadap parameter suhu dan garam, hasilnya semua BAL jenis lactococci dapat tumbuh pada suhu 10, 30 dan 40oC dan kadar garam 1, 2 dan 4 % (Ayad et al. 2006). Elgandi et al. (2008) menyatakan bahwa ketahanan 14 isolat asal susu segar dapat tumbuh pada suhu 45oC tetapi tidak pada suhu 15oC. Pengujian toleransi BAL terhadap kadar garam 4,0 dan 6,5 % menunjukkan bahwa semua isolat BAL yang diuji mampu tumbuh. Ayad et al. (2006) menyatakan bahwa strain Lc. subsp cremoris mempunyai toleransi lebih baik dibandingkan strain lactococci terhadap garam 4,0 dan 6,5 %. Semua isolat BAL tumbuh pada pH alkali (pH 9,6) tetapi hanya 18 isolat (54,5 %) yang tumbuh pada pH asam (pH 4,4). Duan et al. (2008) menyatakan bahwa BAL yang diisolasi dari keju tradisional Tibet, mampu hidup pada kisaran pH 3,0 sampai 9,0, sedangkan BAL asal usus tikus mampu hidup pada kisaran pH 4,4 sampai dengan 9,6 (Patil et al. 2006). Bakteri asam laktat hasil isolasi dari Ergo (makanan fermentasi tradisional Ethiopia) mempunyai kisaran hidup pada pH 4,1 sampai 5,0 (Assefa et al. 2008).
41
Menurut El Soda et al. (2003) kelompok termofilik lactobacilli dapat tumbuh pada suhu 45oC, tetapi tidak pada suhu 10oC. Kelompok mesofilik tidak tumbuh pada suhu 45oC tetapi tumbuh pada suhu 10oC. Kelompok mesofilik lactococci tumbuh pada suhu 10oC tetapi tidak pada suhu 45oC. Kelompok termofilik cocci tumbuh pada suhu 45oC tetapi tidak tumbuh pada suhu 10oC. Kelompok enterococci tumbuh pada suhu 45 dan 10oC. Berdasarkan produksi CO2 terdapat 20 isolat (61%) bersifat heterofermentatif dan 13 isolat (39%) bersifat homofermentatif. Hasil serupa juga terjadi pada isolat BAL asal susu kuda Sumbawa segar dimana lebih banyak ditemukan BAL penghasil gas (heterofementatif BAL) (Sujana et al. 2008), Duan et al. (2008) mendapatkan 11 isolat heterofermentatif (78,6%) dan 3 isolat homofermentatif (27, 3%) dari isolasi keju tradisional Tibet. Jumlah BAL homofermentatif lebih banyak ditemukaan pada susu sapi, keju dan susu fermentasi (Abdulah & Oman 2010). Menurut Axelsson (2004) berdasarkan pola fermentasinya, BAL dibagi menjadi tiga kelompok yaitu homofermentatif obligatif, heterofermentatif fakultatif dan heterofermentatif obligat BAL. Hasil pengujian produksi NH3 arginin memperlihatkan semua isolat tidak memberikan hasil positif. Hal tersebut menguntungkan karena produksi NH3 akan memunculkan bau amonia yang tidak diinginkan pada produk fermentasi. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian Patil et al. (2006) yang menyatakan semua isolat BAL hasil isolasi dari usus tikus mampu memproduksi NH3 dari arginin dan asam dari glukosa. Tserovska et al. (2002) menjelaskan BAL dari keju dan susu, 60 % diantaranya mampu memproduksi NH3 dari arginin. Isolat BAL yang berbentuk bulat juga tidak menghasilkan dekstran yang dapat disimpulkan isolat tidak termasuk dalam kelompok Leuconostoc. Salah satu ciri Leuconostoc adalah produksi dekstran yang tervisualisasikan sebagai mukoid. Dekstran didefinisikan sebagai poliglukosakarida larut air yang terbentuk dari ikatan α1-6 glukosidik dengan proporsi 0-20 % (Sarwat et al. 2008). Isolat BAL yang diidentifikasi dengan API 50 CH hanya delapan yaitu isolat BAL yang memiliki ketahanan yang baik terhadap garam empedu yaitu isolat TW 2,
42
3, 4, 10, 14, 26, 28 dan 32. Kedelapan isolat tersebut bersifat fermentatif positif pada jenis gula ribosa, glukosa, fruktosa, manosa, N-asetilglukosamin, amigdalin, arbutin, eskulin, salisin, selubiosa, maltosa, laktosa, threhalosa dan B-getibiosa. Kemampuan isolat BAL memfermentasi oligosakarida merupakan salah satu sifat probiotik yang diinginkan karena kandungan monosakarida pada pencernaan akan berpengaruh terhadap kehidupan mikroba pada usus (Kaplan & Hutkins 2000). Isolat kode TW 2, 3 dan 32 teridentifikasi sebagai Lactobacillus rhamnosus dengan tingkat kesamaan masing-masing 99,9; 99,3 dan 99,9%. Isolat kode TW4 teridentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum dengan tingkat kesamaan 89,2 % sedangkan isolat kode TW10, 14, 26 dan 28 teridentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum dengan tingkat kesamaan masing-masing 99,9 % (Lampiran 1). SIMPULAN Penelitian ini telah berhasil mengisolasi 16 isolat BAL dari susu kambing PE dan 17 isolat BAL dari susu kambing PESA. Semua BAL bersifat katalase negatif, Gram positif berbentuk batang atau bulat. Semua isolat BAL mampu tumbuh pada suhu 37oC, tetapi hanya 72,7 % yang tumbuh pada suhu 45oC dan 54,5 % tumbuh pada suhu 10oC. Berdasarkan produksi gas CO2 dari glukosa 61% BAL adalah heterofermentatif dan 39 % homofermentatif. Semua isolat mampu bertahan pada media garam NaCl (w/v) 4 dan 6,5 %, tidak menghasilkan NH3 dari arginin, dan tidak menghasilkan dekstran. Isolat teridentifikasi sebagai L. rhamnosus dan L. plantarum. DAFTAR PUSTAKA Axelsson L. 2004. Lactic acid bacteria: Classification and physiology. Di dalam: Salminen, S and Von Wright A. (Eds.). Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects. Marcel Dekker Inc, New York. 1-73. Abdullah SA,Osman MM. 2010. Isolation and identification of lactic acid bacteria from raw cow milk,White Cheese and Rob in Sudan. Pakist J Nutr 9 : 12031206.
43
Assefa E, Beyene F, Santhanam A. 2008. Isolation and characterization of inhibitory substance producing lactic acid bacteria from Ergo Ethiopian traditional fermented milk. Livest Res Rur Dev 20 : 123-129. Ayad EHE, Nashat S, El-Sadek N, Metwaly H, El-Soda M. 2004. Selection of wild lactic acid bacteria isolated from traditional Egyptian dairy products according to production and technological criteria. Food Microbiol 21 : 715725. Ayad EHE, Omran N, El-Soda M. 2006. Characterisation of lactic acid bacteria isolated from Artisanal Egyptian Ras cheese. Lait 86 : 317-331. Duan Y, Tan Z, Wang Y, Li Z, Li Z, Qin G, Huo Y, Cai Y. 2008. Identification and characterization of lactic acid bacteria isolated from Tibetan Qula cheese. J Gen Appl Microbiol 54 : 51- 60. Elgandi Z, Abdel Gadin WS, Dirar NA. 2008. Isolation and identification of lactic acid bacteria and yeast from raw milk in Khartoum State (Sudan). Res J Microbiol 3 : 163-168. El Soda M, Ahmed N, Omran N, Osman G, Morsi A. 2003. Isolation, identification and selection of lactic acid bacteria cultures for cheesemaking. Emir J Agric Sci 15 : 51-71. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT Gramedia, Jakarta. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. Academic Press, Inc, New York. Kaplan H, Hutkins RW. 2000. Fermentation of fructooligosaccharides by lactic acid bacteria and bifidobacteria. Appl Env Microbiol 66 : 2682-2684. Makinem AM, Bigret M. 2004. Industrial use and production lactic acid bacteria. Di dalam : Salminen.S, Wright and Ouwehand (Eds). Lactic Acid Bacteria : Microbiological and Functional Aspects, 3 th edition. Marcel Dekker Inc, New York. Patil M, Pal A, Pal V, Yaddula RK. 2006. Isolation of bacteriocinogenic lactic acid bacteria from rat intestine. J Cult Coll 5 : 58-63. Prescott H. 2002. Laboratory Exercises in Microbiology. Fifth edition. McGrawHill Companies. Sarwat F, Ali S, Qader, Aman A, Ahme N. 2008. Production and characterization of a unique dextran from an Indigenous Leuconostoc mesenteroides CMG713. Int J Biol Sci 4 : 379-386.
44
Sujaya N, Ramona Y, Widarini NP, Suariani NP, Utama Dwipayanti NM, Nocianitri KA, Nursini NW. 2008. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari susu kuda Sumbawa. J Vet 9 : 52-59. Tserovska L, Stefanova S, Yordanova T. 2002. Identification of lactic acid bacteria isolated from katyk, goat’s milk and cheese. J Cultr Coll 3 : 48- 52. Walstra P, Geurts TJ, Noomen A, Jellema A, Bookel MAS. 1999. Dairy Technology: Principles of Milk Properties and Processes. New York : Marcel Dekker, Inc
45
5. KARAKTERISTIK IN VITRO PROBIOTIK BAL INDIGENUS ASAL SUSU KAMBING (In Vitro Characteristics of Indigenous LAB Probiotic from Goat Milk) In vitro characteristic is one of criteria for probiotic as functional foods. The objective of the study was to determine in vitro characteristics of lactic acid bacteria (LAB) obtained from goat milk, which included viability of LAB under low pH and bile salt of gastrointestinal tracts conditions, antimicrobial properties, and ability of LAB to attach on intestinal mucosa. A total of 18 indigenous isolates from goat milk were tested for their viability under low pH (2.0; 2.5; and 3.2); bile salt condition (0.3%); antibacterial properties against Salmonella Typhimurium (ATCC 14028), Escherichia coli (ATCC 8739), Bacillus cereus (ATCC 13061), Staphylococcus aureus (ATCC 25923), and Pseudomonas aeruginosa (ATCC 9027) and the ability of LAB to attach on intestinal mucosa (duodenum, jejunum, ileum, caecum, and colon). Results showed that all 18 isolates were able to withstand low pH with decreasing viability less than 1 log cfu ml-1, 8 isolates were able to withstand bile salt with decreasing viability 1-3 log cfu ml-1, 8 isolates were able to slow down the growth of Gram negative bacteria, and 5 isolates were able to attach on intestinal mucosa. In conclusion, isolate L. rhamnosus TW2, L. plantarum TW4 and L. plantarum TW14 possess excellent probiotic characteristics in vitro. Key words: bile salt, in vitro, LAB, L. rhamnosus TW2, L. plantarum TW4, L. plantarum TW14, pH PENDAHULUAN Kesadaran masyarakat akan pola konsumsi pangan sehat, termasuk salah satu faktor pendorong berkembangnya produk pangan fungsional. Persyaratan sebagai pangan fungsional antara lain mempunyai peran fisiologis dan dapat dikonsumsi layaknya pangan. Salah satu fungsi pangan fungsional adalah memelihara keseimbangan mikroflora usus dan mencegah terjadinya infeksi. Probiotik dan prebiotik termasuk dalam kelompok pangan fungsional, karena mempunyai peran fisiologis. Probiotik dapat memberikan keuntungan apabila dikonsumsi oleh manusia dan hewan dalam keadaan hidup dengan jumlah yang cukup (kisaran 6 log cfu g-1) dan direkomendasikan untuk mengonsumsi 8-9 log cfu dalam setiap porsi untuk memperoleh manfaat kesehatan (Araújo et al. 2010). Menurut Ishibashi dan
46
Shimamura (1993) probiotik sebagai pangan fungsional minimal mengandung 7 log cfu g-1 dan sebaiknya dikonsumsi lebih dari 100 g/hari. Menurut Jayamanne dan Adams (2006) untuk mendapatkan manfaat kesehatan, jumlah probiotik yang tersedia adalah 8-9 log cfu dalam 100 g atau 100 ml makanan. Tingginya jumlah BAL probiotik yang harus dikonsumsi karena mikroba tersebut harus mampu bertahan melewati kondisi lambung dan saluran pencernaan. Persyaratan Probiotik (FAO/WHO 2002) adalah (1) aman (GRAS), (2) mampu bertahan selama proses pengolahan dan penyimpanan, (3) tahan terhadap asam dan garam empedu, (4) dapat menempel pada inangnya dan (5) mempunyai aktivitas antagonis terhadap bakteri patogen.
Pengembangan pangan fungsional sejalan
dengan penggunaan BAL sebagai mikroba probiotik. Bakteri asam laktat probiotik diaplikasikan pada beberapa produk olahan seperti yogurt probiotik (Maheswari et al. 2008), yogurt dalam bentuk granula (Lin et al. 2006) dan keju probiotik menggunakan starter L. paracasei (Gardiner et al. 1998). Penelitian ini bertujuan untuk menguji BAL hasil isolasi dari susu kambing terhadap sifat-sifat probiotik secara in vitro, yaitu ketahanan BAL terhadap pH rendah dan kondisi garam empedu saluran pencernaan, aktivitas antibakteri pada beberapa bakteri uji dan kemampuan BAL menempel pada mukosa usus. METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan utama pada penelitian ini adalah 18 isolat BAL indigenus susu kambing, dari jenis Peranakan Ettawa (PE) dan jenis Peranakan Saanen (PESA). Media yang digunakan adalah MRS broth dan de-Man Rogosa Sharp Agar, Tryptic Soy Broth, Muller Hinton Agar. Pengujian in vitro dilakukan dengan menggunakan HCl 0.1 N, garam empedu oxgall, dan Phosphat Buffer Saline (PBS). Bahan lain adalah usus tikus bagian duodenum, jejunum, ileum dan sekum. Bakteri uji adalah S. Typhimurium (ATCC 14028), E. coli (ATCC 8739), B. cereus (ATCC 13061), S. aureus (ATCC 25923), dan P. aeruginosa (ATCC 9027).
47
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, autoklaf, sentrifus, vortex, lemari pendingin, timbangan digital, freeze drier, dan seperangkat alat pengujian SEM tipe JSM-5310LV JEOUL Japan. Metode Uji ketahanan BAL terhadap pH Rendah dan Garam Empedu (Lin et al. 2006) Uji ketahanan pH rendah dilakukan dengan menggunakan media PBS yang diatur pHnya menjadi 2,0; 2,5 dan 3,2 menggunakan HCl 0,1 N dan diinkubasi selama 3 jam pada suhu 37oC. Jumlah BAL dihitung sebelum dan sesudah inkubasi. Pengujian terhadap garam empedu dilakukan dengan media MRSB yang mengandung garam empedu 0,3 % (oxgall), sebagai kontrol adalah MRSB tanpa garam empedu, kemudian kedua medium tersebut diinkubasi selama 12 jam pada suhu 37oC. Jumlah sel dihitung dengan metode tuang menggunakan MRSA. Setiap pengujian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan secara duplo. Aktivitas Antibakteri Metode Difusi Sumur (Liasi et al. 2009) Kultur BAL sebanyak 20 ml dipekatkan dengan freeze drier sampai berbentuk konsentrat dan apabila akan diuji dicairkan kembali menjadi 2 ml. Kultur bakteri S. Typhimurium, E. coli, B. cereus, S. aureus, dan P. aeruginosa dipelihara dan disimpan pada suhu 5oC dan disegarkan kembali setiap minggu sebagai kultur stok. Kultur stok diencerkan sampai populasi 6 log cfu ml-1. Kultur siap diuji untuk aktivitas antibakteri. Sebanyak 1 ml kultur bakteri uji populasi 6 log cfu ml-1 di masukkan ke dalam cawan petri dan ditambahkan Mueller Hinton Agar 20 ml (Savagado et al. 2004). Agar dalam cawan dibiarkan mengeras dan dibuat lubang berdiameter 5 mm. Sebanyak 50 μl kultur BAL dimasukkan ke dalam lubang sumur dan dibiarkan pada suhu 8oC selama 30 menit. Setelah diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam, kemudian zona areal bening yang terbentuk di sekeliling sumur diukur menggunakan jangka sorong sebanyak tiga kali ditiga tempat yang berbeda dan hasilnya dirataratakan. Setiap pengujian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan secara duplo.
48
Uji Penempelan pada Usus Tikus (Nitisinprasert et al. 2006, Anggraeni 2010, dan Ali et al. 2009) Persiapan suspensi BAL (Nitisinprasert et al. 2006) Isolat BAL L. rhamnosus (TW2, TW32) dan L. plantarum (TW4, TW14 dan TW28) ditumbuhkan 24 jam dalam media MRSB, kemudian kultur bakteri dipanen dengan cara disentrifus pada 5000 rpm selama 15 menit. Endapan yang diperoleh dicuci dengan larutan PBS kemudian disuspensikan ke dalam larutan PBS sampai mencapai minimal 9 log cfu ml-1. Persiapan usus tikus (Anggraeni 2010) Usus tikus galur Sprague Dawley berumur dua bulan dibelah dan dicuci dengan larutan PBS sebanyak tiga kali sampai bersih. Jumlah awal bakteri pada masing-masing bagian usus di swab dengan luasan 1 cm2, kemudian dimasukkan dalam larutan pengencer dan divorteks selama 1 menit. Jumlah total BAL dihitung dengan metode hitungan cawan. Sebanyak 10 ml suspensi BAL (108 log cfu ml-1) dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi potongan usus tikus dengan luasan 1 cm2 dan diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang (30oC). Usus dibilas dengan PBS sebanyak dua kali. Jumlah total BAL pada usus dihitung dengan metode hitungan cawan Pengamatan penempelan BAL dengan elektron mikroskop (SEM) (Ali et al. 2009). Sampel usus luasan 1 cm2 dimasukkan dalam larutan glutaraldehid 4 % w/v dalam buffer fosfat pH 7,2 selama 12 jam pada suhu 40oC. Sampel usus kemudian dicuci dengan 0,1 M cocodylate buffer selama 10 menit sebanyak 3 kali. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi dengan menggunakan etanol secara bertingkat dengan konsentrasi 50, 70, 85, 95 dan 100% v/v. Setelah proses dehidrasi, potongan usus selanjutnya dikeringkan dengan freeze drier dan dilakukan pelapisan dengan emas, kemudian penempelan BAL diamati dengan mikroskop elektron. Analisis Data Data hasil pengujian BAL terhadap ketahanan pH, kondisi garam empedu dan penempelan pada mukosa usus diolah dalam bentuk logaritma. Data aktivitas
49
antibakteri dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam (ANOVA) satu arah, dilanjutkan dengan uji Duncan menggunakan Software SPSS 17,0 HASIL DAN PEMBAHASAN Ketahanan Isolat BAL terhadap pH Rendah Ketahanan pada pH rendah merupakan salah satu persyaratan probiotik, karena stres seluler yang dialami BAL probiotik diawali dengan keasaman lambung. Perjalanan BAL setelah melewati lambung adalah bagian saluran atas usus tempat empedu disekresikan. Ketahanan BAL yang diisolasi dari susu kambing terhadap pH rendah dan kondisi garam empedu saluran pencernaan terdapat pada Tabel 5.1 dan Lampiran 2-5. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa semua isolat BAL yang diuji mampu bertahan pada pH 2,0; 2,5 dan 3,2. Penurunan jumlah mikroba pada pH tersebut lebih rendah dari 1,0 log. Isolat BAL yang diuji terhadap garam empedu 0,3 % mengalami penurunan 1- 4 log. Tabel 5.1 Penurunan jumlah populasi isolat BAL pada kondisi pH rendah dan garam empedu 0,3 % No.
