VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Migrasi Sirkuler Memahami penyebab munculnya keputusan migrasi dibutuhkan analisa
faktor-faktor pada tingkat objektif. Menurut Germani (dalam Rusli, 1982) tingkat objektif menganalisa semua faktor-faktor “pendorong-penarik” dan berbagai kondisi komunikasi, aksessibilitas serta hubungan antara daerah asal dan daerah tujuan. Pada umumnya analisa sepasial memang relatif agak rumit, hal tersebut tergantung pemahaman daerah atau wilyah penelitian. Tiga faktor penting yang akan dibahas dalam analisa tingkat obyektif untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan keputusan migrasi sirkuler rumahtangga migran sektor informal adalah; faktor pendorong dari desa asal, titik berat faktor pendorong meliputi: Potensi sumberdaya manusia memuat rangkaian penjelasan tentang banyaknya tanggungan anggota rumah tangga di desa asal, jenis pekerjan sebelumnya di desa asal dan pendapatan harian di desa. Kedua adalah potensi sumberdaya alam desa asal, menjelaskan tentang kepemilikan lahan pertanian di desa asal dan jenis pekerjaan di desa sebelum memutuskan menjadi migran sirkuler. Faktor penarik dari daerah tujuan membahas tentang: jenis dan lama pekerjaan yang masih dijalani, asal informasi pekerjaan, pendapatan harian yang diperoleh, dan alasan utama bekerja pada sektor yang di jalani sekarang. Faktor penghambat dan pelancar meliputi: jarak yang ditempuh oleh migran dari daerah asal ke pemondokan, alat dan kondisi transportasi, ketersediaan transportasi dan ongkos yang dikeluarkan sampai ke daerah tujuan serta faktor pribadi yang membahas tentang alasan dalam memilih bentuk sirkulasi, karakteristik dan motivasi pribadi/persepsi terhadap daerah tujuan. 6.1.1. Faktor Pendorong Rumahtangga Migran Sektor Informal Sebagai suatu ekosistem, desa memiliki asset pendukung yang penting antara lain berupa sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Dua sumberdaya ini saling berinteraksi dan saling berinterdependensi. Masyarakat perdesaan akan mampu bertahan hidup secara layak jika mampu melihat
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
68
peluang yang bisa dikembangkan dari daya dukung sumber daya alam yang dimiliki. Potensi sumber daya alam dalam suatu desa, merupakan faktor penting dan berpengaruh besar terhadap sikap setiap warga desa dalam memilih jenis pekerjaan serta bentuk pekerjaan yang sesuai dengan apa yang disediakan oleh alamnya. Masyarakat yang mendiami daerah pantai cenderung menjadi nelayan. Penduduk yang tinggal di daerah pegunungan cenderung menjadi petani sayursayuran dan tanaman perkebunan. Penduduk yang mendiami daerah rawa-rawa akan cenderung mengusahakan tanaman rawa dan perikanan air tawar. Sebagaimana lingkungan pedesaan pada umumnya, desa-desa tempat penelitian merupakan areal desa yang terdiri dari bentang sawah yang luas, ditanami dengan padi dan tanaman palawija. Kondisi geologis perdesaan daerah asal, tempat penelitian memiliki struktur tanah yang kurang subur dan dengan posisi ± 0,5 m lebih rendah dari posisi jalan raya. Kondisi tersebut mempegaruhi jenis pekerjaan yang dipilih oleh masyarakat. Jenis pekerjaan mempengaruhi tingkat pendapatan. Tingkat pendapatan seseorang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga. Pada umumnya jenis lapangan pekerjaan yang tersedia di desa-desa tersebut hanya sekitar sektor pertanian padi dan sawah, lebih meningkat lagi peternakan Unggas. Bila dibandingkan di daerah perkotaan, daerah perdesaan di pulau Jawa jauh dari ketersediaan lapangan pekerjaan, masyarakat daerah perdesaan sering tidak memiliki alternatif lain selain bertani dan berternak di ladang/sawah. Survei
di
dua
kecamatan
asal
migran
Kabupaten
Lamongan,
menunjukkan bahwa rata-rata tanggungan anggota rumahtangga di perdesaan adalah 5 orang. Sebelum mendapatkan pekerjaan yang cocok pada umumnya migran enggan untuk mengajak anggota keluarganya. Namun kemudian, berangsur akan mengajak kalau telah menemukan pekerjaan yang cocok dan penghasilan yang cukup. Anggota keluarga migran yang biasanya ditinggalkan di desa asal adalah anak-anak dan orang tua mereka (ibu atau bapak kadung, mertua, nenek atau kakek). Tabel 11 menunjukkan jumlah tanggungan anggota rumahtangga migran di desa asal, sebesar 34,6 persen berjumlah 3 orang, sebesar 28,3 persen mempunyai tanggungan sebanyak 4 orang, sebesar 26,4 persen berjumlah 2 orang dan jumlah 5–6 orang berjumlah 10,7 persen.
68
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
69
Tabel 11 Jumlah tanggungan anggota rumahtangga didesa asal Jumlah Tanggungan (orang) 2 3 4 5 6 Total
Frekuensi
Persentase
42 55 45 7 10 159
26.4 34.6 28.3 4.4 6.3 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Migran datang kedaerah tujuan pada umumnya secara bertahap. Anggota rumahtangga yang dibawa migran ke daerah tujuan tergantung pada jenis pekerjaan dan banyaknya penghasilan di daerah tujuan. Sama hal nya jumlah tanggungan anggota keluarga di daerah asal, jumlah tanggungan anggota keluarga didaerah tujuan sebagian besar (49 %) adalah satu orang berjumlah 78 responden. Sedangkan yang membawa anggota keluarga ke daerah tujuan dua orang (satu anak dan istri) berjumlah 28,9 persen (46 orang), sisanya sebesar 6,9 persen mempunyai tanggungan anggota rumahtangga berjumlah 4–6 orang. Tabel 12 menunjukkan banyaknya tanggungan anggota rumahtangga di daerah tujuan, yaitu berada di Kecamatan Brondong dan Kecamatan Paciran. Tabel 12 Banyaknya tanggungan anggota rumahtangga di desa tujuan Tanggungan (Orang) 1 2 4 Lebih dari 5 Tidak Jawab Total
Frekuensi
Persentase
78 46 24 5 6 159
49 28.9 15.1 3.1 3.8 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Mengenai jenis pekerjaan migran di desa asal, dari 159 responden yang diambil sampelnya, sejumlah 59,1 persen berlatar belakang sebagai keluarga petani yang tidak memiliki lahan cukup atau buruh tani, sebesar 10,1 persen berasal dari petani pemilik lahan dan sisanya (49 orang) sebesar 30,8 persen berlatar belakang pekerjaan wiraswasta. Tabel 13 menyebutkan jenis pekerjaan sebelumnya di desa asal migran.
69
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
70
Tabe 13 Jenis pekerjaan sebelumnya di desa asal Jenis Pekerjaan Petani Pemilik Petani Buruh Wiraswasta Total
Frekuensi 16 94 49 159
Persentase 10.1 59.1 30.8 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Sedangkan alasan utama para migran memilih menjadi migran sirkuler sebagian besar didasarkan pada alasan ekonomi sebesar 62,3 persen. Alasan ekonomi pada umumnya didasarkan pada rendahnya tingkat pendapatan. Hal itu terkait dengan kepemilikan lahan dan upah buruh (mencangkul, membajak, menanam, menyiangi) sektor pertanian yang didapat oleh rumahtangga migran di desa asal. Sedangkan alasan nonekonomi rumahtangga migran yang memutuskan untuk bersirkulasi banyak didasarkan pada tingginya tingkat pengaruh pihak lain (kaum kerabat dan tetangga) yang sudah terlebih dahulu memutuskan bersirkulasi. Dari 159 responden alasan non ekonomi diketahui sebesar 34,6 persen. Berikut Tabel 14 menunjukkan alasan utama keluar dari desa asal. Tabel 14 Alasan utama memutuskan menjadi migran sirkuler Keterangan Ekonomi Nonekonomi Tidak Jawab/Tau Total
Frekuensi 99 55 5 159
Persentase 62.3 34.6 3.1 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Alasan non-ekonomi lebih didasarkan pada keinginan seseorang atau individu untuk berbuat sesuatu terhadap masa depan dan keluar dari rasa bosan untuk mencoba hal yang baru. Umumnya responden yang menginginkannya adalah mereka yang berusia antara 16 sampai 22 tahun. 6.1.2. Faktor Penarik Rumahtangga Migran Sektor Informal Kabupaten Lamongan terdiri dari 27 kecamatan, hanya terdapat dua kecamatan yang berada di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Kecamatan Paciran
70
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
71
dan kecamatan Brondong adalah dua kecamatan yang berada di deretan pesisir pantai utara pulau Jawa. Dahulu merupakan pusat-pusat perkembangan agama islam di pulau Jawa, dimana Islam tersebar melalui jalur Pantai utara dengan sistem perdagangan. Sehingga, dikalangan masyarakat di dua kecamatan tersebut perdagangan adalah merupakan pekerjaan yang sangat ditekuni dan merupakan pilar utama perekonomian rakyat setemat. Secara fisik pembangunan yang berlangsung di dua kecamatan tujuan migran berkembang sangat pesat. Pada tahun 2003 telah dibuka Sour Base serta pada tahun 2004 dibuka pusat Wisata Bahari Lamongan terbesar di Jawa Timur. Sebagai
berkembangnya
kota
industri
(Gerbangkertasusila),
dua
kecamatan tujuan tersebut merupakan daerah subur bagi berkembangnya perdagangan formal maupun informal. Masyarakat banyak berdatangan untuk megadu nasib melalui usaha perdagangan. Masyarakat yang datang selain berasal dari luar kabupaten juga datang dari penduduk tetangga desa. Masyarakat lokal yang datang umumnya bekerja pada sektor informal, dengan pengalaman kerja rata-rata lebih dari satu tahun. Hasil survei dari 159 responden diketahui sebesar 79,2 persen sudah bekerja menjadi migran sirkuler selama lebih dari satu tahun, sebesar 8,3 persen migran sirkuler sudah bekerja di daerah tujuan antara 1 sampai 6 bulan dan sisanya sebesar 6,9 serta 5,6 persen responden bekerja kurang dari satu bulan. Tabel 15 menunjukkan Lama pekerjaan yang sedang dijalani migran sirkuler di daerah tujuan, yitu di Kecamatan Brondong dan Kecamatan Paciran. Tabel 15 Lama pekerjaan yang sedang dijalani migran sirkuler Waktu Kurang dari 1 Bulan Antara 1 - 6 Bulan Setahun Lebih Lainnya/Tidak terhitung Total
Frekuensi 11 13 126 9 159
Persentase 6.9 8.3 79.2 5.6 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Sejalan dengan lama kerja yang sudah dijalani oleh migran sirkuler didesa tujuan, umumnya migran bekerja pada perdagangan di sektor informal. Hasil wawancara langsung ke responden diperoleh keterangan bahwa sektor ini yang dirasa cocok dan cepat menghasilkan pendapatan dengan modal yang
71
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
72
relatif terjangkau. Pada dasarnya migran mengetahui bahwa jenis pekerjaan, modal dan curahan kerja mempengaruhi tingkat pendapatan yang diperoleh. Namun, setidaknya usaha yang dilakukan masyarakat perdesaan untuk memenuhi kebutuhan hidup telah dilakukan. Terdapat 56 orang responden yang mengatakan bahwa keuntungannya bekerja disektor informal lebih dari Rp. 50.000,- perhari. Sedangkan yang mendapatkan penghasilan antara Rp. 31.000 sampai Rp. 50.000,- sebesar 29,5 persen. Sisanya 28,3 persen berpenghasilan kurang dari Rp. 20.000,- serta antara 20.000-30.000 rupiah. Tabel 16 Distribusi pendapatan migran setiap hari di daerah tujuan Jumlah (Rp. 000) Kurang Dari 20 Antara 20-30 Antara 31-50 Lebih Dari 50 Tidak Menjawab Total
Frekuensi
Persentase
11 34 47 56 11 159
6.9 21.4 29.5 35.2 6.9 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Mengenai asal informasi pekerjan yang didapat migran sirkuler dari 159 responden, sebesar 48,4 persen yang mengatakan mendapatkan pekerjaan didesa asal pada awalnya diajak oleh teman atau keluarga yang terlebih dahulu memutuskan menjadi migran. Mendapatkan informasi pekerjaan melalui inisiatif sendiri sebesar 45,3 persen dan migran yang tidak mengetahui dari mana asal informasi pekerjaan di daerah tujuan sebesar 6,3 persen. Tabel 17 menunjukkan sumber informasi pekerjaan yang didapat migran di daerah tujuan. Tabel 17 Sumber informasi pekerjaan yang dapat migran sirkuler Sumber Informasi Pekerjaan Mencari Sendiri Ajakan teman/keluarga Tidak Jawab Total
Frekuensi 72 77 10 159
Persentase 45.3 48.4 6.3 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Tentang motivasi dan cita-cita menjadi migran sirkuler, penduduk pedesaan yang bersirkulasi ke daerah tujuan memiliki keinginan yang sama
72
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
73
antara yang berkeinginan untuk tetap menjadi migran dan yang berkeinginan tidak menjadi migran hampir sama. Sebesar 49,7 persen yang tidak berkeinginan untuk terus bersirkulasi dan 48,4 persen yang berkeinginan menjadi migran sirkuler di daerah tujuan, sisanya tidak menjawab/tidak mengetahui. Alasan utama migran memilih untuk terus menjadi migran sirkuler lebih didasarkan pada faktor ekonomi, yaitu mudah mencari uang dan hasil bekerja didaerah tujuan relatif dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga. Migran yang tidak berkeinginan lebih lama menjadi migran sirkuler lebih didasarkan pada kondisi fisik yaitu capek ingin istirahat. Tabel 18 menunjukkan keinginan lebih lanjut mengenai kuputusan menjadi migran sirkuler. Sedangkan faktor penarik lain yang dominan menarik rumahtangga migran pergi kedaerah tujuan adalah karena fasilitan dan faktor keamanan yang terdapat didaerah tujuan sebesar 95 responden yang menjawab (59,7 %) dan sisanya tidak mengetahui. Tabel 18 Keinginan kedepan mengenai keputusan menjadi migran sirkuler Uraian Non-Respon Ya, setuju menjadi migran sirkuler Tidak Tau Total
Frekuensi 79 77 3 159
Persentase 49.7 48.4 1.8 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
6.1.3. Faktor Pelancar Migrasi Sirkuler Jika daerah tujuan dilihat sebagai suatu ekosistem akan terlihat bahwa dua kecamatan tujuan merupakan tempat usaha yang ideal, karena memilikai faritasi atau keaneka ragaman dalam sektor usaha. Desa atau kelurahan tujuan migran mememiliki aneka ragam kegiatan ekonomi yang tidak dimiliki oleh kecamatan yang lain. Membahas tentang keaneka ragaman kegiatan ekonomi didaerah tujuan tidak akan terlepas dari fasilitas yang menyebabkan kelancaran dan penghambat migran sirkuler. Faktor–faktor penghambat dan pelancar migran sirkuler antara lain adalah: Jarak, alat Transportasi, kondisi Transportasi, kondisi Transportasi, waktu ketersediaan Transportasi dan biaya Transportasi dari daerah asal ke daerah tujuan.
