i
TELAAH KOMPOSISI DAN ISOLASI LAKTOFERIN PADA KOLOSTRUM DAN SUSU DARI BERBAGAI BANGSA KAMBING
AGUS BAHAR RACHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Telaah Komposisi dan Isolasi Laktoferin pada Kolostrum dan Susu dari Berbagai Bangsa Kambing adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
Agus Bahar Rachman NRP. D151070011
iii
RINGKASAN AGUS BAHAR RACHMAN. Telaah Komposisi dan Isolasi Laktoferin pada Kolostrum dan Susu dari Berbagai Bangsa Kambing. Dibimbing oleh RARAH RATIH A MAHESWARI dan MIRNAWATI SUDARWANTO. Kambing adalah salah satu jenis ternak yang potensial dikembangkan menjadi penghasil daging dan susu di Indonesia. Pemeliharaan kambing perah dapat menyediakan kebutuhan akan protein hewani yang bernilai biologis tinggi serta mineral esensial dan vitamin asal ternak. Susu kambing memiliki komponenkomponen susu, salah satunya adalah laktoferin sebagai zat anti mikroba. Laktoferin pada susu mampu mengikat ion besi dari mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroba dan dapat dimanfaatkan untuk pengayaan maupun fortifikasi susu. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari pengaruh hari pemerahan yang berbeda terhadap komposisi kimia kolostrum dan susu kambing bangsa PE, Jawarandu dan SAPE, meliputi kadar bahan kering, bahan kering tanpa lemak, protein, berat jenis, dan pH, (2) melakukan isolasi laktoferin asal kolostrum dan susu kambing bangsa PE, Jawarandu dan SAPE, dan (3) menentukan konsentrasi laktoferin pada kolostrum dan susu kambing bangsa PE, Jawarandu dan SAPE. Sampel kolostrum dan susu yang digunakan merupakan sampel yang diperoleh dari bangsa kambing Peranakan Etawah (PE), Jawa Randu, dan Persilangan Saanen jantan dengan PE betina (SAPE). Kolostrum yang digunakan merupakan hasil pemerahan hari ke-1 (H1), ke-2 (H2) dan ke-3 (H3), sedangkan untuk susu digunakan hasil pemerahan hari ke-4(H4) sampai dengan ke-8 (H8). Rancangan yang digunakan untuk menentukan kandungan laktoferin pada berbagai bangsa kambing perah dengan hari pemerahan yang berbeda adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (3x8) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah bangsa kambing perah (PE, Jawarandu dan SAPE), dan faktor kedua adalah hari pemerahan (hari ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7 dan ke8). Perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan mempengaruhi komposisi kimia kolostrum dan susu (kadar bahan kering, bahan kering tanpa lemak, kadar lemak dan kadar protein). Komposisi kolostrum dan susu kambing PE memiliki kisaran bahan kering 13.58%-38.96%, bahan kering tanpa lemak 9.26%-17.63%, kadar lemak 4.31%-21.33% dan kadar protein 3.47%-5.96%. Kambing Jawarandu memiliki kisaran bahan kering 16.21%-37.49%, bahan kering tanpa lemak 9.86%15.32%, kadar lemak 6.35%-22.17% dan kadar protein 4.71%-9%. Kambing SAPE memiliki kisaran bahan kering 15.63%-47.09%, bahan kering tanpa lemak 10.58%-18.59%, kadar lemak 5.05%-28.5% dan kadar protein 4.77%-8.9%. Kolostrum kambing PE di produksi mulai dari hari pemerahan ke-1 sampai dengan ke-4, kolostrum kambing Jawarandu di produksi mulai dari hari pemerahan ke-1 sampai dengan ke-5 dan kolostrum kambing SAPE di produksi mulai dari hari pemerahan ke-1 sampai dengan ke-3. Konsentrasi laktoferin (mg/l) kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE yaitu 41.24±1.22-
iv
156.36±107.66 mg/l; 207.39±58.94 mg/l.
25.22±2.21-197.39±58.94
mg/l;
dan
29.25±2.20-
Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa konsentrasi laktoferin pada bangsa kambing SAPE sangat berpengaruh (P<0.01) yaitu konsentrasi laktoferin kolostrum dan susu pada kambing SAPE lebih tinggi yaitu 88.70±12.11 mg/l dengan perkiraan bobot molekul laktoferin 83 513.3 Dalton dibandingkan dengan kambing Jawarandu, tertinggi kedua yaitu 87.05±24.03 mg/l dengan perkiraan bobot molekul laktoferin 80 292.16 Dalton dan kambing PE, tertinggi ketiga yaitu 72.57±23.61 mg/l dengan perkiraan bobot molekul laktoferin 86 075.4 Dalton. Kambing Jawarandu menghasilkan susu dengan kadar lemak yang tinggi sehingga sesuai dibudidayakan untuk pengembangan produk olahan berbahan baku lemak susu. Kambing SAPE mempunyai kadar protein yang tinggi sehingga dapat dibudidayakan untuk pengembangan produk olahan yang menyediakan ketersediaan protein susu diantaranya keju dan susu fermentasi. Selanjutnya, perlu dikaji lebih lanjut peran genotip dari masing-masing bangsa kambing perah dan pengaruh pakan terhadap komposisi kimia dan konsentrasi laktoferin sehingga dapat ditentukan kondisi optimum untuk menghasilkan laktoferin berdasarkan pada kambing perah dan jenis pakan yang diperlukan. Karakterisasi lebih lanjut terhadap laktoferin diantaranya adalah kemampuanya menghambat berbagai bakteri patogen penyebab gangguan pencernaan dan peranannya sebagai anti diare.
Kata Kunci: isolasi, laktoferin, kolostrum, PE, Jawarandu, SAPE
v
ABSTRACT
AGUS BAHAR RACHMAN. Research of Composition and Isolation of Lactoferrin from Colostrum and Milk of Various Goat’ Species. Under the direction of RARAH RATIH A MAHESWARI and MIRNAWATI SUDARWANTO. Goats are considered as potential dairy animals in Indonesia. Dairy goats colostrum is one of lactoferrin source which has various benefits such as antimicrobial activity. Lactoferrin is one of antibacterial subtances, which is used to prevent diarrhea in neonatal and expected can be used to treat gastrointestinal tract infection of bacteriologically cases, that is primarily caused by Escherichia coli. Lactoferrin issues from cows has largely studied, contrarily from dairy goats is very limited. Indonesia has many different dairy goat breeds that can be important to be studied concerning its potentiality as source of lactoferrin. This research has purposed to study on chemical composition and the concentration of lactoferrin of colostrum and milk, during the 1st until the 8th days of milking. The experimental design used is Factorial Completely Randomize Design (RAL) (3×8) with three repetitions to the different goat’ species and days of milking. The samples of colostrum and milk are samples of three species of goats, namely Etawah-Grade (PE), Jawarandu, and Saanen-Etawah-Grade (SAPE). The colostrum is from 1 st day (H1), 2 nd days (H2), and 3 rd days (H3) of milking, while the milk is from 4th until 8 th days of milking. The chemical composition of colostrum and milk for PE’s total solid is about 13.58%-38.96%, solid non-fat 9.26%-17.63%, fat 4.31%-21.33% and protein content 3.47%-5.96%; Jawarandu’s total solid is about 16.21%-37.49%, solid non-fat 9.86%-15.32%, fat 6.35%22.17% and protein content 4.71%-9%; and for Saanen-Etawah-Grade’s total solid is about 15.63%-47.09%, solid non-fat 10.58%-18.59%, fat 5.05%-28.5% and protein content 4.77%-8.9%. Colostrum of Etawah-Grade is produced from 1st to 4th days of milking, Jawarandu is produced from 1st to 5th days of milking, and Saanen-Etawah-Grade is produced from 1 st to 3rd days of milking. The existence of lactoferrin in colostrum is identified with spectrophotometry method, and the concentration is as much as 41.24 mg/l – 156.36 mg/l for Etawah-Grade’s, 25.22 mg/l – 205.83 mg/l for Jawarandu’s, and 32.25 mg/l – 207.39 mg/l for Saanen-Etawah-Grade’s. The highest concentration of lactoferrin in colostrum and milk is 88.70±12.11 mg/l for Saanen-Etawah-Grade, with approximately molecular mass of lactoferrin is 83 513.3 Dalton; the second is 87.05±24.03 mg/l for Jawarandu, with approximately molecular mass of lactoferrin is 80 292.16 Dalton; and the last is 72.57±23.61 mg/l for Etawah-Grade, with approximately molecular mass of lactoferrin is 86 075.4 Dalton. Keywords: isolation, lactoferrin, colostrum, Jawarandu, Saanen- Etawah-Grade
vi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
TELAAH KOMPOSISI DAN ISOLASI LAKTOFERIN PADA KOLOSTRUM DAN SUSU DARI BERBAGAI BANGSA KAMBING
AGUS BAHAR RACHMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
viii
Judul Tesis Nama NRP Mayor
: Telaah Komposisi dan Isolasi Laktoferin pada Kolostrum dan Susu dari Berbagai Bangsa Kambing : Agus Bahar Rachman : D151070011 : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Rarah Ratih A Maheswari, DEA Ketua
Prof.Dr.drh.Mirnawati Sudarwanto Anggota
Diketahui
Ketua Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr.Ir.Rarah Ratih A Maheswari, DEA
Prof.Dr.Ir.H.Khairil A Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian: 22 Februari 2010
Tanggal Lulus: Maret 2010
ix
PRAKATA
Penulis senantiasa memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan lancar. Tema yang dipilih oleh penulis dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2009 hingga Januari 2010 adalah Telaah Komposisi dan Isolasi Laktoferin pada Kolostrum dan Susu dari Berbagai Bangsa Kambing. Penulis pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA dan Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto selaku pembimbing atas saran, petunjuk, arahan, dan bimbingan selama pelaksanaan dan penyusunan penelitian ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Sc. selaku dosen penguji pada Ujian Tesis, Bapak Budi Saksono, M.Sc. selaku Kepala Laboratorium CBRG Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong, Bapak Sukmawijaya A.Md selaku Laboran Bagian Ternak Perah Fakultas Peternakan IPB serta Ustad Karantiano Sadasa Putra, MM selaku pembimbing spiritual di Masjid AlHurriyah. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu, Bapak, Istri serta seluruh keluarga besar di Cilacap Jawa Tengah dan Tanjung Uban Kepulauan Riau, atas segala doa dan cinta. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.
Bogor, Februari 2010 Agus Bahar Rachman
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah, pada tanggal 30 Oktober 1984, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan keluarga Bapak Idhar dan Ibu Siti Rochmah. Pada saat ini penulis sudah berkeluarga dengan Yenni Mulyati, S. Hum. Pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar di SD Negeri Taman Komplek
Grup
1
Kopassus
Kabupaten
Serang
Provinsi
Banten;
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Kota Banjar Patroman Provinsi Jawa Barat; Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Purwokerto Provinsi Jawa Tengah. Lulus SD pada tahun 1996, lulus SMP pada tahun 1999, lulus SMA pada tahun 2002 dan selanjutnya penulis diterima di Program Studi S1 Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang melalui Program PMDK. Pada saat menjadi mahasiswa penulis aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan, baik organisasi intra maupun ekstra kampus. Penulis pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2004-2005, Sekretaris Jenderal Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Semarang pada tahun 2006-2007 dan Ketua Biro Pengembangan Organisasi Pengurus Pusat (PP) KAMMI pada tahun 2008-2009. Penulis menyelesaikan studi S1 pada tanggal 8 November 2006. Pada tahun 2006, penulis pernah menjadi Konsultan Independen Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Penulis pernah menjadi anggota peneliti Proyek Pengembangan Agribisnis Persusuan Jawa Barat yang dilaksanakan penulis
oleh
menjadi
Departemen Staf
Pertanian
Bidang
pada
tahun
Penelitian
dan
2009.
Saat
ini
Pengembangan
SUSTAID (Sustainable Agricultural Development) Consultant. Pada tahun 2007, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi di Program Mayor Magister (S-2) Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................ ………
xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiv PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3 Kambing Perah ....................................................................................... 3 Kambing PE ................................................................................. 4 Kambing Jawarandu ..................................................................... 4 Kambing SAPE ............................................................................. 5 Susu Kambing ........................................................................................ 6 Kolostrum ............................................................................................. 9 Laktoferin ............................................................................................. 10 Laktoferin sebagai Antimikroba ................................................. 11 Kandungan Laktoferin dalam Kolostrum dan Susu ..................... 12 Pemurnian Protein ................................................................................ 13 Kromatografi ........................................................................................ 13 Elektroforesis Metode Sodium Dodecyl Sulfate Poliacrylamide Gel Electroforesis (SDS-PAGE) ................................................................. 14 BAHAN DAN METODE ............................................................................... 17 Lokasi dan Waktu ................................................................................. 17 Bahan dan Alat ..................................................................................... 17 Perancangan Percobaan dan Perlakuan ................................................. 18 Peubah .................................................................................................. 19 Prosedur ............................................................................................... 19 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 24 Pengaruh Hari Berbeda terhadap Komposisi Kimia Kolostrum dan Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE .............................................. 24 Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing PE ...................... 24 Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing Jawarandu .......... 27 Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing SAPE ................. 29
xii
Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kandungan BK kolostrum dan susu kambing ................ 31 Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kandungan BKTL kolostrum dan susu kambing ........... 32 Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kadar lemak kolostrum dan susu kambing ................... 34 Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kadar protein kolostrum dan susu kambing .................. 36 Pemisahan Krim dan Skim Kolostrum serta Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE ............................................................................ 37 Pemisahan Kasein dan Whey Kolostrum serta Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE ............................................................................ 39 Identifikasi Laktoferin dalam Protein Whey Kolostrum dan Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE dengan Metode Kromatografi dan Spektrofotometri ............................................................................ 41 Identifikasi Kandungan Laktoferin dari Kolostrum dan Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE ...................................................... 43 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 49 Simpulan .............................................................................................. 49 Saran .................................................................................................... 49 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 51 LAMPIRAN .................................................................................................... 58
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Parameter reproduksi ternak kambing .......................................................... 3
2
Kandungan nutrisi susu kambing per 100 gram ........................................... 8
3
Komposisi susu pada berbagai ternak dan manusia ..................................... 10
4
Bobot molekul protein standar ................................................................... 15
5
Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing PE pada hari pemerahan yang Berbeda ...................................................... 24
6
Komposisi kimia fisik kolostrum dan susu kambing Jawarandu pada hari pemerahan yang berbeda .......................................... 27
7
Komposisi kimia fisik kolostrum dan susu kambing SAPE pada hari pemerahan yang berbeda .................................................. 29
8
Rataan dan simpangan baku BK (%) kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda ................... 31
9
Rataan dan simpangan baku BKTL (%) kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda .................. 32
10 Rataan dan simpangan baku kadar lemak (%) kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda ................... 34 11 Rataan dan simpangan baku kadar protein (%) kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda ................... 36 12 Rataan dan simpangan baku konsentrasi laktoferin dalam kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda ..................................................................................................... 42
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kambing PE ................................................................................................ 4 2 Kambing Jawarandu .................................................................................... 5 3 Kambing SAPE ........................................................................................... 6 4 Laktoferrin dengan ikatan ion besi ............................................................... 11 5 Diagram alir isolasi laktoferin ..................................................................... 23 6 Hasil pemisahan krim dan skim kolostrum serta susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE dengan sentrifugasi (2 000 xg selama 30 menit) ........ 38 7 Hasil pemisahan kasein dan whey kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE dengan sentrifugasi (10 000 xg selama 30 menit) ….. 40 8 Hasil elektroforesis SDS-PAGE kolostrum dan susu kambing PE ................ 45 9 Hasil elektroforesis SDS-PAGE kolostrum dan susu kambing Jawarandu …………………………………………………………………... 46 10 Hasil elektroforesis SDS-PAGE kolostrum dan susu kambing SAPE .......... 47
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Nilai pH pemisahan whey ........................................................................... 58 2 Rataan dan simpangan baku bera jenis (g/ml) kolostrum dan susu kambing... 60 3 Tabel sidik ragam komposisi kimia kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE ................................................................................. 61 4 Kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing PE ........................ 62 5 Kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing Jawarandu ............ 65 6 Kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing SAPE .................... 68 7 Alat-alat penelitian ..................................................................................... 71 8 Bahan-bahan analisis laktoferin dengan SDS-PAGE .................................. 72 9 Grafik normalitas bobot molekul primer standar bangsa kambing ................ 74
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kambing adalah salah satu jenis ternak yang potensial dikembangkan menjadi penghasil daging dan susu di Indonesia. Beberapa jenis bangsa kambing perah yang dapat dikembangkan di Indonesia antara lain kambing Peranakan Etawah (PE), kambing Jawarandu dan kambing Persilangan Saanen jantan dan PE betina (SAPE). Pemeliharaan kambing perah dapat menyediakan kebutuhan akan protein hewani yang bernilai biologis tinggi serta mineral esensial dan vitamin asal ternak. Razafindrakoto et al. (1994) menyatakan, bahwa susu kambing memiliki nilai gizi yang serupa dengan susu sapi dan bisa digunakan sebagai alternatif pengganti susu sapi untuk anak–anak yang menderita gizi buruk. Konsentrasi laktoferin kolostrum kambing lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi dengan kisaran 455.8 – 2 058.3 mg/dl pada kolostrum kambing dan 575 mg/dl pada kolostrum sapi (Ferrer et al. 2000). Susu kambing memiliki komponen-komponen susu seperti laktoferin, immunoglobulin, lisozim dan laktoperoksidase sebagai protein antimikroba. Laktoferin pada susu mampu mengikat ion besi dari mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Laktoferin dapat dimanfaatkan untuk pengayaan maupun fortifikasi susu. Kadar laktoferin yang tinggi pada susu akan meningkatkan kualitas susu, terutama kualitas mikrobiologi dan nilai guna susu sebagai pangan fungsional. Hasil penelitian Sacharczuk et al. (2005), menunjukkan laktoferin pada mamalia mempunyai fungsi utama yaitu berhubungan
langsung
dengan
sistem
kekebalan
tubuh.
