KontraS
Salam dari Borobudur
KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dibentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan
dengan kegiatan
politik yang mereka lakukan. Dalam perjalanannya KontraS tidak hanya menangani masalah penculikan dan penghilangan orang secara paksa tapi juga diminta oleh masyarakat korban
Salam redaksi Detik, menit dan jam. Hari pun terus berganti. Dua tahun sudah Munir meninggalkan kita semua. Namun, dua tahun perkembangan dan penuntasan kasus ini kian jauh dari harapan kita semua. Bebasnya Pollycarpus oleh MA di kasasi banding di awal Oktober membuat jejak pembunuh seakan hilang. Polly yang diyakini dari bukti yang ada sebagai bagian dari konspirasi pembunuhan ini bebas dan hanya dikenai tahanan dua tahun penjara. Putusan Kasasi itu berkata, Polly dianggap bukan sebagai pembunuh Munir. Dirinya hanya bersalah karena memalsukan surat perjalanan. Lalu siapa pembunuh Munir di lapangan?
untuk menangani berbagai bentuk kekerasan yang terjadi baik secara vertikal di Aceh dan Papua maupun secara horizontal seperti di Maluku, Sambas, Sampit dan Poso. Selanjutnya, ia berkembang menjadi organisasi yang independen dan banyak berpartisipasi dalam membongkar praktek kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuasaan. KontraS diprakarsai oleh beberapa organisasi non pemerintah dan satu organisasi mahasiswa, yakni: AJI,
Ditengah perjalanan mengapai keadilan untuk Munir dan keadilan untuk semua, Munir dan Suciwati mendapat penghargaan dari Human Rights First yang berkantor Amerika Serikat. Munir dan Suciwati memang layak memperoleh penghargaan itu. Maka tidak heran bila Dewan HAM PBB pun kemudian ikut bicara soal kasus Munir. Karena Munir merupakan bagian masyarakat dunia yang berdedikasi dalam bidang kemanusiaan. Akan kita Pemerintah akan terus berapologi diantara sorotan mata tajam Dunia? Akankah rakyat kembali menanggung malu dan kecewa dengan Pemerintah yang tak berdaya menghadapi para penjahat kemanusiaan? Peringatan dua tahun kepergian Munir, serta peristiwa lainnya yang terkait dengan kasus ini selama periode September dan Oktober menjadi berita utama dalam edisi ini. Sedang berita hangat dari daerah lain, seperti dari Poso terkait dengan eksekusi mati Tibo cs, penembakan pendeta irianto, serta insiden Gerbangrejo. Dari Aceh kita turunkan berita tentang pembongkaran kuburan korban konflik yang terus meluas. Berita tentang Papua terkait dengan proses persidangan terhadap 8 orang yang dituduh pelaku penembakan pada insiden Timika Agustus 2003. Selain itu pembaca juga dapat mengikuti peringatan 7 tahun tragedi Semanggi II, kasus perkembangan Talangsari serta kasus Tanjung Priok yang kami sajikan dalam bagian rempah-rempah.
CPSM, ELSAM, KIPP, PIP-HAM, LPHAM, YLBHI dan PMII
Pada akhirnya, apapun kendala dan resiko yang ada, perjuangan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan memang tak bisa dihentikan. Dan semangat itu harus kita hidupkan terus dalam diri dan orang-orang terdekat kita.
Badan Pekerja: Usman, Edwin, Sri, Ndrie, Gian, Nining, Abu, Victor, Sinung, Ori, Haris, Harits, Papang, Helmi, Chris, Silly, Yati, Nur’ain, Ade, Rintar, Ati, Dini, Guan Lee, Agus, Rohman, Heri, Daud.
Federasi Kontras: Mouvty dan Bustami. Asiyah (Aceh), Oslan Purba (Sumatera Utara), Pieter Ell (Papua). Edmond LS (Kontras Sulawesi) Badan Pekerja Kontras dibantu oleh relawan-relawan yang tersebar di seluruh Indonesia Redaksi Berita KontraS menerima kritik, saran dan tulisan untuk Berita KontraS
Berita KontraS Diterbitkan oleh: KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Penanggung Jawab: Usman Hamid Pemimpin Redaksi: Edwin Partogi Redaktur Pelaksana: Hanny Sukmawati. Sidang Redaksi: Haris Azhar,Indria Fernida, Papang Hidayat, Abu Said Pelu, M. Harits dan Mufti Makaarim. Design layout: BHOR_14 Alamat Redaksi: Jl. Borobudur No. 14 Menteng Jakarta Pusat 10320, Indonesia. Telp: 62-21-3926983, 62-21-3928564 Fax: 62-21-3926821 Email:
[email protected]. website: www.kontras.org KontraS berdiri bersama para korban & keluarga korban untuk membela hak asasi manusia dan menentang segala bentuk kekerasan, menerima segala jenis bantuan yang bersifat tidak mengikat dan memiliki konsekuensi dalam bentuk apapun yang akan menghambat, mengganggu dan berakibat pada berubahnya substansi dan atau pelaksanaan visi dan misi organisasi. Bantuan dapat dikirimkan ke rekening atas nama KontraS di BII Cab. Proklamasi No. Rek. 2-072-267196. Atau dapat dikirim langsung ke alamat redaksi. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Edwin Partogi di 3926983 atau
[email protected]
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
2
BERITA UTAMA
Dua Tahun Kepergian Munir Perjuangan Itu Tak Boleh Berhenti! Pada pengadilan kasasi MA, Polly dianggap tidak membunuh Munir. Ia hanya dianggap bersalah atas pemalsuan surat. Dan untuk itu, Polly hanya dikenai hukuman dua tahun penjara. Putusan ini jelas “merobek” hati
Lihat saja, mengenai pemakaian surat palsu, Hakim Agung MA menilai Pollycarpus telah menggunakannya untuk melakukan penerbangan Jakarta-Singapura pada 6 September 2004 lalu. Sedangkan motivasi pemakaian surat tersebut, Iskandar Kamil mengaku tak tahu-menahu. Lalu untuk apa Polly bersusah-payah memalsukan surat tugas tersebut? Dan dengan dibebaskannya Polly sama halnya dengan tidak ada tersangka pembunuh Munir di pesawat. Lalu siapa pembunuh sebenarnya? Putusan ini jelas membuat kita semua marah dan kecewa. Karena keputusan ini membuat kasus terbunuhnya Munir seakan kembali ke titik nadir. Kembali nol. Namun, disisi lain, kita semakin sadar dan menyakini, bahwa Munir memang telah dibunuh oleh sebuah konspirasi besar. Konsiprasi yang melibatkan orang-orang kuat di negara ini. Orang-orang yang merasa berhak mengambil nyawa Munir. Dan hukum serta keadilan serasa kian jauh untuk Munir.
Dissenting Opinion Oktober 2006, putusan Mahkamah Agung ini ditetapkan oleh Majelis Hakim MA yang terdiri atas Iskandar Kamil (ketua), Artidjo Alkostar dan Aca Sonjaya (anggota) terbit. Ketua Majelis Hakim Iskandar Kamil mengatakan, inti putusan kasasi adalah membatalkan putusan di pengadilan tingkat pertama (PN) maupun tingkat PT. Namun putusan ini tidak bulat, karena diwarnai dengan adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Hakim Anggota Artidjo Alkostar. Artidjo berpendapat Pollycarpus terbukti melakukan tindak pidana seperti dakwaan pertama, sesuai dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Menurut Artidjo unsur-unsur pembunuhan berencana telah terpenuhi sehingga terdakwa (Pollycarpus) layak mendapat hukuman seumur hidup. Artidjo mengakui perbedaan pendapat tersebut, karena dirinya memakai teori pembuktian Apos Theory. “Cara berpikir Apos Theory adalah memulai dari akibat, baru mencari sebab. Kasus ini mensyaratkan adanya pembuktian demikian. Karena dengan kematian Munir, dapat dicari petunjuk sehingga diketahui penyebabnya,” ungkap Artidjo.
3
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
Menurut Artidjo, petunjuk yang mengarah ke Pollycarpus antara lain beberapa kali dia menelepon Munir. Kemudian, Pollycarpus ikut dalam pesawat padahal dia tidak bertugas. Begitu juga ketika Pollycarpus dengan sangat baik telah menawarkan tempat duduk bisnisnya kepada Munir (yang saat itu menempati posisi duduk di kelas ekonomi). Karena adanya hubungan kausal antara meninggalnya Munir dan perbuatan terdakwa Pollycarpus, menjadikan Artidjo setuju dengan alasan hukum (legal reasoning) dari putusan tingkat pertama di PN dan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum ( JPU) yang menyatakan bahwa Pollycarpus bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir.
Lubang-lubang hukum Bagi Asmara Nababan, mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir, putusan MA seperti itu tidak akan terjadi jika penyelidikan kasus tersebut bisa terungkap. Selama ini, memang terlihat lubang-lubang hukum dalam putusan sebelumnya. Dijelaskan, enam bulan lalu, Suciwati dan beberapa aktivis HAM lain telah menghubungi Ketua MA Bagir Manan agar pemeriksaan MA pada tingkat kasasi Pollycarpus tidak hanya dilakukan pada tingkat perkara. Namun, usul itu tidak diterima. Sementara Koordinator KontraS Usman Hamid, mengungkapkan, putusan MA mengganjar dua tahun Pollycarpus menunjukkan pelaku pembunuhan Munir adalah orang kuat. “Bayangkan, untuk pelaku di lapangan saja, putusannya seperti itu, “ujar Usman. Putusan ini, dinilainya telah mengabaikan kepercayaan masyarakat dalam mencari keadilan. Lebih lanjut Usman mengatakan bahwa Polly sendiri hanya salah satu bagian dari skenario pembunuhan Munir. Usman yang juga mantan anggota TPF Kasus Munir
BERITA UTAMA
menjelaskan, TPF sebenarnya sudah merekomendasikan ke Polri agar memanggil mantan Sekretaris Utama BIN yang sekarang menjadi Dubes Nigeria, Nurhadi Djazuli. TPF juga merekomendasikan agar Polri memeriksa sejumlah pejabat BIN seperti Bambang Irawan, Mucdhi PR, Eko Sumarno dan AM Hendropriyono. Namun, mereka umumnya menolak diperiksa, sementara TPF tidak punya kewenangan untuk memanggil secara paksa. Dan hingga kini, hingga terbentuknya tim kasus ini di kepolisian, mereka tak pernah bisa dimintai keterangannya dan pengungkapan kasus Munir pun berjalan di tempat.
1365 KUHPerd) pihak Garuda Indonesia. “Saya memang berharap agar mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Ini jawaban yang masih saya cari hingga kini, “ ujar Suciwati mengomentari gugatan tersebut. Gugatan ini menjadi salah satu agenda penting dalam rangka dua tahun meninggalnya Munir. Tujuan dari diajukannya gugatan ini adalah penghormatan dan perlindungan hak-hak korban. Karena, setiap orang yang dirugikan memiliki hak untuk mengajukan komplain guna pemulihan hak-haknya semaksimal mungkin baik secara pidana, perdata maupun administratif lainnya.
Keprihatinan atas penuntasan kasus ini diungkapkan pula oleh anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Nursyahbani Katjasungkana, dirinya menyesalkan Polri yang hingga Nursyahbani mengatakan kini belum berhasil menetapkan bahwa setelah dua tahun kasus siapa tersangka yang menjadi aktor intelektual atau master mind Munir, pentingnya kita kembali pembunuhan Munir. Ia mengingatkan dituntaskannya menambahkan, kegagalan kasus pembunuhan Munir. mengungkapkan kasus ”Karenanya, salah satu hal yang pembunuhan Munir, merupakan harus dilakukan adalah kegagalan pemerintah dalam penegakan HAM. menggali lebih jauh hasil-hasil
dari TPF, terutama menyangkut
Gugatan ini dilayangkan sebagai perlindungan hak-hak konsumen. Melalui gugatan ini, Suciwati mengajak para konsumen sadar untuk menggunakan hak-haknya. Masalah ini penting kiranya, karena penggunaan hak konsumen ini amat penting mengingat banyaknya fenomena pelanggaran oleh produsen di bidang pelayanan jasa selama ini. Apalagi belum ada usaha yang maksimal dan sungguh-sungguh untuk merubah perilaku produsen agar menghormati konsumennya.
Lebih lanjut Nursyahbani keterlibatan Badan Intelijen mengatakan bahwa setelah dua Di samping itu, gugatan yang Negara (BIN) dan Garuda, “ tahun kasus Munir, pentingnya dilayangkan pada Maskapai ujarnya. kita kembali mengingatkan Penerbangan Indonesia ini dirasa dituntaskannya kasus penting pula demi perbaikan pembunuhan Munir. kelembagaan BUMN (Garuda “Karenanya, salah satu hal yang Indonesia). Dimana, selama ini harus dilakukan adalah Garuda Indonesia yang dibiayai menggali lebih jauh hasil-hasil APBN, ternyata dari segi dari TPF, terutama menyangkut keterlibatan Badan pengelolaannya jauh dari profesional dan tidak Intelijen Negara (BIN) dan Garuda, “ ujarnya. bertanggungjawab. Ketiadaan tanggungjawab ini merupakan kelalaian untuk menjamin penerbangan yang Secara hukum menurut Nursyahbani, Garuda dapat nyaman dan aman. dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata. “Unsur kelalaian pimpinan Garuda, yang dengan ceroboh Masalah ini terlihat jelas pada kasus kematian Munir dalam memberikan surat tugas yang tidak perlu kepada penerbangan GIA 974. Antara lain berkenaan dengan Pollycarpus, merupakan kelalaian yang dapat dimintakan penerbitan surat tugas diluar prosedur normal, pengetahuan pertanggungjawaban pidana maupun perdata, “ katanya. kru Garuda yang rendah terhadap aturan penerbangan, pemindahan tempat duduk Munir yang menyalahi prosedur serta ketiadaan tanggungjawab manajemen Garuda Gugatan untuk Garuda Indonesia. Sebelumnya, isteri Almarhum Munir, Suciwati, diantara rasa sedih dan duka yang dalam atas perkembangan kasus Karenanya, Suciwati dan kuasa hukumnya, didampingi oleh Munir, tetap tak pernah lelah berjuang menuntut Komite Solidaritas untuk Munir (KASUM), meminta Majelis keadilan dan kebenaran bagi sang suami tercintanya ini. Hakim untuk menjalankan pemeriksaan gugatan ini secara Sehari sebelum dua tahun Munir (6/9), ia bersama kuasa fair dan independen demi perbaikan BUMN Garuda. hukumnya secara resmi mendaftarkan gugatan perdata Selanjutnya mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk atas PT Garuda Indonesia di Pengadilan Negeri (PN) berpartisipasi dalam gugatan. Dengan cara salah satunya Jakarta Pusat. Dimana dasar hukum dari pertimbangan memantau dan memberikan informasi apapun untuk gugatan ini adalah perbuatan melawan hukum (Pasal mendukung gugatan ini. Terakhir, mengajak para konsumen
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
4
BERITA UTAMA
Garuda untuk ikut serta dalam gugatan ini dengan cara memberikan informasi yang berhubungan dengan penerbangan Garuda, khususnya penerbangan GA 974 pada tanggal 6 September 2004. Ada sebelas pihak yang digugat dalam berkas gugatan yang diterima Panitera Muda Perdata dengan nomor pendaftaran 277/pdt6/2006 itu. Mereka adalah PT Garuda dan semua pejabat Garuda saat pembunuhan Munir dalam kapasitas mereka sebagai pribadi. Mereka adalah Indra Setiawan (mantan Direktur utama Garuda), Ramelgia Anwar (mantan vice president corporate security), dan Rohainil Aini (flight operation support officer). Lalu Pollycarpus Budihari Priyanto (pilot), Yetty Susmiarti (pramugari), Oedi Irianto (pramugara), Brahmani Hastawati (pramugari senior), Pantun Matondang (pilot), dan Madjib Radjab Nasution (awak kabin), Sabur M Taufik. Total gugatan yang diajukan Suciwati bernilai Rp 13.029.107.500
belum efektif untuk menekan pemerintah mengungkap kasus Munir. Pertemuan ini mendesak Presiden SBY untuk membuat terobosan baru yaitu mempertemukan Menteri Hukum dan HAM, Menkopolkam, dengan Komnas HAM untuk menerobos hambatan pada kasus Munir. Pertemuan ini juga menyoroti bahwa selain kasus Munir, masih banyak kasus serupa yang belum dapat diungkap dan dituntaskan oleh negara, hingga peluang berlangsungnya tindakan penculikan, pembunuhan atau kekerasan lain kepada para pegiat HAM ke depan menjadi sangat terbuka. Karenanya, dalam jangka pendek, seluruh pegiat HAM bersepakat untuk mendesak Komnas HAM membentuk Komisi khusus atau menunjuk seorang komisioner yang akan bekerja untuk perlindungan pegiat HAM. Sedang jangka panjang, negara harus segera membuat regulasi Dok.Kontras n a s i o n a l perlindungan pembela HAM Indonesia. Dimana, pemerintah harus konsisten terhadap ratifikasi kovenan internasional tentang HAM. Jika kekuasaan dengan m u d a h membungkam Munir, tentu kekuasaan juga akan mudah membungkam rakyat kecil lainnya.
