1
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DIBIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Disusun Oleh: LAMGOK HERIANTO SILALAHI NIM 050200268
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
2
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DIBIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Oleh:
LAMGOK HERIANTO SILALAHI NIM 050200268 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
Abul Khair, S.H., M.Hum NIP. 196107021989031001 Pembimbing I
M. Nuh, S.H, M.Hum NIP.194808011980031003 197407252002122002
Pembimbing II
Rafiqoh Lubis, S.H.,M.Hum NIP.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
3
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar sarjana hukum di Universitsas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/I yang akan menyelesaikan perkuliahannya. Adapun
judul
“IMPLEMENTASI
skripsi
UU
PEMBERANTASAN
yang
NOMOR
TINDAK
penulis 15
kemukakan
TAHUN
PIDANA
2003
TERORISME
adalah
:
TENTANG DALAM
PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TERORISME”. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisan dari skripsi ini. Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
4
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., M. Hum, DMF, sebagai Pembantu Umum Dekan I Fakultas Hukum Sumatera Utara, dan juga selaku dosen wali penulis di Fakultas Hukum Sumatera Utara. 3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M. Hum, DMF, sebagai Pembantu Umum Dekan II Fakultas Hukum Sumatera Utara. 4. Bapak Muhammad Husni, SH., MJ. Hum., sebagai Pembantu Umum Dekan III Fakultas Hukum Sumatera Utara. 5. Bapak Abulkhair, SH., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Sumatera Utara. 6. Ibu Nurmalawaty, SH., M. Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 7. Bapak M. Nuh, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan nasehat, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik. 8. Ibu Rofiqoh Lubis, SH, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan, memberikan nasehat, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik. 9. Buat seluruh pegawai di Fakultas Hukum Sumatera Utara, terutama buat bang Mail selaku pengurus stambuk yang selalu membantu penulis dalam pengurusan berkas studi.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
5
10. Almarhum Ayah saya A. Sihombing, Ibu R. Hutabarat, sebagai orang tua yang penulis sangat cintai, terimakasih atas doa dan kasih sayang dan juga dukungannya yang telah diberikan selama ini kepada penulis dengan segala ketulusan hati. I love you mama. 11. Buat abang-abang senior : bang Fredi, bang Darmadi, bang Antoni, bang Ganda, Jaya, Benni, dan juga buat abang-abang lainnya. 12. Buat kawan-kawan stambuk 03 : Ahmad Aman, Bangun, Efendi, Chandra Yuda, Martin, Winca, Hengky, Juita, David, Dolok, dan kawan-kawan yang lainnya. 13. Buat Rani Daniel Aritonang terimakasih lae buat semua waktu dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 14. Buat kawan-kawan sepermainan : Asenk, Alex Pane, Crismanto Lumbantobing, Amri Siregar, Jefri Sibuea, Hardi, Robin, Marganti, Citra, Rikky, Juanda, Angga Hutauruk, Saut Situmeang, Evan, Kopit, Otto, Sampe, Eko, Amran, Bob, Saut, Rhey, dan teman-teman lainnya yang tidak disebutkan namanya.
Medan,
Desember
2009 Penulis
Lamgok Herianto S
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
6
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .............................................................................. DAFTAR ISI............................................................................................ ABSTRAKSI ...........................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ...................................................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...................................................... 6 D. Keaslian Penulisan ........................................................................ 7 E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 8 1. Pengertian Pembuktian ...................................................... 8 2. Pengertian Tindak Pidana .................................................. 10 3. Pengertian Informasi dan Transaksi Elektronik.................. 15 F. Metode Penelitian ......................................................................... 19 G. Sistematika Penulisan ................................................................... 20
BAB II. PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA MENURUT UU NO 11 TAHUN 2008 ..... 22
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
7
A. Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008 ............................................................................. 23 1. Kronologis Terbentuknya UU No 11 Tahun 2008 ............. 23 2. Perkembangan
Perundang-undangan
Dibidang
Informasi Dan Transaksi Elektronik Di Indonesia ............. 26 3. Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008 ........................................ 28 B. Modus Operandi Kejahatan Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik .................................................................................... 40
BAB III. PEMBUKTIAN
TINDAK
PIDANA
DIBIDANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DARI PERSPEKTIF UU NO 11 TAHUN 2008 ................................. 47 A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia ................. 47 1. Teori Pembuktian Dan Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana ......................................................... 49 2. Pembuktian Perkara Pidana Menurut KUHAP ................... 54 3. Pembuktian Perkara Pidana Menurut Undang-undang Di Luar KUHAP ............................................................... 68 B. Pembuktian Tindak Pidana Di Bidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008 .................................. 72
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
8
1. Ruang LingkluAlat Bukti Menurut UU No 11 Tahun 2008 …72 2. Pembuktian Tindak Pidana Di Bidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008 ....... 74
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 78 A. Kesimpulan .................................................................................. 78 B. Saran ............................................................................................ 80
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 83
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
9
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI BIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DARI PERSPEKTIF UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK M. NUH, SH, M. Hum* RAFIQOH LUBIS, SH, M.Hum** LAMGOK HERIANTO S***
ABSTRAKSI Dalam era informasi seperti saat ini, keberadaan suatu informasi mempunyai arti dan peranan yang sangat penting didalam aspek kehidupan, sehingga ketergantungan akan tersedianya informasi semakin meningkat. Perubahan bentuk masyarakat menjadi suatu masyarakat informasi memicu perkembangan teknologi informasi yang menciptakan perangkat teknologi yang kian canggih dan informasi yang lebih berkualitas. Akan tetapi kerap timbul dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi tersebut. Perbuatan melawan hukum di dunia siber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional, oleh karena itu, dibentuklah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai upaya untuk mengatur dan mencegah timbulnya dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi tersebut. Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta mengenai pembuktian tindak pidana dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut UU No 11 Tahun 2008. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi. Data sekunder yang berupa dokumendokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Kemudian data diolah secara kualitatif. Secara keseluruhan, ada beberapa perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu: Pornografi, perjudian online, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, pemerasan, penyebaran berita bohong dan penyesatan, informasi yang bermuatan SARA, pembobolan, penyadapan, hingga tindak pidana komputer yang dilakukan korporasi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 mengenal alat bukti dokumen elektronik, dimana kekuatan hukum berlakunya sama dengan alat bukti yang tertera dalam KUHAP. *
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II *** Mahasiswa Fakultas Hukum USU **
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Teknologi informasi dan komunikasi telah
mengubah prilaku
masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi informasi saat ini menjadi pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. 1 Dampak negatif dapat timbul apabila terjadi kesalahan yang ditimbulkan oleh peralatan komputer yang akan mengakibatkan kerugian besar bagi pemakai (user) atau pihak-pihak yang
berkepentingan.
Kesalahan
yang
disengaja
mengarah
kepada
penyalahgunaan komputer. 2 Informasi sangat mudah didapat pada saat era internet seperti saat ini. Mulai dari anak kecil sampai orang tua sering menggunakan layanan jaringan internet.
Setiap infomasi yang mereka butuhkan sangat cepat dan mudah
didapat. Hanya menggunakan tombol Klik saja maka informasi yang mereka inginkan bisa didapat di dalam jaringan Internet. 3
1
Ahmad M. Ramli, Cyber Law Dan Haki, (Bandung: Refika Aditama), 2004, hal. 1 Andi Hamzah, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, (Jakarta: Sinar Grafika) 1990, hal. 23-24 3 http://www.its.ac.id/pengumuman/kaajian%20hukum%20UU%2011%20th%20200 8%20tentang%20ITE.doc, 29 Septemper 2009 2
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
11
Selain untuk mencari informasi dapat juga melakukan trasaksi melalui jaringan Internet. Transaksi elektronik saat ini sudah sering dilakukan karena orang begitu ingin praktisnya. 4 Data atau informasi elektronik akan diolah dan proses dalam suatu sistem elektronik dalam bentuk gelombang digital (digital information). Transaksi elektronik yang sering disebut sebagai “online contract” sebenarnya ialah transaksi yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer-based information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi (telecommunication-based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet. 5 Akan tetapi kerap timbul dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi tersebut, salah satunya seperti pembobolan rekening nasabah secara online melalui dunia maya (cyber). Secara teknis, informasi dan/atau sistem informasi itu sendiri sangat rentan untuk tidak berjalan sebagaimana seharusnya (malfunction), dapat diubah-ubah ataupun diterobos oleh pihak lain. Untuk melindungi kerahasiaannya, dibutuhkan keamanan data (data security), keamanan komputer serta jaringannya. Dalam Asosiasi Teknologi Informasi Kanada pada Kongres Industri Informasi Internasional 2000 di Quebec, pernah menyatakan bahwa :
4
Ibid Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: Rajagrafindo Persada), 2003, hal. 223 5
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
12
“Information technology touches every aspect of human life and so can electronically enabled crime”. 6 Perkembangan penggunaan Internet yang ditandai oleh pertumbuhan perusahaan-perusahaan penyedia jasa internet dan meningkatnya jumlah pengguna jasa ini, tidak disertai dengan perkembangan hukum di bidang ini. 7 Demikian pula dengan perkembangan zaman, banyak kejahatan konvensional dilakukan dengan modus operandi yang canggih dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.
8
Perbuatan melawan hukum di dunia siber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional, Indonesia saat ini sudah selayaknya merefleksikan diri dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negaranegara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi Hukum Siber ke dalam instrumen hukum positif nasionalnya. 9 Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. 10 6
Information Technology Association of Canada (ITAC), IIIC Common Views Paper On : Cyber Crime, IIIC 2000 Millenium Congress, September 19 th,2000,dikutip dalam ‘Barda Nawawi, Pembahasan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2005, hal 136’ 7 Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum Di Cyberspace, (Bandung: Citra Aditya Bakti), hal. 2 8 Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), 2006, hal. 3 9 Ahmad M. Ramli, Op. Cit, hal. 5 10 http://www.its.ac.id/pengumuman/kaajian%20hukum%20UU%2011%20th%20200 8%20tentang%20ITE. doc, 29 Septemper 2009 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
13
Sebagai cabang ilmu hukum, Hukum Siber termasuk sangat baru. Hukum Siber bertumpu pada disiplin-disiplin ilmu hukum yang telah lebih dulu ada. Beberapa cabang ilmu hukum yang menjadi pilar hukum siber adalah Hak Atas Kekayaan Intelektual, Hukum Perdata Internasional, Hukum Perdata, Hukum Internasional, Hukum Acara dan Pembuktian, Hukum Pidana Internasional, Hukum Telekomunikasi, dan lain-lain. 11 Melihat
fakta hukum sebagaimana yang ada pada saat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terdapat
ini, pada
dikembangkannya suatu Informasi dan transaksi yang berbasis elektronik telah disalahgunakan sebagai sarana kejahatan yang harus diantisipasi bagaimana kebijakan hukumnya, sehingga tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang terjadi dapat dilakukan upaya penanggulangannya, termasuk dalam hal ini adalah mengenai sistem pembuktiannya. Hal ini menjadi sangat penting, karena dalam penegakan hukum pidana dasar pembenaran seseorang, dapat dikatakan bersalah atau tidak melakukan tindak pidana, di samping perbuatannya dapat dipersalahkan atas kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelumnya (asas legalitas), serta perbuatan mana didukung oleh kekuatan bukti yang sah dan kepadanya dapat dipertanggungjawabkan (unsur kesalahan). Dasar pembenaran sebagaimana diuraikan di atas, bila dikaitkan dengan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik, maka unsur membuktikan dengan kekuatan alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana merupakan
11
Ahmad M. Ramli, Op. Cit, hal. 5
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
14
masalah yang tidak kalah pentingnya untuk diantisipasi di samping unsur kesalahan dan adanya perbuatan pidana. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik. Untuk itu penulis mencoba untuk mendeskripsikan pembahasan dalam fokus masalah Pembuktian Tindak Pidana di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
B. Perumusan Masalah 1. Perbuatan-perbuatan apakah yang termasuk dalam lingkup tindak pidana dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008? 2. Bagaimanakah Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik dari Perspektif Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008?
