PROFIL ANAK PROVINSI BANTEN TAHUN 2014 (DATA TERPILAH GENDER)
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI BANTEN
PROFIL ANAK PROVINSI BANTEN TAHUN 2014
ISBN
: 978-602-0932-44-6
No Publikasi
: 36000.1562
Katalog BPS
: 4103013.36
Ukuran Buku
: 18,2 cm x 25,7 cm
Jumlah Halaman
: xiv+112 halaman
Naskah : Bidang Statistik Sosial
Gambar Kulit : Bidang Statistik Sosial
Diterbitkan Oleh : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten
Dicetak Oleh : CV. Dharmaputra
“Dilarang mengumumkan, mendistribusikan, mengomunikasikan, dan/atau menggandakan sebagian atau seluruh isi buku ini untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari Badan Pusat Statistik”
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2035, pada tahun 2014 penduduk Banten tercatat sebesar 11,7 juta jiwa dan lebih dari sepertiganya (34,22 persen) adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Besarnya proporsi jumlah anak memerlukan perhatian khusus semua pihak karena keberlanjutan suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas anak yang dihasilkan. Pemenuhan hak-hak anak menjadi suatu hal yang mutlak agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga menghasilkan generasi penerus yang berkualitas. Untuk mengetahui sejauh mana pemenuhan hak-hak anak di Provinsi Banten, BPS Provinsi Banten menyusun publikasi “Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014 (Data Terpilah Gender)”. Pada publikasi ini disajikan pemenuhan hak-hak anak berdasarkan 5 kluster Hak-hak anak yang ditetapkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) Tahun 1989. Data yang disajikan berupa indikator-indikator dalam bentuk tabel dan grafik. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian publikasi ini, disampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga bermanfaat.
Serang, Desember 2015 Kepala,
Dr. Syech Suhaimi
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
iii
DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul
i
Katalog
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
v
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR TABEL
xi
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Sumber Data 1.4 Sistematika Penyajian BAB II STRUKTUR PENDUDUK USIA 0-17 TAHUN 2.1 Jumlah dan Perubahan Penduduk Usia 0-17 Tahun 2.2 Persebaran Penduduk Usia 0-17 Tahun 2.3 Struktur Umur dan Komposisi Umur BAB III HAK SIPIL DAN KEBEBASAN 3.1 Kepemilikan Akte Kelahiran 3.2 Akses Terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) BAB IV LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF 4.1 Anak dan Keluarga yang Tinggal Bersama 4.2 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 4.3 Perkawinan Anak Usia Dini BAB V KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN 5.1 Penolong Kelahiran 5.2 Air Susu Ibu (ASI) 5.3 Imunisasi 5.4 Keluhan Kesehatan 5.5 Fasilitas Pelayanan Kesehatan 5.6 Tingkat Kunjungan BAB VI PENDIDIKAN 6.1 Partisipasi Sekolah Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
1 4 4 4 7 7 8 9 15 15 22 27 27 29 33 39 40 42 49 53 56 58 61 61 v
6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) 6.2.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) 6.2.2 Angka Partisipasi Murni (APM) 6.2.3 Angka Partisipasi Kasar (APK) 6.3 Angka Putus Sekolah 6.4 Alasan Tidak Sekolah 6.5 Angka Buta Huruf 6.6 Sarana Ke sekolah BAB VII PERLINDUNGAN KHUSUS
66 68 70 72 77 80 83 87
7.1 Anak Bermasalah Hukum 7.1.1 Anak Pelaku Tindak pidana 7.1.2 Anak Korban Tindak pidana 7.2 Anak Terlantar 7.3 Anak Jalanan 7.4 Anak dengan Kesulitan Fungsional 7.4.1 Kesulitan Melihat 7.4.2 Kesulitan Mendengar 7.4.3 Kesulitan Berjalan/Naik Tangga 7.4.4 Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi 7.4.5 Kesulitan Mengurus Diri Sendiri 7.5 Anak 10-17 Tahun yang Bekerja 7.5.1 Komposisi Kegiatan Anak Usia 10-17 ahun 7.5.2 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Anak 10-17 Tahun 7.5.3 Karakteristisk Anak Bekerja 7.5.4 Anak Usia 10- 17 Tahun yang Bekerja Menurut Jam Kerja pada Pekerjaan Utama
vi
65
88 90 94 98 99 101 103 103 104 105 106 107 107 108 110 111
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 3.1
Persentase Balita Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
17
Gambar 3.2
Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Memiliki Akte Kelahiran Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
19
Gambar 3.3
Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan di Provinsi Banten, 2014
20
Gambar 3.4
Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan dan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
21
Gambar 4.1
Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
28
Gambar 4.2
Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
29
Gambar 4.3
Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Kawin dan Pernah Kawin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
35
Gambar 4.4
Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan di Provinsi Banten, 2014
37
Gambar 4.5
Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Pernah Kawin Menurut Umur Kawin Pertama di Provinsi Banten, 2014
38
Gambar 5.1
Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
41
Gambar 5.2 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Kabupaten Kota di Provinsi Banten, 2014
42
Gambar 5.3 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
44
Gambar 5.4
Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
45
Gambar 5.5
Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) bagi Balita Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
46
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
vii
Gambar 5.6
Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan ASI dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
47
Gambar 5.7
Persentase Balita Berumur 2-4 Tahun yang Memiliki Riwayat Mendapat ASI Ekslusif (6 Bulan) Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
48
Gambar 5.8
Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
49
Gambar 5.9
Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Imunisasi dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
50
Gambar 5.10 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
51
Gambar 5.11 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Kabupaten Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
52
Gambar 5.12 Persentase Anak yang Sakit Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
53
Gambar 5.13 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Keluhan Terbesar dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
54
Gambar 5.14 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Mengobati Sendiri Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
55
Gambar 5.15 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
56
Gambar 5.16 Persentase Anak yang Berobat Jalan ke Fasilitas Medis Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
58
Gambar 5.17 Tingkat Kunjungan Anak ke Fasilitas Kesehatan di Provinsi Banten, 2014
59
Gambar 6.1
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2014
65
Gambar 6.2
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
67
viii
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Gambar 6.3
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
68
Gambar 6.4
Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
69
Gambar 6.5
Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
70
Gambar 6.6
Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
71
Gambar 6.7
Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
72
Gambar 7.1
Jumlah Persidangan Kasus Tindak Pidana dengan Terdakwa Anak di Provinsi Banten Periode Januari-Desember 2014
91
Gambar 7.2
Persentase Korban Kejahatan di Provinsi Banten Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin Selama Tahun 2014
95
Gambar 7.3
Persentase Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Provinsi Banten Periode Januari-Desember 2014
98
Gambar 7.4
Jumlah Anak Jalanan Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2011-2014
100
Gambar 7.5
Jumlah Anak Jalanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014
101
Gambar 7.6
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Anak Umur 10-17 Tahun menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
107
Gambar 7.7
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Anak Umur 10-17 Tahun menurut Kelompok umur di Provinsi Banten, 2014
108
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
ix
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1
Penduduk Provinsi Banten, Penduduk Usia 0-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Persentase Penduduk Usia Anak, 2010-2014
8
Tabel 2.2
Jumlah Total Penduduk Provinsi Banten, Jumlah Penduduk Usia 0-17 Tahun, Persentase terhadap Total dan Persentase terhadap Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota, 2014
9
Tabel 2.3
Penduduk Provinsi Banten Menurut Kelompok Umur dan Kabupaten/Kota, 2014
10
Tabel 2.4
Penduduk Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota dan Rasio Jenis Kelamin, 2014
11
Tabel 2.5
Struktur Umur dan Angka Ketergantungan Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota, 2014
12
Tabel 3.1
Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
24
Tabel 3.2
Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Partisipasi Sekolah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
25
Tabel 4.1
Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2014
31
Tabel 4.2
Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD di Provinsi Banten, 2014
33
Tabel 4.3
Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014
36
Tabel 5.1
Persentase Anak yang Berobat Jalan Menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
57
Tabel 6.1
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2014
63
Tabel 6.2
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2014
64
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
xi
Tabel 6.3
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Pernah/Sedang Sekolah Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
74
Tabel 6.4
Angka Putus Sekolah Penduduk Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Sekolah di Provinsi Banten, 2014
75
Tabel 6.5
Angka Putus Sekolah Penduduk Berumur 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2014
76
Tabel 6.6
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi Menurut Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
79
Tabel 6.7.
Angka Buta Huruf Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Usia Sekolah di Provinsi Banten, 2014
82
Tabel 6.8
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Masih Sekolah Menurut Sarana Angkutan ke Sekolah, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
84
Tabel 6.9
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun ke Atas yang Masih Sekolah Menurut Sarana Angkutan ke Sekolah dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2014
85
Tabel 7.1
Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2014
92
Tabel 7.2
Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2014
94
Tabel 7.3
Jumlah Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Jenis dan Tingkat Kesulitan di Provinsi Banten, 2010
102
Tabel 7.4
Persentase Anak usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Melihat di Provinsi Banten, 2010
103
Tabel 7.5
Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mendengar di Provinsi Banten, 2010
104
Tabel 7.6
Persentase Anak usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Berjalan/Naik Tangga di Provinsi Banten, 2010
105
xii
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Tabel 7.7
Persentase Anak usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi di Provinsi Banten, 2010
105
Tabel 7.8
Persentase Anak usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengurus Diri Sendiri di Provinsi Banten, 2010
106
Tabel 7.9
Anak Umur 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin, dan Jenis Kegiatan Utama Seminggu yang Lalu di Provinsi Banten, 2014
108
Tabel 7.10
Persentase Anak yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Status Pekerjaan Utama di Provinsi Banten, 2014
111
Tabel 7.11
Persentase Anak yang Bekerja Menurut Jam Kerja, Partisipasi Sekolah dan Status Pekerjaan di Provinsi Banten, 2014
112
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
xiii
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin langsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diundangkanlah UU nomor 23 tahun 2002 tetang Perlindungan Anak. Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam undang-undang tesebut dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan
diskriminasi.
Disampaing
itu,
dijelaskan
pula
bahwa
penyelenggaraan perlindungan anak adalah orang tua, keluarga, pemerintah dan negara. Pada tahun 2014, berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk Indonesia 20102035, jumlah anak di Indonesia sekitar 82,8 juta jiwa atau sekitar 32,85 persen dari total penduduk Indonesia. Di Banten, jumlah sekitar 4 juta jiwa (34,22 persen). Dengan kata lain sekitar 4,83 persen anak di Indonesia tinggal di Provinsi Banten. Berdasarkan berita tentang kasus perlindungan anak, memberikan gambaran bahwa pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan perlindungan anak belum berperan secara maksimal. Kasus-kasus penelantaran anak, anakanak yang kekurangan gizi, tindak kekerasan terhadap anak, eksploitasi anak dan lain sebagainya merupakan kasus-kasus tidak terlaksanakannya perlindungan anak secara maksimal.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
1
Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak. Dapat dikatakan bahwa inventasi terhadap anak di masa kini merupakan investasi besar untuk bangsa di masa datang. Dalam publikasi ini akan diuraikan tentang kondisi anak terpilah gender berdasarkan 5 kluster perlindungan anak yang mengacu pada Konvensi Hak-hak Anak 1989. Lima kluster tersebut adalah hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, dan perlindungan khusus. Dalam hak sipil dan kebebasan, masalah yang dikedepankan akan kepemilikan akte kelahiran bagi anak khususnya anak di bawah usia 5 tahun (balita). Berdasarkan data Susenas 2013, persentase balita yang mempunyai akte kelahiran baru mencapai 66 persen. Masih tersisa 34 persen anak yang belum memiliki akte kelahiran. Akte kelahiran adalah sesuatu hal yang mutlak diperlukan sebagai
pengakuan
dari
Pemerintah.
Tidak
dimilikinya
akta
kelahiran
menyebabkan ketidakjelasan identitas anak, yang akan membawa sejumlah implikasi seperti diskriminasi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi korban perdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban kejahatan seksual, dan lain-lain. Dari aspek pendidikan, berdasarkan Susenas 2013, cukup banyak anak usia 5-17 yang mengenyam pendidikan atau sekitar 82,5 persen anak masih bersekolah. Pada kelompok usia yang sama, persentase anak yang belum pernah bersekolah sekitar 12,1 persen dan yang tidak bersekolah lagi sekitar 5,4 persen. Penyebab utama tidak terpenuhi hak anak dari aspek pendidikan adalah masalah ekonomi, yaitu ketidakmampuan orang tua/wali anak untuk memberikan pendidikan. Dampak dari tidak terpenuhinya hak anak dari aspek pendidikan yaitu semakin banyak anak yang harus bekerja. Jumlah anak usia 10-17 tahun yang bekerja berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2013 adalah sebesar 68,1 ribu anak. Sebagian besar dari mereka bekerja 2
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
di sektor perdagangan dengan status sebagai buruh ataupun pekerja tidak dibayar. Keadaan ini merupakan salah satu gambaran terjadinya eksploitasi terhadap anak. Hak anak lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah hak untuk mendapat kesehatan yang baik. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar dapat mewujudkan anak yang berkualitas. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa angka kematian bayi (AKB) di Provinsi Banten adalah 32 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut jauh dari target MDGs (23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) yang ingin dicapai pada tahun 2015. Sementara pada tahun yang sama, Angka Kematian Balita adalah sebesar 38 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 32 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup. Indikator lainnya adalah status gizi anak, dimana berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi Balita Kurang Gizi (BKG) pada tahun 2012 di Provinsi Banten adalah sebesar 17,2 persen yang terdiri dari 4,3 persen gizi buruk dan 12,9 persen gizi kurang. Pada tahun 2013, terdapat 23 laporan kasus kekerasan terhadap anak yang masuk ke Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Banten. Kasus kekerasan terhadap anak adalah fenomena gunung es dimana kasus-kasus yang tidak dilaporkan jauh lebih besar dibandingkan dengan kasus-kasus yang dilaporkan. Oleh karena itu perlu diwaspadai tentang kasus kekerasan terhadap anak ini. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka diperlukan adanya data profil anak sebagai gambaran keadaan anak-anak di Provinsi Banten secara menyeluruh diberbagai bidang. Oleh karena itu Badan Pusat Statistik Provinsi Banten melakukan suatu kajian analisis deskriptif mengenai situasi dan kondisi anak-anak di Banten. Penyusunan profil dalam jangka pendek menjadi sangat penting untuk disusun dan dikembangkan sebagai basis data dan masukan dalam upaya pemenuhan hak-hak anak.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
3
1.2 Tujuan Publikasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi anak-anak Indonesia yang diamati dari aspek lingkungan keluarga, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan anak baik terhadap masalah sosial, hukum, kekerasan, anak bekerja dan anak cacat. 1.3 Sumber Data Publikasi ini menggunakan berbagai macam sumber data yaitu:
a. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2014 b. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2014 c. Sensus Penduduk 2010 dan Proyeksi Penduduk d. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 e. Lembaga Pemasyarakatan Republik Indonesia f. Bareskrim, Mabes Polri 1.4 Sistematika Penyajian Secara sistematis publikasi ini disajikan dalam tujuh bab. Pemilihan bab dalam penyusunan Profil Anak disesuaikan dengan lima kluster hak anak pada Konvensi Hak Anak (KHA) yakni: hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, dan perlindungan khusus. Pengelompokan tentang isi KHA ke dalam lima kluster oleh Komisi Hak Anak PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta mempermudah dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Dalam setiap kluster telah ditentukan indikator rinci, meskipun demikian karena keterbatasan data, tidak semua indikator tersebut disajikan dalam publikasi ini. Bab pertama menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang penyusunan publikasi, tujuan, sumber data serta sistematika publikasi. Bab ke-dua menyajikan 4
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
tentang Struktur Penduduk 0-17 tahun. Bab ke-tiga menyajikan tentang Hak Sipil dan Kebebasan. Bab ke-empat tentang Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, bab ke-lima Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Bab ke-enam Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni budaya, sedangkan bab ke-tujuh Perlindungan Khusus yang berisi tentang anak bermasalah hukum, anak bermasalah sosial, anak bekerja dan anak cacat.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
5
STRUKTUR PENDUDUK USIA 0-17 TAHUN
2
Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal (1) Ayat (1) adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Anak pada masa kini merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya diperlukan untuk membentuk anak tumbuh menjadi manusia berkualitas. Kebutuhan anak yang tidak terpenuhi dengan baik dikhawatirkan akan menyebabkan turunnya kualitas hidup anak atau timbulnya berbagai masalah sosial pada diri anak. Untuk menunjang perencanaan pembangunan khususnya anak usia 0-17 tahun diperlukan data dan informasi kependudukan yang mencakup jumlah dan pertumbuhan penduduk usia 017 tahun, komposisi penduduk usia 0-17 tahun, dan karakteristik lainnya. 2.1 Jumlah dan Perubahan Penduduk Usia 0-17 Tahun Jumlah penduduk pada waktu tertentu dipengaruhi oleh perubahan komponen penduduk waktu sebelumnya. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan detik dan terus berlangsung. Jumlah penduduk pada waktu tertentu diperlukan sebagai pedoman dalam berbagai macam kebijakan pembangunan. Jumlah penduduk Provinsi Banten setiap tahun terus meningkat sekitar 2223 persen. Namun demikian, jumlah anak terhadap total penduduk terus mengalami penurunan. Pada tahun 2014 tercatat jumlah anak sebanyak 4.005.137 jiwa atau sebesar 34,22 persen dari seluruh penduduk Provinsi Banten.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
7
Tabel 2.1 Penduduk Provinsi Banten, Penduduk Usia 0-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin dan Persentase Penduduk Usia Anak, 2010 - 2014 Penduduk
Penduduk Usia 0-17 Tahun
Tahun Laki-laki Perempuan
Total
Persentase Penduduk Usia 0-17 terhadap Seluruh Penduduk
Laki-laki
Perempuan
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
2010
5.458.452
5.230.148
10.688.600
1.961.620
1.858.432
3.820.052
35,74
2011
5.587.470
5.356.312
10.943.782
1.985.395
1.881.876
3.867.271
35,34
2012
5.716.156
5.482.440
11.198.596
2.009.070
1.905.463
3.914.533
34,96
2013
5.844.195
5.608.296
11.452.491
2.032.324
1.928.868
3.961.192
34,59
2014
5.971.296
5.733.581
11.704.877
2.053.666
1.951.471
4.005.137
34,22
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035
2.2 Persebaran Penduduk Usia 0-17 Tahun Dari Tabel 2.2 dapat dilihat bahwa sekitar 28 persen anak tinggal di Kabupaten Tangerang, hal ini sejalan dengan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang yang menempati urutan pertama jumlah penduduk terbesar di Provinsi Banten. Namun jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk di masing-masing Kabupaten Kota, Kabupaten Lebak memiliki persentase jumlah anak paling tinggi dibanding Kabupaten/Kota lain, yaitu sebesar 37,65 persen.
