Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
POLICY PAPER No. 13 JANUARI 2013
SUBSIDI ENERGI DAN BBM PENGARUHNYA TERHADAP INDUSTRI
Daftar Isi Team
○
○
○
○
○
○
○
i
Pendahuluan
○
○
○
○
○
○
○
1
Subsidi dan Konsumsi Energi
○
○
○
○
○
○
○
1
Subsidi Energi dan BBM Pengaruhnya Terhadap Industri
○
○
○
○
○
○
○
8
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Daftar Pustaka
11 12
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Team
Penulis : Rasidin Sitepu
Steering Commitee 1. Hariyadi B. Sukamdani 2. Emirsyah Satar 3. Maxi Gunawan 4. Rahardjo Jamtomo Active Team 1. Didik J. Rachbini - Executive Director 2. Tulus Tambunan - Senior Economist and Project Team Leader 3. Rasidin Sitepu - Junior Economist 4. M. Hakim - Legal Councel 5. Yohanna M.L Gultom - Social Scientist 6. Aslim Nurhasan - PR Professional/Expert
Tulisan ini merupakan hasil pemikiran Tim Advokasi Program ACTIVE. Pertanyaan yang berkaitan dengan tulisan ini dapat diajukan kepada Tim ACTIVE Kadin Indonesia di
[email protected]
i
Bahan Bakar Minyak (BBM) telah menajdi suatu issue besar dan menarik perhatian besar pemerintah dan masyarakat. Setiap tahun pemerintah pusat mengeluarkan anggaran untuk subsidi BBM, malah yang paling menarik belanja pemerintah pusat untuk subsidi BBM telah melampuai belanja pegawai. Realisasi belanja pegawai pemerintah pusat pada Tahun 2012 sebesar Rp 212.3 triliun sedangkan belanja subsidi BBM mencapai sebesarRp.245.1 triliun. Jumlah subsidi BBM yang dianggarkan dalam APBN, selain cenderung meningkat, juga cukup besar dibandingkan komponen pengeluaran APBN yang lain, sehingga menjadi beban yang cukup besar APBN dan ruang gerak APBN juga menjadi relative kecil dalam proses pengembangan infrasturktur fisik. Mengurangi subsidi BBM memang merupakan salah satu solusi yang yang perlu dipikirikan, terutama pada awal RPJM Nasional (awal pemerintah baru) tahun 2014-2019, karena pada tahun 2013 dan 2014 relatif rumit menghapus subsidi BBM karena kemungkinan tidak ada satu partai politik yang hilang popularitasnya dari mata masyarakat ketika menjelang pemilu tahun 2014. Mengingat pentingnya peran BBM dalam kehidupan masyarakat maka pemerintah melakukan campur tangan dalam penentuan harga dan sekaligus menjamin ketersediaannya di pasar domestik. Kebijakan pemerintah tersebut dilakukan dengan cara memberikan subsidi harga untuk menekan harga BBM agar terjangkau oleh masyarakat luas dan sekaligus menjaga stabilitas harga. Namun kebijakan pemerintah tersebut implementasinya tidak seperti yang diharapkan bahkan menimbulkan permasalahan dalam perekonomianseperti (1) salah sasaran
Programme
1.1. Latar Belakang dan Permasalahan
pemberian subsidi, (2).Inefisiensi penggunaan BBM, (3) beban anggaran pemerintah, (4) Perbedaan yang cukup besar antara harga BBM domestik dan harga BBM internasional mendorong terjadinya penyelundupan BBM.Selain itu, perbedaan harga yang menyolok antar produk BBM juga memberikan peluang untuk mengoplos minyak tanah dengan solar atau bensin.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
I. Pendahuluan
1.2. Tujuan Tulisan ini memberikan gambaran dasar mengenai subsidi BBM yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia, dan kaitan subsidi BBM terhadap perkembangan Industri di Indonesia. Selain selain menilai pelaksanaan subsidi BBM di Indonesia, tulisan ini juga bertujuan mengetahui dampak perubahan harga BBM terhadap industri di Indonesia.
II. Subsidi dan Konsumsi Energi 2.1. Defisini dan Pengertian Subsidi BBM (bahan bakar minyak): adalah jenis bahan bakar (fuel) yang dihasilkan dari pengilangan (refining) minyak mentah (crude oil). Minyak mentah dari perut bumi diolah dalam pengilangan (refinery) terlebih dulu untuk menghasilkan produk-produk minyak (oil products), yang termasuk di dalamnya adalah BBM. Selain menghasilkan BBM, pengilangan minyak mentah menghasilkan berbagai produk lain terdiri dari gas, hingga ke produk-produk seperti naphta, light sulfur wax residue (LSWR) dan aspal. BBM seperti didefinisikan oleh pemerintah Indonesia untuk keperluan pengaturan harga dan subsidi sekarang meliputi: (i) bensin (premium gasoline), (ii) solar (IDO & ADO: industrial diesel oil & automotive diesel oil), (iii) minyak bakar (FO: fuel oil) serta (iv) minyak tanah (kerosene).
