HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN AKTIVITAS BERMAIN DENGAN POTENSI ATLIT ANAK KELUARGA WANITA PEMETIK TEH DI KEBUN MALABAR DAN PURBASARI PTPN VIII BANDUNG
FAHMI ABDUL HAMID
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis” Hubungan antara Status Gizi dan Aktivitas Bermain Dengan Potensi Atlit Anak Keluarga Wanita Pemetik Teh di Kebun Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung ” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, 2008
Fahmi Abdul Hamid NIM : I051060061
ABSTRACT FAHMI ABDUL HAMID. The Relationship of Nutritional Status and Playing Activities to Athletic Potency among the Children of the Women Tea-Pickers’ at the Tea Plantation of Malabar and Purbasari, PTPN VIII Bandung. Under the Supervision of FAISAL ANWAR, and EUIS SUNARTI. The human body obtains nutrients for an optimum level of physical growth, brain development, working capacity and health. The objective of the study was to examine the effect of food consumption, health status, haemoglobin (Hb) status in the blood, nutritional status (BW/BH), and playing activities on the athletic potency among the children of 48-72 months old in the Tea Plantation of Malabar and Purbasari PTPN VIII. The design of the study is of a cross-sectional type. The sampling was carried out through a census method. The data used in the study was the part of the data collected by the NHF Project entitled ‘Profile or Description of Women Tea Pickers, Socio-economics, Family Security, Food Consumption, Growth and Development of Children.’ The data processing and analysis was through the computer programs; namely, Office Exel 2003, SPSS version 13 and Nutrisurvey WHO 2005. The food consumption was measured with the method of 24-hour recall for two days. The health status was determined by examining the frequency of diarrheas and upper respiratory infections (ISPA). The blood haemoglobin (Hb) was measured by the sahli method. The measurement of nutritional status (BW/BH) used a microtoise with the accuracy level of 0.1 cm and the digital weighing scale of Camry EB 710 Tanita with the accuracy level of 0.1 kg. The athletic potency tested involved cardiovascular endurance, speed, muscle endurance and strength after being modified. The results of analysis showed that there was a significant correlation between energy consumption and athletic potency (p<0.05), but no significant relationship between protein consumption and athletic potency. There was a significant correlation between health status and athletic potency (p<0.01), but no significant correlation between the nutritional status (BW/BH) and athletic potency (p<0.05). There was a significant correlation of the status of blood haemoglobin (Hb) and playing activities to the athletic potency (p<0.05). Keywords: nutrition, hemoglobin (HB), playing activities, athletics
RINGKASAN FAHMI ABDUL HAMID. Hubungan antara Status Gizi dan Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit Anak Keluarga Wanita Pemetik Teh di Kebun Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung. Dibimbing oleh: FAISAL ANWAR, dan EUIS SUNARTI. Mencapai prestasi olahraga merupakan hal yang bersifat multikausal, oleh karena banyak faktor mempengaruhinya. Secara umum potensi atlit dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi fisik, mental dan bakat. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan alam dan peralatan. Faktor internal bergantung potensi bawaan dan fisik sejak kecil yang berhubungan langsung dengan gizi. Hal tersebut terjadi jika tubuh memeperoleh cukup zat gizi untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan yang optimal. Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan antara konsumsi pangan, status kesehatan, status haemoglobin (Hb), status gizi (BB/TB), aktivitas bermain dengan potensi atlit usia 48-72 bulan di kebun teh Malabar dan Purbasari PTPN VIII. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional. Cara pengambilan contoh dengan metode sensus. Jenis data dalam penelitian adalah data primer dan sekunder. Data primer meliputi potensi atlit, konsumsi pangan, status kesehatan, status gizi, status haemoglobin (Hb) dan aktivitas bermain. Data sekunder meliputi profil desa, karakteristik keluarga dan contoh diperoleh dari data proyek NHF 2008, dengan judul penelitian” Keragaan Pemetik Teh Wanita, Sosial Ekonomi, Ketahanan Keluarga, Konsumsi Pangan, Pertumbuhan dan Perkembangan Anak”(Sunarti 2008). Pengukuran konsumsi pangan (energi, protein, vitamin A dan Besi) dengan metode recall 24 jam selama 2 hari yang dikonversikan ke dalam nilai gizi dengan DKBM. Pengukuran status kesehatan (frekuensi sakit diare dan ISPA) dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Pengukuran status haemoglobin (Hb) dengan metode sahli. Pengukuran status gizi (BB/TB) menggunakan microtoise tingkat ketelitian 0,1 cm dan timbangan digital Camry EB 710 merek Tanita tingkat ketelitian 0,1 kg. Pengukuran potensi atlit dengan pengujian kecepatan, ketahanan otot tanggan, kekuatan otot dan ketahanan kardiovaskuler. Pengolahan dan analisis data dari hasil pengukuran menggunakan komputer program office excel 2003, SPSS versi 13 dan nutrisurvey WHO 2005. Karakteristik keluarga contoh menunjukan prosentase terbesar ibu (37.25%) berusia antara 29 sampai 37 tahun dan prosentase terbesar bapak (47.05%) berusia antara 38 sampai 64 tahun; prosentase terbesar ibu (56.9%) dan prosentase terbesar bapak (62.74%) berpendidikan antara 6 sampai 8 tahun; dan sebagian besar suami (82%) bekerja sebagai buruh tani 82.35%. Prosentase terbesar keluarga (50.98%) berukuran sedang (anggota keluarga 5-7 jiwa), sisanya (49.1%) memiliki keluarga ukuran kecil (≤ 4 jiwa). Prosentase terbesar contoh (54.90%) berpendapatan total/bulan berkisar antara Rp.200.000 sampai Rp.699.999. Hasil pengukuran potensi atlit menunjukkan jumlah yang setara antara contoh yang memiliki potensi atlit dengan kategori sedang dan kategori kurang (masing-masing 41.17% dan 49.01%). Prosentase terbesar contoh (45%) memiliki aktivitas bermain dengan kategori baik. Masih terdapat 25.5 % contoh yang sering mengalami sakit diare dan 45.09% mengalami frekuensi sakit ISPA 1 sampai 2 kali per bulan. Tingkat
konsumsi energi rata rata adalah 76.78 %, tingkat konsumsi rata-rata protein 51.80%, tingkat konsumsi rata-rata Vitamin A adalah 39.55% %, sedangkan tingkat konsumsi rata-rata zat besi adalah 61.63%. Sebagian besar contoh (96%) memiliki status gizi (BB/TB) normal, namun terdapat 62.74% contoh mengalami anemia. Hasil analisis menunjukan terdapat hubungan nyata (p<0,05%) antara konsumsi energi, antara status haemoglobin (Hb), dan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit; serta hubungan sangat nyata (p<0.01) antara status kesehatan dengan potensi atlit. Kata kunci : gizi, haemoglobin (Hb), aktivitas bermain, atlit.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN AKTIVITAS BERMAIN DENGAN POTENSI ATLIT ANAK KELUARGA WANITA PEMETIK TEH DI MALABAR DAN PURBASARI PTPN VIII BANDUNG
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S.
PRAKATA Puji syukur penulis sampaikan Kehadirat Allah Subhanahu Wata’alah, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Judul penelitian ini adalah Hubungan antara Status Gizi dan Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit Anak Keluarga Wanita Pemetik Teh di Kebun Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung. Dasar pengambilan judul penelitian adalah prestasi olahranga menunjukan penurunan yang sangat signifikan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Penelitian ini sebagai satu strategi pencarian calon atlit perpotensi di daerah memiliki letak geografis yang kondusif melahirkan calon atlit seperti Malabar dan Purbasari PTPN VIII, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Selama mempersiapkan dan melakukan penelitian sampai akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini, saya mendapat banyak bimbingan dari pembimbing saya, Bapak Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, M.S. (ketua komisi) dan Ibu Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. (anggota). Kebijaksanaan, kesabaran dan ketelatenan bapak/ibu pembimbing sangat berguna serta dapat memberikan pelajaran yang berharga. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, M.S. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan, saran dan koreksi demi penyempurnaan penulisan tesis ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan secara langsung dan tidak langsung dalam penyelesaian tesis ini diantaranya yaitu: 1. H. Abas Ismail, Hamid Tjaba, Nur Maksut, Ati H. Rivai adalah bapak dan ibu saya yang penuh perhatian dan kasih sayang serta doa-doanya yang tulus. Kasih sayangmu tidak mampu dibalas akan selalu tertanam di dalam hati sampai kapan pun. 2. Sri Sultan Ternate Bapak Drs. H. Mudaffar Sjah, SmHk, yang telah memberikan dorongan kepada saya dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia di Moloku Kie Raha. 3. Bapak Drs. H. Sidik D. Sikona, M.Pd, selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Kie Raha Ternate beserta
civitas akademik yang telah memberikan dorongan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini. 4. Kepala administrasi kebun teh Malabar dan Purbasari yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian, penyediaan fasilitias dan pelayanan sejak kami berada di lokasi penelitian. 5. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua, Pengajar, dan Pegawai Administrasi Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga IPB, yang telah memberi perhatian, mengajar, dan memberikan pelayanan administrasi dan akademik kepada saya selama kuliah di IPB. 6. Bapak H. Rivai Ismail, Ade Bangkola, Udin H. Rivai, SH, Husen H. Rivai, Arif H. Rivai, Hamid Maksut, Amir Maksut, Ridwan Muhammad, Ibu Halima Maksut, Wudyningsih Abaiyo, SKM, beserta sumai dan istrinya yang telah membantu meringankan beban biaya pendidikan saya. 7. Kepada kakak dan adik-adik ku tercinta, Fadli Abas beserta istrinya, Liza Ramadani dan Fahri Kurnia Hamid, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pendidikan. 8. Teman-teman di Wisma Edelweis: Bapak Mardin SP, Laode Samsul, SE, Ahmad Mansur, SP, Sanihu, SP, yang telah memberikan masukan lewat diskusi sehingga penulisan tesis ini dapat terwujud. 9. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Maluku Utara, yang telah memberikan dorongan dan masukan. 10. Teman-teman di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga: Ibu Nur Rahmi Amma, S.KM, Cica Yulia, S.Pd, Ibu Sri Darningsih, S.Pd, Merynda Indriyani Syafutri, S.TP, Febrina Sulistyawati, S.TP, Rusman Efendi, S.KM, Guspri Devi Artanti, S.Pd, Sri Catur lestari, SP, Nunung Cipta Dainy, S.P, Nur Riska Tadjoedin, S.Pd, Mba Wiwik Widyawati, Nita Yulianis, S.P, Arfiati, S.P, dan teman-teman lain yang tidak bisa sebutkan satu persatu.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah mewarnai hidup saya. Mudah-mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2008
Fahmi Abdul Hamid I051060061
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 20 Pebruari 1983, dari pasangan Bapak Hi. Abas Ismain dan ibu Nur Maksut. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis memasuki Sekolah Dasar Negeri Loto Tahun 1989 dan lulus pada Tahun 1995. Penulis melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Ternate dan lulus pada Tahun 1998. Penulis melanjutkan studi di Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Kota Ternate dan lulus pada Tahun 2001. Penulis melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Masyarakat (STIK) Tamalatea Makassar, Jurusan Adminstrasi Kebijakan Kesehatan dan lulus pada Tahun 2005, dengan gelar Sarjana Kesehatan masyarakat (SKM). Penulis melanjutkan studi Program Magister Sains (S2) pada Tahun 2006 di Program Studi Pengelolaan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvii PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... Rumusan Masalah ...................................................................................... Hipotesis Penelitian.................................................................................... Tujuan ........................................................................................................ Manfaat Penelitian .....................................................................................
1 3 4 4 5
TINJAUAN PUSTAKA Potensi atlit................................................................................................. Konsumsi Pangan....................................................................................... Diare........................................................................................................... Infeksi ISPA ............................................................................................... Status Gizi .................................................................................................. Status Anemia ............................................................................................ Aktivitas Bermain ...................................................................................... Karakteristik keluarga ................................................................................
6 12 13 15 16 19 21 22
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 24 METODE PENELITIAN Desain Penelitan......................................................................................... Tempat dan Waktu ..................................................................................... Populasi dan Contoh .................................................................................. Jenis dan Cara Pengumpulan Data............................................................. Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... Definisi Operasional ..................................................................................
26 26 26 27 28 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadan Umum Lokasi Penelitian .............................................................. Fasilitas Sosial dan Kesehatan ................................................................... Karakteristik Keluarga Contoh .................................................................. Potensi Atlit Contoh................................................................................... Aktivitas Bermain Contoh.......................................................................... Status Kesehatan Contoh ........................................................................... Konsumsi Pangan contoh........................................................................... Status Haemoglobin (Hb) Contoh............................................................. Status Gizi Contoh ..................................................................................... Hubungan Konsumsi Pangan dengan Potensi Atlit ................................... Hubungan Status Kesehatan dengan Potensi Atlit Contoh. .............. Hubungan Status Gizi (BB/TB) dengan Potensi Atlit Contoh.................. Hubungan Status Haemoglobin (Hb) dengan Potensi Atlit Contoh...........
33 34 36 42 51 54 56 59 60 64 66 69 70
xi
Hubungan Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit contoh ....................... 72 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................... 75 Saran .......................................................................................................... 76 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 77 LAMPIRAN..................................................................................................... 82
xii
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1 Standar pengukuran ketahan kadiovaskuler................................................. 9 2 Standar pengukuran kecepatan gerakan tubuh............................................. 9 3 Standar pengukuran ketahan otot lengan dan bahu...................................... 9 4 Standar pengukuran ketahan dan kekuatan otot perut.................................. 10 5 Standar pengukuran tenaga eksplosif ........................................................... 10 6 Kadar hemoglobin (Hb) dan hematokrit untuk batas anemia pada populasi................................................................................................ 20 7 Jenis, cara dan alat pengumpulan data ......................................................... 28 8 Satus kesehatan anak satu bulan terakhir . ................................................... 29 9 Status gizi contoh berdasarkan BB/TB. ....................................................... 29 10 Aktivitas bermain contoh ........................................................................... 30 11 Ukuran standar dan modifikasi dalam pengukuran potensi atlit contoh ... 31 12 Standar penilaian potensi atlit .................................................................... 31 13 Sebaran fasilitas pendidikan di Desa Banjarsari dan Wanasuka................. 34 14 Sebaran fasilitas kesehatan di Desa Banjarsari dan Wanasuka................... 35 15 Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh. ................................ 36 16 Sebaran ibu dan bapak berdasarkan umur............................................... 37 17 Ibu dan bapak berdasarkan tingka pendidikan ..................................... 37 18 Sebaran ibu dan bapak berdasarkan lama mengikuti pendidikan formal. ......................................................................................................... 38 19 Sebaran bapak berdasarkan jenis pekerjaan................................................ 38 20 Sebaran anggota keluarga berdasarkan jumlah ........................................ 39 21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar pendapatan total keluarg/bulan ............................................................................................. 40
xiii
22 Sebaran keluarga contoh berdasarkan pendapatan total /kapita/bulan ..... 40 23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategorik miskin dan tidak miskin........................................................................................................ 41 24 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin ............................... 42 25 Sebaran contoh berdasarkan pengujian lari cepat 100 meter .................... 42 26 Sebaran contoh berdasarkan pengujian gantung siku tekuk ..................... 44 27 Sebaran contoh berdasarkan pengujian sit-up .......................................... 45 28 Sebaran contoh berdasarkan pengujian lompat tegak ............................... 46 29 Sebaran contoh berdasarkan tes lari 300 meter......................................... 47 30 Sebaran contoh berdasarkan lima ukuran dan potensi atlit........................ 49 31 Sebaran contoh berdasarkan potensi atlit dan jenis kelamin....................... 51 32 Sebaran contoh berdasarkan jenis permainan tradisional .......................... 52 33 Sebaran contoh berdasarkan akitivitas bermain ....................................... 54 34 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas bermain dan jenis kelamin............. 54 35 sebaran contoh berdasarkan frekuensi diare dan ISPA ........................... 55 36 Sebaran tempat pengobatan bila sakit ........................................................ 56 37 Sebaran contoh berdasarkan konsumsi zat gizi rata-rata dan rasio kecukupan................................................................................... 56 38 Sebaran contoh berdasarkan status haemoglobin(Hb) ............................... 59 39 Sebaran contoh berdasarkan hemoglobin (Hb) dan jenis kelamin............. 60 40 sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/U ........................................... 61 41 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) dan jenis kelamin. ........... 61 42 sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U ........................................... 62 43 Sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U dan jenis kelamin ............ 62 44 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB ......................................... 63
xiv
45 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB dan jenis kelamin............ 63 46 Hubungan konsumsi pangan dengan potensi atlit contoh 48-72 ............ 64 47 Hubungan status kesehatan, status gizi, aktivitas bermain dengan potensi atlit contoh 48-72 di kebun teh Malabar dan Purbasari............... 66
xv
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1 Gambar kerangka kosep penelitian ............................................................... 25 2 Gambar kerangka tehnik pengambilan contoh.............................................. 27
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1 Hasil pengukuran potensi atlit contoh........................................................... 82 2 Konsumsi rata-rata zat gizi dan rasio kecukupan contoh ............................ 83 3 Status biokimia (HB) dan status gizi (BB/TB) ............................................ 84 4 Hasil analisis hubungan korelasi (bivariate)................................................. 85 5 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dengan lima pengujian potensi atlit mengunakan analisis cross-tab .............................................................. 86 6 Hasil analisis antara frekuensi diare dan ispa, status gizi, status biokimia, aktivitas bermain dan potensi atlit anak 48-72 bulan menggunakan cross-tab. ............................................................................... 87 7 Sebaran hasil pengukuran gabungan potensi atlit kategori baik ................... 88
xvii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Tertinggalnya prestasi olahraga nasional dengan negara-negara Asia lainnya merupakan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Percepatan (acceleration) prestasi olahraga kita lebih lambat, dibandingkan Cina, Jepang, Korea, Thailand bahkan Vietnam. Catatan prestasi Indonesia secara mengesankan hanya terjadi pada Asian Games ke-IV Tahun 1962 di Jakarta. Ketika itu, Indonesia berada di peringkat raner up, satu peringkat dibawa Jepang dengan perolehan 11 medali emas. Setelah itu perlahan peringkat kian menurun sampai saat ini. Prestasi Indonesia di kejuaraan SEA Games Filipina Tahun 2005, Indonesia berada di peringkat 5 dari 11 negara dan SEA Games 2007 di Thailand, Indonesia berada di peringkat 4 dari 12 negara. Gambaran ini menunjukan prestasi semakin menurun di seluruh cabang olahraga. Untuk mengembalikan prestasi yang hilang tersebut, dilakukan secara menyeluruh, oleh karena faktor yang berpengaruh terhadap prestasi olahraga bersifat multikausal sala satunya adalah faktor gizi. Mencapai
prestasi olahraga harus dilakukan secara multidimensi, oleh
karena prestasi dipengaruhi banyak faktor. Tangkudung (2007) mengemukakan faktor yang mempengaruhi potensi atlit terdiri dari dua faktor. Faktor internal meliputi fisik, mental dan bakat. Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan alam dan peralatan. Faktor internal sesungguhnya bersumber dari kualitas calon atlit itu sendiri, dimana calon atlit berkualitas memiliki potensi bawaan dan fisik sejak kecil sesuai tuntutan cabang olahraga yang menunjang mencapai prestasi misalnya bola basket, voli, atletik yang mengutamakan ukuran antropometri. Dasar mencapai prestasi olahraga yang harus dimiliki seseorang calon atlit berkualitas yaitu ukuran antropometri dan kerja fisik maksimal yang berhubungan dengan kesegaran jasmani. Hasil penelitan Kartini et al (1998) tentang kesegaran jasmani anak SD usia 8-9 tahun di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, memiliki tingkat kesegaran jasmani rendah kategori kurang sampai sangat kurang adalah 34.7% dan gizi kurang 26.10%. Hasil penelitian tersebut dapat
2
diasumsikan, sebagian besar anak-anak memiliki potensi kesegaran jasmani dan status gizi indeks BB/TB baik. Tubuh memperoleh cukup zat gizi digunakan secara efisien untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan yang optimal
(Almatsier
2005).
Gerakan
jasmani
manusia
juga
tergantung
tersediaannya zat gizi, oleh karena bentuk kerja fisik yang dilakukan sehari-hari pada dasarnya adalah perubahan (tranformasi) tenaga kimia yang mungkin terjadi, bila faktor pendukung tersedia secara memadai (Depkes 1993). Almatsier (2005) mengemukakan, makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makan tidak dipilih dengan baik sehingga tidak memadai jumlah dan mutunya, maka tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu yang berdampak terhadap kesehatan. Pendekatan konsep Unicef Tahun 1998 dikutip dalam (WKNPG VIII 2004), faktor penyebab langsung yang berpengaruh terhadap status gizi disebabkan oleh pengaruh asupan gizi dan penyakit infeksi yang dialami anak. Meskipun anak memperoleh asupan gizi yang baik namun sering mengalami diare dan ISPA, akan mengalami kekurangan gizi. Penyakit infeksi pada anak, memiliki hubungan postif dengan status gizi, yang berarti jika status gizi baik maka, peluang terkena penyakit infeksi akan semakin rendah (Masithah et al 2005). Kurang gizi yang tinggi, dapat menyebabkan kondisi kehidupan tidak sehat, status kesehatan memburuk akan meningkatkan angka kematian bayi maupun anak prasekolah, terhambatnya pertumbuhan fisik dan penyakit infeksi ( Izzaity 2005). Bedasarkan data Ditjen PPM&PL 2004, terdapat kasus ISPA pada balita diseluruh Indonesia sebesar 626.611 kasus yang merupakan penyebab utama kematian balita. Sedangkan penyakit diare berada pada urutan ke dua dengan jumlah kasus diare 596.050 tahun 2004. Data tersebut menunjukan kasus diare mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun penurunan tersebut tidak dapat kita sebutkan insiden diare menurun, tetapi cakupan laporan pada tahun 2004 juga menurun (Profil Depkes. RI 2004). Tuntutan hidup makin berat akibat desakan faktor ekonomi akan mempengaruhi akses bahan pangan dan biaya kesehatan yang berdampak terhadap
3
masalah gizi anak. Masalah gizi yang ditimbulkan mengancam generasi penerus bangsa secara fisik, mental maupun spiritual. Ancaman ini akan melahirkan generasi Indonesia yang tidak berkualitas dari segi sumberdaya manusia. Sedangkan setiap anak memiliki keistimewaan dan potensi yang berbeda-beda pada setiap individu yang menjadi dasar bagi masa depannya. Keistimewaan yang dimiliki secara alamiah sejak lahir dan didukung oleh lingkungan. Terjadi kecenderungan, anak yang berada di daerah ketinggian mempunyai daya tahan tubuh baik dibandingkan anak di dataran rendah. Sistem fisiologis yang menyebabkan tubuh beradaptasi dengan lingkungan dengan kadar oksigen rendah sehingga penggunaan oksigen digunakan secara efektif (Tangkudung 2006). Daerah Pangalengan memiliki iklim yang mendukung melahirkan calon atlit yang berpotensi, oleh karena letak geografis berada di dataran tinggi yang sangat kondusif. Dengan demikian, anak-anak yang berada di kebun the Malabar dan Purbasari PTPN VIII perlu dilakukan identifikasikan potensi atlit sejak dini, sebagai satu strategi dalam pembinaan atlit usia dini, untuk melahirkan calon atlit berpotensi yang mengembalikan prestasi olahraga Indonesia di masa akan datang. Atlit Indonesia berprestasi seperti Taufik Hidayat dan Robidarwis merupakan atlit yang lahir dan dibesarkan di daerah ketinggian. Potensi yang dimiliki anak-anak bertempat tinggal di daerah ketinggian tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasikan potensi atlit secara fisik, sehingga dapat menujang keistimewaan yang dimiliki anak-anak tersebut. Potensi atlit secara fisik, memiliki hubungan dengan konsumsi pangan, status kesehatan, status gizi, haemoglobin (Hb) dan aktivitas bermain. Rumusan Masalah Berdasarkan gambaran pada latar belakang maka rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan potensi atlit ? 2. Apakah terdapat hubungan antara status kesehatan dengan potensi atlit ? 3. Apakah terdapat hubungan status gizi dengan potensi atlit ? 4. Apakah terdapat hubungan haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit ? 5. Apakah terdapat hubungan aktivitas bermain dengan potensi atlit ?
4
Hipotesis Penelitian 1. Terdapat hubungan antara konsumsi pangan dengan potensi atlit. 2. Terdapat hubungan antara status kesehatan dengan potensi atlit. 3. Terdapat hubungan antara status gizi dengan potensi atlit. 4. Terdapat hubungan antara status haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit. 5. Terdapat hubungan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit.