Berdasarkan
kemampuannya dalam mengikat Fe, laktoferin mempunyai peran yang penting dalam pengikatan Fe di mukosa usus dan beraksi sebagai agen bakteriostatis. Kolostrum atau disebut juga “susu ibu” adalah larutan kuning muda yang diproduksi kelenjar ambing selama jam pertama setelah melahirkan, biasanya mulai diproduksi sebelum melahirkan dan terkumpul selama beberapa minggu terakhir kebuntingan (Brandano et al. 2004). Kolostrum disimpan oleh kelenjar ambing sekitar 2–3 hari terakhir masa kebuntingan dan disekresikan sekitar 1–3
2
hari setelah melahirkan. Kolostrum tidak diproduksi lagi pada 4–5 hari setelah melahirkan, selanjutnya akan terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya (Brandano et al. 2004). Kolostrum memiliki kandungan protein serum yang sangat tinggi dan seringkali masih terdapat darah (Walstra dan Jenness, 1984). Hal-hal yang mempengaruhi kadar laktoferin dalam kolostrum secara umum diantaranya adalah 1) hari pemerahan, kolostrum memiliki kadar laktoferin yang lebih tinggi (575 mg/dl pada kolostrum sapi dan 459.4 mg/dl pada susu sapi) (Ferrer et al. 2000), 2) ada tidaknya infeksi bakteri (Tsuji, 1990), dan 3) genetik hewan ternak (Sumantri, 2006). Studi pendahuluan yang mengidentifikasi keberadaan laktoferin pada susu kambing kacang, serta kolostrum dan susu kambing PE telah dilakukan oleh Maheswari (2006) yang mengungkapkan bahwa pita laktoferin yang didapatkan mempunyai bobot molekul 73 441 Dalton untuk susu kambing kacang dan susu kambing PE sedangkan untuk kolostrum PE bobot molekul yang didapatkan sebesar 74 991 Dalton.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk (1) mempelajari pengaruh hari pemerahan yang berbeda terhadap komposisi kimia kolostrum dan susu kambing bangsa PE, Jawarandu dan SAPE, meliputi kadar bahan kering, bahan kering tanpa lemak, protein, berat jenis, dan pH, (2) melakukan isolasi laktoferin asal kolostrum dan susu kambing bangsa PE, Jawarandu dan SAPE, dan (3) menentukan konsentrasi laktoferin pada kolostrum dan susu kambing bangsa PE, Jawarandu dan SAPE.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing Perah Devendra dan Marca (1994) menyatakan, kambing merupakan hewan pelihara tertua setelah anjing. Kambing pada awalnya dijinakkan untuk diperoleh dagingnya. Kambing sebagai hewan perah dianggap yang tertua bahkan lebih daripada sapi dipandang dari segi kemudahannya untuk diperah. French (1970) menyebutkan bahwa kambing tergolong ke dalam famili Bovidae, sub ordo Ruminantia, ordo Artiodactyla, genus Capra. Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan untuk anaknya dan kambing perah yang biasa dipelihara adalah kambing lokal seperti kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen yang dapat hidup di daerah tropis (Devendra dan Burn, 1994). Menurut Atabany (2002) menyatakan bahwa kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan untuk anaknya. Kambing perah yang dipelihara biasanya adalah kambing lokal seperti Peranakan Etawah (PE). Bangsa kambing perah lain yang ditemukan adalah kambing Saanen yang dapat hidup di daerah tropis, kambing Jawarandu dan kambing SAPE. Parameter reproduksi ternak kambing dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Parameter Reproduksi Ternak Kambing Parameter Jumlah Kromosom Umur Pubertas (bulan)
Kambing 60 5-7
Panjang Siklus Estrus (hari)
20 -21
Lama Estrus (jam)
24 - 48
Terjadinya Ovulasi (jam)
24 - 36
Jumlah Ovum per Siklus
2-3
Lama Hidup Ova (Ova)
-
Lama Kebuntingan (hari)
149
Periode Laktasi (bulan)
7 - 10
Periode Kering (bulan)
2
Sumber : Mulyono, 2003
4
Kambing PE Kambing PE adalah hasil persilangan kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Kambing Etawah adalah kambing keturunan dari kambing Jamnapari. Kambing Jamnapari sangat baik sebagai hewan perah, dan juga sering dipelihara sebagai penghasil daging. Kambing ini mempunyai banyak warna, termasuk warna putih, merah coklat, dan hitam. Telinganya menggantung dengan panjang kurang lebih 30 cm. Berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan susu dan potensi pertumbuhannya, kambing Etawah digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing asli yang lebih kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia. Produksi susunya sekitar 235 kg selama masa laktasi 261 hari (Devendra dan Burns, 1994). Kambing PE mempunyai ciri yaitu ukuran tubuh kecil, fertilitas tinggi (Tomaszewska et al. 1993), hidung melengkung ke atas, telinga menggantung ke bawah dan sedikit kaku, warna bulu bervariasi dari hitam sampai coklat. Kambing PE jantan mempunyai bulu agak tebal dan agak panjang pada bagian bawah leher dan pundak, sedangkan betina agak panjang di bawah ekor searah garis kaki. Bobot hidup jantan sekitar 40 kg dan betina 35 kg.
Gambar 1 Kambing PE Kambing Jawarandu Menurut Sudono et al. (2002), kambing Jawarandu merupakan kambing tipe dwiguna sebagai ternak potong dan juga sebagai ternak perah. Di daerah Tegal, kambing ini terkenal sebagai kambing perah terutama di kalangan
5
masyarakat keturunan Arab. Kambing ini memiliki profil muka agak cembung dan telinga lebar menggantung ke bawah. Bulunya di bagian paha belakang cukup lebat. Warna bulu badannya bervariasi dari belang coklat putih, ke abu-abuan dan hitam kecoklatan warna bulu kepalanya. Ada yang bertanduk, ada pula yang tidak bertanduk. Kambing ini cukup subur, banyak yang beranak kembar dua, kembar tiga bahkan kadang-kadang sampai kembar empat. Tinggi pundak antara 75-100 cm, bobot badan jantan dewasa sekitar 70 kg dan betina dewasa sekitar 60 kg. Ternak kambing Jawarandu atau kambing Bligon merupakan jenis kambing Peranakan Etawah (PE) tetapi genotip Etawahnya relatif rendah dan presentase kambing kacangnya lebih tinggi, yaitu lebih dari 50%. Kambing ini memiliki moncong yang lancip, telinga tebal dan lebih panjang dari kepalanya, leher tidak bersurai, sosok tubuh terlihat tebal dan bulu tubuhnya kasar (Mulyono, 2003). Rataan selang beranak kambing Jawarandu adalah 7.6 bulan dan laju reproduksi induk yang diperoleh dari hasil penelitian sebesar 2.36 ekor anak sapih per induk per tahun serta produktivitas induk sebesar 23.51 kg (Utomo et al. 2005).
Kambing SAPE
Gambar 2 Kambing Jawarandu
Kambing SAPE Kambing SAPE merupakan hasil persilangan antara kambing Saanen jantan dengan kambing PE betina sehingga memiliki sifat di antara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing SAPE mempunyai produksi susu harian lebih baik
6
daripada kambing PE, tetapi produksinya lebih rendah dari kambing Saanen Impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Utomo et al. 2005).
Gambar 3 Kambing SAPE Susu Kambing Menurut Edelsten (1988), secara umum susu adalah sekresi kelenjar ambing dari hewan yang menyusui anaknya. Istilah susu lebih sering artikan sebagai susu sapi. Jika susu berasal dari spesies lain, nama spesies tersebut ditambahkan dibelakang kata susu, misalnya susu kambing, susu kuda dan lain – lain. Rahman et al. (1992) menambahkan, secara kimia susu didefinisikan sebagai emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam – garam, mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Menurut SNI 01-3141-1998, susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi yang sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Susu segar adalah susu murni yang disebutkan diatas dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Spreer (1998) menyebutkan pula bahwa susu mentah adalah susu asli yang belum mengalami pemanasan lebih dari 40oC (temperatur asli susu) dan belum mengalami jenis perlakuan apapun. Antara susu kambing yang satu dengan yang lainnya terdapat komposisi kimia yang berbeda. Perbedaan komposisi kimia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor pengontrol produksi susu baik secara kualitas maupun kuantitas seperti: 1) variasi antarbangsa kambing, 2) variasi interbangsa kambing, 3) faktor
7
genetik, 4) musim, 5) umur, 6) lama masa laktasi, 7) faktor perawatan dan perlakuan, 8) pengaruh masa birahi dan kebuntingan, 9) frekuensi pemerahan, 10) jumlah anak dalam sekali melahirkan, 11) pergantian pemerah, 12) lama masa kering, 13) faktor hormonal, 14) faktor pakan, dan 15) pengaruh penyakit (Sodiq dan Abidin, 2002). Ditinjau dari sudut pandang kualitatif, kasein susu kambing lebih dapat larut (soluble) dan mengandung proporsi protein terlarut yang lebih tinggi, diantaranya β-lactoglobulin, α-lactoalbumin dan serum albumin (Barrionuevo et al. 2002). Protein susu kambing yang lebih larut tentunya akan lebih mudah diserap dan mengindikasikan kualitas protein susu kambing lebih baik dibandingkan susu sapi (Aliaga et al.2003). Ketersediaan magnesium di dalam susu kambing, menurut Aliaga et al. (2003) lebih besar dibandingkan susu sapi dan mengandung jumlah vitamin D yang lebih banyak. Magnesium memiliki arti penting, karena berhubungan dengan metabolisme. Mineral magnesium dikenali sebagai kofaktor di dalam lebih dari 300 reaksi enzimatik yang mempengaruhi kegiatan metabolisme dan sintesa protein dan asam nukleat. Titik beku susu kambing memiliki kisaran rata-rata antara – 0.537 sampai - 0.646 ºC. Nilai pH susu kambing bervariasi antara 6.3 – 6.7 dengan rata-rata 6.53, sedangkan total asam tertitrasi (TAT) berkisar antara 0.10% - 0.26% (French, 1970). Komponen kimia alami susu kambing terdiri atas: air, lemak, protein, laktosa dan komponen lain seperti garam, asam sitrat, enzim, vitamin gas dan fosfolipid (Spreer, 1998). Susu kambing dari daerah tropis cenderung tinggi total padatannya terutama lemak dan protein, namun total zat padat susu kambing daerah tropis berkorelasi negatif dengan produksi susu (Sofyan dan Sigit, 1993). Komposisi susu kambing secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2 Kandungan Nutrisi Susu Kambing per 100 gram Nama
Jumlah
Satuan
Air
87
g
Energi
68
kkal
Energi
288
kJ
Protein
3.4
g
Total lemak
3.8
g
Karbohidrat
4.4
g
0
g
0.8
g
Kalsium (Ca)
133
mg
Besi (Fe)
0.05
mg
Magnesium (Mg)
13.97
mg
Fosfor (P)
110
mg
Potassium (K)
204
mg
Sodium (Na)
49
mg
Seng (Zn)
0.3
mg
Tembaga (Cu)
0.04
mg
Mangan (Mn)
0.018
mg
Selenium (Se)
1.4
mcg
Vitamin C (Asam Askorbat)
1.29
mg
Thiamin
0.048
mg
Riboflavin
0.138
mg
Niacin
0.227
mg
Serat Ampas Mineral
Vitamin
Sumber: Moeljanto dan Wirjanta (2002)
Razafindrakoto et al. (1994) menyatakan, bahwa susu kambing memiliki nilai gizi yang serupa dengan susu sapi dan bisa digunakan sebagai alternatif pengganti susu sapi untuk merehabilitasi anak – anak yang menderita gizi buruk. Jumlah kandungan lebih banyak terdapat pada vitamin A susu kambing, demikian pula dengan vitamin B, terutama riboflavin dan niasin meski harus diakui kandungan vitamin B6 dan B12 susu sapi lebih banyak (Razafindrakoto et al. 1994).
9
Kolostrum Kolostrum kadang disebut juga “susu ibu” adalah larutan kuning muda yang diproduksi kelenjar ambing selama jam pertama setelah melahirkan, biasanya mulai diproduksi sebelum melahirkan dan terkumpul selama beberapa minggu terakhir kebuntingan (Brandano et al. 2004). Kolostrum disimpan oleh kelenjar ambing sekitar 2 – 3 hari terakhir masa kebuntingan dan disekresikan sekitar 1 – 3 hari setelah melahirkan. Kolostrum tidak diproduksi lagi pada 4 – 5 hari setelah melahirkan, selanjutnya akan terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya (Brandano et al. 2004). Kolostrum memiliki kandungan protein serum yang sangat tinggi dan seringkali masih terdapat darah (Walstra dan Jenness, 1984). Kolostrum tidak hanya mempunyai kandungan nutrien yang tinggi, tetapi juga mempunyai bahan biologis aktif yang sangat dibutuhkan untuk kesehatan dan nutrisi anak. Kolostrum merupakan sumber mineral utama bagi anak yang baru lahir. Konsentrasi mineral seperti Ca, P, Mg, Fe, Zn, Cu dan Mn sangat tinggi setelah melahirkan dan menurun seiring waktu postpartum (Kume dan Tanabe, 1993; Morgante, 2004; Brandano et al. 2004). Komposisi kimia dan karakteristik fisik kolostrum segar bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya karakteristik individu, ras atau bangsa ternak, pakan yang dikonsumsi sebelum melahirkan, jarak periode kering kandang, dan waktu pengambilan kolostrum setelah melahirkan (Pritchett et al. 1991; Kume dan Tanabe, 1993; Brandano et al. 2004). Kadar protein, kadar lemak, kadar bahan kering dan kadar abu kolostrum paling tinggi pada kolostrum hasil pemerahan satu jam setelah melahirkan, tetapi kadar laktosa semakin meningkat seiring bertambahnya waktu pemerahan setelah melahirkan (Brandano et al. 2004). Kolostrum juga mengandung protein, asam amino essensial dan non essensial, asam lemak, laktosa, komponen bukan nutrien seperti immunoglobulin, peptida, hormon peptida, faktor pertumbuhan, citokin, hormon steroid, tiroksin dan enzim (Lona dan Romero, 2001). Komposisi susu pada berbagai ternak dan manusia, tersaji pada Tabel 3.
10
Tabel 3 Komposisi Susu pada Berbagai Ternak dan Manusia Komposisi
Domba
Kambing
Sapi
Kerbau
Manusia
Air (%)
82.5
87.0
87.5
807
87.5
Total padatan (%)
17.5
13.0
12.5
192
12.5
Lemak (%)
6.5
3.5
3.5
8.8
4.4
Diameter globula lemak (µm)
4.0
3.9
4.4
-
-
Total Nitrogen (%)
5.5
3.5
3.2
4.4
1.1
Kasein (%)
4,5
2.8
2.6
3.8
0.4
Serum protein (%)
1.0
0.7
0.6
1.1
0.7
Laktosa (%)
4.8
4.8
4.7
4.4
6.9
Mineral (%)
0.92
0.80
0.72
0.8
0.30
Ca (mg/ l)
193
134
119
190
32
Energi (kkal/ l)
1050
650
700
1100
690
Berat jenis
1.037
1.032
1.032
1.030
1.015
Derajat keasaman (0 SH)
8.5
8.0
7.1
10.0
-
pH
6.65
6.60
6.50
6.67
6.85
-0.580
-0.570
-0.524
-0.580
-
Titik beku Sumber: Pulina dan Nudda, 2004
Kandungan bahan kering kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu, hal ini berkaitan dengan total padatan yang lebih tinggi pada kolostrum (Brandano et al. 2004). Kolostrum juga memiliki konsentrasi protein yang tinggi, berkaitan dengan kandungan immunoglobulin G yang tinggi dan juga konsentrasi fraksi proteinnya lainnya seperti laktoglobulin dan laktoferin lebih tinggi pada kolostrum dibandingkan susu. Fraksi protein tersebut diantaranya laktoglobulin dan laktoferin (Ontsouka et al. 2003). Laktoferin Laktoferin merupakan anggota keluarga transferrin yang merupakan protein pengikat besi yang dominan pada susu atau sekresi kelenjar ambing dan tergolong dalam glikoprotein pengikat besi yang terdiri dari rantai polipeptida rantai tunggal (Schanbacher et al. 1993; Connely, 2001). Berdasarkan fungsi protein secara kimia, maka ada dua kemungkinan fungsi laktoferin secara fisiologis, yaitu: 1) sebagai sumber besi untuk bayi/anak dan 2) suatu faktor
11
antimikrobial potensial dalam saluran susu dan di saluran pencernaan bayi/anak (Arnold et al. 1977; Bullen et al. 1972; Elliots et al. 1984). Bentuk molekul laktoferin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Laktoferin dengan Ikatan Ion Besi
Laktoferin terdiri atas dua lobus, yaitu lobus N dan C. 3+
lobusnya dapat mengikat ion Fe
Pada setiap
dan terdiri dari satu rantai glikan per molekul
(Mitoma et al. 2001; Kanyshkova et al. 2003). Sanchez et al. (1992) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa laktoferin ditemukan pada kolostrum dan sitoplasma dengan pendistribusian yang lebih merata dibandingkan transferin. Laktoferin disintesis oleh kelenjar ambing dan kapasitas kelenjar ambing untuk mensintesis laktoferin menurun dengan nyata pada 24 jam pertama laktasi.