73
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
74
Faktor jarak, jarak bagi migran sirkuler dari perdesaan bagian Selatan kabupten Lamongan ternyata tidak menjadi penghalang untuk bersirkulasi dan nginap atau mondok di daerah tujuan. Ternyata migran yang memutuskan sirkulasi ke daerah tujuan dengan cara mondok/nginap untuk beberapa bulan adalah berasal dari desa yang berjarak lebih dari 16 Km dari daerah asal menuju daerah tujuan (perdesaan dari kecamatan Sukodadi dan Kecamatan Pucuk) berjumlah 117 orang (73,6 %), migran yang berasal dari jarak antara 10 sampai 15 Km sebesar 25,8 persen (41 orang). Tabel 19 menunjukkan jarak migran dari daerah asal ke tempat pemondokan di daerah tujuan. Tabel 19 Jarak migran dari daerah asal ke daerah tujuan Jarak Antara 10 -15 Km Lebih Dari 16 Km Tidak Jawab Total
Frekuensi 41 117 1 159
Persentase 25.8 73.6 0.6 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Hasil pengamatan kondisi transportasi di daerah asal juga berperan besar dalam memperlancar migran sirkuler. Jalan raya menuju daerah asal relatif bagus dan beraspal, walaupun sedikit agak berbahaya pada musim penghujan. Alat transportasi yang banyak digunakan migran menuju daerah tujuan adalah mobil L300 sebanyak 60,4 persen ( 96 orang), sisanya sering menggunakan Ojek Motor dan Truk/Pickup yang biasa melintas dengan membawa hasil pertanian sebanyak 57 Orang (35,8 %). Tabel 20 mencatat tentang alat transportasi yang biasa digunakan migran menuju ke pemondokan. Tabel 20 Alat transportasi yang biasa digunakan migran menuju ke pemondokan Jenis Kendaraan Mobil L 300 Truck/PickUp Ojek Sepeda Motor Tidak Jawab Total
Frekuensi 96 55 2 6 159
Persentase 60.4 34.6 1.2 3.7 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
74
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
75
Mengenai kondisi Transpotasi yang memperlancar proses migrasi sirkuler penduduk perdesaan ke daerah tujuan, berdasarkan hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kondisi tersebut pada umumnya lancar dan relatif tidak mempunyai masalah, misalnya keadaan fisik mobil dan kondisi jalan raya yang rawan. Faktor kelancaran yang dimaksud disini adalah dalam kondisi tertib dan relatif terjadi keseimbangan antara jumlah penumpang dan jumlah kendaraan yang tersedia. Kondisi tersebut dijawab oleh 124 orang responden (77,9%), dan responden yang mengatakan bahwa kondisi transportasi masih jarang dan antri sebanyak 16 orang. Tabel 21 menunjukkan pendapat migran mengenai kondisi transportasi dari daerah asal menuju daerah tujuan. Tabel 21 Kondisi transportasi dari daerah asal ke daerah tujuan Kondisi ransportasi Lancar dan Bagus Masih Jarang dan Antri Biasa Total
Frekuensi 124 16 19 159
Persentase 77.9 10.1 11.9 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa Terminal yang tersedia di daerah asal pada umumnya hanya beroperasi selama 12 Jam, yaitu mulai jam 06.00 sampai dengan jam 18.00 WIB. Pengamatan tersebut ternyata berbeda dari jawaban responden melalui kuesioner. Responden yang mengatakan bahwa ketersediaan alat Transportasi di Terminal yang ada di desa asal adalah 24 jam dijawab oleh 78 orang dan sisanya kuarang dari 12 jam dan hanya 12 jam dijawab oleh 81 orang responden
berikut Tabel 22 menunjukkan waktu
ketersediaan transportasi di desa asal migran sirkuler. Tabel 22 Waktu ketersediaan transportasi di desa asal Waktu Ketersediaan Transportasi (jam) 24 12 Kurang 12 Total
Frekuensi
Persentase
78 36 45 159
49 22.6 28.3 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
75
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
76
Ongkos transportasi menuju daerah tujuan sebelum terjadi kenaikan harga BBM per bulan September 2005 sebesar kurang dari Rp 5000, dijawab oleh 111 responden, lebih dari Rp. 11000 dijawab oleh 47 responden. Perbedaan yang mencapai kelipatan 100 persen lebih tersebut pada kenyataanya karena alat transportasi yang digunakan. Migran yang membayar lebih mahal disebabkan naik ojek dan yang lebih murah biasanya mengendarai mobil L 300 serta menggunakan kendaraan Truck atau Pickup. Tabel 23 mengenai besarnya ongkos transportasi migran ke daerah tujuan. Tabel 23 Besarnya ongkos transportasi ke daerah tujuan Keterangan (Rp) Kurang dari 5000 Antara 6000 - 10000 Lebih dari 11000 Tidak Jawab Total
Frekuensi
Persentase
111 0 47 1 159
69.8 0 29.5 0.6 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Faktor pelancar migran sirkuler lainnya adalah banyak didasarkan pada faktor ekonomi, yaitu keinginan kuat migran mendapatkan pekerjaan selain sektor pertanian. Hal tersebut terbukti dengan jumlah responden yang mengatakan bahwa bersirkulasi karena faktor pekerjaan sebanyak 148 orang (93,1 %), karena motivasi ingin maju dan ingin mendapatkan pengetahuan baru masing masing sebesar 5 orang (3,1 %) dan sebesar 6 orang (3,7 %). Tabel 24 menunjukkan uraian alasan faktor penarik lain terhadap terjadinya migrasi sirkuler. Tabel 24 Faktor pelancar migrasi sirkuler lain Faktor Penarik Lain Mendapat Pekerjaan Ingin Maju Pengetahuan Baru Total
Frekuensi 148 5 6 159
Persentase 93.1 3.1 3.7 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
76
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
77
6.1.4. Faktor Pribadi Migran Sirkuler Pada dasarnya tidak ada aturan atau norma yang mendorong masyarakat perdesaan di Kabupaten Lamongan untuk bersirkulasi kedaerah pesisir pantai utara. Namun ada semacam tradisi yang sudah sekian lama mendasari cara hidup masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan. Tradisi tersebut masih berlanjut sampai sekarang. Walaupun hal tersebut hanya sebatas anjuran atau pendapat dari seorang pemuka agama (Alim Ulama). Peran birokrasi formal seperti kepala desa tidak mampu mengatasi dan mencegah penduduknya dari proses sirkulasi. Hingga tahun 2003 kepala desa adalah penduduk asli yang dipilih melalui pemilihan kepala desa. Terpilih menjadi kepala desa adalah mereka yang direstui/distujui oleh pimpinan ulama/kaum agama yang berpengaruh didesa. Tidak jarang pada kemudian hari dualisme kepemimpinan didesa terjadi, kepala desa sering kali menempati posisi yang kedua dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang ditentukan oleh pemuka agama seringkali menjadi ”petuah” bagi penduduk desa. Fanatisme sosok pemuka agama di perdesaan Kabupaten Lamongan masih sangat besar. Alim Ulama lebih memiliki karisma dalam menyerukan kebijakan atau pun perintah bila dibandingkan kepala desa, karena pada sebagian besar Alim Ulama di pedesaan mempunyai fasilitas dan dukungan massa yang besar, fasilitas tersebut berupa pesantren dengan akses yang berlebih bila dibandingkan dengan lembaga formal yang dimiliki oleh desa. Data departemen agama Kabupaten Lamongan menyebutkan bahwa lebih dari 300 Pondok Pesantren yang ada di kabupaten Lamongan, dan lebih dari 85 persen berlokasi di wilayah pedesaan. Kekuatan tersebut seringkali mengantarkan dengan mudah seorang menjadi kepala desa atau turun dari jabatan kepala desa menjadi warga biasa. Alim Ulama adalah kelompok elit desa dan kepala desa adalah kepanjangan tangan dari Alim Ulama. Dominasi politik yang kuat kalangan pemuka agama di perdesaan kabupaten Lamongan mampu melemahkan peran birokrasi formal, karena sering kali orientasi pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah diatas birokrasi formal desa terhalang oleh kepentingan pemuka agama yang berbeda. Artinya hanya kalangan elit yang selama ini berperan utama dalam mengendalikan birokrasi formal di desa, termasuk yang menikmati akses sumberdaya desa.
77
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
78
Tarik-ulur kekuatan politik agama, budaya dan birokrasi formal sering kali di menangkan kaum pemuka agama. Penduduk desa dalam kuantitas yang seharusnya merupakan pemilik kekayaan sumberdaya desa seringkali tidak dilibatkan.