Jumlah itu terdiri dari kerugian materiil senilai Rp.4.028407.100 yang didapatkan dari perkiraan pendapatan Munir hingga usia 65 tahun, biaya pendidikan, dan terapi untuk kedua orang anak Munir. Lalu, biaya yang sempat dikeluarkan Munir untuk berangkat ke Belanda dan biaya Aksi peringatan 2 tahun meninggalnya Munir pemakaman. Kerugian Aksi dua tahun imateriil senilai Rp 9.000.700.400 yang diambil dari nomor penerbangan pesawat Sementara peringatan dua tahun kematian Munir, (07/09), yang ditumpangi Munir, Garuda 974. ditandai dengan unjuk rasa sekitar 500 orang yang tergabung dalam Aksi Solidaritas Untuk Munir. Aksi ini Pertemuan Nasional Pembela HAM Indonesia dilakukan untuk menagih janji aparat hukum menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Para peserta aksi Ditengah perkembangan kasus Munir yang masih sangat berkumpul dan mulai bergerak dari Tugu Proklamasi memprihatinkan, para pekerja, pegiat, maupun pembela menunju Mabes Polri pada pukul 11.45 WIB. Setelah itu HAM se-Indonesia, yang berkumpul pada Pertemuan aksi dilanjutkan ke Mahkamah Agung dan Istana negara. Nasional Pembela HAM Indonesia (3-6 September 2006), di Para peserta aksi ini mengenakan kaos merah bertuliskan Wisma Hijau, Cimanggis, sepakat bahwa perjuangan hukum “Mengenang dua tahun dibunuhnya Munir”. Serta poster yang dilakukan oleh pihak keluarga Munir dan para pembela bertuliskan “Keadilan untuk Munir, Keadilan untuk HAM tidak efektif dan terkesan disia-siakan. Karena itu Semua”. Para pengunjuk rasa juga membawa spanduk, Presiden dan DPR harus memper- tanggungjawabkannya yang bertuliskan “Tuntaskan Kasus Munir dan Tegakkan dalam proses politik pada Pemilu mendatang. Hal ini juga HAM.” menunjukkan secara tidak langsung bahwa dari proses politik tersebut, fungsi DPR sebagai lembaga kontrol pemerintah
5
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
BERITA UTAMA
Saat malam menjelang di dua tahun peringatan meninggalnya Munir, sejumlah aktivis, korban dan keluarga korban melakukan doa bersama yang dipimpin oleh sejumlah pemuka agama di Tugu Proklamasi, Jakarta. Sebelum doa bersama, Suciwati membacakan surat terbuka untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Acara ini juga diisi dengan puisi, lagu serta orasi budaya oleh Muhammad Sobari. Termasuk pembaca deklarasi HAM oleh Nursyahbani Katjasungkana. Acara berlangsung sangat khimat dan syadu, diantara heningnya malam, redupnya temaram obor-obor yang dipasang. Malam itu diisi pula dengan pemutaran film Munir berjudul “His Story” Sehari setelahnya, peringatan dua tahun Munir ditandai dengan peluncuran buku karya Munir bertempat di Club Rasuna, Jakarta. “Membangun Bangsa dan Menolak Militerisme” adalah buku kumpulan tulisan-tulisan artikel Munir di sejumlah media massa. Lauching buku ini dikemas dalam acara diskusi bedah buku yang dihadiri oleh Rizi Reza (sutradara), Jay Subiakto (sutradara musik), Robby (SCTV), dan Tosi (wartawan Belanda). Diskusi ini dipandu moderator FX Rudy Gunawan.
Revitalisasi Tim Munir Sementara itu, dukungan internasional agar Indonesia menuntaskan kasus Munir terlihat jelas saat Ketua Komisi Eropa Jose Manuel Barroso menanyakan perkembangan
pengungkapan kasus ini pada Presiden SBY, di sela-sela acara KTT ke-6 ASEM di Helsinki (10-11 September). Saat itu di depan wartawan, sejumlah menteri, dan pejabat Pemerintah Indonesia yang ada di Helsinki, Persiden SBY menyatakan bahwa proses hukum Munir tidak akan pernah dihentikan. “Saya mempersilakan proses hukum berlanjut dan berjalan terus, “ ujar Presiden. Lebih lanjut Presiden menjelaskan, sejak dulu pemerintahannya ingin benar proses hukum terhadap meninggalnya Munir tetap dilaksanakan dengan baik, adil, profesional, dan memenuhi harapan masyarakat luas. “Tentu saja ini membutuhkan ketangguhan, kecerdasan, dan kerja keras penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan pengadilan, “ ujar Presiden. Presiden juga menyatakan bahwa dirinya telah menanyakan perkembangan kasus Munir kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Susanto, saat peringatan dua tahun meninggalnya Munir. Saat itu, Kapolri menyatakan akan merevitalisasi tim kasus Munir. Pertanyaannya, apa maksud dari revitalisasi tim Munir? Kalaupun ada, mampukah tim revitalisasi kasus ini mengungkap tuntas kasus pembunuhan Munir dan menyeret dalang dari konspirasi besar kasus ini? Karena, dengan bebasnya Pollycarpus, Tim ini harus bekerja ektra keras untuk mencari pembunuh ‘lain’ bahkan mencari mencari otak utama kasus ini. Sedang hitungan waktu terus berjalan maju melewati dua tahun kepergian pejuangan hak asasi ini.
Penghargaan Hak Asasi Manusia untuk Munir dan Suciwati Dalam lawatannya ini, bertempat di Manhattan, New York, (16/10), Munir dan Suciwati menerima sebuah penghargaan penting dari Human Rights First, organisasi HAM terkemuka di Amerika Serikat. Munir dinilai Human Rights First sebagai pejuang HAM terdepan dari Indonesia yang dikenal dengan perjuangannya yang tak mengenal rasa takut sebelum dan setelah rejim otoriter Soeharto. Suciwati dinilai telah bekerja tanpa lelah untuk membawa pembunuh Munir ke pengadilan, meskipun harus menghadapi ancaman dan pelecehan karena advokasinya yang vokal. Suciwati menerima penghargaan bersama seorang perempuan aktivis dari Cuba, Yolanda Huerga Cedeno yang berjuang membebaskan tahanan politik Cuba termasuk suaminya hingga bebas. Penerima award sebelumnya antara lain Komisioner HAM PBB Mary Robinson (1997), President Filipina Corazon C. Aquino (1986), dan Utusan Sekjen PBB Hina Jilani{1999). Penghargaan ini kembali menjadi sebuah pertanda dukungan intenasional untuk perjuangan Suciwati yang masih panjang, Sebab, meski Presiden RI menyatakan kasus Munir sebagai a test of our history, kasus ini belum juga selesai.
Ini juga merupakan pengakuan dunia atas integritas perjuangannya bersama Munir, yang mengajak rakyat Indonesia untuk hidup tanpa ketakutan, menolak kekerasan, dan memberi inspirasi bagi generasi muda berjuang untuk keadilan. Award diberikan pada sebuah acara yang megah di tempat luas, yang dihadiri lebih dari seribu orang dari 900 undangan, yang terdiri dari kalangan pengacara (law firm), Cendekiawan, artis terkenal. Hadir antara lain, Profesor Louis Henkin dari Columbia University (penulis “The Age of Rights”), dan para artis pemain film dan penyanyi dunia seperti Sigourney Weaver ( artis film in Gorillas In The Mist, Galaxy Quest dan 3 film terbaru 2006 Snowcake, Infamos and The TV Set, VantagePoint), Meredith Vieira (pembawa acara Who Wants To Be a Millionaire, penetima Emmy Awards, NBC’s Today, ABC’s The View, Chief Correspondent Turnnlg Point, CBS Morning News), Jeffrey Wright (membintangi Martin Luther King, Jr dalam film HBO Boycott) dan Gloria Estefan (Ratu Pop Latin, pemenang Grammy Award, penyanyi, artis dan penulis lagu). Award diserahkan aktor dan juga pengusaha Jeffrey Wright kepada Suciwati. Acara malam penghargaan sendiri dibuka oleh Bill Zabel, seorang advokat senior yang juga
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
6
BERITA UTAMA
anggota Dewan Kehormatan The New School dan New York University. Setelah menerima penghargaan, Suciwati menyampaikan sebuah pidato selama 10-15 menit dan diterjemahkan oleh Kerry Kennedy (anak Robert Kennedy). Usai pidato, para hadirin berdiri dan memberi tepuk tangan (standing ovation) yang meriah hingga Suciwati kembali ke Dok. Usman Hamid tempat semula.
Judicial Executions Profesor Philips Alston untuk dilibatkan dalam investigasi kasus Munir, termasuk berkunjung ke Indonesia. Hal ini akan diawali dengan menyurati pemerintah RI untuk segera melakukan tindakan efektif da1am menuntaskan kasus Munir.
Termasuk pula kesediaan para a n g g o t a Kongres dan Senator AS Dalam pidatonya, untuk kembali Suciwati mengatakan, menyurati “Saya yakin kita hadir pemerintah RI di sini untuk ikut mengenai mendukung cita-cita pentingnya Munir berjuang untuk penuntasan keadilan. Kita percaya kasus Munir semua orang berhak bagi kedua hidup bermartabat, negara. Surat bebas dari rasa takut, ini akan penindasan, dan d i k i r i m kemiskinan, “ kata sebelum akhir Suciwati. t a h u n . Ka-ki : Suciwati, Gloria Estefan dan Yolanda Huerga Cedeno Kesediaan Memperjuangkan (Kuba) saat menerima penghargaan Human Rights First Pemerintah AS pengungkapan kasus ini juga Munir, bagi Suciwati, ditegaskan oleh bukan semata-mata karena dia isteri Munir. “Tapi supaya kasus semacam ini Acting Secretary of State AS Scott Marciel, untuk tidak terulang lagi,” tambahnya. Karena itu, Suciwati mendesak Pemerintah RI mengusut kasus Munir sampai mendedikasikan penghargaan tersebut kepada para korban tuntas. Sedang di negeri kincir angin, Belanda, kasus Munir dibahas oleh parlemen Belanda (17/10). HAM di Indonesia. Pemerintah Belanda juga bersedia untuk bekerjasama “Penghargaan ini membuat keyakinan saya semakin kuat membantu penyelesaian kasus Munir. bahwa apa yang dikerjakan Munir tidaklah sia-sia. Tapi jika kita ingin kehidupan dan kematian Munir tak sia-sia Sementara itu, media massa di Amerika Serikat kita harus bertindak yang berdasarkan keyakinan. Dengan memberikan perhatian besar terhadap kasus kematian Munir. Harian New York Times (NT) edisi 15 Oktober begitu dia menjadi hidup.” Setelah itu, Suciwati meminta sekitar seribu undangan yang lalu mengulas kematian Munir dalam editorial mereka. hadir untuk memberikan tanda tangan mereka diatas selembar kartu pos sebagai bentuk dukungan penuntasan Dalam editorial yang diberi judul Poisoned Justice kasus Munir. Tanda tangan itu akan menjadi petisi yang (Keadilan yang Diracun) tersebut, salah satu harian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. harian terbesar di AS itu menulis perjuangan Munir Petisi itu berisikan desakan agar penuntasan kasus Munir sebagai aktivis HAM yang harus berakhir tragis dengan segera dituntaskan. Sebelumnya, Suciwati juga telah kematian dalam penerbangan Jakarta- Amsterdam. berhasil mengumpulkan ribuan tanda tangan lainnya di Bagi Usman, pemberitaan editorial ini menunjukkan bahwa komunitas internasional memberikan Thailand dan Belanda. kepedulian yang tinggi atas kasus Munir. Ironisnya, di Indonesia, kasus Munir kembali di titik nadir dengan Dukungan dibebaskannya Pollycapus, satu-satunya terdakwa Dari perjalanan itu, ada beberapa hal penting lainnya yang pembunuh Munir oleh MA (03/10). Karenanya, diperoleh, dimana dunia internasional kembali mendukung dukungan internasional menjadi sebuah cahaya baru Indonesia untuk segera menuntaskan kasus Munir. Mereka yang memberikan jalan agar pemerintah Indonesia khawatir akan nasib penuntasan kasus Munir. Hal ini serius dalam mengungkap tewasnya Munir serta terlihat atas kesediaan Special Rapporteur PBB untuk Extra mengungkap dalang utama pembunuh Munir.***
7
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
OPINI
Keadilan yang Diracun* Munir Said Thalib, merupakan salah satu pengacara hak asasi manusia Indonesia yang paling terpandang. Selama 15 tahun tahun bekerja tanpa kenal takut, ia membongkar pelanggaran HAM oleh militer dan kepolisian di Timor Timur dan Aceh, membela para aktivis buruh, dan mendesak semua orang Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban dari pemerintah mereka. Merupakan suatu tragedi, namun lebih tragis daripada mengejutkan, ketika Munir meninggal secara mendadak di dalam pesawat terbang dalam penerbangan menuju Amsterdam pada 2004. Ia menjadi korban racun arsenik. Kenanganan Munir dan sistem keadilan Indonesia menderita serangan tragis lainnya ketika Mahkamah Agung negeri ini membatalkan vonis atas tersangka pembunuhnya: seorang pilot pesawat yang memiliki hubungan dengan badan intelejen Indonesia. Investigasi atas kematian Munir merupakan sebuah ujian penting bagi Indonesia yang masih berusia muda dalam proses demokrasi. Ujian ini telah gagal sebelumnya. Ada optimisme ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk sebuah tim independen pencari fakta. Menurut laporan berita lokal, temuan mereka tidak hanya menunjuk keterlibatan Pollycarpus Budihari Priyanto – pilot penerbang yang ketika itu bepergian sebagai penumpang dalam
penerbangan mematikan tersebut- tetapi juga pejabat senior intelejen. Pemeriksaan atas rekaman telepon genggam Pollycarpus menunjukan bahwa beberapa hari sebelum dan setelah penerbangan, ia membuat lebih dari dua lusin percakapan dengan seorang anggota pejabat tinggi Badan Intelejen Negara. Fakta lengkap tersebut masih tidak diketahui karena Presiden Yudhoyono telah menolak untuk mempublikasikan laporan tim tersebut dan pihak jaksa penuntut tidak berpendapat adanya konspirasi yang lebih luas. Vonis terhadap Pollycarpus, dan hanya Pollycarpus, tidak terlalu memuaskan –termasuk bagi hakim yang bersidang, yang mendesak kepolisian dalam putusannya agar mencari “pihak lain” yang terlibat. Putusan Mahkamah Agung, mengklaim bahwa bukti tidak mencukupi, hanya menambah kerumitan kasus ini. Presiden Yudhoyono telah menyatakan bahwa investigasi atas kasus kematian Munir merupakan “sebuah ujian apakah Indonesia telah berubah”. Jika ia tulus terhadap perlindungan hak asasi manusia dan membangun sistem hukum yang terhormat, Presiden Yudhoyono seharusnya segera mempublikasi laporan tim pencari fakta tersebut. Ia seharusnya juga memerintahkan pembentukan sebuah investigasi independen yang baru, dengan mandat kepresidenan yang jelas untuk mengikuti bukti-bukti ke mana pun ia mengarah. Kebenaran tentang siapan yang membunuh Munir merupakan satu-satunya obat bagi sistem keadilan Indonesia yang diracun.