Tujuan Tujuan umum Tujuan umum dalam penelitian adalah untuk melihat hubungan antara konsumsi pangan, status kesehatan, status gizi, haemoglobin (Hb), aktivitas bermain dengan potensi atlit usia 48-72 bulan anak pemetik teh di Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung. Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi karakterisitik keluarga yaitu besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, konsumsi pangan contoh, status kesehatan, status gizi, haemoglobin (Hb), aktivitas bermain dan potensi atlit. 2. Menganalisis hubungan antara konsumsi pangan dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. 3. Menganalisis hubungan antara status kesehatan dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. 4. Menganalisis hubungan antara status gizi dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. 5. Menganalisis hubungan antara haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. 6. Menganalisis hubungan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit usia 48-72 bulan.
5
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi dan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bandung serta perusahan PTPN VIII sebagai bahan pertimbangan pembinaan atlit usia dini, pada anak keluarga wanita pemetik teh dalam rangka pengembangan prestasi bidang olahraga baik tingkat daerah, nasional maupun internasional. Disamping itu sebagai bahan masukan bagi penelitian berikutnya yang mengkaji gizi olahraga.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Atlit Perkembangan fisiologis berkaitan dengan perkembangan fisik yang mencakup, perkembangan otak dan susunan syaraf pusat. Sejalan dengan itu, susunan syaraf pusat turut pula berkembang sehingga membuat anak mampu mengfungsikan susunan syaraf pusat dalam melakukan berbagai kegiatan perkembangannya. Perkembangan fisiologis menyangkut gerakan fisik yang berkaitan gerakan motorik kasar seperti berdiri, berlari, melompat, mendorong dan sebagainya. Perkembangan fisiologis menyangkut perkembangan kelenturan koordinasi gerakan motorik dan visual, seperti mengkoordinasikan gerakkan mata dan tangan pada waktu membaca atau menulis, melakukan berbagai kegiatan akademik lainnya, serta pertambahan tinggi dan berat badan berkembang berdasarkan siklus pertumbuhan dan perkembangan ( Papalia dan Olds 1995). Pudjiadi (2005) mengemukakan, faktor herditas dan faktor lingkungan menentukan pertumbuhan anak. Faktor herditas menetapkan berapa panjang tulang akan tumbuh dan bentuk fisiknya. Faktor lingkungan diet dan kesehatan merupakan faktor-faktor penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan normal. Pengembangan potensi atlit sejak dini akan lebih menguntungkan, oleh karena: (1) Organ tubuh anak seperti jantung, paru-paru mengenai kemampuan aerobik dan anaerobiknya sudah berkembang sejak dini; (2) Kelenturan dan kekuatan ototnya lebih mudah dikembangkan sehingga kemampuan otot akan menjadi lebih baik; (3) Indra dan syaraf sudah mulai dilatih dan dipacu sejak dini sehingga lebih peka baik terhadap penglihatan, perasaan, rangsangan maupun gerakan ; (4) Pertumbuhan dan perkembangan akan berjalan secara harmonis (Tangkudung 2006). Kunst dan Florescu (1971) dikutip dalam (Anonim 2007) mengemukakan, identifikasi potensi atlit usia dini secara umum dilakukan dengan mempertimbangkan tiga hal mendasar yaitu: (1) Motor capacity; (2) Psycological capacity dan (3) Biometric qualities. Pusat pengembangan kualitas jasmani (2000), menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai potensi dasar untuk menjadi calon atlit harus memiliki komponen-komponen yaitu:
7
a. Daya tahan kardiovaskuler. Daya tahan kardiovaskuler adalah kemampuan jantung dan paru-paru untuk menunjang system kerja otot. Kemampuan untuk terus-menerus dengan tetap menjalani kerja fisik mencakup sejumlah besar otot dalam waktu tertentu (Depkes 1987). Kemampuan sistem peredaran darah dan system pernafasan untuk menyesuaikan diri terhadap efek seluruh beban kerja fisik. Daya tahan jantung merupakan faktor utama dalam kesegaran jasmani (Pusegjas 2000). Peradaran darah dapat mengsuplai oksigen yang cukup pada otot-otot menjalankan fungsinya. Semakin baik ketahanan jantung dan peredaran darah, otot-otot semakin dapat bertahan lebih lama menjalankan fungsinya. Untuk memperbaiki ketahanan jantung dan peredaran darah, diperlukan latihan dan olahraga secara terus-menerus dan teratur paling sedikit 20-30 menit (Mangoenprasodjo 2005). b. Daya tahan otot. Ketahanan otot adalah kemampuan otot melakukan suatu pekerjaan yang berulang-ulang atau berkontraksi pada waktu yang lama. Untuk memperbaiki ketahanan otot, diperlukan latihan-latihan beban, dengan beban yang ringan tetapi dilakukan terus-menerus (Mangoenprasodjo 2005). c. Kekuatan otot. Kekuatan otot adalah kemampuan otot yang bekerja berulang-ulang dengan beban submaksimal atau kemampuan untuk melaksanakan kekuatan dan mempertahankannya semaksimal mungkin. Latihan kekuatan akan menghasilkan pembesaran pada otot dan peningkatan kekuatan. Kekuatan ini, dapat diukur dengan melihat beban maksimal yang dapat diangkat dengan gerakan khusus (Depkes 1994). d. Kelenturan. Kelenturan adalah kemampuan menggerakan sendi , menekuk, merengang dan memutar dengan kata lain kelenturan adalah keluasaan gerak tubuh pada persendian sangat dipengaruhi oleh elastisitas otot, tendon dan ligament sekitar sendi dan sendi itu sendiri. Untuk memperbaiki kelenturan dan memeliharnya
maka
diperlukan
megerakan
persendian
pada
gerakannya yang maksimal secara teratur (Mangoenprasodjo 2005).
daerah
8
e. Kecepatan gerak. Kecepatan gerak adalah kemampuan atau laju gerakan yang dapat berlaku untuk
tubuh
secara
keseluruhan
atau
bagian
tubuh
tertentu
(Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004). f. Kelicahan. Kelincahan adalah kemampuan gabungan secara cepat arah tubuh atau bagian tubuh tanpa gangguan keseimbangan, diperlukan tidak hanya dalam olahraga tetapi jugas dalam kerja dan situasi reaksi. Kelincahan tergantung pada faktor kekuatan, kecepatan, waktu reaksi keseimbangan dan koordinasi faktor-faktor tersebut (Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004). g. Keseimbangan. Keseimbangan adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap tubuh yang tepat pada saat melakukan gerakan. Bergantung pada kemampuan intergirtas antara kerja indra penglihatan, pendengaran dan respon pada otot, yang diperlukan tidak hanya pada olahraga tetapi juga pada kehidupan sehari-hari (Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004). h. Kecepatan reaksi. Kecepatan reaksi adalah waktu tersingkat yang dibutuhkan untuk memberikan reaksi setelah menerima rangsangan. Hal ini berhubungan dengan waktu reflek, waktu gerakan dan waktu respon (Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004). i. Koordinasi. Koordinasi menyatakan hubungan harmonis sebagai faktor yang terjadi pada suatu gerakan ( Depkes, 1994). Pada gerakan yang tidak terkoordinasi baik, akan mengakibatkan kerugian atau pengeluaran tenaga yang berlebihan, menggangu keseimbangan, bahkan memungkinkan terjadinya cedera, (Moeloe Moeloe (1984) dikutip dalam (syukur 2004). Pusat pengembangan kualitas jasmani (2005), dalam menilai potensi kesegaran jasmani pada anak terdapat lima tahap pengukuran yang dilakukan memiliki standar baku terdiri dari:
9
a. Lari jarak menengah 300 meter merupakan kegiatan yang bertujuan dalam menilai ketahanan kardiovaskuler. Standar yang digunakan dalam penilaian ini disajikan pada tabel 1. Tabel 1 Standar pengukuran ketahanan kardiovaskuler (menit/detik). 6-9 tahun Putera Satuan Putri S.d.-5.8 Menit/detik s.d.-5.5 5.9-6.6 Menit/detik 5.6-6.1 6.7-7.8 Menit/detik 6.2-6.9 7.9-9.2 Menit/detik 7.0-8.6 9.3-dst. Menit/detik 8.7-dst. Sumber: Pusekjas (2005)
Satuan Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik
Skor 5 4 3 2 1
b. Lari cepat 100 meter merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menilai kecepatan gerak tubuh. Standar yang digunakan disajikan pada tabel 2. Tabel 2 Standar pengukuran kecepatan gerakan tubuh (menit/detik). 6-9 tahun Putera Satuan Putri s.d.-2.53 Menit/detik s.d.-2.39 2.54-3.23 Menit/detik 2.40-3.00 3.24-4.08 Menit/detik 3.01-3.45 4.09-5.03 Menit/detik 3.46-4.48 5.04-dst. Menit/detik 4.49- dst. Sumber: Pusekjas (2005)
Satuan Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik Menit/detik
Skor 5 4 3 2 1
c. Menggantung dengan siku tekuk merupakan gerakan untuk menilai kekuatan dan ketahanan otot lengan dan otot bahu. Gantung siku tekuk untuk semua kelompok umur kecuali kelompok umur 13-15 tahun dan 16-19 tahun putera. Gantung angkat tubuh khusus bagi putera kelompok umur 13-15 tahun dan 16-19 tahun pencatatan dilakukan selama 60 detik. Standari yang digunakan disajikan pada tabel 3. Tabel 3 Standar pengukuran ketahanan otot lengan dan bahu (menit/detik) 6-9 tahun Putera Satuan Putri 40> Detik 33> Detik 22-39 18-32 Detik 9-21 9-17 Detik 3-8 3-8 Detik 0-2 0-2 Sumber: Pusekjas (2005)
Satuan Detik Detik Detik Detik Detik
Skor 5 4 3 2 1
10
d. Baring duduk atau sit-up merupakan gerakan untuk mengukur kekuatan dan ketahanan otot perut. Waktu yang digunakan dalam penilaian ini adalah kelompok umur 6-9 tahun 60 detik seperti tabel 4. Tabel 4 Standar pengukuran ketahanan dan kekuatan otot perut (60 detik) 6-9 tahun Putera Satuan Kali 17> Kali 13-16 Kali 7-12 Kali 2-6 Kali 0-1 Sumber: Pusekjas (2005)
Putri 15> 11-14 4-10 2-3 0-1
Satuan Kali Kali Kali Kali Kali
Skor 5 4 3 2 1
e. Loncat tegak merupakan gerakan untuk mengukur tenaga eksplosif. Hasil Selisih rahian loncatan tertinggi dikurangi rahian tegak (sikap awal) merupakan cara dalam menilai gerakan ini. Standar yang digunakan disajikan pada tabel 5. Tabel 5 Standar pengukuran tenaga eksplosif (cm). 6-9 tahun Putera Satuan Putri 40> cm 33> cm 22-39 18-32 cm 9-21 9-17 cm 3-8 3-8 cm 0-2 0-2 Sumber: Pusekjas (2005)
Satuan Cm cm cm cm Cm
Skor 5 4 3 2 1
Kemampuan yang dihubungkan dengan sikap dan bentuk badan seseorang yang digunakan dalam mengidentifikasi potensi dapat ditempuh dengan beberapa langkah diantaranya: (1) Melakukan analisis lengkap dari fisik dan mental sesuai dengan karakteristik cabang olahraga; (2) Melakukan seleksi pemanduan khusus dengan menggunakan instrumen dari cabang olahraga yang bersangkutan; (3) Melakukan seleksi berdasarkan karakteristik antropometrik dan kemampuan fisik, serta disesuaikan dengan tahapan perkembangan fisik; (4) Mengevaluasi berdasarkan data yang komprehensif dengan memperhatikan setiap anak terhadap olahraga di dalam dan luar sekolah (Anonim, b 2007). Prestasi yang optimal membutuhkan kriteria calon atlit yang optimal pula. Objektivitas dan kehandalan
11
kriteria seleksi telah menjadi perhatian beberapa ahli seperti; Radut, (1967), Mazilu Focseneanu (1976) dan Dragan (1979), dikutip dalam (Anonim 2007) Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: a. Sehat. Sehat fisik merupakan hal yang paling penting bagi seorang yang berpartisipasi dalam pelatihan, maka sebelum diterima dalam klub tertentu setiap pemula harus mendapatkan pemeriksaan medis yang seksama. Dokter dan pelatih harus sepakat untuk memilih individu yang paling sehat. Selama pemeriksaan spesialis medis dan pengetesan harus mengetahui apakah anak tersebut
mempunyai
cacat
fisik.
Untuk
cabang
olahraga
dinamik
(hockey, bolabasket, track and field, swimming, tinju). Seseorang yang memiliki cacat tubuh harus tidak dipilih, tetapi untuk cabang yang statis seperti
menembak,
panahan,
bowling
kriterianya
yang
digunakan
lebih longgar. b. Kualitas biometrik. Kapasitas antropometri seseorang merupakan hal penting pada beberapa cabang olahraga, maka dari itu menjadi pertimbangan utama pada kriteria identifikasi potensi atlit. Tinggi dan berat atau panjang dari anggota badan seringkali berperan penting dalam cabang olahraga tertentu dan tahap awal identifikasi bakat pada cabang tertentu dilakukan pada umur 3-6 tahun. c. Hereditas. Fenomena biologis yang komplek seringkali memainkan peranan penting dalam latihan. Anak-anak cenderung mewariskan karakteristik biologis dan psikologis orang tuanya meskipun dengan pendidikan, pelatihan dan pengkondisian sosial hal-hal yang diwarisi tersebut dapat sedikit diubah. Radut (1976) mengemukakan, faktor keturunan mempunyai peran yang penting, namun tidak mutlak dalam latihan. Klissouras et al (1973) mengemukakan, kemampuan fisiologis akan sangat dibatasi oleh potensi genetik calon atlet tersebut. Sistem dan fungsi ditentukan secara genetik, terutama sistem asam laktat sampai 81.4%, heart rate, 85.9% dan VO2max 93.4%. Sedangkan proporsi antara serat otot merah dan putih pada manusia
12
sudah dibentuk secara genetik sebab fungsi metabolic dari kedua otot ini berbeda. d. Kemampuan spesialis. Kemampuan spesialis atau pengetahuan dari seorang pelatih pada identifikasi bakat serta pengujian, juga menentukan seleksi kandidat. Semakin banyak dan rumit metode ilmiah digunakan untuk identifikasi bakat, semakin tinggi pula kemungkinan menemukan bakat yang superior untuk cabang tertentu.
Konsumsi Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Oleh karena itu, pangan harus tetap tersedia setiap saat dan tepat dengan mutu yang memadai. Pangan dengan nilai gizi yang cukup seimbang, merupakan pilihan terbaik untuk konsumsi guna mencapai status gizi dan kesehatan yang optimal. Bagi tubuh, nilai suatu bahan pangan ditentukan oleh isi atau zat gizi apa yang dikandungnya. Zat gizi yang terkandung dalam pangan digunakan sebagai sumber energi oleh tubuh, untuk tumbuh dan memperbaiki jaringan-jaringan tubuh yang telah rusak serta mengatur proses dalam tubuh. Maka dari itu, nilai gizi pangan menyangkut ketersediaannya secara biologis atau dapat tidaknya zat gizi tersebut digunakan tubuh. Pangan dengan kandungan gizi yang lengkap, dalam jumlah yang proporsional mempunyai potensi besar untuk menjadi pangan yang bergizi tinggi. Tinggi rendahnya nilai gizi satu pangan merupakan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai mutu pangan tersebut. Selain nilai gizi, mutu pangan juga ditentukan oleh keadaan fisik, mikrobiologis serta penerimaan secara indrawi atau organoleptik (Rimbawan 1999).Konsumsi pangan adalah jumlah pangan tungal atau beragam yang dimakan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan konsumsi pangan adalah untuk memperoleh zat gizi yang diperlukan tubuh (Hardinsyah & Martianto 1989). Kebiasaan dalam mengkonsumsi pangan yang baik, akan menyebabkan status gizi baik dan keadaan ini dapat terlaksana bila tercipta keseimbangan antara
13
banyaknya zat gizi dikonsumsi dengan banyak jenis zat gizi yang dibutuhkan tubuh (Suhardjo 1990). Hardiansyah dan Briawan (1992) mengemukakan, konsumsi pangan pada tingkat individu atau rumah tangga dapat diterjemahkan ke dalam bentuk energi, protein, lemak, vitamin dan mineral per orang per hari. Rasio energi dan gizi lainnya terhadap kecukupan yang dianjurkan menggambarkan tingkat individu atau rumah tangga, agar dapat hidup sehat dan sekaligus mempertahankan kesehatan. Manusia memerlukan zat gizi diperoleh melalui konsumsi pangan yang harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh dan pertumbuhan serta aktivitas sehari-hari. Untuk mencapai gizi yang optimal pada anak usia diatas >3 tahun, baik kecukupan energi, protein, vitamin dan mineral diharapakan pola makan anak selalu mengacu pada makan seimbang guna menjamin berlangsungnya tumbuh kembang anak secara optimal (Moehyi 2008). Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok pada waktu tertentu yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan harga serta sosial budaya ( Mudanijah et al 2006). Supariyasa (2002) mengemukakan, tujuan dalam studi konsumsi pangan adalah untuk mengetahu konsumsi pangan yang dimakan seseorang atau individu yang dapat dipelajari dengan 5 metode yaitu: (1) Metode recall 24 jam; (2) Metode esitiaited food record; (3) Motede penimbangan makan (food wighing); (4) Metode dietary histori; (5) Metode frekuensi makanan (food frequency).
Status Kesehatan
Diare Diare adalah buang air besar yang tidak normal, atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya atau lebih dari tiga kali pada anak (Anonim c 2007). Penyebab diare terdiri dari: (1) Faktor infeksi. Infeksi saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi tersebut terdiri dari infeksi enteral yaitu infeksi bakter (vibrio, E.ecoli, salmonella, shigella campylo-bacter, yersinia, aeromonas dan sebagainya); Infeksi virus (Enterovirus,
14
Adenovirus, Rotavirus, dan sebagainya), dan parasit (cacing: Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, strongylodes; protozoa: Entamoba histolytica, Gradia lambidia, Triachomonas hominis; jamur: (Candidaalbincans ); Infeksi parenteral yaitu infeksi yang terjadi dibagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti Otitis media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bron-kopenumonia, Ensefalitas dan sebagainya; (2) Faktor malabsorbsi yang terdiri dari malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intorerasiglukosa, fruktosa dan galaktosa) terutama pada anak yang intoleransi laktosa serta malabsorbsi lemak dan malabsorbsi protein; (3) Faktor makanan yaitu makanan yang dimakan telah basih, beracun, alergi terhadap makanan; (4) Faktor psikologis yaitu di sebabkan oleh rasa takut atau cemas, tapi jarang terjadi pada anak Mekanisme patogenesis dasar yang menyebabkan timbulnya diare pada anak disebabkan oleh: (1) Gangguan osmotik yaitu akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap, akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektorit ke dalam rongga usus. Isi
rongga
usus
yang
berlebihan
ini
akan
merangsang
usus
untuk
mengeluarkannya sehingga menimbulkan diare; (2) Gangguan sekresi yaitu akibat rangsangan tertentu (misalnya oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus, dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus; (3) Gangguan mortilitas usus yaitu terjadi hiperperstaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan yang timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan dapat menimbulkan diare pula (Anonim 2007). Jenis-jenis diare terdiri dari (1) Diare akut merupakan diare yang disebabkan oleh virus yang disebut rotavirus yang ditandai dengan buang air besar lembek/cair bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari dan berlangsung kurang dari 14 hari. Diare rotavirus ini merupakan virus usus patogen yang menduduki urutan pertama, sebagai penyebab diare akut pada anak; (2) Diare bermasalah merupakan diare yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, intoleransi laktosa, alergi protein susu sapi.
15
Penularan terjadi secara fecal- oral, kontak dari orang ke orang atau kontak orang dengan alat rumah tangga. Diare ini umumnya diawali dengan diare cair kemudian pada hari kedua atau ketiga baru muncul darah maupun tanpa lendir diikutsertakan sakit perut , panas disertai hilangnya nafsu makan dan badan terasa lemah; (3) Diare persisten merupakan diare akut yang menetap, dimana titik sentral patogenesis diare persisten adalah kerusakan mukosa usus. Penyebab diare persisten sama dengan diare akut (Anonim 2007).
Infeksi ISPA Penyakit pernafasan merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan akut fungsional dan menyebabkan gangguan kronis. Penyakit infeksi sistem pernafasan sering menyerang anak-anak terutama usia dibawa 5 tahun. Penyakit infeksi pernafasan akut berhubungan dengan gejala sistemik seperti anoreksia, kelelahan dan tidak enak badan. Gejala tersebut jika dikombinasi dengan batuk dan sesak napas akan mengakibatkan terganggunya intik makanan (Johnson Chin dan Haponik (1999) dikutip dalam (Ingtyas 2004). ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Berat dan ringannya penyakit ISPA tergantung lamanya sakit dan tanda-tanda yang menyertainya. Penderita ISPA digolongkan ringan jika sakit panas 2-3 hari dan ISPA sedang jika gejalanya ditambah frekuensi pernafasan lebih dari 50 kali per menit atau panas tinggi dengan suhu tubuh >39 0C, sakit telinga dan campak. Sedangkan ISPA berat jika ditambah gejala napas cuping hidung, kejang, dehidrasi dan kesadaran menurun (Handayani 1997). Kurangnya konsumsi pangan dan peningkatan proses metabolisme, dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, karena proses katabolisme protein serta gangguan fungsi kekebalan tubuh. Seseorang yang menderita ISPA juga akan mengalami keseimbangan energi negatif. Berbagai penelitian laboratorimum dan klinik menunjukan bahwa dampak utama gizi kurang terhadap sistem pernafasan adalah struktur pernafasan dan daya tahan tubuh (Johnson, Chin&Haponik (1999), dikutib dalam Ingtyas 2004). Infeksi salauran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang
16
penularan melalui udara, sehingga lingkungan rumah yang buruk dan tidak memenuhi syarat akan memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi (Handayani 1997).
Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilization) zat gizi (Riyadi 1995). Pertumbuhan merupakan perubahan kuantitatif berupa perubahan ukuran dan struktur tubuh secara berurutan yang dinyatakan dalam ukuran satuan tertentu seperti berat badan, tinggi badan dan sebagainya (Hurlock 1995). Caplin (2002) dikutip dalam (Desmita 2006) mengemukakan, pertumbuhan merupakan suatu kenaikan badan dan ukuran dari bagian-bagian tubuh atau organisme sebagai suatu keseluruhan. Aspek pertumbuhan pada anak biasanya dinyatakan dalam status gizi, yang merupakan keadaan fisik dan kesehatan seseorang diakibatkan oleh konsumsi makan dan zat gizi sebagai unsur penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Proses pertumbuhan seorang manusia terdapat dua prinsip yaitu prinsip proxmodistal yaitu proses pertumbuhan yang dimulai dari bagian pusat syaraf kebagian-bagian luar tubuh dan prinsip cephallocaudal yaitu proses pertumbuhan dari organ kepala ke bagian tubuh yang lain (Papalia & Feldeman (2004) dikutip dalam (Dariyo 2007). Pertumbuhan yang terjadi pada seseorang tidak hanya meliputi apa yang terlihat secara fisik, tetapi juga pada perkembangan aspek yang lain. Salah satu faktor berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah terpenuhinya kebutuhan akan zat gizi, namun kebutuhan zat gizi berbeda untuk tiap orang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, ukuran tubuh, derajat pertumbuhan serta kebutuhan energi untuk metabolisme dasar. Ukuran yang digunakan dalam penilaian status gizi dilakukan dengan cara langsung dan tidak langsung (Ahmad et al 2007). Pendekatan yang digunakan dalam penilaian status gizi terdiri dari bermacam-maca metode. Gibson (1990) mengemukakan, untuk menilai status gizi
17
terdapat pendekatan yang dapat digunakan yaitu: (1) Konsumsi makanan; (2) Biokimia; (3) Antropometri dan (4) Klinis. Indikator yang digunakan untuk mengukur kemajuan pertumbuhan yaitu menggunakan berat dan tinggi badan, dilakukan secara priodik, teratur disertai dengan pencatatan pengukuran. Pertumbuhan anak dapat dipantau dengan menggunakan
antropometri
sebagai
suatu
pendekatan.
Kumaidi
(1998)
mengemukakan, jenis antropometri tinggi badan dan berat badan merupakan pendekatan antropometri terhandal dan mudah dilakukan. Untuk membandingkan hasil pengukuran, dapat digunakan standar baku yang dianjurkan oleh WHO/NCHS dengan perkiraan maupun membedakan struktur tubuh proposional, dengan mereka yang terlalu kurus atau terlalu gemuk, berdasarkan baku harvard status gizi menurut WHO/NCHS.
