TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI TANPA IZIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI (STUDI PUTUSAN NOMOR:2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn.)
SKRIPSI Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh: BINSAR IMMANUEL SIMANJUNTAK NIM:120200237
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
LEMBAR PENGESAHAN TINJAUAN YURIDIS MENGENAI TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI TANPA IZIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI (STUDI PUTUSAN NOMOR:2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn.) SKRIPSI Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh: BINSAR IMMANUEL SIMANJUNTAK NIM: 120200237 Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana,
(Dr.M.Hamdan,S.H.,M.H.) NIP.195703261986011001
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum) NIP. 195102061980021001 NIP. 197404012002121001 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan akan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan kasih-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul: “Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. (Studi Putusan Nomor: 2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn”. Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini dan masih jauh dari kata sempurna. Secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih kepada ayah Penulis, Parlindungan Simanjuntak dan Ibu yang luar biasa Corry br .Dolok Saribu , penulis juga mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini juga, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, yaitu: 1. Bapak Prof.Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 2. Bapak Dr. OK Saidin S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
i
4. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 5. Bapak Dr. M. Hamdan., S.H., M.H., Selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekertaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 7. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada Penulis pada saat penulisan skripsi ini; 8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., Selaku Dosen Pembinbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada Penulis pada saat penulisan skripsi ini; 9. Seluruh Dosen dan Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 10. Terima kasih kepada Keluarga Besar Simanjuntak (Op.Jonathan) dan Keluarga besar Dolok Saribu (Op.Abob); 11. Terima kasih Abang dan adikku Hongkop Martin Fernando Simanjuntak, S.Pd, beserta Istri dan Sarah Septiani Simanjuntak yang memberikan bantuan materi dan doa dalam penyusunan skripsi ini;
ii
12. Terima kasih kepada c .Drg.,Mega Theresia Oktora Tampubolon, beserta cewek-cewek kece FKG yang selalu menghibur (Jesicha Pangaribuan, Stephannie Damanik, Inez Gloria, Stephany Sinulingga); 13. Terima kasih kepada Immanuel Carlos Tobing, S.H., selaku Doping III; 14. Terima kasih kepada seluruh keluarga besar Futsal Hore-Hore yang tidak bisa disebutkan satu per satu; 15. Terima kasih untuk IMADANA, Sebagai Ikatan Mahasiswa Departemen terbesar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara; 16. Terima kasih kepada teman-teman Stamuk 2012 khususnya Grup E 2012; 17. Terima Kasih kepada seluruh Pemerintahan Mahasiswa 2013-2014 khususnya Bidang Eksternal; 18. Terima kasih kepada senior-senior yang selalu menginspirasi, Abangda Rio Montes Malau,S.H., (KABID Eksternal PEMA FH USU), Abangda Marco
Chandra
Silaen,S.H.,(KORLAP
Sibarani,S.H.,(KORLAP
8),
8),
Randa Morgan
Abangda
Erikson
Tarigan,S.H.,(SEKBID
Eksternal PEMA FH USU); 19. Terima kasih kepada Penghuni Kos Mangga (dr.Arnando Kaspari, dr.Yuni Elsja Damanik, Helmy ‘badak’ Siregar, dr.Pahala Tua Turnip, Gohan, Jesica, Yolanda ‘black’, Lilis, Viktor, Namboru Kos Helda Tobing).
iii
David, Sally Sihombing, jojo,
Akhir kata, semoga skripsi ini membawa manfaat yang sangat besar bagi pembaca dan perkembangan hukum di Indonesia. Terima Kasih.
Medan, Oktober 2016 Penulis,
Binsar Immanuel Simanjuntak
iv
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .......................................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................................... v ABSTRAKSI ..................................................................................................... vii BAB I:
PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. Latar Belakang ........................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................. 10 C. Keaslian Penulisan ................................................................ 10 D. Tujuan Penelitian .................................................................. 12 E. Manfaat Penelitian .................................................................... F. Tinjauan Kepustakaan ........................................................... 13 1.
Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana ..................... 13
2.
PengertianTindak Pidana Administratif ....................... 25
3.
Pengertian Pendidikan Tinggi...................................... 28
G. Metode Penelitian ................................................................. 32 H. Sistematika Penulisan
BAB II :
35
TINDAK PIDANA DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI ........................................................... 37 A. Ruang Lingkup Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia .............................................................................. 37 1. Sejarah Lahirnya Pendidikan Tinggi di Indonesia ............ 37 2. Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia ............ 40
v
B. Aspek Hukum Pidana dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia .............................................................. 47 C. Pengaturan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi .......................................... 50
BAB III :
1.
Unsur Pokok Objektif ...................................................... 52
2.
Unsur pokok Subjektif ..................................................... 59
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI TANPA IZIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKA TINGGI (STUDI PUTUSAN NOMOR: 2796/PID.SUS/2015/PN-Mdn) .............. 61 A. Kronologi Kasus ................................................................... 61 B. Dakwaan ............................................................................... 64 C. Fakta Hukum ........................................................................ 66 D. Amar Putusan ....................................................................... 82 E. Analisa
Putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
Nomor:
2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn ................................................ 84
BAB IV :
1.
Unsur Subjektif Pidana .................................................... 85
2.
Unsur Objektif Pidana ..................................................... 86
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 91 A. Kesimpulan........................................................................... 91 B. Saran .................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 94
vi
ABSTRAK Binsar Immanuel Simanjuntak∗ Syafruddin Kalo∗∗ Mahmud Mulyadi∗∗∗ Pendidikan tinggi ialah salah satu unsur yang ada didalam peranan pendidikan, Pendidikan tinggi baik PTN maupun PTS yang berdiri harus memiliki izin sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi, namun pada prakteknya masih adanya pemilik PTS yang masih saja tidak taat akan peraturan dengan tidak memiliki izin tersebut,sehingga menyebabkan keluarnya ijazah menjadi tidak sah. Sebagai contoh ialah penyelenggaraan Pendidikan Tinggi tanpa izin yang dilakukan University Of Sumatera. Berdasarkan hal ini maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah: Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi?Bagaimana Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Dikaitkan dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Studi Putusan Nomor:2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn)? Adapun metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Dalam hal penelitian normatif dengan pendekatan studi kasus, dilakukan penelitian terhadap peraturan peran dan bahan yang berhubungan serta penulis menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Studi Putusan Nomor:2796/Pid.Sus/2015/PN-Mdn). Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa UU Pendidikan Tinggi memuat sanksi pidana di bidang penyelengaraan pendidikan tinggi. Diatur pada Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi dan dirumuskan secara alternatif kumulatif dengan diaturnya sanksi pidana penjara dan/atau denda.Tindak pidana yang menjadi fokus adalah “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari Menteri, dilarang memberikan Ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 93, yang merupakan delik omisi.karena tidak dilalukannya kewajiban yang diatur dalam Pasal 60 ayat (2) yang mewajibkan PTS didirikan atas izin menteri.dimana dapat dihukum pidana dengan pidana penjara dan/atau pidana denda. Kata kunci: Pendidikan tinggi, Pendidikan Tinggi tanpa Izin
∗
Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ∗∗∗ Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ∗∗
vii
ABSTRAC Binsar Immanuel Simanjuntak∗ Syafruddin Kalo∗∗ Mahmud Mulyadi∗∗∗ Higher education is one element that is in the role of education, Higher education both public universities and private colleges that stand must have a permit in accordance with Law No. 12 of 2012 on higher education, however, in practice there is still the owner of private colleges who still do not obey the rules by not having such permission, causing the discharge certificate becomes invalid. One example is the implementation of the Higher Education without permission is University Of Sumatera. Based on this, the formulation of the problem in this paper is: How Crime settings in the Implementation of Higher Education in Indonesia Based on Law No. 12 Year 2012 on Higher Education? How Juridical Overview Against Crime Unlicensed Operation of Higher Education Associated with Law No. 12 of 2012 on Higher Education (Studies Decision No. 2796 / Pid.SUS / 2015 / PN-Mdn)? The research method used is a normative legal research with case study approach, conducted research on the role of regulation and related materials as well as the authors analyze the cases related to the title of this essay is Judicial review of the criminal acts of higher education without permission connected by law number 12 of 2012 on higher education (Studies Decision No. 2796 / Pid.Sus / 2015 / PN-Mdn). Based on this research can be concluded that the Higher Education Act contains criminal sanctions in the field of organization of higher education. Regulated by Article 93 of Law of Higher Education and formulated with the regulation of alternative cumulative penalties of imprisonment and / or fines. Crime that became the focus is “without rights and without a permit from the Ministry of Colleges, prohibited from providing diplomas gives academic degree, vocational degree, professional degree” as stated in Article 93, which is an omission offense because it did not commit the obligations set out in Article 60 paragraph (2), which requires private universities established by permission of the minister. where the criminal can be punished with imprisonment and / or fined. Keyword : Higher Education,
higher Education without Permission.
∗
Mahasiswa Fakultas Hukum Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Dosen Pembimbing I / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ∗∗∗ Dosen Pembimbing II / Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ∗∗
i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1
Perannya yang penting,
salah satunya sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), menjadi dasar bagi negara Indonesia untuk membentuk suatu sistem pendidikan nasional. Pada tahun 2016, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar 20 % dari total belanja negara pada postur APBN 2016.2 Anggaran ini diarahkan untuk memenuhi segala kebutuhan dalam menjalankan sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. 3 Salah satu komponen pendidikan adalah pendidikan tinggi, yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma,
1
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 431), selanjutnya disebut UU Sisdiknas. 2 Direktorat Jenderal Anggaran Kemeneterian Keuangan Republik Indonesia, Informasi APBN 2016, (Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2016), hlm. 2. 3 Pasal 1 Angka 3 UU Sisdiknas.
1
2
program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. 4 Proses penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dilakukan oleh perguruan tinggi dewasa ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk, seperti universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan akademi komunitas, yang masing-masing memiliki metode pelaksanaan dan fungsinya tersendiri. 5 Pelaksanaan pendidikan tinggi yang dibawahi oleh UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi, seperti kebanyakan Undang-Undang lain yang dikenal dalam khazanah hukum Indonesia, juga memberikan ruang bagi berlakunya hukum pidana guna penguatan penegakan hukum dalam substansi kedua Undang-Undang tersebut.6 Sebagai suatu kebijakan sosial (social policy), sistem pendidikan nasional mencakup upaya kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan perlindungan masyarakat (social defence policy).7
Untuk membantu kebijakan tersebut,
dipergunakanlah criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana (penal policy). Keberadaan sanksi pidana dalam kedua UU ini pada dasarnya disebabkan oleh pemahaman yang acapkali memandang ancaman sanksi pidana sebagai bentuk dorongan atau pada level yang lebih tinggi paksaan agar hukum yang 4
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5336), selanjutnya disebut UU Pendidikan Tinggi. 5 Perhatikan Pasal 59 UU Pendidikan Tinggi. 6 Terlihat dengan diberlakukannya ketentuan pidana dalam kedua UU tersebut. Ketentuan Pidana dalam UU Sisdiknas diatur pada Pasal 67-Pasal 71 , sedangkan pada UU Pendidikan Tinggi diatur pada Pasal 93. 7 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), hlm.78-79.
3
dibuat ditaati oleh masyarakat dan sekaligus memberi bekal kepada aparat pelaksana dan aparat penegak hukum untuk melakukan tindakan represif yang mengandung unsur penal/pidana. Adanya ancaman sanksi pidana dipahami sebagai alat efektif agar hukum ditaati oleh masyarakat, maka Undang-Undang yang tidak memuat ketentuan ancaman sanksi pidana acap kali dipandang belum lengkap atau 'percuma' (tidak akan bakal ditaati oleh masyarakat).8 Minat untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi tidak dipungkiri telah mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2016 misalnya, peminat Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) mencapai 721.326 peserta, dan hanya 126.804 yang lolos.9 Artinya ada sekitar 17,5% peserta yang lolos dan sekitar 82,5% peserta yang gagal dalam tes ini. Kuota yang amat terbatas di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ini menyebabkan peningkatan jumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia yang turut ambil bagian dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Perbedaan antara PTN dan PTS terletak pada lembaga yang mengelola, di mana PTN dikelola oleh Pemerintah, sedangkan PTS dikelola oleh masyarakat. 10 Pengelolaan perguruan tinggi yang berada di tangan masyarakat seyogyanya juga turut diawasi oleh pemerintah. Semakin maraknya PTS di Indonesia pada satu sisi mempermudah tugas pemerintah dalam mencapai tujuan pendidikan tinggi, namun di sisi yang lain juga turut menyulitkan pemerintah 8
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang KUHP, (Jakarta: BPHN, 2015), hlm. 126. 9 Kompas.com, 17,5 Persen Peserta SBMPTN 2016 Lolos Tes!, http://edukasi.kompas.com /read/2016/06/28/13383391/17.5.persen.peserta.sbmptn.2016.lolos.tes., diakses pada tanggal 5 Agustus 2016. 10 Perhatikan Pasal 1 Angka 7 dan Angka 8 UU Pendidikan Tinggi.
4
dalam hal pengawasan. Hal ini menimbulkan maraknya PTS yang beroperasi tanpa izin, mengeluarkan ijazah palsu, dan melakukan jual-beli ijazah. 11 Peristiwa tersebut juga terjadi di Medan, di mana pada periode Juni 2015 telah terjadi pengungkapan atas kasus jual-beli ijazah palsu dan pendirian PTS tanpa izin dengan nama University of Sumatera yang ditengarai bukan kali ini saja terjadi. Kasus tersebut turut menyita perhatian masyarakat dikarenakan dengan banyaknya PTS yang beredar, menimbulkan kekhawatiran tentang manakah PTS yang dapat dipercaya dan pelaksanaannya sesuai prosedur hukum, serta bagaimana upaya penegakan hukum atas pelaku perbuatan tersebut, agar kejadian tersebut tidak terulang di masa yang akan datang. Upaya penegakan hukum telah dilakukan dengan dikeluarkannya putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2796/Pid.Sus/2015/PN.Mdn. Yang mana kasusnya sebagai berikut, Seorang yang bernama MARSAID YUSRAH, Phd, laki-laki umur 63 Tahun yang beralamat dijalan Mesjid Taufik No.123 Tegal Rejo Kec.Medan Perjuangan dan Jl.Satria Ujung Perumahan Mekar Sari Blok. No1- D, Kec. Deli Tua Kab Deli Serdang, beragama islam yang mana pada hal ini telah melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia, yang mana perbuatannya ialah melakukan tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin berupa menerbitkan ijazah palsu dan mendirikan universitas tanpa izin.
