FIELD BOOK
STRATEGI DAN LANGKAH PEMICUAN MASYARAKAT DALAM PROGRAM PAMSIMAS
STRATEGI DAN LANGKAH PEMICUAN MASYARAKAT DALAM PROGRAM PAMSIMAS I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1.2. Tujuan 1.3. Pengertian
II.
STRATEGI DAN LANGKAH PEMICUAN MASYARAKAT 2.1. Strategi 2.2. Langkah Pemicuan Masyarakat 2.2.1. Pra Pemicuan 2.2.1.1. Pengenalan/Identifikasi lingkungan 2.2.1.2. Koordinasi dg Puskesmas dan Tim Kecamatan 2.2.1.3. Peran Masyarakat Sekolah 2.2.2. Pelaksanaan Pemicuan 2.2.2.1. Bina suasana 2.2.2.2. Transek walk 2.2.2.2. Pemetaan perilaku BABS 2.2.2.3. Pemicuan melalui analisa kuantitatif tinja 2.2.2.4. Pemicuan melalui sentuhan ego, humanism, dll 2.2.2.5. Pemicuan melalui sentuhan aspek bahaya penyakit 2.2.2.7. Rencana Tindak dan Pendampingan 2.2.3. Kunci Kerja Fasilitator 2.3. Monitoring dan Evaluasi 2.3.1. Monitoring 2.3.2. Evaluasi
Daftar Pustaka Lampiran-lampiran : - Blok Diagram Pemicuan - Catatan penting dalam implementasi CLTS.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi sanitasi yang buruk dan ketersediaan air minum yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan berkontribusi terhadap berbagai kasus penyakit berbasis lingkungan, seperti misal diare, kecacingan, dll. Hal ini terlihat dari angka kejadian penyakit diarea pada thun 2006 sebesar 423 per 1.000 penduduk pada semua umur, dan pada tahun yang sama terjadi wabah/KLB diare di 16 provinsi dengan case fatality rate sebesar 2,52. Salah satu cara untuk meningatkan akses masyarakat terhadap layanan sanitasi serta dalam upaya mengendalikan penyakit diare, penyakit kecacingan dan penyakit bebasis lingkungan lainnya adalah dengan kegiatan terpadu melalui pendekatan sanitasi total berbasis masyarakat, dan hal ini perlu dilakukan mengingat berbagai upaya peningkatan cakupan jamban melalui berbagai proyek dan pendekatan top-down yang selama ini dilakukan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sanitasi Total Berbasis Masyrakat (STBM) merupakan suatu pendekatan yang dianut dalam program Pamsimas, dalam rangka meningkatkan PHBS, khususnya untuk meningkatkan cakupan jamban keluarga, sehingga terwujud target yang ingin dicapai dalam Pamsimas, yaitu 80% penduduk yang akses terhadap jamban keluarga, serta kondisi Cuti Tangan Pakai Sabun ( CTPS) dimasyarakat secara keseluruhan. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), merupakan suatu hal yang sangat penting dan menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan kesehatan masyarakat, khususnya masyarakat di pedesaan. Hal tersebut disebabkan karena sarana untuk PHBS dimasyarakat masih sangat terbatas, disamping kesadaran mereka akan hidup sehat yang masih kurang, dan perlu ditingkatkan. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu dirumuskan STRATEGY yang tepat , yang dapat dijadikan acuan bagi para pelaksana program STBM khususnya Fasilitator Kesehatan yang merupakan ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan STBM.
1.2. Tujuan Strategi dan langkah-langkah pelaksanaan pemicuan di tingkat desa ini dimaksudkan sebagai acuan bagi fasilitator kesehatan, dan unit lain terkait dalam rangka mewujudkan perilaku hidup bersih dan sehat, dimana masyarakat tidak berperilaku membuang air besar sembarang, serta perilaku lain sesuai dengan kaidah kesehatan lingkungan
1.3. Pengertian a. STBM (Sanitasi Total Bebasis Masyarakat) adalah pendekatan untuk meriubah perilaku hygiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan b. Komunitas merupakan kelompok masyarakat yang berinterkasi secara social berdasarkan kesamaan kebutuhan dan nilai-nali untuk meraih tujuan. Dalam panduan ini komunitas dapat direfleksikan sebagai kelompok masyarakat dalam wilayah pedukuhan atau RW
c. ODF (Open Defecation Free) adalah kondisi ketika setiap individu dalam suatu komunitas tidak buang air besar sembarangan d. Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang effektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit e. Sanitasi total adalah kondisi ketika suatu komunitas i) tidak buang air besar/BAB sembarangan, ii) mencuci tangan pakai sabun, iii) mengelola air minum rumah tangga dan makanan yang aman, iv) mengelola sampah dengan benar, dan v) mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman f. PHBS (Perilaku Hidup bersih dan Sehat) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga mampu menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya.
