RENCANA STRATEGIS 2015-2019
DEPUTI BIDANG KOORDINASI PENGELOLAAN ENERGI, SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
Halaman i ii iii iv
BAB I 1.1 1.2
PENDAHULUAN Kondisi Umum Potensi dan Permasalahan
BAB II 2.1 2.2 2.3
VISI, MISI DAN TUJUAN Visi dan Misi Tujuan Sasaran Strategis
12 13 13 13
BAB III
16
3.3 3.4
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Arah Kebijakan Kedeputian Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kerangka Regulasi Kerangka Kelembagaan
BAB IV 4.1 4.2
TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN Target Kinerja Kerangka Pendanaan
19 19 19
BAB V
PENUTUP
21
3.1 3.2
1 1 5
16 16 17 18
Lampiran 1 Matriks Kinerja dan Pendanaan Lampiran 2 Matriks Kerangka Regulasi
i
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1
Sasaran RPJMN 2015-2019 Bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
5
Tabel 1.2
Produksi Minyak, Gas Bumi dan Batubara
9
Tabel 3.1
Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2015-2019
15
ii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1
Peta Sasaran Strategis Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup 2015-2019
14
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Kondisi Umum
Peran sumber daya alam dan lingkungan hidup sangat strategis dalam mengamankan kelangsungan pembangunan dan keberlanjutan kehidupan bangsa dan negara. Bidang ini menjadi tulang punggung kehidupan sebagai penyedia pangan, energi, air dan penyangga sistem kehidupan berupa kualitas lingkungan hidup untuk kesehatan kehidupan bangsa dan keberlanjutan kehidupan generasi mendatang. Sesuai dengan amanah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup menjadi modal utama pembangunan untuk meningkatkan daya saing ekonomi berbasis sumber daya alam dan lingkungan hidup. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi namun tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup diperlukan peningkatan kualitas lingkungan hidup dan penggalian potensi baru dalam pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Salah satu misi yang hendak dilaksakanakan dalam pembangunan nasional adalah mewujudkan Indonesia asri dan lestari dengan memperbaiki pengelolaan pembangunan untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan, memberikan keindahan dan kenyamanan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal pembangunan. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014, prioritas nasional ketahanan energi adalah untuk menjamin kelangsungan pertumbuhan nasional melalui restrukturisasi kelembagaan dan optimalisasi pemanfaatan energi secara menyeluruh. Isu utama yang perlu dijawab adalah ketahanan energi, yaitu dapat memberikan ketersediaan energi bagi Negara dan masyarakat melalui berbagai sumber energi dengan tidak menggantungkan diri terhadap minyak bumi semata-mata. Ketergantungan tinggi pada minyak bumi membuat ketahanan energi nasional rentan terhadap ketersediaan dan harga minyak bumi. Kebutuhan sumber daya alam energi sampai saat ini terus meningkat sebesar 7% pertahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah dan pendapatan penduduk. Pada Tahun 2013, produksi minyak bumi mencapai 824 Setara Barel Minyak (SBM). Ketergantungan penyediaan energi masih bertumpu pada minyak bumi dan masih memberi kontribusi sebesar 49,7% dari total kebutuhan, sedangkan energi baru dan terbarukan sebesar 5,7%. Sementara kontribusi penerimaan minyak dan gas bumi terhadap PDB rata-rata sebesar 7,8% pada periode Tahun 2010-2013. Dalam rangka pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan Dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain maka dalam rangka meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati/BBN pemerintah telah mengatur peningkatan pemanfaatan bahan bakar nabati untuk semua konsumen pengguna jenis bahan bakar minyak tertentu. Oleh karena itu telah direkomendasikan mandatori pemanfaatan biodiesel pada tahun 2014 sebesar 10% untuk sektor transportasi PSO, Non PSO maupun industri sebesar 20% untuk 1
pembangkit listrik. Kebijakan mandatori merupakan upaya yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil khususnya BBM, mengembangkan industri BBN dalam negeri sehingga memberikan nilai tambah pada perekonomian, mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat pembakaran energi fosil, serta untuk mengurangi impor BBM yang semakin meningkat (penghematan devisa akibat pengurangan impor BBM). Implementasi kebijakan mandatori yang juga merupakan penciptaan pasar BBN di dalam negeri ditunjukkan oleh peningkatan produksi dan pemanfaatan BBN di dalam negeri yang signifikan dari tahun 2009 hingga 2014. Dalam pengembangan Bahan Bakar Gas (BBG) yang dilakukan untuk sektor transportasi Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 64 tahun 2012 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Penetapan harga BBG untuk transportasi jalan. Tantangan dalam pengembangan BBG terutama adalah terbatasnya infrastruktur gas, keterbatasan lahan untuk stasiun pengisian BBG maupun jaringan pendukung lainnya. Sampai dengan tahun 2014 terdapat 69 SPBG dan 8 MRU yang tersebar di beberapa kota di Indonesia antara lain: Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Bogor, Palembang, Surabaya, Balikpapan. Potensi sumber energi alternatif gas non konvensional yaitu shale gas (gas serpih) yang berdasarkan penelitian Indonesia mempunyai potensi besar yang diperkirakan mencapai 574,07 TCF yang tersebar pada 14 cekungan. Kebijakan untuk pengembangan minyak dan gas konvensional telah diatur melalui Peraturan Menteri ESDM No. 5/2012 tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional. Pada tahun 2013 telah ditandatangani KKS Migas Non Konvesional pertama yaitu untuk pengembangan shale gas di Wilayah Sumatera Bagian Utara. Selain itu, PT. Perusahaan Gas Negara (PGN) melalui anak perusahaannya PT. Saka Energi Indonesia juga telah turut serta dalam pengelelolaan shale gas di Amerika. Pemerintah bersama dengan perguruan tinggi saat ini sedang melakukan studi potensi shale gas di 13 wilayah yaitu di : Sumatera 7 wilayah, Kalimantan 5 wilayah dan Jawa 1 wilayah (Cepu). Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 MW Tahap I dan II (Fast Track Program, FTP I dan II) merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mengatasi kekurangan pasokan tenaga listrik guna menopang kegiatan ekonomi sehingga pertumbuhan ekonomi tetap dapat dipertahankan. Per Desember 2014, dari 34 proyek dengan total kapasitas 9.927 MW baru diselesaikan 14 proyek dengan total kapasitas sebesar 6.727 MW atau baru 67,76% dari total proyek. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gangguan Keamanan dalam Negeri Tahun 2014, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ditunjuk sebagai Penanggung Jawab Rencana Aksi sebagai berikut: Rencana Aksi-17 (RA-17) yaitu Peningkatan Pengawasan Terhadap Perusahaan dalam Pelaksanaan Corporate Social Responsibility; Rencana Aksi-18 (RA-18) yaitu Sosialisasi dan Implementasi SOP Penanganan Permasalahan Dalam Pengelolaan Agraria dan SDA; Rencana Aksi-60 (RA-60) yaitu Penyelesaian Konflik Sosial Menonjol Berlatar Belakang Lahan/SDA Berskala Nasional/Lintas Kewenangan Mulai Tahun 2014; Rencana Aksi-63 (RA-63) yaitu Penyelesaian Konflik Sosial Menonjol Berlatar Belakang Industrial Berskala Nasional/Lintas Kewenangan Mulai Tahun 2014. Pemanfaatan panas bumi hanya 1,3 GW dari potensi sebesar 29 GW atau hanya 4,6%, dan oleh karenanya diperlukan upaya percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia, antara lain dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2003 dengan mengundangkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi. Beberapa rekomendasi yang menjadi perbedaan substansi antara kedua Undang-Undang yang mengatur tentang panas bumi tersebut, yaitu: (i) Menghilangkan istilah pertambangan/penambangan dalam kegiatan usaha panas bumi, sehingga pengusahaan panas bumi dapat dilakukan di hutan produksi, lindung dan konservasi; (ii) 2