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
15
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Bahwa setiap karya ilmiah memiliki tujuan yang akan diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang ada. Adapun tujuan yang akan dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui perbuatan apa saja yang termasuk dalam lingkup tindak pidana dibidang informasi dan transaksi elektronik menurut UU No. 11 Tahun 2008. b. Untuk mengetahui bagaimana pembuktian tindak pidana dibidang informasi dan transaksi elektronik dari perspektif UU No. 11 Tahun 2008. 2. Manfaat penulisan Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Untuk memberikan informasi kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang tindak pidana dibidang informasi dan transaksi elektronik pada khususnya, sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik pada khususnya.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
16
b. Manfaat Praktis 1. Untuk memberikan masukan bagi masyarakat yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran akan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana yang berkaitan dengan Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia 2. Untuk memberikan masukan bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme kerja dalam upaya penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana yang berkaitan dengan Informasi Dan Transaksi Elektronik
D. Keaslian Penulisan Skripsi dengan judul “Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah
asli
merupakan
karya
ilmiah
milik
penulis
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
17
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif” sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 12 Membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengkataan. 13 Darwan Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 14
12
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahn dan Penerapan Kuhap Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika), hal.252-253. 13 R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita), 2001, hal. 1 14 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan), 1998, hal. 133. Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
18
Menurut Sudikno Mertokusumo pembuktian adalah: pembuktian secara juridis tidak lain merupakan pembuktian secara historis. Pembuktian yang bersifat juridis ini mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkret. Baik dalam pembuktian secara juridis maupun ilmiah, maka membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. 15 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan di sidang pengadilan, dimana melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya akan dijatuhkan sanksi. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau Bewijs Kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 16 Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan
masyarakat
berarti,
bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana (KUHP) atau undangundang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan
15
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), 1999, hal.109. 16
Yahya Harahap, Op. Cit, hal.252
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
19
kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau memang ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat.
tetapi hukuman itu harus
seimbang dengan kesalahannya. 17
2. Pengertian Tindak Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari Recht. Sudarto mengemukakan bahwa istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk mengganti perkataan “straf” namun menurut beliau “pidana” lebih baik dari pada “hukuman”. 18 Menurut Moelyatno, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 17 18
Darwan Prinst, Op. Cit, hal. 132-133 R.Soedarto, Hukuman dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni), 1981, hal. 71-71.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
20
3. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 19 Strafbaarfeit dalam bahasa Belanda berasal dari dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan “sebagian dari kenyataan”, sedangkan strafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harafiah perkataan strafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah tentu tidak tepat. Bahwa di sini yang dapat dihukum adalah manusia pribadi bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. 20 Utrecht menterjemahkan strafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik. Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtfeit) yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Menurut Pompe strafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja/tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 21 Menurut J.E Jonkers, peristiwa pidana adalah perbuatan yang melawan hukum
19
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta), 1993, hal.1 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika), 2005, hal 5 21 Ibid, hal 6 20
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
21
(wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 22 Mengenai definisi dari tindak pidana ada 2 pandangan yang berbeda dari para sarjana yakni pandangan dualisme dan pandangan monisme. Pertama, Pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Salah satu sarjana terkenal penganut pandangan ini adalah Moeljatno. 23 Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatannya (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan). 24 Kedua, pandangan monisme adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Salah satu sarjana terkenal yang menganut pandangan ini adalah Simon. 25 Simon merumuskan strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh 22
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2002, hal 75 23 Ibid, hal.72 24 Evi Hartanti, Op.Cit, hal.7 25 Adami Chazawi, Op.Cit, hal.75 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
22
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena: 26 a. Untuk adanya suatu srafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewjiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan oleh UndangUndang. c. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling. Adapun unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut : 1. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri, yaitu: kesalahan dari orang yang melanggar aturan-aturan pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pelanggar. 2. Unsur Objektif, terdiri dari: a. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan yang positiv, atau suatu perbuatan yang negativ yang menyebabkan pidana.
26
Evi Hartanti, Op.Cit, hal.5
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
23
b. Akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri atas merusakkan
atau
membahayakan
kepentingan-kepentingan
hukum, yang menurut norma hukum itu perlu ada supaya dapat dihukum. c. Keadaan-keadaan sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan. d. Sifat melawan hukum dan sifat dapat dipidanakan perbuatan itu melawan hukum, jika bertentangan dengan Undang-Undang. 27 Sehubungan dengan kepentingan pidana Soedarto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syaratsyarat tertentu.28 Roeslan Saleh menyatakan pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu Nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuatan delik itu. 29 Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut azas yang dinamakan azas legalitas (principle of legality), yakni suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Dalam bahasa latin, berbunyi: Nullum delictum nulla poena
27
M. Hamdan, Tindak Pidana Suap dan Money Politics, (Medan: Pustaka Bangsa Pers), 2005, hal.10 28 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni), 1984, hal. 2. 29 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru), 1983, hlm .2. Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
24
sine previa legi poenalli (tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undangundang hukum pidana terlebih dahulu). 30 Akan tetapi, dalam memidana seseorang yang telah disangka melakukan perbuatan pidana tersebut, dikenal asas yang berbunyi : “Tindak pidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda: “Geen straf zonder schuld”. Penentuan mengenai dengan cara bagaimana melakukan perbuatan pidana diatur didalam hukuman pidana formal atau Hukum Acara Pidana. Van Bemmelen mengatakan: Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturanperaturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang. 31
3. Pengertian Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik Jika dicermati, informasi bukanlah berasal dari bahasa Indonesia melainkan dari bahasa asing “Information” yang berasal dari kata dasar “inform” yang secara leksikal artinya adalah “to give, imbue or character to;” atau “be the formative principle of”, atau “to give, imbue or inspire with some spesific quality or character”. Jadi sepatutnya juga diperhatikan bahwa informasi bukanlah hanya sebagai suatu obyek ataupun output saja, yang lazim diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai suatu keterangan ataupun berita, melainkan juga harus melihat kepada aspek pemrosesannya. Dengan kata lain
30
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama), 2003, hal.42 31 Mohammad Taufik Makarao, Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Preaktek, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2004, hal. 2 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
25
validitas
informasi
sangat
ditentukan
oleh
sejauh
mana
validitas
pemrosesannya. 32 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 dalam Pasal 1 mencantumkan pengertian dari Informasi Elektronik adalah suatu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail),telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Menurut Turban, Rainer, dan Potter, “Data are raw facts or elementary description of things, events, activities, and transactions that are captured, recorded, stored, and calssified, but not organized to convey any specific meanin. Example of data would included bank balance”. Data ialah gambaran dasar, fakta-fakta awal yang belum terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan, dan transaksi yang ditangkap, direkam, disimpan dan terklasifikasi tetapi tidak terorganisir untuk dapat menyatakan arti khusu apapun. Contoh data ialah saldo rekening bank. 33 Pengertian informasi menurut Turban, Rainer, dan Potter, “Information is a collection of facts organized in some manner so that they are meaningful to a recipient. For example, if we include costumer names with Bank balance, we would have useful information”. “Contoh informasi ialah saldo rekening bank
32 33
Edmon Makarim, Op. Cit, hal 29 Edmon Makarim, Op. Cit, hal 31
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
26
yang disertai dengan identitas pemegang rekening”. 34 Dengna kata lain, informasi bersumber dari data yang telah diproses. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi elektronik dapat berupa catatan elektronik, data atau dokumen elektronik, surat-surat elektronik, ataupun tanda tangan elektronik. Menurut Peter Zorkoczy, teknologi informasi diartikan sebagai usaha pengumpulan, penyimpanan, pengolahan, penyebaran dan pemanfaatan informasi. Selain menyangkut perangkat keras dan lunak, teknologi informasi memperhatikan pula kepentingan manusia sehubungan dengan tujuan yang ditetapkan untuk teknologi itu sendiri, nilai-nilai yang digunakan dalam menentukan pilihan, serta kriteria penilaian untuk menyimpulkan apakah manusia mampu menguasai teknologi ini dan menjadi lebih lengkap karenanya. 35 Dalam defenisi sempit, menurut Efraim Turban dalam Information Technology for Management, teknologi informasi mengacu pada sisi teknologi daripada suatu Sistem Informasi. Ia terdiri dari hardware, basis data, jaringan software dan piranti-piranti yang lainnya. Disini dipandang sebagai subsistem daripada sebagai informasi. Disisi lain Information Technology sering dipakai bergantian dengan Information System. Bahkan dipakai sebagai konsep yang luas yang menggambarkan sebagai koleksi daripada beberapa sistem informasi, pemakai dan manajemen untuk seluruh organisasi. 36 Suatu data/informasi yang telah diolah oleh sistem informasi secara elektronik tersebut, akan tersimpan di dalam suatu media tertentu, yang 34
Ibid, Hal. 31 http://www.taufik.staff.ugm.ac.id/images/file/kuliah_4.pdf , 30 September 2009 36 http://www.taufik.staff.ugm.ac.id/images/file/kuliah_4.pdf , 30 September 2009 35
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
27
dinamakan dokumen elektronik. Sistem penyimpanan data dan/atau informasi elektronik yang berbasiskan komputer dinamakan Database dan data yang dikomunikasikan melalui media telekomunikasi dinamakan Data Message. 37 Dalam ketentuan umum Pasal 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik disebutkan bahwa Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer dan atau media elektronik lainnya. Transaksi elektronik dirumuskan definisinya dari terminologi Ecommmerce (Electronic Commerce) atau mengarah pada perniagaan atau perdagangan, namun dalam Undang-undang Iformasi dan Transaksi tidak mendefenisikan E-commerce secara jelas. E-commerce dapat didefenisikan sebagai segala bentuk transaksi perdagangan/perniagaan barang atau jasa (trade of goods and servic) dengan menggunakan media elektronik. Electronic Commerce adalah kemampuan untuk membentuk transaksi bisnin yang meliputi pertukaran barang dan jasa diantara dua pelaku bisnis dengan menggunakan peralatan dan teknologi elektronika. 38