Sehingga,
untuk
bisa
menikmati
akses
terhadap
kekayaan
sumberdaya desa terlebih dahulu seseorang/mereka harus masuk dalam lingkaran elite desa. Migrasi sirkuler penduduk desa diyakini dan disamakan dengan anjuran "lelana (mengembara)” dalam kisah-kisah pengembara tempo dulu. Seseorang laki-laki dewasa dapat dikatakan kesatria apabila semasa hidupnya pernah menjalani anjuran lelana yang diperintahkan oleh seorang ulama di desa. Lelana dapat disama artikan dengan pengembaraan untuk mencari sesuatu yang baru, yang belum dimiliki oleh seseorang selama hidup didesa. Setelah dalam tahapan lelana, seseorang biasanya kembali ke desa dengan berbekal pengalaman yang didapat di daerah yang pernah di singgahi untuk memperoleh ilmu baru. Seseorang yang berbekal ilmu baru, kemudian diuji untuk menentukan pantas atau tidak masuk dalam kelompok elit desa dalam sebuah pesantren atau jamaah penajian agama. Namun, kondisi sekarang masyarakat perdesaan yang mengembara atau lelana tidak lagi karena keinginan masuk dalam lingkaran elit desa, dalam pengembaraan juga tidak lagi seorang pemuda dewasa yang masih berstatus sendiri. Tetapi, terdapat pergeseran nilai-nilai yang semula dianjurkan, yaitu faktor ekonomi yang membawa seseorang/mereka (kepala rumahtangga) untuk mengembara mencarai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan hidup, yang selama ini hanya dirasakan oleh kelompok elit desa. Data survei menemukan bahwa anjuran lelana sekarang telah bergeser menjadi alasan ekonomi (33,3 %) yang mendasari pola sirkulasi penduduk perdesan. Sebesar 25,1 persen beralasan karena ingin melatih kemandirian berumahtangga dan sebesar 25,1 persen mengatakan untuk masa depan ingin mencari yang lebih baik dari yang sudah ada di desa serta 16,4 persen responden tidak mengetahui alasan secara pribadi mengapa memilih bersirkulasi ke daerah tujuan. Berikut Tabel 25 menunjukkan Alasan pribadi 159 responden mengapa memilih bentuk mobilitas sirkuler.
78
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
79
Tabel 25 Alasan pribadi bersirkulasi Alasan Pribadi Melatih Kemandirian Ekonomi Masa Depan Tidak Mengetahui Total
Frekuensi 40 53 40 26 159
Persentase 25.1 33.3 25.1 16.4 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Akses sumber daya yang dinikmati dan dikuasai oleh sekelompok elit desa terjadi akibat lemahnya birokrasi formal desa, kepala desa yang seharusnya
menjadi
decision
maker
pembangunan
tidak
mampu
lagi
membagikan sumber daya desa kepada yang berhak, yaitu penduduk desa yang merupakan aset bagi kemajuan pembangunan desa. Biasanya kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga formal desa (kepala desa) sering ditentang oleh elit desa melalui peran tokoh utama desa yang berada dalam lembaga musyawarah desa (LMD/BPD). Masyarakat desa yang sudah memilih bersirkulasi ke daerah tujuan masih memiliki
bentuk
mobilitas
yang
lebih
cocok
untuk
memaksimalkan
pendapatannya. Hal ini terlihat dengan pendapat meraka tentang pola yang dipilih sekarang (sirkulasi denga nginap/mondok). Sebanyak 68 responden yang mengatakan ”biasa” terhadap sirkulasi. Ketika ditanyakan lebih lajut tentang jawaban biasa, menyatakan bahwa tidak terlalu cocok atau menyenangi, tetapi kalau ada pola yang lebih baik untuk menambah pendapatan mereka akan merubah keputusannya untuk bersirkulasi. Sebesar 24 responden mengatakan Sangat senang dan puas denga pendapatan yang diperoleh, serta 23 responden yang mengatakan tidak senang karena belum terpenuhi harapan, sisanya responden tidak mengetahui mengapa mereka harus memilih pola sirkulasi. Tabel 26 Tingkat kepuasan responden terhadap pola sirkulasi Tingkat Kepuasan Sangat senang/Puas Biasa Tdak senang/Tidak Puas Tidak Menjawab Total
Frekuensi 24 68 23 44 159
Persentase 15.1 42.7 14.4 27.6 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
79
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
80
Alasan memilih pekerjaan sebagai pedagang di daerah tujuan, lebih banyak didasarkan pada bahan baku dan ramainya pembeli (daya beli masyarakat daerah tujuan) yang disertai dengan tingkat kebutuhan masyarakat tinggi sebesar 66 responden. Responden yang mengatakan bahwa barang dagangannya paling dibutuhkan sebesar 58 orang dan yang beralasan memilih berjualan karena modal yang dibutuhkan sedikit sebesar 33 orang responden, dan yang tidak mengetahui alasan 2 orang responden. Tabel 27 menujukkan alasan responden memilih jenis pekerjaan didaerah tujuan Tabel 27 Alasan memilih jenis pekerjaan didaerah tujuan Alasan Memilih Pekerjaan Bahan baku mudah didapat Paling dibutuhkan Modalnya sedikit Lainnya Total
Frekuensi 66 58 33 2 159
Persentase 41.5 36.4 20.7 1.2 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Umumnya migran sirkuler pulang kedesa asal dalam 4 sampai 6 bulan sekali (91 orang responden) pada saat pulang biasanya selama 7 hari di desa asal kemudian kembali ke desa tujuan untuk bekerja lagi. Responden yang kembali ke desa antara 1 sampai 3 bulan sekali sebesar 34 orang (21,3 %) dan tidak tentu sebesar 27 responden (16,9 %). Pada umumnya responden kembali kedesa selain untuk mengobati kerinduan teradap keluarga mereka juga kembali untuk merawat dan menanami tanah pertanian yang mereka miliki didesa, sebagai infestasi sektor pertanian yang pada awalnya menjadi tumpuan harapan ekonomi keluarga di desa. Namun rasa kecintaan masyarakat desa untuk mempertahankan apa yang mereka miliki masih dianggap rendah oleh kaum elit di desa. Peran elit desa menciptakan kelemahan dalam kinerja lembaga formal desa yang dibarengi dengan penguasaan aset dan akses sumberdaya desa. Disamping itu, anjuran lelana yang dulu sering disarankan oleh elit desa, bukan lagi perupa pengembaraan mencari ilmu untuk bisa kembali dan masuk dalam kelompok elit desa. Dasar pengembaraan/lelana merupakan warisan turun temurun pendududk desa di kabupaten Lamongan yang sekarang menjelma menjadi pengembaraan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga di desa.
80
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
6.2.
81
Karakteristik Rumahtangga Migran Sirkuler Karakteristik migran sirkuler yang terdapat di daerah asal mencakup, jenis
kelamin, Umur, status pernikahan, pekerjaan, pendidikan dan desa asal (lihat Lampiran 1). Seperti halnya hasil studi tentang migrasi pada umumnya, penelitian tentang dampak migrasi sirkuler menunjukkan bahwa masih didominasi oleh kaum laki-laki (kepala rumahtangga) terdapat 122 (76,7 %) responden dan sisanya 23,2 persen adalah jenis kelamin perempuan. Hasil pengamatan di lapangan, hampir 100 persen kaum perempuan yang bersirkulasi adalah para janda yang masih mempunyai tanggungan keluarga di desa asal. Alasan memilih bermigrasi jenis sirkulasi karena pada jenis ini dianggap lebih efektif dalam memperoleh uang dan mampu meringankan beban yang dialami. Tabel 28 Responden menurut jenis kelamin Jenis Kelamin Responden Laki-laki Perempuan Total
Frekuensi 122 37 159
Persentase 76.7 23.3 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Umur memegang peranan yang sangat penting bagi aktivitas seseorang terutama
untuk
mendapatkan
pendapatan,
karena
hal
tersebut
akan
mempengaruhi produktivitas kerja seseorang. Seseorang migran yang berusia produktif (16 sampai 35 tahun) akan berbeda potensi dan curahan kerjanya bila dibandingkan dengan mereka yang berusia non produktif. Begitu pula sebaliknya seseorang yang berada pada usia non produktif (45 tahun keatas) biasa mempunyai tingkat curahan kerja dan produktivitas yang menurun. Karena secara alamiah semakin bertambah umur seseorang maka kondisi fisik juga akan menurun. Mengenai umur, migran sirkuler yang bekerja di sektor informal sebagian besar responden adalah tenaga kerja produktif (Usia 16–35 tahun) berjumlah 59,8 persen, usia matang (36-45 tahun) 28,9 persen dan sisanya umur 46 hingga 51 tahun sebesar 11,3 persen. Tabel 29 menunjukkan responden menurut umur di daerah tujuan.
81
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
82
Tabel 29 Responden menurut umur di daerah tujuan Umur (Tahun) Usia 16 – 35 Usia 36 – 45 Usia 46 lebih Total
Kategori
Frekuensi
Persentase
Produktif Matang Tua
95 46 18 159
59,8 28,9 11,3 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Faktor pendidikan, migran sirkuler yang mengikuti pendidikan setingkat Sekolah Dasar 39 persen, sebesar 32 persen berhasil menamatkan pendidikannya sisanya sebesar 6,9 persen putus sekolah, sebesar 48 persen menyelesaikan pendidikan setingkat SLTP serta migran yang berpendidikan SLTA sebesar 12,6 persen. Tabel 30 menunjukkan tingkat pendidikan migran sirkuler yang bermigrasi sebagai pedagang di daerah tujuan. Tabel 30 Tingkat pendidikan migran sirkuler Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD SD/Setara SLTP/Setara SLTA/Diploma I/II Total
Frekuensi 11 51 77 20 159
Persentase 6.9 32.1 48.4 12.6 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Kondisi yang menarik untuk diketahui dari keadaan keluarga responden adalah berapa banyak anggota keluarga yang juga bermobilitas sirkuler. Ternyata hanya 32 persen responden mempunyai anggota keluarga yang bersirkulasi ditempat yang sama dan sisanya tidak memiliki anggota keluarga untuk menjadi migran yang sama. Dari data ini menunjukkan bahwa keputusan migrasi bisa diambil oleh migran meskipun tanpa pengetahuan dan informasi yang lengkap tentang daerah yang dituju, pada umumnya migran memutuskan ke daerah yang terdekat. Penelitian terdahulu yang menyebutkan bila salah seorang anggota keluarga di desa telah bekerja dikota akan terjadi kecendrungan bahwa anggota keluarga yang lainnya akan ikut bermigrasi, dalam kasus migran sirkuler Lamongan tidak terbuktikan.