Kode isolat BAL (TW)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Keterangan
pH 2,0
Penurunan jumlah (log cfu ml-1) pH 2,5 pH 3,2 garam empedu 0,3 %
2 0,94 ± 0,03 e 0,14 ± 0,11 c 0,16 ± 0,13 d 1,70 ± 0,16 a cd ab d 3 0,27 ± 0,03 -0,15 ± 0,07 0,19 ± 0,02 2,48 ± 1,22 c b d cd 4 0,18 ± 0,05 0,46 ± 0,04 0,15 ±0,13 2,11 ± 0,83 a c b a 8 0,25 ± 0,00 0,01 ± 0,04 -0,23 ± 0,06 4,31 ± 0,38 c a b cd 10 0,03 ± 0,11 0,07 ± 0,14 0,13 ±0,07 1,70 ± 0,42 a a de c 14 -0,04 ± 0,13 0,29 ±0,14 0,05 ± 0,06 1,81 ± 0,40 a c b a 15 0,13 ± 0,03 0,05 ± 0,09 -0,26 ± 0,02 4,17 ± 0,47 c d b a 19 0,51 ± 0,01 -0,03 ± 0,01 -0,31 ± 0,02 4,43 ± 0,62 c b b b 21 0,16 ± 0,09 0,06 ± 0,11 -0,08 ± 0,07 4,60 ± 0,37 c ab b c 22 0,59 ±0,12 -0,07 ± 0,21 0,05 ± 0,11 4,52 ± 0,20 c ab b c 23 0,13 ±0,17 -0,02 ± 0,06 -0,04 ± 0,13 4,50 ± 0,53 c ab b c 24 0,04 ±0,02 0,04 ± 0,02 0,04 ± 0,12 4,63 ± 0,04 c e b b 26 0,96 ± 0,08 -0,06 ± 0,19 -0,10 ± 0,01 1,74 ± 0,02 a b b ab 28 0,19 ± 0,13 -0,07 ± 0,06 -0,13 ±0,08 2,75 ±0,19ab d d e 29 0,58 ± 0,15 0,44 ± 0,01 0,25 ± 0,04 4,53 ± 0,01 c a a a 32 -0,06 ± 0,09 -0,33 ± 0,01 -0,16 ± 0,02 3,61 ± 0,57 b b c b 33 0,18 ± 0,06 0,14 ± 0,04 -0,08 ± 0,07 3,57 ± 0,10 b c b d 35 0,26 ± 0,17 0,04 ± 0,04 0,20 ± 0,01 3,12 ± 0,68 b : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
(-) : terjadi peningkatan jumlah mikroba
50
Bakteri probiotik harus mampu mentolerir asam minimal 90 menit, mampu mentolerir garam empedu, mampu menempel pada epitel atau mukosa usus, dan berkembang di saluran usus bawah. Bakteri probiotik yang berhasil melewati rintangan tersebut akan bermanfaat bagi kesehatan (Minellia et al. 2004). Bakteri asam laktat mengalami penurunan pada pH 2,0 sebesar 0,01 sampai 0,96 log cfu ml-1. Secara umum semua isolat yang diuji pada media dengan pH 2,0 mengalami penurunan BAL <1,0 log. Hasil membuktikan bahwa isolat yang diuji mampu bertahan pada kondisi ekstrim lambung. Bakteri asam laktat mengalami stres pada pH sangat rendah yaitu sekitar 2,0 pada kondisi lambung kosong dan pH 3,0 pada kondisi lambung isi (Martini et al. 1997). Ketahanan isolat BAL pada kondisi lambung diuji pada pH 2,0; 2,5 dan 3,2 (Lin et al. 2006). Bakteri asam laktat asal susu kambing yang diuji bertahan pada pH rendah, karena kemampuan BAL mempertahankan pH intraseluler. Salah satu mekanisme pertahanan bakteri Gram positif terhadap lingkungan asam menurut Cotter dan Hill (2003) adalah melalui pompa proton ATP ase, dimana pompa ATP ase mampu memindahkan proton (H), menciptakan lingkungan eksternal menjadi alkali. Perubahan terjadi pada komposisi selubung sel dan akan menghasilkan protein dan chaperones yang dapat mengekpresikan regulator transkripsi serta merespon perubahan densitas sel. Faktor-faktor tersebut memberi proteksi sel terhadap pH rendah. Mekanisme tersebut mampu mencegah efek negatif terhadap penurunan pH sitoplasmik yang ditandai dengan antara lain hilangnya sensitivitas terhadap enzim glikolitik dan terjadinya kerusakan struktural membran sel. Mekanisme pertahanan BAL terhadap pH rendah juga jelaskan oleh Hutkins dan Nannen (1993) bahwa peran fisiologis pH intraseluler adalah sebagai pengatur berbagai aktivitas metabolik BAL. Bakteri asam laktat mampu bertahan pada pH rendah intraseluler terutama untuk pemindahan proton oleh ATP ase. Enzim tersebut berperan sebagai pH homeostasis pada proses fermentasi BAL. Sel bakteri yang terpapar asam, akan mengalami kerusakan pada membran selnya dan menyebabkan hilangnya komponen intraseluler sel. Kerusakan ini dapat menyebabkan kematian sel. Bakteri yang toleran terhadap asam, membran selnya lebih tahan terhadap pH
51
rendah sehingga tidak menyebabkan kerusakan sel. Bakteri mampu beradaptasi dengan lingkungan asam lebih baik. Makanan yang dikonsumsi akan memberi proteksi terhadap BAL dari pengaruh asam lambung. Produk berperan sebagai carrier bagi bakteri probiotik dan melindungi bakteri dari terhadap kondisi saluran pencernaan. Minellia et al. (2004) menyatakan terdapat 4 strain probiotik yang diuji mampu bertahan pada pH 2,0 selama 2 jam dan tumbuh pada pH 3,0 dan 4,0. Evanikastri (2003) menyatakan sebanyak 13 dari 17 isolat yang diisolasi dari feses bayi mengalami penurunan viabilitas < 1,0 log cfu ml-1 pada pH 2,0. Empat isolat lainnya mengalami penurunan viabilitas sebesar 1,5-3,5 log cfu ml-1. Liong dan Shah (2005) menjelaskan sebanyak 18 strain L. plantarum mampu mentolelir pH 2,0 selama 3 jam. Strain L. plantarum dan L. rhamnosus mampu bertahan pada pH 2,0 selama 3 jam (Kalui et al. 2007). Strain L. casei dapat bertahan pada pH 3,0 tetapi tidak pada pH 1,0 (Misra & Prasad 2004).
Klayraung et al. (2008) membandingkan
ketahanan isolat L. fermentum dari produk fermentasi tradisional Miang dan Nham pada pH 2,0 dan pH 3,0, ternyata L. fermentum dari produk Miang lebih toleran pada pH 2,0 dibandingkan L. fermentum dari produk Nham. Minellia et al. (2004) menguji isolat BAL pada pH 3,0 kemudian diinkubasi selama 30, 60, 90 dan 120 menit. Hasil pengujian menunjukkan semua isolat BAL mampu mempertahankan viabilitasnya selama inkubasi 90 menit, tetapi pada menit ke 210 viabilitasnya mengalami penurunan. Ketahanan Isolat BAL terhadap Kondisi Garam Empedu Setelah terpapar pada pH asam, selanjutnya isolat BAL diuji untuk ketahanan terhadap garam empedu. Kemampuan bakteri untuk menolak stres empedu adalah salah satu kriteria yang digunakan dalam pemilihan probiotik. Garam empedu merupakan hasil sekresi pencernaan yang berperan dalam mengemulsi lemak, berpengaruh terhadap fosfolipid dan protein membran sel serta dapat merusak pertahanan sel (Begley et al. 2005). Tabel 5.1 menunjukkan sebanyak 8 isolat dari 18
52
isolat (44 %) mampu bertahan pada garam empedu 0,3%. Isolat TW 2, 3, 4, 10, 14, 26, 28 dan TW32 mengalami penurunan populasi sebesar 1- 3 log cfu ml-1. Populasi BAL yang diuji mengalami penurunan, karena BAL kurang tahan terhadap kondisi garam empedu. Garam empedu mampu menghancurkan komponen utama sel membran bakteri yaitu lemak dan asam lemak. Kerusakan komponen tersebut akan berpengaruh terhadap permeabilitas dan viabilitas sel. Kerusakan sel yang berlanjut akan mengakibatkan sel mengalami pengkerutan dan terjadi pelepasan isi intraseluler sel mengakibatkan kematian sel (Succi et al. 2005). Beberapa penelitian pengaruh garam empedu terhadap BAL, antara lain dilakukan oleh Leverrier et al. (2003) yang menyatakan bahwa garam empedu menyebabkan perubahan morfologi sel pada P. freudenreichii, yang disebabkan karena terjadinya pelepasan protein dari sel. Garam empedu menyebabkan kerusakan morfologi sel pada strain L. acidophilus dan P. freudenreichii (Noh & Gilland 1993). Garam empedu menyebabkan terjadinya stres pada membran sel, stres oksidatif, kerusakan DNA, dan denaturasi protein pada strain L.reuteri (Whitehead et al. 2008). Garam empedu menghambat L. plantarum dengan cara merusak morfologi sel, termasuk merusak struktur permukaan sel, membentuk vesikel membran dan terjadi penggumpalan sel. Kerusakan tersebut menyebabkan dinding sel lepas, materi dalam sel keluar dan terjadi ketidak seimbangan energi sel (Bron et al. 2004). Salah satu mekanisme pertahanan L. acidophilus terhadap garam empedu adalah dengan menghasilkan Bile Salt hidrolase (BSH). Enzim tersebut berperan mengkatalisis hidrolisis glisin dan taurin yang terkonjugasi pada garam empedu untuk menghasilkan residu asam amino dan garam empedu bebas (Liong & Shah 2005). Burns et al. (2008) menyatakan strain Lactobacillus dari saluran pencernaan lebih resistan terhadap garam empedu dibandingkan dengan Lactobacillus dari produk susu. Sebanyak 99 strain BAL yang diisolasi dari sosis fermentasi daging sapi tradisional Ethiopia 44,4% (44/99) tahan garam empedu di atas 0,5%. Pengujian toleransi garam empedu dilakukan terhadap 73 strain Lactococci menunjukkan beberapa strain yang diuji tahan terhadap garam empedu konsentrasi 0,3 % yaitu
53
Lc lactis subsp. lactis dan subsp. lactis bv, dan diacetylactis. Sebanyak 24 Lc. lactis subsp. strain cremoris tidak tahan garam empedu (Kimoto-nira et al. 2007). Aktivitas Antibakteri Isolat BAL Antimikroba berperan sebagai penghambat atau menginaktivasi mikroba patogen dengan menggunakan kemampuan antagonisnya. Beberapa strain BAL memproduksi asam organik, diasetil, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Oyetayo et al. 2003). Tabel 5.2 dan Lampiran 6-10 memperlihatkan semua strain BAL yang diuji mempunyai daya hambat terhadap S. Typhimurium, E. coli, P. aeruginosa. Isolat BAL TW10 dan TW26 tidak menunjukkan adanya aktivitas antibakteri terhadap S. aureus. Isolat BAL lainnya mampu menghambat
S. aureus dengan diameter
penghambatan 10,4-14,8 mm. Daya hambat tertinggi terhadap B. cereus dimiliki oleh isolat TW14 dengan diameter penghambatan sebesar 19,7 mm dan daya hambat terkecil dimiliki oleh isolat TW10 yaitu 7,5 mm. Penghambatan terbesar terhadap P.aeruginosa dengan diameter 24,7 mm pada isolat berkode TW14, sedangkan diameter terkecil pada isolat TW10 yaitu sebesar 9,9 mm. Secara umum, aktivitas penghambatan BAL terhadap bakteri Gram negatif (S. Typhimurium, E. coli dan P. aeruginosa) menunjukkan aktivitas lebih tinggi daripada terhadap bakteri Gram positif (B. cereus dan S. aureus). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Surono (2001)
yang menunjukkan aktivitas antibakteri BAL yang diisolasi dari dadih
mempunyai hambatan pada bakteri Gram negatif yaitu E. coli 3301. Liasi et al. (2009) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba memiliki beberapa kriteria : aktivitas sedang (6-9 mm), kuat (10-14 mm) dan sangat kuat (15-18 mm). Hasil penelitian yang berbeda dengan hasil penelitian ini adalah yang dilakukan oleh Anas et al. (2008) bahwa strain Lactobacillus asal susu kambing Algeria mempunyai penghambatan lebih besar terhadap S. aureus (15,0 ± 2,3 mm) dan Bacillus sp (11,3 ± 2,3 mm) dibandingkan dengan penghambatannya terhadap bakteri Gram negatif yaitu E. coli (8,6 ± 1,8 mm).
Hasil pengukuran diameter hambat pada
beberapa bakteri uji ditampilkan pada Tabel 5.2.
54
Tabel 5.2 Diameter penghambatan isolat BAL pada bakteri uji Diameter penghambatan (mm) Jenis BAL
S.Typhimurium
E.coli
P. aeruginosa
B. cereus
S.aureus
L.rhamnosus TW2
19,8 ± 2,0b
21,4 ± 0,4b
21,1 ± 0,5bc
16,2 ± 1,3b
13,3 ± 2,9b
L. rhamnosus TW3
16,4 ±1,3b
17,4 ± 1,3b
18,9 ± 0,9b
17,2 ± 4,4bc
10,4 ± 1,2b
L. plantarum TW4
19,9 ±1,3b
21,4 ± 1,7b
21,0 ± 0,0bc
19,2 ± 4,3c
14,6 ± 2,0b
L. plantarumTW10
12,6 ±1,4a
13,6 ± 1,9a
9,9 ± 2,5a
7,5 ± 1,4a
0,0 ± 0,0a
L. plantarum TW14
18,6 ± 3,2b
20,2 ± 1,1b
24,7 ± 1,4c
19,7 ± 5,2c
14,8 ± 4,7b
L. plantarumTW26
13,3 ± 1,6a
11,3 ± 2,7a
12,3 ± 3,1a
8,3 ± 1,6a
0,0 ± 0,0a
L. plantarumTW28
17,6 ± 2,6b
19,9 ± 1,5b
23,2 ±1,6c
19,9 ± 4,5c
14,5 ± 0,4b
15,5 ± 1,0a 18,7 ± 4,2b 21,3 ±1,5bc 17,0 ± 3,2b 13,1 ± 2,0b Keterangan : superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). L. rhamnosusTW32
Mekanisme penghambatan terhadap bakteri uji karena pH rendah yang menyebabkan asam organik larut lemak, memungkinkan masuk dalam membran sel dan mencapai sitoplasma patogen. Kompetisi BAL terhadap patogen juga meningkatkan daya hambatnya yaitu dengan mengkompetisi nutrisi, akumulasi D-asam amino dan menurunnya potensi redoks (Haller et al. 2001). Mekanisme yang dijelaskan oleh Santos et al. (2003) bahwa sifat antimikroba BAL terhadap bakteri enteropatogenik seperti E. coli O157:H7, L. monocytogenes, V. cholerae, dan S. enteritidis dilakukan dengan menghasilkan asam organik, hidrogen peroksida dan bakteriosin atau dengan menghambat penempelan bakteri patogen tersebut. Beberapa penelitian daya antibakteri BAL terhadap bakteri patogen antara lain dilakukan oleh Liasi et al. (2009) yang menyatakan bahwa diameter penghambatan L. paracasei, L. casei dan L. plantarum terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif ditunjukkan dengan diameter penghambatan 10-18 mm. Kalui et al. (2009) menguji aktivitas antibakteri L. plantarum dan L. rhamnosus yang diisolasi dari produk fermentasi tradisional Afrika.
Kedua isolat mempunyai aktivitas
penghambatan terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, yaitu, E. coli adalah 12-17 mm, E. faecalis adalah 22-28 mm, dan S. aureus adalah 16-20 mm. Diameter hambatan terhadap L. monocytogenes oleh beberapa jenis Lactococcus adalah 7-10 mm (55,5%), 10 - 13 mm (27,77%) dan >13,3 mm (16,6%).
55
Diameter hambat terhadap S. aureus oleh L. plantarum adalah 20 mm, untuk Bacillus sp sebesar 11 mm dan 10 mm terhadap E. coli. Hal ini menunjukkan bahwa strain Lactobacilli lebih kuat menghambat bakteri Gram positif dibandingkan bakteri Gram negatif (Singh & Prakash 2009). Pengujian daya antimikroba pada 20 strain BAL yang diisolasi dari produk keju tradisional Yunani menunjukkan hasil yang diperoleh hanya 6 isolat S. thermophillus T2 yang mempunyai daya hambat terhadap bakteri Gram positif dan hanya 5 isolat BAL yang mempunyai antimikroba yang sangat kuat dengan diameter hambat > 18 mm terhadap bakteri patogen indikator (Mezaini et al. 2009). Penempelan Isolat BAL pada Usus Tikus Hasil penelitian pada Gambar 5.1 menunjukkan bahwa potongan usus tikus yang dipapar BAL (8 log cfu ml-1) mengalami kenaikan jumlah total BAL antara 0,5 - 2,2 log cfu cm-2. Hal ini mengindikasikan adanya penempelan dari BAL yang dipaparkan pada duodenum, jejunum dan ileum permukaan usus.
Secara umum
kenaikan total BAL pada usus halus dan berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dari sekum dan kolon. Menurut Salminen dan Wright (2004), jumlah bakteri pada bagian jejunum relatif rendah karena lokasinya paling dekat dengan sekresi garam empedu. Jumlah Lactobacillus spp. di dalam lambung adalah 1-3 log cfu ml-1. Jumlah Lactobacillus spp. terus meningkat setelah mencapai duodenum (2-4 log cfu ml-1) dan sampai di jejunum dan ileum sekitar 4-6 log cfu ml-1. Jumlah BAL di dalam kolon bervariasi mulai dari 5-10 log cfu ml-1 dan didominasi oleh Bifidobacterium spp. (Holzapfel 2006). Penempelan BAL L. plantarum TW14 pada duodenum, memiliki kenaikan jumlah BAL tertinggi dan berbeda nyata (P<0,05) dengan isolat TW32, TW28 dan TW2 (Lampiran 11-15). Semua isolat BAL yang diuji pada jejunum dan ileum mempunyai tingkat penempelan yang sama. Isolat TW28 mempunyai tingkat penempelan terendah pada sekum dibandingkan isolat lainnya (P<0,05). Isolat TW4 mempunyai mempunyai penempelan tertinggi pada bagian kolon dibandingkan jenis isolat lainnya.
56
Kenaikan Jumlah BAL (log cfu cm-2)
2.5 c c
2 b
1.5
aa b
a a a
b
a a a aa
a
a a a
1
a a
a
a
a b
0.5 0 duodenum
jejenum
ileum
sekum
kolon
Keterangan: L. rhamnosus TW2 ( ), L.plantarumTW4 ( ), L.plantarumTW14 ( L.plantarumTW28 ( ), L. rhamnosus TW32 ( )
),
Gambar 5.1 Kenaikan jumlah BAL pada usus Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Anggraeni (2010) yang menunjukkan ada kenaikan jumlah BAL antara 0,10 - 0,90 log cfu cm-2 dengan pemberian BAL 6 log cfu ml-1. Mekanisme penempelan antara probiotik dan inangnya menurut Ramiah et al. (2007) adalah karena terjadinya perubahan muatan elektrik dan terjadinya interaksi hidrofobik. Mekanisme penempelan mikroba dijelaskan oleh Kos et al. (2003) bahwa penempelan merupakan proses yang kompleks, dimulai dari kontak bakteri dengan sel membran dan adanya interaksi dengan permukaan tersebut.