37
Edmon Makarim, Op. Cit, hal 39 http://www.mti.ugm.ac.id/~slamet/kuliah/Aspek_Legal/uu/Tugas%20TRANSAKSI %20ELEKTRONIK%20Kelompok%206.ppt, 30 September 2009 38
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
28
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam Penulisan Skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. 2. Data dan Sumber Data Sebagaimana umumnya, penelitian normatif dilakukan dengan penelitian pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder. Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan b. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, artikel, koran dan majalah c. bahan hukum tertier, seperti kamus yang relevan dengan skripsi ini. 3. Metode Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini. 4. Analisis Data Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
29
konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan BAB I:
Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar
belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut, metode penulisan dan terakhir diuraikan sistematika penulisan skripsi BAB II. Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU NO 11 Tahun 2008. Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan bidang informasi dan transaksi elektronik sebelum lahirnya UU No 11 Tahun 2008, kronologis pembentukan UU informsi dan transaksi elektornik di Indonesia serta perkembangan perundang-undangan dibidang informsi dan transaksi elektronik di Indonesia. Selain itu, bab ini akan menguraikan perbuatan apa saja yang termasuk dalam lingkup tindak pidana dibidang informasi dan transaksi elektronik menurut UU No. 11 Tahun 2008 dan secara umum.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
30
BAB III. Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspekif UU NO 11 Tahun 2008. Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai pembuktian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia, pembuktian tidank pidana dibidang informasi dan transaksi elektronik menurut UU No. 11 Tahun 2008, serta permasalahan yang muncul dalam pembuktian tindak pidana dibidang informasi dan transaksi elektronik BAB IV. Bab yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
31
BAB II PERBUATAN YANG TERMASUK DALAM LINGKUP TINDAK PIDANA DIBIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENURUT UU NO 11 TAHUN 2008
Penerapan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik akan menimbulkan berbagai perubahan sosial. Karena itu perlu untuk diperhatikan bagaimana upaya melakukan transformasi teknologi dan industri dalam mengembangkan struktur sosial yang kondusif. Tanpa adanya partisipasi masyarakat dan peranan hukum, upaya pengembangan teknologi tidak saja kehilangan dimensi kemanusiaan tetapi juga menumpulkan tujuan yang akan dicapai. Peranan hukum diharapkan dapat menjamin bahwa pelaksanaan perubahan itu akan berjalan dengan cara yang teratur, tertib dan lancar. Perubahan yang tidak direncanakan dengan sebuah kebijakan hukum acap kali akan menimbulkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat. Di sinilah hukum akan berfungsi dalam menghadapi perubahan masyarakat. Fungsi hukum dalam masyarakat ada dua, yaitu: 1. Produk hukum harus mampu mengangkat peristiwa-peristiwa (gejala hukum) dalam masyarakat ke dalam hukum sebagai sarana pengaturan masyarakat di masa akan datang. Fungsi pengaturan diwujudkan dengan dibentuknya norma-norma yang merupakan alat pengawas masyarakat (social control). Fungsi ini bertujuan agar orang-orang bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat umum yang telah diwujudkan dalam norma hukum yang dibentuk bersama Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
32
2. Fungsi kedua dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dalam suasana peruabahan masyarakat yang terus menerus terjadi. Ini dimaksudkan agar setiap perubahan masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah direncanakan atau dikehendaki. Dampak tersebut tidak selalu berlangsung demikian, karena di pihak lain timbul itikad tidak baik untuk mencari keuntungan dengan melawan hukum, yang berarti melakukan kejahatan. Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik, sering disalahgunakan oleh sebagian kalangan untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun kelompok, yang pada akhirnya perbuatan itu merupakan perbuatan yang tergolong dalam tindak pidana. Berikut akan diuraikan perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana menurut UU No 11 Tahun 2008
A. Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008 1. Kronologis Terbentuknya UU No 11 Tahun 2008 39 UU ITE mulai dirancang sejak Maret 2003 oleh Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) dengan nama Rancangan Undang Undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU-IETE). Semula UU ini dinamakan Rancangan Undang Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik (RUU IKTE) yang disusun Ditjen Pos dan Telekomunikasi-Departemen Perhubungan serta Departemen Perindustrian
39
http://img.kaskus.us/dokumen/BAHAN-BUKU-SAKU-SOSIALISASI-UU-ITEEDIT-3.pdf, Buku Panduan Untuk Memahami UU No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 22 Oktober 2009 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
33
dan Perdagangan, bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Tim Asistensi dari ITB, serta Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Universitas Indonesia (UI). Setelah
Departemen
Komunikasi
dan
Informatika
terbentuk
berdasarkan Peraturan Presiden RI No 9 Tahun 2005, tindak lanjut usulan UU ini kembali digulirkan. Pada 5 September, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui surat No.R./70/Pres/9/2005 menyampaikan naskah RUU ini secara resmi kepada DPR RI. Bersamaan dengan itu, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika membentuk “Tim Antar Departemen Dalam rangka Pembahasan RUU Antara Pemerintah dan DPR RI” dengan Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No.83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007 dengan Pengarah: Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sekretaris Negara, dan Sekretaris Jenderal Depkominfo. Ketua Pelaksana Ir. Cahyana Ahmadjayadi, Dirjen Aplikasi Telematika Depkominfo, Wakil Ketua Pelaksana I: Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM dan Wakil Ketua Pelaksana II: Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum. Merespon surat Presiden No. R./70/Pres/9/2005, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang awalnya diketuai oleh R.K. Sembiring
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
34
Meliala (FPDIP) untuk selanjutnya digantikan oleh Suparlan, SH (FPDIP). Pansus DPR beranggotakan 50 orang dari 10 (sepuluh) fraksi yang ada di DPR. Pansus mulai bekerja sejak 17 Mei 2006 hingga 13 Juli 2006 dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak sebanyak 13 kali; antara lain operator telekomunikasi, perbankan, aparat penegak hukum, dan kalangan akademisi, serta Lembaga Sandi Negara. Setelah menyelesaikan RDPU dengan 13 institusi, pada Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Ada 287 DIM yang berasal dari 10 fraksi yang tergabung dalam Pansus. Pembahasan DIM RUU ITE antara Pansus DPR dengan Pemerintah (Tim Antar Departemen Pembahasan RUU ITE) mulai dilaksanakan pada 24 Januari 2007 di Ruang Komisi I DPR. Pembahasan dilakukan sekali dalam seminggu (Rabu atau Kamis) sesuai undangan DPR. Pada pembahasan RUU ITE tahap Pansus, sesuai ketentuan, Pemerintah diwakili oleh Menteri Komunikasi dan Informatika atau Menteri Hukum dan HAM serta didampingi anggota Tim Antar Departemen Pembahasan RUU ITE. Rapat Pansus yang dilaksanakan sejak 24 Januari hingga 6 Juni 2007, dilakukan sebanyak 17 kali dan berhasil membahas seluruh DIM Setelah Pansus, pembahasan dilakukan pada tahap Panitia Kerja (Panja), berlangsung mulai 29 Juni 2007 sampai 31 Januari 2008, dengan jumlah rapat sebanyak 23 kali. Selesai Rapat Panja, pembahasan dilanjutkan pada tahap Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
35
berlangsung sejak 13 Februari sampai 13 Maret 2008 dengan jumlah rapat sebanyak 5 kali. Tahap selanjutnya setelah Rapat Pansus, Panja, dan Timus-Timsin dilalui, digelar Rapat Pleno Pansus RUU ITE dilakukan untuk pengambilan keputusan tingkat pertama terhadap naskah akhir RUU ITE. Ini dilangsungkan pada 18 Maret 2008, dan hasilnya menyetujui RUU ITE dibawa ke pengambilan keputusan tingkat II. Pada Rapat Paripurna DPR RI, tanggal 25 Maret 2008, 10 Fraksi sepakat menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang -Undang untuk selanjutnya dikirim ke Presiden untuk ditandatangani.
2. Perkembangan Perundang-undangan Transaksi Elektronik di Indonesia
Dibidang
Informasi
Dan
Dalam perkembangannya, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, telah ada regulasi yang berkaitan dengan kejahatan di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik, diantaranya: a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang mengancam pidana bagi perbuatan : 1) tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi akses ke jaringan telekomunikasi (Pasal 22 jo. Pasal 50) 2) menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi (Pasal 38 jo. Pasal 55) 3) menyadap informasi melalui jaringan telekomunikasi (Pasal 40 jo. Pasal 56)
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
36
Menurut definisi yang termuat dalam undang-undang telekomunikasi ini, yang dimaksud dengan telekomunikasi ialah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tandatanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Perangkat telekomunikasi ialah setiap alat-alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Dan yang dimaksud dengan jaringan telekomunikasi ialah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi. Penyalahgunaan internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan undangundang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undangundang Telekomunikasi ini. b. Undang-undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Menurut Pasal 1 (8) Undang-undang tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi -fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Dalam Pasal 30 mengatur mengenai jangka waktu hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
37
3. Perbuatan Yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun
1. Pornografi a. Pornografi Pada Umumnya Banyak sekali situs Web yang tersedia bila hendak menonton tanyangan porno lewat internet. Kita dapat menonton dengan bebas tanpa ada gangguan tapi apakah kita tahu bahwa hal tersebut merupakan tindak pidana? Bahkan terkadang pembuat atau penyedia jasa (provider) saja mungkin tidak tahu bahwa perbautannya tersebut adalah maruapakan tindak pidana, 40 maka untuk lebih jelas perlu tahu apa yang menjadi pornografi tersebut. Pornografi merupakan terjemahan istilah dari “pornography” dalam bahasa inggris. Hal itu sesuai dengan pengertian “kesusilaan” yang dibedakan dengan pengertian “pornografi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dibuat oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. “kesusilaan” berasal dari kata “susila” yang berarti “baik budi bahasanya; beradab; sopan” selain juga diartikan sebagai “adat istiadat yang baik; sopan santun; kesopanan; keadaban; kesusilaan”. Juga diartikan sebagai “pengertian tentang keadaban; kesusilaan”. Sementara into “kesusilaan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna “perihal susila; yang berkaitan dengan adab dan sopan santun”. Selain itu diartikan pula “norma yang baik; kelakuan yang baik; tata
40
Asril Sitompul, Op. Cit, hal. 73.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
38
karma yang luhur”. Sementara itu “pornografi” menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia adalah: 41 Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi. Arti yang lain adalah: Bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks. Dengan kata lain “pornografi” adalah kata lain dari “cabul” atau “pencabulan”. Dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE menentukan pornografi dalam bentuk melanggar kesusilaan yaitu: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
b. Pornografi Anak Pronografi anak atau child pornography atau child porn adalah bahanbahan porno (cabul) yang menampilkan anak-anak. Kebanyakan negara menyebutkan hal itu sebagai bentuk dari child sexual abuse dan merupakan hal yang melanggar hukum. Dimana child pornography berupa foto-foto yang menampilkan
anak-anak
yang
terlibat
dalam
perilaku
seksual
dan
memproduksi bahan-bahan tersebut dengan sendirinya dilarang oleh hukum
41
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
39
sebagai child sexual abuse dikebanyakan negara. 42 Anak adalah objek dan alat tangan-tangan tidak bertanggung jawab untuk melancarkan kehendak jahatanya. Pornografi anak dapat dilakukan dalam bentuk apapun. Dalam Pasal 52 ayat (1)
menyangkut kesusilaan atau eksploitasi
seksual terhadap anak adalah: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak dikenakan pemeberatan sepertiga dari pidana pokok”.