Poisoned Justice Munir Said Thalib was one of Indonesia ’s most respected human rights lawyers. Over 15 fearless years of work, he exposed military and police atrocities in East Timor and Aceh, defended labor activists and urged all Indonesians to demand accountability from their government. So it was a tragedy, but tragically less than a surprise, when Mr. Munir died suddenly on a plane flight to Amsterdam in 2004 — a victim of arsenic poisoning. Mr. Munir’s memory and Indonesian justice suffered another tragic assault this month when the country’s Supreme Court overturned the conviction of his alleged murderer: a pilot with ties to Indonesia ’s intelligence services. The investigation into Mr. Munir’s death was an important test for Indonesia ’s still young democracy. It has failed several times over. There was optimism when President Susilo Bambang Yudhoyono appointed an independent fact-finding team. According to local news reports, their findings implicated not only Pollycarpus Budihari Priyanto — the airline pilot traveling as a passenger on the fateful flight — but also senior intelligence officials. An examination of Mr.
Pollycarpus’s mobile phone records showed that in the days before and after the flight he made more than two dozen calls to a high-ranking member of the state intelligence agency. The full facts are still not known because President Yudhoyono has refused to release his commission’s report and Indonesian prosecutors did not argue the existence of a broader conspiracy. The conviction of Mr. Pollycarpus, and only Mr. Pollycarpus, was less than satisfying — including for the trial’s judges, who urged the police in their verdict to find the “other parties” involved. The Supreme Court’s decision to overturn even that sole conviction, claiming insufficient evidence, only adds to the crime. President Yudhoyono has said that the investigation into Mr. Munir ’s death was a “test case for whether Indonesia has changed.” If he is sincere about defending human rights and building an honest legal system, Mr. Yudhoyono should immediately release the suppressed report. He should also order a new independent investigation, with a clear presidential mandate to follow the evidence wherever it leads. The truth about who killed Mr. Munir is the only antidote for Indonesia ’s poisoned justice system.
* Editorial New York Times, tanggal 15 Oktober 2006
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
8
TUTUR
Diantara Bukit Batu Abdullah Bawi Di sini di bumi Kalimantan Ada prahara dan bencana Anak Dayak Anak Banjar Anak Jawa Anak batak Dikubur hidup-hidup dengan rintihan nada pilu Ada setan-setan Alas memekikan kemenangan Diujung dentuman peluru Di kilo meter dua tujuh tanah Dayak diantara bukit batu Lima puluh mayat terbujur kaku Jika saja hutan belantara itu bisa menangis Danau dan kolam akan penuh air mata darah Jika saja angin bisa bicara Erangan dan rintihan akan membahana ke seluruh penjuru benua Jika saja sungai bisa mengalir deras menerpa bukit batu Menderu Mengelegar memekikan kematian pilu Oi pembantai sesama anak bangsa Mana Tuhanmu ketika kau membunuh dan memperkosa Mana perasaanmu ketika kau hunjamkan peluru di dadanya Mana persaudaraanmu ketika kebencian mengisi relung hatimu Bisakah kita bicara untuk menyelesaikan pertentangan di antara kita Manakah keadilan ketika kau rampas hak-haknya Dahulu Betapa indahnya negeri ini Ketika balas kasih masih ada diantara kita Kerinduan mengalahkan kebencian Kasih sayang mengalahkan angkara murka Bersama di kala suka dan duka Meratapi penderitaan dan penindasan ibu pertiwi Melantunkan lagu kebangkitan dan kemerdekaan Namun kini sudah sirna ditelan masa Hapuslah harapan diantara kita Menyelesaikan revolusi Membangun negeri Tiada lagi kepak sayap Burung Enggang◊ mengitari negeri Tiada lagi Sangumang ⊗ berbagi rezeki Palangkaraya, 28 Oktober 1987 Sajak ini ditulis tahun 1987, ketika mengunjungi tempat pembantaian 50 orang fungsionaris dan simpatisan PKI yang terletak kurang lebih 27 km dari Kota Palangkaraya. Tempat pembantaian itu ada, namun tulang belulang tidak ada lagi. Menurut anak para korban, pembantaian itu terjadi sekitar bulan Oktober 1966. Tulisan ini hanya mengingatkan kembali, betapa rapuhnya kemanusiaan diantara sesama anak bangsa. à Ä
9
Burung Enggang mitos Suku dayak Sangumang anak manusia jelmaan dewa yang selalu membawa rahmat bagi suku Dayak
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
BERITA DAERAH
Pembunuhan Irianto Kongkoli
Pemerintah Harus Ambil Langkah Ekstra! KontraS menyatakan keprihatinan yang mendalam atas tewasnya Sekretaris Umum Majelis Sinode GKST dan salab seorang Deklarator Malino I tahun 2001, Pendeta Irianto Kongkoli Sth (43 thn) pada Senin pagi (16/10) yang telah menjadi korban penembakan misterius.
Pelaku berboncengan, menggunakan sepeda motor dan dilakukan ditempat terbuka (ramai).
Kematian Pendeta Irianto menambah daftar panjang korban penembakan misterius di Poso dan Palu. Sepanjang tahun 2006, telah terjadi 57 peristiwa kekerasan di Poso dan Palu, dimana kasus menonjol diantaranya adalah pemboman dan penembakan (empat kali) penembakan misterius. Pada (19/02) juga telah terjadi penembakan di Palu, dimana seorang pemilik toko emas William (60 thn) akhimya meninggal setelah ditembak orang tak dikenal. Berdasarkan keterangan yang dihimpun di TKP, pola yang digunakan pelaku menyerupai dengan penembakan Arianto Kongkoli.
KontraS juga memandang babwa sepatutnya diambil langkab ekstra oleh pemerintah dalam menjawab spekulasi dan kekerasan yang terus berlangsung ini. Dan pemerintah pusat segera turun langsung dalam pemulihan situasi di Poso dan Palu, baik keamanan maupun kesejahteraan masyarakat. Langkah ini juga barus ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta yang bertugas untuk menyelidiki kasus-kasus yang mendapat perhatian masyarakat luas, serta menjadikan basis penyelidikannya untuk dapat ditindak lanjuti secara pro justicia, sekaligus dapat mendorong rekonsiliasi antar warga yang lebib subtantif.***
Berdasarkan pemantauan KontraS, penembakan dengan korban tertarget (targeted shooting) ini bukan pertama kali terjadi di Palu dan Poso. Pada (16/11/2003), Bendahara Sinode Pendeta Irianto tewas tertembak di depan toko Sinar Sakti, GKST, Orange Tadjoja yang ditemukan tewas di Poso Pesisir toko bangunan, saat hendak membeli tegel keramik. Di dengan luka tembak dan pukulan benda keras dibagian toko itu Pendeta Kongkoli datang bersama isterinya dan kepala. Pada (18/04/2004) seorang pendeta perempuan GKST, Pdt. Susianti Tinulele juga ditembak saat anak bungsunya, serta seorang supir. berkhotbah di depan jemaatnya di gereja Pendeta langsung dilarikan ke Rumah Effata Palu serta serangkaian peristiwa Sakit Bala Keselamatan, Palu. Namun, lainnya yang telah mengakibatkan Pendeta Kongkoli tewas di lokasi kejadian. meninggalnya warga sipil di Poso dan Palu. Dua butir peluru menembus kepala dan Terlihat jelas bahwa lehernya. Pendeta yang kerap mengkritisi pola umum kekerasan Terlihat jelas bahwa pola umum kekerasan kinerja aparat keamanan di Poso ini, di Poso dan Palu di Poso dan Palu kerap dilakukan dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga memanfaatkan momentum perayaan kerap dilakukan anak. keagamaan untuk memprovokasi kembali dengan memanfaatkan masyarakat. Kekerasan kerap kali terjadi Sejumlah saksi mengatakan, pelaku momentum perayaan menjelang dan saat berlangsungnya penembakan adalah seorang pria keagamaan untuk perayaan Idul Fitri dan perayaan Natal. Hal mengenakan jaket dan tutup kepala. memprovokasi ini merupakan bukti gagalnya negara dalam Setelah menembak Kongkoli, pria itu menjamin dan melindungi warganya dalam berlari ke arah sepeda motor Honda Supra kembali masyarakat. menjalankan ibadah. yang dikemudikan pria lainnya. Wajah pengemudi tertutup helm. KontraS menegaskan babwa segala bentuk teror dan kekerasan yang terjadi di Poso Penembakan Pendeta Kongkoli mengejutkan banyak orang, termasuk tokoh muslim yang sungguh tidak bisa ditolerir. Kekerasan yang telah juga Ketua Pokja Deklarasi Malino Prof Sulaiman Mamar. berlangsung lama di depan ribuan aparat keamanan yang “Penembakan itu sangat mengejutkan kami karena menjaga daerah seluas sekitar 14 ribu KM2 dengan Pendeta Kongkoli dikenal sebagai pendeta yang netral, berpenduduk sebanyak sekitar 252 ribu jiwa merupakan tidak ekstrem. Dalam pernyataannya, dia tidak konfigurasi yang sangat paradoks. Penanganan segala bentuk menyudutkan agama lain. Hubungannya dengan tokoh- teror kekerasan yang terus berulang ini tidak lagi tokoh Islam cukup bagus. Inilah yang menjadi tanda tanya, dimungkinkan dengan cara biasa seperti penambahan pasukan atau pembentuk Koopskam yang terbukti gagal siapa yang melakukan penembakan?” katanya. bahkan dipermainkan oleh para penyebar teror. Yang berbahaya, kata Sulaiman, adalah apabila masingmasing pihak menduga-duga siapa pelaku penembakan Sebagai tindakan mendesak sudah seharusnya pihak itu. “Ada pihak ketiga yang ingin terus memprovokasi Kepolisian dapat segera melakukan penyelidikan atas supaya kedua kelompok berkelahi terus, “ kata Sulaiman. pembunuhan ini, serta melakukan pengamanan terbadap masyarakat serta upaya pencegahan atas kekerasan tidak Daftar panjang korban terus terjadi.
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
10
BERITA DAERAH
Perilaku “Over Acting “ Satpol PP, Sipir & Polisi KontraS mendesak Pemerintah dan Penegak Hukum untuk menghentikan perlakuan sadis dari aparat Polisi, Sipir dan Satpol Pamong Praja terhadap warga sipil biasa. Belakangan ini, perilaku aparat yang dalam menangani berbagai kasus semakin mengkhawatirkan. Dalam beberapa hari terakhir saja, Kontras mendapatkan laporan dan pengaduan dari masyarakat di Garut, Bekasi, Ciledug dan Yogyakarta tentang perlakuan yang menyakitkan dari aparat polisi, Satpol PP dan sipir penjara. Korban pada umumnya dituduh melakukan kesalahan, melanggar hukum, dan melawan aparat. Perilaku Sipir penjara terhadap kasus Rudi Sebastian (38). Pada 21 Maret 2006 Pengadilan Negeri Garut menjatuhkan pidana 1 tahun dan denda Rp. 500.000 pada Rudy Sebastian terkait penempatan rumah tanpa izin yang dilaporkan pemilik rumah Agus Susanto. Lalu (16/8), Petugas Kejaksaan Garut mengeksekusi putusan dan menyerahkan Rudy ke Lapas Garut. Di Lapas, Petugas mengeroyok Rudy Sebastian. Petugas memasukkannya ke kamar 14 tempat ia dipukuli oleh sesama Napi atas suruhan petugas bernama Ahmad Syarif, Nana, Catur dan Oki. Akibat perlakuan itu, Rudy mengalami luka memar di sekujur tubuh, mata kanan buta akibat syaraf retina rusak, mata kiri bengkak luka parah, dada sesak akibat di tendang petugas, pada leher dan telapak tangan terdapat luka bekas tusukan paku, 2 jari tangan kiri patah, kepala bengkak akibat dihantam benda tumpul, kaki bengkak akibat dihantam dengan batu. Kepala Lapas juga mengancam keluarga Rudy untuk tidak melaporkan ke polisi, jika tidak keselamatan Rudy sebastian menjadi tidak terjamin. Rudy Sebastian, baru mendapat pengobatan seadanya setelah istri korban memberanikan diri melapor ke Polres Garut. Akses keluarga terhadap Rudi Sebastian juga dibatasi oleh Kepala Lapas Garut. Untuk terpidana lain, jam besuk diberlakukan sepanjang hari kerja dan jam besuk, tapi untuk Rudy Sebastian, hanya diperbolehkan hari Selasa dan Minggu. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang terhadap enam orang pemuda yang dituduh melawan petugas (17/09) di Polres Sleman. Keenam orang itu, masing-masing Hekeng Abi (dari dusun Tanjungtirto), Agung (dari dusun Kaliajir), Agus (dari dusun kaliajir), Agus (dari dusun Kali bening), Sunu (dari dusun Kaliajir) dan Kothes (dari dusun Kaliajir). Dua diantaranya dipukuli hingga babak belur. Sampai hari ini akses keluarga untuk menjenguk enam orang yang ditahan tidak diberikan, dengan alasan ‘masih dalam proses penyelidikan’. Hendra Giantoro dan Penthil dipukul, disundut dengan rokok, ditelanjangi dan kemaluannya disetrum oleh lima orang aparat kepolisian Ciledug (Bripka Joko, Bripka Andreas, Bripka Supri, Bripka Badri dan Bripka Sagala di hadapan Kasatreskrim Polsek Cileduk Iptu Krismi Widodo). Hendra yang seorang informan polisi dituduh melakukan perampokan juragan beras di kawasan Ciledug. Selama tiga jam proses introgasi, mata korban di lakban dan tangan di borgol. Karena tidak terbukti tuduhan yang ajukan ke Hendra, akhirnya korban di lepas. Penahanan atas Kurniawan di Polsek Jati Asih (8/09). Kurniawan dipaksa mengaku mencuri motor oleh Brigadir BN dan Brigadir Satu Y dengan cara diinjak, disundut rokok dan diancam dibunuh. Akibatnya terdapat luka dan memar pada punggung, lengan dan
11
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
paha korban. Ia ditahan selama satu malam dan dilepaskan karena polisi tidak menemukan bukti. Saat sedang menjaga di kolam renang Puri Gading, dua orang laki-laki (Brigadir BN dan Brigadir Satu Y aparat Polsek Jati Asih) dengan mobil Carry warna hijau menangkap Kurniawan, menanyakan seseorang bernama Iwan. Ketika ia akan dibawa ke mobil tahanan, aparat memintanya lari. Tetapi ia menolak karena khawatir akan ditembak. Sugiharti (31) Joki three in one. Pada 5 September 2006, saat sedang melakukan pekerjaan sebagai joki di Jl. Imam Bonjol Menteng, ia diberitahu kawan-kawannya bahwa suaminya, Sugiyanto (30) ditangkap petugas Trantib dan Linmas di Taman Surapati. Ia berusaha mencari suaminya. Di depan tanah kosong depan KPU, ia dan anaknya Susan (3) beserta 8 orang joki lainnya ditangkap dan dibawa oleh mobil patroli keliling oleh enam orang anggota petugas Satpol PP. Sugiharti dan 8 orang joki lainnya dibawa ke Kecamatan Menteng. Ia dibentak dan dipaksa mengakui keberadaan suaminya, sambil diancam akan “dihabisi” jika suaminya tertangkap. Ia juga melihat para joki itu dipukuli dan diinjak-injak. Bersama 8 orang joki lainnya, ia digunduli secara paksa. Setelah itu, ia dibawa ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 1 Kedoya Jakarta Barat dan ditahan disana selama 8 hari. Ia dikeluarkan setelah didampingi oleh LBH Jakarta.
