ELASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Gejala Tanaman Krisan Terinfeksi CSVd di Lapangan Berdasarkan hasil pengamatan pada saat pengambilan tanaman sampel di lapangan, diketahui bahwa gejala kerdil pada tanaman krisan ltemui hampir di seluruh lokasi tempat dibudidayakannya tanaman tersebut. Seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar l a menunjukkan kondisi pertanaman D. grandflora cv Puspita Kencana (A) dan cv Puspita Nusantara (B) yang ditanam di salah satu rumah kaca Balithi, Segunung, Cianjur, Jawa Barat. Dari kedua jenis tanaman krisan yang ditanam tersebut, cv Puspita Kencana menunjukkan pertumbuhan yang tidak normal, sebagian besar pertumbuhannya kerdil, daun-daunnya benvarna hijau pucat dan tipis. Menurut peneliti di Balithi, tanaman D. grandflora cv Puspita Kencana merupakan tanaman krisan yang sangat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh CSVd Insiden penyakit yang diduga disebabkan oleh CSVd ini pemah terjadi pada tanaman D. grandrJlora cv Puspita Kencana yang ditanam oleh salah satu penangkar bibit yang terdapat di daerah Cipanas. Insiden penyakit ini menyebabkan terjadinya pertumbuhan yang sangat kerdil sehngga tanaman mengalami kehancuran. Sejak saat itu, tidak dilakukan lagi perbanyakan terhadap jenis kultivar Puspita Kencana. Selain pada cv Puspita Kencana, gejala kerdil juga ditemukan pada pertanaman krisan jenis kultivar lainnya (jenis kultivar tidak diketahui) yang ditanam di nunah kasa lainnya di Balithi (Gambar l b dan lc). Perturnbuhan tanaman yang diduga terinfeksi oleh CSVd, tingginya hanya mencapai sepertiga dari tinggi tanaman yang normal. Gejala kerdil pada tanaman krisan ada kalanya disertai dengan terjadinya penguningan pada daun dan dam-daunnya menjadi lebih tipis. Gejala ini ditemukan pada sampel tanaman yang berasal dari salah satu penangkar bibit l daerah Puncak, Cianjur, Jawa Barat, terutarna tanaman krisan pot (Gambar Id).
Gambar 1
Gejala pada tanaman krisan yang diduga terinfeksi oleh CSVd. a) Gejala kerdil pada tanaman D. grandrflora cv Puspita Kencana (A) dibandingkan tanaman yang normal cv Puspita Nusantara (B) yang ditanam di salah satu rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung, Jawa Barat. b&c) Gejala kerdil pada jenis kultivar h s a n lainnya (jenis kultivar tidak diketahui), tinggi tanaman hanya mencapai 1/3 dari tinggi tanarnan yang normal. d) Gejala kerdil dan penguningan pada daun serta penipisan daun pada tanaman krisan pot.
Gejala kuning pada daun dan kerdil pada tanaman h s a n yang terinfeksi CSVd kemun&nan
disebabkan terganggunya metabolisme tanaman, sehngga
pembentukan klorofil terganggu. Sebagai akibatnya, perkembangan tanaman terhambat, karena hasil fotosintesis tidak optimal. Gejala kerdil merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada tanaman yang diduga terinfeksi oleh CSVd. Gambar 2, menunjukkan tanaman h s a n yang positif terinfeksi CSVd berdasarkan deteksi dengan metode RT-PCR. Tanaman ini menunjukkan gejala kerdil dibandingkan tanaman lainnya dari jenis yang sama, akan tetapi jika dilihat dari helaian daunnya tidak menunjukkan adanya gejala seperti malformasi atau gejala lainnya yang biasa ditemukan pada tanaman yang terinfeksi virus. Namun dari pertumbuhannya terlihat bahwa mas-ruas batangnya menjadi lebih pendek. Fenomena ini kemungkinan teIJadi karena tidak adanya