11
Okezone.com, Kemenristek Dikti Bekukan Sembilan PTS “Nakal”, http://news.okezone. com/read/2015/09/28/65/1222305/kemenristek-dikti-bekukan-sembilan-pts-nakal, diakses pada tanggal 5 Agustus 2016.
5
Uraian inilah yang menjadi latar belakang penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul: “TINJAUAN
YURIDIS
PENYELENGGARAAN
MENGENAI
PENDIDIKAN
TINDAK TINGGI
PIDANA
TANPA
IZIN
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG
PENDIDIKAN
TINGGI
(STUDI
PUTUSAN
NOMOR:2796/PID.SUS/2015/PN-Mdn)”
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana Tindak Pidana dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi? 2. Bagaimana Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Studi Putusan Nomor: 2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn)? C. Keaslian Penulisan Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian
menyangkut
“Tinjauan
Yuridis
Mengenai
Tindak
Pidana
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Dikaitkan Dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Studi Putusan
6
Nomor:2796/Pid.Sus/2015/PN-Mdn)”. Penelitian ini murni disandarkan pada hasil pemikiran penulis baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan dengan didasarkan pada pengertian, teori, dan aturan hukum yang diperoleh dari berbagai referensi sehingga keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. D. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan pokok permasalahan yang telah penulis kemukakan di atas maka penulisan skripsi ini memiliki tujuan untuk : 1.
Untuk mengetahui bagaimana Tindak Pidana dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
2.
Untuk mengetahui Bagaimana Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Studi Putusan Nomor: 2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn).
E. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Manfaat dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur dibidang hukum pidana khususnya dalam hal.
2.
Manfaat dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat dicapainya.
7
F. Tinjauan Kepustakaan 1.
Tindak Pidana dan Unsur Tindak Pidana
a. Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Strafbaar feit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata strafbaar feit terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar, dan feit. Melalui berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, straf diterjemahkan sebagai pidana atau hukum, kata baar diterjemahkan dengan dapat atau boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan pidana dan perbuatan yang boleh dihukum. 12 Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi:13 1)
Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;
2)
Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
12 13
91.
Adami Chazawi, Pengantar Hukum PidanaBag 1, (Jakarta: Grafindo, 2002), hlm . 69. Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), hlm .
8
Sejalan dengan defenisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertian, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Purnomo yaitu:14 1)
Defenisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang.
2)
Defenisi panjang atau lebih dalam memberikan pengetian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubungan dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Menurut
defenisi
pendek
pada
hakekatnya
menyatakan
bahwa
pastilahuntuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada yang telah ditetapkan dalam undang-undang.defenisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggungjawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. 15 Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam bahasa Belanda Strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada
14 15
Ibid. Ibid.
9
istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. 16 Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. Sedangkan dalam bukunya Pelajaran Hukum Pidana, Drs. Adami Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.17. Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah: 1)
Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan kita menggunakan istilah ini.
2)
Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum misalnya, Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana” dan para ahli hukum lainnya.
3)
Delik
berasal
dari
bahasa
latin
“delictum”
digunakan
untuk
menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.
16
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 58. 17 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 67.
10
4)
Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.
5)
Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya “Ringkasan tentang Hukum Pidana”.
6)
Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam pembentukan undangundang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak
7)
Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatnomdalam beberapa tulisan beliau.18
b. Unsur Tindak Pidana Ketika menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka akan dijumpai suatu perbuatan atau tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsurunsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.19 Adapun unsur-unsur subjektif tindak pidana adalah sebagai berikut:
18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 68. 19
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm.193
11
1)
Kesengajaan (dolus) atau ketidak sengajaan (culpa);
2)
Maksud atau voornemen pada suatu percobaan (pogging) seperti yang terdapat dalam pasal 53 ayat (1) KUHP;
3)
Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4)
Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5)
Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan di mana tindakantindakan dari si pelaku itu harus di lakukan. 20 Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1)
Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2)
Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; dan
3)
Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat
20
Ibid.
12
Setelah merumuskan unsur subjektif dan unsur objektif, maka perlu pula dilihat unsur tindak pidana yang terdapat dalam suatu delik atau rumusan pidana. Menurut Simons, unsur tindak pidana meliputi:21 a.
Diancam dengan pidana oleh hukum;
b.
Bertentangan dengan hukum;
c.
Dilakukan oleh orang yang bersalah;
d.
Orang-orang itu dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya. Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur
lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya.22 Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana. Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana itu sendiri. Ada begitu banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana. Setiap sarjana memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti Lamintang yang merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. wederrechtelijk (melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).23 Lebih lanjut, Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan mengenai unsur perbuatan pidana tersebut. Selain harus bersifat melanggar hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan manusia), Strafbaar gesteld
21
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),hlm.88. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), hlm.64. 23 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm.173. 22
13
(diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld (terjadi karena kesalahan).24 Sementara itu, Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri. Perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela.25 Sehingga perbuatan pidana mengandung unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtelijk (melanggar hukum), dan dapat dicela. 26 Tidak jauh berbeda dengan berbagai rumusan diatas. Moeljatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan hukum yang objektif.27 Dari kesemua rumusan diatas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria yang satu atau dua bahkan semua sarjana lenyebutkannya. Pertama, unsur melanggar hukum yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur “perbuatan” yang disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali Lamintang. Selebihnya para sarjana berbeda dalam penyebutannya.
24
Cansil Dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), hlm.38. 25 Schaffmeister, Keijzer, Dan Sutoris, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm.27. 26 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm.183. 27 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008), hlm. 69.
14
2.
Tindak Pidana Administratif Kedudukan Pasal 103 KUHP, yang menyebutkan bahwa:28 “ketentuan-
ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”, telah menjadi pedoman pembentuk Undang-Undang dalam menentukan garis kebijakan pemidanaan dalam berbagai Undang-Undang khusus, seperti: UU Kehutanan, UU Terorisme, UU Perbankan, UU Perkebunan, termasuk pula dalam UU Pendidikan Tinggi. Tindak pidana dalam undang-undang sektoral/khusus bersifat lex specialis karena dapat melakukan penyimpangan dari asas-asas dalam hukum pidana yang termuat dalam KUHP berdasarkan asas lex specialis derogat legis generalis. Kebanyakan tindak pidana dalam UU sektoral digolongkan sebagai tindak pidana administrasi (administrative crime) karena mendayagunakan hukum pidana untuk menegakkan hukum administrasi. Pengaturan sanksi pidana dalam UU sektoral tentu berbeda dengan aturan mengenai tindak pidana umum (generic crime). Generic crime adalah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu “tindak pidana yang berdiri sendiri”, seperti pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan tindak pidana lainnya yang dinyatakan sebagai tindak pidana karena sudah dipositifkan sebagai tindak pidana dalam undang-undang pidana.29 Dalam Black’s Law Dictionary, tindak pidana administratif dikenal dengan istilah administrative
28
Pasal 103 KUHP. Yance Arizona, Pengaturan Tindak Pidana Administrasi Dalam Rkuhp: Suatu Kajian Awal, Https://Yancearizona.Files.Wordpress.Com/2008/06/Pengaturan-Tindak-PidanaAdministrasi-Dalam-Rkuhp.Pdf, Diakses Pada Tanggal 7 Agustus 2016. 29
15
crime, yang diartikan sebagai:30
“An offense consisting of a violation of an
administrative rule or regulation that carries with a criminal sanction” (Pelanggaran yang terdiri dari pelanggaran aturan administrasi atau peraturan yang di dalamnya mengandung sanksi pidana). Menurut Barda Nawawi Arief, hukum pidana administrasi merupakan hukum pidana di bidang pelanggaranpelanggaran administrasi. 31 Pada hakikatnya, hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/melaksanakan hukum administrasi. Jadi hukum pidana administrasi merupakan fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumensialisasi hukum pidana di bidang hukum administrasi. 32 W.F Prins sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa “hampir setiap peraturan berdasarkan hukum administrasi diakhiri “in cauda venenum” (secara harafiah berarti: ada racun di ekor/buntut) dengan ketentuan pidana.33 Berkaitan dengan hal tersebut, Paul Scholten mengemukakan pula bahwa hukum pidana memberikan sanksi luar biasa, baik kepada beberapa kaidah hukum umum, maupun kepada peraturan hukum administrasi34.
Siti
Sundari Rangkuti mengemukakan bahwa fungsi sanksi pidana administrasi terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang. Sanksi pidana administrasi ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang 30
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (The United State Of America: West Publishing Co, 2004), hlm. 399. 31 Barda Nawawie Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 15. 32 Ibid. 33 Philipus, M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2011), hlm. 45 & 46. 34 W.F Prins, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983), hlm. 17.
16
dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut.35 Oleh karena itu, keberadaan sanksi pidana dalam hukum administrasi yang dalam hal ini adalah UU Pendidikan Tinggi sangat erat kaitannya dengan usaha-usaha pencapaian tujuan peraturan-peraturan mengenai penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi yang menjadi substansi UU tersebut. 3.
Pengertian Pendidikan Tinggi Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Di Indonesia Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi:36 a.
Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. 35
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: University Press, 1996), hlm. 192-193. 36 Pasal 14 UU Sisdiknas.
17
b.
Pendidikan Menengah Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. c.
Pendidikan Tinggi Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka, Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. Untuk mengingat arti daripada pendidikan tinggi, perlu diperhatikan pengertian yang dirumuskan pada Pasal 1 butir 2 UU Pendidikan Tinggi, yang menjelaskan pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, diselenggarakan
dan oleh
program profesi, perguruan
tinggi
serta
program spesialis,
berdasarkan
kebudayaan
yang bangsa
Indonesia. 37 Dari penjelasan diatas Pendidikan Tinggi memiliki beberapa asas yang terdapat didalamnya, berdasarkan Pasal 3 UU Pendidikan Tinggi, terdapat 9 asas penyelenggaraan pendidikan tinggi, yaitu : kebenaran ilmiah, penalaran,
37
Pasal 1 Angka 2 UU Pendidikan Tinggi.
18
kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinnekaan dan keterjangkauan. 38 Pendidikan tinggi juga memiliki fungsi dan tujuan antara lain:39 a.
Fungsi Pendidikan Tinggi
1)
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
2)
mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil, berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan
3)
mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora.
b.
Tujuan Pendidikan Tinggi
1)
berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.
2)
dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa.
3)
dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi
38 39
Pasal 3 UU Pendidikan Tinggi. Pasal 4 dan Pasal 5 UU Pendidikan Tinggi.
19
kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia. 4)
terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
G. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
dengan pendekatan studi kasus. Dalam hal penelitian hukum normatif, dilakukan penelitian terhadap peraturan peran dan bahan yang berhubungan serta penulis menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yaitu Tinjauan Yuridis Mengenai Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Studi Putusan Nomor:2796/Pid.Sus/2015/PN-Mdn). 2.
Jenis dan Sumber Data Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan data sekunder, yang
diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer, yaitu bahan yang telah ada dan yang berhubungan dengan skripsi penulis yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2796/PID.SUS/2015/PN-Mdn
b.
Bahan hukum sekunder yang terdiri dari Kamus , Ensiklopedia, peraturanperaturan yang terkait
yang terdiri dari buku, pendapat para sarjana,
20
yurispridensi, hasil penelitian hukum dan kasus-kasus yang terkait dengan pembahasan judul skripsi ini yaitu mengenai Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan primer.
3.
Teknik Pengumpulan Data Metode
pengumpulan
data
yang
dipergunakan
oleh
penulis
dalampenelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Dalam hal ini,penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahanteoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansipembahasan dalam penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan (libraryresearch) ini adalah untuk memperoleh data sekunder yang meliputi peraturanperan, buku, majalah, surat kabar, situs internet maupun bahan bacaan lainnyayang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. H. SISTEMATIKA PENULISAN Keseluruhan penulisan disajikan dalam lima bab, sebagaimana diuraikan dibawah ini : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, permasalahan, keaslian penulisan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, tinjauan pustaka,
metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
21
BAB
II
TINDAK
PIDANA
DALAM
PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI Pada bab ini akan dijelaskan mengenai ruang lingkup penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia, yang diikuti dengan pembahasan mengenai aspek hukum pidana dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dan mengenai perumusan sanksi pidana dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. BAB
III
TINJAUAN
PENYELENGGARAAN
YURIDIS
TERHADAP
PENDIDIKAN
TINDAK
TINGGI
PIDANA
TANPA
IZIN
DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG
PENDIDIKAN
TINGGI
(STUDI
PUTUSAN
NOMOR:
2796/PID.SUS/2015/PN-Mdn) Pada bab ini menjelaskan mengenai tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin serta Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kasus posisi dimulai dari kronoligis, dakwaan, fakta , tuntutan, perimbangan hakim dan putusan serta akan dibahas juga mengenai analisis terhadap putusan hakim dalam perkara nomor:2796/PID.SUS/2015/PN-Mdn. BAB IV PENUTUP Berdasarkan hasil pembahasan maka akan diperoleh kesimpulan dan juga akan diuraikan saran-saran berdasarkan hasil temuan yang diperoleh dari hasil penelitian.
BAB II TINDAK PIDANA DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI A.
Ruang Lingkup Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia
1.
Sejarah Lahirnya Pendidikan Tinggi di Indonesia Pendidikan tinggi di Indonesia sebagai suatu jenjang pendidikan dapat
dikatakan belum begitu lama usianya. Jika dibandingkan dengan bentuk pendidikan lainnya yang lebih rendah jenjangnya, terutama yang diadakan secara mandiri oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat misalnya seperti sistem pendidikan pesantren. Semenjak awal kemerdekaan bangsa Indonesia, telah muncul usaha dari Pemerintah Republik Indonesia untuk mendirikan suatu sistem pendidikan berbentuk perguruan tinggi, kendatipun demikian pendirian perguruan tinggi tersebut lebih dulu dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Pendirian perguruan tinggi yang pertama di Indonesia yang didirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda bernama Technische Hooge School di Bandung pada tahun 1920,40 di mana pendirian institusi perguruan tinggi ini didesak akan kebutuhan terhadap tersedianya tenaga ahli yang berpendidikan tinggi. Kekurangan ahli ini disebabkan karena terputusnya hubungan dengan negeri Belanda selama Perang Dunia I, sehingga pemerintah dan industri mengalami kesulitan yang cukup berat berkenaan dengan tidak dapat berfungsinya aktifitas
40
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 142.
