KANDUNGAN NUTRISI DAN KADAR LAKTOFERIN DALAM SUSU KAMBING PERAH BANGSA PERANAKAN ETAWAH (PE) DAN JAWARANDU
SKRIPSI RATU FIKA HERTAVIANI
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN RATU FIKA HERTAVIANI. D14051721. 2009. Kandungan Nutrisi dan Kadar Laktoferin dalam Susu Kambing Perah Bangsa Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M.Agr.Sc Kualitas nutrisi susu kambing perah dapat dilihat dari komposisi susu yang dihasilkan. Kualitas susu juga sangat menentukan dalam penerimaan susu oleh konsumen. Kandungan nutrisi susu kambing terdiri atas kadar protein, kadar lemak, kadar bahan kering, berat jenis, nilai pH dan bahan kering tanpa lemak. Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah yang melebihi kebutuhan untuk anaknya. Kambing perah lokal yang dipelihara adalah Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu, yang merupakan bangsa kambing perah yang dapat hidup di daerah tropis. Kambing perah memberi sumbangan bagi kesehatan dan gizi penduduk seperti penyediaaan kebutuhan protein hewani yang bernilai biologis tinggi serta mineral esensial dan vitamin asal ternak. Susu kambing, seperti halnya susu sapi, memiliki komponen–komponen susu yang memiliki fungsi sebagai zat antimikroba salah satunya laktoferin. Laktoferin pada susu mampu mengikat ion besi dari mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroba dan berperan sebagai anti diare. Identifikasi keberadaan substrat antimikroba alami yaitu laktoferin yang terdapat dalam susu kambing perlu dilakukan, karena substrat tersebut sangat besar peranannya secara alami dalam mencegah diare yang sangat beresiko kematian bagi balita maupun anak yang banyak terjadi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kandungan nutrisi dan kadar laktoferin dalam susu kambing perah bangsa Peranakan Etawah dan Jawarandu. Penelitian dilakukan di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai dengan September 2009. Rancangan percobaan yang digunakan untuk penentuan kandungan nutrisi susu kambing dan kandungan laktoferin adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (2×3) dengan perlakuan bangsa kambing perah yang berbeda (PE dan Jawarandu) dan hari pemerahan yang berbeda (hari ke 5, ke 6 dan ke 7) dengan tiga ulangan. Hasil menunjukkan bahwa perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan sangat berpengaruh (P<0,01) terhadap kandungan nutrisi susu kambing meliputi bahan kering, bahan kering tanpa lemak (BKTL) dan kadar lemak (P<0,05). Bangsa kambing Jawarandu memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi daripada kambing PE. Semakin lama hari pemerahan maka semakin rendah kandungan nutrisi susu. Laktoferin dideteksi keberadaannya dalam susu kambing Peranakan Etawah dan Jawarandu dengan konsentrasi 32,66-48,98 mg/l dan 25,57-112,53 mg/l. Konsentrasinya tinggi diawal laktasi, menunjukkan pentingnya diberikan susu tersebut pada anak mamalia terutama untuk menekan kematian karena infeksi bakterial misalnya yang disebabkan E. coli. Kata-kata kunci : laktoferin, susu kambing, bangsa kambing, kandungan nutrisi susu kambing
ABSTRACT Nutritional Ingredients and Lactoferrin Concentration in Dairy Goat Milk From Etawah Grades and Jawarandu Breed Hertaviani, R.F., R.A Maheswari, and C. Sumantri Goat's milk is one of source protein original from animal, beside dairy cows that need to be develop. Goat's milk is also believed to have various functions for therapeutic that need scientifically proven. Milk has a high biological value of nutritional that easily digested and absorbed by the body. Therapeutic function from goat's milk can be shown by the presence of active components such as lactoferrin, which is one of the whey proteins that work as an anti-diarrhea. Lactoferrin is an iron bond glycoprotein found in milk, saliva and other exocrine secretions such as in neutrophil granules. Presence of lactoferrin in the local goat's milk is important to be studied as a support for a recommendation to government to develop the dairy goat in Indonesia. The aim of this research was to determined the nutritional composition and concentration of lactoferrin from the Etawah Grades and Jawarandu breed. Experimental design used is Completed Random Design (RAL) factorial pattern (2×3) with three replications. The treatment are different breed (Etawah Grades and Jawarandu) and different milking day. The results showed that the average content of dry matter Etawah Grades and Jawarandu’s milk are 15,56±2,81%-17,76±1,84% and 16,86±1,36%-27,49±2,27%; SNF 9,59±1,12%-10,01±0,73% and 10,26±0,45%12,59±0,26%; fat levels 5,97±1,76%-7,75±2,05% and 6,60±1,08%-14,83±2,56%; protein content 4,53±0,63%; density 1,032±0,003 Kg/m3 and pH value 6,66±0,09%, respectively. Differences on the milking days and breed of goats decreased significantly (P<0,05) on the nutritional ingredients of goat’s milk which were the fat, the dry matter and solid non fat (SNF). Lactoferrin concentration of goat milk on Etawah Grades and Jawarandu were 32,66-48,98 mg/l and 25,57-112,53 mg/l. The results showed the importance of first milk for protect neonatal giving to them from bacterial infection, especially toward E. coli. Keywords: lactoferrin, milk goat, breed goat, the nutritional ingredients of goat's milk
KANDUNGAN NUTRISI DAN KADAR LAKTOFERIN DALAM SUSU KAMBING PERAH BANGSA PERANAKAN ETAWAH (PE) DAN JAWARANDU
RATU FIKA HERTAVIANI D14051721
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi : Kandungan Nutrisi dan Kadar Laktoferin dalam Susu Kambing Perah Bangsa Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu Nama
: Ratu Fika Hertaviani
NIM
: D14051721
Menyetujui :
Pembimbing Utama
Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA NIP. 19620504 198703 2 002
Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc NIP. 19591212 198603 1 004
Mengetahui : Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan IPB
Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc NIP. 19591212 198603 1 004
Tanggal Sidang: 7 Desember 2009
Tanggal Lulus :………………
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 05 Juni 1987 di Pandeglang, Banten. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Tb. Mista Mahfudzi dan Ibu Khaeriah Mahfudzi. Pendidikan penulis diawali dengan sekolah Taman Kanak-kanak pada tahun 1992 di TK Mardiyuana, Labuan. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN Labuan 01. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SMPN 1 Labuan dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMUN 3 Pandeglang. Penulis diterima sebagai mahasiswa di program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan, penulis pernah mendapatkan beasiswa dari aktivis BEM-IPB, BRI dan BBM IPB. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Fisika (2006), Penerapan Komputer (2008) Metodologi dan Rancangan Percobaan dan Teknik Pengolahan Susu (2009) di IPTP Fapet IPB. Penulis juga pernah mengikuti pelatihan HACCP dari Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. Penulis aktif bergabung dalam keanggotaan KMB (Kumpulan Mahasiswa Banten), Ketua Divisi PPSDM BEM-TPB (Badan Eksekutif Mahasiswa TPB) 2005/2006, Sekretaris Umum BEM-D (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan) periode 2007/2008. Penulis juga pernah berperan serta dalam panitia Open House dan sosial gathering ”Gerebek Asrama” dalam rangka promosi Fakultas Peternakan IPB tahun 2007, panitia Masa Perkenalan Fakultas (MPF) sebagai anggota Medis pada tahun 2007 Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat ALLAH AWT. atas segala rahmat, karunia, hidayah serta kasing sayang-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir yang menjadi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam disampaikan kepada baginda Rosulullah Muhammad SAW. Skripsi ini berjudul ”Kandungan Nutrisi dan Kadar Laktoferin dalam Susu Kambing Perah Bangsa Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu”. Skripsi ini bertujuan mengetahui kandungan nutrisi dan kadar laktoferin dalam susu kambing perah bangsa Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu. Penelitian ini menarik karena kambing perah merupakan plasma nutfah Indonesia yang masih jarang tereksplorasi secara optimal dan diharapkan dapat ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya, baik sebagai penghasil daging maupun sebagai penghasil susu. Kandungan nutrisi susu kambing perah dapat dilihat dari komposisi susu yang dihasilkan dan sangat menentukan dalam penerimaan susu oleh konsumen. Susu kambing saat ini belum dimanfaatkan secara luas sebagai bahan pangan, di samping itu susu kambing juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, tidak kalah dengan susu dari ternak lainnya. Susu kambing mengandung komponen-komponen yang dapat meningkatkan kualitas susu, salah satunya laktoferin. Laktoferin merupakan salah satu glikoprotein yang dapat mempunyai sifat antimikroba yang secara alamiah sudah ada dalam susu dan juga dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan. Kandungan laktoferin dalam susu dapat meningkatkan kualitas susu dari segi mikrobiologi. Kadar laktoferin pada susu kambing lebih tinggi dibandingkan pada susu ternak lainnya. Penulis menyadari begitu banyak kekurangan dalam penelitian maupun dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat kepada Penulis sendiri dan bagi pihak yang memerlukan. Bogor, Desember 2009
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..............................................................................................
i
ABSTRACT .................................................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
v
KATA PENGANTAR ...................................................................................
vi
DAFTAR ISI..................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL..........................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xi
PENDAHULUAN .........................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................. Tujuan ..............................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Kambing .......................................................................................... Kambing Perah ............................................................................... Kambing Peranakan Etawah dan Jawarandu ......................... Susu .................................................................................................. Susu Kambing .................................................................................. Protein Susu ..................................................................................... Laktoferin ............................................................................. Peranan Laktoferin ................................................................. Laktoferin sebagai Antimikroba ............................................ Kandungan Laktoferin dalam Kolostrum dan Susu ............... Pemurnian Protein ............................................................................. Kromatografi ........................................................................
3 4 4 6 6 9 10 11 12 13 13 14
METODE .....................................................................................................
16
Lokasi dan Waktu ............................................................................ Materi ............................................................................................... Bahan dan Alat....................................................................... Rancangan ......................................................................................... Peubah .................................................................................... Prosedur ............................................................................................ Pengumpulan Sampel Susu .................................................... Pengukuran Nilai pH (BSN, 1992) ....................................... Pengukuran Berat Jenis (BSN, 1998) .................................... Pengukuran Kadar Lemak Susu Metode Gerber (BSN, 1998) ...........................................................................
16 16 16 17 17 18 18 18 18 19
Uji Titrasi Keasaman Soxhlet Henkel (BSN, 1998) .............. Pengukuran Kadar Protein Susu (Davide, 1977) ................... Pemisahan Lemak dan Kasein ............................................... Identifikasi Protein Whey ....................................................... Penghitungan Konsentrasi Laktoferin ....................................
19 19 19 20 20
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
21
Kandungan Nutrisi Susu Kambing PE dan Jawarandu ................... Pemisahan Krim dan Skim Susu ........................................................ Pemisahan Kasein dan Whey Susu..................................................... Identifikasi Keberadaan Laktoferin dari Protein Whey Susu ............. Kandungan Laktoferin Susu Kambing ..............................................
21 27 28 30 32
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................
34
Kesimpulan ........................................................................................ Saran ..................................................................................................
34 34
UCAPAN TERIMA KASIH .........................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
36
LAMPIRAN ..................................................................................................
42
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Parameter Reproduksi Ternak Kambing..................................................5 2. Komposisi Susu pada Berbagai Ternak dan Manusia .............................7 3. Kandungan Nutrisi Susu Kambing ..........................................................8 4. Konsentrasi Laktoferin dari Beberapa Ternak dan manusia ....................11 5. Komposisi Susu Kambing PE setelah Melahirkan ..................................21 6. Komposisi Susu Kambing Jawarandu Minggu Pertama..........................21 7. Rataan dan SB Bahan Kering Susu Kambing ..........................................22 8. Rataan dan SB BKTL Susu Kambing......................................................23 9. Rataan dan SB Kadar Lemak Susu Kambing ..........................................24 10. Rataan dan SB Kadar Protein Susu Kambing ..........................................25 11. Rataan dan SB Berat Jenis Susu Kambing .............................................26 12. Rataan dan SB Nilai pH Susu Kambing .................................................27 13. Rataan dan SB Konsentrasi Laktoferin Susu Kambing ..........................32
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bangsa Kambing Peranakan Etawah dan Jawarandu ...............................5 2. Laktoferin dengan Ikatan Ion Besi............................................................12 3. Kolom Kromatografi (Healthcare)............................................................15 4. Diagram Alir Identifikasi Laktoferin ........................................................20 5. Hasil Pemisahan Krim dan Skim Susu Kambing .....................................28 6. Hasil Pemisahan Kasein dan Whey Susu Kambing ..................................30 7. Kromatograf Whey Susu Kambing PE dan Jawarandu .............................31
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Nilai pH Pemisahan Whey…………………………………
43
2. Kurva Volume Eluent pada Fraksi Protein Susu Kambing ..
44
3. Tabel Sidik Ragam Kandungan Nutrisi Susu Kambing PE dan Jawarandu...............................................................................
50
4. Tabel Sidik Ragam Konsentrasi Laktoferin Susu Kambing PE dan Jawarandu…........................................................................... 51 5. Tabel Konsentrasi Laktoferin Susu Kambing PE dan Jawarandu…...........................................................................
