20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi C. albicans Koloni yang diduga C. albicans hanya tumbuh pada sampel dengan kode ARS 3. Untuk memastikan bahwa koloni tersebut benar-benar C. albicans, harus dilakuakn uji tabung kecambah dan uji asimilasi sukrosa. Uji tabung kecambah dilakukan pada isolat ini dengan cara membiakkannya pada media albumin telur bebek dan diinkubasi selama tiga jam pada suhu 37 oC. Di akhir masa inkubasi, cendawan membentuk tabung kecambah seperti yang terlihat pada Gambar 7(a). Untuk memastikan koloni tersebut memang koloni C. albicans atau bukan, maka dilakukan uji biokimiawi berupa uji asimilasi sukrosa. Seperti ditunjukkan Gambar 7(b) hasil positif diperoleh dari uji tersebut karena terlihat adanya pertumbuhan koloni cendawan. Berarti bisa dipastikan bahwa koloni yang diuji adalah koloni C. albicans.
(a) Gambar 7
(b)
(a) Cendawan C. albicans yang membentuk tabung kecambah (tanda panah) (b) Tabung sebelah kiri adalah kontrol dan tabung sebelah kanan adalah sukrosa, kekeruhan menunjukkan adanya pertumbuhan koloni cendawan.
21
Pengujian Aktivitas Anticendawan Hasil pengujian aktivitas anticendawan ekstrak etanol kayu siwak dan beberapa larutan kumur komersial dalam menghambat pertumbuhan C. albicans seperti ditunjukkan Tabel 2 dan Gambar 8 di bawah ini. Penghambatan pertumbuhan C. albicans terbesar dihasilkan oleh larutan kumur komersial I pada pengenceran 1:10. Demikian juga penghambatan terendah dihasilkan oleh larutan kumur komersial I pada pengenceran 1:2560. Seperti terlihat pada Tabel 2, penghambatan jumlah C. albicans oleh ekstrak etanol kayu siwak bila dibandingkan dengan ketiga larutan kumur komersial sangat rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh pencemaran pada saat penggilingan kayu siwak, pemilihan pelarut dan pencemaran kayu siwak pada saat ekstraksi dan pemilihan metode pengujian anticendawan yang tidak tepat. Pemilihan metode pengujian yang tidak tepat bisa disebabkan oleh tidak adanya baku mutu dan panduan fraksinasi bahan bioaktif pada proses ekstraksi kayu siwak (Al-Bayati dan Sulaiman 2008)
Tabel 2 Logaritma jumlah C. albicans terhadap perlakuan beberapa kandungan larutan siwak dan kumur komersial.
Pengenceran bahan uji Kontrol negatif 1:10 1:20 1:40 1:80 1:160 1:320 1:640 1:1280 1:2560
Populasi khamir yang dipengaruhi bahan uji (CFU/ml) Siwak I II III a a a 2,062 2,062 2,062 2,062a b h g 0,690 +0,675 -5,504 +0,466 -2,660 +0,790 -4,678h+0,392 0,691b+0,673 -2,044fg+0,411 -1,458ef+0,532 -4,678h+0,231 0,693b+0,667 -0,314d+0,537 -0,857de+0,405 -4,678h+0,151 0,697b+0,655 0,551bc+0,619 -0,556d+0,342 -4,677h+0,112 0,705b+0,632 0,984b+0,664 -0,406d+0,311 -4,674h+0,092 0,720b+0,586 1,200b+0,686 -0,331d+0,296 -4,670h+0,082 0,751b+0,495 1,308b+0,698 -0,293cd+0,288 -4,662h+0,077 0,812b+0,312 1,362b+0,704 -0,275cd+0,284 -4,645h+0,075 0,935b+0,089 1,389b+0,706 -0,265cd+0,282 -4,611h+0,074
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Ekstrak etanol kayu siwak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol. Namun pengenceran kadar ekstrak etanol kayu siwak tidak memberikan hasil yang berbeda nyata. Hal ini berarti pengenceran konsentrasi ekstrak etanol
22
kayu siwak tidak berpengaruh terhadap penghambatan jumlah C. albicans. Ekstrak etanol kayu siwak juga menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan tiga larutan kumur komersial yang telah diuji. Dapat disimpulkan bahan uji yang paling efektif dalam menghambat pertumbuhan C. albicans pada penelitian ini adalah larutan kumur komersial III seperti ditunjukkan Gambar 8.
Gambar 8 Interaksi antara pengaruh kadar bahan uji dan bahan uji terhadap logaritma pertumbuhan jumlah C. albicans. Menurut penelitian yang dilakukan Abdelrahman et al. (2002), pelarut yang digunakan dalam ekstraksi memberikan pengaruh dalam menarik bahan aktif kayu siwak. Oleh karena itu, terdapat perbedaan kandungan kimiawi kayu siwak antara yang menggunakan pelarut etanol, metanol, kloform, dan sebagainya. Sedangkan kekuatan aktivitas anticendawannya juga mungkin dipengaruhi oleh pH hasil ekstraksinya. Sebagai contoh, ekstraksi yang menggunakan pelarut etanol memiliki pH yang paling rendah dan ekstraksi yang menggunakan air memiliki pH yang paling tinggi.