Laktoferin sebagai Antimikroba Laktoferin merupakan ikatan besi glikoprotein yang terdapat di dalam susu, air liur serta sekresi eksokrin lainnya dan memiliki fungsi biologis diantaranya adalah sebagai antimikroba (Conner, 1993; Naidu, 2003; Takakura et al. 2003). Connely (2001) menyatakan, bahwa laktoferin merupakan protein multi fungsi seperti membantu penyerapan zat besi di usus, pertumbuhan sel usus,
12
melindungi dari serangan mikroba penyebab infeksi dan sebagai sistem kekebalan tubuh. Laktoferin adalah protein susu yang memiliki kemampuan antimikroba berspektrum luas dan bila digunakan sebagai pelengkap maka dapat mereduksi keberadaan E. coli di dalam usus anak sapi dan mengurangi serangan diare (Robblee et al. 2003). Aktivitas bakteriostatik pada susu dihubungkan dengan keberadaan laktoferin pada susu (Wang dan Hurley, 1998). Sifat bakteriostatik laktoferin berhubungan dengan afinitas pengikat besi (zat nutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri) yang tinggi sehingga mampu mengikat besi dari lingkungan mikroorganisme (Connely, 2001; Kanyshkova et al. 2003). Sifat bakterisidal laktoferin diduga dihasilkan oleh daerah kation pada lobus N dari laktoferin yang menyebabkan kerusakan pada membran luar bakteri (Connely, 2001). Hasil penelitian Wang dan Hurley (1998) menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri laktoferin dipengaruhi oleh kompleksitas laktoferin dengan protein lainnya dan telah diperoleh bukti bahwa laktoferin komplek seperti laktoferin-immunoglobulin dapat meningkatkan aktivitas antibakteri pada sekresi kelenjar ambing.
Kandungan Laktoferin dalam Kolostrum dan Susu Hasil penelitian Yoshida et al. (2000) menunjukkan kandungan laktoferin pada kolostrum berbeda antar individu sapi dan juga selama periode laktasi. Menurut Tsuji et al. (1990), kandungan laktoferin pada kolostrum atau susu beragam antar spesies dan individu di dalam spesies. Schanbacher et al. (1993) menambahkan, susu manusia pada awal menyusui memiliki kandungan laktoferin yang tinggi. Hasil penelitian Ferrer et al. (2000) menunjukkan, kandungan laktoferin pada kolostrum dan susu manusia bervariasi antara 459.46 ± 190.7 g/ dL sampai 575.06 ± 218.2 mg/ dL pada sampel preterm dan dari 292.06 ± 167.4 mg/ dL sampai 970.66 ± 288.6 mg/ dL pada sampel term. Kandungan laktoferin yang tinggi terdapat di dalam kolostrum, dan meningkat pada susu jika terjadi mastitis (Tsuji et al. 1990; Conner, 1993). Kandungan laktoferin pada susu normal meningkat nyata jika ada infeksi koliform. Hal ini bisa mencerminkan status infeksi pada ambing (Ferrer et al. 2000).
13
Pemurnian Protein Pemurnian protein merupakan tahap yang harus dilakukan untuk mempelajari sifat dan fungsi protein. Sejumlah besar protein, lebih dari seribu macam, telah berhasil diisolasi dalam bentuk yang murni. Protein dapat dipisahkan dari protein jenis lain atau dari molekul lain berdasarkan ukuran, kelarutan, muatan dan afinitas ikatan. Protein-protein dapat dipisahkan dari molekul-molekul kecil dengan cara dialisi melalui selaput semipermeabel. Pemisahan protein berdasarkan ukurannya dapat pula dilakukan dengan cara kromatografi pertukaran ion berdasarkan muatannya. Bila sebuah protein mempunyai muatan positif pada pH 7, maka akan terikat pada kolom penukar ion yang berisi gugus yang bermuatan negatif, sedangkan protein yang bermuatan negatif tidak terikat (Winarno, 2002). Protein-protein bermuatan positif yang terikat dalam kolom tersebut dapat dikeluarkan atau dielusi dengan penambahan garam NaCl atau garam lain pada larutan buffer yang digunakan untuk elusi. Ion Na+ berkompetisi dengan protein untuk berikatan dengan gugus pada kolom dan secara bertahap ion Na mengganti kedudukan protein. Protein terelusi keluar bersama eluen (larutan elusi). Protein dengan muatan density nett positive akan keluar lebih dulu dan kemudian baru disusul oleh protein dengan muatan density nett negative.
Kromatografi Kromatografi adalah metode fisik untuk memisahkan senyawa yang berada dalam suatu fase bergerak melewati suatu fase stasioner (fase diam). Fase bergerak dapat berupa gas atau cairan, sedangkan fase stasioner dapat berupa cairan atau padatan (serbuk halus) (Ardrey, 2003). Kromatografi digunakan untuk memisahkan komponen organik berdasarkan berat, ukuran, bentuk, afinitas atau kelarutan. Kromatografi dengan filtrasi gel digunakan untuk memisahkan molekul seperti protein dan asam nukleat berdasarkan ukurannya. Di dalam kromatografi dengan filtrasi gel, butiran-butiran poliacrylamide yang mengandung pori-pori kecil dikemas di dalam kolom. Sampel dilewatkan melalui kolom tersebut. Molekul dengan ukuran yang kecil dapat lewat melalui pori-pori sedangkan molekul yang berukuran lebih besar tidak dapat melewatinya (Ardrey, 2003).
14
Kromatografi penukar-ion (ion exchange chromatography) digunakan untuk memisahkan anion dan kation organik dan anorganik. Kromatografi penukar-ion bergantung pada interaksi molekul dalam fase bergerak (buffer dan sampel) dengan fase stasioner yaitu column packing matrix (Selkrik, 2004). Likuid
kromatografi mengacu
pada prosedur
kromatografi
yang
memindahkan fase likuid (cair). Likuid kromatografi digunakan untuk separasi molekul makro dan jenis ion dari biomedical, produk alami yang labil, dan beberapa jenis molekul berat dan komponen yang tidak stabil seperti protein, asam nukleat, asam amino, polisakarida, pigmen tanaman, lemak polar, polimer sintesis, dan metabolit hewan dan tanaman (Snyder dan Kirkland, 1979). Likuid kromatografi terdiri atas dua macam, yakni likuid kromatografi klasik dan modern. Kromatografi yang dilakukan pada penelitian adalah likuid kromatografi klasik. Likuid kromatografi klasik menggunakan kolom yang biasanya hanya digunakan satu kali, setelah itu dibuang. Separasi yang dilakukan membutuhkan waktu beberapa jam sehingga penggunaannya tidak efisien waktu (Snyder dan Kirkland, 1979).
Elektroforesis Metode Sodium Dodecyl Sulfate Poliacrylamide Gel Electroforesis (SDS-PAGE) Elektroforesis
adalah
cara
yang
digunakan
untuk
memisahkan
makromolekul seperti asam nukleat dam protein (Sigma, 1988). Elektroforesis Poliakrilamid dengan penambahan larutan anion SDS dapat memisahkan subunit protein dan mengukur berat molekulnya (Sigma, 1988). Secara teknis menurut Yoshida et al. (2004) elektroforesis SDS-PAGE digunakan dalam biokimia dan biologi untuk memisahkan protein berdasarkan ukuran (kekuatan rantai polipeptida dan berat molekulnya). Umumnya sampel dijalankan dengan bantuan matriks seperti kertas, selulose-asetat, gel pati, agarosa atau gel poliakrilamid (Sigma, 1988). Pemisahan dibantu dengan poliakrilamid atau agarosa, sesuai dengan Sigma (1988) yang menyatakan bahwa agarosa dan poliakrilamid dapat digunakan untuk memisahkan molekul berdasarkan ukurannya. Identifikasi dengan elektroforesis SDS-PAGE biasanya dipergunakan untuk memisahkan subunit-subunit yang terkandung dalam protein serta memperkirakan
15
berat molekulnya dengan tingkat kesalahan 5% (Sigma, 1988). Pita protein yang muncul dalam proses ini memperlihatkan pita protein dengan bobot molekul yang berbeda (Sigma, 1988). Subunit protein dengan bobot molekul lebih besar akan muncul di bagian atas dari running gel sedangkan subunit dengan bobot molekul yang lebih rendah akan muncul di bagian bawah (Sigma, 1988). Elektroforesis dilakukan melalui proses (a) running, untuk menjalankan sampel melewati matriks (gel) sehingga dapat terpisah berdasarkan bobot molekulnya, kemudian (b) fiksasi dengan menggunakan TCA untuk memfiksasi zona hasil running, (c) pewarnaan untuk mewarnai zona tempat jalannya sampel sehingga dapat dilihat hasil pemisahan berdasarkan bobot molekulnya (Sigma, 1988). Konsentrasi gel akrilamid berbeda menurut bobot molekul yang akan diukur. Konsentrasi 15% di bawah untuk memisahkan protein dengan bobot molekul di bawah 50 000 Da, sedangkan konsentrasi di bawah 7% untuk memisahkan protein dengan bobot molekul di atas 500 000 Da (Sigma, 1988). Berat molekul protein standar dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Bobot Molekul Protein Standar Jenis Protein
Bobot Molekul
Relative Mobility (Rf)
Lactoferrin, bovine milk
90 000
0.2587
Bovine Albumin
66 000
0.4285
Egg Albumin
45 000
0.4714
Glyceraldehydes-3-phosphate, rabbit muscle
36 000
0.4857
Carbonic anhydrase, Bovine erythrocytes
29 000
0.5
Trypsinogen, Bovine pancreas
24 000
0.5357
Trypsin inhibitor, soybean α-Lactalbumin, bovine milk Sumber: Sigma, 1988
20 100
0.5642
14 200
0.6214
Bobot molekul laktoferin menurut Hurley et al. (1993) berkisar antara 83 kDa-84 kDa. Laktoferin menurut Yoshida et al. (2000) dibagi menjadi dua tipe yaitu laktoferin-a dan laktoferin-b dengan bobot molekul masing-masing 84 kDa dan 80 kDa. Bobot molekul 73.441 kDa untuk susu kambing kacang dan susu kambing PE sedangkan untuk kolostrum PE bobot molekul yang didapatkan sebesar 79.991 kDa (Maheswari, 2006). Nibbering et al. (2001) menggunakan
16
laktoferin dari susu manusia dengan bobot molekul 77 000 Da hasil pemurnian dengan menggunakan kromatografi penukar kation. Nam et al. (1999) melaporkan dengan
bahwa
hasil
menggunakan
karakterisasi ion-exchange
650 M mempunyai berat molekul 82 kDa.
laktoferin
kambing
chromatography
asli
Korea
CM-Toyopearl
17
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Departemen IPTP Laboratorium Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (Laboratorium Terpadu Analisis Hasil Ternak dan Laboratorium Pengolahan Susu), dan Laboratorium Pusat Penelitian
Bioteknologi, LIPI Cibinong. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Maret 2009 sampai Januari 2010.
Bahan dan Alat Sampel kolostrum dan susu kambing dari bangsa Peranakan Etawah (PE) berumur 10 bulan yang berasal dari peternakan perseorangan, Cimahpar (Bogor Utara) yang diberi pakan hijauan berupa rumput lapang dan konsentrat berupa ampas tahu, sampel kolostrum dan susu kambing Jawarandu berumur 9 bulan yang berasal dari peternakan perseorangan di Ciapus (Bogor Selatan), pakan yang digunakan adalah rumput lapang, ampas tahu dan kurma, serta sampel kolostrum dan susu kambing dari bangsa Persilangan Saanen jantan dengan PE betina (SAPE) berumur 10 bulan yang digunakan berasal dari peternakan perseorangan, Cariu (Kabupaten Bogor), yang diberi pakan hijauan berupa rumput lapang dan konsentrat berupa ampas tahu. Sampel kolostrum dan susu yang digunakan merupakan hasil pemerahan hari ke-1 (H1), hari ke-2 (H2), hari ke-3 (H3), hari ke-4 (H4), hari ke-5 (H5), hari ke-6 (H6), hari ke-7 (H7) dan hari ke-8 (H8), sebanyak 150 ml dan sebanyak 250 ml. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian meliputi bahan kimia untuk uji kualitas susu dan penentuan kadar laktoferin. Bahan-bahan tersebut yaitu H2SO4 91%-92%, fenolftalein, NaOH 0.25 N, NaOH 0.1 N, NaOH 2 N, formalin 40%, 0.4 ml kalium oksalat jenuh, amil alkohol, air deionisasi, NaCl, HCl, NaOH, ethanolamine 20 mmol/L, 10% gel, larutan TCA 12 %, larutan staining Coomassie Blue R-250, larutan metanol:akuades:asam asetat (5:4:1). Buffer yang digunakan adalah Buffer A: ethanolamine 20 mmol/L pH 9.5 dan Buffer B: ethanolamine 20 mmol/L pH 9.5 + NaCl 1 M. Elution buffer yang digunakan adalah gradien Buffer A 100 %, Buffer A 90% + Buffer B 10 %, Buffer A 80% +
18
Buffer B 20%, Buffer A 70% + Buffer B 30%, Buffer A 60 % + Buffer B 40%, Buffer A 50% + Buffer B 50%, dan Buffer A 40% + Buffer B 60%. Setiap fraksi protein yang dihasilkan diperiksa dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Peralatan yang digunakan adalah autoclave, refrigerator, freezer, pemanas Bunsen, high speed centrifuge (sentrifugasi dingin Hettich Zentrifugen Mikro 200R), membran dialisis, penukar kation kromatografi dengan menggunakan HiTrap Q-SP (GE Healthcare), magnetic stirer, microtube 2 ml dan 50 ml, Bio Rad Mini Protean®3 System, spektrofotometer Genesys UV10R, Corning Steril Syringe Filter 0.2 µm, penangas air, kompor listrik, pipet volumetrik, mikro pipet, butirometer, penyumbat karet, laktodensimeter, pH meter, buret, gelas ukur, gelas piala, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, timbangan analitik dan alumunium foil.
Perancangan Percobaan dan Perlakuan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (3×8) dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah bangsa kambing perah (PE, Jawarandu dan SAPE), dan faktor kedua adalah hari pemerahan (hari ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7 dan ke-8). Model matematika rancangan penelitian ini menurut Gasperz (1989) adalah: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ε(ijk) Keterangan : Yijk
=
hasil pengamatan kandungan laktoferin pada bangsa kambing perah ke-i dan kelompok ke-j
µ
=
nilai tengah umum
αi
=
pengaruh perbedaan bangsa kambing perah ke-i
βj
=
pengaruh hari pemerahan susu ke-j
(αβ)ij =
pengaruh interaksi antara bangsa kambing perah yang berbeda ke-i dengan hari pemerahan susu ke-j
i
=
bangsa kambing perah yang berbeda
j
=
hari pemerahan
ε ij
=
pengaruh galat percobaan dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij
19
Data kandungan nutrisi kolostrum dan susu kambing serta kandungan laktoferin yang didapat dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Apabila hasilnya nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1995) Peubah Peubah yang diamati meliputi kandungan nutrisi kolostrum dan susu serta konsentrasi laktoferin pada kambing PE, Jawarandu dan SAPE. Kandungan Nutrisi Kolostrum dan Susu Kambing. Kandungan nutrisi kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE, dapat dilihat dari komposisi kolostrum dan susu yang dihasilkan. Penentuan kualitas kimia kolostrum dan susu kambing dapat dilihat melalui komposisinya yang meliputi bahan kering, bahan kering tanpa lemak, kadar lemak, kadar protein, berat jenis dan pH. Kandungan Laktoferin. Whey yang dihasilkan dari sentrifugasi dilakukan pengujian kromatografi untuk mengetahui kadar laktoferin yang terkandung dalam whey dari kolostrum dan susu tersebut. Hasil kromatografi dapat menunjukkan kandungan laktoferin yang berbeda tergantung dari whey kolostrum atau susu serta jenis bangsa kambing perah yang digunakan. Prosedur Pengumpulan Sampel Susu. Sampel susu yang digunakan merupakan sampel individu yang diperoleh dari berbagai bangsa kambing. Susu yang dianalisa antara lain bangsa PE, Jawarandu, Persilangan Saanen Jantan dan PE betina (SAPE), Susu kambing tersebut diperoleh dari beberapa peternakan di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. Peternakan-peternakan antara lain peternakan kambing Jawarandu di Ciapus, Bogor Selatan, peternakan kambing PE di Cimahpar, Bogor Utara dan peternakan kambing SAPE di Cariu, Kabupaten Bogor. Sampel susu diperoleh dalam kondisi beku dan diangkut dengan menggunakan cool box ke laboratorium. Sampel untuk uji kualitas fisik, kimia dan biologi disimpan pada kondisi dingin, sedangkan untuk pengukuran laktoferin jika tidak langsung diuji bisa dibekukan.
20
Pengukuran Kadar Lemak Susu Metode Gerber (BSN, 1998a). Susu kambing diambil menggunakan pipet sebanyak 10.75 ml ke dalam botol butirometer, ditambahkan H2SO4 91-92% sebanyak 10 ml dan 1 ml amil alkohol. Butirometer tersebut disumbat rapat, kemudian dikocok perlahan sampai larutan homogen. Setelah terbentuk warna ungu tua sampai kecoklatan, tabung butirometer dimasukkan ke dalam sentrifuge dan disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1 200 rpm. Tabung butirometer yang telah disentrifugasi dimasukkan ke dalam penangas air selama 5 menit dengan temperatur 65 ºC. Setelah itu kadar lemak dibaca pada skala butirometer, dilakukan penyesuaian untuk mendapatkan skala nol pada batas antara batas lemak dengan zat lainnya dengan cara mengatur sumbat karet.