Menghina martabat dan hak asasi manusia Kasus-kasus diatas memperlihatkan kepada masyarakat bahwa di kalangan pemerintah-penegak hukum masih banyak yang menghina martabat, dan hak asasi manusia. Masih banyak yang tidak melaksanakan hukum secara adil dan berperikemanusiaan. Komentar pejabat jajaran Pemda bahwa kasus penggundulan Sugiharti terjadi akibat Sugiharti pernah ditangkap namun berbuat lagi (joki), adalah logika yang picik. Pemda DKI harus melihat sulitnya lapangan pekerjaan, dan buruknya alat transportasi publik sebagai masalah utama. Bukan justru menangkap joki yang miskin, dan melepas pengendara mobil yang kaya. Penyiksaan atau perlakuan kejam untuk tujuan memperoleh informasi / pengakuan seperti pada kasus polisi terhadap informan sama sekali tidak efektif. Sebab pemaksaan seseorang mengakui sesuatu yang tidak diketahuinya justru melahirkan informasi keliru. melanggar HAM. Perlakuan itu juga merupakan pelanggaran berat HAM. Negara wajib memberi kesempatan bagi siapapun yang dituduh berbuat salah, mengemukakan sikap/pendapat guna pembelaan dirinya, termasuk akses bantuan hukum. Perlakuan atas Sugiharti dan kasus-kasus diatas amat memalukan, menyakitkan, dan merendahkan martabat. Untuk itu, KontraS mendesak Pemerintah dan Penegak Hukum untuk menindak aparat Kepolisian, Satpol PP, dan Lapas yang bermoral rendah, bermental ‘asal atasan senang’, gila pangkat, korup dan tidak becus menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.***
BERITA DAERAH
Memperjuangkan Tanahnya, Petani Malah Diculik Polisi Andi Zainuddin (77), petani veteran asal Samarinda, Kalimantan Timur, diambil paksa belasan orang tak dikenal, (14/8) malam, di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta. Andi berada di Jakarta sejak dua pekan lalu untuk mengadu ke Mabes Polri karena 462 hektar lahan milik Kelompok Tani Veteran Bina Karya dan Setia Kawan diduga dirampas sebuah perusahaan pertambangan batu bara di Samarinda. Malam itu Andi baru keluar dari kantor sekretariat Gempita, lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi kelompok tani selama di Jakarta. Andi ditemani Abas dan Herman dari Gempita mencari taksi untuk pulang ke kontrakannya Di Jalan Danau Limboto No.14, tiba-tiba mobil Kijang Krista, Isuzu Panther, dan Daihatsu Feroza memepet Andi. Belasan orang dan sebagian berambut gondrong mendorong Andi masuk mobil Kijang. “Naik, naik sini, Pak Andi. Kami dari Polda Kaltim,”ujar Abas menirukan ucapan seorang dari kelompok itu. Esok harinya Abas melaporkan dugaan penculikan itu ke Polda Metro Jaya. Kepala Poltabes Samarinda Komisaris Besar Wagner Damanik mengaku menangkap Andi sebagai tersangka atas tuduhan pemalsuan surat tanah. Sementara Jumat (11/8) lalu Andi bersama 12 petani lainnya mengadukan dugaan perampasan lahan mereka dan pemalsuan surat pernyataan penguasaan tanah Kepada Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Andi adalah salah satu (Ketua) dari 231 (KK) Kelompok Tani Veteran Bina dan Setia Kawan yang beranggotakan veteran RI 1945, purnawiran TNI, dan Masyarakat biasa. Kelompok ini telah diberi hak lahan oleh Pemerintah seluas 462 Ha untuk menggarap tanah berdasarkan surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) dan Surat Keterangan Tanah (SKT), dimana proses penerbitan SPPT/ SKT sebanyak 231 buah dilakukan antara tahun 19811984 dan ditandatangani oleh segenap perangkat Administrasi Pemerintahan mulai dari Desa hingga Gubernur Kalimantan Timur (waktu itu). Selama 21 tahun kelompok ini tidak pernah mendapat gugatan, keberatan atau gangguan dari pihak manampun tentang pengolahan dan penggunaan serta penempatan lahan yang berada di Kelurahan Sungai Siring, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda (Kaltim). Sampai kemudian tahun 2000 datang persoalan, ketika PT.LHI yang merupakan Penanaman Modal Asing dari Singapura bidang pertambangan batu bara, merampok dan mengklaim Lahan Kelompok Tani Bina Karya dan Setia Kawan sebagai milik mereka. Dengan menunjukkan SPPT tahun 1997 yang ditandatangani oleh Ketua RT.06
Sungai Siring, Lurah Sungai Siring dan Camat Samarinda Utara. Dari masalah terus berkembang. Kelompok ini yang merasa hak mereka dirampas secara semena-mena, kemudian memperjuangkan hak-hak mereka dari perampasan oleh PT.Lana Harita Indonesia lewat berbagai macam saluran aspirasi seperti ke pihak Kepolisian Samarinda atau Kaltim serta DPRD (dialog, demontrasi, pendudukan kantor DPRD, dan lainnya). Namun hingga detik ini mereka belum memperoleh keadilan. Ditengah keinginan kelompok ini untuk memperjuangkan hak dan keadilan untuk mereka, Poltabes Kaltim pun ikut serta memberikan rasa tidak nyaman bagi masyarakat tersebut. Hal ini terbukti dengan ditangkapnya Andi di Jakarta dengan tuduhan mengada-ada (memalsukan SPPT). Padahal sebelumnya Poltabes Samarinda juga telah melakukan penyitaan SPPT/SKT asli milik kelompok ini sebanyak 197 buah. Saat itu penyitaan dilakukan dengan alasan SPPT tersebut diperlukan untuk membantu petani mendapatkan ganti rugi. Dan hingga kini SPPT tersebut masih ditahan. Kelompok ini merasa menilai bahwa seandainya Poltabes Samarinda mau bersikap jujur dan adil, maka untuk pembuktian Keaslian SPPT tersebut, seharusnya dilakukan proses yang transparan dan objektif dengan melibatkan PT. LHI, Kelompok Tani, Pemko Samarinda, serta pihak-pihak terkait lainya. Dengan demikian polisi tidak hanya bertindak sepihak, dimana kelompok ini saja yang disalahkan dan dituduh mempunyai SPPT palsu. Sebaliknya PT. LHI dibela dan dibenarkan tanpa proses hukum yang adil.
Polri bisa digugat Menyusul penangkapan terhadap Andi, Wakil Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Bridjen (Pol) Anton Bachrul Alam mengatakan, penangkapan yang tidak sesuai tata cara yang seharusnya dapat digugat melalui praperadilan. Berdasarkan keterangan saksi yang menyaksikan penangkapan tersebut, para polisi berpakaian preman itu mengaku dari Polda Kaltim, tetapi tidak menunjukkan surat apapun. Atas peristiwa inilah, kedua saksi menduga Andi diculik dan mereka melaporkannya ke Polda Metropolitan Jakarta Raya. Menurut Anton, polisi yang hendak menangkap seseorang perlu menunjukkan surat penangkapan dahulu atau surat perintah membawa. Namun, jika situasi dianggap sangat mendesak atau tersangka dianggap berbahaya, polisi dapat segera menangkap tanpa surat. “Kalau tidak ada situasi itu bisa dipra peradilankan,” ujar Anton.***
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
12
BERITA DAERAH
Soal Pembongkaran Kuburan di Aceh, KomnaS HAM Belum Bertindak Tidak adanya respon atau tanggapan oleh pihak Komnas HAM pada kasus penemuan beberapa kuburan korban konflik di Aceh, telah mengakibatkan bertambahnya jumlah kuburan konflik yang digali oleh masyarakat tanpa prosedur hukum HAM. Komnas HAM juga tidak memberikan progress atas kasus Paya Bakong (3/ 07) sebagai akibat tidak independennya Tim untuk penuntasan kasus tersebut. Sebelumnya, Kontras Aceh (30/01), telah pernah mengirimkan surat kepada Komnas HAM dan mendesak Komnas HAM untuk segera menindaklanjuti tentang penggalian kuburan korban konflik di Aceh yang dilakukan tanpa prosedur hukum hak asasi manusia, yaitu melibatkan Komnas HAM. Namun, surat tersebut tidak mendapat tanggapan sebagaimana yang diharapkan.
secara layak. Namun, bila tidak bisa diindentifikasi, kerangka jenazah akan dibawa ke rumah sakit setempat untuk divisum, sambil menunggu ada anggota keluarga yang akan mengambilnya. Peristiwa tersebut terus berlangsung dalam setiap penggalian kuburan korban konflik di Aceh. meskipun, dalam beberapa kasus penggalian juga melibatkan pihak kepolisian, tetapi tetap tidak ada tindak lanjut penyelidikan terhadap temuan-temuan kuburan tersebut. padahal, seharusnya pihak kepolisian segera melakukan pengamanan terhadap lokasi temuan kuburan konflik, setelah mendapatkan laporan dari masyarakat.
Penggalian terus meluas
Pasca penandatangan MOU RI-GAM, KontraS Aceh sendiri telah mencatat ada 22 kasus penggalian kuburan korban konflik di sejumlah kabupaten di Aceh, dengan 37 kerangka jenazah yang ditemukan. Kerangka jenazah ditemukan dalam kondisi berbeda-beda. ada yang tangannya terikat, ada yang dibungkus dalam goni dan kantong plastik. Bahkan ada yang ditemukan tanpa kepala. Dalam beberapa kasus, kuburankuburan tersebut ditemukan di bekas pos-pos yang pernah ditempati oleh TNI organik, dan dalam beberapa kasus lagi, korban ditangkap atau diculik pada saat penerapan status Darurat Militer di Aceh.
Sementara itu penggalian terhadap kuburan korban konflik di Aceh terus berlanjut dan kian meluas. Penggalian umumnya dilakukan untuk menemukan anggota keluarga yang hilang. Dan, bila kerangka jenazah berhasil diindentifikasi maka keluarga akan langsung membawa pulang pada hari itu juga, untuk dikuburkan
Berdasarkan fakta inilah, diduga telah terjadi pelanggaran HAM berat selama penerapan status Darurat Militer di Aceh. Hal ini dibuktikan dari kondisi kerangka jenazah yang ditemukan, mengindikasikan adanya tindakan penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum dan penghilangan paksa.
Untuk itulah, Jum’at (15/09), kembali KontraS dan AWG mendatangi Komnas HAM untuk menyampaikan data-data tentang penggalian kuburan korban konflik di beberapa kabupaten di Aceh dan data kasus kekerasan di Paya Bakong. Hal ini sengaja dilakukan dengan harapan adanya tindak lanjut atas laporan tersebut. Saat itu rombongan diterima oleh komisioner Komnas HAM Enny Suprapto.
Insiden Paya Bakong Pada insiden Paya Bakong berawal dari tewasnya seorang warga, Muslim dan dua warga lainnya luka-luka, akibat peluru yang diduga milik seorang anggota TNI Yonif III Batalyon E BKO Paya Bakong., Aceh Utara, pada Senin (3/07). Tembakan pecah ketika sejumlah orang mendatangi dan meminta pembebasan seorang warga yang ditahan di Pos TNI Yonif Batalyon E. Korban tewas terkena tembakan di dada. Sedang Rasyidin yang mengalami luka tembak dirawat dirumah sakit TNI Lhokseumawe. Brigadir Satu polisi M.Satria dirawat di RS TNI Angkatan Darat . M Satria adalah anggota reserse dan kriminal, yang saat kejadian bertugas mengawal anggota Aceh Monitoring Mission (AMM). Menurut penuturan saksi mata, insiden berawal ketika seorang warga yang ditangkap pada malam hari diringkus tanpa ada kejelasan. Penangkapan itu membuat sejumlah mantan anggota GAM mendatangi pos Koramil dan meminta orang tersebut dilepas. Aksi ini kemudian dilaporkan kepada perwakilan AMM di lhokseumawe. AMM pun langsung meluncur ke lokasi kejadian aksi. Namun, saat mobil AMM berada di lokasi unjuk rasa, entah darimana, suara rentetan tembakan membahana ke arah mobil
13
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
misi pemantau perdamaian itu. Seketika, warga yang melakukan aksi berhamburan berlarian. Namun, saat inilah Muslim(25 thn), tertembak, dimana peluru mengenai dadanya. Sementara mobil AMM jenis Ford Everest juga tak luput dari amukan rentetan tembakan. Hampir seluruh badan mobil ditembusi peluru. Kini mobil tersebut diamankan di Mapolres Aceh Utara. Pasca insiden ini, kondisi di Paya Bakong mencekam. Warga meminta pos TNI yang ada di Paya Bakong tersebut dipindahkan karena mencemaskan warga. Sehubungan dengan hal-hal tersebut KontraS sekali lagi mendesak kepada Komnas HAM untuk segera menindaklanjuti temuan kasus-kasus penggalian kuburan konflik di Aceh, dan kasus Paya Bakong, karena Komnas HAM sebagai lembaga negara memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan atas setiap temuan/laporan dugaan terjadinya pelanggaran HAM. Serta meminta Komnas HAM untuk berkoordinasi dengan pihak kepolisian di Aceh, dan meminta agar dapat menghentikan upaya-upaya penggalian yang tidak melibatkan Komnas HAM sebagai lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 dan UU No.26 Tahun 2000.***
BERITA DAERAH
Antonius Wamang Dituntut 20 Tahun Penjara Sekitar 300 orang memblokir jalan masuk area PT.Freeport Indonesia di Check Point Mil 28, dekat terminal kedatangan Bandara Moses Kilangin, Timika (30/10). Aksi pemblokiran ini dilakukan agar tujuh warga yang didakwa menembak tiga pekerja PT. Freeport Indonesia di Tembagapura pada 31 Agustus 2002 dibebaskan.
praduga tak bersalah. Mereka sebelumnya melakukan long march dari Sempan menuju PN Timika. Sedang, pada unjuk rasa terdahulu, keluarga terdakwa meminta terdakwa dibebaskan bersyarat dan mempertanyakan mengapa PN Jakarta Pusat tidak menghadirkan saksi mahkota, yaitu Patricia Elpishi.
Ketujuh warga tersebut kini diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada (13/10), jaksa penuntut umum menuntut Antonius Wamang hukuman 20 tahun penjara. Jaksa menuntut Agustinus Anggaibak dan Yulianus Deikme 15 tahun penjara. Sedangkan Pendeta Ishak Onawame, Esau Onawame, Hardi Sugumol, dan Yairus Kiwak dituntut delapan tahun penjara.
Dengan membawa spanduk warna merah berisi tulisan tentang tuntutan pembebasan Wamang dkk, para pengunjuk rasa juga mendesak PT Freeport Indonesia ditutup serta pasukan TNI-Kepolisian RI ditarik dari kawasan penambangan emas itu.
Pada sidang tersebut, JPU berpendapat Antonius Wamang terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap dua orang warga Amerika Serikat dan satu orang warga Indonesia.Pembacaan tuntutan oleh JPU dilakukan tanpa kehadiran para terdakwa maupun kuasa hukumnya. Mereka menolak untuk duduk di kursi terdakwa, karena menuntut perawatan untuk salah satu terdakwa, Hardi Sugumol, yang sakit di Rutan Mabes Polri.