52
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan susu sapi serta kualitas susu yang masih perlu ditingkatkan saat ini merupakan salah satu permasalahan di bidang peternakan yang harus segera diatasi. Kandungan nutrisi susu kambing perah dapat dilihat dari komposisi susu yang dihasilkan. Kualitas susu juga sangat menentukan dalam penerimaan susu oleh konsumen dan menentukan dalam penetapan harga susu oleh industri pengolahan susu. Inovasi-inovasi dan terobosan baru dalam bidang peternakan diperlukan untuk mendapatkan kondisi peternakan yang dapat memenuhi kebutuhan susu dengan
kualitas yang baik. Salah satunya adalah pemanfaatan
kambing perah sebagai penghasil susu. Kambing perah memberi sumbangan bagi kesehatan dan gizi penduduk di berbagai negara berkembang terutama mereka yang hidup pada garis kemiskinan. Kambing perah dapat menyediakan akan kebutuhan protein hewani yang bernilai biologis tinggi serta mineral esensial dan vitamin asal ternak. Susu kambing, seperti halnya susu sapi, memiliki komponen–komponen susu yang memiliki fungsi sebagai zat antimikroba seperti laktoferin, immunoglobulin dan laktoperoksidase. Identifikasi substrat antimikroba alami yaitu laktoferin yang terdapat dalam susu kambing perlu dilakukan, karena substrat tersebut sangat besar peranannya secara alami dalam mencegah diare yang sangat beresiko kematian bagi balita maupun anak. Laktoferin merupakan salah satu glikoprotein yang dapat mempunyai sifat antimikroba yang secara alamiah sudah ada dalam susu dan juga dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan. Laktoferin pada susu mampu mengikat ion besi dari mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Laktoferin dapat dimanfaatkan untuk enrichment maupun fortifikasi susu. Kadar laktoferin yang tinggi pada susu akan meningkatkan kualitas susu, terutama kualitas mikrobiologi dan nilai guna susu sebagai pangan fungsional. Ketersediaan produk sumber protein hewani yang sangat penting bagi perkembangan otak dan kecerdasan anak sekaligus meningkatkan kesehatannya perlu diwujudkan. Pemanfaatan susu kambing sebagai sumber laktoferin diharapkan mampu mengurangi kasus infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh bakteri Eschericia coli yang masih sering terjadi di
masyarakat. Penelitian diharapkan memberikan informasi tentang potensi susu kambing perah yang dipelihara di Indonesia sebagai sumber laktoferin. Kambing perah di Indonesia yang dapat dikembangkan adalah kambing Peranakan Etawah dan Kambing Jawarandu. Pemanfaatan kambing PE dan kambing Jawarandu sebagai ternak lokal, dapat dijadikan alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi karena selain sebagai penghasil daging juga dapat menghasilkan susu. Susu kambing mempunyai kelebihan dalam bidang kesehatan diantaranya dipercaya mampu menyembuhkan penyakit TBC, diare, meningkatkan vitalitas bagi pria dan mempunyai kecernaan tinggi. Pengembangan teknologi untuk menggali manfaat laktoferin telah dilakukan, salah satunya dengan identifikasi laktoferin untuk dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penelitianpenelitian selanjutnya dalam karakterisasi sifat antimikroba laktoferin lebih lanjut salah satu diantaranya adalah kemampuannya dalam menghambat bakteri patogen penyebab gangguan pencernaan dan untuk meneliti peranannya dalam mencegah diare, misalnya yang disebabkan oleh E. coli.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kandungan nutrisi dan kadar laktoferin dalam susu kambing perah Peranakan Etawah dan Jawarandu.
2
TINJAUAN PUSTAKA Kambing Kambing (Capra aegagrus hircus) adalah subspesies kambing liar yang secara alami tersebar di Asia Barat Daya (daerah "Bulan sabit yang subur" dan Turki) dan Eropa. Kambing merupakan binatang memamah biak yang berukuran sedang. Kambing liar jantan maupun betina memiliki tanduk sepasang, namun tanduk pada kambing jantan lebih besar. Umumnya, kambing mempunyai jenggot, dahi cembung, ekor agak ke atas, dan kebanyakan berbulu lurus dan kasar. Panjang tubuh kambing liar, tidak termasuk ekor, adalah 1,3-1,4 meter, sedangkan ekornya 12-15 cm. Bobot yang betina 50-55 kg, sedangkan yang jantan bisa mencapai 120 kg. Kambing liar tersebar dari Spanyol ke arah timur sampai India, dan dari India ke utara sampai Mongolia dan Siberia. Habitat yang disukainya adalah daerah pegunungan yang berbatu-batu. Kambing sudah dibudidayakan manusia kira-kira 8000 hingga 9000 tahun yang lalu. Kambing hidup berkelompok 5 sampai 20 ekor di alam aslinya. Bangsa kambing dibedakan menjadi tipe pedaging dan tipe penghasil susu (Admin, 2007). Kambing kacang merupakan salah satu ternak lokal yang belum tereksplorasi secara optimal. Kambing kacang lebih dikenal sebagai ternak pedaging. Kambing kacang memiliki potensi sebagai penghasil susu yang dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat (Maheswari et al., 2007). Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Kacang merupakan kambing lokal berukuran kecil yang tersebar di sebagian besar wilayah pedesaan di Jawa Tengah. Kambing kacang memiliki ciri-ciri fisik yaitu badan kecil dan pendek, tinggi badannya hanya sekitar 46 cm (betina) dan 50 cm (jantan), kadang-kadang terdapat gelambir kecil di leher bagian atas. Baik betina maupun jantan kebanyakan bertanduk, telinga berukuran sedang, leher pendek dan tebal, punggung agak melengkung, ekor kecil dan tegak, bulu pada kambing betina pendek sedangkan untuk kambing yang jantan panjang. Warna bulu bervariasi dari hitam, coklat, putih dan kombinasinya, temperamennya lincah, mampu beradaptasi dengan baik, terampil dalam mencari pakan (Admin, 2007). Kambing kacang merupakan ternak potong dan penghasil daging yang baik. Kambing kacang bertubuh kecil, memiliki beberapa keunggulan
antara lain, bersifat lebih prolifik Jumlah anak bisa mencapai dua ekor atau lebih (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Perah Menurut Atabany (2002) kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan untuk anaknya. Kambing perah yang dipelihara biasanya adalah kambing lokal seperti kambing Etawah, Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu yang merupakan bangsa kambing perah yang dapat hidup di daerah tropis. Kambing Etawah adalah kambing keturunan dari kambing Jamnapari. Kambing Jamnapari sangat baik sebagai hewan perah, dan juga sering dipelihara sebagai penghasil daging. Kambing ini mempunyai banyak warna, termasuk warna putih, merah coklat, dan hitam. Telinganya menggantung dengan panjang kurang lebih 30 cm (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Jamnapari memiliki tubuh yang tinggi pada jantan dewasa 90-127 cm dan betina dewasa 76-92 cm (Sudono dan Abdulgani, 2002). Berdasarkan kemampuannya untuk menghasilkan susu dan potensi pertumbuhannya, kambing Etawah digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing asli yang lebih kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia. Produksi susunya sekitar 235 kg selama masa laktasi 261 hari (Devendra dan Burns, 1994). Persilangan dari kambing Etawah diantaranya kambing Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu sebagai penghasil susu. Kambing Peranakan Etawah (PE) dan Jawarandu Kambing PE adalah hasil persilangan kambing Kacang betina dengan kambing Etawah jantan. Kambing PE mempunyai ciri yaitu ukuran tubuh kecil, fertilitas tinggi (Tomaszewska et al.,1993), hidung melengkung ke atas, telinga menggantung ke bawah dan sedikit kaku, warna bulu bervariasi dari hitam sampai coklat. Kambing PE jantan mempunyai bulu agak tebal dan agak panjang pada bagian bawah leher dan pundak, sedangkan betina agak panjang di bawah ekor searah garis kaki. Bobot hidup jantan sekitar 40 kg dan betina 35 kg. Kambing PE telah ada kurang lebih 80 tahun yang lalu (Devendra dan Burns, 1994). Kambing Jawarandu merupakan kambing tipe dwiguna sebagai ternak potong dan juga sebagai ternak perah (Sudono dan Abdulgani, 2002). Di daerah Tegal, kambing ini terkenal sebagai kambing perah terutama di kalangan masyarakat
4
keturunan Arab. Kambing ini memiliki profil muka agak cembung dan telinga lebar menggantung ke bawah. Bulunya di bagian paha belakang cukup lebat. Warna bulu badannya bervariasi dari belang coklat putih, ke abu-abuan dan hitam kecoklatan warna bulu kepalanya. Ada yang bertanduk, ada pula yang tidak bertanduk. Kambing ini cukup subur, banyak yang beranak kembar dua, kembar tiga bahkan kadangkadang sampai kembar empat. Tinggi pundak antara 75-100 cm, bobot badan jantan dewasa sekitar 70 kg dan betina dewasa sekitar 60 kg (Devendra dan Burns, 1994). Gambar kambing PE dan Jawarandu ditunjukkan pada Gambar 1.
(a)Peranakan Etawah
(b) dan (c) Jawarandu
Gambar 1. Bangsa Kambing Peranakan Etawah (a) dan Jawarandu (b, c) Tabel 1. Parameter Reproduksi Ternak Kambing dan Domba Parameter
Kambing
Domba
Jumlah kromosom
60
54
Umur pubertas (bulan)
5-7
6-9
Panjang siklus estrus (hari)
20-21
16-17
Lama estrus (jam)
24-48
24-36
Terjadinya ovulasi (jam)
24-36
24-27
Jumlah ovum per siklus
2-3
1-3
-
10-25
149
149
Lama hidup ova (ova) Lama kebuntingan Sumber : Mulyono (1999)
5
Susu Menurut Edelsten (1988), secara umum susu adalah sekresi kelenjar ambing dari hewan yang menyusui anaknya. Rahman et al. (1992) menambahkan, secara kimia susu didefinisikan sebagai emulsi lemak dalam air yang mengandung gula, garam-garam, mineral dan protein dalam bentuk suspensi koloidal. Menurut SNI No 01-3141-1998 (Dewan Standardisasi Nasional, 1998) susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi yang sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Susu segar adalah susu murni yang disebutkan di atas dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu Kambing Menurut Dewan Standardisasi Nasional (1998), susu kambing mengacu pada SNI 01-3141-1998 tentang susu segar adalah susu yang berasal dari ambing induk kambing yang sehat dan diperoleh dengan cara yang benar. Susu kambing merupakan hasil sekresi dari ambing kambing sebagai makanan anaknya. Perbedaan komposisi kimia pada susu kambing terebut disebabkan oleh beberapa faktor pengontrol produksi susu baik secara kualitas maupun kuantitas seperti: 1) variasi antar bangsa kambing, 2) variasi inter bangsa kambing, 3) faktor genetik, 4) musim, 5) umur, 6) lama masa laktasi, 7) faktor perawatan dan perlakuan, 8) pengaruh masa birahi dan kebuntingan, 9) frekuensi pemerahan, 10) jumlah anak dalam sekali beranak, 11) pergantian pemerah, 12) lama masa kering, 13) faktor hormonal, 14) faktor pakan, dan 15) pengaruh penyakit (Sodiq dan Abidin, 2002). French (1970) menyatakan bahwa, titik beku susu kambing memiliki kisaran ratarata antara – 0,537 sampai – 0,646°C. Nilai pH susu kambing bervariasi antara 6,36,7 dengan rata-rata 6,53, sedangkan total asam tertitrasi (TAT) berkisar antara 0,10 % - 0,26 % (Sodiq dan Abidin, 2002). Spreer (1998) menyebutkan bahwa komponen kimia alami susu kambing terdiri atas: air, lemak, protein, laktosa, dan komponen lain seperti garam, asam sitrat, enzim, vitamin, gas dan fosfolipid. Sofyan dan Sigit (1993), susu kambing dari daerah tropis cenderung tinggi total padatannya terutama lemak dan protein, namun
6
total zat padat susu kambing daerah tropis berkorelasi negatif dengan produksi susu. Komposisi susu kambing secara umum dapat dilihat pada Tabel 2. Ditinjau dari sudut pandang kualitatif, kasein susu kambing lebih dapat larut (soluble) dan mengandung proporsi protein terlarut yang lebih tinggi, diantaranya βlaktoglobulin, α-laktoalbumin dan serum albumin (Barrionuevo et al., 2002). Protein susu kambing yang lebih larut tentunya akan lebih mudah diserap dan mengindikasikan kualitas protein susu kambing lebih baik dibandingkan susu sapi (Aliaga et al., 2003). Ketersediaan magnesium di dalam susu kambing menurut Aliaga et al. (2003) lebih besar dibandingkan susu sapi dan mengandung jumlah vitamin D yang lebih banyak. Mineral magnesium dikenal sebagai kofaktor di dalam lebih dari 300 reaksi enzimatik yang mempengaruhi kegiatan metabolisme dan sintesa protein serta asam nukleat. Tabel 2. Komposisi Susu pada berbagai Ternak dan Manusia Komposisi
Domba
Kambing
Sapi
Kerbau
Manusia
Air (%)
82,5
87,0
87,5
80,7
87,5
Total padatan (%)
17,5
13,0
12,5
19,2
12,5
Lemak (%)
6,5
3,5
3,5
8,8
4,4
Diameter globula lemak (μm)
4,0
3,9
4,4
-
-
Total Nitrogen (%)
5,5
3,5
3,2
4,4
1,1
Kasein (%)
4,5
2,8
2,6
3,8
0,4
Serum protein (%)
1,0
0,7
0,6
1,1
0,7
Laktosa (%)
4,8
4,8
4,7
4,4
6,9
Mineral (%)
0,92
0,80
0,72
0,8
0,30
Ca (mg/l)
193
134
119
190
32
Energi (kkal/l)
1050
650
700
1100
690
Berat Jenis
1,037
1,032
1,032
1,030
1,015
Derajat keasaman (⁰SH)
8,5
8,0
7,1
10,0
-
pH
6,65
6,60
6,50
6,67
6,85
-0,580
-0,570
-0,524
-0,580
-
Titik beku Sumber : Pulina dan Nudda (2004)
7
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Susu Kambing per 100 gram Komposisi
Jumlah
Satuan
Air
87
g
Energi
68
kkal
Energi
288
kJ
Protein
3,4
g
Total lemak
3,8
g
4,4
g
0
g
0,8
g
133
mg
0,05
mg
13,97
mg
110
mg
204
mg