Uji Titrasi Keasaman Soxhlet Henkel (BSN, 1998a). Sebanyak 50 ml sampel susu kambing diambil menggunakan pipet ke dalam labu Erlenmeyer, ditambah 2 ml larutan fenolftalein. Salah satu dari campuran pada labu Erlenmeyer dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0.25 N hingga terbentuk warna merah muda yang tidak hilang lagi jika dikocok. Derajat Soxhlet (ºSH) adalah banyaknya ml NaOH 0.25 N yang dipakai dikalikan nilai 2.
Pengukuran Kadar Protein Susu (Davide, 1977). Pengujian kadar protein susu dilakukan dengan menggunakan metode Titrasi Formol. Sebanyak 10 ml susu dimasukkan dalam labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan beberapa tetes fenolftalein 1% dan 0.4 ml kalium oksalat jenuh. Titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah muda. Sebanyak 2 ml formalin 40% ditambahkan, warna merah akan hilang. Titrasi kembali dengan larutan NaOH 0.1 N sampai warna merah muda terjadi. Banyaknya NaOH 0.1 N yang digunakan dicatat. Titrasi blanko dibuat dengan cara sebanyak 10 ml aquadest ditambah dengan 0.4 ml kalium oksalat jenuh kemudian 2 ml formalin 40% dan beberapa tetes fenolftalein 1% ditambahkan. Titrasi dengan NaOH 0.1 N sampai terbentuk warna merah muda. Banyaknya NaOH 0.1 N yang digunakan kemudian dicatat. Rumus perhitungan kadar protein susu adalah:
21
Kadar Protein Susu = (p-q) ml x 1.95 (faktor formol)
Pemisahan Lemak dan Kasein. Lemak susu kambing dipisahkan berdasarkan Yoshida et al. (2000) yaitu dengan sentrifugasi 2 000 ×g pada suhu 4 °C selama 30 menit. Susu skim yang dihasilkan diasamkan hingga pH 4.6 dengan penambahan 2 N HCL dan disentrifugasi 10 000 ×g pada suhu 4 °C selama 30 menit. Endapan kasein dibuang, whey asam yang dihasilkan dinetralisasi ke pH 6.8 dengan 2 N NaOH dan disentrifugasi kembali pada 10 000 ×g pada suhu 4 °C selama 30 menit. Diagram alir mengenai pemisahan lemak dan kasein dapat dilihat pada Gambar 5. Endapan yang tersisa dibuang sehingga diperoleh whey netralisasi yang bersih dan disimpan di dalam freezer untuk digunakan pada analisis selanjutnya.
Isolasi Protein Whey. Susu yang digunakan dalam isolasi laktoferin diantaranya adalah susu dari berbagai bangsa kambing perah, diantaranya adalah susu kambing Peranakan Etawah (PE), kambing Jawarandu dan kambing SAPE. Whey protein diisolasi dengan Hi – Trap Q – SP Anion Exchange Column (GE – Healthcare) dengan gradien NaCl linier. Buffer yang digunakan adalah Buffer A (ethanolanime 20 mmol/L pH 9.5) dan Buffer B (ethanolanime 20 mmol/L pH 9.5 + NaCl 1 M).
Metode Spektrofotometri. Fraksi-fraksi protein yang diperoleh dari proses kromatografi selanjutnya diperiksa dengan spektrofotometer untuk penentuan konsentrasi isolat laktoferin yang terkandung dalam fraksi-fraksi protein tersebut. Fraksi protein sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari bahan yang tembus pandang atau cuvette, kemudian diperiksa dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Pengukuran protein pada 280 nm didasarkan atas serapan tirosin dan triptofan (Sudarmadji, 1996). Oleh sebab itu masing-masing jenis protein akan memiliki serapan molar berbeda-beda pada 280 nm, maka kurva kalibrasi harus dibuat untuk masing-masing jenis protein murni (Sudarmadji, 1996). Konsentrasi laktoferin pada fraksi protein hasil
22
kromatografi diperoleh dari nilai absorbance pada 280 nm dikali faktor yang diestimasi dari laktoferin sapi standar dari Sigma Aldrich Co. Konsentrasi laktoferin (%) = Nilai Absorbance pada 280 nm x 0.07
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE). Metode SDS-PAGE dirunning berdasarkan Kunz et al. (1989) yaitu pada 12.5% gel pemisah dan gel penahan (stacking gel) 3%. Setiap fraksi protein ditambahkan dissociation buffer dengan perbandingan 2:1, kemudian dipanaskan dalam penangas air susu 80 °C selama 3 menit. Sampel whey susu yang telah disiapkan sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam sumur di gel penahan dan dirunning di dalam 600 ml reservoir buffer pada 35 mA selama 6 jam. Gel difiksasi di dalam larutan TCA 12% selama 4 jam sambil terus digoyang. Pewarnaan dilakukan selama semalaman di dalam larutan staining Coomassie Blue R-250 sebanyak 0.125 g ditambahkan kedalam 1 000 ml larutan metanol: akuades:asam asetat (5:4:1). Gel yang telah diwarnai dibilas dengan larutan destaining yaitu dengan larutan metanol:akuades:asam (5:4:1) sambil terus digoyang sampai terbentuk gel dengan latar belakang pita protein-protein dalam keadaan bersih. Bobot molekul ditentukan dengan membuat kurva protein standar (marker) dari bobot molekul yang diketahui, dimasukkan pada Relative Mobility (Rm) yang diperoleh dan Relative Mobility (Rm) protein yang ingin diketahui bobot molekulnya dimasukkan pada kurva tersebut (Gambar 5). Relative Mobility (Rm) dihitung dengan rumus : Relative Mobility (Rm) =
Jarak migrasi protein dari awal resolving gel Jarak antara awal resolving gel dengan tracking dye
23
Susu normal
(Kambing secara individu) Krim kolostrum dan susu dipisahkan melalui sentrifuge (2 000 ×g, 30 menit pada suhu 4 °C)
Skim susu normal Ditambahkan 2 N HCl hingga pH 4.6 pada suhu ruang, presipitasi
yang terbentuk (kasein)
dipisahkan dengan
sentrifugasi (10 000 ×g, 30 menit pada suhu 4 °C)
Whey asam Netralisasi hingga pH 6.8 dengan 2N NaOH. Presipitasi yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifugasi (10 000 ×g, 30 menit, 4 °C) Netralisasi Whey Asam (susu normal)
Hi-Trap Q-SP Anion Exchange Column Dengan gradien NaCl Linier
Buffer A: ethanolamine 20 mmol/L Buffer B: ethanolamine 20 mmol/L pH 9.5 + NaCl 1 M Laktoferin
Rechromatografi dengan Hi-Trap Q-SP Anion Exchange Column
Lyiophilisasi
Gambar 5 Diagram Alir Isolasi Laktoferin (Yoshida et al. 1991)
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Hari Pemerahan yang Berbeda terhadap Komposisi Kimia Kolostrum dan Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE Komposisi kimia kolostrum dan susu yang diamati meliputi kadar bahan kering (BK), bahan kering tanpa lemak (BKTL), lemak, dan protein. Secara umum kandungan bahan kering, bahan kering tanpa lemak, kadar lemak dan kadar protein kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE yang dihasilkan mengalami penurunan dengan menghitung hari pemerahan yaitu dari hari ke-1 sampai hari ke-8. Kadar bahan kering, bahan kering tanpa lemak, kadar lemak dan kadar protein pada kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE masing-masing dapat dilihat pada tabel. Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing PE Kadar bahan kering (BK), bahan kering tanpa lemak (BKTL), kadar lemak dan kadar protein pada kolostrum dan susu kambing PE dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5
Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing PE pada hari pemerahan yang berbeda Hari Pemerahan Setelah Beranak Kolostrum Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3 Hari Ke-4 Rerata Susu Hari Ke-5 Hari Ke-6 Hari Ke-7 Hari Ke-8 Rerata
Komposisi (%) BK
BKTL
Lemak
Protein
38.96±3.62 25.52±0.98 26.34±2.09 23.51±1.95 28.58±2.16
17.63±1.10 12.36±1.13 13.00±2.43 11.51±0.49 13.62±1.28
21.33±2.57 13.17±1.44 13.33±0.58 12.00±2.16 14.96±1.69
5.96±2.30 4.51±1.48 4.68±1.09 3.92±1.06 4.77±1.48
17.76±1.84 16.79±4.02 15.56±2.81 13.58±0.31 15.92±2.26
10.01±0.73 9.62±1.14 9.60±1.12 9.26±0.66 9.62±0.91
7.75±2.05 7.17±2.92 5.96±1.76 4.31±0.64 6.30±1.84
4.29±0.33 4.15±0.59 4.32±0.49 3.47±1.28 4.06±0.67
25
Menurut Brandano et al. (2004), kadar protein, kadar lemak, kadar bahan kering dan kadar abu kolostrum paling tinggi diperoleh pada hasil pemerahan satu jam setelah melahirkan dan kolostrum disekresikan sekitar 1 – 3 hari setelah melahirkan. Kolostrum tidak diproduksi lagi pada 4 – 5 hari setelah melahirkan, karena terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya. Pengamatan terhadap komposisi kimia kolostrum dan susu kambing PE mendapatkan bahwa BK tertinggi terdapat pada hasil sekresi hari pertama setelah melahirkan dan berkurang hingga ±50% pada hari ke-5 setelah melahirkan. Kadar lemak yang dihasilkan pada sekresi hari ke-1 sampai dengan hari pemerahan ke-4, mempunyai rerata yang tinggi yaitu 14.96% dan menurun secara drastis pada hari 5-8 dengan rerata 6.30%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa untuk kambing PE, lama kolostrum dihasilkan adalah 4 hari setelah melahirkan dan baru pada hari ke-5 disekresikan susu, berbeda dengan Brandano et al. (2004) Rerata kandungan BK kolostrum PE adalah 28.58% lebih tinggi dibandingkan dalam susu PE 15.92%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ontsuoka et al. (2003), bahwa kandungan BK kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu berkaitan dengan total padatan yang lebih tinggi pada kolostrum. Kandungan bahan kering susu hari pemerahan ke-5 dan ke-6 yaitu 17.76% dan 16.79%, hasil ini sesuai dengan pernyataan Jennes (1979), kadar BK berkisar antara 16.18%-19.29%. Adanya kadar BK yang kurang dari standar yang telah ditentukan disebabkan oleh pemberian pakan di peternakan kambing PE menggunakan rerumputan sekitar perkandangan dan konsentrat berupa ampas tahu, hal ini sesuai dengan pernyataan Bath et al. (1985) menyebutkan bahwa kandungan BK susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak dan pernyataan Larson (1974) bahwa, komposisi kimia susu dipengaruhi oleh bangsa, produksi susu, tingkat laktasi (hari pemerahan), kualitas serta kuantitas makanan. Rerata BKTL kolostrum PE adalah 13.62% lebih tinggi dibandingkan dalam susu PE 9.62%. Variasi komposisi kimia kolostrum dan susu, dalam hal ini BKTL dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karakteristik individu, ras atau bangsa ternak, pakan yang dikonsumsi sebelum melahirkan, jarak periode kering kandang dan waktu pengambilan kolostrum setelah melahirkan (Pritche et al.
26
1991; Kume dan Tanabe, 1993; Brandano et al. 2004). Kandungan BKTL susu PE pada hari pemerahan ke-5 yaitu 10.01%, hari pemerahan ke-6 yaitu 9.62%, hari pemerahan ke-7 yaitu 9.60% dan hari pemerahan ke-8 yaitu 9.26%, terlihat kandungan BKTL berada dalam kondisi normal. Hasil ini sesuai dengan Blakely dan Bade (1985) bahwa rerata komposisi susu kambing BKTL adalah 8.75%, atau Katipana (1986) menyebutkan bahwa kandungan BKTL susu kambing adalah 10.86%. Rerata kadar lemak dalam kolostrum PE adalah 14.96% lebih tinggi dibandingkan dalam susu PE adalah 6.30%. Kisaran kadar lemak susu kambing adalah antara 4.25% (Blakely dan Bade, 1985) dan 6,6%-10.3% (Arguello et al. 2006). Kadar protein kolostrum PE mempunyai kisaran antara 3.92%-5.96% atau dengan rerata 4.77%, lebih tinggi dibandingkan susu PE mempunyai kisaran antara 3.47%-4.29% atau dengan rerata 4.06%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Johnson (1972) yang menyatakan kadar protein pada hari pemerahan awal lebih tinggi dibanding susu normal sepenuhnya. Kadar protein kolostrum dan susu PE masih dalam kisaran normal, terlihat pada Tabel 5. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Arguello et al. (2006) bahwa untuk kandungan kadar protein kolostrum 2-5 hari setelah beranak berkisar antara 4.1-8.4% dan rata-rata komposisi susu kambing untuk kadar protein 3.52% (Blakely dan Bade, 1985). Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing Jawarandu Kadar bahan kering (BK), bahan kering tanpa lemak (BKTL), kadar lemak dan kadar protein pada kolostrum dan susu kambing Jawarandu dapat dilihat pada Tabel 6.