Gambar 2 Gejala tanaman krisan terinfeksi CSVd berdasarkan analisa dengan RT-PCR. A) Pertumbuhannya kerdil, namun tidak menunjukkan adanya gejala pada dam, B) ruas-ruas batang lebih pendek. infeksi oleh virus lain yang biasa mengrnfeksi tanaman krisan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Murnford (2001) bahwa gejala pengerutan daun pada tanaman knsan yang terinfeksi CSVd disebabkan adanya kombinasi infeksi dengan Chrysanthemun Virus B (CVB). Menurut Handley & Horst (1988)' gejala penyakit yang disebabkan oleh CSVd dan jurnlah RNA viroid yang dapat diekstraksi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu, intensitas cahaya, dan fotoperiod, baik secara individu maupun dalam kombinasi. Ekspresi gejala paling tinggi terjadi antara suhu 26 clan 29 "C, tetapi konsentrasi viroid maksimurn terjadi antara suhu 22 dan 26 "C pada saat intensitas cahaya dan fotoperiod tetap. Amplifikasi Nukleotida CSVd Melalui RT-PCR Hasil penelitian menunjukkan bahwa primer Forward (F) (5'CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3') dan primer Reverse (R) (5'-AGGATT
ACTCCTGTCTCGCA-3') dapat mengamplifikasi cDNA CSVd. Keberhasilan mengamplifikasi dari sepasang primer CSVd ini ditunjukkan pada beberapa sampel tanaman yang harnbil dari lapangan. Berdasarkan hasil visualisasi diperoleh pola pita DNA yang berukuran 250 bp pada empat sampel tanaman krisan, yaitu isolat Bali 3, Bali 6, Medan A dan Cipanas (Gambar 3). Pola pita ini
Gambar 3
Fragmen DNA beberapa isolat CSVd hasil amplifikasi (PCR) menggunakan primer F dan primer R pada gel agarose 1,5%: 1) DNA marker 100 bp, 2) Kontrol negatif (tanaman sehat), 3) Isolat Bali 3 , 4) Isolat Bali 6, 5) Isolat Medan A, 6) Isolat Medan By7) Isolat Medan C, dan 8) Isolat Cipanas.
sesuai dengan hasil penelitian Hosokawa et al, 2004, yang menunjukkan bahwa kedua primer tersebut dapat mengamplifikasi cDNA CSVd pada ukuran 250 bp. Pada isolat Bali 3 dan Cipanas menunjukkan adanya pita DNA yang cukup jelas pada ukuran basa 250 bp, sedangkan pada isolat Bali 6, Medan A dan Medan C, pita DNA yang ditunjukkan sangat lemah (kurang jelas). Ukuran jelas tidaknya pita DNA yang muncul menginhkasikan bahwa konsentrasi viroid dalam tanaman krisan berbeda-beda. Pita DNA yang sangat terang menunjukkan tingginya konsentrasi CSVd dalam tanarnan uji, dan sebaliknya. Ketidakrnunculan pita DNA pada posisi basa 250 bp menunjukkan bahwa tanarnan uji tidak terinfeksi oleh CSVd, seperti yang ditunjukkan oleh isolat Medan B dan kontrol negatif (tanaman sehat). Untuk mendapatkan kondisi annealing yang optimal bagi CSVd, maka dilakukan optimasi pengujian terhadap tahap tersebut pada proses PCR, yaitu dilakukan annealing pada beberapa taraf (60, 61, dan 62 "C). Hasil optimasi menunjukkan bahwa kondisi annealing yang paling sesuai untuk CSVd adalah pada suhu 61 "C, pita DNA yang dihasilkan lebih jelas dan terang (Gambar 4). Template yang digunakan dalam pengujian optimasi tahap annealing ini adalah isolat CSVd asal Cipanas.