Pemanfaatan langsung energi panas bumi merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota; (iii) Pemanfaatan tidak langsung energi panas bumi sebagai pembangkit listrik merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota, sehingga Izin Panas Bumi, lelang, pembinaan dan pengawasan merupakan kewenangan pemerintah pusat; (iv) Untuk WKP yang mempunyai potensi kecil dan tidak menarik bagi investor, dilelang tidak ada peminat maka Pemerintah dapat menugaskan BUMN atau BLU; (v) Pengaturan pengalihan kepemilikan saham dapat dilakukan setelah selesai eksplorasi; dan (vi) Pengaturan pemberian Bonus Produksi (Production Bonus) yang didasarkan pada persentase pendapatan kotor sejak unit pertama berproduksi. Untuk mengatur pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2014 tersebut, maka saat ini sedang disusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk mengatur : 1) pemanfaatan langsung panas bumi, 2) pemanfaatan tidak langsung panas bumi, dan 3) bonus produksi pengusahaan panas bumi. Untuk menindaklanjuti amanat UU No. 4 tahun 2009 khususnya terkait dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral tersebut, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan peraturan ini maka setiap perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK)/Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melakukan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Hal ini diharapkan meningkatkan industri berbasis mineral logam, sehingga berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Peraturan Pemerintah ini telah dilakukan perubahan beberapa kali dan terakhir perubahan ke tiga dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pembahasan revisi Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) sudah dimulai sejak tahun 2009. Kebijakan Energi Nasional (KEN) disusun dengan tujuan sebagai pedoman untuk memberi arah pengelolaan energi nasional guna mewujudkan kemandirian energi nasional dan ketahanan energi untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Kebijakan penting dalam Rancangan KEN adalah perubahan paradigma pengelolaan energi nasional, yang menempatkan sumber daya energi sebagai modal pembangunan nasional, bukan hanya sebagai komoditi. Dalam Kebijakan Energi Nasional tersebut juga mendorong pengembangan energi baru terbarukan sehingga ditargetkan peran energi baru terbarukan mencapai 23% terhadap bauran energi nasional pada tahun 2025 dan menjadi 31% pada tahun 2050. Sektor industri ekstraktif menopang hampir 30% dari penerimaan negara setiap tahunnya. Penerimaan Migas ini terdiri dari PPh Migas, PNBP Migas, serta selisih harga DMO dengan fee kontraktor pada kegiatan hulu Migas. Sementara penerimaan subsektor Pertambangan Umum terdiri dari pajak pertambangan umum dan PNBP Pertambangan umum. Mengingat peran pentingnya bagi penerimaan negara, maka sumberdaya ekstraktif migas dan tambang harus dikelola secara transparan dan akuntabel. Salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas di sektor ini adalah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara/Daerah yang diterima dari Industri Ekstraktif Migas dan Minerba pada tanggal 23 April 2010. Tim Pengarah diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan beranggotakan 5 pejabat setingkat menteri, sementara Tim Pelaksana beranggotakan 9 pejabat setingkat Deputi atau Direktur Jenderal. Di dunia internasional, bentuk inisiatif ini dikenal sebagai Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). EITI merupakan standar sukarela yang independen, disepakati secara internasional, untuk menciptakan transparansi dalam industri ekstraktif.
3
Sejak bergabung dalam suatu standar global transparansi industri ekstraktif pada tahun 2010 sampai dengan tahun 2104, Tim Transparansi Industri Ekstraktif telah mempublikasikan dua laporan EITI. Laporan Pertama mencakup tahun kalender 2009 dipublikasikan pada tahun 2013, sedangkan setahun kemudian terbit Laporan Kedua yang mencakup tahun kalender 2010 dan 2011. Laporan Kedua ini yang mengantarkan Indonesia menyandang status compliant country dalam rapat dewan EITI di Myanmar pada 15 Oktober 2014. Namun, pada tahun 2014 status compliant country Indonesia untuk sementara waktu ditunda (suspended) karena sampai akhir tahun 2014 belum menyampaikan laporan tahun kalender 2012. Untuk mengembalikan Indonesia sebagai compliant country kembali dan mencabut status suspended tersebut, tim transparansi industri ekstraktif berupaya keras untuk dapat menerbitkan laporan EITI Indonesia ketiga yang mencakup tahun kalender 2012-2013 sebelum tahun 2015 berakhir. Arah kebijakan umum Pembangunan Nasional 2015-2019 dalam bidang pengelolaan energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah peningkatan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam mencakup peningkatan produktivitas sumber daya hutan, mengoptimalkan nilai tambah dalam pemanfaatan sumber daya mineral dan tambang lainnya, meningkatkan produksi dan ragam bauran sumber daya energi, meningkatkan efisiensi dan pemerataan sumber daya energi, mempercepat penyediaan infrastruktur kelistrikan, menjamin ketahanan energi untuk mendukung ketahanan nasional, meningkatkan efektivitas pengelolaan dan pemanfaatan keragaman hayati Indonesia yang sangat kaya, meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan penanganan perubahan iklim. Norma Pembangunan yang diterapkan dalam RPJMN 2015-2019 menekankan bahwa aktivitas pembangunan tidak boleh merusak, menurunkan daya dukung lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Sementara itu, salah satu dimensi pembangunan sektor unggulan pembangunan nasional adalah dengan prioritas kedaulatan energi dan ketenagalistrikan yang dilakukan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya energi (gas, batubara, dan tenaga air) dalam negeri. Sasaran utama penguatan ketahanan energi yang akan dicapai dalam kurun waktu 2015-2019 adalah: menguatnya ketersediaan energi primer dari produksi minyak bumi yang didukung oleh produksi gas bumi dan batubara, meningkatnya pemanfaatan sumber energi primer untuk penggunaan di dalam negeri, terpenuhinya rasio elektrifikasi mencapai 96,6 persen. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak diwajibkan menentukan target penurunan emisi gas rumah kaca secara kuantitatif. Namun, Indonesia secara sukarela telah memberikan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca. Komitmen ini dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional penurunan gas rumah kaca (RAN GRK) melalui Perpres No. 61/2011 dan 33 Rencana Aksi Daerah (RAD GRK) yang ditetapkan melalui peraturan gubernur. Langkah penurunan emisi diiringi dengan langkah adaptasi yang rencana aksinya sudah selesai disusun pada tahun 2013. Rencana pelaksanaan rencana mitigasi dan rencana adaptasi perubahan iklim pada berbagai bidang terkait dituangkan di dalam program lintas bidang dalam RPJMN 20152019 dengan target penurunan emisi GRK sekitar 26 persen pada tahun 2019 dan peningkatan ketahanan perubahan iklim di daerah. Sasaran bidang pengelolaan energi, sumber daya dan lingkungan hidup disajikan pada tabel 1.1.
