STRATEGI, KEBIJAKSANAAN DAN PROGRAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA Oleh: Gunawan Sumodiningrat Dosen Fakultas Ekonomi, Magister Manajemen, dan Pasca Sarjana UGM Kepala Biro Pembangunan Daerah Tingkat II dan Perdesaan, Bappenas
I. PENDAHULUAN Tahap orientasi amat penting untuk memahami kembali tugas pokok dan fungsi yang harus dijalankan oleh aparat Pembangunan Masyarakat Desa PMD). Tugas pokok dan fungsi aparat PMD yang terutama adalah menyiapkan masyarakat perdesaan agar masyarakat perdesaan siap dan mampu mengelola berbagai program pembangunan sehingga memberikan manfaat yang optimal bagi mereka. Dalam kesempatan orientasi kali ini ada 5 pokok bahasan yang perlu kita kaji bersama. Pertama, hakikat, tujuan dan sasaran pembangunan nasional, pembangunan daerah dan pembangunan perdesaan seperti tercantum dalam GBHN dan Repelita VI. Kedua, masalah dan kendala yang dihadapi oleh masyarakat perdesaan. Ketiga, tinjauan terhadap strategi yang perlu diterapkan agar pembangunan perdesaan dan perkotaan merupakan suatu mata rantai yang tidak terputus dan sating memperkuat. Strategi dasar pembangunan perdesaan bertumpu pada proses pengembangan kapasitas masyarakat (capcity building) baik sumber daya manusia yang bermutu, prasarana dan sarana yang lengkap, serta kelembagaan masyarakat yang berkembang. Strategi itu diterapkan dengan menggunakan pendekatan pemihakan dan pemberdayaan. Keempat, langkahlangkah penyempumaan yang perlu dilakukan dalam mengelola program pembangunan perdesaan. Kelima, peran yang diharapkan dad aparat Kantor PMD dalam mendukung pembangunan masyarakat perdesaan. Dengan membahas kelima pokok bahasan tersebut diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang arah pembangunan di masa mendatang. Gambaran itu selanjutnya menjadi dasar bagi kita untuk mengantipasi dan memecahkan segala permasalahan yang akan muncul dalam pelaksanaan. Gambaran itu juga mendorong kita untuk mempersiapkan did sejalan dengan dinamika masyarakat dalam menanggapi berbagai kecederungan pola hubungan masyarakat, baik mengenai pergeseran sikap, perilaku dan tata nilai yang dianut oleh masyarakat, khususnya dalam transformasi masyarakat menuju masyarakat industri.
II. HAKIKAT, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN 2.1. Hakikat Pembangunan GBHN 1993 menegaskan bahwa Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua merupakan proses kelanjutan, peningkatan, perluasan dan, pembaharuan dari Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Pertama. Petunjuk ini amat penting karena PJP II tidak terlepas dad PJP I, dan Repelita VI harus merupakan kelanjutan dari Repelita V.
Repelita VI juga merupakan pembaharuan terhadap Repelita V, dan PJP II mengandung pembaharuan terhadap PJP I. Pembaharuan berarti koreksi, penyempurnaan serta dimasukkannya nilai-nilai baru untuk memperbaiki nilai-nilai lama yang sudah tidak sesuai lagi. Terlebih lagi PJP II adalah era baru yang memerlukan pemikiran yang baru clan segar, dengan tetap memperhatikan perlunya kesinambungan. GBHN sebagai pencerminan aspirasi rakyat secara bulat memuat hakikat pembangunan nasional bahwa manusia itu sendiri merupakan titik pusat dari segala pembangunan. Manusia adalah sasaran pembangunan, yaitu sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia di muka bumi ini, yang ingin kita bangun harkat dan martabatnya. Pembangunan manusia seutuhnya clan pembangunan masyarakat seluruhnya adalah pembangunan yang bertolak dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, clan sepenuhnya ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Pembangunan dari, oleh, dan untuk rakyat tersebut dilaksanakan di semua aspek kehidupan bangsa yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan aspek pertahanan keamanan dengan senantiasa mewujudkan Wawasan Nusantara yang memperkukuh Ketahanan Nasional. Pembangunan yang bertumpukan pada peran serta rakyat diselenggarakan secara merata di semua lapisan masyarakat clan di seluruh wilayah tanah air. Dalam penyelenggaraan pembangunan yang berintikan keadilan, setiap warga berhak memperoleh kesempatan untuk berperanserta clan menikmati hasil-hasilnya secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan clan prestasinya. Dimensi kemanusiaan itu juga menjadi pangkal tolak untuk membangun ekonomi yang kukuh, mandiri clan berkeadilan.
2.2. Tujuan dan Sasaran Pembangunan GBHN 1993 menetapkan bahwa Pembangunan Jangka Panjang Kedua bertujuan mewujudkan bangsa yang maju clan mandiri serta sejahtera lahir batin sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil clan makmur. Dalam mencapai tujuan tersebut sasaran umum PJP II adalah terciptanya kualitas manusia clan masyarakat Indonesia yang maju clan mandiri, dalam suasana tenteram clan sejahtera lahir clan batin, dalam tata kehidupan yang berclasarkan Pancasila clan dalam suasana kehidupan yang serba berkeseimbangan. Sejalan dengan sasaran umum PJP II, GBHN mengamanatkan bahwa sasaran umum Repelita VI adalah tumbuhnya sikap kemandirian dalam did manusia clan masyarakat Indonesia melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas rakyat dalam rangka meningkatkan taraf hiclup, kecerdasan clan kesejahteraan lahir batin. Selanjutnya, sejalan dengan titik berat pembangunan dalam PJP II prioritas Repelita VI adalah pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Memasuki PJP II, clan khususnya Repelita VI, perhatian lebih besar akan diberikan pada pembangunan dengan memperhatikan karakteristik wilayah sehinggga kebijaksanaan pembangunan dapat makin terarah, dan sumber daya yang terbatas dapat didayagunakan secara optimal clan terpadu. Sehubungan dengan itu, pembangunan daerah diarahkan untuk: pertama, memacu pemerataan pembangunan daerah clan hasilhasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat; kedua, menggalakkan
prakarsa clan peran serta aktif masyarakat, serta ketiga, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal clan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan berlangsung jawab serta memperkuat persatuan clan kesatuan bangsa. Ssasaran pokok pembangunan perdesaan adalah terciptanya kondisi ekonomi rakyat di perdesaan yang kukuh, clan mampu tumbuh secara mandiri clan berkelanjutan. Upaya ini ditempuh antara lain melalui keterkaitan kegiatan perekonomian di perdesaan dengan perekonomian perkotaan, terwujudnya masyarakat perdesaan yang sejahtera, clan teratasinya masalah kemiskinan di perdesaan. Sasaran pembangunan perdesaan tersebut diupayakan pencapaiannya secara bertahap melalui berbagai langkah: pertama, peningkatkan kualitas tenaga kerja di perdesaan; kedua, peningkatan kemampuan aparatur pemerintahan desa; ketiga, penguatan lembaga pemerintahan dan lembaga masyarakat desa; keempat, pengembangan kemampuan sosial ekonomi masyarakat desa; kelima, pengembangan prasarana clan sarana perdesaan, clan keenam, pemantapan keterpaduan pembangunan desa yang berwawasan lingkungan.
III.