II. STRATEGI dan LANGKAH PEMICUAN MASYARAKAT 2.1. Strategi Untuk meningkatkan kinerja pemicuan terhadap masyarakat dalam wilayah kerja Pamsimas, maka strategi lapangan perlu dikembangan. a. Penciptaan Lingkungan Kondusif Penciptaan lingkungan yang kondusif dimaksudkan agar setiap stake holder atau pemangku kepentingan yang terkait, baik ditingkat Kabupaten, Kecamatan dan khususnya tingkat Desa memberikan support yang optimal dalam kegiatan STBM di level masyarakat, sehingga terwujud lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat. Untuk itu seorang Fasilitator harus secara pro-aktif melakukan koordinasi, advokasi, sosialisasi baik kepada instansi pemerintah, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan swasta yang ada di wilayah kerjanya.
b. Mengutamakan Gerakan Masyarakat Gerakan masyarakat, kapanpun dan dimanapun dilakukan, akan menimbulkan atau menciptakan suatu timbulan energy yang besarnya tak terhingga. Untuk itu dalam program Pamsimas, khususnya pemberdayaan untuk perubahan perilaku dan peningkatan layanan akses sarana sanitasi/jamban gerakan masyarakat perlu di”ungkit” dan dirangsang untuk timbul. Kegiatan seperti kerja bakti, gotong royong dan saling membantu dalam pembuatan jamban keluarga misalnya akan sangat effektif demi tercapainya ODF pada suatu komunitas. Gerakan masyarakat pada hakekatnya adalah gerakan untuk “mau saling memberi” dari setiap individu dalam masyarakat, entah itu dalam bentuk materi atau tenaga, entah itu dari yang “besar kepada yang kecil” atau bahkan sebaliknya. c. Pemicuan Terfokus Pemicuan adalah suatu kegiatan sifatnya diharapkan akan menimbulkan effek yang besar dan berakumulatif. Untuk itu pemicuan harus terfokus dan didasari oleh sesuatu yang memang akan mampu untuk menjadi besar dan meluas. Dengan demikian utamakan bahwa dalam pemicuan dipilih daerah yang ada potensinya untuk berkembang, karena akhirnya daerah tersebut akan dijadikan “acuan” bagi daerah lain untuk mereplikasi. Pilih
suatu wilayah yang besarannya tidak terlalu luas (misal suatu wilayah dusun atau RW) sehingga relative mudah dicover dan dimonitor. Daerah tersebut jelas masalahnya dan dianalisis kemungkinan sumber dayanya. Pemicuan tidak harus dilakukan pada seluruh dukuh atau RW dalam suatu wilayah desa. Pemicuan yang difokuskan dalam satu atau dua dukuh/RW asalkan terencana, mantap, serius dan berkesinambungan dalam pendampingan akan lebih menghasilkan karya yang nyata, disbanding dengan pemicuan yang terlalu luas tetapi tidak mendalam dan hanya sekilas saja. Pemicuan dalam wilayah dukuh/RW, dan berhasil, kelak akan menjadi bahan replikasi dan dijadikan acuan, contoh bagi dukuh/RW dalam desa yang bersangkutan, dan bahkan desa lainnya. d. Penguatan Kapasitas Fasilitator Fasilitator merupakan ujung tombak dilapangan, yang berhadapan langsung dengan masyarakat yang sangat variatif tingkat sosialnya, dari yang tinggi sampai yang rendah sekalipun. Disini seorang Fasilitator diharapkan sebagai “change agent” dari yang tadinya hal-hal tidak mungkin menjadi segalanya bisa mungkin. Disamping itu Fasilitator juga harus berhubungan, berkomunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan yang kadang-kadang “power full dan untouchable” Agar mampu berkoordinasi dan berkomunikasi tersebut dengan kepercayaan diri yang optimal, maka kepada fasilitator perlu dibekali berbagai ilmu dan ketrampilan baik yang bersifat materi-substansi teknis, maupun yang bersifat non-teknis, seperti misal yang terkait pengembangan diri. Untuk penguatan teknis dapat dilakukan dengan pelatihan ataupun refreshing, tukar menukar informasi, kunjungan lapangan ke lain daerah, dan lain-lain. Sedangkan untuk kermampuan non-substansi teknis dapat dilakukan dengan berbagai cara, misal pelatihan kepemimpinan, pengembangan diri, dan lain-lain. e. Reward Sistem Reward system adalah suatu bentuk penghargaan kepada pihak lain, baik itu dalam bentuk materi maupun non-materi, dan hal ini sangat perlu diterapkan dalam proses pemicuan STBM. Memberi applous tepuk tangan kepada orang yang baru selesai memberikan pendapat adalah suatu bentuk reward. Memberi tepuk tangan kepada orang yang menyatakan sikap telah siap akan membangun jamban dalam suatu kurun waktu tertentu adalah suatu bentuk reward. Kehadiran seorang dokter Puskesmas, seorang Camat atau ibu Camat, apalagi seorang Kepala Dinas atau bahkan Bupati ke suatu desa adalah sebentuk reward bagi desa tersebut yang tinggi nilainya. Reward juga harus dikembangkan untuk para fasilitator yang sudah berhasil. Rerward tidak harus dalam bentuk uang. Bentuk reward lain misalnya makan siang bersama dengan Bupati atau para pejabat yang lain, member kesempatan kepada fasilitator untuk presentasi pada saat rapat kerja, workshop apalagi tingkat nasional adalah bentuk reward yang sangat tinggi nilainya.