22
23
yang
menunjang
kehidupan
sehari-hari
dengan
lancar.41
Dengan
mempertimbangkan hal tersebut maka pada masa itu disadari bahwa daerah Hindia-Belanda harus mempunyai lembaga pendidikan tinggi sendiri. Pada tahun 1909 dibentuk Indische Universiterstsvereeneging, yang berarti suatu badan yang akan memperjuangkan didirikannya Universitas di Hindia-Belanda. Perkumpulan ini didukung terutama oleh keturunan IndoBelanda, yang akan menetap seterusnya di Hindia-Belanda, namun usaha tersebut tidak segera berhasil. Lalu pada tahun 1913 dibentuk suatu panitia dengan tujuan untuk menyarankan kepada pemerintah tentang pendirian Universitas, akan tetapi dalam suatu laporan dinyatakan belumlah saatnya untuk mewujudkan rencana tersebut. Pertimbangannya adalah masih terdapatnya keragu-raguan apakah orangorang Bumiputera dapat dididik dalam ilmu pengetahuan yang setaraf dengan orang Barat.42 Akan tetapi keadaan cepat berubah, dan pada tahun 1918 didirikan Technische Onderwijs Comissie, suatu panitia untuk pendidikan teknik yang memberikan saran-saran kepada pemerintah tentang cara mengatasi kebutuhan pendidikan teknik lanjutan. Dalam peresmian panitia ini Gubernur Jenderal menyatakan bahwa berbeda dengan percobaan sebelumnya, kehadiran panitia ini dapat menyebarkan dan memperkuat anggapan mengenai perlunya pendidikan tinggi, dan merupaka tugas panitia ini pula untuk mencari jalan terbaik guna mewujudkannya. 43
41
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, 1977), hlm. 1. 42 Ibid., hlm. 3. 43 S. Nasution, Op.Cit, hlm. 143
24
Pada tahun 1919 dimulai pembangunan gedung perguruan tinggi teknik di Bandung yang secara resmi dibuka pada tahun 1920 dengan nama Technische Hooge School (T.H.S) atau Sekolah Tinggi Teknik. Pada tahun akademis 19201921 Perguruan Tinggi tersebut mempunyai 28 mahasiswa di antaranya 22 orang Belanda, 4 Cina, dan 2 orang Bumiputera. Adapun dari golongan Bumiputera yang pertama kali lulus adalah pada tahun akademis 1925-1926, yang berjumlah 4 orang dan diantaranya terdapat Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. 44 Walaupun demikian sebelum pendirian T.H.S tersebut oleh pemerintah Kolonial Belanda sebelumnya telah didirikan beberapa lembaga pendidikan yang mengacu ke arah didirikannya perguruan tinggi, yakni perguruan tinggi dalam arti mengadakan suatu pengajaran, pendidikan dan penelitian di atas tingkat perguruan menengah ke atas,45 antara lain: a.
Dokter-Java-School, didirikan tahun 1851 di Batavia, kemudian berganti nama menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Van Indlandsche Arsten), yang bergerak di bidang kedokteran.
b.
Opleiding-School voor Indlandsche Rechtskundigen, didirikan pada tahun 1909 di Batavia dan sejak tahun 1922-1928 beganti nama menjadi Rechtsschool46, yang bergerak di bidang hukum.
44
Ibid., hlm. 144 Koesnadi Hardjasoemantri, Perguruan Tinggi dan Pembangunan Berkelanjutan (Sebuah Tinjauan Aspek Hukum), (Jakarta: Dirjen Dikti Diknas, 2001), hlm. 2. 46 M. Enoch Markum, Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2007), hlm. 27. 45
25
Dengan berdirinya perguruan tinggi di Bandung, muncullah lembagalembaga pendidikan dengan status sebagai perguruan tinggi, antara lain:47 a.
Perguruan Tinggi Hukum (Rechthoogeschool), di Batavia pada tanggal 28 Oktober 1924.
b.
Perguruan Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) di Batavia pada tanggal 16 Agustus 1927.
c.
Akademi Pemerintahan (Bestuursacademie) di Batavia pada tanggal 24 Oktober 1938. Pada perkembangan selanjutnya, di zaman pendudukan Jepang semua
perguruan tinggi praktis ditutup, walaupun ada beberapa yang pernah dibuka kembali. Pada masa itu yang masih dipertahankan adalah sekolah umum dan kejuruan. Namun dalam rangka “Perang Asia Timur Raya”, maka segala-galanya dikerahkan untuk usaha memenangkan perang. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang tidak lain adalah agar pemuda memiliki jiwa dan semangat militer sepenuhnya yang bisa mengabdikan diri kepada Jepang dan siap untuk menjadi angkatan perang.48 Adapun hal penting yang patut dicatat selama pendudukan Jepang, pada perguruan-perguruan tinggi dan pada sekolah umum Indonesia, adalah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan juga permulaan dari “Indonesianisasi” staf dan pengajar. Akan tetapi dari segi kegiatan akademisnya dapat dikatakan perguruan-perguruan tinggi pada massa itu praktis lumpuh. 49
47
Koesnadi Hardjasoemantri, Op.Cit, hlm. 3. Helius Syamsudin, dkk. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (19451966), (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud RI, 1993), hlm. 5. 49 Hardjasoemantri, Op.Cit., hlm. 6. 48
26
Pada periode awal kemerdekaan perkembangan perguruan tinggi mengalami berbagai tantangan. Dengan kembalinya pemerintah pendudukan Belanda ke Indonesia maka agenda pendidikan tinggi pemerintah Belanda yang sempat terbengkalai dilanjutkan kembali. Pada tahun 1946 Pemerintah Pendudukan Belanda mendirikan Universiteit van Indonesie, sebagai gabungan dari perguruan-perguruan tinggi yang didirikannya sebelum tahun 1942, yang berpusat di Jakarta dengan Faculteit-faculteit sebagai berikut: di Jakarta (Hukum, Kedokteran, Ekonomi, dan Sastra), di Bogor (Pertanian dan Kedokteran Hewan), di Bandung (Teknik), kemudian diperluas lagi dengan Faculteit-faculteit di Surabaya (Kedokteran gigi), dan di Makassar (Ekonomi). 50 Sementara itu pemerintah Republik Indonesia yang harus mengungsi dan menetapkan Yogyakarta sebagai ibukota Republik, mendirikan Sekolah Tinggi Teknik melalui Kementerian Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Februari 1946,51 yang kemudian diikuti dengan pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran dan Kedokteran Gigi di Malang, Perguruan Tinggi Kedokteran bagian II di Solo (4 Maret 1946) dan bagian I di Klaten (5 Maret 1946), yang keseluruhannya berada di bawah naungan Balai Perguruan Tinggi Repubik Indonesia, lalu diikuti dengan dibukanya Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan pada bulan November 1946 di kota Bogor. Selama periode revolusi fisik dalam Agresi Militer Belanda ke-1, perguruan tinggi telah ikut berpartisipasi
50
M. Enoch Markum, Op.Cit, hlm. 28, 31. Syamsudin, Op.Cit, hlm. 23. Dengan demikian pendidikan tinggi pada masa itu terpecah dengan adanya pendidikan tinggi yang diselenggarakan Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Pendudukan Belanda. 51
27
secara aktif mendukug pemerintah dalam lapangan kenegaraan, ekonomi, pertahanan, dan terutama dalam usaha pembinaan pendidikan dan pengajaran. Setelah meredanya ketegangan akibat agresi militer, Pemerintah Republik Indonesia menimbang perlunya untuk memusatkan Perguruan Tinggi Negeri menjadi satu universitas. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah 1949 No. 23,52 semua perguruan tinggi negeri di Yogyakarta digabungkan menjadi satu dengan nama “Universiteit Gadjah Mada” yang berkedudukan di Yogyakarta.53 Kemudian pada 6 Januari 1950 dilaksanakanlah pengambil alihan Universiteit van Indonesie milik pemerintah kolonial Belanda. Dengan Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1950, dibentuklah Universiteit Indonesia, yaitu gabungan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia di Jakarta dengan Universiteit van Indonesie termasuk dengan semua cabang-cabangnya. Pada perkembangan berikutnya di tahun 1950-an didirikan pula beberapa perguruan tinggi baru yang mandiri di beberapa daerah dengan sistem universitas beserta fakultas-fakultasnya, antara lain:54 a.
Universitas Airlangga di Surabaya (PP No. 5 Tahun 1954, mulai berlaku tanggal 10 November 1954);
b.
Universitas Hasanuddin di Makassar (PP No. 23 Tahun 1956, mulai berlaku tanggal 1 September 1956);
c.
Universitas Andalas di Bukittinggi (PP No. 24 Tahun 1956, mulai berlaku tanggal 1 September 1956);
52
Hardjasoemantri, Op.Cit., hlm. 9. Syamsudin, Op.Cit, hlm. 22-24. 54 Hardjasoemantri, Op.Cit., hlm. 12. 53
28
d.
Universitas Padjajaran di Bandung (PP No. 37 Tahun 1957, mulai berlaku tanggal 11 September 1957);
e.
Universitas Sumatera Utara di Medan (PP No. 48 Tahun 1957, mulai berlaku tanggal 30 Oktober 1957);
f.
Institut Teknologi Bandung di Bandung (PP No. 6 Tahun 1959, mulai berlaku tanggal 28 Februari 1959). Pada perkembangan berikutnya periode yang tercatat sebagai periode
dengan pertumbuhan Perguruan Tinggi Negeri yang paling pesat terjadi pada periode 1959-1965, karena pada masa itu setiap Daerah Tingkat I (Dati I) minimal memiliki satu Perguruan Tinggi Negeri, bahkan hal itu menjadi syarat bagi daerah yang hendak melakukan pemekaran menjadi Dati I sehingga tercatat hingga tahun 1965 pemerintah telah mendirikan 29 Perguruan Tinggi Negeri, selain itu juga terdapat berbagai universitas, sekolah tinggi, dan institut swasta dan juga kedinasan. 2.
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia Sebagai salah satu komponen penyelenggaraan sistem pendidikan nasional
yang
diatur
dalam
UNDANG-UNDANG
Sisdiknas,
pendidikan
tinggi
menyelenggarakan program diploma, program sarjana, program magister, program doktor,
dan
program profesi,
serta
program spesialis,
yang
diselenggarakan oleh institusi perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. 55 Perguruan tinggi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi di
55
Perhatikan Pasal 1 Angka 2 UNDANG-UNDANG Pendidikan Tinggi.
29
Indonesia pada dasarnya menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut dengan berbagai bentuk, antara lain:56
a.
Universitas Universitas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Contoh: Universitas Sumatera Utara (USU). b.
Institut Institut merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Contoh: Institut Teknologi Bandung (ITB). c.
Sekolah Tinggi Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan
pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Contoh: Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). d.
Politeknik
56
Perhatikan Pasal 59 UNDANG-UNDANG Pendidikan Tinggi.
30
Politeknik
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat, politeknik dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Contoh: Politeknik Negeri Medan (POLMED). e.
Akademi Akademi
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan
pendidikan vokasi dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu. Contoh: Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan Medan. (ATKP Medan) f.
Akademi Komunitas Akademi
Komunitas
merupakan
Perguruan
Tinggi
yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua dalam satu atau beberapa cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus. Contoh: Akademi Komunitas Negeri Banyuasin (AKN Banyuasin). Eksistensi Perguruan Tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi tidak hanya di monopoli oleh Pemerintah sebagai penyelenggara Perguruan Tinggi Negeri (PTN), namun juga memberikan peran bagi masyarakat atau badan yang bersifat privat untuk mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan cara membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri. 57 Berdasarkan data Kementerian Riset,
57
Pasal 60 Ayat (2) UNDANG-UNDANG Pendidikan Tinggi.
31
Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), tercatat bahwa di Indonesia terdapat 362 PTN dan 4022 PTS dalam berbagai bentuknya. 58 Perkembangan pesat jumlah perguruan tinggi di Indonesia ini pada satu sisi memang berdampak positif, yakni bertambah besar kemungkinan tecapainya visi pendidikan nasional yakni terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.59 Hal ini disebabkan semakin tingginya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk mencicipi pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi yang tidak lagi terbatas pada Perguruan Tinggi Negeri saja, namun juga dapat didapatkan melalui Perguruan Tinggi Swasta. Namun di sisi lain, perkembangan pesat tersebut sejatinya turut pula membawa dampak negatif, semakin marak kasus-kasus pelanggaran terjadi seperti banyaknya kasus ijazah/gelar palsu, pendirian PTS tanpa izin, pembukaan prodi tanpa izin, dan lain sebagainya yang pada puncaknya pada 2015 yang lalu tercatat sebanyak 243 PTS dinonaktifkan akibat berbagai pelanggaran.60 Guna mengantisipasi hal tersebut, dibentuklah suatu standar nasional pendidikan tinggi yang mengacu pada Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014
58
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Grafik Jumlah Pendidikan Tinggi, http://forlap.ristekdikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt, diakses pada tanggal 16 September 2016. 59 Perhatikan Penjelasan Umum UNDANG-UNDANG Sisdiknas. 60 Viva News, Kemenristekdikti Nonaktifkan 243 Kampus Bermasalah, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/682039-kemenristek-dikti-nonaktifkan-243-kampusbermasalah, diakses pada tanggal 16 September 2016.