MASALAH DAN KENDALA
Pembangunan perdesaan merupakan interaksi antara potensi yang dimiliki oleh masyarakat desa dan dorongan dad luar untuk mempercepat pembangunan perdesaan. Pendekatan tersebut bermuara pada proses perubahan yang berlangsung secara berkesinambungan. Dengan mendasarkan pada tinjauan seperti itu, pembangunan perdesaan akan terkait dengan proses perubahan yang terjadi pada tataran nasional clan global. Setiap proses perubahan yang bersifat nasional dan global akan berdampak langsung pada seluruh kehidupan masyarakat di perdesaan. Perubahan itu menyangkut perkembangan tata kehidupan ekonomi, pola hubungan sosial masyarakat, dinamika budaya yang berkembang di masyarakat, serta pola pengambilan keputusan oleh masyarakat. Perubahan itu pada akhimya membawa masyarakat perdesaan berkembang menjadi perkotaan. Proses perubahan dad desa menjai kota dapat berlangsung secara alamiah. Perubahan ini didasarkan pada kesiapan masyarakat desa sehingga kemajuan yang dilakukan benar-benar dinikmati oleh masyarakat desa. Proses perubahan dad desa menjadi kota dapat dipercepat melalui upaya-upaya khusus. Upaya khusus itu hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor utama pendorong pembangunan desa. Pembangunan secara alamiah clan pembangunan yang dipercepat mempunyai sasaran yang sama, yaitu menciptakan surplus bagi masyarakat untuk diinvestasikan kembali dalam pembangunan perdesaan. Proses transformasi dalam pembangunan perdesaan dikenal sebagai proses alamiah atau natural. Proses tersebut mensyaratkan dipenuhinya tiga asumsi clasar. Pertama, peran serta atau partisipasi (full employment) artinya semua pelaku ekonomi ikut serta dalam kegiatan ekonomi. Kedua, homogenitas artinya semua pelaku ekonomi memiliki faktor produksi dan mempunyai kesempatan berusaha dan kemampuan menghasilkan (produktivitas) yang sama. Dan ketiga, rasionalitas, prinsip efisiensi atau bekerjanya mekanisme pasar artinya interaksi antarpelaku ekonomi terjadi dalam keseimbangan
sehingga imbalan yang diterima oleh masyarakat seimbang dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua pelaku ekonomi ikut serta dalam proses pembangunan clan tidak setiap penduduk menikmati peningkatan pendapatan sebagai hasil dad proses pembangunan tersebut. Pelaku pembangunan yang tidak memiliki sumber daya dan tidak mempunyai akses dalam pembangunan akan menganggur. Karena menganggur, maka tidak berpendapatan yang kemudian menyebabkan kemiskinan. Masalah kemiskinan menyebabkan ketimpangan baik antargolongan penduduk, antarsektor kegiatan ekonomi maupun antardaerah. Keterkaitan masalah pembangunan ini perlu dipahami oleh aparat PMD dengan memperhatikan data statistik yang ada. Berbagai data sosial ekonomi telah diterbitkan oleh Kantor Statistik di daerah. Dalam hal ini, aparat PMD dituntut untuk peka dalam memahami data sosial ekonomi dan jeli untuk melakukan analisis terhadap informasi yang ada dalam mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.
3.1 Kemiskinan Data yang diterbitkan Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin menurun dad 54,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 40,6 juta jiwa pada tahun 1981 clan turun lagi menjadi 27,2 juta jiwa pada tahun 1990 dan 25,9 juta jiwa pada tahun 1993. Penurunan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan temyata jauh lebih cepat dari penurunan jumlah penduduk miskin daerah perkotaan. Dalam kurun waktu tersebut jumlah penduduk miskin daerah pedesaan menurun dari 44,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 31,3 juta jiwa pada tahun 1981, 17,8 juta jiwa pada tahun 1990, clan 17,2 juta jiwa pada tahun 1993. Sementara itu jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang dari 10 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi sebanyak 9,3 juta jiwa pada tahun 1981, sebanyak 9,4 juta jiwa pada tahun 1990, dan sebanyak 8,7 juta jiwa pada tahun 1993 (lihat tabel 1). Dilihat dari profilnya, rumahtangga miskin di Indonesia rata-rata mempunyai 5,9 anggota rumahtangga. IN menunjukkan bahwa rumahtangga miskin harus menanggung beban yang lebih besar dibanding rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga miskin di daerah perkotaan rata-rata mempunyai 5,6 anggota rumahtangga, sedangkan rumahtangga miskin di daerah pedesaan rata-rata mempunyai 6,1 anggota rumahtangga. Dari angka ini dapat diketahui bahwa beban rumahtangga miskin di daerah pedesaan ternyata lebih besar daripada rumahtangga miskin di daerah perkotaan. Ciri lain yang melekat pada rumahtangga miskin adalah tingkat pendidikan yang rendah. Data BPS memperlihatkan bahwa 68,4% dari rumahtangga miskin di pedesaan di pimpin oleh kepala rumahtangga yang tidak tamat SD dan 28% dlpimpin oleh kepala rumahtangga yang berpendidikan SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di perkotaan. Pelayanan di bidang pendidikan tetap menjadi masalah bagi rumahtangga miskin, terutama di pedesaan. Ciri rumahtangga miskin yang lain yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan sebaran lokasi rumahtangga adalah sumber penghasilan. Sekitar 60,8% dari rumahtangga miskin penghasilan utamanya bersumber dari sektor pertanian, 10,6% dad sektor perdagangan, 7,6% dari sektor industri, 6,5% dari sektor jasa-jasa dan selebihnya
dad sektor bangunan, pengangkutan dan lainnya. Apabila dibedakan menurut daerah, sebagian besar atau sekitar 82,0% rumahtangga miskin dl perdesaan mengandalkan pada sumber penghasilan di sektor pertanian. Ini konsisten dengan corak rumahtangga perdesaan yang sebagian besar adalah rumahtangga petani. Tabel 1 Batas Miskin, Persentase dan Jumlah Penduduk Miskin 1976- 1993 Kota Batas Penduduk Miskin Miskin Tahun (Rp/kapita/ (Juta bulan) Jiwa) 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993
4.522 4.969 6.831 9.777 13.731 17.381 20.614 27.905
10.0 8.3 9,5 9,3 9.3 9,7 9,4 8,7
Kot a•De s a
Desa
Batas Penduduk Penduduk Miskin Miskin (%) miskin (Rp/kapita (Juta Jiwa) (Juta Jiwa) /bulan) 38.8 30.8 29,0 28.1 23,1 20.1 16.8 13,4
2.849 2.981 4.449 5.877 7.746 10.294 13.295 18.244
44.2 38.9 32.8 31.3 25.7 20.3 17.8 17.2
40,4 33,4 28.4 26.5 21.2 16,4 14,3 13,8
54,2 47,2 42.3 40.6 35.0 30,0 27,2 25,9
(%)
40.1 33.3 28.6 26.9 21,6 17.4 15.1 13.7
Sumber: Biro Pusat Statistik, Kemiskinan dan Pemerataan Pembangunan di Indonesia, 1976 - 1993
3.2 Kesenjangan Pemahaman terhadap masalah kemiskinan tidak dapat dilepaskan dad masalah ketidakmerataan antargolongan penduduk. Indikator ketidakmerataan dapat dilihat dari pergeseran distribusi pendapatan. Data Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dihimpun oleh BPS, dengan memperhatikan batasan yang ada, merupakan sumber data utama untuk melihat kecenderungan arah pergeseran pembagian pendapatan masyarakat. Salah satu indikator yang digunakan untuk menggambarkan kecenderungan distribusi pendapatan adalah koefisien Gini. Perhitungan koefisien Gini yang disajikan oleh BPS didasarkan data pengeluaran rumahtangga yang dihimpun melalui Susenas sebagai proxy atau pendekat pendapatan rumahtangga. Dengan anggapan bahwa tingkat tabungan dan hutang adalah nihil, maka pengeluaran rumahtangga adalah identik dengan pendapatan rumahtangga. Dad data BPS dapat dicatat bahwa pembagian pendapatan antargolongan penduduk dalam kurun waktu 1978-1990 menunjukkan kecenderungan membaik. Perbaikan dalam pembagian pendapatan antarkelompok penduduk ditunjukkan oleh menurunnya indeks ketidakmerataan Gini dad 0,38 pada tahun 1978 menjadi 0,32 pada tahun 1990. Persentase pendapatan yang diterima oleh kelompok penduduk berpendapatan rendah di daerah perdesaan naik dari 19,9% pada tahun 1978 menjadi 24,4% pada tahun 1990.