49
mg
0,3
mg
0,04
mg
0,018
mg
1,4
mcg
1,29
mg
Karbohidrat Serat Ampas Mineral Kalsium (Ca) Besi (Fe) Magnesium (Mg) Fosfor (P) Potassium (K) Sodium (Na) Seng (Zn) Tembaga (Cu) Mangan (Mn) Selenium (Se) Vitamin Vitamin
C
(Asam
Askorbat) Thiamin Riboflavin Niacin
mg 0,048
mg
0,138
mg
0,227
mg
Sumber: Moeljanto dan Wirjantan (2002)
Susu kambing memiliki nilai gizi serupa dengan susu sapi dan bisa digunakan sebagai suatu alternatif pengganti susu sapi untuk merehabilitasi anak – anak yang menderita gizi buruk. Jumlah vitamin A dan vitamin B susu kambing, terutama
8
riboflavin dan niasin lebih tinggi dibandingkan susu sapi, meski harus diakui kandungan vitamin B6 dan B12 susu sapi lebih banyak (Razafindrakoto et al., 1994). Kandungan bahan kering kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu. Hal ini berkaitan dengan total padatan yang lebih tinggi pada kolostrum. Kolostrum juga memiliki
konsentrasi
protein
yang
tinggi,
berkaitan
dengan
kandungan
immunoglobulin G yang tinggi. Konsentrasi fraksi protein lainnya lebih tinggi pada kolostrum dibandingkan susu. Fraksi protein tersebut diantaranya laktoglobulin dan laktoferin (Ontsouka et al., 2003). Protein Susu Protein susu terbagi menjadi dua kelompok utama yaitu kasein yang dapat diendapkan oleh asam dan enzim rennin dan protein whey yang dapat mengalami denaturasi oleh panas pada suhu kira-kira 65°C. Kasein adalah protein utama susu yang jumlahnya mencapai kira-kira 80% dari total protein. Kasein terdapat dalam bentuk kasein kalsium yaitu senyawa kompleks dari kalsium fosfat dan terdapat dalam bentuk partikel-partikel kompleks koloid yang disebut micelles. Partikelpartikel kasein dalam susu dapat dipisahkan dengan sentrifugasi dengan kecepatan tinggi dan penambahan asam. Kasein terdiri atas tiga komponen protein yaitu kasein alpha, beta dan gamma. Kasein alpha adalah komponen utama yang jumlahnya mencapai 40-60% dari total protein susu, sedangkan kasein beta mencapai 20-30% dan gamma 3-7%. Lemak dan kasein yang dihilangkan dari susu terdapat air sisanya yang dikenal sebagai whey. Sebanyak ±0,5-0,7% dari bahan protein yang dapat larut tertinggal dalam whey yaitu protein-protein laktalbumin dan laktoglobulin (Buckle et al., 1987). Sanchez et al. (1992) menyatakan bahwa, sintesis laktoferin pada protein whey susu sapi diperoleh 0,2% setelah 24 jam postpartum. Susu mengandung beberapa protein yang memiliki aktivitas antimikroba yang meliputi laktoferin, dalam proteksi terhadap mastitis (radang kelenjar susu), proteksi terhadap pertumbuhan bakteri setelah pemerahan (pascapanen), dan proteksi orang yang mengonsumsi susu (terutama segar). Susu dari spesies yang berbeda mengandung jumlah protein yang berbeda dari berbagai faktor antimikroba. Susu sapi memiliki laktoperoksidase yang tinggi, tetapi laktoferin, dan lisosim yang rendah, sedangkan air susu ibu (ASI/manusia) memiliki laktoferin dan lisosim yang tinggi, tetapi laktoperoksidase rendah. Kemampuan untuk mengubah aktivitas dari 9
faktor antimikroba ini dalam susu sapi dapat memiliki suatu dampak pada umur susu segar dan pengembangan makanan kesehatan dan fungsional yang berbasis pada faktor tersebut (Naim, 2003). Laktoferin Laktoferin yang merupakan ikatan glikoprotein pengikat besi (Fe3+= feri), yang pertama sekali diisolasi dari susu sapi dan selanjutnya dari ASI. Laktoferin ada dalam jumlah besar dalam sekresi mamalia seperti susu, air mata, saliva, dan cairan seminal, sebagaimana pada beberapa sel darah putih. Laktoferin merupakan salah satu protein minor yang secara alami ada dalam susu sapi pada konsentrasi rata-rata kira-kira 0,2 gram/liter. Dalam kolostrum, kandungan laktoferin dapat setinggi 0,5-1 gram/liter (Naim, 2003). Transpor zat besi dan antimikroba nonspesifik saat ini sangat penting bagi kesehatan kelenjar ambing serta nutrisi dan kesehatan anak. Hal ini menyebabkan banyak perhatian terhadap protein pengikat besi pada susu. Laktoferin dan transferin merupakan protein pengikat besi yang dominan pada susu atau sekresi kelenjar ambing (Schanbacher et al., 1993). Laktoferin memiliki peranan multi fungsi dalam varietas fisiologikal dan mempertimbangkan komponen mayor dari pembawa preimun pertahanan pada mamalia (Renner, 1989; Naidu, 2000). Kemampuan laktoferin dalam mengikat dua ion Fe3+ dengan afinitas yang tinggi dalam bekerja sama dengan dua ion HCO3- merupakan karakteristik yang esensial dalam kontribusi laktoferin sebagai zat antimikroba (Naidu, 2000). Laktoferin ditemukan dalam sekresi mukosa dan granula dari neutrofil. Kandungan tertinggi laktoferin ditemukan dalam kolostrum, kemudian kandungan tertinggi selanjutnya ada pada susu. (Adam et al., 2008). Konsentrasi laktoferin sangat tinggi pada kolostrum dan pada periode kering. Susu sapi yang terinfeksi E. coli memiliki konsentrasi laktoferin yang lebih tinggi 30 kali dibandingkan dengan susu yang normal (Hyvonen, 2006). Laktoferin dalam cairan tubuh didapatkan berikatan dengan Fe dalam bentuk bebas, baik bentuk monoferrik maupun diferrik. Fungsi yang berhubungan dengan spektrum yang luas telah digambarkan dari laktoferin, yang berkisar pada peranannya untuk mengontrol kemampuan Fe (besi) pada modulasi imunitas (Hyvonen, 2006). Laktoferin terdiri atas rantai polipeptida tunggal dengan dua 10
globular lobes (N-lobe dan C-lobe) dan relatif resisten terhadap proteolisis. Laktoferin merupakan protein yang disekresikan oleh jaringan ektodermal dan mempunyai struktur mirip transferin. Sifat bakteriostatik laktoferin berhubungan dengan afinitas pengikat besi yang tinggi, yang mampu mengikat besi dari lingkungan mikroorganisme. Besi merupakan nutrien penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri (Connely, 2001; Kanyshkova et al., 2003). Laktoferin mempunyai peran yang penting dalam pengikatan Fe di mukosa usus dan beraksi sebagai agen bakteriostatis dengan mengikat Fe yang berasal dari Fe yang diperlukan
untuk
pertumbuhan
bakteri.
Keberadaannya
di
neutrofil
dan
pelepasannya selama radang, memperkuat dugaan bahwa laktoferin juga berperan dalam pemusnahan fagosit dan imunitas (Sacharczuk et al., 2005). Konsentrasi laktoferin dalam susu dari beberapa mamalia dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Konsentrasi Laktoferin dari Beberapa Mamalia Parameter Manusia Sapi Unta Konsentrasi Laktoferin (g/dL) 0,2 0,02 0,23 Referensi Naim, 2003 Naim, 2003 Adam et al., 2008 Peranan Laktoferin Laktoferin berperan penting dalam mencegah pertumbuhan bakteri patogen. Bakteri Gram negatif membutuhkan ion besi yang tinggi untuk pertumbuhannya. Terdapat indikasi yang menyatakan bahwa laktoferin memegang peranan yang penting dalam perlindungan bayi yang baru lahir dan untuk melindungi bayi dari infeksi saluran pencernaan (Renner, 1989). Laktoferin mampu menghambat aktifitas bakteri uji dan menyebabkan bakteri kehilangan kemampuannya untuk membentuk koloni dengan cepat (AlNahui dan Holley, 2006). Laktoferin memegang peranan dalam perlindungan melawan Mycobacterium tuberculosis. Laktoferin mengatur sistem imun tubuh, berperan dalam antimikroba, dan digunakan untuk terapi infeksi Helicobacter pulori. Peranan laktoferin sebagai antivirus ditemukan pada virus papiloma yang menyebabkan kanker cervical dan pada virus herpes simplex. Laktoferin juga digunakan pada terapi hepatitis C, karena telah ditemukan penurunan RNA dari virus tersebut. Bagian peptida yang diperoleh dari molekul laktoferin dapat menekan infeksi yang disebabkan oleh ragi. Berdasarkan data yang sudah dipublikasikan 11
m menyatakan bahwa lakttoferin dapaat mencegah h tumor padda usus keccil atau di lokasi laainnya (Adaam et al., 20008). Hasil penelitian Sanchez et e al. (1992 2) menunjukkkan, laktooferin ditem mukan m paada kolosttrum dan sitoplasmaa dengan pendistribuusian yangg lebih merata diibandingkann transferinn. Laktoferiin disintesiss oleh keleenjar ambinng dan kapasitas keelenjar ambbing untuk mensintesiss laktoferin n menurun dengan nyaata pada 24 4 jam peertama laktaasi.
Ion Bessi Gambbar 2. Lakttoferin denngan Ikatan n Ion Besi (Sumber : Departmeent of Cheemistry Uniiversity of Maine, M 20055) Laktoferin sebagai s Anttimikroba Secarra alami sussu menganddung senyaw wa kimia yaang bersifat antimikrob ba dan m mampu mengghambat peertumbuhann bakteri Grram negatiff dan bakteeri Gram po ositif. Seenyawa anntimikroba alami dalaam susu teersebut um mumnya meemiliki akttivitas anntimikroba yang efekktif hanya pada bebeerapa saat setelah suusu diperah h dan m mengalami innaktivasi akkibat pemannasan (Fardiiaz, 1992). Susu S secaraa umum mem miliki koomponen antimikroba a a terhadap bakteri paatogen, diaantaranya iimmunoglob bulin, xaanthine okssidase, lakttoferin, lakktoperoksidaase dan lissozim (Nakkai dan Mo odler, 20000). Laktooferin adalaah ikatan beesi glikopro otein yang terdapat di dalam susu, air liuur dan sekkresi eksokkrin lainnyaa seperti dalam d granuula neutropphil. Proteiin ini m memiliki funngsi biologgis termasuuk antimik kroba (Connner, 1993; Naidu, 2000; 2 Taakakura et al., a 2003). Kandungan K yang tinggii terdapat di d dalam kollostrum dan n pada suusu kandunggan laktoferrin semakinn meningkatt jika terjadii mastitis (T Tsuji et al., 1990; Conner, 19993). Laktooferrin adallah protein n susu yaang memiliiki kemam mpuan anntimikroba berspektrum m luas. Robbblee et al. (2003) meenyatakan bbahwa, lakto oferin
12
sebagai pelengkap dapat mereduksi keberadaan E. coli di dalam usus anak sapi dan mengurangi serangan diare. Aktivitas bakteriostatik pada susu dihubungkan dengan keberadaan
laktoferin
komplek
seperti
laktoferin-immunoglobulin
dapat
meningkatkan aktivitas antibakteri pada sekresi kelenjar ambing. Sifat bakteriostatik laktoferin berhubungan dengan afinitas pengikat besi (zat nutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri) yang tinggi sehingga mampu mengikat besi dari lingkungan mikroorganisme. Besi merupakan nutrien penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri (Connely, 2001; Kanyshkova et al., 2003). Kandungan Laktoferin dalam Kolostrum dan susu Hasil penelitian Yoshida et al. (2000) menunjukkan kandungan laktoferin pada susu berbeda antar individu sapi dan juga selama periode laktasi. Laktoferin merupakan bagian utama dari fraksi protein merah pada whey susu. Fungsi fisiologis laktoferin berdasarkan fungsi kimia protein yaitu sebagai sumber zat besi untuk anak menyusui dan faktor antimikroba. Selain fungsi ini, kandungan laktoferin pada kolostrum atau susu beragam antar spesies dan individu di dalam spesies (Tsuji et al., 1990). Hasil penelitian Ferrer et al. (2000) menunjukkan, bahwa laktoferin pada kolostrum dan susu manusia bervariasi antara 459,46±190,7 mg/dL sampai 575,06±218,2 mg/dL pada sampel preterm dan dari 292,06±167,4 mg/dL sampai 970,66±288,6 mg/dL pada sampel term. Kandungan laktoferin yang tinggi terdapat di dalam kolostrum, dan meningkat pada susu jika terjadi mastitis (Tsuji et al., 1990; Conner, 1993). Kandungan laktoferin pada susu normal meningkat nyata selama infeksi koliform. Hal ini bisa mencerminkan status infeksi pada ambing (Ferrer et al., 2000). Hal ini bisa mencerminkan status infeksi pada ambing (Ferrer et al., 2000). Laktoferin dalam cairan tubuh didapatkan berikatan dengan Fe dalam bentuk bebas, baik bentuk monoferrik maupun diferrik (Lonnerdal dan Iyer, 1995). Pemurnian Protein Pemurnian protein merupakan tahap yang harus dilakukan untuk mempelajari sifat dan fungsi protein. Sejumlah besar protein, lebih dari seribu macam, telah berhasil diisolasi dalam bentuk yang murni. Protein dapat dipisahkan dari protein
13
jenis lain atau dari molekul lain berdasarkan ukuran, kelarutan, muatan dan afinitas ikatan. Protein-protein dapat dipisahkan dari molekul-molekul kecil dengan cara dialisi melalui selaput semipermeabel. Pemisahan protein berdasarkan ukurannya dapat pula dilakukan dengan cara kromatografi pertukaran ion berdarkan muatannya. Bila sebuah protein mempunyai muatan positif pada pH 7, maka akan terikat pada kolom penukar ion yang berisi gugus yang bermuatan negatif, sedangkan protein yang bermuatan negatif tidak terikat (Winarno, 2002). Protein-protein bermuatan positif yang terikat dalam kolom tersebut dapat dikeluarkan atau dielusi dengan penambahan garam NaCl atau garam lain pada larutan buffer yang digunakan untuk elusi. Ion Na+ berkompetisi dengan protein untuk berikatan dengan gugus pada kolom dan secara bertahap ion Na mengganti kedudukan protein. Protein terelusi keluar bersama eluen (larutan elusi). Protein dengan muatan density nett positive akan keluar lebih dulu dan kemudian baru disusul oleh protein dengan muatan density nett negative. Kromatografi Kromatografi adalah metode fisik untuk memisahkan senyawa yang berada dalam suatu fase bergerak melewati suatu fase stasioner (fase diam). Fase bergerak dapat berupa gas atau cairan, sedangkan fase stasioner dapat berupa cairan atau padatan
(serbuk
halus)
(Ardrey,
2003).