2.2. Langkah Pemicuan Masyarakat Pemicuan merupakan suatu upaya untuk menimbulkan suatu “energy lebih” dalam diri sesorang atau kelompok, sehingga terjadi suatu mata rantai gerakan yang exponensial (menggelora, menggelegar bagai ombak samudra). Pemicuan kepada masyarakat untuk stop buang air besar sembarangan (STOP BABS) pada prinsipnya dapat dikelompokan dalam 3 tahap, yaitu tahap pra pemicuan, tahap pelaksanaan
pemicuan dan tahap pasca pemicuan. Pentahapan tersebut tidak berarti ada pembagian atau pembatasan waktu yang rigid, tetapi merupakan suatu proses yang mengalir dengan teratur dan berkesinambungan, sebagai suatu kesatuan proses yang utuh dan dinamis. 2.2.1. Pra Pemicuan 2.2.1.1. Pengenalan/identifikasi Lingkungan Kondisi lingkungan, suatu daerah yang akan dipicu harus benar-benar dikenal dan dicermati terlebih dahulu oleh seorang fasilitator. Silaturahmi dan menjelajah desa merupakan salah cara untuk mengidentifikasi dan menganalasis kondisi lingkungan suatu desa. Untuk memahami dan mengenal kondisi lingkungan suatu daerah, seorang Fasiliator Kesehatan harus sudah tinggal atau berada dalam kurun waktu yang relatif cukup lama, dan lebih baik kalo seorang Fasilitator telah tinggal menetap di daerah atau desa yang akan dipicu tersebut. Apabila seorang Fasilitator sudah tinggal atau menetap disuatu desa, maka fasilitator akan dianggap sudah sebagai keluarga atau kerabat sendiri, dan bukan dianggap sebagai orang asing, yang masuk desa dan hanya akan membuat masalah atau mengganggu ketenangan desa. Kondisi lingkungan suatu daerah yang harus dikenali meliputi lingkungan geofisik maupun sosial budaya, karena kondisi kedua aspek tersebut nantinya akan sangat berpengaruh dalam proses pemicuan dan tingkat keberhasilannya. Dari hasil pengenalan atau identifikasi lingkungan geofisik dan sosial-budaya yang ada dimasyarakat maka akan dapat ditarik kesimpulan unsur-unsur mana yang masuk dalam kategori sebagai Kekuatan/Peluang atau sebagai Kendala/Tantangan, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai suatu acuan atau pijakan untuk kegiatan pemicuan. Aspek Sosial-budaya yang perlu diidentifikasi misalnya: - Tokoh masyarakat misal Uztad, Kyai, Guru Sekolah di desa, dll - Tokoh pemuda, Tokoh Perempuan - Organisasi PKK, Organisasi kemasyarakatan , Pramuka, Kelompok pengajian - Kejadian penyakit diare, kecacingan, dll - Tidak ada proyek atau subsidi pemerintah di desa - Ada solidaritas warga, misal gotong royong, kerja bakti - Nilai sosial-budaya, agama yang mendukung PHBS - Dijumpai pengusaha di desa - Saat-saat orang kesawah - Kebiasaan orang berkumpul, bergosip ria - Masyarakat yang homogen Aspek Geofisik yang perlu diidentifikasi, misalnya : - Balong-balong, kolam ikan, adanya sungai, danau - Air sungai kotor - Kebon kosong yang luas - Kotoran manusia dimana-mana - Lahan untuk BAB terbatas, sempit - Lingkungan kumuh, kotor dan bau menyengat - Tanah yang subur, dijumpai kebun kopi, coklat, pisang, dll - Tingkat air tanah tinggi (misal gali 1 meter sudah berair) - Banyak dijumpai kakus/jamban di sepanjang sungai
2.2.1.2. Koordinasi dengan Puskemas dan Tim Kecamatan lainnya Sebelum pelaksaan pemicuan dilaksanakan, Fasilitator harus sudah melakukan kontak dengan unit lain yang terkait, terutama PUSKESMAS setempat, agar unit tersebut dapat berdampingan dengan Fasilitator dalam pelaksanaan pemicuan. Untuk itu seorang Fasilitator harus sudah memberi informasi kepada Puskesmas kapan dan dimana proses pemicuan akan dilakukan. Selain unsur dari Puskesmas, unit lain yang seyogyanya ikut bergabung dalam proses pemicuan adalah unsur Kecmatan (Camat), urusan PMD, PKK dan tokoh masyarakat setempat ( msl tokoh agama, pemuda, dll) Dengan bergabungnya petugas Puskesmas diharapkan proses pemicuan akan lebih terarah dan tepat sasaran, karena petugas Puskemas akan mampu memberikan bantuan informasi/penyuluhan tentang masalah-masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat khususnya terkait penyakit berbasis air dan sanitasi. Adanya petugas Puskesmas juga diharapkan untuk pendampingan saat pasca pemicuan dapat berjalan dengan lebih baik. Dengan diajaknya petugas Puskesmas dari awal, maka mereka akan lebih mempunyai rasa untuk mensukseskan pemicuan STOP BABS dalam mewujudkan lingkungan yang sehat tersebut lebih komit. Petugas Puskesmas yang berperan dalam mendampingi Fasilitator dalam proses pe micuan adalah Sanitarian, karena petugas ini mempunyai tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan masalah kesehatan lingkungan, dan merupakan tenaga terdepan dari jajaran kesehatan untuk pelaksanaan Pamsimas. Dalam siklus proses Pamsimas, Sanitarian akan memberikan SERTIFIKASI pelaksanaan pemicuan disuatu wilayah. Namun demikian, selain Sanitarian perlu juga untuk menghikutsertakan dokter/Kepala Puskesmas dan Bidan Desa setempat, karena Kepala Puskesmas sebagai atasan Sanitarian juga mempunyai tanggung jawab sepenuhnya dalam mewujudkan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya. Sedangkan Bidan Desa akan sangat membantu Fasilitator dalam pendampingan selanjutnya, karena Bidan Desa merupakan tenaga kesehatan yang berada di desa setempat, dan khususnya akan erat terkait dengan isu gender. Kehadiran seorang Kepala/dokter Puskesmas, Camat, Ketua PKK dalam proses kegiatan pemicuan maupun kegiatan lain terkait akan memberingan motivasi dan rasa kebanggaan tersendiri bagi seseorang maupun sekelompok masyarakat. Hal ini diharapkan akan memberikan dampak yang positif bagi berlangsungnya proses pemicuan.
