43
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan pengertian subsidi, kondisi pasar penawaran dan permintaan BBM, sejarah subsidi BBM, subsidi energi di negara lain, serta studi terdahulu tentang subsidi BBM dan kemiskinan. 2.1.
Pengertian dan Jenis Subsidi Nugroho (2005) mendefinisikan subsidi yang berkaitan dengan subsidi
BBM yaitu pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada Pertamina, sebagai pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia, dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PT Pertamina (persero) dari tugas menyediakan BBM di pasar domestik lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan dan mendistribusikan BBM. Subsidi BBM menjadi salah satu instrumen untuk memeratakan penggunaan energi di masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan subsidi diberlakukan pada saat harga suatu produk energi dinilai tidak sebanding
dengan
daya
beli
masyarakat
khususnya
masyarakat
yang
berpenghasilan rendah (Yusgiantoro, 2000). Jenis-jenis subsidi adalah: (1) direct subsidies, (2) indirect subsidies, (3) labor subsidies, (4) tax subsidies, (5) production subsidies, (6) regulatory advantages, (7) infrastructure subsidies, (8) trade protection (import), (9) export subsidies (trade promotion), (10) procurement subsidies, (11) consumption subsidies, (12) tax breaks and corporate welfare, dan (13) subsidies due to the effect of debt guarantees. Khusus untuk subsidi konsumsi, pemerintah memberikan subsidi ini melalui pembelian barang atau jasa, penggunaan asset
44 atau property pemerintah pada harga di bawah harga pasar. Contoh: pemerintah membeli bahan bakar minyak atau barang lainya dengan harga yang lebih tinggi dan menjualnya ke masyarakat dengan harga yang lebih rendah (Bappenas, 2007). Menurut Bappenas (2007), subsidi pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai: (1) alat pemerataan output melalui mekanisme peningkatan elastisitas permintaan, (2) alat stabilitas harga melalui mekanisme intervensi harga, dan (3) alat optimalisasi output melalui mekanisme elastisitas penawaran. Di lain pihak subsidi juga memiliki eksternalitas negatif, seperti yang dinyatakan oleh Basri (2002), bahwa subsidi yang tidak transparan dan tidak jelas targetnya akan menyebabkan: (1) distorsi baru dalam perekonomian, (2) menciptakan inefisiensi, dan (3) tidak dinikmati oleh masyarakat yang berhak. Relatif rendahnya harga barang subsidi berdampak pada perilaku masyarakat yang kurang kurang hemat dalam konsumsi dan karenanya terjadi pemborosan sumberdaya yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut. 2.2.
Penawaran dan Permintaan Bahan Bakar Minyak
2.2.1. Penawaran Bahan Bakar Minyak Pada tahun 2004 kapasitas pengilangan minyak bumi sebesar 1 055.50 ribu barrel per hari sedangkan konsumsinya sudah mencapai 1 143.70 ribu barrel per hari (Purwantoro, 2008). Pada tahun 1980an Indonesia pernah mencapai produksi 1.60 juta barrel per hari dengan jumlah penduduk sekitar 130 juta orang. Pada tahun 2006 keadaan memburuk dimana produksinya sebesar 1.05 juta barrel per hari namun jumlah penduduknya telah mencapai 230 juta orang (Oktaviani dan Eka, 2006). Jumlah produksi minyak bumi dalam negeri yang cenderung menurun, salah satunya disebabkan oleh penggunaan teknologi. Paper yang ditulis
45 oleh Managi et al. (2004) menjelaskan bahwa perubahan teknologi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi mempunyai dampak terbesar dalam peningkatan produksi, sedangkan penemuan sumur minyak baru berdampak penting dalam keberlanjutan produksi minyak ke depan. Produksi BBM dari kilang dalam negeri mengalami peningkatan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 dengan kenaikan rata-rata sebesar 2.83 persen per tahun seperti yang terlihat pada Lampiran 1a. Peningkatan produksi terjadi pada periode 1990-1995 yaitu dari 23.17 juta kiloliter menjadi 30.30 juta kiloliter, ketika kilang Balongan mulai produksi pada tahun 1995. Hal ini mengakibatkan jumlah produksi BBM pada tahun 2005 meningkat menjadi 35.2 juta kiloliter10. Sementara kebutuhan BBM meningkat terus dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5 persen per tahun. Selisih antara kebutuhan dengan produksi BBM dipenuhi dari impor yang semakin meningkat, seperti yang terlihat pada Lampiran 1c. Setiap tahun volume impor BBM meningkat rata-rata sebesar 14.08 persen dengan volume impor pada tahun 1990 sebesar 3.37 juta kiloliter yang menjadi 24.31 juta kiloliter pada tahun 2005. Penawaran total BBM tahun 1990 sebesar 26.54 juta kiloliter, dimana produksinya sebesar 23.17 juta kiloliter ditambah impor sebesar 3.37 juta kiloliter, seperti yang terlihat pada Lampiran 1e, yang meningkat tajam pada tahun 2005 menjadi sebesar 59.53 juta kiloliter yang berasal dari produksi sebesar 35.22 juta kiloliter dan impor sebesar 24.31 juta kiloliter, atau terjadi kenaikan penawaran BBM rata-rata per tahun sebesar 5.53 persen.
10
Optimalisasi produksi BBM dilaksanakan antara lain melalui peningkatan teknologi kilang atau penambahan unit pengolahan pada kilang yang sudah ada.
46 Elpiji sebagai bahan bakar alternatif untuk memasak rumah tangga belum banyak diminati. Produksi elpiji pada tahun 1990 mencapai 2.75 juta ton dan sebanyak 94.79 persen diekspor, dan penawaran elpiji untuk konsumsi domestik pada tahun tersebut hanya mencapai 0.14 juta ton. Pada tahun 2005 penawaran elpiji untuk konsumsi semakin meningkat hingga mencapai 0.90 juta ton, sementara jumlah produksi elpiji turun hingga mencapai 1.89 juta ton, dan ekspor hanya mencakup 53.08 persen dari jumlah produksi. 2.2.2. Permintaan Bahan Bakar Minyak Kelompok pengguna transportasi merupakan kelompok pengguna yang mengkonsumsi BBM terbesar, yaitu 50.71 persen dari total konsumsi BBM pada tahun 2005. Kelompok pengguna transportasi mengkonsumsi BBM hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna rumahtangga dan komersial, 3 kali lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna industri, dan 6 kali lipat dibandingkan dengan kelompok pengguna lain-lain, sebagaimana yang tercantum pada Tabel 6. Penggunaan BBM di kelompok pengguna transportasi mencerminkan dua jenis permintaan yaitu permintaan akhir (final demand) dan permintaan antara (intermediate demand). Sebagai suatu kelompok pengguna, transportasi memiliki permintaan akhir BBM yang dibutuhkan untuk sektor transportasi itu sendiri. Tetapi kegiatan transportasi bukanlah kegiatan final artinya transportasi adalah kegiatan turunan (derived activity) yaitu kegiatan yang disebabkan oleh tingginya aktivitas ekonomi. Tingginya kegiatan transportasi mencerminkan tingginya aktivitas perekonomian. Karena itu jumlah permintaan BBM di kelompok pengguna transportasi pada hakikatnya mencerminkan tingkat kegiatan usaha perekonomian nasional.
47 Tabel 6.
Penjualan Bahan Bakar Minyak Menurut Sektor di Indonesia Tahun 1990-2005 (Ribu SBM) Industri
Tahun
Premium
1990 1995 1997 1998 2000 2005
0 0 0 0 0 0
M. Tanah 1 674 2 714 3 066 2 937 3 581 2 547
Transportasi Solar 18 407 32 541 34 378 37 339 47 689 52 764
Elpiji 810 1 619 1 980 1 762 2 388 2 542
Premium
M. Tanah
34 968 49 702 58 504 61 086 69 567 98 513
10 12 13 13 13 14
Rumahtangga dan Komersial Tahun
Premium
1990 1995 1997 1998 2000 2005
0 0 0 0 0 0
Keterangan Sumber
M. Tanah 40 513 45 716 50 005 51 916 55 933 62 679
Solar 1 368 2 889 3 301 2 797 2 983 3 213
Solar 29 492 43 457 48 495 50 428 57 262 61 371
Elpiji 0 0 0 0 0 0
Lain-Lain Elpiji 1 896 4 243 4 998 5 204 5 740 6 453
Premium
M. Tanah
2 120 3 902 4 663 2 902 2 917 3 413
1 714 2 286 2 576 2 351 2 477 2 509
Solar 11 660 20 741 24 052 17 254 17 416 19 310
Elpiji 0 0 0 0 0 0
: SBM adalah Setara Barrel Minyak. : Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006.
Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna transportasi berasal dari BBM sebanyak 91.09 persen, avtur 7.79 persen, dan minyak bakar sebesar 0.79 persen, sebagaimana yang tercantum pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 50.71 persen BBM. Dilihat dari energi BBM, maka sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari premium sebesar 61.61 persen, minyak solar 38.38 persen, dan minyak tanah 0.01 persen. Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna industri berasal dari gas bumi sebanyak 30.83 persen, batubara 22.67 persen, BBM 18.08 persen, kayu bakar 13.42 persen, dan listrik 8.13 persen, seperti yang terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 18.35 persen BBM. Dilihat dari energi BBM, maka sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari minyak solar sebesar 91.35 persen, minyak tanah 4.41 persen, dan elpiji 4.24 persen.
48 Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna rumahtangga dan komersial berasal dari kayu bakar sebanyak 66.11 persen, BBM 21.31 persen, listrik 11.66 persen, dan terakhir arang 0.79 persen, seperti yang terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 22.94 persen BBM. Dilihar dari energi BBM, sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari minyak tanah sebanyak 86.64 persen, minyak solar 4.44 persen, dan elpiji 8.92 persen. Apabila dilihat dari energi final, sumber energi kelompok pengguna lainnya berasal dari BBM sebanyak 88.22 persen, minyak bakar 8.71 persen, dan minyak diesel 3.06 persen, seperti yang terlihat pada Lampiran 2. Kelompok pengguna ini mengkonsumsi 8.24 persen BBM. Dilihat dari energi BBM, sumber energi kelompok pengguna ini berasal dari minyak solar sebanyak 76.53 persen, premium 13.53 persen, dan minyak tanah 9.94 persen. Pada tahun 2005, premium diserap 96.65 persen oleh kelompok pengguna transportasi dan 3.35 persen oleh kelompok pengguna lain, minyak solar diserap 44.91 persen oleh kelompok pengguna transportasi dan 38.61 persen oleh kelompok pengguna industri, minyak tanah diserap 92.52 persen oleh kelompok pengguna rumahtangga dan komersial dan 3.76 persen oleh kelompok pengguna industri, elpiji diserap 71.74 persen oleh kelompok pengguna rumahtangga dan komersial serta 28.26 persen oleh kelompok pengguna industri. Kelompok pengguna rumah tangga dan komersial mengalami peningkatan permintaan konsumsi elpiji sejalan dengan peningkatan pendapatan, kesadaran akan lingkungan, dan energi yang bersih. Konsumsi elpiji mengalami peningkatan luar biasa sejak tahun 2007 ketika pada tahun itu pemerintah menerapkan program
49 konversi minyak tanah ke elpiji11 dan sebaliknya konsumsi minyak tanah rumahtangga mengalami penurunan sangat besar sejak program itu dilaksanakan. 2.2.3
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Penetapan harga jual eceran BBM dilakukan pemerintah dengan
memperhatikan biaya penyediaan dan pendistribsian BBM, kemampuan anggaran belanja negara, dan daya beli masyarakat. Kebijakan harga jual eceran BBM di Indonesia menganut “one price policy” yaitu harga jual eceran BBM diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia12 . Tabel 7 menunjukkan perubahan harga jual eceran BBM sejak tahun 19852006. Lonjakan tertinggi harga jual eceran BBM rata-rata tertimbang selama periode tahun 1985-2006 terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 86.69 persen. Hal ini terjadi karena selama tahun 2002 sampai. 2004 pemerintah tidak menaikkan harga jual eceran BBM, padahal harga dunia minyak mentah terus meningkat. Harga jual eceran elpiji mengalami kenaikan cukup tinggi dari Rp. 2 700 per kg pada tahun 2003 menjadi Rp. 4 250 per kg pada tahun 2004. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kenaikan harga dunia minyak bumi yang terjadi pada tahun 2005 dan volatilitas nilai tukar rupiah.