Wadstrom dan Ljungh (2006) menjelaskan bahwa
adanya S-layer protein yang membentuk kristal dan menyelubungi bakteri akan memberikan proteksi pada sel, selanjutnya berperan penting sebagai mediator terjadinya adhesi seperti pada L. acidophilus M92 yang dimediasi oleh adanya protein pada permukaan sel Beberapa strain BAL yang diuji seperti L. fermentum PNAI; L. reuteri M9 dan L. marinas PKB1, menempel kuat pada sel epitel dibandingkan beberapa strain Lactobacilli (Olivares et al. 2006). Pengujian penempelan BAL juga dikerjakan oleh Collado et al. (2006) pada mukosa usus, hasilnya semua strain probiotik yang diuji mampu menempel pada mukosa dengan persentase terbesar pada BAL strain
57
L.rhamnosus GG. Pengujian penempelan menggunakan Caco-2 terhadap 6 strain L. casei dikerjakan oleh Minellia et al. (2004), hasilnya menunjukkan bahwa 2 strain L. casei mampu menempel dengan tingkat penempelan 0,67 - 0,74 %. Mikrofotografi Penempelan Isolat BAL pada Permukaan Usus Penempelan BAL pada usus selain diamati dengan menghitung jumlah BAL juga diamati dengan menggunakan mikroskop elektron (Gambar 5.2).
a
a.
b
L.plantarum TW14, 5000 x, ( ) 6,6 μm pada organ jejunum
b. L rhamnosus TW2 , 5000 x ( ) 6,6 μm pada organ jejunum
pembe
a
a. L.plantarum TW14, 5000 x, ( ) 6,6 μm pada organ ileum
b
b. L rhamnosus TW2 , 5000x ( ) 6,6 μm pada organ ileum
Gambar 5.2 Penempelan BAL pada jejunum dan ileum tikus pembe
usus tikus
a
58
Hasil pengamatan dengan SEM memperlihatkan L. rhamnosus TW2 baik pada jejunum maupun pada ileum mampu menempel lebih baik dibandingkan dengan L. plantarumTW14. Hasil tersebut didukung dengan penghitungan penempelan jumlah L. rhamnosus TW2 yang mempunyai tingkat penempelan pada jejunum dan ileum yang lebih tinggi yaitu 1,72 dan 1,58 log cfu cm-2 dibandingkan dengan L. plantarum TW14 yang mempunyai tingkat penempelan 1,44 dan 1,43 log cfu cm-2. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Collado et al. (2006) yang menyatakan semua strain L. rhamnosus mampu menempel pada permukaan usus, mukosa dan epitel usus. SIMPULAN Sejumlah 18 isolat BAL indigenus asal susu kambing mampu bertahan pada pH rendah (2,0; 2,5 dan 3,2) dengan penurunan viabilitas <1,0 log. Delapan isolat dari 18 isolat yang diuji tahan terhadap kondisi garam empedu 0,3% dengan penurunan ketahanan adalah 1-3 log cfu ml-1. Delapan isolat (L. rhamnosus TW2, L. rhamnosus TW3, L. plantarum TW4, L. plantarum TW10, L. plantarum TW14, L. plantarum TW26, L. plantarum TW28 dan L. rhamnosus TW32) mempunyai aktivitas penghambatan terhadap bakteri Gram negatif (S. Typhimurium, E. coli dan P. aeruginosa) tetapi dua isolat (L. plantarum TW10 dan L. plantarum TW26) tidak mampu menghambat bakteri Gram positif. Pengujian kemampuan menempel pada mukosa terhadap 5 isolat menunjukkan, semua isolat mampu menempel pada mukosa usus. Tingkat penempelan BAL pada usus halus lebih tinggi dibandingkan pada sekum dan kolon. Isolat BAL L. rhamnosus TW2, L. plantarum TW4 atau L. plantarum TW14 lebih unggul dibandingkan isolat lainnya dan berpotensi sebagai probiotik. DAFTAR PUSTAKA Ali QS, Farid AJ, Kabeir BM, Zamberi S, Shuhaimi M, Ghazali HM, Yazid AM. 2009. Adhesion properties of Bifidobacterium pseudocatenulatum G4 and Bifidobacterium longum BB536 on HT-29 human epithelium cell line at different times and pH. Engin Technol 49 : 149-153.
59
Anas M, Eddine HJ, Mebrouk K. 2008. Antimicrobial activity of Lactobacillus species isolated from Algerian raw goat’s milk against Staphylococcus aureus. World J Dairy Food Sci 3 : 39-49. Anggraeni D 2010. Studi penempelan bakteri asam laktat asal air susu ibu (ASI). [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Araújo EA, Carvalho AF, Leandro ES, Furtado MM, Moraes CA. 2010. Development of a symbiotic cottage cheese added with Lactobacillus delbrueckii UFV H2b20 and inulin. J Func Foods 2 : 85-89. Begley M, Gahan CGM, Hill C. 2005. The interaction between bacteria and bile. FEMS Microbiol Rev 29 : 625-651. Bron TPA, Marco M, Hoffer SM, Mullekom EV, Vos WM, Kleerebezem M 2004. Genetic characterization of the bile salt response in Lactobacillus plantarum and analysis of responsive promoters in vitro and in situ in the gastrointestinal. J Bacteriol 186 : 7829-783. Brink B, Minekns M, Vander Vossen JMB, Leer RJ,Huis in’t Veld JHJ. 1994. Anti microbial activity of Lactobacilli. J Appl Bacteriol 77 : 140-148. Burns PG, Vinderolaa, Binettia A, Quiberonia A, Gavila CG, Reinheimera J. 2008. Bile-resistant derivatives obtained from non-intestinal dairy lactobacilli. Int Dairy J 18 : 377-385. Cotter PD, Hill C. 2003. Surviving the acid test : responses of Gram-positive bacteria to low pH. Rev Microbiol Mol Biol 67 : 429-453. Collado MC, Jalonen L, Meriluoto J. 2006. Protection mechanism of probiotic combination against human pathogens: in vitro adhesion to human intestinal mucus. Asia Pac J Clin Nutr 15 : 570-575. Evanikastri 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asam laktat dari sampel klinis yang berpotensi sebagai probiotik [tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. FAO/WHO 2002. Guidelines for evalution of probiotic in food. Report of Joint FAO/WHO Working Group on drafting Guidelines for the evaluation of probiotic in food. London Ontario, Canada. Gardiner G, Ross RP, Collins JK, Fitzgerald G, Stanton C. 1998. Development of a probiotic cheddar cheese containing human-derived Lactobacillus paracasei strains. App Env Microbiol 64 : 2192-2199.
60
Haller D, Colbus H, Gänzle MG, Scherenbacher P, Bode C, Hammes WP. 2001. Metabolic and functional properties of lactic acid bacteria in the gastrointestinal ecosystem: a comparative in vitro study between bacteria of intestinal and fermented food origin. Appl Microbiol 24 : 218-226. Hutkins RW, Nannen NL. 1993. pH homeostasis in lactic acid bacterial. J Dairy Sci 76 : 2354-2365. Ishibashi N, Shimamura S. 1993. Bifidobacteria research and development in Japan. Food Tech 47 : 126-135. Jayamanne VS, Adams MR. 2006. Determination of survival, identity and stress resistance of probiotic bifidobacteria in bio-yoghurts. Lett Appl Microbiol 42 : 189-194. Kalui CM, Julius M, Philip M, Kutima, Kiiyukia C, Wongo LE. 2009. Functional characteristics of Lactobacillus plantarum and Lactobacillus rhamnosus from Ikii, a Kenyan traditional fermented maize porridge. Afric J Biotechnol 18 : 4363-4373. Kimoto-Nira H, Mizumachi K, Nomura M, Kobayashi M, Yasuhito F, Takashi O, Suzuki 2007. Lactococcus sp. as potential probiotic lactic acid bacteria. Rev JARQ 41 : 181-189. Klayraung S, Viernstein H, Sirithunyalug J, Okonogi S. 2008. Probiotic properties of Lactobacilli isolated from Thai traditional food. Sci Pharm 76 : 485-503. Kos B, Suskovic J, Simpraga M, Frece J, Matosic. 2003. Adhesion and aggregation ability of probiotic strain Lactobacillus acidophillus M92. J Appl Microbiol 94 : 981-987. Leverrier P, Dimova D, Pichereau V, Auffray Y, Boyaval P, Jan G. 2003. Susceptibility and adaptive response to bile salts in Propionibacterium freudenreichii : physiological and proteomic analysis. Appl Env Microbiol 69 : 3809-3818. Liasi SA, Azmi TI, Hassan MD, Shuhaimi M, Rosfarizan M, Ariff AB. 2009. Antimicrobial activity and antibiotic sensitivity of three isolates of lactic acid bacteria from fermented fish product, Budu. Malay Microbiol 5 : 33-37. Lin WH, Wang CFH, Chen LW, Tsen HY. 2006. Viable counts, characteristic evaluation for commercial lactic acid bacteria product. Food Microbiol 23 : 78-81.
61
Liong MT, Shah NP. 2005. Bile salt deconjugation ability, bile salt hydrolase activity and cholesterol co-precipitation ability of lactobacilli strains. Int Dairy J 15 : 391-398. Noh DO, Gilliland SE. 1993. Influence of bile on cellular integrity and betagalactosidase activity of Lactobacillus acidophilus. J Dairy Sci 76 : 12531259. Martini MC, Bolweg GL, Levitt MD, Savaiano DA. 1987. Lactose digestion by yoghurt h-galactosidase influence of pH and microbial cell integrity. Am J Clin Nutr 45 : 432-437. Mezaini A, Chihib NE, Bouras AD, Nedjar-Arroume N, Hornez JP. 2009. Antibacterial activity of some lactic acid bacteria Isolated from an Algerian dairy product. J Env Pubc Health 12 : 1-6. Maheswari RRA, Wiryawan IKG, Maduningsih GL. 2008. Stability of two probiotics bacteria of goat milk yoghurt in rat digestive tract. Microbiol Indones 2 : 124-130. Minellia EB, Beninia A, Marzottob M, Sbarbatic A, Ruzzenented O, Ferrarioe R, Hendriksf H, Dellaglio F 2004. Assessment of novel probiotic Lactobacillus casei strains for the production of functional dairy foods. Int Dairy J 14 : 723736. Mishra V, Prasad DN 2005. Application of in vitro methods for selection of Lactobacillus casei strains as potential probiotics. Int J Food Microbiol 103 : 109 -115. Morgolles A, Gracia L, Sanchez B, Gueimonde M, Gavilan CG. 2003. Characterisation of a Bifidobacterium strain with acquired resistance to cholate-A preliminary study. Int J Food Microbiol 82 : 191-198. Nitisinprasert S, Pungsungworn N, Wanchaitanawong P, Loiseau G, Montet D, Songklanakarin J. 2006. In vitro adhesion assay of lactic acid bacteria, Escherichia coli and Salmonella sp. by microbiological and PCR methods. Sci Technol 28 (Suppl 1) : 99-106. Olivares M, Diaz-RG, Lara-Villoslada N, Sierra F, Maldonado S. 2006. The consumption of two new probiotic strains, Lactobacillus gasseri CECT 5714 and Lactobacillus coryniformis CECT 5711, boosts the immune system of healthy humans. Int Microbiol 91 : 47–52.
62
Oyetayo VO, Adetuyi FC, Akinyosoye FA. 2003. Safety and protective effect of Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei used as probiotic agent in vivo. Afric J Biotechnol 2 : 448-452. Ouwehand AC. 1998. Antimicrobial components from lactic acid bacteria. In: Salminen S and Von Wright A (Eds) Lactic Acid Bacteria: Microbiological and Functional Aspects, 2 nd edition. Marcel Dekker Inc, New York. 139-159. Ramiah CA, Reenen V, Dicks LMT. 2007. Expression of the mucus adhesion genes Mub and MapA, adhesion-like factor EF-Tu and bacteriosin gene plaA of Lactobacillus plantarum 423, monitored with real-time PCR. Int J Food Microbiol 116 : 405-409. Santos A, San Mauro M, Sanchez A, Torres JM, Marquina D. 2003. The antimicrobial properties of different strains of Lactobacillus spp. isolated from kefir. Syst Appl Microbiol 26: 434–437. Savadogo A, Ouattara CAT, Imael HN, Bassole, Traore AS. 2004. Antimicrobial activities of lactic acid bacteria strains isolated from Burkina Faso fermented milk. Pakist J Nutr 3 : 174-179. Singh P, Prakash A. 2009. Screening of lactic acid bacteria for antimicrobial properties against Listeria monocytogenes isolated from milk products at Agra Region. J Food Safety 11 : 81-87. Succi M, Tremonte P, Reale A, Sorrentino E, Grazia L, Pacifino B, Coppola R. 2005. Bile salt and acid tolerance of Lactobacillus rhamnosus strains isolates from Parmigiano Reggiano cheese. FEMS Microbiol Lett 244 : 129-137. Surono SI. 2001. In vitro probiotic properties of indigenous dadih lactic acid bacteria. Center for the Assessment and Application of Biotechnology, Agency for the Assessment and Application of Technology. http://www.ajas.info [1 Oktober 2011]. Whitehead K, Versalovic J, Roos S, Britton RA. 2008. Genomic and genetic characterization of the bile stress response of probiotic Lactobacillus reuteri ATCC 55730. Appl Env Microbiol 74 : 1812–1819. Wadstrom T, Ljungh A. 2006. Lactic acid bacteria as probiotic. Curr Issues Intest Microbiol 7 : 73- 90. Zavaglia AG, Kociubinzki G, Perez P, Antoni G. 1998. Isolation and characterization of Bifidobacterium strains for probiotic formulation. J Food Protect 61 : 865 -873.
63
63
6. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA, SENSORI DAN STABILITAS KEJU LUNAK YANG DIBUAT DENGAN KULTUR TUNGGAL DAN CAMPURAN L.rhamnosus TW2 DAN L.plantarum TW14 (Physico-Chemical and Sensory Characteristics and Stability of Soft Cheese Using Single and Mixed Cultures of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW4.) Probiotic soft cheese from goat milk is one of functional food products with the application of probiotic bacteria. The objective of the study was to produce goat milk soft cheese by using single or mixed cultures of L. rhamnosus and L. plantarum. The cheese was then subjected to physico-chemical, microbiology, and sensory characteristics evaluation. Three treatments were applied, which were (1) use of L. rhamnosus TW2 culture, (2) use of L. plantarum TW14, and (3) use of mixed culture of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14. Variables measured were texture (hardness and cohesiveness), pH, number of LAB, proximate composition, and sensory characteristics (acceptance level). This study using a complete randomized block design and three replicates. Results showed that cheese hardness was in the range of 10.78 to 47.75 gf; cohesiveness 8.23 to-11.53 gs; pH 4.70 to 5.60; number of LAB 8.59 to 9.69 log cfu g-1; protein content 30.50 to 33.88%, fat content 27.77 to 34.42% and ash content 4.44 to 6.24%. Sensory test showed that the cheese has textural attribute score of 2.7 to 3.1 (slightly like - like); taste score of 1.7 – 2.8 (dislike –slightly like) and flavor score of 3.1-3.2 (slightly like). In conclusion, soft cheeses with single culture of L. plantarum TW14 and mixed cultures (L. rhamnosus TW2 + L. plantarum TW14) have excellent potential properties to be developed as probiotic foods. Key words: fermentation, soft cheese, L. rhamnosus TW2, L. plantarum TW14. PENDAHULUAN Bakteri probiotik sangat penting untuk diaplikasikan pada produk pangan. Konsumsi probiotik secara teratur dalam jumlah tertentu mampu menyehatkan tubuh, terutama saluran pencernaan. Bakteri probiotik juga berperan dalam diversifikasi produk pangan seperti : susu fermentasi, yogurt, keju, es krim, sosis fermentasi, jus buah, sereal dan susu formula bayi (Vinderola 2000). Keju merupakan salah satu produk pangan paling fleksibel, disukai, sesuai bagi semua kelompok. Keju merupakan curd susu yang digumpalkan dengan renet, dipisahkan dari whey dan dipres menjadi padatan. Keju merupakan produk yang mudah dipasarkan, karena mempunyai masa simpan lebih lama dibandingkan produk susu fermentasi lainnya (Heller 2001).
64
Beberapa jenis keju lunak yang dihasilkan secara tradisional berbahan baku susu kambing antara lain, keju Camero merupakan keju segar yang dihasilkan di daerah Spanyol (Olarte et al. 2001), keju Idiazabal dari daerah Spanyol (Vicente 2001), Batzos yang diproduksi sebagai pemanfaatan pembuatan keju dari whey berasal dari Macedonia (Psoni et al. 2003), dan keju Galotry asal Greece (Kondyli et al. 2008). Penggunaan kultur tambahan kelompok laktobasili seperti L. casei, L. plantarum dan L. rhamnosus dalam pembuatan keju berperan pada tahap pengasaman susu dan memberikan flavor khas. Kultur tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas dalam rangka pengembangan produk pangan fungsional. Pembuatan keju merupakan proses yang kompleks. Proses ini diawali dengan
terjadinya koagulasi, yaitu terjadi pemecahan k-kasein oleh renet.
Tahapan selanjutnya adalah aglomerasi yang menghasilkan massa protein seragam dilanjutkan dengan pengeluaran air. Selama proses berlangsung, lemak akan mempertahankan integritas membran. Protein terperangkap dalam membran lemak dan membentuk matrik keju (Pereira et al. 2009). Selama proses pengolahan dan penyimpanan, keju dapat mengalami perubahan jumlah BAL berupa penurunan dari jumlah kultur awal yang ditambahkan. Penurunan jumlah BAL pada keju tidak secepat produk fermentasi lainnya, karena keju mempunyai pH lebih tinggi, konsistensinya lebih padat dan kadar lemaknya lebih tinggi. Kondisi tersebut memberikan proteksi bagi mikroba probiotik selama penyimpanan dan selama melewati saluran pencernaan (Stanton et al. 1998). Jumlah dan stabilitas bakteri probiotik merupakan kriteria utama pada produk pangan fungsional. Pemilihan strain probiotik didasarkan pada karakterisitik produk yang dikehendaki. Tujuan penelitian adalah membuat keju lunak dari susu kambing dengan kultur BAL probiotik tunggal dan campuran (L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14) kemudian menguji stabilitas BAL, sifat kimia, sifat fisik dan sensori produk.
65
METODOLOGI Bahan dan Alat Bahan penelitian ini adalah susu kambing jenis Peranakan Ettawa (PE). Susu kambing PE diperoleh dari Koperasi Daya Mitra Primata, desa Cikarawang, Bogor. Susu kambing yang digunakan pada penelitian ini merupakan susu segar yang diperoleh dari pemerahan di pagi hari. Susu dikemas dalam plastik HDPE selama pengangkutan dari tempat pemerahan ke tempat produksi keju. Bahanbahan lain yang dibutuhkan dalam proses pembuatan keju pada penelitian ini di antaranya renet komersial dalam bentuk cair, kultur bakteri asam laktat L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 serta garam NaCl. Bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis adalah media MRSA, MRSB, akuades, Na2SO3 2%, alkohol 70%, bufer pH 4 dan pH 7, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH-Na2SO3, H3BO3, HCl 0,02 N, indikator merah metil, indikator metil biru, dan heksana. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya wadah untuk membuat keju dan alat-alat untuk analisis, yaitu stomacher, inkubator 37oC, perangkat kjeldhal, oven vakum, desikator, cawan porselen, perangkat soxhlet, tanur dan textur analyzer tipe TA-XT2i dan alat-alat gelas. Metode Kultur Starter Kultur L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 disegarkan kembali dalam media MRSB pada suhu 37oC selama 24 sebelum diinokulasikan ke susu kambing sebagai kultur kerja. Sebanyak 5% (v/v) kultur murni dalam MRSB ditambahkan ke dalam susu kambing untuk membuat kultur kerja. Susu yang telah mengandung kultur BAL tersebut diinkubasi pada suhu 37oC selama 6 jam. Sebelumnya, jumlah BAL dalam kultur kerja dihitung untuk mengetahui jumlah BAL awal (8 log cfu ml-1).