8
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Tabel 2.2 Jumlah Total Penduduk Provinsi Banten, Jumlah Penduduk Usia 0-17 Tahun, Persentase terhadap Total dan Persentase terhadap Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota, 2014 Persentase Persentase Usia 0-17 Usia 0-17 terhadap terhadap Penduduk Usia Jumlah Total 0-17 Provinsi Banten
Kabupaten/Kota
Jumlah Total
Jumlah Penduduk Usia 0-17
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Kab. Pandeglang
1.188.405
435.382
36,64
10,87
Kab. Lebak
1.259.305
474.111
37,65
11,84
Kab. Tangerang
3.264.776
1.125.391
34,47
28,10
Kab. Serang
1.463.094
535.170
36,58
13,36
Kota Tangerang
1.999.894
607.856
30,39
15,18
Kota Cilegon
405.303
137.801
34,00
3,44
Kota Serang
631.101
234.216
37,11
5,85
Kota Tangsel
1.492.999
455.210
30,49
11,37
Provinsi Banten
11.704.877
4.005.137
34,22
100,00
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035
2.3 Struktur Umur dan Komposisi Umur Perubahan
komponen
penduduk
akan
mempengaruhi
komposisi
penduduk. Komponen penduduk biasanya dilihat dari struktur umur dan rasio jenis kelamin. Penduduk menurut kelompok umur sangat diperlukan oleh pemerintah dan dunia usaha sebab kebutuhan penduduk terhadap suatu pelayanan atau produk tertentu sangat bervariasi menurut umur. Pemenuhan kebutuhan dasar untuk anak-anak di bidang pendidikan dasar, kesehatan, prasarana lingkungan dasar, dan sebagainya merupakan kewajiban bagi pemerintah. Usia bayi maupun balita merupakan masa-masa kritis dimana mereka masih sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit sehingga membutuhkan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
9
layanan kesehatan yang baik. Pada tahun 2014, di Provinsi Banten terdapat sebanyak 1,22 juta penduduk berusia balita. Hampir sepertiga penduduk usia anak berada pada kelompok usia balita. Di bidang kesehatan, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas kesehatan anak dengan layanan imunisasi, pemberian vitamin dan makanan tambahan. Peran serta orang tua untuk akses kepada pelayanan kesehatan mutlak diperlukan guna mengurangi angka kesakitan dan angka kematian pada bayi, balita dan anak. Tabel 2.3 Penduduk Provinsi Banten Kabupaten/Kota, 2014
Menurut
Kelompok
Umur
dan
Kelompok Umur Kabupaten/Kota
0-4
5-6
7-12
13-15
16-17
Jumlah Usia 0-17
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Kab. Pandeglang
123.211
38.193
173.588
63.253
37.137
435.382
Kab. Lebak
135.547
54.729
157.038
78.871
47.926
474.111
Kab. Tangerang
349.167
132.244
340.758
176.890
126.332
1.125.391
Kab. Serang
152.823
61.629
175.003
89.337
56.378
535.170
Kota Tangerang
204.524
74.494
176.012
87.482
65.344
607.856
Kota Cilegon
43.105
16.076
42.137
21.658
14.825
137.801
Kota Serang
69.995
27.405
73.614
37.731
25.471
234.216
Kota Tangsel
144.063
55.592
136.846
68.517
50.192
455.210
1.222.435
460.362
1.274.996
623.739
423.605
4.005.137
Provinsi Banten
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035
Pemenuhan kebutuhan pendidikan anak juga tidak kalah penting. Pendidikan merupakan sarana untuk membentuk generasi bangsa yang berkualitas. Disamping pendidikan keluarga yang telah diberikan oleh orang tua, pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah mutlak diperlukan. Dari 11,70 juta orang penduduk Provinsi Banten tercatat sebanyak 1,27 juta orang berada pada kelompok usia pendidikan dasar yaitu 7-12 tahun, sebanyak 1,05 juta orang berada pada kelompok pendidikan usia menengah (13-17 tahun), 10
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
dan sebanyak 1,68 juta orang berada pada kelompok usia pendidikan pra sekolah (0-6 tahun). Dengan melihat besarnya jumlah penduduk muda yang memerlukan pendidikan ini, pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban untuk menyediakan akses pendidikan yang adil dan merata dan perluasan kesempatan belajar bagi seluruh anak usia sekolah sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Komposisi penduduk juga dapat dilihat menurut rasio jenis kelamin. Rasio jenis kelamin adalah perbandingan antara penduduk laki-laki dengan penduduk perempuan. Informasi tentang rasio jenis kelamin penting untuk perencanaan kebutuhan pelayanan berdasarkan gender mengingat kebutuhan untuk penduduk laki-laki berbeda dengan penduduk perempuan. Tabel 2.4 Penduduk Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota dan Rasio Jenis Kelamin, 2014 Jumlah Total
Jumlah Usia 0-17
Kabupaten/Kota
Rasio Jenis Kelamin Jumlah Jumlah Total Usia 0-17
L
P
L
P
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Kab. Pandeglang
607.304
581.101
224.784
210.598
104,51
106,74
Kab. Lebak
645.703
613.602
246.359
227.752
105,23
108,17
575.615
549.776
104,90
104,70
(1)
Kab. Tangerang Kab. Serang
1.671.390 1.593.386 742.298
720.796
276.124
259.046
102,98
106,59
1.021.298
978.596
308.972
298.884
104,36
103,38
Kota Cilegon
207.002
198.301
70.489
67.312
104,39
104,72
Kota Serang
323.701
307.400
120.043
114.173
105,30
105,14
Kota Tangsel
752.600
740.399
231.280
223.930
101,65
103,28
104,15
105,24
Kota Tangerang
Provinsi Banten
5.971.296 5.733.581 2.053.666 1.951.471
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035
Pada Tabel 2.4 dapat dilihat bahwa rasio jenis kelamin penduduk Provinsi Banten tahun 2014 sebesar 104,15. Sementara itu, rasio jenis kelamin penduduk Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
11
kelompok umur 0-17 tahun sebesar 105,24 yang artinya pada tahun 2014 penduduk berumur 0-17 tahun lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dari pada yang
perempuan. Meskipun penduduk laki-laki lebih banyak dari pada
perempuan, hal ini tidak mempengaruhi pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan gender bidang pendidikan dan kesehatan. Dari struktur umur dapat dilihat pula dependensi rasio. Dependensi rasio atau angka beban tanggungan merupakan jumlah penduduk yang tidak produktif per seratus penduduk yang produktif. Penduduk yang tidak produktif dibagi dua yaitu penduduk tidak produktif ”muda” usia 0 - 14 tahun dan penduduk tidak produktif ”tua” usia 65 tahun dan lebih. Gabungan keduanya merupakan total dari penduduk yang tidak produktif. Angka beban tanggungan dapat menggambarkan beban tanggungan ekonomi kelompok usia produktif (15 – 64 tahun) terhadap kelompok usia muda (kurang dari 15 tahun) dan usia tua (65 tahun atau lebih). Tabel 2.5 Struktur Umur dan Angka Ketergantungan Provinsi Banten Menurut Kabupaten/Kota, 2014 Kab/Kota (1)
Struktur Umur (%) Muda Produktif (0-14) (15-64)
Angka Ketergantungan (%) Lanjut Total Muda Tua (65+)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Kab. Pandeglang
376.762
757.281
54.362
56,93
49,75
7,18
Kab. Lebak
401.119
807.509
50.677
55,95
49,67
6,28
Kab. Tangerang
938.886
2.239.677
86.213
45,77
41,92
3,85
Kab. Serang
450.011
962.030
51.053
52,08
46,78
5,31
Kota Tangerang
512.307
1.442.484
45.103
38,64
35,52
3,13
Kota Cilegon
115.753
279.199
10.351
45,17
41,46
3,71
Kota Serang
196.210
419.353
15.538
50,49
46,79
3,71
Kota Tangsel
381.461
1.070.837
40.701
39,42
35,62
3,80
3.372.509
7.978.370
353.998
46,71
42,27
4,44
Provinsi Banten
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035
12
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Dari Tabel 2.5 dapat dilihat bahwa angka beban ketergantungan Provinsi Banten sebesar 46,71 yang artinya setiap seratus orang penduduk usia produktif menanggung sebanyak 46 hingga 47 orang penduduk tidak produktif yang terdiri dari 42 hingga 43 orang penduduk muda (usia 0-14 tahun) dan 4 hingga 5 orang penduduk tua (usia 65 tahun ke atas). Angka beban ketergantungan tertinggi adalah di Kabupaten Pandeglang, kemudian disusul Kabupaten Lebak dengan selisih yang tidak signifikan. Di kedua kabupaten ini, setiap 100 orang penduduk produktif menanggung sebanyak 49 hingga 50 penduduk usia tidak produktif.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
13
HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
3
3.1 Kepemilikan Akte Kelahiran Pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang mendasar1. Fungsinya yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seseorang secara hukum. Pencatatan ini memungkinkan anak mendapatkan akte kelahiran. Dalam kerangka hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, hak atas kewarganegaraan merupakan hak asasi setiap manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 15 huruf a menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Kemudian Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, hak atas kewarganegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat 3. Karena setiap anak yang lahir harus didaftarkan sebagai bukti awal kewarganegaraannya, maka Convention on the Rights of the Child (CRC) yang secara spesifik mengatur kebutuhan anak menjadi acuan yuridis untuk menganalisis persoalan ini. Pasal 7 C menyatakan anak akan didaftarkan segera setelah kelahiran dan berhak memperoleh kewarganegaraan. Selanjutnya Pasal 8 menegaskan bahwa negara menghormati hak anak atas kewarganegaraannya2. Hak identitas bagi seorang anak dinyatakan tegas dalam pasal 5 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”. Kemudian hal ini juga ditegaskan pada pasal 27 ayat (1) dan (2) yang menyatakan, ayat (1) “Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak 1
http://www.unicef.org/indonesia http://www.kpai.go.id/artikel/pemenuhan-hak-anak-atas-akta-kelahiran-merupakan-bagiandari-hak-sipil-yang-harus-dilindungi-konstitusi/ 2
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
15
kelahirannya”, dan ayat (2) berbunyi “identitas sebagaimana dimaksud ayat (1) dituangkan dalam akte kelahirann”. Sementara itu UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) menyatakan bahwa“setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Selain itu UUD 1945 juga memberikan jaminan atas status kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam 28 D ayat (4) yang menyatakan, “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dinyatakan bahwa pengurusan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya, termasuk didalamnya pengrurusan akte kelahiran. Undang-undang ini menjamin salah satu hak anak bahwa setiap warga negara berhak atas identitas dirinya. Pencatatan kelahiran merupakan hal yang sangat penting bagi orang yang bersangkutan maupun bagi negara, karena dengan adanya pencatatan kelahiran yang teratur maka berbagai persoalan dapat diselesaikan, misalnya dapat diketahui pertambahan penduduk, hal ini akan membantu pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan yang berhubungan dengan masalah kependudukan. Ada tiga alasan mengapa pencatatan kelahiran itu penting 3 : 1. Pencatatan kelahiran adalah pengakuan formal mengenai keberadaan seorang anak, secara individual terhadap negara dan status anak dalam hukum. 2. Pencatatan kelahiran adalah elemen penting dari perencanaan nasional. Untuk anak-anak, memberikan dasar demografis agar strategis yang efektif dapat dibentuk. 3. Pencatatan kelahiran adalah cara untuk mengamankan hak anak lain, misalnya identifikasi anak sesudah berperang, anak ditelantarkan atau diculik, agar anak dapat mengetahui orang tuanya (khususnya jika lahir diluar nikah), sehingga mereka mendapat akses pada sarana atau prasarana dalam 3
http://www.kpai.go.id/berita/akta-kelahiran-hak-anak-yang-terabaikan/
16
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
perlindungan negara dalam batas usia hukum (misalnya : pekerjaan, rekruitment ABRI, dalam sistem peradilan anak) serta mengurangi atau kemungkinan penjualan bayi. Peran aktif masyarakat dibutuhkan dalam pencatatan kelahiran atau yang disebut akte kelahiran. Akte kelahiran adalah bukti catatan kewarganegaraan seseorang atau sebuah sertifikasi formal/resmi mengenai identitas dan keluarga seseorang yang diterbitkan oleh pemerintah setempat. Akte kelahiran seharusnya dimiliki oleh setiap warga, dan keberadaan akte ini sangat penting sekali untuk dipergunakan dalam berbagai keperluan. Sampai saat ini masih banyak anak di Banten yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaanya. Semakin tidak jelas identitas seorang anak, maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak, seperti anak menjadi korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja dan kekerasan.