Dengan demikian penduduk perdesaan turut menikmati hasil dad pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Meningkatnya persentase pendapatan yang diterima oleh penduduk perdesaan mendorong membaiknya kondisi ekonomi penduduk miskin di perdesaan, sehingga jumlah penduduk miskin di perdesaan pun menurun dari 44,2 juta jiwa atau 40,4% pada tahun 1978 menjadi 17,2 juta jiwa atau 13,8% pada tahun 1993. Manfaat dad pertumbuhan ekonomi juga dinikmati oleh kelompok penduduk berpendapatan rendah di perkotaan. Berdasarkan data BPS tahun 1993, meski jumlah penduduk miskin menurun, indeks Gini meningkat menjadi 0,34 yang berarti kesenjangan antargolongan cenderung meningkat. Kecenderungan yang terjadi adalah persentase pendapatan yang diterima oleh 20 persen kelompok penduduk berpendapatan tinggi cenderung meningkat dari 41,94% (1990),menjadi 42,76% (1993). Sementara persetanse pendapatan yang diterima oleh 40 persen kelompok berpendapatan rendah turun dad 21,31% (1990) menjadi 20,34% (1993). IN berarti masalah kesenjangan meningkat. Masalah ini yang sebetulnya perlu dipecahkan. Karena, kemiskinan yang belum tuntas terpecahkan, dan kesenjangan yang makin meningkat dimensinya meluas tidak hanya dimensi ekonomi tetapi juga sosial, budaya, dan politik, sehingga tidak dapat dipecahkan secara langsung oleh pemerintah sendiri Dalam hal ini, aparat PMD dituntut untuk peka terhadap masalah kemiskinan dan kesenjangan. Tugas yang pedu dilakukan adalah memberikan informasi secara akurat kepada masyarakat dan bersikap aktif untuk mengajak masyarakat memecahkan masalah kemiskinan dan kesenjangan secara bersama-sama. Dengan informasi yang akurat dan kebersamaan, maka masalah yang ada dapat dipecahkan tanpa harus menimbulkan permasalahan yang lebih luas. Inilah sesungguhnya salah satu tugas yang perlu dijalankan oleh aparat PMD. Aparat PMD diharapakn tidak hanya duduk di bekalang meja saja, tetapi memberikan pendampingan kepada masyarakat perdesaan. Tabel 2 Persentase Pembagian Pendapatan dan Gini Rasio 1978-1990 Kota Tahun 40% 40% 20% Gd 1978 17,40 36.39 46.21 0.38 1980 18.66 37.79 43.55 0,36 1981 20.83 37.21 41.96 0.33 1984 20.63 38,25 41.12 0.32 1987 21.48 38.01 40.51 0.32 1990 19.67 37.66 42.67 0.34 1993 20.48 37.29 42.23 0.33 Sumber: Biro Pusat Statistik, 1976-1993
Cesa Oesa - Kaa 40% 40% 20% Gini 40% 40% 20% Gini 19A 38.23 41.39 0.34 18.13 35.53 45.34 0.38 21.17 3900 39,83 0.31 1935 38.33 4227 0.34 22.82 39.40 37.78 0.29 20.44 37.46 42.10 0.33 22.35 39.83 37.82 0.28 20.75 37.28 41.97 0.33 24.30 39.25 36.45 0.26 20.87 37.48 41,65 0.32 24,41 3923 36.36 0.25 21.31 36.75 41.94 0.32 25.13 38.43 36.45 0.26 20.34 36.91 42.76 0.34 Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan Di Indonesia
2.3 Pergeseran Struktur Tenaga Kerja Kemiskinan clan ketidakmerataan antargolongan penduduk terkait erat dengan perubahan struktur tenaga kerja. Perubahan ini dicerminkan oleh pergeseran rumahtangga pertanian clan non pertanian. Dari hasil Sensus Pertanian 1993 yang
dilakukan oleh BPS dapat dicatat bahwa sekitar 51,1% atau sebanyak 21,5 juta rumah tangga merupakan rumah tangga pertanian yang terdiri dari 11,7 juta atau 54,6% rumah tangga pertanian di Jawa dan 9,8 juta atau 45,6% rumah tangga pertanian di luar Jawa. Dilihat dari jumlah absolut, rumah tangga pertanian hasil pendataan 1993 meningkat sebesar 6,0% dibanding hasil pendataan 1983. Namun, perbandingan terhadap jumlah seluruh rumah tangga menunjukkan bahwa persentase jumlah rumah tangga pertanian menurun dari 60,5% pada tahun 1983 menjadi sebesar 51,1% pada tahun 1993. Kegiatan sektor industri clan jasa yang terpusat di Jawa telah menurunkan persentase rumah tangga pertanian di Jawa jauh lebih cepat dibanding luar Jawa. Tabel 3 Jumlah Rumahtangga Pertanian clan Non Pertanian Menurut Daerah Tahun 1983 clan 1993 dalam 000 Kota
Desa
Ferta
Non
Perta
nian 1983
1993
Ferta 1983 1993
n ia n 1983
Ferta T 1993 1983
1993
1. Sumatera
246
193
990
3.647
4.687
1.296
2. Jawa clan Bali
703
1.019 4.141 8.179
11.211 11.170
3.636 6.541
3. Nusa Tenggara dan 29
43
94
174
939
1.093
173
290
Timor Timor 4. Sulawesi
69
83
260
472
1.388
1.661
314
476
5. Kalimantan
51
45
287
517
907
1.218
192
319
52
69
Daerah
1.902
Non
6. Maluku clan Irian21 21 68 151 333 1.721 Jaya JUMLAH 1.076 1.404 5.840 11.395 18.425 20.332
807
5.174 18.991
Sumber: Biro Pusat Statistik, Sensus Pertanian 1993: Laporan Hasil Pendaftaran Rumahtangga, Tabel 1,2 clan 3. Perkembangan lain yang dapat kita catat dad hasil Sensus Pertanian 1993 adalah penguasaan lahan. Luas lahan yang dimiliki oleh rumah tangga pertanian menurun sebesar 4,8% dari 16,8 juta hektar (ha) pada tahun 1983 menjadi 16,0 juta ha pada tahun 1993. Sementara luas lahan yang 2 Lihat Biro Pusat Statistik, Laporan Hasil Sensus Pertanian 1993: Pendaftaran Rumahtangga, Jakarta: BPS, 1994. dikuasai menurun sebesar 3,8% dari 18,3 juta ha menjadi 17,7 juta ha. Penurunan luas lahan yang dikuasai oleh rumah tangga pertanian pengguna lahan terutama terjadi di Jawa yang menurun sebesar 14,5%. Implikasi dad menurunnya luas lahan yang dikuasai dan meningkatnya jumlah rumah tangga pertanian adalah bertambahnya petani gurem yang menguasai lahan kurang dad 0,5 ha. Jumlah petani gurem ini meningkat dad 9,5 juta rumah tangga pada tahun 1983 menjadi 10,9 juta rumah tangga pada tahun 1993 atau meningkat sebesar 14,7%. Persentase jumlah rumah tangga petani gurem di Jawa sebesar 69,8% dan selebihnya berada di luar Jawa. Bertambahnya jumlah petani gurem ditunjukkan oleh menurunnya penguasaan lahan pertanian di Jawa dari 0,6 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,5 hektar
pada tahun 1993, sedangkan di luar Jawa menurun dad 1,6 hektar menjadi 1,3 hektar. Keterbatasan luas lahan yang dikuasai oleh petani akan mempersempit peluang bagi masyarakat desa untuk memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Bertambahnya jumlah petani gurem merupakan pemacu terjadinya pergeseran usaha dad pertanian ke usaha di luar pertanian. Pada gilirannya akan mempercepat arus urbanisasi clan memaksa lahirnya usaha kecil informal. Kencederungan perubahan sektor pertanian akan mempunyai implikasi terhadap perkembangan masyarakat perdesaan. Dengan demikian kencederungan tersebut perlu dipahami oleh aparat PMD dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi di daerah. Dalam menghadapi perubahan tersebut, aparat PMD dituntut untuk mengelola berbagai program pembangunan perdesaan sehingg memberikan manfaat bagi para masyarakat petani. 