Saksi mahkota
Sebelum memblokir akses masuk pertambangan, massa mendatangi kantor Pengadilan Negeri Kota Timika untuk menyampaikan tuntutan yang sama. Juru bicara pengadilan Negeri Kota Timika, Johny Kondolele, mengatakan tuntutan pembebasan terhadap tujuh terdakwa telah dikirimkan ke Mahkamah Agung. “Sampai hari ini kami belum menerima tanggapan dari MA,” ujar Johny. Damaris Onawame, anak terdakwa Pendeta Isak Onawame, dalam orasinya di gerbang Freeport mengatakan orang tuanya dijadikan kambing hitam untuk menutupi kepentingan bisnis pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat. ***
Sementara dalam aksinya, keluarga terdakwa menilai proses persidangan tidak adil dan mengesampingkan asas
Penyelidikan Talangsari Harus Dijelaskan Perkumpulan Korban Talangsari Lampung bersama LBH Lampung, PMII Sukoharjo, GMNI UKI dan Kontras menyesalkan berlarut-larutnya proses penyelidikan kasus Talangsari di Komnas HAM. Tidak berlebihan kiranya, bila kembali Komnas HAM dituntut untuk menjelaskan tindak lanjut penyelidikan atas kasus ini. Penyelidikan oleh Komnas HAM telah dilakukan sejak tahun 2001 dan telah berulangkali berganti tim. Tim penyelidik terakhir, yang melakukan kerja berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, diketuai oleh Enny Soeprapto. Dalam laporannya, tertanggal 30 Maret 2006 disimpulkan bahwa dalam kasus Talangsari terdapat unsur pelanggaran HAM yang berat. Oleh Komnas HAM hasil ini akan ditindaklanjuti dengan membentuk tim analisis/kajian hukum untuk memperkuat laporan penyelidikan tersebut. Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara bahkan menyatakan terdapat peristiwa pelanggaran HAM luar biasa dalam kasus ini. Dalam pertemuan terakhir (19/5), Ketua Komnas HAM menjanjikan akan menyelesaikan analisis hukum dari laporan penyelidikan kasus ini dalam waktu sekitar satu bulan sejak bulan Juni 2006.
Namun hingga saat ini, setelah lima bulan, tidak ada perkembangan dan kejelasan tindak lanjut terhadap kasus ini. Sudah berkali-kali korban dan keluarga korban mendatangi Komnas HAM untuk mempertanyakan proses penyelidikan. Cara lain juga ditempuh oleh korban dengan mengirimi surat desakan atau surat dukungan moril kepada Komnas HAM agar terus berani melakukan penyelidikan secara profesional di tengah berbagai halangan yang timbul. 3 Oktober 2006, KontraS, korban dan keluarga korban kembali mendesak keseriusan dan komitmen Komnas HAM sebagai bukti keberpihakan pada keadilan yang berlandaskan pada hak–hak korban. Termasuk meminta Komnas HAM untuk memberikan penjelasan hasil kajian hukum terhadap laporan penyelidikan kasus Talangsari Lampung serta segera meningkatkan status penyelidikan kasus ini menjadi penyelidikan pro justitia sebagaimana di tentukan dalam UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Aturan internal dalam Komnas HAM tidak boleh menghambat proses penyelidikan yang tengah berlangsung.***
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
14
REMPAH REMPAH
Hukuman Mati Tibo, Da Silva dan Riwu; Penyangkalan Pemerintah terhadap Hak Hidup Dijatuhkannya hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu pada Jum’at dini hari, 22 September 2006, sangatlah membuat kita prihatin. Ketiganya dijatuhi hukuman mati berkaitan dengan keterlibatan dalam berbagai kasus dalam konflik Poso pada 2000-2001. Hukuman mati ini mengabaikan beberapa pertimbangan penundaan dan penghapusan hukuman mati dari berbagai kalangan dan fakta-fakta bahwa proses hukum terhadap ketiganya juga sarat dengan kepentingan dan tekanan politik. Hukuman mati terhadap ketiganya juga jelas bertentangan dengan Konstitusi (Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945). Jaminan hak hidup (rights to life) sebagai hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights) tersebut juga dkuatkan dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikiasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Selain ketiganya, tercatat 31 orang terpidana mati yang proses hukumnya telah final dan tinggal menunggu eksekusi, termasuk 3 tersangka pelaku Bom Bali I, Imam Samudra, Amrozi dan Ali Gufron. Sejak Januari-Maret 2006, tercatat 13 orang dalam proses hukum yang dituntut dengan hukuman mati.
Saksi penting Konflik Poso Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu merupakan saksi-saksi penting dalam konflik Poso, sehingga jatuhnya hukuman mati terhadap ketiganya menyebabkan ‘gelap’nya upaya memaksimalkan proses hukum, termasuk mengungkap keterlibatan negara dalam konflik Poso. Menjelang dan paska jatuhnya hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu, pemerintah juga telah mengabaikan beberapa hak-hak terpidana mati dan keluarganya yang meliputi, Hak terpidana untuk mengajukan grasi untuk keduakalinya pada 10 November 2007, terhitung 2 tahun sejak ditolaknya grasi pertama pada 10 November 2005 lalu. Hak ini diatur dalam UU No 22 Tahun 2002 Tentang Grasi. Dan permintaan-
permintaan terakhir para terpidana mati dan keluarganya untuk melakukan prosesi penguburan jenazah, dimana negara dapat menyerahkan prosesi tersebut kepada keluarga. (yang diperbolehkan dalam UU No 2/Pnps/1964, Bab II; 15; 1 dan 2) Jatuhnya hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu telah memicu beberapa reaksi di Sulawesi Tengah (Palu, Poso, Tentena) dan Nusa Tenggara Timur (Atambua dan Kupang). Sinyal akan terjadinya reaksi masyarakat tersebut sudah muncul sejak beberapa bulan lalu ketika pemerintah memutuskan tetap akan melakukan eksekusi terhdap ketiganya. Namun pemerintah memandang remeh aspirasi publik tersebut, sehingga meledak paska eksekusi. Berdasarkan kondisi ini KontraS meminta Pemerintah harus memberikan penjelasan terbuka kepada publik atas eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu, mengingat bahwa yang bersangkutan merupakan saksi kunci kerusuhan Poso dan memiliki hak untuk mengajukan grasi untuk kedua kalinya yang melanggar konstitusi dan UU yang berlaku di Indonesia. Pemerintah harus menghapus hukuman mati sebagi bentuk pelaksanaan konstitusi UUD 1945 dengan mencabut hukuman mati dari produk-produk hukum Indonesia dan meninjau ulang seluruh dakwaan jaksa dan putusan pengadilan yang menentapkan hukuman mati. Langkah tersebut juga dapat dilakukan dengan menjamin diterimanya grasi yang diajukan para terpidana dan membuat moratorium hukuman mati dan meratifikasi protokol tambahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Pemerintah harus bertanggungjawab terhadap munculnya ekses-ekses dari dipaksakannya pelaksanaan eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu. Dilaporkan juga beberapa reaksi juga muncul sebagai akibat mobilisasi aparat Kepolisian dan TNI yang berlebihan di wilayah Sulawesi Tengah.***
“Setiap orang yang telah dijatuhi hukum mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman, Amnesti, pengampunan atas penggantian hukum dapat diberikan dalam semua kasus.” (Pasal 6 ayat (4) Kovenan Hak SIpil dan Politik)
15
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
REMPAH REMPAH
Hapus Hukuman Mati Sekarang Juga! Tanggal 10 Oktober, diperingati sebagai Hari Penghapusan Hukuman Mati Se-dunia. Setiap tahunnya, organisasi-organisasi di berbagai belahan dunia pada hari itu melakukan berbagi aksi, pernyataan sikap untuk gerakan hapus Hukuman Mati. Untuk tahun ini, paling tidak dua kota memperingatinya; Jakarta dan Palu, Sulawesi Tengah. Kita sepakat bahwa hukuman mati bukanlah jalan keluar dari bobroknya sistem peradilan di Indonesia. Harus diakui bahwa sistem peradilan di Indonesia tidak dapat dikatakan sebagai sistem peradilan yang melahirkan keadilan sejati, masih diperlukan reformasi hukum, aparat penegak hukum maupun perbaikan moral aparat penegak hukumnya, sehingga dapat melahirkan keadilan yang benar-benar adil. Sungguh ironis, dibalik carut-marutnya wajah hukum di Indonesia ini, hingga kini paling tidak ada 11 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih memiliki ancaman hukuman mati seperti di dalam KUHP, UU Narkotika, UU Anti Korupsi, RUU Anti Terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa bertambah panjang dengan adanya RUU Intelejen dan RUU Rahasia Negara. Saat ini paling sedikit ada sekitar 90-an terpidana mati yang sedang menghadapi eksekusi. Berbagai argumentasi hukum di Indonesia dikumandangkan oleh para pendukung hukuman mati, seperti; keadilan bagi korban, ini juga tidak bisa disamaratakan, karena Brian K. Deegan, Ayah Joshua Kevin Deegan, korban Bom Bali I lewat suratnya, secara tegas menolak Hukuman Mati atas pelaku Bom Bali I. Alasan lain sebagai efek jera, ini juga tidak ada pembuktian ilmiah bahwa Hukuman Mati lebih baik dari pada jenis hukuman lainnya, seperti Hukuman Seumur Hidup, serta dapat menurunkan angka kejahatan, karena dari berbagai studi ilmiah, tingkat kejahatan yang meningkat berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan korupnya suatu pemerintahan yang berkuasa. Perlu diingat pula saat ini telah banyak instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang telah melarang praktek Hukuman Mati, seperti; Amandemen Kedua Konstitusi UUD ’45 (Pasal 28 I ayat 1) menegaskan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Instrument HAM Internasional Demikian juga dengan instrument HAM Internasional;(1) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty, Saat ini sudah 59 negara yang meratifikasinya. Protokol Kedua ini terbuka bagi seluruh negara yang sudah
menjadi pihak pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk Indonesia; (2) Protocol No. 6 to the European Convention on Human Rights. Protokol untuk negara-negara di Eropa ini hanya membuka peluang praktek hukuman mati di masa perang. Sudah 45 negara yang meratifikasinya (3) Protocol No. 13 to the European Convention on Human Rights. Protokol ini jauh lebih maju lagi dengan mengapuskan praktek hukuman mati dalam situasi apa pun. Sudah 36 negara yang meratifikasinya (4) Protocol to the American Convention on Human Rights. Protokol ini berlaku bagi negara-negara di kawasan benua Amerika yang sudah meratifikasi American Convention on Human Rights. Protokol ini hanya mengizinkan praktek hukuman mati di masa perang. Sudah delapan negara yang meratifikasinya (5) International Covenant on Civil and Political Rights. Kovenan ini melarang penerapan hukuman mati terhadap perempuan hamil, ibu yang baru melahirkan, anak di bawah 18 tahun pada saat melakukan kejahatan, harus memenuhi prinsip fair trial, dan hukuman mati hanya berlaku bagi “kejahatan yang paling serius”. Indonesia sudah menjadi negara pihak dari Kovenan ini sehingga segala ketentuan di atas harus dipenuhinya (6) International Criminal Court/ICC. Pengadilan Pidana Internasional ini merupakan pengadilan HAM internasional yang menangani kejahatan paling serius di bawah hukum internasional: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi. Meski demikian penerapan hukuman mati tidak diperbolehkan dalam mekanisme pengadilan internasional ini sebagaimana yang tercantum dalam statunya, Rome Statue of ICC; (7) UN Security Council, Dewan Keamanan PBB juga melarang penggunaan hukuman mati pada Tribunal HAM Internasional untuk negara-negara bekas Yugoslavia (ICTY) dan Rwanda (ICTR). Padahal kedua pengadilan HAM internasional bikinan PBB ini juga menangani kejahatan paling serius dibawah Hukum Internasional. Karenanya, KontraS mendesak agar menghapus hukuman mati atas Amrozi Cs yang saat ini tinggal menunggu waktu eksekusi. Menghapus hukuman mati di Indonesia, dimana tidak ada lagi alasan bagi Rejim SBY-JK untuk menerapkan Hukuman Mati di Indonesia, karena Hukuman Mati adalah jenis hukuman yang paling tidak manusiawi. Sementara itu se-segera mungkin dilakukan reformasi hukum dan perbaikan moral aparat penegak hukum di Indonesia yang saat ini masih jauh dari harapan lahirnya keadilan sejati. Seharusnya untuk menjawab meningkatnya angka kejahatan, Rejim SBY-JK harus melakukan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas, peningkatan upah, pendidikan dan kesehatan yang layak.***
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
16
REMPAH REMPAH
Kekerasan dan Teror Terus Terjadi Situasi Poso Paska Eksekusi Tibo Cs Seperti yang telah diduga jauh hari, kembali situasi Poso mencekam dan dihantui adanya teror dan peledakan bom. Kondisi ini terlihat dalam hitungan waktu yang singkat sebelum dan setelah eksekusi Tibo cs, kerawanan di beberapa wilayah mulai meningkat. Lihat saja sehari setelah pelaksanaan eksekusi mati Tibo Cs, dua warga yang melintas di jalan trans Sulawesi Pamona Timur dinyatakan hilang pada 28 September. Mobil yang ditumpanginya ditemukan di jurang antara desa Taripa dan Masewe, Pamona Timur. Peristiwa kekerasan lainnya adalah pelemparan granat dan aksi peledakan bom di beberapa tempat di wilayah Poso Kota. Sedang di luar Poso, yakni di Ende, Ngada dan Sikka, NTT, terjadi perusakan rumah-rumah penduduk pada 21 September 2006. Di Atambua NTT, massa merusak Kantor Kejari dan membakar rumah dinas Kepala Kejaksaan Atambua pada 22 September 2006. Massa juga menyerang LP dan membebaskan para tahanan. Kerusuhan meluas di Pasar Atambua. Amuk massa juga terjadi ketika Kapolda hadir di Pamona Timur, dimana menyebabkan terjadinya pembakaran kendaraan milik Polisi oleh massa. Dini hari (1/10) terjadi aksi teror peledakan yang memicu mobilisasi massa dalam identitas primordial yang menyebabkan ketegangan hingga pagi tadi.
Terlihat sekali bahwa aksi teror dan peledakan bom di atas ingin menjebak masyarakat ke dalam ketegangan SARA. Dengan meletusnya ledakan di satu wilayah kelompok, pelaku berharap ada reaksi balik yang menyalahkan pihak yang berbeda/ dipandang berlawanan. Melihat perkembangan yang tidak kondusif seperti yang disebutkan KontraS mendesak pemerintah agar aparat keamanan yang bertugas di lapangan netral dalam mengatasi situasi, tanpa melihat latar belakang suku, agama, dan antar golongan. Meminta Kapolda menjelaskan kasus hilangnya dua warga guna meredam kesimpangsiuran informasi yang berkembang di masyarakat. Termasuk pula mendorong Muspida untuk lebih aktif untuk melibatkan pimpinan masyarakat setempat guna mencegah timbulnya kesalah pahaman. Pada akhirnya kita semua berharap, agar masyarakat tidak terpancing aksi kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, sebab masyarakat sendiri yang akan rugi jika tindakan anarkis ini meluas. Sebaliknya, menyerahkan tindakan anarkis untuk diatasi oleh aparat keamanan dan mencegah mobilisasi kelompok primordial.***
Bila anda tertarik ingin tahu soal kasus kasus pelanggaran HAM termasuk kasus munir anda dapat mengunjungi www.kontras.org Anda juga dapat mendownload terbitan kami seperti buletin, buku-buku, serta sejumlah data dan peraturan nasional, internasional berkaitan dengan Hak Asasi Manusia Web ini juga bisa dimanfaatkan untuk para peneliti yang tengah mendalami hal-hal yang berkaitan dengan HAM Selamat berkunjung!
17
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
REMPAH REMPAH
Sewindu Reformasi TNI : Lima Agenda Tuntutan Telah delapan tahun transisi menunjukkan kuatnya bayang-bayang ABRI dalam reformasi TNI. Potret dari kekuatan ABRI ini tak bisa dilepaskan dari pergulatan politik antara kekuatan demokrasi dan non demokrasi, dimana menghasilkan banyak kompromi.
Muspida dan Muspika. Struktur ini pula yang kelak mengontrol dan mengintervensi kehidupan sosial politik rakyat. ABRI digunakan untuk memberangus lawan politik yang berkuasa. ABRI juga terlibat dalam sengketa perburuhan, tanah rakyat, dan perkebunan, hingg sumber daya alam seperti tambang, minyak dan emas di Aceh dan Papua.