Garnbar 4
Fragmen DNA CSVd isolat Cipanas hasil amplifikasi (PCR) menggunakan primer F dan primer R pada gel agarose 1'5%: (1) annealing 60 OC, (2) annealing 61 OC, (3&4) annealing 62 OC, ( M ) DNA marker 100 bp
Perunutan Nukleotida CSVd
Perunutan nukleotida CSVd dilakukan menggunakan fiagrnen DNA produk
PCR
hasil
amplifikasi
menggunakan
primer
forward
5'-
CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3' dan primer reverse 5'-AGGATTACTCCT GTCTCGCA-3'. Dalam penelitian ini hanya satu sampel produk PCR yang digunakan untuk perunutan, yaitu produk PCR dari sampel isolat Cipanas. Proses perunutan dilakukan oleh PT. Charoen Pokhpand, Jakarta. Berdasarkan hasil perunutan menggunakan mesin perunut asam nukleat dan analisa menggunakan program Bio Edit diperoleh data urutan nukleotida CSVd isolat Cipanas yaitu 250 basa. Urutan nukleotida CSVd isolat Cipanas tersebut adalah sebagai berikut : CTTAGGATTA CTCCTGTCTC GCAGGAGTGG GGTCCTAAGC
1-40
CTCATTCGAT TGCGCGAATC TCGTCGTGCA CTTCCTCCAG
4 1-80
GGATTTCCCC GGGGGATACC CTGTAAGGAA CTTCTTCGCC
8 1- 120
TCATTTCTTT TTCTTGTAAA GCAGCAGGGT TCAGGAGTGC 121-1 60 ACCACAGGAACCACAAGTAAGTCCCGAGGGAACAAAACTA 161-200 AGGTTCCACGGGCTTACTCC CTAGCCCAGG TAGGCTAAAG 201-240 AAGATTGGAA
241-250
Urutan nukleotida tersebut merupakan panjang bagian genom CSVd yang teramplifikasi oleh primer forward 5'-CAACTGAAGCTTCAACGCCTT-3' dan primer reverse 5'-AGGATTACTCCTGTCTCGCA-3' yang mengapit nukleotida sekitar 250 bp. Urutan nukleotida ini digunakan untuk menganalisa tingkat kesamaan genetiknya dengan isolat CSVd yang berada di belahan dunia lain melalui situs www.ebi.ac.uk dan Clustal W. Hasil analisa menunjukkan bahwa genom CSVd isolat Cipanas yang teramplifikasi oleh kedua primer di atas memiliki kesamaan genetik 99% dengan isolat K1 (Dendranthema grandzjlorum) dari Korea, 98% dengan beberapa genom CSVd yang terdapat di Gene Bank diantaranya adalah dengan nomor asesi AB279770 (Chrysanthemum yoshinaganthum) dari Jepang, AB055974 (D. grandzjlora) dari Jepang, AB255880 (isolat Dahlia tipe 2), DQ094298 (Vinca mayorlisolat CSVd Vm), AJ585258 (isolat India [Chrysanthemum sp]), U82445 (isolat petunia). Dari beberapa nomor asesi tersebut diketahui bahwa lima nomor asesi merupakan genom CSVd isolat Jepang, dan yang lainnya berasal dari isolat Kanada, Korea, India dan Amerika Serikat (Lampiran 1). Berdasarkan hasil analisa tersebut dapat diketahui bahwa CSVd isolat Indonesia (dalam ha1 ini isolat Cipanas) memilih genom yang sangat mirip dengan genom-genom CSVd yang berasal negara-negara yang sudah disebutkan di atas. Hal ini mengindikasikan bahwa CSVd isolat Indonesia kemungkinan merupakan kontarninan dari CSVd yang berasal dari isolat yang berada di belahan dunia lainnya, seperti Jepang atau negara pengekspor krisan lainnya, yang kemungkinan menyebar dan terbawa ke Indonesia bersamaan dengan bibit tanaman krisan impor. Menurut Sano et al. (2003), penyakit kerdil pada tanaman krisan yang disebabkan oleh CSVd merupakan salah satu penyakit viroid paling penting di Jepang dan telah menyebar ke harnpir semua lahan produksi krisan terutarna melalui penyebaran stek yang terkontaminasi atau stok. Melalui program Clustal X dan TreeView X diperoleh data mengenai pengelompokkan beberapa isolat CSVd yang berada di Gene Bank, terrnasuk CSVd isolat Cipanas (Indonesia) (Garnbar 5). Dari pohon filogenetik dapat diketahui bahwa terdapat 3 kelompk besar CSVd, dan CSVd isolat Cipanas