4
Tabel 1.1 Sasaran RPJMN 2015-2019 Bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Sasaran Pembangunan Produksi Sumber Daya Energi Minyak Bumi (ribu SBM/hari) Gas Bumi (ribu SBM/hari Batubara (juta ton) Penggunaan Dalam Negeri (DMO) Gas Bumi DN Batubara Listrik Kapasitas pembangkit (GW) Rasio elektrifikasi (%) Konsumsi Listrik Perkapita Infrastruktur Energi Pembangunan FSRU (unit) Jaringan pipa gas (km) Pembangunan SPBG (unit) Jaringan gas kota (sambungan rumah) Pembangunan kilang minyak (unit) Intensitas Energi Primer (Penurunan 1% per tahun) (SBM) Elastisitas Energi Kehutanan Pembentukan operasionalisasi KPH Lindung (unit) Pembentukan operasionalisasi KPH Produksi (unit) 3 Produksi kayu bulat Hutan Alam (juta m ) 3 Produksi kayu bulat Hutan Tanaman (juta m ) 3 Produksi kayu bulat Hutan Rakyat (juta m ) Nilai Eksport Produk Kayu (USD miliar) Peningkatan produksi dan ragam HHBK (%) Peningkatan Akses HKm dan Hutan Desa (unit) Berkurangnya luasan lahan kritis melalui rehabilitasi di KPH Tambahan Rehabilitasi Hutan
Lingkungan Hidup Emisi Gas Rumah Kaca Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH)
Baseline 2014
Baseline 2019
818 1.224 421
700 1.295 400
53% 24%
64% 60%
50,7 81,5 843KWh 2
86,6 96,6 1.200KWh 7
11.960 40 200 ribu
18.322 118 1,1 juta
487,0
1 463,2 1,3
40 80 5,6 26 15 6,9 4 100 500.000 ha
182 347 6,0 35 22 9,3 20 500 5,5 juta ha (kumulatif) 750 ribu ha (dalam kawasan)
2 juta ha (dalam/luar kawasan) 15,5% 63,0-64,0
~ 26% 66,5-68,5
Sumber: RPJMN 2015-2019
1.2. Potensi dan Permasalahan Minyak dan Gas Bumi. Indonesia memiliki potensi hidrokarbon di 60 cekungan sedimen. Bahkan hasil penelitian Badan Geologi terakhir diidentifikasi cekungan migas sebanyak 128 cekungan. Cadangan terbukti minyak bumi tahun 2014 sebesar 3,6 miliar barel dan dengan tingkat produksi saat ini maka usianya sekitar 13 tahun. Sedangkan cadangan terbukti gas bumi tahun 2014 sebesar 100,3 TCF dan akan bertahan selama 34 tahun. Usia cadangan migas, diasumsikan apabila tidak ada penemuan cadangan migas baru. 5
Coalbed Methane (CBM). Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman energi juga dianugerahi CBM sebagai salah satu unconventional gas. Unconventional gas merupakan sumber daya yang relatif masih sulit dan mahal untuk dikembangkan, namun potensinya biasanya lebih besar daripada conventional gas. Berdasarkan penelitian Ditjen Migas dan Advance Resources International, Inc. pada tahun 2003, sumber daya CBM Indonesia diperkirakan sekitar 453 TCF. Shale Gas. Hasil survei potensi yang dilakukan oleh Badan Geologi mencatat Shale Gas Resources pada cekungan sedimen utama Indonesia sebesar 574 TSCF, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Papua. Dalam mendorong pengembangan Shale Gas, telah diterbitkan Permen ESDM No. 5/2012 tentang tentang Tata Cara Penetapan dan Penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Non Konvensional. Batubara. Berdasarkan data Badan Geologi KESDM tahun 2013 jumlah sumber daya batubara tercatat sebesar 120 miliar ton dan cadangan 31 miliar ton atau 26% dari jumlah sumber daya. Penemuan cadangan batubara meningkat tiap tahunnya dari tahun 2010 sebesar 21 miliar ton menjadi 31 miliar ton pada tahun 2013. Sumber daya batubara terutama tersebar di Sumatera Selatan dan Kalimantan. Sebagian besar dari sumberdaya batubara ini tergolong batubara berkalori rendah (low rank coal) atau lignitik. Jenis batubara ini memiliki kandungan kadar air total sebesar (30-40%) dan nilai kalor (<5.000 kcal/kg). Jumlah cadangan batubara Indonesia sangat kecil bila dibandingkan dengan cadangan batubara dunia. Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2013, besar cadangan batubara Indonesia hanya 0,6% cadangan dunia. Bila dibandingkan lagi dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa, maka cadangan batubara Indonesia per kapita akan lebih kecil lagi. Bandingkan misalnya dengan Australia yang memiliki cadangan batubara sebesar 8,9% dari cadangan dunia, sementara jumlah penduduknya hanya sekitar 23 juta jiwa. Data ini ingin menunjukkan bahwa penambangan batubara harus dilaksanakan seoptimal mungkin untuk memberikan manfaat yang lebih besar dan lebih lama buat Indonesia. Bila asumsi bahwa nilai produksi setiap tahun sama sekitar 435 juta ton, tanpa adanya temuan cadangan baru, maka secara ekonomis umur pengusahaan batubara masih dapat dimanfaatkan sampai 72 tahun yang akan datang. Panas Bumi. Indonesia memiliki sumber panas bumi yang sangat melimpah, tersebar sepanjang jalur sabuk gunungapi mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku serta merupakan potensi panas bumi terbesar di dunia. Mengacu pada hasil penyelidikan panas bumi yang telah dilakukan oleh Badan Geologi, hingga tahun 2013 telah teridentifikasi sebanyak 312 titik potensi panas bumi. Adapun total potensi panas buminya sebesar 28.910 MW dengan total cadangan sekitar 16.524 MW. Namun, kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hingga tahun 2014 baru mencapai 1.403,5 MW atau sebesar 4,9% dari potensi yang ada. Sedangkan Filipina meskipun potensinya lebih kecil namun pemanfaatan potensi panas buminya mencapai 46,2%. Potensi panas bumi Indonesia tersebut merupakan nomor 2 terbesar di dunia (13% potensi dunia). Namun, kapasitas terpasang PLTP Indonesia merupakan nomor 3 terbesar di dunia. Dunia baru memanfaatkan 10,4% (10,8 GW) dari potensi panas bumi yang ada (103,6 GW). Energi Baru dan Terbarukan. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumber energi terbarukan yang belum dimanfaatkan secara optimal yaitu biomassa (bahan bakar nabati, BBN), air, matahari, dan angin. Total potensi BBN Indonesia saat ini sekitar 32.654 MW, sementara pemanfaatannya sebesar 1.716 MW atau masih sekitar 5% dari total potensi. Sedangkan potensi tenaga air untuk PLTA dan PLTMH tersebar di Indonesia dengan total perkiraan sampai 75.000 MW, sementara pemanfaatannya masih sekitar 9% dari total potensi. Selain itu, Potensi energi angin yang sudah dilakukan preleminary study tersebar di pulau Jawa dan Sulawesi sekitar 950 MW. Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari berbagai lokasi di Indonesia menunjukkan sumber daya 6
energi surya Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan wilayah yaitu kawasan barat dan timur Indonesia. Sumber daya energi surya kawasan barat Indonesia (4,5 kWh/m2/hari) dengan variasi bulanan sekitar 10%, dan kawasan timur Indonesia 5,1 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar 9% serta rata-rata Indonesia 4,8 kWh/m2/hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Potensi energi panas matahari di Indonesia sekitar 4,8 kWh/m²/hari atau setara dengan 112 ribu GWp. Namun, saat ini energi matahari yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 49 MWp. Ini berarti, potensi energi matahari yang sudah dimanfaatkan masih jauh dari angka 1%. Sumber Daya Alam Mineral. Selain memiliki beragam sumber energi, Indonesia juga memiliki potensi sumber daya alam mineral yang sangat beragam dan cukup besar potensinya. Sebelum tahun 2014, ekspor mineral mentah dapat dilakukan secara leluasa sehingga tidak terjadi peningkatan nilai tambah mineral. Industri pengolahan dan pemurnian dalam negeri tidak berkembang. Namun, sejak 2014 mulai diberlakukan pembatasan ekspor mineral dan komitmen pembangunan smelter, meskipun berdampak pada menurunnya produksi mineral dan penerimaan negara, namun cadangan mineral tersebut lebih bisa dikonservasi. Sumber Daya Hayati. Sementara itu, sebagai sumber daya hayati, hutan Indonesia merupakan hutan tropis yang terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo. Dengan luas 1.860.359,67 km2 daratan, 5,8 juta km wilayah perairan dan 81.000 km garis pantai, Indonesia ditempatkan pada urutan kedua setelah Brazil dalam hal tingkat keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang terdapat di bumi Indonesia meliputi: 10 persen spesies tanaman berbunga, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptil dan amfibi, 17 persen spesies burung, 1 serta 25 persen spesies ikan yang terdapat di dunia. Hutan merupakan sumber daya alam yang dapat memberikan manfaat berlipat ganda, baik manfaat yang secara langsung maupun manfaat secara tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah sebagai sumber berbagai jenis barang, seperti kayu, getah, kulit kayu, daun, akar, buah, bunga dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh manusia atau menjadi bahan baku berbagai industri yang hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia. Manfaat hutan yang tidak langsung meliputi: sumber keanekaragaman hayati (biodiversity) yang terbesar di dunia meliputi flora dan fauna; mempunyai peran esensial dalam lingkungan regional dan global yang tidak ternilai, baik sebagai pengatur iklim, penyerap CO2 serta penghasil oksigen; memiliki fungsi hidrologi yang sangat penting artinya bagi kehidupan manusia di sekitar hutan dan plasma nutfah yang dikandungnya; sumber bahan obat-obatan; ekoturisme; sumber genetik yang hampir-hampir tidak terbatas, dan lain-lain. Pembangunan ekonomi Indonesia sampai saat ini masih bertumpu pada sumbangan sumber daya alam, yakni sebesar kurang lebih 25% Produk Domestik Bruto (PDB), khususnya minyak, sumber daya mineral, dan hutan, menyebabkan deplesi sumber daya alam dan degradasi lingkungan. Di sisi lain, kualitas lingkungan hidup yang dicerminkan pada kualitas air, udara dan lahan juga masih rendah. Untuk itu, pertumbuhan ekonomi yang terus ditingkatkan harus dapat menggunakan sumber daya alam secara efisien agar tidak menguras cadangan sumber daya alam, dipergunakan untuk mencapai kemakmuran yang merata, tidak menyebabkan masalah lingkungan hidup, sehingga dapat menjaga kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di sektor energi, permasalahan yang dihadapi dalam 5 tahun kedepan adalah terbatasnya pasokan energi primer, sehingga perlu dilakukan optimalisasi dari kemampuan pasokan yang ada, termasuk optimalisasi penggunaan gas dan batubara serta meningkatkan kontribusi sumber energi baru dan terbarukan Termasuk Bahan Bakar Nabati (BBN) dan panas bumi. Selain itu dari sisi pemanfaatannya perlu terus meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Permasalahan lainnya dalam 7
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya energi untuk pembangunan adalah peningkatan nilai tambah di dalam negeri dan pengelolaan secara berkelanjutan. Jumlah energi yang dibutuhkan selama lima tahun mendatang diperkirakan akan meningkat dengan laju pertumbuhan masingmasing sebesar 5-6 persen untuk energi primer, dan 7-8 persen per tahun untuk energi final. Meningkatnya kebutuhan energi ini menuntut tersedianya sumber daya dan cadangan energi yang cukup serta infrastruktur energi yang memadai. Selain itu, harga energi perlu disesuaikan untuk menjamin ketersediaan pasokan energi dengan tidak mengganggu kemampuan daya beli masyarakat. Ketergantungan terhadap minyak bumi perlu dikurangi sehingga bauran energi menjadi lebih sehat dengan memaksimalkan penggunaan energi terbarukan dan mengoptimalkan pemanfaatan gas alam. Konsumsi energi juga perlu dikelola dengan baik sehingga pemborosan serta jumlah emisi dapat dikurangi. Industri minyak bumi nasional sudah tua, lebih dari 100 tahun, dan produksinya semakin menurun. Setelah Indonesia merdeka, puncak produksi minyak terjadi sebanyak 2 kali, yaitu pada tahun 1977 dan 1995 yaitu masing-masing sebesar 1,68 juta barrel per day (bpd) dan 1,62 juta bpd. Setelah tahun 1995, produksi minyak Indonesia rata-rata menurun dengan natural decline rate sekitar 12%. Namun sejak tahun 2004 penurunan produksi minyak dapat ditahan dengan decline rate sekitar 3% per tahun. Pada tahun 2014, produksi minyak bumi hanya sekitar 789 ribu bpd atau menurun menjadi 96% dibandingkan tahun 2013 sebesar 824 ribu bpd. Penurunan produksi tersebut, selain disebabkan karena usia lapangan minyak Indonesia yang sudah tua, juga karena adanya kendala teknis seperti unplanned shutdown, kebocoran pipa, kerusakan peralatan, kendala subsurface dan gangguan alam. Selain itu, terdapat kendala non teknis terjadi seperti perizinan, lahan, sosial dan keamanan. Untuk memenuhi kebutuhan minyak mentah dan BBM, dilakukan melalui impor dikarenakan kapasitas produksi minyak mentah dan kilang BBM di dalam negeri yang terbatas. Pada tahun 2013, kebutuhan BBM Indonesia tercatat sebesar 1,3 juta barrel per day (bpd) namun kapasitas kilang minyak Indonesia sebesar 1,167 juta bpcd dan hanya dapat menghasilkan produksi BBM sekitar 650 ribu bpd. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, diperlukan impor BBM sekitar 600 ribu bpd dengan nilai lebih dari Rp. 1 triliun per hari. Selain melakukan impor BBM, Indonesia juga melakukan impor minyak mentah sebagai input kilang minyak dalam negeri. Produksi minyak mentah Indonesia kurang dari 800 ribu bpd, tetapi tidak seluruhnya diolah di kilang minyak dalam negeri. Sekitar 40% produksi minyak mentah Indonesia diekspor karena tidak semua spesifikasi kilang minyak dalam negeri cocok untuk mengolah minyak mentah Indonesia. Indonesia masih cenderung boros dalam pemakaian energi. Ini dapat dilihat dari laju konsumsi BBM selama sepuluh tahun terakhir mencapai rata-rata di atas 6 persen per tahun. Laju ini termasuk tinggi dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata hanya mencapai sekitar 1 persen per tahun dan dunia sekitar 1,8 persen per tahun. Penggunaan BBM ternyata tidak sernata-mata untuk tujuan produktif, tetapi telah menjurus konsumtif dan bersifat pemborosan. Boros dan tidak efisiennya penggunaan energi ini juga menjadi salah satu masalah dalam pembangunan energi.
8
Tabel 1.2. Produksi Minyak, Gas Bumi dan Batubara No
1 2 3
Jenis Komoditas
Satuan
Tahun
Minyak Bumi
MBOPD
2011 902
2012 860
2013 824
2014 794
Gas Bumi
MBOEPD
1.503
1.455
1.451
1.218
Batubara
Ton
353
407
421
435
Sumber : Kementerian ESDM, 2015
Cadangan penyangga dan operasional Minyak Mentah, BBM dan LPG masih sangat terbatas. Penyediaan energi nasional saat ini belum mempertimbangkan perlunya ketersediaan cadangan BBM dan LPG jika terjadi krisis atau kelangkaan energi. Kapasitas penyimpanan saat ini adalah sebesar 6,7 juta KL untuk BBM dan 420 ribu Metric Ton (MT) untuk LPG. Cadangan yang ada berupa cadangan operasional minyak mentah dengan fasilitas penyimpanan (storage) atau penimbunan (stock) untuk 17 hari, cadangan operasional BBM untuk 21-23 hari, dan cadangan LPG untuk 17 hari. Untuk meningkatkan kehandalan dalam pasokan energi, diperlukan sekurang-kurangnya cadangan operasional dengan kapasitas fasilitas penyimpanan atau penimbunan BBM dan LPG selama 30 hari. Sumber daya mineral yang selama ini diekspor dalam bentuk mentah, perlu ditingkatkan nilai tambahnya secara bertahap, agar memperluas basis perekonomian nasional dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Ekspor bahan mentah telah berlangsung lama (bijih bauksit sejak 1938 tanpa mampu diolah hingga 2013). Indonesia eksportir timah terbesar di dunia berabad abad lamanya, baru saat ini mampu membangun industri berbasis timah dengan berbagai variasi produk. Indonesia pengekspor bijih nikel terbesar (60 juta di tahun 2013), namun hanya PT. Antam (Persero), Tbk dan PT. Vale Indonesia yang baru memurnikannya. UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan mandat mengutamakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dari kekayaan mineral dan batubara dengan terus meningkatkan nilai tambahnya. Dengan demikian, pengembangan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral wajib untuk ditingkatkan mulai tahun 2014. Penggunaan gas bumi juga terus mengalami kenaikan. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta harga gas yang relatif rendah, dibandingkan dengan BBM, telah memicu konsumsi gas secara signifikan. Selain itu, peningkatan konsumsi juga dipicu oleh peningkatan permintaan untuk industri pupuk yang peningkatannya mencapai 12 persen per tahun dan untuk sektor industri manufaktur sebesar 8 persen per tahun. Meskipun permintaannya meningkat, pasokan gas ke industri dalam negeri terkendala oleh keterbatasan kapasitas infrastruktur gas, yakni pipa transmisi dan distribusi gas, serta fasilitas/terminal regasifikasi. Fasilitas atau terminal penerima dan regasifikasi LNG masih belum terbangun sesuai dengan kebutuhan sehingga pasokan gas dalam negeri terkendala. Permintaan tenaga listrik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sekitar 10,1% per tahun. Sementara itu, pengembangan sarana dan prasarana ketenagalistrikan hanya dapat memenuhi pertumbuhan listrik sekitar 7% per tahun. Ketidakseimbangan antara permintaan dengan penyediaan tenaga listrik tersebut, mengakibatkan kekurangan pasokan tenaga listrik di beberapa daerah terutama di luar sistem kelistrikan JawaMadura-Bali (JAMALI) tidak dapat dihindari.