Kromatografi
digunakan
untuk
memisahkan komponen organik berdasarkan berat, ukuran, bentuk, afinitas atau kelarutan. Kromatografi dengan filtrasi gel digunakan untuk memisahkan molekul seperti protein dan asam nukleat berdasarkan ukurannya. Di dalam kromatografi dengan filtrasi gel, butiran-butiran polyacrylamide yang mengandung pori-pori kecil dikemas di dalam kolom. Sampel dilewatkan melalui kolom tersebut. Molekul dengan ukuran yang kecil dapat lewat melalui pori-pori sedangkan molekul yang berukuran lebih besar tidak dapat melewatinya (Ardrey, 2003). Kromatografi penukar-ion (Ion exchange chromatography) digunakan untuk memisahkan anion dan kation organik dan anorganik. Kromatografi panukar-ion bergantung pada interaksi molekul dalam fase bergerak (buffer dan sampel) dengan fase stasioner yaitu column packing matrix (Selkrik, 2004). Likuid
kromatografi
mengacu
pada
prosedur
kromatografi
yang
memindahkan fase likuid (cair). Likuid kromatografi digunakan untuk separasi
14
molekul makro dan jenis ion dari biomedical, produk alami yang labil, dan beberapa jenis molekul berat dan komponen yang tidak stabil seperti protein, asam nukleat, asam amino, polisakarida, pigmen tanaman, lemak polar, polimer sintesis, dan metabolit hewan dan tanaman (Snyder and Kirkland, 1979). Likuid kromatografi terdiri atas dua macam, yakni likuid kromatografi klasik dan modern. Kromatografi yang dilakukan pada penelitian adalah likuid kromatografi klasik. Likuid kromatografi klasik menggunakan kolom yang biasanya hanya digunakan satu kali, setelah itu dibuang. Separasi yang dilakukan membutuhkan waktu beberapa jam sehingga penggunaannya tidak efisien waktu (Snyder dan Kirkland, 1979).
Gambar 3. Kolom Kromatografi (Sumber : Healthcare, 2008)
15
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai September 2009. Materi Sampel susu yang digunakan merupakan sampel individu yang diperoleh dari bangsa kambing Peranakan Etawah (PE) 3 ekor dan Jawarandu 3 ekor, masingmasing digunakan 500 ml susu. Susu kambing tersebut diperoleh dari peternakan di Bogor. Lokasi pengambilan sampel susu kambing PE yaitu di peternakan perseorangan, Cimahpar (Bogor Utara) yang diberi pakan hijauan berupa rumput lapang dan konsentrat berupa ampas tahu, sedangkan sampel susu kambing Jawarandu diperoleh juga dari peternakan perseorangan di Ciapus, pakan yang digunakan adalah rumput lapang, ampas tahu dan kurma. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian meliputi bahan kimia untuk uji kualitas susu dan penentuan kadar laktoferin. Bahan-bahan tersebut yaitu H2SO4 9192%, fenolftalein, NaOH 0,25 N, NaOH 0,1 N, NaOH 2 N, formalin 40%, 0,4 ml kalium oksalat jenuh, amil alkohol, air deionisasi, NaCl, HCl, NaOH, ethanolamine 20 mmol/L. Buffer yang digunakan adalah Buffer A: ethanolamine 20 mmol/L pH 9,5 dan Buffer B: ethanolamine 20 mmol/L pH 9,5 + NaCl 1 M. Elution buffer yang digunakan adalah gradien Buffer A 100%, Buffer A 90% + Buffer B 10%, Buffer A 80% + Buffer B 20%, Buffer A 70% + Buffer B 30%, Buffer A 60% + Buffer B 40%, Buffer A 50% + Buffer B 50%, dan Buffer A 40% + Buffer B 60%. Setiap fraksi protein yang dihasilkan diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer (280 nm). Peralatan yang digunakan adalah autoclave, inkubator, refrigerator, freezer, pemanas Bunsen, high speed centrifuge (sentrifugasi dingin Hettich Zentrifugen Mikro 200R), membran dialisis, penukar kation kromatografi dengan menggunakan Hi-Trap Q-SP (GE Healthcare), magnetic stirer,
microtube 2 ml dan 25 ml,
spektrofotometer Genesys UV10R, Corning Steril Syringe Filter 0,2 µm, penangas air, kompor listrik, pipet volumetrik, mikropipet, butirometer, penyumbat karet,
laktodensimeter, pH meter, buret, gelas ukur, gelas piala, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, timbangan analitik, alat destilasi, pendingin Liebig, jangka sorong, rak tabung reaksi, centricon, alumunium foil dan kertas serap. Rancangan Rancangan percobaan yang digunakan untuk menentukan kandungan nutrisi susu kambing dan kandungan laktoferin adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (2×3) dengan tiga ulangan dengan perlakuan bangsa kambing perah (PE dan Jawarandu) dan hari pemerahan yang berbeda. Model matematika rancangan penelitian menurut Gasperz (1989) : Yijk = µ + αi + (αβ)ij + ε(ijk) Keterangan : Yijk
=
hasil pengamatan kandungan laktoferin pada bangsa kambing perah ke-i dan kelompok ke-j
µ
=
nilai tengah umum
αi
=
pengaruh perbedaan bangsa kambing perah ke-i
βj
=
pengaruh hari pemerahan susu ke-j
(αβ)ij =
pengaruh interaksi antara bangsa kambing perah yang berbeda ke-i dengan hari pemerahan susu ke-j
i
=
bangsa kambing perah yang berbeda
j
=
hari pemerahan
ε ij
=
pengaruh galat percobaan dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij
Data kandungan nutrisi susu kambing dan kandungan laktoferin yang didapat pada masing-masing individu kambing dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Apabila hasilnya nyata maka dilanjutkan dengan uji Tukey (Steel dan Torrie, 1995). Peubah Peubah yang diamati meliputi kandungan nutrisi susu kambing dan konsentrasi laktoferin dalam susu. Kandungan Nutrisi Susu Kambing. Kandungan nutrisi susu kambing perah dapat dilihat dari komposisi susu yang dihasilkan. Penentuan kualitas kimia susu kambing
17
dapat dilihat melalui komposisinya yang meliputi kadar protein, kadar lemak, kadar bahan kering, berat jenis, nilai pH dan bahan kering tanpa lemak. Kandungan Laktoferin. Whey yang dihasilkan dari sentrifugasi dilakukan pengujian kromatografi untuk mengetahui kadar isolat laktoferin yang terkandung dalam whey tersebut. Hasil kromatografi dapat menunjukkan kandungan isolat laktoferin yang berbeda tergantung dari whey kambing perah yang digunakan. Konsentrasi laktoferin pada fraksi protein hasil kromatografi diperoleh dari nilai absorbance pada 280 nm dikali faktor yang diestimasi dari laktoferin sapi standar dari Sigma Aldrinch Co. Konsentrasi Laktoferin (%) = Nilai Absorbance pada 280 nm x 0,07 Prosedur Pengumpulan Sampel Susu. Sampel susu yang digunakan merupakan sampel individu yang diperoleh dari berbagai bangsa kambing. Susu yang dianalisa antara lain bangsa PE dan Jawa Randu. Susu kambing tersebut diperoleh dari peternakan Bapak Iwan di Ciapus, Bogor. Sampel susu diperoleh dalam kondisi beku dan diangkut dengan menggunakan cool box ke laboratorium. Sampel untuk uji kualitas fisik dan kimia disimpan pada kondisi dingin, sedangkan untuk pengukuran laktoferin jika tidak langsung diuji bisa dibekukan. Pengukuran Nilai pH (BSN, 1992). Susu kambing contoh yang diperlukan untuk setiap pengukuran adalah 60 ml yang diletakkan dalam gelas ukur. Sebelum pengukuran, pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH
4 dan 7, karena pH susu normalnya berada pada ±6,6. Pengukuran
dilakukan dengan mencelupkan ujung elektroda pH meter ke dalam susu kambing selama beberapa menit hingga nilai pH pada layar stabil. Pengukuran Berat Jenis (BSN, 1998). Susu kambing dihomogenkan secara sempurna, kemudian sebanyak 500 ml dimasukkan ke dalam gelas ukur. Laktodensimeter dengan hati-hati dicelupkan ke dalam susu, dibiarkan timbul dan ditunggu sampai diam. Skala dan temperatur susu yang ditunjukkan laktodensimeter tersebut dibaca, selanjutnya dilihat tabel penyesuaian berat jenis susu yang diuji pada temperatur 27,5 ºC.
18
Pengukuran Kadar Lemak Susu Metode Gerber (BSN, 1998). Susu kambing diambil menggunakan pipet
sebanyak 10,75 ml ke dalam botol butirometer,
ditambahkan H2SO4 91-92% sebanyak 10 ml dan 1 ml amil alkohol. Butirometer tersebut disumbat rapat, kemudian dikocok perlahan sampai larutan homogen. Setelah terbentuk warna ungu tua sampai kecoklatan, tabung butirometer dimasukkan ke dalam sentrifuge dan disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 1200 rpm. Tabung butirometer yang telah disentrifugasi dimasukkan ke dalam penangas air selama 5 menit dengan temperatur 65ºC. Setelah itu kadar lemak dibaca spada skala butirometer. Uji Titrasi Keasaman Soxhlet Henkel (BSN, 1998). Sebanyak 50 ml sampel susu kambing diambil menggunakan pipet ke dalam labu Erlenmeyer, ditambah 2 ml larutan fenolftalein. Salah satu dari campuran pada labu Erlenmeyer dititrasi dengan menggunakan larutan NaOH 0,25 N hingga terbentuk warna merah muda yang tidak hilang lagi jika dikocok. Derajat Soxhlet (ºSH) adalah banyaknya ml NaOH 0,25 N yang dipakai dikalikan nilai 2. Pengukuran Kadar Protein Susu (Davide, 1977). Pengujian kadar protein susu dilakukan dengan menggunakan metode Titrasi Formol. Sebanyak 10 ml susu dimasukkan dalam labu Erlenmeyer kemudian ditambahkan beberapa tetes fenolftalein 1% dan 0,4 ml kalium oksalat jenuh. Titrasi dengan larutan NaOH 0,1 N sampai timbul warna merah muda. Sebanyak 2 ml formalin 40% ditambahkan, warna merah akan hilang. Titrasi kembali dengan larutan NaOH 0,1 N sampai warna merah muda terjadi. Banyaknya NaOH 0,1 N yang digunakan dicatat. Titrasi blanko dibuat dengan cara sebanyak 10 ml aquadest ditambah dengan 0,4 ml kalium oksalat jenuh kemudian 2 ml formalin 40% dan beberapa tetes fenolftalein 1% ditambahkan. Titrasi dengan NaOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda. Banyaknya NaOH 0,1 N yang digunakan kemudian dicatat. Rumus perhitungan kadar protein susu adalah: Kadar Protein Susu = (p-q) ml x 1,95 (faktor formol) Pemisahan Lemak dan Kasein. Lemak susu kambing dipisahkan berdasarkan Yoshida et al. (2000) yaitu dengan sentrifugasi 2.000×g pada suhu 4°C selama 30 menit. Susu skim yang dihasilkan diasamkan hingga pH 4,6 dengan penambahan 2 N
19
HCl dan disentrifugasi 10.000×g pada suhu 4°C selama 30 menit. Endapan kasein dibuang, whey asam yang dihasilkan dinetralisasi ke pH 6,8 dengan 2 N NaOH dan disentrifugasi kembali pada 10.000×g pada suhu 4°C selama 30 menit. Endapan yang tersisa dibuang sehingga diperoleh whey netralisasi yang bersih dan dapat dibekukan dalam freezer untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Identifikasi Laktoferin dari Protein Whey. Susu yang digunakan dalam isolasi laktoferin adalah susu dari bangsa kambing perah Peranakan Etawa (PE) dan Jawarandu. Whey protein diisolasi dengan Hi–Trap Q–SP Anion Exchange Column (GE–Healthcare) dengan gradien NaCl linier. Buffer yang digunakan adalah Buffer A (ethanolanime 20 mmol/L pH 9,5) dan Buffer B (ethanolanime 20 mmol/L pH 9,5 + NaCl 1 M). Susu normal
Krim susu dari masing-masing ternak kambing dipisahkan melalui sentrifugasi (2000×g, 30 menit pada suhu 4°C)
Skim susu normal Ditambahkan 2 N HCl hingga pH 4,6 pada suhu ruang, presipitasi yang terbentuk (kasein) dipisahkan dengan sentrifugasi (10.000×g, 30 menit pada suhu 4°C) Whey asam Netralisasi hingga pH 6,8 dengan 2N NaOH. Presipitasi yang terbentuk dipisahkan dengan sentrifugasi (10.000×g, 30 menit, 4°C) Netralisasi Whey Asam (susu normal) Hi-Trap Q-SP Anion Exchange Column Dengan gradien NaCl Linier Buffer A: ethanolamine 20 mmol/L pH 9,5 Buffer B: ethanolamine 20 mmol/L pH 9,5 + NaCl 1 M Laktoferin Rechromatografi dengan Hi-Trap Q-SP Anion Exchange Column
Lyiophilisasi
Gambar 4. Diagram Alir Isolasi Laktoferin (Yoshida et al., 1991) Penghitungan Konsentrasi Laktoferin. Konsentrasi laktoferin pada fraksi protein hasil kromatografi diperoleh dari nilai absorbance pada 280 nm dikali faktor yang diestimasi dari laktoferin sapi standar dari Sigma Aldrich Co. Konsentrasi laktoferin (%) = Nilai Absorbance pada 280 nm x 0,07
20
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrisi Susu Kambing Peranakan Etawah dan Jawa Randu Susu kambing merupakan cairan putih yang dihasilkan oleh binatang ruminansia dari bangsa kambing-kambingan atau disebut Capriane (Moeljanto dan Wiryanta, 2002). Bila dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing mempunyai kelebihan dalam komposisi yakni mendekati komposisi kimiawi air susu ibu (ASI). Menurut Devendra dan Burns (1994), kandungan protein susu kambing lebih tinggi dibandingkan dengan susu manusia dalam kaitannya dengan jumlah kalori. Energi total yang terkandung dalam susu kambing sebanyak 50% berasal dari lemak, dan masing-masing 25% dari laktosa serta protein sedangkan proporsi dalam susu manusia adalah 55% dari lemak, 38% laktosa dan hanya 7% dari protein. Komposisi susu kambing secara umum dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. Tabel 5. Komposisi dan Keadaan Susu Kambing Peranakan Etawah pada Hari Pemerahan Berbeda Komposisi Bahan Kering (%) BKTL (%) Lemak (%) Protein (%) Berat Jenis (Kg/m3) pH
Hari Pemerahan Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke 7
Rataan±SB
Referensi
17,76±1,84
16,79±4,02
15,56±2,81
16,70±2,89
14,24c
10,01±0,73
9,62±1,14
9,60±1,12
9,74±0,99
10,86b
7,75±2,05
7,17±2,92
5,96±1,76
6,96±2,24
3,5a; 4,6c
4,29±0,33
4,15±0,59
4,32±0,49
4,25±0,47
4,01c
1,031±0,004
1,030±0,002
1,031±0,003
1,031±0,003
1,032a;1,037b
6,67±0,12
6,67±0,15
6,69±0,13
6,68±0,13
6,6a; 6,3-6,7d
Tabel 6. Komposisi dan Keadaan Susu Kambing Jawarandu pada Hari Pemerahan Berbeda Komposisi Bahan Kering (%) BKTL (%) Lemak (%) Protein (%) Berat Jenis (Kg/m3) pH
Hari Pemerahan Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke 7
Rataan±SB
Referensi
27,49±2,27
17,14±0,85
16,86±1,36
20,49±1,49
14,24c
12,59±0,26
10,37±0,69
10,26±0,45
11,07±0,47
10,86b
14,83±2,56
6,76±0,96
6,6±1,08
9,40±1,53
3,5a; 4,6c
5,00±0,83
4,75±0,63
4,68±0,85
4,81±0,07
4,01c
1,035±0,003
1,034±0,003
1,033±0,001
1,034±0,002
1,032a;1,037b
6,65±0,07 Sumber: Pulina dan Nudda (2004) c Devendra dan Burn (1970) a
6,64±0,07 6,65±0,13 6,65±0,09 b Katipana (1986); Atabany (2002) d French (1970)
6,6a; 6,3-6,7d
Tabel 7. Rataan dan Simpangan Baku Bahan Kering Susu Kambing PE dan Jawarandu dengan Hari Pemerahan Berbeda Bangsa Bahan Kering (%) pada Hari Pemerahan Kambing (n) Hari ke 5 Hari Ke 6 Hari ke 7 Cc Cc PE (3) 17,76±1,84 16,79±4,02 15,56±2,81Cc Jawarandu (3) 27,49±2,27Aa 17,14±0,85Cc 16,86±1,36Cc Keterangan: Superskrip yang berbeda (huruf kecil) pada baris yang sama atau (huruf besar) pada kolom yang sama menunjukkan nyata (P<0,01).
