PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN (STUDI PUTUSAN PN RABA BIMA NOMOR 96/PID.B/2015/PN.RBI) JURNAL SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh : RAYYANDA FITRA SURBAKTI NIM : 130200114
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
CURRICULUM VITAE Nama
: Rayyanda Fitra Surbakti
TempatLahir
: Medan
TanggalLahir
: 05Maret 1995
Alamat
: JalanEnggang 2 No. 147 P. Mandala
Agama
: Islam
Status
: Lajang
Orang Tua
: Drs. M. A. Siddik Surbakti
No HP
: 082370922299
Email
:
[email protected]
RiwayatPendidikan Pendidikan Formal
Pengalaman Organisasi
: 1. SDN 066433 (2001-2007) 2. MTsN 2 Medan (2007-2010) 3. MAN 2 Model Medan (2010-2013) 4. S1 FakultasHukum USU (2013-2017)
:1. Ketua Umum Remaja Mesjid Al-Mukhlisin (2015-2017) 2. Wakil Bendahara Umum HMI Komisariat Fakultas Hukum USU (2016-2017)
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangandibawahini: Nama
: RAYYANDA FITRA SURBAKTI
NIM
: 130200114
Fakultas
: Hukum
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pertanggngjawaban PidanaOrang Yang Mempekerjakan Seseorang Di Kapal Tanpa Dokumen Yang Dipersyaratkan (Studi Putusan PN Raba Bima Nomor 96/PID.B/2015/PN.RBI)”belum pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya. Apabila pernyataan ini terbukti tidak benar maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Demikiansuratpernyataaninisayabuatuntukdipergunakansebagaimanamestinya.
Medan, 12 Juni 2017 HormatSaya,
RAYYANDA FITRA SURBAKTI
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN (STUDI PUTUSAN PN RABA BIMA NOMOR 96/PID.B/2015/PN.RBI)
SKRIPSI
Oleh
RAYYANDA FITRA SURBAKTI 130200114 Penanggungjawab DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Dr. M. Hamdan, SH. M.H NIP. 195703261986011001
Pembimbing
Dr. Mohammad Ekaputra, S.H.,M.Hum NIP. 197110051998011001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
ABSTRAK Dr. Mohammad Ekaputra, S.H,.M.Hum* RayyandaFitraSurbakti** Sarana transportasi terutama transportasi laut mempunyai arti penting dan strategis mengingat Indonesia adalah Negara kepulauan yang disatukan oleh wilayah perairan yang sangat luas dengan batas-batas, hak-hak dan kedaulatan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Mengingat begitu pentingnya peran transportasi, khususnya transportasi laut, maka segala kegiatan yang berkaitan dengan transportasi laut pun perlu diatur oleh Negara dikarenakan mengingat begitu tingginya intensitas pelayaran di Indonesia sering memungkinkan terjadinya tindak pidana pelayaran atau tindak pidana di laut. Berdasarkanhaltersebut, maka penulis tertarik untuk merumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana pengaturan hokum tindak pidana pelayaran di Indonesia? Bagaimana pertanggungjawaban pidana orang yang mempekerjakan seseorang di kapal tanpa dokumen yang dipersyaratkan? Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaturan hokum tindak pidana pelayaran di Indonesia dan mengetahui pertanggungjawaban pidana orang yang mempekerjakan seseorang di kapal tanpa dokumen yang dipersyaratkan. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hokum normative dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dengan cara penelitian pustaka. Adapun hasil penelitian dari permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah pengaturan hokum tindak pidana pelayaran di Indonesia diatur di dalam KUHP dan diluar KUHP yaitu dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Pertanggungjawaban pidana orang yang mempekerjakan seseorang di kapal tanpa dokumen yang dipersyaratkan diatur dalam Pasal 312 joPasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentangPelayaran. Kata Kunci :pertanggungjawabanpidana, tindakpidanapelayaran.
*
DosenPembimbing Penulis/MahasiswaFakultasHukumUniversitas Sumatera Utara
**
i
PENDAHULUAN Transportasi merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat baik itu transportasi darat, laut dan udara, dengan tujuan berhubungan satu sama lain untuk proses pemenuhan kebutuhan hidup. Sarana transportasi terutama transportasi laut mempunyai arti penting dan strategis mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang disatukan oleh wilayah perairan yang sangat luas dengan batas-batas, hak-hak dan kedaulatan yang ditetapkan dengan Undang-undang. Mengingat begitu pentingnya peran transportasi, khususnya transportasi laut, maka segala kegiatan yang berkaitan dengan transportasi laut pun perlu diatur oleh negara dikarenakan mengingat begitu tingginya intensitas pelayaran di Indonesia sering memungkinkan terjadinya tindak pidana pelayaran atau tindak pidana di laut. Adapun pengertian tindak pidana di laut itu sendiri adalah tindak pidana yang hanya bisa terjadi di laut saja dan tidak bisa terjadi di darat, dibedakan dengan tindak pidana umum yang terjadi di laut. Berawal dari pengertian tersebut maka timbullah akibatnya yaitu bahwa tindak pidana di laut menjadi suatu tindak pidana khusus yang mengandung arti bahwa tindak pidana di laut mempunyai kekhususan tersendiri. Kekhususan itu bisa terjadi meliputi seluruh unsur tindak pidana (subyek, kesalahan, bersifat melawan hukum, bertentangan dengan Undang-undang, maupun unsur-unsur lainnya misal tempat, waktu dan keadaan lainnya). Karena merupakan tindak pidana khusus disebut juga delik khusus, delik tersebar, delik diluar KUHP, maka penyelesaiannya pun mempunyai kekhususan yang menyimpang dari tindak pidana umum (KUHP) sedangkan hukum acara juga ada penyimpangan dengan KUHAP bahkan aparat penegak hukum, hukum yang ditegakkan juga ada penyimpangan dan medianya juga lain yaitu berupa laut yang mempunyai sifat internasional sedangkan tata cara melakukan tindak pidana di laut pun berbeda karena menggunakan kapal, namun baik KUHP maupun KUHAP masih tetap melingkupi tindak pidana di laut. Agar penyelenggaraan kegiatan transportasi laut dapat dilaksanakan dengan tertib dan melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Pada masa sekarang perundang-undangan berperan penting dalam kehidupan masyarakat, karena melalui perundang-undangan tersebut, kebijakan-kebijakan pemerintah dirumuskan dan kehidupan masyarakat diatur. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dibuat untuk mengakomodasi seluruh kepentingan yang berkaitan dengan transportasi laut, dan sesuai penjelasan Undang-ndang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dimaksudkan agar “penyelenggaraan pelayaran sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa kebaharian, dengan mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan, kordinasi antara pusat dan daerah, serta pertahanan keamanan negara. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi pelanggarnya. Sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Bahwa tindak 1
pidana bidang pelayaran, adalah serangkaian perbuatan terlarang oleh Undangundang, dan tercela dalam kaitan dengan kegiatan pelayaran. Sedangkan yang dimaksud pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan diperairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Bahwa salah satu urgensi pembentukan Undang-undang tentang pelayaran adalah karena perkembangan strategi nasional dan internasional yang menuntut penyelenggaraan pelayaran yang sesuai IPTEK, peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah, dan akuntabilitas penyelenggara negara, dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan nasional. Bahwa ketentuan tentang tindak pidana di bidang pelayaran, berjumlah 52 Pasal, dan terdapat dalam Pasal 284, sampai dengan Pasal 336, Undang-undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, yang untuk memudahkan pemahamannya dibagi dalam 2 (dua) kategori yaitu: berdasarkan subyek pelaku dan berdasarkan pertanggungjawaban pidana. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti terkait tindak pidana di bidang pelayaran. Penelitian ini dirangkup dalam skripsi dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN (STUDI PUTUSAN PN RABA BIMA NOMOR 96/PID.B/2015/PN.RBI)”