11
Program konversi minyak tanah ke elpiji hanya terbatas dimaksudkan pada penggantian sumber energi untuk memasak rumahtangga dan usaha kecil dari semula minyak tanah menjadi elpiji dengan ukuran tabung 3 kg. Sementara penggunaan elpiji diluar memasak rumahtangga atau diluar rumahtangga tidak tercakup dalam program ini. 12 Harga jual eceran BBM jenis bensin premium dan minyak solar diberlakukan sama besar di seluruh wilayah Indonesia pada titik serah di Stasiun Pompa Bensin Umum (SPBU). Harga jual eceran BBM jenis minyak tanah diberlakukan sama di seluruh wilayah Indonesia pada titik serah di depo atau terminal transit. Namun harga Minyak Tanah yang dibeli masyarakat mengacu pada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh masing-masing Kepala Daerah dengan mempertimbangkan biaya angkut dari depo ke Pangkalan Minyak Tanah. Sementara harga jual eceran elpiji pada prinsipnya mengikuti metode penetapan yang sama dengan BBM. Hanya karena stasiun pengisian elpiji ke tabung elpiji masih sangat terbatas, maka harga jual eceran elpiji memiliki keragaman antar daerah yang lebih besar karena tingginya biaya transportasi terutama transportasi melalui laut dari agen elpiji ke konsumen akhir.
50 Tabel 7.
Tahun 1985 1990 1995 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
2.3.
Perkembangan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1985-2005 Premium
Minyak Tanah
Minyak Solar
Harga Rata-Rata Tertimbang Nilai
Perubahan /Thn Persen
(Rp/Liter) 385 165 242 247.38 450 190 245 278.79 700 280 380 436.91 700 280 380 437.89 1 000 280 550 603.84 1 000 280 550 594.85 1 150 350 600 679.25 1 450 388 955 945.11 1 750 600 1 550 1 381.77 1 810 700 1 650 1 475.19 1 810 700 1 650 1 492.44 3 117 2 061 2 877 2 785.89 4 500 2 000 4 300 3 907.99 Sumber: Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006 (diolah).
2.54 11.38 0.11 37.97 - 1.45 14.21 39.15 46.21 6.76 1.17 86.69 40.29
Elpiji (Rp/Kg) 370 400 1 000 1 000 1 500 1 500 1 500 2 100 2 400 2 700 4 250 4 250 4 250
Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia
2.3.1. Subsidi Umum Komponen yang menyusun subsidi terdiri dari subsidi energi dan nonenergi. Subsidi energi terdiri dari subsidi listrik dan subsidi BBM, sementara subsidi non-energi terdiri dari subsidi pangan, pupuk, kredit program, pajak, dan subsidi lainnya. Subsidi energi selalu menempati porsi terbesar dibandingkan dengan subsidi non-energi, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 8. Kontribusi subsidi terhadap belanja negara periode sebelum krisis ekonomi tahun 1997 tidak pernah melebihi 9.0 persen. Krisis ekonomi pada tahun 1997 dan depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 4 kali lipat, telah membuat pemerintah perlu memberikan subsidi. Sejak saat itu beban subsidi, termasuk subsidi BBM, semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar 38.64 persen dari belanja negara. Pada saat itu subsidi BBM mencapai 20.11 persen dari belanja negara. Tingginya subsidi tampaknya disebabkan oleh dampak krisis dunia subprime mortgage yang mengimbas ke Indonesia.
51 Tabel 8.
Tahun 1985/86 1986/87 1987/88 1988/89 1989/90 1990/91 1991/92 1992/93 1993/94 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 1999/00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Keterangan :
Perkembangan Belanja Negara dan Subsidi di Indonesia Tahun 1985/86 – 2007 Belanja Negara 22 148 20 738 22 384 26 734 32 692 39 754 44 581 52 048 57 833 62 607 65 342 82 221 109 302 172 669 231 879 221 467 341 563 345 608 370 592 255 309 392 820 440 000 504 600 729 100
Subsidi 1) (Rp. miliar) 1 367 467 1 165 282 1 858 3 570 1 230 867 1 455 1 502 179 1 660 21 121 35 786 65 916 62 745 77 443 40 006 25 465 26 638 119 090 107 400 150 200 281 700
Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) 2) 450 0 402 82 707 3 306 930 692 1 280 687 0 1 416 9 814 28 607 40 923 53 810 68 381 31 162 13 210 14 527 89 194 64 200 83 800 146 600
Subsidi Subsidi BBM Terhadap Terhadap Belanja Negara Belanja Negara Persen 6.19 2.03 2.25 0.00 5.20 1.80 1.05 0.31 5.68 2.16 8.98 8.32 2.76 2.09 1.67 1.33 2.52 2.21 2.40 1.10 0.27 0.00 2.02 1.72 19.32 8.98 20.73 16.57 28.43 17.65 28.33 24.30 22.67 20.02 11.58 9.02 6.87 3.56 10.43 5.89 30.32 22.71 24.41 14.59 29.77 16.61 38.64 20.11
1) Subsidi adalah subsidi BBM ditambah subsidi di luar BBM 2) Jenis BBM yang disubsidi mencakup avtur, avgas, premium, minyak solar, minyak tanah, minyak diesel, dan minyak bakar. Sejak Tanggal 1 Oktober 2000 jenis BBM yang disubsidi berkurang dan hanya mencakup premium, ninyak solar, minyak tanah minyak diesel, dan minyak bakar. Sejak Tanggal 16 Juni 2001 jenis BBM yang disubsidi berkurang lagi hingga hanya mencakup premium, solar, dan minyak tanah.
Sumber : Bappenas, 2007 pada Lampiran 4 dan Departemen Keuangan, 2009b. Subsidi pupuk meningkat sangat tajam dari semula Rp. 2.5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp. 15.2 pada tahun 2008 (Departemen Keuangan, 2009b). Peningkatan subsidi pupuk ini disebabkan oleh meningkatnya harga dunia minyak mentah yang diikuti secara paralel oleh meningkatnya harga gas alam. Gas alam adalah komponen utama pembentuk harga pupuk. Perbedaan harga pupuk dan harga keekonomiannya memberikan dampak yang serius baik dari sisi efisiensi maupun dari sisi distribusi pendapatan. Dari sisi efisiensi, subsidi telah mendorong penggunaan pupuk yang berlebihan yang berdampak selanjutnya pada
52 tingkat kesuburan tanah. Dari sisi distribusi pendapatan, kepemilikan lahan pertanian bergeser dari petani ke pemilik lahan pertanian, sehingga subsidi pupuk tidak dinikmati oleh petani penggarap yang miskin tetapi oleh petani pemilik tanah yang relatif lebih mampu. Mekanisme pemberian subsidi pupuk, bersama dengan subsidi non-energi lainnya sedang disempurnakan oleh pemerintah agar lebih tepat sasaran dan tepat guna. 2.3.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak Subsidi BBM adalah pembayaran kepada PT. Pertamina (persero)
13
dari
pemerintah dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PT Pertamina (persero) dari tugas menyediakan dan mendistribusikan BBM di Indonesia lebih rendah
dibandingkan
biaya yang
dikeluarkan
untuk
menyediakan
dan
mendistribusikan BBM tersebut. 14 Kebijakan subsidi BBM pertamakali diperkenalkan pada sekitar tahun 1973 yaitu ketika terjadi gejolak harga dunia minyak mentah akibat perang di Timur Tengah. Ketika itu harga dunia minyak mentah naik sampai 4 kali lipat, dari semula US$2-3 per barrel menjadi sekitar US$12 per barrel. Sejak saat itu subsidi BBM menjadi salah satu kebijakan fiskal dan selalu mendapat alokasi anggaran. Meskipun anggaran subsidi dialokasikan setiap tahun, namun beberapa kali pemerintah mendapatkan keuntungan dari penjualan BBM yang disebut
13
Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, Pertamina ditugaskan untuk menyediakan bahan bakar minyak bagi seluruh rakyat Indonesia dan hingga tahun 2009 ini tugas tersebut masih dipercayakan kepada PT Pertamina (Persero). 14 Besaran subsidi BBM, kecuali elpiji, tercantum dalam Undang-undang APBN. Perhitungan dan pembayaran subsidi BBM dilakukan oleh Departemen Keuangan kepada Badan Usaha yang mendapat penugasan pendistribusian BBM bersubsidi. Khusus untuk perhitungan dan pembayaran subsidi elpiji, tetap menjadi tanggungjawab pemerintah, namun dalam pelaksanaannya dibebankan pada manajemen PT. Pertamina (Persero) dengan catatan bahwa subsidi elpiji akan mengurangi keuntungan BUMN tersebut dan dividen yang dibayarkan kepada negara. Besaran subsidi elpiji tidak tercantum dalam Undang-undang APBN.
53 dengan Laba Bersih Minyak (LBM). LBM hanya terjadi ketika harga dunia minyak mentah turun drastis, seperti pada tahun 1986 dari semula US$18-20 per barrel menjadi US$9 per barrel. Selain karena penurunan drastis harga minyak dunia, LBM terjadi karena keengganan pemerintah untuk menurunkan harga jual eceran BBM dalam negeri. Departemen Keuangan (2009b) menyampaikan bahwa harga dunia minyak mentah merupakan faktor utama besaran subsidi BBM. Perubahan harga minyak mentah akan berpengaruh terhadap penerimaan negara, baik penerimaan sumber daya alam migas dan Pajak Penghasilan migas, maupun penerimaan negara bukan pajak lainnya. Untuk APBN Tahun 2009 (Departemen Keuangan, 2009b), setiap kenaikan US$1.0 per barrel harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price, ICP) akan berpotensi menghasilkan tambahan penerimaan negara sebesar Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 2.9 triliun. Dari sisi belanja negara, setiap kenaikan harga minyak ICP US$1.0 per barrel akan berpotensi meningkatkan pembayaran subsidi BBM Rp. 2.5 triliun sampai dengan Rp. 2.6 triliun. Mengingat bahwa 24.8 persen dari produksi listrik nasional menggunakan BBM dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) membeli BBM pada harga internasional, maka setiap kenaikan kenaikan harga ICP US$1.0 per barrel akan mengakibatkan penambahan subsidi listrik kepada PT PLN sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.5 triliun. Potensi peningkatan belanja negara sebagai akibat dari kenaikan harga ICP juga berasal dari peningkatan Daerah Bagi Hasil (DBH) Migas kepada daerah penghasil minyak dan gas bumi. Setiap kenaikan ICP US$1.0 per barrel akan berpotensi menaikkan dana DBH dari pemerintah pusat ke daerah penghasil migas sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.5 triliun. Jadi setiap kenaikan
54 ICP US$1.0 per barrel berpotensi meningkatkan belanja pemerintah pusat sebesar Rp. 3.3 triliun sampai dengan Rp. 3.5 triliun. Dampak bersih dari kenaikan ICP sebesar US$1.0 per barrel terhadap anggaran belanja negara adalah minus atau peningkatan defisit sebesar Rp. 0.4 triliun sampai dengan Rp. 0.6 triliun. Faktor lain yang menyebabkan terjadinya peningkatan belanja subsidi BBM pada belanja negara adalah meningkatnya jumlah konsumsi BBM di tanah air. Departemen Keuangan (2009b) menyatakan bahwa peningkatan konsumsi BBM domestik bersubsidi rata-rata sebesar 0.5 juta kiloliter untuk setiap jenis BBM berpotensi menambah defisit ABPN Tahun 2009 pada kisaran Rp. 2.8 triliun sampai dengan Rp. 3.01 triliun. Kenaikan ICP juga dapat meningkatkan subsidi BBM melalui kenaikan konsumsi BBM. Kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan perbedaan harga minyak domestik dengan harga internasional. Perbedaan harga yang terlalu besar akan cenderung meningkatkan konsumsi BBM karena terdapat insentif untuk melakukan penyelundupan BBM ke luar negeri, pencampuran BBM dengan BBM non-subsidi, dan pengalihan BBM kepada pengguna yang tidak berhak. Di lain pihak, peningkatan konsumsi BBM berdampak pada peningkatan impor, karena terbatasnya kapasitas produksi sebagai akibat dari tiadanya pembangunan kilang baru. Kilang Balongan adalah kilang terakhir yang dibangun dan mulai berproduksi pada tahun 1992. Kapasitas produksi kilang masih bisa ditingkatkan secara terbatas melalui penambahan instalasi unit pengolah pada kilang yang ada. Pada tahun 2005 jumlah impor BBM (subsidi dan non-subsidi) meliputi 38.26 persen dari total penawaran BBM (subsidi dan non-subsidi) dalam negeri sebesar 69.15 juta kiloliter.