Indikator Status Gizi Indeks BB/U Masa tubuh adalah ukuran yang sangat sensitif terhadap perubahan mendadak diakibatkan oleh penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau kurang konsumsi pangan. Berat badan merupakan antropometir yang sangat labil, bila kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi kebutuhan zat gizi terjamin, maka pertumbuhan normal berkembang mengikuti usia yang dimiliki. Berdasarkan karakteristik berat badan yang labil maka, Indeks BB/U digunakan untuk menggambarkan status gizi seseorang saat ini (Supariyasa 2002). Indikator antropometri dengan indeks BB/U memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan antropometri dengan indeks BB/U yaitu: (1) Lebih mudah dan cepat dimengerit oleh masyarakat umum; (2) Baik untuk mengukur status gizi kronis atau akut; (3) Berat badan dapat berflektuasi; (4) Sangat sensitif terhadap perubahan kecil; (5) Dapat mendeteksi kegemukan. Sedangkan kelemahan antropometri indeks BB/U yaitu: (1) Dapat menginterpertasi status gizi yang keliru bila terdapat edema maupun asites; (2) Pada daerah pedesaan umur sering sulit ditaksir karena pencatatan masih belum baik; (3) Memerlukan data umur yang akurat terutama anak usia dibawah 5 tahun; (4) Sering terjadi
18
kesalahan dalam pengukuran terutama pakaian dan gerakan anak saat ditimbang; (6) Secara sosial mengalami hambatan karena masalah sosial budaya (Supariyasa 2002). Indeks TB/U Status gizi kurang diukur dengan pendekatan indeks TB/U dikategorikan sebagai stunded, diterjemahkan sebagai ukuran tubuh pendek tidak sesuai umur. Tinggi
badan
merupakan
antropometri
yang
menggambarkan
keadaan
pertumbuhan selektal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Perubahan tinggi badan tidak seperti berat badan, lebih relatif dan tidak sensitif terhadap kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Dengan demikian Beaton & Begoa (1973) mengemukakan, indeks TB/U disamping menggambarkan status gizi masa lampau, juga lebih erat dengan faktor status sosial ekonomi (Supariyasa 2002). Supariasa (2002) mengemukakan, indikator status gizi dengan indeks TB/U memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari indikator menggunakan indeks TB/U yaitu digunakan sebagai indikator dalam mengukur stauts gizi masa lampau, murah dan mudah dibawah. Sedangkan kelemahan dari indikator status gizi dengan indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik atau turun, pengukuran relatif lebih sulit dilakukan, oleh karena anak harus berdiri tegak sehingga memerlukan dua orang melakukannya dan ketepatan umur sulit didapatkan pada masyarakat di pedesaan. Indeks BB/TB Berat badan mempunyai hubungan linier terhadap tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan seara pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Jelliffe (1966), telah memperkenalkan indeks ini untuk mengidentifikasi status gizi. Status gizi dengan indeks BB/TB sangat efektif digunakan untuk mengukur status gizi saat kini (sekarang). Indeks BB/TB memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari indeks BB/TB yaitu tidak membutuhkan data umur dan dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, kurus).
Sedangkan
kelemahan
dari
indeks
BB/TB
yaitu
tidak
dapat
19
menggambarkan apakah anak itu pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umur, oleh karena faktor umur tidak dipersoalkan. Pengukuran relatif lebih lama dilakukan, membutukan dua orang untuk melakukannya dan sering terjadi kesalahan dalam membaca hasil pengukuran (Supariyasa 2002).
Status Anemia Penilaian status gizi secara laboratorium atau biokimia digunakan untuk mendeteksi tahap defisiensi subklinis untuk mengkonfirmasi diaknosa secara klinis pada seseorang. Cari ini merupakan metode yang dinilai secara objektif, oleh karena tidak melibatkan emosi dan faktor subjektif lainnya. Kekurangan zat gizi dalam tubuh tidak terjadi secara langsung tetapi terjadi secara bertahap. Untuk mengetahui seberapa besar kekurangan zat gizi yang dialami seseorang, maka dilakukan dengan uji biokimia dalam cairan dan jaringan tubuh seseorang. Metode yang digunakan dalam menilai seseorang mengalami anemia dilakukan dengan pengukuran haemoglobin (Hb) (Gibson 2005). Haemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen yang terdapat dalam sel darah merah. Haemoglobin (Hb) merupakan suatu protein kaya akan zat besi. Konsentrasi haemoglobin (Hb) normal pada manusia dewasa yaitu 14-16 g/dl darah atau rata-rata 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut ”100 persen” (Ganong 1983). Diduga terdapat kira-kira 750 gram haemoglobin (Hb) d darah alam seluruh darah yang beredar. Haemoglobin (Hb) sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, oleh karena Haemoglobin (Hb) berfungsi membawa dan mengirim oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul haemoglobin (Hb) berada dalam sel darah merah yang meliputi 95% dari berat keringnya. Sedangkan sintesis haemoglobin (Hb) dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan terdapat gangguan dapat menimbulkan gangguan hematologis yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990). Haemoglobin (Hb) mengandung senyawa protein berisi globin dan heme. Setiap gram haemoglobin (Hb) berisi 3.34 mg zat besi dan membawa 1.34 ml
20
oksigen. Setiap molekul haemoglobin (Hb) berisi 4 unit heme dan masing-masing bergabung dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Haemoglobin (Hb) dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara haemoglobin (Hb) dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan oleh agen penyebab hemolisis. Haemoglobin (Hb) yang bebas dalam plasma amat cepat terbuang, dengan oksidasi menjadi bentuk yang tak berguna dan hilang melalui ginja. Haemoglobin (Hb) dilepaskan dari sel darah merah, dimusnahkan oleh ”macrophage”, kemudian dikatabolisme secara bertahap. Sel darah merah hidup sekitar 120 hari. Sel darah merah mengalami kerusakan, maka bagian porfirin haemoglobin (Hb) dipecahkan dan membentuk pigmen empedu billiverdin dan billirubin, yang dibawa ke hati untuk disekresi ke dalam usus melalui empedu (Tortora dan Anagnostakos 1990). Anak-anak yang berumur 2-4 tahun mempunyai kadar haemoglobin (Hb) rata-rata 12.5 -15.5 g/dl, dengan batas terendah 11.0 g/dl. Sedangkan pada umur 4-8 tahun mempunyai nilai rata-rata haemoglobin (Hb) 13.0 g/dl dengan batas terendah 11.5 g/dl. Nilai-nilai ini merupakan standar normal bagi anak-anak dari keluarga berkulit putih (caucasian family). Nilai haemoglobin (Hb) untuk bangsa Asia dan Negro 0.5 g/dl lebih rendah nilai haemoglobin (Hb) untuk semua umur kecuali pada masa prenatal. Perbedaan ini disebabkan oleh, adanya defisiensi zat besi maupun dan perbedaan status sosial ekonomi (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Kadar haemoglobin (Hb) yang dipergunakan untuk menentukan anemia adalah dibawa batas yang ditetapkan WHO (2001). Batas tersebut adalah 110 g/L untuk wanita hamil dan anak usia 6 bulan sampai 5 tahun 120 g/L, untuk wanita tidak hamil dan 130 g/L untuk pria yang berusia di atas 15 tahun. Batas kadar haemoglobin (Hb) dan hemotokrit disajikan pada tabel tabel 6. Tabel 6 Kadar haemoglobin (Hb) dan hematokrit untuk batas anemia pada populasia Kelompok umur dan Haemoglobin (Hb) Haematokrit Jenis kelamin g/l mmol/l l/l 0.33 6.83 110 Anak 6-59 bulan 0.34 7.13 115 Anak 5-11 tahun 0.36 7.45 120 Anak 12-14 tahun a
Faktor konversi yang umum dipergunakan: 100 g hemoglobin = 6,2 mmol hemoglobin = 0,30 l/l hematokrit. Sumber: WHO (2001)
21
Aktivitas Bermain Bermain dan belajar anak merupakan suatu kesatuan dan proses yang terus menerus terjadi dalam kehidupannya. Bermain merupakan tahap awal dari proses belajar anak yang dialami hampir semua orang. Melalui kegiatan bermain yang menyenangkan, seorang anak berusaha untuk menyelidiki dan mendapatkan pengalaman yang banyak. Baik pengalaman dengan diri sendiri, orang lain maupun dengan lingkungan disekitarnya. Melalui bermain anak dapat mengorganisasikan berbagai pengalaman dan kemampuan motorik maupun kongnitifnya (Sekartini 2006). Dariyo (2007) mengemukakan, fungsi dan manfaat dalam bermain anak yaitu: (1) Mengembangkan kreativitas anak; (2) Mengembangkan keterampilan sosial anak; (3) mengembangkan psikomotorik anak; (4) Mengembangkan kemampuan berbahasa; (5) Sebagai saran terapi untuk mengatasi masalah psikologis, karena memurut Singmund Freud bermain mengatasi keteganganketegangan emosi anak. Upaya stimulasi yang diberikan pada anak, hendak dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Dengan pendekatan pola bermain anak diajak untuk berkolaborasi, menemukan dan memanfaatkan objek yang dekat dengannya, sehingga kegiatan lebih bermakna (Sumantri 2005). Bermain pada anak bukan sekedar mengisi waktu, tetapi merupakan kebutuhan, seperti halnya makanan, perawatan, cinta kasih dan lain-lain. Anak memerlukan variasi bermain untuk kesehatan, pertumbuhan fisik, mental dan perkembangan emosinya. Melalui bermain anak tidak hanya mengstimulasi pertumbuhan ototototnya, tetapi lebih dari itu. Anak tidak saja melompat, menendang, melempar atau berlari, tetapi mereka bermain dengan menggunakan seluruh perasaan dan pikirannya (Soetjiningsih 1995). Untuk menjaga kualitas bermain sehingga anak dapat bermain dan memperoleh stimulasi cukup maka diperlukan: (1) Ekstra energi; (2) Waktu bermain ; (3) Alat bermain; (4) Ruang untuk bermain; (5) Pengetahuan cara bermain; (6) Teman bermain. Sedangkan anak yang aktif dalam bermain memiliki keunggulan diperoleh dari permainan tersebut antara lain: (1) Membuang ekstra energi; (2) Mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian tubuh, seperti tulang, otot tubuh dan organ-organ; (3) Aktivitas yang dilakukan
22
dapat meningkatkan nafsu makan; (4) Anak belajar mengontrol diri; (5) Berkembangnya keterampilan yang akan berguna sepanjang hidup; (6) Meningkatkan daya kreativitas; (7) Mendapatkan kesempatan menemukan arti dari benda-benda yang ada disekitar anak; (8) Merupakan cara untuk mengatasi kemarahan, kekuatiran, iri hati dan kedudukan; (9) Kemampuan belajar bergaul dengan anak yang lain; (10) belajar untuk menjadi pihak yang kalah dan menang dalam permainan; (11) Kesempatan belajar untuk mengikuti aturan-aturan; (12) Dapat mengembang kemampuan intelektualnya (Soetjiningsih 1995). Aktivitas bermain anak harus seimbang antar bermain aktif dan pasif yang biasanya disebut sebagai hiburan. Permainan yang masuk dalam kategori aktif yaitu bermain pengamatan atau penyelidikan, bermain konsentrasi, bermain drama dan bermain bola atau bermain tali. Sedangkan bermain yang pasif yaitu permainan dilakukan dengan melihat gambar-gambar dibuku, mendengar cerita atau musik, menonton televisi dan sebagainya.
Karakteristik Keluarga Pendidikan Orang Tua Munandar (1992) mengemukakan, sikap orang tua dalam mendidik anak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: (1) Tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi orang tuanya. Bila tingkat pendidikan dan status ekonominya rendah terjadi kecenderungan ke sikap menuruti; (2) Hubungan suami istri, jika hubungan hangat dan baik maka sikap anak lebih menunjukan sikap lebih perhatian dan toleran; (3) Jumlah anak dalam keluarga kecil cenderung lebih memanjakan dan menuntut lebih banyak karena, anak merupakan tumpuan harapan orang tua; (4) Kepribadian orang tua, sering orang tua bersikap otoriter, demokrasi atau terlalu menuruti kemauan anak; (6) Pengalaman orang tua, pengaruh sikap orang tua terhadap anaknya karena pengalaman hidupnya. Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga dapat dinilai dengan melihat status ekonomi suatu keluarga. Gerungan (1998) mengemukakan, keadaan ekonomi mempunyai peran
23
yang sangat besar dalam pertumbuhan dan perkembangan anak yang memberikan kesejahteraan kepada anggota keluarga. Keadaan perekonomian yang cukup pada suatu keluarga, maka lingkungan material anak akan lebih luas serta memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan bermacam-macam kecakapan yang tidak dapat dikembangkan bila tidak ada fasilitas dan dukungan yang dibutuhkan. Gunasra & Gunarsa (2001) mengemukakan, kondisi ekonomi yang kurang akan berpengaruh terhadap kondisi mental dan pisikis individu yang hidup dalam keluarga, dan menentukan corak serta kualitas hubungan antara pribadi dalam keluarga. Besar keluarga Keluarga yang memiliki banyak anggota keluarga akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan terutama pada keluarga tidak mampu. Suharjo (1989) mengemukakan, ada hubungan yang sangat nyata dalam keluarga dengan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar, tanpa
dibebani
dengan
peningkatan
pendapatan
akan
menyebabkan
pendistribusian konsumsi pangan semakin tidak merata pada setiap anggota keluarga. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Jumlah anak menederita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar daripada keluarga beranggota keluarga sedikit (Berg 1986). Dalam keluarga kecil seorang anak tidak perlu memperjuangkan kasih sayang dari orang tua, tetapi anak-anak dari keluarga besar harus berjuang untuk mendapatkan kasih sayang. Apabila jumlah anak dalam keluarga bertambah maka perhatian dan kehangatan pada anak-anak berkurang. Dengan kata lain bahwa dengan semakin banyak anak maka curahan waktu , perhatian , tingkat keeratan diberi orang tua pada anaknya akan terbagi pada sejumlah anak yang berhak untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang sama sesama anak (Gunasa 1997).
24
KERANGKA PEMIKIRAN Pembinaan dan pengembangan atlit sejak dini merupakan salah satu strategi dalam pencarian bibit-bibit atlit berprestasi. Untuk memperoleh dan mencapai hal tersebut merupakan satu langka yang tidak mudah dilakukan dan penuh dengan tantangan baik itu eksternal maupun internal. Faktor utama berhubungan terhadap pertumbuhan fisik atau potensi atlit pada anak usia 48-72 bulan adalah konsumsi makan kurang memenuhi syarat gizi atau kebutuhan anak usia 48-72 bulan, yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Sedangkan konsumsi pangan itu sendiri dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga seperti jumlah anggota keluarga, pekerjaan keluarga dan pendapatan keluarga. Konsumsi pangan yang tidak beragam ditemukan pada masyarakat berpendapatan rendah, disebabkan oleh ketidakmampuan daya beli bahan pangan, dalam memenuhi kebutuhan keluarga terutama pemenuhan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Tidak terpenuhinya kebutuhan zat gizi dapat berdampak pada rendahnya kadar haemoglobin (Hb) pada anak dan akan menyebabkan terjadinya kurang gizi dan gangguan kesehatan pada anak usia 48-72 bulan. Status gizi yang buruk pada anak usia 48-72 bulan, berhubungan erat dengan terjadinya penyakit infeksi terutama diare dan ISPA.
Bila anak mengalami gizi kurang dan sering sakit akan
menyebabkan berkurangnya aktivitas bermain anak, berfungsi untuk merangsang pertumbuhan fisik. Keluarga yang status ekonomi rendah, orang tua selalu berkonsentrasi pada pekerjaan untuk perbaikan ekonomi keluarga. Sedikit sekali waktu diberikan kepada anak dalam bermain bersama dan bimbingan. Aktivitas bermain anak bukan saja memberikan kesenangan dan kebahagiaan kepada anak tetapi juga merangsang pertumbuhan fisik terutama gerakan otot, kecepatan, keseimbangan dan terjadinya koordinasi antara indra dan gerakan fisik. Kombinasi dari aktivitas bermain ini, akan melahirkan potensi atlit yang dimiliki oleh anak-anak usia 48-72 bulan terutama struktur tubuh yang ideal sebagai dasar menuju kedewasaan. Melahirkan calon atlit yang berprestasi merupakan hal yang sangat diharapkan dalam dunia olahraga, namun mencapai hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam penelitian ini akan menguraikan faktor yang berhubungan
25
dengan potensi atlit. Berdasarkan pada dasar pemikiran ini maka kerangka konsep yang disusun berdasarkan pada gambar 1.
Karakteristik keluarga • Pendidikan orang tua • Pendapatan keluarga • Pekerjaan orang tua • Besar keluarga
Konsumsi pangan Energ, Protein Vit. A dan Besi (Fe)
Kadar Haemoglobin
Status kesehatan • Diare • ISPA
Status gizi • BB/U • TB/U • BB/TB
Aktivitas bermain anak
Potensi atlit • Kecepatan gerak fisik • Daya tahan otot • Kekuatan otot • Daya tahan • kardiovaskuler
Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian
26
METODE PENELITIAN
Desain Penelitan Desain yang digunakan dalam penelitian adalah cross-sectional study (Murti 1997). Pada contoh, peneliti melakukan pengamatan, pengukuran dalam satu waktu bersamaan dan dilakukan satu kali terhadap karakterisitik sosial ekonomi keluarga yang terdiri dari: Besar keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan data karakteristik anak terdiri dari: Usia anak, jenis kelamin. pengukuran potensi atlit, konsumsi pangan status kesehatan, sataus gizi serta aktivitas bermain usia 48-72 bulan.
Tempat dan Waktu Penelitian ini bertempat di kebun teh PTPN VIII Kabupaten Bandung yaitu kebun teh Malabar dan Purbasari. Tempat penelitian ini dipilih secara purporsive dengan mempertimbangkan luas wilayah, biaya penelitian dan waktu untuk mempermudah proses penelitian yang akan dilakukan. Waktu pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan selama tiga bulan dimulai pada Maret 2008 dan bagian dari penelitian NHF dengan judul penelitian” Peningkatan Ketahanan Keluarga dan Kualitas Pengasuhan Untuk Peningkatan Gizi Anak Usia Dini” (Sunarti 2008).
Populasi dan Contoh Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga keluarga wanita pemetik teh di kebun teh Malabar dan Purbasari PTPN VIII Bandung yang berjumlah 192 orang anak usia 0-72 bulan. Kerangka contoh dalam penelitian adalah anak keluarga wanita pemetik teh usia 48-72 bulan. Cara pengambilan contoh dalam penelitan ini dengan metode sensus, oleh karena jumlah populasi dalam penelitian terbatas sehingga digunakan seluruh populasi sebagai unit analisis yaitu berjumlah 51 orang anak usia 48-72 bulan (Singarimbun & Effendi, 1987), yang disajikan pada gambar 2.
27
Malabar N : 102 Purbasari N: 90
Purbasari n : 21
Malabar n : 30
n : 51
Gambar 2 Kerangkah pengambilan contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan metode wawancara, pengamatan pemeriksaan serta pengukuran. Data karakteristik keluarga terdiri dari: (Pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga dan pendapatan keluarga). Data karakteristik anak terdiri dari: (Usia anak, jenis kelamin). Data konsumsi pangan usia 48-72 diukur dengan menggunakan recall 24 jam selama 2 hari. Data status kesehatan diukur menggunakan kuesioner dan diwawancarai secara langsung orang tua contoh. Data haemoglobin (Hb) dengan cara pemeriksaan darah menggunakan metode sahli. Data aktivitas bermain anak diukur menggunakan kuesioner dengan cara pengamatan dan diwawancarai orang tua/pengasuh. Sedangkan data pengukuran status gizi terdiri dari ukuran antropometri yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB. Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise, tingkat ketelitian 0,1 cm dan berat badan dilakukan dengan penimbangan menggunakan timbangan digital Camry EB 710 merek Tanita pada tingkat ketelitian 0,1 kg. Data potensi atlit diukur dengan pendekatan pengukuran kesegaran jasmani Indonesia (TKJI 2005) khusus anak yang telah dimodifikasi yang terdiri dari: Daya tahan kardiovaskuler, kecepatan, daya tahan otot, kekuatan otot. Data sekunder meliputi profil daerah setempat. Data ini bersumber dari pemerintah setempat, tempat penitipan anak (TPA) dan posyandu di daerah tersebut.
28
Tabel 7 Jenis, cara dan alat pengumpulan data. Jenis Data
Cara Pengumpulan
Alat
Karakteristik keluarga dan Wawancara orang tua contoh Kuesioner. anak. menggunakan kuesioner. Konsumsi pangan anak.
Daftar recall 24 Wawancara orang tua contoh jam. dan recall 24 jam
Status kesehatan anak :Diare Wawancara oranga tua contoh Kuesioner. dan ISPA. menggunakan kuesioner. Haemoglobin (Hb).
Analisis Sahli.
Wawancara pada ibu serta pengamatan terhadap aktivitas bermain anak. Mengukur dan mencatat berat Status Gizi dengan badan dan tinggi badan anak antropometri; BB/TB. usia 36-60 bulan. Aktivitas bermain anak.
Potensi atlit.
Tabung sahli Pipet sahli HCL 0,1% Kuesioner.
Timbangan Camry EB 710 Tanita. Microtoise. Arloji/Stop Watch. Kecepatan gerak fisik, daya Kuesioner. tahan otot, kekuatan, otot dan Alat menggantung. daya tahan kardiovaskuler. Matras .
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dalam penelitian dengan cara dilakukan pengkodean, entri data, edeting. Selanjutnya ditabulasi dalam satu tabel untuk memudahkan dan mencegah terjadi kesalahan dalam mengolah data. Data karakteristik keluarga yang terdiri dari: Lama mengikuti pendidikan formal menjadi lima kategorik yaitu “0-2 tahun”, “3-5 tahun”,” 6-8 tahun”, “9-11 tahun” dan “≥ 12 tahun”. Data pekerjaan bapak/suami terdiri dari 7 kategorik terdiri dari : (Tidak bekerja, petani, pedagang, buru tani, buru non tani, PNS/ABRI/PORLI dan Pelayanan Jasa). Besar keluarga berdasarkan kriteria BPS (2001) ”keluarga kecil” jika anggota keluarga ≤ 4 orang, ”keluarga sedang” dengan jumlah anggota keluarga 5-7 orang dan ”keluarga besar” dengan jumlah anggota lebih dari ≥7 orang. Pendapatan keluarga dikategorikan berdasarkan indikator lokal yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung yang dibagi menjadi dua kategorik yaitu ”miskin” ≤ Rp.144.000 dan ” tidak miskin ≥ Rp. 144.000. Data karakteristik anak (usia, jenis kelamin) dalam bentuk kelompok dan dikategorikan. Data-data
29
tersebut dianalisis secara deskriptif mengunakan komputer program microsoct office exel 2003. Data konsumsi pangan anak diperoleh dari hasil recall 24 jam selama 2 hari. Data ini kemudian dikonversikan ke dalam bentuk jumlah zat gizi, dengan menggunakan daftar komposisi bahan makanan atau DKBM (Hardinsyah dan Briawan 1990). Konsumsi pangan dalam penelitian ini adalah konsumsi zat gizi energi, protein, vitamin A dan besi (Fe) per individu. Selanjutnya data konsumsi zat gizi aktual tersebut dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) per individu (WNPG 2004). Data konsumsi pangan yang digunakan untuk melakukan pengujian statistik dalam penelitian yaitu zat gizi energi dan protein. Data status kesehatan anak terdiri dari penyakit menular yaitu diare dan ISPA yang diderita anak satu bulan terakhir dan saat penelitian. Riwayat penyakit anak dengan melihat frekuensi sakit anak tersebut dalam satu bulan terakhir. Data status kesehatan anak diolah menggunakan komputer program SPSS versi 13. Data status kesehatan usia 48-72 bulan dikategorikan menjadi tiga kelompok disajikan pada tabel 8. Tabel 8 Satus kesehatan anak satu bulan terakhir berdasarkan frekuensi sakit. Kategori Tidak pernah sakit Pernah sakit Sering sakit
Frekuensi sakit 0 1-2 ≥3
Penilaian status gizi dengan pendekatan Antropometri yaitu BB/TB untuk mengukur status gizi. Data tersebut diolah menggunakan program nutri survey WHO 2005 dan SPSS versi 13. Status gizi tersebut dibagi menjadi 4 kelompok disajikan pada tabel 9. Tabel 9 Status gizi anak usia 48-72 bulan berdasarkan BB/TB. Kategori Sangat kurus Kurus Normal Gemuk Sumber: WHO (2005)
Nilai Z-score <-3 -3 s/d-2 -2 s/d 2 >2
30
Status biokimia dengan pengukuran haemoglobin (Hb) pada anak dianalisis dengan metode sahli. Hemoglobin darah anak dikategorikan berdasarkan pada standar WHO (2001) yaitu usia 48-59 bulan dengan kadar haemoglobin (Hb) 110g/l dan usia 60-72 bulan dengan kadar haemoglobin (Hb) 115g/l. Pengukuran aktivitas bermain usia 48-72 menggunakan 10 item pertanyaan dan pengamatan terhadap aktivitas bermain. Setiap jawaban ”ya” di berikan skor 1 dan jawaban ”tidak” diberikan skor 0 serta dikelompokkan menjadi lima kategori untuk menilai aktivitas bermain contoh. Data aktivitas bermain diolah menggunakan komputer program microsoct office exel 2003 dan SPSS versi 13. Aktivitas bermain anak usia 48-72 bulan dikelompokkan seperti disajikan pada tabel 10. Tabel 10 Aktivitas bermain usia 48-72 bulan. Kategori
Sangat baik Baik Sedang Kurang Sangat kurang
Skor 9-10 7-8 5-6 3-4 1-2
Pengukuran potensi atlit usia 48-72 bulan, menggunakan standar pengukuran kesegaran jasmani khusus untuk anak yang telah dimodifikasi yaitu mengukur ketahanan kardiovasluler dengan pengujian lari jarak menengah dari 600 meter. Pengujian kecepatan gerakan fisik dengan lari cepat 100 meter. Pengujian otot lengan dan bahu dengan cara menggantung siku tekuk selama 60 detik. Menguji ketahanan dan kekuatan otot perut dengan cara gerakan baring duduk (si-up) serta mengukur tenaga eksplosif dengan cara lompat tegak. Standar yang dimodifikasi atas dasar pertimbangan hasil uji fisik pada 5 orang anak usia 48-72 bulan di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga tidak mampuh menempuh jarak 600 meter dan menggantung dengan siku tekuk. Sedangkan pada tes lari 100 meter, sit-up dan lompat tegak dapat dilakukan dengan baik. Ukuran standar yang digunakan dan dimodifikasi disajikan pada tabel 11.