Bahan kering mempengaruhi kandungan nutrisi susu kambing. Kebutuhan bahan kering dari hewan merupakan patokan dalam pemberian pakan dan perhitungan kandungan protein serta energinya, sehingga dengan demikian kebutuhan hewan untuk tumbuh dapat dipenuhi (Herman, 1982). Konsumsi bahan kering untuk kambing tergantung pada bobot badan. Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa bahan kering yang dikonsumsi kambing berkisar antara 2,5-3% dari bobot badan, sedangkan untuk kambing yang sedang menyusui membutuhkan bahan kering sekitar 8,0% dari bobot badan. Kandungan bahan kering susu kambing PE maupun Jawarandu mulai menurun pada pemerahan hari ke 5 setelah beranak. Hasil penelitian diperoleh kandungan bahan kering (%) susu PE dan Jawarandu yaitu 15,56±2,81-17,76±1,84 dan 16,86±1,36-27,49±2,27 yang menunjukkan bahwa kandungan bahan kering pada kambing Jawarandu lebih tinggi daripada kambing PE. Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa bahan kering pada bangsa kambing Jawarandu sangat berpengaruh (P<0,01), yaitu memiliki kandungan bahan kering yang lebih tinggi daripada PE. Waktu pemerahan hari ke 5 memiliki kandunagn bahan kering yang sangat berpengaruh (P<0,01), dengan kata lain kandungan bahan kering yang paling tinggi yaitu pada waktu pemerahan hari ke 5 sehingga kandungan bahan kering susu kambing Jawarandu pada hari pemerahan ke 5 sangat berbeda dengan
hari
pemerahan ke 6, ke7, Peranakan Etawah hari pemerahan ke 5, ke 6 dan ke 7. Bath et al. (1985) menyebutkan bahwa, kandungan bahan kering susu tergantung pada zatzat makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang kemudian digunakan sebagai prekursor dalam pembentukan bahan kering atau padatan di dalam susu. Konsumsi bahan kering pada kambing merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena kapasitas mengkonsumsi pakan secara aktif merupakan faktor pembatas yang mendasar dalam pemanfaatan pakan.
22
Tabel 8. Rataan dan Simpangan Baku BKTL Susu Kambing PE dan Jawarandu dengan Hari Pemerahan Berbeda Bangsa BKTL (%) pada Hari Pemerahan Kambing (n) Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke7 Cc Cc PE (3) 10,01±0,73 9,62±1,14 9,59±1,12Cc Jawarandu (3) 12,59±0,26Aa 10,38±0,69Cc 10,26±0,45Cc Keterangan: Superskrip yang berbeda (huruf kecil) pada baris yang sama atau (huruf besar) pada kolom yang sama menunjukkan nyata (P<0,01).
Kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) ditentukan oleh komponenkomponen protein, laktosa, mineral, vitamin dan enzim-enzim (Ressang dan Nasution, 1982). Menurut hasil penelitian Katipana (1986) kandungan bahan kering tanpa lemak air susu kambing adalah 10,86%, sedangkan kambing PE di Nigeria dan Afrika Selatan memiliki air susu dengan kandungan bahan kering tanpa lemak sebesar 5,5% (Devendra, 1980). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh BKTL (SNF) dari bangsa kambing Jawarandu lebih tinggi, yaitu 9,59±1,12-10,01±0,73 dan 10,26±0,45-12,59±0,26. Hal ini disebabkan oleh kandungan bahan kering dan kadar lemak dari bangsa kambing Jawarandu juga tinggi. Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa bahan kering tanpa lemak (BKTL) pada bangsa kambing Jawarandu sangat berpengaruh (P<0,01) yaitu kandungan BKTL susu kambing Jawarandu lebih tinggi daripada PE. Waktu pemerahan hari ke 5 sangat berpengaruh (P<0,01) terhadap bahan kering tanpa lemak (BKTL) susu kambing, dengan kata lain kandungan BKTL jauh lebih tinggi pada bangsa kambing Jawarandu waktu pemerahan ke 5. Perbedaan yang menonjol pada kandungan BKTL ini disebabkan oleh perbedaan genetik, manajemen pakan (konsumsi pakan, kualitas pakan dan jenis pakan yang diberikan). Atabany (2002) menambahkan bahwa kambing merupakan jenis ruminansia yang lebih efisien daripada domba dan sapi. Kambing dapat menkonsumsi bahan kering yang relatif lebih banyak untuk ukuran tubuhnya yaitu 5,7%. Kambing juga lebih efisien dalam mencerna pakan yang mengandung serat kasar dibandingkan dengan sapi dan domba. Kambing mampu mengkonsumsi pakan yang tidak biasa dikonsumsi oleh hewan lain dan kambing sangat efisien dalam mengubah pakan berkualitas rendah menjadi produk yang bernilai tinggi.
23
Tabel 9. Rataan dan Simpangan Baku Kadar Lemak Susu Kambing PE dan Jawarandu dengan Hari Pemerahan Berbeda Bangsa Kadar Lemak (%) pada Hari Pemerahan Kambing (n) Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke 7 Bb Bb PE (3) 7,75±2,05 7,12±2,92 5,97±1,76Bb Jawarandu (3) 14,83±2,56 Aa 6,77±0,96 Bb 6,60±1,08 Bb Keterangan: Superskrip yang berbeda (huruf kecil) pada baris yang sama atau (huruf besar) pada kolom yang sama menunjukkan nyata (P<0,05).
Kandungan lemak susu kambing PE maupun Jawarandu mulai menurun pada pemerahan hari ke 5 setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan oleh terjadinya perubahan kolostrum menjadi susu normal sehingga semakin lama waktu pemerahan maka semakin menurun kadar lemaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Brandano et al. (2004), bahwa kolostrum tidak diproduksi lagi setelah 4-5 hari setelah melahirkan, selanjutnya akan terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya. Menurut Johnson (1972) susu memiliki kandungan lemak dan bahan kering lebih sedikit daripada kolostrum. Kandungan lemak pada susu kambing PE dan Jawarandu hasil pemerahan hari ke 5
lebih tinggi, yaitu 7,75±2,05 dan 14,83±2,56. Hasil
penelitian diperoleh kadar lemak susu yang lebih tinggi dari literatur, salah satu faktor penyebabnya adalah kadar lemak susu yang dianalisis berasal dari pemerahan pagi hari yang memiliki kadar lemak yang tinggi. Kandungan lemak susu mungkin berbeda jika dilakukan pada pagi hari dan kemudian pada sore hari. Susu yang diperah pada pagi hari mengandung 0,5-2% lebih banyak lemak daripada susu yang diperah pada waktu sore hari. Semakin teratur jarak antara pemerahan, semakin teratur pula kandungan lemak pada susu tersebut (Buckle et al., 1987). Berdasarkan sidik ragam, bangsa Jawarandu berpengaruh nyata (P<0,05), artinya bangsa kambing Jawarandu memiliki kadar lemak yang lebih tinggi dibandingkan bangsa PE. Waktu pemerahan hari ke 5 berpengaruh nyata (P<0,05), artinya kadar lemak pada hari pemerahan ke 5 berbeda dengan hari pemarahan ke 6 dan ke 7, selain itu waktu pemerahan hari ke 5 setelah melahirkan menghasilkan kadar lemak susu yang paling tinggi. Kadar lemak susu kambing dipengaruhi oleh perbedaan bangsa dan hari pemerahan. Hal ini didukung oleh pernyataan Larson (1974) bahwa, kadar lemak susu dipengaruhi oleh bangsa, produksi susu, tingkat laktasi (hari pemerahan), kualitas serta kuantitas makanan. Kandungan lemak menggambarkan kebutuhan energi setiap ternak. Lemak merupakan salah satu
24
komponen utama pada susu dan merupakan komponen yang paling banyak macamnya. Sekitar 97-98% dari lemak susu adalah trigliserida (dikenal juga sebagai triasilgliserol atau triasilgliserida) dan sekitar 1% adalah phospolipid (McDonald et al., 1995). Pakan konsentrat yang diberikan berupa ampas tahu (PE) dan ampas kecap (Jawarandu) mengandung kadar lemak yang cukup tinggi yaitu 12,83% dan 10,41%. Kadar lemak yang cukup tinggi pada pakan akan berpengaruh terhadap kadar lemak susu yang dihasilkan. Menurut McDonald et al. (1995) sebesar 50% lemak susu berasal dari asam lemak rantai pendek yang disintesis dikelenjar ambing dari asam asetat dan beta hidroksi butirat, dan 50% lagi adalah asam lemak rantai panjang yang berasal dari lemak pakan dan lemak cadangan tubuh. Tabel 10. Rataan dan Simpangan Baku Kadar Protein Susu Kambing PE dan Jawarandu pada Hari Pemerahan Berbeda Kadar Protein (%) pada Hari Pemerahan Bangsa Rataan±SB Kambing (n) Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke 7 PE (3) 4,29±0,33 4,15±0,59 4,32±0,49 4,25±0,43a Jawa Randu (3) 5,0±0,83 4,75±0,62 4,68±0,85 4,81±0,69a a a a Rataan±SB 4,60±0,69 4,45±0,64 4,50±0,65 Keterangan: Superskrip yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda (P>0,05)
Kandungan protein susu kambing PE maupun Jawarandu mempunyai jumlah yang hampir sama yaitu 4,15±0,59-4,32±0,49 dan 4,75±0,63-5,0±0,12, sehingga diperoleh rataan kadar protein (%) dari bangsa kambing PE dan Jawarandu yaitu 4,53±0,63. Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan tidak berpengaruh terhadap kadar protein susu (P>0,05) dengan ditunjukkan oleh jumlah kadar protein yang hampir sama. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Johnson (1972) yang menyatakan kadar protein pada hari pemerahan awal lebih tinggi dibanding susu normal sepenuhnya. Hal ini disebabkan oleh kadar protein hijauan yang cukup rendah. Protein susu dibentuk dari tiga sumber utama yang berasal dari darah yaitu peptida, plasma protein dan asam amino bebas. Peningkatan kadar protein susu disebabkan terjadinya penurunan rasio hijauan dalam pakan yang menyebabkan rasio konsentrat meningkat (Sanh et al., 2002), begitu juga sebaliknya penurunan kadar protein susu disebabkan terjadinya peningkatan rasio hijauan dalam pakan yang menyebabkan rasio konsentrat menurun. Walaupun demikian, kadar protein hasil penelitian sesuai dengan literatur yaitu berada pada kisaran 4,0%. Kadar protein didalam air susu rata-rata 3,20% yang terdiri dari:
25
2,70% casein (bahan keju), dan 0,50% albumen. Berarti 26,50% dari bahan kering air susu adalah protein. Protein didalam air susu juga merupakan penentu kualitas air susu sebagai bahan konsumsi (Sudono, 1999). Sintesis protein susu berasal dari asam amino yang beredar dalam darah sebagai hasil penyerapan zat makanan dari saluran pencernaan maupun hasil perombakan protein tubuh dan asam amino yang disintesis oleh sel epitel kelenjar susu (Etgen et al., 1987). Tabel 11. Rataan dan Simpangan Baku Berat Jenis Susu Kambing PE dan Jawarandu pada Hari Pemerahan Berbeda Bangsa Kambing (n) PE (3) Jawa Randu (3) Rataan±SB
Berat Jenis (Kg/m3) pada Hari Pemerahan Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke 7 1,031±0,004 1,030±0,002 1,031±0,003 1,035±0,003 1,034±0,003 1,033±0,001 1,033±0,004a 1,032±0,003a 1,032±0,002a
Rataan±SB 1,031±0,003a 1,034±0,003a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda (P>0,05)
Berat jenis susu kambing PE dan Jawarandu hasil penelitian berangsur-angsur menurun dan tinggi pada hari pemerahan ke 5. Meningkatnya berat jenis ini disebabkan karena terbebaskannya gas-gas seperti CO dan N2 yang terdapat di dalam susu yang baru saja diperoleh dari perahan (Buckle et al., 1987). Berat jenis susu kambing PE dan Jawarandu hasil penelitian tidak jauh berbeda, yaitu 1,030±1,815(103
)-1,031±3,821(10-3) dan 1,033±1,556(10-3)-1,035±3,554(10-3) sehingga diperoleh rataan
berat jenis (kg/m3) susu kambing adalah 1,032±3,053 (10-3). Berat jenis hasil penelitian sesuai dengan pernyataan Pulina dan Nudda (2004) dan Katipana (1986). Berat jenis pada kambing Jawarandu semakin lama hari pemerahan maka semakin rendah berat jenisnya. Sodiq dan Abidin (2002) menyatakan bahwa antara susu kambing yang satu
dengan yang lainnya terdapat komposisi kimia yang berbeda. Perbedaan komposisi kimia tersebut disebabkan oleh beberapa faktor pengontrol produksi susu baik secara kualitas maupun kuantitas seperti: 1) variasi antarbangsa kambing, 2) variasi interbangsa kambing, 3) faktor genetik, 4) musim, 5) umur, 6) lama masa laktasi, 7) faktor perawatan dan perlakuan, 8) pengaruh masa birahi dan kebuntingan, 9) frekuensi pemerahan, 10) jumlah anak dalam sekali beranak, 11) pergantian pemerah, 12) lama masa kering, 13) faktor hormonal, 14) faktor pakan, dan 15) pengaruh penyakit. Berdasarkan sidik ragam dioeroleh bahwa perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap berat jenis susu. Hal ini disebabkan
26
oleh nilai berat jenis susu dari kedua bangsa kambing dan hari pemerahan yang berbeda hampir sama. Menurut pernyataan Walstra dan Jennes (1984), berat jenis susu ditentukan oleh kandungan bahan kering dan zat-zat padatan yang terkandung di dalam susu seperti lemak, protein, laktosa dan mineral. Semakin tinggi partikel padatan tersebut, maka semakin tinggi juga berat jenis susunya.