9
Beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam rangka peningkatan ketahanan dan kemandirian energi adalah: (1) menurunnya produksi minyak bumi, karena sebagian besar sumur-sumur yang beroperasi saat ini adalah sumur tua, sedangkan kegiatan eksplorasi baru terkendala oleh tingginya biaya eksplorasi mengingat lapangan baru umumnya terletak di kawasan laut dalam; (2) meningkatnya kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) tanpa di imbangi oleh kenaikan produksi BBM di dalam negeri karena kapasitas kilang terbatas, sehingga berakibat impor BBM terus mengalami kenaikan; dan (3) tersendatnya ketersediaan gas untuk pembangkit listrik dan industri di dalam negeri terutama disebabkan oleh adanya rantai perdagangan gas yang agak panjang menyebabkan harga gas dalam negeri melambung tinggi, infrastruktur yang terbatas, serta adanya kontrak jangka panjang untuk ekspor. Upaya penganekaragaman (diversifikasi) tidak dapat berjalan dengan baik apabila ketersediaan atau pasokan gas untuk kebutuhan dalam negeri terganggu. Sedangkan tantangan pemanfaatan energi terbarukan adalah bagaimana meningkatkan peran daerah dan masyarakat dalam ikut serta untuk membangun energi baru dan terbarukan. Pengelolaan energi baru dan terbarukan yang unitnya kecil dan tersebar secara luas pada seluruh wilayah Indonesia tidak memungkinkan untuk ditangani secara nasional. Tantangan lain dalam pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan adalah kecenderungan turunnya harga minyak dunia sehingga mendorong kembali peningkatan penggunaan energi fosil yang secara ekonomis lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan energi terbarukan yang relatif masih mahal. Sementara itu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tetap tinggi namun tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup diperlukan penggalian potensi baru dalam pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Potensi utama pertumbuhan ekonomi berbasis sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah peningkatan nilai tambah dari produksi pertambangan dan kehutanan. Potensi lain adalah mendorong tumbuhnya pengembangan ekonomi dari hasil konservasi dan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti pengembangan manfaat ekonomi dari keanekaragaman hayati (bioresources) dan pengembangan manfaat ekonomi dari jasa lingkungan. Pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang sudah menyumbang cukup signifikan pada perekonomian nasional, dihadapkan pada dampak pemanfaatan sumber daya alam terhadap kualitas lingkungan hidup. Selama ini konservasi dan perlindungan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang memberi manfaat jangka panjang masih sering dikalahkan dengan pemanfaatan jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini. Seiring dengan perkembangan pengetahuan, pemanfaatan ekonomi dari jasa lingkungan dan keanekaragaman hayati juga semakin berkembang. Untuk itu, ekonomi dan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan merupakan potensi ekonomi yang besar untuk sumber pendapatan dan pertumbuhan berkelanjutan. Permasalahan di sektor kehutanan terutama adalah tata kelola hutan yang belum efektif dan efisien dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya hutan baik dari sisi ekonomi, sosial maupun lingkungan disebabkan tata kelola hutan yang baik masih belum berjalan. Di sisi lingkungan, kualitas sumber daya hutan juga semakin menurun. Diversifikasi produk diperlukan sehingga sumber daya hutan dapat dioptimalkan sebagai penyedia bioenergi untuk mendukung penyediaan energi terbarukan, pangan untuk mendukung ketahanan pangan, tanaman biofarma untuk mendukung pengembangan industri obat-obatan, serta serat sebagai bahan baku industri biotekstil dan bioplastik. Ketidakhadiran pengelola/KPH ditingkat tapak menyebabkan sejumlah permasalahan yang tidak dapat segera ditangani, seperti illegal activities (logging, hunting, encroaching), pencurian plasma nutfah, kebakaran hutan dan lahan masih terus berlangsung di dalam kawasan hutan yang berdampak pada rusaknya ekosistem hutan. Permasalahan lain adalah rendahnya daya saing produk kehutanan disebabkan oleh belum 10
optimalnya pemanfaatan kawasan hutan produksi, belum optimalnya pemanfaatan potensi hutan produksi yang sudah dibebani hak, kurang berkembangnya industri primer hasil hutan, Kinerja ekspor belum optimal (hanya 4% dari total ekspor). Lebih lanjut penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam belum dapat dilakukan dengan optimal sehingga keberadaan kawasan konservasi belum berperan secara utuh dalam melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dan sekaligus meningkatkan kemakmuran masyarakat. Permasalahan lain yang dihadapi dalam penggunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah dampak perubahan iklim yang semakin terasa. Perubahan iklim yang berjalan lebih cepat dari dekade sebelumnya, disebabkan meningkatnya percepatan CO2 di atmosfer bumi akibat pembakaran energi fosil, deforestrasi atau kerusakan hutan, serta proses industri, yang menimbulkan efek gas rumah kaca. Beberapa kajian menunjukkan terjadinya bencana alam kekeringan dan banjir akibat perubahan iklim, sehingga memberi dampak terhadap berbagai sektor di Indonesia, seperti kesehatan, pertanian, dan perekonomian nasional.
11
BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN 2.1
Visi dan Misi
Dengan mempertimbangkan masalah pokok bangsa, tantangan pembangunan yang dihadapi dan capaian pembangunan selama ini, maka visi pembangunan nasional untuk tahun 2015-2019 adalah:
Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong Upaya untuk mewujudkan visi ini adalah melalui 7 Misi Pembangunan yaitu: 1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan. 2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan negara hukum. 3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim. 4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju, dan sejahtera. 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing. 6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. 7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan Dimensi pembangunan sektor unggulan pembangunan nasional untuk tahun 2015 - 2019 memprioritaskan bidang : • Kedaulatan pangan. Indonesia mempunyai modal yang cukup untuk memenuhi kedaulatan pangan bagi seluruh rakyat, sehingga tidak boleh tergantung secara berlebihan kepada negara lain. • Kedaulatan energi dan ketenagalistrikan. Dilakukan dengan memanfaatkan sebesar-besarnya sumber daya energi (gas, batu-bara, dan tenaga air) dalam negeri. • Kemaritiman dan kelautan. Kekayaan laut dan maritim Indonesia harus dapat dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat. • Pariwisata dan industri. Potensi keindahan alam dan keanekaragaman budaya yang unik merupakan modal untuk pengembangan pariwisata nasional. Sedangkan industri diprioritaskan agar tercipta ekonomi yang berbasiskan penciptaan nilai tambah dengan muatan iptek, keterampilan, keahlian, dan SDM yang unggul. Selanjutnya, untuk menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, dirumuskan sembilan agenda prioritas. Kesembilan agenda prioritas itu disebut NAWA CITA, yaitu: 1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. 2. Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. 12
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa. 9. Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia Dalam upaya percepatan pembangunan nasional demi terwujudnya Indonesia mandiri di bidang ekonomi, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian fokus untuk memastikan terwujudnya pelaksanaan agenda prioritas 3, 6 dan 7, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, serta mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Sesuai dengan fungsi yang diamanatkan pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, maka visi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian adalah: Terwujudnya Koordinasi, Sinkronisasi, dan Pengendalian Pembangunan Ekonomi Yang Efektif dan Berkelanjutan Dalam rangka mewujudkan visi tersebut di atas, diperlukan tindakan nyata yang sesuai dengan peran Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang ditetapkan melalui misi: Menjaga dan Memperbaiki Koordinasi dan Sinkronisasi Penyusunan Kebijakan, Serta Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan Perekonomian Berdasarkan dimensi pembangunan sektor unggulan pembangunan nasional tahun 2015-2019 yang memprioritaskan bidang kedaulatan energi dan ketenagalistrikan serta arah kebijakan umum pembangunan nasional 2015-2019 untuk meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam yang berkelanjutan serta meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan penanganan perubahan iklim, maka dalam mendukung pencapaian visi dan misi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi dan sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan serta pengendalian pelaksanaan kebijakan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan isu di bidang pengelolaan energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. 2.2
Tujuan
Berdasarkan tugas tersebut di atas, Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu meningkatnya efektivitas koordinasi penyusunan kebijakan dan terlaksananya implementasi kebijakan di bidang pengelolaan energi, sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan visi dan misi Kementerian Bidang Perekonomian. 2.3
Sasaran Strategis
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya maka Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup memiliki 3 sasaran strategis yang hendak dicapai yaitu : 1. Terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2. Terwujudnya Pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
13
3. Meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive Industries Transparency initative (EITI). Gambar 3.1 Peta Sasaran Strategis Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2015-2019
14
Tabel 3.1 Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2015-2019 Sasaran Strategis/Indikator Sasaran strategis (outcome) 1 Terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indikator Persentase rancangan peraturan perundangundangan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang diselesaikan Sasaran strategis (outcome) 2 Terwujudnya Pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indikator Persentase kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang terimplementasi Sasaran strategis (outcome) 3 Meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive Industries Transparency initative (EITI) Indikator Persentase pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru EITI
2015
2016
Target 2017
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
90
90
90
90
90
2018
2019
15
BAB III ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA, REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN 3.1
Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Kebijakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam rangka mengemban tugas dan fungsi untuk melaksanakan arah kebijakan pembangunan nasional maupun program-program prioritas nasional dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas dan berkelanjutan, dengan melalui strategi koordinasi dan sinkronisasi, pengendalian, studi kebijakan/kajian/telaahan dan sosialisasi. Strategi tersebut merupakan langkah-langkah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mendorong peningkatan kinerja sektor/lintas sektor menjadi lebih optimal baik dalam pelaksanaan program/kegiatan sektor atau lintas sektor menjadi lebih efektif dan efisien. Meningkatnya pengelolaan sektor/lintas sektor dimaksud diharapkan dapat memberikan manfaat peningkatan produktivitas bagi sektor/lintas sektor bidang perekonomian, sehingga pada akhirnya dengan tercapainya target-target sektor/lintas sektor secara akumulatif memberikan kontribusi dampak terhadap keberhasilan akan terwujudnya sasaran pembangunan ekonomi yang madiri dan berdaya saing sebagaimana tertuang pada RPJMN 2015-2019 dapat dicapai. Adapun kebijakan prioritas Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan Koordinasi kebijakan Kredit Usaha Rakyat; 2. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Pengendalian Inflasi; 3. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Kedaulatan Pangan dan Pertanian; 4. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Ketahanan Energi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan; 5. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Sistem Logistik Nasional (Sislognas); 6. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Fasilitasi Peraturan Daerah; 7. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan UMKM berbasis Teknologi; 8. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Peningkatan Investasi; 9. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Pengembangan Industri; 10. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Peningkatan Ekspor; 11. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur Prioritas; 12. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan ASEAN Economic Community (AEC); 13. Meningkatkan Koordinasi Kebijakan Pengembangan KEK. Adapun strategi yang digunakan untuk mewujudkan pembangunan di bidang perekonomian, adalah sebagai berikut: 1. Mendahulukan penanganan terhadap prioritas kegiatan yang tercantum dalam Nawacita; 2. Mengedepankan kepentingan yang berdampak pada masyarakat luas dalam pengambilan keberpihakan dalam koordinasi dan sinkronisasi; 3. Mengantisipasi potensi deviasi atas realisasi kegiatan yang targetnya telah disepakati antar Kementerian/Lembaga. 3.2
Arah Kebijakan dan Strategi Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Sebagaimana telah ditetapkan dalam arah kebijakan dan strategi Kemenko Perekonomian, maka arah kebijakan dan strategi Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 16
dalam rangka meningkatkan Koordinasi Kebijakan Ketahanan Energi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan dilakukan melalui strategi koordinasi dan pengendalian kebijakan di Bidang Produktivitas Energi, Infrastruktur Energi, Industri Ekstraktif, Tata Kelola Kehutanan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dalam hal : 1. Meningkatkan diversifikasi pemanfaatan energi dan mempertahankan produksi minyak dan gas bumi yang didukung dengan sarana prasarana memadai serta teknologi yang lebih efisien dan ramah lingkungan serta pemerataan dalam pemanfaatan energi meliputi: peningkatan pasokan energi primer, penyediaan infrastruktur energi, pemanfaatan batubara kalori rendah, pengelolaan energi yang lebih efisien, peningkatan bauran energi baru dan terbarukan, dan pengurangan subsidi energi. 2. Mempercepat pembangunan infrastruktur energi, infrastruktur kelistrikan serta, menjamin ketahanan energi untuk mendukung ketahanan nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dan dengan meningkatkan peran kerjasama pemerintah dan swasta. 3. Meningkatkan pengelolaan dan peningkatan nilai tambah sumber daya alam yang berkelanjutan dengan mengoptimalkan nilai tambah dalam pemanfaatan sumber daya mineral dan tambang lainnya, serta meningkatkan produksi dan ragam bauran sumber daya energi. 4. Meningkatkan kualitas tata kelola kehutanan (good forest governance), deregulasi dan debottlenecking peraturan perundang-undangan yang birokratis dan tidak pro investasi serta mendesentralisasikan keputusan kemitraan dalam pengelolaan kawasan hutan pada tingkat tapak, optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan sejak industri hulu hingga industri hilir dengan mengembangkan keterpaduan industri berbasis hasil hutan (forest based cluster industry), dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas industri hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah melalui aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Arah kebijakan kehutanan termasuk mempercepat kepastian status hukum kawasan hutan melalui inventarisasi sumber daya hutan, penyelesaian tata batas kawasan dan tata batas fungsi kawasan hutan dengan melibatkan semua stakeholders, percepatan penyelesaian pemetaan dan penetapan seluruh kawasan hutan, meningkatkan keterbukaan data dan informasi sumber daya hutan, dan mempermudah perizinan dalam melakukan investasi di sektor kehutanan. Berkaitan dengan peningkatan konservasi keanekaragaman hayati yaitu dengan memberikan kewenangan dan keleluasan bagi pengelola kawasan hutan konservasi di tingkat tapak untuk melindungi, meningkatkan kualitas habitat, mengawetkan spesies serta sumber daya genetik dan mendorong terselenggaranya pemanfaatan jasa lingkungan sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan konservasi. 5. Meningkatkan pembangunan secara berkelanjutan, mengembangkan keekonomian keanekaragaman hayati dengan tetap mempertahankan kelestarian sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup, dan penanganan perubahan Iklim. 3.3
Kerangka Regulasi
Dalam rangka Koordinasi Kebijakan Ketahanan Energi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan maka perlu dibangun kerangka regulasi dalam tahun 2015-2019. Kerangka regulasi yang perlu dibangun secara umum merupakan penjabaran/amanat Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden mauapun peraturan lain yang diperlukan dalam operasional/implementasi kebijakan. Berbagai regulasi yang tumpang tindih dari berbagai sektor untuk mengatur hal sama juga perlu diselaraskan sehingga dapat mengurangi waktu dan biaya dalam pengurusannya sehingga dapat meningkatkan daya saing. Selain itu, berbagai kebijakan yang sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika pembangunan maupun kondisi yang sedang berkembang perlu diperbaiki sehingga adaptif terhadap kondisi saat ini dan masa mendatang. Berbagai kerangka
17
regulasi yang terkait dengan pengelolaan energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam lampiran 2. 3.4
Kerangka Kelembagaan
Penguatan ketahanan energi untuk mendukung kedaulatan energi perlu ditata kembali, terutama terkait peran badan usaha baik BUMN/BUMD dan swasta serta Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Kementerian BUMN, BPH Migas, dan Pemerintah Daerah yang menjadi pelaksana kunci dalam peningkatan pasokan energi primer dan infrastrukturnya. Dalam rangka mendorong peningkatan industri pengolahan dan pemurnian di dalam negeri perlu peran dan kerjasama antar kementerian/lembaga. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pengusahaan pertambangan strategis serta penyediaan ketenagalistrikan untuk industri pengolahan dan pemurnian; Sedangkan Kementerian Perindustrian merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pengembangan industri manufaktur yang bersinergi dengan industri berbasis produk tambang strategis; Selanjutnya Kementerian Perdagangan merumuskan arah kebijakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan di bidang perdagangan yang mendukung pengembangan industri pengolahan dan pemurnian. Dalam hal tata kelola kehutanan, diperlukan bentuk konkrit kelembagaan yang dibutuhkan untuk peningkatan daya saing kehutanan melalui pemisahan fungsi regulator dan pelaksana (operator) di tingkat tapak sesuai dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan upaya peningkatan kinerja pengurusan kawasan hutan agar memberikan manfaat kepada negara secara optimal. KPH juga memungkinkan pemerintah daerah memanfaatkan sumber daya hutan seoptimal mungkin melalui Unit Pengelola Teknis Daerah dan atau Badan Layanan Umum Daerah. Dalam rangka pelestarian lingkungan hidup, untuk mendukung pelaksanaan program/kegiatan perubahan iklim, perlu penguatan dan pengembangan Lembaga Wali Amanah ICCTF.