ABRI telah berubah nama. ABRI dulu adalah entitas otonom yang masuk ke aras politik, sosial hingga ekonomi. Ini bukan tanpa dasar. Berbagai konsep dan doktrin Pada aras hukum, ABRI juga memiliki sistem peradilan diproduksi sebagai basis legitimasi otonom, lepas dan peradilan umum. atas peran sosial politik ABRI Karena itu tak heran bila peradilan (Dwifungsi). Di aras politik ABRI umum tak bisa mengadili angota TNI duduk di legislatif. ABRI juga yang melanggar hukum. Apakah menduduki jabatan-jabatan sipil Meski di masa reformasi melakukan kekerasan terhadap mulai dari jabatan menteri, gubernur, telah ada Pengadilan HAM warga sipil, tindak pidana biasa atau bupati, camat, lurah hingga duta pelanggaran HAM. Apapun delik yang dibentuk khusus untuk besar. atau perbuatan melanggar hukum memeriksa kasus yang dilakukan, bila pelakunya Kini, jabatan-jabatan itu tak lagi pelanggaran HAM berat anggota TNI maka tak akan dibawa gratis. ABRI sudah tinggalkan kursi seperti pembunuhan, ke peradilan umum. Contohnya, DPR bahkan ABRI tak lagi duduk di penyiksaan, perkosaan, dan mahkamah militer kasus semua jabatan itu. inilah salah satu penembakan mahasiswa Trisakti, dan penghilangan orang secara kehendak rakyat, yang juga kasus penculikan aktivis oleh Tim paksa, namun sayang, diperlihatkan dengan tidak memilih Bunga Mawar Kopassus. TNI aktif yang ikut Pilkada. Satu hal banyak kasus kejahatan dan tentunya, rakyat ingin TNI pelanggaran HAM berat Namun, jika pelakunya warga sipil Profesional ABRI di bidang dan militer, maka peradilan yang yang pelakunya anggota TNI pertahanan. digelar adalah peradilan campuran,
tak diadili.
Namun, Reformasi memang telah membuatnya tak seperti dulu. Meski jabatan sipil masih diakui Pasal 47 UU TNI. Dikatakan, “TNI aktif dapat menduduki jabatan-jabatan di kantor sekretaris rniliter kepresidenan, kementerian politik dan keamanan, pertahanan negara, intelijen negara, lembaga sandi negara, dan Mahkamah Agung.” (Jadi tak usah heran, jabatan seperti Sekjen Dephan diduduki Letnan Jenderal TNI aktif). Sementara pada aras ekonomi, ABRI adalah alat stabilitas pengaman proyek pembangunan ekonomi Orde Baru. Juga penentu Penanaman Modal Asing dan mempunyai bisnisbisnis sendiri, yang konon katanya demi kesejahteraan prajurit. Kini itu mulai dihapuskan. Namun belum jelas format penghapusannya. Sedangkan, usulan agar Presiden segera mengeluarkan Peraturan Presiden tak mendapat respon. Kita tentunya juga mengetahui bahwa Gerakan reformasi mahasiswa salah satunya menuntut dihapuskannya komando teritorial. Dimana ABRI telah membangun komando teritorial di berbagai wilayah, mulai dari daerah aman seperti Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi Kalimantan hingga daerah konflik seperti Aceh dan Papua. Sedangkan pada pemerintahan sipil ABRI terus membayanginya. ABRI penentu kebijakan daerah lewat
atau koneksitas. Hakimnya, selain sipil juga ada militer. Contoh pada masa reformasi adalah kasus pembunuhan Tengku Bantaqiah beserta para santrinya oleh pasukan Kostrad di Beutong Ateuh, Aceh, 1999. Meski di masa reformasi telah ada Pengadilan HAM yang dibentuk khusus untuk memeriksa kasus pelanggaran HAM berat seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan orang secara paksa, namun sayang, banyak kasus kejahatan dan pelanggaran HAM berat yang pelakunya anggota TNI tak diadili. Ada kesan yang dibuat, mengadili anggota TNI sama dengan mengadili institusi TNI. Jadi, lagilagi pengadilan militer yang digunakan untuk menanganinya. Contoh, perkosaan atas perempuan warga sipil di Aceh pada masa darurat militer, serta penculikan dan pembunuhan terhadap Theys Hiyo Elluay bersama supirnya, Aristoteles Masoka. Disisi lain, ABRI pun ternyata juga punya bisnis lain. Lihat saja skandal jual beli persenjataan militer, beredarya bahan peledak, amunisi hingga senjata organik militer yang hingga kini terus menjadi sorotan. Dengan perspektif pengadilan militer, soal-soal ini seringkali dilihat sebagai persoalan administratif dan disiplin internal semata. Padahal jika menggunakan sistim hukum dan peradilan yang berlaku umum, persoalan ini harus dilihat sebagai sebuah kejahatan. Pelakunya, harus dipidanakan.
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
18
REMPAH REMPAH
Reformasi TNI
tentara, tapi juga mengeliminasi hak TNI sebagai warga negara. Makanya muncul upaya pemulihan hak pilih.
Tanggal 21 Mei 1998, saat mana Indonesia bersepakat untuk reformasi, TNI juga telah mendefinisikan sendiri makna reformasi atas dirinya. Hal ini dirumuskan dalam TNI Abad XXI: Redefenisi, Reposisi dan Reaktualisasi peran TNI dalam Kehidupan Bangsa, yang dikeluarkan Mabes TNI, 1999. Bila dipahami benar, maka tiga premis itu belum merubah mindset dwifungsi ABRI. Redefmisi misalnya dinyatakan “embanan peran sosial politik TNI di masa depan merupakan bagian dari peran pembangunan bangsa, yang tetap menjadi bagian dari sistem nasional dan atas kesepakatan bangsa”. Peran sosial politik tidak dilihat sebagai ‘yang salah’ dan harus ‘ditinggalkan’. Penegasan bahwa Dwifungsi ABRI/TNI adalah salah dan harus ditinggalkan baru terjadi pada tahun 2000. Rapat Pimpinan TNI, Panglima TNI Laksamana TNI Widodo AS, menyatakan bahwa TNI tidak lagi mengemban fungsi sosial politik guna memusatkan perhatian pada tugas pokok pertahanan (April 2000). Kini reformasi telah sewindu, lalu sejauhmana perubahan ABRI melebihi sekadar perubahan nama menjadi TNI? Ada kekhawatiran, reformasi bukan sekadar menghapus priveledge
Lalu bagaimana kita melihatnya? Dalam hak asasi manusia, hak pilih adalah hak politik yang melekat pada setiap individu, apakah warga berstatus sipil atau militer. Tapi, dalam soal TNI harus diingat bahwa hak itu melekat pada individu dan bukan hak institusi. Institusi tak punya hak pilih atau hak politik. Institusi harus netral dalam politik. Dulu, hak pilih itu dicabut pemerintah Soeharto. Tapi kini bukan berarti bisa dipulihkan begitu saja. Sebab jabatan dan fasilitas seperti tersebut diatas, adalah kompensasi luar biasa. Sebab masih banyak agenda reformasi TNI yang belum tuntas. Pemulihan hak pilih itu mensyaratkan kesungguhan kita mereformasi TNI. Dari semua catatan evaluasi diatas ada lima agenda tuntutan agar pemerintah mempercepat lima agenda reformasi TNI, yakni penuntutan kekerasan militer dan pelanggaran berat HAM masa lalu. Pemberantasan skandal jual beli persenjataan. Penghapusan bisnis TNI dan Penghapusan dan Restrukturisasi Kodam. Terakhir, Revisi peradilan militer agar TNI tunduk pada supremasi hukum.***
Kekerasan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Periode Oktober 2005 - Oktober 2006
Sumber : Biro Litbang Kontras 2005 - 2006
19
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
REMPAH REMPAH
Peringatan 22 Tahun Peristiwa Tanjung Priok Dua puluh dua tahun sudah peristiwa Tanjung Priok berlalu. Tim penyelidik dibentuk. Pengadilan sudah digelar. Tapi tanpa ada yang bertanggungjawab. Para terdakwa dibebaskan dalam semua tingkatan peradilan. Sementara korban, tetap menuntut keadilan. Negara kian abay terhadap penderitaan korban. Puncak peringatan 22 tahun Tragedi tanjung Priok, dilaksanakan lewat acara diskusi dan ziarah serta napak tilas peristiwa berdarah ini. Dalam acara diskusi yang digelar pada (12/09) di kanto KontraS Jakarta, dihadirkan pembicara: Emong Komariah (Hakim), Lies Sugondo (Ketua Sub Komisi Sipil dan Politik Komnas HAM) serta Usman Hamid (Koordinator KontraS). Diskusi mengangkat tema “Masa Depan Kasus Tanjung Priok Pasca Bebasnya Terdakwa.”
persidangan- mereka diintimidasi, diteror, dan kita laporkan ke polisi militer, ke POM, tapi sampai sekarang tetap tidak jelas siapa yang menteror. Jadi menurut saya, banyak sekali hal yang perlu kita perhatikan dalam kasus Tanjung Priok, kalau seandainya kedepan kasus Tanjung Priok ini digelar kembali mungkin dengan tersangka baru, maka masalahmasalah seperti ini harusnya bisa diatasi, “ tegas Usman.
Ziarah dan napak tilas Dok.Kontras
Sementara itu, sekitar enam puluh keluarga korban menziarahi Taman Pemakaman Umum (TPU), Budi Dharma Cilincing Jakarta Utara (12/09). Sesampainya di TPU para peziarah membacakan doa bagi sepuluh korban yang dimakamkan secara massal disana. Diselingi dengan orasi dari Ustad Ratono (salah satu penceramah pada malam kejadian) serta Tokoh Priok yang lain, berusaha mengingatkan masyarakat atas kejadian tragis 12 September tersebut
Peringatan tragedi Tanjung Priok’84 Kedua pembicara, yakni Emong dan Lies Sugondo menyadari bagaimana bobroknya sistem pengadilan yang ada di dalam persidangan kasus tersebut. Mereka dengan Sedangkan prosesi napak tilas dilakukan dengan menyusuri jelas memaparkan semua proses persidangan hingga tempat kejadian di jalan Yos Sudarso, depan Polres Jakarta dibebaskannya para terdakwa dari kasus ini. Meski Utara, dimana sekitar 400-500 orang (menurut Petisi 50) demikian, kedua pembicara tetap menganjurkan agar meninggal dan akhirnya dikuburkan secara massal. Di korban dan keluarga korban mengajukan kembali tuntutan tempat inilah secara keji dan tidak berprikemanusiaan, mereka. Selain itu, mereka juga mengajukan alternatif pasukan Arhanudse memberondong massa pengajian yang lainnya, yaitu penuntutan para pelaku lewat jalur perdata. hendak membebaskan temannya yang ditahan di Kodim Mereka juga berjanji akan terus memberikan dukungan Jakarta Utara, dengan timah panas. Napak nilas juga dilakukan persisi di depan Polres Jakarta Utara (tempat bagi perjuangan korban dan keluarga korban. Pembantaian). Emong juga menambahkan pada saat persidangan banyak saksi yang melakukan kebohongan. Beberapa saksi justru Bunga mawar ditaburkan dipenjuru jalan Yos Sudarso. Luka mencabut BAP (berita acara pemeriksaan) di kejaksaan. itu tak pernah sembuh, karena kita tahu di tempat inilah Kondisi ini kian memperlemah pembuktian selama bergelimpangan jamaah yang dipimpin Amir Biki yang persidangan, hingga berujung dibebaskanya para pelaku. diberondong senjata aparat. Bahkan sejumlah truk dan panserpun menggilas massa yang tidak berdaya merintih Sementara Usman Hamid memamaparkan secara panjang terkena peluru dijalan. bahwa sejak awal pemerintah memang kurang memberikan dukungannnya “like good will” atau lemahnya Kini, 22 tahun sudah tragedi Tanjung Priok. Namun, negara kemauan politik pemerintah untuk mendukung tetap diam dengan kondisi itu. Korban dan keluarga korban penyelesaian kasus Tanjung Priok. Lemahnya kemauan yang cacat, keluarga yang ditinggal orang-orang tercinta, pemerintah juga terlihat dari tidak adanya perlindungan mereka yang meninggal dunia, harta yang dirampas, seolah hanya menjadi museum kekerasan masa lalu. Bila semua saksi dan korban. terdakwa dibebaskan disemua tingkatan peradilan HAM, lalu “Banyak sekali saksi dan korban ketika pada tahap-tahap siapa yang berbuat bengis tersebut ? *** yang sangat genting-untuk memberikan kesaksian di
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
20
REMPAH REMPAH
REMPAH REMPAH
Empat Puluh Satu Tahun Tragedi 1965
Menuntut Negara Mengungkap Sejarah Gelap Penegakan HAM Setelah delapan tahun lebih Soeharto mundur, hingga menjelang dua tahun pemerintahan baru SBY, kebijakan negara dalam mengungkap sejarah masa lalu belum juga jelas. Sementara begitu banyak peristiwa sejarah yang hingga kini simpang siur. Mungkin kita bisa melihat bagaimana baru-baru ini terjadi perdebatan mantan Presiden BJ Habibie dan mantan Pangkostrad Prabowo Subianto mengenai peristiwa saat digelarnya Sidang Istimewa MPR 1998. Contoh terlama adalah seputar peristiwa pembunuhan Jenderal pada 30 September 1965, keluarnya Tap XXV/MPRS/1966 tentang larangan atas penyebaran paham dan organisasi komunis, hingga terjadinya penangkapan sewenang-wenang dan pembunuhan di luar proses hukum terhadap orang-orang yang tidak bersalah. Nyatanya, setelah 41 tahun berlalu sejarah kejelasan peristiwa ini belum juga diungkapkan. Hingga kini, kita mungkin tak pernah bisa mengerti dengan jelas mengapa peristiwa pembunuhan jenderal itu terjadi, kaitannya dengan pertikaian politik elite negara, surat perintah 11 Maret sampai dengan tuduhan terhadap Presiden RI Soekarno yang dinilai menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945. Yang terlihat jelas bahwa di sekitar peristiwa itu, terjadi perampasan hak-hak dan kemerdekaan rakyat sipil biasa seperti petani, buruh yang dituduh PKI dan militer yang dituding terlibat PKI. Itupun masih tidak jelas, mengapa peristiwa itu juga harus terjadi, mengapa banyak orang yang tak bersalah menjadi korban, mengapa banyak orang dituduh bersalah tapi dihukum tanpa proses peradilan.
Tetap tak terungkap Padahal dasar negara untuk mengungkap sejarah masa lalu sebenarnya sudah ada. Namun sejumlah produk TAP MPR, UUD 1945, Undang-Undang serta kebijakan baru itu tidak sepenuhnya dilaksanakan. Sebagian besar malah dibiarkan seperti benda mati. Sementara sebagian aturan lainnya masih juga diskriminatif. Sedangkan, pengungkapan sejarah masa lalu diperlukan untuk membongkar sistem politik lama dan memperkuat sistem baru yang lebih baik. Serta membangun bangsa yang bermartabat, yang mengakui adanya kesalahan dan memenuhi keadilan dan hak-hak rakyatnya. Dalam catatan KontraS dan IKOHI, pelanggaran berat HAM sebagai akibat penumpasan G30S berupa penangkapan, penculikan, penahanan berkepanjangan tanpa proses hukum, penyiksaan, perkosaan, kerja paksa, pembunuhan massal, pengadilan politik bukan berdasarkan hukum yaitu Mahmilub dan pengadilan subversif (kangaroo courts).
21
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
Dimana korban-korban dari pelanggaran berat HAM tersebut meliputi korban/survivor dari pelanggaran berat HAM, yang melahirkan penderitaan berkelanjutan bagi kepada keluarga anak, isteri/suami, sebagai akibat stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ex tapol/napol. Sementara korban yang meninggal akibat penyiksaan, penghilangan paksa dan pembunuhan massal, menjadi sebuah kesengsaraan moral kepada keturunan dan ahli waris karena tidak mengetahui kehidupan yang komplek di negara asing. Di sisi lain, harta milik korban yang disita atau dirampas tidak pernah dikembalikan kembali.