2.4 Perkembangan Nilai Tukar Petani Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat desa, terutama petani, adalah indeks nilai tukar petani. Karena, secara konsepsional indeks nilai tukar petani telah memperhitungkan kemampuan tukar barang-barang pertanian yang dihasilkan petani (indeks harga yang diterima petani) dengan barang atau jasa yang diperlukan untuk konsumsi rumahtangga clan keperluan produksi pertanian (indeks harga yang dibayar petani). Dalam kurun waktu 1989-1994, indeks nilai tukar petani cenderung menurun (lihat tabel 4 ). Penurunan itu disebabkan oleh kenaikan indeks harga yang dibayar petani lebih tinggi dibanding kenaikan indeks harga yang diterima petani. Itu berarti bahwa pengeluaran yang dilakukan oleh petani untuk konsumsi clan produksi lebih tinggi dibanding dengan pendapatan yang diterima petani. Dad sisi pengeluaran, komponen pengeluaran produksi relatif lebih besar dibanding pengeluaran konsumsi. Dad pengeluaran produksi tersebut, komponen pengeluaran untuk pembelian faktor produksi clan non produksi jauh lebih tinggi dibanding pengeluaran untuk penambahan barang modal. Dad informasi tersebut dapat diketahui bahwa ken ampuan petani untuk melakukan pembentukan modal amat rendah. Karena, petani harus mengalokasikan dana untuk keperluan produksi clan non produksi yang jauh lebih besar. Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak mendorong penciptaan surplus bagi petani clan tidak menjamin kelangsungan usaha petani. Dad segi penerimaan petani tanaman bahan makanan menerima pendapatan yang lebih besar dibanding petani perkebunan rakyat. Kondisi ini menyiratkan bahwa petani cenderung memilih tanaman bahan makanan. 9 Tabel4 Perkembangan Nilai Tukar Petani Tahun 1989-1994 *) Propinsi
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1. Jawa Barat
103.9
105,7
106,2
101.9
94,84
101.8
2. Jawa Tengah
106,3
106,0
104,6
98.5
94,95
99,77
3. DI Yogyakarta
102.3
104,0
105,0
99,5
96.91
108.1
4. Jawa Timur
104.6
104,3
103,6
99,1
94,25
102.3
5. Dista Aceh
101,7
101,5
104,1
99,14
96,18
102.4
6. Sumatera Utara
'
99,78
95,56
94,00
85,26
87,88
7. Sumatera Barat
106,1
104,8
112,9
112,3
106,8
107,3
8. Sumatera Selatan
100,8
102,6
103,3
103,1
97,57
102.5
9. Lampung
100,9
103,2
103,2
94,99
86,98
87,14
10. Bali
115,1
119,9
110,9
106.9
103,8
109,8
11. Nusa Tenggara Barat
103,5
104,6
102,5
101,11
107,3
102,1
12. Kalimantan Selatan
101,1
108,1
105,7
99,76
96,33
94,22
13. Sulawesi Utara
104,5
112,5
104.1
101,8
96,86
94,60
14. Sulawesi Selatan
109,9
112,5
106,4
104,6
99,53
104.8
Sumber: Biro P ,u at Statisbk, Nilai Tukar Petani Jawa Madura dan Se uluh Pro pinsi Luar Jawa, 1980-1994 Catatan: Nilai-Tukar Petarn di Jawa men Nilai Tukar Petani di 10 propinsi di luar Tat
unakan tah n dasar 1983(=100)
menggunakan tahuNwasar 1987 (100).
2.5 Kelembagaan Kelembagaan masyarakat perdesaan mencakup dua pola hubungan. Di berbagai daerah, peran dari lembaga adat seperti banjar, ninik-mamak, dan lembaga adat lainnya masih cukup dominan terutama di daerah dengan ikatan sosial (social relation) antaranggota masyarakat masih kuat. Hubungan sosial ini menciptakan kesepakatan, aturan, dan kewajiban sosial (social obligation) yang mengikat bagi setiap anggota masyarakat di perdesaan. Sejalan dengan meluasnya kegiatan sosial ekonomi, hubungan dan kewajiban sosial seperti itu secara bertahap mengalami pergeseran. Hubungan yang semula didasarkan pada aspek sosial bergeser menjadi hubungan yang memperhitungkan aspek imbalan ekonomi (economic relation). Dalam hubungan ini, setiap pertukaran barang dan pelayanan jasa selalu dikaitkan dengan perhitungan untung dan rugi. Hubungan ekonomi antaranggota masyarakat kemudian berkembang menjadi kewajiban ekonomi (economic obligation) dengan aturan yang lebih baku dan mengikat. Setiap anggota masyarakat di perdesaan secara bertahap dituntut untuk bersikap rasional. Berbagai lembaga sosial ekonomi masyarakat di perdesaan yang ada diharapkan dapat memperlancar proses transisi dari hubungan clan kewajiban sosial menjadi hubungan clan kewajiban ekonomi. Lembaga tersebut antara lain Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), PKK, Koperasi Unit Desa, Badan Kredit Desa, clan lembaga lainnya. Dalam proses transisi tersebut, peran aparat PMD adalah memberikan pendampingan kepada masyarakat perdesaan sehingga dapat memanfaatkan lembaga sosial eknoomi yang ada untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Tabel 5 Jumlah Lembaga Perkreditan Rakyat, KUD dan Koperasi Tahun 1989 - 1995 Uraian
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1. BPR bukan badan kredit desa
65
329
594
848
1.045
1.219
1.264
(1) (2) BPR Bankbare Pasar
194
257
174
173
173
163
161
(3) BKPD
217
217
217
217
217
217
217
2. BPR badan kredit desa
3.279
3.587
3.289
3.289
3.289
3.289
3.289
(1) Bank Desa (2) Lumbung Desa
2.056
2.591
2.078
2.056
2.056
2.056
2.056
3. Lembaga Dana Kredit1.936 1.936 1.936 1.936 1.936 1.978 1.978 Perdesaan 4. Koperasi Non Koperasi Unit27.871 28.168 29.323 32.039 33.188 35.273 37.528 Desa 5. Ko asi Unit Desa 8.276 8.334 8.535 8.721 8.873 9.021 9.200 Sumber Lampiran Pidato Presiden Di Depan Sidang DPR Pelaksanaan Tahun Kedua Repelita VI, 16 Agustus 1996. Berbagai masalah yang dihadapi dalam pembangunan desa tersebut secara ringkas dapat dikategorikan sebagai berikut: pertama, rendahnya mutu sumber daya manusia; kedua, belum optimalnya lembaga pemerintahan desa dan lembaga musyawarah desa dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; ketiga, terbatas jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam menclukung usaha ekonomi desa, dan keempat, belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonorni dalam melayani kebutuhan masyarakat desa. III. STRATEGI PEMBANGUNAN PERDESAAN setiap pembangunan perdesaan paling ticlak harus memuat unsur-unsur pokok sebagai berkut. Pertama, strategi dasar sebagai acuan dalam merumuskan kebijaksanaan; kedua, kerangka rencana makro yang memuat berbagai besaran sebagai sasaran yang harus dicapai; ketiga, perkiraan sumbersumber pembiayaan; keempat, perangkat kebijaksanaan berupa program pembangunan perdesaan. 3.1 Strategi Pembangunan Perdesaan Strategi pembangunan perdesaan perlu dipahami sebagai suatu proses transformasi dalam hubungan sosial, ekonomi, budaya clan politik masyarakat desa. Pembangunan yang dipandang sebagai suatu proses transformasi pada dasarnya akan membawa perubahan dalam proses alokasi sumber-sumber ekonomi, proses distribusi manfaat, dan proses akumulasi yang membawa pada peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan.4 Perubahan yang diharapkan adalah proses yang berlangsung secara alamiah, yaitu yang menghasilkan harus menikmati. Begitu pula sebaliknya yang menikmati haruslah yang menghasilkan. Dalam proses tersebut putaran kegiatan ekonomi akan menghasilkan surplus yang menjadi sumber peningkatan kesejahteraan kemudian hasilnya akan dinikmati oleh masyarakat secara merata. Proses ini diarahkan agar setiap upaya pembangunan perdesaan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui penciptaan akumulasi modal (capital accumulation) yang bersumber dad surplus yang
dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Dengan memahami pembangunan sebagai perubahan struktur, maka mekanisme pembentukan modal yang benar merupakan kunci dad pengembangan ekonomi rakyat perdesaan yang tumbuh berkembang.s Proses pemupukan moda 'yang benar muncul dari dalam sendiri yakni dad masyarakat, oleh masyarakat, untuk dinikmati masyarakat sehingga tumbuh berkembang secara alamiah. Dengan pengertian ini setiap anggota masyarakat disyaratkan berperanserta dalam proses pembangunan, mempunyai kemampuan sama, dan bertindak rasional. Dalam strategi pembangunan seperti itu peran pemerintah yang diharapkan adalah pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Kedua, memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat perdesaan. Dalam rangka memperkuat potensi ekonomi rakyat ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar. Ketiga, melindungi masyarakat perdesaan dengan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dengan mengembangkan pola kemitraan yang saling menguntungkan. 3.2 Kerangka Makro Pembangunan Perdesaan Sasaran pembangunan desa dalam Repelita VI adalah pertama, makin mantapnya fungsi pemerintahan desa dalam pengelolaan pembangunan, yang didukung oleh struktur organisasi dan prasarana dan sarana pemerintahan desa secara memadai. Kedua, meningkatnya pendapatan desa untuk memperbesar kemampuan desa dalam menyelenggarakan rumah tangganya sendiri Ketiga, makin berfungsinya lembaga kemasyarakatan desa yang mampu menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Keempat, makin mantapnya perekonomian masyarakat desa. Kelima, tersedianya Penjelasan mengenai proses alokasi, distribusi dan akumulasi yang mengiringi proses perubahan struktur dapat dilacak dalam Hollis B. Chenery dan Moises Syrquin, Patterns of Development 1950-1970, Oxford University Press, 1975. Perubahan struktur dalam masyarakat ini berhubungan dengan kemampuan masyarakat dalam menciptakan kegiatan ekonomi bagi dirinya sendiri. Secara nasional, strategi penanggulangan kemiskinan erat berkaitan dengan penaptaan kesempatan kerja dan peluang berusaha yang memberikan pendapatan yang memadai bagi masyarakat. Lihat Mubyarto, Loekman Soetrisno, dan Gunawan Sumodiningrat, Kredit Pedesaan, Peluang Kerja, dan Peluang Berusaha, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kesempatan Kerja di Peddesaan, Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK)-UGM, USAID dan Ford Foundation, Yogyakarta, 1985. 12 prasarana clan sarana yang makin merata clan efektif pelayanannya. Keenam, makin mantapnya pola keterpaduan pembangunan di desa clan keterkaitan pengembangan kota dan desa. Ketujuh, meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, termasuk pelestarian lingkungan. Kedelapan, sebagian besar desa telah mencapai tingkat swasembada. Kesembilan, berkurangnya jumlah pencluduk miskin clan jumlah desa tertinggal.
Untuk mencapai sasaran pembangunan daerah pada umumnya clan sasaran pembangunan desa pada khususnya dalam Repelita VI, dikembangkan kebijaksanaan pembangunan desa yang meliputi: pertama, peningkatan kemampuan aparatur pemerintahan desa; kedua, penguatan kelembagaan masyarakat desa; ketiga, pengembangan kemampuan sosial ekonomi masyarakat desa; keempat, pengembangan prasarana clan sarana perdesaan, clan kelima, pemantapan keterpaduan pembangunan desa yang berwawasan lingkungan. 3.3 Pola Pembiayaan Pembangunan Perdesaan Pembiayaan pembangunan perdesaan bersumber dari pemerintah (APBN berupa bantuan pembangunan daerah (Inpres) clan bantuan pembangunan yang bersifat sektoral yang berasal dad DIP pusat. Peran bantuan pembangunan daerah (Inpres) sangat besar dalam menunjang pembangunan perdesaan. Bantuan ini merupakan salah satu stimulan bagi setiap daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan. Bantuan pembangunan daerah yang sudah diberikan selama ini meliputi: perfama, bantuan pembangunan daerah tingkat I; keclua, bantuan pembangunan daerah tingkat II; ketiga, bantuan pembangunan desa; keempat, bantuan pembangunan desa tertinggal; kelima, bantuan pembangunan SD; keenam, bantuan pembangunan sarana kesehatan, dan ketujuh, berbagai bantuan yang bersifat khusus. Bantuan yang secara langsung diarahkan bagi masyarakat desa adalah bantuan pembangunan desa (Inpres Desa). Bantuan pembangunan desa diberikan kepada setiap desa dad Rp. 100 ribu dengan total bantuan sebesar Rp. 4,6 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp. 6,5 juta dengan total bantuan sebesar Rp. 491,5 miliar pada tahun 1996/97. Bantuan Pembangunan Desa adalah milik masyarakat desa yang dikelola melalui wadah lembaga ketahanan masyarakat desalkelurahan (LKMD) dengan tujuan untuk: (1) merangsang peningkatan produksi clan pemasaran barang dan jasa masyarakat perdesaan; (2) membangun dan memelihara prasarana dan sarana pendukung perdesaaan; (3) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, baik aparat maupun masyarakat, antara lain melalui kegiatan Latihan Pembangunan Desa Terpadu; (4) memperkuat kelembagaan masyarakat mencakup penguatan LKMD, clan pengembangan lembaga dana dan perkreditan milik masyarakat desa dalam rangka mendorong pemupukan modal di perdesaan; dan (5) memperkuat mekanisme perencanaan, pengelolaan clan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan masyarakat perdesaan. Di samping itu, setiap desa yang dikategorikan tertinggal memperoleh bantuan pembangunan desa tertinggal (Inpres Desa Tertinggal). Dalam program IDT terdapat tiga komponen masukan, yaitu (1) bantuan dana sebesar Rp. 20 juta setiap tahun selama tiga tahun sebagai bantuan modal usaha, (2) prasarana perdesaan, clan (3) tenaga pendamping di lapangan. Sasaran akhir dad program pembangunan tersebut adalah masyarakat perdesaan sehingga 13 pengelolaan berbagai pola pembiayaan pembangunan perdesaan, seperti Inpres Pembangunan Desa, Inpres Desa Tertinggal (IDT), proyek DIP Sektoral, dan proyek BLN, harus terkait dan terpadu. Sehubungan dengan itu, berbagai program, proyek dan