2.2.1.3. Peran masyarakat sekolah Sekolah merupakan suatu “laboratorium” yang dapat dijadikan obyek vital sekaligus subyek dalam penerapan STBM. Dalam lingkup sekolah, rantai pemicuan akan berlangsung secara berjenjang dan berkesinambungan, yaitu dari guru ke murid dan kemudian murid dapat berperan ganda dalam proses pemicuan lanjutan, yaitu dari murid ke murid lainnya, dari murid ke orang tua dan dari murid ke masyarakat sebagai suatu group presure. Effek pemicuanpun dapat diharapkan lebih dahsyat, mengingat anak usia sekolah pada umumnya lebih antusias dalam mengadopsi ide-ide baru. Guru dapat mengajak anak murid untuk menciptakan dan meneriakan yel-yel hidup sehat dapat, dapat menciptakan lagu-lagu bernuansa PHBS khususnya dalam kaitanya dengan STOP BABS dan CTPS.
Guru dapat melakukan absensi jamban dan CTPS setiap minggu atau setiap bulan, dengan cara menanyakan kemana kebiasan BAB kepada murid secara langsung di depan kelas. Tanyakan kemana pagi ini si murid BAB. Tanyakan kepada murid pagi ini apa cuci tangan pake sabun setelah dari BAB. Tanyakan secara terus menerus terkait kebiasaan PHBS, sehingga hal itu akan memicu murid untuk melakukan hal-hal yang benar sesuai dengan kaidah kesehatan. Seorang murid juga tanpa sadar dapat memicu kepada teman-temanya. Mintakan mereka untuk saling menggambar rumahnya dan rumah-rumah temannya yang berada disekitarnya, lengkap dengan kebaradan jambannya. Gambar-gambar tersebut dibaca didepan kelas, kemudian dapat disimpan untuk suatu saat dibuka kembali, apa sudah ada perbedaan atau tidak. Dapat pula gambar tersebut dipasang di dinding atau papan pengumunan secara bergantian. Dengan adanya “desakan moral” dari guru dan temanya, seorang murid akan tergerak untuk memicu hal-hal yang terjadi di sekolah kepada orang tuanya.
2.2.2.
Pelaksanaan Pemicuan
2.2.2.1. Bina suasana Proses awal pemicuan tidak harus dilakukan dalam ruang pertemuan tertutup, missal dalam Balai Desa, tetapi bisa juga dihalaman, atau ditanah lapang. Suasana yang riang, santai, penuh keakraban, tidak saling mencurigai dan terbuka merupakan suasana yang sangat dibutuhkan untuk berlangsunganya proses pemicuan. Dengan suasana yang demikian, yaitu suasana yang cair, tidak ada makna perbedaan antara orang kaya dan miskin, antara tua muda, laki perempuan maka akan terwujud suasana kondusif untuk saling berdialog, saling mengutarakan pendapat tanpa takut akan tidak dihargai dan disalahkan. Untuk terwujudnya suasana seperti tersebut di atas, seorang Fasilitator dan orang lain yang berasal dari luar desa (termasuk Kepala Puskesmas, Sanitarian, Bidan, dll) harus pandaipandai membawa diri, memperkenalkan diri secara terbuka dan disertai rasa humor yang sehat. Humor yang disampaikan harus menghindari ha-hal yang berbau pornoaksi, pornografi, tidak menyinggung ras atau kesukuan, tidak menyinggung perpolitikan, dll. Perkenalan diri dari seorang Fasilitator adalah merupakan upaya pembukaan pintu masuk untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Fase perkenalan merupakan fase yang sensitif, karena bila pada fase ini masyarakat sudah tertarik, sudah percaya akan kedatangan seorang Fasilitator, maka mereka akan ‘terhipnotis’ untuk selalu berperan aktif dalam setiap tahap proses pemicuan. Untuk lebih menghidupkan suasana awal, maka perlu dikembangkan adanya proses ‘ice breaking’ lebih dalam, yaitu melalui permainan (game) atau bentuk-bentuk roll playing lainnya. Dengan dilakukannya roll playing diharapkan suasana akan lebih hidup, segar dan peserta lebih intim dalam membaur. Roll playing juga akan berguna dalam dynamika kelompok, sehingga nantinya proses pemicuan akan bergulir seperti bola salju, tapi penuh dengan kehangatan, hidup dan tidak kaku.