82
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
83
Mengenai status perkawinan responden yang masih membujang 0,6 persen, sisanya adalah sudah berkeluarga. Dari yang sudah berkeluarga diperoleh keterangan sebanyak 25,8 persen mempunyai tanggungan sebanyak 3 orang, 34,6 persen memiliki tanggungan 3 orang, dan mempunyai tanggungan 4 orang sebesar 28,3 persen, serta sebesar 10,6 persen mempunyai tanggungan keluarga 5 - 6 orang. Tentang jenis pekerjaan yang dijalankan migran sirkuler didesa tujuan Jenis pekerjaan migran di daerah tujuan baling banyak didominasi oleh pedagang Bakso (27%) kemudian pedagang Ayam Goreng 11 persen dan Pedagang Nasi Goreng sebesar 10,6 persen. Tabel 31 menunjukkan jenis pekerjaan migran yang sudah dijlani di daerah tujuan. Hasil pengamatan jenis pekerjaan yang dipilih migran umumnya dipengaruhi oleh banyaknya modal yang disiapkan oleh migran dan ketrampilan usaha yang dimilikinya. Tabel 31 Jenis pekerjaan migran di daerah tujuan Jenis Pekerjaan Migran 1. Alat rumah 2. Ayam Goreng 3. Bakso 4. Bubor+ 5. Dagang 6. Es 7. Ikan 8. Jajanan 9. Gorengan 10. Jamu+ 11. Pakaian 12. Krupuk 13. Lampu 14. Mainan 15. MieAyam 16. Mrtabak Daging 17. Pecel Lele+ 18. Rujak Kliling 19. Sate 20. Sayur dpr 21. Soto 22. Teh Botol 23. Nasigoreng Total
Frekuensi 1 18 44 2 3 8 6 8 8 1 1 2 1 2 11 1 4 1 8 1 6 5 17 159
Persentase 0.6 11 27 1 2 5 3.7 5 5 0.6 0.6 1.2 0.6 1.2 6.9 0.6 2.5 0.6 5 0.6 3.7 3.1 10.7 100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
83
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
84
Desa asal responden, diketahui bahwa desa asal para migran sektor informal yang terdapat di daerah tujuan kebanyakan beasal dari 2 kecamatan asal terdekat, yaitu berasal dari: Desa Pucuk (49,7 %), desa Sumberagung (23,3 %) desa Siwalanrejo (13,8 %), desa Kesambi (11,9 %) dan desa Warukulon 2 responden (1,2 %). Nama-nama desa asal responden tersebut berada dibagian selatan daerah tujuan melintasi aliran Bengawan Solo, untuk menuju daerah tujuan responden memerlukan 1 sampai 2 jam bila dilalui dengan kendaraan bermotor. Jika responden dikelompokkan pada tingkat kecamatan asal maka terdapat 62,9 persen responden yang berasal dari kecamatan Pucuk, terdapat 59 responden (37,1 %) responden dari kecamatan Sukodadi (lihat Tabel 32). Tabel 32 Responden berdasarkan desa asal dan kecamatan asal Kecamatan dan Desa Asal Migran Sirkuler Kecamatan: Pucuk Sukodadi Desa: Pucuk Kesambi Warukulon Siwalanrejo Sumberagung
Frekuensi
Presentase
Persentase
100 59
62,9 37,1
100
79 19 2 22 37
49,7 11,9 1,2 13,8 23,3
100
Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Mengenai status perkawinan, responden yang masih membujang 0,6 persen dan sebesar 90,4 persen sudah berkeluarga. Dari yang sudah berkeluarga diperoleh keterangan sebanyak 25,8 persen mempunyai tanggungan sebanyak 2 orang, sebesar 67,3 persen mempunyai tanggungan 3 – 5 orang serta sisanya sebesar 6,3 persen bertanggungan 6 orang lebih. Hasil wawancara menemukan bahwa respoden pada awalnya memutuskan menjadi migran sirkuler dengan tidak berbekal sedikit pun informasi tentang daerah tujuan. Migran pada awalnya nekat menuju daerah tujuan karena jaraknya dekat dan sewaktu-waktu bisa pulang dengan tidak mengeluarkan biaya yang besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa migran yang melakukan sirkulasi kedaerah tujuan terdekat adalah mereka yang masih pada tahap coba-coba (trial and error) dalam mencoba keberuntungan untuk mendapatkan tambahan pendapatan atau
84
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
85
upah yang lebih besar. Pada sebagian masyarakat pedesaan yang sama, ditemukan penduduk yang melakukan migrasi ke jarak yang lebih jauh (Surabaya, Jakarta, Bogor, Samarinda, Deli dan kota-kota besar lainnya bahkan luar negri seperti Malaysia), walaupun dalam jumlah yang sedikit. Proses sirkulasi ke daerah terdekat adalah semacam batu loncatan (steping stone) untuk bersirkulasi ke jarak yang lebih jauh.
Kecamatan Sukodadi Kecamatan Pucuk
Daerah Tujuan
5 4
1 2
3
6 1
2
3
4
5
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Merupakan daerah tujuan Kecamatan Brondong. Merupakan daerah tujuan Kecamatan Paciran. Daerah kota-kota lain di Indonesia (Surabaya, Jakarta, Bogor, Samarinda, Deli dst). Menuju ke Negara Malaysia Menuju ke Negara Timur Tengah (Saudi Arabia, Kuwait, Abudabbi) Meneuju ke negara-negara Asia lainya (Hongkong, Jepang dst).
Gambar 10 Pola migrasi penduduk di dua kecamatan sampel Kabupaten Lamongan diolah dari sumber pengamatan tahun 2005 Terkait dengan jiwa wirausaha penduduk perdesaan di kabupaten Lamongan yang jumlahnya semakin banyak, tanpa tentunya mengabaikan peran pelatihan dunia wira usaha dan tekanan akan pemenuhan kebutuhan ekonomi, Clifford Geertz dalam Zainuddin (1980) mengatakan bahwa: Kota sepanjang pantai utara Pulau Jawa mulai dari Cirebon sampai Banyuwangi merupakan kota dagang. Selain kota dagang daerah pantai utara adalah merupakan daerah dimana agama Islam memperoleh akarnya dalam abad XVI. Dan sejak awalnya Islam telah diasosiasikan dengan kelas pedagang dan pengrajin yang anggotanya berjalan berkeliling dari pantai utara keseluruh daerah Pulau Jawa, untuk berdagang dan menyebarkan agama. Dengan demikian jiwa wirausaha
85
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
86
yang ada dalam diri para migran adalah merupakan warisan bakat budaya yang sudah turun-temurun. Masyarakat di dua kecamatan asal diatas secara geografis relatif sama, akan tetapi agak sedikit berbeda jika dilihat dalam segi prilaku ekonominya. Masyarakat di kecamatan Pucuk sebagian besar mengandalkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sedangkan masyarakat di kecamatan Sukodadi selain sektor pertanian masih terdapat sektor perdagangan (warung kelontong/toko pertanian) sebagai sektor penunjang kebutuhan keluarga di desanya.
6.3.
Tingkat Pendapatan Dan Tingkat Kesejahteraan Tingkat pendapatan yang dijelaskan dalam penelitian ini meliputi
pendapatan yang diperoleh rumahtangga perdesaan yang memutuskan untuk menjadi migran sirkuler, yaitu pendapatan yang didapat pada saat sebelum memutuskan menjadi migran sirkuler dan pendapatan pada saat menjadi migran sirkuler di daerah tujuan. 6.3.1. Tingkat Pendapatan Sebelum Menjadi Migran Sirkuler Pelaku migran sirkuler yang terdapat di daerah tujuan pada umumnya adalah masyarakat perdesaan di bagian selatan kabupaten Lamongan. Masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Data Podes propinsi Jawa Timur tahun 2003 mencatat bahwa dari total 423 desa di kabupaten Lamongan terdapat 82 persen (347 desa) yang penduduknya sebagian besar bekerja disektor pertanian (Statistik potensi desa BPS Propinsi Jawa Timur, 2003). Menurut Sajogyo (2002) penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami penurunan nilai tambah lebih dari 26 persen, pada kurun waktu 1973 -1980 sebesar 32 persen. Peneurunan tersebut terkait erat dengan rendahnya tingkat upah disektor pertanian. Teknologi unggul sektor pertanian bias pada pemilik tanah dan penggarap. Sedangkan tehnologi informasi masuk ke desa-desa dan menunjukkan tingginya peluang di luar sektor pertanian yang menjanjikan pendapatan yang tinggi, mendorong penduduk desa keluar dari sektor pertanian. Data PDRB kabupaten Lamongan dalam kurun waktu 1999 – 2003 tanaman bahan makanan mengalami kenaikan sebesar 14,2 persen dari total
86
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
87
Rp. 1.047.957,45 (BAPPEDA kabupaten Lamongan, 2003). Sistem irigasi yang didukung oleh lintasan aliran Bengawan Solo, merupakan potensi sumber daya alam yang mendukung sektor pertanian di pedesaan kabupaten Lamongan. Tanaman pangan yang berupa padi-padian dan umbi-umbian merupakan produk unggulan pertanian sejak jaman dulu, kondisi tersebut karena didukung oleh ekologi Tanah perdesaan yang dimiliki. Kondisi ekologi perdesaan adalah merupakan aset, bentuk sumbangan sumber daya alam yang mendukung sektor pertanian terhadap keperluan hidup penduduk pedesaan pada umumnya. Hal tersebut tidak terlepas dari peran serta masyarakat di pedesaan. Hasil pengamatan dan survei Lapangan menggunakan kuesioner menemukan bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan dikabupaten Lamongan masih jauh dari pemenuhan standart kelayakan sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui upah minimum Regional (UMR) perdesaan. Hal tersebut terlihat melalui semakin bertambahnya jumlah rumahtangga miskin dipedesaan dan rumahtangga yang diduga miskin di pedesaan, serta banyaknya temuan rumahtangga petani yang melakukan strategi nafkah (livelihood Strategies) ganda diluar sektor pertanian, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumahtangganya. Dari wawancara dan pengisian kuesioner di lapangan, juga terungkap bahwa upah yang diperoleh buruh tani berkisar antara Rp. 8.000,- sampai Rp. 10.000,- (4-6 jam per hari kerja) apabila pemilik lahan menyediakan makanan dan minuman, dan antara Rp. 10.000,sampai Rp. 12.000,- per hari apabila pemilik lahan tidak bersedia menyediakan makanan. Dari data kuesioner yang disebar melaui 159 responden berlatar belakang petani, lebih dari 90 persen mengatakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dengan mengandalkan pekerjaan sebagai buruh tani di desa. Hasil wawancara dengan beberapa pemilik lahan pertanian di desaasal tentang kepantasan pemberian upah buruh tani, diperoleh jawaban bahwa apabila upah bersih buruh tani lebih dari kisaran Rp. 8.000,- sampai Rp. 15.000,- maka pengusahaan pertanian akan rugi, karena ketidak seimbangan antara hasil yang didapat dengan biaya pengusahaan pertanian. Lebih lanjut, pertanyaan kepada responden buruh tani di desa mengapa tidak mengusahakan pekerjaan lain di desa, lebih dari 90 persen responden menjawab akan susah berkembang karena kemampuan membeli (daya beli) masyarakat rendah. Kendatipun pandangan ekonom membenarkan bahwa tingkat pendapatan akan mempengaruhi daya beli
87
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
88
masyarakat, nampak terlihat sebagian masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan masih tetap mempertahankan sektor pertanian, kondisi tersebut lebih didasarkan pada faktor kecintaan sebagian masyarakat perdesaan terhadap kampung halaman dan kaum kerabat di desa asal walaupun pada saat tertentu harus keluar desa untuk mendapatkan tambahan pendapatan. Tabel 33 Pendapatan migran per hari sebelum memutuskan migrasi sirkuler Klasifikasi Pendapatan Migran di Desa Asal
<< Rp. 20.000 (Rp. 8000,- - Rp.12000,-) Rp. 20.000,- - Rp. 30.000,Rp.30.000,- - Rp. 50.000,Total
Frekuensi 94 62 3 159
Prosentase 59,1 38.9 1.9 100
Sumber: Survei Lapangan, 2005
Namun, kondisi yang berbeda juga terjadi pada sebagian masyarakat perdesaan (Pucuk, Kesambi, Siwalanrejo dan Sumberagung) pada dua kecamatan di kabupaten Lamongan. Penduduk perdesaan yang awalnya masih konsisten mempertahankan sektor pertanian dan menjadikan pertanian sebagai satu-satunya sumber pendapatan utama rumahtangganya, harus memutuskan untuk menjadikan sector pertanian sebagai pekerjaan sambilan. Profesi sebagai migran sirkuler sektor informal ke daerah-daerah tujuan yang dipilih dipandang sebagai ”pahlawan” untuk
permasalah rendahnya upah pekerjaan di sektor
pertanian. Melalui keputusan tersebut, sebagian harapan untuk dapat mengatasi masalah kesulitan ekonomi akibat rendahnya pendapatan di desa dan memiliki simpanan di hari tua terwujud. Menjadi migran sirkuler dipilih sebagai solusi yang bijak dalam mengatasi masalah rendahnya upah sektor pertanian dan faktor kecintaan terhadap lahan pertanian yang dimiliki dalam menunjang penghidupan keluarga di desa asal. Berikut kutipan hasil wawancara dengan seorang pedagang Bakso (NJ) umur 39 tahun asal desa Pucuk yang memilih menjadi migran sirkuler, semula petani kecil dengan lahan sempit dan sudah dua tahun di desa tujuan Brondong bersama istrinya: “kulo awalle puyeng mikir ke pasugatan kebutuhan saben dhinten, kerjaan ngeh mentok ngoten-ngoten mawon, saklintune tani ngeh repot ten dusun niku, nate njajal buka warong ten dusun ngeh malah rugi, malah torok tenogo. Yogo kulo tigo, kebutuhan tambah dhinten tambah katah. Ngandalke tani tok ten dusun, saget ngak karuan yogo kulo. Upah maton niku roto-roto wolong ewu setengah ari, niku diparingi nyamian, kaleh wedang. Nek sedinten tet ngeh saget kaleh
88
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
89
welas ewu nghantos tigo welas ewu dahar sepindah, niku ngeh mboten mesti wonten setinten-dhinten ne. Dah....yogo kalean estri kulo dhos pundhi.... niku. Akhir e, kulo nemokne dalan ngeh niki (dagang Bakso)ten dhusun lintu, paleng mboten saget damel nyukupi kebutuhan sak dhinten-dhinten e kedik-kedik asal saget nyekolahke anak. Syukur-syukur nek wonten luwehan, saget kangge nabong, mbejeng sepah saget di unduh. Kulo mboten saget netep ten dhuson lintu sakteruse, tendusun woten yogo setunggal dherek mbah e ugi sanak family kolo kathah ten ngriko,sekedik -kedik ngeh kadang kangen kramot saben, meniko pangan mbahe yogo kulo. Ten duson niku nyekel duwek sekedik tapi sayok wargo ne. Tanggi-tanggi engkang kaddos kulo ten riki ngeh suaten kados kulo, kadhose remen ngeten niki, ngak ngoyo tapi sekedik-kedik ngasel !, nek kangen ngeh manthok. Kangge dhinten tuwo kulo tetep remen ten dusun asal. ( saya awalnya sakit kepala memikirkan kebutuhan sehari-hari, melihat pekerjaan hanya begitu saja, selain bertani semuanya repot di desa, pernah mencoba buka warung/berdagang tapi terus rugi, capek tenaga. Anak saya tiga, kebutuhan hidup semakin hari semakin bertambah. Mengandalkan bertani saja di desa, bisa tidak terwujud anak saya. Upah buruh tani/nyabut rumput delapan ribu/ serenga hari, itu diberi jajanan dan minum. Kalo kerja sehari upah bisa duabelas ribu sampai tiga belas ribu, makan sekali, itu pun belum tentu ada setiap harinya. Dah.... anak dan istri saya gimana... itu. Akhirnya, saya menemukan jalan yaitu berdagang Bakso di desa lain, paling tidak bisa untuk mencukupi kebutuhansehari-harinya, sedikit-sedikit asal bisa menyekolahkan anak. Bersyukur kalau ada lebihnya, ya ditabung, besok hari tua bisa dinikmati. Saya tidak bisa menetap di desa lain untuk seterusnya/migrasi tetap, di desa masih ada satu anak saya ikut orang tua saya dan juga sanak famili saya banyak disana, sedikit-sedikit kadang juga kangen merawat sawah, itu sumber makan untuk nenek anak saya. Di desa asal itu megang uang sedikit tapi kompak masyarakatnya. Para tetangga yang sama sepeti saya disini ya sependapat dengan saya, sepertinya suka seperti ini, ngak terlalu kejar target tetapi sedikitsedikit dapat hasil !, kalau kangen (kampung halaman/keluarga) saya pulang. Untuk hari tua saya tetap suka di desa.