Menuntut kebenaran Karena semua perlakuan yang telah diterima diatas, setelah 41 tahun peristiwa tragedi 1965 berlalu, korban pelanggaran berat HAM 1965 menuntut kepada negara akan hak untuk mengetahui kebenaran dari kejadian penumpasan G30S, siapa pelaku (perpetrator) serta siapa dan berapa jumlah korban-korbannya. Menuntut hak akan keadilan bagi para korban dan hak akan pemulihan bagi para korban berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi atas dasar aspek kepuasan. Serta hak akan jaminan tidak terulangnya kembali kejadian seperti ini. Secara khusus, korban dan keluarga korban 65 menuntut Presiden SBY untuk melaksanakan Pasal 28 I UUD 1945, pasal 4 ; Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Serta mendesak Presiden SBY menarik semua kebijakan termasuk berupa rancangan undang-undang yang berpotensi menghalangi upaya pengungkapan sejarah dan penegakan HAM, seperti RUU Rahasia Negara. RUU Rahasia Negara bisa menghapuskan kewajiban negara untuk mengungkap kejahatan masa lalu. Substansi RUU ini menolak membuka informasi dan dokumendokumen resmi negara yang menyimpan catatan kasus penyelewengan kekuasaan baik di masa lalu maupun saat ini. Apalagi selama delapan tahun paska mundumya Soeharto, upaya pengusutan kejahatan berat masa lalu selalu terbentur kendala akses informasi dan dokumen negara. Apa yang menjadi keinginan semua korban dan keluarga korban diatas wajar kiranya, karena kita juga tidak ingin bila sejarah masa lalu dibiarkan begitu saja, hal ini akan membuat bangsa Indonesia kian kehilangan peluang untuk belajar dari sejarah. Padahal, kita seharusnya mampu belajar dari apa yang baik dan buruk dari sejarah, sekaligus meletakkannya pada tempat yang benar.***
REMPAH REMPAH
RUU Rahasia Negara Ancaman Demokrasi dan HAM Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) versi Agustus 2006 telah diajukan pemerintah kepada DPR. Alih-alih untuk menjaga kedaulatan, keutuhan dan keselamatan NKRI, RUU RN justru berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas informasi publik. Kehadiran RUU RN juga menghambat proses pemberdayaan masyarakat sipil dan memacetkan demokratisasi.
Merujuk pada beberapa point di atas, rahasia negara berpotensi menghambat daya kritis rakyat, membonsai kebebasan sipil, sebaliknya memberi kewenangan yang begitu besar dan absolut kepada negara. Rahasia Negara merupakan wujud perlawanan negara terhadap gerakan demokratisasi dan penegakan HAM di Indonesia sehingga melanggengkan karakter kekuasaan yang anti-demokrasi dan anti-kemanusiaan.
Hal ini dapat kita lihat pada pendefinisian yang tidak jelas, dimana Pasal 1 ayat 1 menjelaskan “Rahasia Negara adalah segala sesuatu yang ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapatkan perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan...”. Rumusan ini memberi peluang kepada aparat negara untuk secara sewenang-wenang dan subjektif menetapkan rahasia negara.
Karenanya, KontraS dan sejumlah elemen masyarakat prodemokrasi menegaskan menolak keberadaan RUU RN karena bertentangan dengan semangat reformasi, terutama reformasi birokrasi sehingga memacetkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sementara itu, ruang lingkup yang terlalu luas terlihat di sektor pertahanan dan keamanan, intelijen, hubungan intemasional, ketahanan ekonomi, proses penegakan hukum, sistem persandian dan asset vital negara. Ketentuan tersebut tidak disertai batasan tentang rahasia negara pada masing-masing bidang. Hal lain yang memacetkan demokrasi lantaran soal kelompok sasaran atau target group dari RUU RN. Dimana, seharusnya kelompok sasaran dari RUU RN adalah aparat birokrasi/publik, bukan masyarakat umum. Hal ini konsisten dengan bunyi pasal 1 ayat 10,11 dan pasal 16-21 tentang pengelolaan rahasia negara, yakni instansi atau pejabat yang membuat atau memiliki rahasia negara.
Termasuk pula mendesak pemerintah untuk menarik kembali RUU RN, dan sebaliknya terus mendorong proses legislasi Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik demi mendorong demokrasi dan menegakan hak asasi manusia, terutama hak untuk mendapat informasi publik. Pemerintah juga harus segera menarik kembali RUU Rahasia Negara, dan sebaliknya terus mendorong proses legislasi Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, demi mendorong demokrasi dan menegakan hak asasi manusia, terutama hak untuk mendapat informasi publik. Sementara itu kalangan DPR hendaknya menolak RUU Rahasia Negara usulan pemerintah, karena berpotensi menghambat proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti kasus Munir, Tanjung Priok, Semanggi, Papua, dan kasus pelanggaran HAM lainnya.***
Buku ini merupakan kumpulan cerita di sekitar perjuangan gerakan mahasiswa tahun 19981999, khususnya berisi perasaan dan kesaksian orang tua yang kehilangan anak-anaknya akibat serangan pasukan bersenjata dalam tragedi Trisakti Mei 1998, Semanggi I November 1998 dan semanggi II September 1999.
Buku ini bisa di dapatkan di Kontras
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
22
REMPAH REMPAH
Dua tahun SBY-JK
Penegakan HAM Berkepribadian Ganda Setelah dua tahun kinerja Pemerintahan SBY-JK berjalan, KontraS melihat bahwa dalam penegakan HAM menunjukkan kepribadian yang ganda. Keadaan ini terjadi akibat sikap yang seringkali ambivalen dan kurang berani mengambil resiko dalam menangani berbagai persoalan hak asasi manusia.
diumumkannya hasil kerja TPF kepada masyarakat. Padahal menurut Keppresnya, pemerintah akan menyampaikan hasil kerja tim ini kepada masyarakat. Awal Oktober (03/10), ketika Pollycarpus dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung dalam pembunuhan Munir tidak terlepas dari sikap pasif Presiden. Kasus ini seakan balik di titik nol. Akibat sikap ini juga, tidak ada bukti baru dan terdakwa baru. Keterlibatan pejabat di lingkungan BIN dan perusahan pemerintah PT Garuda Indonesia yang begitu telanjang hanya diikuti pergantian sebagian pejabat.
Kesimpulan ini merupakan hasil evaluasi Kontras terhadap kondisi hak asasi manusia dalam dua tahun masa pemerintahan SBY-JK. Evaluasi ini didasarkan pada perbandingan dua janji utama Pemerintahan SBY-JK Komitmen ini mustahil tercapai dengan realitas di lapangan. Janji yang bila sekadar pernyataan, tapi perlu pertama mencegah dan menindak langkah progresif penegak hukum. pelanggaran HAM berat, termasuk Sayangnya, penegak hukum malah menuntaskan kasus pembunuhan membebaskan semua terdakwa aktivis HAM Munir. Selain itu, ada satu kasus Tanjung Priok 1984, setelah kebijakan nasional yang wajib dilaksanakan, yakni Rencana Aksi Timor Timur. Dengan segala alasan Nasional Hak Asasi Manusia Jaksa Agung menolak hasil (RANHAM) 2004-2009. Semua penyelidikan Komnas HAM atas kewajiban ini merupakan perintah kasus pelanggaran berat HAM Konstitusi UUD 1945, pasal 28 yang seperti Trisakti dan Semanggi berbunyi: pemajuan, perlindungan 1998-1999, Tragedi Mei 1998, dan pemenuhan hak asasi manusia kasus Wasior dan Wamena. Bila adalah tanggungjawab negara tidak ada kemauan dan kemajuan terutama pemerintah.
pada tahun ketiga, maka sebaiknya
Sementara ucapan Presiden kepada dunia mengenai kasus Munir, terakhir lewat Presiden Uni Eropa tidak menunjukkan keselarasan dengan kerja penegak hukum yang lebih maju. Keadaan ini berdampak buruk pada semua pernyataan Presiden termasuk tentang “tidak ada yang kebal hukum” menjadi hanya indah didengar. Maka, disinilah terlihat jelas bahwa selama dua tahun memerintah, SBY-JK belum mampu menyelesaikan kasus Munir. secara tidak langsung sikap menunjukkan bahwa Pemerintah telah membiarkan politik ketakutan terus ada di dalam tubuh dan pikiran
Pada rentang tahun kedua ini, langkah pejabat yang berwajib positif SBY-JK juga ditandai dengan menuntaskan kasus-kasus masuknya pemerintah RI menjadi tersebut, mundur. anggota Dewan HAM PBB dan Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB, walaupun masih perlu diukur dengan upaya pemenuhan dan kekuasaannya. perlindangan HAM di dalam negeri. Namun pada tahun kedua ini KontraS juga masih mencatat beberapa masalah Mencegah dan menindak pelanggaran HAM terkait dengan penegakan HAM dan demokrasi pemerintahan berat ini yang menunjukan kepribadian ganda dan ambivalensi. Komitmen ini mustahil tercapai bila sekadar pernyataan, tapi perlu langkah progresif penegak hukum. Sayangnya, Kasus Munir penegak hukum malah membebaskan semua terdakwa Di tahun pertama pemerintahannya Presiden SBY kasus Tanjung Priok 1984, setelah Timor Timur. Dengan mengatakan kasus munir menjadi sebuah ujian sejarah, segala alasan Jaksa Agung menolak hasil penyelidikan apakah bangsa Indonesia sudah berubah. Nyatanya, Komnas HAM atas kasus pelanggaran berat HAM seperti pernyataan indah itu tidak menghasilkan pencapaian yang Trisakti dan Semanggi 1998-1999, Tragedi Mei 1998, kasus konkrit. Padahal, institusi Polri, Kejaksaan Agung, Badan Wasior dan Wamena. Bila tidak ada kemauan dan Intelijen Negara, bahkan TNI—di bawah kepemimpinan kemajuan pada tahun ketiga, maka sebaiknya pejabat yang berwajib menuntaskan kasus-kasus tersebut, mundur. orang dekat (pilihan) Presiden. Pada tahun kedua, Presiden cenderung bersikap pasif. Tak ada langkah konkrit, kecuali sekadar memberi pernyataan yang seringkali diucapkan hanya lewat jurubicara. Presiden tak bersikap atas laporan TIm Pencari Fakta (TPF) Kasus munir, setidaknya hal ini dapat dilihat dari tidak
23
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
Pada posisi yang berbeda, kegagalan mengadili Soeharto di muka hukum menunjukkan bahwa Pemerintah SBY-JK masih merupakan paket turunan rejim Orde Baru. Pemerintah lebih memilih menjaga kehormatan Soeharto dibanding upaya memberi keadilan bagi korban rejim Soeharto.
REMPAH REMPAH
KontraS menilai bahwa dengan tidak dituntaskannya masalah-masalah tersebut, akan terus membuat represi serupa terjadi. Lihat saja keadaan di lapangan sudah kian memprihatinkan. Antara lain dalam kasus kekerasan dan penyiksaan oleh polisi, sipir penjara maupun Satpol PP dan manipulasi penyidikan kasus pembunuhan Ali Harta, penggusuran paksa atas rumah dan perampasan tanah, penertiban becak, pedagang kaki lima di berbagai daerah, serta kaum fakir miskin yang terlantar akibat ketidakmampuan negara memberi kehidupan yang layak. Penembakan petani juga masih terjadi. Termasuk pelarangan kebebasan untuk berkumpul dan berekspresi seperti terlihat pada kasus pelarangan aksi dan pertemuan INFID di Batam. Belum lagi dengan pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap Tibo dan kawan-kawan. Ironinya, di markas Dewan HAM PBB Indonesia menyatakan menjamin hak fundamental (non derogable rights).
Ambivalen dalam reformasi politik hukum dan HAM Pemerintah membuat undang-undang tentang kewarganegaraan, dan meratifikasi dua buah kovenan PBB tentang hak-hak sipil dan politik serta ekonomi, sosial dan budaya. Namun pada saat yang sama, Pemerintah dengan semangat menolak RUU revisi peradilan militer, memperlambat pembahasan RUU KMIP, memaksakan RUU Rahasia Negara dan RUU Intelijen Negara. Bahkan undang-undang yang telah ada seperti UU KKR, UU Pertahanan Negara dan UU TNI, tidak sepenuhnya dilaksanakan. Semua sikap dan kebijakan ini jelas berpotensi makin menutup akses keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat. Kontradiksi lainnya adalah dibuatnya Perda-Perda yang tidak sejiwa dengan prinsip pluralisme dan toleransi. Sementara pemerintah tidak menunjukkan sikap yang jelas terhadap tindak lanjut UU KKR yang sudah dua tahun disahkan.
Gagal mencegah skandal militer Penemuan senjata di rumah alm. Brigjen Kusmayadi dalam jumlah besar, seperti membuka kotak pandora bisnis pengadaan alutsista militer. Kasus yang disidik Puspom TNI hanya menyentuh aktor pelaku dalam kepangkatan yang lebih rendah dari almarhum. Padahal bila dikaitkan dengan dinas, aktifitas almarhum tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab komando. Lagi-lagi TNI melindungi para perwiranya dari jeratan hukum, dan Presiden pun diam saja. Sementara di wilayah konflik, peredaran senjata tetap berlangsung tanpa ada kontrol yang efektif. Setidaknya KontraS mencatat empat kasus kepemilikan senjata illegal dan empat kasus jual beli senjata illegal oleh aparat TNI. Sementara itu penemuan-penemuan sejumlah senjata, granat dan amunisi dalam satu tahun
terakhir menunjukkan pula peningkatan. Salah satu kasus besar yaitu penemuan amunisi dan senjata di tol kapuk Km 27, Jakarta. Pasca kasus Kusmayadi, telah tiga kali ditemukan granat, sejata api dan amunisi yang sengaja dibuang di jalan di Jakarta dan sekitarnya. Sementara dalam skala nasional terdapat 19 kasus penemuan senjata, dimana tujuh diantaranya ditemukan di daerah bekas konflik Poso dan Maluku. yang paling memprihatinkan, sejauh ini tidak ada upaya konkrit membongkar motif dibalik penemuanpenemuan senjata itu.