65,97
64,86
63,78
36,22
34,03
0,67
Laki-laki
35,14
Perempuan Punya
0,63
0,59
Tidak punya
Laki-laki + perempuan Tidak tahu
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.1 Persentase Balita Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
17
Pada Gambar 3.1, dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 menunjukkan bahwa hampir 2/3 anak balita di Provinsi Banten mempunyai akte kelahiran (64,86 persen). Sisanya tidak mempunyai akte (34,51 persen) atau pun tidak mengetahui tentang kepemilikan akte anak tersebut (0,63 persen). Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin anak balita, tidak ada perbedaan nyata dalam kepemilikan akte kelahiran. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya akte kelahiran dan kemudahan dalam pengurusan akte kelahiran sangat berperan terhadap peningkatan persentase kepemilikan akte kelahiran pada balita. Apabila dilihat berdasarkan kabupaten/kota, ada perbedaan yang sangat nyata antara daerah yang bertipe perdesaan dan perkotaan dalam hal kepemilikan akter kelahiran untuk anak balita. Untuk daerah kabupaten yang tipikal perdesaan kecuali Kabupaten Tangerang, persentase anak balita yang memiliki akte kelahiran cukup rendah. Di Kabupaten Lebak, tercatat hanya 42,03 persen anak balita yang memiliki akte kelahiran. Persentase yang hampir sama terjadi di Kabupaten Pandeglang, sekitar 43,30 persen anak balita yang mempunyai akte kelahiran. Kabupaten lainnya yang mempunyai persentase yang rendah adalah Kabupaten Serang dimana hanya 54,38 anak balita yang mempunyai akte kelahiran. Daerah lain yang mempunyai persentase lebih rendah dari angka Provinsi adalah Kota Serang. Di kota ini, baru sekitar 65,66 persen anak balita yang mempunyai akte kelahiran. Sungguh disayangkan, Kota Serang sebagai ibu kota Provinsi Banten yang seharusnya menjadi cermin kemajuan Provinsi Banten ternyata masih tertinggal dibandingkan dengan daerah Tangerang maupun Cilegon. Kota Tangerang Selatan mempunyai persentase tinggi untuk anak balita yang memiliki akte kelahiran yaitu 93,78 persen kemudian diikuti oleh Kota Cilegon (86,73 persen) dan Kota Tangerang (84,54 persen) dan Kabupaten Tangerang (62,51 persen) (Gambar 3.2).
18
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Banten
64,86
Kota Tangsel
93,78
Kota Serang
65,66
Kota Cilegon
86,73
Kota Tangerang
84,54
Serang
54,38
Tangerang
62,51
Lebak
42,65
Pandeglang
43,30 -
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.2 Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Memiliki Akte Kelahiran Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 Kemudahan akses yang diberikan terhadap pengurusan akte kelahiran dan sosialisasi/himbauan tetntang pentingnya akte kelahiran berhasil meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya akte kelahiran. Hal ini telah dibuktikan salah satunya di Kota Tangerang Selatan dengan dilakukannya pelayanan akte keliling ke tingkat kecamatan dan sosialisai/himbauan kepada masyarakat tentang akte kelahiran telah meningkatkan capaian terhadap balita yang telah memiliki akte sebesar 93,78 persen. Beberapa program serupa juga telah dilaksanakan di kota lain. Dari data di atas dapat dilihat bahwa keperdulian orang tua terhadap hakhak anak khususnya pada aspek hak sipil masih dirasakan kurang. Untuk meningkatkan keperdulian orang tua/wali terhadap hal ini perlu dikaji penyebab mengapa tersebut terjadi. Beberapa faktor dijadikan sebagai penyebab utama mengapa orang tua/wali tidak memenuhi hak anak untuk memperoleh akte kelahiran. Penyebab paling utama adalah ketidak mampuan secara ekonomi Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
19
orang tua/wali untuk memperoleh akte kelahiran. Pada Gambar 3.3 dapat dilihat persentase anak balita yang tidak mempunyai akte kelahiran berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh orang tua/walinya. Sekitar 53,48 persen beralasan karena biaya mahal/tidak ada biaya. Permasalahan ini perlu mendapat perhatian dari instansi terkait. Beberapa kabupaten/kota di Provinsi Banten sudah menerapkan pembuatan akte kelahiran gratis, menjadi pertanyaan apabila masalah biaya mahal masih menjadi kendala kepemilikan akte lahir di Provinsi Banten. Alasan lainnya adalah ketidaktahuan masyarakat dalam mengurus akte kelahiran (1,97 persen) dan ketidak perdulian masyarakat tentang pentingnya akte kelahiran (tidak merasa perlu) yaitu sebesar 1,86 persen. Perlu upaya sosialisasi dari instansi terkait tentang kemudahan membuat akte kelahiran dan juga penyadaran bagi masyarakat tentang pentingnya kepemilikan akte kelahiran. Di dalam akta kelahiran terdapat Hak Asasi Manusia (HAM) dan sesungguhnya merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945.
Biaya mahal/tidak ada biaya
53,48
Perjalanan jauh
30,33
Tidak tahu kelahiran harus dicatat Tidak tahu cara mengurusnya Tidak merasa perlu
5,98 1,86
6,38 Lainnya
1,97
Perkotaan + perdesaan Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.3 Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan di Provinsi Banten, 2014 20
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Pada Gambar 3.4, dapat dilihat bahwa kendala biaya menjadi kendala utama dalam kepemilikan akte kelahiran di seluruh kabupaten/kota kecuali di Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Di Pandeglang, sebanyak 73,73 persen anak balita yang tidak punya akte kelahiran terkendala karena biaya mahal. Kendala biaya ini masih menjadi penghalang utama di 5 kabupaten/kota lainnya dengan besaran persentase yaitu 69,18 persen di Kabupaten Lebak; 52,49 persen di Kabupaten Tangerang; 44,06 persen di Kota Serang; 39,13 persen di Kabupaten Serang dan 26,34 persen di Kota Cilegon.
Banten Kota Tangsel
53,48
5,98
6,38
11,32 5,14 -
Kota Serang
44,06
Kota Cilegon
26,34
Kota Tangerang
21,68
Serang
5,70 10,89
3,78 15,76 7,82 1,28
39,13
Tangerang
5,15
52,49
Lebak
17,97 8,01 2,06
69,18
Pandeglang
4,96 3,51
73,73
0,00
20,00
Biaya mahal/tidak ada biaya
40,00
4,00
60,00
Tidak tahu cara mengurusnya
6,55
80,00
100,00
Tidak merasa perlu
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.4 Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan dan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 Di Kabupaten Tangerang, sebanyak 8,01 persen balita yang tidak mempunyai akte kelahiran beralasan karena tidak mengetahui cara mengurus akte kelahiran. Sungguh sangat disayangkan, Kabupaten Tangerang yang berdekatan dengan ibu kota Negara, namun informasi mengenai cara pembuatan akte kelahiran tidak sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Perlu dilakukan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
21
sosialisasi yang lebih gencar agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui tentang bagaimana proses pembuatan akte kelahiran. Satu hal yang patut disayangkan adalah ketidakperdulian masyarakat tentang pentingnya kepemilikan akte kelahiran. Sebanyak 17,97 persen anak balita yang tidak punya akte kelahiran di Kabupaten Serang disebabkan karena orang tua/wali mereka tidak merasa perlu untuk membuat akte kelahiran. Persentase yang cukup tinggi pun terjadi di Kota Cilegon dan Kota Serang, yaitu 15,76 persen dan 10,89 persen. Perlu upaya yang gencar dalam rangka penyadaran masyarakat tentang hak-hak anak yang terkait dengan hak atas kewarganegaraan. Tanpa memiliki akte kelahiran, orang tua/wali telah merampas hak-hak kewarganegaan si anak. Akte kelahiran sangat diperlukan dalam berbagai urusan salah satunya adalah pendaftaran sekolah. 3.2 Akses Terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Komunikasi adalah salah satu jembatan agar manusia dapat berinteraksi antar sesama. Dengan komunikasi pula, arus pengetahuan/informasi dapat mengalir dari satu orang ke orang lainnya. Pada awalnya, komunikasi antar sesama manusia dilakukan dengan cara sederhana. Seiiring dengan perubahan jaman, cara komunikasi semakin berkembang. Pada saat ini komunikasi telah didukung oleh pengetahuan teknologi informasi. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak Pasal 17 menyatakan bahwa negara harus menjamin bahwa anak mempunyai akses ke informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional; terutama yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya dan kesehatan fisik dan mentalnya. Untuk tujuan ini, maka Negara harus : (a) Mendorong media massa untuk menyebarluaskan informasi dan bahan yang mempunyai manfaat sosial dan budaya pada anak; (b) Mendorong kerjasama internasional dalam produksi, pertukaran dan penyebarluasan informasi dan bahan tersebut dari suatu diversitas budaya, sumber-sumber nasional dan internasional; (c) 22
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Mendorong produksi dan penyebarluasan buku anak-anak; (d) Mendorong media massa agar mempunyai perhatian khusus pada kebutuhan-kebutuhan linguistik anak, yang menjadi anggota kelompok minoritas dan merupakan penduduk asli; (e)
Mendorong
perkembangan
pedoman-pedoman
yang
tepat
untuk
perlindungan anak dari informasi dan bahan yang merusak kesejahteraannya. Pada saat ini, teknologi informasi dan komunikasi yang sangat menunjang kehidupan manusia adalah internet. Dengan internet, tidak ada lagi batasan jarak dan waktu dalam berkomunikasi. Dengan itu, cara manusia berinteraksi antar satu dengan yang lain telah berubah secara drastis menjadi lebih cepat dan mudah. Internet adalah salah satu keajaiban penemuan di dunia. Penemuan internet merubah dunia menjadi lebih dinamis dan serba cepat. Kemajuan internet telah menyentuh banyak sisi kehidupan manusia. Kejadian di belahan dunia lain bisa kita ketahui dengan segera melalui internet. Manusia pun saling berinteraksi melalui internet. Aktifitas perdagangan juga berkembang pesat dengan bantuan internet. Menurut catatan Internet World Statistics, Amerika Utara adalah pengguna akses internet terbesar di dunia dengan penetrasi mencapai 78,6 persen, Australia/Oseania 67,8 persen, Eropa mencapai 63,5 persen, Amerika Latin/Karibia 43 persen, Timur Tengah 40,2 persen, Asia 27,5 persen, dan terakhir adalah Afrika 15,6 persen. Jumlah totalnya mencapai sekitar 2,4 milyar orang atau lebih dari sepertiga penduduk dunia (Profil Anak Indonesia, 2012). Pengguna internet tidak hanya dibatasi bagi orang dewasa. Pada saat ini, pengenalan internet sudah dilakukan sejak usia dini. Sejak sekolah dasar, anak sudah dikenalkan dengan internet. Sekitar 20,37 persen anak usia 5-17 tahun pernah mengakses internet selama tiga bulan terakhir sebelum tanggal survei. Berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang berarti antar pengguna internet anak laki-laki dan anak perempuan. Dilihat berdasarkan kelompok umur, semakin tinggi kelompok umur semakin besar pula persentase anak yang mengakses internet. Pada kelompok usia 5-6 tahun, hanya sekitar 1,80 persen Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
23
anak yang mengakses internet. Pada usia ini, umumnya orang tua mengenalkan anak dengan berbagai aplikasi-aplikasi yang bersifat edukasi. Namun sering kali pula anak mengakses internet terkait dengan permainan yang bersifat online. Pada usia meningkat remaja, 13 tahun ke atas, penggunaan internet semakin marak. Sekitar 35,90 persen anak usia 13-15 tahun mengakses internet, sedangkan anak usia 16-17 tahun yang mengakses internet sebesar 51,54 persen. Semakin meningkatnya usia, semakin tinggi pula kebutuhan untuk mengakses internet. Mengakses internet dapat memberikan peluang bagi anak untuk mengembangkan pengetahuannya. Selain menambah pengetahuan, akses internet dibutuhkan anak remaja untuk dapat berkomunikasi di media sosial. Tabel 3.1 Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+ Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
5-6
2,33
1,13
1,80
7-12
10,39
9,15
9,78
13-15
33,74
38,28
35,90
16-17
46,89
56,47
51,54
Total
19,49
21,32
20,37
Sumber: Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Mudahnya anak untuk mengakses internet merupakan salah satu wujud pemenuhan hak anak terhadap teknologi informasi. Namun demikian, Pemerintah harus melindungi anak agar internet tidak berdampak buruk pada anak. Pada Tabel 3.2 dapat dilihat proposi anak berusia 5-17 tahun yang mengakses internet selama tiga bulan sebelum survei menurut partisipasi sekolah dan jenis kelamin. Hampir seluruh anak usia 5-17 tahun yang mengakses internet adalah pelajar yaitu sebesar 96,11 persen. Anak yang belum/tidak pernah sekolah 24
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
namun mengakses internet sebesar 0,41 persen, diduga mereka mengakses internet untuk mengakses permainan online. Hanya sekitar 3,48 persen anak yang mengakes internet sudah tidak bersekolah lagi. Tabel 3.2 Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Partisipasi Sekolah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Partisipasi Sekolah
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+ Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
0,68
0,14
0,41
97,25
94,99
96,11
2,07
4,87
3,48
100,00
100,00
100,00
Belum/Tidak Pernah Sekolah Masih Sekolah Tidak Bersekolah Lagi Total
Sumber: Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
25
LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF
4
Dalam mukadimah Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa anak agar perkembangan kepribadiannya tumbuh secara utuh dan serasi maka anak harus tumbuh kembang dalam lingkungan keluarga dalam suasana kebahagiaan cinta dan pengertian, seperti yang telah disebutkan dalam mukadimah Konvensi Hak Anak. Oleh karena itu, anak sebaiknya tinggal dalam keluarga yang utuh. Namun demikian, tidak tumbuh kembang anak akan lebih optimal apabila anak sudah berinteraksi dengan lingkungan lain di sekitarnya. Dalam bagian ini akan dibahas tentang anak yang tinggal dalam keluarga serta anak yang mengikuti pendidikan usia dini. 4.1 Anak dan Keluarga yang Tinggal Bersama Di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 28 dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Keluarga adalah lingkungan pertama dimana anak berinteraksi, sehingga dari sinilah proses pendidikan dimulai. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Pendidikan keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan karakter dan kepribadian anak. Pendidikan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua. Peran ibu dalam pendidikan lebih banyak dibanding peran ayah, karena ibu memiliki lebih banyak kesempatan bersama anak sementara ayah biasanya lebih banyak bekerja. Selain itu, ibu memiliki kesempatan yang tidak dimiliki ayah karena ibulah yang mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Karena itu, peluang seorang anak tinggal serumah dengan ibu kandung menjadi lebih besar. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
27
Dalam pembahasan ini, anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung mencakup anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung saja, serta anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung beserta bapak kandung. Untuk melihat persentase anak yang tinggal dengan ibu kandung, digunakan data Susenas 2014.
93,69 92,73 92,44 92,11 91,45 90,89
Perkotaan
Perdesaan Laki-laki
Perkotaan + perdesaan Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.1 Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014 Persentase anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung mencapai sebesar 92,43 persen, sedangkan 7,57 persen anak tidak tinggal bersama ibu kandungnya. Hal ini dapat dimungkinkan karena ibu kandung telah meninggal atau ibu kandung tinggal di rumah tangga lain. Di daerah perkotaan sebesar 93,08 persen dan di daerah perdesaan 91,16 persen anak yang tinggal bersama ibu kandungnya. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang berarti antara persentase anak laki-laki dan anak perempuan yang tinggal serumah dengan ibu kandung. Persentase anak laki-laki yang tinggal serumah dengan ibu kandung sedikit lebih tinggi (92,73 persen) dibanding anak perempuan (92,11 persen). Di daerah 28
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
perkotaan, persentase anak laki-laki yang tinggal dengan ibu kandungnya lebih tinggi (93,69 persen) dibanding anak perempuan (92,44 persen) dan sebaliknya di daerah perdesaan persentase anak perempuan yang tinggal dengan ibu kandungnya lebih tinggi (91,45 persen) dibanding anak laki-laki (90,89 persen).