Setiap bahan untuk joke, game ataupun roll playing diusahakan untuk ada relevansinya atau dimaknai dengan sifat-sifat seseorang, dengan perilaku organisasi atau kelompok, modelmodel komunikasi, dll. Dengan demikian roll playing tersebut sekaligus merupakan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berorganisasi.
2.2.2.2. Pemetaan perilaku BABS Pemicuan melalui analisis partisipasi dimulai dengan menggambarkan peta wilayah RT/RW/Dukuh oleh masyarakat itu sendiri. Kemudian peserta diminta menggambar sungai, masjid, sekolah, dll yang merupakan sarana umum di wilayah tersebut. Selanjutnya peserta diminta mengambarkan peta lokasi rumah masing-masing, sekaligus tanyakan kepada mereka kemana saat ini mereka buang air besar. Beri kode simbol atau gambarkan rumah dengan warna kuning bagi mereka yang BAB sembarangan, dan warna hijau untuk rumah mereka yang BAB di jamban. Dalam pemicuan bias juga menggunakan bahan-bahan yang ada disekitar lokasi, seperti daun, batu, ranting kayu, dll. Dengan memberi simbol atau warna pada lokasi gambar rumah masing-masing, maka akan terlihat dengan jelas, bagaimana penyebaran tinja yang ada di wilayah tersebut. Untuk kepentingan masyarakat dalam memonitor dan evaluasi kondisi wilayahnya sendiri pada waktu yang akan datang, maka peta yang dibuat diatas tanah pada saat proses pemicuan “harus “ disalin ke atas kertas yang cukup lebar (missal kertas flipchart yang disambungsambung) dan ditempelkan didinding balai pertemuan atau balai LKM, atau balai pertemuan lainnya. 2.2.2.3. Transek walk Pemicuan nyata lapangan dilakukan dengan cara menelusuri wilayah dalam suatu RT/RW/Dukuh untuk mengetahui lokasi-lokasi dimana warga setempat buang air besar sembarang. Semua peserta yang hadir dalam proses pemicuan diajak untuk jalan bersama melihat lokasi tersebut. Bila peserta transect melewati suatu lokasi BABS kepada mereka dilarang untuk menutup hidung, sehingga peserta merasakan betapa bau yang timbul akibat tinja berada diruang terbuka sembarangan. Ingat, dilarang menutup hidung saat transect walk dan tetap berhenti ditempat sekejap untuk diskusi. Ajak peserta untuk mendiskusikan keadaan tersebut, baik dari aspek keindahan dan kebersihan lingkungan, dari aspek penyebaran penyakit, dari aspek keselamatan, dll. Akhirnya tanyakan kepada warga yang BABS tersebut, bagaimana perasaannya sekarang setelah orang lain menderita akibat bau menyengat. Jika ada kelompok anak yang ikut dalam transek, atau tak jauh dari tempat BAB sembarangan tersebut,, tanyakan apakah mereka senang akan keadaan tersebut. Ajak anakanak untuk menghentikan kebiasaan BAB sembarangan, ajak untuk membuat nyanyian, slogan, puisi atau bentuk-bentuk kesenian lainnya. Pemicuan dengan melalui transect walk ini akan lebih menyentuh ego seseorang, dengan timbulnya rasa malu dan rasa jijik seseorang apalagi dengan melihat secara nyata tinja yang berserakan ditanah terbuka
2.2.2.4. Pemicuan melalui analisa kuantitatif tinja Untuk lebih memberi gambaran tentang tingkat ‘besaran’ tinja yang tersebar luas secara sembarangan, masyarakat diminta untuk menghitung sendiri berapa kg/kwtl/ton jumlah tinja yang berhamburan. Tanyakan kepada mereka berapa jumlah anggota keluarga, kemudian kalikan dengan jumlah tinja yang dibuang manusia per orang per hari ( yaitu sekitar 400 gram/orang/hari). Dengan cara perhitungan tersebut, maka dapat dihitung berapa besar tinja yang berhamburan dalam suatu wilayah, dalam kurun waktu sehari, seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya. Teruskan pertanyaan, KEMANA SELAMA INI TINJA TERSEBUT PERGI??? - Tinja dikebon dimakan ayam, dan akhirnya dimakan manusia - Tinja dilahan kosong, mengering, menjadi debu, dihirup manusia - Tinja di balong/empang dimakan ikan dan akhirnya dimakan masuk ke manusia. - Tinja masuk ke sungai mencemari air dan akhirnya masuk ke manusia juga. 2.2.2.5. Pemicuan melalui sentuhan ego, humanism, rasa jijik, keagamaan