kegiatan yang diarahkan pada pembangunan perdesaan perlu didasarkan prinsip keterkaitan dan keterpaduan baik dalam pembiayaan, pelaksanaan maupun pengendalian. Dalam kerangka keterpaduan tersebut tugas aparat PMD adalah mengelola berbagai bantuan tersebut secara tertib dan transparan dengan berpegang pada lima prinsip pokok. Pertama, mudah diterima dan didayagunakan oleh masyarakat sebagai kelompok sasaran (acceptable). Kedua, dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Ketiga, memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik masyarakat untuk mengelola kegiatan secara ekonomis (profitable). Keempat, hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri (sustanaible). Kelima, pengelolaan dana dan pelestarian hasil dapat dengan mudah digulirkan dan dikembangkan oleh masyarakat desa dalam lingkup yang lebih luas (replicable).° 3.4 Kebijaksanaan Pembangunan Perdesaan Kebijaksanaan pembangunan perdesaan secara umum dapat dipilah dalam tiga kelompok. Pertama, kebijaksanaan yang secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat desa. Kedua, kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Ketiga, kebijaksanaan khusus menjangkau masyarakat melalui upaya khusus.' Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan perdesaan melalui pengembangan kegiatan sosial ekonomi, penyediaan prasarana, pembangunan prasarana pendukung, penguatan kelembagaan, serta penyempumaan peraturan perundang-undangan yang menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Dalam kerangka kebijaksanaan ini pula termasuk penciptaan ketenteraman suasana sosial dan politik, penciptaan iklim usaha dan stabilitas ekonomi melalui pengelolaan ekonomi makro yang berhati-hati, pengendalian pertumbuhan penduduk dan pelestarian lingkungan hidup.8 Kebijaksanaan langsung diarahkan pada peningkatan akses terhadap prasarana dan sarana yang mendukung penyediaan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidkan, peningkatan produktivitas dan pendapatan, khususnya masyarakat berpendapatan rendah. Dalam hubungan ini, pendapatan yang paling tepat dalam pengembangan ekonomi rakyat adalah Lihat Ginandjar Kartasasmita, Pemberdayaan Masyarakat, bahan kuliah Program Pascasarjana Program Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung, 1995. ' Dalam makalah Upaya Menanggulangi Kemiskinan Dalam Rangka Membangun Bangsa Yang Mandirf yang disampakan pada Sidang Pleno XXXVIII Dewan Pers 30 Juli 1993 di Probolinggo, Ginandjar Kartasasmita tetah mengulas garis besar kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan. Ulasan mengenai kebijaksanaan ini dapat diikuti pada Boediono, Strategi Global Pengentasan Kemiskinan, Seri Kajian CFMS (Center for Fiscal and Monetary) No. 6 tahun 1993. 14 melalui pendekatan kelompok dalam bentuk usaha bersama dalam wadah koperasi. Upaya meningkatkan kemampuan menghasilkan nilai tambah paling tidak harus ada
perbaikan akses terhadap empat hal, yaitu: pertama, akses terhadap sumber daya; kedua, akses terhadap teknologi, yaitu suatu kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik dan lebih efisien; ketiga, akses terhadap pasar. Produk yang dihasilkan harus dapat dijual untuk mendapatkan nilai tambah. Ini berarti bahwa penyediaan sarana produksi dan peningkatan keterampilan perlu diimbangi dengan tersedianya pasar secara terusmenerus; dan keempat, akses terhadap sumber pembiayaan.9 Kebijaksanaan khusus diutamakan pada penyiapan penduduk untuk dapat melakukan kegiatan sosial ekonomi sesuai dengan budaya setempat. Upaya khusus ini pada dasarnya mendorong dan memperlancar proses transisi dad kehidupan subsisten menjadi kehidupan pasar. Penyiapan penduduk ini bersifat situasional sesuai dengan tingkat permasalahan dan kesiapan masyarakat itu sendin. Peran tokoh masyarakat termasuk aparat daerah yang paling dekat dengan masyarakat menjadi amat penting dalam proses transisi ini. Bagian dad kebijaksanaan khusus adalah peraturan perundangundangan yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap kegiatan usaha penduduk berupa jaminan kepastian usaha dan kemudahan akses, serta pembentukan lembaga yang memberi layanan kepada penduduk miskin. Kebijaksanaan ini dilaksanakan secara terpilih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 3.5 Program Pembangunan Perdesaan Kebijaksanaan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui berbagai program pembangunan sektoral, regional dan khusus. Program pembangunan perdesaan dapat dilakukan oleh aparat PMD atau aparat dari berbagai instansi terkait. 3.5.1 Program Pembangunan Sektoral Program sektoral umumnya berodentasi pada peningkatan produksi dan pembangunan prasarana dan sarana fisik yang secara langsung menunjang pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat seperti: pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Pelaksanaan program sektoral pada umumnya dikelola secara terpusat. Programprogram ini meliputi antara lain proyeklkegiatan pembangunan Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Industri dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen Tenaga Kerja, dan instansi terkait lainnya. 3.5.2 Program Pembangunan Daerah Program pembangunan daerah dituangkan melalui berbagai bantuan pembangunan daerah, baik Ulasan mengenai upaya pemberdayaan masyarakat dapat dibaca pada Ginandjar Kartasasmita, Pembangunan Menuju Bangsa Yang Maju dan Mandiri: Sebuah Tinjauan Mengenai Berbagai Paradigma, Problematika, dan Peran Birokrasi Dalarn Pembangunan, Pidato Penerimaan Penganugerahaan Gelar Doctor Honoris Causa Dalam Ilmu Administrasi Pembangunan dari Universitas Gadjah Mada, Yoyakarta, 15 April 1995; dan makalah lain yang disampaikan pada berbagai kesempatan. . 15
bantuan pembangunan Daerah Tingkat I (Inpres Dati I), bantuan Daerah Tingkat II (Inpres Dati II), bantuan pembangunan Desa (Inpres Desa). Program pembangunan daerah diarahkan pada perluasan kesempatan kerja, pengembangan potensi daerah, dan peningkatan kemampuan masyarakat clan aparat di daerah. Selain itu bantuan pembangunan yang diberikan kepada daerah merupakan pemacu untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam pengerahan sumber daya, dan meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan daerah. Bantuan pembangunan daerah (Inpres) sesungguhnya yang paling ideal untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan. Bantuan ini dikelola oleh masyarakat dengan penclampingan aparat di daerah yang mengetahui secara akurat permasalahan yang dihadapi. 3.5.3 Program Pembangunan Khusus Program pembangunan khusus diarahkan untuk menggerakkan kegiatan sosial ekonomi, meningkatkan mutu sumber daya manusia, membangun prasarana clan sarana, serta memperkuat kelembagaan penduduk, terutama di daerah-daerah tertinggal, seperti di kawasan timur Indonesia. Program pembangunan khusus ini dilakukan secara selektif sehingga dapat terarah pada kelompok sasaran. Program khusus untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di perdesaan sesungguhnya telah dilakukan melalui berbagai proyek/kegiatan, seperti Pengembangan Kawasan Terpadu, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Kecil clan Nelayan, Pengaktifan Kembali BKD, Pengembangan TPSP-KUD, Penyediaan Kredit Kelayakan Usaha, Pengembangan Hubungan Bank clan Kelompok Swadaya Masyarakat, Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera, dan berbagai program/proyek khusus lainnya. Salah satu program yang secara khusus diarahkan pada penanggulangan kemiskinan adalah Inpres Desa Tertinggal. Program ini merupakan pengembangan dan penajaman dad program penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan sebelumnya. Aparat PMD, meski secara langsung tidak ikut melaksanakan berbagai program pembangunan perdesaan tersebut, tetapi perlu menyiapkan masyarakat perdesaan sehingga dapat memanfaatkan berbagai program pembangunan tersebut. IV. LANGKAH-LANGKAH PENYEMPURNAAN Strategi pembangunan perdesaan perlu terus disempumakan dengan berpedoman pada tiga arah. Pertama, pembangunan perdesaan perlu diarahkan secara tajam pada masyarakat yang paling memerlukan. Dengan kata lain pembangunan perdesaan didasarkan pada pemihakan dan pemberdayaan kepada masyarakat yang paling tertinggal. Perhatian khusus diwujudkan dalam perluasan akses rakyat kepada sumber daya pembangunan disertai dengan penciptaan peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat di lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dengan perluasan seperti itu, peran serta masyarakat menjadi penentu keberhasilan pembangunan perdesaan. Masyarakat akan makin terbuka, makin berpendidikan dan makin tinggi kesaclarannya. Dengan demikian juga makin tanggap clan kritis terhadap segala hal yang menyangkut pelaksanaan pembangunan. Kedua, pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan, terutama dalam pengelolaan keuangan daerah. Penyempumaan ini diarahkan untuk meningkatkan daya guna clan hasil guna 16