2
PEMBAHASAN A. PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA 1. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran di Dalam KUHP Negara Indonesia adalah negara hukum, hal ini tertera dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam hal ini yang dimaksud dengan negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar menjadi warga negara yang baik. Untuk mewujudkan Negara Indonesia sebagai negara hukum, maka penegakan hukum sangat dibutuhkan. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang pelayaran menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang keefektifitasan pelayaran secara terkendali dan sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayaran sehingga pelayaran dapat berjalan berkelanjutan dengan lebih baik. Untuk itu diperlukan penegakan hukum yang efektif pada hukum materil dan hukum formil, yang mengatur kedudukan dan kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim di setiap pemeriksaan dalam penyelesaian tindak pidana pelayaran. Oleh karena itu tindak pidana pelayaran juga telah diatur dengan sedemikian rupa untuk terwujudnya lalu lintas pelayaran yang baik di Indonesia, yang mana diatur di dalam kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yaitu di dalam buku kedua tentang kejahatan yaitu kejahatan pelayaran yang diatur di dalam Pasal 466, 469 dan buku kedua tentang pelanggaran yang diatur dalam Pasal 560, 561. Adapun isi dari pasal-pasal tersebut ialah : Pasal 466 Seorang nakhoda kapal Indonesia yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum atau untuk menutupi perbuatan itu menjual kapalnya, atau meminjam uang dengan mempertanggungkan kapalnya atau perlengkapan kapal itu atau perbekalannya, atau menjual atau menggadaikan kapal itu barang muatan atau barang perbekalan kapal itu, atau mengurangi kerugian atau belanja, atau tidak menjaga supaya buku-buku harian harian di kapal dipelihara menurut Undang-undang, ataupun tidak mengurus keselamatan surat-surat kapal ketika meninggalkan kapalnya, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh. Pasal 469 (1) Nakhoda kapal (perahu) Indonesia yang tidak karena terpaksa dan tidak dengan setahu yang punya atau peserta kongsi perkapalan itu, melakukan, atau membiarkan perbuatan yang diketahuinya bahwa hal itu dapat menyebabkan kapal (perahu)nya atau muatannya jadi tertangkap, tertahan atau terhenti, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.9000
3
Pasal 560 Nakhoda kapal (perahu) Indonesia yang berangkat sebelum diperbuat dan ditanda tangani daftar orang kapal (monsterrol), yang diperlukan menurut Undang-undang dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 1500,-. (K.U.H.P. 93 s). Pasal 561 Nachoda kapal (perahu) Indonesia yang dikapal (perahunya) tidak memegang segala surat kapal, buku atau surat lain-lain yang dimestikan oleh atau menurut peraturan Undang-undang, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 1500,(K.H.U.P 93). 2. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran di Luar KUHP Pada hakikatnya tindak pidana pelayaran adalah merupakan suatu tindak pidana khusus. Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana khusus itu sendiri ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang yang tertentu. Hukum pidana khusus sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan khusus, diluar KUHP baik perundang-undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana. Sedangkan menurut beberapa ahli pengertian dari tindak pidana khusus itu sendiri ialah: Menurut SOEDARTO hukum pidana khusus adalah: 1. Peraturan UU pidana dalam arti sesungguhnya yaitu UU yang menurut tujuannya bermaksud mengatur hak memberi pidana dari anggaran jaminan dari ketertiban hukum. 2. Peraturan–peraturan hukum pidana dalam suatu UU tersendiri yaitu peraturan- peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberikan sanksi pidana terhadap aturan-aturan salah satu bidang yang terletak diluar hukum pidana. Prof. Pompe menunjuk pada pelaku khusus dan obyek khusus. Maksud khusus di sini adalah: Pelaku khusus artinya tidak semua orang dapat melakukan tindak pidananya. Obyek yang khusus artinya perbuatan yang diatur adalah perbuatan-perbuatan yg tidak diatur dalam aturan pidana umum tetapi dalam peraturan pidana khusus. Sedangkan menurut DR. Andi Hamzah hukum pidana khusus ialah keseluruhan ketentuan-ketentuan aturan pidana (perundang-undangan pidana) di luar KUHP. Tindak pidana khusus juga memiliki tujuannya sendiri yang mana tujuan dari tindak pidana khusus itu sendiri adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP, namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materil. Dengan kata lain penerapan ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan azas lex specialis derogate lex generalis yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada ketentuan yang bersifat umum. Sebagai suatu perundang-undangan yang besifat khusus dasar hukum maupun keberlakuannya dapat menyimpang dari ketentuan umum buku 1 KUHP bahkan terhadap ketentuan hukum acara (hukum formal) peraturan perundangundangan tindak pidana khusus dapat pula menyimpang dari Undang-undang
4
hukum acara pidana (KUHAP). Peraturan perundang-undangan tindak pidana khusus merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal-hal yang bersifat khusus di luar KUHP. Jadi titik tolak keputusan adalah dapat dilihat dari perbuatan yang diatur masalah subyek tindak pidana, pidananya dan pemidanaannya itu sendiri. Dalam tindak pidana khusus mengenai subyek hukum dapat diperluas tidak saja meliputi orang pribadi melainkan juga badan hukum. Sedangkan dari aspek masalah pemidanaan dilihat dari pola perumusan atau pola ancaman sanksi yang menyimpang dari ketentuan KUHP. Sedangkan substansi hukum tindak pidana khusus meliputi tiga permasalahan yakni tindak pidana pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaan. Sehingga dari pengertian-pengertian diatas mengenai tindak pidana khusus dapatlah kita simpulkan perbedaan-perbedaan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus yaitu tindak pidana umum adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan merupakan perbuatan-perbuatan yang bersifat umum, dimana sumber hukumnya bermuara pada KUHP sebagai sumber hukum materil dan KUHAP sebagai sumber hukum formil. Selain itu sistem peradilannya bersifat kovensional yaitu polisi sebagai penyidik dan penyelidik, jaksa sebagai penuntut umum, dan hakim adalah hakim peradilan umum bukan peradilan ad hoc. Contoh tindak pidana umum adalah tindak pidana pembunuhan Pasal 338 KUHP, tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP. Sedangkan, tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang perundang-undangannya diatur secara khusus artinya dalam Undang-undang yang bersangkutan dimuat antara hukum pidana materil dan hukum acara pidana (hukum pidana formil). Berdasarkan pengertian-pengertian diatas kita telah dapat membedakan yang mana tindak pidana umum dan yang mana tindak pidana khusus. Oleh karena itu tindak pidana pelayaran dalam hal ini merupakan salah satu tindak pidana khusus yang diatur oleh suatu perundang-undangan tersendiri yaitu Undang-undang No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran, sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia pelayaran haruslah tunduk dan patuh terhadap aturan yang terdapat di dalam Undang-undang tersebut. Namun dalam hal ini penulis tidaklah menjabarkan satu persatu isi dari setiap pasal demi pasal di dalam Undang-undang pelayaran tersebut, tetapi penulis lebih memfokuskan pada pasal-pasal terkait surat ijin berlayar (sijil) serta pasalpasal mengenai pelanggaran-pelanggaran di dunia pelayaran tersebut sehingga terintegrasi dengan judul penelitian dari skripsi penulis sendiri terkait pertanggungjawaban pidana di dunia pelayaran. Adapun isi dari pasal-pasal tersebut adalah: Pasal 117 (2) Kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dipenuhi setiap kapal sesuai dengan daerah-pelayarannya yang meliputi: a. keselamatan kapal; b. pencegahan pencemaran dari kapal; c. pengawakan kapal; d. garis muat kapal dan pemuatan; e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang; f. status hukum kapal; g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