Bilamana masyarakat buang air besar sembarangan di sungai atau di empang, maka fisik tinja tidak akan terlihat secara nyata, karena dalam waktu yang relatif singkat tinja tersebut akan hilang tebawa air sungai, atau tertelan ikan mujair di empang. Untuk kondisi semacam ini maka perlu teknik-teknik pemicuan lain yang lebih kena sasaran. Fasilitator hendaknya punya kemampuan berimprovisasi dalam melakukan pemicuan sesuai dengan kondisi setempat. Misalnya: - Gunakan pengalaman seorang ibu yang habis melahirkan yang kemudian BAB disungai pada saat hari hujan. Tanyakan pada Ibu tersebut perasaanya, apakah nyaman, apakah aman. - Gunakan pengalaman seorang ibu yang habis melahirkan yang kemudian BAB dikebon pada malam hari. Tanyakan pada Ibu tersebut perasaanya. - Tanyakan kepada seorang Bapak, bagaimana perasaannya jika isterinya atau anak perempuannya sedang BAB di sungai atau kebon kemudian terlihat orang lain. - Mintakan pada seorang guru agama/Kyai/Uztad untuk menjelaskan hubungan antara kebersihan dengan agama dan keimanan seseorang. - Tunjukan seekor ikan yang isi perutnya penuh dengan tinja, dan tanyakan perasaan mereka bilama mereka makan ikan tadi walau sudah dimasak - Mintakan kepada seorang warga untuk minum air gelas yang ada lalatnya, apakah mereka mau meminumnya. - Dan lain-lain
2.2.2.6. Pemicuan melalui sentuhan aspek bahaya penyakit Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang erat kaitannya dengan air dan saanitasi. Untuk itu masyarakat diajak melihat bagaimana TINJA kotoran manusia dapat dimakan masuk ke MULUT manusia itu sendiri dan bahkan manusia lainnya dan akhirnya menimbulkan penyakit diare. Dalam hal ini biarkan masyarakat untuk membuat alur kontaminasi ORAL FECAL. Kemudian kembangkkan pertanyaan yang bersifat memicu perasaan takut atau rasa lainnya, seperti missal: - Apakah ada peserta atau anggota ke;luarga diskusi yang pernah sakit diare atau sakit lainnya terkait kesehatan lingkungan - Apakah yang sakit punya jamban atau tidak
-
Penderita dari warga kaya atau miskin Bagaimana perasaan ibu/bpk ketika melihat anaknya sakit tergolek di RS Adakah anak atau anggota keluarga yang mati akibat penyakit Bagaimana perasaan mereka saat tau anak atau anggota keluarga mati Bagaimana kondisi keuangan saat itu? Dan lain-lain
CATATAN Masih banyak lagi teknik-teknik pemicuan STOP BABS yang dapat dikembangkan oleh seorang Fasilitator, sesuai dengan kondisi setempat, baik melalui pendekatan sentuhan ego/harga diri, humanisme, agama/keimanan, sentuhan dari aspek kenyamanan dan keamanan, dan juga sentuhan dari aspek kesehatan khususnya penyebaran penyakit menular. Untuk itu seorang Fasiliator Kesehatan harus KREATIF dan INOVATIF dalam melakukan pemicuan. Saling tukar pengalaman antar fasilitator sehingga didapat saling pembelajaran sesuai dengan kondisi dan situasi daerah sangat diperlukan. 2.2.2.7. Rencana Tindak dan Pendampingan Pada akhir sesi pemicuan, masyarakat dikumpulkan kembali untuk membuat rencana tindak mereka, sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan masing-masing. Namun perlu dipahami, bahwa sesi penyusunan Rencana Tindak pada hakekatnya adalah sesi masyarakat, maka diharapkan yang memimpin sesi ini adalah salah satu dari anggota yang hadir dalam proses pemicuan (kelak, mungkin orang ttersebut akan menjadi Natural Leader). Pancing dan tawarkan pada mereka siapa yang akan memimpin dalam sesi ini, dan usahakan agar Fasiliator seminimal mungkin untuk mengintervensi sesi ini. Rencana tindak pada intinya merupakan kesanggupan seseorang, KAPAN mereka akan membangun jamban secara swadaya. Berilah reward/penghargaan saat itu juga (misal cukup dengan tepuk tangan bersama) bila ada anggota masyarakat yang sudah terpicu dan merencanakan sanggup kapan mereka akan membangun jamban dengan menyebut waktu pembangunan jamban. Buatlah daftar kehadiran dan daftar kesangupan bagi mereka yang hadir dalam proses pemicuan, dan