31
Tabel 11 Ukuran standar dan dimodifikasi dalam pengukuran potensi atlit. Nama gerakan
Standar
Lari cepat Menggantung Sit-Up Lompat tegak Lari jarak menengah
Modifikasi
100 meter Siku tekuk (60) detik Sit-Up (60) Lompat tegak 600 meter
Tidak dimodifikasi Tanpa siku tekuk (60) detik Tidak dimodifikasi Tidak dimodifikasi 300 meter
Sebelum melakukan penilaian potensi atlit, contoh lebih dahulu diajarkan gerakan-gerakan dasar yang akan dilakukan sehingga hasil pengukuran dilakukan benar-benar dicapai. Hasil pengukuran dikonversikan ke dalam metode perhitungan potensi kesegaran khusus anak. Potensi atlit usia 48-72 bulan dibagi menjadi lima kategori disajikan pada tabel 12. Tabel 12 Standar penilaian potensi atlit usia 48-72 bulan. Potensi atlit
Skor
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik
5-9 10-13 14-17 18-21 22-25
Sumber : Pusegjas (2005).
Definisi Operasional 1. Karakterisitik
keluarga
adalah
ciri-ciri
khas
yang
dimiliki
oleh
masing-masing keluarga seperti umur orang tua, umur anak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan jumlah anggota keluarga. 2. Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal/ menetap bersama dalam satu rumah/keluarga dan hidup dari penghasilan yang sama. yaitu keluarga kecil” jika anggota keluarga ≤ 4 orang, ”keluarga sedang” dengan jumlah anggota keluarga 5-7 orang dan ”keluarga besar” dengan jumlah anggota lebih dari >7 orang BPS (2001). 3. Pendapatan keluarga adalah jumlah seluruh penghasilan yang diperoleh oleh seluruh anggota keluarga dari status pekerjaan dan sumberdaya yang dimiliki.
32
yang dibagi menjadi 2 kategorik yaitu ”miskin” < Rp.144.000 dan ” tidak miskin ≥ Rp. 144.000. 4. Pendidikan orang tua adalah lama waktu yang digunakan dalam mengikuti pendidikan formal di sekolah. 5.
Konsumsi pangan adalah nilai dari zat gizi energi, potein, vitamin A, dan besi (Fe) dari jenis pangan yang dikonsumsi anak usia 48-72-72 bulan diperoleh melalui recall 2 x 24 jam, dibandingkan dengan angka kecukupan rata-rata per individu.
6. Status kesehantan adalah riwayat penyakit yang pernah di derita meliputi diare dan ISPA pada saat satu bulan yang lalu dan saat penelitian berlangsung. 7. Diare adalah keadaan dimana frekuensi buang air besar (tinja) lebih sering dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dan disertai dengan perubahan konsistensi dan bentuk tinja dan kadang kadang disertai dengan darah atau lendir. 8. Infeksi saluran pernafasa adalah penyakit menular yang tranmisinya melalui udara yang ditandai dengan gejala panas atau flu, batuk sesak nafas dan kadang-kadang disertai dengan kejang atau hilang kesadaran. 9. Haemogobin (Hb) adalah cairan merah dalam darah berfungsi mengangkut oksigen yang disebarkan ke seluruh tubuh. 10. Aktivitas bermain adalah aktivitas permainan usia 48-72 bulan melibatkan kombinasi organ fisik yang merangsang pertumbuhan. 11. Staus gizi adalah keadaan gizi usia 48-72 bulan secara atropometri dengan menggunakan indeks BB/TB. 12. Potensi Atlit adalah kompentensi gerakan fisik yang berhubungan kesegaran jasmani yaitu: Kecepatan, daya tahan otot, kekuatan otot dan daya tahan kardiovaskuler.
33
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Letak Geografis. Lokasi penelitian bertempat di kebun teh Malabar dan Purbasari PTPN VIII Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Secara administrasi kebun teh Malabar dan Purbasari berada dibawah daerah administrasi pemerintahan Desa Banjar Sari dan Wanasuka. Desa Banjar Sari terletak diketinggian ±1.500 meter di atas permukaan air laut, yang memiliki luas wilayah 2208,97 Ha. Bagian barat berbatasan dengan Desa Margaluyu, bagian utara berbatasan dengan Desa Sukamanah, bagian selatan berbatasan dengan Desa Wanasuka, dan bagian timur berbatasan dengan Desa Tarumajaya Kertasari. Jumlah penduduk desa Banjar Sari adalah 5641 jiwa, dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 2811 jiwa dan perempuan sebanyak 2830 jiwa. Jumlah keluarga di desa Banjar Sari adalah 314 kepala keluarga. Sedangkan jumlah keluarga miskin di desa Banjar Sari adalah 733 kepala keluarga dengan jumlah 2.164 jiwa. Desa Wanasuka terletak diketinggian ±1550 di atas permukaan air laut yang memiliki luas wilayah 4555,96 Ha. Bagian utara berbatasan dengan Desa Margamukti, bagian selatan berbatasan dengan Desa Margaluyu, bagian timur berbatasan dengan Desa Santosa, dan bagian barat berbatasan dengan Desa Banjar Sari.
Jumlah penduduk di Desa Wanasuka adalah 4880 jiwa, dengan jenis
kelamin laki-laki sebanyak 2393 jiwa dan perempuan sebanyak 2487 jiwa. Jumlah kepala keluarga di Desa Wanasuka adalah 1548 kepala keluarga, dengan jumlah keluarga miskin sebanyak 876 kepala keluarga. Kebun teh Malabar merupakan peninggalan masa penjajahan Hindia Belanda. Kebun ini merupakan kebun teh pertama dan tertua, yang dirintis oleh seorang warga negara Belanda yaitu Karl Albert Rudolf Bossca pada tahun 1896. Beliau merupakan utusan dari Firma John Peet dan Co. Setelah masa penjajahan berakhir, kebun ini dikelola oleh masyarakat pribumi dalam bentuk BUMN dan melakukan perluasan lahan menjadi beberapa kebun, sala satunya adalah kebun
34
teh Purbasari. Kebun teh Malabar memiliki luas wilayah 2022,14 Ha, yang terdiri dari 4 afdeling yaitu afdeling malabar utara dengan luas kebun
444,41 Ha,
afdeling malabar selatan dengan luas kebun 624,72 Ha, afdeling sukaratu dengan luas kebun 458,42 Ha, dan afdeling tanara dengan luas kenun 494,69 Ha. Jumlah kepala keluarga yang berdomisili di kebun teh Malabar adalah sebagai berikut : afdeling malabar utara berjumlah 69 kepala keluarga, afdeling malabar selatan berjumlah 152 kepala keluarga, afdeling sukaratu berjumlah 190 kepala keluarga dan afdeling tanara berjumlah 30 kepala keluarga. Kebun teh Purbasari memiliki luas kebun 2115,97 Ha, yang terdiri 4 afdeling yaitu afdeling purbasari, afdeling kiararoa, afdeling Sri dan afdeling Citawa. Kepala keluarga yang berdomisili di kebun teh Purbasari adalah sebagai berikut : afdeling purbasari berjumlah 85 kepala keluarga, afdeling kiararoa berjumlah 78 kepala keluarga, afdeling sri berjumlah 165 kepala keluarga, dan afdeling citawa berjumlah 81 kepala keluarga.
Fasilitas Sosial dan Kesehatan Untuk meningkatkan dan menciptakan kualitas kehidupan sosial di masyarakat dalam upaya peningkatan sumberdaya manusia dan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah Kabupaten Bandung dan pihak PTPN VIII telah menyediakan sarana dan prasarana dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat di daerah tersebut. Salah satunya dengan menyediakan fasilitas pendidikan yang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran fasilitas pendidikan di kebun Desa Banjarsari dan Wanasuka Fasilitas Pendidikan TK SD SLTP
Banjar Sari 3 4 1
% 37.5 50 12.5
Lokasi Wanasuka 2 4 0
Total 8 100 Sumber :Profil desa Banjar Sari dan Wanasuka 2007
6
% 33.33 66.66 0.00 100
Hasil analisis data profil Desa Banjar Sari dan Wanasuka Tahun 2007 menunjukkan bahwa fasilitas pendidikan terbayak adalah tingkat sekolah dasar (SD), dengan persentase masing-masing adalah 50% untuk Desa Banjar dan
35
66.66% untuk Desa Wanasuka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap rumah tangga yang memiliki anak usia pra sekolah, diperoleh informasi bahwa keluarga tersebut mengalami kesulitan dalam memberikan pendidikan usia dini (TK) pada anaknya. Faktor penyebabnya yaitu jumlah fasilitas pendidikan tingkat usia dini (TK) yang terbatas dan jarak antara fasilitas pendidikan dengan pemukiman penduduk (terutama untuk Desa Wanasuka). Hak memperoleh pendidikan bagi setiap individu merupakan tanggung jawab pemerintah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sehingga harus
dilaksanakan.
Oleh
karena
itu
diperlukan
penambahan
fasilitas
pembangunan fisik khususnya untuk pendidikan usia dini (TK) di wilayah Desa Wanasuka, sebagai bentuk pemerataan pendidikan di masyarakat. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan masyarakat di tingkat dasar merupakan satu strategi menuju Indonesia sehat 2010 harus dilakukan secara sinergis. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten Bandung dan PTPN VIII menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjarsari dan Wanasuka. Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjar Sari dan Wanasuka tersebut disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran fasilitas pelayanan kesehatan di Desa Banjar Sari dan Wanasuka Fasilitas kesehatan
Banjar Sari % Balai pengobatan 1 10.00 Tempat praktek bidan 1 10.00 Posyandu 7 70.00 Polindes 1 10.00 Total 10 100 Sumber :Profil desa Banjar Sari dan Wanasuka 2007.
Desa Wanasuka 1 0 8 1 10
% 10.00 0.00 80.00 10.00 100
Hasil analisis data profil Desa Banjar Sari dan Wanasuka Tahun 2007, menunjukkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan sebagian besar adalah posyandu, dengan persentase masing-masing adalah 70% untuk Desa Banjar Sari dan 80% untuk Desa Wanasuka. Menurut Notoatmojo (2003), pelayanan kesehatan merupakan faktor penentu yang ikut berpengaruh terhadap status kesehatan individu, keluarga dan masyarakat. Kegiatan posyandu di Desa Banjar Sari dan Wanasuka diantaranya adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan penimbangan, pemeriksaan ibu hamil
36
dan pemberian makanan tambahan pada anak balita, yang dilakukan secara rutin setiap bulan. Keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan operasional posyandu berjalan dengan baik. Proses pelayanan kesehatan tersebut dijalankan oleh kader posyandu, meskipun fasilitas yang tersedia sangat terbatas. Dalam upaya memenuhi permintaan konsumen, pihak PTPN VIII diwajibkan meningkatkan produksi teh dengan cara meningkatkan produktivitas kerja. Sebagian besar tenaga kerja pemetik teh adalah ibu rumah tangga, sehingga pihak PTPN VIII menyediakan fasilitas tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh di kebun teh Malabar dan Purbasari untuk tenaga kerja yang memiliki anak usia dini. Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh di kebun teh Malabar dan Purbasari disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran tempat penitipan anak (TPA) dan pengasuh. Tempat Penitipan Anak (TPA) Lokasi Jumlah TPA % Pengasuh Malabar 4 40 7 Purbasari 5 60 8 Total 9 100 15
% 40 60 100
Sumber :Laporan tahun 2007 kebun teh Malabar dan Purbasari.
Hasil analisis laporan data Tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase sebaran fasilitas tempat penitipan anak (TPA) di kebun teh Malabar yaitu sebesar 40% dan di kebun teh Purbasari sebesar 60%. Sedangkan persentase sebaran pengasuh di kebun teh Malabar yaitu sebesar 40% dan di kebun teh Purbasari sebesar 60%. Orang tua pengasuh yang bekerja di tempat penitipan anak (TPA) merupakan karyawan PTPN VIII.
Karakteristik Keluarga Karakterisitik keluarga dalam penelitian adalah ciri khas yang dimiliki oleh masing-masing keluarga yang terdiri dari: umur orang tua, umur anak, jenis kelamin anak, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan umur disajikan pada Tabel 16.
37
Tabel 16 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan umur. Ibu
Umur
n 10 15 24 2 51
20-28 29-37 38-46 47-52 Total
Ayah % 19.60 29.41 47.05 3.92 100
n 13 19 14 5 51
% 25.49 37.25 27.45 9.80 100
Tabel 16 menunjukkan bahwa sebaran umur ibu di kebun teh Malabar dan Purbasari terbanyak adalah berkisar antara 38 sampai 64 tahun atau sebesar 47.05%. Sedangkan sebaran umur bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari terbanyak adalah berkisar antara 29 sampai 37 tahun atau sebesar 37.25%. Pasangan suami istri di dua kebun terseut merupakan pasangan keluarga muda yang produktif. Tingkat pendidikan adalah variabel penentu terhadap jenis pekerjan dan pendapatan keluarga. Hasil analisis data sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan Kategori Tidak Sekolah Tidak Tamat SD SD/Sederajat SLTP/ Sederajat SMA/Sederajat Total
Ibu
Bapak
n 4 14 29 3 1
% 7.84 27.45 56.86 5.88 1.96
n 3 10 29 9 0
% 5.88 19.60 56.86 17.64 0
51
100
51
100
Tabel 17 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dan bapak yang berada di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki tingkat pendidikan SD/sederajat dengan persentase masing-masing sebesar 56.86%. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh biaya pendidikan yang tinggi sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat pada saat itu. Pendidikan orang tua memiliki hubungan terhadap pengetahuan praktek kesehatan dan gizi anak. Orang tua yang berpendidikan tinggi, cenderung memilih makanan yang lebih baik dan berkualitas dibandingkan dengan orang tua yang
38
berpendidikan rendah. Orang tua yang berpendidikan tinggi memiliki kesempatan lebih luas dalam mendapatkan pengetahuan mengenai kesehatan dan gizi anak. Pendidikan rendah dan kemiskinan merupakan faktor dasar masalah gizi dan kesehatan,
yang
berdampak
terhadap
rendahnya
sumberdaya
manusia
(Syarif 1997). Pendidikan merupakan variabel penentu dalam memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki akses kerja yang lebih luas dan akses pekerjaan yang lebih baik bila dibandingkan dengan seseorang yang berpendidikan rendah. Sebaran ibu dan bapak berdasarkan lama mengikuti pendidikan formal, serta sebaran bapak berdasarkan jenis pekerjaan disajikan pada Tabel 18 dan 19. Tabel 18 Sebaran ibu dan bapak contoh berdasarkan lama mengikuti pendidikan formal. Tahun 0-2 3-5 6-8 9-11 12 Total
Ibu n 8 10 29 3 1 51
Ayah % 17.64 19.60 56.86 5.88 1.96 100
n 7 4 32 8 0 22
% 13.72 7.84 62.74 15.68 0 100
Tabel 18 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu dan bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki lama mengikuti pendidikan formal berkisar antara 6 sampai 8 tahun, dengan persentase masing-masing sebesar 56.86% dan 62.74%. Lama mengikuti pendidikan formal menunjukkan tingkat pendidikan, pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh seseorang. Tabel 19 Sebaran bapak berdasarkan jenis pekerjaan. Pekerjaan Tidak bekerja Petani Pedagang Buru tani Buru non tani PNS/ABRI/POLRI Pelayanan Jasa Total
Bapak n 5 0 1 42 3 0 0 51
% 9.80 0 1.96 82.35 5.88 0 0 100
39
Tabel 19 menunjukkan bahwa sebagian besar bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari bekerja sebagai buruh tani, yaitu sebesar 82.35%. Kartasapoetra dan Marsetoyo (2003) menyatakan bahwa jenis pekerjaan orang tua merupakan indikator penentu besarnya pendapatan keluarga. Semakin besar penghasilan yang diperoleh, maka konsumsi pangan keluarga semakin baik terutama yang berhubungan dengan harga dan jenis pangan berkualitas. Selain faktor harga, distribusi pangan dalam keluarga menjadi penyebab masalah gizi kurang terutama keluarga besar. Jenis keluarga dan sebaran keluarga contoh berdasarkan besar pendapatan total/bulan disajikan pada Tabel 20 dan 21. Tabel 20 Sebaran jenis keluarga contoh. Kategori Keluarga kecil ≤4 Keluarga sedang 5-7 Keluarga besar ≥8 Total
Jenis keluarga n 25 26 0 51
% 49.01 50.98 0.00 100
Tabel 20 menunjukkan bahwa jenis keluarga yang ada di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi oleh keluarga sedang (jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 jiwa) dan keluarga kecil (jumlah anggota keluarga ≤ 4 jiwa) dengan persentase masing-masing sebesar 50.98% dan 49.01%. Besar keluarga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap distribusi pangan, terutama keluarga dengan pendapatan rendah. Jumlah keluarga yang besar dan tidak didukung oleh pendapatan akan memiliki resiko kurang gizi yang tinggi, yang disebabkan oleh konsumsi gizi yang rendah dan bahan makan yang tidak berkualitas. Berg (1986) menyatakan bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar adalah empat kali lebih besar bila dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga yang beranggota banyak adalah lima kali lebih besar daripada keluarga yang beranggota keluarga sedikit.
40
Tabel 21 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar pendapatan total/bulan. Pendapatan/ bulan
Kategori
n 28 11 10 2 51
Rp.200.000-699.999 Rp.700.000-1.199.999 Rp.1.200.000-1.699.999 Rp.1.700.000≥ Total
% 54.90 21.56 19.60 3.92 100
Tabel 21 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga (54.90%) di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki pendapatan total/bulan berkisar antara Rp.200.000 sampai Rp.699.999, dengan rata-rata pendapatan total/bulan sebesar Rp.583.333. Rendahnya pendapatan keluarga
disebabkan oleh sumber
pendapatan keluarga yang hanya mengandalkan upah kerja dan tidak terdapatnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Mudanijah et al (2006) menyatakan bahwa pendapatan berpengaruh terhadap daya beli pangan keluarga. Keluarga yang memiliki pendapatan tinggi, cenderung
memilih
bahan
pangan
yang
berkualitas.
Pendapatan
total
keluarga/bulan bila didistribusi berdasarkan pendapatan perkapita/bulan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran keluarga per kapita/bulan. Kategori Rp. 50.000-147.999 Rp.148.000-245.999 Rp.246.000-343.999 Rp.344.000≥ Total
contoh
berdasarkan
pendapatan
Pendapatan/kapita/bulan n 29 11 8 3 51
% 56.86 21.56 15.68 5.88 100
Tabel 22 menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga contoh (56.86%) di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki pendapatan total/kapita/bulan berkisar antara Rp.50.000 sampai 147.999, dengan rata-rata pendapatan total/kapita/bulan sebesar Rp.170.890. Rendahnya pendapatan keluarga disebabkan oleh, jenis keluarga di kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar adalah keluarga sedang dengan jumlah anggota keluarga 5 sampai 7 jiwa, dan hal ini akan berpengaruh terhadap distribusi pendapatan. Kecilnya pendapatan total/kapita
41
keluarga, disebabkan oleh sumber pendapatan yang masih mengandalkan orang tua terutama pada keluarga ukuran sedang. Misalnya anak usia produktif (pada keluarga sedang) yang belum bekerja, sehingga menyebabkan seluruh beban biaya hidupnya ditanggung oleh orang tuanya. Bila pendapatan perkapita tersebut dibandingkan dengan indikator kemiskinan Kabupaten Bandung, maka keluarga contoh yang termasuk kategori tidak miskin dan miskin dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori miskin dan tidak miskin. Kategorik Tidak miskin ≥Rp.144.000 Miskin
Keluarga contoh n 29 22 51
% 56.86 43.14 100
Berdasarkan indikator kemiskinan lokal yang ditentukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung maka 56.86% keluarga contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari dapat dikategorikan sebagai keluarga tidak miskin dan 43.14% dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin. Menurut Suhardjo (1987), masalah kemiskinan yang dialami keluarga merupakan faktor penyebab yang berhubungan dengan konsumsi pangan dan buruknya status gizi anak. Syarif (1997) menambahkan bahwa kemiskinan akan menyebabkan akses pangan dan kesehatan tidak memadai, dan berakibat terhadap konsumsi pangan yang rendah serta angka kesakitan tinggi, sehingga akan melahirkan anak kurang gizi dan sumberdaya manusia menjadi rendah. Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin di kebun teh Malabar dan Purbasari
disajikan pada Tabel 24.
Hasil analisis data sebaran contoh
berdasarkan umur dan jenis kelamin di kebun teh Malabar dan Purbasari sangat bervariasi. Contoh laki-laki didominasi oleh umur berkisar antara 63 sampai 67 bulan atau sebesar 33.33%, sedangkan contoh perempuan didominasi oleh umur berkisar antara 48 sampai 52 bulan atau sebesar 42.86%.