1
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Definisi ini merupakan perkembangan dari periode sebelumnya yang masih mencantumkan avgas (aviation gasoline) dan avtur (aviation turbo gasoline, yaitu jenis-jenis bahan bakar yang dipergunakan untuk mesin pesawat terbang, dalam kategori sebagai BBM. Subsidi BBM, sebagaimana dapat dipahami dari naskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahunnya, adalah “pembayaran yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada PERTAMINA (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh Pertamina dari tugas menyediakan BBM di Tanah Air adalah lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkannya untuk menyediakan BBM tersebut”. Dalam hal ia bernilai positif, seperti dulu sering dialami, angka itu disebut Laba Bersih Minyak. Definisi mengenai “subsidi BBM” yang dikembangkan oleh pemerintah tersebut telah diturunkan ke dalam perhitungan akuntansi yang angka-angkanya kemudian menjadi dasar bagi program pemerintah untuk “menghapuskan subsidi BBM”, termasuk perancangan program-program pengurangan dampak kenaikan harga BBM. Harga BBM di Indonesia adalah harga yang diatur oleh pemerintah dan berlaku sama di seluruh wilayah Indonesia. Pada dasarnya, pemerintah bersama DPR menetapkan harga BBM setelah memperhatikan biaya-biaya pokok penyediaan BBM yang diberikan Pertamina serta tingkat kemampuan (willingness to pay) masyarakat. Belakangan, dalam upaya menyesuaikan harga BBM di dalam negeri dengan perkembangan harga BBM internasional, dikeluarkan Keputusan Presiden yang memungkinkan PERTAMINA untuk secara berkala menyesuaikanharga BBM sesuai perkembangan MOPS (middle oil platts, singapore). Namun, mekanisme penyesuaian harga otomatis tersebut tidak terus dapat dipertahankan.
2
Harga BBM yang diberlakukan sekarang adalah: premium gasoline Rp. 4.500/liter, solar Rp. 4.500/liter, dan minyak tanah Rp. 2500/ liter. Subsidi BBM diberikan oleh pemerintah kepada Pertamina sebagai konsekuensi dari penetapan harga BBM yang dilakukan oleh pemerintah. Pekerjaan Pertamina “melaksanakan tugas penyediaan dan pelayanan Bahan Bakar Minyak untuk keperluan dalam negeri” diperintahkan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina sebagai tugas pelayanan masyarakat (public service obligation). Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi No 22 Tahun 2001 menegaskan bahwa penugasan khusus kepada Pertamina untuk menyediakan BBM di dalam negeri akan diakhiri pada (bulan November) 2005, namun bagaimana menggantikan peran Pertamina dalam hal ini nampaknya belum disiapkan dengan baik.Sehingga sampai sekarang masih di bawah naungan Pertamina.
2.2. Konsumsi Energi di Indonesia Sektor industri masih mendominasi konsumsi energi, dengan pemakaian sebesar 329,7 juta SBM (setara barrel minyak) atau 49,86% dari total konsumsi energi nasional. Di tempat kedua, sektor transportasi menyumbang konsumsi sebesar 226,6 juta SBM (32.26%). Sementara rumah tangga dan bangunan komersial masing masing menggunakan 81,5 juta SBM (10,31%) dan 29,1 juta SBM (3,62%) (Gambar 1). Saat ini terdapat sekitar 10 perusahaan yang menggunakan energi terbesar di Indonesia, adalah (1) PT Krakatau Steel (besi baja), (2) PT Panca Citra Wira Brothers (tekstil), (3) PT Semen Gresik (semen), (4) PT GT Petrochem Industri (kimia), (5) PT Mulya Keramik Indah Raya (keramik), (6) PT Petrokimia Gresik (kimia), (7) PT Semen
Sumber: Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2011
Padang (semen), (8) PT Colorindo Aneka Chemicals (kimia), (9) PT Golden Island Texstile Ind (tekstil), dan (10) PT Sugih Brothers (tekstil). Konsumsi energi juga di sector Industri terlihat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sehingga menjadi suatu signal bagi pemerintah untuk menyediakan pasokan yang cukup bagi industry di Indonesia. Trend peningkatan permintaan energy dari industry dari tahun ke tahun merupakan suatu tantangan dalam penyediaan pasokan energi untuk sektor industri di Indonesia, dalam rangka untuk mendukung industry yang beroreantasi ekspor. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa salah satu cara yang tepat adalah menghentikan ekspor bahah baku seperti batu bara dan gas. Cina sukses menjadi negara industri yang berorientasi ekspor, karena berhasil membenahi masalah energinya, sehingga ekspor Cina meningkat seiring dengan peningkatan daya saing industry mereka.