2. Perjudian Online Perjudian di dunia saiber yang bersekala global sering disebut EGambling, sulit dijerat dengan hukum nasional suatu negara. Dari kegiatan gambling dapat diputar kembali di negara yang merupakan tax heaven, seperti cayman island yang merupakan surga bagi money laundering. Bahkan Indonesia negara yang sering dijadikan sebagai tujuan money laundering yang uangnya diperoleh dari hasil kejahatan berskala internasional. 43 Larangan terhadap Oline-Gambling ini diberikan karena telah sangat merugikan banyak orang bahkan daapt juga suatu negara. Larangan tersebut karena hal-hal sebagai berikut: 44 1. Berpotensi terjadinya kecurangan di internet, 2. Memungkinkan bagi anak-anak untuk dapat mengakses situs-situs perjudian,
42
Sultan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti) ,2009, hal. 176 43 H. Sutarman, Modus Operandi dan Penanggulangannya, (Jogjakarta: Laksbang Pressindo), 2007, hal. 79 44 Sultan Remy Syahdeini, OpCit, hal.175. Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
40
3. Mengakibatkan
meningkatkan
kecanduan
masyarakat
untuk
berjudi,daapt mengurangi pendapatan negara bagian yang bersangkutan dari kegiatan perjudian yang resmi. Dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE menentukan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat daapt diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan Perjudian”.
3. Penghinaan dan/atau Pencemaran Nama Baik Untuk dapat dikategorikan sebagai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, maka unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah: 45 1. Adanya hal atau keadaan yang tidak benar yang dikomunikasikan lewat internet. 2. Hal atau keadaan tersebut mengenai diri seseorang atau suatu badan. 3. Hal atau keadaan dipublikasikan kepada pihak lain. 4. Publikasi tersebut mengakibatkan kerugian bagi seseorang yang menjadi objek. Hal atau keadaan yang dikomunikasikan atau dipublikasikan lewat internet dapat dikatakan merupakan penghinaan atau pencemaran nama baik bila hal atau keadaan itu adalah tidak benar dan bersifat merugikan bagi pihak yang menjadi korban, baik itu merupakan suatu yang merusak reputasi ataupun yang membawa kerugian material bagi pihak korban. Publikasi dan komunikasi tentang diri pihak lain daapt dikatakan pencemaran nama baik dan/atau
45
Asril Sitompul, Op.Cit, hal. 75
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
41
penghinaan, baik dilakukan dengan kata-kata atau tulisan yang terang-terangan maupun dengan bentuk yang tersembunyi, nmaun mengandung konotasi merusak reputasi seseorang atau suatu badan. Larangan melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dengan mengunakan system teknologi informasi diatur dalam Pasal 27 ayat (3) yang menentukan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau p dipencemaran nama baik”
4. Pemerasan atau Pengacaman Larangan melakukan perbuatan menghina dan/atau mencemarkan nama baik dengan menggunakan system teknologi informasi diatur dalam Pasal 27 ayat (4) dimana menentukan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”.
“Pemerasan” adalah apa yang dimasksud dengan black mail dalam bahasa inggris. Sementara itu yang dimaksud dengan “pengancaman” adalah “menyampaikan ancaman” terhadap pihak lain. “ancaman” harus mengandung “janji bahwa orang yang menyampaiakn ancaman ini akan melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh dan sangat mengkhawatirkan bagi orang yang menerima ancaman apabila sesuatu yang diiginkan oleh orang yang
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
42
menyampaikan ancaman tersebut tidak dipenuhi oleh pihak yang menerima ancaman”
5. Penyebaran Berita Bohong dan Penyesatan Larangan melakukan perbuatan menyebarakan berita bohong dan penyesatan dengan mengunakan system teknologi informasi diatur dalam Pasal 28 ayati (1) yang menentukan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”. Dengan demikian, yang diatur di dalam Pasal 28 ayat (1) tersebut hanya yang dilakukan oleh pelaku usaha apabila yang menjadi korban tindak pidana tersebut konsumen pemakai atau pengguna barang atau jasa dari pelaku usaha tersebut. Dengan kata lain, Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (2) bertujuan hanya melindungi konsumen bukan melindungi pelaku usaha yang dirugikan oleh pelaku usaha lain atau pihak-pihak lain siapa pun. 46
6. Penyebaran Informasi yang Bermuatan SARA Laranagan
melakukan
perbuatan
menyebarkan
informasi
yang
bermuatan SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2) yang menentukan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
46
Sultan Remy Syahdeini, Op.Cit, hal.236.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
43
Adapun tujuan penyebaran ini untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras. Dan antargolongan (SARA).
7. Pengiriman
Informasi
Bermuatan
Ancaman
Kekerasan
atau
Manakut-nakuti Perbuatan ini sama halnya dengan cyber-terrorism dimana tindak pidana ini bertujuan menberi ancaman kepada pihak lain melalui bantuan teknologi agar korban yang dituju lebih cepat percaya dan yakin terhadap tindakan yang dilakukannya. Hal ini juga dapat dilakukan terhadap suatu negara untuk mengancam keaman dan stabilitas negara tersebut tanpa pengecualian. 47 Larangan melakukan perbuatan mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi kekerasan atau menakut-nakuti diataur dalam Pasal 29 yang menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronikk dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.
8. Pembobolan Komputer dan/atau Sistem Elekronik Larangan melakukan perbuatan membobol system komputer yang diatur dalam UU ITE terdiri atas:
47
http:///www.crime-research.org/library/Cyber-terrorism.htm, 24 Oktober 2009
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
44
(a) Membobol komputer dan/atau system elektronik yang bertujuan untuk mengakses saja tanpa tujuan lain. Larangan perbuatan ini diatur dalam Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau system Elektronik milik orang lain dengan cara apa pun”. (b) Membobol komputer dan/atau system elektronik yang selain bertujuan untuk mengakses adalah juga memperoleh informasi elktronik dan/atau dokumen elektronik. Larangan perbuatan ini diatur dalam Pasal 30 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau system Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” (c) Membobol komputer dan/atau system elektronik yang bertujuan selain untuk mengakses juga untuk menaklukkan system pengamanan dari system komputer yang diakses itu. Larangan perbuatan ini diatur dalam Pasal 30 ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau system Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol system pengaman”.
9. Intersepsi atau Penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang Disimpan dalam Komputer dan/atau Sistem Elektronik.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
45
Tindak pidana intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang disimpan dalam komputer dan/atau sistem elektronik. (a) Melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Larangan melakukan perbuatan ini diatur dalam Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakuakn instersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain”. (b) Melakukan intersepsi atau penyadapan atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Larangan melakukan perbuatan ini diataur dalam Pasal 31 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap oaring dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Inforamsi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat public dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang alain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabakan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisika”.
10.
Mengusik Informasi/Dokumen Elektronik Larangan terhadap perbuatan ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1) yang
berbunyi: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, menrusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik”.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
46
Dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik adalah milik publik, maka mengakses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut bukan meruapkan larangan. Namun apabila perbuatan yang dilakukan adalh “mengusik” informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang menjadi sasaran pelaku, maka perbuatan mengusik itulah yang dilarang. Perbuatan mengusik informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dimaksud adalah perbuatan berupa mengubah, menambah, mengurangi, melakukan
transmisi,
merusak
menghilangkan,
memidahkan,
menyembunyikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. 48
11.
Memindahakan atau Mentransfer Informasi/Dokumen Elektronik Pasal 32 ayat (2) UU ITE menentukan larangan memindahkan atau
menstranfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak. Pasal 32 ayat (2) yang berbunyi: “setiap orang dengan sengaja adan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak”.
12.
Tindak Pidana Komputer terhadap Sistem Elektronik Larangan terhadap perbutan ini di atur dalam Pasal 33 yang berbunyi: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berkaitan terganggunya system Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya”.
48
Sultan Remy Syahdeini, Op.Cit, hal.249.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
47
Selain bahwa yang menjadi sasaran adalah “Sistem Elektronik”, juga harus diperhatikan bahwa akibat tindakan tersebut yang berupa terganggunya “Sistem Elektronik” yang menjadi sasarannya, harus terjadi. Konsekuensi yang demikian ini adalah karena tindak pidana dalam Pasal ini dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, artinya pelaku hanya dapat di pidana apabila akibat perbuatan pelaku telah terjadi. Di dalam praktik, gangguan yang terjadi terhadap Sistem Elektronik itu adalah berupa tidak bekerjanya atau berfungsinya Sistem Elektronik tersebut sebagaimana mestinya.
13.
Tindak Pidana Komputer yang Menyangkut Perangkat Kertas dan Perangkat Lunak Komputer Pasal 34 ayat (1) melarang perbuatan berkenaan dengan perangkat
keras dan perangkat lunak. Bunyi Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: a. Perangkat keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33; b. Sandi lewat Komputer, Kode Akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan menfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam psal 27 sampai dengan Pasal 33”. Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) itu dikecualikan oleh Pasal 34 ayat (2) apabila: “tindakan sebagiman dimaksud pada ayat (1) bukan tindak pidana jika ditujukan untuk melakukan kegiatan penelitian, pengujian Sistem
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
48
Elektronik, untuk perlindungan Sistem Elektronik itu sendiri secara sah dan tidak melawan hukum”
14.