42
Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan umur dan jenis kelamin. Laki-laki n % 7 23.33 3 10.00 8 26.67 10 33.33 2 6.67 30 100
Umur (bulan) 48-52 53-57 58-62 63-67 68-72 Total
Perempuan n % 9 42.86 5 23.81 4 19.05 1 4.76 2 9.52 21 100
Total n 16 8 12 11 4 51
% 31.37 15.69 23.53 21.57 7.84 100
Potensi Atlit Anak Usia 48-72 Bulan Mengidentifikasi potensi atlit usia dini merupakan solusi terbaik dalam pencarian atlit yang berbakat. Usia 48-72 bulan merupakan usia minimal yang digunakan untuk menentukan potensi calon atlit usia dini. Potensi atlit usia dini dalam penelitian adalah kompetensi gerakan fisik yang berhubungan dengan kesegaran jasmani yang terdiri dari: kecepatan gerak , daya tahan otot, kekuatan otot dan daya tahan kardiovaskuler. Hasil pengukuran potensi atlit usia dini yang dilakukan pada anak keluarga wanita pemetik teh di kebun teh Malabar dan Purbasari, secara umum diperoleh nilai yang bervariasi yaitu berkisar antara skor 1 sampai 5. Hasil pengukuran kecepatan gerak fisik yang dilakukan dengan metode lari cepat 100 meter disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan lari cepat 100 meter. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Lari 100 meter n 4 26 18 3 0 51
% 7.8 51.0 35.3 5.9 0 100
Tujuan pengukuran lari 100 meter berfungsi untuk menilai kecepatan gerak fisik. Tabel 25 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 51.0% memiliki kecepatan gerak fisik yang termasuk kategori kurang. Skor maksimum yang diperoleh dalam pengukuran adalah 4 dan skor minimum adalah 1, dengan skor
43
pengukran rata-rata adalah 2.39±0.72. Pengukuran kecepatan gerak fisik contoh dengan metode lari cepat 100 meter merupakan ukuran yang tidak dimodifikasi. Tabel 25 juga menunjukkan bahwa sebanyak 5.9% contoh memiliki kecepatan gerak fisik yang dikategorikan baik. Pencapaian hasil yang maksimal disebabkan oleh hasil pengukuran yang mencapai skor 4 berdasarkan pengujian kecepatan gerak fisik. Pada pengujian kecepatan gerak fisik diperoleh hasil bahwa sebagian besar contoh dikategorikan kurang. Hal ini disebabkan oleh koordinasi sistem motorik anak usia 48-72 bulan masih dalam tahap perkembangan. Menurut Sumantri (2005), kecepatan gerak motorik atau fisik merupakan satu perpaduan sistem syaraf dan sistem otot yang saling bekerja sama untuk melakukan suatu gerakan tubuh. Pengukuran kecepatan gerak fisik pada contoh laki-laki lebih baik bila dibandingkan pada contoh perempuan. Pengukuran yang dilakukan pada 31 contoh laki-laki menunjukkan hasil bahwa 10% contoh memiliki potensi kecepatan gerak fisik yang baik. Pada contoh perempuan diperoleh hasil bahwa 47.61% contoh memiliki kecepatan gerak fisik yang termasuk kategori kurang (Lampiran 5). Hasil pengukuran yang cukup maksimal ini disebabkan oleh contoh laki-laki cenderung melakukan permainan-permainan yang lebih banyak melibatkan aktivitas fisik tinggi dibandingkan contoh perempuan sehingga menunjang hasil pengukuran. Hasil pengukuran kecepatan gerak fisik ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Sumantri (2005) dalam menguji motorik kasar 269 anak laki-laki dan perempuan usia 3-6 tahun dengan tes lari cepat. Hasil pengujian membuktikan bahwa anak laki-laki memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan anak perempuan dan hasil yang sama ditemukan dalam penelitian ini. Untuk mencapai hasil maksimal dalam pengukuran kecepatan gerak fisik, diperlukan latihan yang dilakukan secara teratur dan terus-menerus, sehingga dapat beradaptasi terhadap gerakan fisik terutama sistem syaraf dan otot yang lebih peka dan sensitif terhadap stimulasi dari luar tubuh. Pengukuran tes menggantung pada penelitian ini berfungsi untuk mengukur ketahanan otot tangan secara menyeluruh. Ukuran yang digunakan dalam pengujian ketahanan otot tangan adalah dengan metode menggantung,
44
dimodifikasi dari menggantung siku tekuk dirubah ke menggantung tanpa siku tekuk. Menurut Dewi (2005), contoh yang berusia 48-72 bulan tidak dapat melakukan gerakan menggantung dengan siku tekuk, disebabkan oleh perkembangan motorik kasar terutama otot besar pada tangan belum mampu melakukan gerakan tersebut. Hasil pengukuran tes menggantung pada contoh disajikan pada Tabel 26. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan pengujian menggantung. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Menggantung n 0 5 27 17 2 51
% 0 9.8 52.9 33.3 3.9 100
Tabel 26 menunjukkan bahwa 52.9% contoh memiliki ketahanan otot tangan yang termasuk kategori sedang. Skor pengukuran maksimum adalah 5 dan skor minimum 1, dengan skor rata-rata adalah 3.31±0.70. Analisis data juga ditemukan ketahanan otot baik 33.33% dan sangat baik 3.9%. Hasil yang maksimal ini disebabkan oleh anak usia 48-72 bulan memiliki perkembangan sistem motorik halus yang sudah baik terutama kemampuan memegang dan menjepit jari tangan (Soetjiningsih 1995). Hasil pengukuran menunjukkan bahwa pada contoh laki-laki didominasi oleh ketahanan otot tangan yang dikategorikan sedang 46% dan baik 43.33% (Lampiran 5). Sedangkan hasil pengukuran pada contoh perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 61.90% memiliki ketahanan otot tangan yang dikategorikan sedang (Lampiran 5). Pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh contoh dapat melakukan gerakan menggantung, namun hasil pengukuran ketahanan otot tangan secara menyeluruh belum dapat dilakukan secara maksimal. Untuk mencapai hasil maksimal dalam pengukuran ketahanan otot tangan, diperlukan latihan secara teratur dan terus menerus sehingga otototot tangan dapat berkembang dan beradaptasi dengan gerakan yang dilakukan. Gerakan menggantung dapat dilibatkan dalam permainan yang dilakukan contoh sehari-hari.
45
Pengukuran tes baring duduk atau sit-up merupakan tes yang berfungsi untuk mengukur kekuatan otot perut. Pengukuran kekuatan otot perut dengan metode sit-up merupakan ukuran yang tidak dimodifikasi berdasarkan standar TKJI tahun 2005 khusus anak yang dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan Nasional. Hasil pengujian sit-up disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan pengujian sit-up. Sit-up
Kategori
n 1 8 37 5 0 51
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
% 2.0 15.7 72.5 9.8 0 100
Tabel 27 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 72.5% memiliki potensi kekuatan otot perut yang dikategorikan sedang. Skor pengukuran maksimum adalah 4 dan skor minimum adalah 1, dengan skor pengukuran rata-rata adalah 2.90±0.57. Hasil pengukuran tersebut disebabkan oleh hasil pengujian sebagian besar baru mencapai skor 3. Pada pengukuran kekuatan otot perut dengan metode sit-up, juga ditemukan contoh yang memiliki potensi kekuatan otot perut yang dapat dikategorikan baik yaitu sebesar 9.8% contoh. Hasil yang maksimal ini disebabkan oleh skor hasil pengukuran kekuatan otot perut sudah mencapai skor 4. Pada pengukuran berdasarkan jenis kelamin diperoleh hasil bahwa 73.33% contoh laki-laki dan 71.42% contoh perempuan dapat dikategorikan sedang (Lampiran 5). Pengukuran yang dilakukan pada contoh laki-laki dan perempuan belum mendapatkan hasil yang maksimal, karena pertumbuhan
dan
perkembangan
otot
perut
contoh
belum
mencapai
kesempurnaan. Untuk mencapai hasil yang maksimal, gerakan-gerakan tersebut perlu dilibatkan dalam pola bermain anak sehari-hari, sehingga gerakan tersebut dapat dilakukan dengan mudah. Pengukuran lompat tegak yang dilakukan berfungsi untuk mengukur tenaga eksplosif. Ukuran yang digunakan dalam pengukuran tenaga eksplosif tidak dimodifikasi dan menggunakan standar TKJI tahun 2005 khusus anak yang
46
dikeluarkan oleh Depatemen Pendidikan Nasional. Hasil pengukuran disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan pengujian lompat tegak. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Lompat tegak n 0 15 33 3 0 51
% 0 29.4 64.7 5.9 0 100
Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 64.7% memiliki tenaga eksplosif yang dikategorikan sedang. Skor nilai maksimum dari pengukuran tengan eksplosif adalah 4 dan skor minimum 1, dengan skor rata-rata adalah 2.76±0.55. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengukuran tenaga eksplosif sebagian besar mencapai skor 3. Pada pengukuran tenaga eksplosif, juga ditemukan 5.9% contoh yang memiliki tenaga eksplosif yang dikategorikan baik. Hasil maksimal tersebut disebabkan oleh nilai pengukuran sudah mencapai skor 4. Faktor yang diduga berhubungan dengan hasil yang maksimal ini adalah ukuran tubuh yang besar terutama panjang tulang yang berpengaruh terhadap kecepatan, sedangkan besar otot memiliki kekuatan tinggi dalam memberikan
reaksi
(Tangkudung 2007). Dewi (2005) menyatakan bahwa sistem motorik kasar pada anak usia 48-72 bulan, dengan gerakan melompat dan mengangkat tubuh baik dengan tumpuan satu kaki ataupun bergantian dapat dilakukan berdasarkan teori perkembangan anak. Namun berdasarkan hasil penelitian ini gerakan tersebut tidak dilatih sehingga menghasilkan gerakan yang tidak sempurna berdasarkan pengukuran potensi tenaga eksplosif. Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pengukuran tenaga eksplosif, diperlukan keseimbangan badan dan kekuatan otot kaki. Pengukuran kekuatan eksplosif dengan metode lompat tegak berdasarkan jenis kelamin menunjukkan hasil bahwa 705 anak laki-laki dan 57.14% anak perempuan memiliki kekuatan eksplosif yang dikategorikan sedang (Lampiran 5). Faktor yang menyebabkan hasil pengukuran tersebut adalah karena pengujian kekuatan eksplosif merupakan pengujian untuk menghasilkan gerakan yang
47
berkualitas tinggi yang harus didukung oleh otot yang besar dan kematangan sistem motorik kasar maupun halus. Sedangkan usia 48-72 bulan merupakan usia dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan fisik. Untuk menghasilkan lompatan yang berkualitas diperlukan latihan secara teratur dan terus-menerus sehingga seluruh otot besar tumbuh berkembang dengan baik terutama otot kaki dan tubuh yang berhubugan dengan gerakan lompat tegak yang dilakukan. Gerakan-gerakan tersebut dapat dilibatkan dalam permainan sehari-hari, karena pada usia 48-72 bulan, anak-anak sering melakukan permainan yang berhubungan dengan gerakan yang digunakan dalam pengujian potensi atlit. Gerakan
lari
kardiovaskuler.
300
Ukuran
meter yang
berfungsi
untuk
mengukur
ketahanan
digunakan
dalam
pengujian
ketahanan
kardiovaskuler dengan metode lari 300 meter, merupakan ukuran yang dimodifikasi dari lari 600 meter. Faktor yang menjadi pertimbangan dalam modifikasi ukuran pengujian ketahanan kardiovaskuler yaitu umur, kekuatan dan kemampuan fisik contoh. Hasil pengukuran gerakan lari 300 meter disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan tes lari 300 meter. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Lari 300 meter n 17 28 6 0 0 51
% 33.3 54.9 11.8 0 0 100
Tabel 29 menunjukan bahwa 54.9% contoh memiliki potensi ketahanan kardiovaskuler yang dikategorikan kurang. Skor pengukuran maksimum adalah 3 dan skor minimum 1, dengan skor rata-rata adalah 1.78±0.64. Pengukuran ketahanan kardiovaskuler memiliki nilai yang rendah karena sebagian besar contoh baru mencapai skor 2. Tingkat pencapaian hasil pengukuran tersebut menunjukan daya tahan kardiovaskuler contoh belum dapat beradaptasi dengan baik saat melakukan aktivitas fisik tinggi, sehingga daya kerja jantung tidak maksimal dan berpengaruh terhadap kelelahan yang terjadi secara cepat.
48
Hasil pengukuran ketahanan kardiovaskuler berdasarkan jenis kelamin menunjukkan hasil bahwa 56.66% contoh laki-laki dan 52.38% contoh perempuan dikategorikan kurang (Lampiran 5). Rendahnya hasil pengukuran ketahanan kardiovaskuler diduga disebabkan oleh otot jantung yang belum mencapai perkembangan maksimal, sehingga tidak dapat bekerja dan beradaptasi dengan baik dalam sistem sirkulasi darah jantung. Aktivitas fisik seperti ini sangat membutuhkan kerja jantung yang maksimal, karena jantung merupakan organ tubuh vital yang berfungsi sebagai organ pemompa darah ke seluruh tubuh melalui arteri dan vena (Evelyn 2006). Faktor yang juga diduga berhubungan dengan rendahnya skor yang diperoleh pada pengujian ketahanan kardiovaskuler dengan metode lari 300 meter adalah daya kerja paru-paru dalam menampung oksigen. Pada usia 48-72 bulan, ukuran paru-paru anak tidak seperti ukuran orang dewasa, sehingga tidak dapat menampung oksigen yang dihirup melalui sistem saluran pernapasan dalam jumlah besar. Rendahnya oksigen menyebabkan terjadinya kelelahan pada otot, karena oksigen merupakan salah satu faktor yang membantu dalam proses percepatan metabolisme energi terutama pada kegiatan fisik. Mencapai ketahanan kardiovaskuler yang baik, dapat diperoleh
melalui
latihan secara teratur dan terus-menerus, sehingga otot jantung dan paru-paru dapat beradaptasi dengan aktivitas fisik yang tinggi. Bila tubuh dilatih dengan gerakan-gerakan yang dapat memacu kerja jantung dan paru-paru secara terus-menerus maka akan berdampak positif terhadap ketahanan kardiovaskuler. Untuk meningkatkan ketahanan kardiovaskuler contoh, gerakan-gerakan yang berhubungan (seperti gerakan lari 300 meter) dapat dilibatkan dalam aktivitas bermain terutama dalam permainan-permainan yang aktif. Penilaian pengujian kecepatan gerak tubuh dengan metode lari 100 meter, ketahanan otot tangan dengan metode menggantung, kekuatan otot perut dengan metode sit-up, kekuatan eksplosif dengan metode lompat tegak dan ketahanan kardiovaskuler dengan metode lari 300 meter yang dimiliki contoh adalah mengukur potensi atlit secara menyeluruh dan hasilnya disajikan pada Tabel 30.
49
Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan lima parameter dan potensi atlit. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sagat baik
1 %
2 %
3 %
4 %
5 %
7.8 51.0 35.3 5.9 0
0 9.8 52.9 33.3 3.9
2.0 15.7 72.5 9.8 0
0 29.4 64.7 5.9 0
33.3 54.9 11.8 0 0
Potensi atlit n % 3 25 21 2 0
5.88 49.01 41.17 3.92 0
Total 100 100 100 100 100 51 100 Ket : 1 (lari 100 meter), 2 (mengantung), 3 (Sit-up), 4 (lompat tegak), 5 (lari 300 meter).
Tabel 30 menunjukkan bahwa 49.01 % contoh dikategorikan sebagai potensi atlit kurang dan 41.17% contoh dikategorikan sebagai potensi atlit sedang. Skor pengukuran maksimum adalah 18 dan skor minimum adalah 9, dengan skor ratarata adalah 13.15±1.98. Rendahnya potensi atlit contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh hasil pengukuran potensi atlit sebagian besar berkisar antara skor 10 sampai 13, dan 14 sampai 17. Faktor yang diduga menyebabkan rendahnya potensi atlit contoh yaitu otot besar dan kontrol terhadap motorik halus seperti kontrol tangan, belum berkembang secara sempurna. Anak-anak belum terampil dan tidak dapat melakukan gerakan tubuh yang rumit (Sumantri 2005). Rendahnya potensi atlit contoh disebabkan oleh hasil pengukuran lima parameter yang digunakan untuk mengukur dan menilai sebagian besar belum maksimal. Hasil pengukuran lari 100 meter, didominasi oleh kecepatan gerak fisik kategori kurang (51.0%) dengan skor rata-rata 2.39±0.72, pengukuran menggantung didominasi ketahanan otot tangan kategori sedang (52.9%) dengan skor rata-rata 3.31±0.70, pengukuran sit-up sebagian besar memiliki otot perut kategori sedang 72.5% dengan skor rata-rata 2.90±0.57, sedangkan pengukuran lompat tegak didominasi tenaga eksplosif kategori sedang 64.7% dengan skor rata-rata 2.76±0.55, serta pengukuran lari 300 meter didominasi ketahanan kardiovaskuler kategori kurang 54.9% dengan skor rata-rata 1.78±0.64. Nilai-nilai tersebut berpengaruh terhadap potensi atlit yang rendah pada contoh dengan usia 48-72 bulan di kebun teh Malabar dan Purbasari. Pada hasil pengukuran, juga ditemukan contoh yang memiliki potensi atlit yang dapat dikategorikan baik yaitu sebesar 3.92%. Hasil yang maksimal disebabkan oleh lima ukuran terutama kecepatan fisik, ketahanan otot, kekuatan
50
otot dan tenaga eksplosif sudah mencapai tingkat nilai maksimal. Pada pengukuran lari 100 meter diperoleh kecepatan gerak fisik yang dikategorikan baik yaitu sebesar 5.9%. Contoh yang memiliki kecepatan fisik yang baik, diperlukan pembinaan sejak dini, oleh karena contoh memiliki kecepatan gerak fisik yang maksimal. Jenis olahraga yang diarahkan adalah jenis olahraga atletik dan sepak bola. Hasil pengukuran penggabungan antara kecepatan gerak fisik dan tenaga eksplosif kategori baik adalah 11.8%, sehingga bisa diarahkan ke jenis olahranga lari halang lintar dan bola voli. Sedangkan pada pengukuran menggantung, juga ditemukan ketahanan otot kategori baik 33.3% dan sangat baik 3.9%. Contoh yang memiliki ketahanan otot yang baik dapat dibina sejak dini, karena pada usia ini contoh telah memiliki kekuatan otot maksimal untuk melahirkan calon atlit-atlit berprestasi. Jenis olahraga yang harus diarahkan yaitu angkat besi, lempar lembing, lempar cakram, tolak peluru, tinju, panjat tebing dan olahraga lainnya yang berhubungan dengan kekuatan otot tangan. Hasil pengukuran sit-up, ditemukan contoh yang memiliki kekuatan otot perut kategori baik 9.8%, sehingga diperlukan pembinaan sejak dini untuk diarahkan ke jenis olahraga yang berhubungan dengan kekuatan otot perut seperti tinju dan lain-lain. Pada pengukuran lompat tegak, juga ditemukan contoh yang memiliki potensi tenaga eksplosif
kategori baik 5.9%. Jenis olahraga yang
diarahkan yaitu lompat jauh, lompat tinggi, sepak bola dan olahraga yang berhubungan dengan kekuatan kaki, karena pada usia ini contoh telah memiliki tenaga eksplosif maksimal yang dapat dikembangkan. Berdasarkan Lampiran 7, penggabungan nilai pengukuran kecepatan gerak fisik dan kekuatan otot tangan kategorik baik dengan prosentasi 19.6%. pada pengukuran kecepatan gerak fisik, kekuatan dan ketahanan otot kategori baik dengan prosentase 16.33%. Sedangkan pengukuran kecepatan gerak fisik, kekuatan otot tangan, ketahanan dan kekuatan eksplosif kategori baik dengan prosentasi 13.72%. Pengukuran kecepatan gerak fisik, kekuatan, ketahanan otot, tenaga eksplosif dan ketahanan kardiovaskuler karegori baik yaitu 10.98. Jenis olahraga
yang perlu diarahkan adalah bola voli dan basket, sepak bola, atletik dan olahraga lainnya. Pengujian potensi atlit tersebut bila dibedakan berdasarkan jenis kelamin,
51
maka contoh laki-laki memiliki hasil lebih baik dibandingkan contoh perempuan. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 31. Tabel 31 Sebaran contoh usia 48-72 bulan berdasarkan potensi atlit dan jenis kelamin. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Laki-laki n % 0.00 0 46.67 14 46.67 14 6.66 2 0 0 30 100
n 7 11 3 0 0 21
Perempuan % 33.33 52.38 14.29 0 0 100
Total n 3 25 17 2 0 51
% 13.73 49.02 33.33 3.92 0 100
Tabel 31 menunjukkan bahwa 46.7% dari 30 contoh laki-laki memiliki potensi atlit yang dikategorikan sedang dan kurang yaitu 46.7%, sedangkan 52.4% dari 21 contoh perempuan memiliki potensi atlit yang dikategorikan kurang. Rendahnya potensi atlit contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari dipengaruhi oleh hasil pegukuran lima parameter berdasarkan jenis kelamin terutama pengujian ketahanan kardiovaskuler dan kecepatan gerak yang memiliki hasil yang rendah pada contoh perempuan. Hal ini menunjukan bahwa dari lima parameter tes potensi atlit yang dilakukan, 6.6% dari 30 contoh laki-laki memiliki potensi atlit yang mencapai hasil cukup maksimal. Faktor yang diduga mempengaruhi perbedaan hasil pengukuran pada contoh laki-laki dan perempuan adalah struktur fisik yang dimiliki. Anak laki-laki memiliki ketahanan fisik lebih baik dibandingkan anak perempuan. Sumantri (2005) menyatakan bahwa anak laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dan besar dari anak perempuan. Faktor tersebut diduga menyebabkan terdapatnya perbedaan kemampuan kerja fisik contoh.
Aktivitas Bermain Anak Usia 48-72 Bulan Bermain merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan, spontan dan didorong oleh motivasi internal yang umumnya dilakukan oleh anak-anak (Dariyo 2007). Aktivitas bermain dalam penelitian adalah aktivitas bermain usia 48-72 bulan yang melibatkan kombinasi organ fisik untuk merangsang
52
pertumbuhan. Pengukuran aktivitas bermain anak dalam penelitian menggunakan 10 item yang terdiri dari pertanyaan dan pengamatan yang dilakukan melalui wawancara kepada responden serta pengamatan langsung kegiatan bermain contoh. Hasil pengukuran disajikan pada Tabel 32 . Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan jenis permainan tradisional. Jenis permainan Waktu bermain >3 Jam Bermain kejar-kejaran Bermain kucing-kucingan Bola tangan Bola kaki Lompat tali Mengelilingi lingkaran Melompat satu kaki Melompat dua kaki Permainan dilakukan dua minggu terakhir
Ya n 48 51 50 6 27 40 51 47 44 51
% 94.11 100 98.03 11.76 52.94 78.43 100 92.15 86.27 100
Tidak n % 3 5.89 0 0 1 1.07 45 88.24 23 47.06 11 21.57 0 0 4 7.85 7 13.73 0 0
Total n 51 51 51 51 51 51 51 51 51 51
% 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Dari hasil analisis, contoh memiliki waktu bermain di kebun teh Malabar dan Purbasari >3 jam adalah sebesar 95.11%. Jenis permainan yang melatih kecepatan yaitu bermain kejar-kejaran bermain kucing-kucingan di kebun teh Malabar dan Purbasari adalah jenis yang sering dilakukan, dengan persentase masing-masing 100% dan 98.03%. Permainan tradisional bola kasti untuk melatih kekuatan tangan dan kecepatan adalah jenis permainan yang paling sering tidak dilakukan (88.24%). Hal ini disebabkan oleh jenis permainan bola kasti tidak diminati contoh terutama oleh contoh berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 52.94% contoh melakukan permainan tradisional bola kaki di kebun teh Malabar dan Purbasari, terutama didominasi oleh contoh laki-laki. Budaya
saat ini masih beranggapan
bahwa permainan sepak bola hanya
dikhususkan untuk laki-laki. Sebanyak 78.43% contoh melakukan permainan lompat tali yang berfungsi mengasah kekuatan otot kaki. Permainan ini merupakan permainan yang diminati oleh anak baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan untuk permainan lari mengelilingi lingkaran untuk melatih kecepatan dan keseimbangan tubuh, sebanyak 100% contoh baik laki-laki maupun perempuan melakukan permaian tersebut.
53
Permainan yang melatih kekuatan otot dan kelincahan kaki dengan melompat tumpuhan satu kaki dan saling berganti, sebagian besar contoh dapat melakukan gerakan tersebut, yaitu 92.15% untuk satu kaki 92.15% dan 86.27% untuk dua kaki. Dari gambaran deskriptif berdasarkan wawancara dan pengamatan terhadap kegiatan bermain, diperoleh aktivitas bermain contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari yang disajikan pada Tabel 33. Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan akitvitas bermain. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Aktivitas bermain n 0 1 10 23 17 51
% 0 1.96 19.60 45.09 33.33 100
Tabel 33 menunjukkan bahwa 45.09% contoh memiliki aktivitas bermain yang dikategorikan baik. Skor nilai maksimum adalah 10 dan skor minimum adalah 5, dengan nilai rata-rata adalah 8.13±1.05. Tingginya aktivitas bermain disebabkan seluruh contoh memiliki waktu bermain diatas >3 jam. Selain waktu bermain, sebagian besar permainan tradisional seperti bermain kejar-kejaran, kucing-kucingan, lompat tali, lari mengelilingi lingkaran, melompat dengan satu kaki dan dua kaki dengan cara saling berganti sering dilakukan dalam aktivitas bermain contoh sehari-hari. Tingginya aktivitas bermain anak diduga disebabkan juga oleh faktor usia, dimana usia 48-72 bulan merupakan usia aktif. Hampir seluruh waktu digunakan untuk tidur dan bermain dengan teman-temannya. Permainan ini bukan hanya mengasah ketangkasan organ motorik semata, tetapi juga perkembangan emosi dan sosial (Dewi 2005). Perkembangan ketrampilan motorik kasar dengan melakukan gerakan lari, melompat dalam permainan kelihatannya sederhana, namun gerakan kaki, tangan dan seluruh tubuh merupakan aktivitas otot yang cukup rumit. Ketrampilan yang diasah melalui aktivitas bermain menuntut kematangan dalam koordinasi seluruh gerakan otot. Akitivitas bermain berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 34.