66
Produksi Keju Susu Kambing Keju yang dibuat adalah keju lunak tanpa tahapan pemeraman dengan menggunakan bakteri BAL probiotik L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14. Proses pembuatan keju dilakukan menurut Walstra et al. (1999) dan Gardiner et al. (1998) (Gambar 6.1) Susu kambing segar
Dipasteurisasi 63oC/30 menit Didinginkan sampai suhu 37oC
Diinkubasi 37oC/6 jam
Kultur kerja 5% (v/v)
Diinkubasi 37oC/2 jam Renet komersial 0.06 ml L-1
Gel
Dipotong-potong Dipanaskan 40oC/30 menit
Disaring
Whey
Curd
Diaduk
Garam NaCl 2% (b/b)
Dikemas dalam wadah Disimpan pada suhu 5oC
Keju susu kambing
Gambar 6.1 Diagram alir pembuatan keju susu kambing (Walstra et al. 1999 dan Gardiner et al. 1998) dengan modifikasi
67
Proses pembuatan keju dilakukan menurut Walstra et al. (1999) dan Gardiner et al. (1998) yang mengacu pada pembuataan keju cheddar dengan beberapa modifikasi. Modifikasi yang dilakukan yaitu proses penyaringan langsung dilakukan setelah tahap pemanasan gel, tidak dilakukan proses cheddaring, dan tidak dilakukan proses pengepresan. Tahapan pembuatan keju dimulai dengan pasteurisasi susu pada suhu 63oC selama 30 menit, kemudian diturunkan suhunya sampai 37oC. Selanjutnya susu ditambahkan kultur kerja sebanyak 5 % (v/v) dengan konsentrasi bakteri 8 log cfu ml-1 dan diinkubasi kembali pada suhu 37oC selama 6 jam. Susu kemudian ditambah renet sebanyak 0,06 ml L-1 dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 2 jam sampai terbentuk gel. Gel kemudian dipotong-potong dan didiamkan selama 10-15 menit agar terjadi sineresis whey. Pemanasan dilakukan pada suhu 40oC selama 30 menit. Penyaringan dilakukan hingga whey terpisah dan menyisakan suatu matriks yang disebut curd (padatan). Padatan ditambah garam NaCl sebanyak 2% (b/b), kemudian diaduk hingga merata. Keju dikemas dalam wadah dan disimpan pada suhu refrigerator (5oC). Keju susu kambing dibuat dalam tiga perlakuan, dengan starter yang berbeda yaitu BAL L. rhamnosusTW2, L. plantarumTW14 dan campuran keduanya dengan 3 kali ulangan. Uji Stabilitas Bakteri Asam Laktat pada Produk Keju (Burns et al. 2008, BAM 2001) Keju disimpan pada suhu refrigerator (5oC) selama 4 minggu untuk mengetahui stabilitas BAL tersebut di dalam keju. Pengamatan dilakukan dari 0 minggu penyimpanan sampai dengan minggu keempat dengan selang pengamatan 1 minggu. Sampel sebanyak 20 g dimasukkan ke dalam 180 ml larutan natrium sitrat steril 2% (b/v), selanjutnya sampel dihomogenkan dalam stomacher selama tiga menit. Homogenat diambil sebanyak 1 ml dan dilakukan pengenceran desimal hingga 1:108. Sampel dari tiga pengenceran tertinggi diambil sebanyak 1 ml secara aseptis dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Sampel dituang dengan media MRSA dan diinkubasi suhu 37oC selama 48 jam. Penghitungan total BAL dihitung dengan metode BAM.
68
Uji Kimia Keju Kadar protein dianalisis dengan metode mikro Kjeldhal (AOAC 2005), kadar air dengan metode oven (AOAC 2005), kadar lemak dengan metode ekstraksi soxhlet (AOAC 2005), kadar abu dengan metode tanur (AOAC 2005) dan pH dengan pH meter (AOAC 2005). Uji Tekstur Keju (Buriti et al. 2007) Pengujian dilakukan dengan alat TA-XT2i. Sampel keju dibentuk silindris dengan diameter 2,4 cm dan tinggi 3,0 cm. Keju kemudian diletakkan pada suhu ruang (25oC) selama 20 menit sebelum pengukuran. Variabel yang diukur adalah kekerasan dan kelengketan keju yang dikerjakan menggunakan Texture Expert dengan program komputer Window 1,20. Uji Sensori Keju (Rahayu 2008) Pengujian sampel keju dilakukan oleh panelis agak terlatih, terhadap tingkat kesukaan produk. Atribut yang dinilai oleh panelis dari produk keju adalah rasa, aroma dan tekstur. Pengujian dilakukan dengan skala hedonik. Penilaian dilakukan dengan memberi nilai 1 : sangat tidak suka, 2 : tidak suka, 3 : agak suka, 4 : suka dan 5 : sangat suka. Sampel terdiri atas tiga jenis keju susu kambing yang dihasilkan pada penelitian ini dan satu keju susu kambing komersial.
Setiap sampel diberi kode tiga digit angka acak dan kode yang
diberikan berbeda untuk tiap sampel. Bubuk kopi disediakan sebagai penetral setelah melakukan evaluasi sensori untuk atribut aroma, serta segelas air minum sebagai penetral setelah melakukan evaluasi sensori untuk atribut rasa. Panelis diminta untuk menentukan tingkat kesukaan mereka pada tiap sampel keju dengan tidak membandingkan antar sampel. Analisis Data Data tekstur, pH, proksimat dan sensori keju dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan pemberian BAL probiotik. Data populasi bakteri ditransformasikan dalam bentuk logaritma selanjutnya dianalis
69
dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Uji lanjut Duncan
dilakukan
menggunakan Software SPSS 17.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Stabilitas Bakteri Asam Laktat pada Keju Proses pembuatan keju dimulai dengan penambahan starter pada proses fermentasi sehingga terbentuk gel dan curd. Jumlah BAL pada curd akan mencerminkan jumlah awal BAL sebelum disimpan. Jumlah BAL pada curd keju untuk L. rhamnosus TW2 adalah 8,64 log cfu g-1, untuk L. plantarum TW14 adalah 9,29 log cfu g-1 dan kultur campuran adalah 10,02 log cfu g-1. Hasil penghitungan jumlah BAL selama 4 minggu penyimpanan terdapat pada Tabel 6.1 dan Lampiran 16. Tabel 6.1 Jumlah BAL keju lunak yang dibuat dari kultur tunggal dan kultur campuran L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 selama penyimpanan 4 minggu pada suhu 5oC Jumlah BAL (log cfu g-1) Lama penyimpanan (minggu) 1 2 3
Jenis kultur 0 4 L. rhamnosus TW2 8,58 ± 0,13a 8,76±0,07a 8,68±0,18a 8,49±0,09a 8,59±0,14a L.plantarum TW14 10,04±0,21a 9,88±0,13a 9,93±0,44a 9,89±0,27a 9,87±0,24a L.rhamnosusTW2+ 9,83 ± 0,21a 9,56±0,05a 9,67±0,17a 9,58±0,15a 9,69±0,12a L.plantarum TW14 Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Keju yang dibuat dengan kultur L. rhamnosus TW2, L. plantarum TW14 dan campuran (L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14) tidak mengalami penurunan jumlah BAL selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 5oC dengan rataan 8,49-10,04 log cfu g-1 keju. Hal ini memperlihatkan BAL yang ditambahkan mampu beradaptasi dengan baik pada matrik keju, sehingga jumlah BAL mampu bertahan selama 4 minggu penyimpanan pada suhu dingin (5oC). Protein, lemak dan komponen lain yang membentuk matrik keju berperan melindungi bakteri probiotik selama melewati saluran pencernaan dan selama penyimpanan, karena keju mempunyai konsistensi padat, kadar lemak dan pH lebih tinggi dibandingkan produk fermentasi lain (Stanton et al. 1998).
70
Beberapa penelitian yang menguji ketahanan BAL selama penyimpanan antara lain adalah sebagai berikut ini. Gardiner et al. (1998) menyatakan bahwa viabilitas L. paracasei NFCB dan L. paracasei NFBC 338 pada keju mampu bertahan selama 8 bulan penyimpanan pada suhu 8oC dengan jumlah 7,96 dan 8,16 log cfu g-1. Ong et al. (2006) juga melaporkan bahwa jumlah L. acidophilus dan L. casei adalah 8 log cfu g-1 pada keju cheddar selama 6 bulan masa penyimpanan. Souza dan Saad (2009) membuktikan stabilitas L. acidophilus pada keju segar khas Brazil (Minas Fresh Cheese) selama 3 minggu. Rahayu et al. (2011) membuktikan stabilitas campuran L. acidophilus dan L. casei pada keju lunak yang disimpan selama 8 minggu mampu bertahan jumlahnya (9 log cfu g-1). Viabilitas L. paracasei A13 meningkat pada keju yang disimpan pada suhu 5oC (Vinderola et al. 2009). Selama 21 hari penyimpanan keju, jumlah S. thermophilus adalah 8,27 log cfu g-1 dan L. acidophilus adalah 8,61 log cfu g-1 (Buriti et al. 2007). Stabilitas bakteri probiotik selama penyimpanan produk dipengaruhi perubahan pH. Hasil pengamatan pH selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 6.2 dan Lampiran 17. 7 6
5,9b 5,5b 5,3b
5,6b
5,6b
5,3a
5,2a
5,2b
5
Nilai pH
5,1a 5,2a 4,7a
4,7a
2
3
5,4ab 5,5ab 5,0ab
4 3 2 1 0 0
1
4
Lama penyimpanan (minggu) Keterangan: L. rhamnosus TW2 ( ), L. plantarumTW14 ( L. rhamnosus TW2+ L. plantarum TW14 ( )
),
Gambar 6.2 Perubahan pH keju yang dibuat dengan kultur tunggal dan campuran selama penyimpanan 4 minggu pada suhu 5oC
71
Rataan nilai pH keju selama 4 minggu penyimpanan adalah 4,7 - 5,6. Selama penyimpanan, pH keju mengalami penurunan pada minggu kedua sampai minggu ketiga. Nilai pH mengalami penurunan selama 21 hari penyimpanan pada jenis keju krim juga diteliti oleh Buriti et al. (2007). Kondisi ini terjadi karena pemanfaatan asam laktat dan pelepasan asam amino tertentu seperti aspartat dan glutamat (Sallami et al. 2004). Nilai pH kemudian meningkat 0,2-0,3 unit pada akhir penyimpanan keju. Peningkatan nilai pH pada akhir penyimpanan menandakan terbentuknya produk alkali oleh protein (Awad 2006). Karakteristik Kimia Keju Kambing Karakteristik kimia keju lunak susu kambing dengan penambahan kultur BAL yang berbeda ditampilkan pada Tabel 6.2. Tabel 6.2 Komposisi kimia keju lunak yang dibuat dengan kultur tunggal dan campuran L.rhamnosus TW2 dan L.plantarum TW14 setelah disimpan 4 minggu pada suhu 5oC Kandungan (% BK) Lemak Abu
Jenis kultur
Protein
L. rhamnossus TW2
30,50±2,24 a
28,35±2,75a
5,66±0,68 b
L.plantarum TW14
32,80±1,03ab
27,77±1,48a
6,24±0,55 b
L.rhamnossusTW2+ L.plantarum TW14
33,88±2,04ab
34,42±2,24b
4,43±0,39 a
Keju Komersial
34,79±0,05b
52,57±1,47c
7,76±0,10c
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Keju yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk dalam kelompok keju lunak dengan kisaran kadar air 56,43 ± 0,53 sampai 60,07 ± 0,95 % (Park 1990). Keju dengan kadar air tinggi dapat melemahkan jaringan kasein sehingga partikel keju mudah lepas (Banks 2007). Salah satu penyebab tingginya kadar air adalah tidak dilakukan pengepresan pada proses pembuatan keju, sehingga pengeluaran whey tidak terjadi secara sempurna sempurna. Rahayu et al. (2011) menyatakan keju lunak dari susu kambing dengan starter L. acidophilus mempunyai kadar air 53,00 ± 0,06 %. Kasein merupakan komponen terpenting dalam pembuatan keju, karena kasein merupakan bahan utama yang akan dikoagulasi membentuk curd dan
72
diolah menjadi keju. Hasil rataan protein keju lunak adalah 30,50-34,79 % dengan rataan terendah pada keju dengan kultur L. rhamnosus TW2 dibandingkan perlakuan lainnya dan keju komersial.
Hal ini terjadi dimungkinkan proses
pengasaman dengan kultur L. rhamnosus TW2 berjalan lebih lambat dibanding dengan kultur lainnya, sehingga pembentukan curd tidak terjadi secara optimal dan pada tahap penyaringan banyak protein yang lolos dalam whey. Fox et al. (2000) menjelaskan bahwa proses proteolitik yang cepat akan membantu mencegah kehilangan protein yang terbuang ke dalam whey. Tabel
6.2
menunjukkan
perlakuan
penambahan
kultur
probiotik
berpengaruh nyata (P<0,05) (Lampiran 18-20) terhadap kadar lemak keju lunak susu kambing. Keju mempunyai rataan kadar lemak 27,77-34,42 %. Penggunaan kultur L. plantarum TW14 menghasilkan kadar lemak lebih rendah dibandingkan keju komersial dan berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dimungkinkan terjadi adanya perbedaan kadar lemak pada bahan baku dan perbedaan proses pengolahan keju, sehingga keju yang dihasilkan juga mempunyai kadar lemak yang berbeda (Park 1990). Kadar abu pada keju lunak susu kambing mempunyai variasi yang luas yang dipengaruhi oleh tingkat kekerasannya. Konsentrasi mineral Ca, P, Na dan Cl pada keju lunak lebih rendah dibandingkan pada keju keras. Beragamnya jumlah mineral diduga karena adanya perbedaan kadar mineral pada bahan baku dan perbedaan proses pengolahan keju (Park 1990). Kadar mineral pada keju ditunjukkan dari kadar abu yang terukur. Komponen lemak, protein, mineral-mineral susu seperti kalsium, fosfor, dan magnesium juga terkonsentrasi pada curd (Miller et al. 2007). Pengasaman dengan cepat oleh fermentasi laktat, yang diikuti oleh keluarnya whey dengan cepat, mendorong demineralisasi curd (Park 1990). Tabel 6.2 menunjukkan kadar abu pada keju lunak susu kambing dengan penggunaan kultur yang berbeda menghasilkan perbedaan nyata pada perlakuan kultur campuran (L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14) dengan perlakuan lainnya. Rataan kadar abu hasil penelitian adalah 4,43-6,25 %. Mineral pada keju lunak susu kambing juga dipengaruhi pada kondisi koagulasi, proses pengeluaran whey dan penggaraman. Bakteri asam laktat mengasamkan susu
73
dengan cepat sehingga pengeluaran whey terjadi secara optimal menyebabkan demineralisasi pada curd.
Kecepatan koagulasi akan mencegah pengasaman
dengan cepat sehingga mineral banyak terdapat pada whey (Park 1990). Karakteristik Fisik dan Sensori Salah satu faktor yang mempengaruhi penerimaan konsumen pada keju adalah tekstur. Tekstur keju dapat dianalisis dengan instrumen ataupun dengan penilaian sensori oleh panelis. Hasil analisis tekstur keju yang dibuat dengan kultur L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 serta kultur campuran terdapat pada Tabel 6.3. Tabel 6.3 Nilai tekstur keju lunak yang dibuat dari kultur tunggal dan campuran Jenis kultur
Kekerasan (gf)
Kelengketan (gs)
L. rhamnossus TW2
10,78 ± 0,96a
-8,23 ± 0,67a
L.plantarum TW14
47,75 ± 0,79c
-11,53 ± 0,76b
L.rhamnossusTW2+L.plantarum TW14
34,73 ± 1,30b
-10,18 ± 0,73ab
Keju kambing komersial
32,68 ± 2,34b
-16,24 ± 0,49c
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 % (P<0,05)
Tekstur keju dipengaruhi oleh beberapa komponen, antara lain kadar air, protein dan lemak. Tekstur paling lunak adalah keju dengan kultur L. rhamnosus TW2. Tekstur keju paling keras terdapat pada sampel dengan kultur L. plantarum TW14, diikuti dengan kultur campuran (L. rhamnossus TW2 dan L. plantarum TW14). Tekstur keju komersial mempunyai kekerasan 32,68 gf dan mempunyai kekerasan sama dengan tekstur keju dengan penggunaan kultur campuran. Kadar air yang tinggi dalam matrik keju menyebabkan produk menjadi kurang elastis sehingga partikel-partikelnya lebih mudah lepas. Tekstur keju juga dipengaruhi oleh rasio antara kasein dan air, sehingga tekstur dapat mengalami perubahan selama penyimpanan sebagai hasil hidrolisis fraksi α s1- kasein peptida oleh renet yang melemahkan matrik kasein (Lawrence et al. 1987). Proporsi α s1-kasein pada susu kambing adalah kecil juga sebagai salah satu penyebab lunaknya tekstur keju (Thomann et al. 2008). Selain kasein, lemak dalam susu beserta komponen lain yang tidak larut dalam air akan terperangkap dalam
74
matriks yang terkoagulasi.
Ukuran globula lemak yang lebih kecil akan
menyebabkan permukaan lemak semakin besar dan akan mempengaruhi tekstur. Komponen tersebut akan mempengaruhi kekerasan, kelengketan dan cita rasa keju (O’Brien & O’Connor 2004). Kelengketan keju merupakan salah satu karakteristik dalam profil tekstur keju segar. Penggunaan kultur tunggal maupun campuran mempunyai perbedaan (P<0,05) terhadap kelengketan keju lunak. Kisaran nilai kelengketan keju lunak adalah -8,23 sampai dengan -11,53 gs. Keju komersial mempunyai tekstur paling lengket
yaitu -16,24 gs dan berbeda nyata dengan hasil penelitian (P<0,05)
(Lampiran 21-22). Keju dengan perlakuan L. plantarum TW14 paling lengket dibandingkan perlakuan lainnya. Faktor yang berpengaruh terhadap kelengketan keju adalah lemak dan kasein yang berpengaruh pada pembentukan matrik keju. Bryant et al. (1995) menyatakan bahwa daya lengket keju dipengaruhi oleh kadar lemak. Semakin tinggi lemak, maka daya lengket semakin tinggi. Tekstur keju mampu memerangkap globula lemak selain itu air juga terikat dan mengisi bagian dalam matriknya. Keju yang dihasilkan pada penelitian ini berwarna putih, memiliki konsistensi lunak, dan mudah rapuh. Aroma asam pada keju terbentuk dengan penggunaan bakteri L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14. Aroma asam terbentuk dengan penggunaan kultur BAL yang ditambahkan. Bakteri asam laktat menurunkan pH susu melalui perubahan laktosa susu menjadi asam laktat. Keju lunak susu kambing diuji oleh panelis untuk mengetahui tingkat kesukaan terhadap tekstur, rasa dan aroma. Pengujian terhadap atribut sensori aroma, rasa dan tekstur juga dikerjakan oleh peneliti lain terhadap produk keju asam dengan sumber kultur yang berbeda (Goncu & Alpkent 2005). Hasil analisis sidik ragam memperlihatkan bahwa penggunaan kultur BAL pada pembuatan keju lunak berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap skor kesukaan tekstur (P<0,05) (Lampiran 21-23).
Sampel keju lunak dengan penggunaan kultur tunggal
L. plantarum TW14 dan kultur campuran (L. rhamnossus TW2 dan L. plantarum TW14) tidak berbeda nilai kesukaan terhadap teksturnya dengan keju komersial. Tekstur keju yang paling lunak dibuat dari kultur L. rhamnosus TW2. Penilaian
75
sensori produk keju lunak susu kambing yang dibuat dengan kultur berbeda ditunjukkan pada Tabel 6.4 dan Lampiran 23-25. Tabel 6.4 Penilaian sensori terhadap kesukaan keju lunak susu kambing Skor kesukaan Jenis kultur
Tekstur
Rasa
Aroma
L.rhamnosus TW2
2,7 ± 0,8a
1,7± 1,0a
3,1 ± 1,2a
L.plantarum TW14
3,1 ± 0,7 ab
2,6± 0,7b
3,1 ± 0,8a
L.rhamnosusTW2+ L.plantarum TW14
3,1 ± 0,8ab
2,8± 0,7b
3,2 ± 0,7a
Keju komersial
3,5 ± 0,9b
2,6± 0,9b
3,1 ± 1,1a
Keterangan : Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). 1 : sangat tidak suka; 2 : tidak suka; 3 : agak suka; 4 : suka dan 5 : sangat suka
Panelis memberi komentar tekstur sampel keju lunak probiotik BAL L.rhamnossus TW2 terlalu lunak, konsistensinya berair sehingga tekstur kurang disukai dan kurang menarik. Hasil penilaian sensori terhadap tekstur keju lunak probiotik L. rhamnossus TW2 mempunyai rataan skor 2,7 (tidak suka-agak suka). Keju yang dibuat dengan kultur L.rhamnosus TW2 mempunyai rasa yang tidak disukai oleh panelis dengan skor 1,7 (tidak suka). Panelis merasakan rasa aftertase pahit mendominasi pada produk tersebut, sehingga rasa khas keju asam tertutup oleh rasa pahit. Aftertaste yang dirasakan oleh panelis umumnya adalah rasa pahit yang tertinggal. Rasa pahit kemungkinan disebabkan oleh peptida hidrofobik, yang berasal dari degradasi kasein hidrofobik oleh enzim proteolitik dari koagulan (renet). Rasa dan aroma khas keju dihasilkan dari proses lipolisis, proteolitik dan degradasi lanjutan asam amino oleh kultur starter dan kultur nonstarter bakteri asam laktat. Produk proteolisis akan memberikan flavor keju secara langsung atau berperan sebagai senyawa prekusor flavor keju. Keju lunak yang dihasilkan dari kultur campuran (L. rhamnossus TW2 dan L. plantarum TW14) dan kultur L. plantarum TW14 tidak berbeda nilai kesukaan terhadap rasa dengan keju komersial. Skor tertinggi atribut rasa pada keju lunak hanya mencapai 2,8 (agak suka). Hal tersebut dimungkinkan panelis tidak terbiasa dengan rasa keju asam.