5
h. manajemen keamanan kapal. Pasal 145 Setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan. Pasal 217 Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan kapal di pelabuhan. Pasal 219 (1) Setiap kapal yang berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar. Pasal 302 (1) Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Pasal 312 Setiap orang yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 145 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak RP. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). B. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG YANG MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN 1. Pertanggungjawaban dalam hukum pidana Pertanggungjawaban Masalah pertanggungjawaban dan khususnya pertanggungjawaban pidana mempunyai kaitan yang erat dengan beberapa hal yang cukup luas. Dapat di permasalahkan antara lain: a. Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak? antara lain ditentukan oleh indeterminisme dan determinisme. Disini dipertanyakan, sebenarnya manusia itu mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak merupakan aktivitas batin manusia yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggungjawaban manusia atau perbuatannya. Persoalan ini muncul sebagai akibat pertentangan pendapat antara klasik (dan neo klasik) dengan aliran modern. Aliran klasik mengutamakan kebebasan individu dengan konsekuensi diterimanya kehendak bebas dari individu. Pendirian mengenai kebebasan individu ini diragukan oleh aliran modern yang membuktikan melalui psikilogi dan psikiatri bahwa setiap perbuatan
6
manusia itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, misalnya saja pada orang gila. b. Tingkat kemampuan bertanggungjawab; mampu, kurang mampu: atau tidak mampu. Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan yang tidak dapat dipisahkan dengan dua unsur tindak pidana lain. Istilahnya dalam bahasa Belanda adalah “toerekeningsvatbaar”, tetapi Pompe lebih suka menggunakan “toerkenbarr”. Pertanggungjawaban yang merupakan inti dari kesalahan yang dimaksud di dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Walaupun sebenarnya menurut etika setiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya, tetapi dalam hukum pidana yang menjadi pokok pemasalahan hanyalah tingkah laku yang mengakibatkan hakim menjatuhkan pidana. Kesalahan Kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban. Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya. Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan, lazim disebut sebagai kemampuan bertanggungjawab, sedangkan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan. Pompe dan Jonkers, memasukkan juga “melawan hukum” sebagai kesalahan dalam arti luas di samping “sengaja” atau “kesalahan” (schuld) dan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar heid) atau istilah Pompe toerekenbaar. Tetapi kata Pompe, melawan hukum (wederrechtelijkheid) terletak di luar pelanggaran hukum sedangkan sengaja, kelalaian (onachtzaamleid) dan dapat dipertanggungjawabkan terletak di dalam pelanggaran hukum. Lalu sengaja dan kelalaian itu harus dilakukan secara melawan hukum supaya memenuhi unsur kesalahan dalam arti luas. Alasan Penghapusan Pidana Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seseorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat Undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana. Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan penuntutan, alasan penghapus pidana dipustuskan oleh hakim dengan menyatakan bahwa sifat melawan hukumya perbuatan hapus atau kesalahan pembuat hapus, karena adanya ketentuan Undang-undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang memaafkan pembuat. Jadi dalam hal ini hak melakukan penuntutan dari jaksa tetap ada, tidak hilang, namun terdakwanya yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan kata lain Undang-undang tidak melarang jaksa penuntut umum untuk mengajukan tersangka pelaku tindak pidana kesidang pengadilan dalam hal adanya alasan penghapus pidana. Oleh karena
7
hakimlah yang menentukan apakah alasan penghapus pidana itu dapat diterapkan kepada tersangka pelaku tindak pidana melalui vonisya. Menurut Prof. Moeljatno, S.H alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar, yang termasuk alasan pembenar yaitu : 1. Keadaan darurat, diatur dala Pasal 48 KUHP Dalam keadaan darurat tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan hanya dibenarkan jika (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan) ; a. tidak ada jalan lain; b. kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan. Contohnya; seseorang terjun ke dalam sungai untuk menolong seorang anak kecil yang terhanyut, sementara di sungai tersebut terdapat tulisan dilarang berenang. 2. Pembelaan terpaksa, diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP Menurut Pasal 49 ayat (1) disyaratkan hal-hal yang bisa dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa (J.E. Sahetapy dan Agustinus Pohan), yaitu : a. Ada serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga, kehormatan, kesusilaan atau harta benda; b. Serangan itu bersifat melawan hukum; c. Pembelaan merupakan keharusan; d. Cara pembelaan adalah patut. e. Melaksanakan ketentuan Undang-undang, diatur dalam Pasal 50 KUHP Dalam hal ini, terdapat hal dimana ada perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum lainnya, artinya bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajiban hukum lainnya. Dalam melaksanakan ketentuan UU tersebut, kewajiban yang terbesar yang harus diutamakan. Contohnya; seorang juru sita yang mengosongkan sebuah rumah dengan menaruh isi rumah dijalan, dimana pada dasarnya menyimpan prabot di jalan adalah dilarang, namun karena ketentuan dari pengadilan atau putusan pengadilan, sehingga perbuatannya tersebut tidak dapat dipidana. C. Pertanggungjawaban pidana pelaku pidana orang yang mempekerjakan seseorang di kapal tanpa dokumen yang dipersyaratkan sesuai dengan putusan PN Raba Bima No. 96/pid.b/2015/PN.RBI 1. Posisi Kasus Terdakwa bernama JAMALUDIN H. ABDURAHMAN beragama islam. Beliau bekerja sebagai seorang nakhkoda kapal KLM Duta Samudra, yang mana beliau melayarkan kapalnya dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju laut Tanjung Bima.Kapal tersebut bermuatan tinggi dan penuh. Pada hari Sabtu, 31 Januari 2015 sekitar 16.00 Witasaksi TRI GUNAWAN dan I GEDE EKA S dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisisan Perairan sedang melakukan patroli di wilayah perairan tersebut.