Tindak Pidana Komputer yang Merugikan Orang lain Larangan terhadap perbuatan ini di atur dalam Pasal 36 yang berbunyi: “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagiman dimaksud dengan Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain”.
15.
Tindak Pidana Komputer yang Dilakukan di Luar Wilayah Indonesia Menurut
Pasal
37,
pelaku
perbuatan-perbuatn
yang
dilarang
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36, dilarang pula dilakukan di luar negeri apabila perbuatan-perbuatan tersebut dilakukan terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yuridiksi Indonesia. Pasal 37 tersebut berbunyi: “setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yuridiksi Indonesia”.
16.
Tindak Pidana Komputer yang Dilakukan oleh Korporasi UU ITE mengadopsi konsep korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Dengan kata lain, UU ITE mengadopsi pendirian bahwa bukan hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana komputer, tetapi juga korporasi dapat melakukan tindak pidana komputer. Dengan demikian, selain manusia juga
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
49
korporasi daapt dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan tindak pidana komputer.49 Dala Pasal 52 ayat (40) yang berbunyi: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga”.
B. Modus Operandi Kejahatan Dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik
1. Hacking (unauthorized access to computer system and service) Hacking didefinisikan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan dengan cara memasuki atau menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. 50 Hacking dapat dijelaskan sebagai suatu perilaku obsesif dan/atau tanpa otorisasi yang sah (unauthorized access) dalam menggunakan komputer atau sistem jaringan komputer dan pelakunya disebut dengan istilah hacker. Pada awalnya beberapa orang mahasiswa yang berasal dari Massachusets Institute of Technology (MIT) Amerika melakukan eksperimen dengan menggunakan komputer institutnya. Mereka melakukan penyusupan-penyusupan dalam menggunakan komputer dengan maksud agar penggunaan komputer tersebut dapat dilakukan kapan dan dimana saja. Para mahasiswa tersebut membuat program yang bertujuan mengoptimalkan fungsi dan kerja komputer. Selain membuat program, mereka juga bekerja dalam pembuatan 49
Ibid, hal. 258 Hinca IP Panjaitan, Membangun Cyber Law Indonesia yang Demokratis, (Jakarta:IMPLC), 2005, hal. 35 50
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
50
proyek MAC (Multiple Access Computer). Pada saat inilah pertama kali istilah “hacker” digunakan. Istilah ini berawal dari kata “hack” yang saat itu artinya “teknik pemrograman kreatif yang mampu memecahkan masalah secara jauh dan lebih efisien dari teknik biasa”. Saat itu, sebuah tindakan “computer hacking” sangat bermanfaat karena dapat meningkatkan kemampuan program dan lebih hemat. Kemudian, sejalan dengan perkembangan teknologi komputer dan pesatnya pertumbuhan jaringan internet, mendorong meningkatnya pertumbuhan para hacker. Khususnya di tahun 90-an, dimana internet telah berkembang dengan pesat. Beberapa tahap hacking yang dapat dikonstruksikan sebagai kejahatan meliputi: 51 a. mengumpulkan dan mempelajari informasi yang ada mengenai sistem operasi komputer atau jaringan komputer yang dipakai pada target sasaran. b. menyusup atau mengakses jaringan komputer target sasaran c. menjelajahi sistem komputer dan mencari akses yang lebih tinggi d. membuat backdoor dan menghilangkan jejak Seorang hacker meyakini bahwa komputer dan jaringan komputer merupakan wahana untuk melakukan tindakan atau perbuatan kreatif sekaligus dapat mengubah kehidupan ini menjadi lebih baik. 52
51
Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 2002, hal 175 52 Ibid, hal 175 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
51
2. Cracking Cracking adalah sisi gelap dari hacker dan memiliki ketertarikan untuk mencuri informasi, melakukan berbagai macam kerusakan dan sesekali waktu juga melumpuhkan keseluruhan sistem komputer. Hacker ilegal, yang kerap mencuri dan/atau merusak data atau program, disebut dengan istilah cracker. Para hacker jahat (cracker) membentuk komunitasnya sendiri (cyber community), dimana mereka sering menunjukkan keahlian mereka, bahkan sering juga disertai dengan tindakan-tindakan yang merugikan. Berbeda dengan carder yang hanya mengintip kartu kredit, cracker mengintip simpanan para nasabah di berbagai bank atau pusat data sensitif lainnya untuk keuntungan diri sendiri. Meski sama-sama menerobos keamanan komputer orang lain, hacker lebih fokus pada prosesnya. Sedangkan cracker lebih fokus untuk menikmati hasilnya. 53 Seperti kerusakan sistem komputer, hilangnya seluruh data didalam komputer, tidak berfungsinya search engine; seperti yahoo, CNN yang sempat terhenti beberapa hari, dan tentunya kerugian dari segi ekonomi. Salah satu aktifitas cracking yang paling dikenal adalah pembajakan situs web dan kemudian mengganti tampilan halaman mukanya. Tindakan ini biasa dikenal dengan istilah deface.
3. Joycomputing Joycomputing merupakan salah satu modus operandi kejahatan dunia maya dimana pelaku secara tidak sah mencuri service atau mencuri waktu 53
http://www. Man 3 Malang.com/ jenis-jenis kejahatan internet.mht, 22 Oktober
2009 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
52
dalam penggunaan komputer/internet untuk kepentingan tertentu, seperti iseng, mainmain, atau merusak sistem. Joycomputing terilhami dari kasus yang terjadi di negara Belanda, yang memidana pelaku yang mengambil mobil milik orang lain untuk bersenang-senang, tanpa niat untuk memiliki mobil tersebut (joyriding). Joycomputing dianalogikan seperti joyriding, namun objeknya merupakan sistem/jaringan dari suatu komputer yang diakses secara tidak sah atau tanpa izin di dalam dunia maya (cyberspace). Muladi, guru besar Fakultas Hukum UNDIP Semarang menyatakan bahwa pelaku tindak pidana komputer dalam melakukan perbuatannya semata-mata bukan hanya profit, melainkan bagaimana dapat
mengakali (outsmart)
suatu
sistem komputer
dan
melakukannya untuk kesenangan semata. Profil ini merupakan profil pelaku kejahatan dunia maya joycomputing yang bertujuan untuk kesenangan semata.
4. Carding Secara
definitif
carding
dapat
didefinisikan
sebagai tindakan
penggunaan kartu kredit yang dilakukan oleh orang yang tidak seharusnya menggunakan kartu kredit tersebut untuk melakukan transaksi melalui internet.54 Secara terminologi, carding berasal dari Bahasa Inggris, yaitu card (kartu). Para pakar teknologi informasi memberikan label kepada para pelaku penyalahgunaan kartu kredit dengan sebutan carder yang sampai sekarang 54
Setiadi, Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Internet Banking dalam Jurnal Hukum Teknologi, (Depok: Jurnal LKHT FH UI), 2005, hal. 19 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
53
istilah itu masih digunakan kepada mereka. Sekarang yang menurut Bahasa Inggris, yang lazim digunakan adalah credit card fraud atau dalam istilah Bahasa Indonesia adalah penipuan kartu kredit, yang diartikan sebagai penggunaan kartu kredit yang dilakukan oleh orang yang tidak seharusnya menggunakan kartu kredit tersebut untuk melakukan transaksi melalui internet. 55 Menurut Thom Mrozek (United States Attorny Central District Of California), “Carding is a term used by hackers to describe the use of stolen credit card information to purchase items or services”. 56 Dalam beberapa kasus yang diungkap Polri, perkembangan modus operandi carding atau melakukan penipuan/penyalahgunaan kartu kredit melalui internet, adalah sebagai berikut: 57 a. Modus I (1996-1998), para carder mengirimkan barang hasil carding mereka langsung ke suatu alamat di Indonesia. b. Modus II (1998-2000), para carder tidak lagi secara langsung menuliskan “Indonesia” pada alamat pengiriman, tetapi menuliskan nama negara lain. Kantor pos negara lain tersebut akan meneruskan kiriman yang ‘salah tujuan’ tersebut ke Indonesia. Hal ini dilakukan para carder karena semakin banyak merchant atau perusahaan penyedia e-commerce di internet yang menolak mengirim produknya ke Indonesia.
55
Ibid, hal 20 Ade Ary Syam Indradi, 2006, Carding Modus Operandi, Penyidikan, dan Penindakan, (Jakarta: Pensil-324), 2006, hal 35 57 Setiadi, Op. Cit, hal 22 56
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
54
c. Modus III (2000-2002), para carder mengirimkan paket pesanan mereka ke rekan mereka yang berada di luar negeri. Kemudian rekan mereka tersebut akan mengirimkan kembali paket pesanan tersebut ke Indonesia secara normal dan legal. Hal ini dilakukan oleh carder selain karena modus operandi mereka mulai tercium oleh aparat penegak hukum, juga disebabkan semakin sulitnya mencari merchant yang bisa mengirim produknya ke Indonesia. d. Modus IV (2002-sekarang), para carder lebih mengutamakan mendapatkan uang tunai. Caranya adalah dengan mentransfer sejumlah dana dari kartu kredit bajakan ke sebuah rekening di www.PayPal.com, kemudian dari PayPal, dana yang telah terkumpul tersebut mereka kirimkan ke rekening bank yang mereka tunjuk. Cara lainnya adalah dengan melakukan penipuan, seolaholah mereka menjual barang hasil carding, dan menjebak korban dengan meminta mengirimkan uang muka dalam jumlah tertentu kepada mereka. Namun, masih terdapat juga para carder yang kerap menggunakan modus operandi I sampai dengan III, terutama bagi carder pemula. Jenis kejahatan ini (carding), bila ditinjau dari segi sasarannya termasuk bentuk cyber crime against property atau jenis cybercrime yang sasarannya properti milik seseorang. Sedangkan dari modus operandinya, tergolong dalam computer facilitated crime, yaitu pola kejahatan umum yang
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
55
menggunakan komputer dalam aksinya. Motif carding adalah pemenuhan keuntungan material berupa barang atau uang. 58 Kejahatan teknologi informasi di dunia maya mencakup segala aspek dari kehidupan manusia termasuk kejahatan tradisional yang terdapat dalam KUHP namun dilakukan secara elektronik, “Information technology touches every aspect of human life an so can electronically enabled crime”. 59 Dilihat dari keterangan diatas diketahui adanya modus operandi yang dilakukan pelaku kejahatan dunia maya melalui suatu proses elektronik dimana objek dari kejahatan dunia maya tersebut berubah, barang menjadi data elektronik. Sehingga bukti yang diperoleh pun bersifat elektronik. Pengertian data elektronik akan ditinjau secara umum di bawah ini.