55 Pemerintah Indonesia sesungguhnya baru mengeluarkan subsidi harga BBM yang sangat besar sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Lonjakan perubahan kurs rupiah sekitar tiga kali lipat menjadi faktor utama yang menyebabkan meningkatnya subsidi, karena penjualan BBM di dalam negeri menggunakan Rupiah sedangkan sebagian besar komponen biaya penyediaan BBM menggunakan mata uang asing. 2.3.3. Upaya Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Peningkatan subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN dalam jangka panjang dapat berdampak kurang baik dalam kerangka keberlanjutan fiskal. Hal itu dapat mengakibatkan kemampuan fiskal untuk membiayai pos anggaran lain menjadi terbatas. Untuk mengatasi keterbatasan kemampuan fiskal, salah satu alternatif kebijakan adalah pengurangan subsidi BBM. Namun alternatif tersebut dapat memberikan dampak yang kurang baik bagi kinerja perekonomian dan bagi masyarakat seperti timbulnya gejolak sosial politik. Masyarakat terbiasa dengan harga BBM yang relatif stabil dan konstan. Menghadapi situasi yang dilematis tersebut, pemerintah melakukan kebijakan jalan tengah, yaitu berupa : 1.
Penciutan Jenis BBM yang Disubsidi. Sejak mulai diberlakukannya subsidi BBM pada tahun 1977, semua jenis
BBM mendapat subsidi. Namun mengingat konsumen BBM jenis avtur dan avgas adalah masyarakat golongan menengah atas yang menggunakan jasa penerbangan, maka pada tanggal 1 Oktober 2000, subsidi untuk avtur dan avgas dihapuskan. Pemerintah berusaha lebih menciutkan lagi jenis BBM yang disubsidi. Karena itu pada tanggal 16 Juni 2001, subsidi untuk minyak diesel dan minyak bakar dihapuskan karena konsumen kedua jenis BBM ini adalah sektor industri dan
56 kapal pelayaran jarak jauh. Volume penjualan keempat jenis BBM yang dihapus subsidinya mencakup sekitar 12.45 persen dari total volume penjualan BBM (subsidi dan non-subsidi) pada tahun 2005. 2.
Penciutan Konsumen yang Berhak membeli BBM subsidi. Melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 yang diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006, pemerintah membatasi kelompok masyarakat yang berhak membeli BBM subsidi.15 Premium dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak solar dibatasi penggunanya untuk kegiatan usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum. Minyak tanah dibatasi penggunanya pada rumahtangga dan usaha kecil untuk memasak dan penerangan. Kedua kebijakan, yaitu kebijakan penciutan jenis BBM yang disubsidi dan penciutan kelompok konsumen yang berhak membeli BBM subsidi, telah mampu mengurangi volume penjualan BBM yang disubsidi, dari semula 59.6 juta kiloliter pada tahun 2005 menjadi 37.9 juta kiloliter pada tahun 2006. 3.
Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji. Minyak tanah merupakan jenis BBM yang paling besar mendapat subsidi
harga. Biaya produksi minyak tanah lebih tinggi dari premium dan solar, namun harga ecerannya hanya ½ dari harga eceran premium dan solar. Konversi ini hanya diberlakukan bagi penggunaan memasak di rumahtangga dan usaha kecil. 15
Terdapat 5 kelompok konsumen pengguna yang berhak membeli BBM subsidi, yaitu: (1) Rumahtangga untuk memasak dan penerangan, (2) usaha kecil, setelah diverifikasi oleh instansi berwenang, maksimal 8 000 liter per bulan per unit usaha kecil, (3) usaha perikanan maksimal 25 000 liter per bulan per nelayan dan usaha pembudidayaan ikan kecil, (4) transportasi, semua transportasi darat termasuk angkutan sungai, danau, dan penyeberangan, kapal berbendera nasional dengan trayek dalam negeri, kendaraan bermotor milik pribadi, swasta, atau pemerintah, dan (5) pelayanan umum yaitu rumah sakit, sarana pendidikan/sekolah/pesantren, tempat ibadah, krematorium, sarana sosial, dan kantor pemerintahan. BBM yang dibatasi penggunanya adalah BBM yang mendapat subsidi. Premium, minyak solar, minyak tanah, dan elpiji yang tidak disubsidi, tidak dibatasi penggunanya. Siapa saja boleh membeli BBM non-subsidi.
57 Terdapat dua alasan dipilih elpji sebagai pengganti minyak tanah. Pertama, nilai kalori elpiji relatif lebih tinggi dibandingkan dengan minyak tanah.16 Kedua, harga dunia elpiji, seperti harga gas pada umumnya, cenderung selalu berada dibawah harga minyak mentah. Untuk merangsang penggunaan elpiji, pemerintah membagikan gratis paket elpiji kepada 52.9 juta rumahtangga tidak mampu dan usaha kecil. Program ini dilaksanakan pada tahun 2007 dan diharapkan selesai pada tahun 2010. 17 4.
Program Pembatasan Pembelian BBM. Konsumsi BBM yang pada tahun 2006 mencapai 37.9 juta kiloliter, pada
akhirnya cenderung semakin meningkat. Peningkatan tersebut didasarkan atas pertumbuhan kendaraan bermotor yang berkisar 5 persen per tahun dan pertumbuhan kegiatan perekonomian secara umum yang membutuhkan energi, sehingga pada tahun 2009 realisasi konsumsi BBM mencapai 39.7 juta kiloliter. Untuk mengerem perkembangan konsumsi tersebut, pemerintah berupayan membatasi pembelian premium dan minyak solar. Namun kebijakan ini masih memerlukan persiapan lebih mendalam agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Saat ini pemerintah melalui Badan Pengatur Hilir Migas18, akan
16
Pada besaran kalori yang sama, maka 1 liter minyak tanah setara dengan 0.69 kilogram elpiji. Faktor penghematan lainnya diperoleh dari efisiensi kompor elpiji dibandingkan kompor minyak tanah. Secara umum efisiensi kompor minyak tanah di Indonesia berkisar antara 75 – 90 persen dari kompor elpiji. Dalam program konversi, digunakan asumsi efisiensi kompor minyak tanah sebesar 75 persen, sehingga kandungan kalori dalam 1 liter minyak tanah setara dengan kandungan kalori dalam 0.52 kilogram elpiji. 17 Program konversi minyak tanah ke elpiji diharapkan dapat menghemat sekitar 8 juta KL minyak tanah (konsumsi selama ini 11 juta KL) dari peredaran. Menggunakan faktor efisiensi diatas, maka dibutuhkan elpiji pengganti sekitar 4.1 juta Ton, dan penghematan subsidi sebesar Rp.16.8 triliun per tahun diluar pembagian paket gratis. Paket gratis elpiji terdiri dari kompor gas, selang, regulator, dan tabung elpiji 3 kg. Elpiji yang mendapat subsidi dikemas dalam tabung 3 kg. Elpiji dalam kemasasn tabung 3 kg baru diadakan pada tahun 2007 yang lalu ketika program konversi dimulai. Dalam penelitian ini, data harga elpiji menggunakan harga elpiji dalam tabung 12 kg. 18 Badan Pengatur Hilir Migas adalah lembaga pemerintah yang salah tugasnya adalah menjamin ketersediaan BBM di seluruh wilayah Indonesia (untuk detailnya dapat dilihat Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2002 dan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2002)
58 melakukan ujicoba pencatatan pembelian premium dan minyak solar di Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan pada Tahun 2010. Apabila sistem pencatatan pembelian ini berhasil, maka pemerintah selanjutnya akan menerbitkan payung hukum untuk membatasi pembelian premium dan minyak solar. 2.3.4. Keterkaitan dengan Perekonomian BBM merupakan input energi19 bagi kegiatan perekonomian nasional. Peranan BBM sebagai input energi sangat penting karena memberikan kontribusi sebesar 36.51 persen dari total energi final.
20
Oleh sebab itu perubahan harga
BBM akan mempengaruhi harga output nasional secara umum, seperti yang terlihat pada Tabel 9. Ketika harga BBM mengalami kenaikan, maka inflasi cenderung mengalami peningkatan, yang ditransmisikan melalui fungsi BBM sebagai input energi dan sebagai energi final. Menurut Survai Biaya Hidup BPS (2007) sumbangan harga premium terhadap inflasi nasional mencapai 3.00 persen. Krisis ekonomi pada tahun 1998 dipicu oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang mendekati 400 persen sehingga menyebabkan harga barang-barang termasuk pinjaman pemerintah dan swasta dalam mata uang asing menjadi naik 4 kali lipat, dari nilai semula, dalam mata uang rupiah. Pada tahun itu inflasi mencapai 77.63 persen, subsidi BBM naik 3 kali lipat dari Rp. 9 814 miliar pada tahun 1997 menjadi Rp. 28 607 miliar pada tahun 1998, sementara harga jual eceran BBM dan elpiji tertimbang naik sebesar 15.27 persen pada periode yang sama.
19
BBM yang merupakan input energi adalah BBM yang dimanfaatkan sebagai input bagi industri yang menghasilkan energi final, seperti energi listrik, batubara, gas alam, dll. Sebagai energi final, BBM dimanfaatkan langsung oleh konsumen akhir seperti rumahtangga dan komersial, transportasi, industri, dan lainnya. 20 Sumber energi final lainnya adalah BBM non-subsidi (4.74 persen), listrik (7.60 persen), batubara (8.41 persen), kayu bakar (30.96 persen), gas bumi/alam (11.47 persen), dan arang (0.31 persen). Total konsumsi energi final di Indonesia pada tahun 2005 adalah 863 751 setara barrel minyak (Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006).
59 Tabel 9.
Perkembangan Indikator Perekonomian dan Harga Bahan Bakar Minyak di Indonesia Tahun 1990-2005
Indikator
Satuan
a
Tahun 1990
1995
1997
1998
2000
2005
1. PDB
Rp. Triliun
875
1 340
1 513
1 314
1 389
1 749
2. Inflasib
%/Tahun
9.53
8.64
11.05
77.63
9.35
17.11
%/Tahun
20.30
15.80
17.34
23.16
16.59
15.43
Rp/US$
1 905
2 308
4 650
8 025
9 595
9 830
Rp/Liter Rp/Liter Rp/Liter Rp/Kg
450 245 190 370
700 380 280 1 000
700 380 280 1 000
1 000 550 280 1 500
1 150 600 350 1 500
3 117 2 877 2 061 4 250
22.31
17.11
19.04
12.47
28.39
53.66
Ribu Jiwa
179 248
191 825
199 837
202 873
205 843
219 893
Ribu Jiwa
1 952
6 251
4 275
5 062
5 813
10 854
Ribu Jiwa
27 200
23 530
29 290
49 500
38 700
35 100
10. Defisit Rp. Miliar 34 127 13 953 26 317 143 583 16 132 Anggaran *) Keterangan : *) Defisit Anggaran = Penerimaan Dalam Negeri – Anggaran Belanja Negara Sumber: a. Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, 2006. b. International Monetary Fund, 2006. c. Badan Pusat Statistik, 2006. d. Badan Pusat Statistik, 2005.