8
Kemudian dari kejauhan mereka melihat kapal bermuatan tinggi dan ternyata kapal tersebut adalah kapal KLM Duta Samudra yang di nahkodai oleh JAMALUDIN H. ABDURAHMAN, yang melayarkan kapal KLM Duta Samudra. Mengetahui hal tersebut para saksi kemudian langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaaan baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap kru KLM Duta Samudra beserta barang yang di angkut. Dari pemeriksaan tersebut para saksi dari Satuan Polisi Nusantara Diretorat Kepolisian Perairan menemukan kejanggalan, yaitu terdapat dokumen sertifikat kesalamatan namun alat-alat seperti pelampung penolong, sekoci penolong, bajupenolong (life jacket), alat apung lain dan perangkat isyarat tanda bahaya tidak ditemukan oleh para saksi di atas KLM Duta Samudra. Kemudian para saksi melakukan pengecekan dokumen crew list tertera 8 (delapan) orang namun kenyataannya di atas KLM Duta Samudra terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya yaitu atas nama M.AMIN yang tidak terdaftar dalam daftar crew list KLM Duta Samudra. Mengetahui hal ganjil tersebut para saksi dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan langsung menggiring dan mengawal Duta Samudra menuju kepelabuhan laut Tanjung Bima untuk di proses lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku. 2. Dakwaan Jaksa penuntut umum dihadapan persidangan telah mengajukan dakwaan yang disusun secara alternatif sebagai berikut: Pertama: Bahwa ia terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN pada hari sabtu tanggal 30 Januari 2015 sekitar jam 16.00 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam bulan Januari 2015 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2015 bertempat di Perair tidaknya ditempat tertentu yang masih termasuk dalam wilayah Hukum Pengadilan Negeri Raba Bima, nahkoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak layak laut, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bahwa awalnya saat saksi TRI GUNAWAN, I GEDE EKA S dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan dengan menggunakan kapal polisi perenjak – 507 melakukan Patroli di wilayah perairan laut Indonesia tepatnya di Perairan Benteng Selatan Bima melihat sebuah kapal yang bermuatan tinggi dan ternyata kapal tersebut adalah KLM DUTA SAMUDRA yang di nahkodai oleh terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN, yang melayarkan kapal KLM DUTA SAMUDRA dari Pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke Pelabuhan Laut Tanjung Bima, mengetahui hal tersebut para saksi langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaan baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap crew KLM DUTA SAMUDRA beserta barang yang di angkut. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan menemukan kejanggalan, yaitu terdapat dokumen sertifikat keselamatan namun alat-alat seperti pelampung penolong, sekoci penolong, baju penolong (life jacket), alat
9
apung lain dan perangkat isyarat tanda bahaya tidak ditemukan oleh para saksi di atas KLM DUTA SAMUDRA. Bahwa selanjutnya para saksi melakukan pengecekan dokumen crew list tertera 8 (delapan) orang namun kenyataan diatas KLM DUTA SAMUDRA terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya yaitu atas nama M. AMIN yang tidak terdaftar dalam daftar crew list dalam daftar KLM DUTA SAMUDRA. Bahwa selanjutnya para saksi langsung menggiring dan mengawal Duta Samudra menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima untuk di proses lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 302 ayat (1) Jo Pasal 117 ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. ATAU KEDUA: Bahwa ia terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar jam 16.00 Wita atau setidak-tidaknya pada waktu tertentu dalam bulan Januari 2015 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2015 bertempat di Perairan Benteng Selatan Bima atau setidak-tidaknya bertempat tertentu yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Raba Bima setiap orang yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa di SIJIL dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan, perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bahwa awalnya saat saksi TRI GUNAWAN, I GEDE EKA S dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan dengan menggunakan kapal polisi perenjak – 5017 melakukan patroli di wilayah peraairan laut indonesia tepatnya di perairan Benteng Selatan Bima melihat sebuah kapal yang bermuatan tinggi dan ternyata kapal tersebut adalah KLM DUTA SAMUDRA yang dinahkodai oleh JAMALUDIN H.ABDURAHMAN, yang melayarkan kapal KLM DUTA SAMUDRA dari Pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke Pelabuhan Laut Tanjung Bima, mengetahui hal tersebut para saksi langsung mendekati kapal dan langsung melakukan pemeriksaan baik terhadap keselamatan kapal maupun terhadap crew KLM DUTA SAMUDRA beserta barang di angkut. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan para saksi dari Satuan Patroli Nusantara Direktorat Kepolisian Perairan menemukan kejanggalan, yaitu terdapat dokumen sertifikat keselamatan namun alat-alat seperti pelampung penolong, sekoci penolong, baju penolong (life jacket), alat apung lain dan perangkat Isyarat tanda bahaya tidak ditemukan oleh para saksi di atas KLM DUTA SAMUDRA. Bahwa selanjutnya para saksi melakukan pengecekan dokumen crew list tertera 8 (delapan) orang namun kenyataan diatas KLM DUTA SAMUDRA terdapat 9 (sembilan) orang, salah satunya yaitu atas nama M. AMIN yang tidak terdaftar dalam daftar crew list dalam daftar KLM DUTA SAMUDRA.