2.3. Subsidi Energi dan BBM di Indonesia Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang disalurkan melalui perusahaan/lembaga yangmenyediakan dan mendistribusikan bahan
bakar minyak jenis tertentu (bahan bakar minyakdan bahan bakar nabati), liquefied petroleum gas (LPG) tabung 3 kilogram, dan liquefiedgas for vehicle (LGV) serta tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat. Angka subsidi BBM menunjukkan perkembangan yang mengkhawatirkan, fluktuasi harga minyak akan mengikuti harga harga minyak mentah dunia. Pemerintah Indonesia sesungguhnya baru mengeluarkan subsidi BBM yang sangat besar sejak terjadinya sejak krisis moneter/ekonomi 1998. Lonjakan perubahan kurs Rp./US$ sekitar tiga kali lipat menjadi faktor utama yang menyebabkan meningkatnya angka subsidi tersebut, karena penjualan BBM di dalam negeri menggunakan Rupiah dan harganya tidak segera disesuaikan, sedangkan sebagian komponen penyediaan BBM adalah mata uang US$. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya peningkatan subsidi BBM adalah karena meningkatnya konsumsi BBM di Tanah Air. Peningkatan kebutuhan akan BBM tersebut selanjutnya meningkatkan: (i) impor minyak mentah, dan (ii) impor produk BBM.
3
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 1. Konsumsi Energi Final Berdasarkan Sektor Tahun 2006-2010 (BOE)
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Peningkatan impor baik untuk minyak mentah maupun produk BBM tersebut mengakibatkan peningkatan biaya penyediaan BBM. Di sisi lain, meskipun harga jual BBM telah dinaikkan secara berangsur, namun besar kenaikan tersebut belum cukup untuk mengejar besaran biaya penyediaan BBM yang juga meningkat. Dengan demikian, subsidi BBM yang diberikan pemerintah cenderung meningkat. Realisasi anggaran belanja subsidi energi, dalam
rentang waktu 2007–2012 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp85,5 triliun atau tumbuh rata-rata 11,6 persen per tahun,yaitu dari Rp116,9 triliun (3,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakanmencapai Rp202,4 triliun (2,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2012.Pada APBN 2013 subsidi energy diperkirakan mencapai 274.74 Triliun dimana komposisi subsidi BBM sebesar Rp. 193.81 Triliun dan Subsidi Listrik sebesar Rp. 80.94 triliun (Gambar 2).
Gambar 2 Perkembangan Subsidi Energi Periode Tahun 2007 – 2013 (Rp Triliun)
Sumber: LKPP dan APBN, 2013
Peningkatan realisasi anggaran subsidi energi yang cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (1) perubahan parameter subsidi energi, diantaranyaICP, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, volume konsumsi BBM bersubsidi,bauran energi dalam produksi tenaga listrik dan penjualan tenaga listrik; serta (2) kebijakanpenetapan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan tarif tenaga listrik.Selanjutnya subsidi BBM, LPG tabung 3 kg dan LGV diberikan dalam rangka mengendalikanharga jual BBM bersubsidi, sebagai salah satu kebutuhan dasar
4
masyarakat, sehingga dapatterjangkau oleh daya beli masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah. Hal ini disebabkan harga pasar (keekonomian) BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal, antara lain harga minyak mentah di pasar dunia,dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada saat ini, subsidi BBM hanyadiberikan pada beberapa jenis BBM tertentu (minyak tanah/kerosene, minyak solar/gas oil,dan premium).
Perkiraan realisasi tahun 2012, subsidi BBM, LPG tabung3 kg dan LGV diperkirakan mencapai Rp216,8 triliun. Perkembangan realisasi anggaranbelanja subsidi dalam kurun waktu tersebut antara lain berkaitan dengan perkembanganharga minyak mentah Indonesia
Programme
(ICP), yang dalam periode 2007-2012 mengalami kenaikansebesar USD32,7 per barel (50,7 persen), yaitu dari sebesar USD72,3 per barel pada tahun2007 menjadi USD105,0 per barel pada tahun 2012. Selain itu, peningkatan belanja subsidiBBM tersebut juga dipengaruhi oleh perkembangan volume konsumsi BBM bersubsidi.Dalam tahun 2012, realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan mencapai 40,0juta kiloliter, atau naik sebesar 1,3 juta kiloliter bila dibandingkan dengan realisasi volume konsumsi BBM bersubsidi dalam tahun 2007, yang mencapai 38,7 juta kiloliter. Peningkatanvolume konsumsi BBM tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah kendaraanbermotor.