11 634
3. Tkt Sk Bunga 4. Nilai Tukar
d
a a
5. Harga BBM : a. Premium b. Minyak Tanah c. Minyak Solar d. Elpiji 6. Harga Dunia Minyak Bumi a 7. Populasia 8. Penganggurana c
9. Kemiskinan
US$/Barrel
Meskipun harga dunia minyak mentah pada tahun tersebut relatif tidak mengalami perubahan, namun akibat dari depresiasi nilai tukar rupiah yang luar biasa, maka harga dunia BBM dalam rupiah meningkat tajam. Hal ini mengakibatkan dua hal secara bersama-sama, yaitu potensi kenaikan subsidi harga BBM dan potensi kenaikan harga jual eceran BBM. Kenaikan harga jual eceran BBM cenderung memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat memberikan tekanan pada peningkatan jumlah penduduk miskin yang berjumlah 29.29 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 49.50 juta jiwa pada tahun 1998. Tekanan kemiskinan tidak hanya berasal dari tingginya inflasi, tetapi merupakan kombinasi berbagai faktor lainnya termasuk peningkatan jumlah pengangguran dari 4.27 juta jiwa pada tahun 1997 menjadi 5.06 juta jiwa
60 pada tahun 1998. Pengangguran disebabkan oleh lemahnya sisi permintaan konsumsi domestik dan naiknya biaya input sehingga kegiatan produksi menurun dan akibatnya permintaan tenaga kerja menurun. Pada tahun 2005 kembali terjadi gejolak perekonomian Indonesia yang dipicu oleh melonjaknya harga dunia minyak mentah sebesar 2 kali lipat dibandingkan tahun 2000. Meskipun nilai tukar relatif stabil, namun gejolak harga dunia minyak mentah mengakibatkan gejolak subsidi BBM dari semula Rp. 53 810 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp. 89 194 miliar pada tahun 2005 atau 22.71 persen dari belanja negara. Karena anggaran negara semakin terbatas kemampuannya dalam belanja subsidi, maka untuk mengatasi kenaikan harga dunia minyak mentah, pemerintah menaikkan harga jual eceran BBM tertimbang sebesar rata-rata 34.15 persen per tahun pada periode 2000-2005. Kenaikan harga jual eceran BBM turut mendorong inflasi sebesar 17.11 persen dan mendorong peningkatan pengangguran dari semula 5.81 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 10.85 juta jiwa pada tahun 2005. Kedua hal ini memberikan seharusnya memberikan tekanan pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Namun pada kenyataannya jumlah penduduk miskin turun dari semula 38.70 juta jiwa menjadi 35.10 juta jiwa. Penurunan jumlah penduduk miskin kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya anggaran pemerintah, yang khusus dialokasikan untuk mengatasi masalah kemiskinan, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Analisa ini sejalan dengan temuan Soebiakto (1988) yang mengatakan bahwa harga dunia minyak mentah menyebabkan kondisi yang tidak pasti terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan Indonesia
61 yang tinggi terhadap penerimaan dari ekspor minyak mentah, yang juga sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Oktaviani dan Sahara (2000a) melakukan simulasi kenaikan harga BBM terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian di Indonesia. Berdasarkan hasil simulasi jangka pendek maupun jangka panjang, kenaikan harga BBM, baik diikuti oleh program kompensasi maupun tidak, berdampak negatif terhadap semua output di sektor pertanian dan agroindustri. Penurunan output ini akan diikuti oleh penurunan penyerapan tenaga kerja, penurunan upah nominal tenaga kerja tidak terdidik, dan penurunan sewa lahan pertanian. Hal ini berdampak pada pengurangan pendapatan dan daya beli rumahtangga pertanian. Kenaikan harga BBM dan penyaluran dana kompensasi, yang pada awalnya diharapkan dapat memperbaiki kondisi keluarga miskin, ternyata berdampak sebaliknya. 2.3.5. Keterkaitan dengan Defisit Anggaran Dalam sistem anggaran berimbang, sebagaimana yang dianut Indonesia selama ini, jumlah penerimaan selalu sama dengan jumlah pengeluaran. Defisit anggaran dalam penelitian ini didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dalam negeri pemerintah dengan pengeluaran belanja. Defisit anggaran terjadi ketika peningkatan penerimaan dalam negeri relatif konstan, namun kebutuhan anggaran belanja meningkat tajam untuk memenuhi kebutuhan yang sangat penting dan segera. Defisit juga terjadi apabila penerimaan dalam negeri pemerintah dibawah target. Untuk menutup defisit anggaran, diperlukan suntikan dana luar negeri, baik berupa hibah maupun pinjaman luar negeri. Defisit anggaran yang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan mendadak seringkali dikaitkan dengan peningkatan tajam subsidi BBM. Peningkatan tajam
62 subsidi BBM terjadi ketika harga dunia minyak mentah meningkat tajam sementara pemerintah mempertahankan harga jual eceran BBM. Pada tahun 1990 defisit anggaran sebesar Rp. 34 127 miliar, kemudian turun menjadi Rp. 13 953 miliar pada tahun 1995 sebagai akibat dari dinaikkannya harga jual eceran BBM dalam negeri. Defisit anggaran kemudian membengkak menjadi Rp. 143 583 miliar pada tahun 1998 menyusul depresiasi nilai tukar rupiah dan relatif stabilnya harga jual eceran BBM dalam negeri. Pada tahun 2000 defisit anggaran turun drastis menjadi Rp. 16 132 miliar yang kemungkinan besar disebabkan oleh penambahan penerimaan negara bukan pajak seperti dari hasil penjualan asset, privatisasi badan usaha milik negara, dan penjualan obligasi pemerintah (surat utang negara) ke pasar dalam negeri. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara besaran subsidi BBM dengan kecenderungan defisit anggaran. Defisit anggaran seringkali berdampak pada peningkatan utang luar negeri baik yang berasal dari pinjaman maupun penjualan obligasi. Karena itu kebijakan pemerintah mengenai subsidi BBM tidak dapat dilepaskan dari potensi defisit anggaran yang mungkin terjadi. 2.3.6. Keterkaitan dengan Kemiskinan Masalah kemiskinan tidak hanya meliputi jumlah dan persentase penduduk miskin, tetapi terkait pula dengan batas kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan, seperti yang terlihat pada Tabel 10. Batas kemiskinan, baik di perdesaan dan perkotaan, dari tahun 1999 sampai tahun 2008 cenderung meningkat. Batas kemiskinan di perkotaan secara umum lebih besar dibandingkan di perdesaan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat biaya hidup di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan.
63 Tabel 10. Beberapa Indikator Kemiskinan di Indonesia Tahun 1999-2008 Tahun 1999 2002 2005 2006 2007 2008
Batas Kemiskinan (Rp.) Kota
Desa
92 409.00 130 499.00 150 799.00 174 290.00 187 942.00 204 896.00
74 272.00 96 512.00 117 259.00 130 584.00 146 837.00 161 831.00
Kedalaman Kemiskinan 21 (%) Kota+ Kota Desa Desa 3.52 4.84 4.33 2.59 3.34 3.01 2.05 3.34 2.78 2.61 4.22 3.43 2.15 3.78 2.99 2.07 3.42 2.77
Keparahan Kemiskinan 22 (Rp. Juta) Kota+ Kota Desa Desa 0.98 1.39 1.23 0.71 0.85 0.79 0.60 0.89 0.76 0.77 1.22 1.00 0.57 1.09 0.84 0.56 0.95 0.76
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008.
Tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan dan perdesaan cenderung turun kecuali untuk tahun 2006. Pada tahun 2008 tingkat kedalaman kemiskinan sebesar 2.07 untuk di perkotaan dan 3.42 untuk di perdesaan. Penurunan ini mengindikasikan adanya perbaikan rata-rata kesenjangan standar hidup penduduk miskin dan garis kemiskinan. Tingkat kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih besar dibandingkan tingkat kedalaman kemiskinan di perkotaan. Hal ini berarti bahwa jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin perdesaan terhadap garis kemiskinan perdesaan relatif lebih besar dibandingkan perkotaan. Tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan cenderung mengalami penurunan pada periode 1999-2008 kecuali untuk tahun 2006. Pada tahun 2008 tingkat keparahan kemiskinan perkotaan dan perdesaan masingmasing sebesar 0.56 dan 0.95. Penurunan ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran penduduk miskin, baik di desa maupun di kota, secara umum semakin berkurang. Indeks keparahan kemiskinan di perdesaan relatif lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Oleh sebab itu distribusi pengeluaran penduduk 21
Kedalaman kemiskinan adalah ukuran sejauh mana rata-rata pengeluaran penduduk miskin mendekati atau menjauhi garis kemiskinan. Apabila tingkat kedalaman kemiskinan menurun maka rata-rata pengeluaran penduduk miskin makin mendekati garis kemiskinan. 22 Keparahan kemiskinan adalah ukuran sejauh mana perbedaan atau ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin. Jika keparahan kemiskinan menurun maka ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin menyempit.
64 miskin perdesaan memiliki ketimpangan yang lebih tinggi daripada distribusi pengeluaran penduduk miskin perkotaan. BPS (2008c) menyajikan data dan analisa mengenai perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Pada periode Maret 2007 - Maret 2008 terjadi kenaikan Garis Kemiskinan (GK)23 sebesar 9.56 persen dari Rp. 166 697 menjadi Rp. 182 636 per kapita per bulan. Komponen pembentuk GK adalah Garis Kemiskinan Makanan24 (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan25 (GKBM). Komponen GKM memberikan kontribusi terhadap GK sebesar 74.07 persen dan GKBM sebesar 25.93 persen, pada bulan Maret 2008. Pada periode 1996-2007 jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami fluktuasi, seperti yang terlihat pada Tabel 11. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13.96 juta jiwa karena krisis ekonomi, yaitu dari 34.01 juta menjadi 47.97 juta. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38.70 juta menjadi 35.10 juta. Namun pada tahun 2006 terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin, yaitu dari 35.10 juta pada bulan Februari 2005 menjadi 39.30 juta pada bulan Maret 2006. Peningkatan jumlah penduduk miskin terjadi salah satunya karena harga BBM26 yang naik sehingga menyebabkan naiknya harga berbagai barang dan
23
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan (GK). Pada bulan Maret 2008 kontribusi beberapa produk terhadap pembentukan GK adalah beras sebesar 38.97 persen di perdesaan dan 28.06 persen di perkotaan; listrik, angkutan, dan minyak tanah di perkotaan sebesar 3.07 persen, 2.72 persen, dan 2,65 persen, sementara di perdesaan kontribusi ketiga barang tersebut dibawah 2 persen. 24 GKM adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2 100 kalori per kapita per bulan yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. 25 GKBM merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. 26 Pada awal Maret 2005 harga BBM bersubsidi dinaikkan rata-rata sebesar 29 persen. Kemudian pada Tanggal 1 Oktober 2005 harga BBM bersubsidi kembali dinaikkan rata-rata sebesar 127 persen, yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit APBN. Kenaikan BBM pada Tanggal 1 Oktober 2005 tersebut memicu inflasi bulan Oktober 2005 sebesar 8.7 persen (Bappenas, 2006).
65 inflasi mencapai 17.95 persen periode Februari 2005 – Maret 2006. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Tabel 11. Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia menurut Daerah Tahun 1996-2007 Tahun
Penduduk Miskin (dalam Juta) Kota
1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
9.42 17.60 15.64 12.30 8.60 13.30 12.20 11.40 12.40 14.49 13.56
Desa
Penduduk Miskin (dalam Persen)
Kota+Desa
24.59 31.90 32.33 26.40 29.30 25.10 25.10 24.80 22.70 24.81 23.61
34.01 49.50 47.97 38.70 37.90 38.40 37.30 36.10 35.10 39.30 37.17
Kota 13.39 21.92 19.41 14.60 9.76 14.46 13.57 12.13 11.68 13.47 12.52
Desa 19.78 25.72 26.03 22.38 24.84 21.10 20.23 20.11 19.98 21.81 20.37
Kota+Desa 17.47 24.23 23.43 19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 15.97 17.75 16.58
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2008c.
Pada Tabel 5 disajikan pemakaian energi, khususnya minyak tanah dan elpiji, oleh rumahtangga di Indonesia untuk memasak. Secara keseluruhan dari tahun 1985-2007, sumber
energi memasak rumahtangga lebih banyak
menggunakan kayu bakar daripada listrik, elpiji, minyak tanah, arang, dan lainnya. Walaupun mempunyai kecenderungan yang menurun, namun pada tahun 2007 penggunaan kayu bakar meningkat sehingga menjadi 49.38 persen dibanding tahun 2001 yang sebesar 43.23 persen. Sumber energi memasak rumahtangga pada tahun 1985 didominasi oleh kayu bakar sebesar 71.57 persen, minyak tanah sebesar 25.93 persen, dan elpiji sebesar 1.06 persen. Konsumsi minyak tanah untuk memasak rumahtangga mengalami pasang surut, dimana pada periode tahun 2001-2007 mengalami penurunan dari 44.10 persen menjadi 36.57 persen. Penurunan konsumsi minyak tanah ini disebabkan oleh kenaikan harga jual eceran minyak tanah pada periode
66 tersebut dari semula Rp. 388 per liter pada tahun 2001 menjadi Rp. 2 000 per liter pada tahun 2007. Kenaikan harga jual eceran minyak tanah menyebabkan konsumen rumahtangga mengalihkan sumber energinya ke kayu bakar yang meningkat menjadi 49.38 persen dan elpiji yang meningkat menjadi 10.57 persen. Tingginya konsumsi kayu bakar dan elpiji pada tahun 2007, selain disebabkan oleh naiknya harga jual eceran minyak tanah, kemungkinan besar sebagai akibat dari pelaksanaan program konversi minyak tanah ke elpiji pada tahun 2007. Dalam pelaksanaan program konversi, pada daerah-daerah yang telah dikonversi, minyak tanah ditarik dari peredaran dan digantikan oleh elpiji. Hal ini menyebabkan masyarakat mampu akan beralih mengkonsumsi elpiji, namun masyarakat kurang mampu, khususnya di perdesaan, yang semula mengkonsumsi minyak tanah akan kembali mengkonsumsi kayu bakar. 2.4.