27
Tabel 6 Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing Jawarandu pada hari pemerahan yang berbeda Hari Pemerahan Setelah Beranak Kolostrum Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3 Hari Ke-4 Hari Ke-5 Rerata Susu Hari Ke-6 Hari Ke-7 Hari Ke-8 Rerata
Komposisi (%) BK
BKTL
Lemak
Protein
37.49±10.48 30.62±5.26 28.61±0.91 25.48±2.14 27.49±2.27 29.94±4.21
15.32±1.93 13.87±0.88 12.69±0.61 11.65±1.16 12.59±0.26 13.22±0.97
22.17±8.55 16.75±4.38 15.92±0.58 13.83±1.01 14.83±2.56 16.70±3.42
9.00±0.32 7.38±0.78 6.27±0.83 5.91±1.51 5.00±0.83 6.71±0.85
17.14±0.85 16.86±1.36 16.21±0.95 16.74±1.05
10.37±0.69 10.26±0.45 9.86±0.15 10.16±0.43
6.76±0.96 6.60±1.08 6.35±1.01 6.57±1.02
4.75±0.63 4.68±0.85 4.71±0.90 4.71±0.79
Menurut Brandano et al. (2004), kadar protein, kadar lemak, kadar bahan kering dan kadar abu kolostrum paling tinggi diperoleh pada hasil pemerahan satu jam setelah melahirkan dan kolostrum disekresikan sekitar 1 – 3 hari setelah melahirkan. Kolostrum tidak diproduksi lagi pada 4 – 5 hari setelah melahirkan, karena terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya. Pengamatan terhadap komposisi kimia kolostrum dan susu kambing Jawarandu mendapatkan bahwa BK tertinggi terdapat pada hasil sekresi hari pertama setelah melahirkan dan berkurang hingga ±50% pada hari ke-6 setelah melahirkan. Kadar lemak yang dihasilkan pada sekresi hari ke-1 sampai dengan hari pemerahan ke-5, mempunyai rerata yang tinggi yaitu 16.70% dan menurun secara drastis pada hari 6-8 dengan rerata 6.57%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa untuk kambing Jawarandu, lama kolostrum dihasilkan adalah 5 hari setelah melahirkan dan baru pada hari ke-6 disekresikan susu, berbeda dengan Brandano et al. (2004) Rerata kandungan BK kolostrum Jawarandu adalah 29.94% lebih tinggi dibandingkan dalam susu Jawarandu 16.74%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ontsuoka et al. (2003), bahwa kandungan BK kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu berkaitan dengan total padatan yang lebih tinggi pada kolostrum. Kandungan BK susu hari pemerahan ke-6, ke-7 dan ke-8 yaitu 17.14%, 16.86% dan 16.21%, hasil ini sesuai dengan pernyataan Jennes (1979),
28
kadar BK berkisar antara 16.18%-19.29%. Adanya kadar BK yang kurang dari standar yang telah ditentukan disebabkan oleh pemberian pakan di peternakan kambing Jawarandu menggunakan rerumputan sekitar perkandangan, konsentrat berupa ampas tahu serta kurma, hal ini sesuai dengan pernyataan Bath et al. (1985) menyebutkan bahwa kandungan BK susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak dan pernyataan Larson (1974) bahwa, komposisi kimia susu dipengaruhi oleh bangsa, produksi susu, tingkat laktasi (hari pemerahan), kualitas serta kuantitas makanan. Rerata
BKTL
kolostrum
Jawarandu
adalah
13.22%
lebih
tinggi
dibandingkan dalam susu Jawarandu 10.16%. Variasi komposisi kimia kolostrum dan susu, dalam hal ini BKTL dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karakteristik individu, ras atau bangsa ternak, pakan yang dikonsumsi sebelum melahirkan, jarak periode kering kandang dan waktu pengambilan kolostrum setelah melahirkan (Pritche et al. 1991; Kume dan Tanabe, 1993; Brandano et al. 2004). Kandungan BKTL susu Jawarandu pada hari pemerahan ke-6 yaitu 10.37%, hari pemerahan ke-7 yaitu 10.26%, dan hari pemerahan ke-8 yaitu 9.86%, terlihat kandungan BKTL berada dalam kondisi normal. Hasil ini sesuai dengan Blakely dan Bade (1985) bahwa rerata komposisi susu kambing BKTL adalah 8.75%, atau Katipana (1986) menyebutkan bahwa kandungan BKTL susu kambing adalah 10.86%. Rerata kadar lemak dalam kolostrum Jawarandu adalah 16.70% lebih tinggi dibandingkan dalam susu Jawarandu adalah 6.57%. Kisaran kadar lemak susu kambing adalah antara 4.25% (Blakely dan Bade, 1985) dan 6,6%-10.3% (Arguello et al. 2006). Kadar protein kolostrum Jawarandu mempunyai kisaran antara 5%-9% atau dengan rerata 6.71%, lebih tinggi dibandingkan susu Jawarandu mempunyai kisaran antara 4.68%-4.75% atau dengan rerata 4.71%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Johnson (1972) yang menyatakan kadar protein pada hari pemerahan awal lebih tinggi dibanding susu normal sepenuhnya. Kadar protein kolostrum dan susu Jawarandu masih dalam kisaran normal, terlihat pada Tabel 6. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Arguello et al. (2006) bahwa untuk kandungan kadar
29
protein kolostrum 2-5 hari setelah beranak berkisar antara 4.1-8.4% dan rata-rata komposisi susu kambing untuk kadar protein 3.52% (Blakely dan Bade, 1985). Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing SAPE Kadar bahan kering (BK), bahan kering tanpa lemak (BKTL), kadar lemak dan kadar protein pada kolostrum dan susu kambing SAPE dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi kimia kolostrum dan susu kambing SAPE pada hari pemerahan yang berbeda Hari Pemerahan Setelah Beranak
Komposisi (%) BK
BKTL
Lemak
Protein
Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3 Rerata
47.09±9.05 28.63±1.74 23.86±5.16 33.19±5.32
18.59±3.25 14.12±1.32 12.59±1.64 15.10±2.07
28.50±5.82 14.51±0.88 11.26±3.67 18.09±3.46
8.90±0.56 8.28±0.94 6.86±0.31 8.01±0.60
Susu Hari Ke-4 Hari Ke-5 Hari Ke-6
19.28±3.61 17.16±0.24 16.57±0.06
10.94±0.98 11.09±0.07 10.81±0.23
8.33±3.22 6.06±0.30 5.76±0.20
6.20±0.24 5.88±0.31 5.71±0.28
Hari Ke-7 Hari Ke-8 Rerata
16.11±0.39 15.63±0.49 16.95±0.96
10.66±0.17 10.58±0.21 10.82±0.33
5.45±0.39 5.05±0.43 6.13±0.91
5.49±0.14 4.77±0.19 5.61±0.23
Kolostrum
Menurut Brandano et al. (2004), kadar protein, kadar lemak, kadar bahan kering dan kadar abu kolostrum paling tinggi diperoleh pada hasil pemerahan satu jam setelah melahirkan dan kolostrum disekresikan sekitar 1 – 3 hari setelah melahirkan. Kolostrum tidak diproduksi lagi pada 4 – 5 hari setelah melahirkan, karena terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya. Pengamatan terhadap komposisi kimia kolostrum dan susu kambing SAPE mendapatkan bahwa BK tertinggi terdapat pada hasil sekresi hari pertama setelah melahirkan dan berkurang hingga ±50% pada hari ke-4 setelah melahirkan. Kadar lemak yang dihasilkan pada sekresi hari ke-1 sampai dengan hari pemerahan ke-3, mempunyai rerata yang tinggi yaitu 18.09% dan menurun secara drastis pada hari 4-8 dengan rerata 6.13%. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa untuk kambing
30
SAPE, lama kolostrum dihasilkan adalah 3 hari setelah melahirkan dan baru pada hari ke-4 disekresikan susu, berbeda dengan Brandano et al. (2004) Rerata kandungan BK kolostrum SAPE adalah 33.19% lebih tinggi dibandingkan dalam susu SAPE 16.95%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ontsuoka et al. (2003), bahwa kandungan BK kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu berkaitan dengan total padatan yang lebih tinggi pada kolostrum. Kandungan BK susu hari pemerahan ke-4, ke-5 dan ke-6 yaitu 19.28%, 17.16% dan 16.57%, hasil ini sesuai dengan pernyataan Jennes (1979), kadar BK berkisar antara 16.18%-19.29%. Adanya kadar BK yang kurang dari standar yang telah ditentukan disebabkan oleh pemberian pakan di peternakan kambing SAPE menggunakan rerumputan sekitar perkandangan dan konsentrat berupa ampas tahu, hal ini sesuai dengan pernyataan Bath et al. (1985) menyebutkan bahwa kandungan BK susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak dan pernyataan Larson (1974) bahwa, komposisi kimia susu dipengaruhi oleh bangsa, produksi susu, tingkat laktasi (hari pemerahan), kualitas serta kuantitas makanan. Rerata BKTL kolostrum SAPE adalah 15.10% lebih tinggi dibandingkan dalam susu SAPE 10.82%. Variasi komposisi kimia kolostrum dan susu, dalam hal ini BKTL dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karakteristik individu, ras atau bangsa ternak, pakan yang dikonsumsi sebelum melahirkan, jarak periode kering kandang dan waktu pengambilan kolostrum setelah melahirkan (Pritche et al. 1991; Kume dan Tanabe, 1993; Brandano et al. 2004). Kandungan BKTL susu SAPE pada hari pemerahan ke-4 yaitu 10.94%, hari pemerahan ke-5 yaitu 11.09%, hari pemerahan ke-6 yaitu 10.81%, hari pemerahan ke-7 yaitu 10.66% dan hari pemerahan ke-8 yaitu 10.58%, terlihat kandungan BKTL berada dalam kondisi normal. Hasil ini sesuai dengan Blakely dan Bade (1985) bahwa rerata komposisi susu kambing BKTL adalah 8.75%, atau Katipana (1986) menyebutkan bahwa kandungan BKTL susu kambing adalah 10.86%. Rerata kadar lemak dalam kolostrum SAPE adalah 18.09% lebih tinggi dibandingkan dalam susu SAPE adalah 6.13%. Kisaran kadar lemak susu kambing adalah antara 4.25% (Blakely dan Bade, 1985) dan 6,6%-10.3% (Arguello et al. 2006).
31
Kadar protein kolostrum SAPE mempunyai kisaran antara 6.86%-8.90% atau dengan rerata 8.01%, lebih tinggi dibandingkan susu Jawarandu mempunyai kisaran antara 4.77%-6.20% atau dengan rerata 5.61%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Johnson (1972) yang menyatakan kadar protein pada hari pemerahan awal lebih tinggi dibanding susu normal sepenuhnya. Kadar protein kolostrum dan susu SAPE masih dalam kisaran normal, terlihat pada Tabel 7. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Arguello et al. (2006) bahwa untuk kandungan kadar protein kolostrum 2-5 hari setelah beranak berkisar antara 4.1-8.4% dan rata-rata komposisi susu kambing untuk kadar protein 3.52% (Blakely dan Bade, 1985).
Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kandungan BK kolostrum dan susu kambing
Kandungan BK kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8
Rataan dan simpangan baku BK (%) kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu serta SAPE pada hari pemerahan yang berbeda Hari Pemerahan
Kandungan BK (%) PE (3)
Jawarandu (3) c
SAPE (3)
Hari Ke-1
b
38.96±3.62
37.49±10.48
47.09±9.05a
Hari Ke-2
25.52±0.98g
30.62±5.26d
28.63±1.74e
Hari Ke-3
26.34±2.09i
28.61±0.91h
23.86±5.16j
Hari Ke-4
23.51±1.95l
25.48±2.14k
19.28±3.61m
Hari Ke-5
17.76±1.84n
27.49±2.27f
17.16±0.24n
Hari Ke-6
16.79±4.02o
17.14±0.85n
16.57±0.06o
Hari Ke-7
15.56±2.81p
16.86±1.36o
16.11±0.39o
Hari Ke-8 13.58±0.31q 16.21±0.95o 15.63±0.49p Keterangan: - Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) - Garis putus-putus menunjukkan batasan antara kolostrum dan susu untuk masing-masing bangsa kambing
Terlihat pada Tabel 8, berdasarkan sidik ragam diperoleh adanya interaksi antara bangsa kambing dengan hari pemerahan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap BK, dimana hari pemerahan ke-1 pada kambing SAPE memiliki BK paling tinggi 47.09%, BK tertinggi kedua didapatkan pada kambing
32
PE hari pemerahan ke-1 38.96% dan BK tertinggi ketiga didapatkan pada kambing Jawarandu hari pemerahan ke-1 37.49%. Rerata kolostrum kambing SAPE memiliki kandungan BK paling tinggi 33.19%, dibandingkan kambing Jawarandu 29.94% dan kambing PE 28.58% sedangkan rerata susu kambing SAPE memiliki BK paling tinggi 16.95%, dibandingkan kambing Jawarandu 16.74% dan kambing PE 15.92%. Kandungan BK kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE yang dihasilkan pada pemerahan hari ke-1 sampai hari ke-8, berturut-turut mengalami penurunan, seperti ditunjukkan pada Tabel 8. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ontsuoka et al. (2003), bahwa kandungan BK kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu berkaitan dengan total padatan yang lebih tinggi pada kolostrum. Bath et al. (1985) menyebutkan bahwa kandungan BK susu tergantung pada zat-zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai precursor dalam pembentukan BK atau padatan di dalam susu. Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kandungan BKTL kolostrum dan susu kambing Kandungan BKTL kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9
Rataan dan simpangan baku BKTL (%) kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu serta SAPE pada hari pemerahan yang berbeda
PE (3)
Kandungan BKTL (%) Jawarandu (3)
SAPE (3)
Rataan±SB
Hari Ke-1
17.63±1.10
15.32±1.93
18.59±3.25
17.18±2.06a
Hari Ke-2
12.36±1.13
13.87±0.88
14.12±1.32
13.45±1.11b
Hari Ke-3
13.00±2.43
12.69±0.61
12.59±1.64
12.76±1.56bc
Hari Ke-4
11.51±0.49
11.65±1.16
10.94±0.98
11.36±0.87cd
Hari Ke-5
10.01±0.73
12.59±0.26
11.09±0.07
11.23±0.35cd
Hari Ke-6
9.62±1.14
10.37±0.69
10.81±0.23
10.26±0.68d
Hari Ke-7
9.60±1.12
10.26±0.45
10.66±0.17
10.17±0.58d
Hari Ke-8
9.26±0.66
9.86±0.15
10.58±0.21
9.9±0.34d
Hari Pemerahan
a
a
a
Rataan±SB 11.62±1.08 12.07±0.76 12.42±0.98 Keterangan: - Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) - Garis putus-putus menunjukkan batasan antara kolostrum dan susu untuk masing-masing bangsa kambing
33
Kandungan BKTL dipengaruhi oleh kadar lemak kolostrum dan susu kambing. Kandungan BKTL kolostrum dan susu kambing yang dihasilkan pada pemerahan hari ke-1 sampai hari ke-8, berturut-turut mengalami penurunan, seperti ditunjukkan pada Tabel 9. Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa perbedaan bangsa kambing tidak berpengaruh terhadap BKTL (P>0.05) dengan ditunjukkan oleh jumlah BKTL yang hampir sama. Tabel 9 menunjukkan bahwa waktu pemerahan hari ke-1 memiliki kandungan BKTL yang berpengaruh sangat nyata (P<0.01), dengan kata lain kandungan BKTL yang paling tinggi pada tiaptiap bangsa kambing yaitu waktu hari pemerahan ke-1 sehingga sangat berbeda dengan hari pemerahan ke-2, hari pemerahan ke-3, hari pemerahan ke-4, hari pemerahan ke-5, hari pemerahan ke-6, hari pemerahan ke-7 dan hari pemerahan ke-8. Pada hari pemerahan ke-1 berbeda kandungan BKTL dengan hari pemerahan ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7 dan ke-8; antara hari pemerahan ke-2 dan ke-3 terdapat kesamaan kandungan BKTL; antara hari pemerahan ke-3, ke-4 dan ke-5 terdapat kesamaan kandungan BKTL; sedangkan antara hari pemerahan ke-5, ke-6, ke-7 dan ke-8 terdapat kesamaan kandungan BKTL. Perbedaan yang terdapat pada kandungan BKTL ini disebabkan oleh perbedaan genetik, manajemen pakan (konsumsi pakan, kualitas pakan dan jenis pakan yang diberikan). Hal ini sesuai dengan penjelasan Ressang dan Nasution (1982), bahwa kandungan BKTL di tentukan oleh komponen-komponen protein, laktosa, mineral, vitamin dan enzim-enzim. Menurut hasil penelitian Katipana (1986) kandungan bahan kering tanpa lemak susu kambing adalah 10.86%. Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kadar lemak kolostrum dan susu kambing Kadar lemak kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 10.
34
Tabel 10 Rataan dan simpangan baku kadar lemak (%) kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda Hari Pemerahan
Kadar Lemak (%) PE (3)
Jawarandu (3) b
b
SAPE (3)
Hari Ke-1
21.33±2.57
22.17±8.55
28.50±5.82a
Hari Ke-2
13.17±1.44g
16.75±4.38c
14.51±0.88e
Hari Ke-3
13.33±0.58g
15.92±0.58d
11.26±3.67i
Hari Ke-4
12.00±2.16h
13.83±1.01g
8.33±3.22j
Hari Ke-5
7.75±2.05k
14.83±2.56f
6.06±0.30l
Hari Ke-6
7.17±2.92k
6.76±0.96l
5.76±0.20m
Hari Ke-7
5.96±1.76m
6.60±1.08l
5.45±0.39m
Hari Ke-8 4.31±0.64n 6.35±1.01l 5.05±0.43m Keterangan: - Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) - Garis putus-putus menunjukkan batasan antara kolostrum dan susu untuk masing-masing bangsa kambing
Terlihat pada Tabel 10, berdasarkan sidik ragam diperoleh adanya interaksi antara bangsa kambing dengan hari pemerahan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar lemak, dimana hari pemerahan ke-1 pada kambing SAPE memiliki kadar lemak paling tinggi yaitu 28.50% sedangkan kadar lemak hari pemerahan ke-1 pada kambing Jawarandu 22.17% dan kambing PE 21.33%, memiliki kandungan yang sama. Rerata kolostrum kambing SAPE memiliki kadar lemak paling tinggi 18.09%, dibandingkan kambing Jawarandu 16.70% dan kambing PE 14.96% sedangkan rerata susu kambing Jawarandu memiliki kadar lemak paling tinggi 6.57%, dibandingkan kambing PE 6.30% dan kambing SAPE 6.13%. Rerata kolostrum kambing SAPE dan susu kambing Jawarandu dengan kadar lemak yang tinggi, dalam produk pengolahan susu dapat dimanfaatkan menjadi krim, es krim dan mentega. Krim adalah bagian dari susu yang kaya akan lemak, yang timbul ke bagian atas dari susu pada waktu didiamkan atau dipisahkan dengan alat pemisah sentrifugal (Buckle et al. 1987). Berdasarkan rerata kadar lemak yaitu 18.09% pada kolostrum kambing SAPE, dapat digolongkan menjadi krim/ krim normal, dengan kadar lemak susu >18% (Legowo, 2005). Es krim adalah produk pembekuan dari krim dan gula dengan
35
atau tanpa zat aroma dan mengandung tidak kurang dari 14% lemak susu (Eckles et al. 1980). Berdasarkan rerata kadar lemak pada kolostrum kambing SAPE, dapat diolah menjadi “Custard Ice Cream” yaitu es krim yang dicampur dengan pudding, hanya custard dengan penambahan telur dan pada umumnya mengandung lemak lebih dari 10% dan kuning telur tidak kurang dari 1.4% (Lampert, 1970). Mentega adalah produk yang terbuat dari lemak susu di mana kedalamnya dapat ditambahkan garam untuk mendapatkan rasa yang lebih baik dan untuk menjaga mutu (Buckle et al. 1987). Rerata kadar lemak pada kolostrum kambing Jawarandu yaitu 18.09%, oleh karena itu perlu ada standarisasi atau penyesuaian kadar lemak krim yang akan dibuat mentega. Bila, kadar lemak terlalu rendah maka proses pengadukan nantinya terlalu lama. Standarisasi dapat dilakukan dengan metode “Pearson’s Square” yang lazim digunakan untuk standarisasi lemak susu, dengan bahan krim dan skim (Legowo, 2005). Kadar lemak kolostrum dan susu kambing yang dihasilkan pada pemerahan hari ke-1 sampai hari ke-8, berturut-turut mengalami penurunan, seperti ditunjukkan pada Tabel 10. Kadar lemak susu kambing dipengaruhi oleh perbedaan bangsa dan hari pemerahan. Hal ini didukung oleh pernyataan Larson (1974) bahwa, kadar lemak susu dipengaruhi oleh bangsa, produksi susu, tingkat laktasi (hari pemerahan), kualitas serta kuantitas makanan. Proses terjadinya perubahan kolostrum menjadi susu normal dengan melihat semakin lama waktu pemerahan maka semakin menurun kadar lemaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brandano et al. (2004), bahwa kolostrum tidak diproduksi lagi 4-5 hari setelah melahirkan, selanjutnya akan terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya. Menurut Johnson (1972) bahwa susu memiliki kandungan lemak dan bahan kering lebih sedikit daripada kolostrum. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Arguello et al. (2006) yang menyatakan bahwa kadar lemak kolostrum kambing pada 2-5 hari setelah beranak adalah sebesar 6.6%-10.3% serta pernyataan Bergman dan Turner (1936) dengan kadar lemak 8.21%.