54
Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas bermain dan jenis kelamin. Kategori Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Laki-laki n % 0 0 0 0 2 6.66 14 48.66 14 48.66 30 100
Perempuan n % 0 0 1 4.47 8 38.09 9 42.85 3 14.85 21 100
n 0 1 10 23 17 51
Total % 0 1.96 19.61 45.10 33.33 100
Tabel 34 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh laki-laki 48.66% dari 30 orang contoh memiliki aktivitas bermain yang dikategorikan sangat baik dan baik. Faktor yang menyebabkan tingginya aktivitas bermain pada contoh laki-laki adalah waktu bermain dan jenis permainan tradisional yang sering dimainkan, dimana seluruh jenis permainan tradisional yang diamati sering dimainkan seharihari oleh contoh laki-laki. Jenis permainan yang dominan dilakukan oleh contoh laki-laki adalah sepak bola dan bola kasti atau bola tangan. Nilai tersebut mempengaruhi hasil pengukuran contoh laki-laki. Pada contoh perempuan, sebagian besar 42.85% dari 21 orang contoh memiliki aktivitas bermain yang dikategorikan baik. Hasil pengukuran aktivitas bermain contoh perempuan adalah belum maksimal karena dua jenis permainan terutama bola kasti atau bola tangan jarang dimainkan. Sedangkan permainan bola kaki tidak pernah dimainkan contoh perempuan. Jenis permainan merupakan ciri budaya setempat yang ikut berpengaruh dalam membatasi pemilihan permainan. Aktivitas bermain yang melibatkan organ fisik cenderung dilakukan contoh laki-laki daripada perempuan.
Status Kesehatan Status kesehatan menurut Undang-undang Kesehatan nomor 23 Tahun 1992 adalah suatu keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Status kesehatan dalam penelitian adalah riwayat penyakit yang pernah diderita, meliputi diare dan ISPA yang dialami contoh satu bulan yang lalu dan saat penelitian berlangsung. Hasil analisis data status kesehatan contoh berdasarkan frekuensi sakit diare dan ISPA disajikan pada Tabel 35.
55
Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi sakit diare dan ISPA. Frekuensi sakit Tidak pernah (0) Perna sakit(1-2) Sering sakit(≥3) Total
Diare n 38 13 0 51
ISPA % 74.50 25.50 0 100
n 19 23 9 51
% 37.25 45.09 17.64 100
Tabel 35 menunjukkan bahwa 74.50% contoh tidak pernah mengalami sakit diare dengan frekuensi sakit rata-rata 0.31± 0.54 per bulan, dan 45.09% contoh pernah mengalami sakit ISPA (1 sampai 2 kali per bulan) dengan frekuensi sakit rata-rata 1.07±1.09 per bulan.
Tingginya frekuensi sakit disebabkan contoh
mengalami frekuensi sakit berkisar 1 sampai 2 kali per bulan terutama penyakit ISPA. Faktor yang diduga menyebabkan tingginya frekuensi sakit ISPA yaitu keadaan sanitasi rumah masih belum memadai terutama jendela yang berfungsi mengatur sirkulasi udara. Jumlah ventilasi udara belum dapat mengatur sirkulasi udara secara maksimal. Syarat rumah sehat untuk ventilasi udara yaitu 20% dari luas ruangan tidak dipenuhi, dan jumlah penghuni yang menempati rumah begitu padat. Ventilasi udara dan padatnya penghuni menyebabkan tidak maksimalnya sirkulasi udara sehingga mendukung terjadinya penularan ISPA. Tabel 35 juga menunjukkan bahwa 25.40% contoh pernah mengalami sakit diare (1 sampai 2 kali per bulan). Faktor yang diduga berhubungan dengan frekuensi sakit diare yaitu air minum yang digunakan oleh keluarga contoh, dimana air tersebut bersumber dari mata air dan air tanah, sehingga kurang terjamin kebersihannya jika tidak ditangani dengan baik. Rendahnya frekuensi sakit diare diderita contoh masih memiliki dampak yang cukup besar terhadap kesehatan contoh. Penyebab utama kematian anak di Indonesia saat ini disebabkan oleh penyakit ISPA dan infeksi diare (Depkes 2004).
Kedua penyakit tersebut
memiliki hubungan terhadap sanitasi lingkungan dan perilaku masyarakat. Blum dalam Notoatmojo (2003) menyatakan bahwa status kesehatan baik individu maupun masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Sebaran tempat pengobatan contoh yang mengalami sakit dilihat pada Tabel 36.
56
Tabel 36 Sebaran tempat pengobatan bila contoh mengalami sakit. Tempat Pengobatan Tidak pernah Rumah sakit Dokter Puskesmas Beli obat di warung Pengobatan tanaman obat Pengobatan lain Total
n 4 1 7 26 7 5 1 51
% 7.84 1.96 13.73 50.98 13.73 9.80 1.96 100
Berdasarkan Tabel 36, 50.98% contoh yang mengalami sakit berobat di puskesmas. Tingginya kunjungan ke puskesmas disebabkan oleh akses ke puskesmas yang ada di kebun teh Malabar dan Purbasari mudah dijangkau masyarakat, serta biaya pelayanan kesehatan yang murah dengan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Tabel 36 juga menunjukkan bahwa 9.80% contoh diberikan tanaman obat bila mengalami sakit, hal ini menggambarkan kemandirinan orang tua dalam penanggulangan kesehatan anak. Selain itu ada 13.73% contoh yang diberikan obat yang dibeli dari warung bila mengalami sakit. Hal ini terjadi dengan alasan bahwa orang tua contoh tidak memiliki biaya untuk pergi ke tempat pelayanan kesehatan. Notoatmojo (2003) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan faktor penyebab rendahnya akses pelayanan kesehatan.
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan dalam penelitian adalah nilai dari zat gizi energi, protein, vitamin A dan zat besi (Fe), dari jenis pangan yang dikonsumsi anak usia 48-72 bulan yang diperoleh melalui recall 2 x 24 jam, selama 2 hari yang dibandingkan dengan angka kecukupan rata-rata individu yang dianjurkan per orang per hari. Hasil analisis data konsumsi zat gizi disajikan pada Tabel 37. Tabel 37 Sebaran contoh usia 48-72 berdasarkan konsumsi zat gizi rata-rata dan rasio kecukupan. Konsumsi zat gizi Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Zat besi (mg) Rata-rata ±SD
Kosumsi rata-rata zat gizi 1215±1204.57 21,15±9,15 281,76±243.63 6,40±2.76
Rasio kecukupan rata-rata 76,78±11,70% 51,80±20,54% 39,55±27,38% 61,63±17,64%
57
Konsumsi energi rata-rata per orang per hari di kebun teh Malabar dan Purbasari adalah 1215±1204,57 kkal dengan nilai konsumsi maksimum sebesar 1681,57 kkal dan nilai konsumsi minimum sebesar 808,73 kkal. Konsumsi energi dari 51 contoh belum memenuhi angka kecukupan konsumsi energi yang dianjurkan per orang per hari (1550 kkal), dengan rasio kecukupan energi sebesar 76.78±11.70%. Tingginya rasio kecukupan disebabkan oleh terdapatnya variasi data konsumsi energi dari 51 contoh. Kebutuhan energi contoh telah terpenuhi, karena rasio kecukupan energi sudah diatas 70%. Konsumsi energi contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar bersumber dari karbohidrat yaitu nasi yang merupakan makanan pokok utama. Menurut Ahmad et al. (2007), energi berasal dari bahan pangan yang dikonsumsi yang bersumber dari karbohidrat, lemak dan protein. Fungsi protein untuk tubuh manusia adalah sebagai berikut : 1) membangun sel tubuh, 2) mengganti sel tubuh, 3) membuat air susu dan hormon, 4) membuat protein darah, 5) menjaga asam-basa cairan tubuh, dan 6) pemberi kalori (Irianto 2007). Konsumsi protein contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari rata-rata per orang per hari adalah 21,15±9,16 gram. Konsumsi protein maksimum adalah 45,16 gram dan minimum adalah 6,73 gram. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan protein yang dianjurkan (39 gram), maka rata-rata konsumsi protein dari 51 contoh belum terpenuhi.
Rasio kecukupan protein contoh adalah
51.80±20.54%, dan hal ini menggambarkan bahwa konsumsi protein contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari belum terpenuhi. Rendahnya konsumsi protein contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh sumber protein yang dikonsumsi contoh sebagian besar mengandalkan protein nabati yaitu tempe dan tahu. Tempe dan tahu merupakan sumber protein nabati, namun konsumsi protein nabati tersebut juga masih sangat rendah sehingga tidak memenuhi kecukupan protein yang dianjurkan. Konsumsi protein yang bersumber dari protein hewani seperti ikan dan telur masih rendah. Almatsier (2005) menyatakan bahwa sumber kandungan protein tertinggi terdapat pada bahan makanan hewani. Rendahnya konsumsi protein diduga juga disebabkan oleh faktor kemiskinan, sehingga masyarakat belum mampu menjangkau bahan pangan yang berkualitas. Menurut Mundanijah et al.
58
(2006), faktor ekonomi dan harga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Konsumsi vitamin A yang cukup sangat baik untuk tubuh.
Vitamin A
berfungsi dalam hal penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan, diferensiasi sel, reproduksi dan kekebalan tubuh (Ahmad et al 2007). Jenis makanan hewani dan nabati yang kaya akan kandungan vitamin A yaitu hati, telur, wortel, sayur berwarna hijau, produk susu dan keju (Irianto 2007). Konsumsi vitamin A contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari rata-rata adalah 281,76±243,63, dengan nilai maksimum adalah 478 RE dan nilai minimum adalah 116 RE. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan vitamin A yang dianjurkan (450 RE), maka rata-rata konsumsi vitamin A contoh termasuk kategori kurang atau belum terpenuhi, dengan rasio kecukupan 39.55±27.38%. Rendahnya konsumsi vitamin A karena rendahnya konsumsi sayur-sayuran dan pangan hewani contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari. Rata-rata konsumsi zat gizi besi (Fe) contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari adalah 6,40±2,76, dengan nilai maksimum sebesar 16.32 mg dan nilai minimum sebesar 2.78 mg. Bila dibandingkan dengan angka kecukupan zat besi rata-rata yang dianjurkan (9 mg), maka rata-rata konsumsi zat gizi besi (Fe) contoh belum memenuhi angka kecukupan yang dianjurkan. Bila dikonversikan ke rasio kecukupan konsumsi besi (Fe), maka diperoleh rasio kecukupan zat gizi besi (Fe) sebesar 61.63±17.64. Rendahnya kosumsi zat gizi besi (Fe) disebabkan oleh masih rendahnya konsumsi pangan hewani dan sayuran. Bahan pangan kaya akan zat gizi besi (Fe), dan sebagian besar tekandung pada bahan makanan hewani. Untuk mendapatkan zat gizi yang berkulaitas dalam bahan makanan, diperlukan konsumsi makanan yang beragam, karena seluruh zat gizi makro, mikro, vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh tidak terdapat dalam satu jenis bahan pangan. Tubuh memerlukan zat gizi dalam batas tertentu, bila konsumsi melebihi kebutuhan tubuh, maka akan berdampak terhadap kesehatan. Konsumsi zat gizi yang cukup digunakan sebagai sumber energi, zat pembangun, zat pembentuk dan zat pengatur dalam menjalankan proses tubuh. Kebutuhan zat gizi seseorang dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur aktivitas fisik, berat badan, tinggi badan, genetik serta keadaan fisiologis seseorang (Karyadi dan Muhilal 1998).
59
Jumlah zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan normal juga tergantung dari kualitas zat gizi yang dimakan seperti bagaimana zat gizi itu mudah dicerna (digestibility) dan diserap (absorbability) (Pudjiadi 2005).
Status Anemia Penilaian status gizi secara laboratorium atau biokimia digunakan untuk mendeteksi tahap defisiensi subklinis dan untuk mengkonfirmasi diagnosa secara klinis terhadap seseorang. Cara ini merupakan metode yang dinilai secara objektif, karena tidak melibatkan emosi dan faktor subjektif lainnya. Untuk menilai apakah seseorang mengalami anemia, dapat dilakukan dengan pengukuran haemoglobin (Hb) (Gibson 2005). Haemoglobin (Hb) adalah cairan merah dalam darah yang berfungsi mengangkut oksigen yang disebarkan ke seluruh tubuh. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode sahli. Metode ini digunakan sebagai pengganti dari metode sianmethemoglobin, karena di tempat pelayanan kesehatan masyarakat
(puskesmas)
sianmethemoglobin,
di
dimana
daerah
penelitian
metode
ini
tidak
merupakan
tersedia
metode
metode
yang
direkomendasikan oleh WHO. Metode sahli akan lebih baik dilakukan bila menggunakan tenaga ahli yang telah mengikuti pendidikan, pelatihan dan berpengalaman (Muhilal & Saidin 1980). Untuk mencegah bias lebih besar, maka dalam pengukuran haemoglobin (Hb),
ujung jari anak-anak setelah terlebih
dahulu dibersihkan dengan alkohol, kemudian daerah tersebut dibersihkan lagi dengan tisu untuk mencegah terjadi percampuran alkohol dan plasma darah. Hasil pengukuran haemoglobin (Hb), yang dilakukan selama dua hari di kebun teh Malabar dan Purbasari, menyatakan bahwa sebagian besar contoh mengalami kekurangan haemoglobin (Hb) dalam darah atau anemia. pengukuran status biokimia tersebut disajikan pada Tabel 38. Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan haemoglobin (Hb). Haemoglobin (Hb) Normal (≥110g/l atau 115g/l) Anemia (<110g/l atau 115g/l) Total
n 19 32 51
% 37.25 62.74 100
Hasil
60
Tabel 38 menunjukkan bahwa sebanyak 62.74% contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari mengalami status anemia dan 37.25% contoh memiliki haemoglobin (Hb) normal yaitu, dengan nilai rata-rata 11.10±0.79. Rendahnya haemoglobin (Hb) contoh karena masih rendahnya konsumsi zat gizi terutama zat gizi besi (Fe) dan protein. Konsumsi zat gizi besi (Fe) rata-rata adalah 6,40±2,76 dan protein adalah 21,15±9,16 (Tabel 35). Kedua zat gizi tersebut merupakan bahan yang dibutuhkan tubuh dalam pembentukan haemoglobin (Hb) darah. Faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia antara lain asupan zat gizi besi (Fe) yang tidak memadai, terjadi peningkatan kebutuhan fisiologis dan kehilangan banyak darah (Ahmad et al. 2007). Sebaran haemoglobin (Hb) berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 39. Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan haemoglobin (Hb) dan jenis kelamin. Haemoglobin (Hb) Normal (≥110g/l atau 115g/l) Anemia (<110g/l atau 115g/l) Total
Laki-laki n % 10 33.33 20 66.66 30 100
Perempuan n % 9 42.85 12 57.14 21 100
Total n % 19 37.25 32 62.75 51 100
Tabel 39 menunjukkan bahwa 66.66% (dari 31 contoh) contoh laki-laki dan 57.14% (dari 21 contoh) contoh perempuan memiliki status anemia. Rendahnya kadar haemoglobin (Hb) diduga disebabkan oleh rendahnya konsumsi zat gizi besi (Fe). Jika jumlah masukan zat gizi besi (Fe) melalui makanan sehari-hari tidak dapat mencukupi, adanya kebutuhan fisiologis atau kehilangan zat gizi besi (Fe) yang meninggi, mengakibatkan keadaan kekurangan zat gizi besi (Fe) dalam tubuh. Anemia yang tinggi juga akan berdampak terhadap rendahnya produktifitas tubuh, menurunnya kemampuan berpikir dan suplai oksigen yang tidak maksimal ke seluruh jaringan tubuh (Pudjiadi 2005).
Status Gizi Kumaidi (1998) menyatakan bahwa jenis antropometri tinggi badan dan berat badan merupakan pendekatan antropometri yang terhandal dan mudah dilakukan. Status gizi dalam penelitian ini adalah keadaan gizi anak usia 48-72
61
bulan secara antropometri dengan menggunakan indeks BB/U, TB/U, BB/TB WHO/NCHS, yang dianalisis menggunakan program nutrisurvey 2005. Hasil analisis data status gizi berdasarkan indeks BB/U disajikan pada Tabel 40. Tabel 40 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/U. Kategori Buruk ( Z-score<-3) Kurang (Z-score -3 sd -2) Normal (Z-score -2 sd 2 Total
Status gizi n 2 16 33 51
% 3.92 31.37 64.70 100
Tabel 40 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh 64.70% memiliki status gizi normal, dengan nilai rata-rata Z-score sebesar -1.66±0.80. Indikator pengukuran status gizi dengan indeks BB/U mencerminkan keadaan status gizi saat ini. Rendahnya nilai Z-score berdasarkan indeks BB/U merupakan indikator kekurangan gizi kronis (Gibson 2005). Sebaran contoh berdasarkan indeks status gizi BB/U dan jenis kelamin di kebun teh Malabar dan Purbasari disajikan pada Tabel 41. Tabel 41 Sebaran contoh berdasarkan status gizi (BB/U) dan jenis kelamin. Status Gizi Buruk ( Z-score<-3) Kurang (Z-score -3 sd-2) Normal (Z-score -2 sd 2) Total
Laki-laki n % 0 0,00 10 33.33 20 66.66 30 100
Perempuan n % 2 9.52 6 28.57 13 61.90 21 100
Total n 2 16 33 51
% 3.92 31.37 64.70 100
Tabel 41 menunjukkan bahwa 64.70% contoh berjenis kelamin laki-laki dan 61.90% contoh berjenis kelamin perempuan memiliki status gizi normal berdasarkan indeks BB/U. Tabel 41 juga menunjukkan bahwa masih terdapat contoh berjenis kelamin perempuan yang mengalami status gizi buruk dan kurang, yaitu masing-masing sebesar 9.52% dan 28.57%. Pengukuran status gizi berdasarkan indeks TB/U pada contoh dikebun teh Malabar dan Purbasari disajikan pada Tabel 42.
62
Tabel 42 Sebaran contoh berdasarkan status gizi TB/U. Status gizi
Kategori
n
%
Kurang (Z-score <-2) Normal (Z-score -2 sd 2)
37 14
72.54 27.45
Total
51
100
Berdasarkan Tabel 42 di atas, 72.54% contoh yang berusia 48-72 bulan di kebun teh Malabar dan Purbasari, memiliki status gizi kurang berdasarkan indeks TB/U, dengan nilai rata-rata Z-score sebesar 2.40±0.96. Sebagian besar contoh mengalami kurang gizi stunted atau pendek. Anak-anak yang mengalami kurang gizi stunted atau pendek biasanya disebabkan oleh kualitas makanan yang dikonsumsi tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi dan sering mengalami sakit terutama penyakit infeksi (Allen dan Gillespie 2001). Stunted atau pendek masih menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia. Dari berbagai survei yang dilakukan antara tahun 1990 sampai 2001 menunjukkan hasil bahwa prevalensi anak pra-sekolah yang stunted atau pendek masih sangat tinggi yaitu lebih dari 40%, dan cenderung tidak ada perubahan. Sehingga dapat diasumsikan bahwa hampir separuh dari anak pra-anak sekolah dari berbagai survei tersebut telah mengalami kurang gizi secara berulang sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang tidak optimal (Achadi 2008). Supariasa (2002) menyatakan bahwa indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U digunakan sebagai indikator untuk mengukur status gizi masa lampau. Dengan demikian contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari tersebut,mengalami status gizi buruk dan kurang di masa lampau, sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan normal saat ini. Status gizi berdasarkan indeks TB/U pada contoh berusia 48-72 bulan berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 43. Tabel 43 Sebaran status gizi TB/U usia 48-72 bulan berdasarkan jenis kelamin. Status Gizi Kurang (Z-score < -2) Normal (Z-score -2 sd 2) Total
Laki-laki n % 23 79.31 7 24.13 30 100
Perempuan n % 14 63.63 7 31.81 21 100
Total n 37 14 51
%
100
63
Tabel 43 menunjukkan bahwa status gizi berdasarkan indeks TB/U sebagian besar contoh berusia 48-72 bulan adalah termasuk gizi kurang, dengan persentase masing-masing sebesar 79.31% untuk contoh berjenis kelamin laki-laki dan 63.63% untuk contoh berjenis kelamin perempuan yang berada di kebun teh Malabar dan Purbasari. Hasil pengukuran status gizi berdasarkan indeks BB/TB disajikan pada Tabel 44. Tabel 44 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB. Kategori Sangat kurus z-score <-3 Kurus z-score-3s/d-2 Normal z-score-2s/d2 Gemuk z-score>2 Total
Status gizi n 1 1 49 0 51
% 1.96 1.96 96.07 0 100
Berdasarkan Tabel 44, status gizi sebagian besar contoh 96.07% berdasarkan indeks BB/TB di kebun teh Malabar dan Purbasari adalah normal, dengan nilai rata-rata Z-score sebesar 0.28±1.03. Status gizi berdasarkan indeks BB/TB adalah indikator yang digunakan untuk mengukur status gizi saat ini Supariasa (2002). Status gizi berdasarkan indeks BB/TB berdasarkan jenis kelamin disajikan pada Tabel 45. Tabel 45 Sebaran contoh berdasarkan status gizi BB/TB dan jenis kelamin. Status Gizi Sangat kurus z-score <-3 Kurus z-score-3s/d-2 Normal z-score-2s/d2 Gemuk z-score>2 Total
Laki-laki n % 0 0. 0 0 30 100 0 0 30 100
Perempuan n % 1 4.76 1 4.76 19 90.47 0 0 21 100
Total n 1 1 49 0 51
% 1.96 1.96 96.08 0 100
Tabel 45 di atas menunjukka bahwa 100% contoh berjenis kelamin laki-laki dan 90.47% contoh berjenis kelamin perempuan yang berada di kebun teh Malabar dan Purbasari memiliki status gizi normal.
Selain itu juga masih
ditemukan contoh berjenis kelamin perempuan yang mengalami satus gizi kategori kurus dan sangat kurus yaitu sebesar 4.76%.
64
Hubungan Antara Konsumsi Pangan Dengan Potensi Atlit Konsumsi pangan yang digunakan sebagai parameter dalam pengujian statistik dengan potensi atlit berusia 48-72 bulan adalah zat gizi energi dan protein, karena kedua zat gizi makro tersebut digunakan sebagai parameter dalam penilaian status gizi berdasarkan konsumsi pangan. Hasil analisis korelasi antara konsumsi pangan dengan potensi atlit usia 48-72 bulan disajikan pada Tabel 46. Tabel 46 Hubungan antara konsumsi energi, protein, vitamin A dan besi (Fe) dengan potensi atlit contoh. Konsumsi pangan
Potensi atlit contoh Koefisien korelasi
p
Energi
0.33*
0.01
Protein
-0.04
0.74
Vitamin A
-0.03
0.82
Besi (Fe)
-0.05
0.75
Keterangan: * hubungan nyata (p<0.05)
Berdasarkan Tabel 46, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan nyata (p<0.05) antara konsumsi energi dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. Hal ini berarti bahwa terjadi peningkatan konsumsi energi contoh menuju angka kecukupan yang dibutuhkan sehingga potensi atlit contoh juga akan meningkat. Terdapatnya hubungan nyata antara konsumsi energi dengan potensi atlit usia 48-72 bulan karena nilai konsumsi energi rata-rata adalah sebesar 1215±1204,57 kkal (Tabel 37), dengan rasio kecukupan energi sebesar 76.78±11.70. Konsumsi energi memberikan dampak terhadap potensi atlit. Gerakan fisik yang dilakukan memerlukan energi yang diperoleh dari konsumsi zat gizi. Zat gizi tersebut dicerna melalui saluran pencernaan dan diuraikan dalam tubuh untuk digunakan sebagai sumber tenaga. Bila konsumsi melebihi kebutuhan tubuh, maka akan tersimpan di hati dalam bentuk lemak serta glikogen otot yang berperan sebagai cadangan energi tubuh (Suhardjo dan Kusharto 1992). Pengujian potensi atlit yang dilakukan sepenuhnya melibatkan aktivitas kegiatan fisik yang tinggi, sehingga tubuh membutuhkan energi yang cukup untuk digunakan.