Hasil perhitungan distribusi pendapatan menunjukkan bahwa besarnya koefisien Gini pendapatan sebelum migrasi sebesar 0,32 (lihat Lampiran 3) Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pendapatan dalam kategori ketimpangan relatif sedang. Sedangkan distribusi pendapatan migran setelah migrasi adalah sebesar 0,15 (lihat Lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan rumahtangga migran sirkuler setelah migrasi adalah rendah dan bisa dikatakan distribusi pendapatan migran sangat merata. Distribusi pendapatan migran yang sangat merata tersebut dapat dimengerti mengingat kegigihan dalam bekerja tanpa mengenal lelah mereka. Rumahtangga migran selalu memanfaatkan waktu luang untuk mendapatkan penghasilan, kreatifitas mereka untuk mendapatkan penghasilan tambahan sangat tinggi walaupun di daerah tujuan yang relatif dekat dengan desa asal. Hal lain yang mendudukung adalah daya beli masyarakat di daerah tujuan yang sangat tinggi
89
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
90
dengan fasilitas pembangunan yang semakin ramai, sementara pedagang kaki lima relatif belum begitu banyak. Bukan saja data primer yang mampu menjelaskan ke tidak seimbangan beban anggota keluarga dengan pendapatan di perdesaan, BPS 2004 mencatat bahwa rata-rata jumlah anggota keluarga di perdesaan yang berasal dari dua kecamatan Pucuk dan Sukodadi adalah 5 orang (BPS kabupaten Lamongan, 2004). Sementara, kebutuhan untuk hidup sehari-hari di perdesaan minimal Rp 7.500,- per hari, tiga kali makan dan minum. Kendatipun semangat kerja masyarakat perdesaan sangat tinggi, tetapi bila tidak diimbangi dengan upah yang layak dan yang sesuai dengan beban hidup keluarga, maka semangat untuk mempertahankan bekerja di sektor pertanian akan memudar dan penduduk perdesaan akan mencari alternatif pemecahan kebutuhan hidup. Dengan demikian disparitas upah sektor pertanian adalah merupakan faktor pendorong terjadinya migrasi sirkuler penduduk perdesaan ke daerah-daerah urban terdekat. 6.3.2. Tingkat Pendapatan Sesudah Menjadi Migran Sirkuler Pendapatan sesudah menjadi migran sirkuler dalam penelitian ini mengalami kenaikan rata-rata sebesar 18,4 persen. Dari Tabel 34 diketahui terjadi pergeseran yang sangat tajam. Pendapatan migran sirkuler sebelum memutuskan menjadi migran sirkuler berjumlah 119 orang berpenghasilan kurang dari 20 ribu rupiah (Rp.8.000–15.000) bergeser hanya 1 orang yang berpendapatan Rp 19.000 perhari. Pergeseran jumlah responden yang pendapatan tersebut menuju ke penghasilan antara 20 ribu sampai 30 ribu, sebesar 30 orang, menjadi berpenghasilan antara 31 ribu rupiah sampai dengan Rp. 50.000,- sebesar 97 orang responden serta bergeser ke penghasilan lebih dari Rp.50.000,- sebesar 25 orang responden. Tabel 34 menunjukkan pergeseran pendapatan responden sebelum dan sesudah memutuskan menjadi migran sirkuler.
90
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
91
Tabel 34 Frekuensi responden berdasarkan distribusi pendapatan sesudah dan sebelum memutuskan migrasi sirkuler Sebelum (Rp.000)
(Rp.000) < 20
Sesudah (Frekuensi) (Rp.000) (Rp.000) 20 – 30 31 - 50
< 20 1 30 20 - 30 0 6 31 - 50 0 0 > 50 0 0 Jumlah 1 36 Sesudah Sumber: Survei Lapangan, 2005
69 28 0 0 97
(Rp.000) > 50
19 6 0 0 25
Jumlah Sebelum 119 40 0 0 159
Bagi rumahtangga migran sirkuler peningkatan pendapatan yang diperoleh akan berdampak pada jumlah remittances bagi rumahtangga di desa. Sehingga bagi rumahtangga migran di daerah tujuan akan memunculkan rasa kehati-hatian dalam penggunaannya. Pendapatan (uang/barang) yang dikirim oleh rumahtangga migran tidak keseluruhan habis untuk dikonsumsi. Pada umumnya anggota rumahtangga di desa asal menginvestasikan sebagian remittances yang dikirim migran selain untuk perbaikan rumah tinggal adalah untuk mewujudkan faktor produksi, baik berupa lahan pertanian, ternak, toko kelontong, maupun perkakas rumahtangga, semisal mesin jahit dan alat-alat pertanian yang dapat di sewakan. Hasil survei di daerah tujuan dari empat desa di Kabuapaten Lamongan menunjukkan bahwa rata-rata migran mengirim hasil kerjanya (remittances) tidak hanya dalam bentuk uang akan tetapi juga dalam bentuk lainnya yaitu; barangbarang elektronik rumahtangga, pakaian, ikan Laut dan makanan. Dalam kuesioner migran menjawab, antara tiga-enam bulan mereka mengirimkan uang hasil kerjanya ke-desa asal. Hasil survei lapangan menunjukkan terdapat 40 orang responden yang mengirim hasil pendapatannya ke desa sebesar Rp 900.000,-. Sedangkan yang mengirim uang kedesa asal sebesar Rp 1.200.000,- sebesar 29 orang dan sebesar Rp 1.000.000,- sebanyak 27 orang responden. Responden yang mengirim uang kedesa asal sebesar 1.500.000,- rupiah berjumlah 8 orang, sisanya responden mengirim Rp 400.000,- sampai 750.000,- rupiah. Dalam wawancara mendalam dapat diketahui bahwa besaran pendapatan yang kedesa asal tersebut adalah berkisar antara 75 persen ke atas dan sisa pendapatannya
91
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
92
(25 %) untuk dikonsumsi di daerah tujuan/pemondokan. Tabel 35 menunjukkan distribusi besaran remittances migran sirkuler kedesa asal dengan jumlah responden sebesar 159 rumahtangga. Tabel 35 Distribusi besaran remittances migran sirkuler kedesa asal Besar Pendapatan yang di Kirim (Rp) 400.000,500.000,550.000,560.000,650.000,700.000,750.000,900.000,1.000.000,1.100.000,1.120.000,1.200.000,1.500.000,Total
Frekuensi
Persentase
1 18 1 3 6 3 11 40 27 8 4 29 8 159
0.6 11.3 0.6 1.9 3.7 1.9 6.9 25.1 16.9 5.0 2.5 18.2 5.0 100
Sumber: Survei Lapangan, 2005
Distribusi remittances migran tersebut pada umumnya dibawa/dikirim sendiri oleh migran ke desa asal, proses menggirim hasil bekerja keluar desa tersebut bagi para migran adalah merupakan usaha untuk tetap menjaga rasa kecintaannya terhadap keluarga dan desa asal. Walaupun rentang waktu saat berada di desa relatif singkat (satu minggu-an). 6.3.3. Tingkat Kesejahteraan Migran Sirkuler Secara umum tingkat kesejahteraan di klasifikasikaan kedalam dua kelompok, yaitu tingkat kesejahteraan lahiriyah dan tingkat kesejahteraan bathiniyah. Perbedaan yang nyata dari dua kelompok kesejahteraan adalah pada tingkat kepuasan. Kesejahteraan lahiriyah relatif mudah diukur dari pada tingkat kesejahteraan bathiniyah. Dalam penelitian ini tingkat kesejahteraan rumahtangga dibatasi hanya pada kesejahteraan lahiriyah. Karena dalam mengukur tingkat kesejahteraan lahiriyah relatif mudah diamati. Namun demikian bukan berarti analisa tingkat kesejahteraan bathiniyah seratus persen tidak digunakan. Misalnya data hasil
92
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
93
wawan cara mengenai responden yang menyatakan bahwa dalam hal pengawasan pendidikan anak-anak di desa tidak bisa maksimal dilakukan sendiri. Seperti penuturan pedagang Bakso (NJ) umur 35 yang bersirkulasi di daerah kecamatan Brondong yang merasa sedidkit terganggu kesejahteraan bathiniyahnya adalah sebagai berikut: “Yogo kulo kaleh ten dusun, kulo titipke mbah e. Kulo terkadang sekedik mesakke yogo kulo. Sinau lan tilem bhoten wonten tiang sepah e. padahal yogo kulu niku manja sanget kaleh kulo. Kadang-kadang nek kulo bangsol ten dusun stunggal minggu ten dusun ngoten niku, tros kulo pamet bangsol kerjo ten Brondong, yogo kulo nanges. Tapi ngeh ngertos kulo kerjo ngeteniki kangge kiambak e. ( anak saya dua ada di desa, saya titipkan neneknya. Saya kadang merasa kasihan sama anak saya. Belajar dan tidur tidak ada orang tuanya, pada hal sebenarnya anak saya itu sangat manja sama saya. Terkadang apabila saya pulang kedesa selama seminggu, trus saya balik lagi bekerja di Brondong anak saya menangis, tapi sebenarnya dia mengerti kalau apa yang saya lakukan untuk dia)”.