32
Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. 61 Standar ini mencakup 3 hal, yaitu: Standar Nasional Pendidikan, Standar Nasional Penelitian, dan Standar Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat,62 yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Standar Nasional Pendidikan Standar
Nasional
Pendidikan,
adalah
kriteria
minimal
tentang
pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi di perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.63 Standar Nasional Pendidikan meliputi beberapa hal, yakni:64 1)
standar kompetensi lulusan;
2)
standar isi pembelajaran
3)
standar proses pembelajaran;
4)
standar penilaian pembelajaran;
5)
standar dosen dan tenaga kependidikan;
6)
standar sarana dan prasarana pembelajaran;
7)
standar pengelolaan pembelajaran; dan
8)
standar pembiayaan pembelajaran.
b.
Standar Nasional Penelitian
61
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 769) 62 Pasal 1 Angka (1) Permendikbud No. 49 Tahun 2014. 63 Pasal 1 Angka (2) Permendikbud No. 49 Tahun 2014. 64 Pasal 4 Permendikbud No. 49 Tahun 2014.
33
Standar Nasional Penelitian adalah kriteria minimal tentang sistem penelitian pada perguruan tinggi yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.65 Standar Nasional Penelitian terdiri atas:66 1)
standar hasil penelitian;
2)
standar isi penelitian;
3)
standar proses penelitian;
4)
standar penilaian penelitian;
5)
standar peneliti;
6)
standar sarana dan prasarana penelitian;
7)
standar pengelolaan penelitian; dan
8)
standar pendanaan dan pembiayaan penelitian.
c.
Standar Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat Standar Nasional Pengabdian kepada Masyarakat adalah kriteria minimal
tentang sistem pengabdian kepada masyarakat pada perguruan tinggi yang berlaku di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. 67 Standar Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat ini mencakup:68 1)
standar hasil pengabdian kepada masyarakat;
2)
standar isi pengabdian kepada masyarakat;
3)
standar proses pengabdian kepada masyarakat;
4)
standar penilaian pengabdian kepada masyarakat;
65
Pasal 1 Angka (3) Permendikbud No. 49 Tahun 2014. Pasal 42 Permendikbud No. 49 Tahun 2014. 67 Pasal 1 Angka (4) Permendikbud No. 49 Tahun 2014. 68 Pasal 53 Permendikbud No. 49 Tahun 2014. 66
34
5)
standar pelaksana pengabdian kepada masyarakat;
6)
standar sarana dan prasarana pengabdian kepada masyarakat;
7)
standar pengelolaan pengabdian kepada masyarakat; dan standar pendanaan dan pembiayaan pengabdian kepada masyarakat.
Standar inilah yang dijadikan tolak ukur bagi penyelenggara pendidikan tinggi, di mana hasilnya akan terlihat melalui kualitas beberapa komponen seperti:69 dosen dan tenaga kependidikan; sarana dan prasarana; isi, proses, dan pengelolaan pembelajaran; serta kompetensi lulusan. Komponen-komponen ini dimonitor secara berkala oleh Kemenristekdikti selaku kementerian yang membawahi pelaksanaan Pendidikan Tinggi. Apabila dikaitkan dengan kasus yang dikaji dalam tulisan ini, tentulah terdapat beberapa standar yang tidak dipenuhi oleh pengelola University of Sumatra, yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab berikutnya. B.
Aspek Hukum Pidana dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia Kedudukan kebijakan hukum pidana merupakan bagian integral dari
kebijakan sosial (social policy) yang mencakup upaya kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan perlindungan masyarakat (social defence policy).70Maka untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) harus memenuhi unsur kebijakan legislatif (tahap
69
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Standar Nasional Pendidikan Tinggi Berdasarkan Permendikbud 49/2014, diakses pada tanggal 17 September 2016. 70 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), hlm.78-79.
35
formulasi), kebijakan yudikatif (tahap aplikasi), dan kebijakan eksekutif (tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana).71 Hampir semua juris yang berpandangan dogmatik, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, sanksi merupakan “safetybelt” bagi suatu peraturan perUndang-Undang an. Pada Undang-Undang
Pendidikan Tinggi jika diteliti terdapat 2 jenis
sanksi, yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi terlihat dalam ketentuan Pasal 92 ayat (2), yang berbunyi: (2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah;
c.
penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan;
d.
penghentian pembinaan; dan/atau
e.
pencabutan izin.
Jenis sanksi administratif memiliki ciri khas bahwa sanksi tersebut bersumber dari hubungan pemerintah-warga, tanpa perantara seorang hakim dan langsung dijatuhkan oleh pemerintah. Sanksi ini berkehendak untuk mengenakan derita atau azab kepada pelanggar sehingga unsur kesalahan menjadi sangat penting. Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang, di samping itu sanksi administratif terutama 71
Teguh Soedarsono, Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, (Jakarta: Jurnal Hukum LPSK, 2010), hlm. 63.
36
ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut sehingga pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan yang terlarang.72 Namun mengenai sanksi administratif dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi tidak akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Pembahasan dalam tulisan ini akan lebih diarahkan pada jenis sanksi lain pada Undang-undang Pendidikan Tinggi yaitu sanksi pidana. Pada dasarnya, sanksi pidana merupakan pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (tindak pidana) melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi. 73 Sanksi pidana lazim dirumuskan dalam Bab Ketentuan Pidana, dalam undang-Undang pendidikan Tinggi, sanksi pidana tersebut dirumuskan dalam Pasal 93, yang berbunyi sebagai berikut: “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Apabila dijabarkan satu per satu, maka perbuatan yang diatur dengan ketentuan pidana adalah sebagai berikut: 1.
Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7)
72
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga (Surabaya: Airlangga Press, 2005), hlm. 217. 73 Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 195.
37
(6)
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
(7)
Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.
2.
Pasal 42 ayat (4)
(4)
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan ijazah.
3.
Pasal 44 ayat (4)
(4) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan sertifikat kompetensi. 4.
Pasal 60 ayat (2)
(2)
PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.
5.
Pasal 90 ayat (4)
(4)
Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a.
memperoleh izin Pemerintah;
b.
berprinsip nirlaba;
c.
bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d.
mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
38
Terlihat bahwa dari penjabaran pasal-pasal tersebut, pembentuk UndangUndang
memberikan perhatian khusus terhadap pemberian izin dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Hal ini sekaligus menempatkan pemahaman bahwa
izin
penyelenggaraan
pendidikan
tinggi
merupakan
inti
dari
penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, undang-Undang Pendidikan Tinggi mengandung tindak pidana yang sifatnya administratif, yang merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana
sebagai
sarana untuk
administrasi.
Jadi
hukum
menegakkan/melaksanakan
pidana
administrasi
hukum
merupakan
fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumensialisasi hukum pidana74 di bidang penyelenggaraan pendidikan tinggi. Dengan fungsi tersebut, maka hukum pidana diharapkan sebagai ultimum remedium bagi penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut. Dalam perumusan sanksi pidana, setidaknya ada 3 hal yang patut untuk dicermati: penetapan sanksi pidana, sistem perumusan sanksi pidana, dan perumusan jumlah pidana yang dikenakan. Penetapan sanksi pidana dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang mengatur pidana secara khusus di luar KUHP sesungguhnya sanksi yang ada masih mengacu pada KUHP itu sendiri, yakni:75 a.
Pidana pokok
1. 2.
Pidana mati Pidana penjara 74
Barda Nawawie Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 15. 75 Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
39
3. 4. 5.
Pidana kurungan Pidana denda Pidana tutupan
b.
Pidana tambahan
1. 2. 3.
Pencabutan hak-hak tertentu Perampasan barang-barang tertentu Pengumuman putusan hakim
Jika mengkaji sanksi pidana dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, maka dapat disimpulkan sanksi yang dikenali adalah sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Sanksi penjara tersebut dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi dirumuskan maksimal 10 tahun, sedangkan sanksi pidana denda dirumuskan dengan jumlah maksimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Selanjutnya mengenai sistem perumusan sanksi pidana menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, ada beberapa jenis perumusan sanksi pidana yaitu:76 1.
Sistem perumusan tunggal/imperatif Sistem perumusan tunggal adalah sistem perumusan di mana jenis pidana
dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Misalnya: Penjara saja atau kurungan saja. (kecuali terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu).77 Perumusan secara tunggal merupakan peninggalan atau pengaruh yang sangat mencolok dari aliran klasik (ingin mengobjektifkan hukum pidana dari 76
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta: Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cetakan kedua, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 16-21. 77 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 2.
40
sifat-sifat pribadi si pelaku), oleh karena itulah maka pada awal timbulnya aliran ini sama sekali tidak memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan. Perumusan yang demikian sebenarnya menunjukkan kekakuan, namun untuk meretas kekakuan tersebut dapat dibuat semacam pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan tunggal itu agar menjadi lebih fleksibel dan elastis.78 2.
Sistem perumusan alternatif Sistem perumusan alternatif ditinjau dari aspek pengertian dan
substansinya merupakan sistem perumusan dimana pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya; berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana yang paling berat sampai yang paling ringan. 3.
Sistem perumusan kumulatif Sistem perumusan kumulatif mempunyai ciri khusus, yaitu adanya
ancaman pidana dengan redaksional kata hubung “dan” seperti “pidana penjara dan pencabutan hak tertentu”. Sistem perumusan kumulatif sebenarnya identik dengan perumusan tunggal karena bersifat “imperatif”, sangat kaku dan “mengharuskan” hakim menjatuhkan pidana dan tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memilih. Namun demikian, bila polarisasi pemikiran pada sistem perumusan kumulatif dipertajam, maka akan diperoleh beberapa kebaikannya, yaitu: a.
Memberikan kepastian hukum kepada terdakwa bahwa pemidanaannya mengacu pada pidana kumulatif tersebut;
78
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 55.
41
b.
Memberikan pidana yang lebih memberatkan kepada pelaku tindak pidana secara generalisasi tanpa melihat materi perbuatan kasus per kasus.
4.
Sistem perumusan kumulatif-alternatif Sistem perumusan ini merupakan gabungan dari sistem sebelumnya.
Sistem ini mengandung dimensi-dimensi sebagai berikut: a.
Adanya dimensi perumusan kumulatif. Aspek ini merupakan konsekuensi logis materi perumusan kumulatif berupa adanya ciri khusus kata”dan” di dalamnya; dan
b.
Adanya dimensi perumusan alternatif di dalamnya. Aspek ini tercermin dari kata yang bersifat memilih pada perumusan alternatif “atau”.
Jika mengacu pada sistem perumusan sanksi pidana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketentuan pidana dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi mengacu pada sistem perumusan kumulatif-alternatif, dengan penggunaan frasa “dan/atau” dalam rumusan Pasal 93 Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Sementara itu, mengenai model perumusan jumlah pidana yang diancamkan terdapat tiga bentuk: Pertama, fix model, dalam hal ini rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yang dapat dijatuhkan hakim. Kedua, categorization model, dengan penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. Ketiga, free model, dalam hal ini Undang-Undang tidak menentukan dengan pasti jumlah
42
pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan penyerahan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. 79 Dalam kriteria ini, dapat disimpulkan bahwa sanksi pidana Undang-Undang Pendidikan Tinggi dirumuskan menggunakan fix model, dengan merumuskan jumlah pidana maksimumnya, yakni pidana penjara dengan ancaman maksimum 10 tahun penjara dan pidana denda dengan ancaman maksimal Rp. 1.000.000.000,00. Perumusan sanksi pidana sebagaimana dijelaskan di atas merupakan bentuk fungsionalisasi hukum pidana dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, dalam sub bab berikutnya akan dibahas secara terperinci mengenai delik penyelenggaraan Pendidikan Tinggi tanpa izin yang diatur dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang merupakan salah satu kajian utama dari tulisan ini. C.
Pengaturan Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya ketentuan pidana dalam UndangUndang Pendidikan Tinggi terdapat pada Pasal 93. Terkait dengan kasus University
of
Sumatra
yang
telah
diputus
dengan
putusan
nomor:
2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn, maka delik penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin dalam tulisan ini dapat dimaknai sebagai berikut:80 “Perseorangan, Organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari Menteri,
79
Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan PerUndang-Undang an, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/62-perumusa-tindak-pidana-dalam-peraturanperUndang-Undang an.html, diakses pada 18 September 2016. 80 Putusan PN Medan No. 2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn
43
dilarang memberikan ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi.” Bunyi delik yang disebutkan dalam dakwaan dan amar putusan ini adalah pemaknaan dari Pasal 93 Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang merumuskan ketentuan pidana terhadap pelanggaran Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4). Untuk memastikan telah terjadi suatu tindak pidana, pada hakikatnya, haruslah terdapat dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan keduanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia).81 Moeljatno menyebutkan bahwa perbuatan pidana terdiri dari lima elemen, yaitu:82 1.
Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2.
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3.
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4.
Unsur melawan hukum yang subjektif, dan
5.
Unsur melawan hukum yang objektif. Kelima unsur atau elemen di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke
dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. 83 Unsur-unsur tersebutlah yang akan dikaji kaitannya dengan tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin.
81
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 64. Ibid., hlm. 69. 83 Leden Marpaung dalam Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan:USU Press, 2010), hlm. 111. 82
44
1.
Unsur pokok objektif dapat dibagi menjadi:
a.
Perbuatan manusia yang terbagi atas:
1)
Act, ialah perbuatan aktif dalam jenis tindak pidana dikenali dengan
comissie delicten (delik komisi) yaitu tindakan aktif yang dilarang yang untuk pelanggarannya diancamkan pidana. Contoh: dilarang membunuh (Pasal 338 KUHP). 2)
Omission, ialah perbuatan tidak aktif, yang dalam jenis tindak pidana
dikenal dengan istilah ommissie delicten (delik omisi) yaitu tindakan pasif, atau merupakan perbuatan yang diharuskan, yang jika tidak dilakukan diancam dengan pidana. Contoh: wajib melaporkan kejahatan tertentu (Pasal 164 KUHP). Dalam tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin patut dipahami bahwa tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana omisi, yang berasal dari suatu kewajiban yang lebih spesifik diatur dalam ketentuan pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang berbunyi: “PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.” Lamintang menyatakan bahwa:84 “Apabila suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu timbul dari UndangUndang , maka tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh UndangUndang itu dengan sendirinya merupakan suatu tindakan yang bersifat wederrechtelijk. Apabila tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh Undang-Undang , maka adanya suatu hubungan sebab-akibat yang adaequaat atau yang memadai akan membuat si pelaku dapat dianggap di mana telah menimbulkan akibat tertentu, sebagian orang kemudian tinggal mempermasalahkan apakah tindakan dari pelaku tersebut adalah sesuai
84
P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm. 382.