10
Bahwa selanjutnya para saksi langsung menggiring dan mengawal Duta Samudra menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima untuk di proses lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 312 ayat (1) Jo Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. 3. Tuntutan Berdasarkan fakta-fakta dari yang di persidangan maka jaksa penuntut umum dalam perkara ini; MENUNTUT Supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Raba Bima yang memeriksa mengadili perkara ini memutuskan: a. Menyatakan terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN bersalah melakukan tindak pidana mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apapun tanpa di sijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana di atur dan di ancam pidana dalam Pasal 312 ayat (1) jo. Pasal 145 UU RI No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dalam surat dakwaan Kedua Jaksa Penuntut Umum b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa JAMALUDIN H.ABDURAHMAN dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, dengan perintah terdakwa ditahan dan denda sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan. c. Menetapkan agar barang bukti berupa: a) 1 (satu) Unit KLM Duta SAMUDRA warna putih dengan ukuran Tonase Kotor 117 GT dan Tonase Bersih 93 NT. b) 1 (satu) lembar Surat Persetujuan Berlayar dengan No. Registrasi : PPK. 29 / 104 / I / 2015 an. KLM DUTA SAMUDRA, tanggal 29 Januari 2015. c) 1 (satu) lembar Daftar Awak Kapal KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29 Januari 2015. d) 1 (satu) lembar Surat dari Kementrian Perhubungan Diretorat Jenderal Perhubungan Laut Kantor Kesyahbandaran Utama Tanjung Perak Surabaya, Perihal pedoman muatan deleduk KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 29 Januari 2015. e) 1 (satu) Lembar PAS BESAR, No : PK. 205 / 15 / 18 / SYB. TPr-13, Tanggal 23 Juli KLM DUTA SAMUDRA. f) 1 (satu) Lembar Surat Ukur No. 107 / OOX – KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 13 Mei 2004. g) 1 (satu) Lembar Surat Susunan Perwira KLM DUTA SAMUDRA, No. PK. 304 / 205 / 07 / SBY . TPr – 2014, Tanggal 02 September 2014. h) 1 (satu) Lembar Sertifikat Keselamatan KLM DUTA SAMUDRA No. AL 405 / 344/ KSOP. BIMA – 14, Tanggal 03 November 2014. i) 1 (satu) Lembar Surat Tanda Panggilan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 16 Juli 2014. j) 1 (satu) Lembar Surat Legalitas Operasional Tahunan No : 552.12 / 09 / DISHUBKOMINFO / III. Tanggal 03 September 2013. k) 1 (satu) Buah Buku Kesehatan KLM DUTA SAMUDRA, Tanggal 03 Desember 2014
11
4. Fakta Persidangan & Pertimbangan Hakim fakta hukum sebagai berikut: 1) Bahwa terdakwa diamankan petugas pada saat melayarkan kapal KLM. Duta Samudra dari Surabaya ke Bima ketika melewati perairan laut Tanjung teluk Bima pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar pukul 16.30 Wita; 2) Bahwa yang memeriksa dan mengamankan terdakwa beserta kapal adalah petugas dari satuan POLAIR Bima; Bahwa pada saat diperiksa dan diamankan oleh petugas tersebut terdakwa ada di atas kapal KLM Duta Samudra sebagai Nahkoda; Bahwa petugas yang memeriksa kapal dan mengamankan terdakwa berjumlah 4(empat) orang; 3) Bahwa awak kapal yang tidak masuk SIJIL adalah saksi M. AMIN, karena pada saat di Surabaya saksi M. AMIN tidak sempat didaftar ke Syahbandar karena kapal keburu berangkat; 4) Bahwa pada saat KLM. Duta Samudra berlayar dari Surabaya ke Bima pada saat kejadian saksi M. AMIN tidak masuk dalam SUIL karena saksi M. AMIN bani datang ke kapal sedangkan kapal sudah mau berangkat dan kalau mau mengurus SIJIL lagi sudah tidak sempat karena kali mas tempat kapal bersandar airnya sudah mulai surut; 5) Bahwa saksi M. AMIN bekerja di KLM. Duta Samudra sebagai juru kemudi dan sudah lebih dari 10 tahun; 6) Bahwa saat itu saksi M. AMIN bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima; 7) Bahwa selain adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SIJIL kapal, ada juga pelanggaran lain yang ditemukan petugas yaitu kelengkapan pelampung kapal tidak lengkap; 8) Bahwa kapal apa KLM. Duta Samudra tersebut jenis kapal barang; 9) Bahwa yang bertanggung jawab atas adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SIJIL dan kurang lengkapnya pelampung kapal adalah terdakwa sebagai Nahkoda yang bertanggungjawab; 10) Bahwa pemilik KLM Duta Samudra adalah perusahaan yang direkturnya adalah ADI KURNIAWAN; Pertimbangan Hakim Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan alternatif, pertama perbuatan terdakwa melanggar Pasal 302 ayat (1) Jo. Pasal 117 ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran atau Kedua perbuatan Terdakwa melanggar Pasal 312 ayat (1) Jo. Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; Menimbang, bahwa berdasar fakta hukum sebagaimana terturai di atas, selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dan meneliti apakah perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana seperti yang di dakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya; Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta hukum tersebut diatas memilih langsung dakwaan
12
alternatif Kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 312 ayat (I) jo. Pasal I45 UU RI No. l7 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Menimbang, bahwa dengan diajukannya terdakwa JAMALUDDIN H. ABDURRAHMAN dalam perkara ini, yang identitas lengkapnya sebagaimana tercantum secara jelas dan lengkap dalam surat dakwaan penuntut umum, identitas mana dibenarkan oleh terdakwa maupun saksi-saksi di persidangan, sehingga mengenai subyek hukum dalam perkara ini tidak “eror in personal” (kesalahan orang); Menimbang, bahwa dalam kaitan itu, penuntut umum telah menghadapkan kepersidangan orang bernama JAMALUDDIN H. ABDURRAHMAN sudah berusia 35 tahun mempunyai fisik yang dapat terlihat menunjukkan sehat jasmani dan rohani, telah memenuhi unsur obyektif sebagai subyek hukum, selebihnya dengan tidak ternyata adanya halangan atau keadaan yang membuatnya ditentukan lain, ternyata pula bahwa secara subyektif terdakwa cakap dan mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatan secara hukum; Ad 2. Unsur “Yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun” . Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan yang mempekerjakan: mau; di kapal dalam jabatan apa pun adalah orang yang bekerja diatas kapal dan kegiatan yang dilakukannya semua diatas kapal atau disebut awak kapal dapat sebagai anak: buah kapal atapun nahkoda; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa yang dihubungkan dengan barang bukti diperoleh fakta hukum bahwa terdakwa diamankan petugas pada saat melayarkan kapan KLM. Duta Samudra dari Surabaya ke Bima ketika melewati perairan laut Tanjung Teluk Bima pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar pukul 16.30 Wita. Bahwa yang memeriksa dan mengamankan terdakwa beserta kapal adalah petugas dari satuan POLAIR Bima. Bahwa pada saat diperiksa dan diamankan oleh petugas tersebut terdakwa ada di atas kapal KLM Duta Samudra sebagai Nahkoda. Bahwa saksi M. AMIN bekerja di KLM. Duta Samudra sebagai juru kemudi dan mudah lebih dari 10 tahun. Bahwa saat itu saksi M. AMIN bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima. Bahwa yang bertanggung jawab atas adanya awak kapal yang tidak masuk dalam sijil dan kurang lengkapnya pelampung kapal adalah terdakwa sebagai nahkoda yang bertanggungjawab; Ad. 3. Unsur “Tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan” Menimbang, bahwa terhadap unsur ini Majelis berpendapat bahwa unsur ini mengandung beberapa elemen didalamnya yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri dimana elemen yang satu dapat mengenyampingkan elemen lainnya, yang berarti untuk terbuktinya unsur ini tidak harus keseluruhan dari elemen-elemen tersebut terbukti, sehingga bilamana salah satu atau lebih dari elemen-elemen tersebut terpenuhi maka unsur ini dinyatakan telah pula terbukti secara sah menurut hukum; Menimbang bahwa dari fakta yang terungkap baik Gilwell dari keterangan saksi-saksi maupun keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti di ketahui bahwa terdakwa diamankan petugas pada saat melayarkan kapan KLM. Duta Samudra dari Surabaya ke Bima ketika melewati perairan laut Tanjung
13
Teluk Bima pada hari Sabtu tanggal 31 Januari 2015 sekitar pukul 16.30 Wita. Bahwa yang memeriksa dan mengamankan terdakwa beserta kapal adalah petugas dari satuan POLAIR Bima. Bahwa pada saat diperiksa dan diamankan oleh petugas tersebut terdakwa ada di atas kapal KLM Duta Samudra sebagai Nahkoda. Bahwa petugas yang memeriksa kapal dan mengamankan terdakwa berjumlah 4 (empat) orang. Bahwa awak kapal yang tidak masuk SIJIL adalah saksi M. AMIN, karena pada saat di Surabaya saksi M. AMIN tidak sempat didaftar ke Syahbandar karena kapal keburu berangkat. Bahwa pada saat KLM. Duta Samudra berlayar dari Surabaya ke Bima pada saat kejadian saksi M. AMIN tidak masuk dalam SIJIL karena saksi M. AMIN baru datang ke kapal sedangkan kapal sudah mau berangkat dan kalau mau mengurus SIJIL lagi sudah tidak sempat karena kali mas tempat kapal bersandar airnya sudah mulai surut. Bahwa saksi M. AMIN bekerja di KLM. Duta Samudra sebagai juru kemudi dan sudah lebih dari 10 tahun. Bahwa saat itu saksi M. AMIN bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut Tanjung Bima. Bahwa selain adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SIJIL kapal, ada juga pelanggaran lain yang ditemukan petugas yaitu kelengkapan pelampung kapal tidak lengkap. Bahwa kapal apa KLM. Duta Samudra tersebut jenis kapal barang. Bahwa yang bertanggungjawab atas adanya awak kapal yang tidak masuk dalam SIJIL dan kurang lengkapnya pelampung kapal adalah terdakwa sebagai Nakhoda yang bertanggungjawab. Bahwa pemilik KLM Duta Samudra adalah perusahaan yang direkturnya adalah ADI KURNIAWAN. Bahwa Nakhoda tidak dapat melayarkan kapal apabila tidak memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal. Bahwa kelaiklautan wajib bagi setiap kapal yang akan berlayar. Bahwa perlengkapan yang wajib ada di atas kapal sebelum kapal berlayar antara lain rakit penolong, life jakets, pelampung, perangkat isyarat tanda bahaya dan kapal wajib punya sertifikat keselamatan. Bahwa jika kapal yang dilayarkan adalah kapal barang maka setiap awak yang ada di atas kapal wajib masuk dalam SIJIL; Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas jelas bahwa awak kapal yang tidak masuk SIJIL adalah saksi M. AMIN, karena pada saat di Surabaya saksi M. AMIN tidak sempat didaftar ke Syahbandar karena kapal keburu berangkat. Bahwa pada saat KLM. Duta Samudra berlayar dari Surabaya ke Bima pada saat kejadian saksi M. AMIN tidak masuk dalam SIJIL karena saksi M. AMIN baru datang ke kapal sedangkan kapal sudah mau berangkat dan kalau mau mengurus SIJIL lagi sudah tidak sempat karena kalimas tempat kapal bersandar airnya sudah mulai surut. Bahwa saat itu saksi M. AMIN bekerja sebagai juru mudi dalam pelayaran KLM DUTA SAMUDRA dari pelabuhan Kalimas Surabaya menuju ke pelabuhan laut tanjung bima tidak masuk dalam SIJIL, sehingga dengan demikian unsur ini telah terpenuhi. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa mampu bertanggungjawab maka harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya sebagaimana diatur pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP, sesuai dengan rasa kemanusiaan, rasa keadilan dan kepastian hukum; Menimbang, bahwa karena didalam Pasal 312 ayat (1) jo. Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran selain pidana penjara juga mensyaratkan adanya pidana denda, maka Majelis akan menetapkan besarnya denda yang harus dibayar oleh terdakwa kepada Negara dalam amar putusan dibawah ini, dan
14
apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut maka akan diganti dengan pidana kurungan yang lamanya akan ditentukan dalam amar putusan dibawah ini; Menimbang, bahwa terdakwa terbukti bersalah dan dijatuhi pidana,maka mengenai biaya perkara haruslah dibebankan kepada terdakwa sesuai dengan ketentuan Pasal 222 ayat (1) KUHAP; Menimbang, bahwa sebelum Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, terlebih dahulu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan; Hal-hal yang memberatkan: 1. Perbuatan terdakwa tidak mematuhi aturan yang ada; Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan, mengakui terus terang serta menyesali perbuatannya: 2. Terdakwa belum pernah dihukum; 3. Terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya ; 4. Terdakwa memiliki tanggungan keluarga; 5. Perbuatan terdakwa tersebut dilakukan tidaklah semata-mata didasari untuk mencelakai orang lain atau para anak buah kapal karena saksi M.Amin juga sebenarnya anak buah kapal tersebut akan tetapi belum sempat didaftarkan kepada syahbandar di Surabaya karena kapal sudah berlayar;Mengingat Pasal 312 ayat (l) jo. Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undangundang No. 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta peraturan hukum lain yang bersangkutan; 5. Putusan a. Menyatakan terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN”. b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan denda sejumlah Rp. 1.0000.000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar ganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; c. Menetapkan pidana tersebut tidak usah di jalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena Terpidana melakukan suati tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) bulan berakhir; 6. Analisis putusan a. Dakwaan Dakwaan Tunggal (Satu Perbuatan Saja) Dakwaan secara tunggal yaitu seorang atau lebih terdakwa melakukan satu macam perbuatan saja, misalnya: pencurian biasa ex Pasal 362 KUHP;
15