92,43
Provinsi Banten Kota Tangerang Selatan
95,35
Kota Serang
95,03 94,48
Kota Cilegon
90,46
Kota Tangerang
90,17
Serang
94,52
Tangerang
91,10
Lebak
89,07
Pandeglang
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.2 Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 Bila dilihat menurut kabupaten/kota, persentase anak yang tinggal dengan ibu kandung yang paling besar adalah di Kota Tangerang Selatan sebesar 95,35persen. Sementara persentase anak yang tinggal dengan ibu kandung yang paling kecil adalah di
Kabupaten Pandeglang sebesar 89,07 persen. Hal ini
dimungkinkan karena di Kabupaten Pandeglang banyak ibu yang harus bekerja di luar daerah sehingga tidak dapat tinggal bersama anak mereka. 4.2 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Anak usia dini ialah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun. Usia dini merupakan masa-masa emas perkembangan anak yang biasa dikenal dengan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
29
istilah Golden Age. Masa Golden Age ialah masa anak usia dini untuk mengekplorasi hal-hal yang ingin mereka lakukan, senang bermain dan peka terhadap rangsangan sekitar. Pada masa ini, otak anak-anak berkembang sangat pesat. Pada rentang usia tersebut otak anak akan menerima dan menyerap berbagai macam informasi dari lingkungan sekitarnya, tanpa mengetahui baik dan buruk. Pada rentang waktu itulah terjadi perkembangan mental, fisik maupun spiritual pada anak secara cepat dan signifikan. Anak akan mulai mempelajari segala hal dan karakternya sudah mulai terbentuk. Oleh karena itu, perlu diberikan pendidikan sejak usia dini sebagai langkah persiapan anak menghadapi masa-masa depannya. Pemberian pendidikan sejak usia dini ini sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I, Pasal I butir 14 Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pada Pasal 28 lebih dijelaskan lagi tentang PAUD, dimana dinyatakan bahwa PAUD diselenggarakan sebelum pendidikan dasar melalui jalur formal, non formal maupun informal. PAUD menyediakan berbagai kegiatan, seperti kognitif, bahasa, emosi, fisik, dan motorik. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kemampuan anak baik bersifat motorik maupun non-motorik. PAUD pada jalur pendidikan formal dapat berupa Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA) atau yang sederajat dengan rentang usia 4-6 tahun. PAUD pada jalur non-formal dapat berupa Kelompok Bermain (KB) dengan rentang usia 2-4 tahun. Sedangkan PAUD jalur pendidikan informal dapat berupa Taman Penitipan Anak (TPA) dengan rentang usia 3 bulan sampai 2 tahun dan satuan PAUD dengan rentang usia 4-6 tahun.
30
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Secara umum, Pendidikan Anak Usia Dini ditujukan untuk mengembangkan potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tujuan utama PAUD adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Sementara tujuan penyertanya adalah untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah, sehingga dapat mengurangi usia putus sekolah dan mampu bersaing secara sehat di jenjang pendidikan berikutnya. Tabel 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2014 Kelompok Umur (Tahun)
Tipe Daerah Jenis Kelamin
0-2
3-4
5-6
3-6
0-6
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Laki-laki
0,57
14,44
38,95
27,11
16,84
Perempuan
2,00
17,67
35,40
25,97
15,20
Laki-laki+Perempuan
1,32
16,00
37,40
26,59
16,04
Laki-laki
0,31
12,55
13,06
12,81
7,65
Perempuan
0,19
13,04
25,59
19,04
10,72
Laki-laki+Perempuan
0,25
12,79
18,89
15,82
9,17
Laki-laki
0,48
13,83
30,77
22,56
13,83
Perempuan
1,40
16,12
32,03
23,63
13,70
Laki-laki+Perempuan
0,96
14,95
31,33
23,06
13,76
Perkotaan :
Perdesaan :
Perkotaan+Perdesaan :
Sumber: Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
31
Angka partisipasi PAUD diperoleh dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2014. Partisipasi PAUD anak kelompok umur 0-6 tahun sebesar 13,76 persen. Sementara untuk rentang kelompok umur yang lebih sempit (3-6 tahun) partisipasi PAUD menjadi lebih besar yaitu 23,06 persen. Partisipasi PAUD untuk anak kelompok umur 5-6 tahun sebesar 31,33 persen, anak kelompok umur 3-4 tahun sebesar 14,95 persen, dan anak kelompok umur 0-2 tahun sebesar 0,96 persen. PAUD lebih banyak diikuti oleh anak kelompok umur 5-6 tahun dan hanya sedikit diikuti oleh anak kelompok umur 0-2 tahun. Dapat dikatakan bahwa PAUD lebih banyak diikuti oleh anak kelompok umur Taman Kanak-kanak (TK) dibanding kelompok umur lain.Apabila dilihat berdasarkan klasifikasi daerah, ada perbedaan nyata angka partisipasi PAUD anak laki-laki dan anak perempuan. Di daerah perkotaan, angka pertisipasi PAUD anak laki-laki lebih tinggi dibanding yang perempuan. Partisipasi PAUD anak laki-laki di daerah perkotaan sebesar 16,84 persen dan partisipasi PAUD anak perempuan sebesar 15,20 persen. Sebaliknya di daerah perdesaan, partisipasi PAUD anak perempuan sebesar 10,72 persen dan partisipasi anak laki-laki sebesar 7,65 persen. Secara keseluruhan, partisipasi PAUD anak laki-laki tidak berbeda secara signifikan dibanding yang perempuan. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 28 ayat (2) PAUD dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu TK/RA/BA, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu, dan satuan PAUD Sejenis Lainnya, seperti PAUDTAAM, PAUD-PAK, PAUD-BIA, TKQ dan PAUD Lembaga Lainnya. Jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah TK/RA/BA sebesar 59,64 persen. Kemudian di urutan berikutnya adalah Satuan PAUD lainnya sebesar 18,38 persen dan Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu sebesar 18,34 persen. Partisipasi PAUD untuk Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak sangat kecil, masing-masing sebesar 3,19 persen dan 0,45 persen. Menariknya, jenis PAUD Taman Penitipan Anak (TPA) hanya diikuti 32
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
oleh anak di daerah perkotaan, terlihat dari angka partisipasi PAUD untuk Taman pendidikan anak di daerah perdesaan yang sebesar nol persen. Hal ini dapat dimungkinkan karena untuk saat ini penyelenggaraan TPA masih terkonsentrasi di daerah perkotaan yang tujuannya memenuhi kebutuhan ibu-ibu yang bekerja. Tabel 4.2 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD di Provinsi Banten, 2014 Jenis PAUD Tipe Daerah dan Jenis Kelamin
Pos Satuan Taman PAUD/PAUD Kelompok PAUD TK/RA/ BA Penitipan Terintegrasi Bermain Sejenis Anak BKB/ Lainnya Posyandu
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Perkotaan : Laki-laki
69,87
1,63
0,00
12,75
15,75
Perempuan
59,03
5,23
1,24
16,17
18,33
Laki-laki+Perempuan
64,88
3,29
0,57
14,33
16,94
Laki-laki
39,83
3,40
0,00
37,52
19,25
Perempuan
42,13
2,43
0,00
28,88
26,56
Laki-laki+Perempuan
41,16
2,84
0,00
32,52
23,48
Laki-laki
64,43
1,95
0,00
17,24
16,38
Perempuan
54,60
4,50
0,92
19,50
20,49
Laki-laki+Perempuan
59,64
3,19
0,45
18,34
18,38
Perdesaan :
Perkotaan + Perdesaan :
Sumber: Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
4.3 Perkawinan Anak Usia Dini Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
33
tujuan membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam undang-undang perkawinan tersebut, umur menjadi salah satu syarat dalam melaksanakan perkawinan. Dalam undangundang tersebut telah ditentukan batas minimal usia perkawinan bagi pria adalah 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun. Dalam pasal 7 ayat (1), pada usia tersebut baik pria maupun wanita diasumsikan telah cukup matang untuk memasuki gerbang perkawinan dengan segala permasalahannya. Selain itu, penetapan batas usia minimal perkawinan ini dimaksudkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Namun pada kenyataannya masih saja terjadi perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai batas umur yang ditentukan yang dikenal dengan istilah perkawinan usia dini. Faktor-faktor penyebab perkawinan usia dini dapat berasal dari dalam diri anak maupun dari luar diri anak. Faktor yang berasal dari dalam diri anak antara lain faktor pendidikan, pemahaman agama, telah melakukan hubungan biologis, dan kehamilan sebelum pernikahan. Faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain faktor orang tua, faktor ekonomi, dan faktor sosial budaya. Perempuan yang melahirkan pada usia muda memiliki resiko yang lebih besar. Belum kuatnya fungsi rahim dan hormonal serta kurang pahamnya perawatan pada masa kehamilan berakibat pada rentannya kehamilan seperti terjadinya tekanan darah tinggi, lahir prematur, berat bayi lahir rendah, serta tingginya angka kematian ibu dan bayi. Perkawinan usia dini juga sangat memengaruhi fisik ataupun psikologis anak yang dilahirkan kelak. Ketrampilam mengasuh anak serta pengendalian emosi seorang ibu yang menikah pada usia dini pada umumnya masih kurang. Hal ini menimbulkan resiko anak yang dilahirkan akan mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, dan gangguan psikologis. Ditinjau dari sisi sosial, perkawinan dini dapat berdampak negatif yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta meningkatnya kasus perceraian. Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda, dan cara pola pikir yang 34
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
belum matang. Di samping ego yang tinggi dan kurangnya tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami-istri. Jika dilihat dari segi kependudukan, perkawinan usia dini mengakibatkan tingginya tingkat fertilitas sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kependudukan. Dalam publikasi ini, perkawinan usia dini diartikan sebagai keadaan dimana anak wanita berumur 1017 tahun telah berstatus kawin atau pernah kawin dengan umur kawin pertama 15 tahun ke bawah.
1,71
Provinsi Banten
2,02
Kota Tangerang Selatan
0,43
Kota Serang
0,68
Kota Cilegon Kota Tangerang
0,23
Serang
0,76 2,17
Tangerang
4,32
Lebak Pandeglang
1,56
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.3 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Kawin dan Pernah Kawin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 Di Provinsi Banten terdapat sebesar 1,71 persen anak perempuan berumur 10-17 tahun berstatus kawin dan pernah kawin dengan persentase terbesar terdapat di Kabupaten Lebak (4,52 persen) dan persentase terkecil terdapat di Kota Tangerang (0,23 persen). Persentase anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin di daerah perdesaan lebih banyak dibanding di daerah perkotaan. Persentase anak perempuan 10-17 tahun yang berstatus kawin dan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
35
pernah kawin di daerah perdesaan sebesar 2,69 persen, dengan rincian sebesar 2,34 persen berstatus kawin dan 0,35 persen berstatus cerai hidup. Sementara untuk daerah perkotaan sebesar 1,20 persen, dengan rincian sebesar 1,20 persen berstatus kawin dan 0,00 persen berstatus cerai hidup. Kecenderungan melakukan perkawinan pada usia muda di daerah perdesaan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti faktor ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Sebagian orang tua di perdesaan menikahkan anaknya dengan harapan setelah anak menikah dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Selain itu, pada umumnya anak perempuan yang memasuki usia remaja dan belum menikah akan dianggap sebagai perawan tua. Hal inilah yang menyebabkan perkawinan pada usia muda di daerah perdesaan lebih tinggi dibanding daerah perkotaan. Tabel 4.3 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014 Status Perkawinan Tipe Daerah (1)
Belum Kawin
Kawin
Cerai Hidup
Cerai Mati
(2)
(3)
(4)
(5)
Perkotaan
98,80
1,20
-
0,00
Perdesaan
97,31
2,34
0,35
0,00
Perkotaan+Perdesaan
98,29
1,59
0,12
0,00
Sumber: Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak perempuan berumur 10-17 tahun (98,29 persen) masih berstatus belum kawin dan sisanya 1,71 persen pernah kawin dengan rincian 1,59 persen berstatus kawin dan 0,12 persen berstatus cerai hidup. Hal ini sangat memprihatinkan karena dalam usia yang sangat muda anak-anak tersebut sudah mengalami perceraian yang tentunya akan menimbulkan dampak psikologis bagi perkembangan anak ke depannya.
36
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Belum Kawin; 98,29
Kawin; 1,59 Cerai Mati; 0,00 Cerai Hidup; 0,12
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.4 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan di Provinsi Banten, 2014 Anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu yang umur kawin pertamanya 15 tahun ke bawah, 16 tahun, serta 17 tahun. Dari keseluruhan anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin, sebesar 41,35 persen diantaranya melakukan perkawinan usia dini (umur perkawinan pertama 15 tahun ke bawah). Sedangkan sisanya sebesar 35,87 persen melakukan perkawinan pertama di umur 16 tahun dan sebesar 22,77 persen melakukan perkawinan pertama di umur 17 tahun. Perkawinan usia dini dapat berakibat pada tidak terpenuhinya secara optimal salah satu hak anak yaitu mendapatkan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu cara untuk peningkatan kualitas hidup warga. Namun pada sebagian besar kasus perkawinan usia dini, anak akan terhenti pendidikannya. Hal ini dapat meningkatkan angka putus sekolah. Selain itu, banyak pihak masih berpikir ketika seorang siswa hamil tidak berhak mengikuti Ujian Akhir Nasional. Namun, dengan membiarkan anak putus sekolah adalah bentuk pelanggaran hak anak untuk Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
37
mendapatkan pendidikan. Lebih jauh lagi, membiarkan anak dengan pernikahan dini putus sekolah akan membuat kemiskinan berulang serta kemungkinan kejadian pernikahan anak-anak pada generasi selanjutnya terus berlanjut. Oleh karena itu, perhatian dari berbagai pihak diperlukan dalam menanggulangi perkawinan usia dini agar tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas.
17 tahun 22,77%
kurang dari 15 tahun 41,35%
16 tahun 35,87%
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.5 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Pernah Kawin Menurut Umur Kawin Pertama di Provinsi Banten, 2014 Berbagai upaya pemerintah kabupaten/kota terkait peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya perkawianan usia dini telah banyak dilakukan, salah satunya adalah sosialisasi terhadap pendewasaan umur pernikahan kepada para remaja. Selain sosialisasi dibentuk juga berbagai wadah terkait dengan pemberian informasi dan edukasi, salah satunya adalah Forum Komunikasi Informasi Remaja (KIR) di Kota Cilegon.