45
dengan tindakan seperti yang dimaksudkan dalam sesuatu rumusan delik tertentu atau tidak.” Rumusan tersebut memuat adanya kewajiban bagi badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan tinggi untuk memperoleh izin menteri sebagai legal standing dari penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut. Selain itu badan hukum tersebut juga diwajibkan berprinsip nirlaba, yang artinya adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan Pendidikan,85 bukan untuk kepentingan perseorangan maupun kelompok dalam badan hukum penyelenggara pendidikan tinggi tersebut. Tidak dilakukannya kewajiban inilah yang membuat pelakunya dapat dikenakan ancaman hukuman berdasarkan Pasal 93 UNDANGUNDANG Pendidikan Tinggi. b.
Akibat perbuatan manusia: Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud
adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta, atau kehormatan. Dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi, penyelenggara pendidikan tinggi tanpa hak/izin dilarang untuk mengeluarkan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi. Gelar akademik, gelar vokasi, maupun gelar profesi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan tinggi tanpa izin dianggap tidak sah. Tidak sahnya gelar-gelar tersebut merupakan akibat dari badan hukum penyelenggara tersebut tidak memiliki izin penyelenggaraan
85
Penjelasan Pasal 60 ayat (2) UNDANG-UNDANGPendidikan Tinggi.
46
pendidikan tinggi sebagai “the main condition” dari penyelenggaraan pendidikan tinggi tersebut. c.
Keadaan-keadaan yang menyertai kelakuan dan akibat Pada umumnya dibedakan atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan dan
keadaan setelah perbuatan dilakukan. Kriteria keadaan ini misalnya berkaitan dengan diri si pelaku tindak pidana, tempat terjadinya tindak pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.86 Dalam tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin kriteria khusus mengenai keadaan ini tampak dari penunjukan subjek hukum pidana
khusus dalam Pasal 94
yaitu
“perseorangan,
organisasi,
atau
penyelenggara Pendidikan Tinggi...”, artinya perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi merupakan subjek tindak pidana yang telah ditentukan dalam Pasal 93 Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Sementara untuk kriteria tempat terjadinya tindak pidana, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan tidak ditemukan dalam ketentuan Pasal 93 tersebut. d.
Sifat melawan hukum Salah satu unsur esensial dalam suatu tindak pidana adalah adanya sifat
melawan hukum. Menurut Andi Zainal Abidin, alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana ketika melakukan perbuatan yang tidak mempunyai sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid).87 Sejalan dengan pendapat tersebut,
86
Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 55. Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 47. 87
47
Roeslan Saleh juga menyatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya. 88 Oleh karena itulah dikenal penggolongan sifat melawan hukum, yang secara umum dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu: 1)
Sifat melawan hukum umum89 Sifat ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut
dalam rumusan pengertian perbuatan pidana, yaitu suatu rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Sifat melawan hukum umum merupakan sifat melawan hukum sebagai syarat tidak tertulis (tidak disebutkan) dari dalam suatu rumusan delik. Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yang dalam hal ini berarti: bertentangan dengan hukum, tidak adil. 2)
Sifat melawan hukum khusus90 Sifat melawan hukum khusus biasanya kata “melawan hukum” nya
dicantumkan dalam rumusan delik. Artinya merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidanya suatu perbuatan, yang oleh jaksa penuntut umum harus dibuktikan. 3)
Sifat melawan hukum formil91 Sifat melawan hukum formil mengandung arti semua bagian (unsur-unsur)
dari rumusan delik telah dipenuhi. Apabila perbuatan telah mencocoki larangan Undang-Undang , maka disitu ada kekeliruan, kecuali jika termasuk perkecualian
88
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Tindak Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), hlm. 47. 89 P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm 194. 90 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Edisi Kedua (Medan: USU press, 2013), hal. 132. 91 Moeljatno, Op.Cit, hlm. 130.
48
yang telah ditentukan oleh Undang-Undang pula. Bagi mereka ini, melawan hukum berarti melawan Undang-Undang , sebab hukum adalah Undang-Undang . Sifat ini besumber dari asas legalitas. 4)
Sifat melawan hukum materil92 Sifat melawan hukum materil ini berpendapat belum tentu kalu semua
perbuatan yang mencocoki larangan Undang-Undang bersifat melawan hukum. Hukum bukanlah Undang-Undang saja. Selain Undang-Undang (hukum tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Jika membahas aspek sifat melawan hukum, penyelenggaraan Pendidikan Tinggi tanpa izin tentunya dapat dikategorikan sebagai sifat melawan hukum khusus karena termaktub dalam kata ganti melawan hukum yaitu tanpa hak (“... penyelenggara pendidikan tinggi tanpa hak...”) dalam rumusan pasal-pasal yang disebut dalam Pasal 93. Selain itu menarik pula untuk menganalisis tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin ini berlandasakan konsep sifat melawan hukum formil maupun sifat melawan hukum materil dari perbuatan tersebut. Dalam
konsep
sifat
melawan
hukum
formil,
tindak
pidana
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin dianggap telah terjadi apabila terpenuhi setiap unsur dalam ketentuan Pasal 60 ayat (2): “PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.” Unsur yang dimaksud dalam artian subjek
92
Ibid.
49
hukumnya jelas, yaitu “badan penyelenggara berbadan hukum”, hal ini menandakan terpenuhinya unsur “pelaku” yang disyaratkan dalam tindak pidana, kemudian
tentunya
harus
terpenuhi
juga
unsur
“perbuatan”
yaitu
menyelenggarakan pendidikan tinggi tanpa izin Menteri (sebagai pihak berwenang yang ditunjuk Undang-Undang ). Tidak ada dijelaskan apakah perbuatan tersebut adalah harus “dengan sengaja” maupun karena “kelalaian”. Unsur melawan hukum (wederrechtelijkheid) perbuatan ini terlihat dalam kata “melanggar” pada Pasal 93, di mana untuk menunjukkan sifat melawan hukum dari tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 60 ayat (2) tersebut, yakni apabila “melanggar” ketentuan Pasal 60 ayat (2) tersebut maka telah terjadi perbuatan “melawan hukum”, sehingga terpenuhilah unsur “sifat melawan hukum” secara formil, dan pelakunya dapat dihukum berdasarkan ketentuan pidana Pasal 93. Sedangkan sifat melawan hukum materil, yang terbagi dalam dua pandangan, yakni: Pertama, sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut perbuatannya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembuat Undang-Undang dalam rumusan delik tertentu.93Kedua, sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut sumber hukumnya. Sifat kedua ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial
93
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014), hal.198.
50
dalam masyarakat.94 Selanjutnya, sifat melawan hukum materil ini dibagi lagi kedalam 2 fungsi, yaitu: 1)
Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif Sifat ini diartikan bahwa meskipun dalam perbuatan memenuhi semua
unsur delik, jika menurut pandangan yang hidup dalam masyarakat perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang tercela berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu tidak dijatuhi pidana.95 Fungsi ini merupakan alasan pembenar dan telah dianut dalam praktek pengadilan. Hakikat dari perbuatan pidana adalah perbuatan yang anti sosial, sehingga jika terdapat keragu-raguan dalam pengertian di satu sisi telah memenuhi unsur delik, namun di sisi lain tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka terdakwa harus di bebaskan. 96 2)
Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang positif Sifat ini mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam rumusan delik atau Undang-Undang , namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 97 Sifat ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas dan prinsip fundamental dalam hukum pembuktian pidana yang berbunyi: “actori incumbit onus probandi, actore
94
Ibid. Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hal.133 96 Eddy O.S. Hiariej,Op.Cit, hal. 203 97 Mohammad Ekaputra, Op.Cit, hal. 134. 95
51
non probante, reus absolvitur” artinya siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan, jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan. 98 Dalam konsep sifat melawan hukum materil, ditekankan mengenai pentingnya untuk tidak hanya mengandalkan pandangan positivistik terhadap suatu perbuatan, bahwa perbuatan tidak boleh hanya dilihat dari hukum tertulis namun juga harus dilihat hukum tidak tertulis. 99 Hal ini berlaku pula apabila membahas mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin. Kewajiban menerapkan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Tinggi, sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan yang diciptakan pembentuk Undang-Undang demi kepentingan umum. Ini sekaligus memberikan peluang bagi penegak hukum untuk senantiasa menerapkan hukum yang progresif dalam menyikapi persoalan menjamurnya penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin dengan senantiasa menggali norma-norma dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. 2.
Unsur pokok subjektif: Unsur ini tercermin dalam asas pokok hukum pidana, yaitu “tiada pidana
tanpa kesalahan” (an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy; actus non facit reum nisi mens sist rea). Kesalahan yang dimaksud dalam konteks ini adalah kesengajaan dan kealpaan. 100 Ini berkaitan dengan pertanggungjawaban subjek hukum tindak pidana tersebut, yaitu kesalahan apa yang melekat dalam diri pelaku tindak pidana tersebut, yang berkaitan dengan pemidanaan pelaku tersebut. Namun dalam tindak pidana penyelenggaraan
98
Eddy O.S. Hiariej,Op.Cit hlm. 203. Lihat Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 61. 100 Ibid. 99
52
pendidikan tinggi tanpa izin ini, tidaklah terdapat pembedaan tertentu apakah delik
tersebut
dilakukan
dengan
sengaja
maupun
karena
kealpaan.
BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TINGGI TANPA IZIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI (STUDI PUTUSAN NOMOR: 2796/PID.SUS/2015/Pn-Mdn) A.
Kronologi Kasus Terdakwa merupakan laki-laki yang bernama Marsaid Yushar, lahir di
Tuntungan pada 63 Tahun silam yang bertempat tinggal di Jl. Mesjid Taufik No 123 Kel.Tegal Rejo Kec.Medan Perjuangan dan Jl. Satria Ujung perumahan mekar sari blok No.1-D Kec. Deli Tua Kab.Deli Serdang , beragama Islam dan memiliki pekerjaan sebagai di dosen dan merupakan Mantan Rektor di Universitas Labuhan Batu (UNISLA) dari sejak berdiri sampai pada tahun 2002, yang mana Universitas tersebut berada di bawah naungan Yayasan Lembaga Pendidikan Ma’arif Labuhan Batu. Telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari menteri, dilarang memberikan ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi” sebagaimana dimaksud dalam pasal 93 Undang-undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Adapun kronologi perbuatan terdakwa adalah sebagai berikut:101 1.
Kamis, 25 Juni 2015 pukul 10.00 WIB saksi SUCIPTO S, SH melakukan penyelidikan adanya kasus penjualan ijazah S1,S2 dan S3 yang diterbitkan 101
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Medan, Perkara Pidana Nomor 2796 / Pid.Sus / 2015/Pn-Mdn.
53
54
oleh University Of Sumatera yang diketahui tidak memiliki izin penyelenggaraan pendidikan tinggi dari pemerintah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) 2.
Pada hari yang sama pukul 11.0 WIB saksi SUCIPTO S, SH pergi menuju kantor PGRI Sumut yang berada dijalan Gatot Subroto no.177 dan bersebelahandengan kantor KNPI Sumut no.179, karena informasi yang didapat bahwa terdakwa seperti biasa masuk kantor PGRI sekitar pukul 10.00-11.00 WIB.
3.
Pada saat tiba dikantor PGRI Sumut saksi SUCIPTO menjumpai seorang yang ada didalam kantor tersebut dan bertanya tentang keberadaan terdakwa, akan tetapi terdakwa pada saat itu belum datang. Kemudian sekira pukul 11.30 saksi SUCIPTO mendatangi lagi kantor PGRI tersebut dan langsung bertanya kesalah seorang yang berada dikantor tersebut, dan memberitahukan bahwa terdakwa sudah datang dan sedang berada di gang kedai kopi yang jaraknya lebih kurang 30 meter dari kantor PGRI .
4.
Kemudian saudara saksi SUCIPTO mendatangi terdakwa dan langsung duduk di sebelah terdakwa lalu bertanya “Pak GIMANA, APA BISA BANTU SAYA?” kemudian terdakwa menjawab,”TENTANG APA?” kemudian saksi mengatakan “TENTANG IJAZAH”, karena saksi membutuhkan ijazah S2. Kemudian terdakwa mengatakan “ORANG LAIN AJA BISA SAYA BANTU, KENAPA BAPAK TIDAK BISA SAYA BANTU”.
55
5.
Kemudian terdakwa menjelaskan bahwa kalu ijazah S2 biayanya Rp.40.000.000,- (Empat Puluh Juta Rupiah) kemudian saksi SUCIPTO mengatakan tidak mempunyai uang sebanyak itu, namun pada saat itu terdakwa tidak menanggapinya, dan kemudian terdakwa menjelaskan “yang penting data aja dulu”.
6.
Kemudian terdakwa pergi kemobilnya dan mengambil data-data yang diperlukan, setelah mengambil data tersebut terdawak kembali menjumpai saksi SUCIPTO dengan membawa blangko/dokumen tentang persyaratan untuk mendapatkan ijazah S2. Kemudian terdakwa menjelaskan kepada saksi SUCIPTO agar cepat menyiapkan data-data yang diminta dan diantarkan kembali kepada terdakwa.
7.
Kemudian saksi dan terdakwa bernegoisasi tentang harga ijazah tesebut dan disepakatilah harganya Rp.25.000.000,- (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) dan Blangko pun diserahkan kepada saksi SUCIPTO.
8.
Selanjutnya terdakwa memberikan blangko kepada saksi SUCIPTO , dan pada saat perjalanan pulang, saksi SUCIPTO ditelepon oleh terdakwa yang mengatakan “kalau ada uang Rp.15.000.000,- (Lima Belas Juta Rupiah) sore ini ijazah S2 kepunyaan saksi sucipto langsung siap. Mendengar hal tersebut saksi SUCIPTO langsung melapor kepada atasannya. Selanjutnya saksi SUCIPTO mempersiapkan semua berkas yang diperlukan dan diminta terdakwa dan di bawa ke kantor KNPI Medan dan segera diantarkan pada pukul 13.30WIB.