bagi anggota masyarakat yang sudah memberi kesanggupan pembangunan jamban diminta untuk parap/tanda tangan. Absensi ini kelak akan berguna sebagai alat monitoring, untuk “menagih janji-janji” mereka dalam pembangunan jamban. Pembuatan absen, daftar kesanggupan dan kegiatan “menagih janji” biarkan untuk dilakukan oleh masyarakat sendiri atau Natural Leader yang ada. Pada saat melaksanakan Rencana Tindak dari masing masing anggota masyarakat, maka Fasilitator dan Tim Tingkat Kecamatan harus selalu pendampingan. Suntikan semangat harus selalu diberikan, terutama bagi mereka yang belum terpicu. Biarkan masyarakat melakukan inovasi untuk membangun jambanya sendiri. Bilamana pada suatu wilayah (RT/RW/Dukuh) terjadi “kegagalan” pada saat pemicuan awal maupun saat pelaksanaan Rencana Tindak, maka abaikan untuk sementara wilayah tersebut. Biarkan mereka melihat sendiri hasil yang terjadi pada wilayah lain terlebih dahulu, baru dilakukan pendampingan lagi
2.2.3. Kunci Kerja Fasilitator Dalam proses pemicuan, seorang Fasilitator harus menyadari, bahwa kehadirannya disuatu kelompok adalah bukan untuk menggurui masyarakat, tetapi membantu mereka untuk mengenal masalah kesehatan lingkungan yang mereka hadapi. Fasilitator harus menghindari diri akan perasaan bahwa dialah yang lebih tau, lebih pintar, lebih menguasai masalah yang ada di masyarakat. Fasilitator harus mengenal prinsip-prinsip fundamental dan yang tidak boleh dinegoisasi dalam pemicuan STBM. Hal tersebut adalah: a. Tidak ada subsidi untuk pembangunan jamban keluarga, tidak terkecuali untuk warga kurang mampu atau kelompok minoritas lainnya. KATAKAN TIDAK AKAN ADA SUBSIDI. b. Tidak ada blue-print design yang ditawarkan pada masyarakat dalam membangun jamban. Hanya masyarakat itu itu sendiri yang menentukan bentuk jamban, yang menentukan design, dan bukan pihak luar (PU, Dinkes, dll) c. Pada awalnya pembangunan jamban mungkin berjalan secara lambat, namun akan berjalan cepat dan membesar dikemudian hari. d. STBM/CLTS jangan diartikan sekedar membangun jamban sederhana, tetapi memang STBM/CLTS dapat dimulai dari jamban yang paling sederhana. e. Fasilitator tidak mengajari atau menyuruh masyarakat untuk membuat jamban, tetapi memFASILITASI untuk menganalisa kondisi diri dan lingkungan. f. Hindari memberitahu apa yang baik dan apa yang buruk. Biarkan masyarakat menyadari untuk sendiri g. Hindari menjadi pemimpin dan mendominasi dalam proses diskusi. Fasilitator hanya melemparkan pertanyaan pancingan, dan biarkan masyarakat yang bicara lebih banyak. h. Jangan langsung menjawab suatu pertanyaan masyarakat. Kembalikan setiap pertanyaan kepada masyarakat itu sendiri ( misal “Bagaimana sebaiknya pendapat Bpk/Ibu/Sdr akan pertanyaan atau usulan tadi….?)
3.2. Monitoring dan Evaluasi 3.3.1. Monitoring Monitoring adalah suatu kegiatan untuk melihat perkembangan suatu kegiatan, dalam hal ini kegiatan pembangunan sarana jamban keluarga dan PHBS. Monitring dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri (monitoring partisipatif) maupun monitoring yang dilakukan oleh Fasilitator atau oleh Tim Gabungan Lintas Kecamatan (external monitoring) Jika masyarakat yang sudah terpicu tetapi belum total (yang mau berubah stop babs baru sebagian), natural leader dan anggota masyarakat lainnya dapat melalukan transek walk dengan membawa “peta jamban”. Transek ini dilakukan dengan mengunjungi rumah rumah dan menanyakan kepada mereka kapan mereka mau berubah stop babs seperti keluarga lain yang sudah mulai membangun jamban. Dalam melaksanakan monitoring, maka peta yang dibuat pada saat proses pemicuan di atas kertas yang ditempelkan didinding balai pertemuan atau balai LKM, atau balai pertemuan lainnya, akan sangat bermanfaat sebagai alat bantunya. Dengan melihat peta tersebut maka akan tergambarkan kemajuan kegiatan di lapangan, dan harus selalu diadakan review peta “jamban” setiap saat (misal bulanan atau triwulanan).