“Tak berdaya” di Poso dan Papua Sementara itu, pemerintahan SBY-JK juga tidak serius untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul di wilayah-wilayah konflik, bahkan cenderung mengabaikan tanggungjawabnya. Di Poso, serangkaian peristiwa kekerasan masih mewarnai kehidupan masyarakat, baik penembakan misterius, bom maupun teror. Di sisi lain, pemerintah terkesan memanfaatkan isu hukuman mati bagi Tibo cs untuk menutup ruang koreksi atas kegagalan negara mengusut keterlibatan aktor negara dalam kekerasan dan teror. Keputusan hukuman mati yang tidak mentaati hak atas hidup (seperti dijamin konstitusi) malah menjadikan hukuman mati sebagai alat keseimbangan politik segregasi muslim-kristen dengan menghadap-hadapkan Tibo cs versus Amrozi cs sebagai tolak ukur keadilan segregatif. Sedangkan penguasaan lahan eksplorasi emas PT Freeport yang telah melahirkan dampak negatif berupa ketidakadilan dan kekerasan bagi warga Papua, ternyata tidak pernah menjadi isu penting bagi pemerintah untuk menegakan hukum, termasuk untuk memperbaharui kontrak kerja (sekalipun sinyal itu telah dibuka oleh Freeport). Posisi pemerintah hanya sibuk menghadapi protes warga Papua dengan berbagai stigmatisasi, tapi malas memberikan keadilan dan menunjukkan kedaulatan atas “tanahnya” ketika berhadapan dengan Freeport. Termasuk terhadap kasus pembayaran sejumlah dana dari PT Freeport atas jasa keamanan kepada sejumlah perwira TNI dan polisi yang telah berlangsung lama, pemerintah sama sekali bisu. Rangkaian masalah terus menerus terjadi, sementara tidak ada langkah efektif yang bisa memecahkan kebuntuan. Berdasarkan catatan diatas, bila dalam tiga tahun tersisa pemerintahan ini tidak merubah wajah penegakan hukum, HAM dan demokrasi, KontraS akan kembali mendesak Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk menunjukkan sikap politik yang tidak ambivalen, dan berani mengambil resiko. Sikap ini penting untuk penuntasan kasus Munir maupun menghadapi kekuatan destruktif dari modal multi nasional terhadap rakyat. Kegagalan agenda ini akan menjadi taruhan politik 2009 sekaligus petaruhan bagi penegakan hukum yang tidak pandang bulu. ***
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
24
REMPAH REMPAH
Tujuh Tahun Kematian Aktivis Yap Yun Hap
“Melawan Pengingkaran” Tujuh tahun yang lalu, kusuma muda bangsa gugur dalam perjuangan menentang pemerintahan otoriter negara ini, saat demonstrasi menolak pemberlakuan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB), sebuah UU yang tidak jauh berbeda dengan UU Subversif. Peristiwa ini kemudian kita kenal dengan nama Tragedi Semanggi II, 22-24 September 1999. saat ini, mata hati kita kembali diingatkan, bahwa keadilan di negeri ini terlalu mahal untuk dicapai. Lihat saja, sampai detik ini, pemerintah terkesan tidak mempunyai niat baik untuk dapat menyelesaikan kasus tersebut. Dalam penilaian KontraS, masih kuatnya kooptasi militer atas supremasi sipil adalah kendala utama belum tuntasnya kasus semanggi II. Hal ini bisa dilihat dari sikap DPR dan Pemerintah yang plintatplintut dalam menyelesaikan ketiga tragedi tersebut, Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13-14 November 1998) dan Semanggi II (23-24 September).
Aksi peringatan Semanggi II
DPR periode 1999-2004, alih-alih berjanji mengawasi pemerintah untuk menuntaskan tragedi tersebut, dengan membentuk Panitia Khusus (Oktober 2000). Justru pada ahirnya memutuskan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, dan menolak usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc (Juli 2001). Kini, DPR periode 2004-2009 juga tak beda. Awalnya berjanji mencabut rekomendasi DPR periode 1999-2004, tapi yang terjadi adalah saling lempar tanggungjawab. Ini terlihat dari aksi ping-pong antara Komisi III, Bamus, dan Pimpinan DPR. Dua tahun sejak terpilih, para politisi DPR belum menunjukkan keseriusannya untuk menuntaskan kasus Trisakti dan Semanggi. Yang terjadi adalah inkonsistensi atas janji. Begitupula pemerintah, membiarkan penyelesaian kasus tersebut lewat pengadilan militer. Bahkan saat ini pemerintah justru terlihat mencoba melawan reformasi, menabrak TAP MPR No.VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta UU No.34/2004 tentang TNI, yang menegaskan bahwa aparat TNI harus tunduk pada hukum.
25
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
Ini menunjukkan kooptasi kepentingan militer masih amat kuat. Peradilan militer yang katanya telah digelar untuk penuntasan kasus penembakan Yap Yun Hap, sama sekali tak pernah diketahui oleh orang tua korban Yun Hap. Caracara semacam ini tidak fair. Bahkan dapat terus menimbulkan sistem kekebalan militer atas hukum.
Dok.Kontras
Untuk itu Kontras mendesak DPR untuk segera merubah sikap dan kebijakannya dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi I. DPR tidak bisa membiarkan inkonsistensi sikap pemerintah terus berlangsung dalam mereformasi militer, khususnya yang selalu menyangkut persoalan penyelesaian hukum atas semua kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Kegagalan dalam menuntaskan kasuskasus pelanggaran HAM berat. akan menihilkan upaya menegakkan supremasi hukum dan supremasi sipil. Sementara itu, pada tahun 2006, peringatan tragedi Semanggi II dilakukan dengan aksi napak tilas dari rumah sakit Jakarta menuju Kampus Atmajaya, tempat dimana Yap Yun Hap tewas diterjang peluru aparat. Aksi kemudian dilanjutkan ke gedung DPR-RI Jakarta, menuntut DPR segera mecabut rekomendasi DPR periode 1999-2004 yang menyatakan tidak ada pelanggaran HAM berat pada tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Aksi ini diikuti mahasiswa, keluarga korban dan aktivis HAM. Di hari kedua, diadakan ziarah ke makam Yap Yun Hap, korban Semanggi II, di Pondok Rangon Jakarta. Selanjutnya di kantor KontraS Jakarta diadakan peluncuran buku yang berjudul “Melawn Pengingkaran yang merupakan karya keluarga korban TSS dan pemutaran film Kasus Trisakti dan Semanggi. Acara dihadiri dengan diskusi dan pernyataan sikap bersama yang dilakukan oleh aktivis 98 BEM se-Jabotabek, Gerakan Pemuda dan Mahasiswa serta keluarga korban Trisakti dan Semanggi.***
KABAR DARI SEBERANG
Laporan Komisi Ahli PBB atas Konflik Internal di Timor Leste Pada 2 Oktober 2006 lalu, Laporan Tim Investigasi PBB (Independent Special Commission of Inquiry for Timor Leste) atas peristiwa kekerasan yang terjadi (pada 28-29 April dan 23-25 Mei 2006) di Timor Leste telah rampung. Komisi ini merupakan tim bentukan PBB (Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB) atas permintaan Menteri Luar Negeri Timor Leste kepada Sekretaris Jendral PBB. Komisi ini mendapat mandat berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1690 (2006). Komisi memiliki mandat untuk mengidentifikasi siapa saja aktor yang bertanggung jawab terhadap konflik internal yang terjadi di Timor Leste selama April dan Mei 2006. Komisi tidak memiliki kewenangan yudisial dan hanya memberikan rekomendasi kepada otoritas di Timor Leste untuk mengadili pelaku yang bertanggung jawab di bawah hukum domestiknya. Pembentukan komisi internasional ini untuk menghidari bias dari kepentingan politik yang bertikai yang membelah institusi negara di Timor Leste. Anggota Komisi ini terdiri dari 3 ahli independen: Mr. Paulo Sérgio Pinheiro (Brasil, Ketua), Ms. Zelda Holtzman (Afrika Selatan) and Mr. Ralph Zacklin (Inggris). Mereka dipilih berdasarkan keahliannya dalam menginvestigasi kejahatan serius HAM, investigasi kriminal, dan reformasi sektor keamanan. Ketegangan politik di Timor Leste dipicu oleh konflik internal di tubuh militer Timor Leste (FALINTIL-FDTL), namun nampaknya akar masalahnya jauh lebih rumit melibatkan konflik kepentingan elit strategis di Timor Leste, melibatkan Presiden Xanana Gusmao, Perdana Menteri dan Ketua FRETILIN Mari Alkatiri, institusi militer dengan institusi kepolisian (PNTL), dan ketegangan komunal antara sub-masyarakat timur dan barat Timor Leste. Pada bulan Februari 2006 ratusan tentara FALINTIL-FDTL melakukan desersi dan pada Maret 2006, 594 personel dipecat dari tubuh militer oleh Panglimanya, Brigjen Taur Matan Ruak. Presiden Xanana sendiri mengkritik keputusan itu sebagai tidak adil dan diskriminatif. Presiden Xanana kemudian menyatakan akar masalah di tubuh militer adalah praktek diskriminatif terhadap para personel dari wilayah barat. Antara 24 hingga 28 April 2006, mereka yang dipecat dari militer melakukan unjuk rasa di depan Istana Pemerintah dan meminta solusi segera menyangkut masalah diskriminasi yang dialami mereka. Aksi unjuk rasa tersebut didahului oleh negosiasi antara pihak demonstran dengan kepolisian (PNTL). Pada pagi hari tanggal 28 April 2006 di depan Istana, mulai bergabung massa pihak ketiga ke barisan demonstran dan mulailah kerusuhan terjadi, pelembaran batu, pembakaran di jalanan. Setelah itu bentrok massa bersama demonstran dengan polisi segera terjadi dan meluas di beberapa wilayah di kota Dili (pasar Comoro, Rai Kotu, Taci Tolu). Sasaran serangan oleh massa adalah kelompok warga timur dan harta bendanya. Lima penduduk sipil tewas, puluhan mengalami cidera serius, ratusan rumah dibakar, dan toko-toko dijarah. Sementara itu institusi negara strategis gagal melakukan konsolidasi dan cenderung
partisan terhadap konflik yang terjadi. Serangkaian pertemuan antara PM Alkatiri, Presiden Xanana, Menlu Horta, Mendagri Lobato, Pejabat Dephan Colonel Lere, dan Komandan PNTL Paulo Martins dilakukan, namun tidak juga bisa meredam aksi kekerasan yang terjadi. Kekerasan kemudian berlanjut pada tanggal 8 Mei 2006 ketika dua anggota polisi tewas oleh sekelompok demonstran prokelompok barat yang memprotes pemerintah dan menuduh telah terjadi pembantaian terhadap warga kelompok barat. Ketegangan horisontal mulai memuncak. Pada tanggal 23 Mei 2006 di Fatu Ahi terjadi kontak senjata terbuka antara sesama personel militer, antara F-FDTL Batalyon pertama dengan pasukan Mayor Reinado yang pada tanggal 3 Mei 2006 meninggalkan barak dan bergabung dengan demonstran kelompok barat. Kali ini 5 korban tewas dan sepuluh orang terluka. Sementara itu pada 25 Mei 2006 terjadi kontak senjata di bukit Taci Tolu antara F-FDTL dengan kelompok bersenjata dengan korban tewas 9 orang. Di hari yang sama kediaman Brigjen Taur Matan Ruak diserang oleh beberapa orang bersenjata otomatis. Tanggal 25 Mei 2006 ini juga ditandai oleh konflik terbuka antara militer F-FDTL dengan polisi PNTL dan kembali meluasnya aksi kekerasan seperti pembunuhan dan pembakaran rumah. Pada hari tersebut 7 orang tewas menjadi korban –termasuk empat anak-anakyang terjadi di Mercado Lama dan kediaman keluarga Da Silva. Selama masa kerjanya Komisi melakukan wawancara dengan 200 saksi mata dan berhasil mengumpulkan 2.000 dokumen penting. Dari temuan investigasi Komisi didapati banyak nama yang secara individual harus bertanggung jawab di berbagai pihak seperti petugas polisi yang melakukan penembakan secara serampangan terhadap para demonstran, para milisi sipil, militer desersi yang bersenjata, anggota militer yang terlibat pertempuran dengan polisi, Mendagri Lobato yang memfasilitasi senjata kepada penduduk sipil, meminta adanya investigasi lanjutan mengenai keterlibatan PM Alkatiri atas fasilitasi senjata tersebut, Taur Matan Ruak dan pejabat F-FDTL yang terlibat dalam distribusi senjata ilegal. Komisi juga meminta Presiden Xanana untuk lebih menghargai dan menghormati mekanisme institusional dalam mengatasi krisis. Meski tidak menemukan adanya kejahatan serius atau pelanggaran berat HAM dalam krisis di Leste ini, Komisi menemukan adanya kerusakan serius sistem bernegara Timor Leste yang menyebabkan terjadinya krisis yang berkepanjangan. Apa yang bisa dilakukan oleh badan internasional hanyalah melakukan supervisi, akar persoalan tetap harus diselesaikan secara domestik oleh kelompokkelompok strategis di Timor Leste. Krisis ini tentu saja menjadi hambatan serius bagi masa depan Timor Leste yang baru saja lepas dari masalah yang lain. Patut disayangkan temuan dan rekomendasi dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang laporannya baru saja dipublikasikan tidak menjadi acuan serius bagi para pengambil kebijakan di sana. ***
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
26
KABAR DARI SEBERANG
Kudeta Militer Thailand; Kemunduruan Serius Demokrasi di Negeri Tetangga Pada tanggal 19 September 2006, terjadi kudeta tidak berdarah di Thailand. Kudeta oleh militer ini dipimpin oleh Jendral Sonthi Boonyaratglin dan dilakukan ketika Perdana Menteri Thaksin Shinawatra sedang menghadiri Sidang Tahunan Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat. Pimpinan kudeta – yang menyebut kelompoknya sebagai Council for Democratic Reform (CDR)- mengklaim kudeta kali ini tidak memakan korban, mendapat dukungan rakyat, dan dukungan Raja Bhumibol Adulyadej dengan tujuan mengakhiri krisis politik di Thailand yang berkepanjangan, antara pihak Thaksin dan oposisi lawannya. Pihak militer juga menyatakan situasi darurat militer di Thailand, membatalkan konstitusi, membubarkan beberapa institusi strategis negara, mengangkat pensiunan militer sebagai perdana menteri, membatasi kebebasan sipil, dan membatasi pers bebas. Junta militer melarang rapat-rapat yang dilakukan oleh aktivis partai politik. Semua gedung beserta ruangan setiap media massa, stasiun radio dan TV dijaga ketat oleh para tentara. Sensor ketat terhadap isi berita dijalankan. Beberapa mantan anggota kabinet Thaksin segera ditangkap oleh militer. Pergerakan penduduk sipil –khususnya dalam bentuk rombongan- dibatasi. Kudeta militer ini merupakan kudeta yang ke-18 kalinya di Thailand sejak Perang Dunia II. Namun, terakhir kalinya kudeta terjadi pada tahun 1992. Meski tidak ada korban jiwa yang jatuh selama kudeta, kelompok-kelompok Hak Asasi Manusia tetap mengecam kudeta militer ini yang dianggap merendahkan upaya hampir 15 tahun pembangunan demokrasi di Thailand secara damai. Meski kelompok prodemokrasi dan HAM terus mengkritik dan berupaya menjatuhkan pemerintahan Thaksin yang korup, namun penyelesaian lewat kudeta bukanlah sebuah pilihan.
27
Berita KontraS No. 05/IX-X/2006
Reaksi internasional juga umumnya negatif dan bergerak ke arah yang tidak mendukung upaya kudeta militer tersebut. Sekjen PBB, Kofi Annan menyatakan kudeta ini merupakan praktek yang tidak bisa dibenarkan. Annan menyayangkan kudeta ini mencemari tradisi lebih dari sepuluh tahun di Thailand yang dalam transisinya ke arah demokrasi berlangsung secara progresif, damai, dan institusional. Pemerintah AS juga menyatakan sikap tidak mendukungnya dan memotong bantuan militer sebesar US $ 24 juta. Demikian pula pihak Uni Eropa –lewat juru bicara President of the European Council dan Perdana Menteri Finlandia, Matti Vanhanen- mengecam kudeta militer tersebut dan menyayangkan jatuhnya institusi demokrasi ke tangan militer. Pernyataan positif hanya muncul dari pihak Pemerintah RRC yang menyatakan harapannya akan negeri Thailand yang harmonis dan makmur pasca kudeta dan menyatakan bahwa kudeta tersebut merupakan masalah internal Thailand sendiri. Masih ditunggu janji para pemimpin kudeta militer yang menyatakan akan memulihkan demokrasi ke tangan pemerintahan sipil kembali! Kudeta militer Thailand ini tidak hanya berdampak buruk bagi masyarakat di sana, namun juga bisa menginsiprasikan kembali bangkitnya militerisme di kawasan Asia Tenggara. Pasca dekade 1990an kawasan Asia Tenggara masih rapuh dalam menjalankan eksperimen demokrasi sipil. Kudeta militer ini bisa memiliki efek tular ke negeri-negeri lainnya, kebetulan juga sedang mengalami krisis politik seperti yang ditunjukkan di Filipina dan Indonesia.
KE ADI L AN UNT UK MUNI R KE ADI L AN UNT UKSE MUA
7S e p t e m b e r2 0 0 6
PE RI NGA T AN2T AHUNHARI PE MBE L AHAMI NDONE SI A www. muni r . or . i d