Subsidi Energi di Negara Lain
2.4.1. Subsidi Energi di India India memiliki 2 jenis subsidi, yaitu Subsidi Eksplisit yaitu subsidi yang tercantum dalam dokumen anggaran dan Subsidi Implisit. Subsidi Eksplisit meliputi subsidi makanan, pupuk, dan BBM. Subsidi Implisit adalah subsidi yang tidak tercantum dalam dokumen keuangan pemerintah, dan mencakup subsidi transportasi. Subsidi BBM pada awalnya off budget dan mulai dimasukkan ke dalam anggaran pemerintah pada periode tahun 2002-2003. Jenis energi yang disubsidi hanya minyak tanah untuk transportasi publik dan elpiji untuk rumahtangga. Kedua jenis energi ini dipertahankan subsidinya karena paling banyak dikonsumsi oleh sektor publik. Pada tahun 1997 pemerintah India menyusun agenda untuk melakukan
transisi dari rejim harga yang diatur
67 pemerintah menjadi harga yang ditentukan pasar. Khusus untuk minyak tanah dan elpiji tetap diberikan subsidi meskipun secara bertahap besarannya dikurangi. Pada akhir tahun 2002, subsidi untuk minyak tanah dan elpiji untuk rumahtangga diturunkan dari 33 persen menjadi 15 persen. Mulai disadari bahwa subsidi elpiji dinilai tidak tepat sasaran karena memberikan manfaat yang lebih banyak bagi kelompok masyarakat penghasilan tinggi di perkotaan. Kondisi yang hampir serupa juga terjadi pada subsidi minyak tanah karena lebih banyak elit desa yang mampu yang mengkonsumsi minyak tanah bersubsidi. Selain itu minyak tanah subsidi tersedia dalam jumlah yang terbatas di perdesaan sehingga subsidi minyak tanah menjadi kurang bermanfaat bagi masyarakat miskin perdesaan. Karena kedua subsidi energi ini dianggap salah sasaran, maka pemerintah India sedang mencari bentuk untuk mengganti subsidi energi dengan subsidi bentuk lain dengan tujuan agar lebih tepat sasaran bagi golongan masyarakat yang paling tidak mampu (Bappenas, 2007). 2.4.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Malaysia Dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN (Association South East Asia Nations) yaitu Singapura dan Thailand, maka harga Bahan Bakar Minyak di Malaysia lebih rendah. Hal ini disebabkan subsidi BBM dan penghapusan pajak semua produk BBM yang besar oleh pemerintah Malaysia. Dampak kebijakan tersebut membuat masyarakat Malaysia dapat menikmati transportasi publik yang terjangkau, biaya operasional nelayan yang rendah, dan biaya operator transportasi sungai yang murah di Sabah dan Serawak. Selain itu masyarakat Thailand dan Singapura dapat membeli BBM lebih murah di Malaysia.
68 Subsidi BBM di Malaysia diberikan langsung kepada produsen atau pengecer. Pemerintah akan melanjutkan subsidi BBM namun dengan jumlah subsidi yang diperbaharui dan ditentukan oleh pemerintah, mengingat subsidi BBM juga berdampak negatif, yaitu: (1) menimbulkan distorsi pasar karena harga tidak mencerminkan harga aktualnya, (2) penyelundupan BBM ke negara lain, (3) meningkatkan defisit anggaran pemerintah karena besaran subsidi BBM sebesar RM 6.6 miliar, dan (4) potensi penerimaan pajak penjualan yang hilang sebesar 7.9 miliar Ringgit Malaysia (Bappenas, 2007). Potensi pajak penjualan dan subsidi BBM sebesar RM 14.5 miliar dapat digunakan untuk mengurangi defisit fiskal dari 3.8 persen dari GDP menjadi 0.7 persen. Permasalahan utama yang dihadapi dalam kaitan subsidi energi adalah kurang tepat sasaran. Oleh karena itu akan dilakukan penyempurnaan dengan membuat metode yang lebih efektif, sehingga operator transportasi publik, nelayan, dan operator transportasi sungai benar-benar dapat merasakan manfaatnya. 2.4.3. Subsidi Energi di Negara-negara Eropa IMF (2008) dalam laporannya menguraikan bahwa subsidi energi di negara-negara Eropa ditujukan untuk: (1) proteksi industri energi domestik, sebagaimana yang terjadi pada subsidi pertambangan batubara di Jerman dan Spanyol, subsidi industri energi sampah di Finlandia dan Irlandia, subsidi biofuel di Perancis dan Itali, (2) pengembangan industri energi terbarukan agar bisa bersaing di pasar internasional, (3) riset dan pengembangan teknologi sumber energi yang ramah lingkungan, dan (4) upaya pemerataan kesejahteraan sosial bagi masyarakat miskin, berupa pembangunan pipa jaringan distribusi gas untuk pemanas ruangan di daerah kantong kemiskinan di negara Denmark, Spanyol,
69 Yunani, dan Irlandia. Hal ini untuk menjamin kepastian pasokan gas dan mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah yang warganya tidak mampu. Subsidi energi tidak lagi menjadi issue yang menarik di negara-negara Eropa karena sejak dua dasawarsa terakhir telah diberlakukan harga keekonomian bagi energi. Kebijakan energi dilakukan secara terbatas dalam bentuk grant, pajak-pajak, instrumen pengaturan, dan dukungan untuk riset dan pengembangan, dimana kebijakan energi telah menginternalisasi dampak eksternal lingkungan, pengembangan energi terbarukan, dan pengembangan energi alternatif. Berbeda dengan negara-negara di Eropa Barat, negara-negara Eropa Timur yang ekonominya masih dalam masa transisi menerapkan subsidi energi dalam bentuk penetapan harga domestik yang lebih rendah dari harga keekonomiannya. Beberapa kebijakan energi di negara-negara Eropa adalah: (1) hibah atau kredit bunga rendah untuk produsen atau konsumen energi. Sebagai contoh Denmark memberikan subsidi maksimal 30 persen dari biaya pengembangan efisiensi energi atau konservasi di sektor industri dan perdagangan; (2) kebijakan fiskal yaitu penerapan besaran pajak yang berbeda untuk mendorong atau mengurangi produksi atau konsumsi energi tertentu, seperti pajak karbon untuk mengurangi efek gas rumah kaca; (3) pengaturan untuk mendorong konsumen membeli energi tertentu. Di Jerman konsumen yang membeli energi listrik dari pembangkit angin dapat membeli dengan harga lebih murah, sementara di Perancis perusahaan negara diharuskan membeli energi listrik dari pembangkit angin dengan harga lebih mahal untuk merangsang pengusahaan energi angin; dan (4) subsidi untuk melakukan riset dan pengembangan energi terbarukan dan
70 energi
alternatif,
dimana
sekitar
40
persen
dana
dialokasikan
untuk
pengembangan energi nuklir dan sektiar 15 persen untuk energi fosil. Kebijakan energi di negara-negara Eropa membutuhkan dukungan dana cukup besar. Pengurangan pajak pertambahan nilai untuk BBM dan gas di Inggris pada tahun 2004 mencapai nilai €1.4 miliar. Subsidi batubara di negara-negara Eropa Barat dan Eropa Timur (EU-27) pada periode 2002-2006 mencapai nilai €31.0 miliar. Pengurangan pajak karbondioksida untuk industri di Denmark mengurangi penerimaan pemerintah sebesar €0.6 miliar. 2.4.4. Subsidi Energi di Negara-negara Asia Shikha Jha, et al. (2009) melakukan penelitian terhadap subsidi energi di 32 negara Asia dan kaitannya dengan ketidakpastian kondisi makroekonomi dan keberlanjutan fiskal. Volatilitas dan tingginya harga dunia minyak mentah berpengaruh terhadap anggaran belanja baik di negara yang menerapkan subsidi atau negara yang menerapkan pajak terhadap konsumsi BBM dalam negeri. Negara-negara Asia menerapkan sistem yang rumit dalam penetapan harga BBM dalam negerinya yang selalu dikaitkan dengan harga dunia minyak mentah, seperti yang terlihat pada Tabel 12. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat tajam pada tahun 2008, hampir semua negara Asia melindungi konsumennya melalui pembengkakan subsidi atau penurunan pajak BBM-nya. Subsidi BBM mengakibatkan timbulnya biaya fiskal, baik yang dibiayai langsung melalui anggaran belanja atau berupa pengurangan atas margin distribusi dan kilang perusahaan minyak negara.
71 Tabel 12. Subsidi dan Pajak Bahan Bakar Minyak di Beberapa Negara Asia
Sumber :
Shikha Jha, et al. (2009)
Negara yang mensubsidi langsung BBM cenderung menanggung beban defisit fiskal, yang berikutnya akan mengakibatkan besarnya utang publik. Pada Gambar 1 ditampilkan harga minyak tanah di beberapa negara Asia dibandingkan dengan harga minyak tanah spot27 f.o.b.28 versi US Kerosene-type, Rotterdam Kerosene-type, dan SIN Kerosene-type. 27
Harga spot adalah harga seketika atau harga yang terjadi pada hari transaksi. Harga spot biasanya lebih mahal dibandingkan dengan harga pada kontrak jangka pendek atau panjang.
72 Penelitian ini melakukan simulasi dampak gejolak makroekonomi dan harga dunia minyak terhadap utang publik dan perkiraan atas koreksi fiskal yang diperlukan. Ketidakpastian makroekonomi yang berlarut-larut dapat menyebabkan memburuknya utang publik sebagaimana yang diperkirakan terjadi di Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Republik Lao, Malaysia, Maldives, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Cina Taiwan, dan Vietnam. Utang publik di masing-masing negara itu diperkirakan akan meningkat sebesar 10 persen.
Catatan : Sumber :
Survai hanya mencakup ibukota negara Shikha Jha, et al. (2009)
Gambar 1.
Harga Jual Eceran Minyak Tanah di Beberapa Negara Asia, Oktober 2008
Negara Asia yang mengendalikan harga jual eceran BBM dalam negeri, ketika harga dunia minyak meningkat tajam, memerlukan koreksi atas kebijakan fiskal. Tingginya harga dunia minyak mentah lebih berpengaruh dibandingkan ketidakpastian makroekonomi untuk negara India, Indonesia, dan Malaysia. Sementara tingginya harga dunia minyak mentah kurang berpengaruh 28 f.o.b. atau free on board adalah harga barang pada titik pelabuhan asal. Sebagai pengimpor, maka harga f.o.b. perlu ditambah dengan biaya angkutan, asuransi, pajak ekspor, pajak impor, dan pungutan serta biaya lainnya.
73 dibandingkan ketidakpastian makroekonomi untuk negara Cina, Bangladesh, Nepal, dan Pakistan. 2.5.