58
Ade, Op. Cit, hal. 36 Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana Perbandingan, (Bandung: Citra Aditya Bakti) 2005 Hal. 136 59
dalam
Perspektif
Kajian
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
56
BAB III PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DIBIDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DARI PERSPEKTIF UU NO 11 TAHUN 2008
A. Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan sidang pengadilan melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan bersalah kepadanya akan dijatuhkan oleh karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian atau Bewijs Kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 60 Pembuktian bersalah tidaknya seseorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan
masyarakat
berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar
ketentuan pidana (KUHP) atau undang-undang pidana lainnya, harus mendapat hukuman yang setimpal yang kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa sehingga tidak ada seseorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau 60
Yahya Harahap, Op. Cit, hal 252.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
57
kalau memang ia bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat, tetapi hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya. 61 Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang mebuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif” sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 62 Begitu pula dalam cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. jangan sampai kebenaranyang diwujudkan dalam putusan berdasar hasil perolehan dan penjabaran yang keluar dari garis yang dibenarkan sistem pembuktian .tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. 61 62
Darwan Prinst Op. Cit, hal 132-133 Yahya Harahap, Op.Cit. hal 252-253.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
58
1. Teori Pembuktian Dan Sistem Pembuktian Dalam Hukum Acara Pidana Menurut Pitlo, pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya. 63 Menurut Subekti, yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan. 64 Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam hukum acara pidana. 65 Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian dapat diuraikan sebagai berikut: 66 1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden) 2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau (bewijsmiddelen) 3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di sidang pengadilan (bewijsvoering) 4. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht) 63
Edmon Makarim, Op. Cit, hal 417 Subekti, Op. Cit, hal 1 65 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2005, hal 64
245 66
Bambang Purnomo, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, (Jogjakarta: Liberti) hal 39 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
59
5. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast) 6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim (bewijsminimum) Dalam hukum pembuktian dikenal istilah notoire feiten notorious (generally known) yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. 67 Hal ini tercantum dalam Pasal 184 ayat (2) yang berbunyi, “hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”. Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian ‘hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan tertentu” atau omstandigheiden atau circumstances, yang sudah sedemikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menimbulkan akibat yang pasti demikian. 68 Pada hakekatnya, pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum. Apabila ada unsur-unsur pidanan (bukti awal telah terjadinya tindak pidana) maka barulah dari proses tersebut dilakukan penyelidikan (serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini), dan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1002 Tentang Kepolisian dalam Pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan 67 68
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal 255 Ibid
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
60
bukti yang dengan bukti ini membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Menurut M Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang caracara
yang
dibenarkan
undang-undang
membuktikan
kesalahan
yang
didakwakan kepada terdakwa. Ilmu Pengetahuan Hukum mengenal empat sistem pembuktian, yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Conviction in Time) Suatu sistem pembuktian yang bersifat subjektif, yakni untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa hanya berdasarkan keyakinan hakim semata. Putusan hakim tidak didasarkan kepada alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang, hakim hanya mengikuti hati nuraninya saja. Keyakinan hakim dapat diperoleh dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Hakim dapat juga mengabaikan hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim sepenuhnya, atau dengan kata lain keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. 69 Menurut Andi Hamzah, sistem pembuktian ini dianut oleh peradilan jury di Prancis. Praktek peradilan jury di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyakya putusan
69
Yahya Harahap, Op. Cit, hal 256
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
61
yang aneh. 70 Sistem pembuktian ini pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan dukun. 71
2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie) Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman pertengahan yang ditujukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa harus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukt i yang ditentukan undang-undang. 72 Sistem ini berbanding terbalik dengan Conviction in Time, dimana keyakinan hakim disampingkan dalam sistem ini. Menurut sistem ini, undang-undang menetapkan secara limitatif alat-alat bukti yang mana yang boleh dipakai hakim. Jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-undang, maka hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun hakim ternyata berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Menurut D. Simmon, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim dengan peraturan pembuktian yang keras. Sistem ini disebut juga dengan teori pembuktian formal (formale bewijstheorie). 73 Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya 70
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 230-231 Muhammad Taufik Makarno dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 2004, hal 104 72 Edmon Makarim, Op. Cit, hal 421 73 Andi Hamzah, Op. Cit hal 247 71
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
62
bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinan tentang hal kebenaran itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.74
3. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonee) Menurut sistem pembuktian ini, hakim memegang peranan yang penting disini. Hakim baru dapat menghukum seorang terdakwa apabila ia telah meyakini bahwa perbuatan yang bersangkutan terbukti kebenarannya. Keyakinan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian pemikiran (logika). Hakim wajib
menguraikan dan
menjelaskan alasan-alasan yang menjadi dasar keyakinan atas kesalahan terdakwa.75 Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu tetapi tidak ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang.
4. Sistem Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Bewijstheorie) Sistem ini merupakan penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata. Hasil penggabungan ini dapat dirumuskan: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh hakim yang didasarkan kepada cara 74 75
Ibid Edmon Makarim, Op. Cit, hal 422
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
63
dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem pembuktina menurut undang-undang secara negatif ini merupakan suatu keseimbangan antara sistem yang saling bertoak belakang secara ekstrim. 76 Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijsteorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag) yaitu pada peraturan perundang-udangan dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan undang-undang. 77
2. Pembuktian Perkara Pidana Menurut KUHAP Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan: a. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. b.
Sebaliknya terdakwa ataupun penasihat hukum mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang, berupa “sangkalan” atau bantahan yang beralasan, dengan saksi yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan “alibi”.
c. Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat 76 77
Yahya Harahap, Op. Cit, hal 258 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 250
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
64
dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh dal am persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi
pembuktian merupakan penegasan tentang
tindak pidana yang dilakukan terdakwa, serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasar dakwaan tindak pidana yang telah terbukti. 78 Dalam hal mempergunakan dan membuat penilaian tentang pembukitan dalam suatu perkara pidana, maka hal yang penting yang harus diperhatikan adalah sah atau tidaknya suatu alat bukti. Setiap macam alat-alat bukti disebutkan secara limitatif di dalam KUHAP dan diuraikan menurut urutan dalam Pasal 184 KUHAP, antara lain: a. Keterangan Saksi Pada umumnya, setiap orang dapat menjadi saksi di muka persidangan. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, adalah sebagai berikut: 1) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa 2) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
78
Yahya Harahap, Op. Cit, hal 253
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
65
hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga 3) suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Contoh orang yang harus menyimpan rahasia jabatannya misalnya seorang dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri adalah mengenai hal yang dipercayakan kepada mereka, misalnya Pastor agama Katolik Roma yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Menurut Pasal 170 KUHAP di atas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi….” maka berarti apabila mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. Oleh karena itu, kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif. 79 Kekecualian menjadi saksi dibawah sumpah juga ditambahkan dalam Pasal 71 KUHAP, yaitu: 1) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;
79
Andi Hamzah, Op. Cit, hal 258
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
66
2) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali Dalam hal kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, dalam Pasal 160 ayat (3) dikatakan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masingmasing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Pengucapan sumpah atau janji didalam Pasal 161 KUHAP merupakan syarat mutlak. Dalam hal saksi atau ahli yang menolak untuk bersumpah atau brjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. Apabila dalam tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau mengucapkan sumpah atau janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak akan dianggap menjadi alat bukti yang sah, melainkan hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim, bukan merupakan dasar atau sumber keyakinan hakim. Mengenai isi dan keterangan seorang saksi, dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain, atau dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau hearsay evidence. testimonium de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti dalam Hukum
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
67
Acara Pidana Indonesia menurut Andi Hamzah selaras dengan tujuan Hukum Acara Pidana, yaitu mencari kebenaran materiil. Namun demikian, testimonium de auditu perlu juga didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. 80 Selanjutnya dapat dikemukakan adanya batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang disebut unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 185 ayat (2) yang menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Namun, ketentuan sebagaimana tercantum dalam ayat (2) di atas tidak berlaku menurut Pasal 185 ayat (3) apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Menurut KUHAP, keterangan testis nullus testis, hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 yang mengemukakan dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Namun tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP keterangan saksi yang mempunyai nilai pembuktian ialah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana: 1) yang saksi lihat sendiri,
80
Andi Hamzah, Op.Cit, hal 260
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
68
2) saksi dengar sendiri 3) dan saksi alami sendiri, 4) dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pasal 185 ayat (1) menegaskan kembali bahwa keterangan saksi yang tersebut diatas dapat dinilai sebagai alat bukti, maka keterangan saksi itu harus dinyatakan di sidang pengadilan. Menurut M. Yahya Harahap, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak menentukan atau tidak mengikat.
b. Keterangan Ahli. Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan yang kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Didalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Tidak diberikan penjelasan yang khusus mengenai apa yang dimaksud dengan keterangan ahli menurut KUHAP, dan menurut Andi Hamzah dapat merupakan kesenjangan pula. Sebagai suatu perbandingan, California Evidence Code mendefenisikan “seorang ahli”, sebagai berikut: “A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates”. Dalam terjemahan yang dikemukakan oleh Andi Hamzah, seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan,
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
69
keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya. 81 KUHAP membedakan keterangan ahli di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis di luar sidang pengadilan sebagai alat bukti “surat” (Pasal 187 butir c KUHAP). Contohnya ialah visum et repertum yang dibuat oleh seorang dokter. Seorang ahli dapat memberikan keterangan mengenai tandatangan dan tulisan sebagai alat bukti dalam hal terjadi pemalsuan tandatangan dan tulisan tangan. Hal ini termuat dalam Surat Edaran Jaksa Agung RI kepada jajaran kejaksaan di seluruh Indonesia No.SE-003/J.A/2/1984 yang merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 184 ayat (1) huruf c jo. Pasal 187 KUHAP. Tetapi menurut Yahya Harahap hanya sebatas mengenai keterangan ahli tentang tandatangan dan tulisan. Jika tandatangan atau tulisan hendak dijadikan alat bukti, untuk menentukan autentikasi tanda tangan dan tulisan tersebut, ahli yang dimintai keterangannya untuk itu menurut SE Jaksa Agung untuk tindak pidana umum dan tindak pidana khusus, keterangan ahli autentikasi diberikan oleh LABKRIM MABAK. 82 Pada pemeriksaan penyidikan demi untuk kepentingan peradilan, penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan dari seorang ahli. Apabila keterangan ahli bersifat ‘diminta’, ahli tersebut membuat laporan sesuai dengan yang dikehendaki penyidik. 83 Laporan tersebut menurut penjelasan Pasal 186 KUHAP dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia 81
Ibid, hal 268 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal 280 83 Ibid, hal 275 82
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
70
menerima jabatan atau pekerjaan. Oleh penjelasan Pasal 186, laporan seperti itu bernilai sebagai alat bukti keterangan ahli, yang diberi nama “alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan”. Apabila hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum maka pada pemeriksaan di sidang, seorang ahli diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita
acara
pemeriksaan.