Tabel 12. Rataan dan Simpangan Baku Nilai pH Susu Kambing PE dan Jawarandu pada Hari Pemerahan Berbeda Nilai pH pada Hari Pemerahan Bangsa Rataan±SB Kambing Hari ke 5 Hari ke 6 Hari ke 7 PE 6,67±0,12 6,67±0,14 6,69±0,13 6,68±0,11a Jawa Randu 6,65±0,07 6,64±0,08 6,65±0,13 6,65±0,08a a a a Rataan±SB 6,66±0,09 6,65±0,10 6,67±0,12 Keterangan : Superskrip yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda (P>0,05)
Kandungan nutrisi susu kambing juga meliputi pH susu kambing. Hasil penelitian diperoleh pH susu kambing PE dan Jawarandu yaitu 6,67±0,12-6,69±0,13 dan 6,64±0,08-6,65±0,13 dan rataan nilai pH dari kedua bangsa kambing adalah 6,66±0,09 yang menunjukkan bahwa pH susu normal. Hal sesuai dengan pernyataan Sodiq dan Abidin ( 2002), bahwa nilai pH susu kambing bervariasi antara 6,3-6,7 dengan rata-rata 6,53. Berdasarkan sidik ragam diperoleh bahwa perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan yang berbeda tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap nilai pH susu kambing. Pemisahan Krim dan Skim Susu Kambing Peranakan Etawah dan Jawarandu Tujuan dari pemisahan lemak dan skim adalah untuk mengkonsentrasikan laktoferin dalam whey, sehingga akan lebih mudah mendeteksi keberadaan laktoferin. Menurut pernyataan Bos et al. (2000), bahwa laktoferin merupakan komponen utama pada whey manusia, walaupun hanya sedikit pada whey sapi. Hasil penelitian Kunz dan Lonnerdall (1989) menunjukkan pemisahan protein-protein whey susu secara elektroforesis, yang dominan adalah laktoferin dan serum albumin dengan pita lebih tebal dan gelap. Sentrifugasi susu dilakukan dengan kecepatan 2.000xg selama 30 menit pada suhu 4°C yang dapat memisahkan lemak dengan skim susu. Lemak susu akan membentuk lapisan tipis pada bagian atas. Lemak susu memiliki berat jenis yang lebih rendah dibandingkan susu skim, sehingga setelah disentrifugasi terbentuk
27
laapisan dibaggian atas. Butiran-butir B ran lemak pada p susu tiimbul ke peermukaan bagian b attas membenntuk suatu laapisan krim m yang jelass. Waktu yaang diperlukkan bagi naiknya krrim dan tebbalnya lapissan krim teergantung pada p 3 fakttor yaitu baanyaknya leemak, beesar-kecilnyya butiran lemak, dan d sampaai seberapaa jauh perrlakuan deengan peemanasan dilakukan d teerhadap sussu. Susu meentah segar (susu kambbing) yang telah diidinginkan sampai 4°C C akan mem mpunyai lap pisan krim yang tebal dan maksiimum (B Buckle et all., 1987). Hasil H sentriffugasi susu dapat dilihhat pada Gaambar 5. Lemak L suusu kambingg memiliki warna putihh, berbeda dengan d lem mak susu sappi yang berw warna keekuning-kunningan. Hall ini disebaabkan semu ua beta karooten yang bberwarna ku uning teelah dikonveersi semuannya menjadii vitamin A murni yanng tidak berrwarna (Feh hr dan Saauvant, 1980).
Laapisan Lemaak
Laapisan Skim m
m dan Skim m Susu Kam mbing PE ddan Jawa Randu R Gambbar 5. Pemiisahan Krim dengan Sentrifuggasi Pem misahan Kasein dan Whey W Susu Kambing K P dan Jaw PE warandu Koagulasi atau penggumpa p alan susu ad dalah perubbahan bentuuk dari susu u cair m menjadi padaatan berbentuk gel. Meenurut Daullay (1991), metode unttuk mendap patkan whey dari susu adalah dengan d penaambahan assam. Penelittian ini mennggunakan asam hiidrokhloridaa (HCl) sehingga diperroleh gumpaalan whey yang y terpisahh dengan kaasein. Peengasaman susu sapi pada p pH 4,66 secara umu um dapat menyebabka m an penggum mpalan kaasein dan terbentuknyya whey. Sewaktu S kaasein telah dipisahkann dalam laarutan sisanya yangg disebut whhey masih tertinggal t protein p susuu lainnya, yyaitu laktalb bumin daan laktogloobulin. Prootein laktallbumin dan n laktoglobbulin terlarrut dalam whey
28
(Daulay, 1991). Menurut Singh dan Bennet (2002), susu sapi dapat digumpalkan pada pH 4,6 yang merupakan pH isoelektrik susu sapi. Perubahan keasaman dapat menyebabkan perubahan pada senyawa Ca-phosphat. Penambahan ion H+ dari HCl dapat memecahkan senyawa Ca-phosphat sebagai berikut: Ca3(PO4)2 + 3H+ 3Ca++ + HPO-4 + H2PO-4. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa bertambahnya ion H+ dapat memisahkan Ca-phosphat sehingga senyawa Ca-kaseinat menjadi tidak stabil. Terbentuknya ion akan membantu
proses pengendapan
senyawa kompleks tersebut. Kasein merupakan senyawa amphoter yang dapat bereaksi dengan asam maupun basa karena molekulnya mempunyai muatan baik positif maupun negatif. Pada titik isoelektrik, muatan positif (+) dan negatif (–) adalah seimbang. Kasein tidak mengalami hidrasi sehingga mudah sekali diendapkan. Hasil penelitian Kunz dan Lonnerdall (1989) menyatakan bahwa penurunan pH susu dapat menghasilkan whey yang lebih bersih dan fraksi kasein pada whey menjadi lebih sedikit. Selain itu, dalam kimia koloid penggumpalan susu terjadi pada titik isoelektrik, yaitu suatu kondisi dimana muatan listrik pada permukaan protein adalah nol. Pada keadaan normal, protein susu yang tidak menggumpalkan bermuatan negatif dan muatan ini mempertahankan protein dalam suspensi. Molekul asam laktat yang dihasilkan selama pengasaman bermuatan positif. Hal ini merupakan suatu oksionia bahwa partikel-partikel yang bermuatan sama akan saling tolak menolak dan menjauhi satu sama lainnya, dan partikelpartikel yang bermuatan tidak sama akan saling tarik menarik untuk menetralkan muatan permukaan partikel masing-masing. Dengan demikian, apabila jumlah asam laktat yang diproduksi selama pengasaman cukup banyak dalam susu, maka protein yang
bermuatan
negatif
akan
ditarik
sehingga
terjadi
proses
netralisasi
(Daulay,1991). Skim hasil pemisahan krim melalui sentrifugasi ditambah dengan HCl 2 N hingga pH 4,6. Pemisahan antara kasein dan whey secara nyata dapat dilihat, setelah dilakukan sentrifugasi pada campuran. Muatan protein susu dinetralkan oleh ion H+ dari HCl- pada awal reaksi, adanya sentrifugasi dengan kecepatan 10.000xg selama 30 menit membantu pemisahan antara kasein dan whey dari susu dengan lebih baik. Sentrifugasi dilakukan pada suhu 4°C untuk menghindari kerusakan pada laktoferin yang akan diidentifikasi selanjutnya (Oria et al., 1993; Paulsson et al., 1993).