memiliki kekerabatan yang paling dekat dengan CSVd dengan nomor asesi AB055974 (C. Yoshinaganthum, Jepang), AB279770 (D. grandflora, Jepang), dan AJOO 1853 (D. grandflora cv. Diplomat, Magenta, USA). C.yoshinagantum, strain 6, Jepang
D. grundlflora, Jepang D. grandzflora, Cipanas, Indonesia
D. grandflora, diplomat, magenta, USA C'. morifolium, strain 3, Jepang. C.morrfolium,strain 4, Jepang C.morifolium Inggris
D.grandzflora cv Chunkwang, Korea C'.morifolium, Maharashtra, India ? Indian, India
Gambar 5. Pohon filogenetik Chrysanthemum stunt viroid Kisaran Inang CSVd
Untuk uji kisaran inang CSVd diperlukan surnber inokulum yang diketahui hanya terinfeksi oleh CSVd. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengujian dengan metode ELISA terhadap antiserum CMV dan CVB, diketahui bahwa sumber inokulum CSVd yang akan digunakan dalam penelitian, tidak terinfeksi oleh kedua virus tersebut (Tabel 1). Pengujian hanya dilakukan terhadap kedua virus ini, karena virus-virus tersebut merupakan virus yang umum menginfeksi tanaman h s a n di Indonesia. Dengan demiluan, sumber inokulum CSVd isolat Cipanas digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Tabel 1 Hasil pengujian serologi dengan t e h k ELISA pada sumber inokulum CSVd (isolat Cipanas) terhadap antiserum CVB dan CMV No
Sumber inokulum
CVB Absorban Reaksi
1
Kontrol positif
0.29
2
Kontrol negatif
0.02
3
Isolat Cipanas
0.03
+ -
CMV Absorban Reaksi 0.00
+ -
0.00
-
0.12
Berdasarkan pengamatan terhadap hasil pengujian kisaran inang pada sebelas jenis tanaman indikator melalui teknik inokulasi mekanis menggunakan bufer phosphat, dapat diketahui bahwa tidak ditemukan adanya gejala penyakit CSVd pada hampir semua tanaman indikator uji, kecuali pada D. grandrflora F1 hibrid dan Senecio cruentus. Pada D. grundzflora F1 hibrid terdapat gejala yang muncul berupa penguningan pada daun, sedangkan pada S. cruentus terjadi penghambatan terhadap pertumbuhan tanaman (Garnbar 6). Tanaman menjadi kerdil dan ukuran daun menjadi lebih kecil. Ekspresi gejala pada D. grandflora F1 hibrid terjad pada 2 bulan setelah inokulasi (bsi), sedangkan pada S. cruentus
terjadi pada 5 bsi (Tabel 2). Tabel 2 Analisa uji kisaran inang CSVd pada beberapa tanaman indlkator
Tanaman Indikator
Frekuensi Infeksi CSVd * 013 013 013 013 0/3 0/3 313 313 013 313 0/3
Frekuensi Tanaman
Chenopodium amaranticolor C. quinoa 013 Gynura aurantiaca 013 Chrysunthemm spp. 0/3 Ageratum conizoides 013 013 Zinnia elegan Senecio cruentus 313 (k) 013 Petunia sp Dahlia sp 013 D. grandflora F1 Hybrid 313 (kl) D. grandrflora cv Zerrnan 013 Fla -* Diveri:kasi dengan RT-PCR; ** k =kerdil, kl = klorosis pada daun
Masa Inkubasi
5 bulan
2 bulan
-
-
Gambar 6
Hasil inokulasi CSVd pada tanaman indikator. A&D) Senecio cruentus & Petunia hibrida (tanpa inokulasi), B&E) gejala laten pada S. cruentus dan Petunia hibrida yang diinokulasi pada 2 bsi, C) gejala kerdil dan penyusutan ukuran daun S. cruentus pada 5 bsi, F) penguningan pada daun D. grandzjlora F 1 hibrid pada 2 bsi