Gambar 3. Perkembangan Subsidi Energi (Rp Triliun) dan Harga ICP (US$) Periode Tahun 2007 – 2013
Dengan kecenderungan semakin meningkatnya beban subsidi BBM dari tahun ke tahun,maka perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian, agar beban subsidi BBM tersebuttidak memberatkan APBN. Untuk itu, dalam periode 2007-2012, Pemerintah telahmelakukan beberapa langkah kebijakan,
antara lain: (1) mengalihkan pemakaian minyaktanah bersubsidi ke gas (LPG) tabung 3 kg secara bertahap mulai tahun 2007;(2) meningkatkan pemanfaatan energi alternatif dan diversifikasi energi; (3) melakukan pembatasan kategori pengguna BBM bersubsidi serta pembatasan volume; dan(4)
5
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Subsidi juga diberikan untuk LPG tabung 3 kgdan LGV dalam rangka mendorong pemanfaatan energi non BBM.Dalam rentang waktu 2007–2012, realisasi anggaran subsidi BBM, dan LPG tabung 3 kgsecara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp53,6 triliun atau tumbuh rata-rata 10,4persen per tahun, dari sebesar Rp83,8 triliun (2,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2007,dan diperkirakan mencapai Rp137,4 triliun (1,6 persen terhadap PDB) pada tahun 2012.
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
mengendalikan penggunaan BBM bersubsidi melalui sistem distribusi tertutup secarabertahap dan penyempurnaan regulasi. Selain berbagai kebijakan diatas, kebijakan lain yangsudah dilakukan Pemerintah dalam rangka mengendalikan beban subsidi BBM adalahmelalui penyesuaian harga jual eceran BBM bersubsidi.Perkembangan Harga subsidi sebelumnya ditampilkan pada Tabel 1.
bulan Mei 2008, awal Desember 2008, pertengahanDesember 2008, dan Januari 2009. Pada bulan Mei 2008, rata-rata harga BBM bersubsididinaikkan sebesar 28,7 persen, sebagai akibat dari meningkatnya ICP yang pada periodeJan-Mei 2008 rata-rata mencapai USD104,8 per barel, lebih tinggi USD44,8 per bareldibandingkan dengan asumsi dalam APBN 2008 sebesar USD60,0 per barel.
Penyesuaian harga jual eceran BBM bersubsidi merupakan langkah terakhir yang akandilakukan Pemerintah, apabila beban subsidi BBM dipandang sudah memberatkan APBNsehingga mengganggu sustainabilitas fiskal dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
Sementara itu,sejalan dengan penurunan ICP, hingga mencapai USD38,5 per barel, maka dalam rentangperiode bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Januari 2009, dilakukan penurunanharga BBM bersubsidi hingga tiga kali, yaitu masing-masing 8,3 persen pada awal Desember2008, sebesar 10,9 persen pada pertengahan bulan Desember 2008, serta sebesar 8,1 persenpada bulan Januari 2009 (Tabel 1).
Dalam kurun waktu 2007-2012, pemerintah telah melakukan penyesuaian harga BBM sebanyak 4 (empat) kali, yaitu pada
Tabel 1. Perkembangan Harga Subsidi Periode 2008-2013. Perkembangan Harga 1 Jan 2006 - 23 Mei 2008
Premium (Rp/Liter)
Solar (Rp/Liter)
Minyak Tanah (Rp/Liter)
4500
4300
2000
24 Mei - 30 Nov 2008
6000
5500
2500
1 Des - 14 Des 2008
5500
5500
2500
15 Des 2008 - 14 Jan 2009 15 Jan 2009 –April 2013
5000 4500
4800 4500
2500 2500
Sumber Kementeriaan ESDM
Selanjutnya, anggaran subsidi listrik diberikan dengan tujuan agar harga jual listrik dapatterjangkau oleh pelanggan dengan golongan tarif tertentu.Subsidi listrik dialokasikan karenarata-rata harga jual tenaga listrik (HJTL) lebih rendah dari biaya pokok penyediaan(BPP) tenaga listrik pada golongan tarif tersebut.Anggaran subsidi listrik juga dialokasikanuntuk mendukung ketersediaan listrik bagi industri, komersial, dan pelayanan masyarakat. Selain itu, pemberian subsidi listrik diharapkan dapat menjamin program investasi
6
dan rehabilitasi sarana/prasarana dalam penyediaan tenaga listrik. Sementara itu, dalam rangkamengurangi beban subsidi listrik yang terus meningkat, Pemerintah dan PT PLN (Persero)berupaya menurunkan BPP tenaga listrik, antara lain melalui: (1) program penurunan susutjaringan (losses); dan (2) program diversifikasi energi primer di pembangkit listrik denganmelakukan optimalisasi penggunaan gas, panas bumi, batubara, biodiesel, dan penggantianhigh speed diesel (HSD) menjadi marine fuel oil (MFO), peningkatan penggunaan batubara,
Dalam rentang waktu 2007-2012, realisasi belanja subsidi listrik secara nominal mengalamipeningkatan sebesar Rp31,9 triliun, atau tumbuh rata-rata 14,5 persen per tahun, dari sebesarRp33,1 triliun (0,8 persen terhadap PDB) pada tahun 2007 dan diperkirakan mencapaiRp65,0 triliun (0,8 persen terhadap PDB) pada tahun 2012.