Sebenarnya migran secara bathiniyah sedikit merasa terganggu dengan pola migrasi yang mereka pilih. Terutama migran yang mengajak istrinya di daerah tujuan. Kondisi tersebut sebenarnya di sadari oleh migran tetapi pada kenyataannya
migran
tidak
memperdulikannya
karena
mereka
lebih
mengutamakan pemenuhan kesejahteraan lahiriyah. Tentang kesejahteraan lahiriyah, salah satu indikator dasar untuk melihat tingkat kesejahteraan lahiriyah masyarakat adalah dengan membandingkan besarnya porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan dengan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk keperluan non pangan. Masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lahiriyah-nya relatif masih rendah akan cenderung membelanjakan sebagaian besar pendapatannya untuk keperluan konsumsi pangan. Sedangkan pada masyarakat yang sudah relatif tinggi tingkat kesejahteraanya cenderung membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi non-pangan. Perbandingan antara porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk konsumsi pangan dengan konsumsi non pangan lebih dikenal dengan Indeks Good Service Ratio. Sedangkan yang termasuk jenis konsumsi pangan antara lain terdiri dari: padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, kacang-kacangan, buahbuahan, sayur-sayuran, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbu, makan jadi, makanan dan minuman jadi, minuman beralkohol, tembakau dan sirih. Adapun jenis makanan non pangan terdiri dari: konsumsi untuk keperluan
93
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
94
fisik rumah, aneka barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, pakaian, alas kaki dan tutup kepala, barang-barang keperluan pesta, pajak dan asuransi serta barang tahan lama. Hasil perhitungan besarnya Indeks Kesejahteraan Masyarakat responden yang ada di dua kecamatan tujuan (Paciran dan Brondong) yang berasal dari empat desa asal adalah sebesar 2,09. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi angka Indeks tersebut relatif besar, hal itu menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat migran yang ada di daerah tujuan masih relatif rendah, karena sebagian besar pendapatan yang didapatkan dari hasil bekerja di daerah tujuan sebesar 64,28 persen dibelanjakan untuk keperluan konsumsi pangan dan sisanya sebesar 35,7 persen untuk konsumsi non pangan (lihat Lampiran 4). Walaupun dalam perhitungan GSR menunjukan tingkat kesejahteraan migran di daerah tujuan relatif rendah, karena di daerah tujuan umumnya migran menahan keinginannya untuk membelanjakan pendapatannya selain kebutuhan non makanan. Akan tetapi indikator kesejahteraan lahiriyah lainnya justru terpenuhi di daerah asal, seperti kepemilikan barang/perabot rumahtangga, kondisi bangunan rumah, kepemilikan TV dan VCD dan rata-rata makan telur sehari yang dialami rumahtangga migran di desa asal. Berikut Tabel 35 menunjukkan dengan jelas terjadinya peningkatan kesejahteraan lahiriyah di daerah asal sebelum dan sesudah memutuskan migrasi. Tabel 36 Kesejahteraan lahiriyah rumahtangga migran di daerah asal sebelum dan sesudah memutuskan migrasi, responden 159 orang No 1. 2. 3. 4. 5.
Indikator Berumah Tembok Kepemilikan Barang Elektronik Kepemilikan Mesin Jahit/Perontok Padi Kepemilikan Ternak Frekuensi Makan Telur (lebih dari 30 kali/bulan)
Sebelum
Sesudah
Frekuensi
Persentase
Frekuensi
Persentase
47 35
29,6 22
128 135
80,5 84,9
15
9,4
34
21
31 32
18,5 20,1
51 87
32 54,7
Sumber: Survei Lapangan, 2005
94
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
95
Dalam wawancara, menurut penuturan informan kunci bahwa sebagian besar masyarakat yang memutuskan menjadi migran sirkuler umumnya “berhasil”. Ketika ditanyakan lebih lanjut maksud dari kata”berhasil”, informan kunci menyatakan bahwa sebagian besar migran sirkuler mengalami perbaikan dalam hal kondisi fisik rumah dan kebutuhan sehari-hari dibanding sebelum menjadi migran sirkuler. Terjadi perbaikan kondisi fisik rumah dan terpenuhinya kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) adalah indikator terjadinya keberhasilan dari segi ekonomi rumahtangga. 6.4.
Dampak Terhadap Pembangunan Ekonomi Desa Asal Diskripsi dampak yang dijelaskan dalam penelitian ini adalah dampak
yang timbul akibat gerak penduduk perdesaan yang memutuskan bersirkulasi di daerah tujuan. Konsentrasi dampak yang dijelaskan adalah pada penggunan remittances oleh rumahtangga migran di daerah asal migran. 6.4.1. Dampak Terhadap Penciptaan Faktor Produktif di Desa Asal Migrasi memang banyak menimbulkan dampak. Sifat dari dampak tersebut dapat positif maupun negatif. Bila ditinjau dari segi perwilyahan, migrasi bisa berdampak bagi daerah pengirim maupun bagi daerah yang dikirimi yaitu daerah tujuan migran. Bagi daerah pengirim atau daerah asal migran, dampak positif yang sering timbul adalah mengalirnya materi balik (remittances) yang dikirim oleh migran dari hasil bekerja di daerah tujuan. Dalam beberapa setudi remittances yang dikirim oleh migran sirkuler digunakan oleh keluarga migran didesa asalnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
pendidikan
anak-anaknya
dan
sisanya
untuk
ditabung.
Pembentukan faktor produksi didesa asal oleh sebagian keluarga migran merupakan bentuk tabungan yang diharapkan dapat diambil hasilnya dimasa yang akan datang, yaitu masa dimana dia sudah tidak menjadi migran. Definisi faktor produktif disini akan dibatasi dalam bentuk modal dan tanah. Modal yang dimaksud yaitu berupa uang, difungsikan sebagai penunjang bagi kehidupan rumahtangga di desa asal. Sebagaimana dalam definisi operasional faktor produktif adalah sesuatu baik berupa modal, tanah dan tenaga kerja yang dapat memberikan hasil atau kesejahteraan bagi rumahtangga di desa asal. Oleh
95
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
96
karena desa-desa tempat penelitian adalah merupakan desa yang berbasis pada sektor pertanian (padi dan sawah), sehingga pada umumnya faktor produksi yang sering menjadi prioritas untuk diadakan adalah yang dapat menunjang pendapatan di desa asal, seperti alat-alat pertanian: mesin pengering padi, bajak dan mesin penggiling padi. Pembentukan jenis faktor produktif tersebut lazim berlaku pada masyarakat perdesaan di kabupaten Lamongan. Terdapat investasi yang paling menonjol di dua desa tempat penelitian di kecamatan Pucuk ( desa Pucuk dan desa Kesambi) adalah dibidang pendidikan. Hampir 100 persen responden yang berasal dari dua desa ini mengatakan bahwa remitance digunakan untuk biaya pendidikan anak. Masyarakat di dua desa ini mempunyai perhatian yang relatif tinggi pada bidang pendidikan, bila dibanding desa-desa di kecamatan lain. Terutama di desa Pucuk data bulan Agustus, tahun 2005 menunjukkan bahwa sekitar 80 persen dari 3.095 orang penduduk di desa ini sudah mengenyam pendidikan, angka tersebut sudah termasuk pendidikan pesantren sebesar 47 Orang. Di desa Kesambi, sekitar 15 rumahtangga dari 378 rumahtangga yang mempunyai anggota masih bersekolah, walaupun biaya pendidikan relatif sebagian besar mengandalkan remittances yang dikirim. Kecamatan Sukodadi, faktor produksi sebagai tabungan dari hasil migran (remittances) relatif lebih variatif di banding dua desa di kecamatan Pucuk. Dua desa di kecamatan Sukodadi lebih mengarahkan remittances nya pada penciptaan faktor produksi dibidang perdagangan seperti: Toko bahan makanan pokok, bibit pertaniaan sampai alat-alat elektronik. Data BPS kabupaten Lamongan mencatat bahwa pertumbuhan faktor produksi di dua kecamatan asal (Sukodadi dan Pucuk) khususnya industri non formal kerajinan rumahtangga pertumbuhannya terus meningkat, unit sektor usaha tersebut kebanyakan permodalannya dari remittances migran sirkuler. Kecamatan Sukodadi dan kecamatan Pucuk, jumlah unit usaha non formal/kerajinan rumahtangga pada tahun ke tahun mengalami pertambahan 25 persen, perkembangan terakhir tentang jumlah (faktor produksi) unit usaha industri non formal atau kerajinan rumahtangga yang tercatat tahun 2003 adalah sebesar 2.617 unit, sedangkan di kecamatan pucuk sebesar 357 unit. Angka tersebut adalah 12,7 persen dari jumlah total sektor kerajinan rumahtangga non formal di kabupaten Lamongan pada tahun 2003 (23.505 Unit). Tabel 39 menunjukkan banyaknya unit usaha
96
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
97
industri besar/sedang dan kategori perusahaan menurut sumber BPS daerah tahun 2003. Kategori industri non formal kerajinan rumahtangga meliputi: kerajinan tangan olahan hasil pertanian dan anyaman dengan bahan dasar limbah pertanian. Tabel 37 Banyaknya Unit Usaha nonformal/kerajinan tangan rumahtangga di kecamatan asal tahun 2003 dan 2004 Usaha Non-formal Kerajinan Rumahtangga Kecamatan Pucuk Sukodadi Total
2003 357 2.617 2.974
2004 361 2651 3012
Sumber: BPS Kabupaten Lamongan, 2003 dan 2004
Perbedaan penciptaan faktor produksi sebagai investasi dari sebagian remittances yang dikirim oleh migran di desa-desa asal migran memang tergolong sangat ekstrim. Perbedaan tersebut tampak terkait dengan orientasi pribadi masyarakat yang sudah berkembang, penduduk perdesaan di kecamatan Pucuk lebih mengutamakan pada investasi sumberdaya manusia, sedangkan penduduk di desa-desa di kecamatan Sukodadi lebih berorientasi ke penciptaan lapangan kerja baru yang mandiri di desa sebagai aktifitas lanjutan pemenuhan “kebutuhan” keluarga dan penduduk lainnya. Orientasi tersebut juga secara tidak langsung dapat menciptakan lapangan kerja baru/tambahan di luar sektor pertanian. Lapangan kerja baru merupakan wujud investasi dari
remittances
yang berupa usaha non formal baik berupa kerajinan rumahtangga maupun usaha-usaha makanan olahan hasil pertanian terbukti mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak, sebesar 5.400 orang. Bila dibandingkan usaha formal, usaha formal katagori sedang dan kecil hanya mampu menyerap tenaga kerja sebayak 22,6 persen (sedang 930 orang dan usaha formal kecil 294 orang, jumlah keseluruhan dari usaha formal 1.224 orang) dari usaha non formal (BPS kabupaten Lamongan, 2003).
97
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
98
Tabel 38 Banyaknya tenaga kerja yang diserap oleh usaha non-formal dan formal tahun 2004 di dua kecamatan asal migran Kecamatan Pucuk Sukodadi Total
Usaha Nonformal/Kerajinan Rumatangga (Orang) 712 4.688 5.400
Usaha Formal (Orang) 781 5.843 6.624
Sumber: BPS Kabupaten Lamongan, 2004
Akibat perbedaan orientasi pribadi anggota masyarakat di dua kecamatan tersebut mempengaruhi jumlah penciptaan faktor produksi. Desa-desa di kecamatan Pucuk lebih berorientasi pada investasi sumberdaya manusia, sedangkan desa-desa di kecamatan Sukodadi lebih menggandalkan investasi dibidang penciptaan lapangan kerja baru untuk mengembangkan remittances yang sudah didapat. Lebih lanjut, ramainya aktifitas perekonomian desa di dua kecamatan asal jelas menggambarkan keberhasilan sebagian besar keluarga migran mengelola sekaligus menginvestasikan remittances didesa. Walaupun terjadi perbedaan yang jelas secara kuantitatif antara masyarakat dikecamatan Pucuk dan Sukodadi. Perbedaan tersebut disebabkan adanya orientasi yang berbeda dikalangan masyarakat dua kecamatan asal tersebut. 6.4.2. Dampak Terhadap Keadaan Ekonomi dan Kemakmuran Desa Masuknya pendapatan yang berasal dari luar desa melalui remitances yang dikirim oleh migran sektor informal desa asal menambah jumlah uang yang beredar di desa. Bertambahnya uang yang beredar di masyarakat adalah salah satu keuntungan yang diperoleh masyarakat desa akibat migrasi sirkuler penduduk ke luar desa. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa pendapatan migran dari desa asal kecamatan Pucuk yang dikumpulkan dalam waktu sebulan oleh 100 migran sebesar Rp.122.975.000,- dan pendapatan yang diperoleh migran dari desa asal kecamatan Sukodadi sebesar Rp. 73.555.000,- (lihat Tabel 41), jumlah total pendapatan tersebut setidaknya berdampak pada bertambahnya jumlah uang yang beredar dimasyarakat perdesaan dua kecamatan asal tersebut.