56
9.
Kemudian terdakwa mengatakan bahwa ijazah S2 saksi SUCIPTO bisa diambil sore nanti pukul 16.30 WIB. Pada pukul 17.30 WIB saksi SUCIPTO bersama-sama dengan anggota Polresta Medan yaitu saksi ISWANTO, BOYKE BARUS, BAMBANG SUKENDRO dan saksi TOHONG pergi kekantor KNPI Medan untuk mengambil ijazah tersebut.
10.
Pada saat tiba di kantor KNPI di jl.Gatot Subroto saksi SUCIPTO langsung berjumpa dengan terdakwa, kemudian terdakwa menyerahkan ijazah S2 beserta Transkrip nilai dan Skripsi/Thesis atas nama saksi SUCIPTO.
11.
Selanjutnya saksi SUCIPTO memberikan uang RP.15.000.000,- (Lima Belas Juta Rupiah) kepada terdakwa, dan pada saat terdakwa menerima uang tersebut maka datang saksi ISWANTO, BOYKE BARUS, BAMBANG SUKENDRO dan saksi TOHONG untuk melakukan penangkapan terhadap terdakwa. Selanjutnya terdakwa beserta barang bukti dibawa ke Polresta Medan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
B.
Dakwaan Jaksa penuntut umum mengajukan Terdakwa Marsaid Yusrah kedepan
pengadilan negeri medan dengan dakwaan sebagai berikut: 1.
Kesatu: Pasal 93 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi, yaitu dalam hal
Perseorangan, organisasi atau penyelenggaraan
57
pendidikan tinggi yang tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari Menteri, dilarang memberikan ijazah, memberikan gelar akademik,
gelar
vokasi,
gelar
profesi.
Perseorangan,
organisasi,
atau
penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Atau 2.
Kedua: Pada pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu dalam hal Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Atau 3.
Ketiga: Pada pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu dalam hal Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1)8 dipidana dengan pidana penjara
58
paling
lama
sepuluh
tahun
dan/atau
pidana
denda
paling
banyak
Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
C.
Fakta Hukum
1.
Keterangan Saksi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka sidang pengadilan. Dengan perkataan lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 (1) KUHAP).102 Keterangan saksi-saksi tersebut saling berhubungan satu sama lain atau mempunyai keterangan yang sama. Berdasarkan keterangan beberapa saksi yang diperoleh bahwa benar terdakwa melakukan tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin. Adapun saksi yang dimaksud ialah: 1)
Sucipto S, SH
a)
Pada 25 mei 2015 sekira pukul 18.00 WIB dikantor KNPI Jl. Gatot Subroto No.79 Medan terdakwa ditangkap karena Penjualan ijazah S1, S2 dan S3 tanpa harus mengikuti proses belajar/kuliah atau palsu, saksi mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada Universitas yang dapat menerbitkan ijazah tanpa mengikuti perkuliahan/proses belajar mengajar, 102
H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum( Malang: Umm Press, 2004), hlm 15.
59
lalu saksi mencari informasi melalui internet apakah benar Universitas yang dimaksud itu benar ilegal atau tidak dan saksi juga mencari brosur tentang perguruan tinggi tersebut selanjutnya saksi konfirmasi ke KOPERTIS apakah benar perguruan tinggi tersebut ada memiiki izin atau tidak setelah itu saksi melakukan penyamaran seolah-olah saksi membutuhkan ijazah S2 yang sebelumnya saksi terlebih dahulu mencari tahu tentang terdakwa dan keberadaannya, lalu tanggal 25 Mei 2015 antara jam 10.00 WIB – 11.00 WIB saya menuju Jl. Gatot Subroto Medan untuk menemui terdakwa setibanya saksi bertemu seseorang yang ada didalam kantor tersebut dan mengatakan terdakwa sudah datang dan terdakwa berada di gang kedai kopi yang jaraknya kurang lebih 30 meter dari kantor PGRI, lalu saksi menemui terdakwa dan duduk disebelah terdakwa lalu bertanya kepada terdakwa, apa bisa bantu karena saksi butuh ijazah sarjana S2, lalu terdakwa mengatakan bisa dengan biaya Rp.40.000.000,- lalu saksi Sucipto mengatakan tidak mempunyai uang sebanyak itu, lalu terdakwa menjawab Rp.25.000.000,- saja. Kemudian terdakwa selanjutnya memberikan blangko kepada saksi dan saksi pulang membawa blanko tersebut namun ditengah perjalanan pulang saya ditelepon terdakwa yang mengatakan kalau ada uang Rp.15.000.000,- sore ini ijazah S2 langsung siap dan saksi disuruh mengantarkan dokumen berupa diantaranya fotocopy ijazah S1, paspoto 4x6 = 6 Lembar dan sekira pukul 13.30 WIB saya tiba dikantor KNPI dan langsung menjumpai terdakwa dengan menyerahkan dokumen-dokumen tersebut sekira pukul 16.30 WIB
60
Terdakwa menghubungi saksi dan mengatakan bahwa Terdakwa sudah menunggu di kantor KNPI di Jl. Gatot Subroto, selanjutnya saksi melaporkan hal ini pada pimpinan saksi; b)
Saksi- saksi pergi ke tempat yang sudah dijanjikan oleh Terdakwa yaitu gedung KNPI, setibanya saksu di tempat tersebut saksi serahkan uang uang Rp.15.000.000,- dan terdakwa menyerahkan 1 Ijazah, Transkrip Nilai dan Tesis, lalu terdakwa langsung kami tangkap dan benar setelah Terdakwa ditangkap saksi melakukan pengeledahan yaitu dirumah Terdakwa ditemukan blangko Ijazah S1,S2 dan S3, foto-foto wisuda, brosur-brosur University Of Sumatera sedangkan di gedung KNPI saksi sita computer dan beberapa Skripsi, dari percetakan ada kami sita blangkoblangko kosong dan brosur-brosur University Of Sumatera, saksi pernah melacak gedung kampus University Of Sumatera ternyata memang tidak ada gedungnya dan setelah saksi menemukan beberapa brosur University Of Sumatera dimana University Of Sumatera memiliki izin SK. Mendiknas No.53 / D / O / 2000 dengan akreditasi BAN – PT AKREDITAS B tahun 2013, setelah saksi pergi ke KOPERTIS untuk konfirmasi ternyata University Of Sumatera tidak terdaftar (illegal) dan izin SK. MENDIKNAS No.53/D/O/2000 bukan Izin University Of Sumatera melainkan izin Universitas Islam Al Wasliyah Labuhan Batu dan setelah dilakukannya pengecekan ternyata banyak korban dari perbuatan terdakwa namun semua nama tersebut hanya fiktif dan saksi-saksi membawa barang bukti yaitu Ijazah, Skripsi/Tesis dan Traskrip nilai;
61
2)
ISWANTO
a)
Pada 25 mei 2015 sekira pukul 18.00 WIB dikantor KNPI Jl. Gatot Subroto No.79 Medan terdakwa ditangkap karena Penjualan ijazah S1, S2 dan S3 tanpa harus mengikuti proses belajar/kuliah atau palsu, saksi mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada Universitas yang dapat menerbitkan ijazah tanpa mengikuti perkuliahan/proses belajar mengajar, lalu saksi mencari informasi melalui internet apakah benar Universitas yang dimaksud itu benar ilegal atau tidak dan saksi juga mencari brosur tentang perguruan tinggi tersebut selanjutnya saksi konfirmasi ke KOPERTIS apakah benar perguruan tinggi tersebut ada memiiki izin atau tidak setelah itu saksi melakukan penyamaran seolah-olah saksi membutuhkan ijazah S2 yang sebelumnya saksi terlebih dahulu mencari tahu tentang terdakwa dan keberadaannya, lalu tanggal 25 Mei 2015 antara jam 10.00 WIB – 11.00 WIB saya menuju Jl. Gatot Subroto Medan untuk menemui terdakwa setibanya saksi bertemu seseorang yang ada didalam kantor tersebut dan mengatakan terdakwa sudah datang dan terdakwa berada di gang kedai kopi yang jaraknya kurang lebih 30 meter dari kantor PGRI, lalu saksi menemui terdakwa dan duduk disebelah terdakwa lalu bertanya kepada terdakwa, apa bisa bantu karena saksi butuh ijazah sarjana S2, lalu terdakwa mengatakan bisa dengan biaya Rp.40.000.000,- lalu saksi Sucipto mengatakan tidak mempunyai uang sebanyak itu, lalu terdakwa menjawab Rp.25.000.000,- saja. Kemudian terdakwa selanjutnya memberikan blangko kepada saksi dan saksi pulang membawa blanko
62
tersebut namun ditengah perjalanan pulang saya ditelepon terdakwa yang mengatakan kalau ada uang Rp.15.000.000,- sore ini ijazah S2 langsung siap dan saksi disuruh mengantarkan dokumen berupa diantaranya fotocopy ijazah S1, paspoto 4x6 = 6 Lembar dan sekira pukul 13.30 WIB saya tiba dikantor KNPI dan langsung menjumpai terdakwa dengan menyerahkan dokumen-dokumen tersebut sekira pukul 16.30 WIB Terdakwa menghubungi saksi dan mengatakan bahwa Terdakwa sudah menunggu di kantor KNPI di Jl. Gatot Subroto, selanjutnya saksi melaporkan hal ini pada pimpinan saksi; b)
Saksi- saksi pergi ke tempat yang sudah dijanjikan oleh Terdakwa yaitu gedung KNPI, setibanya saksu di tempat tersebut saksi serahkan uang uang Rp.15.000.000,- dan terdakwa menyerahkan 1 Ijazah, Transkrip Nilai dan Tesis, lalu terdakwa langsung kami tangkap dan benar setelah Terdakwa ditangkap saksi melakukan pengeledahan yaitu dirumah Terdakwa ditemukan blangko Ijazah S1,S2 dan S3, foto-foto wisuda, brosur-brosur University Of Sumatera sedangkan di gedung KNPI saksi sita computer dan beberapa Skripsi, dari percetakan ada kami sita blangkoblangko kosong dan brosur-brosur University Of Sumatera, saksi pernah melacak gedung kampus University Of Sumatera ternyata memang tidak ada gedungnya dan setelah saksi menemukan beberapa brosur University Of Sumatera dimana University Of Sumatera memiliki izin SK. Mendiknas No.53 / D / O / 2000 dengan akreditasi BAN – PT AKREDITAS B tahun 2013, setelah saksi pergi ke KOPERTIS untuk
63
konfirmasi ternyata University Of Sumatera tidak terdaftar (illegal) dan izin SK. MENDIKNAS No.53/D/O/2000 bukan Izin University Of Sumatera melainkan izin Universitas Islam Al Wasliyah Labuhan Batu dan setelah dilakukannya pengecekan ternyata banyak korban dari perbuatan terdakwa namun semua nama tersebut hanya fiktif dan saksi-saksi membawa barang bukti yaitu Ijazah, Skripsi/Tesis dan Traskrip nilai. 3)
TOHONG
a)
Pada 25 mei 2015 sekira pukul 18.00 WIB dikantor KNPI Jl. Gatot Subroto No.79 Medan terdakwa ditangkap karena Penjualan ijazah S1, S2 dan S3 tanpa harus mengikuti proses belajar/kuliah atau palsu, saksi mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada Universitas yang dapat menerbitkan ijazah tanpa mengikuti perkuliahan/proses belajar mengajar, lalu saksi mencari informasi melalui internet apakah benar Universitas yang dimaksud itu benar ilegal atau tidak dan saksi juga mencari brosur tentang perguruan tinggi tersebut selanjutnya saksi konfirmasi ke KOPERTIS apakah benar perguruan tinggi tersebut ada memiiki izin atau tidak setelah itu saksi melakukan penyamaran seolah-olah saksi membutuhkan ijazah S2 yang sebelumnya saksi terlebih dahulu mencari tahu tentang terdakwa dan keberadaannya, lalu tanggal 25 Mei 2015 antara jam 10.00 WIB – 11.00 WIB saya menuju Jl. Gatot Subroto Medan untuk menemui terdakwa setibanya saksi bertemu seseorang yang ada didalam kantor tersebut dan mengatakan terdakwa sudah datang dan terdakwa berada di gang kedai kopi yang jaraknya kurang lebih 30 meter dari kantor
64
PGRI, lalu saksi menemui terdakwa dan duduk disebelah terdakwa lalu bertanya kepada terdakwa, apa bisa bantu karena saksi butuh ijazah sarjana S2, lalu terdakwa mengatakan bisa dengan biaya Rp.40.000.000,- lalu saksi Sucipto mengatakan tidak mempunyai uang sebanyak itu, lalu terdakwa menjawab Rp.25.000.000,- saja. Kemudian terdakwa selanjutnya memberikan blangko kepada saksi dan saksi pulang membawa blanko tersebut namun ditengah perjalanan pulang saya ditelepon terdakwa yang mengatakan kalau ada uang Rp.15.000.000,- sore ini ijazah S2 langsung siap dan saksi disuruh mengantarkan dokumen berupa diantaranya fotocopy ijazah S1, paspoto 4x6 = 6 Lembar dan sekira pukul 13.30 WIB saya tiba dikantor KNPI dan langsung menjumpai terdakwa dengan menyerahkan dokumen-dokumen tersebut sekira pukul 16.30 WIB Terdakwa menghubungi saksi dan mengatakan bahwa Terdakwa sudah menunggu di kantor KNPI di Jl. Gatot Subroto, selanjutnya saksi melaporkan hal ini pada pimpinan saksi; b)
Saksi- saksi pergi ke tempat yang sudah dijanjikan oleh Terdakwa yaitu gedung KNPI, setibanya saksu di tempat tersebut saksi serahkan uang uang Rp.15.000.000,- dan terdakwa menyerahkan 1 Ijazah, Transkrip Nilai dan Tesis, lalu terdakwa langsung kami tangkap dan benar setelah Terdakwa ditangkap saksi melakukan pengeledahan yaitu dirumah Terdakwa ditemukan blangko Ijazah S1,S2 dan S3, foto-foto wisuda, brosur-brosur University Of Sumatera sedangkan di gedung KNPI saksi sita computer dan beberapa Skripsi, dari percetakan ada kami sita blangko-
65
blangko kosong dan brosur-brosur University Of Sumatera, saksi pernah melacak gedung kampus University Of Sumatera ternyata memang tidak ada gedungnya dan setelah saksi menemukan beberapa brosur University Of Sumatera dimana University Of Sumatera memiliki izin SK. Mendiknas No.53 / D / O / 2000 dengan akreditasi BAN – PT AKREDITAS B tahun 2013, setelah saksi pergi ke KOPERTIS untuk konfirmasi ternyata University Of Sumatera tidak terdaftar (illegal) dan izin SK. MENDIKNAS No.53/D/O/2000 bukan Izin University Of Sumatera melainkan izin Universitas Islam Al Wasliyah Labuhan Batu dan setelah dilakukannya pengecekan ternyata banyak korban dari perbuatan terdakwa namun semua nama tersebut hanya fiktif dan saksi-saksi membawa barang bukti yaitu Ijazah, Skripsi/Tesis dan Traskrip nilai.