Tinjauan Studi Sebelumnya
2.5.1. Pasar Minyak Mentah Krichene (2005) melakukan studi pasar minyak dan gas alam dunia periode 1918-2004 dengan menggunakan model simultan. Gejolak harga minyak menyebabkan permintaan minyak dan gas bumi menurun tajam pada tahun 19732004 tanpa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Hal ini penting karena perekonomian dunia memiliki potensi untuk melakukan penyesuaian terhadap gejolak harga melalui efek substitusi dan peningkatan efisiensi energi. Krichene menemukan bahwa permintaan dan penawaran baik minyak maupun gas bumi sangat tidak elastis dalam jangka pendek, yang berakibat pada gejolak pasar minyak dan gas bumi. Kenaikan harga minyak mentah dan penerapan pajak tinggi di negara-negara pengimpor minyak mentah telah mengurangi elastisitas permintaan terhadap harganya, melalui penghematan energi dan subsititusi energi. Sementara itu permintaan minyak dan gas bumi memiliki elastisitas pendapatan tinggi. Kurva penawaran jangka panjang minyak mentah terhadap harga menjadi tidak elastis setelah gejolak minyak tahun 1973 yang merefleksikan perubahan struktur pasar dari pasar kompetitif menjadi pasar yang terstruktur. Kurva penawaran jangka panjang gas bumi terhadap harga menjadi lebih elastis setelah gejolak minyak tahun 1973 yang merefleksikan respon penawaran yang lebih fleksibel terhadap perubahan harga gas bumi. Dees et al. (2003) menggunakan model ekonometrik untuk menjelaskan pasar dunia minyak mentah. Penulis menyimpulkan bahwa permintaan minyak bumi dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian domestik, harga riil minyak bumi,
74 dan tren waktu yang mewakili perubahan teknologi. Sementara produksi nonOPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) yang menggunakan metode hybrid menjelaskan bahwa produksi minyak bumi dipengaruhi oleh perubahan teknologi kilang minyak, perubahan teknologi, insentif ekonomi, dan kondisi politik. Estimasi harga riil minyak bumi dipengaruhi oleh utilitas kapasitas produksi minyak bumi negara OPEC, kuota produksi minyak bumi negara OPEC, tingkat kepatuhan negara anggota OPEC dalam kuota, dan stok minyak mentah dari negara-negara OECD. Hasil ini mengindikasikan bahwa OPEC mempunyai kekuatan penting dalam mempengaruhi harga minyak bumi dalam jangka menengah dan panjang. Hayo and Kutan (2002) meneliti dampak berita, harga minyak bumi, dan spillover internasional terhadap pasar finansial Rusia. Dengan adanya liberalisasi dan hubungan pasar Rusia dengan pasar global, maka pembuat kebijakan Rusia membutuhkan banyak pertimbangan untuk menjaga stabilitas pasar domestiknya. Salah satu di antaranya adalah harga dunia minyak mentah yang ternyata berkontribusi terhadap tidak stabilnya pasar keuangan Rusia. Terdapat bukti yang kuat bahwa berita positif seputar sektor energi dapat menaikkan nilai saham sebesar satu persen. Sementara berita negatif mengakibatkan keragaman harga lebih besar dibandingkan dengan berita positif. Namun diakui bahwa berita tentang ketegangan di Chechnya tidak berdampak terhadap pasar keuangan. Temuan studi ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa gejolak harga dunia minyak mentah berdampak signifikan terhadap output domestik dan nilai tukar riil (Rautava, 2002 dalam Dees, et al. 2003).
75 Taiwan adalah salah satu negara di Asia yang mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi namun tidak mempunyai sumber energi. Oleh sebab itu Yunchang (1996) meneliti dampak kebijakan energi, terutama perubahan dalam kebijakan harga minyak atau gas bumi, terhadap ekonomi Taiwan, dengan menggunakan CEGEM 1.1 (Computable Energy General Equilibrium Model). Model ini berusaha menjelaskan keterkaitan hubungan antara energi, produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional. Dalam jangka pendek, pemerintah tidak harus bergantung semata-mata pada kebijakan harga energi untuk mempengaruhi perekonomian, karena tidak ada hubungan yang pasti dan dapat diprediksi antara kinerja ekonomi dengan shock harga energi. Tiap industri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap perubahan harga energi. Kompetisi antar perusahaan mengakibatkan perbedaan respon terhadap perubahan harga energi. Perubahan harga energi dijadikan salah satu arena untuk melakukan kompetisi, sehingga ada industri yang memperoleh keuntungan dan ada pula yang menderita kerugian. Miller dan Zhang (1996) menggunakan teori irreversible investment berasumsi bahwa kenaikan harga barang-barang mengikuti proses pergerakan Brownian yang mulus, meskipun sangat jarang terjadi lompatan harga. Ketika Iran melakukan invasi ke Kuwait pada awal Agustus 1990 terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah dari US$18 per barrel menjadi US$32 per barrel pada pertengahan Agustus 1990. Tetapi harga dunia minyak mentah kembali normal ke posisi semula ketika perang berakhir enam bulan kemudian. Kejadian ini dapat dijelaskan dengan proses pergerakan Brownian yaitu kenaikan harga dipicu oleh terjadinya perang dan kemungkinan terjadinya gangguan pasokan minyak mentah.
76 Berikutnya penurunan harga dunia minyak mentah dipicu oleh selesainya perang dengan harapan penawaran minyak mentah akan kembali stabil. Borenstein, et al. (1997) melakukan penelitian tingkat respon harga bensin terhadap pergerakan harga dunia minyak mentah. Beberapa peneliti menemukan bahwa harga bensin lebih cepat bereaksi ketika terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah daripada ketika terjadi penurunan harga minyak mentah. Transmisi perubahan harga dunia minyak ke harga bensin bergantung pada respon pedagang intermediaries karena biasanya mereka tidak dimiliki oleh pemilik kilang. Ketika harga dunia minyak mentah meningkat para pedagang intermediaries cenderung segera meningkatkan harga namun ketika terjadi penurunan harga dunia minyak mentah mereka lebih lambat memberikan respon. Raymond dan Rich (1997) melakukan analisis hubungan antara gejolak harga dunia minyak dengan fluktuasi siklus bisnis di Amerika Serikat. Penulis menyusun model Peralihan Markov (markov switching model) yang menghasilkan simpulan bahwa pergerakan harga dunia minyak memberikan kontribusi atas rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat meskipun tidak selalu menjadi penentu dominan. Temuan lain studi ini adalah adanya hubungan yang kuat antara gejolak harga dunia minyak dengan kinerja makroekonomi. Ketika harga dunia minyak mentah sangat tinggi pada periode 1973-75, resesi 1980an, dan periode 1990-91, tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. Meskipun demikian ditemukan bahwa tidak semua kontraksi pertumbuhan ekonomi dapat dikaitkan dengan tingginya harga dunia minyak mentah. Pangestu (1986) dalam disertasinya melakukan penelitian apakah efek dutch disease terjadi di Indonesia dalam periode lonjakan harga dunia minyak
77 tahun 1973-1982. Penelitian menggunakan persamaan simultan dengan 2 SLS. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa gejala dutch disease terjadi di Indonesia. Dalam rangka untuk meminimalkan efek dutch disease, kebijakan fiskal lebih efektif daripada kebijakan moneter. Dutch disease adalah fenomena ekonomi yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan pendapatan domestik yang mendadak dari sumber alam, yang berdampak pada peningkatan belanja domestik yang mendadak pula. Hal ini mengakibatkan inflasi domestik dan harga barang nontraded
29
menjadi lebih mahal relatif terhadap barang traded non-minyak.
Perubahan harga relatif ini mengakibatkan terjadinya peralihan sumberdaya dari sektor traded non-minyak (karena relatif lebih murah) ke sektor nontraded (karena relatif lebih mahal). Ketika harga minyak turun dan kembali ke tingkat harga semula, perekonomian nasional mengalami resesi karena turunnya daya beli masyarakat dan terjadi kelebihan produksi barang nontraded yang tidak terserap oleh pasar domestik. Perekonomian nasional membutuhkan waktu untuk keluar dari resesi, yaitu dengan mengalihkan kembali sumberdaya dari sektor nontraded ke sektor traded non-minyak. Prawiraatmadja (1997) mengemukakan bahwa berdasarkan proyeksi produksi dan permintaan minyak mentah dan hasil olahannya, dalam waktu dekat Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak. Negara pengimpor minyak adalah negara yang mengalami defisit perdagangan minyak bumi dan hasil olahannya. Untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri yang semakin meningkat dan agar tidak terlalu bergantung pada impor, Indonesia perlu
29
Barang non-traded adalah barang produksi domestik yang dikonsumsi domestik atau barang yang tidak diperdagangkan secara internasional (ekspor-impor). Barang traded adalah barang yang diproduksi domestik dan kemudian sebagian atau seluruhnya diekspor atau barang yang diproduksi di luar negeri dan diimpor atau campuran dari keduanya.
78 membangun kilang baru. Hambatan investasi di sektor hilir migas adalah harga produk final (BBM) masih ditetapkan oleh pemerintah dibawah harga pasar melalui pemberian subsidi. Karena sulitnya akses investasi swasta dalam pembangunan kilang baru, maka untuk memenuhi peningkatan kebutuhan BBM dalam negeri, PT Pertamina (persero) berupaya melakukan impor BBM selain peningkatan kapasitas, efisiensi, atau pembangunan kilang baru. Studi yang dilakukan oleh Husman (2007) di Indonesia difokuskan pada penelitian tentang dampak fluktuasi harga dunia minyak terhadap output dan inflasi dengan menggunakan metode VAR (Vector Auto Regression) periode 1990-2006. Pada periode managed floating tahun 1990-1997 ketika Indonesia berstatus net exporter country, harga dunia minyak tidak berpengaruh dominan dalam pertumbuhan output dan tingkat inflasi domestik, dengan tingkat kesalahan α = 15 persen. Hal ini disebabkan oleh besarnya subsidi sehingga harga BBM domestik cenderung stabil. Pada periode free floating tahun 1997-2006, perubahan harga dunia minyak mentah menjadi lebih berpengaruh terhadap output dan inflasi dalam negeri. Hal ini disebabkan antara lain oleh: 1.
Berubahnya posisi Indonesia dari negara net eksporter menjadi net importer minyak pada tahun 2005, dan
2.
Terjadi perubahan pola subsidi yang terjadi pada tahun 2005 sebagai akibat dari tingginya harga dunia minyak. Afiatno (2006) meneliti hubungan kausalitas antara konsumsi energi akhir
dan ekonomi di Indonesia, dan perbedaan ataupun kesamaan hubungan kausalitas yang terjadi antar wilayah di Indonesia. Penulis menggunakan metode VAR dan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan kausalitas multivariat dua arah, yaitu
79 energi mempengaruhi ekonomi dan ekonomi mempengaruhi energi. Oleh sebab itu pemerintah harus berhati-hati dalam mengendalikan konsumsi energi melalui mekanisme harga atau pajak karena mempunyai dampak yang luas, biayanya besar, dan berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi. Mengendalikan konsumsi juga harus hati-hati karena dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi mengingat hubungan energi dan pertumbuhan ekonomi sedemikian kuat. Kondisi ini berbeda dengan negara maju, misalnya Jerman, yang pada umumnya mempunyai hubungan kausalitas antara kegiatan ekonomi dengan konsumsi energi. Di negara itu, agar konsumsi energi tidak berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi, maka harga energi dikendalikan melalui pajak energi. 2.5.2. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia Yanuarti (2004) melakukan penelitian sejauh mana peranan BBM dalam struktur biaya di tingkat produsen dan mengetahui dampak kenaikan harga BBM terhadap harga produksi dengan pendekatan input output. Berdasarkan kajian tersebut, kenaikan harga BBM sebesar 1 persen akan meningkatkan harga barang domestik sebesar 0.07 persen, dalam kondisi tidak ada subsidi BBM. Kenaikan harga barang domestik berasal dari dampak langsung sebesar 0.02 persen dan dampak tidak langsung sebesar 0.05 persen. Dampak langsung berasal dari kenaikan harga minyak mentah sebesar 0.01 persen dan harga BBM sebesar 0.007 persen, sementara dampak tidak langsung berasal dari kenaikan harga produk sektor pengguna minyak mentah dan BBM. Astana (2003) meneliti dampak kebijakan pengurangan subsidi BBM terhadap kinerja industri hasil hutan kayu dan kelestarian hutan. Metode yang digunakan adalah 3SLS dengan menggunakan data tahunan periode 1980-1996.