98
Bab VI. Hasil dan Pembahasan
99
Tabel 39 Jumlah migran per kecamatan dan total pendapatan tahun 2005 Kecamatan Pucuk Sukodadi Total
Jumlah Migran (Orang) 100 59 159
Total Pendapatan (Rp) 122.975.000,73.555.000,196.530.000,-
Jumlah Faktor Produksi Nonformal (Unit) 357 3.617 3.974
Sumber: Survei Lapangan, 2005
Besar pendapatan migran berdasarkan jenis pekerjaan yang dijalani di daerah
tujuan
umumnya
relatif
bervariatif.
Data
pembanding
Boxplot
menunjukkan bahwa migran yang berjualan makanan siap saji keliling (Nasi Goreng, Bakso, Mie, Gorengan, Pecel Lele, Soto, Bubur dst) di daerah tujuan yaitu Kelurahan Blimbing umumnya memiliki pendapatan bersih lebih besar dari pada berjualan jenis yang lain, yaitu antara Rp. 950.000,- sampai Rp. 1.700.000,per bulan. Sedangkan pendapatan terendah adalah migran yang bejualan sejenis minuman di daerah kelurahan Brondong ( berpenghasilan Rp. 750.000 – Rp. 960.000,-), hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa disamping modal usaha yang dikeluarkan oleh migran sedikit, juga banyak persaingan antar sesama migran yang berjualan pada jenis pekerjaan pedagang/pejual minuman. Mengingat daerah lamongan beriklim panas dan daya beli masyarakat daerah tujuan terhadap minuman siap saji sangat tinggi maka kondisi tersebut mendorong banyaknya migran yang berjualan jenis minuman siap saji (Teh Botol, Es keliling, Es Kelapa, dst.). Berikut Gambar 9 menunjukkan Boxplot pendapatan migran berdasarkann pekerjaan yang dijalankan di empat daerah tujuan.
99
Bab VI. Hasil dan Pembahasan100
Boxplot Besar Pendapatan Migran Berdasarkan Pekerjaan di Daerah Tujuan t_tujuan Paciran Blimbing Brondong
2000000
Sedayulawas 1600000
37
A
income
1200000
800000
35 A A
30
j_pkjaan pakaian, mainan, lampu, etc ikan, bumbu dapur, sayur, etc minuman es, tehBotol, minuman lain nasgor,mie pangsit, bakso, soto, pcLele, krupuk,bubur,etc
Migran Sirkuler Di Kabupaten Lamongan
Gambar 11 Boxplot pendapatan migran berdasarkan jenis pekerjaan di daerah tujuan Sedangkan bila dilihat dari gambar boxplot dapat diketahui bahwa ratarata migran mengirim hasil pendapatannya lebih dari 75 persen dari hasil pendapatannya di daerah tujuan. Hanya terdapat 1 orang responden yang mengirim pendapatannya terkecil adalah sebesar Rp. 400.000,-. Persentase terbesar adalah 40 responden yang mengirim pendapatannya sebesar Rp. 900.000,- jumlah uang yang dikirim ke desa asal tersebut adalah mencapai 60 persen dari jumlah total pendapatan yang di dapat dan sisanya untuk dikonsumsi didaerah tujuan. Kondisi yang paling menarik adalah responden yang mengirim remittances sebesar Rp. 1.120.000, sejumlah 4 orang dengan pendapatan sebesar rata-rata Rp. 1.200.000, artinya hanya sebesar Rp. 80.000,- uang yang dikonsumsi didaerah tujuan. Bila dilihat per jumlah individu jumlah pendapatan dengan besarnya remittances yang dikirim, berikut Gambar 10 menunjukkan besarnya materi balik berupa uang yang dikirim migran ke desa asal.
100
Bab VI. Hasil dan Pembahasan101
e
1500000
ee
Kecamatan Asal
e e
e e
e
ee ee ee e e
750000
e
ee e
e
e
e
e
e
e
e
560000
e e
ee
e e e
ee
e
ee
e
Sukodadi
e
e e e
e ee ee e
Pucuk
e
e
e ee
e
ee
e e ee e
1100000
K I R I M A N 400000
ee
eee e
ee e
e
e e
e
e ee
e
e
e
ee e
Pendapatan
570000 850000 1000000 1350000 1575000 1800000 700000 950000 1200000 1450000 1700000 2100000
Gambar 12 Kiriman dan pendapatan migran sirkuler di dua kecamatan, Kabupaten Lamongan Tahun 2005
Besar kiriman migran kedesa asal juga dipengaruhi oleh kondisi perekonomian di daerah tujuan. Karena daerah tujuan yang daya beli masyarakatnya tinggi akan menguntungkan bagi sektor perdagangan di daerah tersebut.
Migran
yang
berjualan
dengan
pembeli
yang
banyak
akan
mendapatkan pendapaan yang tinggi. Dengan pendapatan yang tinggi uang yang dapat dikirim oleh migran kedesa asal juga akan besar. Sedangkan bila dilihat seberapa besar kiriman migran berdasarkan tempat bekerja di daerah tujuan adalah migran yang berasal dari kecamatan Sukodadi yang bekerja di daerah tujuan kelurahan Blimbing kecamatan Paciran, tedpat seorang responden berusia 38 tahun berpendapatan lebih dari Rp. 1.500.000,- perbulan. Tetapi apabila dilihat dari total keseluruhan pendapatan yang relatif merata adalah migran yang bekerja di daerah tujuan Brondong yang berasal dari kecamatan Sukodadi (mengirim pendapatannya sebesar Rp. 600.000,- sampai Rp. 1.100.000,- ke desa asal. Berikut Gambar 11 Boxplot kiriman migran berdasarkan daerah tujuan, yaitu migran yang bekerja di sektor informal
101
Bab VI. Hasil dan Pembahasan102
(pedangan keliling dan kaki lima) di daerah tujuan Kecamatan Brondong dan Kecamatan Paciran. Boxplot KIRIMAN MIGRAN BERDASARKAN DAERAH TUJUAN
1500000
S
A
25
38
as_kec 1=Pucuk 2= Sukodadi
1250000
kiriman
A
44
1000000
750000 A
21 A
500000
Paciran
Blimbing
Brondong
35 38
Sedayulawas
t_tujuan
MIGRAN SIRKULER DI KABUPATEN LAMONGAN
Gambar 13 Boxplot kiriman migran berdasarkan daerah tujuan Penelitian Abustam di desa Caba-Caba dan Tikala, Sulawesi Selatan (dalam Sutarno, 1987) menemukan bahwa remitances dalam bentuk uang yang dikirim para migran kedesa asalnya selain sangat diharapkan oleh keluarganya juga digunakan untuk membayar pajak dan untuk membantu pambangunan desa. Dalam pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner pada migran sektor informal tentang “Jenis materi balik yang biasanya dibawa pulang ke desa asal”, dari 159 responden yang sengaja dipilih terdapat 100 persen migran yang mengirimkan pendapatannya dalam bentuk uang, 25 persen migran mengirimkan remitancesnya disertai barang yang lain, seperti barang elektronik, ikan, makanan serta pakaian. Namun ada hal yang menarik dalam mengetahui berapa besar hasil pendapatan yang digunakan untuk membayar pajak dan atau iuran kas desa
102
Bab VI. Hasil dan Pembahasan103
semisal
pembangunan
jalan
setapak
dan
pengurusan
administrasi
kependudukan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut sebagian besar responden merasa kesulitan, kondisi tersebut juga diakui oleh Mantra (1994) dalam menemukan hubungan antara remittances dengan pembangunan ekonomi semisal retribusi untuk pembangunan desa asal sulit untuk dapat diukur dengan statistik, tetapi secara visual tampak dengan nyata. Sehubungan dengan kesulitan dalam mengukur penggunaan pendapatan hasil migrasi di desa asal, pertanyaan “selama satu tahun terakhir, berapa pajak dan atau iuran yang sudah bapak/ibu/sdr bayar di kantor desa asal dengan menggunkan uang hasil migrasi sirkuler?” terdapat 21,4 persen responden tidak menjawab dan 27 orang menggunakan sekitar Rp. 100.000,- untuk membayar Pajak dan iuran di desa asal. Tabel 40 menunjukkan gambaran secara langsung dampak yang dirasakan oleh desa asal dari menggalirnya remittances berupa uang ke desa asal migran. Tabel 40
No.
Banyaknya rupiah untuk pajak dan atau iuran desa dari uang hasil migrasi sirkuler tahun 2005 Jumlah Rupiah
1. Rp.5.000 2. Rp.6.000 3. Rp.9.000 4. Rp.10.000 5. Rp.11.500 6. Rp.12.000 7. Rp.12.500 8. Rp.15.000 9. Rp.16.000 10. Rp.20.000 11. Rp.22.000 12. Rp.24.000 13. Rp.25.000 14. Rp.35.000 15. Rp.34.000 16. Rp.40.000 17. Rp.50.000 18. Rp.75.000 19. Rp.100.000 20. Rp.110.000 21. Rp.120.000 22. 0/Tidak Menjawab Rata-Rata Uang: Rp. 4.729,56 Sumber: Survei Lapangan, Juli 2005
Frekuensi
Persentase
16 1 1 7 1 1 1 5 1 4 1 1 2 6 1 1 25 21 27 1 1 34 N = 159
10 0.6 0.6 4.4 0.6 0.6 0.6 3.1 0.6 2.5 0.6 0.6 1.2 3.7 0.6 0.6 15.7 13.2 16.9 0.6 0.6 21,4 100
103
Bab VI. Hasil dan Pembahasan104
Walaupun jumlah rata-rata relatif sedikit (Rp. 4.729,56), setidaknya, namun besar migran merasakan bahwa pendapatan yang dibawa ke desa asal sangat berarti bagi sumbangan pembangunan baik fisik maupun non fisik di desa. Mereka juga menyimpulkan jika penduduk desa tidak bekerja keluar desa (migrasi sirkuler) maka selain tidak ada tambahan uang yang beredar di desa dan sumbangan/iuran/kelancaran membayar pajak, tidak akan ada sumbangan tambahan pendapatan dan tambahan pengetahuan atau ide-ide baru bagi rumahtangga serta desa asal mereka. Selanjutnya, jika peningkatan pendapatan dan mengalirnya remittances kedesa asal akibat keputusan migrasi sirkuler dapat dipandang sebagai peningkatan kemakmuran desa, maka secara langsung juga dapat disimpulkan bahwa migrasi sirkuler berdampak positif bagi peningkatan keadaan ekonomi dan kemakmuran desa. Walaupun sangat sulit untuk di kuantitatifkan, uang yang digunakan untuk membantu secara langsung ke desa asal, tetapi secara langsung dapat dikatakan sangat membantu bemasukan kas desa. 6.5.
Dampak Terhadap Ketersediaan Tenaga Kerja Pertanian Sebagai suatu ekosistem, desa memiliki asset pendukung yang penting
berupa sumberdaya alam (SDA) dan sumber daya alam (SDM). Dua sumber daya ini saling berinteraksi dan saling berinterdependensi. Penduduk perdesaan akan mampu bertahan hidup secara layak ketika masyarakatnya mampu melihat peluang yang bisa dikembangkan dari dua sumber daya tersebut. Peluang pekerjaan yang banyak terdapat diperdesaan adalah sektor pertanian (mencangkul, membajak, menanam, merambat, dst). Penelitian Hugo (1981) menemukan bahwa gerak penduduk keluar desa mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap ketersediyaan tenaga kerja pertanian di desa, karena mereka bekerja keluar desa pada musim-musim “senggang”, yaitu selesai musim tanam yang tidak ada kesibukan pekerjaan pertanian (mencangkul, membajak, menanam, merambat, dst) di desa. Pada musim tersebut biasanya penduduk yang bekerja keluar desa akan kembali kedesa asal. Hasil wawancara responden menunjukkan bahwa sebagian besar 135 (85 %) responden mengatakan akan pulang ke desa asal pada musim -musim
104
Bab VI. Hasil dan Pembahasan105
tertentu, sisanya responden mengatakan tidak memastikan akan pulang karena tidak memiliki tanah pertanian yang cukup. Hasil wawancara dengan tokoh kunci desa asal menunjukkan bahwa pada saat mereka mempunyai garapan sawah dan membutuhkan tenaga kerja, pada umumnya mereka tidak mempunyai masalah. Selain penduduk yang bekerja di luar desa kembali kedesa asal, mereka juga banyak dibantu oleh masyarakat desa lain. Dampak masyarakat yang bekerja sebagai migran sirkuler terhadap ketersediaan tenaga kerja pertanian di desa asal tidak mempengaruhi banyak terutama pada masyarakat yang masih memiliki lahan pertanian yang relatif luas. Hal tersebut karena masyarakat yang bekerja keluar desa sebagian besar adalah pekerja musiman. Walaupun mereka pada umumnya mendapatkan pendapatan relatif lebih banyak dari pada bekerja disekor pertanian, sebagian besar mereka tidak terpengaruh. 6.6.