76
Keju lunak susu kambing yang dihasilkan dengan menggunakan kultur berbeda baik kultur tunggal dan campuran mempunyai nilai kesukaan terhadap aroma yang sama dengan keju komersial. Rataan skor penilaian nilai aroma adalah 3,1-3,2 (agak suka). Penilaian tersebut mengindikasikan produk keju lunak yang dibuat dengan kultur BAL probiotik yang berbeda mempunyai aroma khas asam segar yang mampu berperan sebagai masking agent terhadap aroma goaty susu kambing, sehingga nilai kesukaan sampel dapat setara dengan nilai kesukaan keju komersial. Penelitian oleh Tungjaroenchai et al. (2004) memperlihatkan bahwa penggunaan
kultur
campuran
Lactococcus
lactis,
ssp.
diacetylactis,
Brevibacterium linens BL2, L. helveticus LH212, dan L. reuteri ATCC 23272 , akan meningkatkan kesukaan aroma keju. Keju segar diharapkan mempunyai konsentrasi asam lemak yang rendah, karena konsentrasi asam lemak yang tinggi akan menyebabkan aroma yang menyimpang pada keju segar (House & Kelly 2002). Proses deaminasi, dekarboksilasi dan transaminasi akan menghasilkan asam keto, ammonia, amina, aldehida, asam dan alkohol akan membentuk rasa dan aroma keju. Sebanyak 38 komponen volatil teridentifikasi dalam keju Ras dari Egyptia dan yang berperan menghasilkan rasa dan aroma khas keju tersebut adalah senyawa alkohol, aldehida, keton, ester dan lainnya dengan konsentrasi yang berbeda-beda (Ayad et al. 2004).
SIMPULAN Semua keju yang dibuat maupun kultur campuran
baik dengan menggunakan kultur tunggal
menghasilkan stabilitas BAL sangat baik selama
4 minggu penyimpanan. Tekstur, rasa dan aroma keju yang dibuat dengan kultur tunggal L.plantarum TW14 dan kultur campuran (L.rhamnosus TW2 + L.plantarum TW14) mempunyai nilai kesukaan sama dengan nilai kesukaan keju susu kambing komersial. Keju lunak yang dibuat dengan kultur campuran (L.rhamnosus TW2 + L.plantarum TW14) berpotensi sangat baik dikembangkan sebagai keju fungsional.
77
DAFTAR PUSTAKA AOAC, Association of Official Analytical Chemist 2005. Official Methods of Analysis, Washington DC. Awad S. 2006. Texture and flavour development in Ras cheese made from raw and pasteurised milk. Food Chemist 97 : 394-400. Ayad EHE, Awad S, El Attar A, Jong C, El-Soda M. 2004. Characterisation of Egyptian Ras cheese. 2. Flavour formation. Food Chemist 86 : 553-561. Banks JM. 2007. Flavour, texture and flavour defects in hard and semi-cheeses. In: Mc Sweeney PLH. (ed). Cheese Problem Solved. England: Woodhead Publishing Limited Buriti FCA, Cardarelli HR, Filisetti Tullia MCC, Saad SMI. 2007. Synbiotic potential of fresh cream cheese supplemented with inulin and Lactobacillus paracasei in co-culture with Streptococcus thermophilus. Food Chemist 104 : 1605-1610. Bryant A, Ustunol Z, Steffe J. 1995. Texture of cheddar cheese as influenced by fat reduction. J Food Sci 60 : 1216-1219. Fox PF, Guinee TP, Cogan TM, McSweeney PLH. 2000. Fundamentals of cheese Science Gaithersburg, Maryland: An Aspen Publication Gardiner G, Ross RP,Collins JK, Fitzgerald G, Stanton C. 1998. Development of a probiotic cheddar cheese containing human-derived Lactobacillus paracasei strains. App Env Microbiol 64 : 2192 - 2199. Goncu A, Alpkent Z. 2005. Sensory and chemical properties of white pickled cheese produced using kefir, yoghurt or a commercial cheese culture as a starter. Int Dairy J 15 : 771-776. Heller KJ. 2001. Probiotic bacteria in fermented foods : Product characteristics and starter organisms. Am J Clin Nutr Supl 73 : 374-379. House KA, Terry E. 2002. Sensory impact of free fatty acids on the aroma of a model Cheddar cheese. Food Qual Prefer 13 : 481-488. Kondyli E, Katsiari MC, Voutsinas LP. 2008. Chemical and sensory characteristics of Galotyri-type cheese made using different procedures. Food Cont 19 : 301-307. Lawrence RC, Creamer Lk, Gilles J. 1987. Texture development during cheese ripening. J Dairy Sci 70 : 1748-1760.
78
Miller GD, Jarvis JK, McBean LD. 2007. Handbook of Dairy Foods and Nutrition. 3rd ed. Boca Raton: CRC Press. O’Brien NM, O’Connor TP. 2004. Nutritional aspects of cheese. Di dalam: Fox PF, McSweeney PLH, Cogan TM, Guinee TP. (eds). Cheese Chemistry, Physics and Microbiology. Vol. 2. Major Cheese Groups. London: Elsevier Academic Press. Olarte C, Fandos EC, Sanz S. 2001. A proposed methodology to determine the sensory quality of fresh’s cheese (Cameros cheese) : Application to cheeses packaged under modified atmospheres. Food Qual Prefr 12 : 163 -170. Ong L, Henriksson A, Shah NP. 2006. Development of probiotic Cheddar cheese containing L. acidophilus, Lb. casei, Lb. paracasei and Bifidobacterium spp. and the influence of these bacteria on proteolytic patterns and production of organic acid. Int Dairy J 16 : 446-456. Park YW. 1990. Nutrient profiles of commercial goat milk cheeses manufactured in the united states. J Dairy Sci 73 : 3059-3067. Pereira CI, Gomes AMP,Malcata XF. 2009. Microstructure of cheese: Processing, technological and microbiological considerations Review. Trends Food Sci Technol 20 : 213-219. Psoni L, Tzanetakis N, Litopoulou-Tzanetaki E. 2003. Microbiological characteristics of Batzos, a traditional Greekcheese from raw goat’s milk. Food Microbiol 20 : 575–582. Rahayu WP, Kusnandar F, Prayitno WE. 2011. Stability of lactic acid bacteria during processing and storage of goat milk soft cheese. 4 th International Seminar of Indonesia Society for Microbiology and IUMS-ISM out reach program of food safety (proceeding), Denpasar: Indonesia Microbiology Society p. 42. Rahayu P, Nurosiyah S. 2008. Evaluasi Sensori. Jakarta : Universitas Terbuka. Sallami L, Kheadr EE, Fliss I, Vuillemard JC. 2004. Impact of autolytic, proteolytic, and nisin-producing adjunct cultures on biochemical and textural properties of Cheddar cheese. J Dairy Sci 87 : 1585-1594. Souza CHB, Saad SMI. 2009. Viability of Lactobacillus acidophilus La-5 added solely or in co-culture with a yoghurt starter culture and implications on physico-chemical and related properties of Minas fresh cheese during storage. LWT - Food Sci Technol 42 : 633-640. Stanton C, Gardiner G, Lynch PB, Collins JK, Fitzgerald G, Ross RP. 1998. Probiotic Cheese. Int Dairy J 8 : 491-496.
79
Thomann S, Brechenmacher A, Hinrichs J. 2008. Strategy to evaluate cheesemaking properties of milk from different goat breeds. Small Rum Res 74 : 172-178. Tungjaroenchai W, White CH, Holmes WE, MA. 2004. Influence of adjunct cultures on volatile free fatty acids in reduced-fat Edam cheeses. J Dairy Sci 87 : 3224-3234. Vinderola G, Prosello W, Molinari F, Ghiberto D, Reinheimer J. 2009. Growth of Lactobacillus paracasei A13 in Argentinian probiotic cheese and its impact on the characteristics of the product. Int J Food Microbiol 135 : 171174. Vicente MS, Ibaana FC, Barcina Y, Barron LJR. 2001. Changes in the free amino acid content during ripening of Idiazabal cheese: infuence of starter and renet type. Food Chemist 72 : 309-317. Walstra P, Geurts TJ, Noomen A, Jellema A, van Boekel MAJS. 1999. Dairy Technology: Principles Of Milk Properties And Processes. New York: Marcel Dekker, Inc.
81
7. BAKTERI L. rhamnosus TW2 DAN L. plantarum TW14 UNTUK MENCEGAH INFEKSI S. Typhimurium ATCC 14028 PADA TIKUS PERCOBAAN (L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14 Bacteria on Prevent The Intervention of S. Typimurium ATCC 14028 in Experimental Rat) Probiotic is live non-pathogenic microorganisms that give beneficial effects on health when they are administered in adequate amounts. The objective of the study was to test L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14 isolates on microflora profiles, immunomodulator potential, and morphological profile of ileum and caecum. A total of 6 treatments were applied, which were (1) administration of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14; (2) administration of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14 and followed by kontrold feed; (3) administration of probiotic cheese with mixed cultures of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14; (4) administration of probiotic cheese with mixed cultures of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14, and followed by kontrol feed; (5) administration of probiotic cheese with mixed cultures of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14; and (K) administration of kontrol feed only and S. Typhimurium infected f rat on the 11 days treatment. Variables measured were number of LAB, number of S. Typhimurium, number of lymphosit, sIgA, and histological pattern. Results showed that number of LAB in the ileum and caecum was higher than control, whereas number of S. Typhimurium was lower than control. Treatment of probiotic isolate was able to improve the number of lymphosit at the start of the treatment, intervention S. Typhimurium stage, and advanced treatment stage. Treatment of probiotic isolate was able to improve sIgA at the time of S. Typhimurium intervention. In conclusion, mixed isolates of L. rhamnosus TW2 and L. plantarum TW14 were able to show preventive and remedial functions during S. Typhimurium ATCC 14028 intervention. Key words: caecum, ileum, LAB, L. rhamnosus TW2, L. plantarum TW14
PENDAHULUAN Salmonella merupakan salah satu penyebab Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia. Berdasarkan data Badan POM 2008-2010 persentase kejadian tersebut adalah 12,5-25,0 %. Ada dua jenis infeksi Salmonella yaitu : (1) infeksi yang menyerang usus bentuk non-tifoid dan (2) demam tifoid (Trussalu et al. 2004).
Infeksi tersebut bersumber pada berbagai serotipe Salmonella enterica
sebagai penyebab diare ringan, terjadi inflamasi saluran pencernaan sampai demam tifoid penyebab kematian. Target utama invasi S. Typhimurium adalah organ ileum,
82
sedangkan Peyer’s Patches dan M sel merupakan target awal invasi (Hudault et al. 1997). Studi bakteri probiotik banyak difokuskan pada saluran pencernaan manusia ataupun hewan. Bakteri tersebut berperan mengurangi terjadinya infeksi saluran pencernaan, yang disebabkan oleh bakteri patogen. Bakteri probiotik lebih bermanfaat jika digunakan lebih dari satu strain. Penggunaan probiotik campuran mampu mengurangi diare pada tikus percobaan (Casey et al. 2007). Beberapa mekanisme pertahanan oleh bakteri probiotik terhadap bakteri patogen antara lain : strain Lactobacillus mampu menghambat bakteri patogen Gram negatif dengan memproduksi asam laktat atau ketahanannya hidup yang lebih baik pada pH rendah. Strain tersebut menghambat pertumbuhan serovar Typhimurium SL144 (Fayol-Messaoudi et al. 2005). Penelitian dengan strain L. casei GG dilakukan pada S. Typhimurium untuk melihat pengaruh proteksi terhadap inang, dengan cara : (i) mengurangi jumlah S. Typhimurium awal infeksi dengan adanya substansi antimikroba yang dikeluarkan oleh BAL (ii) bakteri asam laktat dapat memodifikasi permukaan S. Typhimurium sehingga akan mengurangi penetrasi dalam usus halus dan (iii) probiotik mampu menstimulasi sistem imum (Hudault et al. 1997). Menurut Casey et al. (2007) terdapat empat mekanisme peran probiotik terhadap bakteri patogen, antara lain: sifat antagonis yang dihasilkan dari substansi antimikroba, kompetisi dengan patogen dalam menempel pada mukosa usus atau kompetisi terhadap sumber nutrisi dan sistem imun yang dimiliki oleh inang. Penelitian ini bertujuan menguji isolat dan keju L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 asal susu kambing terhadap profil mikroflora usus, potensi imunomodulator dan profil morfologi usus pada tikus percobaan. METODOLOGI Bahan dan Alat Pengujian secara in vivo dilakukan dengan tikus percobaan jenis Sprague Dawley berjenis kelamin jantan dan umur 6 minggu dengan berat badan 120-140 g. Percobaan dikerjakan selama 5 hari masa adaptasi dan 23 hari perlakuan. Tikus
83
dipelihara dalam kandang individu beralas sekam steril. Pemberian pakan dilakukan setiap hari dengan kasein sebagai sumber protein (10%). Pakan disusun berdasarkan AOAC (1995) seperti pada Tabel 7.1. Air minum (aqua) diberikan secara ad libitum. Tabel 7.1 Komposisi pakan standar (AOAC 1995) Komposisi
Jumlah (%)
Komposisi (%) 11,96
Protein Kasein (10%) (a)
a = 1,60 ×100 % N kasein
Minyak jagung (b)
[(8-a) × % kadar lemak]/100
7,98
Campuran mineral (c)
[(5-a) ×% kadar abu]/100
3,82
Campuran vitamin (d)
1
1,00
CMC (e)
[(1-a) × % kadar serat kasar]/100
0,98
Air (f)
[(5-a) × % kadar air]/100
3,82
Maizena (pati jagung)
100-(a+b+c+d+e+f)
69,35
Metode Kultur bakteri strain L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 masingmasing ditumbuhkan dalam media MRSB selama 24 jam, kemudian disentrifus 5000 rpm selama 10 menit. Kultur kemudian diencerkan dengan PBS sampai diperoleh koloni 8 log cfu ml-1, kemudian siap dicekokan pada tikus percobaan. Kultur bakteri patogen Gram negatif Salmonella Typhimurium ATCC 14028 ditumbuhkan dalam TSB (Tripton Soy Agar) (Difco) selama 24 jam, kemudian disentrifus 5000 rpm selama 10 menit. Salmonella Typhimurium disiapkan dengan PBS steril dengan jumlah koloni 8 log cfu ml-1 dan siap untuk dicekokan pada tikus percobaan pada tahap infeksi. Keju lunak susu kambing dibuat dengan kultur campuran L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14. Pengujian pengaruh BAL probiotik terhadap bakteri S. Typhimurium dikerjakan menurut LeBlanc et al. (2010) dengan 6 kelompok perlakuan, masingmasing kelompok dengan 9 ekor tikus. Bakteri Asam Laktat diberikan sebanyak 1 ml dengan konsentrasi 8 log cfu ml-1 dengan sonde. Keju dengan sifat probiotik diberikan sebanyak 1 g dengan jumlah BAL pada keju 8 log cfu g-1. Keju diberikan
84
setiap pagi sebelum diberi ransum. Perlakuan infeksi S. Typhimurium ATCC 14028 diberikan pada tikus dengan konsentrasi 8 log cfu ml-1 dengan cara dicekok. Tikus dipelihara selama 23 hari dan tikus pada setiap perlakuan dibedah masing-masing pada 10 hari awal perlakuan, 3 hari pasca infeksi S. Typhimurium dan 10 hari akhir perlakuan. Pengamatan pada tahap awal perlakuan sampai dengan hari ke-10 dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian BAL L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 pada tikus percobaan. Tahapan infeksi bertujuan untuk mengetahui ketahanan isolat dan keju probiotik terhadap S.Typhimurium. Tahap lanjutan bertujuan mempelajari pengaruh pemberian perlakuan pasca infeksi S. Typhimurium. Peubah yang diamati adalah jumlah BAL dan jumlah S. Typhimurium pada ileum, sekum dan feses. Jumlah limfosit diamati pada organ limfa dan nilai absorbansi sIgA pada organ ileum dan sekum. Perubahan vili usus diamati dengan teknik histologi pada organ ileum dan sekum tikus. Kelompok perlakuan pada tikus percobaan terdapat pada Tabel 7.2. Semua protokol perlakuan tersebut telah mendapatkan ijin dari komisi kode etik hewan yang dikeluarkan Libang Depkes RI berdasarkan persetujuan No: KE.01.02/EC/06H/2011 tentang pembebasan persetujuan etik (Exempted) (Lampiran 27). Tabel 7.2 Kelompok perlakuan pada tikus percobaan Perlakuan (hari) Kelompok 10
3
10
1.
Probiotik (pro)
S. Typhimurium (Typ)
Probiotik (pro)
2.
Probiotik (pro)
S. Typhimurium (Typ)
Kontrol (std)
3.
Keju (kej)
S. Typhimurium (Typ)
Keju (kej)
4.
Keju (kej)
S. Typhimurium (Typ)
Kontrol (std)
5.
Probiotik (pro)
6.
Kontrol (std)
PBS S. Typhimurium (Typ)
Probiotik (pro) Kontrol (std)
85
Pengamatan Profil Mikroflora usus Uji Kuantitatif Bakteri Asam Laktat (BAM 2001) Sampel ileum dan sekum ukuran 1 cm2 dicuci sebanyak 3 kali dengan larutan PBS untuk menghilangkan isi ileum dan sekum. Sampel dihancurkan dan dihomogenkan dalam plastik steril. Sampel ditambah 9 ml larutan Butterfield's phosphate-buffered steril dan diencerkan. Tahap selanjutnya sampel dari pengenceran yang diinginkan ditumbuhkan dalam media MRSA dengan metode tuang dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung. Uji kuantitatif Salmonella (Thushani et al. 2003) Sampel ileum dan sekum ukuran 1 cm2 dicuci sebanyak 3 kali dengan larutan PBS untuk menghilangkan isi ileum dan sekum. Sampel dihancurkan dan ditambah 9 ml larutan Butterfield's phosphate-buffered steril kemudian dihomogenkan dan diambil secara aseptik. Tahap selanjutnya sampel dari pengenceran yang diinginkan ditumbuhkan dalam media XLDA dengan metode tuang dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Analisis dilakukan secara duplo. Jumlah koloni Salmonella yang berwarna hitam dihitung. Potensi imunomodulator Penghitungan Jumlah Sel Limfosit pada Hewan Percobaan (Gill et al. 2000) Tikus percobaan setelah selesai masa perlakuan, dibedah untuk diambil limfanya. Organ limfa kemudian ditempatkan pada cawan steril yang berisi PBS dan dicuci dengan RPMI-1640 steril. Limfa dihancurkan dengan alat steril dalam cawan petri berisi 5 ml RPMI-1640. Cairan limfa dengan menggunakan syringe dimasukkan dalam tabung steril dan disentrifus 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan dipisahkan kemudian endapan direndam dalam NH4Cl 0,85 % steril dan diinkubasi selama 2 menit. Endapan ditambah 3 ml RPMI-1640 steril dan disentrifus kembali 1500 rpm selama 10 menit. Endapan sel selanjutnya dicuci dengan 5 ml RPMI-1640 kemudian
86
disentrifus kembali 1000 rpm selama 10 menit. Media RPMI-1640 sebanyak 2 ml ditambahkan pada endapan tersebut selanjutnya dilakukan pengenceran sampai tingkat tertentu. Suspensi sel kemudian dicampur dengan tryphan blue dengan perbandingan 1:1 (v:v). Penghitungan dilakukan dengan perbesaran mikroskop 400 kali. Jumlah sel yang hidup dihitung pada area 2 kotak besar (@ 16 kotak kecil) lalu dihitung per ml suspensi dengan rumus: Jumlah sel ml-1 = rata-rata jumlah sel per bidang pandang × 104× FP Keterangan : FP 104
: Faktor pengenceran : 1 bidang pandang
Uji Imunoglobulin A (sIgA) Modifikasi Roller et al. (2004) Sampel cairan ileum dan sekum diambil dari mukosa usus tikus percobaan. Sampel dibilas dengan larutan PBS kemudian disentrifus 5000 rpm selama 15 menit. Supernatan disimpan dalam tabung ependof dan disimpan pada suhu -20oC sampai siap digunakan. Sampel sebanyak 100 µl dimasukkan dalam sumuran yang berisi 100 µl NaHCO3, kemudian diinkubasi semalam pada suhu 4oC. Sampel kemudian dicuci dengan PBS-Tween sebanyak 3 kali dan dilakukan blocking dengan FBS-Tween serta diikubasi suhu 37oC selama 60 menit. Sampel dicuci kembali dengan PBS-Tween sebanyak 3 kali. Antibodi sebanyak 100 μl yaitu antibodi goat anti-rat dilapiskan pada sumuran. Antibodi tersebut sebelumnya telah diencerkan (1 : 50 v:v) dengan pelarut PBS-Tween 20. Sampel dan antibodi diinkubasi pada suhu 37oC selama 60 menit. Langkah selanjutnya adalah dilakukan pencucian dengan PBS-Tween. Sebanyak 100 μl peroxidase antibody produced in rabbit (dilarutkan 1 : 10000 dalam PBS-Tween) ditambahkan dalam sumuran dan diinkubasi kembali pada suhu
37oC
selama 60
menit.