3.3.2. Evaluasi Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan masyarakat telah berubah perilakunya dari buang air besar sembarangan kearah PHBS yang lebih baik sesuai dengan kaidah kesehatan masyarakat disbanding pada saat atau awal kegiatan berjalan. Seperti halnya kegiatan monitoring, maka dalam kegiatan evaluasi ini juga dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri (evaluasi partisipatif) maupun oleh pihak gabungan dari Fasilitator dan Tim Tingkat Kecamatan. Indikator keberhasilan dilihat dari out put kegiatan yaitu berapa banyak jamban yang dibangun oleh masyarakat dalam suatu wilayah tertentu (RT/RW/Dukuh). Namun demikian harus dimaknai bahwa STBM bukanlah jambanisasi dalam suatu desa tetapi yang lebih penting adalah adanya kesadaran masyarakat untuk menjalankan apa-apa yang telah mereka ketahui terkait masalah kebersihan, keindahan, kenyamanan dan kesehatan. Untuk mengetahui keberhasilan dari indicator aspek perilaku, perlu dikembangan monitoring dan evaluasi secara partisipatif dari masyarakat itu sendiri Indikator impact yang perlu dilihat adalah seberapa jauh terjadinya penurunan angka kesakitan penyakit diare. Secara nasional saat ini angka kesakitan diare adalah sebesar 423 jiwa per 1.000 orang penduduk. Untuk lingkup desa, impact inii dapat dilihat dengan penurunan kasus diare setiap tahunnya, yang didapat dari Bidan Desa, Puskesmas Pembantu (Pustu) setempat atau dilevel Puskesmas Kecamatan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2008 Pedoman Umum Pengelolaan Kegiatan Peningkatan Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), Dit. PL, Ditjen PP-PL Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2008 Pedoman Pelaksanaan Stop Buang air Besar Sembarangan di Indonesia, Dit Penyehatan Lingkungan Ditjen PP-PL, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Pokja AMPL Pusat Jakarta, 2008 Sanitasi Total di Indonesia: Perlu lebih dari sekedar proyek, Studi dimensi kelembagaan Penyebarluasan CLTS di Indonesia, Kerjasama Akademika-Pusat Kajian Kebijakan Publik Indonesia dan Institute of Development Studies, university of Sussex UK, 2008 Percik, Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, Maret 2008 Pedoman Pengelolaan Promosi Kesehatan, Dalam Pencapaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Departemen Kesehatan RI, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta 2008
DIAGRAM LANGKAH PEMICUAN – STBM KONDISI GEOFISIK DESA
PENGENALAN LINGKUNGAN DESA
Obyek TOKOH FORMAL & INFORMAL KEBIASAAN/PRILAKU
PEMBUATAN RENCANA KERJA FASILITATOR KESEHATAN
MENGKOMUNIKASIKAN RENCANA KERJA KEPADA : • DINKESKAB/PIU PAMSIMAS • KEPALA PUSKESMAS & SANITARIAN • TIM TKT KECAMATAN LAIN(CAMAT, PMD, PKK) REVISI RENCANA KERJA BILA DIPERLUKAN
MENGKOMUNIKASIKAN RENCANA KERJA KEPADA KEPALA DESA SETEMPAT
UPAYAKAN MINIMAL 2 DUSUN/RW DIPICU SUPAYA ADA “KOMPETiSI”
PEMICUAN CLTS SASARAN : DUSUN/RW
PENDAMPINGAN DAN MONITORING BERKELANJUTAN
REPLIKASI LINTAS DUSUN (Setelah DUSUN ODF)
• FASILITATOR KESEHATAN • SANITARIAN • TIM KECAMATAN (Camat, Ka. PUSKESMAS, PMD, PKK)
•FASILITATOR KESEHATAN •SANITARIAN •NATURAL LEADER •KADER KESEHATAN
CATATAN PENTING DALAM IMPLEMENTASI CLTS SEBELUM PEMICUAN • JALIN KOMUNIKASI DENGAN KEPALA DESA/KEPALA DUSUN DAN TOKOH MASYARAKAT • KUNJUNGI DESA LAKUKAN OBSERVASI DAN ORIENTASI SITUASI (SOSIOGEOFISIK DESA DAN POLA PERILAKU) • PILIH LOKASI YANG RELATIF MUDAH SAAT PEMICUAN • PEMICUAN DILAKUKAN TERHADAP KELOMPOK LAKI DAN PEREMPUAN SERTA ANAK-ANAK • KNJUNGI SEKOLAH, LIBATKAN GURU DAN MURID (UNTUK BUAT SLOGAN, NYANYIAN, YEL-YEL, DLL) • BUAT PETA PERILAKU (OLEH MASYARAKAT) SENDIRI, INGATKAN PETA SENANTIASA AKAN BERUBAH SETIAP SAAT SESUAI PERKEMBANGAN HASIL PEMBANGUNAN JAMBAN DAN PERUBAHAN PERILAKU. PASCA PEMICUAN • ATUR WAKTU UNTUK KEGIATAN TINDAK LANJUT. PENDAMPINGAN DAN MONITORING • UNDANG NATURAL LEADER UNTUK MENYASJIKAN RENCANA KERJA ODF • UNDANG WARGA/MASYARAKAT KE LOKASI JAMBAN PERTAMA DIBANGUN, DAN SETERUSNYA • LAKUKAN KUNJUNGAN RUTIN • BERIKAN PENGAHRGAAN KEPADA KELUARGA YANG TELAH BERHENTI BAB SEMBARANGAN • KENALI DAN BERI PENGHARGAAN KEPADA HASIL KERJA NATURAN LEADERS • DORONG KEBIASAAN UNTUK KERJA GOTONG ROYONG • AJAK DAN DORONG KEPALA DESA MEMBERIKAN REWARD BAGI DUSUN YANG PERTAMA ODF • TERUS DAN INGATKAN JANJI WAKTU DEKLARASI ODF • LAKUKAN EVALUASI KERJA, LIBATKAN PIHAK LUAR • BILA SATU DESA ODF, UMUMKAN, RAYAKAN DAN UNDANG MASYARAKAT DESA BERDEKATAN UNTUK SALING BELAJAR • BUAT PAPAN PENGUMUMAN DI JALAN MASUK DUSUN ATAU DESA ODF • HARGAI SEMUA NATURAL LEADER DAN MANFAATKAN MEREKA SEBAGAI NARA SUMBER UNTUK MEMICU LOKASI DESA LAIN • TINGKATKAN DARI STATUS ODF KE KEGIATAN STBM LAIN SEPERTI PENGELOLAAN SAMPAH, AIR LIMBAH, CTPS • MULAI KERJA UNTUK MENGKAITKAN DG KEGIATAN PEMASARAN SANITASI.