Gambar 7 Fragrnen DNA CSVd pada beberapa sampel tanaman indikator hasil uji kisaran inang. M) Marker DNA Ladder 100 bp, 1) D. grandflora cv Jerrnan Flag, 2) D. grandzflora F1 Hibrid, 3) Petunia hibrida, 4) Dahlia sp, 5 ) Senecio cruentus, dan 6 ) Kontrol negatif (S. cruentus tanpa inokulasi). Namun demiluan, setelah dilakukan diagnosis menggunakan teknik RTPCR diketahui bahwa dari sebelas jenis tanaman dluji, terdapat tiga jenis tanaman yang menunjukkan reaksi positif terhadap CSVd, yaitu S. cruentus, P. hibrida dan
D. grandflora F1 hibrid. Pada ketiga sampel tanaman tersebut muncul pita DNA
pada posisi 250 bp (Gambar 7) . Interaksi antara gejala yang muncul dan hasil deteksi RT-PCR ditampilkan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa reaksi positif Petunia sp terhadap CSVd tidak disertai dengan munculnya gejala pada tanaman (symptomless). Hal ini menunjukkan bahwa gejala akibat infeksi CSVd pada Petunia bersifat laten. Fenomena ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan dalam EPPO (1989) yang menyatakan bahwa dalam banyak varietas krisan, hampir 30% tanaman yang terinfeksi adalah symptomless. Ekspresi gejala yang bersifat symptomles ini sangat membahayakan bagi perkembangan tanaman hias di Indonesia, karena sangat menyulitkan dalam pengendalian secara dini berdasarkan pengamatan secara visual. Terdeteksinya CSVd walaupun tanpa disertai munculnya gejala pada tanaman in&kator, menunjukan bahwa CSVd dapat ditularkan secara mekanis, dan ketiga tanaman indikator yang bereaksi positif pada penelitian ini dapat menjadi inang bagi CSVd. Ketidakrnunculan gejala dan tidak terdeteksinya CSVd pada beberapa tanaman indikator kemungkinan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketidaksesuaian umur tanaman indikator yang digunakan untuk terjadinya infeksi CSVd, atau konsentrasi RNA CSVd dalam tanaman uji yang sangat rendah.
Deteksi dengan Return Plyacrylamide Gel Electrophresis (Return-PAGE) Berdasarkan hasil deteksi melalui metode return PAGE dengan menggunakan alat hasil modifikasi, diperoleh suatu pita RNA CSVd yang terletak di bagian tengah gel dalarn daerah running (Gambar 8). Deteksi CSVd dengan sistem ini juga berjalan dengan baik seperti RT-PCR dan tissue blot hybridization, karena dapat membedakan antara tanaman yang sakit dengan tanaman yang sehat berdasarkan ada tidaknya pita RNA yang muncul pada bagian tengah gel. Dari 8 sampel yang dideteksi, 5 sampel merupakan kontrol positif (berdasarkan deteksi dengan RT-PCR), 1 sampel kontrol negatif (berdasarkan RT-PCR), dan 2 sampel tanaman dari lapangan yang terdiri dari
tanaman sehat dan tanarnan sakit (menunjukkan gejala kerdil). Pada tanaman yang sakit dan kontrol positif,
terdapat pita RNA pada bagian tengah gel,
sedangkan pada tanarnan yang sehat dan kontrol negatif tidak terlihat adanya pita RNA tersebut. Dalam sistem ini, elektroforesis dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama pada kondisi tidak terdenaturasi (i15 "C), dan tahap kedua pada kondisi terdenaturasi (60 "C). Pada kondisi tidak terdenaturasi, molekul RNA CSVd bergerak dalarn gel akrilamid dalam bentuk sirkuler, sedangkan pada kondisi terdenaturasi (dengan merubah polaritas elektroda) molekul RNA terdenaturasi menjah bentuk linier sehingga pergerakannya menjadi lebih lambat. Dengan demikian pada saat elektroforesis dalam kondisi terdenaturasi ini, molekul RNA CSVd yang linier dapat terpisahkan dari molekul asam nukleat lainnya.