2.4. Komponen Faktor Produksi Industri Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai suatu proses transformasi dari input menjadi output. Dalam kasus industry yang ditunjukkan oleh Data Indsutri Besar Sedang (Survey IBS), terlihat bahwa input yang digunakan dalam porses produksi adalah Tenaga Kerja, Bahan Baku dan Pelumas, Bahan Baku Penolong, Listrik dan Non Listrik, dan Input Lainnya. Komponen pengeluaran terbesar di Industri secara agregat adalah biaya untuk bahan baku penolong yaitu rata-rata sebesar 40,10Miliar (76.64%) di tahun 2008, kemudian diikuti oleh biaya lain dan biaya tenaga kerja (Lihat Tabel 1).
Realisasitahun 2012, belanja subsidi listrik diperkirakan mencapai Rp89,1 triliun. Perkembanganrealisasi belanja subsidi listrik dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan: (1) naiknya BPP tenaga listrik sebagai dampak dari masih dominannya penggunaan BBMdalam sistem pembangkit listrik nasional; (2) perubahan kurs dan ICP; dan (3) semakinmeningkatnya penjualan tenaga listrik yang mencapai 167,2 tera watt hour (TWh) pada tahun 2012, dibandingkan penjualan tenaga listrik dalam tahun 2007 sebesar 119,0 TWh. Dalam rangka mengendalikan subsidi listrik,Pemerintah bersama DPR-RI sepakat untukmenurunkan subsidi listrik secara bertahap,dengan tidak mengorbankan masyarakat berpenghasilan rendah. Berkaitan dengan haltersebut, Pemerintah telah
Sementara rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar dan pelumas bagi industry adalah Rp 1.77 Miliar (3.38% terhadap total faktor produksi) pada tahun 2008, dimana komponen energi terbesar disumbangkan oleh bahan bakar Solar sekitar Rp 834.13 juta (47.14% dari penggunaan energi industri), sedangkan
Tabel 1.Rata-Rata Biaya Faktor Produsi Industri di Indonesia, 2007-2010 Faktor Produksi Tenaga Kerja
2008 Rp Miliar 3.23
% 6.17
2009 Rp Miliar 3.39
% 6.20
2010 Rp Miliar 3.86
% 6.15
Bahan Bakar dan Pelumas
1.77
3.38
1.60
2.93
1.69
2.69
Bahan Baku Penolong
40.10
76.64
42.57
77.99
49.72
79.34
Listrik dan Non Listrik
1.40
2.67
1.50
2.75
1.69
2.70
Biaya Lainnya
5.83
11.14
5.53
10.12
5.71
9.11
Total Biaya
52.33
100.00
54.59
100.00
62.67
100.00
Sumber: IBS, 2007-21010 (diolah)
7
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
melakukan penyesuaian tarif tenaga listrik (TTL) rata-rata sebesar 10 persen sejak awal bulan Juli tahun2010. Namun demikian, Pemerintah tetap berpihak kepada masyarakat berpenghasilan rendah, dengan tidak memberlakukan kenaikan TTL bagi pelanggan listrik dengan daya 450 watt dan 900 watt.
pemanfaatan biofuel dan panas bumi. Selain perbaikan pada sisi permintaan dan penawaran(demand and supply side), Pemerintah juga mengupayakan pembenahan pada PT PLN(Persero).