23
Pada penelitian ini pelarut yang digunakan dalam ekstraksi adalah etanol. Menurut Cowan (1999) ekstraksi yang menggunakan pelarut etanol akan menarik bahan aktif tanin, polifenol, poliasetilen, flavonol, terpenoida, sterol, alkaloida, dan propolis. Dari bahan aktif tersebut, kayu siwak mengandung tanin, flavonol, terpenoid, sterol dan alkaloid (Ahmed et al. 2008; Al-Bayati dan Sulaiman 2008; Al-Sadhan dan Almas 1999) Tanin termasuk kedalam kelompok fenol polimerik. Tanin terbentuk dari proses kondensasi turunan flavan yang disalurkan ke jaringan kayu tumbuhan. Tanin yang dikandung kayu siwak mampu menghambat C. albicans dengan cara membentuk kompleks irreversible dengan prolin kaya protein untuk menghambat penempelan C. albicans (Abo Al-Samh dan Al-Bagieh 1996). Tanin juga bisa merangsang sel fagosit dan menginaktivasi adhesins dan enzim (Cowan 1999). Hal ini sangat berguna untuk melawan C. albicans karena mekanisme penetrasi C. albicans pada jaringan inang adalah mengekresikan beragam enzim proteolitik dan lipolitik, diantaranya lipase, fosfolipase B dan proteinase aspartil tersekresi (secreted aspartyl proteinase, SAP) (Yordanov et al. 2008). Flavonol merupakan struktur fenol yang mengandung satu gugus karbonil ditambah dengan gugus 3-hidroksil. Flavonol akan dihasilkan oleh tumbuhan ketika adanya infeksi mikroba. Oleh karena itu, pada penelitian-penelitian in vitro flavonol menunjukkan aktivitas antimikroba yang baik. Menurut Cowan (1999), mekanisme kerja flvonol adalah menganggu membran dinding sel cendawan, membentuk kompleks dengan reseptor yang ada di ekstrasel dan membentuk kompleks dengan protein terlarut. Alkaloida adalah senyawa nitrogen heterosiklik. Kayu siwak telah diketahui mengandung senyawa alkaloida berupa salvadorin (Al Bayati dan Sulaiman 2008). Akan tetapi belum diketahui secara pasti mekanisme kerja salvadorin untuk melawan infeksi cendawan. Secara umum kelompok alkaloida memiliki kemampuan interkalasi dengan DNA cendawan (Cowan 1999). Interkalasi adalah proses pemasukan reversible satu molekul atau lebih ke dalam dua molekul atau lebih lainnya. Larutan Kumur komersial I mengandung fluorida. Mekanisme kerja fluorida adalah menghambat proses glikolisis dan menghalangi pengangkutan
24
glukosa ke dalam sel (Satari 1990). Hal ini terjadi dikarenakan fluorida mendenaturasi protein dan menginaktifkan enzim pada membran sel sehingga metabolisme
cendawan terganggu.
Penelitian terkini
mengenai
fluorida
menyatakan bahwa fluorida memiliki aktivitas anticendawan pada kandungan 1020 mg/ml (Ates et al. 2005). Larutan Kumur komersial II mengandung alkohol. Mekanisme kerja alkohol adalah mengontrol produksi biofilm oleh mikroba mulut. Biofilm akan menghasilkan asam, endotoksin dan antigen, yang ketiga zat ini sangat berpotensial untuk merusak gigi dan jaringan penunjangnya (Segundo et al. 2007). Alkohol bisa digunakan sebagai terapi pelengkap setelah dilakukan pemindahan biofilm secara mekanis oleh dokter gigi atau digunakan setelah menyikat gigi. Struktur konfigurasi bipolar alkohol berperan dalam melarutkan komponen hidrofobik dan hidrofilik pada sel cendawan (Haq 2009). Penggunaan larutan kumur komersial yang mengandung kadar alkohol tinggi harus dihindari karena telah terbukti alkohol dapat menyebabkan lesio hiperkeratostosik baik pada manusia maupun pada hewan laboratorium (Carretero et al. 2004). Larutan Kumur komersial III mengandung povidon iodium. Povidon iodium telah diketahui memiliki aktivitas antikandida dan juga memiliki aktivitas antiperlekatan (Ahariz dan Cortois 2010). Aktivitas antiperlekatan akan mencegah C. albicans untuk melakukan perlekatan pada permukaan rongga mulut, jika perlekatan tersebut bisa dicegah, maka C. albicans tidak akan mampu melakukan penetrasi pada sel epitel rongga mulut. Pada penelitian ini, larutan kumur komersial III yang mengandung povidon iodium sangat efektif menghambat pertumbuhan C. abicans.