36
Pengaruh hari pemerahan dan bangsa kambing yang berbeda terhadap kadar protein kolostrum dan susu kambing
Kadar protein kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Rataan dan simpangan baku kadar protein (%) kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda Hari Pemerahan
Kadar Protein (%) PE (3)
Jawarandu (3) e
9.00±0.32
SAPE (3)
a
8.90±0.56a
Hari Ke-1
5.96±2.30
Hari Ke-2
4.51±1.48f
7.38±0.78c
8.28±0.94b
Hari Ke-3
4.68±1.09f
6.27±0.83d
6.86±0.31d
Hari Ke-4
3.92±1.06g
5.91±1.51e
6.20±0.24d
Hari Ke-5
4.29±0.33g
5.00±0.83f
5.88±0.31e
Hari Ke-6
4.15±0.59g
4.75±0.63f
5.71±0.28e
Hari Ke-7
4.32±0.49g
4.68±0.85f
5.49±0,14f
Hari Ke-8 3.47±1.28g 4.71±0.90f 4.77±0.19f Keterangan: - Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) - Garis putus-putus menunjukkan batasan antara kolostrum dan susu untuk masing-masing bangsa kambing
Terlihat pada Tabel 11, berdasarkan sidik ragam diperoleh adanya interaksi antara bangsa kambing dengan hari pemerahan yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kadar protein, dimana hari pemerahan ke-1 pada kambing SAPE dan Jawarandu memiliki kadar protein yang sama-sama tinggi, kadar protein tertinggi kedua pada kambing SAPE hari pemerahan ke-2 dan kadar protein tertinggi ketiga pada kambing Jawarandu hari pemerahan ke-2. Rerata kolostrum kambing SAPE memiliki kadar protein paling tinggi 8.01%, dibandingkan kambing Jawarandu 6.71% dan kambing PE 4.77% sedangkan rerata susu kambing SAPE memiliki kadar protein paling tinggi 5.61%, dibandingkan kambing Jawarandu 4.71% dan kambing PE 4.06%. Kolostrum dan Susu kambing SAPE dengan protein yang tinggi, dalam produk pengolahan susu dapat dimanfaatkan menjadi keju, susu skim, yoghurt dan kefir. Keju adalah produk segar atau matang yang dibuat dengan cara
37
mengkoagulasikan protein susu, skim susu, atau susu yang diperkaya dengan krim (Legowo, 2005). Berdasarkan rerata kadar protein pada kolostrum dan susu kambing SAPE yaitu 8.01% dan 5.61%, dapat digolongkan menjadi golongan keju skim, dengan kadar lemak susu
kurang dari 10% (Legowo, 2005) dan
berdasarkan bahan bakunya adalah susu kambing SAPE maka dapat dibuat keju susu kambing, yang berwarna putih (Rahman et al. 1992). Lemak kambing banyak mengandung antara lain asam kaprilat, kaprat dan kaproat, yang akan memberikan bau yang khas dan tajam (Rahman et al. 1992). Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu seperti kandungan protein sebesar 3.7%, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Buckle et al. 1987). Yoghurt adalah produk susu yang mengalami fermentasi (Buckle et al. 1987). Rerata kadar protein pada kolostrum dan susu kambing SAPE yaitu 8.01% dan 5.61%, sehingga dapat digunakan untuk pembuatan yoghurt. Susu yang digunakan untuk pembuatan yoghurt umumnya susu murni, susu skim, susu bubuk tanpa lemak, susu skim kondensat, susu yang sebagian lemaknya telah dihilangkan ataupun kombinasi dari berbagai macam susu tersebut (Rahman et al. 1992). Kefir merupakan produk fermentasi susu yang mengandung asam laktat, karbondioksida, etanol dan senyawa aromatik lainnya (Widodo, 2003). Kefir dihasilkan dari fermentasi susu sapi atau susu kambing dengan menggunakan starter bijian kefir (Widodo, 2003). Kadar protein kolostrum dan susu kambing yang dihasilkan pada pemerahan hari ke-1 sampai hari ke-8, berturut-turut mengalami penurunan, seperti ditunjukkan pada Tabel 11. Hal ini sesuai dengan pernyataan Johnson (1972) yang menyatakan kadar protein pada hari pemerahan awal lebih tinggi dibanding susu normal sepenuhnya. Data tersebut sesuai dengan penelitian Arguello et al. (2006) yang menyatakan bahwa kadar protein kolostrum 2-5 hari setelah beranak sebesar 4.1%-8.4% dan Bergman dan Turner (1936), yakni kadar protein 5.69%. Pemisahan Krim dan Skim dalam Kolostrum dan Susu dari Kambing PE, Jawarandu dan SAPE Tujuan dari pemisahan lemak dan skim adalah untuk mengkonsentrasikan laktoferin dalam whey, sehingga akan lebih mudah dalam langkah berikut untuk
38
mendeteksi keberadaan laktoferin. Menurut pernyataan Bos et al. (2000), laktoferin merupakan komponen utama pada whey manusia, walaupun hanya sedikit pada whey sapi. Kunz dan Lonnerdall (1989) menunjukkan bahwa pemisahan protein-protein whey susu secara elektroforesis, di dominasi oleh laktoferin dan serum albumin dengan pita lebih tebal dan gelap. Sentrifugasi kolostrum dan susu dilakukan dengan kecepatan 2 000 xg selama 30 menit pada suhu 4 oC yang dapat memisahkan lemak dengan skim susu. Lemak susu akan membentuk lapisan tipis pada bagian atas. Lemak susu memiliki berat jenis yang lebih rendah dibandingkan susu skim, sehingga setelah disentrifugasi terbentuk lapisan di bagian atas. Butiran-butiran lemak pada susu timbul ke permukaan bagian atas membentuk suatu lapisan krim yang jelas, disebabkan oleh perbedaan berat jenis antara lemak dan komposisi lain dalam susu. Waktu yang diperlukan bagi naiknya krim dan tebalnya lapisan krim tergantung pada 3 faktor yaitu banyaknya lemak, besar-kecilnya butiran lemak, dan perlakuan pemanasan terhadap susu. Susu segar yang telah didinginkan sampai 4 oC akan mempunyai lapisan krim yang tebal dan maksimum (Buckle et al. 1987). Hasil sentrifugasi kolostrum dan susu dapat dilihat pada Gambar 6, lemak kolostrum dan susu kambing memiliki warna putih, berbeda dengan lemak susu sapi yang berwarna kekuning-kuningan. Hal ini disebabkan oleh beta-karoten yang berwarna kuning telah dikonversi semuanya menjadi vitamin A murni yang tidak berwarna (Fehr dan Sauvant, 1980).
Gambar 6 Hasil pemisahan krim dan skim kolostrum serta susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE dengan sentrifugasi (2 000 xg selama 30 menit)
39
Pemisahan Kasein dan Whey Kolostrum serta Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE Koagulasi adalah penggumpalan kolostrum atau susu karena terjadi perubahan bentuk dari susu cair menjadi padatan berbentuk gel. Menurut Daulay (1991), metode untuk mendapatkan whey dari kolostrum dan susu salah satunya adalah dengan penambahan asam. Asam hidrokhlorida (HCl) digunakan dalam whey, untuk pemisah antara kasein dan protein whey. Pengasaman susu sapi pada pH 4.6 secara umum dapat menyebabkan penggumpalan kasein dan terbentuknya whey. Sewaktu kasein telah dipisahkan, didalam cairan yang tersisa yaitu whey masih tertinggal protein susu lainnya, yaitu laktalbumin, laktoglobulin dan laktoferin . Protein laktalbumin dan laktoglobulin terlarut dalam whey (Daulay, 1991). Menurut Singh dan Bennet (2002), susu sapi dapat digumpalkan pada pH 4.6 yang merupakan pH isoelektrik susu sapi. Perubahan keasaman dapat menyebabkan perubahan pada senyawa Ca-phosphat. Penambahan ion H+ dari HCl dapat memecahkan senyawa Ca-phosphat sebagai berikut: Ca3(PO4)2 + 3H+
3Ca++ + HPO-4 + H2PO-4
Reaksi tersebut menunjukkan bahwa bertambahnya ion H+ dapat memisahkan Ca-phosphat sehingga senyawa Ca-kaseinat menjadi tidak stabil. Terbentuknya ion akan membantu proses pengendapan senyawa kompleks tersebut. Kasein merupakan senyawa amphoter yang dapat bereaksi dengan asam maupun basa karena molekulnya mempunyai muatan baik positif maupun negatif. Pada titik isoelektrik, muatan positif (+) dan negatif (-) adalah seimbang. Kasein tidak mengalami hidrasi sehingga mudah sekali diendapkan. Hasil penelitian Kunz dan Lonnerdall (1989) menyatakan bahwa penurunan pH susu dapat menghasilkan whey yang lebih bersih dan fraksi kasein pada whey menjadi lebih sedikit. Penggumpalan susu terjadi pada titik isoelektrik, yaitu suatu kondisi muatan listrik pada permukaan protein adalah nol. Pada keadaan normal, protein susu yang tidak menggumpal bermuatan negatif dan muatan ini mempertahankan protein dalam suspensi. Molekul asam hidrokhlorida yang dihasilkan selama pengasaman bermuatan positif. Hal ini merupakan suatu oksionia bahwa partikelpartikel yang bermuatan sama akan saling tolak-menolak dan menjauhi satu sama lainnya, dan partikel-partikel yang bermuatan tidak sama akan saling tarik-
40
menarik untuk menetralkan muatan permukaan partikel masing-masing. Dengan demikian, apabila jumlah asam hidrkhlorida yang diproduksi selama pengasaman cukup banyak dalam susu, maka protein yang bermuatan negatif akan ditarik sehingga terjadi proses netralisasi (Daulay, 1991). Skim hasil pemisahan krim melalui sentrifugasi ditambah dengan HCl 2N hingga pH 4.6. Pemisahan antara kasein dan whey secara nyata dapat dilihat, setelah dilakukan sentrifugasi pada campuran. Muatan protein susu dinetralkan oleh ion H+ dari HCl- pada awal reaksi, adanya sentrifugasi dengan kecepatan 10 000 xg selama 30 menit membantu pemisahan antara kasein dan whey dari kolostrum dan susu dengan lebih baik. Sentrifugasi dilakukan pada suhu 4 oC untuk menghindari kerusakan pada laktoferin yang akan diidentifikasi selanjutnya (Oria et al. 1993; Paulsson et al. 1993). Koagulasi terjadi karena adanya penggumpalan dari kasein yang terdapat di dalam susu. Kasein merupakan komponen protein yang terbesar dalam susu. Kasein tersusun dari fosfoprotein dan dalam keadaan normal berikatan dengan ion kalsium membentuk kompleks kalsium-fosfo-kaseinat yang terdispersi sebagai partikel-partikel koloid dalam susu. Partikel-partikel koloid ini disebut misel kasein dengan ukuran yang bervariasi, partikel yang lebih besar terbentuk dari partikel-partikel yang lebih kecil ukurannya. Hasil pemisahan antara kasein dan whey dengan sentrifugasi dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Hasil pemisahan kasein dan whey setelah penambahan HCl 2N hingga pH 4.6 di sentrifugasi (10 000 xg selama 30 menit)
41
Identifikasi Laktoferin dalam Protein Whey Kolostrum dan Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE dengan Metode Kromatografi dan Spektrofotometri Whey
protein
diisolasi
dengan
Hi-Trap
Q-SP
anion
exchange
chromatography dengan gradien NaCl linier. Buffer yang digunakan untuk kromatografi adalah Buffer A (ethanolamine 20 mmol/L pH 9.5) dan Buffer B (ethanolamine 20 mmol/L pH 9.5 + NaCl 1 M). Setiap fraksi protein whey yang dihasilkan dari kromatografi rata-rata berjumlah 37-40 tabung dan selanjutnya diperiksa dengan spektrofotometer (280 nm) untuk diperoleh nilai absorbansi. Penggunaan spektrofotometer pada 280 nm dimaksudkan untuk pengukuran konsentrasi dari fraksi protein yang berasal dari gradien linier. Protein dalam larutan dapat menyerap sinar ultraviolet dengan absorbansi maksimum 280 nm dan 200 nm. Adanya asam amino pada protein dengan cincin aromatik adalah alasan utama pada penggunaan absorbansi 280 nm. Faktor pH dan kekuatan ionik dapat mengubah spektrum absorbansi (Layne, 1957). Protein yang telah dimurnikan akan ditentukan konsentrasinya dengan spektrofotometer pada absorbansi 280 nm. Penyerapan radiasi ultraviolet dalam waktu dekat oleh protein tergantung pada triptofan dan tirosin (dapat diukur apabila dalam bentuk fraksi dengan penambahan buffer). Sebuah protein dalam larutan yang dianalisis menggunakan
ultraviolet
akan tampak pada saat
absorbansi 280
nm
(Lebendiker, 2008). Fraksi-fraksi protein whey ditentukan berdasarkan penentuan nilai absorbance pada panjang gelombang 280 nm. Protein whey terpisah menjadi beberapa peak protein. Peak protein pada sampel susu dari bangsa kambing PE, Jawarandu dan SAPE, memiliki pola yang sebagian besar sama. Adanya perbedaan dari setiap peak protein whey disebabkan perbedaan besarnya volume effluent, perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan. Peak protein pertama memiliki nilai absorbance paling tinggi berdasarkan hasil spektrofotometer, sehingga dapat diestimasi kandungan laktoferin dari kedua bangsa kambing tersebut. Menurut Kawano (2002), peak protein pertama diperkirakan beberapa protein
yaitu
immunoglobulin
yang
memiliki
bobot
molekul
antara
150 000–900 000 Dalton, sedangkan pada peak kedua merupakan laktoferin. Fraksi protein whey yang diidentifikasi yaitu laktoferin dan kemungkinan adanya
42
substansi lain seperti (immunoglobulin) atau substansi lain yang memiliki bobot molekul rendah. Kurva volume effluen pada fraksi protein kolostrum dan susu kambing PE, kambing Jawarandu dan kambing SAPE, masing-masing terdapat pada Lampiran 4, Lampiran 5 dan Lampiran 6. Penghitungan konsentrasi laktoferin dalam kolostrum dan susu kambing PE, kambing Jawarandu dan kambing SAPE menggunakan metode spektrofotometri. Konsentrasi laktoferin pada fraksi protein hasil kromatografi diperoleh dari nilai absorbance pada 280 nm dikali faktor yang diestimasi dari laktoferin sapi standar dari Sigma Aldrich Co. Hasil rerata dan simpangan baku konsentrasi laktoferin dalam kolostrum dan susu kambing disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Rataan dan simpangan baku konsentrasi laktoferin dalam kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE pada hari pemerahan yang berbeda
Hari Pemerahan
Konsentrasi Laktoferin (mg/l) PE (3)
Jawarandu (3)
SAPE (3)
Hari Ke-1
156.36±107.66e
197.39±58.94c
207.39±58.94a
Hari Ke-2
154.82±53.92f
205.83±32.30b
181.48±21.20d
Hari Ke-3
48.58±3.46k
67.23±33.54h
116.23±2.23g
Hari Ke-4
47.58±4.28k
58.58±3.46j
66.28±1.26h
Hari Ke-5
43.24±10.06n
48.45±12.60k
47.45±2.50l
Hari Ke-6
46.10±2.86m
63.16±43.30i
31.16±3.20p
Hari Ke-7
42.66±5.48n
30.51±5.86q
30.41±5.32q
Hari Ke-8 41.24±1.22o 25.22±2.21s 29.25±2.20r Keterangan: - Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0.01) - Garis putus-putus menunjukkan batasan antara kolostrum dan susu untuk masing-masing bangsa kambing
Terlihat pada Tabel 12, berdasarkan sidik ragam diperoleh adanya interaksi antara bangsa kambing dengan hari pemerahan yang berbeda berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap konsentrasi laktoferin, dimana hari pemerahan ke-1 pada kambing SAPE memiliki konsentrasi laktoferin paling tinggi yaitu 207.39 mg/l, tertinggi kedua pada kambing Jawarandu hari pemerahan ke-2 yaitu 205.83 mg/l, tertinggi ketiga pada kambing Jawarandu hari pemerahan ke-1 yaitu 197.39 mg/l dan tertinggi keempat pada kambing PE hari pemerahan ke-1 yaitu 156.36 mg/l.