29
Koagulasi ini juga terjadi karena adanya penggumpalan dari kasein yang terdapat di dalam susu. Gumpalan kasein yang terbentuk juga mengandung lemak, koloid kalsium-fosfat dan partikel-partikel lainnya yang disebut whey. Disamping itu, dadih yang terbentuk juga mengandung air dan bahan-bahan yang terlarut dalam air. Kasein merupakan komponen protein yang terbesar dalam susu. Kasein tersusun dari fosfoprotein dan dalam keadaan normal berikatan dengan ion kalsium membentuk kompleks kalsium-fosfo-kaseinat yang terdispersi sebagai partikel-partikel koloid dalam susu. Partikel-partikel koloid ini disebut misel kasein mempunyai ukuran yang bervariasi yang mana partikel yang lebih besar terbentuk dari partikel-partikel yang lebih kecil ukurannya. Hasil pemisahan antara kasein dan whey dengan sentrifugasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Whey Endapan Kasein
Gambar 6. Pemisahan Kasein dan Whey Susu Kambing dengan Sentrifugasi Identifikasi Kadar Laktoferin dalam Protein Whey Susu Kambing Whey
protein
diisolasi
dengan
Hi–Trap
Q–SP
anion
exchange
chromatography dengan gradien NaCl linier. Buffer yang digunakan untuk kromatografi adalah Buffer A (ethanolanime 20 mmol/L pH 9,5) dan Buffer B (ethanolanime 20 mmol/L pH 9,5 + NaCl 1 M). Setiap fraksi protein whey yang dihasilkan dari kromatografi rata-rata berjumlah 37-40 tabung dan selanjutnya diperiksa dengan spektrofotometer (280 nm) untuk diperoleh nilai absorbansi. Penggunaan spektrofotometer pada 280 nm dimaksudkan untuk pengukuran konsentrasi dari fraksi protein yang berasal dari gradient linier. Protein dalam larutan dapat menyerap sinar ultraviolet dengan absorbansi maksimum 280 nm dan 200 nm. Adanya asam amino pada protein dengan cincin aromatik adalah alasan utama pada penggunaan absorbansi 280 nm. Faktor pH, kekuatan ionik, dan sebagainya dapat
30
mengubah spektrum absorbansi (Layne, 1957). Protein yang telah dimurnikan akan ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan spektrofotometer pada absorbansi 280 nm. Penyerapan radiasi ultraviolet dalam waktu dekat oleh protein tergantung pada triptofan dan tirosin (dapat diukur apabila dalam bentuk fraksi dengan penambahan buffer). Sebuah protein dalam larutan yang dianalisis menggunakan spektrofotometer ultraviolet akan tampak pada saat absorbansi 280 nm bisa terlihat (Lebendiker, 2008). Hasil identifikasi protein whey susu kambing dari bangsa kambing PE dan Jawarandu dengan menggunakan anion exchange chromatography dapat dilihat pada Gambar 7. Fraksi-fraksi protein whey ditentukan berdasarkan penentuan nilai absorbance pada panjang gelombang 280 nm. Protein whey terpisah menjadi beberapa peak protein. Peak protein pada sampel susu dari bangsa kambing PE dan Jawarandu memiliki pola yang sebagian besar sama. Adanya perbedaan dari setiap peak protein whey disebabkan oleh perbedaan besarnya volume effluent, perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan. Hasil identifikasi protein dengan menggunakan anion exchange chromatography lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 7. Substansi BM rendah
Absorbansi (280 nm)
2.5
Laktoferin
2 1.5 1 0.5 0
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Gambar 7. Kromatograf Whey Susu Kambing PE dan Jawarandu dengan anion exchange chromatography Peak protein pertama memiliki nilai absorbance paling tinggi berdasarkan hasil spektrofotometer, sehingga dapat diestimasi kandungan laktoferin dari kedua bangsa kambing tersebut. Menurut Kawano (2002), peak protein pertama diperkirakan beberapa protein yaitu immunoglobulin yang memiliki bobot molekul
31
antara 150.000-900.000 Dalton, sedangkan pada peak kedua merupakan laktoferin. Fraksi protein whey yang diidentifikasi yaitu laktoferin dan kemungkinan adanya substansi lain seperti (immunoglobulin) atau substansi lain yang memiliki bobot molekul rendah. Kandungan Laktoferin Susu Kambing Konsentrasi laktoferin pada fraksi protein hasil kromatografi diperoleh dari nilai absorbance pada 280 nm dikali faktor yang diestimasi dari laktoferin sapi standar dari Sigma Aldrich Co. Kandungan laktoferin susu kambing PE dan Jawarandu dapat dilihat pada Tabel 12. Estimasi konsentrasi laktoferin berdasarkan nilai absorbance diperoleh kandungan laktoferin pada susu kambing PE dan Jawarandu bervariasi yaitu 32,6648,98 mg/l dan 25,57-112,53 mg/l. Kandungan laktoferin tertinggi dan terendah yaitu pada susu kambing Jawarandu hari pemerahan ke 6 dengan konsentrasi 112,53 mg/l dan hari pemerahan ke 7 dengan konsentrasi 25,57 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan kandungan laktoferin pada susu kambing bervariasi antar waktu pemerahan dan bangsa kambing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yoshida et al. (2000) yang menunjukkan kandungan laktoferin pada kolostrum dan susu berbeda antar individu sapi dan juga selama periode laktasi. Menurut Tsuji et al. (1990), kandungan laktoferin pada susu beragam antar spesies dan individu di dalam spesies. Maheswari (2007) memperoleh kandungan laktoferin kambing Kacang sebesar 11,7 mg/l lebih tinggi dari kandungan laktoferin sapi sebesar 17,1-129 mg/l (Yoshida et al., 2000) Tabel 13. Rataan dan Simpangan Baku Konsentrasi Laktoferin dalam Susu Kambing PE dan Jawarandu pada Hari Pemerahan yang Berbeda Konsentrasi Laktoferin (mg/l) Bangsa Rataan±SB Kambing (n) Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 PE (3) 43,24±10,06 46,10±2,86 42,66±5,48 44,0±6,12a Jawa Randu (3) 48,45±12,60 63,16±43,30 30,51±5,86 47,38±26,79 a a a a Rataan±SB 45,85±10,59 54,63±28,99 36,59±8,37 Keterangan : Superskrip yang sama pada baris atau kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda (P>0,05)
Berdasarkan sidik ragam diperoleh rataan dan simpangan baku konsentrasi laktoferin pada susu dari bangsa kambing yang berbeda (PE dan Jawarandu) terhadap
32
hari pemerahan yang berbeda yaitu 45,58±18,94 mg/l. Perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap kandungan laktoferin, sehingga diperoleh kandungan laktoferin pada kedua bangsa kambing tersebut memiliki nilai yang sama. Hal ini disebabkan oleh jeda waktu pemerahan yang terlalu dekat sehingga tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kandungan laktoferin dari kedua bangsa kambing tersebut. Menurut Brandano et al. (2004), telah terjadi perubahan dari kolostrum menjadi susu sepenuhnya sehingga kandungan laktoferin susu tidak dipengaruhi oleh bangsa dan hari pemerahan yang berbeda. Selain itu, pakan yang diberikan pada kedua bangsa kambing tidak sama dalam hal kandungan protein sehingga diperoleh rataan kandungan laktoferin yang sama pula dan sampel yang digunakan merupakan sampel susu dengan jeda waktu pemerahan yang dekat. Hal ini juga bisa disebabkan sampel (susu) yang digunakan bukan merupakan sekresi ambing pertama (24 jam post partum), yaitu sampel susu kambing PE dan Jawarandu yang merupakan sekresi ambing hari pemerahan ke 5, ke 6 dan ke 7 setelah melahirkan, sehingga semakin lama hari pemerahan semakin rendah kandungan laktoferinnya. Pernyataan ini didukung oleh Sanchez et al. (1992) bahwa laktoferin disintesis oleh kelenjar ambing dan kapasitas kelenjar ambing untuk mensintesis laktoferin menurun dengan nyata pada 24 jam pertama laktasi. Renner et al. (1989) menambahkan, pada susu sapi keberadaan laktoferin yang signifikan hanya pada kolostrum dan menurun sampai enam bulan laktasi dengan peningkatan kembali setelah itu. Hasil penelitian diperoleh rataan kandungan laktoferin susu kambing PE dan Jawarandu adalah 45,58±18,94 mg/l. Hasil penelitian Yoshida et al. (2000) juga mendapatkan kandungan laktoferin kolostrum sapi lebih tinggi dibandingkan pada susu sapi. Kandungan laktoferin kolostrum sapi mencapai 336230 mg/l sedangkan pada susu sapi berkisar antara 17,1-129 mg/l selama periode laktasi normal.
33
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Perbedaan bangsa kambing dan hari pemerahan mempengaruhi komposisi kimia susu kambing meliputi kadar lemak, bahan kering dan bahan kering tanpa lemak. Kadar lemak dari susu kambing PE dan Jawarandu diperoleh sebesar 5,977,12% dan 6,60-14,83%; bahan kering dari susu kambing PE dan Jawarandu 15,5617,76% dan 16,86-27,49%; bahan kering tanpa lemak susu kambing PE dan Jawarandu 9,62-10,01% dan 10,26-12,59%; kadar protein susu kambing PE dan Jawarandu 4,15-5,0%; berat jenis susu kambing PE dan Jawarandu 1,030-1,035 kg/m3 dan nilai pH susu kambing PE dan Jawarandu 6,64-6,69. Keberadaan laktoferin dideteksi dengan kromatografi yang masing-masing untuk Peranakan Etawah dan Jawarandu diperoleh konsentrasi sebesar 42,66-46,10 mg/l dan 30,51-63,16 mg/l. Saran Penelitian ini telah membuktikan keberadaan laktoferin salah satu substrat antimikroba dalam susu. Perlu dilakukan karakterisasi lebih lanjut salah satu diantaranya adalah kemampuannya dalam menghambat bakteri patogen penyebab gangguan pencernaan dan untuk meneliti peranannya dalam mencegah diare, misalnya yang disebabkan oleh E. coli.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan skripsi ini yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu baik secara langsung atau tidak langsung sejak penelitian sampai penulisan skripsi. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan secara khusus kepada Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA dan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu sejak penyusunan proposal penelitian hingga penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Afton Atabany, M.Si, dan Ir. Abdul Djamil Hasjmy MS yang telah menguji dan memberikan masukan dalam penulisan skripsi, tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir. Rini H Mulyono M.Si yang telah membantu Penulis selama masa perkuliahan dan memberikan doa dan motivasi. Skripsi ini Penulis persembahkan kepada kedua orang tua (Bapak H. Tb. Mista Mahfudzi dan Ibu Khaeriah Mahfudzi) untuk setiap tetes keringat dan pengorbanannya, kasih sayang yang tidak terkira dan selalu mendukung dalam memberi motivasi dan materi, untuk kedua adikku Arief dan Della yang telah menghibur dan memberikan motivasi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada M. Reza Yusa atas semua pengertian, dukungan dan bantuannya, Ibu Syam dan Kiki serta keluarga besar ku atas doa, motivasi dan kasih sayangnya. Kepada seluruh staf yang ada di Laboratorium Bagian IPT Perah (Sukmajaya, AMD, Joni S, S.Pt, Ferry C.K, S.Pt) penulis mengucapkan rasa terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Terima kasih disampaikan kepada Tim Laktoferin (Putri dan Agus Bahar S.Pt) atas kerja sama dan bantuannya, Laskar Susu (Awlia, Ema, Ocha, Adri, Wida, S.Pt, Imam, Vivin, Lia,), Fitri KS, Anggie F, Ayu W, Indra, Amalia, Dhede Nur dan Fifi S.TP atas doa, bantuan dan motivasinya. Terakhir Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Desember 2009
Penulis
DAFTAR PUSTAKA Adam, V.,O. Zitka, P. Dolezal, L. Zeman, A. Horna, J. Hubalek, J. Sileny, S. Kriskova, L. Trnkova and R. Kizek. 2008. Lactoferrin isolation using monolitic column coupled with spectrometric or micro-amperometric detector. Sensors 8: 464-487. Admin, R. 2007. Tujuh Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Sinar Tani. http://www.pustaka-deptan.go.id/inovasi/kl070405.pdf. [18 November 200]. Al-Nahui . A. A. and R. A. Holley. 2006. Enhancing the antimicrobial effects of bovine lactoferrin against Escherichia coli 0157 : H7 by cation chelation NaCl and temperature. J . Appl. Microbiol . 100(2): 244-255. Aliaga, I. L., M. J. M. Alferez, M. Barrionuevo, T. Nestares, M. R. S. Sampelayo, and M. S. Campos. 2003. Study of nutritive utilization of protein and magnesium in rats with resection of the distal small intestine. Benefical effect of goat milk. J. Dairy Sci. 86: 2958-2966. Ardrey, R.E. 2003. Liquid Chromatography-Mass Spectrometry: An Introduction. John Wiley & Sons, Inc, New York, Chichester, Brisbane, and Toronto. Atabany, A. 2002. Strategi pemberian pakan induk kambing perah sedang laktasi dari sudut neraca energi. http://www. Tumoutou. net. html. [14 Mei 2009]. Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992: Cara Uji Makanan dan Minuman. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01-2782-1998/Rev. 1992: Metoda Pengujian Susu Segar. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta. Barrionuevo, M., M. J. M. Alferez,. L. Aliaga, M. R. S. Sampelayo, and M. S. Campos. 2002. Benefical effect of goat milk on nutritive utilization of iron and copper in malabsorption syndrome. J. Dairy Sci. 85: 657-664. Bath, L. D., N. F. Dickinson. C. R. Foley, and H. A. Tucker. 1985. Dairy Cattle: Principles, Practise, Problem and Profits. Lea and Fibiger. Philadelphia. Bos, C., C. Gaudichon and D. Tome. 2000. Nutritional and physiological criteria in the assessment of milk protein quality for humans. Am J. Clin. Nutr. 19 (2): 191S-205S. Brandano, P., S. P. G. Rassu and A. Lanzu. 2004. Feeding dairy lambs. In: Pulina, G dan R. Bencini (Editor). Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing, Wallingford. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M.Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Connely, O. M. 2001. Review: Antiinflamatory activities of lactoferrin. J. Am. Coll. Nutr. 20 (2): 389S-395S. Conner, D. E. 1993. Naturally occuring compounds. In: Davidson, P.M., Branen, A.L. (Editor). Antimicrobial in Food. 2nd Edition. Marcel Dekker, Inc., New York. Daulay, D. 1991. Fermentasi Keju. Departemen Pendidikandan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Bogor. Davide, C. L. 1977. Laboratory Guide in Dairy Chemistry Practical. FAO Regional Dairy Development and Training and Research Institute University of Philiphines at Los Banos College, Laguna. Department of Chemistry University of Maine. 2005. Conformational Changes in Protein-II.http://chemistry.umeche.maine.edu/HY431/conformation3.html. [7 Mei 2009]. Devendra, C. and M. Burns. 1970. Goat Production in the Tropics. Commonwealth Agricultural Bureaux Farmharn Royal. England. Devendra, C. 1980. Milk production in goat compared to buffalo and cattle in humid tropics. J. Dairy Sci. 63: 1955 Devendra, C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan: IDK Harya Putra. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Dewan Standardisasi Nasional. 1998. Standar Mutu Produk Susu dan Olahannya. SNI 01-3141-1998. Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta. Direktorat Jendral Bina Produksi Peternakan. 2003. Statistik Peternakan tahun 2003. Departemen Pertanian, Jakarta. Edelsten, D. 1988. Composition of milk. In: H. R. Cross (Editor). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B. V., New York. Etgen, W. M., R. E. James and P. M Reaves. 1987. Dairy Cattle: Feeding and Management. John Wiley and Sons, New York-Brisbane-Toronto-SingaporeChicester. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fehr, P.M. and D. Sauvant. 1980. Composition and yield of goat milk as affected by nutritional manipulation. J. Dairy Sci. 63: 1671-1680. Ferrer, P. A. R., A. Baroni, M. E. Sambucetti, N. E. Lo´pez, and J. M. C. Cernadas, MD. 2000. Lactoferrin levels in term and preterm milk. J. Am. Coll. Nutr. 19 (3): 370–373. 37
French, M. H. 1970. Observation on the Goat. Food and Agriculture Organization of the United Nation, Roma. Gasperz, V. 1989. Metode Perancangan. CV Armico, Bandung. Herman , R. 1982. Ternak Domba. Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Daging dan Kerja. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Hyvonen, P. 2006. Transgenic cows that produce recombinant human lactoferrin in milk are not protected from experimental Escherichia coli intramammary infection. Infect. Immun. 74 (11): 6206-6212. Johnson, A. H. 1972. The Composition of milk. In: B. H. Webb, A. H. Johnson dan J. A. Alford (Editors). Fundamentals of Dairy Chemistry Second Edition. Inc.The AVI Publishing Company, Connecticut. Kanyshkova, T. G., S. E. Rabina, D. V. Semenov, N. Isaeva, A. V. Vlassov, K. N. Neustroev, A. A. Kulminskaya, V. N. Buneva. and G. A. Wevinsky. 2003. Multiple enzymatic activities of human milk lactoferin. Eur. J. Biochem. 270: 3353-3361. Katipana, N. G. F. 1986. Neraca nitrogen dan energi pada kambing menyusui dan tidak menyusui mendapat ransum tambahan ubi kayu yang dimasak dan urea. Tesis Master. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kawano, M. M. 2002. Plasma Cell World. Departement of Bio-Signal Analysis Yamaguchi University.http://web.cc.yamaguch-u.ac.jp. [27 Agustus 2009] Kunz, C dan B. Lonnerdal. 1989. Human milk proteins : separation of whey proteins and their analysis by polyacrylamide gel electrophoresis, fast protein liquid chromatography (FPLC) gel filtration, and anion-exchange chromatography. Am J. Clin. Nutr. 49: 464-470. Larson, B. L., and V. R. Smith. 1974. Lactation, A Comprehensive Treatis. Vol III. Academic Press. New York and London. Layne, E. 1957. Spectrophotometric and Turbidimetric Methods for Measuring Proteins. Meth. Enzym. 3:447-455. [17 November 2009]. Lebendiker, M. 2008. Ultraviolet Absorbance 280 nm Protein Determination. [17 November 2009]. Lonnerdal, B. and S. Iyer . 1995. Lactoferrin: molecular structure and biological function. Annu. Rev. Nutr. 15:93-110. Maheswari, R. R. A., J. Setiawan, S. Mulyanto, I. Batubara, C. Sumantri dan A. Farajallah. 2007. Identifikasi laktoferin pada susu kambing Kacang dengan metode imunodifusi radial tunggal dan natrium dodesil sulfat poliakrilamida elektroforesis gel. J. Ilmu Pertanian Ind. ISSN 12 (2) : 0853-4217. 38
McDonald, P., R. A. Edward. and J. F. D. Greenhalg. 1995. Animal Nutrition. 5th Edit. Longman Scientific and Technical and John Wiley and Sons, Inc., New York. Moeljanto, R. D dan B. T. W. Wirjanta. 2002. Sehat dengan Ramuan Tradisional Khasiat dan Manfaat Susu Kambing Susu Terbaik dari Hewan Ruminansia. PT AgroMedia Pustaka. Depok. Mulyono, S. 1999. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. PT Penebar Swadaya, Jakarta. Naidu, A.S. 2000. Lactoferrin : Natural, Multifunctional, and Antimicrobial. CRC Press, Boca Raton, London, New York, Washington, D.C. Naim, R. 2003. Fungsi Biologik laktoferin.http://www.kompas.com/kompascetak/0308/11/ilpeng/458066.htm. [12 Mei 2008]. Nakai, S. and H. W. Modler. 2000. Food Proteins. Wiley-VCH, New York. Ontsouka, C. E,. R. M. Bruckmaler and J. W. Blum. 2003. Fractionized milk composition during removal of colostrums and mature milk. J. Dairy Sci. 86: 2005-2011. Oria, R., M. Ismail, L. Sanchez, M. Calvo and J. H. Brock. 1993. Effect of heat treatment and other milk protein on the interaction of lactoferrin with monocytes. J. Sci. 60: 363-369. Paulsson, M. A, U. Svensson, A. R. Kishore, and Naidu. 1993. Thermal behaviour of bovine lactoferrin in water and relation to bacterial interaction and antibacterial activity. J. Sci. 76: 3711-3720. Pulina, G and A. Nudda. 2004. Milk production. In: Pulina, G. and R. Bencini (Editor). Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing, Wallingford. Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahaju, Suliantari dan C. C. Nurwitri. 1992. Bahan Pengajaran : Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizo Institut Pertanian Bogor, Bogor. Razafindrakoto, O., N. Ravelomanana, A. Rasolofo, R. D. Rakotoarimanana, P. Gourgue, P. Coquin, A. Briend and J. F. Desjeux. 1994. Goat’s milk as a substitute for cow’s milk in undernourished children: a rendomized doubleblind clinical trial. J. Dairy Sci. 94(1): 65-69. Renner, E., G. Schaafsma and K. J. Scott. 1989. Micronutrient in milk. In: E. Renner (Editor). Micronutrient in Milk and Milk-Based Food Products. Elsevier Sci Publish Ltd., New York. Ressang, A. Z. dan A. M. Nasution. 1982. Pedoman Pelajaran Ilmu Kesehatan Susu. Institut Pertanian Bogor.