Substrat
peroksidase
yaitu 100 μl
tetramethylbenzidine ditambahkan dan selanjutnya sumuran ditempatkan pada tempat yang gelap tanpa cahaya selama 30 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 100 μl 1 mol/l H3PO4. Besarnya sekresi IgA (sIgA) ditentukan dengan pengukuran pada panjang gelombang 450 nm.
87
Profil Morfologi Usus (Kierman 1990) Gambaran histologi usus dengan pewarnaan Hematoksilin-eosin (HE) diamati pada sampel usus. Morfologi usus diamati dari ileum dan sekum tikus. Sampel dipotong kemudian difiksasi selama 24 jam dengan larutan formalin. Tahapan selanjutnya adalah tahap dehidrasi dengan alkohol 70, 80, 90 dan 95% masing-masing selama 24 jam dan dilanjutkan dengan perendaman dalam alkohol absolut I, II, III selama 1 jam. Sampel dimasukkan pada larutan xylol I, II dan III masing-masing 1 jam pada tahap clearing. Tahap infiltering dilakukan dengan memasukkan sampel ke dalam parafin I, II dan III masing-masing selama 1 jam pada suhu 60oC, dilanjutkan tahap embedding yaitu penanaman jaringan dalam parafin kemudian dibuat blok-blok jaringan. Jaringan yang sudah dalam blok parafin dipotong setebal 4 mikron dengan mikrotom dan hasil potongan direndam dalam akuades, selanjutnya dipanaskan dalam waterbath suhu 37oC. Jaringan diletakkan pada obyek gelas dan dimasukkan ke dalam inkubator suhu 40 oC selama ± 24 jam. Proses deparafinasi dan rehidrasi dilakukan sebelum pewarnaan dengan cara mencelupkan jaringan pada gelas obyek ke dalam xylol I, II selama 3 menit dan xylol III selama 5 menit. Proses dilanjutkan dengan pencelupan jaringan pada gelas obyek dalam alkohol absolut III, II, I selama 3 menit, alkohol 95, 90 dan 80 % selama 3 menit dan alkohol 70 % selama 5 menit. Proses diakhiri dengan mencuci jaringan dengan air kran selama 5 menit dan dilanjutkan dengan akuades selama minimal 5 menit. Pewarnaan dengan hematoksilin dilakukan selama 25 detik kemudian dicuci dengan air kran selama 5 menit dan akuades selama minimal 5 menit dilanjutkan dengan pewarnaan dengan eosin selama 5 menit kemudian dicuci akuades selama minimal 5 menit. Tahap berikutnya adalah tahap dehidrasi setelah pewarnaan dengan cara mencelupkan jaringan dalam alkohol absolut I selama 30 detik, alkohol II selama 1 menit dan alkohol absolut III selama 3 menit. Tahap clearing dikerjakan setelah dehidrasi dengan cara mencelupkan jaringan pada xylol I, II, dan III masingmasing selama 1 menit. Tahapan dilanjutkan dengan proses mounting yaitu jaringan
88
ditetesi dengan zat perekat, selanjutnya ditutup dengan gelas penutup dan jaringan dilihat dengan mikroskop. Analisis Data Pengolahan data hasil pengujian nilai absorbansi sIgA dilakukan secara statistik dengan analisis sidik ragam (ANOVA). Uji lanjut Duncan menggunakan Software SPSS 17. Data hasil perhitungan jumlah BAL, jumlah S. Typhimurium dan jumlah limfosit dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah BAL pada Ileum, Sekum dan Feses Tikus Kemampuan
BAL menempel pada mukosa usus sangat penting untuk
menjaga ekosistem saluran pencernaan.
Hasil rataan perlakuan pemberian isolat
probiotik dan keju probiotik dapat dilihat pada Tabel 7.3 Tabel 7.3 Jumlah BAL pada ileum, sekum dan feses tikus Jumlah BAL (log cfu g-1)
Sampel
Waktu sampling (hari)
pro-typpro
pro-typstd
kej-typ-kej
kej-typstan
pro-pbs-pro
std-typ-std (kontrol)
10 13 23
6,22±0,62 6,05±0,14 6,23±0,80
6,78±0,2 6,30±0,38 5,45±0,37
5,58±0,21 5,45±0.05 6,12±0,71
5,47±1,34 5,10±0,47 5,57±0,63
7,25±0,16 6,53±0,94 6,52±0,00
5,75±0,68 4,34±0,27 4,98±0,92
10 13 23
5,56±0,17 6,30±0,61 6,29±0,62
6,32±0,56 6,69±0,04 6,04±0,21
6,07±0,49 6,24±0,24 6,33±0,40
5,97±0,77 6,10±0,67 5,74±0,48
6,23±0,21 7,13±0,28 6,61±0,13
5,36±0,17 4,60±0,44 5,32±0,31
10 13 23
8,61±0,10 8,35±0,28 7,77±0,24
8,71±0,43 8,80±0,13 7,45±0,47
8,27±0,44 7,78±1,23 7,69±0,17
8,10±1,02 7,58±0,24 7,23±0,79
8,56±0,22 8,72±0,77 7,98±0,71
7,66±0,21 7,60±0,05 7,76±0,23
ileum
sekum
feses
Keterangan: 10: waktu pemberian BAL sd hari ke-10 (awal perlakuan). 13 : infeksi S. Typhimurium pada hari ke-11-13 (72 jam). 23: waktu perbaikan dari infeksi sampai hari ke-23(perlakuan lanjutan).
Pemberian isolat probiotik pada 10 hari perlakuan menghasilkan jumlah BAL yang lebih tinggi dibandingkan kontrol. Rataan tertinggi BAL pada ileum tikus
89
adalah 7,25 log cfu g-1. Molin et al. (1993) menyatakan bahwa pada saluran pencernaan manusia dewasa jumlah populasi Lactobacilli berkisar 2-4 log cfu g-1 dalam usus halus dan 4-6 log cfu g-1 dalam kolon. Keju yang diberikan selama 10 hari awal perlakuan menghasilkan jumlah BAL pada ileum lebih rendah dibandingkan kontrol. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa pemberian dalam bentuk isolat BAL lebih efisien dibandingkan dalam bentuk keju. Kondisi tersebut dimungkinkan BAL dalam keju masih terperangkap dalam matrik keju sehingga untuk beradaptasi dan menempel pada ileum membutuhkan waktu lebih lama. Komponen keju adalah air, protein dan lemak yang membentuk matrik yang berperan melindungi mikroba selama melewati saluran pencernaan dan selama penyimpanan (Staton et al. 1998). Ketahanan probiotik pada saluran pencernaan dipengaruhi oleh jenis strain serta carrier pembawanya seperti produk keju, susu fermentasi atau susu formula (Saxelin et al. 1993). Infeksi S. Typhimurium menyebabkan terjadinya penurunan jumlah BAL pada semua perlakuan. Jumlah BAL yang terdeteksi selama infeksi lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat dan keju probiotik mampu bertahan dan berkompetisi dengan S. Typhimurium pada ileum tikus. Rolfe (2000) menjelaskan mekanisme penghambatan probiotik terhadap bakteri patogen yang berkolonisasi di dalam usus antara lain : mencegah penempelan bakteri patogen pada sel epitel dan probiotik mampu berkompetisi dengan bakteri patogen untuk mendapatkan zat gizi yang dibutuhkan. Penurunan jumlah BAL selama infeksi patogen sejalan dengan penelitian Arief et al. (2010) yang menyatakan pemberian EPEC K.1.1 menyebabkan penurunan jumlah BAL. Penelitian oleh Hudault et al. (1997) menyatakan 5 hari pasca infeksi S. Typhimurium terjadi penurunan jumlah BAL pada usus halus. Perlakuan pasca infeksi sampai hari ke-23 menghasilkan kenaikan jumlah BAL pada kelompok tikus yang diberi isolat dan keju probiotik secara kontinyu. Jumlah BAL tidak meningkat pada perlakuan lainnya. Secara umum semua perlakuan menghasilkan BAL lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini dapat disimpulkan
90
bahwa bakteri probiotik mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam saluran pencernaan (Oozerr et al. 2006). Pemberian isolat dan keju probiotik sampai dengan hari ke-10 percobaan menghasilkan jumlah BAL pada sekum lebih tinggi dibandingkan jumlah BAL pada perlakuan kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa probiotik dalam bentuk isolat maupun keju mampu berperan sebagai proteksi untuk mencegah terjadinya infeksi pada sekum. Probiotik mampu melewati saluran pencernaan dan bertahan pada sekum. Hal ini sesuai dengan penelitian Johansson et al. (1993) yang menyatakan bahwa pemberian Lactobacillus secara oral mampu meningkatkan jumlah Lactobacillus dalam jejenum dan rektumnya. Perlakuan infeksi S. Typhimurium pada tikus meningkatkan jumlah BAL sekum dibandingkan kontrolnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa BAL yang diberikan mampu bersaing dengan S. Typhimurium. Kemampuan BAL melindungi sekum terhadap infeksi S. Typhimurium dijelaskan oleh Hudault et al. (1997) yaitu (1) terjadi penurunan jumlah S. Typhimurium pada awal terjadinya infeksi dengan adanya substansi antimikroba yang dihasilkan oleh BAL, (2) memodifikasi permukaan S. Typhimurium sehingga akan mengurangi penetrasinya dalam usus halus dan (3) mampu menstimulasi sistem imun. Pemberian perlakuan sampai dengan hari ke-23 pada sekum tikus percobaan menghasilkan jumlah BAL lebih tinggi dibandingkan kontrolnya. Isolat dan keju yang diberikan secara kontinyu sampai 23 hari menghasilkan jumlah BAL lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian perlakuan selama 13 hari. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi probiotik secara kontinyu sampai 23 hari mampu meningkatkan jumlah BAL. Rataan jumlah BAL pada feses selama 10 hari perlakuan menghasilkan jumlah BAL lebih tinggi pada feses dibandingkan kontrol. Pemberian isolat dan keju probiotik selama 23 hari menyebabkan jumlah BAL lebih tinggi dibandingkan perlakuan pemberian isolat dan keju selama 13 hari. Jumlah BAL yang terdeteksi dalam feses menunjukkan BAL tidak mampu bertahan atau menempel pada usus dan keluar pada feses tikus. Penelitian oleh Goosens et al. (2005) menjelaskan
91
konsentrasi Lactobacillus meningkat dalam fesesnya setelah mengkonsumsi L. plantarum 229v. Selain itu jumlah BAL meningkat 5,6 log cfu g-1 pada fesesnya setelah mengonsumsi produk probiotik yang mengandung L.reuteri DSM 17938 atau L. rhamnosus GG. Jumlah BAL feses pada perlakuan pemberian susu fermentasi yang mengandung L. casei selama 4 sampai 7 hari adalah 7,6 log cfu g-1. Jumlah BAL tersebut akan menurun drastis setelah konsumsi dihentikan (Oozeer et al. 2006). Jumlah S. Typhimurium pada Ileum, Sekum dan Feses Tikus Efek antagonis probiotik (L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14) yang diuji secara in vitro aktivitas antibakterinya terhadap S. Typhimurium ATCC 14028 menunjukkan diameter penghambatan masing-masing adalah 18,60 dan 19,80 mm. Hal ini sejalan dengan penelitian in vivo yang menunjukkan bahwa kelompok perlakuan isolat dan keju probiotik selama 10 hari memperlihatkan tidak terdeteksinya S. Typhimurium pada ileum, sekum maupun feses. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa usus bukan merupakan habitat alami S. Typhimurium. Keberadaan S. Typhimurium dalam usus dibawa oleh makanan yang terkontaminasi sebagai penyebab infeksi. Infeksi tersebut bersumber pada berbagai serotipe Salmonella enterica sebagai penyebab diare ringan, terjadinya inflamasi saluran pencernaan sampai dengan terjadinya demam tifoid penyebab kematian. Target utama invasi S. Typhimurium adalah organ ileum, sedangkan Peyer‘s Patches dan M sel merupakan target awal invasi (Hudault et al. 1997). Hasil ini sejalan dengan penelitian Jakee et al. (2010) bahwa tidak mendeteksi S. Typhimurium pada feses tikus sebelum dilakukan infeksi. Jumlah S. Typhimurium pada ileum dan sekum pada perlakuan isolat dan keju probiotik lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol. Hal ini memperlihatkan L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 mampu menurunkan S. Typhimurium pada ileum dan sekum. Pemberian BAL baik dalam bentuk isolat maupun bentuk keju mampu menghambat pertumbuhan S. Typhimurium dengan cara melindungi mikroflora usus terhadap patogen dengan berkompetisi atau dalam memanfaatkan
92
nutrisi. Jumlah S. Typhimurium yang terdeteksi pada organ ileum, sekum dan sampel feses selama 23 hari percobaan dapat dilihat pada Tabel 7.4. Tabel 7.4 Jumlah S. Typhimurium pada ileum, sekum dan feses tikus Jumlah S. Typhimurium (log cfu g-1)
sampel
Waktu sampling (hari)
pro-typpro
pro-typstd
kej-typkej
kej-typ- prostd pbspro
std-typstd (kontrol)
Ileum
10 13 23
Nd 3,22±0,29 Nd
Nd 3,10±0,01 3,07±0,06
Nd 3,68±0,21 1,45±1,02
Nd 3,60±0,17 3,13±0,73
Nd Nd Nd
Nd 4,59±0,20 4,48±0,07
Sekum
10 13 23
Nd 3,80±0,05 Nd
Nd 3,61±0,25 0,80±1,38
Nd 3,47±0,03 Nd
Nd 3,53±0,13 2,94±0,07
Nd Nd Nd
Nd 4,81±0,22 4,92±0,62
10 13 23
Nd Nd Nd
Nd Nd Nd
Nd Nd Nd
Nd 3,82±1,81 1,66±0,03
Nd Nd Nd
Nd 3,68±0,15 Nd
Feses
Keterangan: 10: waktu pemberian BAL sd hari ke-10 (awal perlakuan). 13 : infeksi S. Typhimurium pada hari ke-11-13 (72 jam). 23: waktu perbaikan dari infeksi sampai hari ke-23(perlakuan lanjutan).
Salmonella Typhimurium terdeteksi pasca infeksi pada perlakuan isolat dan keju probiotik yang diberikan selama 13 hari. Hal ini memperlihatkan bahwa konsumsi isolat dan keju probiotik lebih efesien menurunkan jumlah S. Typhimurium pada sekum apabila dikonsumsi secara kontinyu sampai 23 hari. Pemberian Lactobacillus secara oral baik strain tunggal maupun campuran mampu mengurangi infeksi S. Typhimurium dan E.coli. BAL probiotik L. casei Shirota dapat mencegah infeksi E. coli O:157 pada anak kelinci (Ogawa et al. 2001). Jumlah Limfosit pada Tikus Komposisi mikroba pada saluran pencernaan dipengaruhi oleh sifat antagonis diantara bakteri dan adanya imunitas lokal. Bakteri patogen yang berkembang akan mengganggu keseimbangan mikroflora, tetapi jika yang mendominasi adalah bakteri
93
baik, maka akan bermanfaat meningkatkan sistem imun pada inang. Bakteri asam laktat memberi proteksi pada membran mukosa sehingga berperan sebagai imunitas lokal. Jumlah limfosit pada tikus dengan perlakuan probiotik campuran terdapat pada Tabel 7.5. Tabel 7.5 Jumlah limfosit pada organ limfa tikus percobaan Jumlah limfosit (106 sel ml-1) Waktu sampling (hari)
pro-typ-pro
pro-typ-stan kej-typ-kej
kej-typ-std
pro-pbs-pro stad-typ-std (kontrol)
10
99 ±47
57 ±5,7
140±93
74 ±6,4
120±17
57±13
13
230±8,5
45± 34
27 ± 21
18 ±8,1
110±55
6,8±1,6
23
370±28
79 ± 59
190±15
120±71
200±15
15±2,1
Keterangan: 10: waktu pemberian BAL sd hari ke-10 (awal perlakuan). 13 : infeksi S. Typhimurium pada hari ke-11-13 (72 jam). 23: waktu perbaikan dari infeksi sampai hari ke-23(perlakuan lanjutan).
Tabel 7.5 memperlihatkan semua perlakuan yang diberikan sampai 10 hari menghasilkan jumlah limfosit lebih tinggi dibandingkan kontrol. Pemberian isolat dan keju probiotik mampu meningkatkan sistem imun tubuh. BAL merangsang aktivitas sel-sel kekebalan non spesifik dan spesifik. Berbagai strain BAL mempunyai pengaruh terhadap sistem imun dengan cara menstimulasi dan menekan respon sel T helper 1 (Th1). Bakteri asam laktat berperan mengurangi kerusakan mikroflora usus, karena usus sangat rentan terhadap infeksi (Macdonald 2003). Infeksi S. Typhimurium menghasilkan jumlah limfosit lebih tinggi dibandingkan kontrol pada perlakuan isolat dan keju probiotik. Sistem imun yang meningkat diperlihatkan oleh jumlah limfosit yang lebih tinggi. Tubuh memberikan respon terhadap S. Typhimurium dengan mengaktifkan sistem imun bawaan melalui sel fagosit yang mampu membunuh bakteri patogen. Wahyuniar et al. (2009) menunjukkan bahwa terjadi proliferasi limfosit pada mencit 3 hari pasca infeksi L. monocytogenes. Limfosit T berproliferasi karena adanya infeksi bakteri intraselular termasuk infeksi L. monocytogenes yang akan
94
memicu respon imun selular. Limfosit T yang teraktivasi akan mensekresikan IFN-γ dan meningkatkan aktivitas makrofag untuk mengeliminasi mikroba. Pasca infeksi S. Typhimurium terjadi kenaikan jumlah limfosit yang lebih tinggi pada semua perlakuan dibandingkan kontrol. Meningkatnya jumlah limfosit sejalan dengan berkurangnya jumlah S. Typhimurium setelah infeksi pada ileum dan sekumnya (Tabel 7.4). Hasil ini didukung oleh jumlah BAL yang bertambah pada sekum sampai hari ke-23. Perlakuan isolat probiotik dan keju probiotik mampu mengembalikan imunitas tubuh dengan meningkatnya jumlah limfositnya (Tabel 7.5). Bujalance et al. (2007) menyatakan bahwa strain L. plantarum berperan sebagai imunomodulator dengan cara memperbaiki respon limfosit pada sistem imun yang terganggu. Paturi et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian L. acidophilus dan L. paracasei secara oral mampu meningkatkan respon spesifiknya (IgA) dan meningkatkan respon sistemiknya (IL-10 dan IFN-γ) pada tikus percobaan. Strain L. plantarum 2C12 dan L. acidophilus 2B4 mampu meningkatkan status imun pada tikus percobaan yang diinfeksi dengan EPEC K1.1 pada hari ke-7, ke-14 dan hari ke-21. Pemberian probiotik tersebut mampu meningkatkan status imun dengan meningkatnya jumlah limfosit dari 106 sel menjadi 107-108 sel (Arief et al. 2010). Imunoglobulin A (sIgA) Probiotik menghasilkan respon imun non-spesifik dan respon imun IgA yang berperan mengontrol infeksi usus. Imunoglobulin A (IgA) merupakan imunoglobulin utama yang terdapat pada mukosa usus dan disebut sebagai IgA sekresi (sIgA). sIgA terdapat dalam bentuk dimer pada usus dan diproduksi oleh limfosit mukosa ditranspor dan dilepaskan pada mukosa usus.