4)
ISMAIL RITONGA :
a)
Pada 25 mei 2015 sekira pukul 18.00 WIB dikantor KNPI Jl. Gatot Subroto No.79 Medan terdakwa ditangkap karena Penjualan ijazah S1, S2 dan S3 tanpa harus mengikuti proses belajar/kuliah atau palsu, saksi mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada Universitas yang dapat menerbitkan ijazah tanpa mengikuti perkuliahan/proses belajar mengajar, lalu saksi mencari informasi melalui internet apakah benar Universitas yang dimaksud itu benar ilegal atau tidak dan saksi juga mencari brosur tentang perguruan tinggi tersebut selanjutnya saksi konfirmasi ke
66
KOPERTIS apakah benar perguruan tinggi tersebut ada memiiki izin atau tidak setelah itu saksi melakukan penyamaran seolah-olah saksi membutuhkan ijazah S2 yang sebelumnya saksi terlebih dahulu mencari tahu tentang terdakwa dan keberadaannya, lalu tanggal 25 Mei 2015 antara jam 10.00 WIB – 11.00 WIB saya menuju Jl. Gatot Subroto Medan untuk menemui terdakwa setibanya saksi bertemu seseorang yang ada didalam kantor tersebut dan mengatakan terdakwa sudah datang dan terdakwa berada di gang kedai kopi yang jaraknya kurang lebih 30 meter dari kantor PGRI, lalu saksi menemui terdakwa dan duduk disebelah terdakwa lalu bertanya kepada terdakwa, apa bisa bantu karena saksi butuh ijazah sarjana S2, lalu terdakwa mengatakan bisa dengan biaya Rp.40.000.000,- lalu saksi Sucipto mengatakan tidak mempunyai uang sebanyak itu, lalu terdakwa menjawab Rp.25.000.000,- saja. Kemudian terdakwa selanjutnya memberikan blangko kepada saksi dan saksi pulang membawa blanko tersebut namun ditengah perjalanan pulang saya ditelepon terdakwa yang mengatakan kalau ada uang Rp.15.000.000,- sore ini ijazah S2 langsung siap dan saksi disuruh mengantarkan dokumen berupa diantaranya fotocopy ijazah S1, paspoto 4x6 = 6 Lembar dan sekira pukul 13.30 WIB saya tiba dikantor KNPI dan langsung menjumpai terdakwa dengan menyerahkan dokumen-dokumen tersebut sekira pukul 16.30 WIB Terdakwa menghubungi saksi dan mengatakan bahwa Terdakwa sudah menunggu di kantor KNPI di Jl. Gatot Subroto, selanjutnya saksi melaporkan hal ini pada pimpinan saksi;Saksi- saksi pergi ke tempat yang
67
sudah dijanjikan oleh Terdakwa yaitu gedung KNPI, setibanya saksu di tempat tersebut saksi serahkan uang uang Rp.15.000.000,- dan terdakwa menyerahkan 1 Ijazah, Transkrip Nilai dan Tesis, lalu terdakwa langsung kami tangkap dan benar setelah Terdakwa ditangkap saksi melakukan pengeledahan yaitu dirumah Terdakwa ditemukan blangko Ijazah S1,S2 dan S3, foto-foto wisuda, brosur-brosur University Of Sumatera sedangkan di gedung KNPI saksi sita computer dan beberapa Skripsi, dari percetakan ada kami sita blangko-blangko kosong dan brosur-brosur University Of Sumatera, saksi pernah melacak gedung kampus University Of Sumatera ternyata memang tidak ada gedungnya dan setelah saksi menemukan beberapa brosur University Of Sumatera dimana University Of Sumatera memiliki izin SK. Mendiknas No.53 / D / O / 2000 dengan akreditasi BAN – PT AKREDITAS B tahun 2013, setelah saksi pergi ke KOPERTIS untuk konfirmasi ternyata University Of Sumatera tidak terdaftar (illegal) dan izin SK. MENDIKNAS No.53/D/O/2000 bukan Izin University Of Sumatera melainkan izin Universitas Islam Al Wasliyah Labuhan Batu dan setelah dilakukannya pengecekan ternyata banyak korban dari perbuatan terdakwa namun semua nama tersebut hanya fiktif dan saksi-saksi membawa barang bukti yaitu Ijazah, Skripsi/Tesis dan Traskrip nilai.
2.
Keterangan Ahli
68
Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Tidak semua keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, melainkan yang dapat memenuhi syarat-syarat kesaksian adalah yang diberikan dimuka persidangan (Pasal 186 KUHAP).103 Penjelasan Pasal ini mengatakan, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. 1)
Prof. DIAN ARTANTO, M.Pd.,MA.,M.Sc.,Ph.D:
a)
Ahli pernah diperiksa dihadapan penyidik, riwayat pekerjaan ahli adalah:
i.
Dosen UNIMED sejak 1988 – Sekarang
ii.
Ketua Prodi Pendidikan Dasar Pascasarjana UNIMED
iii.
Koordinator KOPERTIS I SUMUT sejak 2012 – Sekarang b)
Ahli menerangkan Syarat untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta): Yayasan sebagai badan penyelenggaraan terdaftar di KEMENKUMHAM (Legalitas 103
Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Bandung: CV.Mandar Maju,1999), hlm 108.
69
badan Penyelenggara); PTS (Perguruan Tinggi Swasta) memiliki izin operasional dari DIKTI; terakreditasi BAN – PT dan Dosen dan Mahasiswa terdaftar dipangkalan data pendidikan tinggi di DIKTI, yayasan sebagai badan Penyelenggara terdaftar di KEMENKUMHAM (Legalitas badan Penyelenggara); PTS (Perguruan Tinggi Swasta) memiliki izin operasional dari DIKTI; terakreditasi BAN – PT dan Dosen dan Mahasiswa terdaftar dipangkalan data pendidikan tinggi di DIKTI; ketersediaan lahan untuk Kampus; Rekomendasi KOPERTIS; Rancangan dan Rencana Strategi (RENSTRA); Rancangan Statua PTS; Rancangan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI); Studi Kelayakan PTS; Laporan Keuangan Yayasan; dan Rancangan Program Akademi dalam bentuk Proposal Prodi; c)
Ahli mengenal terdakwa ketika tahun 2013 untuk mengajukan izin dan mengklarifikasi
legalitas PTS yang dimiliki oleh terdakwa, ternyata
bahwa University Of Sumatera tidak memiliki izin. Izin yang ditunjukan adalah izin dari Universitas Islam Labuhan Batu; d)
Ahli dan teman-teman pergi kejalan pancing untuk melihat Plang nama University Of Sumatera dimana izin ada tercantum dalam papan plang nama tersebut ternyata disana perkuliahan tidak ada;
e)
Kemudian saksi ada diundang untuk menghadiri acara wisuda pada tahun 2014 di Hotel Royal Perintis dan pada saat itu ahli menerangkan kepada terdakwabahwa University Of Sumatera tidak memiliki izin (ilegal) dan tidak boleh melakukan wisuda, atas kejadian tersebut ahli selaku
70
Koordinator KOPERTIS Wilayah I Sumut melaporkan ke pihak POLRESTA Medan. Bahwa setiap perguruan tinggi memiliki izin tidak dibenarkan mengeluarkan ijazah tanpa melalui proses belajar-mengajar atau perkuliahan; f)
Menurut ahli memang benar University Of Sumatera tidak memiliki izin operesional dari DIKTI dan tidak terdaftar di Pangkan Data Pendidikan Tinggi (PDPT atau PD DIKTI) dari Dirjen DIKTI. University Of Sumatera juga tidak terdaftar didirektori KOPERTIS I Sumut;
g)
Saksi menerangkan KOPERTIS bukan sebagai pihak yang mengurus izin atau legalitas dari suatu PTS, dimana segala bentuk izin maupun surat yang bersifat permohonan, dapat diajukan langsung oleh PTS yang bersangkutan dimana setelah izin dari Kementerian itu dikeluarkan, maka KOPERTIS hanya
mendapatkan surat pemberitahuan yang bersifat
tebusan dari Kementerian Pendidikan Nasional; h)
Ahli mengatakan tidak pernah mengirimkan surat atau menegur secara administrative kepada University Of Sumatera karena KOPERTIS hanya bertugas untuk mengkoordinir PTS yang ada diwilayahnya bukan mengeluarkan legalitas maupun izin untuk menentukan boleh atau tidaknya suatu PTS itu beroperasi;
3.
Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alamai sendiri (pasal 189 KUHAP). Keterangan terdakwa harus diberikan di depan
71
sidang pengadilan, sedangkan keterangan terdakwa yang dibarikan di luar sidang hanya dapat dipergunakan untuk menemukan bukti di sidang saja104. Keterangan terdakwa ialah sebagai berikut: a)
Terdakwa menjadi rektor UNISLA sejak berdirinya UNISLA sampai dengan tahun 2002 terdakwa ditetapkan sebagai rektor UNISLA oleh ketua yayasan lembaga pendidikan Ma’arif di rantau prapat;
b)
Terdakwa bertemu dengan saksi SUCIPTO pertama kali tanggal 25 Mei 2015 diwarung kopi kedai kopi yang jaraknya ±30 Meter dari kantor PGRI tersebut. Dijalan gatot subroto saksi datang menemui terdakwa karena dia minta tolong agar dapat ikut Wisuda S2 di University Of Sumatera yang wisudanya akan dilaksanakan di kota Lhokseumawe Provinsi Aceh ,sekira pukul 11.30 WIB saksi SUCIPTO mendatanginya dikedai kopi yang terletak diantara gedung PGRI dan gedung KNPI saksi SUCIPTO bertanya kepada terdakwa apakah terdakwa bisa bantu saksi mengenai ijazah S2 karena saksi sucipto memerlukan Ijazah S2 untuk kerjaannya sebagai pegawai asuransi.
Kemudian terdakwa
mengatakan bisa
membantu saksi SUCIPTO untuk membuat ijazah S2 dengan kesepakatan biayanya sebesar Rp.15.000.000,- (Lima Belas Juta Rupiah), kemudian sekira pukul 18.00 WIB terdakwa ditangkap oleh anggota polisi POLRESTA Medan pada saat menyerahkan Ijazah S2 dan transkrip nilai atas nama SUCIPTO;
104
145.
Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1998), hlm
72
c)
University Of Sumatera memiliki ijin dari pemerintah yaitu SK: Nomor. 53/0/D/2000 tanggal 1 Mei 2000 dari Kemendiknas berdasarkan akta perubahan dan pendirian pengurus yang dibuat oleh notaris dan telah mendapat pengesahan dari KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI No. AHU/1083/AH/01/04 dan SK dari Kemenkumham tersebut sama sekali belum pernah dibatalkan oleh sebuah putusan dari pengadilan;
d)
Terdakwa benar dihukum pada tahun 2006 oleh pengadilan negeri rokan hilir dikarenakan mengunakan SK Mendiknas No.53/D/O/2000 tanggal 1 Mei 2000 yang merupakan ijin milik UNISLA menjadi University Of Sumatera;
e)
Bahwa University Of Sumatera berdiri sejak tahun 2003 dan memiliki ijin yaitu SK: No.53/O/D/2000, dan tidak pernah teradakwa menjanjikan Ijazah S1, S2, S3 tanpa mengikuti perkuliahan dan terdakwa mengaku bersalah karena saksi SUCIPTO telah menjebak terdakwa dengan mengaku bahwa saksi tersebut membutuhkan Ijazah S2;
f)
Bahwa plang papan University Of Sumatera terdakwa yang pasang dan ada mengundang KOPERTIS saat melaksanakan wisuda University Of Sumatera dan yang hadir saat itu MUSYRI selaku kepala tata usaha KOPERTIS wilayah I;
g)
Pihak KOPERTIS maupun pihak Kepolisian tidak ada melarang saat dilakukan wisuda atau kegiatan perkuliahan University Of Sumatera dan terdakwa yang langsung mengurus Ijin dan legalitas University Of
73
Sumatera ke Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta dan oleh BAN – PT University Of Sumatera mendapat Akreditasi B; h)
Bahwa para lulusan University Of Sumatera tidak ada mengalami masalah terkait dengan Ijazah yang dimiliki.
4.
Barang bukti105 Barang bukti tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita,
barang bukti berupa objek materiil ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (dan terdakwa), misalnya saksi mengatakan, peluru ini saya rampas dari tangan terdakwa, barulah bernilai untuk memperkuat keyakinan hakim yang timbul dari alat bukti yang ada berupa: a)
11 (sebelas) buah stempel Dekan Setiap Fakultas di University Of Sumatera
b)
1 (satu) buah stempel Rektor
c)
4 (Empat) buku Skripsi Mahasiswa University Of Sumatera
d)
919 (Sembilan ratus sembilan belas) buah Surat (Ijazah S1, S2, S3, Akta VI, Transkrip Nilai, Blanko Ijazah)
e)
1 (satu) buku University Of Sumatera STATUTA Sarjana (S1), Master (S2) dan Ph.D (S3) Degree Programs
f)
1 ( Satu) lembar foto wisuda S1 , Pascasarjana S2 (Master), dan S3 (Ph.D) University Of Sumatera di Hotel Royal Perintis Medan tanggal 22 November 2014
105
259.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm
74
g)
2 (Dua) buah Plat (Master Film) Ijazah dan Transkrip Nilai University Of Sumatera
h)
100 (Seratus) lembar Blanko kartu mahasiswa
i)
1 (satu) perangkat Komputer
j)
Uang Tunai sbesar Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah)
D.