Dampak Terhadap Sumber Daya Manusia dan Pengetahuan Baru Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya pemegang
peranan yang sangat penting. Dalam kaitan dengan kemajuan suatu desa, potensi sumber daya manusia merupakan penggerak utama dalam pertumbuhan (mecine of growth) untuk kesejahteraan suatu desa. Dalam upaya mengidentifikasi potensi sumberdaya manusia perdesaan, Guharja dkk (1992) mengkategorikan dalam dua ciri yaitu: ciri Personal dan ciri interpersonal. Ciri-ciri
personal
dalam
sumber
daya
manusia
meliputi;
pengetahuan, perasaan, keterampilan tingkat intelegensitas, bakat, minat, status kesehatan dan kepekaan. Sedangkan ciri-ciri interpersonal terdiri atas sesuatu yang terkait dengan keterbukaan atau ketertutupan dalam membentuk kerjasama antar personal untuk pengembangan. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa 89 persen responden memiliki keahlian dan pengetahuan baru setelah memutuskan menjadi migran sirkuler. Pengetahuan baru tersebut diperoleh melaui interaksi atau komunikasi dengan masyarakat dan sesama migran di daerah tujuan. Dengan demikian migrasi sirkuler berdampak positif terhadap peningkatan
sumber daya manusia dan
bertambahnya pengetahuan baru ke desa asal. Walaupun
mereka pergi ke
daerah tujuan dengan niat tidak belajar secara formal. Informan kunci juga
105
Bab VI. Hasil dan Pembahasan106
menjelaskan bahwa migran ketika pulang sering membawa ide-ide baru dalam pemabangunan desa. Hal tersebut tentunya sangat menguntungkan bagi berlangsungnya pembangunan di perdesaan. Walaupun pada saat tertentu aparat desa juga sering mengalami kebingungan dalam mendiskusikan masalah pembangunan di desa, karena masyarakat banyak yang bekerja keluar desa dan pada saat tertentu kembali kedesa asal. 6.7.
Peran Migran Sirkuler dalam Perekonomian Perdesaan dan Pembangunan Wilayah Migran sirkuler adalah suatu bentuk pilihan/strategi penduduk atau
kelompok yang umumnya berasal dari daerah perdesaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya. Fenomena migran sirkuler sebenarnya terkait erat dengan lapangan pekerjaan yang tersedia terutama disektor perdesaan (pertanian). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia di perdesaan pada umumnya tidak mampu menopang kebutuhan hidup masyarakat perdesaan. Tidak dapat disangkal bahwa peran migran sirkuler dan pembangunan perekonomian perdesaan mempunyai hubungan yang sangat erat dalam peciptaan pembangunan wilayah yang lebih kondusif melalui pembentukan faktor produktif, pemecahan masalah kemiskinan relatif dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan di sebagian masyarakat perdesaan. Melihat cakupan peran migran sirkuler memiliki cakrawala yang sangat luas, sehingga dalam hal ini pembahasan peran hanya dibatasi pada komponen penting ekonomi, yaitu: keterkaitan dalam pembangunan spasial dan ketenagakerjaan di perdesaan. Dari sudut pandang pembangunan, fenomena migran sirkuler jelas berperan terhadap pemecahan pengangguran dan ketenagakerjaan yang terjadi di daerah perdesaan yang menimbulkan adanya interaksi (interaction) dan keterkaitan
dengan
daerah
lain,
terutama
daerah
perkotaan
terdekat.
Inventarisasi dari keterkaitan migran sirkuler dalam pembangunan wilayah tercermin dalam Tabel 41 yang menunjukkan keterkaitan utama dalam pembangunan spasial, diacu dari sumber Rodinelli (1985) diolah dalam penelitian ini berdasarkan hasil survei lapangan.
106
Bab VI. Hasil dan Pembahasan107
Tabel 41 Keterkaitan utama migran sirkuler dalam pembangunan spasial Tipe Keterkaitan Fisik Keterkaitan Ekonomi
Pergerakan Penduduk Pelayanan Umum
Elemen-elemen Jaringan jalan Jaringan transportasi Pola-pola pasar yang terbentuk Arus bahan baku dan barang antara Arus modal, keterkaitan produksi-backward Pola konsumsi dan belanja Arus pendapatan Arus komoditi sektoral dan Interregional “Cross Linkages” Migrasi-temporer/sirkulasi dan permanen Perjalanan kerja Jaringan utilitas Jaringan pendidikan dan pelatihan Sistem diseminasi informasi dan hasil penelitian
Sumber: Rodinelli 1985 diolah, 2006
Tabel 41 sekaligus menunjukkan bahwa ciri utama linkages dicerminkan oleh perpindahan orang dan migrasi, aliran barang, aliran jasa, aliran energi, financial transfer (dapat melalui trade, taxes dan state disbursements), transfer aset (property right dan state investment) dan informasi (Preston, 1975). Sedangkan Keterkaitan ekonomi memberi gambaran adanya hubungan ekonomi yang terjalin antara rumahtangga migran sirkuler di daerah tujuan ke rumahtangga di desa asal. Hubungan ekonomi yang kemudian diwujudkan dalam bentuk aliran regional dalam bentuk remittances (uang). Keterkaitan yang terwujud dalam bentuk uang dan spasial apabila dikelola secara baik akan menumbuhkan faktor produktif yang menunjang ekonomi secara harmoni. Gambar 14 menggambarkan aliran yang harmoni antara space yang dibangun oleh rumahtangga migran sirkuler di desa asal dan dearah tujuan dengan remittances yang dihasilkan jika dikelola secara baik.
107
Bab VI. Hasil dan Pembahasan108
Barang-barang dan ide-ide baru
Peluang ekonomi global
pembayaran komoditas perdesaan
Rumahtangga di daerah tujuan
Rumahtangga di Desa asal Interaksi ekonomi Lokal perdesaan
Interaksi ekonomi moderen
Tenaga kerja produktif Upah Penciptaan Faktor produktif dan tabungan
Sektor Keuangan Lokal
Keuangan Pemerintahan Daerah
Gambar 14 Aliran harmoni antara spasial dan kegiatan ekonomi perdesaan yang dihasilan oleh migran sirkuler perdesaan Peran migrasi sirkuler yang di temukan dalam studi ini misalnya. Ditemukan sebesar 75 persen lebih pendapatan migran sirkuler untuk dikirim dan di investasikan di desa asal. Belum termasuk bentuk kiriman yang lainnya, jelas kondisi tersebut menunjukkan adanya keterkaitan dari segi ekonomi dan spasial masyarakat perdesaan contoh kasus perdesaan di Kabupaten Lamongan. Kondisi tersebut apabila di kelola dengan baik akan menhasilkan sebagaimana yang tercermin dalam Gambar 14. Fenomena migrasi sirkuler adalah bentuk respon yang rasional dari masyarakat karena adanya perbedaan ekspektasi meningkatkan kesejahteraan dirinya. Pembangunan bias perkotaan secara sistematis telah mengkondisikan mental para perencana sehingga tidak memungkinkan mereka memahami isu-isu dasar perdesaan akibat adanya: (1) insentif berkarir yang lebih baik di perkotaan, (2) rendahnya apresiasi atas peranan pertanian secara ekonomi, (3) kecenderungan
berkunjung
secara
singkat
ke
perdesaan
karena
ketidaknyamanan, (4) menghindari kunjungan saat-saat situasi terburuk, dan (5) keengganan mempertanyakan masalah-masalah kemiskinan dan kesulitan pada elit-elit desa saat berdiplomasi, dan lain-lain. Akibatnya sebagian besar perencana pada umumnya tidak dapat memahami permasalahan perdesaan secara komprehensif dan mendalam, sehingga akhirnya cenderung memandang
108
Bab VI. Hasil dan Pembahasan109
strategi urbanisasi (migrasi sirkuler) sebagai strategi pembangunan wilayah yang utama. Wilayah yang memiliki perencanaan kawasan perdesaan yang sudah tertata (rural planning) dan berimbang dengan kawasan lainnya akan cenderung tidak mengalami kasus urbanisasi yang serius. Pertanyaan kunci berikutnya adalah bagaimana kebijakan yang seharusnya diberikan oleh penentu kebijakan dan para ahli pembangunan untuk mengatasi kesenjangan dan perbaikan pembangunan antar wilayah pedesaan dan perkotaan di Kabupaten Lamongan. Sementara para ahli pembangunan sudah sepakat bahwa hanya pertumbuhan kota-kota kecil di kawasan periphery (hinterland) atau di kawasan perdesaanlah yang dapat menandingi kecenderungan aglomerasi yang berlebihan ke kotakota. Dengan demikian jalan tengah dalam pemecahan permasalah urbanisasi (migrasi sirkuler) adalah bagaimana agar mampu mencegah ketiadaan atau tidak berkembangnya (stagnasi) kota-kota skala kecil dan sedang serta tidak berkembangnya unsur-unsur urbanism positif di perdesaan pada akhirnya menyebabkan penyebaran pertumbuhan (spread effect) dari kota-kota utama cenderung hanya terperangkap secara lokal (local capture), dan daerah perdesaan akan kosong (fenomena kue Donat). Douglass dalam Rustiadi (2006) mengilustrasikan hubungan keterkaitan perkotaan dan perdesaan yang berkualitas jika terjadi keseimbangan antara ekonomi Global, pemerintahan nasional dan masyarakat perdesaan sebagai objek
pertama
dalam
keterkaitannya
dengan
perkotaan
dan
masalah
ketenagakerjaan, Gambar 15 menunjukkan Siklus pembangunan wilayah dan keterkaitan desa-kota berkualitas (Virtous Cycle menurut Douglass,1998)
109
Bab VI. Hasil dan Pembahasan110
. A
B
Ekonomi Internasional harga komoditas di pasar internasional yang stabil dan menguntungkan: lokalisasi dan Diversifikasi investasi asing Pemerintahan Nasional Kondisi infrastruktur dan layanan dasar/pendukung yang cukup dan memadai; Dukungan organisasi dan sistem insentif dari pemerintah daerah
C
D
Masyarakat Perdesaan
2
Kesempatan kerja prime dan non primer
3 Permintaan input dan sarana produksi
Pemrosesan dan pengolahan
4
Pertumbuhan perdesaan
1
Investasi Dasar/ Sektor Unggulan
Peningkatan pendapatan Rumah Tangga
E
Kota
5
6
P e r t u m b u h a n pusapusat untuk belanja konsumen 7
Pertumbuhan pasar input dan pelayanan produsen 8
F Pemulihan sumberdaya dasar/lingkungan/ ekologi
G Diversifikasi ekonomi/ peningkatan produktifitas
Perluasan pasar ekspor regional
Pertumbuhan perkotaan
Peningkatan jasa pelayanan kesehatan kesejahteraan dan rekreasi
H Perluasan basis peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
Gambar 15 Siklus pembangunan wilayah dan keterkaitan desa-kota berkualitas (Virtous Cycle menurut Douglass,1998) Perlu kebijakan nasional yang tepat untuk merumuskan masalah urbanisasi yang kemudian diikuti dengan pemahaman yang baik tentang struktur hubungan (keterkaitan dan sistem aliran sumberdaya) perdesaan ke perkotaan. Dengan demikian masalah migrasi internal yang membawa dampak negatif akan teratasi dan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang antara perdesaan dan perkotaan.
110