Sekresi IgA mengikat membran
reseptor pada permukaan epitel sel diangkut pada permukaan mukosa yang masih terikat dalam membran vesikel dan dilepaskan pada mukosa. Sekresi IgA berperan sebagai garis pertahanan pertama terhadap antigen usus, karena sIgA lebih tahan terhadap enzim proteolitik dan tidak terpengaruh adanya respon inflamasi. Hasil absorbansi sIgA pada ileum dan sekum tikus percobaan terdapat pada Tabel 7.6.
95
Tabel 7.6 Nilai absorbansi (serapan) sekresi Imunoglobulin A (sIgA) pada ileum dan sekum tikus Nilai absorbansi pada OD 450 Sampel
ileum
sekum
Waktu sampling (hari)
pro-typ-pro
pro-typ-std kej-typ-kej kej-typ-std pro-pbs-pro std-typ-std (kontrol)
10
0,089±0,00a
0,096±0,00a
0,112±0,00b
0,102±0,00ab
0,101±0,00a
0,101±0,00a
13
0,114±0,00b
0,119±0,00b
0,086±0.00a
0,090±0,00a
0,092±0,00a
0,095±0,00a
23
0,102±0,00b
0,093±0,00a
0,078±0,00a
0,090±0,00a
0,086±0,00a
0,085±0,00a
10
0,097±0,00a
0,112±0,00b
0,101±0,01a
0,085±0,00a
0,096±0,00a
0,104±0,01a
13
0,087±0,01a
0,083±0,00a
0,089±0,00a
0.101±0,00a
0,092±0,00a
0,096±0,00a
23
0,097±0,00a
0092±0,00a
0,079±0,00a
0,084±0,00a
0,091±0,00ab
0,086±0,00a
Keterangan : superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 10: waktu pemberian BAL sd hari ke-10 (awal perlakuan). 13 : infeksi S. Typhimurium pada hari ke-11-13 (72 jam). 23: waktu perbaikan dari infeksi sampai hari ke-23 (perlakuan lanjutan).
Tabel 7.6 memperlihatkan bahwa pada 10 hari awal perlakuan, terjadi peningkatan nilai absorbansi sekresi IgA ileum pada perlakuan keju probiotik (kej-typ-kej) dibandingkan kontrol. Peningkatan absorbansi sIgA pada keju terjadi karena isolat probiotik dalam keju terlindungi oleh matrik keju dan lemak selama melewati saluran pencernaan. Ketahanan hidup probiotik akan mengaktifkan sistem imun mukosa dan diwujudkan dengan peningkatan nilai absorbansi sIgA (Tsuji et al. 2008), menyatakan bahwa probiotik dalam keju meningkatkan produksi sel IgA pada usus kecil dan lamina propria usus besar pada mencit. Perlakuan isolat probiotik mampu meningkatkan nilai absorbansi sIgA pada organ sekum, hal ini menunjukkan isolat probiotik meningkatkan induksi sistem imun mukosa yang dibutuhkan untuk terjadi interaksi dengan sel epitel dan sel imun dalam menghasilkan respon imun. Tahap infeksi S. Typhimurium, perlakuan isolat probiotik (pro-typ-pro) mampu meningkatkan nilai absorbansi sekresi IgA pada ileum dan berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan kontrol. Perlakuan isolat probiotik mampu menginduksi sIgA. Sekresi imunoglobulin A mampu mengikat S. Typhimurium sehingga mencegah
96
aktifnya antigen. Sekresi IgA mengikat antigen dengan meminimalkan bakteri komensal dan mencegah pembentukan antigen secara sistemik. Peran imunitas alami sIgA yang diproduksi secara
adalah untuk melawan infeksi saluran pencernaan
(Favre et al. 2005). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Salva et al. (2010) yang menyatakan bahwa pemberian L. rhamnosus CRL1505 dan L. rhamnosus CRL1506 secara nyata meningkatkan IgA dibandingkan dengan kontrol. Mekanisme kekebalan tubuh karena adanya infeksi S. Typhimurium adalah aktivasi sistem imun lokal usus yang diinduksi oleh L. rhamnosus CRL1505 dan L. rhamnosus CRL1506. Pemberian isolat probiotik pasca infeksi mampu meningkatkan nilai absorbansi sIgA pada ileum. Hasil tersebut memperlihatkan peran penting sIgA dalam mencegah internalisasi S. Typhimurium. Pemberian isolat probiotik pada 10 hari awal perlakuan meningkatkan nilai absorbansi sIgA pada sekum dibandingkan kontrol. Imunoglobulin A dilepaskan dari lumen usus dan akan meningkatkan sIgA alam cairan usus selanjutnya meningkatkan nilai absorbansi IgA sekum. Imunoglobulin A (IgA) mampu melindungi mukosa termasuk sekum terhadap mikroba patogen yang ada dalam lingkungan usus (Macpherson et al. 2000). Perlakuan infeksi dan pasca infeksi tidak mempengaruhi besarnya nilai absorbansi sIgA pada perlakuan. Pemberian probiotik saja tidak berpengaruh terhadap sIgA sekum, diduga probiotik berpengaruh terhadap fungsi imun saja, sementara imun sistemiknya tidak terpengaruh.
Proteksi sIgA terhadap antigen
dalam lumen usus tergantung dengan kemampuannya menghambat penyerapan antigen dengan membentuk sistem imun kompleks secara intraluminal (Wold et al. 1990). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Roller et al. (2004) yang menyatakan pemberian probiotik tidak mempengaruhi sIgA sekum. Profil Morfologi Usus Usus halus secara histologis terdiri dari lapisan mukosa (lamina ephitelia, lamina propria dan muscularis mucosae), submukosa, muskularis (tunica muscularis) dan serosa (tunica serosa). Usus halus terbagi dalam tiga bagian yaitu
97
duodenum, jejunum dan ileum yang berperan mengabsorbsi makronutrien. Perubahan-perubahan yang terjadi pada jaringan usus seperti kerusakan vili selama pemberian perlakuan dapat diamati secara histologi. Vili merupakan penjuluran dari mukosa usus ke arah lumen yang berfungsi memperluas daerah absorpsi makanan. Lamina propria berisi sel plasma, sel limfosit, makrofag dan granulosit, dimana limfosit juga menyebar ke sel epitel, sebagai limfosit intra epitel. Sel tersebut dipengaruhi oleh makanan dan adanya antigen. Vili usus pada tikus yang diberi isolat dan keju probiotik tampak normal, tidak terlihat adanya pengelupasan pada ujung vili dan vili melekat kuat pada epitelnya (Gambar 7.1 a dan b). Tikus yang diberi ransum kontrol tanpa probiotik (Gambar 7.1 c) menunjukkan terjadi pengelupasan pada ujung vili. Hal ini memperlihatkan penambahan isolat dan keju probiotik mampu menjaga keutuhan vili ileum, sehingga meningkatkan penyerapan nutrisi. Infeksi S. Typhimurium mempengaruhi keutuhan vili usus tikus pada berbagai perlakuan. Kelompok tikus (pro-typ-pro) (Gambar 7.2 a) dan kelompok tikus yang diberi perlakuan keju (kej-typ-kej) (Gambar 7.2 b) pada saat infeksi oleh S. Typhimurium tampak bahwa ujung vilinya mengalami juga pengelupasan. Kelompok tikus (std-typ-std) (Gambar 7.2 c) pada saat terinfeksi S. Typhimurium mengalami pelepasan epitel penutup lebih banyak dan menunjukkan tingkat kerusakan lebih tinggi. Infeksi S. Typhimurium mempengaruhi keuntuhan vili usus tikus pada berbagai perlakuan. Kelompok tikus (pro-typ-pro) (Gambar 7.2 a) dan kelompok tikus yang diberi perlakuan keju (kej-typ-kej) (Gambar 7.2 b) pada saat infeksi oleh S. Typhimurium tampak ujung vilinya mengalami pengelupasan. Kelompok tikus (std-typ-std) (Gambar 7.2 c) pada saat terinfeksi S. Typhimurium mengalami pelepasan epitel penutup yang lebih banyak dan menunjukkan tingkat kerusakan yang lebih tinggi. Semua perlakuan pada saat infeksi menunjukkan vili tetap tinggi. Kerusakan vili merupakan indikasi terjadinya infeksi tingkat rendah tetapi penyerapan nutrisi tetap tinggi (Pelicano et al. 2005). Vili ileum dan sekum tikus yang dipengaruhi oleh pemberian isolat dan keju probiotik sebelum infeksi dan saat infeksi S. Typimurium terlihat pada Gambar 7.1-7.2.
98
a vili usus pada perlakuan sebelum infeksi dengan ransum probiotik
b vili ileum tikus pada perlakuan sebelum infeksi dengan ransum keju
c vili ileum tikus pada perlakuan sebelum infeksi dengan ransum standar
Gambar 7.1 Vili ileum tikus sebelum infeksi S. Typhimurium dibedah hari ke-10 dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), ( ) pelepasan penutup vili, ( )proliferasi sel goblet. Skala bar ( )= 50µm.
99
a vili ileum tikus saat infeksi S. Typhimurium dengan ransum probiotik
b vili ileum tikus saat infeksi S. Typhimurium dengan ransum keju
c vili ileum tikus saat infeksi S. Typhimurium dengan ransum standar
Gambar 7.2 histologi Vili ileum dari tikusShu saat et infeksi S. Typhimurium dibedahbahwa hari ke-13 dengan Analisis al. (1999) memperlihatkan perlakuan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), ( ) pelepasan penutup vili, ( ) proliferasi sel goblet. Skala bar ( ) = 50µm.
100
pemberian probiotik 5 log cfu tidak mempengaruhi tinggi vili, tebal mukosa atau tinggi sel epitel pada ileum, kolon atau sekumnya, sehingga disimpulkan bahwa pemberian BAL strain HN017, HN001 atau HN019 tidak menyebabkan pengaruh buruk terhadap status hematologi dan histologi. Pasca infeksi S. Typhimurium perlakuan pemberian isolat probiotik tidak memperlihatkan terjadi kerusakan pada vili usus dan tidak terdapat lesi spesifik pasca infeksi. Pada kelompok kontrol, pasca infeksi vilinya tidak mengalami kerusakan tetapi terlihat vilinya lebih pendek dibandingkan dengan perlakukan lainnya (Gambar 7.3 a-c). Vili yang pendek akan mempengaruhi proses absorpsi nutrisi sehingga penyerapan tidak terjadi sencara optimal. Stres mengakibatkan perubahan morfologi, mukosa dan isi sel. Perubahan morfologi ditandai dengan memendeknya vili dan kripta berkaitan dengan adanya antigen atau toksin (Xu et al. 2003). Vili yang tinggi dan normal berkaitan dengan mekanisme pemulihan mukosa usus. Hasil histomorfometrik dari Dock et al. (2004) memperlihatkan adanya pemulihan lebih cepat pada usus atropi dengan penambahan probiotik S. thermophilus dan L. helveticus dalam pakannya. Meningkatnya kedalaman kripta mengakibatkan terjadi penebalan pada mukosanya. Mukosa yang tebal dengan vili yang pendek berpengaruh terhadap penyerapan protein. Perubahan tersebut diperparah oleh faktor seperti diare dan infeksi yang menyebabkan atropi vili dan tidak berfungsinya usus (Rodgrigues et al. 2007). Perlakuan pasca infeksi S. Typhimurium kelompok yang diberi probiotik secara kontinyu (pro-typ-pro) (Gambar 7.3 a) memperlihatkan tidak terjadi kerusakan vili, demikian juga dengan perlakuan (pro-typ-std), tetapi kelompok (pro-typ-std) (Gambar 7.4 b) pasca infeksi mengalami proliferasi sel goblet (tanda anak panah) dan fokal akumulasi sel limfoid (tanda asterik). Perlakuan keju pasca infeksi (kej-typ-kej) (Gambar 7.3. a dan b) menunjukkan vilinya mengalami pelepasan penutup vili dengan kerusakan derajat ringan (tanda anak panah).
101
a vili ileum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium dengan ransum lanjutan probiotik
b vili ileum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium dengan ransum lanjutan keju
c vili ileum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium
dengan ransum lanjutan standar (std-typ-std)
Gambar 7.3 Vili ileum tikus setelah infeksi S. Typhimurium yang dibedah pada hari ke-23 dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), ( ) pelepasan penutup vili. Skala bar ( )= 50µm.
102
a vili ileum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium (pro-typ-std)
b vili ileum tikus perlakuan setelah infeksi S.Typhimurium (kej-typ-std)
Gambar 7.4 Vili ileum tikus setelah infeksi S. Typhimurium perlakuan (kej-typ-kej) dan (kej-typ-std) dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), ( ) pelepasan penutup vili, ( ) proliferasi sel goblet. Skala bar ( ) = 50µm.
a sekum tikus perlakuan tanpa infeksi S. Typhimurium (pro-pbs-pro)
b sekum tikus perlakuan infeksi S. Typhimurium kontrol (std-typ-std).
Gambar 7.5 Sekum tikus tanpa infeksi dan dengan infeksi S. Typhimurium dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), ( ) epitel. Skala bar ( ) = 50µm.
103
a sekum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium (pro-typ-pro)
b sekum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium (pro-typ-std)
c sekum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium (std-typ-std)
Gambar 7.6 Sekum tikus perlakuan setelah infeksi S. Typhimurium pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE), ( ) proliferasi sel goblet, ( * ) fokal akumulasi sel limfoid. Skala bar ( ) = 50µm.
104
Sekum tikus tanpa infeksi (pro-pbs-pro) memperlihatkan epitel mukosa normal dan tidak mengalami perubahan/kelainan (Gambar 7.5 a). Kelompok tikus kontrol (std-typ-std) yang diinfeksi dengan S Typhimurium, mukosanya menebal, epitel dan kriptanya mengalami kerusakan parah. Pasca infeksi, sekum tikus dengan perlakuan pro-typ-pro (Gambar 7.6 a) tidak mengalami kerusakan dan tidak ada lesi spesifik, sedangkan sekum dengan perlakuan pro-typ-std mengalami proliferasi sel goblet (Gambar 7.6 b). Pada kelompok perlakuan kontrol (std-typ-std) (Gambar 7.6 c), sekumnya mengalami proliferasi sel goblet dan terjadi fokal akumulasi sel limfoid. Sel goblet yang mengalami proliferasi akan mempengaruhi produksi musin. Fungsi utama musin adalah melindungi usus terhadap infeksi (Seregni et al. 1997). Hal ini mengindikasikan pemberian perlakuan isolat probiotik (pro-typ-pro) mampu mengembalikan kondisi normal sekum dari kerusakan pasca infeksi. SIMPULAN Semua perlakuan pemberian isolat BAL probiotik dan keju periode infeksi dan pasca infeksi pada ileum mempunyai jumlah BAL lebih tinggi (1 log cfu gr-1) dan jumlah S. Typhimurium lebih rendah (1-2 log cfu gr-1) dibandingkan kontrol (std-typ-std). Jumlah limfosit dan nilai absorbansi (OD) sIgA meningkat pada saat infeksi S. Typhimurium dan pasca infeksi pada perlakuan pemberian isolat probiotik. Kerusakan vili usus yang terjadi saat infeksi S. Typhimurium, hal tersebut mengindikasikan terjadinya pelepasan sel penutup vilinya. DAFTAR PUSTAKA AOAC (Association of Official Analytical Chemist) 1995. Official Methods of Analysis. Washington, DC. Arief II, Jenie BSL, Astawan M, Witarto AB. 2010. Efektivitas probiotik Lactobacillus acidophillus 2B4 sebagai pencegah diare pada tikus percobaan. Med Pet 33 : 137-143.
105
Arief II. 2011. Karakterisasi bakteri asam laktat indigenus asal daging sapi sebagai probiotik dan identifikasinya dengan analisis urutan basa gen 16S rRNA [disertasi] Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. [BAM] Bacteriological Analytical Manual Online. 2001. http://www.cfsan.fda.gov/ ebam.html [diakses tanggal 25 September 2009]. Badan POM RI. 2008. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2008. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Badan POM RI. 2009. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2009. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Badan POM RI. 2010. Laporan KLB Keracunan Pangan Tahun 2010. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. Badan POM RI. Jakarta. Bujalance C, Moreno E, Jimenez-Valera M, Ruiz-Bravo A. 2007. A probiotic strain of Lactobacillus plantarum stimulates lymphocyte responses in immunologically intact and immunocompromised mice. Int J Food Microbiol 113 : 28–34. Casey PG, Gardiner GE,Casey G, Bradshaw B, Lawlor PG, Lynch PB, Leonard, F C, Stanton C, Ross RP, Fitzgerald GF, Hill C. 2007. A five-strain probiotic combination reduces pathogen shedding and alleviates disease signs in pigs challenged with Salmonella entericaserovar Typhimurium 2007. Appl Env Microbiol 73 : 1858-1863. Dock DB, Aguilar-Nascimento JE, Latorraca MQ. 2004. Probiotics enhance the recovery of gut atrophy in experimental malnutrition. Biocell 28 : 143-150. Fayol-Messaoudi D, Berger CN, Coconnier Polter MH, Liévin-Le Moal V, Servin AL. 2005. pH, lactic acid and non lactic acid dependent activities of probiotic lactobacilli against Salmonella enterica Serovar Typhimurium. Appl Env Microbiol 71 : 6008-6013. Favre L, Spertini F, Corthe B. 2005. Secretory IgA Possesses Intrinsic Modulatory Properties Stimulating Mucosal and Systemic Immune Responses. J Immunol 175 : 2793-2800. Gill H S and K. J. Rutherfurd 2000 Viability and dose–response studies on the effects of the immunoenhancing lactic acid bacterium Lactobacillus rhamnosus in mice. British J Nutr 86 : 285-289.
106
Goosney DL, Knoechel DG, Finlay BB. 1999. Enteropathogenic E.coli, Salmonella, and Shigella : Masters of host cell cytoskeletal Exploitation. Emer Infect Dis 5 : 216-223. Hudault S, Lie´Vin V, Bernet-Camard MFO, Servin AL. 1997. Antagonistic activity exerted in vitro and in vivo by Lactobacillus casei (Strain GG) against Salmonella Typhimurium C5 infection. Appl Env Microbiol 63 : 513-518. Huang MK, Choi YJ, Houde R, Lee JW, Lee B, Zhao X. 2004. Effects of lactobacilli and an Acidophilic fungus on the production performance and immune responses in broiler chickens. Poult Sci 83 : 788-795. Jakee JE, Moussa IM, Nada SA, Mohamed KF, Ashgan MH, Mohamed ML. 2010. Influence of probiotics mixture on Salmonella Typhimurium in mice. Int J Microbiol Res 2 : 50-61. Johansson ML, Molin G, Jeppsson B, Nobaek S, Ahrne S, Bengmark S. 1993. Administration of different Lactobacillus strains in fermented oatmeal soup: in vivo colonization of human intestinal mucosa and effect on the indigenous flora. Appl Env Microbiol 59 : 15-20. Kabir SML, Rahman MM, Rahman MB, Rahman MM, Ahmed SU. 2004. The dynamics of probiotics on growth performance and immune response in broilers. Int J Poult Sci 3 : 361-364. Kierman, JA. 1990. Histological and Histochemical Methods. Theory & Practise. London. Perganon Press. LeBlanc AM. Castillo NA, Perdigon G. 2010. Anti-infective mechanisms induced by a probiotic Lactobacillus strain against Salmonella enterica serovar Typhimurium infection. Int J Food Microbiol 138 : 223-231. Macpherson AJ, Gatto D, Sainsbury E, Harriman GR, Hengartner H, Zinkernagel RM. 2000. A primitive T cell-independent mechanism of intestinal mucosal IgA responses to commensal bacteria. Science 288 : 2222-2226. Macdonald TT. 2003. The mucosal immune system Rev Article. Par Immunol 25 : 235–246. Maheswari RRA, Wiryawan IKG, Maduningsih GL. 2008. Stability of two probiotics bacteria of goat milk yogurt in rat digestive tract. Microbiol Indones 2 : 124-130.