38
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN
5
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.Kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menentukan nasib suatu bangsa, atau khususnya di Provinsi Banten. Pentingnya pembangunan kesehatan ini telah menjadikannya sebagai salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs). Oleh karena itu, pemerintah baik pusat maupun daerah terus berupaya keras dalam meningkatkan pembangunan kesehatan dengan membuat kebijakan-kebijakan serta penyediaan fasilitas penunjang dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Pemantauan kondisi kesehatan masyarakat sangat diperlukan untuk melihat perkembangan capaianyang didapat serta dapat dijadikan sebagai landasan untuk membuat kebijakan-kebijakan baru dengan hasil yang lebih baik. Kebutuhan hak dasar akan kesehatan harus dimulai sejak masa anak-anak. Pemenuhan kebutuhan kesehatan pada anak sejalan dengan Konvensi tentang HakHak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989. Pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa negara-negara Pihak mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Pihak harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya atas akses kepelayanan perawatan kesehatan tersebut. Berikut akan disajikan gambaran kondisi kesehatan anak di Provinsi Banten, yang terdiri dari sub bab penolong kelahiran, Air Susu Ibu (ASI), imunisasi, keluhan kesehatan, akses ke pelayanan kesehatan dan tingkat kunjungan. Informasi tentang
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
39
pelayanan antenatal dan kematian anak tidak dapat ditampilkan dalam publikasi ini dikarenakan belum tersedianya data terbaru. 5.1 Penolong Kelahiran Penolong kelahiran merupakan faktor yang sangat memengaruhi tingkat keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi dalam proses kelahiran. Penolong kelahiran adalah salah satu bagian dari pelayanan antenatal care, yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan primer. Kelahiran seorang bayi seharusnya ditolong oleh tenaga kesehatan. Proses persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan yang terdidik dan terlatih dapat menurunkan resiko kematian ibu dan kematian bayi. Penolong kelahiran didefinisikan sebagai orang yang biasa memeriksa wanita hamil atau memberikan pertolongan selama persalinan dan masa nifas. Penolong kelahiran dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan dan bukan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah mereka yang mendapatkan pendidikan formal seperti dokter spesialis kandungan, bidan dan tenaga kesehatan lainnya, sedangkan bukan tenaga kesehatan misalnya dukun terlatih maupun dukun tidak terlatih. Seringkali seorang ibu yang akan melahirkan ditolong lebih dari satu orang penolong kelahiran. Misalnya seorang ibu pada awal persalinannya ditolong oleh dukun, karena terjadi masalah maka harus dibawa ke bidan. Dalam kasus tersebut, ada dua penolong kelahiran dimana penolong kelahiran pertama adalah dukun, sedangkan penolong kelahiran terakhir adalah bidan. Pada sub bab ini akan diulas mengenai penolong kelahiran terakhir. Berdasarkan data Susenas 2014 seperti yang disajikan pada Gambar 5.1, dapat dilihat bahwa penolong kelahiran paling banyak di Provinsi Banten adalah bidan yaitu sebesar 57,81 persen, tidak ada perbedaan yang signifikan antara balita laki-laki maupun perempuan yaitu sebesar 56,51 persen dan 58,98 persen. Penolong kelahiran yang tertinggi berikutnya adalah dokter dan dukun bersalin. 40
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Masih tingginya persentase kelahiran di Provinsi Banten yang ditolong oleh dukun bersalin diduga disebabkan oleh faktor budaya dan sarana prasarana kesehatan yang kurang memadai. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan maupun menyediakan sarana prasarana kesehatan yang memadai di seluruh wilayah Provinsi Banten serta memberikan
Dokter Laki-laki
Perempuan
Dukun Bersalin
0,53
0,74
0,31
20,39
20,46
Bidan
20,33
57,81
59,98
21,26
19,95
22,61
56,51
penyuluhan akan persalinan yang aman melalui tenaga kesehatan.
Lainnya
Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.1 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten 2014 Dilihat menurut kabupaten/kota, penolong kelahiran terakhir terbanyak di hampir semua kabupaten/kota adalah bidan. Persentase penolong kelahiran oleh bidan terbanyak adalah di Kota Cilegon sebesar 73,59 persen. Namun, dilihat secara keseluruhan, penolong kelahiran oleh dukun bersalin di beberapa kabupaten/kota masih cukup tinggi. Di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang kelahiran ditolong oleh dukun bersalin mencapai 44,02 persen dan 39,84 persen. Penolong kelahiran oleh dokter masih kecil persentasenya jika dibandingkan dengan bidan atau dukun bersalin. Persentase penolong kelahiran Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
41
oleh dokter paling tinggi adalah di Kota Tangerang Selatan sebesar 48,79 persen. Persentase kelahiran yang ditolong oleh selain dokter, bidan, dan dukun bersalin sudah sangat kecil. Penolong kelahiran oleh tenaga medis yaitu dokter, bidan dan paramedis lain sebesar 79,41 persen, sedangkan penolong kelahiran yang bukan tenaga medis sebesar 20,59 persen. Semakin tinggi penolong kelahiran kelahiran oleh tenaga medis dapat menurunkan resiko kematian ibu dan bayi.
Banten
21,26
57,81
Kota Tangsel Kota Serang Kota Cilegon
20,39
48,79 11,22
48,99 57,37
17,91
Kota Tangerang
Pandeglang 2,27 Dokter
8,50 0,00 57,23
54,04
22,29
Lebak 6,90
0,59
73,59
Serang 6,92 Tangerang
1,59 30,82
40,50
1,48 0,79 38,82
64,99 48,78
0,22 12,11 0,62
44,02
57,37
Bidan
0,53
39,84
Dukun Bersalin
0,31 0,53
Lainnya
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.2 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran Terakhir dan Kabupaten Kota di Provinsi Banten 2014 5.2 Air Susu Ibu (ASI) Balita merupakan calon penerus bangsa yang akan mempengaruhi masa depan suatu negara. Balita yang sehat merupakan asset suatu bangsa dan diharapkan memiliki peluang yang besar untuk membangun negara di masa datang. Oleh karena itu, kesehatan balita menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
42
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Salah satu faktor yang memengaruhi kesehatan balita adalah makanan yang dikonsumsi sejak lahir. Seharusnya seorang bayi yang baru lahir mendapatkan
ASI
untuk
kekebalan
tubuh
dan
kesehatannya.
WHO
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan.Para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan meningkat jika bayi diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Akan tetapi belum semua ibu tahu pentingnya ASI untuk bayi. Air susu ibu (ASI) merupakan makanan yang mencukupi seluruh kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, social maupun spiritual. ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup hampir 200 unsur zat makanan (Hubertin, 2003). ASI adalah cairan yang memenuhi kebutuhan gizi bayi dan melindunginya dari segala macam serangan penyakit. Keseimbangan zat-zat gizi dalam air susu ibu berada pada tingkat terbaik. Salah satu kandungan ASI yang paling fenomenal adalah kolostrum yang mengandung zat kekebalan (immunoglobulin), protein dan vitamin A yang tinggi. ASI memberikan manfaat bagi bayi diantaranya bayi mendapat nutrisi dan enzim terbaik yang dibutuhkan, bayi mendapat zat-zat imun, serta perlindungan dan kehangatan melalui kontak dari kulit ke kulit dengan ibunya yang memberikan manfaat secara psikologis. Susu formula tidak akan bisa menyamai ASI dalam hal kandungan maupun manfaat bagi bayi (Yuliarti: 2010 disadur dari Publikasi Anak Indonesia 2012). Oleh karena itu, pemberian ASI pada balita menjadi hal yang harus diperhatikan.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
43
Perkotaan
Perempuan Perdesaan
93,47
92,12
91,48
93,19
96,16
96,63 93,75
95,68 92,78 Laki-laki
Laki-laki+Perempuan Perkotaan+Perdesaan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.3 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten 2014 Gambar 5.3 memperlihatkan bahwa persentase balita yang mendapat ASI di Provinsi Banten sudah cukup tinggi yaitu sebesar 93,47 persen. Tidak terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara balita laki-laki (93,75 persen) dengan yang perempuan (93,19 persen). Sementara itu berdasarkan daerah, persentase balita di daerah perdesaan yang pernah diberi ASI (96,16 persen) lebih tinggi dibandingkan balita di daerah perkotaan (92,12 persen). Diduga, disamping faktor kesehatan, faktor kesibukan ibu di perkotaan menyebabkan perbedaan pemberikan ASI pada balitanya. Persentase balita yang pernah diberi ASI menurut kabupaten/kota dapat dilihat pada gambar 5.4. Balita laki-laki yang pernah diberi ASI paling banyak di Kota Tangerang Selatan sebesar 97.38 persen, sedangkan untuk balita perempuan paling banyak adalah di Kabupaten Pandeglang sebesar 98,28 persen. Persentase balita yang pernah diberi ASI paling kecil adalah di Kota Tangerang, baik balita laki-laki maupun perempuan. 44
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
93,19 93,75
Banten
92,47
Kota Tangsel
97,38
94,56 92,27
Kota Serang
91,50 90,57
Kota Cilegon 84,91
Kota Tangerang
90,10 96,55 95,65
Serang
93,86 92,67
Tangerang
95,90 96,27
Lebak
98,28 95,10
Pandeglang Perempuan
Laki-laki
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.4 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Lama pemberian ASI berpengaruh positif terhadap kondisi kesehatan dan proses tumbuh kembang anak balita. Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan bayi. Selain pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, standar pemberian makanan bagi balita yang lain adalah memberikan makanan pendamping ASI setelah 6 bulan dan ASI dilanjutkan hingga 2 tahun. Jika hal itu dilakukan maka anak tidak hanya sehat dan pandai, tetapi juga memiliki kemampuan spiritual (SQ) dan emosional (EQ) jauh lebih tinggi (Yuliarti: 2010 disadur dari Publikasi Anak Indonesia 2012).
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
45
16,02 16,02 16,02
14,85 14,53
14,69
14,24 14 13,77
PERKOTAAN laki-laki
PERDESAAN perempuan
PERKOTAAN+PERDESAAN
laki-laki+perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.5 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) bagi Balita Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Rata-rata lama pemberian ASI di Provinsi Banten seperti terlihat pada Gambar 5.5 adalah sekitar 14,69 bulan. Menurut daerah tempat tinggal, rata-rata lama pemberian ASI di daerah perkotaan lebih rendah dibanding daerah perdesaan. Di daerah perkotaan rata-rata lama pemberian ASI adalah sekitar 14 bulan dan untuk daerah perdesaan sekitar 16,02 bulan. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya ibu-ibu pekerja di daerah perkotaan, sehingga menyebabkan pemberian ASI pada balita lebih singkat. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pemberian ASI balita laki-laki (14,53 bulan) dan perempuan (14,85 bulan). Lama pemberian ASI yang lebih dari setahun tersebut mengindikasikan bahwa kesadaran ibu-ibu akan pentingnya manfaat ASI masih cukup tinggi di Banten. Pemberian ASI secara eksklusif sampai usia 6 bulan pertama kehidupan merupakan suatu misi primer dalam program kesehatan masyarakat dunia yang direkomendasikan oleh WHO. Mengingat pentingnya pemberian ASI bagi tumbuh 46
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi, maka pemerintah sangat memberi perhatian terhadap pemberian ASI eksklusif ini. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 128 disebutkan bahwa (1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis, (2) Selama pemberian air susuibu, pihak keluarga, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus, dan (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan sarana umum.
12,05 10,34 9,45
4,55
3,98
PERKOTAAN
PERDESAAN ASI saja
4,35
PERKOTAAN+PERDESAAN
ASI dengan tambahan makanan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.6 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan ASI dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014 Rata-rata lama pemberian ASI tanpa makanan tambahan atau ASI ekslusif di Provinsi Banten adalah sekitar 4,35 bulan. Rata-rata lama pemberian ASI tanpa makanan tambahan yang masih kurang dari 6 bulan perlu ditelaah lebih lanjut, apakah disebabkan oleh kesadaran terhadap pemberian ASI ekslusif yang masih Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
47
rendah atau karena adanya masalah hormon atau kesehatan dari sebagian besar ibu-ibu yang menyusui. Sementara itu, rata-rata lama pemberian ASI dengan
Perkotaan Laki-laki
Perdesaan Perempuan
41,71
44,06
39,33
33,33
34,5
32,13
43,01
46,07
49,1
makanan tambahan pada balita adalah selama 10,34 bulan (Gambar 5.6).
Perkotaan+Perdesaan Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.7 Persentase Balita Berumur 2-4 Tahun yang Memiliki Riwayat Mendapat ASI Ekslusif (6 Bulan) Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014 Dari Gambar 5.7 dapat dilihat persentase balita umur 2-4 tahun yang di beri ASI eksklusif selama enam bulan. Balita berumur 2-4 tahun yang memiliki riwayat mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan hanya sebesar 41,71 persen. Balita lakilaki yang mendapat ASI eksklusif sebanyak 39,33 persen,lebih rendah dibanding balita perempuan sebanyak 44,06 persen. Jika dilihat dari tipe daerahnya, balita berumur 2-4 tahun yang memiliki riwayat mendapatkan ASI ekslusif selama enam bulan di daerah perkotaan sebesar 46,07 persen jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yang hanya sebesar 33,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat di daerah perkotaan akan pentingnya ASI ekslusif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. 48
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
5.3 Imunisasi Salah satu upaya dalam meningkatkan kesehatan balita adalah dengan imunisasi. Imunisasi berasal dari kata imun, yang berarti kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manusia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif dan efisien dalam mencegah penyakit dan merupakan bagian kedokteran preventif yang mendapatkan prioritas. Sampai saat ini ada tujuh penyakit infeksi pada anak yang dapat menyebabkan kematian dan cacat, walaupun sebagian anak dapat bertahan dan menjadi kebal. Ketujuh penyakit tersebut dimasukkan pada program imunisasi yaitu penyakit tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio,
Perkotaan Laki-laki
93,02
93,07
88,88
87,66
90,06
92,97
95,09
94,56
95,63
campak dan hepatitis-B.
Perdesaan Perempuan
Perkotaan+Perdesaan Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.8 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
49
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program imunisasi dapat dilihat dari capaian program dalam 1 tahun. Program imunisasi dikatakan sangat berhasil bila capaian antara 75-100 persen dari target, cukup berhasil bila capaian antara 50-75 persen dari target dan bila capaian dalam 1 tahun dibawah 50 persen dari target berarti program belum berhasil. Dari Gambar 5.9 terlihat bahwa berdasarkan jenis imunisasi yang diberikan, capaian imunisasi BCG, DPT, Polio dan Hepatitis B telah melampaui 75 persen, yang artinya sangat berhasil. Sedangkan tingkat keberhasilan imunisasi campak hanya pada level cukup berhasil, karena
BCG
DPT Laki-laki
POLIO Perempuan
CAMPAK
82,06
81,78
81,49
73,94
74,36
73,5
87,05
86,91
87,2
86,57
86,16
86,99
89,74
89,85
89,63
pencapaiannya yang masih dibawah 75 persen.
HEPATITIS B
Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.9 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Imunisasi dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Persentase balita yang pernah diberikan imunisasi BCG adalah sekitar 89.74 persen. Untuk imunisasi DPT, sebesar 86,57 persen balita yang pernah mendapat imunisasi tersebut. Persentase balita yang pernah diberi imunisasi polio terdapat sekitar 87,05 persen. Untuk balita yang mendapat imunisasi campak persentasenya sekitar 73,94 persen. Balita yang diimunisasi Hepatitis B yaitu 50
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
sebesar 81,78 persen. Dari Gambar 5.9 dapat dilihat tidak ada perbedaan nyata dalam hal pemberian imunisasi baik untuk balita laki-laki maupun perempuan. Sesuai dengan pedoman WHO, anak dinyatakan telah di imunisasi lengkap bila telah mendapatkan satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT, tiga kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak (BPS, 2007).Pemberian imunisasi pada balita seharusnya diberikan secara lengkap dan tepat waktu. Keseluruhan imunisasi sudah harus diberikan secara lengkap sebelum bayi
Perkotaan Laki-laki
43,72
44,46
31,05
32,86
29,24
42,95
50,04
50,12
49,95
berumur 1 tahun.