bantuan dana, prasarana dan sarana dalam mendorong pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat. Pendekatan yang paling tepat dalam pengembangan ekonomi rakyat adalah melalui pendekatan kelompok dalam bentuk usaha bersama. Dalam kelembagaan yang didasarkan kebersamaan, maka kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan oleh kelompok penduduk diharapkan akan mendorong kemandirian dan berkembang secara berkelanjutan. Pendelegasian wewenang dalam upaya peningkatan peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan mendayagunakan mekanisme perencanaan dari bawah. Di tingkat desa melalui wadah kelompok masyarakat desa yang terhimpun dalam musyawarah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), mekanisme perencanaan di tingkat kecamatan melalui diskusi Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP), tingkat kabupaten melalui Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat II (Rakorbang Dati II), tingkat propinsi melalui Rapat Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I (Rakorbang Dati !). Koordinasi antarpropinsi melalui Rapat Konsultasi Regional Pembangunan (Konreg) dan Rapat Konsultasi Nasional Pembangunan (Konasbang) di pusat. Ketiga, modemisasi kehidupan masyarakat perdesaan dengan mendorong perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat secara bertahap. Dalam kerangka perubahan struktural seperti itu berbagai bantuan dana, prasarana dan sarana yang dialokasikan kepada masyarakat melalui berbagai program pembangunan perlu ditempatkan sebagai suatu inieksi atau stimulan untuk memacu percepatan kegiatan sosial ekonomi masyarakat desa. Peran dari bantuan dana, prasarana dan sarana adalah menggantikan tabungan yang semestinya dihimpun dari kemampuan masyarakat di daerah. Proses ini diarahkan agar bantuan dana, prasarana dan sarana yang diberikan kepada masyarakat desa dapat meningkatkan kapasitas masyarakat (capacity building) melalui pemupukan modal yang bersumber dari surplus yang dihasilkan dan pada gilirannya dapat menciptakan pendapatan yang dinikmati oleh rakyat. Proses transformasi harus digerakkan oleh masyarakat sendiri. Pengertian mekanisme pembentukan modal meskipun dengan bahasa yang sangat sederhana pun perlu ditanamkan sejak dini masyarakat sebagai pelaku pembangunan. Dengan pemahaman terhadap arah baru pembangunan tersebut diharapkan pembangunan perdesaan daerah akan mendorong pembangunan yang muncul dari rakyat, dilaksanakan oleh rakyat dan hasilnya untuk rakyat. Dengan berpedoman pada strategi itu, beberapa langkah-langkah penyempumaan telah dilakukan oleh Biro Pembangunan Daerah Tingkat II dan Perdesaan untuk mempercepat pembangunan perdesaan. (1) Dari segi perencanaan, langkah-langkah yang dilakukan antara lain: (i) bantuan pembangunan daerah melalui program Inpres akan lebih dipadukan dengan kebijaksanaan investasi dan pembangunan daerah secara keseluruhan; (ii) bantuan pembangunan yang semula masih diarahkan oleh Pemerintah pusat secara bertahap dialihkan menjadi bantuan pembangunan yang dikelola langsung oleh daerah, terutama daerah tingkat II. Beberapa komponen bantuan Inpres yang sebelumnya masih bersifat specific grant dialihkan menjadi block grant. Hal ini berarti pemberian kesempatan yang luas bagi aparat dan masyarakat di daerah untuk mengelola bantuan dan melakukan kegiatan produktif sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan pendapatan asli daerah yang lebih besar.
(2) Dari segi penyaluran bantuan, langkah penyempurnaan yang dilakukan adalah mempercepat 17 pengesahan dokumen perencanaan. Petunjuk pelaksanaan yang berkaitan dengan penyaluran bantuan dilakukan sekali dan berlaku untuk seluruh jenjang. SPABP (Surat Pengesahan Anggaran Belanja Pembangunan daerah) diharapkan dapat berlaku pula sebagai alokasi bantuan ke daerah sehingga daerah tidak perlu lagi menerbitkan petunjuk alokasi bantuan clan dapat mempersiapkan masyarakat secara lebih awal. Bantuan pembangunan desa (Inpres Desa) clan Inpres Desa Tertinggal perlu dipandang sebagai satu bantuan yang saling terkait. (3) Dan segi pencairan, setiap bantuan pembangunan harus dapat dicairkan mulai bulan April pada setiap tahun anggaran. Dengan ketentuan tersebut, berbagai dokumen yang merujuk pada pencairan diupayakan untuk disederhanakan dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Aparat PMD diharapkan dapat membantu masyarakat untuk melengkapi berbagai persyaratan pencairan bantuan, bukan mempersulit masyarakat dalam mencairkan bantuan. Dengan langkah penyempurnaan tersebut, program pembangunan dapat dilaksanakan secara optimal. (4) Dad segi pengelolaan, berbagai program pembangunan perdesaan perlu dikelola secara terpadu dengan meningkatkan koordinasi antarinstansi. Kita sadari bahwa masalah yang dihadapi oleh masyarakat perdesaan tidak dapat dipecahkan seluruhnya oleh aparat PMD. Dalam hal ini aparat PMD diharapkan dapat bekerjasama dengan aparat instansi lain di daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan swasta. (5) Dad segi pelaporan, semua pengeluaran negara harus dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini pengelolaan bantuan pembangunan desa harus dapat dilaporkan, meskipun ringkas clan sederhana. Pelaporan yang disusun tidak hanya mencakup realisasi keuangan, tetapi juga hasil pelaksanaan dan evaluasi dampak terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat perdesaan. Sesuai dengan arahan GBHN 1993, pelaksanaan pembangunan, termasuk pengelolaan bantuan pembangunan desa, secara bertahap dialihkan dad aparat kepada masyarakat. Dalam proses perbahan tersebut, peran aparat akan bergeser dad mengendalikan secara penuh menjadi mengarahkan, clan dad pelaksana menjadi pembina. Ma sadari bahwa persepsi aparat masih beragam sehingga perlu pembinaan kepada aparat. Dan yang paling utama adalah pemberdayaan masyarakat dalam wadah LKMD. V.