80 Diperoleh simpulan bahwa kebijakan pengurangan subsidi harga BBM sebesar 25 persen sampai 100 persen akan menurunkan penawaran kayu bulat dalam negeri, penawaran ekspor kayu bulat, penawaran ekspor kayu gergajian, dan penawaran ekspor kayu lapis. Selain itu dampak kebijakan pengurangan subsidi harga BBM memperkuat upaya pelestarian hutan berupa pengurangan penebangan kayu illegal, penurunan laju erosi, dan penurunan kerusakan tegakan tinggal. Selanjutnya dampak kebijakan pengurangan subsidi harga BBM menurunkan kesejahteraan pelaku ekonomi dan menurunkan penerimaan pemerintah, berupa pengurangan surplus produsen, pengurangan surplus konsumen, pengurangan penerimaan pajak ekspor, pengurangan pungutan kehutanan, dan pengurangan penerimaan pajak ekspor kayu. Kurtubi (1998) menganalisis permintaan BBM dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi serta dampak kebijakan harga BBM terhadap permintaan BBM. Metode analisis yang digunakan adalah CECM (Cointegration and Error Correction Modeling) yakni suatu teknik pemodelan ekonometrik yang banyak dipakai ahli di bidang ekonomi energi dan perminyakan. Menggunakan pendekatan kointegrasi, diperoleh estimasi elastisitas permintaan BBM terhadap harganya yaitu untuk jangka pendek sebesar -0.116 dan untuk jangka panjang sebesar -0.549. Estimasi elastisitas permintaan terhadap pendapatan untuk jangka pendek adalah 0.723 dan untuk jangka panjang adalah 1.351. Syafa’at (1996) melakukan penghitungan untuk merumuskan besaran subsidi optimal dan harga optimal, yang dapat memberikan manfaat maksimum baik kepada petani (produsen), konsumen, dan pihak lain yang berkepentingan dengan subsidi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode OLS (Ordinary
81 Least Square). Kesimpulan penelitian ini adalah: (1) tingkat subsidi optimal untuk padi adalah 47.74 persen dan untuk jagung adalah 21.73 persen. Harga optimal yang ditetapkan sebesar tingkat subsidi optimal akan memberikan manfaat maksimum bagi petani, konsumen, dan pihak lain. Untuk itu diharapkan agar harga dasar padi dan jagung ditetapkan sebesar subsidi optimalnya; dan (2) apabila elastisitas penawaran dan permintaan terhadap harga menurun 10 persen, maka subsidi optimal padi meningkat dari 47.74 persen menjadi 93.75 persen dan subsidi optimal jagung meningkat dari 21.73 persen menjadi 28.45 persen. Semakin besar subsidi optimal, maka semakin rendah harga optimal, dan semakin jauh jarak antara harga optimal dengan harga pasar. Dengan kata lain, semakin inelastik penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka perbedaan harga optimal dan harga pasar akan semakin besar. Soebiakto (1988) dalam disertasinya menganalisis dampak fluktuasi harga dunia minyak mentah terhadap ekonomi Indonesia tahun 1973-1986. Kenaikan harga dunia minyak mentah terjadi pada tahun 1973 dan 1979, sementara penurunan harga terjadi pada tahun 1986. Indonesia dikategorikan sebagai negara kecil karena hanya memiliki cadangan minyak mentah sebesar 1.4 persen dari cadangan minyak mentah dunia, sehingga menjadi negara price-taker dalam bisnis minyak mentah dunia. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa harga dunia minyak menyebabkan kondisi yang tidak pasti terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap penerimaan dari ekspor minyak mentah, yang juga sangat dipengaruhi oleh harga dunia minyak mentah dan nilai tukar rupiah. Penurunan harga dunia minyak mentah sebesar US$1 per barrel akan berdampak pada penurunan belanja pemerintah
82 sebesar US$32 juta, penambahan defisit neraca pembayaran sebesar US$10 juta, dan peningkatan hutang eksternal sebesar US$145 juta, demikian pula sebaliknya. Dalam kaitan dengan subsidi harga BBM, Soebiakto menyimpulkan bahwa peningkatan harga BBM domestik sebesar Rp. 1 per liter akan mengurangi konsumsi BBM dalam negeri sebesar 13 000 – 14 000 barrel, demikian pula sebaliknya. Untuk mengurangi konsumsi BBM dalam negeri penulis memberikan saran agar dilakukan pengurangan subsidi BBM secara bertahap yaitu paling sedikit sebesar 10 persen per tahun. Hartono dan Budy (2004) mengkaji dampak peningkatan harga energi terhadap distribusi pendapatan dan merumuskan kebijakan ekonomi yang tepat bagi kinerja perekonomian DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta serta upaya pengurangan dampak negatif yang muncul akibat peningkatan harga energi terutama terhadap kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Untuk menjawab tujuan penelitian digunakan CGE regional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan menaikkan harga BBM, Bahan Bakar Gas (BBG), dan Tarif Dasar Listrik (TDL) memberikan dampak negatif terhadap output dan nilai tambah sektoral terutama terhadap industri makanan, minuman dan tembakau, industri tekstil, kulit, kayu, dan barang dari kayu, dan sektor listrik, gas dan air minum. Hal itu pada gilirannya akan mengurangi pendapatan faktor produksi tenaga kerja, khususnya tenaga kerja informal, yang pada akhirnya pendapatan dari kelompok rumahtangga miskin dan rumah tangga sangat miskin berkurang relatif dibandingkan dengan kelompok lainnya. Diatin et al. (2003) meneliti pengaruh kenaikan harga solar terhadap usaha penangkapan nelayan di pelabuhan Ratu, Sukabumi. Metode yang digunakan
83 adalah analisis pendapatan usaha, rasio imbangan penerimaan dan biaya, net present value, net benefit cost ratio, dan internal rate of ratio. Kenaikan harga solar berdampak pada penurunan pendapatan usaha penangkapan yang dilakukan oleh unit usaha penangkapan dengan ukuran kapal 5-10 GT, 11-20 GT, dan 21-32 GT, yaitu masing-masing sebesar 55.28 persen, 48.64 persen, dan 25.01 persen. Namun dengan kenaikan harga solar ini, semua usaha penangkapan nelayan secara finansial masih layak untuk dilakukan pada tingkat suku bunga 20 persen. Unit usaha penangkapan yang paling peka terhadap perubahan harga solar adalah unit usaha penangkapan dengan ukuran kapal 5-10 GT. Simatupang dan Purwoto (1995) mengatakan bahwa usahatani dalam sektor pertanian yang diperkirakan sangat dipengaruhi oleh penyesuaian harga solar adalah usahatani padi. Tujuan penelitian adalah mengkaji dampak perubahan harga solar terhadap produksi dan laba usahatani padi. Menggunakan data tahunan periode 1986-1991 dan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression), terbukti bahwa perubahan harga solar sangat berpengaruh terhadap produksi dan usahatani padi. Secara nasional dampak kenaikan harga solar sebesar 26.67 persen pada bulan Januari 1993 diperkirakan akan menurunkan produksi dan laba usahatani padi masing-masing 6.07 persen dan 10.58 persen. Disimpulkan bahwa perubahan harga BBM sangat berpengaruh terhadap produksi dan laba usahatani padi, hal yang sama diperkirakan berlaku juga bagi komoditi pertanian lainnya. Oleh karena itu untuk mengurangi dampak terhadap petani padi, pada setiap kenaikan harga BBM harus diikuti oleh kenaikan harga dasar pertanian.
84 2.5.3. Kemiskinan Hartono (2006) dalam disertasinya membangun model Sistem Neraca Sosial Ekonomi Energi (SNSEE) Indonesia dan model Computable General Equilibrium (CGE). Tujuan penelitian diantaranya adalah menentukan dampak pengurangan subsidi BBM, BBG, dan Tarif Dasar Listrik terhadap pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan antar berbagai kelompok rumahtangga. Temuan disertasi ini, bahwa pengurangan subsidi BBM, BBG, dan TDL akan berdampak pada peningkatan PDB, distribusi pendapatan semakin merata, dan penurunan indeks Gini. Dampak terhadap PDB dan distribusi pendapatan beragam bergantung pada apakah pengurangan subsidi: (1) tidak diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan energi, (2) diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan energi kelompok industri, dan (3) diikuti oleh peningkatan efisiensi penggunaan energi kelompok industri dan rumahtangga. Hartono (2006) menyampaikan pula bahwa pemerintah perlu memikirkan strategi-strategi dalam melakukan pengurangan subsidi, yaitu: (1) memberikan informasi mengenai cara peningkatan efisiensi penggunaan energi, (2) memberikan insentif pada industri dan masyarakat untuk melakukan peningkatan efisiensi penggunaan energi, dan (3) mengurangi subsidi secara bertahap guna memberikan kesempatan kepada kelompok industri untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Selain itu pemerintah perlu mengembangkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) guna mengurangi beban kelompok rumahtangga miskin akibat pengurangan subsidi. Apabila BLT tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka pemerintah perlu mengembangkan program alternatif penyaluran dana kompensasi selain BLT.
85 Hasan, Sugema, dan Ritonga (2005) menganalisis dampak kenaikan harga BBM terhadap kemiskinan dengan menggunakan data Susenas 2004. Pendekatan yang dilakukan adalah kenaikan harga BBM menyebabkan meningkatnya inflasi sehingga pendapatan riil masyarakat menurun. Penurunan pendapatan rril masyarakat, jika terjadi pada keluarga yang berpenghasilan di sekitar dan pada garis kemiskinan, akan menyebabkan mereka jatuh dalam kemiskinan. Namun dengan adanya transfer dana kompensasi BBM,
diharapkan penghasilannya
terkompensasi dan bahkan bisa terangkat keatas dari batas kemiskinan. Dengan asumsi inflasi sebesar 12.5 persen dan elastisitas harga terhadap garis kemiskinan sebesar 1.3, maka pada tahun 2005 garis kemiskinan nasional, perkotaan, dan perdesaan masing-masing sebesar Rp. 143 000, Rp. 166 393, dan Rp. 126 393. Sebagai dampak kenaikan harga BBM, penduduk miskin pada tahun 2005 meningkat menjadi 18.61 persen atau 40.4 juta orang, suatu peningkatan sebesar 1.95 persen dibandingkan tahun 2004. Selanjutnya paper tersebut menjelaskan mengenai efektivitas programprogram kompensasi BBM. Pertama adalah program beras miskin (raskin) yang menurut data susenas 2004 penerima raskin yang tergolong sebagai keluarga miskin hanya sekitar 25.9 persen. Kedua adalah program beasiswa dimana hanya 38.0 persen penerima beasiswa adalah yang berasal dari golongan keluarga miskin. Ketiga adalah program kartu sehat yang ditujukan untuk melindungi keluarga pra-sejahtera dari resiko pengeluaran kesehatan yang terlalu besar. Dari seluruh pemegang kartu sehat hanya 26.5 persen yang berasal dari keluarga miskin. Keempat adalah program dana bergulir yang menuntut kemampuan berwirausaha bagi penerima dana bergulir. Dari seluruh penerima dana bergulir,
86 hanya 9.9 persen yang termasuk golongan keluarga miskin. Disimpulkan bahwa kenaikan harga BBM yang diikuti program kompensasi BBM tidak akan mengakibatkan penurunan tingkat kemiskinan, karena majoritas penerima manfaat program kompensasi bukan golongan keluarga miskin. Kajian mengenai dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian di Indonesia dilakukan oleh Oktaviani dan Sahara (2005a). Kedua penulis menggunakan CGE (Computable General Equilibrium) recursive dynamic yang disebut Model Kemiskinan Indonesia (MKI). Secara teoritis kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi menggeser kurva biaya marjinal dan kurva penawaran ke kiri atas, cateris paribus, sehingga output menurun dan harga output meningkat. Berdasarkan hasil simulasi jangka pendek dan jangka panjang, kenaikan harga BBM berdampak negatif terhadap semua output sektor pertanian dan agroindustri. Meskipun kenaikan harga BBM diikuti dengan penyaluran dana kompensasi BBM, namun tetap berdampak negatif terhadap semua output di sektor pertanian dan agroindustri. Penurunan penyerapan tenaga kerja tetap terjadi meskipun kenaikan harga BBM telah diikuti dengan program kompensasi. Kenaikan harga BBM, baik diikuti oleh program kompensasi maupun tidak, berdampak negatif terhadap upah tenaga kerja tidak terdidik. Hal yang sama terjadi pada tingkat pengembalian lahan atau sewa lahan (return to land). Tingkat pengembalian lahan merupakan salah satu sumber pendapatan rumahtangga di sektor pertanian. Turunnya upah nominal tenaga kerja tidak terdidik dan penurunan tingkat pengembalian lahan, akan menyebabkan semakin berkurangnya pendapatan dan daya beli rumahtangga pertanian. Kenaikan harga BBM dan
87 penyaluran dana kompensasi yang pada awalnya diharapkan dapat memperbaiki kondisi keluarga miskin, ternyata berdampak sebaliknya. Peningkatan harga BBM menyebabkan kondisi rumahtangga pertanian menjadi tidak lebih baik. De Janvry dan Sadoulet (2000) melakukan penelitian tentang kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di 12 negara Amerika Latin. Kedua penulis menemukan bahwa peningkatan pendapatan nasional mengurangi tingkat kemiskinan tetapi tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan. Diketahui pula bahwa peningkatan pendapatan lebih berpengaruh dalam penurunan angka kemiskinan di perkotaan apabila tingkat ketimpangan pendapatan dan kemiskinan cukup rendah dan masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan menengah. Pertumbuhan ekonomi berdampak positif terhadap pengurangan kemiskinan namun berdampak negatif terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan, sementara resesi ekonomi memberikan dampak negatif baik pada kemiskinan maupun ketimpangan pendapatan. Penulis menemukan bahwa jika ketimpangan pendapatan di suatu negara cukup besar, maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat mengurangi angka kemiskinan. Jika pertumbuhan ekonomi hendak dijadikan alat untuk mengurangi tingkat kemiskinan, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan. Decaluwe et al. (1998) menganalisis dampak guncangan perdagangan dan reformasi tarif terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan rumahtangga di beberapa negara berkembang dengan menggunakan model CGE. Simulasi penurunan harga ekspor tanaman pangan dan penurunan tarif impor menyebabkan penurunan pendapatan rumahtangga dan sekaligus penurunan garis batas ambang kemiskinan. Simulasi penurunan harga ekspor tanaman pangan mengakibatkan