65
Cadangan zat gizi utama yang digunakan untuk aktivitas fisik tinggi yaitu glukosa dan glikogen otot yang tersimpan dalam tubuh, yang terlebih dahulu diuraikan melalui proses glikolisis sehingga menghasilkan energi yang dibutuhkan. energi yang dibutuhkan tubuh diperoleh melalui dua sistem energi yaitu anaerobik dan aerobik. Proses perubahan zat gizi menjadi energi melalui proses anaerobik dilakukan dalam waktu yang cepat. Poses perombakan zat gizi menjadi energi ini, dapat menghasilkan asam laktat dan energi yang kecil yaitu 2-3 ATP. Asam laktat terkumpul dan terbentuk, sehingga sel menjadi asam akan mempengaruhi efisiensi kerja otot, nyeri otot dan kelelahan. Sedangkan pada proses aerobik, tubuh dapat menghasilkan energi lebih banyak dua puluh kali lipat dari anaerobik yakni sejumlah 38-39 ATP (Irianto 2007). Proses aerobik ini sangat ditentukan oleh aktivitas, bila tubuh melakukan kerja diatas dua menit maka proses aerobik akan terjadi dengan bantuan oksigen. Bila kebutuhan energi menuju angka keseimbangan tubuh, maka tubuh mengalami proses kerja yang baik dan menyebabkan terjadi peningkatan potensi atlit atau kemampuan kerja fisik. Kebutuhan energi tergantung oleh aktivitas fisik, bila aktivitas fisik rendah, maka kebutuhan energi sedikit dan bila terjadi peningkatan aktivitas fisik kebutuhan energi juga ikut meningkat sesuai aktivitas fisik yang dilakukan. Pengujian fisik yang digunakan dalam penilaian potensi atlit merupakan pengujian fisik dan memiliki durasi waktu yang tinggi, sehingga didukung oleh konsumsi zat gizi seimbang sehingga dapat digunakan untuk sumber tenaga. Ahmad et al. (2007) menyatakan bahwa kebutuhan energi yang diperoleh dari bahan makanan diperlukan manusia untuk metabolisme basal, aktivitas fisik dan efek makanan (Spesific Dynamic Action/SDA). Ketiga kebutuhan energi besar digunakan untuk metabolisme basal, kurang lebih dua pertiga dari total energi yang dikeluarkan seseorang. Anak-anak mengalami kekurangan energi dan protein akibat dari konsumsi pangan yang tidak mencukupi sehingg akan berdampak pada kesehatan dan perkembangan fisik secara normal, dan akan beresiko tinggi terhadap kematian (Akner dan Cenderholem 2005). Berdasarkan hasil penelitian Rusyantia et al. (2006), anak yang memiliki tingkat kecukupan energi akan memiliki status gizi yang baik, sehingga konsumsi energi yang cukup akan berpengaruh terhadap kerja fisik.
66
Hasil analisis data antara konsumsi protein dengan potensi atlit usia 48-72 bulan menunjukkan hubungan yang tidak nyata. Hal ini disebabkan oleh yerjadinya variasi data konsumsi protein pada contoh. Faktor yang diduga menyebabkan tidak terdapat hubungan nyata antara konsumsi protein dengan potensi atlit usia 48-72 bulan, yaitu energi yang digunakan dalam aktivitas fisik masih bersumber dari cadangan zat gizi yang diperoleh dari karbohidrat yaitu dalam bentuk glukosa dan glikogen otot. Protein dapat digunakan sebagai sumber energi, bila seluruh cadangan energi yang tersimpan telah habis digunakan oleh tubuh akibat kelaparan. Hal ini terjadi terutama pada anak-anak yang mengalami kurang gizi. Proses perombakan protein menjadi ATP sangat sulit, karena terdapat kandungan nitrogen. Namun dalam keadaan memaksa atau situasi kelaparan, protein dapat dirombak menjadi ATP melalui deaminasi asam amino. Atom nitrogen harus diuraikan melalui daur urea dan selanjutnya dibuang melalui urin, tetapi memerlukan waktu lama (Irianto 2007). Hubungan yang tidak nyata juga terdapat pada konsumsi vitamin A dan besi (Fe). Faktor yang diduga tidak terdapat hubungan nyata, oleh karena sebaran data konsumsi vitamin A dan besi (Fe) yang rendah.
Hubungan Status Kesehatan Dengan Potensi Atlit Usia 48-72 Bulan Hasil analisis korelasi, hubungan antara status kesehatan (diare dan ISPA) dengan potensi atlit usia 48-72 bulan disajikan pada Tabel 47. Tabel 47 Hubungan antara status kesehatan, haemoglobin (Hb), status gizi, aktivitas bermain dengan potensi atlit contoh. Potensi atlit contoh Koefisien korelasi
p
Status Kesehatan
0.62**
0.000
Status Gizi (BB/TB)
-0.13
0.344
Status Biokimia
0.34*
0.014
Aktivitas Bermain
0.30*
0.030
Keterangan: ** hubungan sangat nyata pada p<0.01 * hubungan nyata pada p<0.05
67
Tabel 47 menunjukkan bahwa terdapat hubungan sangat nyata (p<0.01) antara status kesehatan dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. Hal ini berari bahwa semakin rendah frekuensi sakit diare dan ISPA yang dialami contoh, sehingga potensi atlit membaik. Tingkat hubugan sangat nyata antara status kesehatan diare dan ISPA dengan potensi atlit anak usia 48-72 bulan di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh rendahnya frekuensi diare yang dialami yaitu 25.50%, (Tabel 33) dengan rata-rata 0.31±0.54 per bulan, dan sebaran contoh yang mengalami frekuensi sakit ISPA yaitu 41.17% (Tabel 35) dengan rata-rata 1.07±1.09 per bulan. Hasil analisis cross-tab antara frekuensi diare dengan potensi atlit menunjukkan bahwa 48.65% contoh yang tidak mengalami sakit memiliki potensi atlit kategori sedang, sedangkan 71.43% contoh yang mengalami sakit diare (antara 1 sampai 2 kali per bulan) memiliki potensi atlit kategori kurang. Hasil tersebut menggambarkan bahwa frekuensi sakit yang tinggi berdampak besar terhadap potensi atlit yang dimiliki oleh contoh. Hasil analisis cross-tab juga ditemukan bahwa 5.41% contoh yang tidak pernah sakit diare memiliki potensi atlit kategori baik (Lampiran 6). Hasil maksimal yang diperoleh menunjukan bahwa contoh yang tidak mengalami frekuensi diare akan berdampak positif terhadap potensi atlit. Anak-anak yang mengalami frekuensi diare tinggi akan kehilangan cairan tubuh yang menyebabkan berkurang atau rendahnya cadangan air dalam tubuh sehingga dapat mempengaruhi metabolisme energi, protein dan zat gizi lain (tidak dapat dicerna dengan baik), hal ini disebabkan oleh fungsi air sebagai pelarut dalam sistem metabolisme tubuh. Tidak efektifnya fungsi sistem pencernaan menyebabkan rendahnya cadangan zat gizi yang tersimpan dalam tubuh yang dapat digunakan sebagai sumber energi bila tubuh membutuhkan (terutama dalam aktivitas fisik). Frekuensi diare pada contoh memberikan kontribusi besar terhadap hilangnya cadangan air dan energi dalam tubuh yang berakhir dengan kematian bila tidak diatasi. Faktor yang diduga menyebabkan rendahnya potensi atlit yaitu kekurangan cairan
tubuh
pada
contoh
yang
mengalami
frekuensi
diare
tinggi.
Doglas et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang tinggi akan
68
menyebabkan terjadinya kekurangan cairan tubuh dalam situasi tertentu yang menggangu sistem metabolisme dalam tubuh, karena air merupakan zat pelarut untuk metabolisme zat gizi. Kekurangan cairan ini disebabkan cadangan air dalam tubuh mengalami penipisan akibat diare. Frekuensi diare tinggi juga menyebabkan tubuh melakukan reaksi alami untuk menguraikan cadangan energi
yang
tersimpan dalam hati, lemak dan glikogen otot sebagai sumber energi. Pada saat melakukan aktivitas fisik, tubuh mengalami kekurangan energi, karena rendahnya cadangan yang tersimpan dalam tubuh. Hasil analisis menggunakan cross-tab antara frekuensi ISPA dengan potensi atlit, menunjukkan bahwa 78.95% contoh yang tidak mengalami ISPA memiliki potensi atlit kategori sedang. Selain itu, 60.87% dan 88.89% contoh yang mengalami frekuensi ISPA dengan kisaran 1-2 kali dan ≥3 kali per bulan, memiliki potensi atlit kategori kurang dan sangat kurang. Hasil ini menunjukkan bahwa contoh yang memiliki frekuensi ISPA tinggi akan berakibat terhadap rendahnya potensi atlit di kebun teh Malabar dan Purbasari. Hasil analisis cross-tab juga menunjukkan bahwa 8.70% contoh yang mengalami frekuensi sakit ISPA dengan kisaran 1-2 kali per bulan memiliki potensi atlit kategori baik. Hasil yang maksimal tersebut dipengaruhi oleh distribusi dari lima pengukuran potensi atlit terutama pengujian kekuatan otot dengan metode menggantung dan pengujian tenaga eksplosif dengan metode lompat tegak. Frekuensi ISPA yang tinggi akan berdampak terhadap kerja fisik, karena aktivitas fisik yang tinggi memerlukan oksigen dalam proses pembakaran zat gizi menjadi energi sebagai sumber tenaga. Contoh yang mengalami ISPA akan mengalami gangguan proses sirkulasi oksigen yang dihirup melalui saluran pernapasan dan akan berhubungan pada proses pembuangan karbon dioksida. Anak-anak yang mengalami ISPA akan kesulitan bernapas, karena pada saluran pernapasan terdapat cairan. Aktivitas fisik yang tinggi menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat, sedangkan suplai oksigen rendah akan menggangu proses sirkulasi, sehingga oksigen yang ditampung oleh paru-paru yang diterima dari luar tubuh melalui saluran pernapasan sangat terbatas. Sistem kerja paru-paru menerima oksigen dari luar berbanding lurus dengan karbon dioksida yang dibuang keluar tubuh (Pearce 2006).
69
Kebutuhan
oksigen
selama
aktivitas
fisik
tinggi
sehingga
akan
meningkatkan kerja paru-paru dan oksigen tiga kali lipat dari aktivitas normal. Peningkatan ini disebabkan oleh pembukaan sejumlah kapiler paru-paru yang tidak aktif dan terjadinya dilatasi semua kapiler paru-paru yang terbuka, yang menambah luas permukaan sehingga memerlukan oksigen yang banyak. Oleh karena itu, selama gerakan fisik yang berat, oksigen darah ditingkatkan tidak hanya pada sistem fentilasi alveulus, tetapi juga kapasitas membran respirasi untuk menerima oksigen dari atmosfer yang dibawa oleh haemoglobin (Hb) darah ke seluruh jaringan (Guyton 1996).
Hubungan Antara Status Gizi (BB/TB) Dengan Potensi Atlit Berdasarkan analisis korelasi, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara status gizi berdasarkan indeks BB/TB dengan potensi atlit (Tabel 47), karena status gizi 96.07% contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari adalah normal (Tabel 44), dengan nilai rata-rata Z-score berdasarkan indeks BB/TB yaitu 0.28±1.03. Variasi data dari kedua peubah yang diduga menyebabkan tidak terjadinya hubungan yang nyata. Hasil analisis cross-tab antara status gizi berdasarkan indeks BB/TB dengan potensi atlit, menunjukkan bahwa 48.98% dan 40.82% contoh memiliki status gizi dengan potensi atlit kategori kurang dan sedang (Lampiran 6). Hasil tersebut dipegaruhi oleh hasil pengukuran potensi atlit yang lain. Hasil anlisis cross-tab juga menunjukkan bahwa 4.08% contoh yang berstatus gizi normal memiliki potensi atlit kategori baik (Lampiran 6). Hasil yang maksimal tersebut menunjukan bahwa status gizi berdasarkan indeks BB/TB
memberikan
konstribusi besar terhadap potensi atlit, karena struktur fisik yang baik terutama panjang tulang dan otot yang besar berpegaruh terhadap kecepatan gerak, kekuatan dan ketahanan otot (Tangkudung 2007). Tidak terdapat hubungan nyata antara status gizi berdasarkan indeks BB/TB dengan potensi atlit, karena aktivitas fisik atau gerakan tubuh anak belum terlatih atau kurang melakukan gerakan-gerakan yang digunakan dalam pengujian potensi atlit. Meskipun dalam kegiatan bermain sebagian besar memiliki aktivitas baik,
70
namun waktu gerakan fisik dalam permainan yang berhubungan dengan pengujian potensi atlit belum dapat diukur. Tangkudung (2006) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang dilatih terus-menerus akan memberikan efek positif terhadap daya tahan tubuh. Tubuh dapat menggunakan energi dengan baik dalam menjaga keseimbangan kebutuhan energi dibutuhkan. Faktor tersebut yang menyebabkan tidak terdapat hubugan nyata dari kedua peubah. Aktivitas fisik yang dilatih terus-menerus akan menghasilkan pembentukan otot-otot yang banyak menyimpan energi dimana sewaktu-waktu energi tersebut dapat digunakan untuk melakukan aktivitas berat. Dengan demikian, anak-anak yang memiliki status gizi baik namun tidak diikuti dengan latihan fisik maka akan mempengaruhi ketahanan kardiovaskuler, kekuatan otot, ketahanan otot dan kecepatan gerak fisik.
Hubungan Haemoglobin (Hb) Dengan Potensi Atlit Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubugan yang nyata (p<0.05) antara haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit usia 48-72 bulan pada (Tabel 47). Hal ini berarti bahwa dengan haemoglobin (Hb) yang normal maka potensi atlit juga akan membaik. Sebagian besar (62.74%) contoh mengalami anemia (Tabel 38) dengan nilai rata-rata haemoglobin (Hb) sebesar 11.10±0.79. Hasil analisis cross-tab antara haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit menunjukkan bahwa 47.37% contoh yang tidak mengalami anemia memiliki potensi atlit kategori sedang (Lampiran 6), sedangkan 56.25% contoh yang mengalami anemia memiliki potensi atlit kategori kurang (Lampiran 6). Hasil tersebut menunjukan bahwa contoh yang mengalami anemia yang tinggi akan berdampak terhadap renahnya potensi atlit. Hasil analisis cross-tab juga menunjukkan bahwa 10.53% contoh yang tidak mengalami anemia memiliki potensi atlit kategori baik (Lampiran 6). Hasil yang maksimal ini menunjukkan bahwa contoh yang tidak mengalami anemia akan memberikan kontribusi terhadap kemampuan kerja fisik yang berhubungan dengan potensi atlit. Hasil analisis cross-tab juga menunjukkan bahwa 37.5% contoh yang mengalami anemia memiliki potensi atlit kategori sedang.
Hal ini diduga
71
disebabkan oleh transportasi oksigen yang diangkut oleh haemoglobin (Hb) pada manusia terutama didataran tinggi (Guytion 1996). Analisis yang sama menunjukkan bahwa 56.25% contoh yang kekurangan haemoglobin (Hb) memiliki potensi atlit kategori kurang. Hasil ini menunjukkan bahwa haemoglobin (Hb) memiliki peranan yang besar terhadap kekuatan fisik terutama dalam mengsuplai oksigen, karena fungsi haemoglobin (Hb) adalah pembawa oksigen untuk keperluan pembakaran di dalam sel tubuh (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Pengujian potensi atlit yang dilakukan merupakan pengujian fisik secara total sangat membutuhkan oksigen yang cukup. Rendahnya haemoglobin (Hb) dalam darah akan menyebabkan sedikitnya oksigen yang diangkut dari paru-paru ke seluruh organ tubuh melalui darah untuk aktivitas kerja tubuh. Terjadinya transport oksigen dalam darah melalui dua bentuk yaitu terlarut dalam plasma dan terikat dengan haemoglobin (Hb) (Fikri dan Ganda 2005). Hal tersebut terjadi, karena molekul oksigen bergabung secara longgar dan revelsibel dengan bagian heme dari haemoglobin (Hb). Bila tekanan dalam kapiler paru-paru tinggi, maka oksigen akan berikatan dengan hemoglobin (Hb), tetapi jika tekanan dalam kapiler rendah maka jaringan oksigen dilepas dari haemoglobin (Hb). Jumlah maksimum oksigen yang bergabung dengan haemogobin (Hb) darah orang normal mengandung kira-kira 15 gram haemoglobin (Hb) dalam 100 ml darah, dan tiap gram haemoglobin (Hb) dapat berikatan dengan maksimum kira-kira 1.34 ml oksigen (Guyton 1996). Haemoglobin (Hb) rendah dalam darah berpengaruh secara negatif terhadap kelelahan dan ketahanan otot (Brutsaert 2004). Hal tersebut telah ditemukan pada contoh yang memiliki haemoglobin (Hb) rendah saat pengujian potensi atlit berlangsung. Contoh mudah mengalami kelelahan terutama pada pengujian lari 100 meter dan 300 meter, hal ini dipengaruhi oleh rendahnya konsumsi oksigen dari luar yang membantu dalam penguraian asam laktat akibat dari pembentukan energi yang terjadi secara anaerobik. Oksigen memegang peranan penting dalam metabolisme energi terutama aktivitas fisik berat dan waktu yang sangat lama. Metabolisme zat gizi menjadi energi terjadi secara anaerobik dan aerobik (Irianto 2007). Pengujian potensi atlit
72
contoh dengan aktivitas fisik berat dan waktu yang lama, menybabkan kebutuhan oksigen juga meningkat karena oksigen digunakan pada proses pembakaran zat gizi yang tersimpan dalam tubuh terjadi secara aerobik. Pengujian potensi atlit yang dilakukan dalam penelitian menggunakan pengujian fisik. Oleh karena itu, contoh yang memiliki haemoglobin (Hb) rendah, akan berdampak negatif terhadap kerja fisik. Kekurangan besi (Fe) terutama terjadi pada masyarakat sosial ekonomi rendah (Silva et al. 2006). Hasil analisis dalam penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat keluarga dengan status ekonomi yang termasuk kategori miskin.
Hubungan Aktivitas Bermain Dengan Potensi Atlit Aktivitas bermain anak merupakan kegiatan yang sering dan senang dilakukan, terutama pada anak berusia 48-72 bulan. Aktivitas bermain anak dalam penelitian adalah aktivitas bermain contoh yang melibatkan kombinasi organ fisik yang merangsang pertumbuhan. Hasil analisis korelasi antara aktivitas bermain dengan potensi atlit contoh dikebun teh Malabar dan Purbasari menunjukkan bahwa terdapat hubungan
nyata (p<0.05) (Tabel 47). Hal ini berarti bahwa
semakin sering contoh melakukan aktivitas bermain yang melibatkan organ fisik, maka potensi atlit juga membaik. Faktor yang menyebabkan terdapat hubungan yang nyata antara aktivitas bermain dengan potensi atlit adalah sebagian besar 45.09% contoh yang memiliki aktivitas bermain baik, dengan rata-rata 8.13±1.05. Hasil analisis cross-tab antara aktivitas bermain dengan potensi atlit menunjukkan bahwa 52.94% contoh dengan aktivitas bermain sangat baik, memiliki potensi atlit kategori sedang (Lampiran 6), sedangkan 100% contoh dengan aktivitas bermain kurang memiliki potensi atlit kategori sangat kurang yaitu. Hasil analisis cross-tab juga menunjukkan bahwa 8.70% contoh dengan aktivitas bermain baik memiliki potensi atlit kategori baik. Data ini menunjukkan bahwa aktivitas bermain berdampak besar terhadap potensi atlit meskipun hasilnya belum maksimal. Tingginya aktivitas bermain contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari disebabkan oleh waktu bermain contoh >3 jam dalam sehari. Contoh di kebun teh
73
Malabar dan Purbasari senang bermain kejar-kejaran, melompat, dan bermain kucing-kucingan dimana jenis-jenis permainan tersebut merupakan permainan tradisional yang dapat membantu merangsang pertumbuhan untuk menunjang potensi atlit yang dimiliki contoh. Melalui kegiatan bermain anak yang melibatkan kegiatan fisik seperti lari, melompat, memanjat, melempar dan permainan fisik lainnya, maka akan melatih gerakan motorik kasar dan halus (Sumantri 2005). Anak usia 4-5 tahun dapat melakukan gerakan motorik halus seperti menggambar dan memotong atau menggantung. Sedangkan perkembangan motorik kasar yang dapat dilakukan anak usia ini yaitu menendang bola dengan baik, lari, melompat satu kaki, menggantung dan memanjat. Sedangkan anak usia 5-7 tahun dapat melakukan lompat jauh dan permainan keseimbangan badan (Depkes 1997). Tahap-tahap perkembangan tersebut memberikan kontribusi besar terhadap hasil pengujian potensi atlit yang dilakukan pada contoh, walaupun hasil pengukuran belum maksimal. Tingginya aktivitas bermain contoh disebabkan terdapatnya fasilitas bermain yang disediakan oleh pihak PTPN wilayah VIII. Hurlock (1997) menyatakan bahwa alat bermain dan aktivitas bermain ikut menentukan kelanjutan perkembangan anak. Dengan bermain akan terjadi koordinasi antara gerakan tubuh dan panca indra. Aktivitas bermain merupakan cara pembelajaran untuk memperoleh ketrampilan yang menjadi dasar menuju kedewasaan (Johonson dan Yawkey 1999 dalam Dariyo 2006). Jenis permainan yang dimainkan contoh yaitu jenis permainan kelompok, sehingga selain dapat mengasah organ motori, permainan ini juga dapat mengasah kemampuan sosial. Kegiatan bermain akan memberikan manfaat positif untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak. Potensi tersebut adalah kecerdasan, bakat, kreativitas, ketrampilan motorik (motoric skill), ketrampilan bergaul (sosial skill) dan ketrampilan komunikasi (communication skill) pada anak (Dariyo 2006). Tedjasaputra (2001) menyatakan bahwa dalam situasi bermain anak dapat mengembangkan dan mengekspresikan potensi-potensi bakat, kecerdasan yang dimiliki anak tersebut, kreativitas maupun dorongan untuk bergaul dan berinteraksi yang dilakukan dalam situasi bermain dengan temannya. Aktivitas bermain anak memiliki 12 keunggulan yang diperoleh dari aktivitas
74
bermain, salah satunya adalah dapat mengoptimalkan pertumbuhan seluruh bagian tubuh, seperi tulang, otot dan organ-organ lain (Soetjinigsih 1995). Simulasi dari lingkungan keluarga, berupa dukungan, pujian dan kesempatan memberikan motovasi bagi anak untuk menggerakkan semua bagian tubuh terutama menggerakan otot kaki dan tangan, akan semakin mempercepat perkembangan motorik kasar (Dewi 2005). Permainan dan gerakan-gerakan tersebut akan membantu dalam pertumbuhan dan perkembangan untuk menunjang potensi atlit yang dimiliki contoh.
75
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Simpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Ukuran keluarga di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi oleh kategori keluarga sedang. Lama mengikuti pendidikan formal ibu dan bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar berkisar antara 6 sampai 8 tahun. Pekerjaan tetap bapak di kebun teh Malabar dan Purbasari sebagian besar buru tani (82.35%), dengan pendapatan total/keluarga/bulan di kebun teh Malabar dan Purbasari berkisar antara Rp.200.000 sampai Rp.699.999 dan pendapatan perkapita/bulan berkisar antara Rp.50.000 sampai 147.000. Konsumsi energi, protein, vitamin A dan zat gizi besi (Fe) masih rendah. Frekuensi sakit contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi oleh kategorik pernah sakit.
Status gizi indeks BB/TB contoh di kebun teh
Malabar dan Purbasari sebagian besar kategorik normal. Haemoglobin (Hb) contoh sebagian besar mengalami anemia. Aktivitas bermain contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi aktivitas bermain baik. Potensi atlit contoh di kebun teh Malabar dan Purbasari didominasi potensi atlit kurang. 2. Terdapat hubungan nyata antara konsumsi pangan energi dengan potensi atlit usia 48-72 bulan dan tidak nyata pada konsumsi protein, vitamin A, besi (Fe). 3. Terdapat hubungan sangat nyata antara status kesehatan (diare dan ISPA) dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. 4. Tidak ada hubungan nyata antara status gizi (BB/TB) dengan potensi atlit usia 48-72 bulan. 5. Terdapat hubungan nyata antara haemoglobin (Hb), aktivitas bermain dengan potensi atlit usia 48-72 bulan.
76
Saran Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 1. Diperlukan perbaikan pola konsumsi energi, protein, vitamin A dan zat gizi besi (Fe) contoh untuk meningkatkan haemoglobin (Hb) dan status kesehatan dengan cara meningkatkan pendapatan keluarga dan pengetahuan gizi orang tua contoh. 2. Diperlukan keterlibatan instansi terkait terhadap tindakan preventif melaui kegiatan penyehatan lingkungan dan pola hidup sehat dalam pencegahan diare dan ISPA. 3. Penyediaan dan penambahan fasilitas yang berhubungan dengan aktivitas bermain anak di tempat penitipan anak (TPA). 4. Anak yang memiliki potensi atlit kategori baik dan sangat baik, perlu dilakukan pembinaan sejak dini. 5. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menyusun instrumen pengukuran dalam penilaian potensi atlit usia 48-72 bulan, karena instrumen yang dimodifikasi belum memperoleh hasil yang maksimal.