Perdesaan Perempuan
Perkotaan+Perdesaan Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.10 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014 Pada Gambar 5.10 terlihat bahwa persentase balita berumur 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap (BCG 1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali, campak 2 kalidan Hepatitis B 4 kali) masih cukup rendah, yaitu hanya sebesar 43,72 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara balita laki-laki (42,95 persen) dengan yang perempuan (44,46 persen). Sementara itu persentase balita berumur 1-4 tahun yang mendapat imunisasi lengkap berdasarkan daerah tempat tinggal, berbeda cukup nyata antara daerah perkotaan dan perdesaan. Balita Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
51
berumur 1-4 tahun di perkotaan yang mendapat imunisasi lengkap yaitu sebesar 50,04 persen jauh lebih besar dibandingkan dengan yang di perdesaan sebesar 31,05 persen. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan hal ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat di perdesaan akan pentingnya imunisasi bagi anak dan kurang tersedianya sarana dan prasarana penunjang imunisasi di daerah perdesaan. 44 43 43 44
Banten Kota Tangsel Kota Serang
19
27 56 53
Kota Cilegon
60
Kota Tangerang 30
Serang Tangerang
40
64
46 47
28 27
Lebak Pandeglang
40 Perempuan
52
Laki-laki
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.11 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Kabupaten Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Pada Gambar 5.11 dapat dilihat persentase balita berumur 1-4 tahun yang mendapat imunisasi lengkap menurut Kabupaten/Kota dan jenis kelamin. Balita yang mendapat imunisasi lengkap tertinggi terdapat pada Kota Tangerang (61,82 persen), sedangkan persentase terendah terdapat pada Kota Serang (23,13 persen). Berdasarkan jenis kelamin terdapat perbedaan persentase balita yang mendapat imunisasi lengkap di beberapa kota. Persentase balita perempuan dan laki-laki yang mendapat imunisasi lengkap paling tinggi adalah di Kota Tangerang, yaitu masing-masing sebesar 60,24 persen dan 63,60 persen. Persentase balita
52
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
perempuan dan laki-laki yang mendapat imunisasi lengkap paling sedikit adalah di Kota Serang (26,80 persen balita perempuan dan 18,81 persen balita laki-laki). 5.4 Keluhan Kesehatan Keluhan kesehatan adalah keadaan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan atau kejiwaan, baik karena penyakit akut, penyakit kronis, kecelakaan, kriminal atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Sementara terganggunya kegiatan dapat diartikan tidak dapat melakukan kegiatan secara normal (bekerja, sekolah, kegiatan sehari-hari) sebagaimana mestinya. Dalam Susenas 2014, keluhan kesehatan yang dicakup di antaranya panas,batuk, pilek, asma/napas sesak/cepat, diare/buang-buang air, sakit kepala berulang, sakit gigi dan lainnya. Pertanyaan mengenai keluhan kesehatan tersebut digunakan untuk menghitung angka kesakitan (morbiditas). Seseorang dikatakan sakit jika dia mengalamikeluhan kesehatan dan terganggu aktivitas
Perkotaan Laki-laki
Perdesaan Perempuan
27,9
28,19
27,62
29,26
29,51
27,2
27,53
26,89
29,03
sehari-harinya.
Perkotaan+Perdesaan Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.12 Persentase Anak yang Sakit Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
53
Dari 27,90 persen anak yang sakit di Provinsi Banten Tahun 2014, keluhan kesehatan yang dialami berbeda-beda. Tiga keluhan kesehatan terbesar yang diderita anak adalah pilek (16,85 persen), batuk (16,18 persen) dan panas (15,47 persen). Sementara itu jika dilihat dari jenis kelamin anak, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar jenis keluhan kesehatan yang diderita anak laki-
Panas
Batuk Laki-laki
Pilek
Perempuan
5,3
5,49
5,13
16,85
17,34
16,39
16,18
16,26
16,11
15,47
15,19
15,73
laki dan anak perempuan (Gambar 5.13).
Lainnya
Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014,BPS Provinsi Banten
Gambar 5.13 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Keluhan Terbesar dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Orang-orang yang mengalami keluhan kesehatan, tidak selamanya melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan, diantara mereka ada yang mengobati sendiri. Mengobati sendiri adalah upaya seseorang yang melakukan pengobatan dengan menentukan jenis obat sendiri (tanpa saran/resep dari tenaga kesehatan), baik secara tradisional, modern maupun lainnya. Dari Gambar 5.14 dapat dilihat sebanyak 56,26 persen anak yang mempunyai keluhan kesehatan mengobati sendiri penyakitnya. Mengobati sendiri oleh anak disini
54
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
termasuk anak yang belum mampu mengurus diri sendiri dan dirawat/diobati oleh orang tua, keluarga atau orang dewasa lainnya. Sedangkan jika dilihat dari tipe daerahnya, terdapat perbedaan yang signifikan. Anak yang mempunyai keluhan kesehatan dan mengobati sendiri di daerah perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Artinya anak yang mempunyai keluhan kesehatan di daerah perkotaan lebih banyak mendatangi
Perkotaan Laki-laki
Perdesaan Perempuan
56,26
57,77
54,79
65,89
65,61
66,15
50,96
53,55
48,42
tenaga kesehatan atas keluhan kesehatan yang dideritanya.
Perkotaan+Perdesaan Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.14 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Mengobati Sendiri Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Anak yang mengobati sendiri ketika mengalami keluhan kesehatan menggunakan berbagai macam jenis obat, di antaranya obat modern, obat tradisional dan lainnya. Sebanyak 97,44 persen anak yang mengobati sendiri keluhan kesehatannya, menggunakan obat modern, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Penggunaan obat tradisional sebanyak 8,7 persen, sedangkan obat lainnya sebanyak 3,81 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
55
dalam hal penggunaan ketiga jenis obat tersebut antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sementara itu, penggunaan obat tradisional di daerah perdesaan masih cukup banyak yaitu sebesar 11,43 persen seperti terlihat pada Gambar
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan+Perde saan
5.15.
Lainnya
3,81 3,51 4,12 97,44 98,29 96,57
Modern Traditional Lainnya
8,7 7,92 9,5 4,74 4,33 5,12 98 98,52 97,52
Modern Traditional Lainnya
11,43 9,84 12,92 3,15 2,97 3,35 97,04 98,13 95,85
Modern Traditional
6,77 6,66 6,88
Laki-laki+Perempuan
Perempuan
Laki-laki
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.15 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2014 5.5 Fasilitas Pelayanan Kesehatan Adanya ketidakmerataan pelayanan kesehatan dan sulitnya akses ke pelayanan kesehatan masih menjadi masalah. Sulitnya akses ke pelayanan kesehatan dapat menjadi salah satu penyebab masih adanya masyarakat yang berobat ke bukan tenaga kesehatan atau mengobati sendiri. Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa fasilitas kesehatan dengan tenaga medis lebih menjadi pilihan masyarakat dibandingkan bukan tenaga medis, yaitu 56
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
diantaranya
rumah
sakit
pemerintah,
rumah
sakit
swasta,
praktek
dokter/poliklinik, puskesmas/pustu dan praktek tenaga kesehatan. Tiga jenis fasilitas
kesehatan
yang
paling
banyak
dikunjungi
oleh
anak
adalah
praktekdokter/poliklinik (39,49 persen), puskesmas/pustu (26,85 persen) dan praktek tenaga kesehatan (29,99 persen). Meskipun demikian, masih ada anak yang berobat ke bukan tenaga medis seperti ke praktek pengobatan tradisional (0,93 persen), dukun bersalin (0,25 persen) dan lainnya (1,84 persen). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persentase anak laki-laki dan anak perempuan yang berobat jalan ke masing-masing fasilitas kesehatan, baik tenaga medis maupun bukan tenaga medis. Masih adanya anak yang berobat ke bukan tenaga medis sudah seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan serta mempermudah akses ke pelayanan kesehatan demi terwujudnya kesehatan masyarakat. Tabel 5.1 Persentase Anak yang Berobat Jalan Menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Fasilitas Kesehatan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki +Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
Rumah Sakit Pemerintah
1.03
1.46
1.25
Rumah Sakit Swasta
3.75
5.72
4.73
Praktek Dokter/Poliklinik
42.30
36.62
39.49
Puskesmas/Pustu
24.59
29.15
26.85
Praktik Tenaga Kesehatan
30.06
29.92
29.99
Praktik Pengobatan Tradisional
0.54
1.33
0.93
Dukun Bersalin
0.00
0.51
0.25
Lainnya
1.51
2.17
1.84
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Dilihat menurut kabupaten/kota, kesadaran masyarakat di beberapa kabupaten/kota untuk berobat jalan di fasilitas medis sudah cukup tinggi. Hal ini
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
57
terlihat dari persentase anak yang berobat jalan ke fasilitas medis yang mencapai 100 persen di beberapa kabupaten/kota. Persentase anak yang berobat ke fasilitas medis paling rendah adalah di Kabupaten Lebak, yaitu anak laki-laki sebesar 88,80 persen dan anak perempuan sebesar 92,50 persen
96,30
Banten
98,50 100,00 100,00
Kota Tangsel 94,40
Kota Serang
96,60
100,00
Kota Cilegon
100,00 95,70
Kota Tangerang
100,00
93,60
Serang
99,50 97,20
Tangerang Lebak
88,80
100,00
92,50 100,00
Pandeglang
98,00
Perempuan
Laki-laki
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.16 Persentase Anak yang Berobat Jalan ke Fasilitas Medis Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 5.6 Tingkat Kunjungan Tingkat kunjungan merupakan banyaknya kunjungan pasien ke salah satu fasilitas kesehatan dibandingkan dengan jumlah seluruh kunjungan. Tingkat kunjungan anak ke salah satu fasilitas kesehatan dapat menggambarkan jenis fasilitas kesehatan yang paling diminati sebagai tempat untuk berobat jalan seorang anak. Tingkat kunjungan anak ke fasilitas medis di Banten tahun 2014 cukup tinggi, yaitu 94,74 persen menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan anak cukup tinggi. Dari Gambar 5.17 dapat dilihat bahwa tingkat kunjungan anak yang tertinggi adalah tingkat kunjungan ke 58
praktek
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
dokter/poliklinik yaitu sebesar 47,58 persen. Tingkat kunjungan ke bukan tenaga medis (praktek pengobatan tradisional, dukun bersalin dan lainnya) masih terdapat di Banten. Dari total kunjungan anak yang berobat jalan, 5,27 persen di antaranya berkunjung ke bukan tenaga medis. 0,78 0,77 2,727
RS Pemerintah
3,72 4,66 7,80
RS Swasta Praktek dokter/poliklinik Puskesmas/Pustu
31,97
Praktek nakes 47,58
Praktek Batra Dukun Bersalin
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.17 Tingkat Kunjungan Anak ke Fasilitas Kesehatan di Provinsi Banten, 2014
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
59
PENDIDIKAN
6
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar pokok bagi masyarakat, salah satu cerminan dari kesejahteraan masyarakat adalah tingginya masyarakat yang mampu untuk melaksanakan pendidikan. Hal ini secara jelas tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa tujuan negara antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) pada tahun 1990. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak dinyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28) dan konvensi mengenai HAM yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pendidikan”. Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Melalui UU tersebut, Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Sesuai dengan Undang Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Sesuai dengan definisi anak tersebut, penulisan profil anak tentang pendidikan menggunakan umur 5-17 tahun. 6.1. Partisipasi Sekolah Partisipasi sekolah merupakan indikator yang digunakan untuk melihat akses masyarakat terhadap pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. Partisipasi sekolah penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu tidak/belum pernah sekolah, masih bersekolah, dan tidak bersekolah lagi.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
61
Seseorang dengan status masih sekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti pendidikan baik di suatu jenjang pendidikan formal (pendidikan dasar yaitu SD/MI dan SMP/MTs, pendidikan menengah yaitu SMA/SMK/MA dan pendidikan tinggi yaitu PT) maupun pendidikan non formal (Paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMA) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Instansi Negeri lain maupun Instansi Swasta. Tabel 6.1 menyajikan persentase anak umur 5-17 tahun menurut tipe daerah, jenis kelamin serta partisipasi sekolah untuk pendidikan formal dan non formal. Pada tahun 2014, terdapat 84,08 persen anak berumur 5-17 yang sedang bersekolah. Sedangkan sisanya sebesar 11,68 persen belum/tidak pernah bersekolah dan sebesar 4,64 persen sudah tidak bersekolah lagi. Berdasarkan tipe daerah, terlihat bahwa persentase anak umur 5-17 tahun di perkotaan yang masih bersekolah (84,52 persen) lebih besar dibanding di perdesaan (83,23 persen). Hal ini dimungkinkan karena akses untuk memperoleh pendidikan di perkotaan jauh lebih baik dibanding dengan di perdesaan, serta ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di perkotaan yang lebih lengkap dan memadai dibandingkan dengan di perdesaan. Persentase anak umur 5-17 tahun di perkotaan yang tidak/belum pernah sekolah lebih besar dibanding di perdesaan, sedangkan untuk anak yang sudah tidak bersekolah lagi persentasenya lebih besar di perdesaan dibanding di perkotaan. Pada Tabel 6.1 dapat dilihat bahwa sudah tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dan anak perempuan yang masih bersekolah maupun yang tidak bersekolah lagi. Hal ini sangat mendukung kesetaraan gender dalam pendidikan. Ada sedikit perbedaan antara persentase anak umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah untuk laki-laki dan perempuan. Persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah secara keseluruhan tercatat sebesar 10,67 persen, sedangkan untuk laki-laki sebesar 12,60 persen. Hal ini diduga karena anak perempuan umumnya lebih 62
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
memiliki keinginan untuk bersekolah dibanding anak laki-laki, anak laki-laki cenderung malas untuk bersekolah. Di daerah perkotaan persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah (10,63 persen) lebih rendah dibanding anak laki-laki (13,53 persen). Sementara di daerah perdesaan persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah tidak berbeda signifikan dibanding anak laki-laki. Tabel 6.1 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2014 Tipe Daerah/Jenis Kelamin (1)
Formal + Non Formal Tdk/Blm Sekolah
Masih Sekolah
Tdk Sekolah Lagi
Jumlah
(3)
(4)
(5)
(2)
Perkotaan (K) : Laki-laki (L)
13.53
83.59
2.88
100.00
Perempuan (P)
10.63
85.51
3.86
100.00
12.13
84.52
3.35
100.00
Laki-laki (L)
10.85
82.66
6.49
100.00
Perempuan (P)
10.76
83.87
5.37
100.00
10.81
83.23
5.96
100.00
Laki-laki (L)
12.60
83.27
4.12
100.00
Perempuan (P)
10.67
84.96
4.37
100.00
11.68
84.08
4.24
100.00
L+P Pedesaan (D) :
L+P K+D:
L+P
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Faktor demografis lain yang memengaruhi akses penduduk pada pendidikan antara lain adalah umur. Semakin tinggi kelompok usia sekolah semakin rendah tingkat partisipasi sekolahnya.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
63
Persentase penduduk yang masih sekolah pada kelompok umur 7-12 tahun (kelompok usia SD/MI) tercatat sebesar 99,29 persen, kelompok umur 13-15 tahun (kelompok usia SMP/MTs) sebesar 94,87 persen dan kelompok umur 16– 17 tahun (kelompok usia SM/MA) sebesar 77,54 persen. Penurunan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti akses dan ketersediaan fasilitas sekolah pada jenjang yang lebih tinggi serta biaya sekolah yang lebih mahal. Perkembangan dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan orangtua menyekolahkan anaknya untuk pertama kali pada usia yang masih muda atau sebelum umur yang direkomendasikan. Hasil Susenas tahun 2014 menunjukkan bahwa terdapat anak berumur 5-6 tahun yang saat ini bersekolah (28,26 persen), meskipun pada kelompok umur ini belum merupakan usia wajib sekolah.