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
pengeluaran Industri untuk energi terbesar kedua adalah batubara, yaitu rata-rata sebesar Rp. 213.53 juta (21.07%) pada tahun 2008. Dari sisi factor produksi terlihat bahwa hamper seluruh komponen energi mengalami peningkatan hingga pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa input produksi yang
berasal dari bahan bakar dan pelumas bagi industri cukup penting dalam rangka untuk meningkatkan daya saing industri di Indonesia. Nilai pengeluaran energi dan proporsi berdasarkan jenis energi yang digunakan Industri di Indonesia ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-Rata Biaya yang Dikeluarkan oleh Industri Berdasarkan Jenis Energi Periode, 2008-2010 2008
Energi Rp Juta Premium Solar Minyak Tanah Batu Bara Gas LPG Biaya Lainnya Pelumas Total
2009 %
Rp Juta
2010 %
Rp Juta
%
91.53
5.17
98.60
6.16
103.23
6.11
834.13
47.14
699.87
43.74
741.31
43.89
15.82
0.89
15.50
0.97
18.94
1.12
213.53
12.07
196.30
12.27
194.56
11.52
88.41
5.00
128.94
8.06
197.42
11.69
21.39
1.21
37.92
2.37
66.96
3.96
426.54
24.11
343.87
21.49
269.88
15.98
78.13
4.42
78.99
4.94
96.68
5.72
1,769.47
100.00
1,600.00
100.00
1,688.98
100.00
Sumber: IBS, 2008-2010, (diolah)
Harga BBM di Indonesia masih relative rendah karena disubsidi, sementara harga minyak di dunia terus melejit.Harga BBM subsidi Rp 4.500/ liter, dan harga BBN tidak bersubsidi rata-rata adalah Rp 9.000 / liter, sementara di beberapa Negara hampir mencapai Rp 12.000 / liter. Murahnya harga BBM juga merupakan salah satu penghambat konversi BBM ke Gas. Tetapi seperti beberapa pendapat sebelumnya, bahwa menurunkan subsidi bukanlah pekerjaan yang mudah dan harus ada kebijakan dan keseriusan dari seluruh pihak terkait. Saat ini, harga crude oil hampir mencapai US$ 95. Kenaikan harga ini adalah suatu hal yg tidak bisa dihindari mengingat meningkatnya konsumsi perindustrian akan energi dan juga pemakaian bahan bakar di sektor transportasi dan industri. Kenaikan harga crude oil akan berdampak lanjut terhadap kenaikan harga bensin, harga barang dan jasa, yang akan merugikan konsumen. Tidaklah mudah bagi pemerintah untuk menjadi penengah
8
di dalam perekonomian industri energi karena perindustrian ini terkait oleh politik luar dan dalam negeri.Hubungan diplomasi antara Negara-negara produsen minyak sangat terkait dalam penentuan harga minyak. Banyak analisa perindustrian di bidang energi yang menuju kepada peningkatan harga minyak yang akan terus melambung, karena kebutuhan perindustrian yang akan semakin meningkat. Tetapi ada juga opini yang mengatakan bahwa perindustrian akan mengganti bahan bakar dasar menjadi batu bara yang sekarang ini mempunyai harga dasar yang lebih rendah.
III. Subsidi Energi dan BBM Pengaruhnya Industri Sebenarnya diskriminasi harga hanya berlaku bagi pelaku monopoli. Monopoli juga memiliki beberapa asumsi ketat dalam rangka melakukam diskrimnasi harga kepada
Pemerintah yang selama ini melakukan “diskriminasi harga” yaitu perbedaan harga BBM subsidi dan Non Subsidi telah menimbulkan gejolak dan menimbulkan persoalan lainnya menyangkut masalah persoalan APBN.Di berbagai daerah dapat dilihat bahwa harga yang ditetapkan pemerintah, kenyataanya yang diterima baik industri maupun rumah tangga selalu lebih tinggi, artinya bahwa diskriminasi haga yang dilakukan pemerintah adalah gagal.Persoalannya mengapa demikian, jika mengacu pada konsep monopoli tersebut, secara sederhana kita dapat sebukan bahwa pemerintah telah melanggar asumsi asumsi dari monopoli itu sendiri.
Perberlakuan harga tunggal dalam hal ini harg BBM dapat ditetapkan sebesar Rp 4500/ liter ataupun sebesar Rp 6500/liter. Dalam kasus ini, karena rencana pemerintah adalah menaikkan harga BBM, maka skenario kebijakan yang dilakukan adalah
Kebijakan harga tunggal pada prinsipnya adalah harga BBM yang diberlakukan adalah sama untuk setiap segmen, dalam arti bahwa harga yang di tetapkan pemerintah hanya satu harga untuk satu produk. Sebagai catatan bahwa
Programme
tulisan ini tidak mempersoalkan besaran harga yang sesuai untuk BBM, namun lebih melihat bagaimana efektifitas diskriminasi harga dan harga tunggal, tetapi tulisan ini masih memuat dampak secara ekonomi karena kebijakan harga tunggal (penghapusan subsidi bbm).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
konsumennya, antara lain (1) mengetahui secara pasti elastisitas permintaan antar konsumen, (2) menjaga dan memastikan tidak terjadi penjualan ulang (resale) antar segmen pasar, dan (3) dapat secara pasti jumalh yang ditawar unruk setiaop segmen.