77
DAFTAR PUSTAKA Achadi E. L. 2008. Konsekuensi Kurang Gizi Pada Usia Dini Terhadap Terjadi Penyakit Generatif. Makalah Yang Disampaikan Pada Pertemuan Satelit Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi ke XI. di DIKTI Jakarta (tanggal 23 Agustus 2008) 1:12. Ahmad S, Setiarini, Utari, Acmadi, Khusharisupeni et al. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. FKM.UI: Jakarta. Rajagralindo Persada. Akner G, Cederholm T. 2005. Treatment of protein-energy malnutrition in chronic nonmalignant disorders Ma J Clin Nutr. 42:6-23 [13 Juni 2008] Anwar F, Baliwati F.Y, Mandanijah, Khomsan A., Riyadi H, Setiawan B et al. 2006. Pengatar Pangan Dan Gizi.Jakarta :Penebar Swadaya. [Anonim]. 2007. http://www.litbang.depkes.go.id. Jangan Kalah Dengan Kurang Darah, yang diakses tanggal 18 Juli, 2008. [Anonim]. 2007. Litbangda Provinsi Sulsel. Indetifikasikan Bakat Olahraga, yang diakses tanggal 27 Desember, 2007. [Anonim]. 2007. Ilmu Kesehatan Anak. Buku Kuliah 1. Jakarta: Informedik Jakarta. Allen L & S. Lillespie. 2001. What?. A revie of the efficasy and effeciveness of Nutrition Intervention. ACC/SCN :Nutrition Policy Paper No.15:31-38 [13 Juni 2008]. Almatsier S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ateng, A.H. 2005. Rasia Latihan Sang Juara Menuju Prestasi Dunia. Jakarta: Cerdas Jaya. Berg. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: Rajawali Brutsaert, D. Tom et al. 2004. Iron Supplementation Improves Progressive Fatigue Resistance During Dynamic Knee Extensor Exercise In IronDepleted, Nonanemic Women: Am J Clin Nutr. 51: 441-448 [13 Juni 2008]. Casa J, Douglas et al. 2005. Roundtable on Hydration and Physical Activity: Consensus Statements: American College Of Sports Medicine 4:116-112. [13 Juni 2008].
78
Dariyo, Agoes. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung Indonesia: Refika Aditama. [Departemen Kesehatan RI]. 1987. Pentunjuk Teknis Kesehatan Olahragan: Bagian Perama jakarta. 1993. Pedoman Pengaturan Makanan Atlit. 1995. Pedoman Pengaturan Kesehatan Jasmani. Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita. Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Kesehatan Keluarga 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2004 Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta: Depkes RI. Direktorat Jenderal PPM& PL 2007 Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare Edisi Ke-3. Jakarta. [Departemen Pendidikan], 1996. Ketahuilah Tingkat Kesegaran Jasmani Anda, Pusat Pengembagan Kualitas Jasmani Jakarta. 2000. Ketahui Tingkat Kesegaran Pengembangan Kualitas Jasmani. Jakarta.
Jasmani
Anda
Pusat
2005. Tes Kesegaran Jasmani Indonesia (TKJI). Setjen.depdignas.go.id/pusjas/tips.php?tid=MTA [18 maret 2008] Dewi, Rosmala 2005. Berbagai Masalah Anak Taman Kanak-Kanak.Departemen Pedidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Pendidikan. Jakarta. Fikri, Ganda I.J. 2005. Transpor Oksigen. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar (134-139). Fitriana. 2006 pola asuh, Status Gizi Dan Perkembangan Sosialanak Balita Korban Gempa Dan Tsunamidi Provinis Nanggore Aceh Darussalam. [Tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ganong WF. 1983. Review of Medical Physiology. Ed ke-11. Los Altos. California: Lange Medical Publications. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press.
79
Gunara & Y. Gunasa. 1997. Dasar Dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta: Gunung Mulia. Gutyon, 1990. Human Psysiology and Mechanisms Of Disase. Jakarta: Buku Kedokteran. Hardinsyah dan D Briawan. 1990. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan. Bogor: Jurusan Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB. Hurlock. E. 1995. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Hidup. Jakarta : Erlangga. Ingtyas, Tresno F. 2004. Konsumsi Pangan, Status Gizi Dan Kesehatan Anak Retardasi Mental Di Kota Medan: [Tesis] Sekolah Pascasarjana Institut Petanian Bogor. Irianto P.J. 2007. Panduan Gizi Lengkap, Keluarga Dan Olahragawan. Yogjakarta: Andi Offset. Izzaty, E. R. 2005. Model Pengembangan Ketrampilan Motorik Anak Usia Dini :Departemen Pedidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Pendidikan. Jakarta. Kartini. P, Hertanto, Rahfiludi. Z. 1998. Kesegaran Jasmani Dan Status Gizi Murid Sekolah Dasar Di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Jurnal Mediamedika,(volume 41) [terhubung berkala]. http://mediamedika.net/modules.php?name=Jurnal&file=index&a1=jurnal &a2=134&sort. [18 Maret 2008]. Kartasapoetra, Marsetoyo H. 2003. Ilmu gizi produktivitas.’’ Jakarta : Rineka Cipta.
‘’
korelasi gizi, kesehatan, dan
Linder, C. M. 2006. Biokimia Nutrisi Dan Metabolisme. Jakarta :Universitas Indonesia Press. [LIPI], 2004. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi daerah dan Globalisasi. Jakarta. Mangoenprasodjo, Setiono. 2005. Olahraga Tanpa Terpaksa Panduan Bagi Pemula Yang Ingin Pelduli Kesehatan. Jakarta : Think Fresh. Masita T, Soekirman, Martianto T. 2005. Hubungan Pola Asuh Makan Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Anak Batita Di Desa Mulia Harja. Jurnal Media Gizi dan Keluarg, 29.(2): 29-38.
80
Muhilal. 1980. Gizi Biokimia. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Gizi. Depkes Kesehatan RI. Jakarta. Moehya, Sjahmien. 2008. Bayi Sehat Dan Cerdas Melalui Makanan Pilihan. Pedomanasupan Gizi Untuk Bayi Dan Balita. Jakarta: Pustaka Mina anggota IKPI. Munandar U. 1992. Hubungan Istri, Suamidan Anak dalam Keluarga Dalam Membina Keluarga Bahagia. Jakarta: Pustaka antara. Murti, Brisma. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Nasir, M. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia. Notoatmojo S. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta : Rineka Cipta. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Papalia E. D. & Olds W. S. 1995. Human Development: USA. McGraw Hill Book Company. Piliang W, S Djojosoebagio. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. Penerbit Bogor: IPB Press. Pudjiadi S. 2005. Ilmu Gizi Klinik Pada Anak. Edisi Ke-IV, Cetakan Ulang. Jakarta: FKUI. Riyadi H. 1995. Prinsip dan Petunjuk Penilaian Status Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB. Rusyantia A. et al. 2006. Kualitas Pengasuhan Dan Lingkungan Rumah Serta Dengan Hubungan Kualitas Anak Taman Pendidikan Karakter Sutera Alam Di Desa Sukamantari Kabupaten Bogor. Jurnal Media Gizi dan Keluarg, 29.2: 9-17. Santoso Y. S. & kk. 2005. Manusia Dan Olahraga. Seri Bahan Kuliah ITB. Bandung : ITB. Sekartini R. 2007. Peran Bermain Dalam Proses Perkembangan Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Silva, Angela et al. 2006. Iron supplementation improves iron status and reduces morbidity in children with or without upper respiratory tract infections: a randomized controlled study in Colombo, Sri Lanka. The Ma J Clin Nutr. 63:234-241.
81
Singarimbun, M. Effendi F. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Soetjiningsih.1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Buku Kedokteran (EGC). Suhardjo. 1989. Sosial Budaya Gizi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi [IPB]. ,Kusharto.C.1992. Prinsip-Prinsip KANISIUS (Anggota IKAPI).
Ilmu
Gizi.
Yogyakarta:
Syarif H. 1997. Membanguna Sumberdaya Manusia Berkualitas. Suatu Telaaha Gizi Masyarkat Dan Sumberdaya Keluarga. Disampaikan Pada Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi Masyarkat Dan Sumber Daya Keluarga: (6 september 1997). Sumantri. 2005. Model Pengembangan Ketrampilan Motorik Anak Usia Dini. Departemen Pedidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Pendidikan. Jakarta. Sunita. 2005. Psikologi Perkembangan Remaja Bandung: Rosdakarya Offset. Supariasa, Nyoma. 2002. Penilaian status gizi. Cetakan I. Buku Kedoktera ECG. Jakarta: Buku Kedokteran. Tangkudung J. 2006. Kepelatihan Olahraga Pembinaan Prestasi Olahraga Jakarta: Cerdas Jaya. Tortora GJ, Anagnostakos NP. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-6. New York: Harper & Row Publishers. [World Health Organization].1995. Physical Status. The Use Interpretasion Of Anthropometry. Geneva: WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia, Assessment, Prevention and control: a guide for Programme Managers. Geneva: WHO.
32
yang dibagi menjadi 2 kategorik yaitu ”miskin” < Rp.144.000 dan ” tidak miskin ≥ Rp. 144.000. 4. Pendidikan orang tua adalah lama waktu yang digunakan dalam mengikuti pendidikan formal di sekolah. 5.
Konsumsi pangan adalah nilai dari zat gizi energi, potein, vitamin A, dan besi (Fe) dari jenis pangan yang dikonsumsi anak usia 48-72-72 bulan diperoleh melalui recall 2 x 24 jam, dibandingkan dengan angka kecukupan rata-rata per individu.
6. Status kesehantan adalah riwayat penyakit yang pernah di derita meliputi diare dan ISPA pada saat satu bulan yang lalu dan saat penelitian berlangsung. 7. Diare adalah keadaan dimana frekuensi buang air besar (tinja) lebih sering dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dan disertai dengan perubahan konsistensi dan bentuk tinja dan kadang kadang disertai dengan darah atau lendir. 8. Infeksi saluran pernafasa adalah penyakit menular yang tranmisinya melalui udara yang ditandai dengan gejala panas atau flu, batuk sesak nafas dan kadang-kadang disertai dengan kejang atau hilang kesadaran. 9. Haemogobin (Hb) adalah cairan merah dalam darah berfungsi mengangkut oksigen yang disebarkan ke seluruh tubuh. 10. Aktivitas bermain adalah aktivitas permainan usia 48-72 bulan melibatkan kombinasi organ fisik yang merangsang pertumbuhan. 11. Staus gizi adalah keadaan gizi usia 48-72 bulan secara atropometri dengan menggunakan indeks BB/TB. 12. Potensi Atlit adalah kompentensi gerakan fisik yang berhubungan kesegaran jasmani yaitu: Kecepatan, daya tahan otot, kekuatan otot dan daya tahan kardiovaskuler.
82 Lampiran 1 Hasil pengujian potensi atlit contoh No
Kores
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
101008 101012 101014 101017 101019 101020 101022 102023 102024 103030 103034 103035 103036 104038 104044 105046 105047 105048 105050 106057 106059 106064 209091 209095 209100 209104 209107 210114 210116 210119 210124 211133 211137 211144 212146 212147 212151 213155 213164 213165 213167 213168 213169 213170 213173 214176 214177 214180 215181 215185 215188
Lari 100 m 2 1 2 2 3 3 2 3 2 2 1 2 2 2 2 2 3 2 2 2 1 2 2 2 2 3 2 3 2 3 2 3 3 3 3 3 2 2 3 1 3 3 4 4 2 2 4 3 3 3 2
Mengantung
Sit-Up
4 4 3 3 3 4 4 2 4 4 2 3 4 3 4 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 2 3 3 3 2 3 3 4 3 3 2 4 4 5 5 3 3 3 4 4 3 3
3 4 3 3 1 3 3 3 3 3 3 2 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 3 4 3 2 3 2 3 3 3 3 3 2 2 3 2 3 3 4 3 4 2 3 3 3 3 3
Lompat Tegak 3 3 3 3 2 2 3 4 2 3 2 3 4 3 3 2 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 3 3 3 2 3 4 3 2 3 3 2 3 2
Lari Jarak 300 m 1 1 1 1 1 3 2 2 1 2 1 1 2 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 2 1 3 2 3 1 2 2 2 2 2 1 2 3 1 2 2 2 2 2 2 2 3 3 2 2
Skor
Potensi atlit
13 13 12 12 10 15 14 14 12 14 9 11 15 12 15 12 15 13 13 12 9 12 12 13 13 14 12 16 12 14 11 14 14 12 14 14 11 12 15 9 15 14 18 18 14 11 15 16 15 14 12
kurang kurang kurang kurang kurang sedang sedang sedang kurang sedang sangat kurang kurang sedang kurang sedang kurang sedang kurang kurang kurang sangat kurang kurang kurang kurang kurang sedang kurang sedang kurang sedang kurang sedang sedang kurang sedang sedang kurang kurang sedang sangat kurang sedang sedang baik baik sedang kurang sedang sedang sedang sedang kurang
83 Lampiran 2 Rasio Konsumsi Zat Gizi Contoh Usia 48-72 BulanMalab ara dan Purbasari No 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Kores 101008 101012 101014 101017 101019 101020 101022 102023 102024 103030 103034 103035 103036 104038 104044 105046 105047 105048 105050 106057 106059 106064 209091 209095 209100 209104 209107 210114 210116 210119 210124 211133 211137 211144 212146 212147 212151 213155 213164 213165 213167 213168 213169 213170 213173 214176 214177 214180 215181 215185 215188
Rasio Energi % 79.47 71.00 64.32 64.51 59.02 105.34 68.82 63.45 83.90 88.47 83.19 58.95 92.87 83.48 71.80 82.24 96.59 82.04 91.95 83.57 52.18 92.51 77.50 88.06 77.79 69.17 63.62 60.60 66.04 74.57 59.82 70.48 79.28 69.66 83.37 74.40 85.25 57.13 79.62 78.16 99.18 86.46 90.73 73.95 86.29 108.49 93.72 101.13 82.16 81.95 62.42
Rasio Protein % 92.36 49.58 52.78 46.75 42.47 115.80 86.96 33.24 68.66 39.00 41.43 34.19 40.39 52.65 55.04 80.27 111.57 50.25 39.47 98.26 59.80 94.54 30.96 51.71 41.24 38.23 42.91 22.28 48.91 41.40 27.41 17.26 27.01 67.17 24.11 37.31 75.90 72.52 32.69 29.46 64.66 90.33 47.06 43.48 49.00 71.01 44.30 52.56 49.78 50.19 89.57
Rasio Vitamin A % 32.94 2.17 4.18 140.65 52.10 5.85 27.18 121.29 44.81 83.83 28.27 95.78 20.14 76.48 27.14 123.66 47.22 51.33 44.15 36.50 23.67 17.96 18.66 58.75 49.19 31.47 31.31 0.26 51.85 53.12 89.80 44.25 12.60 63.48 133.87 153.08 78.47 20.37 0.37 209.22 34.19 126.46 21.50 174.65 68.93 97.69 14.40 224.34 10.58 135.71 77.42
Rasio Besi (Fe) % 139.30 88.41 65.76 83.42 83.27 129.28 139.14 57.14 43.53 58.20 62.56 49.24 45.97 63.22 43.94 67.43 120.47 62.52 57.90 58.77 55.86 51.35 83.34 71.53 58.49 64.09 53.50 33.66 56.73 73.37 69.61 31.27 53.67 104.15 32.01 80.02 124.89 101.71 55.04 49.67 54.39 54.98 61.01 99.96 57.96 73.86 30.90 74.87 65.26 53.61 181.38
84 Lampiran 3 Hemoglobin dan Status Gizi Contoh Usia 48-72 Bulan di Kebun Teh Malabar dan Purbasari No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
Kores 101008 101012 101014 101017 101019 101020 101022 102023 102024 103030 103034 103035 103036 104038 104044 105046 105047 105048 105050 106057 106059 106064 209091 209095 209100 209104 209107 210114 210116 210119 210124 211133 211137 211144 212146 212147 212151 213155 213164 213165 213167 213168 213169 213170 213173 214176 214177 214180 215181 215185 215188
Hemoglobin 12.9 11.9 10 10.8 10.6 11.8 11.6 11.2 12 11.2 10.2 11.2 11 10 11 10.2 11.6 10.2 10.8 11.8 11.6 11.6 11.2 10 10.8 12.2 11 11 11.5 9.8 9.9 11.2 11.1 11.8 11 12 10.8 11 9.4 10.7 11 12.2 11.8 11.9 10.5 10.7 12 13 12 12 10.3
BB/U -0.739 -1.224 -2.449 -2.835 -3.999 -0.353 -2.678 -3.035 -2.274 -1.733 -0.777 -0.735 -1.039 -1.027 -1.59 -1.818 -1.064 -1.097 -1.445 -1.031 -3.278 -0.852 -1.858 -0.827 -0.474 -1.416 -2.298 -2.553 -2.177 -2.177 -2.185 -1.523 -0.802 -1.967 -1.968 -1.561 -2.047 -2.105 -1.333 -0.922 0.195 -1.7 -1.186 -2.576 -0.706 -1.264 -0.687 -0.202 -1.463 -2.125 -1.867
TB/U -1.581 -1.216 -2.968 -3.423 -3.083 -2.47 -3.331 -2.092 -3.173 -2.367 -1.438 -3.114 -2.188 -1.47 -2.894 -2.885 -2.084 -3.649 -2.759 -2.112 -4.786 -2.412 -4.227 -1.596 -0.6 -1.682 -1.868 -3.232 -3.118 -3.118 -3.801 -2.762 -1.79 -2.2 -2.302 -1.506 -2.812 -2.558 -1.222 -3.58 0.166 -2.205 -1.334 -3.129 -3.052 -2.133 -2.1 -0.648 -2.619 -2.128 -3.102
BB/TB 0.36 -0.744 -0.885 -1.163 -3.368 1.747 -1.033 -2.633 -0.489 -0.299 0.164 1.71 0.532 -0.188 0.223 0.011 0.308 1.809 0.44 0.425 -0.231 0.815 1.001 0.2 -0.151 -0.584 -1.722 -0.888 -0.496 -0.496 0.278 0.244 0.473 -0.926 -0.748 -0.962 -0.482 -0.922 -0.954 1.992 0.052 -0.416 -0.417 -1.013 1.708 0.209 0.971 0.299 0.273 -1.207 0.048
85 Lampiran 4 Hasil Analisis Korelasi Hubungan antara konsumsi energi dan protein, Besi (Fe) dan vitamin A dengan potensi atlit potensi atlit potensi atlit
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
konsumsi energi
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
konsumsi protein
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
konsumsi besi
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
konsumsi vitamin
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
konsumsi energi
1
konsumsi protein
konsumsi besi
konsumsi vitamin
.339(*)
-.046
-.054
-.031
.015
.748
.706
.829
51
51
51
51
51
.339(*)
1
.333(*)
-.054
.070
.017
.705
.624
.015 51
51
51
51
51
-.046
.333(*)
1
.599(**)
-.126
.748
.017
.000
.377
51
51
51
51
51
-.054
-.054
.599(**)
1
.008
.706
.705
.000
51
51
51
51
51
-.031
.070
-.126
.008
1
.829
.624
.377
.958
51
51
51
51
.958
51
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Hubungan antara satus kesehatan dengan potensi atlit potensi atlit potensi atlit
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N status kesehatan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
status kesehatan .622(**) .000 51 1
1 51 .622(**) .000 51
51
Hubungan antara satus gizi indeks BB/TB dengan potensi atlit berat badan per tinggi badan
potensi atlit potensi atlit
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
.344
N berat badan per tinggi badan
-.137
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
51
50
-.137
1
.344
N
50
50
Hubungan antara sataus biokimia (Hb) dengan potensi atlit potensi atlit potensi atlit
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N hemohlobin Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
1 51 .341(*) .014 51
hemohlobin .341(*) .014 51 1 51
86 Hubungan antara aktivitas bermain dengan potensi atlit potensi atlit potensi atlit
Pearson Correlation
aktivitas bermain 1
.304(*)
Sig. (2-tailed)
.030
N aktivitas bermain
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
51
51
.304(*)
1
.030
N
51
51
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 5. Hasil Analsisi cross-tab antara Jenis Kelamin dengan Potensi Atlit contoh. Kategori
Lari cepat 100 meter
Laki-laki
Perempuan
Total
n 1 16 10 3 0 30
% 3.33 53.33 33.33 10.00 0 100
n 3 10 8 0 0 21
% 14.29 47.62 38.10 0.00 0 100
n 4 26 18 3 0 51
% 7.84 50.98 35.29 5.88 0.00 100
0 1 14 13 2 30
0 3.33 46.67 43.33 6.67 100
0 4 13 4 0 21
0 19.05 61.90 19.05 0.00 100
0 5 27 17 2 51
0.00 9.80 52.94 33.33 3.92 100
0 5 22 3 0 30
0.00 16.67 73.33 10.00 0 100
1 3 15 2 0 21
4.76 14.29 71.43 9.52 0 100
1 8 37 5 0 51
1.96 15.69 72.55 9.80 0.00 100.00
0 7 21 2 0 30
0 23.33 70.00 6.67 0 100
0 8 12 1 0 21
0 38.10 57.14 4.76 0 100
0 15 33 3 0 51
0.00 29.41 64.71 5.88 0.00 100
Sangat Kurang Kurang sedang Baik Sangat baik
8 17 5 0 0
26.67 56.67 16.67 0 0
9 11 1 0 0
42.86 52.38 4.76 0 0
17 28 6 0 0
33.33 54.90 11.76 0.00 0.00
Total
30
100
21
100
51
100.
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat baik Total
Menggantung Sangat Kurang Kurang sedang Baik Sangat baik Total
Baring duduk atau sit-up Sangat Kurang Kurang sedang Baik Sangat baik Total
Lompat tegak Sangat Kurang Kurang sedang Baik Sangat baik Total
Lari 300 meter
87 Lampiran 6. Hasil Analsisi Cross-tab Antara Frekuensi Diare, ISPA, Status Gizi, Status Anemia, Aktivitas Bermain dengan Potensi Atlit Contoh. Sebaran Contoh Berdasarkan Frekuensi Diare dengan Potensi Atlit. Potensi atlit Sangat baik Baik Sedang Kurang Sangkat kurang Total
Tidak sakit 0 2 18 15 2 37
% 0 5.41 48.65 40.54 5.41 100.
Frekuesi Sakit Diare 1-2 kali % 0 0 0 0.00 3 21.43 10 71.43 1 7.14 14 100
>3 0 0 0 0 0 100
% 0 0 0 0 0 0
>3 0 0 0 8 1 9
% 0 0.00 0.00 88.89 11.11 100
Sebaran contoh berdasarkan frekuensi ispa dengan potensi atlit. Potensi atlit Sangat baik Baik Sedang Kurang Sangkat kurang Total
Tidak sakit 0 0 15 3 1 19
% 0 0.00 78.95 15.79 5.26 100
Frekuesi ISPA 1-2 kali % 0 0 2 8.70 6 26.09 14 60.87 1 4.35 23 100.00
Sebaran contoh berdasarkan status gizi dengan potensi atlit. Potensi atlit Sangat baik Baik Sedang Kurang Sangkat kurang Total
z skor >3 0 0 0 1 0 1
% 0 0 0 100 0 100
Status Gizi (BB/TB) normal z skor z skor-3 % -2 s/d 2 s/d -2 0 0 0 0 0 2 1 100 20 0 0 24 0 0 3 1 100 49
% 0 4.08 40.82 48.98 6.12 100.
Sebaran contoh berdasarkan status haemoglobin (Hb) dengan potensi atlit. Potensi atlit Sangat baik Baik Sedang
Normal 0 2 9
Status biokimia (Hb) % Anemia 0 0 10.53 0 47.37 12
% 0 0 37.5
Kurang
7
36.84
18
56.25
Sangkat kurang Total
1 19
5.26 100.00
2 32
6.25 100
Obes z skor 2> 0 0 0 0 0 0
% 0 0 0 0 0 0
88 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas bermain dengan potensi atlit. aktivitas bermain Potensi atlit Sangat baik Baik Sedang Kurang Sangkat kurang Total
Sangat baik 0 0 9 8 0 17
%
Baik
%
Sedang
%
Kurang
%
0 0.00 52.94 47.06 0.00 100.00
0 2 9 12 0 23
0 8.70 39.13 52.17 0.00 100.
0 0 3 5 2 10
0 0 30 50 20 100
0 0 0 0 1 1
0 0 0 0 100 100
Sangat kurang 0 0 0 0 0 0
Lampiran 7 Sebaran hasil pengukuran gabungan potensi atlit kategori baik. Pengujian potensi atlit
Baik
Kecepatan gerak dan ketahanan otot
19.6%
Kecepatan gerak , ketahanan dan kekuatan otot
16.33%
Kecepatan gerak , ketahanan, kekuatan otot dan kekuatan eksplosif
13.72%
Kecepatan gerak , ketahanan, kekuatan otot, kekuatan eksplosif dan ketahanan kardiovaskuler
10.98%
0 0 0 0 0 0 0