43
Rerata kolostrum kambing SAPE memiliki konsentrasi laktoferin paling tinggi 168.36 mg/l, dibandingkan kambing Jawarandu 115.49 mg/l dan kambing PE 101.83 mg/l sedangkan rerata susu kambing PE memiliki konsentrasi laktoferin paling tinggi 43.31 mg/l, dibandingkan kambing SAPE 40.91 mg/l dan kambing Jawarandu 39.69 mg/l. Perbedaan konsentrasi laktoferin dijumpai antara kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE. Rerata konsentrasi laktoferin kolostrum kambing PE, Jawarandu dan SAPE didapatkan sebesar 187.05±75.18 mg/l (hari pemerahan ke-1), 180.71±35.80 mg/l (hari pemerahan ke-2) dan 77.34±13.08 mg/l (hari pemerahan ke-3). Pada penelitian Yoshida et al. (2000) dengan menggunakan sampel kolostrum dan susu pada 6 jenis sapi yang sama, diperoleh bahwa kandungan laktoferin pada kolostrum dan susu berbeda antar individu sapi dan juga selama periode laktasi. Konsentrasi laktoferin kolostrum antar individu sapi didapatkan rataan 336±230.0 mg/l. Hal ini terlihat bahwa konsentrasi laktoferin kolostrum sapi lebih tinggi dan berbeda dibandingkan dengan konsentrasi laktoferin kolostrum kambing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Tsuji et al. (1990) kandungan laktoferin pada susu beragam antar spesies dan individu dalam spesies. Identifikasi Kandungan Laktoferin dari Kolostrum dan Susu Kambing PE, Jawarandu dan SAPE Identifikasi dengan elektroforesis SDS-PAGE biasanya dipergunakan untuk memisahkan subunit-subunit yang terkandung dalam protein serta memperkirakan berat molekulnya dengan tingkat kesalahan 5% (Sigma, 1988). Pita protein yang muncul dalam proses ini memperlihatkan pita protein dengan bobot molekul yang berbeda (Sigma, 1988). Subunit protein dengan bobot molekul lebih besar akan muncul di bagian atas dari running gel sedangkan subunit dengan bobot molekul yang lebih rendah akan muncul di bagian bawah (Sigma, 1988). Menurut Smith (1998) protein biasanya dipisahkan dengan menggunakan konsentrasi gel 4-15%. Konsentrasi gel 15% digunakan untuk memisahkan protein dengan bobot molekul dibawah 50 kDa, sedangkan untuk protein dengan bobot molekul lebih dari 500 kDa menggunakan konsentrasi gel dibawah 7%. Hal ini berarti untuk memisahkan laktoferin yang memiliki bobot molekul sekitar 70-
44
90 kDa dapat menggunakan konsentrasi gel antara 7-15%. Kunz dan Lonnerdal (1989) memisahkan protein dalam whey susu manusia dengan menggunakan Polyacrylamide gradient gel electrophoresis (PAGGE) dengan konsentrasi gel 327% pada 35 mA selama 6 jam atau 10-20% selama 4 jam. Penggunaan konsentrasi gel pada penelitian sebesar 10% berbeda dengan penelitian Yoshida dan Xiuyun (1991) yang menggunakan konsentrasi gel 12.5% pada 6.5 mA selama 15 jam, mampu mendapatkan pita laktoferin yang lebih jelas. Yoshida et al. (2000) melakukan pemisahan laktoferin-a dan laktoferin-b dari kolostrum sapi dengan menggunakan konsentrasi gel 7.5%. Elektroforesis dilakukan melalui proses (a) running, untuk menjalankan sampel melewati matriks (gel) sehingga dapat terpisah berdasarkan bobot molekulnya, kemudian (b) fiksasi dengan menggunakan TCA untuk memfiksasi zona hasil running, (c) pewarnaan untuk mewarnai zona tempat jalannya sampel sehingga dapat dilihat hasil pemisahan berdasarkan bobot molekulnya (Sigma, 1988). Konsentrasi gel akrilamid berbeda menurut bobot molekul yang akan diukur. Konsentrasi lebih rendah dari 15% untuk memisahkan protein dengan bobot molekul lebih kecil dari 50 000 Da, sedangkan konsentrasi lebih rendah 7% untuk memisahkan protein dengan bobot molekul lebih besar dari 500 000 Da (Nielsen, 1999). Elektroforesis dengan SDS-PAGE dilakukan untuk memperkuat asumsi tentang keberadaan laktoferin pada kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE. Metode ini dapat digunakan untuk membuktikan keberadaan laktoferin dalam kolostrum dan susu tersebut, karena uji ini dapat memisahkan subunit protein berdasarkan berat molekulnya. Pita protein yang terlihat pada kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE berada di antara pita protein β Galaktosidase (116 000 Dalton) dan Bovine Serum Albumin (66 200 Dalton).
45
Gambar 8 Hasil elektroforesis SDS-PAGE kolostrum dan susu kambing PE (PE5) dengan konsentrasi 10%; marker (standar laktoferin); H1; H2; H31; H32; H41; H42; H51; H52; H61, H62; dan H71
Hasil pengujian dengan elektroforesis menunjukkan adanya pita yang diduga laktoferin pada kolostrum dan susu kambing PE, terlihat pada Gambar 8. Pita yang diduga laktoferin pada kolostrum dan susu kambing PE terlihat tidak jelas dikarenakan kandungan konsentrasi laktoferin kecil, yaitu 72.57±23.61 mg/l. Berdasarkan pola migrasi dan persamaan -17 256x + 10 505, maka dapat diperkirakan bobot molekul laktoferin kolostrum dan susu kambing PE adalah 86 075.4 Dalton.
46
Gambar 9 Hasil elektroforesis SDS-PAGE kolostrum dan susu kambing Jawarandu (JR2) dengan konsentrasi 10%; H72 (PE5); H81 (PE5); H82 (PE5); marker (standar laktoferin); H1; H2; H31; H32; H41; H42; H51; dan H52
Hasil pengujian dengan elektroforesis menunjukkan adanya pita yang diduga laktoferin pada kolostrum dan susu kambing Jawarandu, terlihat pada Gambar 9. Pita yang diduga laktoferin pada kolostrum dan susu kambing Jawarandu terlihat kurang jelas dikarenakan kandungan konsentrasi laktoferin kecil yaitu 87.05±24.03 mg/l. Berdasarkan pola migrasi dan persamaan -17 186x + 10 504, maka dapat diperkirakan bobot molekul laktoferin kolostrum dan susu kambing Jawarandu adalah 80 292.16 Dalton.
47
Gambar 10 Hasil elektroforesis SDS-PAGE kolostrum dan susu kambing SAPE (2028) dengan konsentrasi 10%; marker (standar laktoferin); H1; H2; H31; H32; H41; H42; H51; H52; H61; H62; dan H71 Hasil pengujian dengan elektroforesis menunjukkan adanya pita yang diduga laktoferin pada kolostrum dan susu kambing SAPE, terlihat pada Gambar 10. Pita yang diduga laktoferin pada kolostrum dan susu kambing PE terlihat agak jelas dikarenakan kandungan konsentrasi laktoferin paling tinggi di antara kedua jenis bangsa yang lain yaitu 88.70±12.11 mg/l. Berdasarkan pola migrasi dan persamaan -11 746x + 10935 maka dapat diperkirakan bobot molekul laktoferin kolostrum dan susu kambing SAPE adalah 83 292.16 Dalton. Hal ini sesuai penelitian Hurley et al. (1993), perkiraan bobot molekul laktoferin dari sekresi kelenjar ambing sapi mendekati 83 dan 87 kDa. Yoshida et al. (2000) menambahkan bobot molekul laktoferin a pada kolostrum sapi diperkirakan sebesar 84 000 Dalton dan 80 000 Dalton untuk laktoferin b. Nibbering et al. (2001) menggunakan laktoferin dari susu manusia dan mendapatkan bobot molekul sebesar 77 000 Da hasil dari pemurnian dengan menggunakan
kromatografi
penukar
kation.
Nam
et
al.
(1999)
48
melaporkan
bahwa
hasil
karakterisasi
laktoferin
kambing
asli
Korea dengan menggunakan ion-exchange chromatography CM-Toyopearl 650 M mempunyai berat molekul 82 kDa.
49
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan mempengaruhi komposisi kimia kolostrum dan susu (kadar bahan kering, bahan kering tanpa lemak, kadar lemak dan kadar protein). Komposisi kolostrum dan susu kambing PE memiliki rerata bahan kering 22.25%, bahan kering tanpa lemak 11.62%, kadar lemak 10.63% dan kadar protein 4.41%. Kambing Jawarandu memiliki rerata bahan kering 24.98%, bahan kering tanpa lemak 12.07%, kadar lemak 12.91% dan kadar protein 5.96%. Kambing SAPE memiliki rerata bahan kering 23.04%, bahan kering tanpa lemak 12.42%, kadar lemak 10.62% dan kadar protein 6.51%. Kambing Jawarandu menghasilkan susu dengan kadar lemak yang tinggi sehingga sesuai dibudidayakan untuk pengembangan produk olahan berbahan baku lemak susu. Kambing SAPE mempunyai kadar protein yang tinggi sehingga dapat dibudidayakan untuk pengembangan produk olahan yang menyediakan ketersediaan protein susu diantaranya keju dan susu fermentasi. Perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan mempengaruhi konsentrasi laktoferin dalam kolostrum dan susu. Konsentrasi laktoferin kolostrum dan susu pada kambing PE, Jawarandu dan SAPE menurun seiring dengan meningkatnya hari pemerahan. Rerata konsentrasi laktoferin dalam kolostrum dan susu kambing masing-masing adalah kambing PE 101.83 mg/l dan 43.31 mg/l; kambing Jawarandu 115.49 mg/l dan 39.69 mg/l; dan kambing SAPE 168.36 mg/l dan 40.91 mg/l. Kolostrum dan susu pada kambing SAPE perkiraan Bobot Molekul laktoferin diperkirakan sebesar 83 513.3 Dalton, kambing Jawarandu sebesar 80 292.16 Dalton dan kambing PE sebesar 86 075.4 Dalton. Saran Perlu dikaji lebih lanjut peran genotip dari masing-masing bangsa kambing perah dan pengaruh pakan terhadap komposisi kimia dan konsentrasi laktoferin sehingga dapat ditentukan kondisi optimum untuk menghasilkan laktoferin berdasarkan pada kambing perah dan jenis pakan yang diperlukan. Karakterisasi lebih lanjut terhadap laktoferin diantaranya adalah kemampuanya menghambat
50
berbagai bakteri patogen penyebab gangguan pencernaan dan peranannya dalam mencegah diare atau sebagai anti diare.
51
DAFTAR PUSTAKA
Alcamo IE. 1983. Fundamentals of Microbiology. London: Addison-Wesley Publishing Company. Aliaga IL et al. 2003. Study of nutritive utilization of protein and magnesium in rats with resection of the distal small intestine. Beneficial Effect of Goat Milk. J Dairy Sci 86:2958–2966. Ardrey RE. 2003. Liquid Chromatography-Mass Spectrometry: An Introduction. New York:J Wiley. Arguello A, R Gines, J Capote, JL Lopez. 2006. Chemical Composition and Physical Charactyeristics of Goat Colostrum. Small Rum Res 64 (1): 5359. Arnold RR, MF Cole, JR McGhee. 1977. A Bactericidal Effect for Human Lactoferrin. Science 197: 263. Atabany A. 2002. Strategi Pemberian Pakan Induk Kambing Perah Sedang Laktasi dari Sudut Neraca Energi. [terhubung berkala]. http://www.tumoutou.net.html [14 Mei 2009]. Bergman AJ, CW Turner. 1936. The Composition of the Colostrum of the Dairy Goat. Missouri Agricultural Experiment Station. J Series 473: 37-45. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992: Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 01-3141-1998: Susu Segar. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998a. SNI 01-2782-1998/Rev. 1992: Metoda Pengujian Susu Segar. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Barrionuevo M, MJM Alferez, IL Aliaga, MRS Sampelayo, MS Campos. 2002. Beneficial Effect of Goat Milk on Nutritive Utilization of Iron and Copper in Malabsorption Syndrome. J Dairy Sci 85:657-664. Blackburn C de W, PJ McClure. 2002. Food-Borne Pathogens: Hazard, Risk Analysis and Control. Cambridge: Woodhead. Bos C, C Gaudichon, D Tome. 2000. Nutritional and Physiological Criteria in the Assessment of Milk Protein Quality for Humans. Am J Clin Nut. 19 (2): 191S-205S. Brandano P, SPG Rassu, A Lanzu. 2004. Feeding Dairy Lambs. Di dalam: G Pulina dan R Bencini, editor. Dairy Sheep Nutrition. Wallingford: CABI. Brandly PJ, G Migaki, KE Taylor. 1968. Lea and Febiger, Philadephia.
52
Buckle KA, RA Edwards, GH Fleet, M Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Jakarta: UI Pr. Bullen JJ, HJ Rogers, L Leigh. 1972. Iron Binding Proteins in Milk and Resistance to Escherichia coli Infection in Infants. Br Med J 1:69. Connely OM. 2001. Antiinflammatory Activities of Lactoferrin [ulasan]. J Am Coll Nut 20 (2):389S-395S. Conner DE. 1993. Naturally Occuring Compounds. Di dalam: PM. Davidson, AL Branen, editor. Antimicrobial in Food. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker. Daulay D. 1991. Fermentasi Keju. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Antar Universitas Pangan dan Gizi, Bogor:Institut Pertanian Bogor. Davide CL. 1977. Laboratory Guide in Dairy Chemistry Practical. Laguna:FAO Regional Dairy Development and Training and Research Inst Univ of Philiphines at Los Banos Coll. Department of Chemistry University of Maine. 2005. Conformational Changes in Proteins–III. [terhubung berkala]. http://chemistry.umeche.maine.edu/HY431/conformation3.html. [27 Juni 2006]. Devendra C. 1980. Milk Production in Goat Compared to Buffalo and Cattle in Humid Tropics. J Dairy Sci. 63: 1955. Devendra D, M Burn. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan IDK Karya Putra. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Eckles Ch, WB Combs, H Macy. 1980. Milk and Milk Products. New Delhi:Tata Mc Graw-Hill. Edelsten D. 1988. Composition of Milk. Di dalam: H. R. Cross, editor. Meat Science, Milk Science and Technology. New York: Elsevier Sci. Elliots JL, B Senft, G Erdhardt, D Fraser. 1984. Isolation of Lactoferrin and Its Concentration in Cows’ Colostrums and Milk during a 21-Day Lactation. J Anim Sci 59:1080. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fehr PM, D Sauvant. 1980. Composition and Yield of Goat Milk as Affected by Nutritional Manipulation. J Dairy Sci 63: 1671-1680. Ferrer PAR, A Baroni, ME Sambucetti, NE Lo´pez, JMC Cernadas MD. 2000. Lactoferrin Levels in Term and Preterm Milk. J Am Coll Nut 19 (3): 370– 373.
53
French MH. 1970. Observation on the Goat. Roma: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Gasperz V. 1989. Metode Perancangan. CV Armico, Bandung. Hurley WL, RCJ Grieve, CE Magura, HM Hegarty, S Zou. 1993. Electrophoretic Comparisons of Lactoferrin from Bovine Mammary Secretions, Milk Neutrophils and Human Milk. J Dairy Sci 76: 377-387. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Ed ke-6. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Jennes R. 1979. Composition and Characteristics of Goat Milk: Rev 1968 – 1979. J Dairy Sci 63:1605 – 1630. Johnson A H .1972. The Composition of Milk. Di dalam: BH Webb, AH Jonson dan JA Alford, editor. Fundamental of Dairy Chemistry. Ed ke-2. Connecticut: AVI. Joesoep ET. 1986. Beberapa Parameter Genetik Sifat Kumulatif Kambing Peranakan Etawah [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kanyshkova, T. G., S. E. Rabina, D. V. Semenov, N. Isaeva, A. V. Vlassov, K. N. Neustroev, A. A. Kulminskaya, V. N. Buneva, G. A. Wevinsky. 2003. Multiple Enzymatic Activities of Human Milk Lactoferrin. Eur J Biochem 270: 3353-3361. Katipana, N. G. F. 1986. Neraca Nitrogen dan Energi pada Kambing Menyusui dan Tidak Menyusui mendapat Ransum Tambahan Ubi Kayu yang Dimasak dan Urea [Tesis]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kawano, M. M. 2002. Plasma Cell World. Department of Bio-Signal Analysis Yamaguchi University. [terhubung berkala]. http://web.cc.yamaguchu.ac.jp. [27 Agustus 2009]. Kubo IH, H Muroi, M Himejima. 1993. Antibacterial Activity against Streptococcus Mutants of Tea Flavor Component. J Agric Food Chem 42:107–111 Kume S, S Tanabe. 1993. Comparison of Lactoferrin Content in Colostrum between Different Cattle Breeds. J Dairy Sci 73:125-128. Kunz C, B Lonnerdall. 1989. Human Milk Proteins: Separation of Whey Proteins and Their Analysis by Polyacrylamide gel Electrophoresis, Fast Protein Liquid Chromatography (FPLC) Gel Filtration, and Anion-Exchange Chromatography. Am J Clin Nut 49: 464-470. Larson BL, VR Smith. 1974. Lactation, a Comprehensive Treats. Vol III. New ork: Acad Pr.
54
Layne E. 1957. Spectrophotometric and Turbidimetric Methods for Measuring Proteins. Meth.Enzym 3:447-455. [17 November 2009]. Lebendiker M. 2008. Ultraviolet Absorbance 280 nm Protein Determination. [17 November 2009]. Le Jaoven JC. 1988. Simposium on Goat Breeding in Mediterannian Countries. Madrid:EAAP and Spanish National Comitte Animal Production. Lee et al. 1997. Polymorphic Sequence of Korean Native Goat Lactoferrin Exhibiting Greater Antibacterial Activity. Anim Gen 28(5):367-369. Legowo AM. 2005. Teknologi Pengolahan Susu [Diktat Kuliah]. Semarang: Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Lona VD, CR Romero. 2001. Short Communication: Low Levels of Colostral Immunoglobulins in Some Dairy Cows with Placental Retention. J Dairy Sci. 84:389–391. Maheswari RRA, C Sumantri, A Farajallah. 2006. Laporan Penelitian Dasar. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mayr–Harting A, AJ Hedges, RCW Berkeley. 1971. Methods for Studying Bacteriocins. Di dalam: Methods in Microbiology. New York: Ed Norris, JR and DW Ribbon Acad. McKane L, J Kandel. 1985. Microbiology: Essential and Application. New York:McGraw-Hill Book Company. Mitoma M, T Oho, Y Shimazaki, T Koga. 2001. Inhibitory Effect of Bovine Milk Lactoferrin on the Interaction between a Streptococcal Surface Protein Antigen and Human Salivary Agglutinin. J Bio Chem 276 (21):18.06018.065. Moeljanto RD, BTW Wirjanta. 2002. Sehat dengan Ramuan Tradisional Khasiat dan Manfaat Susu Kambing Susu Terbaik dari Hewan Ruminansia. Depok: AgroMedia Pustaka. Morgante M. 2004. Digestive Disturbances and Metabolic-Nutritional Disorders. Di dalam: G Pulina dan R Bencini, editor. Dairy Sheep Nutrition. Wallingford: CABI. Mulyono S. 2003. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. Jakarta: Penebar Swadaya. Naidu AS. 2003. Antimicrobials from Animals. Di dalam: S. Roller, editor. Natural Antimicrobials for the Minimal Processing of Food. Cambridge: Woodhead.