Gambar 8 Hasil analisa pola pita CSVd berdasarkan metode return-PAGE. 1 kontrol negatif, 2. tanaman sehat, 3 tanaman sakit, 4-8. Kontrol positif. Menurut Hanold et al. (2003), metode diagnosis dengan sistem returnPAGE di bawah kondisi terdenaturasi digunakan untuk mendapatkan RNA yang murni untuk perunutan RNA secara langsung. Disamping itu, juga merupakan suatu alat yang penting untuk mendeteksi viroid yang belwn diketahui inforrnasi urutan nukleotidanya. Metode return-PAGE sangat sesuai diaplikasikan apabila terdapat keterbatasan dana maupun sarana di suatu laboratorium uji. Metode ini juga sangat cocok dilakukan untuk screening tanaman krisan bebas viroid, terutama
CSVd, karena tidak memerlukan peralatan yang mahal dan bahan kimia yang digunakan tidak terlalu mahal dibandingkan kedua metode lainnya. Deteksi CSVd pada Bibit Krisan Melalui Tissue Blot Hybridization Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelacak DNA CSVd yang dibuat dalam penelitian ini, dapat mendeteksi langsung keberadan RNA CSVd dalam jaringan tanaman krisan yang terinfeksi. Keberhasilan deteksi ini dibuktikan dengan adanya spot-spot berwama ungu pada daerah tempat diblotnya potongan batang pucuk tanaman krisan sakit pada membran nylon, dan tidak ditemukannya signal tersebut pada tanaman yang sehat, termasuk bufer sebagai kontrol negatif (Gambar 9). Kuat tidaknya signal yang muncul mengindikasikan bahwa konsentrasi RNA CSVd dalam jaringan tanaman krisan berbeda-beda. Disamping dapat mendeteksi RNA secara langsung dalam jaringan tanaman sakit, pelacak DNA CSVd ini juga dapat mendeteksi keberadaan DNA CSVd dalam suatu Mon (plasmid rekombinan) yang digunakan sebagai cetakan pada pembuatan pelacak.
Gambar 9 Hasil analisa tissue blot hybridization. A1 dan B1 adalah kontrol positif (Mon CSVd); C1 clan Dl adalah kontrol negatif (bufer); A2A12, B2-B12, C2-C10, dan D2-Dl0 adalah sampel clan kebun percobaan Balithl dengan gejala kerdil; C11 dan Dl 1 adalah sampel kultur in vitro; C12 dan Dl2 adalah kontrol negatif (tanaman sehat, berdasarkan hasil deteksi dengan RT-PCR). Deteksi dengan tissue blot hybridization dapat diaplikasikan untuk sejumlah sampel yang cukup banyak dalam waktu yang bersamaan sehingga efisiensi terhadap penggunaan biaya dan waktu. Dari luasan membran nylon selatar 12 cm2dapat diuji sebanyak 48 buah sampel (termasuk kontrol positif dan negatif). Semua pekerjaan dapat Qselesaikan kurang lebih selarna 2 hari, tanpa harus melakukan ekstraksi terhadap sampel.
Dari sejumlah sampel yang dideteksi, hampir semua sampel menunjukkan reaksi positif terhadap pelacak DNA CSVd, kecuali sampel yang berasal dari kultur in vitro (Gambar 9). Sampel yang bereaksi positif tersebut merupakan sampel tanaman knsan yang diambil dari kebun percobaan Balithi yang menunjukkan gejala kerdil disamping adanya penguningan daun pada beberapa sampel. Dengan demikian, sistem ini dapat bekerja dengan baik untuk mendeteksi secara langsung keberadaan RNA CSVd dalam jaringan tanaman krisan. Pembahasan Umum Terjadnya penyebaran CSVd di sentra-sentra produksi krisan di Indonesia disebabkan belum tersedianya metode diagnosis untuk viroid. Badan Karantina Pertanian yang merupakan pintu gerbang bagi masuknya tanaman-tanaman krisan introduksi masih mengalami kesulitan untuk melakukan diagnosis terhadap viroid yang menginfeksi tanaman krisan, terutama CSVd Oleh karena itu, dengan adanya penelitian mengenai pengembangan metode deteksi molekuler terhadap CSVd ini, diharapkan dapat membantu Badan Karantina Pertanian untuk dapat melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya, dalam ha1 melakukan diagnosis CSVd dengan metode yang akurat terhadap tanaman-tanaman knsan baik impor maupun ekspor, sehingga tidak akan terjadi penyebaran CSVd lebih lanjut, baik antar negara, maupun antar daerah di &lam negeri Indonesia. Disamping itu, dengan ditemukannya metode diagnosis terhadap CSVd di Indonesia ini, diharapkan dapat membantu para pemulia tanarnan dalam menghasilkan varietas-varietas baru yang tahan CSVd. Bagi produsen benih, teknik ini diperlukan untuk menghasilkan produk yang terjamin kesehatannya, terbebas dari penyakit sistemik, terutarna viroid, melalui deteksi dini terhadap CSVd pada planlet-planlet tanaman krisan yang dihasilkannya. Akhirnya, planletplanlet sehatlah yang dapat digunakan untuk produksi bunga potong h s a n . Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa metode deteksi CSVd dengan teknik RT-PCR, tissue blot hybridization dan return-PAGE merupakan metode deteksi yang dapat diaplikasikan untuk mengetahui keberadaan CSVd dalam tanaman krisan di Indonesia. Namun demikian ketiga metode deteksi tersebut
masing-masing inemiliki kelebihan dan kekurangan. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pemilihan metode yang akan digunakan untuk deteksi CSVd tergantung pada ketersedtaan biaya, waktu, sensitifitas, dan situasi maupun kondisi laboratorium tempat dilakukannya diagnosis. Teknik deteksi dengan RT-PCR memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Menurut Hadidi dan Candresse (2003), deteksi dengan teknik PCR memiliki keuntungan utama, yaitu mampu menseleksi tingkat kespesifikan dari prosedw amplifikasi. Deteksi viroid dengan RT-PCR hanya memerlukan sampel tanaman 1-100 pg dan pada umumnya 10 - 100 kali lebih sensitif daripada deteksi viroid dengan teknik hibridisasi menggunakan pelacak cRNA dan 2500 kali lebih sensitif daripada analisa dengan return gel electrophoresis. Menurut Tomassoli (2004), teknik RT-PCR memiliki beberapa keuntungan, yaitu hanya memerlukan jumlah sampel jaringan yang sangat sedikit, prosedur ekstraksi dan prosedur PCR mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu satu hari, dan merupakan metode diagnosis yang sangat sensitif serta spesifik. Namun, disamping keuntungan yang dimiliki, deteksi dengan RT-PCR ini juga memiliki kelemahan di antaranya adalah tidak sesuai digunakan untuk mendeteksi sampel dalam jumlah banyak dalam waktu yang bersamaan (massal). Untuk mengatasi kelemahan dari teknik deteksi dengan RT-PCR, dikembangkan metode deteksi molekuler lainnya yang sifatnya dapat mendeteksi sampel dalam jumlah banyak dalam waktu yang bersamaan, sehingga efisiensi waktu dan biaya dapat tercapai. Untuk tujuan ini, deteksi CSVd dengan tissue blot hibridization menggunakan D N A pelacak merupakan suatu teknik yang dapat
memenuh kriteria tersebut. Namun apabila sarana dan prasarananya sangat terbatas, dapat dilakukan dengan teknik return-PAGE. Menurut Tomassoli (2004), diagnosis molekuler untuk CSVd yang dapat diaplikasikan secara rutin adalah teknis diagnosis dengan RT-PCR dan tissue blot hybridization. Pengujian dengan tissue blot hybridization lebih sesuai jika jumlah
sampel yang akan diuji cukup banyak, dan jika jumlah sarnpel sangat sedikit, metode yang paling sesuai adalah metode RT-PCR.
Kedua metode deteksi
molekular ini dapat dipercaya dan mudah untuk diaplikasikan dalam indeksing
secara rutin untuk tujuan memproduksi varietas-varietas tanaman krisan yang baru dan sehat, sangat cepat, dan sensitif. Metode deteksi massal yang tersedia yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat bennanfaat, baik bagi kalangan penangkar bibit h s a n maupun kalangan pengekspor bahan tanaman h s a n . Bagi kalangan penangkar bibit krisan, mereka akan dapat lebih dini mengetahui keberadaan CSVd pada tanaman induk sehingga stek yang diproduksi hanya dari tanaman yang sehat saja. Dengan demikian tidak merugikan petani sebagai pengguna stek tersebut. Sedangkan bagi kalangan pengekspor bahan tanaman krisan, mereka akan terhindar dari kegagalan mengekspor bahan tanaman (misalnya bunga atau stek knsan) karena bahan tanaman tersebut diketahui terinfeksi CSVd. Larangan impor dari negara penerima karena alasan phytosunitury hams diantisipasi dengan penyediaan metode deteksi yang dapat dipertangjung-j awabkan.