1. Menaikkan harga BBM bersubsidi tetapi harga masih tidak sama antara harga rumahtangga dengan industry (Sim 1). 2. Menaikkan harga BBM menjadi Rp 6500 tetapi berlaku untuk seluruh konsumen (harga tunggal) (Sim 2). Untuk memperoleh dampak perubahan inflasi karena perubahan harga BBM digunakan data makro, sedangkan untuk menduga kinerja industri terhadap perubahan harga BBM digunakan data Industri IBS, 2008-2010.Hasil Sim 1 dan Sim 2 ditampilkan pada Gambar 1 dan Tabel 3.
Gambar 1. Dampak Perubahan Harga BBM terhadap Inflasi
Dari Gambar 1 menarik untuk diketahui bahwa baik di skenario 1 dan 2, akan
9
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
memberikan laju inflasi yang cukup tinggi pada tahun pertama (2013), dan relative cenderung menurun hingga pada tahun 2015. Tingkat inflasi pada tahun 2015 adalah sekitar 10.25% dan tahun 2015 sebesar 5.6%. Hal ini menunjukkan bahwa guncangan perubahan harga BBM memiliki dampak yang
cukup serius terhadap laju inflasi namun sifatnya sementara atau hanya berlaku dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang tingkat inflasi akan kembali kepada keseimbangan, dalam arti bahwa terdapat penyesuaiannya harga kurung waktu satu sampai dengan dua tahun.
Tabel 3. Dampak Perubahan Kebijakan Harga BBM terhadap Kinerja Industri Pengolahan di Indonesia Endogenous
Satuan
Output
Rp Miliar
Jumlah Tenaga Kerja
Ribu Orang
Jumlah Solar Jumlah Premium
Liter Liter
Total Biaya Energi
Rp Miliar
Baseline 70.36
Sim 1 Nilai
Sim 2 %∆
67.86
-3.55
Nilai
%∆
69.61
-1.07
316.37
314.37
-0.63
315.12
-0.40
29,010.12 9,483.42
28,175.37 9,358.42
-2.88 -1.32
29,003.69 9,482.77
-0.02 -0.01
915.25
904.02
-1.23
914.60
-0.07
Export
Rp Miliar
30.47
29.24
-4.04
30.13
-1.10
Value Added
Rp Miliar
24.05
22.84
-5.03
23.81
-0.98
Keterangan: Sim 1: Menaikkan harga BBM bersubsidi tetapi harga masih tidak sama antara harga rumahtangga dengan industri Sim 2: Menaikkan harga BBM menjadi Rp 6500 tetapi berlaku untuk seluruh konsumen (harga tunggal)
Menaikkan harga BBM bersubsidi tetapi harga masih tidak sama antara harga rumahtangga dengan industry (Sim 1) ternyata memiliki dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan pemerintah menaikkan harga BBM menjadi Rp 6500 dan memberlakukan harga tunggal (Sim 2). Secara umum terlihat bahwa Sim 1 menyebabkan demand solar dan premium penurunan melebihi satu persen, dengan tingkat penurunan jumlah output industry ratarata sebesar 3.55%. Dengan pemberlakukan harga tunggal penurunan di tingkat factor produksi hanya kurang dari satu persen, sedangkan hanya menurun 1.07%. Melihat hasil ini dapat dijelaskan bahwa pembedaan harga untuk satu produk kurang tepat, karena akan banyak menimbulkan spekulasi dan
10
penyalahgunaan peruntukan dan pembedaan tersebut relative tidak mengenaik sasaran. Sering sekali kita dengar bahwa di berbagai daerah terdapat kekurangan supply energi, kemungkinan hal ini disebabkan oleh selain para pencari keuntungan menimbun BBM, juga disebabkan karena infrastruktur yang masih relative kurang. Beberapa waktu yang lalu, Kementeriaan ESDM mengeluarkan kebijakan pembatasan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, khususnya untuk angkutan darat jenis truk yang berlaku mulai 1 Maret 2013. Terbitnya Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Penggunaan Bahan Bakar Minyak, menegaskan angkutan barang
Tahun 2013 ini, pemerintah berencana menaikkan harga BBM bersubsidi dengan dua harga (diskriminasi harga untuk satu jenis produk).Harga BBM untuk mobil pribadi akan lebih mahal dibanding harga BBM untuk kendaraan roda dua dan angkutan umum. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan diskriminasi harga berdampak negative paling besar terhadap industri dan bisnis secara keseluruhan. Rencana kebijakan menaikkan harga BBM dua harga akan rawan penyalahgunaan dan konflik di masyarakat, pemerintah harusnya lebih rasional menerapkan harga BBM dengan satu harga.Pemerintah seharusnya memberlakukan
Kebijakan menaikkan harga secara langsung tidak memberikan pengaruh secara signifikan bagi industri, namun demikain dampak tidak langsung memiliki pengaruh yang besar, apalagi kebijakan diskriminasi harga masih diberlakukan.Pada prinsipnya, kebijakan harga tunggal dapat dilakukan, tetapi tentu dengan kompensasi.Dampak negative dari kebijakan tersebut, harus diatasi dengan mengalokasi manfaat pemberlakuan harga tunggal kepada masyarakat dalam bentuk subsidi non-energi yang lebih besar.