55
Nam MS, K Shimizaki, H Kumura, KK Lee, DY Yu. 1999. Characterization of Korean native goat lactoferrin. Comp. Biochem. Physiol. B Biochem. Mol Biol 123(2): 201-208. Nibbering PH, et al. 2000. Human Lactoferrin and Peptides Derives from Its Terminus Are Highly Effective Against Infections with AntibioticResistant Bacteria. Infect Immun 69 (3): 1469-1476. Ontsouka CE, RM Bruckmaler, JW Blum. 2003. Fractionized Milk Composition During Removal Of Colostrums And Mature Milk. J Dairy Sci 86: 20052011. Oria R, M Ismail, L Sanchez, M Calvo, JH Brock. 1993. Effect of Heat Treatment and Other Milk Protein on the Interaction of Lactoferrin with Monocytes. J Sci 60:363-369. Paulsson MA, U Svensson, AR Kishore, Naidu. 1993. Thermal behavior of Bovine Lactoferrin in Water and Relation to Bacterial Interaction and Antibacterial Activity. J Sci 76:3711-3720. Pelczar MJJr, Chan ECS. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology 2. Pritchett L C, CC Gay, TE Besser, DD Hancock. 1991. Management and Production Factors Influencing Immunoglobulin G1 Concentration in Colostrum from Holstein Cows. J Dairy Sci 74:2336-2341. Pulina G, A Nudda. 2004. Milk Production. Di dalam: G Pulina dan R Bencini, editor. Dairy Sheep Nutrition. Wallingford:CABI. Rahman A, A Fardiaz, WP Rahayu, CC Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi Susu. Bogor:Pusat Antar Universitas-Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Razafindrakoto O, et al. 1994. Goat's Milk as a Substitute for Cow's Milk in Undernourished Children: A Randomized Double-Blind Clinical Trial. J Dairy Sci 94(1): 65-69. Renner E, G. Schaafsma, KJ Scott. 1989. Micronutrients in Milk. Di dalam: E Renner, editor. Micronutrients in Milk and Milk-Based Food Products. England: Elsevier Applied Sci. Ressang AZ, AM Nasution. 1982. Pedoman Pelajaran Ilmu Kesehatan Susu. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Robblee et al. 2003. Supplemental Lactoferrin Improves Health And Growth Of Holstein Calves During The Preweaning Phase1,2. J Dairy Sci 86:1458– 1464.
56
Sacharczuk M, T Zagulski, B Sadowski, M Barchikowska, R Pluta. 2005. Lactoferrin the central nervous system. Neurol. Neurochil Pol 39(6): 482489. Sanchez et al. 1992. Synthesis of Lactoferrin and Transport of Transferrin in The Lactating Mammary Gland Of Sheep. J Dairy Sci 75:1257-1262. Schanbacher FL, RE Goodman, RS Talhouk. 1993. Bovine Mammary Lactoferrin: Implications from Messenger Ribonucleic Acid (Mrna) Sequence and Regulation Contrary to Other Milk Proteins. J Dairy Sci 76:3812-3831. Selkrik C. 2004. Ion-Exchange Chromatography. Meth Mol Biol 244: 125. Sigma Chemical Company. 1988. SDS Molecular Weight Marker in Discontinuous Buffer. Technical Bulletin. MWS-877L. Singh H, RJ Bennet. 2002. Milk and Milk Processing. Di dalam: R.K. Robinson, editor. Dairy Microbiology Handbook Third Edition. New York:J Wiley. Snyder LR, JJ Kirkland. 1979. Introduction to Modern Liquid Chromatography. Ed ke-2. New York:J Wiley. Sodiq A, Z Abidin. 2002. Mengenal Lebih Dekat Kambing Peranakan Etawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat. Depok: AgroMedia Pustaka. Sofyan LA, N Sigit. 1993. Evaluasi Nutrisi dan Efek Biologis Bungkil Biji Kapuk (Ceiba Petandra) Terhadap Produksi dan Komposisi Susu Kambing Perah. Bogor: Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Spreer E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. A Mixa, penerjemah. New York: Marcel Dekker. Steel RGD, JH Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sudono A, IK Abdulgani. 2002. Budidaya Aneka ternak Perah. Diktat Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung: Alumni. Sumantri C. 2006. Gen Pengontrol Produksi Susu Berkadar Laktoferin Tinggi pada Sapi Perah FH. Wartazoa 16 (2): 72-81. Suriawiria U. 2005. Mikrobiologi Dasar. Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Takakura et al. 2003. Oral Laktoferrin Treatment of Experimental Oral Candidiasis in Mice. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 47(8):2619–2623.
57
Tomaszewska MW, IM Mastika, A Djajanegara, S Gardiner, TR Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret Univ Pr. Tsuji S, Y Hirata, F Mukai. 1990. Comparison of Lactoferrin Content in Colostrum Between Differenct Cattle Breeds. J Dairy Sci 73:125-128. Utomo B, T Herawati, S Prawirodigdo. 2005. Produktivitas Induk dalam Usaha Ternak Kambing pada Kondisi Pedesaan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ungaran: Puslitbang Peternakan, hlm. 660-665. Vanderzant C, Miah AH. 1961. Comparison of Kjeldahl, Steam Destillation, DeyBinding and Formol Titration Metods for Determining Protein Content of Milk. J Food Tech 4:223-224. Walstra P, R. Jenness. 1984. Dairy Chemistry and Phisics. New York: J Wiley. Wang H, WL Hurley. 1998. Identification of Lactoferrin Complexes in Bovine Mammary Secretions during Mammary Gland Involution. J Dairy Sci 81:1896-1903. Widodo. 2003. Bioteknologi Industri Susu. Ed ke-1. Yogyakarta: Lacticia Pr. Wikipedia Indonesia. 2004. SDS-PAGE. http://en.wikipedia.org/wiki/SDS-PAGE Willshaw GA, C Thomas, RS Henry. 2000. Escherichia coli. Di dalam: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW, editor. The Microbial Safety and Quality of Food Maryland: Aspen. Maryland: Aspen. hlm 1136 – 1177. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yoshida S, Z Wei, Y Shinmura, N Fukunaga. 2000. Separation of Lactoferrin-a and -b from Bovine Colostrum. J Dairy Sci 83:2211–2215.
58 Lampiran 1
Nilai pH pemisahan whey Kode Sampel PE5 Hari ke-1 PE5 Hari ke-2 PE5 Hari ke-3 PE5 Hari ke-4 PE5 Hari ke-5 PE5 Hari ke-6 PE5 Hari ke-7 PE5 Hari ke-8 9B Hari ke-1 9B Hari ke-2 9B Hari ke-3 9B Hari ke-4 9B Hari ke-5 9B Hari ke-6 9B Hari ke-7 9B Hari ke-8 18B Hari ke-1 18B Hari ke-2 18B Hari ke-3 18B Hari ke-4 18B Hari ke-5 18B Hari ke-6 18B Hari ke-7 18B Hari ke-8 JR2 Hari ke-1 JR2 Hari ke-2 JR2 Hari ke-3 JR2 Hari ke-4 JR2 Hari ke-5 JR2 Hari ke-6 JR2 Hari ke-7 JR2 Hari ke-8 A11 Hari ke-1 A11 Hari ke-2 A11 Hari ke-3 A11 Hari ke-4 A11 Hari ke-5 A11 Hari ke-6 A11 Hari ke-7 A11 Hari ke-8
pH Awal 6.82 6.65 6.72 6.74 6.71 6.68 6.67 6.71 6.54 6.61 6.61 6.56 6.54 6.52 6.58 6.54 6.71 6.90 6.90 6.83 6,78 6.81 6.83 6.84 6.77 6.77 6.45 6.60 6.62 6.56 6.54 6.67 6.84 6.68 6.68 6.67 6.73 6.71 6.80 6.80
pH Pengasaman 4.74 4.73 4.66 4.66 4.65 4.67 4.79 4.73 4.67 4.64 4.50 4.68 4.70 4.72 4.68 4.68 4.71 4.56 4.64 6.62 4.62 4.64 4.66 4.70 4.64 4.60 4.76 4.90 4.76 4.72 4.67 4.72 4.67 4.71 4.64 4.78 4.40 4.73 4.67 4.77
pH Netralisasi 6.81 6.76 6.75 6.94 6.71 6.80 6.72 6.71 6.76 6.88 6.77 6.82 6.73 6.76 6.80 6.77 6.79 6.88 6.80 6.84 6.78 6.86 6.80 6.81 6.87 6.88 6.80 6.75 6.85 6.80 6.70 6.80 6.70 6.86 6.71 6.81 6.79 6.84 6.75 6.87
59 Lampiran 1
Lanjutan nilai pH pemisahan whey Kode Sampel A2 Hari ke-1 A2 Hari ke-2 A2 Hari ke-3 A2 Hari ke-4 A2 Hari ke-5 A2 Hari ke-6 A2 Hari ke-7 A2 Hari ke-8 2028 Hari ke-1 2028 Hari ke-2 2028 Hari ke-3 2028 Hari ke-4 2028 Hari ke-5 2028 Hari ke-6 2028 Hari ke-7 2028 Hari ke-8 2029 Hari ke-1 2029 Hari ke-2 2029 Hari ke-3 2029 Hari ke-4 2029 Hari ke-5 2029 Hari ke-6 2029 Hari ke-7 2029 Hari ke-8 2069 Hari ke-1 2069 Hari ke-2 2069 Hari ke-3 2069 Hari ke-4 2069 Hari ke-5 2069 Hari ke-6 2069 Hari ke-7 2069 Hari ke-8
pH Awal 6.65 6.67 6.60 6.69 6.60 6.66 6.63 6.60 6.82 6.65 6.72 6.74 6.71 6.68 6.67 6.71 6.54 6.61 6.61 6.56 6.54 6.52 6.58 6.54 6.71 6.90 6.90 6.83 6.78 6.81 6.83 6.84
pH Pengasaman 4.74 4.50 4.82 4.81 4.85 4.78 4.66 4.70 4.74 4.73 4.66 4.66 4.65 4.67 4.79 4.73 4.67 4.64 4.50 4.68 4.70 4.72 4.68 4.68 4.71 4.56 4.64 6.62 4.62 4.64 4.66 4.70
pH Netralisasi 6.84 6.79 6.88 6.89 6.95 6.81 6.86 6.91 6.81 6.76 6.75 6.94 6.71 6.80 6.72 6.71 6.76 6.88 6.77 6.82 6.73 6.76 6.80 6.77 6.79 6.88 6.80 6.84 6.78 6.86 6.80 6.81
60
Lampiran 2 Rataan dan simpangan baku berat jenis (g/ml) kolostrum dan susu kambing Hari Pemerahan Hari Ke-1 Hari Ke-2 Hari Ke-3 Hari Ke-4 Hari Ke-5 Hari Ke-6 Hari Ke-7 Hari Ke-8
PE (3) 1.0493 1.0421 1.0317 1.0334 1.0310 1.0300 1.0310 1.0315
Bangsa Kambing (n) Jawarandu (3) 1.0392 1.0384 1.0345 1.0323 1.0350 1.0340 1.0330 1.0320
SAPE (3) 1.0465 1.0415 1.0376 1.0362 1.0368 1.0360 1.0360 1.0360
61 Lampiran 3
Tabel sidik ragam komposisi kolostrum dan susu kambing PE, Jawarandu dan SAPE a Kandungan bahan kering kolostrum dan susu Sumber Bangsa Kambing Hari Pemerahan Interaksi Galat Total
DB 2 7 14 48 71
JK 65.42 4764.71 390.77 682.93 5903.84
KT 32.71 680.67 27.91 14.22
F 2.30 47.84 1.96
P 0.1113 0.0001 0.0426
b Kandungan bahan kering tanpa lemak kolostrum dan susu Sumber Bangsa Kambing Hari Pemerahan Interaksi Galat Total
DB 2 7 14 48 71
JK 8.83 398.39 24.21 69.02 500.47
KT 4.41 56.91 1.72 1.43
F 3.07 39.58 1.20
P 0.0555 0.0001 0.3045
F 5.18 43.11 2.23
P 0.0092 0.0001 0.0203
c Kandungan lemak kolostrum dan susu Sumber Bangsa Kambing Hari Pemerahan Interaksi Galat Total
DB 2 7 14 48 71
JK 83.03 2418.03 249.73 384.64 3135.44
KT 41.51 345.43 17.83 8.01
d Kandungan protein kolostrum dan susu Sumber
DB
JK
KT
F
P
Bangsa Kambing Hari Pemerahan Interaksi Galat Total
2 7 14 48 71
535.28 744.83 649.19 162.49 2091.79
267.64 106.40 46.37 3.38
79.06 31.43 13.70
0.0001 0.0001 0.0001
F 79.06 31.43 13.70
P 0.0001 0.0001 0.0001
e Kandungan laktoferin kolostrum dan susu Sumber Bangsa Kambing Hari Pemerahan Interaksi Galat Total
DB 2 7 14 48 71
JK 535.28 744.83 649.19 162.49 2091.79
KT 267.64 106.40 46.37 3.38
62
Lampiran 4
Kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing PE
63
Lampiran 4 Lanjutan kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing PE
64
Lampiran 4 Lanjutan Kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing PE
65
Lampiran 5
Kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing Jawarandu
66
Lampiran 5
Lanjutan kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing Jawarandu
67
Lampiran 5
Lanjutan kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing Jawarandu
68
Lampiran 6
Kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing SAPE
69
Lampiran 6
Lanjutan kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing SAPE
70
Lampiran 6 Lanjutan kurva volume efluen pada fraksi protein susu kambing SAPE
71
Lampiran 7 Berbagai peralatan untuk penelitian a Alat Sentrifugasi dingin Hettich Zentrifugen Mikro 200R
b
Alat Hi – Trap Q-SP Anion Exchange Chromatoghraphy
c
Alat Corning Sterile Syringe Filter 0,20 µm
d
Alat Elektroforesis Bio Rad Mini Protean®3 System
72
Lampiran 8
Bahan-bahan untuk analisis laktoferin dengan SDS-PAGE
1. Akrilamid/Bis 30% Akrilamidat sebanyak 30 g dan N,N,-Bis-methylene-acrylamide sebanyak 0.8 g dilarutkan dalam 100 ml akuades, disaring dan disimpan pada suhu 4 oC. 2. Tris-HCl 0.5 M pH 8.8 Tris Base sebanyak 6.06 g dilarutkan dalam 40 ml akuades. Nilai pH diatur sehinggga 8.8 dengan HCl 1 N. Volume larutan ditepatkan hingga 100 ml dengan akuades dan simpan pada suhu 4 oC. 3. Tris-Glycine pH 8.3 Tris Base sebanyak 12 g dan 57.6 g glycine dilarutkan dalam 1 900 ml akuades. Diatur pH hingga 8.3 dengan HCl 1 N. Tepatkan hingga 2 000 ml dengan akuades dan simpan pada suhu 4 oC. 4. Sodium Dodesil Sulfat (SDS) 10% SDS sebanyak 10 g dilarutkan ke dalam 75 ml akuades, diaduk perlahan hingga homogeny. Tepatkan hingga 100 ml dengan akuades. 5. Ammonium Persulphate Ammonium Persulphate sebanyak 0.5 g dilarutkan ke dalam 4.5 ml akuades. Larutan ini harus selalu dibuat baru setiap pengujian. 6. Larutan Fiksasi 12% Trichloroacetic acid (TCA) 7. Larutan Pewarna (Staining) Coomassie Blue R-250 sebanyak 0.125 g ditambahkan ke dalam 1 000 ml larutan methanol:akuades:asam asetat (5:4:1). 8. Larutan Destaining Metanol Methanol:akuades:asam asetat (5:4:1) 9. Komposisi Reservoir Buffer pH 8.3 Nama Bahan Akuades TrisGlycine stock Sodium Dodesil Sulfat (SDS) 10%
Jumlah 8 900 ml 1 000 ml 100 ml
73
10. Komposisi Dissociation Buffer Nama Bahan Akuades Tris-HCl 0.5 M pH 8.8 Glycerine Sodium Dodesil Sulfat (SDS) 10% Mercapto ethanol Bromophenolblue 5% (b/v)
Jumlah 10.0 ml 5.0 ml 5.0 ml 10.0 ml 0.5 ml 0.5 ml
11. Komposisi Running Gel Nama Bahan Akuades Tris-HCl 3.0 M pH 8.9 Sodium Dodesil Sulfat (SDS) 10% Akrilamida/Bis 30% Ammonium persulfat 10% N'N'N'N Tetramethylethylene diamine (TEMED)
Gel 7,5% 24.4 ml 5.0 ml 0.4 ml 10 ml 0.4 ml 0.02 ml
Gel 10% 20.4 ml 5.0 ml 0.4 ml 14 ml 0.4 ml 0.02 ml
12. Stacking Gel 3% Nama Bahan Akuades Tris-HCl 0.5 M pH 7.0 Sodium Dodesil Sulfat (SDS) 10% Akrilamida/Bis 30% Ammonium persulfat 10% N'N'N'N Tetramethylethylene diamine (TEMED)
Jumlah 7.54 ml 1.25 ml 0.1 ml 1.0 ml 0.1 ml 0.005 ml
74
Lampiran 9 Grafik normalitas bobot molekul primer protein standar bangsa kambing
a
b
Kambing bangsa PE
Kambing bangsa Jawarandu
75
c
Kambing bangsa SAPE