39
Robblee, E. D., P. S. Erickson, N. L. Whitehouse, A. M. McLaughlin, C. G. Schwab, J. J. Rejman, and R. E. Rompala. 2003. Supplemental laktoferrin improves health and growth of holstein calves during the preweaning phase. J. Dairy Sci. 86:1458–1464. Sacharczuk, M., T. Zagulski, B. Sadowski, M. Barchikowska and R. Pluta. 2005. Lactoferrin in the central nervous system. Neurol. Neurochir. Pol. 39(6): 482489. Sanchez, L., L. Lujan, R. Oria, H. Catillo, D. Perez, J. M. Ena and M. Calvo. 1992. Synthesis of Lactoferrin and transport of transferrin in the lactating mammary gland of sheep. J. Sci. 75: 1257-1262. Sanh, M. V., H. Wiktorsson and L. V. L. 2002. Effect of natural grass forage to concretate ratios and feeding principles on milk production and performance of crossbred lactating cows. Asian Aus. J. Anim. Sci. 15: 650-657. Schanbacher, F. L., R. E. Goodman and R. S Talhouk. 1993. Bovine mammary lactoferrin: implication from messenger ribonucleic acid (mRNA) sequence and regulator contrary to other milk proteins. J. Sci. 76: 3812-3831. Schmidt, G. H. 1971. Biologi of lactation. W. H. Freeman and Company, San Francisco. Selkirk, C. 2004. Ion-Exchange Chromatography. In: P. Cutler (Editor). Protein Purification Protocols. 2nd Edition. Humana Press Inc., Totowa, NJ. Singh, H dan R. J. Bennet. 2002. Milk and milk processing. In: R. K. Robinson (Editor). Dairy Microbiology Handbook. Third Edition. John Wiley and Sons Inc., New York. Smith, D. M. 1998. Protein separation and characterization procedures. In: S. S. Nielsen (Editor). Food Analysis Second Edition. Aspen Publishers, Inc., New York. Snyder, L.R. and J.J. Kirkland. 1979. Introduction to Modern Liquid Chromatography. 2nd Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York, Chichester, Brisbane, and Toronto. Spreer, E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. Translated: A. Mixa. Marcel Dekker, inc., New York. Sodiq. A dan Z.Abidin. 2002. Mengenal Lebih Dekat Kambing Peranakan Etawa Penghasil Susu Berkhasiat Obat. PT AgroMedia Pustaka. Depok. Sofyan, L. A dan N. Sigit. 1993. Evaluasi nutrisi dan efek biologis bungkil biji kapuk (Ceiba petandra) terhadap produksi dan komposisi susu kambing perah. Laporan Penelitian. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor.
40
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik : Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sudono, A. 1999. Ilmu Produksi Ternak Perah. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudono, A dan I. K. Abdulgani. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat. Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Takakura, N., H. Wakabayashi, H. Ishibashi, S. Teraguchi, Y. Tamura, H. Yamaguchi, and S. Abe. 2003. Oral laktoferrin treatment of experimental oral candidiasis in mice. Antimicrob. Agents Chem. 47(8): 2619–2623. Tomaszewska, M. W., I. M. Mastika, A. Djajanegara, S. Gardiner, dan T. R. Wiradarya. 1993. Produksi Kambing dan Domba Indonesia. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Tsuji, S., Y. Hirata and F Mukai. 1990. Comparison of lactoferrin content in colostrum between different cattle breeds. J. Dairy Sci. 73: 125-128. Walstra, P and R. Jenness. 1984. Dairy Chemistry and Phisics. John Wiley and Sons, INC., Kanada. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Yoshida, S and Y. Xiuyun. 1991. Isolation of lactoperoxidase and lactoferrin from bovine milk acid whey by carboxymethyl cation exchange chromatografi. J. Dairy Sci. 74: 1439-1444. Yoshida, S., Z. Wei, Y. Shinmura and N. Fukunaga. 2000. Separation of lactoferrin-a and -b from bovine colostrum. J. Dairy Sci. 83: 2211–2215.
41
LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai pH Pemisahan Whey Kode Sampel
pH Awal
pH Pengasaman
pH Netralisasi
PE5 Hari ke 5
6,71
4,65
6,71
PE5 Hari ke 6
6,68
4,67
6,80
PE5 Hari ke 7
6,67
4,79
6,72
9B Hari ke 5
6,54
4,70
6,73
9B Hari ke 6
6,52
4,72
6,76
9B Hari ke 7
6,58
4,68
6,80
18B Hari ke 5
6,78
4,62
6,78
18B Hari ke 6
6,81
4,64
6,86
18B Hari ke 7
6,83
4,66
6,80
JR2 Hari ke 5
6,62
4,76
6,85
JR2 Hari ke 6
6,56
4,72
6,80
JR2 Hari ke 7
6,54
4,67
6,70
A11Hari ke 5
6,73
4,40
6,79
A11 Hari ke 6
6,71
4,73
6,84
A11Hari ke 7
6,80
4,67
6,75
A2 Hari ke 5
6,60
4,85
6,95
A2 Hari ke 6
6,66
4,78
6,81
A2 Hari ke 7
6,63
4,66
6,86
43
Lampiran 2. Kurva Volume Efluen pada Fraksi Protein Susu Kambing PE dan Jawarandu
Absorbansi (280 nm)
PE5 H5 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
PE5 H6 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
PE5 H7 2.5 2 1.5 1 0.5 0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
44
PE 9B H5
Absorbansi (280 nm)
2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
PE 9B H6
Absorbansi (280 nm)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
PE 9B H7 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
45
Absorbansi (280 nm)
PE 18B H5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 -0.5 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
PE 18B H6 2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
PE 18B H7
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
46
Absorbansi (280 nm)
JR2 H5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
JR2 H6
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
JR2 H7
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0
10 20 30 40 50 60 70 80 Volume efluen (ml)
47
Absorbansi (280 nm)
JR A11 H5
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
JR A11 H6 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0
10 20 30 40 50 60 70 80 Volume efluen (ml)
Absorbansi (280 nm)
JR A11 H7 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
48
Absorbansi (280 nm)
JR A2 H5 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0
10 20 30 40 50 60 70 80 Volume efluent (ml)
JR A2 H6
Absorbansi (280 nm)
5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluent (ml) JR A2 H7
Absorbansi (280 nm)
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Volume efluen (ml)
49
Lampiran 3. Tabel Sidik Ragam Kandungan Nutrisi Susu Kambing PE dan Jawarandu pada Berbagai Waktu Pemerahan Kandungan Bahan Kering Susu Bangsa Kambing PE dan Jawarandu Sumber DB JK KT F P Bangsa Kambing 1 0,030069 0,030069 8,59 0,013 Hari Pemerahan 2 0,065490 0,032745 9,35 0,004 Interaksi 2 0,026874 0,013437 3,84 0,051 Galat 12 0,042024 0,003502 Total 17 0,164457 R-Sq(adj) (Determinan dikoreksi) = 63,80% Kandungan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) Susu Bangsa Kambing PE dan Jawarandu Sumber DB JK KT F P Bangsa Kambing 1 605,23 605,23 30,62 0,000 Hari Pemerahan 2 1024,34 512,17 25,91 0,000 Interaksi 2 521,1 260,55 13,18 0,001 Galat 12 237,22 19,77 Total 17 2387,89 R-Sq(adj) (Determinan dikoreksi) = 58,69% Kadar Lemak Susu Bangsa Kambing PE dan Jawarandu Sumber DB JK KT F Bangsa Kambing 1 0,05542 0,05542 4,73 Hari Pemerahan 2 0,18655 0,09327 7,95 Interaksi 2 0,07225 0,03613 3,08 Galat 12 0,14073 0,01173 Total 17 0,45495 R-Sq(adj) (Determinan dikoreksi) = 57,59% Kadar Protein Susu Bangsa Kambing PE dan Jawarandu Sumber DB JK KT F Bangsa Kambing 1 1,4000 1,4000 3,33 Hari Pemerahan 2 0,1258 0,0629 0,15 Interaksi 2 0,1012 0,0506 0,12 Galat 12 5,0479 0,4207 Total 17 6,6750 R-Sq(adj) (Determinan dikoreksi) = 0,00%
P 0,040 0,006 0,083
P 0,093 0,863 0,888
50
Berat Jenis Susu Kambing PE dan Jawarandu Sumber DB JK KT Bangsa Kambing 1 0,0000376 0,0000376 Hari Pemerahan 2 0,0000055 0,0000027 Interaksi 2 0,0000023 0,0000011 Galat 12 0,0001117 0,0000093 Total 17 0,000157 R-Sq(adj) (Determinan dikoreksi)= 0,00% Nilai pH Susu Kambing Bangsa PE dan Jawarandu Sumber DB JK KT Bangsa Kambing 1 0,00405 0,00405 Hari Pemerahan 2 0,00103 0,00052 Interaksi 2 0,0001 0,00005 Galat 12 0,16107 0,01342 Total 17 0,16625 R-Sq(adj) (Determinan dikoreksi) = 0,00% Lampiran 4. Tabel Sidik Ragam Konsentrasi Laktoferin Sumber DB JK KT Bangsa Kambing 1 0,00040 0,00040 Hari Pemerahan 2 0,06640 0,03320 Interaksi 2 0,04398 0,02199 Galat 12 0,23113 0,01926 Total 17 0,34191 R-Sq(adj) (Determinan dikoreksi) = 0,00%
F 4,04 0,30 0,12
P 0,068 0,750 0,887
F 0,30 0,04 0,00
P 0,593 0,962 0,996
F 0,02 1,72 1,14
P 0,888 0,220 0,352
51
Lampiran 5. Konsentrasi Laktoferin Susu Kambing PE dan Jawarandu Konsentrasi Laktoferin Susu Kambing Peranakan Etawah Hari Pemerahan Ke 5 Ke 6 Ke 7
Konsentrasi Laktoferin (mg/l) pada Susu PE5 9B 18B 32,66 52,69 44,38 48,83 46,35 43,13 39,2 48,98 39,81
Konsentrasi Laktoferin Susu Kambing Jawarandu Hari Konsentrasi Laktoferin (mg/l) pada Susu Pemerahan JR2 A11 A2 Ke 5 48,43 61,06 35,86 Ke 6 43,35 31,60 112,53 Ke 7 36,99 28,96 25,57
52