Memang cukup berat pemerintah saat ini menaikkan harga BBM dengan harga tunggal.Padahal, karena sudah terlanjur masa pemerintah SBY harga BBM justru turun, sedangkan masa pemerintahan sebelumnya harga BBM pernah mencapai Rp. 6500/liter.Opsi menaikkan harga BBM dengan harga tunggal adalah pilihan tepat secara ekonomi, namun partai politik mana yang bersedia?Mengingat pemilu 2014 tinggal menghitung hari.
IV. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Kebijakan pemerintah dengan memberlakukan dua harga “diskriminasi harga” untuk satu produk memiliki dampak lebih buruk dibandingkan dengan kebijakan memberlakukan harga BBM menjadi harga tunggal. Kedua skenario dalam jangka pendek akan memberikan tingkat inflasi tinggi, tetapi hanya berlaku dalam jangka pendek.
11
Programme
harga tunggal, besaran harga tidak diperdebatkan dalam paper ini, pemerintah dapat melakukan hitung ulang tentang berapa harga yang tepat dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi nasional dan masyarakat.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
beroda lebih dari empat untuk kegiatan pengangkutan hasil kegiatan perkebunan, kehutanan dan pertambangan harus menggunakan solar non subsidi. Kebijakan tersebut memicu keterlambatan kegiatan distribusi barang melalui darat, yang berdampak pada kenaikan biaya logistik yang diperkirakan mencapai 15% - 20%. Infrastruktur SPBU yang menyediakan BBM non-subsidi di daerahdaerah sulit ditemukan,sehingga banyak operator truk membeli eceran dengan harga non-subsidi, yang harganya lebih tinggi, dan akanmenjadi tambahan biaya bagi industri. Dalam kenyataannya, pembatasan penggunaan BBM bersubsidi diberlakukan untuk semua jenis truk. Tentu kebijakan ESDM tersebut tidak mendukung rencana pemerintah untuk memperkecil biaya logostik (targetnya sepuluh persen). Karena infrastruktur jalan di Indonesia belum memadai dan infrastruktur Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) belum memadai untuk menerapkan kebijakan ESDM.Karena, SPBU yang mengalokasikan BBM solar non-subsidi sangat terbatas, terutama di daerah-daerah.Lebih rumit lagi, kebijakan dapat mengganggu kelancaran operasional dan distribusi logistik.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Daftar Pustaka Bakoren (1998). Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) BadanKoordinasi Energi Nasional. Barnes, D. F. and Halpern, J., (2000) The Role of Energy Subsidies, Energy Services for the World’s Poor, pp.60-68. Beaton, C. dan Lontoh, L. (2010) Lessons Learned from Indonesia’s Attempts to Reform Fossil-Fuel Subsidies. International Institute for Sustainable Development. Winnipeg, ManitobaCanada. Birol, F., dan Keppler, J. H., (1999). Looking at Energy Subsidies: Getting the Price Right Energy Prices and Taxes, International Energy Agency, 3rd Quarter 1999, pp xi- xxiii Caloghirou, Y. D., Mourelatos, A. G. and Roboli, A. (1996) ‘Macroeconomic Impacts of Natural Gas Introduction in Greece’, Energy Vol. 21, No. 10, pp.899-909. Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. Wiley Series in Probability and Mathematical Statistics. John Wiley & Sons. Inc, New York. Hope, E. and B. Singh (1995) Energy Price Increase in Developing Countries: Case Studies of Colombia, Ghana, Indonesia, Malaysia, Turkey and Zimbabwe, Intrilligator, M. D., R. G. Bodkin, and C. Hsiao, 1996. Econometric Models, Techniques, and Applications. Second Edition. Prentice-Hall, Inc. Upper SaddleRiver, New Jersey. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2011b) Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2011, Centre for Data and Information on Energy and Mineral Resources. Pindyck, R. S., and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill, Inc. Singapore. Tjandranegara, A. Q. (20012). Gas Bumi Sebagai Substitusi Bahan Bakar Minyak: Optimisasi Investasi Infrastruktur dan Analsisi Dampak Terhadap Perekonomian Nasional. Ringkasan Disertasi. Univsersitas Indonesia
12