18
BAB IV TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN 4.1
Target Kinerja
Berdasarkan sasaran strategis Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup yang telah ditetapkan, yiatu : terwujudnya koordinasi dan pengendalian kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup serta meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive Industries Transparency initative (EITI), maka target kinerja Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup adalah dilaksanakannya berbagai rekomendasi yang dihasilkan dari koordinasi dan sinkronisasi kebijakan bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; meningkatnya Tata kelola bidang energi, sumber daya alam dan lingkungan hidup; serta selarasnya kebijakan/program kerja lintas sektor/lembaga di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. 4.2
Kerangka Pendanaan
Pendanaan dalam rangka penguatan ketahanan energi dapat bersumber dari APBN, APBD maupun Badan Usaha baik milik pemerintah maupun swasta. Untuk mendukung strategi peningkatan pasokan energi primer, pemerintah dapat membiayai pelaksanaan survei umum, promosi dan penyiapan wilayah kerja baru, dan monitoring dan evaluasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sedangkan pembiayaan swasta meliputi pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi serta pelaksanaan pilot project gas unconventional (shale gas dan CBM). Dalam rangka penyediaan sarana dan prasarana energi, pembiayaan pemerintah mencakup pelaksanaan pra-studi kelayakan, pengadaan lahan, penyiapan dan pelaksanaan tender, pembangunan jaringan prasarana migas, serta monitoring dan evaluasi pembangunan. Di lain pihak, pembiayaan swasta diarahkan pada pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan sarana dan prasarana energi (kilang, FSRU, regasifikasi, SPBG). Pendanaan dalam rangka peningkatan daya saing untuk komoditas mineral dan tambang dapat bersumber dari APBN, APBD, CSR, dan Badan Usaha. Pendanaan dari APBN/APBD dapat membiayai kegiatan-kegiatan antara lain koordinasi dan sinkronisasi lintas sektor, fasilitasi pembangunan industri pengolahan dan pemurnian, penyediaan infrastruktur pendukung seperti listrik, jalan, transportasi laut, serta monitoring dan evaluasi. Sementara, badan usaha baik melalui dana CSR maupun dana investasinya diharapkan dapat mendukung dan atau membangun industri pengolahan dan pemurnian beserta fasilitas pendukungnya. Pendanaan yang bersumber pada APBN menjadi prioritas dalam perbaikan tata kelola untuk pembangunan hutan berkelanjutan. Dukungan APBD diperlukan untuk menjembatani proses yang dilakukan pemerintah pusat sesuai dengan rencana pemerintah daerah, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan kelompok masyarakat juga merupakan salah satu sumber pendanaan untuk meningkatkan kinerja tata kelola kehutanan. Kerangka pendanaan untuk Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup ini bersumber dari pendanaan pemerintah pusat (APBN) dan daerah (APBD), baik yang bersumber dari dana Rupiah Murni maupun pendanaan hibah internasional (bilateral dan multilateral), serta sumbangan masyarakat dan dunia usaha. Sumber pendanaan untuk Peningkatan Konservasi dan Keanekaragaman Hayati diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, untuk mengatasi keterbatasan 19
pendanaan, maka dirasakan perlu untuk mendapatkan pendanaan dari sumber lainnya seperti hibah luar negeri, lembaga swadaya masyarakat dan kerjasama dengan mitra internasional. Dalam rangka menampung dan mengkoordinasikan dana-dana yang berasal dari non-APBN tersebut, maka akan dibentuk trust fund di bidang konservasi kehutanan yang akan dikelola oleh Pemerintah. Dengan adanya mekanisme pendanaan ini maka diharapkan upaya konservasi dapat dikelola secara baik dan terintegrasi, baik yang berasal dari lembaga internasional maupun dalam negeri serta menyalurkan secara bijak kepada pengelola kawasan konservasi. Kerangka pendanaan untuk penanganan perubahan iklim bersumber dari pendanaan pemerintah pusat (APBN) dan daerah (APBD), serta sumber-sumber dana lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang tidak mengikat. Untuk penanganan perubahan iklim, pengembangan Dana Perwalian melalui Indonesia Climate Change Trust Fund dan dana-dana internasional lainnya perlu terus ditingkatkan pemanfaatannya.
20
BAB V PENUTUP Rencana Strategis Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Tahun 2015 - 2019 merupakan dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun, dengan berpedoman pada Rencana Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Tahun 2015 2019 serta selaras dengan Rencana Pembangungan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015 - 2019. Dalam mewujudkan visi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yaitu Terwujudnya Koordinasi, Sinkronisasi, dan Pengendalian Pembangunan Ekonomi Yang Efektif dan Berkelanjutan dan misi Menjaga dan Memperbaiki Koordinasi dan Sinkronisasi Penyusunan Kebijakan, serta Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan Perekonomian, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu meningkatnya efektivitas koordinasi penyusunan kebijakan dan terlaksananya implementasi kebijakan di bidang pengelolaan energi, sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sasaran strategis yang hendak dicapai Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup adalah: (1) terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; (2) terwujudnya Pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup; (3) meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). Dokumen Renstra Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 2015 - 2019 ini menjadi pedoman dalam penyusunan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan di unit kerja Deputi Bidang Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Pelaksanaan program maupun kegiatan yang tercantum dalam renstra ini diharapkan dapat mendukung keberhasilan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam mewujudkan koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian pembangunan nasional yang efektif dan berkelanjutan demi tercapainya percepatan pembangunan nasional yang mandiri di bidang ekonomi.