Dakwaan Alternatif Dakwaan secara alternatif, yaitu dakwaan yang saling mengecualikan antara satu dengan yang lainnya, ditandai dengan kata “atau” misalnya pencurian biasa (362 KUHP) atau penadahan (480 KUHP). Jadi dakwaan secara alternatif bukan kejahatan perbarengan. Dalam hal dalam dakwaan dibuat secara alternatif, dalam dua hal menurut Van Bemmelen, yaitu: a) Jika penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana, apakah yang satu ataukah yang lain akan terbukti nanti di persidangan (umpama suatu perbuatan apakah merupakan pencurian atau penadahan). b) Jika penuntut umum ragu, peraturan hukum pidana yang mana yang akan diterapkan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah nyata tersebut. Dakwaan Subsidair Dakwaan secara subsidair yaitu diurutkan mulai dari yang paling berat sampai dengan yang paling ringan digunakan dalam tindak pidana yang berakibat peristiwa yang diatur dalam Pasal lain dalam KUHPidana, contoh: lazimnya untuk kasus pembunuhan secara berencana dengan menggunakan paket dakwaan primer: Pasal 340 KUHPidana, dakwaan subsidair: Pasal 338 KUHPidana, dan lebih subsidair: Pasal 355 KUHPidana, lebih subsidair lagi Pasal 353 KUHPidana. Dalam praktik untuk dakwaan secara subsidair sering disebut juga dakwaan secara alternatif, karena pada umumnya dakwaan disusun oleh penuntut umum menurut bentuk subsidair, artinya tersusun primair dan subsidair. Dakwaan Kumulatif Dalam dakwaan secara kumulatif, yaitu sebagaimana diatur di dalam Pasal 141 KUHAP, bahwa “penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a) beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b) beberapa tindak pidana yang bersangkut paut; c) beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan. Adapun bentuk dakwaan secara kumulatif, adalah sebagai berikut: a) Berhubungan dengan concursus idealis/endaadce samenluup perbuatan dengan diancam lebih dari satu ancaman pidana. (Pasal 63 ayat (1) KUHPidana), misalnya: pengendara mobil menabrak pengendara sepeda motor berboncengan satu meninggal (Pasal 359 KUHPidana) dan satu luka berat (Pasal 360 KUHPidana); b) Berhubungan dengan perbuatan berlanjut (vorgezette handeling). Perbuatan pidana yang dilakukan lebih dari satu kali, misalnya: pemerkosaan terhadap anak dibawah umur (Pasal 287 KUHPidana) dilakukan secara berlanjut (Pasal 64 (l) KUHPidana); c) Berhubungan dengan concursus realis/meerdadse samenloop (Pasal 65 KUHPidana), yaitu melakukan beberapa tindak pidana, dengan pidana pokoknya sejenis atau pidana pokoknya tidak sejenis, Concursus kejahatan
16
dan pelanggaran, gabungan antara alternatif dan subsidair, misalnya: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHPidana) ketahuan orang sehingga membunuh orang tersebut (Pasal 339 KUH Pidana), mengambil kendaraan orang yang dibunuh tersebut (Pasal 362 KUHPidana); Setelah kita memahami penjelasan mengenai dakwaan diatas kita dapat mengetahui bahwa dakwaan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam kasus ini ialah dakwaan alternatif yaitu dakwaan yang saling mengecualikan antara satu dengan yang lainnya, ditandai dengan kata “atau”. Adapun Pasal yang didakwakan jaksa penuntut umum dalam kasus ini yaitu pertama perbuatan terdakwa melanggar Pasal 302 ayat (1) jo. Pasal 117 ayat (2) UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran atau Kedua perbuatan terdakwa melanggar Pasal 312 ayat (1) jo. Pasal 145 RI No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Penulis berpendapat bahwa pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum di atas ialah sudah tepat. Mengingat akan kesalahan terdakwa yang dengan sengaja telah mengabaikan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan di dalam dunia pelayaran. Yang mana selama dalam persidangan saksi ahli menyatakan bahwa kelaiklautan wajib bagi setiap kapal yang akan berlayar dan jika kapal yang dilayarkan adalah kapal barang maka setiap awak yang ada diatas kapal wajib masuk dalam sijil, sehingga jika alat keselamatan kurang atau tidak standart maka kapal tidak dapat dilayarkan sampai dilengkapi sesuai dengan surat izin berlayar. b. Tuntutan Yang berwenang melakukan penuntutan sebagaimana menurut Pasal 137 KUHAP, bahwa “penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.” Setelah penyidik melengkapi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 138 ayat (2) KUHAP, selanjutnya menurut Pasal 139 KUHAP, yaitu “setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”. Jadi apabila penunut umum berpendapat “ya”, maka menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP yaitu “dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.” Namun sebaliknya, apabila penuntut umum berpendapat lain maka menurut Pasal 140 ayat (2) KUHAP yaitu : 1) Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut didalam surat ketetapan. 2) Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. 3) Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan pada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik, dan hakim.
17
4) Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. Jadi mengenai wewenang penunut umum untuk menutup perkara demi hukum, seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkara ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan buku 1 KUHP bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76, 77, dan 78 KUHP. Setelah kita memahami apa arti dari sebuah tuntutan yaitu menuntut agar tegaknya suatu keadilan di muka hukum maka penulis berpendapat bahwa tuntutan yang diberikan oleh jaksa penuntut umum kepada terdakwa JAMALUDDIN H. ABDURRAHMAN pada kasus pelanggaran dalam dunia pelayaran tersebut adalah kurang tepat, mengingat perbuatan terdakwa tersebut adalah merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan unsur kesengajaan dengan kesadaran yang pasti dimana terdakwa tersebut mengetahui bahwa memang ia tidak memenuhi unsur-unsur yang wajib harus dipenuhi ketika hendak melakukan pelayaran yang mana telah diatur didalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. c. Pertimbangan Hakim Pertimbangan Hakim Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut : a) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal. b) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan. c) Adanya semua bagian dari petitum penggugat harus dipertimbangkan/di adili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan. Dasar Pertimbangan Hakim Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman
18
merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Maka berdasarkan pertimbangan hakim diatas penulis kurang sependapat dengan pertimbangan tersebut. Karena penulis berpendapat pada kasus ini hakim lebih memilih terbawa kepada perasaan daripada menegakkan suatu hukum dan aturan yang mana telah dilanggar oleh terdakwa tersebut dengan sadar dan sengaja. Karena seharusnya hakim lebih paham tentunya tentang aspek-aspek didalam penegakan hukum demi terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun disini terlihat hakim seakan-akan menganggap enteng persoalan didalam kasus ini dengan mengatakan bahwa didalam kasus ini tidak ada yang dirugikan terlebih karena ini merupakan jenis kapal barang. Namun hakim seperti mengenyampingkan aturan yang berlaku yang jelas-jelas telah dilanggar oleh nakhoda tersebut seperti tidak terdaftarnya awak kapal di dalam sijil dan kelengkapan alat keselamatan kapal yang jelas-jelas tidak lengkap dan tidak memenuhi standar kelaiklautan jika kapal ingin berlayar. Sehingga menurut penulis terkait pendapat hakim didalam pertimbangannya mengenai “tidak ada yang diuntung ataupun dirugikan juga tidak ada yang menjadi korbankarena kapal tersebut adalah kapal barang” menurut penulis itu merupakan pertimbangan yang sangat keliru.