88 pengurangan produksi domestik untuk diekspor, yang diikuti oleh pengalihan sumberdaya ke sektor lain yang harga ekspornya masih cukup tinggi. Namun karena tidak semua bisa dialihkan, maka secara total terjadi penurunan GDP nasional, penurunan biaya sewa lahan pertanian, penurunan upah tenaga kerja, dan dengan demikian berkurangnya pendapatan rumahtangga. Karena garis batas ambang tingkat kemiskinan merupakan variabel endogen, maka hal ini berdampak pada penurunan garis batas ambang tingkat kemiskinan. Namun pengurangan pendapatan rumahtangga lebih kecil dibandingkan dengan penurunan batas ambang tingkat kemiskinan. Akhirnya penurunan harga dunia ekspor berdampak pada penurunan pendapatan rumahtangga, penurunan garis batas ambang tingkat kemiskinan yang relatif kecil sehingga secara total terjadi penurunan jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan. Nanga (2006) mengkaji dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan persamaan simultan dan metode 2SLS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa transfer fiskal dalam berbagai bentuk seperti bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, dan dana alokasi umum, memiliki dampak yang cenderung memperburuk kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi karena
kenaikan
transfer
fiskal
cenderung
mengakibatkan
peningkatan
ketimpangan pendapatan, sementara kemiskinan memiliki hubungan yang positif dan elastis terhadap perubahan dalam ketimpangan pendapatan. Selain itu ditemukan bahwa peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) dapat menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, yang pada gilirannya dapat mengurangi jumlah pengangguran di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena penyerapan tenaga kerja di Indonesia
89 memiliki hubungan yang positif dan responsif (elastis) dengan perubahan PDRB. Keefektifan pertumbuhan ekonomi (peningkatan pendapatan per kapita) dalam mengurangi kemiskinan, ternyata sangat dipengaruhi oleh derajat ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Ketika pendapatan per kapita meningkat, maka meningkat pula derajat ketimpangan pendapatan. Oleh karena efek ketimpangan pendapatan dalam meningkatkan kemiskinan jauh lebih kuat dibandingkan dengan efek pengeluaran per kapita dalam menurunkan kemiskinan, maka sebagai dampak bersihnya kemiskinan akan semakin memburuk. Yudhoyono (2004) menganalisis kebijakan fiskal dan pembangunan pertanian
perdesaan
terhadap
pengangguran
dan
kemiskinan
dengan
menggunakan metode ekonometrik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa tingkat pengangguran secara nyata dipengaruhi oleh kebijakan fiskal dan desentralisasi. Kebijakan fiskal yang berupa pengeluaran
pemerintah untuk
prasarana memberi pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran di Indonesia. Sebaliknya, setelah adanya desentralisasi atau otonomi daerah, keadaan penyerapan tenaga kerja semakin memburuk. Angka kemiskinan dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat upah. Pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh positif bagi upaya-upaya pengurangan angka kemiskinan. Peningkatan pengeluaran pemerintah untuk prasarana secara nyata menurunkan angka kemiskinan di perkotaan, dan pengeluaran pemerintah untuk pertanian secara nyata menurunkan angka kemiskinan di perdesaan. Pertumbuhan ekonomi memiliki dampak positif bagi pengurangan angka kemiskinan, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Di perdesaan, semakin tinggi upah di sektor pertanian, maka semakin berkurang tingkat kemiskinan. Hal ini sesuai dengan
90 kondisi petani yang pada umumnya berlahan sempit ataupun berstatus sebagai buruh tani. Sebaliknya, di perkotaan, tingginya tingkat upah tidak berpengaruh secara nyata terhadap pengurangan angka kemiskinan. Booth (2000) mengkaji kemiskinan dan pemerataan pendapatan pada era kepemimpinan Presiden Soeharto. Hasil penelitian menjelaskan bahwa nilai head count ratio Indonesia masih di atas Malaysia dan Thailand, namun di bawah Philippines pada akhir tahun 1980-an. Pernyataan Booth memperkuat alasan bahwa pembangunan pertanian dan perdesaan menjadi hal penting untuk mengurangi masalah kemiskinan di Indonesia dengan catatan program-progran pembangunan lebih diarahkan tidak hanya untuk pengembangan tanaman pangan tetapi juga kebutuhan spesifik bagi penduduk miskin. Sutomo (1995) meneliti kemiskinan rumahtangga dan pembangunan ekonomi wilayah dengan menggunakan pendekatan SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi) sebagai kerangka analisis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan rumahtangga, proses pemiskinan rumahtangga dan hubungannya dengan pembangunan wilayah. Analisis deskripsi untuk menjawab aspek-aspek kemiskinan, sedangkan analisis pengganda neraca diaplikasikan untuk menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perubahan distribusi pendapatan rumahtangga. Analisis kontribusi faktor-faktor produksi digunakan untuk melengkapi kedua analisis tersebut. Sitepu (2007) dalam disertasinya menganalisis dampak investasi sumberdaya manusia dan transfer pendapatan rumahtangga terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia, dengan menggunakan model ekonometrik dan model CGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi
91 sumberdaya manusia dan transfer pendapatan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan rumahtangga yang diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan rumahtangga. Disimpulkan bahwa investasi sumberdaya manusia lebih efektif menurunkan ketimpangan pendapatan dan kemiskinan dibandingkan dengan
transfer
pendapatan
kepada
kelompok
rumahtangga
perdesaan.
Disimpulkan bahwa untuk menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan diperlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi sumberdaya manusia dan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan dan kesehatan bagi kelompok rumahtangga miskin. Ringkasan studi-studi terdahulu dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. No.
Studi Terdahulu mengenai Pasar Minyak Mentah, Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia, dan Kemiskinan
Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi
Pasar dunia minyak mentah dan gas bumi Pasar dunia minyak mentah
Menganalisis permintaan, penawaran, dan dampak dari kebijakan moneter terhadap harga minyak mentah. Menggunakan ekonometrik, permintaan minyak mentah dipengaruhi oleh domestik, harga riil minyak mentah, dan teknologi. Menganalisis dampak dari berita dunia, harga dunia minyak mentah, dan pasar global terhadap pasar keuangan di Rusia. Menganalisisi dampak dari harga dunia minyak mentah terhadap perekonomian Taiwan. Menggunakan pergerakan Brownian untuk menganalisis dan meramalkan harga dunia minyak mentah. Kaitan antara pergerakan harga bensin dan harga dunia minyak mentah ketika terjadi Perang Teluk Tahun 1991.
A. Pasar Minyak Mentah 1.
Krichene (2005)
2.
Dees, (2003)
3.
Hayo dan Kutan (2002)
Pasar dunia minyak mentah
4.
Yunchang (1996)
5.
Miller dan Zhang (1996)
6.
Borenstein, et.al. (1997)
Harga energi dan perekonomian nasional Pergerakan harga dunia minyak mentah Harga bensin dan harga dunia minyak mentah
7.
Raymond dan Rich (1997)
Pasar dunia minyak mentah dan siklus bisnis
8.
Pangestu (1986)
Perekonomian Indonesia tahun 1980an
et.al.
Menganalisis keterkaitan antara pergerakan harga dunia minyak mentah dengan siklus bisnis perekonomian Amerika Serikat, menggunakan Markov Switching Model. Meneliti apakah terjadi gejala dutch disease pada perekonomian Indonesia setelah terjadi kenaikan harga dunia minyak mentah Tahun 1973.
92 Tabel 13. No.
Lanjutan Studi Empiris
Topik
Kekhususan Studi Analisis deskriptif mengenai pasar bahan bakar minyak di Indonesia, kapan Indonesia akan menjadi negara netimporter. Menganalisis dampak dari harga dunia minyak terhadap output dan inflasi domestik serta kaitannya dengan rejim nilai tukar rupiah. Menggunakan metode VAR mengkaitkan hubungan antara konsumsi energi akhir dengan perekonomian Indonesia.
9.
Prawiraatmadja (1997)
Pasar bahan bakar minyak di Indonesia
10
Husman (2007)
Perekonomian Indonesia tahun 1990-2006
11.
Afiatno (2006)
Hubungan antara konsumsi energi akhir di Indonesia
B. Subsidi Bahan Bakar Minyak di Indonesia 12.
Yanuarti (2004)
13.
Astana (2003)
14.
Kurtubi (1998)
15.
Syafa’at (1996)
16.
Soebiakto (1988)
17.
Hartono dan Budy (2004)
18.
Diatin, (2003)
19.
Simatupang dan Purwoto (1995)
et.al.
C. Kemiskinan 20. Hartono (2006)
Peranan bahan bakar minyak dalam produksi Peranan bahan bakar minyak dalam industri hutan hasil kayu Pasar bahan bakar minyak di Indonesia Penghitungan besaran subsidi optimal Harga dunia minyak mentah dan perekonomian Indonesia Kebijakan harga energi dan distrib. Pendapatan Kebijakan harga energi dan kegiatan nelayan Kebijakan harga energi dan sektor pertanian Kebijakan energi
harga
21.
Hasan, Sugema, Ritonga (2005)
Kebijakan harga energi dan kemiskinan
22.
Oktaviani dan Sahara (2005a)
Kebijakan harga energi dan rumahtangga pertanian
Menganalisis sumbangan harga bahan bakar minyak dalam biaya produksi di Indonesia. Menganalisis peranan subsidi bahan bakar minyak terhadap kinerja industri hutan hasil kayu dan ekspornya. Menganalisis permintaan bahan bakar minyak dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Melakukan analisis untuk menghitung besaran subsidi optimal yang dapat memberikan manfaat pada produsen, konsumen, dan pihak lain. Menganalisis dampak dari kenaikan harga dunia minyak mentah terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1973-1986. Mengkaji dampak dari kenaikan harga energi terhadap distribusi pendapatan di DKI Jakarta. Mengkaji dampak dari kenaikan harga minyak solar terhadap kegiatan penangkapan ikan di Sukabumi. Menganalisis dampak dari kenaikan harga minyak solar terhadap kegiatan di sektor pertanian. Menggunakan CGE, menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan gas terhadap kinerja perekonomian nasional. Menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap kemiskinan di Indonesia, menggunakan data Susenas 2004. Menganalisis dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap sektor pertanian, agroindustri, dan rumahtangga pertanian.
93 Tabel 13. No. 23.
Lanjutan Studi Empiris De Janvry dan Sadoulet (2000)
Topik Kemiskinan di Amerika Latin
24.
Decaluwe, at.al. (1998)
Kebijakan perdagangan dan kemiskinan
25.
Nanga, Muana (2006)
26.
Yudhoyono (2004)
Kebijakan fiskal dan kemiskinan di Indonesia Kebijakan fiskal dan kemiskinan
27.
Booth (2000)
Kemiskinan Indonesia
28.
Sutomo (1995)
29.
Sitepu (2007)
Kebijakan pemb. regional dan kemiskinan Kebijakan fiskal dan kemiskinan
dan
Kekhususan Studi Mengalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di negara-negara Amerika Latin. Menganalisis dampak dari guncangan perdagangan dan reformasi tarif terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di negara berkembang. Mengkaji dampak dari transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia dengan metode ekonometrik. Menganalisis dampak dari kebijakan fiskal dan pembangunan pertanian perdesaan terhadap pengangguran dan kemiskinan di Indonesia. Mengkaji karakteristik kemiskinan dan pemerataan pendapatan di Indonesia pada era Presiden Suharto. Menggunakan SNSE, mengkaji dampak dari pembangunan wilayah terhadap kemiskinan di Indonesia. Menggunakan CGE, mengkaji dampak dari kebijakan transfer fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.
Dari berbagai penelitian tentang subsidi harga BBM yang telah dilakukan, masih terdapat celah yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Para peneliti sebelumnya belum membahas dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan, dan kesejahteraan di Indonesia menggunakan metode persamaan simultan. Sumbangan berikutnya yang ditawarkan oleh penelitian ini adalah dampak peramalan dari: (1) kebijakan program konversi minyak tanah ke elpiji, (2) kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, (3) pengaruh kenaikan harga dunia minyak mentah. (4) kenaikan penerimaan dalam negeri pemerintah, dan (5) realokasi anggaran yang berasal dari kebijakan pengurangan subsidi harga BBM.