21
Lampiran 1 Matriks Kinerja dan Pendanaan Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Energi Dan Lingkungan Hidup Kegiatan Sasaran Program (Outcome) 1: Terwujudnya Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indikator Persentase rancangan peraturan perundangundangan di bidang pengelolaan energi, sumber daya alam, dan lingkungan hidup yang diselesaikan Sasaran Program (Outcome) 2: Terwujudnya Pengendalian Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Indikator Persentase Kebijakan Bidang Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup yang terimplementasi Sasaran Program (Outcome) 3: Meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indikator Persentase pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru EITI Koordinasi Kebijakan Produktivitas Energi Sasaran kegiatan (output) 1 Terwujudnya koordinasi kebijakan bidang Produktivitas Energi Indikator Persentase rekomendasi kebijakan dibidang produktivitas energi yang terimplementasi Sasaran kegiatan (output) 2 Terwujudnya pengendalian kebijakan bidang Produktivitas Energi Indikator Persentase rekomendasi pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Produktivitas Energi
2015
2016
Target 2017
2018
2019
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
90
90
90
90
90
2015
2500
75
100
100
100
100
75
100
100
100
100
Alokasi Anggaran (juta rupiah) 2016 2017 2018 2019
3600
3780
3970
4170
Asdep
Asdep I
22
Sasaran kegiatan (output) 3 Terwujudnya Layanan Dukungan Administrasi Kegiatan dan Tata kelola pada Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Indikator Jumlah Layanan Dukungan Administrasi Kegiatan dan Tata Kelola pada Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Koordinasi Kebijakan Infrastruktur Energi Sasaran kegiatan (output) 1 Terwujudnya koordinasi kebijakan bidang Infrastruktur Energi Indikator Persentase rekomendasi kebijakan dibidang Infrastruktur Energi yang terimplementasi Sasaran kegiatan (output) 2 Terwujudnya pengendalian kebijakan bidang Infrastruktur Energi Indikator Persentase rekomendasi pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Infrastruktur Energi Koordinasi Kebijakan Industri Ekstraktif Sasaran kegiatan (output) 1 Terwujudnya koordinasi kebijakan bidang Industri Ekstraktif Indikator Persentase rekomendasi kebijakan dibidang Industri Ekstraktif yang terimplementasi Sasaran kegiatan (output) 2 Terwujudnya pengendalian kebijakan bidang Industri Ekstraktif Indikator Persentase rekomendasi pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Industri Ekstraktif Sasaran kegiatan (output) 3 Meningkatnya pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru EITI Indikator Persentase pemahaman pemangku kepentingan terhadap kebijakan baru EITI
Koordinasi Kebijakan Tata
12
12
12
12
12
75
100
100
100
100
75
100
100
100
100
75
100
100
100
100
75
100
100
100
100
75
90
90
90
90
3000
2300
2420
2530
2670
Asdep II
2500
9000
9450
9920
10410
Asdep III
2200
2300
2420
2530
2670
Asdep
23
Kelola Kehutanan Sasaran kegiatan (output) 1 Terwujudnya koordinasi kebijakan bidang Tata Kelola Kehutanan Indikator Persentase rekomendasi kebijakan dibidang Tata Kelola Kehutanan yang terimplementasi Sasaran kegiatan (output) 2 Terwujudnya pengendalian kebijakan bidang Tata Kelola Kehutanan Indikator Persentase rekomendasi pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Infrastruktur Energi Koordinasi Kebijakan Pelestarian Lingkungan Hidup Sasaran kegiatan (output) 1 Terwujudnya koordinasi kebijakan bidang Pelestarian Lingkungan Hidup Indikator Persentase rekomendasi kebijakan dibidang Pelestarian Lingkungan Hidup yang terimplementasi Sasaran kegiatan (output) 2 Terwujudnya pengendalian kebijakan bidang Pelestarian Lingkungan Hidup Indikator Persentase rekomendasi pengendalian pelaksanaan kebijakan di bidang Infrastruktur Energi
IV
85
100
100
100
100
85
100
100
100
100
75
80
80
80
80
75
100
100
100
100
2000
2200
2340
2580
2709
14.215
21.416
22.427
23.548
24.648
Asdep V
24
Lampiran 2 Matriks Kerangka Regulasi Deputi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Arah Kerangka Regulasi dan atau Kebutuhan Regulasi - RPP tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung. - RPP tentang Pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung. - RPP tentang Bonus Produksi Pengusahaan Panas Bumi. - RPP tentang Bahan Bakar Nabati - RPP tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan - Raperpres untuk mengatur tata cara penetapan dan penanggulangan kondisi krisis dan darurat energi serta pengawasan kebijakan yang bersifat lintas sektoral Revisi Perpres No.26 tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh dari Industri Ekstraktif
Revisi UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
RPerpres yang mengatur tentang pembangunan kilang atau infrastruktur hilir minyak
Urgensi Pembentukan Berdasarkan Evaluasi Regulasi Eksisting, Kajian dan Penelitian
Unit Penanggung Jawab
Unit Terkait/Institusi
Target Penyelesaian
Peraturan turunan dari UU No. 21/2014 tentang Panas Bumi dalam rangka meningkatkan bauran energi yang bersumber dari energi baru dan terbarukan.
- Asdep Produktivitas Energi - Asdep Infrastruktur Energi
- Kementerian ESDM - Kementerian Keuangan
2015-2019
Penjabaran UU No. 30/2007 tentang Energi
- Asdep Produktivitas Energi - Asdep Infrastruktur Energi
- Kementerian ESDM - Kementerian Keuangan
2015-2019
Penjabaran UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bahwa pemanfaatan sumberdaya ekstraktif harus dilakukan sesuai dengan prinsip : tata kelola yang baik, pembangunan berkelanjutan serta peningkatan daya saing iklim investasi di bidang industri ekstraktif. Menindaklanjuti Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 002/PUUI/2003 dan No. 36/PUU-X/2012 atas uji materi UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta perbaikan tata kelola minyak dan gas bumi ke arah yang lebih baik. Untuk mendorong pembangunan infrastruktur di bidang minyak dan gas bumi yang dibiayai melalui
Asdep Industri Esktraktif
- Kementerian ESDM - Kementerian Keuangan - Kementerian Dalam Negeri - BPKP
2015-2019
Asdep Industri Esktraktif
- Kementerian ESDM - Kementerian Keuangan
2015-2019
- Asdep Produktivitas Energi - Asdep
- Kementerian ESDM - Kementerian Keuangan
2015-2019
25
dan gas bumi
Inpres Percepatan Pembangunan Kawasan Industri di Timika, Papua
Penyusunan RPP tentang Penebangan Kayu di Luar Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung untuk Keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersil, serta tata cara penerapan sanksi administratif. Peraturan Presiden mengenai pengelolaan KPH melalui pola Public Private Partnership
Revisi PP No. 35/2002 tentang Dana Reboisasi
Revisi Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Wewenang PusatDaerah Bidang Kehutanan
-
-
-
Revisi PP No. 10/2010 tentang Tata cara Perubahan Fungsi dan Peruntukan Kawasan Hutan Revisi PP NO. 24/2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
RPP tentang Kebakaran Hutan dan Pembentukan Badan Restorasi Gambut
Revisi PP No. 28/2011
APBN/APBD, BadanUsaha, dan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha. Amanat UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba yang melarang ekspor mineral dalam bentuk bahan mentah sehingga diperlukan fasilitas pengolahan yang terintegrasi dengan pengembangan industri dan pengembangan kawasan. Sebagai tindak lanjut UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)
Infrastruktur Energi
Asdep Industri Esktraktif
- Kementerian ESDM - Kementerian LHK - Kementerian Dalam Negeri - BKPM
2015-2019
Asdep Tata Kelola Kehutanan
- Kementerian LHK - Kementerian Dalam Negeri
2015-2019
Produksi hasil hutan kayu melalui KPHP diharapkan meningkat dengan dukungan regulasi yang terkait dengan pengaturan kerja sama pemerintah dan swasta. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan PNBP dari dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan sektor kehutanan oleh daerah. Untuk meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan dalam rangka pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian lingkungan Tindak lanjut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan dalam rangka pembenahan peraturan penggunaan kawasan hutan
Asdep Tata Kelola Kehutanan
- Kementerian LHK - Kementerian Keuangan -
2015-2019
Asdep Tata Kelola Kehutanan
- Kementerian LHK - Kementerian Keuangan - Kementerian LHK - Kementerian Dalam Negeri - Kementerian Keuangan -
2015-2019
2015-2019
Tindak lanjut PP 71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Asdep Tata Kelola Kehutanan
Sinkronisasi antara
Asdep Tata Kelola
- Kementerian LHK - Kementerian ESDM - Kementerian Dalam Negeri - Kementerian Agraria dan Tata Ruang - Kementerian LHK - Kementerian Dalam Negeri - Kementerian Pertanian - Kementerian PUPR - Kementerian Agraria dan Tata Ruang - Kementerian
Asdep Tata Kelola Kehutanan
Asdep Tata Kelola Kehutanan
2015-2019
2015-2019
2015-2019
26
Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Percepatan penyelesaian dan pengesahan Rancangan Undang-undang mengenai Pengelolaan Sumber Daya Genetik. -
-
-
RPP Pengelolaan Sampah Spesifik RPP Pengelolaan B3 (Revisi PP No.74/2001 tentang Pengelolaan B3) RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Terumbu Karang, dan Padang Lamun RPP Pengendalian Dampak Perubahan Iklim RPP Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa LH RPP Pengawasan dan Sanksi Administrasi RPP Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup RPP Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis RPP Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
peraturan mengenai kehutanan dan minerba dalam pemanfaatan panas bumi di kawasan konservasi. Tindak lanjut dan upaya koordinasi penerapan ratifikasi Protokol Nagoya (2010) dan Convention on Biological Diversity (CBD) di Indonesia.
Kehutanan
LHK - Kementerian ESDM
Asdep Pelestarian Lingkungan Hidup
- Kementerian LHK - LIPI - Kementerian Hukum dan HAM
2015-2019
Peraturan operasional turunan dari UU No.32/2009 tentang Lingkungan Hidup dalam mendukung upaya peningkatan kualitas lingkungan hidup, pengembangan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan dan pelestarian dan pemanfaatan keekonomian keanekaragaman hayati (KEHATI)
Asdep Pelestarian Lingkungan Hidup
- Kementerian LHK - LIPI - Kementerian ESDM - Badan Informasi Geospasial - BMKG - Kementerian Hukum dan HAM - Kementerian Perindustrian - Kementerian Kelautan dan Perikanan - Kementerian Keuangan
2015-2019
27