107
Marzouk MS, Moustafa MM, Nermeen, Mohamed M. 2008. The influence of some probiotics on the growth performance and intestinal microbial flora of O. Niloticus. 8th International Symposium on Tilapia in Aquaculture pp : 1059-1071. Molin G, Jeppsson B, Johansson ML, Ahrne S, Naboek S, Stahl M, Bergmark S. 1993. Numerical taxonomy of Lactobacillus spp. associated with healty and diseased mucosa of human instestines. J Appl Bacteriol 74 : 314-323. Oozeer R, Leplingard A, Mater DDG, Mogenet A, Michelin R, Seksek I, Marteau P, Dore J , Bresson JL, Corthier G. 2006. Survival of Lactobacillus casei in the human digestive tract after consumption of fermented milk. Appl Env Microbiol 56 :15-5617. Ogawa M, Shimizu K, Nomoto K, Takahashi M, Watanuki M, Tanaka R, Tanaka T, Hamabata T, Yamasaki S, Takeda Y. 2001. Protective Effect of Lactobacillus casei Strain Shirota on Shiga Toxin-Producing Escherichia coli O157:H7 Infection in Infant Rabbits. Infec Immun 69 : 1101-1108. Paturi G, Phillips M, Jones M , Kailasapathy K. 2007. Immune enhancing effects of Lactobacillus acidophilus LAFTI L10 and Lactobacillus paracasei LAFTI L26 in mice. Short communication. Int J Food Microbiol 115 : 115-118. Pelicano ERL, Souza PA, Souza HBA, Figueiredo DF, Boiago MM, Carvalho SR, Bordon VF1. 2005. Intestinal mucosa development in broiler chickens fed natural growth promoters. Braz J Poult Sci 7 : 221-229. Roller M, Rechkemmer G, Watzl B. 2004. Prebiotic inulin enriched with oligofructose in combination with the probiotics Lactobacillus rhamnosus and Bifidobacterium lactis modulates intestinal immune functions in rats. J Nutr 17 : 153-166. Rolfe RD. 2000. The role of probiotic cultures in the control of gastrointestinal health. J Nutr Supl 130 : 396-402. Rodrigues MAM, Silva DAO, Taketomi EA, Hernandez-Blazquez FJ. 2007. IgA production, coliforms analysis and intestinal mucosa morphology of piglets that received probiotics with viable or inactivated cells. Pesq Vet Bras 27 : 241-245. Salva S, Villena J, Alvarez S. 2010. Immunomodulatory activity of Lactobacillus rhamnosus strains isolated from goat milk: Impact on intestinal and respiratory infections. Int J Food Microbiol 141 : 82-89.
108
Saxelin M, Ahokas M, Salminen S. 1993. Dose response on the faecal colonisation of Lactobacillus strain GG administered in two different formulations. Micro Ecol Health Dis 6 : 119-122. Seregni E, Botti C, Massaron S, Lombardo C, Capobianco A. 1997. Structure, function and gene expression of epithelial mucins. Tumori 83 : 625-632. Shu Q, Zhou JS, Rutherfurd KJ, Birtles MJ, Prasad J, Gopa PK, Gill HS. 1999. Proobiotic lactic acid bacteria (L. acidophilus HN017, L. rhamnosus HN001 and B. lactis HN019) have no adverse effects on the health of mice. Int Dairy J 9 : 831-836. Staton CK, Coakley DM, Collin JK, Fitzgerald G, Ross RP. 2003. Challenges development of probiotic-containing functional food. Di dalam Handbook of Fermented Functional Foods. Farnwort. E.R (Eds). Florida CRC Press 27-28. Truusalu K, Naaber P, Kullisaar T, Tamm H, Mikelsaar RH. 2004. The influence of antibacterial and antioxidative probiotic lactobacilli on gut mucosa In mouse model of Salmonella infection. Microbiol Ecol Health Dis 16 : 180-187. Tsuji M, Suzuki K, Kinoshita K, Fagarasan S. 2008. Dynamic interactions between bacteria and immune cells leading to intestinal IgAsynthesis. Sem in Immunol 20 : 59-66. Thushani W, Ariyawansa KWS, Arampath PC. 2003. Recovering ability of freezestressed Salmonella Typhimurium and Staphylococcus aureus cells in frozen shrimp. Cey J Sci 31 : 61-67. Wahyuniar I, Soesatyo MHNE, Ghufron M, Yustina, Sumiwi AA, Wiryawan S. 2009. Minyak buah merah meningkatkan aktivitas proliferasi limfosit limpa mencit setelah infeksi Listeria monocytogenes. J Vet 10 : 143-149. Wold AE, Mestecky J, Tomana M. 1990. Secretory immunoglobulin A carries oligosaccharide receptors for Escherichia coli type 1 fimbrial lectin. Infect Immun 58 : 3073-3077. Xu ZR, Hu CH, Xia MS, Zhan XA, Wang MQ. 2003. Effects of dietary fructooligosaccharide on digestive enzyme activities, intestinal microflora and morphology of male broilers. Poult Sci 82 : 1030-1036.
109
8. PEMBAHASAN UMUM Susu kambing Peranakan Ettawa (PE) dan Peranakan Saanen (PESA) merupakan salah satu sumber protein hewani yang layak dimanfaatkan bagi pemenuhan gizi
masyarakat Indonesia. Jenis ternak tersebut merupakan tipe
dwiguna yang dikembangkan karena selain sebagi penghasil daging juga untuk penghasil susu. Susu kambing mengandung 0,25-0,39 g L-1 oligosakarida atau 8-10 kali lebih besar dibandingkan susu sapi (0,03-0,06 g L-1) dan susunannya lebih bervariasi dibandingkan susu sapi. Jumlah dan susunan oligosakarida yang berbeda memungkinkan probiotik yang terstimulasi juga berbeda, sehingga isolat yang diperoleh dari susu kambing juga memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan isolat pada susu sapi. Peran prebiotik secara umum adalah menstimulasi pertumbuhan probiotik yang menguntungkan bagi inangnya. Selain itu, oligosakarida pada susu kambing berperan sebagai anti inflamasi dan mencegah terjadinya colitis (Villoslada et al. 2006). Eksplorasi keberadaan BAL probiotik pada susu kedua jenis kambing tersebut belum diteliti, sehingga sangat penting untuk dipelajari dalam rangka mendapatkan BAL dengan sifat probiotik dengan karakteristik khas. Studi ini penting dilakukan untuk mengeksplorasi kekayaan hewani untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sendiri terutama peternak dan UKM. Penelitian ini telah berhasil mengisolasi 33 isolat BAL asal susu kambing. Sebanyak 16 isolat yang diisolasi berasal dari jenis kambing PE dan 17 isolat dari jenis kambing PESA. Bakteri asam laktat termasuk dalam Gram positif, katalase negatif, berbentuk batang atau bulat. Sifat-sifat tersebut sesuai karakteristik BAL yang dinyatakan oleh Axelsson et al. (2004). Mikroba secara umum membutuhkan persyaratan suhu, pH, kadar garam untuk dapat hidup dan berkembang secara optimal. Isolat yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi untuk mengelompokkan dan menyeleksi ketahanannya terhadap lingkungan tertentu. Berdasarkan suhu, BAL hasil penelitian semua termasuk dalam kelompok mesofilik dengan suhu 37oC (100 %), namun diantaranya dapat tumbuh pada suhu 45oC (72,7%) dan pada suhu 10oC (54 %). Ketahanan terhadap pH rendah merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi oleh BAL probiotik, sehingga proses seleksi ini juga digunakan untuk
110
memilih BAL berdasarkan tingkat keasaman lingkungan. Sebanyak 18 isolat (54,4%) mampu hidup dan bertahan pada pH 4,4. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Patil et al. (2006) yang menyatakan BAL yang diisolasi dari usus tikus juga mempunyai kemampuan hidup pada pH 4,4. Hal ini mengindikasikan isolat BAL dari asal susu kambing mempunyai ketahanan pH yang sama dengan isolat asal saluran pencernaan tikus. Isolat BAL probiotik
akan digunakan untuk
pembuatan produk pangan, yang sering menambah garam sebagai bagian dalam proses pengolahan.
Produk seperti keju yang menggunakan BAL dalam
prosesnya biasanya ditambahkan garam. Semua isolat BAL dapat digunakan untuk membuat keju dengan penambahan garam karena mikroba tetap aktif. Sifat BAL yang dipelajari juga meliputi kemampuan membentuk CO2, NH3 dan dekstran. Isolat BAL yang diuji, 39 % bersifat homofermentatif adalah dan yang heterofermentatif adalah 61%. Hal ini sejalan dengan penelitian Sujaya et al. (2008) yang menyatakan bahwa dalam susu segar kuda Sumbawa BAL heterofermentatif
lebih
banyak
ditemukan
dibandingkan
dengan
yang
homofermentatif. Produksi NH3 memunculkan bau amonia yang akan mengganggu pada produk-produk olahan susu, terutama produk fermentasi. Isolat BAL yang diuji tidak menghasilkan NH3. Hal ini menunjukkan isolat tersebut tidak menghidrolisis arginin untuk menghasilkan amonia. Semua isolat juga tidak menghasilkan lendir sehingga dapat disimpulkan tidak ada isolat yang termasuk dalam kelompok Leuconostoc. Hasil pengujian isolasi dan identifikasi BAL asal susu kambing dapat memberi kesimpulan : (1) memenuhi karakteristik umum sebagai bakteri BAL karena secara morfologi berbentuk batang atau bulat, secara fisiologi merupakan kelompok Gram positif dan katalase negatif, (2) dapat hidup pada kisaran yang luas pada suhu (0-45oC), pH (4,4) dan kadar garam (6,5 %), dan (3) tidak menghasilkan amonia, dekstran tetapi mempunyai variasi terhadap sifat produksi CO2, yaitu sebagian besar heterofementatif (61 %) dan juga homofermentatif (39%). Syarat probiotik oleh FAO/WHO (2002) secara in vitro antara lain tahan terhadap pH asam dan kondisi garam empedu saluran pencernaan, mempunyai
111
sifat antimikroba terhadap bakteri patogen dan mampu bertahan selama pengolahan dan penyimpanan. Sebanyak 18 isolat diuji pada pH ekstrim lambung yaitu pH 2,0; 2,5 dan 3,2. pH tersebut mewakili pH lambung dalam keadaan kosong (2,0), pH isi makanan (3,2) sesuai dengan Martini et al. (1997) bahwa stres awal BAL adalah terpapar asam lambung dengan pH sangat rendah yaitu 2,0 pada kondisi lambung kosong dan pH 3,0 pada kondisi lambung isi. Semua isolat BAL mampu bertahan pada kondisi pH yang diuji, meskipun terjadi sedikit penurunan yaitu kurang dari 1,0 log. Garam empedu disintesa dari kolesterol dalam liver dan disimpan dalam kantung empedu kemudian dilepaskan dalam usus halus. Konsentrasi garam empedu pada manusia berkisar 0,3 % (Dunne et al. 1999). Garam empedu dapat merusak struktur membran sel bakteri, termasuk BAL. Sebanyak 8 isolat (44%) dari 18 isolat BAL mampu bertahan pada garam empedu 0,3% dengan penurunan sebesar 1- 3 unit log. Kematian sel terjadi setelah sel mengalami pengkerutan dan terjadi pelepasan material intraseluler (Leverrier et al. 2003). Sebanyak 8 isolat BAL tersebut kemudian ditentukan spesiesnya dengan API CH tes. Tiga isolat (kode TW 2, 3 dan 32) teridentifikasi sebagai L. rhamnosus dengan tingkat kesamaan 99,9; 99,3 dan 99,9 % dan 5 isolat (kode TW4, 10,14,26 dan 28) teridentifikasi sebagai L. plantarum dengan tingkat kesamaan 89,2; 99,9; 99,9; 99,9 dan 99,9 %. Selanjutnya kedelapan isolat tersebut diuji aktivitas antibakterinya. Semua isolat BAL
asal susu kambing mampu
menghambat pertumbuhan bakteri uji Gram negatif (S. Typhimurium ATCC 14028, E. coli ATCC 8739, P. aeruginosa ATCC 9027), tetapi tidak semua isolat yang diuji mampu menghambat bakteri Gram positif. Sebanyak 2 isolat tidak mampu menghambat bakteri Gram positif (S. aureus ATCC 25923). Secara umum aktivitas penghambatan BAL terhadap bakteri Gram negatif lebih besar dibandingkan terhadap bakteri Gram positif yang ditunjukkan dengan diameter penghambatan. Mekanisme antagonis menurut Ouwehand et al. (1998) dapat dijelaskan sebagai berikut : asam organik yang tidak terdisosiasi masuk ke dalam sel bakteri uji dan akan terdisosiasi dalam sitoplasma, mengakibatkan penurunan pH intraseluler atau adanya akumulasi asam yang terionisasi yang mampu membunuh bakteri patogen dan terjadi kematian sel.
112
Kemampuan BAL probiotik berkompetisi dengan mikroba patogen dalam usus merupakan salah satu cara menyeimbangkan mikroflora usus. Penempelan mikroba pada mukosa merupakan salah satu mekanisme agar BAL dapat bertahan hidup di usus sehingga BAL memenuhi sifat probiotik. Isolat BAL mampu menempel pada usus tikus bagian duodenum, jejunum, ileum, sekum dan kolon dengan jumlah penempelan BAL sebesar 0,59-2,19 log cfu ml-2. Secara umum penempelan pada usus halus (duodenum, jejunum dan ileum) lebih tinggi dibandingkan sekum dan kolon. Mekanisme penempelan dijelaskan oleh Kos et al. (2003) bahwa penempelan merupakan proses kompleks yang diawali dengan terjadinya kontak bakteri dengan sel membran dan terjadi interaksi dengan permukaan. Wadstrom dan Ljung (2006) menjelaskan bahwa lapisan permukaan S (S-layer) protein yang membentuk kristal dan menyelimuti bakteri akan memberikan proteksi sekaligus berperan sebagai mediator terjadinya penempelan seperti pada L. acidophilus M92. Pengujian karakteristik probiotik secara in vitro pada BAL telah menghasilkan sifat-sifat unggul terhadap parameter yang diuji. Pengujian tersebut secara tidak langsung sebagai seleksi awal untuk mendapatkan BAL probiotik. BAL yang dinyatakan sebagai BAL probiotik hasil uji in vitro adalah isolat L.rhamnosus TW2, L.plantarum TW4 atau L.plantarum TW14. Ketiga isolat tersebut mempunyai potensi sangat baik sebagai BAL probiotik. Tahap aplikasi BAL probiotik pada produk keju dilakukan untuk memperoleh karakteristik produk pangan fungsional. Matrik keju tersusun dari protein, lemak dan mineral selain berperan sebagai carrier bagi BAL probiotik, juga berperan sebagai enkapsulasi alami. Enkapsulasi berfungsi untuk mempertahankan viabilitas dan stabilitas BAL probiotik selama pengolahan maupun selama melewati saluran pencernaan. Pemilihan isolat L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14 untuk pembuatan keju selain berdasarkan pada hasil pengujian in vitro juga berdasarkan pada tingkat kemurnian isolat terhadap referensi API tes. Karakteristik keju lunak yang dinilai adalah stabilitas BAL selama penyimpanan, kimia, fisik dan sensori. Keju lunak mempunyai kisaran kekerasan tekstur 10,78 - 47,75 gf dan kelengketan -8,23 sampai dengan -11,53 gs. Keju yang dibuat dengan kultur tunggal L. rhamnosus TW2 mempunyai
113
kekerasan paling rendah yaitu 10,78 gf yang artinya bertekstur lembek dengan kadar air tertinggi yaitu 60,07 % serta penilaian sensori terendah untuk atribut tekstur yaitu skor 2,7 (agak suka). Panelis juga menilai rasa keju tersebut tidak disukai
dengan perolehan skor 1,7 (tidak suka-agak suka) karena adanya
aftertaste rasa pahit yang kuat yang terdeteksi pada keju. Walaupun demikian isolat L. rhamnosus TW2 mempunyai keunggulan pada pengujian in vitro terutama pada tingkat penempelan pada ileum seperti tergambar dalam mikrofotografinya,
sehingga
potensinya
sebagai
probiotik
tetap
perlu
dikembangkan walaupun tidak dalam bentuk keju. Keju lunak yang dibuat dengan kultur tunggal L.plantarum TW14 mempunyai karakteristik keju lebih baik dibandingkan keju lunak dengan isolat tunggal L.rhamnosus TW2 dengan tingkat kekerasan tertinggi yaitu 47,75 gf, kadar lemak adalah 27,77 % dan mempunyai karakteristik sensori yang dapat diterima oleh panelis dan mempunyai nilai tekstur, rasa dan aroma yang sama dengan keju komersial. Isolat tersebut layak diaplikasikan untuk pembuatan keju lunak probiotik. Kelemahan dari isolat L.plantarum TW14 berdasarkan mikrofotografinya adalah tingkat penempelannya sangat kecil dibandingkan isolat L.rhamnosus TW2. Penggunaan kultur campuran isolat L.rhamnosus TW2 dan L.plantarum TW14 menghasilkan karakteristik yang baik. Penggunaan kultur campuran menghasilkan tingkat kekerasan 34,73gf dan tingkat kelengketan -10,18 gs kadar lemak 34,42 %, kadar protein 30,5 %. Keju tersebut mempunyai nilai kesukaan testur, rasa dan aroma yang sama dengan keju lunak komersial yang diuji. Selama penyimpanan keju lunak mempunyai stabilitas BAL sangat baik dan selama 4 minggu dengan jumlah BAL dapat dipertahankan pada kisaran 8,59 – 9,69 log cfu g-1. L.rhamnosus TW2 dan L.plantarum TW14 dalam bentuk isolat maupun keju diberikan pada tikus jenis Sprague Dawley untuk mengetahui ketahanannya pada saluran pencernaan dan efektivitasnya terhadap infeksi S.Typhimurium. Pemberian isolat campuran BAL tersebut efektif berperan sebagai pencegah infeksi S.Typhimurium selama 13 hari pemberian. Fungsi pencegahan ditunjukkan pada jumlah BAL yang terdeteksi lebih tinggi pada ileum dan
114
sekumnya
pada
saat
infeksi
S.
Typhimurium.
Kemampuan
mencegah
kemungkinan terjadinya infeksi juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah S. Typhimurium yang terdeteksi
pada saat infeksi sebesar 1,0 log cfu g-1
dibandingkan kontrol. Fungsi BAL untuk memperbaiki mikroflora akibat infeksi S. Typhimurium ditunjukkan pada tidak adanya S. Typhimurium yang terdeteksi setelah 10 hari pasca infeksi dan terjadi peningkatan jumlah BAL pada sekumnya dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan kemampuan isolat BAL campuran mampu bertahan, beradaptasi pada saluran pencernaan, juga mampu menempel dengan baik pada mukosa usus. Hasil ini didukung oleh tingkat penempelan BAL berkisar 0,50-2,19 log cfu cm-2 pada pengujian in vitro. Fungsi sebagai pencegah dan memperbaiki mikroflora usus pasca infeksi pada isolat campuran (L. rhamnosus TW2 dan L. plantarum TW14), juga didukung oleh jumlah limfosit yang tinggi selama 23 hari masa percobaan dan berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol. Hasil absorbansi sIgAnya lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dibandingkan kontrol pada tahap infeksi dan pasca infeksi. Hal ini menjelaskan bahwa tubuh mampu memberikan respon terhadap S.Typhimurium dengan mengaktifkan sistem imun bawaan melalui fagasitosisnya, selanjutnya terjadi proses pembunuhan terhadap bakteri penyebab infeksi Tingkat kerusakan mukosa usus ditunjukkan pada ada tidaknya perubahan morfologi usus.
Ukuran vili yang utuh, lebih tinggi dan adanya kerusakan
merupakan indikasi kesehatan usus.
Secara morfologi kelompok pemberian
probiotik memiliki ukuran vili pada ileum yang lebih tinggi dan tidak mengalami kerusakan. Vili yang terlihat lebih pendek meunjukkan kehilangan eritrosit dan meningkatnya kedalaman kripta yang mengakibatkan terjadinya penebalan pada mukosa usus. Penebalan mukosa dengan vili yang pendek akan berpengaruh terhadap kemampuannya untuk penyerapan protein. Perubahan tersebut diperparah oleh faktor diare dan infeksi yang menyebabkan atropi vili dan tidak berfungsinya usus (Rodgrigues et al. 2007). Agar klaim isolat probiotik dan keju probiotik dapat dilakukan, maka sesuai dengan pedoman FAO/WHO (2002) masih harus dilakukan pengujian terhadap strain L.rhamnosus TW2 dan L.plantarum TW14 serta dilakukan pengujian isolat probiotik terhadap manusia.