PERAN APARAT PMD
Tantangan yang dihadapi oleh aparat PMD adalah melakukan perbaikan dan penyesuaian dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan disertai dengan perilaku yang bersifat melayani, mengayomi, meneladani dan mendorong prakarsa clan peran serta aktif masyarakat. Aparat PMD dituntut untuk semakin terbuka, luwes, dan tanggap terhadap perubahan clan kepentingan masyarakat dan berorientasi pada kebijaksanaan untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan dalam pelayanan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat perdesaan, peran aparat PMD adalah turut serta secara aktif memberikan sumbangan pemikiran untuk perumusan kebijaksanaan pembangunan
dengan mengaamkan etika pembangunan yang benar. Peran ini bertalian erat dengan mempertajam arah dan menambah bobot mutu dad setiap kebijaksanaan pembangunan. Peran aparat PMD tersebut dapat 18 ditinjau dari tiga tataran. Pertama, dalam setiap perumusan kebijakan pengambil keputusan selalu mendasarkan did pada nilai-nilai dasar yang telah disepakati bersama. Tantangan yang harus dihadapi adalah mengubah persepsi tentang pembangunan. Aparat PMD diharapkan berperan dalam menanamkan pengertian tentang nilai-nilai dasar yang terkait langsung dengan moral pembangunan. Dalam pengerian ini para aparat PMD diharapkan dapat mempertajam pemahaman tentang proses pembangunan yang diciptakan dad setiap anggota masyarakat, oleh setiap anggota masyarakat dan untuk setiap anggota masyarakat. Itu berarti pula kepedulian terhadap masalah sosial ekonomi merupakan kecenderungan yang perlu terus dikembangkan di kalangan aparat PMD. Kepedulian itu diwujudkan dengan bersikap proaktif dan berpikir secara positif dalam upaya pemberdayaan masyarakat perdesaan. Kedua, setiap kebijaksanaan pembangunan dalam dirinya senantiasa terkandung sifat dapat diukur (accountability) dan dapat dipertanggung jawabkan (responsibility). Peran aparat PMD adalah mengembangkan mekanisme pengawasan secara mandid (selfcontrol) terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan. Sebagian besar dad aparat secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan. Oleh sebab itu, aparat diharapkan dapat mengembangkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean government). Ketiga, dampak sosial dad suatu kebijakan merupakan medan yang luas bagi kajian kritis. Kajian itu sendiri merupakan salah satu sumber untuk menyempumakan kebijaksanaan pembangunan. Aparat PMD diharapkan dapat membantu menyebarkan informasi tentang kebijaksanaan pembangunan kepada masyarakat agar setiap anggota masyarakat mempunyai kesiapan dan kemampuan yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Dengan memperhatikan aspek pelayanan masyarakat tersebut, bentuk pelayanan yang diharapkan dari aparat PMD-mencakup: pertama, pengembangan jaringan komunikasi antadembagalinstansi pemerintah terkait baik di tingkat pusat maupun daerah sebagai sarana bagi perumusan kebijaksanaan pembangunan. secara terbuka. Dengan adanya jalinan komunikasi tersebut, maka berbagai kebijaksanaan pembangunan dapat disusun atas dasar koordinasi dan tumpang tindih kebijaksanaan dapat dihindarkan. Kedua, pendelegasian wewenang dalam pengambilan keputusan, terutama dalam pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan Inpres Pembangunan Desa harus terkait dan terpadu dengan pengelolaan Inpres Desa Tertinggal (IDT), pengelolaan proyek DIP Sektoral, dan proyek BLN. Keterpaduan ini dilakukan mengingat sasaran akhir dari pemberian bantuan adalah masyarakat perdesaan. Peran aparat PMD adalah ikut mendorong pengelolaan berbagai bantuan pembangunan daerah sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat perdesaan. Sehubungan dengan itu, berbagai program, proyek dan kegiatan yang disusun dan dilaksanakan oleh para Direktur di lingkungan
Direktorat PMD harus didasarkan prinsip keterkaitan dan keterpaduan baik dalam pembiayaan, pelaksanaan maupun pengendalian. Peran yang diharapkan dari para Direktur adalah mendorong kebersamaan dan kerjasama yang saling memperkuat. Ketiga, penyebaran informasi kepada masyarakat tentang proses perumusan kebijaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Penyebaran informasi ini dilakukan baik sebelum penyusunan kebijaksanaan pembangunan untuk memperoleh masukan dad masyarakat . 19 maupun setelah pelaksanaan untuk memperoleh tanggapan dari masyarakat. Dengan memberikan informasi kepada masyarakat secara terbuka, maka masyarakat diharapkan akan mendukung pelaksanaan dan ikut bertanggung jawab terhadap pemeliharaan clan pelestarian hasil pembangunan. Keempat, aparat PMD harus aktif untuk melakukan dialog dengan para aparat instansi teknis terkiat dan para akademisi tentang permasalahan pembangunan. Dengan dialog seperti ini, maka aparat PMD secara langsung dapat memahami permasalahan yang sebenamya tentang pembangunan sehingga ikut menyumbangkan pemikiran dalam rangka penyempumaan kebijaksanaan pembangunan perdesaan. Kelima, peningkatan koordinasi dengan Bappecla Tingkat II dan Tingkat I serta instansi terkait lainnya sehingga pengelolaan program pembangunan perdesaan mendapat dukungan clari program dan proyek pembangunan daerah lainnya. Dengan clukungan program dan proyek terkait, maka program pembangunan desa dapat lebih optimal dalam meningkatkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Keenam, aparat PMD diharapkan dapat merintis pengembangan lembaga sosial ekonomi perdesaan dengan pola kemitraan. Pola kemitraan ini akan lebih sesuai dengan penclekatan kelompok yang dikembangkan dalam pembangunan masyarakat perdesaan. Dengan pola kemitraan, masyarakat perdesaan secara kelompok akan lebih diuntungkan karena dapat memperoleh pelayanan di bidang produksi, permodalan dan pemasaran secara berkelanjutan. Secara individual, masyarakat perdesaan akan dapat melakukan pemupukan modal untuk menjamin kelangsungan usahha. Dengan demikian pembangunan kapasitas masyarakat melalui pengembangan ekonomi yang berkelanjutan akan lebih cepat terwujud. VI. PENUTUP Upaya pembangunan perdesaan telah dilakukan melalui berbagai program pembangunan yang dikelola oleh departemen dan instansi secara terpusat maupun di daerah, dan secara mikro oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi dan pihak yang peduli terhadap pembangunan perdesaan. Komponen inti dad setiap upaya pembangunan perdesaan adalah pertama, bantuan dana; kedua, pendidikan dan latihan; ketiga, pembangunan prasarana pendukung; keempaf, penyediaan sarana; clan kelima, pengembangan kelembagaan, baik pembentukan lembaga maupun penerbitan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini yang diperlukan adalah penajaman program dan kegiatan sehingga hasilnya lebih optimal dan dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat perdesaan.
Dalam perencanaan pembangunan, upaya pembangunan perdesaan perlu clikaitkan dengan peningkatan kapasitas masyarakat sebagai dasar pemupukan modal. Peningkatan kapasitas masyarakat dapat dilakukan melalui pemberian bantuan dana sebagai modal usaha, pelatihan yang tepat, penerapan teknologi-tepat guna, pembangunan prasarana pendukung, penyediaan sarana penunjang, clan penguatan kelembagaan sebagai wadah usaha masyarakat. Dalam kerangka pemupukan modal itu, berbagai bantuan baik yang diberikan oleh pemerintah maupun masyarakat yang sudah maju, perlu ditempatkan sebagai pemacu proses perubahan dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat menuju pada suatu kehidupan yang lebih maju. 20 Dalam proses perubahan itu diperlukan suatu kepedulian clan kebersamaan semua pihak. Aparat PMD sebagai aparat yang langsung berhubungan dengan penyiapan masyarakat perdesaanperlu terus memupuk kepedulian clan kebersamaan. Peran aparat PMD yang diharapkan adalah menyiapkan clan menciptakan peluang dan kesempatan usaha yang lebih besar bagi masyarakat miskin di perdesaan. Oleh sebab itu, aparat PMD dituntut untuk bersikap proaktif clan postif dalam mengembangkan pembangunan berwawasan pada pemihakan clan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan pemihakan clan pemberdayaan masyarakat sangat efektif untuk menjembatani upaya yang dilakukan melalui berbagai program pembangunan. Melalui model pemberdayaan ini dapat dilakukan penyiapan masyarakat sebagai bagian dad proses transisi yang umumnya ticlak dicakup dalam program pembangunan. Dengan peran tersbeut, aparat PMD akan membantu menempatkan arah pembangunan pada proporsi sebenamya. Dengan demikian, penyelenggaraan orietnasi ini dapat dipandang sebagai upaya pgembangan kemampuan aparat PMD untuk mewujudkan aparat pembangunan yang berbudi luhur, tangguh, cerdas dan terampil, mandiri dan memiliki rasa kesetiakawanan, bekerja keras, produktif, kreatif clan inisiatif, berdisiplin serta berorientasi ke masa depan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.* Malang, 20 Januari 1997 21