Amar Putusan Amar putusan ialah berupa putusan hakim dimana putusan hakim adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan Terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara diatur dalam undang-undang ini. Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan dilampirkan pada berkas perkara atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu atau alasan Non bis in idem.106 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut, maka pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa dalam perkara ini dipandang telah cukup adil dan setimpal dengan kesalahan Terdakwa; Sesuai dengan pasal 93 Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggidan pasal-pasal dari Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, serta pasal-pasal dari Undang-
106
Ibid, hlm 262-263.
75
undang dari peraturan lain yang bersangkutan; maka Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan Putusan sebagai berikut: 1.
Menyatakan terdakwa MARSAID YUSHAR. PHD telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari menteri, dilarang memberikan Ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi”;
2.
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (Enam) tahun dan membayar denda Rp.500.000.000,(Lima Ratus Juta Rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan;
3.
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dilkurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4.
Menetapkan terdakwa tetap ditahan;
5.
Menyatakan barang bukti berupa:
a)
11 (sebelas) buah stempel Dekan Setiap Fakultas di University Of Sumatera
b)
1 (satu) buah stempel Rektor
c)
4 (Empat) buku Skripsi Mahasiswa University Of Sumatera
d)
919 (Sembilan ratus sembilan belas) buah Surat (Ijazah S1, S2, S3, Akta VI, Transkrip Nilai, Blanko Ijazah)
e)
1 (satu) buku University Of Sumatera STATUTA Sarjana (S1), Master (S2) dan Ph.D (S3) Degree Programs
76
f)
1 ( Satu) lembar foto wisuda S1 , Pascasarjana S2 (Master), dan S3 (Ph.D) University Of Sumatera di Hotel Royal Perintis Medan tanggal 22 November 2014
g)
2 (Dua) buah Plat (Master Film) Ijazah dan Transkrip Nilai University Of Sumatera
h)
100 (Seratus) lembar Blanko kartu mahasiswa
i)
1 (satu) perangkat Komputer
j)
Uang Tunai sbesar Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah)
6.
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.1.000,- (Seribu Rupiah)
E.
Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 2796/Pid.SUS/2015/PNMdn. Berdasarkan Putusan PN Medan No. 2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn,
terdakwa diputuskan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari menteri, dilarang memberikan Ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi” dan dipidana dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan. Atas putusan ini, maka penulis melakukan analisa sebagai berikut: 1.
Unsur subjektif tindak pidana
77
Unsur subjektif yaitu unsur setiap orang. Setiap orang yang dimaksud disini adalah setiap orang yang melakukan tindak pidana penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tanpa Izin. Setiap orang yang dimaksud dalam kasus ini adalah terdakwa Marsaid Yushar, Phd. Terkait dengan unsur subjektif ini, kemampuan bertanggungjawab terdakwa adalah fokus yang harus dikaji. Untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada:107 a.
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, sesuai hukum dan yang melawan hukum.
b.
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Maka dapat disimpulkan di dalam hal kemampuan bertanggungjawab, keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidanalah yang menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal, sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran – ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat.108 Dalam kasus ini sesuai fakta persidangan, kemampuan bertanggungjawab
terdakwa dapat dinilai dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut: a.
Terdakwa adalah manusia sebagai subjek hukum pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya;
107
Moeljatno, op.cit, hlm. 165. 108 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, ( Jakarta :Ghalia Indonesia ,1986), hlm. 78
78
b.
Dalam persidangan, atas pertanyaan yang diajukan majelis hakim terdakwa telah menerangkan identitas yang sama dengan identitas sesuai dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
c.
Selama persidangan berlangsung terdakwa dapat mengikuti jalannya persidangan dengan baik dan dapat menjawab semua pertanyaan dengan lancar serta tidak ditemukan adanya kelainan pada diri terdakwa sebagai manusia normal dan sadar akan perbuatannya; Atas pertimbangan inilah maka terdakwa telah terbukti dalam keadaan
sehat dan sempurna akal sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya berdasarkan Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi. 2.
Unsur objektif Unsur
objektif
dapat
dilihat
dalam
Putusan
PN
Medan
No.
2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn, di mana terdakwa terbukti melakukan tindak pidana “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari menteri, dilarang memberikan Ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi” sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi. Pertimbangan telah terpenuhinya unsur objektif dari kasus ini adalah bahwa sesuai kronologi kasus yang telah menjadi fakta persidangan telah terungkap bahwa terdakwa menjanjikan ijazah S2 tanpa mengikuti proses perkuliahan sesuai Standar Nasional Pendidikan Tinggi dengan meminta sejumlah uang imbalan tertentu, dan terungkap pula bahwa lembaga Pendidikan Tinggi yang bersangkutan (University of Sumatra) tidak memiliki izin, yang merupakan
79
komponen inti dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa UU Pendidikan Tinggi menuntut penyelenggara pendidikan tinggi untuk memiliki izin, sebagaimana secara spesifik diatur dalam ketentuan pasal 60 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi yang berbunyi: “PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.” Adanya aturan ini menyebabkan setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan tinggi tanpa izin menjadi tidak sah termasuk mengeluarkan ijazah, sesuai pula dengan ketentuan Pasal 28 ayat (6) dan ayat (7) Pendidikan Tinggi, yang berbunyi: (6)
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
(7)
Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi. Dakwaan dalam Putusan PN Medan No. 2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn
merupakan dakwaan alternatif. Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Dakwaan tersebut antara lain: 1.
Dakwaan Pertama:
“Perseorangan, organisasi atau penyelenggaraan pendidikan tinggi yang tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari Menteri,
80
dilarang memberikan ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi” berdasarkan Pasal 93 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
2.
Dakwaan Kedua: “Perseorangan,
organisasi
atau
penyelenggara
pendidikan
yang
memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi tanpa hak” berdasarkan Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3.
Dakwaan Ketiga: “Penyelenggaran
Satuan
Pendidikan
yang
Didirikan
Tanpa
Izin
pemerintah dan pemerintah daerah”, berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk surat dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau. Penggunaan dakwaan ini adalah tepat karena kejadian berdasarkan kronologis kasus memang identik dengan pemberian gelar oleh institusi yang tidak berhak (tidak memiliki izin).
81
Dalam hal ini penulis setuju dengan putusan hakim yang menghukum terdakwa dengan berdasarkan pada dakwaan pertama, yakni karena telah melakukan tindak pidana yang diatur berdasarkan ketentuan Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi, yaitu “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari menteri, dilarang memberikan Ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi”. Diterapkannya pidana berdasarkan dakwaan pertama ini lebih tepat dibandingkan dakwaan kedua, karena penggunaan Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi dibandingkan Pasal 67 ayat (1) UU Sisdiknas merupakan bentuk diakuinya asas hukum lex specialis derogat lex generalis dikarenakan kedudukan UU Pendidikan Tinggi merupakan lex specialis dari UU Sisdiknas sehingga lebih tepat untuk digunakan dalam hal penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin. Sedangkan jika dibandingkan dengan dakwaan ketiga, sesungguhnya apabila melihat pada kronologi kasus, selain adanya perbuatan penyelenggaraan pendidikan tanpa izin, dalam kasus ini juga terdapat pelanggaran mengeluarkan gelar akademis tertentu oleh pendidikan tinggi tanpa izin tersebut, sehingga penggunaan Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi lebih komprehensif jika dibandingkan dengan hanya memperasalahkan izin sebagaimana ketentuan Pasal 71 UU Sisdiknas. Maka penulis juga setuju terhadap putusan hakim yang menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan. Putusan ini telah tepat sebab tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi ini
82
telah terjadi sejak pendirian University of Sumatera, yang sudah merupakan tindak pidana omisi sejak semula karena didirikan tanpa izin, dan gelar akademik, gelar, vokasi, dan gelar profesi yang dikeluarkannya merupakan gelar yang diberikan tanpa hak, ditambah dengan civil effect dari perbuatan ini yang merusak tatanan sistem pendidikan nasional, sehingga tepatlah hakim menjatuhkan hukuman dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan.
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh PTN dan PTS ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, dan dalam
prosesnya
dibentuklah
suatu
standar
pendidikan
nasional
berdasarkan Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi untuk menjamin setiap perguruan tinggi yang berdiri baik negeri maupun swasta tetap berada di jalur yang seharusnya. Sanksi pidana yang dimaksud diatur pada Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi dan dirumuskan secara alternatif kumulatif dengan diaturya sanksi pidana penjara dan/atau denda. Tindak pidana yang menjadi fokus adalah “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari Menteri, dilarang memberikan Ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 93, yang merupakan delik omisi karena tidak dilalukannya kewajiban yang diatur dalam Pasal 60 ayat (2) yang mewajibkan PTS didirikan atas izin menteri. 2.
Penerapan hukum dalam Putusan PN Medan No. 2796/Pid.SUS/2015/PNMdn oleh majelis hakim adalah dengan memutuskan pidana terhadap terdakwa yaitu dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan kepada terdakwa. Pidana tersebut berdasarkan dakwaan
83
84
pertama JPU yaitu pelaku terbukti berdasarkan fakta-fakta persidangan telah melakukan perbuatan “tanpa hak dan tanpa izin mendirikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dari menteri, dilarang memberikan Ijazah, memberikan gelar akademik, gelar vokasi, gelar profesi” sebagaimana diatur dalam Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi. Terdakwa terbukti telah melakukan perbuatan tersebut dilihat dari unsur obyektif perbuatan pidana tersebut telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 93 UU Pendidikan Tinggi dan khususnya telah melanggar kewajiban yang diatur pada
Pasal
60
ayat
mempertanggungjawabkan
(2),
terdakwa
perbuatannya
juga secara
dianggap
mampu
pidana
dengan
terpenuhinya unsur subjektif sehingga dapat dijatuhi hukuman.
B.
Saran
1.
Perlu kiranya pengaturan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi tanpa izin ini dalam UU Pendidikan Tinggi dibuat menjadi tindak pidana komisi, dengan adanya “larangan” langsung untuk mendirikan perguruan tinggi tanpa izin, agar penindakan terhadap perbuatan ini di masa yang akan datang tidak terkesan ragu-ragu dengan tidak adanya kalimat yang secara langsung melarang perbuatan tersebut.
2.
Perlu kiranya dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap KORPETIS selaku pengawas Standar Mutu Nasional Pendidikan Tinggi dengan membuat sistem pengawasan yang lebih visioner, lebih independen untuk
85
melakukan pengawasan terhadap menjamurnya penyelenggara pendidikan tinggi dewasa ini.
86
DAFTAR PUSTAKA A.
Buku
Ali, Mahrus, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013). Arief, Barda Nawawi , Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,(Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007). ------ , Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003). Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (The United State Of America: West Publishing Co, 2004). Cansil, Christin dan Cansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007). Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori – Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002). ------, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2002) Ekaputra, Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan:USU Press, 2010). ------, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Edisi Kedua (Medan: USU press, 2013). Farid, Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum ( Malang: Umm Press, 2004). Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008).
87
Hardjasoemantri,
Koesnadi,
Perguruan
Tinggi
dan
Pembangunan
Berkelanjutan (Sebuah Tinjauan Aspek Hukum), (Jakarta: Dirjen Dikti Diknas, 2001). Hiariej, Eddy O.S, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014). Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997). Markum,
Enoch,
Pendidikan
Tinggi
dalam
Perspektif
Sejarah
dan
Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2007). Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2008). Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta: Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cetakan kedua, (Jakarta: Djambatan, 2007). Poemomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana,(Jakarta:Ghalia Indonesia, 2001). Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana (Edisi Revisi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014). Prins, W.F, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1983). Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008). Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya: University Press, 1996). S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994).
88
Saleh, Roeslan, Sifat Melawan Hukum dari Tindak Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987). Schaffmeister, Keijzer dan Sutoris, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1995). Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986). Syamsudin, Helius, dkk. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966), (Jakarta: Dirjen Kebudayaan Depdikbud RI, 1993). Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Bandung: CV.Mandar Maju,1999).
B.
Makalah, Kamus dan Jurnal Hukum
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Draft Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang KUHP, (Jakarta: BPHN, 2015). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, (Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, 1977). Direktorat Jenderal Anggaran Kemeneterian Keuangan Republik Indonesia, Informasi APBN 2016, (Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2016). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 769).
89
Teguh Soedarsono, Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, (Jakarta: Jurnal Hukum LPSK, 2010).
C.
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Nomor 431), selanjutnya disebut UU Sisdiknas. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5336), selanjutnya disebut UU Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 769).
D.
Website
Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan PerUndang-Undang an, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/62-perumusa-tindakpidana-dalam-peraturan-perUndang-Undang an.html, diakses pada 18 September 2016.
90
Kompas.com,
17,5
Persen
Peserta
SBMPTN
2016
Lolos
Tes!,
http://edukasi.kompas.com/read/2016/06/28/13383391/17.5.persen.peserta .sbmptn.2016.lolos.tes., diakses pada tanggal 5 Agustus 2016. Okezone.com,
Kemenristek
Dikti
Bekukan
Sembilan
PTS
“Nakal”,
http://news.okezone.Com /read/2015/09/28/65/1222305/kemenristek-diktibekukan-sembilan-pts-nakal, diakses pada tanggal 5 Agustus 2016. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Grafik Jumlah Pendidikan Tinggi, http://forlap.ristekdikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt, diakses pada tanggal 16 September 2016. Viva
News,
Kemenristekdikti
Nonaktifkan
243
Kampus
Bermasalah,
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/682039-kemenristek-diktinonaktifkan-243-kampus-bermasalah, diakses pada tanggal 16 September 2016. Yance Arizona, Pengaturan Tindak Pidana Administrasi Dalam Rkuhp: Suatu Kajian
Awal,
Https://Yancearizona.Files.Wordpress.Com
/2008/06/Pengaturan-Tindak-Pidana-Administrasi-Dalam-Rkuhp.Pdf, Diakses Pada Tanggal 7 Agustus 2016. E.
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negei Medan Nomor: 2796/Pid.SUS/2015/PN-Mdn.