Jika
dilihat
berdasarkan
kelompok
umur
pendidikan
yang
direkomendasikan yaitu 7-17 tahun, terlihat bahwa anak pada kelompok umur 717 yang bersekolah sebesar 94,48 persen, anak yang tidak/belum sekolah sebesar 0,49 persen dan anak yang tidak sekolah lagi sebesar 5,03 persen. Tabel 6.2 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2014 Formal + Non Formal Kelompok Umur (1)
Tdk/Blm Sekolah
Masih Sekolah
(2)
(3)
Tdk Sekolah Lagi
Jumlah
(4)
(5)
5–6
71.74
28.26
0.00
100.00
7 – 12
0.55
99.29
0.16
100.00
13 – 15
0.36
94.87
4.76
100.00
16 - 17
0.51
77.54
21.96
100.00
5 – 17
11.68
84.08
4.24
100.00
7 – 17
0.49
94.48
5.03
100.00
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
64
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Dilihat menurut kabupaten/kota, persentase anak usia 5-17 tahun yang masih sekolah paling besar adalah di Kota Cilegon. Sementara persentase anak usia 5-17 tahun yang masih sekolah paling rendah adalah di Kabupaten Pandeglang. Yang perlu menjadi perhatian adalah persentase anak usia 5-17 yang sudah tidak bersekolah lagi di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang. Di kedua kabupaten ini persentase anak usia 5-17 tahun yang sudah tidak bersekolah lagi cukup tinggi bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Hal ini dapat dimungkinkan karena faktor fasilitas pendidikan yang kurang, akses ke fasilitas pendidikan yang sulit, atau biaya sekolah yang mahal.
Banten
11,68
Kota Tangsel
13,69
84,08
4,24
83,80
2,51
Kota Serang
11,34
Kota Cilegon
12,62
85,57
1,81
Kota Tangerang
12,83
84,83
2,33
Serang
11,54
83,50
4,96
Tangerang
10,85
84,75
4,40
Lebak
84,07
9,96
Pandeglang
6,26
83,77
12,00
0,00
4,59
82,31
20,00
Tidak/belum pernah bersekolah
40,00
60,00
Masih bersekolah
5,69
80,00
100,00
Tidak bersekolah lagi
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.1 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2014 6.2. Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Partisipasi
penduduk
usia
sekolah
dalam
mengikuti
pendidikan
berdasarkan jenjang dan umur dapat diketahui melalui indikator Angka Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
65
Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). APS dibedakan menjadi APS 7-12 tahun, APS 13-15 tahun, APS 16- 18 tahun, dan APS 19-24 tahun. APS 7-12 tahun menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 yang saat ini masih bersekolah di jenjang manapun. Sementara itu APM digunakan untuk melihat partisipasi sekolah menurut kelompok usia sekolah sesuai jenjang pendidikannya. APM dibedakan menjadi APM SD, APM SMP, APM SM, dan APM PT.
APM SD
menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 tahun yang masih bersekolah di SD/sederajat. Sedangkan APK digunakan untuk melihat partisipasi sekolah penduduk menurut jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat umur. Seperti APM, APK dibedakan menjadi APK SD, APK SMP, APK SM, dan APK PT. Interpretasi APK SD yaitu angka partisipasi penduduk yang masih bersekolah di jenjang SD/sederajat pada usia berapapun.
Meskipun konsep anak dalam
publikasi ini adalah penduduk yang berusia sampai dengan 17 tahun, khusus untuk APK SM dan APM SM mengacu pada konsep Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yaitu menggunakan kelompok usia 16-18 tahun. Hal ini dilakukan agar interpretasi yang digunakan dalam publikasi ini sama dengan yang dikeluarkan oleh Kemdikbud. Sementara itu kelompok umur APS menyesuaikan dengan kelompok umur anak yaitu kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-17 tahun. 6.2.1. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah dan sebagai indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. APS adalah gambaran penduduk yang bersekolah menurut kelompok umur. Kegiatan bersekolah tidak saja bersekolah di jalur formal akan tetapi juga termasuk bersekolah di jalur non formal seperti paket A setara SD/MI, paket B setara SMP/MTs dan paket C setara SM/MA. 66
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Gambar 6.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 APS 7-12 tahun sebesar 99,29 persen. Hal ini berarti dari 100 anak usia 7-12 tahun, sekitar 99 anak masih bersekolah dan 1 anak tidak bersekolah (tidak pernah sekolah dan tidak sekolah lagi), APS 13-15 tahun sebesar 94,87 persen dan APS 16-17 tahun sebesar 77,54 persen. Jika dilihat menurut jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang signifikan APS anak lai-laki dan APS anak perempuan pada setiap kelompok umur. Gambar 6.2 juga memperlihatkan bahwa semakin tinggi kelompok usia sekolah semakin
7-12 Laki-laki
13-15 Perempuan
77,54
77,06
77,99
94,87
94,85
94,90
99,29
98,98
99,62
rendah persentase anak yang bersekolah.
16-17 Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 APS anak usia 7-12 tahun di seluruh kabupaten/kota tidak berbeda signifikan. Namun semakin tinggi kelompok umur, semakin terlihat perbedaan APS antara kabupaten/kota. APS tertinggi untuk anak usia 13-15 tahun adalah di Kota Tangerang dan 16-17 tahun adalah di Kota Cilegon. Sementara APS paling rendah untuk anak usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun adalah di Kabupaten Pandeglang dan APS paling rendah untuk anak usia 16-17 tahun adalah di Kabupaten Lebak. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
67
Banten
99,29 94,87
77,54
Kota Tangsel
86,83
Kota Serang
99,16 93,22
75,64
Kota Cilegon
99,47 96,32
89,03
Kota Tangerang
99,60 98,21
83,29
Serang
99,89 95,36
73,06
Tangerang
99,47 94,69
78,95
Lebak
99,46 92,71
65,52
Pandeglang
71,62
7-12
13-15
99,60 98,03
97,48 91,32
16-17
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.3 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 6.2.2. Angka Partisipasi Murni (APM) Angka
Partisipasi
Murni
(APM)
merupakan
proporsi
penduduk
kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah penduduk pada kelompok
usia
sekolah
tersebut.
APM
berfungsi
untuk
menunjukkan
partisipasi pendidikan penduduk pada tingkat pendidikan tertentu yang sesuai dengan usianya, atau melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai usianya. Sebagai gambaran misalnya APM
SD adalah proporsi jumlah anak berusia 7 – 12 tahun yang
bersekolah di SD/sederajat terhadap jumlah seluruh anak yang berusia 7 – 12 tahun. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Bila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan mencapai 100 persen. 68
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Sesuai dengan target MDG’s, disebutkan bahwa pencapaian APM SD ditargetkan dapat mencapai 95 persen pada tahun 2015. Gambar 6.4 menunjukkan bahwa pada tahun 2014, pencapaian APM SD sebesar 96,69 persen, APM SMP sebesar 79,56 persen dan APM SMA sebesar 56,87 persen. Sama halnya dengan APS, semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin
96,69 79,56
78,98
80,21
96,46
96,93
rendah besaran APM.
56,87
56,46
57,25
SD SMP SMA
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.4 Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Dilihat menurut jenis kelamin, tampak bahwa APM anak perempuan sedikit lebih tingi dibandingkan dengan APM anak laki-laki kecuali pada jenjang pendidikan SM/sederajat. Pada jenjang pendidikan SM/sederajat, APM anak lakilaki sedikit lebih tinggi (57,25 persen) dibanding APM anak perempuan (56,46 persen). Secara umum, APM SD persentasenya tidak berbeda signfikan di setiap kabupaten/kota. Kesenjangan APM semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya jenjang pendidikan. Pada jenjang SMP dan SM, APM paling tinggi adalah di Kota Cilegon dan yang paling rendah adalah di Kabupaten Lebak. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
69
Banten Kota Tangsel
63,39
Kota Serang Kota Cilegon
81,42
60,28
81,67
56,18
Tangerang
84,71
55,31
Lebak
68,94
46,49
Pandeglang
56,98
SD
SMP
97,21 85,93
69,69
Serang
98,33
76,48 75,96
59,08
Kota Tangerang
96,69
79,56
56,87
75,05
96,31
93,75 97,99 97,57 97,56 94,30
SMA
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.5 Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 6.2.3 Angka Partisipasi Kasar (APK) Angka Partisipasi Kasar (APK) mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan menurut jenjang pendidikan tanpa melihat umur. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. APK SD merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang sekolah di SD/sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7 – 12 tahun. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen apabila jumlah murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan (misal anak bersekolah di SD/sederajat berumur kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun).
70
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
72,94
89,55
84,42
87,19
71,67
109,89
110,23
111,95
89,33
SD SMP SMA
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.6 Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Berdasarkan Gambar 6.6 diketahui bahwa APK SD sebesar 109,89 persen, APK SMP sebesar 89,55 persen dan APK SMA sebesar 72,94 persen. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah APK. Penurunan APK pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi sejalan dengan kecenderungan penurunan APS dan APM pada usia atau jenjang yang semakin tinggi. Jika dibandingkan dengan APM SD sebesar 96,69 persen, APK SD sebesar 109,89 menunjukkan bahwa ada sekitar 13,2 persen anak yang bersekolah di SD/sederajat berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Dengan kata lain angka tersebut menunjukkan bahwa murid SD/ sederajat selain mencakup anak yang berusia 7 – 12 tahun, juga mencakup anak yang berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Kondisi ini diduga lebih banyak disebabkan banyak anak yang terlalu dini untuk bersekolah SD/sederajat. Dilihat menurut jenis kelamin terlihat bahwa pada jenjang pendidikan SD/sederajat APK anak laki-laki lebih tinggi dibanding APK anak perempuan (APK SD anak laki-laki sebesar 111,95 dan APK SD anak perempuan sebesar 110,23).
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
71
Hal ini juga berlaku pada APK SMP/sederajat. Sebaliknya pada jenjang SM/sederajat, APK anak perempuan lebih tinggi dibanding APK anak laki-laki (Gambar 6.6).
Banten
72,94
Kota Tangsel
89,55
82,35 84,38
Kota Serang
71,38
86,65
79,34
Serang
67,56
Tangerang
68,79
Lebak
63,95
Pandeglang
91,00 91,15 81,67
85,66 75,32
SD
SMP
105,53 108,36
109,59 96,70 94,52 103,14 98,54
Kota Cilegon Kota Tangerang
109,89
109,22 116,16 113,72 107,39
SMA
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.7 Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-18 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 Pada semua Kabupaten/Kota, masih banyak anak usia dibawah 7 tahun atau diatas 12 tahun yang bersekolah pada jenjang SD. APK SMP paling tinggi adalah di Kota Tangerang sebesar 98,54 persen, sedangkan APK SMA paling tinggi adalah di Kota Cilegon sebesar 94,52 persen. APK SMP maupun SMA paling rendah adalah di Kabupaten Lebak. 6.3 Angka Putus Sekolah Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dan terarah. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab II Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak 72
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Melalui pendidikan, terutama pendidikan di sekolah, seorang anak tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga dapat mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang matang secara kognitif, afektif, maupun motorik. Selanjutnya, di dalam UU No. 23 Tahun 2002 Bab IX Pasal 49 juga disebutkan bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan yang layak dan seluas-luasnya hingga menyebabkan mereka putus sekolah. Putus sekolah didefinisikan sebagai seseorang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan atau berhenti bersekolah dalam suatu jenjang pendidikan sehingga belum memiliki ijazah pada jenjang pendidikan tersebut. Dalam upaya penuntasan wajib belajar sembilan tahun, putus sekolah masih merupakan persoalan tersendiri yang perlu penanganan serius dalam mencapai pendidikan untuk semua (Education for All). Tabel 6.3 menyajikan persentase penduduk berumur 7-17 tahun yang pernah/ sedang bersekolah menurut tipe daerah, jenis kelamin dan status sekolahnya. Pada tahun 2014, persentase penduduk usia 7-17 tahun yang pernah sekolah dengan status putus sekolah di Provinsi Banten sebesar 1,40 persen, artinya dari setiap 1000 orang penduduk usia 7-17 tahun terdapat 14 anak yang putus sekolah. Angka ini mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu, dan sering digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan. Bila dilihat menurut tipe daerah, anak putus sekolah lebih banyak terjadi di perdesaan (1,98 persen) dibandingkan di perkotaan (1,10 persen). Sementara itu, jika diamati berdasarkan jenis kelamin, putus sekolah lebih banyak dialami oleh anak laki-laki (1,73 persen) dibanding anak perempuan (1,06 persen). Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
73
Tabel 6.3
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Pernah/Sedang Sekolah Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014
Tipe Daerah/Jenis Kelamin (1)
Perkotaan : Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan
Masih Sekolah
Pernah Sekolah Putus Sekolah
Tamat Sekolah
(2)
(3)
(4)
95,93
1,10
2,38
95,36 95,65
1,10 1,10
3,41 2,89
91,45 93,10 92,23
2,87 0,99 1,98
4,79 5,32 5,04
94,36 94,61
1,73 1,06
3,23 4,05
94,48
1,40
3,63
Perdesaan : Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan Perkotaan + Perdesaan : Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Salah satu upaya pemerintah dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hak setiap anak untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan yang nyaman diciptakan suatu kawasan atau kota layak untuk tempat tinggal anak atau sekarang dikenal dengan Kota Layak Anak (KLA). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) mengembangkan 31 indikator KLA yang dikelompokkan melalui 5 kluster. Salah satu kluster menyebutkan bahwa semua anak berhak untuk memperoleh akses pendidikan dengan indikator rinci yaitu tidak ada anak yang mengalami drop out atau putus sekolah pada semua jenjang pendidikan. Indikator ini menjadi ukuran capaian pemenuhan hak-hak anak dalam bidang pendidikan. Sejalan dengan masih adanya anak yang mengalami putus sekolah, peran aktif dari berbagai pihak (stakeholder) sangat diperlukan agar tidak ditemukan lagi adanya anak yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan.
74
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Tabel 6.4
Angka Putus Sekolah Penduduk Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Sekolah di Provinsi Banten, 2014 7-12
Kelompok Umur 13-15
16-17
(2)
(3)
(4)
Laki-laki
0,13
0,87
4,83
Perempuan
0,00
1,16
4,61
Laki-laki + Perempuan
0,07
1,01
4,72
Laki-laki
0,48
3,94
8,95
Perempuan
0,20
1,27
3,54
Laki-laki + Perempuan
0,34
2,72
6,51
Laki-laki
0,25
2,00
6,27
Perempuan
0,07
1,20
4,28
Laki-laki + Perempuan
0,16
1,62
5,30
Tipe Daerah/ Jenis Kelamin (1)
Perkotaan :
Perdesaan :
Perkotaan + Perdesaan :
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Hasil Susenas 2014 menunjukkan bahwa anak putus sekolah cenderung meningkat seiring bertambahnya kelompok umur, seperti pada Tabel 6.4. Pada kelompok umur 7-12 tahun terdapat 0,16 persen anak yang putus sekolah. Selanjutnya, pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 1,62 persen dan pada kelompok umur 16-17 tahun meningkat menjadi 5,30 persen anak putus sekolah. Dilihat dari tipe daerah tempat tinggal, dari semua kelompok umur yang berbeda anak yang bertempat tinggal di daerah perdesaan lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak yang berada di daerah perkotaan. Bila dilihat menurut jenis kelamin, anak laki-laki cenderung lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pola yang sama terjadi baik pada kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun maupun 16-17 tahun.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
75
Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun oleh pemerintah sejak tahun 1994 menunjukkan keberhasilan jika dilihat dari angka partisipasi sekolah di semua tingkatan (lihat Sub bab 6.2). Angka partisipasi murni SD saat ini sudah mencapai 90 persen lebih, sedangkan SMP di angka 70-an persen dengan tren membaik setiap tahun. Meskipun angka partisipasi sekolah terus meningkat, namun masih terdapat sejumlah siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikannya atau putus sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Hasil Susenas 2014 menunjukkan bahwa angka putus sekolah masih didominasi pada jenjang pendidikan SMP/sederajat yaitu sebesar 1,95 persen (Tabel 6.5). Tabel 6.5
Angka Putus Sekolah Penduduk Berumur 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2014 Jenjang Pendidikan
Tipe Daerah/ Jenis Kelamin
SD/Sederajat
SMP/Sederajat
SMA/Sederajat
(1)
(2)
(3)
(4)
Laki-laki
0,96
1,60
0,85
Perempuan
0,94
0,98
1,88
Laki-laki + Perempuan
0,95
1,29
1,37
Laki-laki
2,59
4,01
1,67
Perempuan
0,75
2,06
0,00
Laki-laki + Perempuan
1,71
3,13
0,81
Laki-laki
1,55
2,50
1,06
Perempuan
0,87
1,34
1,38
Laki-laki + Perempuan
1,22
1,95
1,23
Perkotaan :
Perdesaan :
Perkotaan + Perdesaan :
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
76
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Berdasarkan tipe daerah tempat tinggal, anak putus sekolah yang tinggal di daerah perdesaan lebih besar persentasenya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Kondisi ini berlaku pada jenjang pendidikan SD/sederajat dan SMP/sederajat. Sementara pada jenjang SM/sederajat berlaku sebaliknya, persentase anak putus sekolah di perdesaan lebih kecil dibanding di perkotaan. Hal ini diduga karena di perdesaan lebih sedikit anak yang melanjutkan sekolah hingga jenjang
SM/sederajat.