Keterangan
tersebut
diberikan
setelah
ia
mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim. 84 Pada sisi lain, alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan juga menyentuh alat bukti surat.85 Hal ini diatur dalam Pasal 187 huruf (C) KUHAP yang menentukan salah satu yang termasuk alat bukti surat ialah “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Hal ini tergantung pada kebijakan hakim dapat menilainya sebagai alat bukti keterangan ahli berbentuk laporan atau menyebutnya sebagai alat bukti surat. Kedua alat bukti tersebut sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat.
86
Keterangan yang sekalipun
diberikan oleh beberapa ahli namun dalam bidang dan keahlian yang sama atau hanya mengungkap suatu keadaan atau suatu hal yang sama, maka hanya dianggap sebagai alat bukti saja. 87
84
Titik Terang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 1995 hal 170 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal 283 86 Ibid, hal 283 87 Ibid, hal 284 85
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
71
c. Surat Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, didalam Pasal 187 diuraikan tentang alat bukti surat yang terdiri dari empat butir. Asser-Anema memberikan pengertian, surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran. Sedangkan menurut Prof A Pitlo adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan. 88 Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah: 1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. 2) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan
88
Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal 127
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
72
3) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya 4) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain Menurut Martiman Prodjohamodjojo, Pasal 187 butir (d) adalah surat yang tidak sengaja dibuat untuk menjadi alat bukti, tetapi karena isinya surat ada hubungannya dengan alat bukti yang lain, maka dapat dijadikan sebagai alat bukt i tambahan yang memperkuat alat bukti yang lain. 89 Menurut Andi Hamzah, selaras dengan bunyi Pasal 187 butir (d), maka surat dibawah tangan ini masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Contoh surat ini adalah keterangan saksi yang menerangkan bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa. Keterangan ini merupakan satu-satunya alat bukti disamping sehelai surat tanda terima (kuitansi) yang ada hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang kepada terdakwa cukup sebagai bukti minimum sesuai dengan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 butir (d) KUHAP. 90 Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut dalam Pasal 187 huruf (a), (b), dan (c) adalah alat bukti sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut dalam butir (d) bukan merupakan alat bukti yang sempurna. Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang diesebut dalam 89 90
Muhammad Taufik Makarao, Suharsil, Op. Cit, hal 128 Andi Hamzah, Op. Cit, hal 270
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
73
Pasal 187 bukanlah alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas (vrij bewijskracht). Adapun alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain, asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari keterangan formal. Selain itu asas batas minimum pembuktian (bewijs minimum) yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidan kepada seorang terdakwa telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dengan demikian, bagaimanapun sempurnanya alat bukti surat, namun alat bukti surat ini tidaklah dapat berdiri sendiri, melainkan sekurang-kurangnya harus dibantu dengan satu alat bukti yang sah lainnya guna memenuhi batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
d. Petunjuk Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi sutu tindak pidana dan siapa pelakunya.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
74
Yahya Harahap mendefenisikan petunjuk dengan menambah beberapa kata yakni petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. 91 Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya dapat diperoleh dari : 1) Keterangan saksi; 2) Surat; dan 3) Keterangan terdakwa. Apabila alat bukti yang menjadi sumber dari petunjuk tidak ada dalam persidangan, maka dengan sendirinya tidak akan ada alat bukti petunjuk. Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) dari alat bukti petunjuk. Nilai kekuatan pembuktian (bewijsracht) dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti yang lain yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Pasal 188 ayat (3). Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
91
Muhammad Taufik Makarao dan Suharsil, Op. Cit, hal 129
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
75
e. Keterangan Terdakwa Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang berbunyi keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Terhadap bunyi Pasal 189 ayat (2), Yahya Harahap mengatakan keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah: 1) keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; 2) dan keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan; 3) serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. 92 Pengakuan tersangka dalam tingkat penyidikan dapat dicabut kembali dalam pemeriksaan pengadilan. Alasan klise dicabutnya pengakuan tersebut adalah karena tersangka disiksa oleh petugas penyidik. 93
92 93
Yahya Harahap, Op. Cit, hal 303 Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op. Cit, hal 131
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
76
Berbeda hal nya dengan barang bukti, barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang sangat erat dan merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Barang bukti dalam proses pembuktian biasanya diperoleh melalui penyitaan. Dengan penyitaan maka penyidik akan mencari keterhubungan antara barang yang ditemukan dengan tindak pidana yang dilakukan. 94 Barang bukti adalah barang atau benda yang berhubungan dengan kejahatan. Barang atau benda tersebut dapat dikategorikan sebagai corpus delicti yang berarti barang-barang atau benda-benda yang menjadi objek delik dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakuakn kejahatan. Ada pula yang termasuk barang bukti ialah barangbarang yang dikategorikan sebagai instrumenta delicti yang berarti barangbarang atau benda-benda hasil kejahatan, barang atau benda yang berhubungan langsung dengan tindak pidana. 95 Barang bukti mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dari alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan saksi, keterangan ahli (visum et repertum), maupun keterangan terdakwa. Misalnya sebuah benda berupa senjata api atau 94 95
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia), 1986, hal 100 Ibid, Hal 446
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
77
senjata tajam setelah disita menjadi barang bukti kemudian ditunjukkan dan ditanyakan kepada saksi dan saksi tersebut memberikan keterangan bahw barang bukti tersebut oleh tersangka telah digunakan untuk melakukan pembunuhan atau penganiayaan. Demikian pula mayat korban pembunuhan setelah dilakukan pemeriksaan ilmiah oleh Ahli Kedokteran Kehakiman (Laboratorium Forensiak) kemudian hasil pemeriksaannya dituangkan dalam visum et repertum yang isinya bersesuaian dengan keterangan saksi yang diperkuat oleh keterangan tersangka/terdakwa. Disamping itu, dengan diajukannya barang bukti di muka persidangan, maka hakim melalui putusannya dapat secara sekaligus menetapkan status hukum dari barang bukti yang bersangkutan, yaitu apakah diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerimanya atau dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan demali (Pasal 194 Jo. 197 ayat (1) huruf (i) KUHAP). 96
3. Pembuktian Perkara Pidana Menurut Undang-undang Di Luar KUHAP KUHAP tidak mengatur mengenai alat bukti data elektronik, namun beberapa peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa data elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Berikut akan diuraikan beberapa peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang pembuktian dengan data elektronik sebagai alat bukti.
96
HMA. Kuffal, Tata Cara Penggeledahan dan Penyitaan, (Malang: UMM Press), 2005, hal 25-29 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
78
a. UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Dengan dikeluarkannya Undang-undang No 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan). Misalnya Compact Disk- Read Only Memory (CD-ROM), dan Write Once-Read-Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 UU tentang Dokumen Perusahaan tersebut sebagai alat bukti yang sah. 97 Pasal 12 UU No 8 Tahun 1997 (1) Dokumen perusahaan dapat dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya. (2) Pengalihan dokumen perusahaan ke dalam mikrofilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan sejak dokumen tersebut dibuat atau diterima oleh perusahaan yang bersangkutan. (3) Dalam mengalihkan dokumen perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli dokumen yang perlu tetap disimpan karena mengandung nilai tertentu demi kepentingan perusahaan atau kepentingan nasional. (4) Dalam hal dokumen perusahaan yang dialihkan ke dalam mikrofilm atau media lainnya adalah naskah asli yang mempunyai kekuatan pembuktian otentik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu, pimpinan perusahaan wajib tetap menyimpan naskah asli tersebut.
b. Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undangundang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
97
Petrus Reinhard Golose, 12 April 2007, “Penegakan Hukum Cyber Crime dalam Sistem Hukum Indonesia”, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, Hal 23 Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
79
Berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adanya perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah berupa petunjuk. Berdasarkan KUHAP, alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangang terdakwa. Tetapi, menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001 pada Pasal 26 A, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tudak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
c. Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang Menurut Report on Money Loundering and Terorist Financing Typologies 2003-2004 yang dikeluarkan oleh Financial Acton Task Force on Money Laundering (FATF), salah satu tipologi money loundering, adalah melalui sistem wire transfer. Wire Transfer disini merujuk pada setiap transaksi keuangan yang dilakukan oleh seseorang melalui sebuah institusi keuangan dengan menggunakan perangkat elektronik yang menyediakan sejumlah uang untuk seseorang di istitusi keuangan lain. Wire Transfer
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
80
meliputi pula transaksi keuangan yang terjadi melewati batas nasional, antara satu negra dengan negara lainnya. Undang-undang money laundering ini merupakan undang-undang yang paling ampuh bagi seseorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam Pasal 2 angka (1q) Undang-undang pencucian uang, 98 Undang-undang ini mengatur juga mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf (b), yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. d. Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Pasal 29 Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang ini mengatur mengenai alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa 99 a. informasi yang diucapkan, dikirim, ditrima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuan di atas kertas, benda fisik apapun
98
Petrus Reinhard, Op. Cit, Hal 23 www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+7&f-uu21-2007, UU Perdagangan Orang, 22 Oktober 2009 99
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
81
selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; c. huruf, tanda, angka, simbol atau perforasai yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya
B. Pembuktian Tindak Pidana Di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008
1. Ruang Lingkup Alat Bukti Menurut UU No 11 Tahun 2008
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Pasal 5 ayat 1 dan 2 mendeskripsikan bahwa Dokumen Elektronik dan Informasi adalah merupakan alat bukti yang sah. Selain itu dalam Pasal 44 Undang-undang yang sama mengatakan: “Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundangan; dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).” Pasal 1 angka 1 UU No 11 Tahun 2008 “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
82
tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Pasal 1 angka 4 UU No 11 Tahun 2008 “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Pasal 5 UU No 11 Tahun 2008 (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta Informasi adalah bersumber dari data yang telah diproses. Informasi elektronik dapat berupa catatan elektronik, data atau dokumen elektronik, surat elektronik ataupun tanda tangan elektronik. Suatu data/informasi yang telah diolah oleh sistem informasi secara elektronik tersebut akan tersimpan didalam suatu media tertentu secara elektronik, yang dinamakan dokumen elektronik.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
83
Sitem penyimpanan data/atau informasi elektronik yang berbasiskan komputer dinamakan Databases dan data yang dikomunikasikan melalui media telekomunikasi dinamakan Data Messages. Data messages inilah yang menjadi landasan
utama
terbentuknya
suatu
kontrak
elektronik,
baik
dalam
hubungannya dengan kesepakatan mengenai persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan kontrak (terms and conditions) ataupun yang berkaitan dengan substansi kontrak itu sendiri. 100
2. Pembuktian Tindak Pidana Di Bidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Menurut UU No 11 Tahun 2008
Sejauh ini telah ada beberapa teknik yang ditawarkan dan dianggap cukup mampu untuk memberikan jaminan keautentikan dan integritas dari suatu data message. Teknik yang dimaksud adalah teknik kriptografi (cryptography) yaitu suatu teknik pengamanan serta penjaminan keautentikan data yang terdiri dari dua proses, yaitu 1. enkripsi (encryption : proses yang dilakukan untuk membuat suatu data menjadi tidak terbaca oleh pihak yang tidak berhak karena data-data tersebut telah dikonversikan kedalam bahasa sansi atau kode kode tertentu). 2. dekripsi (decryption) yang merupakan kebalikan dari enkripsi, yaitu proses menjadikan informasi atau data yang telah di-enkripsi tersebut menjadi dapat terbaca oleh pihak yang berhak. 101 100
M. Arsyad Sanusi, Hukum dan Teknologi Informasi, (Jakarta: Tim Kemas Buku), 2005, hal 204 101 Ibid Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
84
Dalam metode kriptografi konvensional, enkripsi dan dekripsi biasanya dilakukan dengan menggunakan pasangan kunci tertentu yang disebut dengan kunci pribadi yang bersifat personal dan rahasia (private key) dan kunci umum (public key).102 Dalam praktek bisnis, keberadaan dokumen elektronik ini menjadi suatu konsekuensi dengan perkembangan teknologi. Bukti elektronik, yang dijadikan alat bukti yang sah dalam Undangundang Nomor 11 Tahun 2008, dapat di klasifikasikan sebagai berikut: a. Real Evidence Real Evidence atau Physical Evidence adalah bukti yang terdiri dari objek-objek nyata/berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. Real evidence juga merupakan bukti langsung berupa rekaman otomatis yang dihasilkan oleh komputer itu sendiri dengan menjalankan software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat (device) yang lain, contohnya computer log files. Bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah yang berdiri sendiri (real avidence), tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasi print out suatu data dapat diterima dalam pembuktian kasus. 103 b.Testamentary Evidence Testamentary Evidence juga dikenal dengan istilah Hearsay Evidence dimana keterangan ahli dan saksi maupun expert witness yaitu keterangan dari
102
Ibid, hal 205 Edmon Makarim, Tindak Pidana terkait dengan Komputer dan Internet Suatu Kajian Pidana Materil dan Formil. Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta 103
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
85
seorang ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan individu. Peranan dari keterangan ahli sesuai dengan peraturan perundang-undangan kita yaitu UU No 8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa keterangan ahli dinilai sebagai alah bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian jika keterangan yang diberikan tentang sesuatu hal berdasarkan keahlian khusus dalam bidang yang dimilikinya dan yang berupa keterangan “menurut pengetauannya” secara murni. 104 Perkembangan ilmu dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlan (skill and knowledge). 105 Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang terjadi serta menerangkan atau menjelaskan bukti elektronik sangat penting dalam memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara kejahatan dunia maya. c. Circumstantial Evidence Circumstantial Evidence adalah merupakan bukti terperinci yang diperoleh berdasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian yang sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya.
Circumstantial
evidence atau
derived
evidence
ini
merupakan kombinasi dari real evidence dan hearsay evidence. 106
104
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal 279 Ibid, Hal 297 106 Edmon Makarim, Tindak Pidana terkait dengan Komputer dan Internet Suatu Kajian Pidana Materil dan Formil. Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta 105
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
86
Di dalam UU No. 11 Tahun 2008 diatur mengenai pembuktian, yang terdapat pada BAB X tentang Penyidikan, khusunya pada Pasal 43 ayat 5e dan 5h. Pasal 43 Ayat 5e UU No 11 Tahun 2008 “melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini” Pihak yang dimaksud berhak untuk melakukan penyidikan atau pemeriksaan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 43 ayat (1) adalah Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indoneisa, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Pasal 43 Ayat 5h UU No 11 Tahun 2008 “meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini”
Pembuktian sebagai salah satu faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif, melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian, dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian kompleks dan rumit.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
87
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 mengatur beberapa perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 27-37. Pasal
27
yaitu
mendistribusikan
dengan
sengaja
dan
atau
mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan asusila, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, serta pengancaman. Pasal 28 dengan sengaja mendistribusikan dan/atau membuat berita bohong dan yang mengakibatkan permusuhan SARA. Pada pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pada pasal 30 Setiap orang yang secara melawan hukum mengakses komputer atau sistem elektonik milik orang lain dengan cara apapun baik untuk tujuan memperoleh data elektronik maupun untuk membobol sistem pengamanaan. Pada pasal 31 Setiap orang yang secara melawan hukum menyadap, menghentikan yang sedang ditransmisikan data elektronik kecuali petugas penegak hukum.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
88
Pada
Pasal
32
Setiap
orang
yang
secara
melawan
hukum
menghilangkan atau merubah istem informasi. Pasal 33 melarang Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja membuat sistem informasi itu bekerja tidak sebagaimana mestinya. Pasal 34 melarang setiap orang yang membuat atau memproduksi setiap perangkat keras dan perangkat lunak yang dapat mengakibatkan perbuatan dari pasal 27 – 33. Pada pasal 35 membahas mengenai Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Pada pasal 36 membahas mengenai Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi Orang lain. Pada Pasal 37 membahas mengenai Loctus Delikti yaitu Setiap Orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektronik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
2. Pembuktian dalam pemeriksaan di persidangan memegang peranan yang sangat penting. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 5
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
89
menegaskan bahwa informasi elektronik dan dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah sama seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP. Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik yang dijadikan alat bukti yang sah, memungkinkan perubahan pada sistem peradilan pidana “versi” KUHAP, terutama dalam perkara pidana kejahatan luar biasa (Extra Ordinary Crime), yang dalam prosesnya, sering kali terpaksa lepas dari jangkauan hukum, dan tidak cukup jika hanya ditangani dengan cara dan sistem peradilan dengan sistem pembuktian yang bersifat konvensional.
B. Saran Adapun saran-saran yang diusulkan penulis atas dasar pemikiran yang didapat selama mengerjakan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Perlu dilakukannya forum-forum pertukaran pengetahuan dan pengalaman antara para pakar Teknologi Informasi, Aparat Penegak Hukum, dan para teknisi / profesional yang bekerja di bidang Teknologi Informasi. Tujuannya adalah untuk dapat mengetahui lebih mendalam perkembangan teknologi dan perkembangan modus operandi dalam kejahatan dunia maya. 2. Pelaku kejahatan dunia maya sudah seharusnya dihukum lebih berat, karena dia menggunakan intelelektualitasnya dalam melakukan kejahatan konvensional dengan modus operandi yang begitu canggih. Dimana hal ini terkait dengan salah satu tujuan dari dijatuhkannya pidana itu, yaitu untuk
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
90
membuat jera si pelaku, agar kelak setelah menjalani hukuman, si pelaku dapat menggunakan kepintarannya untuk berbagai hal yang bersifat positif. 3. Walaupun sudah memiliki suatu peraturan mengenai transaksi elektronik, namun masyarakat masih ragu dalam melakukan transaksi elektronik di dunia maya, hal ini dikarenakan sosialisasi di masyarakat mengenai Undang-undang ini belum dilakukan secara efektif. Sosialisasi seputar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini dapat dibuat di suatu web site khusus atau media cetak yang berisi penjelasan dan pengaturan serta kelemahan Undang-undang ini, agar masyarakat dapat paham dan dapat mengetahui tindakan apa saja yang bertentangan dengan UU 11 Tahun 2008.
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
91
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Arsyad Sanusi, M, 2005 Hukum dan Teknologi Informasi, Tim Kemas Buku, Jakarta Ary Syam Indradi, Ade, 2006, Carding Modus Operandi, Penyidikan, dan Penindakan, Pensil-324, Jakarta Chazawi, Adami, 2005, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta M.Ramli, Ahmad, 2004, Cyber Law Dan Haki, Refika Aditama, Bandung Hamdan, M, 2005 Tindak Pidana Suap dan Money Politics, Pustaka Bangsa Pers, Medan Hamzah, Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia, Jakarta Hamzah, Andi, 1990, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Sinar Grafika, Jakarta Hamzah, Andi, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Harahap, Yahya, 2002, Pembahasan Permasalahn dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta Hartanti, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta Krisnawati, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta Makarao Taufik, Mohammad, 2004, Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Preaktek, Ghalia Indonesia, Jakarta Makarim, Edmon, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Rajagrafindo Persada, Jakarta
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
92
Mertokusumo, Sudikno, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberti, Yogyakarta Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung Nawawi, Barda, 2005, Pembahasan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung Prinst, Darwan, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Djambatan, Jakarta Purnomo, Bambang, 2004, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Liberti, Jogjakarta Remy Syahdeini, Sultan, 2009 Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta Saleh, Ruslan, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta Sitompul, Asril, 2001 Hukum Internet, Pengenalam Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditiya Bakti, Bandung Soedarto, R, 1981, Hukuman dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Subekti, R, 2001, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta B. Undang-undang Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 36 Tentang Telekomunikasi Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.
93
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang Undang-undang No.19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
C. Jurnal Setiadi, “Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Internet Banking”, Jurnal Hukum Teknologi, Volume II, Nomor 1, 2005
Golose, Petrus Reinhard, “Penegakan Hukum Cyber Crime dalam Sistem Hukum Indonesia” dalam Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, 12 April 2007 D. Internet http://www.its.ac.id/pengumuman/kaajian%20hukum%20UU%2011%20th%2 02008%20tentang%20ITE. Doc http://www.its.ac.id/pengumuman/kaajian%20hukum%20UU%2011%20th%2 02008%20tentang%20ITE. Doc http://www.Man3Malang.com/jenis-jeniskejahataninternet.mht http://www.taufik.staff.ugm.ac.id/images/file/kuliah_4.pdf http://www.mti.ugm.ac.id/~slamet/kuliah/Aspek_Legal/uu/Tugas%20TRANS AKSI%20ELEKTRONIK%20Kelompok%206.ppt www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+7&f-uu21-2007 http:///www.crime-research.org/library/Cyber-terrorism.htm,
Lamgok Herianto Silalahi : Pembuktian Tindak Pidana Dibidang Informasi Dan Transaksi Elektronik Dari Perspektif Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, 2010.