19
d. Putusan Untuk lebih jelasnya tentang putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP, sebagai berikut: 1) Menurut Pasal 191, bahwa: a) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah yang meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. b) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. c) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan. 2) Menurut Pasal 192, bahwa: a) Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 191 ayat (3) segera dilaksanakan oleh jaksa sesudah putusan diucapkan. b) Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat penglepasan, disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam. 3) Menurut Pasal 193, bahwa: a) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. b) Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu. c) Dalam hak terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membekaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu. 4) Menurut Pasal 194, bahwa: a) Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan Undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat digunakan lagi. b) Kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti diserahkan sesudah sidang selesai. Adapun putusan majelis hakim didalam perkara ini yaitu : 1. Menyatakan terdakwa JAMALUDIN H. ABDURAHMAN telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
20
“MEMPEKERJAKAN SESEORANG DI KAPAL TANPA DOKUMEN YANG DIPERSYARATKAN”. 2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan dan denda sejumlah Rp. 1.0000.000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar ganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan; 3. Menetapkan pidana tersebut tidak usah di jalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suati tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) bulan berakhir; 4. Memerintahkan barang-barang bukti untuk dikembalikan kepada pemilik perusahaan yaitu saudara Adi Kurniawan; 5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2500,- (dua ribu lima ratus rupiah); Oleh karena itu dari putusan majelis hakim diatas penulis kurang sependapat dengan putusan tersebut dikarenakan: 1. Dimana seharusnya majelis hakim dapat menjatuhkan putusan yang lebih berat dan pantas terhadap terdakwa tersebut sehingga dengan adanya pidana yang setimpal akan dapat memberi efek jera kepada terdakwa agar dapat menyadari kesalahan dari perbuatannya tersebut sehingga nantinya ia tidak akan mengulangi perbuatannya tersebut lagi. 2. Kenyataannya disini penulis melihat putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim terlalu ringan sehingga penulis merasa bahwa majelis hakim seperti menganggap enteng perkara yang sedang diadilinya tersebut hal tersebut bukanlah penulis katakan tanpa dasar melainkan setelah melihat dari pertimbangan hakim yang ada terlebih lagi ketika menjatuhkan putusan yang menurut penulis tidaklah setimpal dengan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut. 3. Seharusnya dengan di jatuhkan putusan yang lebih berat atau lebih pantas dapat menjadi contoh terhadap nakhoda dan para pelaut yang lain agar tetap patuh dan tunduk terhadap aturan-aturan yang berlaku di dunia pelayaran tersebut.
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengaturan tindak pidana pelayaran di Indonesia di atur di dalam KUHP dan di luar KUHP. a. Pengaturan tindak pidana pelayaran di dalam KUHP di atur dalam buku kedua tentang kejahatan pelayaran sebagai mana di atur dalam Pasal 438479. b. Selain itu tindak pidana pelayaran juga di atur di buku ketiga KUHP tentang pelanggaran dalam pelayaran sebagaimana di atur dalam Pasal 560-569. c. Di luar KUHP tindak pidana pelayaran di atur di dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran sebagaimana di atur pada Pasal 284-336.
21
2. Berdasarkan putusan PN RABA BIMA NOMOR 96/PID/.B/2015/PN.RBI pertanggungjawaban pidana orang yang mempekerjakan seseorang di kapal tanpa dokumen yang di persyaratkan sebagaimana di atur dalam Pasal 312 jo Pasal 145 UU RI No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran. Adapun dalam kasus ini Majelis Hakim menjatuhkan putusan berupa pidana bersyarat yang mana artinya terdakwa tidak usah menjalani hukumannya kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 2 (dua) bulan berakhir. Yang mana hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 14a ayat (1) KUHP. B. Saran 1. Menurut penulis dengan telah adanya aturan-aturan baku yang telah dibuat yang mana aturan tersebut dibuat adalah bertujuan untuk menjamin keselamatan, keamanan dan kesejahteraan dunia pelayaran, maka menurut penulis alangkah baiknya kepada siapa saja yang berkecimpung di dunia pelayaran kiranya untuk dapat mematuhi dan melaksanakan aturan-aturan yang berlaku tersebut sehingga dapat terciptalah keteraturan dan ketertiban di dalam dunia pelayaran Indonesia 2. Dan juga menurut penulis agar kiranya kepada para penegak hokum dapatlah untuk bertindak secara adil, tegas dan objektif dalam menegakkan keadilan dengan mengedepankan aspek hukum yang berlaku terlebih dahulu daripada mengedepankan perasaan yang tidak pasti. Sehingga menurut penulis jikalau para penegak hokum dapat berlaku adil, tegas dano bjektif terhadap para pelaku pelanggaran dan kejahatan di dunia pelayaran InsyaAllah akan menimbulkan efek yang positif untuk dunia pelayaran Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Buku Hamzah Andi, Asas asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008 Hamzah Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta, 1996 Hamzah Andi, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1083 Farid A Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007 Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 Hamdan Muhammad, Pembaharuan Hukum Tentang Alasan Penghapus Pidana, Medan: USU Press, 2008 Ali H. Zainuddin, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009 Gunadi Ismu, Efendi Jonaedi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Kencana, 2014 22
Simorangkir J.C.T, Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru, 1983 Nasution Karim, Masalah Surat Tuduhan dalam Proses Pidana, Jakarta: CV Pantjuran Tujuh, 1981 Moeljatno , Asas asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008 Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004 Abdurrahman Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang: UMM Press, 2009 Lubis M. Solly, Filsafat Hukum dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar Maju, 1994 Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Persada Media Group, 2008 Manurung P, Metodologi Penelitian, Jakarta: Halaman Moeka, 2012 Syarifin Pipin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2000 Lamintang PAF, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1981 Soesilo R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor : Politeia, 1995 Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 3, Jakarta: UI Press, 1986 Prasetyo Teguh, Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014 Prasetyo Teguh, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakrta: PT Raja Grafindo Persada, 2014 Prodjodikoro Prdjodikoro Wirjono, Wirjono. R, Hukum Acara Pidana di Indoneisa, Bandung: Sumur Bandung, 1983 Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Internet http://fh.hangtuah.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=87:arti keltrialku&catid=32:akademika&Itemid=47 diakses pada tanggal 9 Maret 2017.
23
https://biotechs.wordpress.com/2014/11/18/dokumen-pengertian-jenis-jenis-danruang-lingkup/ diakses pada tanggal 9 Maret 2017. http://www.bahankuliyah.com/2014/05/hukum-pidana-khusus.html, diakses pada tanggal 22 Maret 2017. http://asa-keadilan.blogspot.co.id/2014/04/sekilas-lintas-tindak-pidanabidang.html Malik, H. Sekilas lintas tindak pidana pelayaran bedah hukum, diakses pada tanggal 2 februari 2017.
24