Menurut
jenis
kelamin,
anak
laki-laki
memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pada jenjang SD/sederajat, angka putus sekolah anak laki-laki (1,55 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (0,87 persen). Begitu pula pada jenjang SMP/sederajat, angka putus sekolah anak laki-laki (2,50 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (1,34 persen). Pada jenjang SM/sederajat berlaku sebaliknya, angka putus sekolah anak perempuan (1,38 persen) lebih tinggi daripada anak laki-laki (1,06 persen). 6.4. Alasan Tidak Sekolah Pendidikan belum dapat dinikmati oleh seluruh anak di Provinsi Banten, sehingga masih terdapat anak-anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa alasan yang melatarbelakanginya antara lain karena tidak ada biaya, bekerja, menikah/mengurus rumah tangga, sekolah jauh, tidak suka/malu, tidak diterima, cacat, dan lain-lain. Alasan karena tidak ada biaya dan bekerja umumnya berkaitan erat dengan faktor ekonomi (kemiskinan atau kemampuan ekonomi orang tua). Alasan sekolah jauh berkaitan dengan faktor geografis seperti daerah perbukitan, wilayah pedalaman, dan kepulauan sehingga akses sekolah sulit dijangkau ataupun ketersediaan jumlah sekolah yang minim. Sementara untuk alasan karena tidak suka/malu, menikah/mengurus rumah tangga dan lain-lain, umumnya berkaitan dengan faktor sosial budaya seperti tidak naik kelas, motivasi anak rendah, kurangnya Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
77
perhatian orang tua memotivasi anak, atau adanya anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi. Dari beberapa faktor yang dikemukakan di atas, permasalahan ekonomi sangat dominan menjadi penyebab anak tidak sekolah. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.6, mayoritas anak berumur 7-17 tahun tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan alasan tidak ada biaya yaitu sebesar 55,84 persen. Faktor ekonomi juga bisa menyebabkan seorang anak harus bekerja/mencari nafkah sehingga mendorong mereka untuk tidak sekolah. Ada sebesar 10,13 persen anak yang tidak sekolah dengan alasan bekerja/mencari nafkah. Selain itu terdapat anak yang tidak bersekolah karena alasan cacat (3,12 persen), merasa pendidikan cukup (2,47 persen), menikah/mengurus rumah tangga (2,01 persen), dan sekolah jauh (1,47 persen). Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Bab VI Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Untuk menunjang program wajib belajar tersebut, pemerintah telah meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang pada dasarnya bertujuan untuk meringankan beban semua siswa dan membebaskan siswa miskin dari kewajiban membayar uang sekolah. Namun, seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa persentase anak usia 7-17 tahun yang tidak bersekolah dengan alasan tidak ada biaya relatif masih tinggi. Kondisi ini mencerminkan bahwa program sekolah gratis untuk tingkat pendidikan dasar yang didengungkan pemerintah, ternyata belum sepenuhnya terealisasi dan dinikmati oleh masyarakat luas. Di sisi lain, juga masih ditemukan alasan anak yang tidak bersekolah karena sekolah jauh. Di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas (seperti wilayah pedalaman) dimana sarana transportasi tidak memadai dan jumlah sekolah yang terbatas menjadi pendorong mereka tidak/belum sekolah atau tidak bersekolah lagi. Hal ini mengindikasikan belum meratanya fasilitas sekolah yang 78
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
dapat diakses oleh penduduk sehingga menyebabkan anak tidak dapat bersekolah. Tabel 6.6 Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi Menurut Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Alasan Tdk/Belum Pernah Sekolah/Tdk Bersekolah lagi (1)
Tidak Ada Biaya Bekerja/Mencari Nafkah Menikah/ Mengurus RT Merasa Pendidikan Cukup Malu Karena Ekonomi
Perkotaan
Perkotaa+ Perdesaan
Perdesaan
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
53,09 48,75 50,81 57,24 66,77 61,24 55,30 56,45 55,84 12,51 19,09 15,96
3,94
3,80
3,88
7,95
12,55 10,13
0,00
5,62
2,95
0,00
2,41
1,01
0,00
4,25
2,01
6,62
1,79
4,08
0,00
1,77
0,74
3,10
1,78
2,47
1,12
0,65
0,87
0,00
1,14
0,48
0,52
0,86
0,68
Sekolah Jauh
0,00
2,16
1,13
1,89
1,77
1,84
1,01
1,99
1,47
Cacat
5,04
1,04
2,94
5,72
0,00
3,31
5,40
0,60
3,12
Menunggu Pengumuman
0,56
0,83
0,70
0,00
0,00
0,00
0,26
0,47
0,36
Tidak Diterima
1,51
0,27
0,86
0,00
0,00
0,00
0,71
0,15
0,44
Lainnya
19,56 19,82 19,69 31,22 22,35 27,49 25,76 20,90 23,46
Jumlah
100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Bila dilihat menurut jenis kelamin, proporsi anak perempuan yang tidak bersekolah dengan alasan menikah/mengurus rumah tanga sebesar 4,25 persen. Begitu pula untuk alasan tidak ad biaya, bekerja, malu karena ekonomi, sekolah jauh, dan menunggu pengumuman persentasenya lebih tinggi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. Sebaliknya, anak laki-laki yang tidak Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
79
bersekolah karena alasan merasa pendidikan cukup, cacat, dan tidak diterima memiliki persentase lebih besar dibanding anak perempuan. 6.5. Angka Buta Huruf Buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Kemampuan membaca dan menulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Masih tingginya jumlah penduduk yang tidak dapat membaca dan menulis dapat berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya perlu dilakukan pemberantasan buta huruf secara menyeluruh, serentak dan terpadu dengan dilandasi semangat gotong royong dari seluruh elemen pemerintah dan masyarakat. Masalah buta huruf menjadi persoalan yang terjadi hampir di semua negara, khususnya negara berkembang yang erat kaitannya dengan kondisi kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan masyarakatnya. Dalam rangka menangani permasalahan tersebut, badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan badan-badan internasional lainnya melakukan kampanye dan sosialisasi pentingnya pemberantasan buta huruf di seluruh dunia. UNDP menjadikan angka melek aksara sebagai variabel dari empat indikator untuk menentukan Indeks Pembangunanan Manusia (IPM) suatu negara, di samping rata-rata lama pendidikan, rata-rata usia harapan hidup (indeks kesehatan) serta indeks perekonomian berupa pengeluaran per kapita. Di Indonesia, berbagai upaya dalam pemberantasan buta huruf telah dilakukan oleh pemerintah bahkan sejak awal kemerdekaan tahun 1945. Pada tahun 2006, Presiden menginstruksikan kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan dalam rangka memberantas buta aksara yang tertuang dalam Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang 80
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Buta Aksara (GN-PPBA). Keseriusan dan
komitmen
pemerintah
juga
diimplementasikan
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 bahwa salah satu target pembangunan pendidikan adalah menurunnya angka buta huruf penduduk 15 tahun ke atas menjadi sekitar 4 persen pada tahun 2014. Sebagai implementasinya pemerintah telah melakukan berbagai program seperti program Keaksaraan Fungsional (KF) sejak tahun 2007. Program ini dimaksudkan untuk memberantas kebutaaksaraan dengan fokus kegiatan melalui diskusi, membaca, menulis, berhitung dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam aktivitas yang berkaitan dengan kebutuhan keseharian. Bentuk penghargaan atas mereka yang mengikuti kegiatan keaksaraan dan dinyatakan lulus, pemerintah memberikan sertifikat “SUKMA” (Surat Keterangan Melek Aksara) yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mengikuti program Paket A setara SD/MI. Selain itu, guna melayani kebutuhan membaca di kalangan masyarakat pemerintah menyediakan program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diharapkan dapat ikut memberantas buta huruf dan meningkatkan minat baca masyarakat. Menurut data hasil Susenas, pada tahun 2014 angka buta huruf (ABH) anak berumur 5-17 tahun masih relatif tinggi yaitu sebesar 12,18 persen. Relatif tingginya ABH anak tersebut disebabkan sumbangan ABH yang cukup tinggi pada kelompok usia 5-6 tahun sebesar 62,26 persen. Hal ini dapat dipahami karena anak pada kelompok umur tersebut pada umumnya belum duduk di bangku sekolah. Pada anak kelompok usia sekolah (7-17 tahun), ABH semakin menurun dengan meningkatnya usia sekolah. Bahkan pada kelompok usia 16-17 tahun dapat dikatakan sudah tidak ada lagi anak buta huruf. Hal ini mengindikasikan program pelaksanaan wajib belajar berjalan dengan baik, yang salah satu hasilnya adalah pemberantasan buta huruf. Namun terlihat adanya perbedaan ABH yang cukup signifikan antara daerah perkotaan dan perdesaan, terutama pada anak Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
81
usia 7-12 tahun yaitu ABH di perkotaan sebesar 3,39 persen, sedangkan di perdesaan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 8,12 persen. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok umur 13-15 tahun. Tabel 6.7. Angka Buta Huruf Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah,Jenis Kelamin dan Kelompok Usia Sekolah di Provinsi Banten, 2014 Tipe Daerah / Jenis Kelamin
Kelompok Usia Sekolah 5–6
7 - 12
13 – 15
16 -17
5 -17
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Laki-laki
58,79
3,36
0,06
0,00
11,86
1,91
Perempuan
54,92
3,42
0,00
0,00
9,57
1,93
Laki-laki+Perempuan
57,11
3,39
0,03
0,00
10,75
1,92
Laki-laki
73,93
10,51
0,44
0,00
16,26
5,83
Perempuan
71,55
5,59
0,43
0,00
13,51
3,32
Laki-laki+Perempuan
72,82
8,12
0,43
0,00
14,96
4,64
Laki-laki
63,58
5,81
0,20
0,00
13,38
3,29
Perempuan
60,63
4,15
0,15
0,00
10,89
2,40
Laki-laki+Perempuan
62,26
5,00
0,18
0,00
12,18
2,85
(1)
7-17
Perkotaan :
Perdesaan :
Perkotaan+Perdesaan :
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Jika dilihat menurut jenis kelamin, ABH anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan ABH anak perempuan. Pola ini berlaku pada semua kelompok usia sekolah, terutama pada kelompok usia 7-12 tahun dimana ABH anak laki-laki sebesar 5,81 persen dan ABH anak perempuan sebesar 4,15 persen. Hal ini disebabkan ABH laki-laki 7-12 tahun di perdesaan yang hampir dua kali lipat dibanding ABH perempuan. 82
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
6.6. Sarana ke Sekolah Sarana dan prasarana pendidikan merupakan penunjang penting bagi tercapainya suatu tujuan dari pendidikan dan menjadi prasyarat awal dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya, merupakan hal yang penting untuk mendapatkan gambaran kondisi pemerataan sarana dan prasarana pendidikan, agar kebijakan di bidang pendidikan khususnya di bidang sarana dan prasarana dapat lebih tepat arah dan tepat sasaran. Salah satu sarana pendidikan yang merupakan komponen penting dalam menunjang keberhasilan pendidikan adalah sarana angkutan ke sekolah. Informasi mengenai sarana ke sekolah ini sangat berguna untuk melihat sampai seberapa jauh pemerintah melakukan upaya penyediaan sarana angkutan terutama bagi penduduk yang bertempat tinggal jauh di pedalaman dan belum terjangkau sarana angkutan yang memadai. Hasil Susenas 2014 menunjukkan bahwa di Provinsi Banten mayoritas siswa atau lebih dari separuh penduduk usia 7-17 tahun yang masih sekolah pergi ke sekolah tanpa menggunakan kendaraan atau hanya berjalan kaki (61,04 persen), seperti yang terlihat pada Tabel 6.8. Ada dua dugaan penyebab terjadinya hal ini, yaitu jarak sekolah yang relatif dekat dengan tempat tinggal atau jarak sekolah yang jauh namun belum tersedia sarana transportasi yang memadai. Sementara sisanya sekitar 38,96 persen siswa pergi ke sekolah menggunakan sarana kendaraan, yaitu berturut-turut 17,28 persen siswa menggunakan sepeda motor pribadi, 14,59 persen siswa mengunakan kendaraan umum, 3,26 persen siswa menggunakan sepeda, dan hanya 1,04 persen siswa menggunakan mobil pribadi, becak/dokar, serta kendaraan dinas.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
83
Tabel 6.8 Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Masih Sekolah Menurut Sarana Angkutan ke Sekolah, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Sarana Angkutan ke Sekolah (1)
Perkotaan
Perkotaan+ Perdesaan
Perdesaan
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
Tanpa kendaraan
51,93 51,11 51,53 79,90 79,98 79,94 61,45 60,60 61,04
Sepeda
5,44
Sepeda motor pribadi
20,67 19,76 20,22 12,66 10,10 11,44 17,94 16,58 17,28
Becak/dokar
0,21
3,42
1,26
0,51
0,90
4,02
2,46
3,26
0,22
0,00
0,00
0,00
0,14
0,15
12,96 16,41 14,65
3,68
6,00
4,79
9,80
12,99 11,35
3,99
3,47
3,74
1,90
2,63
2,25
3,28
3,20
3,24
Mobil pribadi
1,32
1,10
1,21
0,00
0,00
0,00
0,87
0,74
0,81
Sepeda motor dinas
0,00
0,10
0,05
0,00
0,09
0,04
0,00
0,10
0,05
Mobil dinas
0,00
0,08
0,04
0,00
0,00
0,00
0,00
0,05
0,03
Kendaraan umum dengan rute tertentu Kendaraan bermotor umum lainnya
0,22
4,45
0,14
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Bila dilihat menurut jenjang pendidikan, sebagian besar siswa SD/sederajat (74,36 persen) dan SMP/sederajat (50,34 persen) pergi ke sekolah tanpa kendaraan atau dengan berjalan kaki (Tabel 6.9). Hal ini dapat menggambarkan jarak tempuh ke sekolah yang relatif dekat. Adanya Instruksi Presiden (Inpres) Tahun 1973, tentang pembangunan SD di setiap desa/kelurahan memudahkan masyarakat untuk menyekolahkan anak di sekitar daerah tempat tinggal. Hal ini dapat juga disebabkan jarak tempuh yang jauh namun karena belum tersedia transportasi yang memadai sehingga mereka harus berjalan kaki. Dilihat menurut sarana ke sekolah, sarana kendaraan terutama sepeda motor pribadi dan kendaraan umum lebih banyak digunakan oleh pelajar SM/sederajat (40,56
84
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
persen). Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya sarana gedung SM/sederajat hanya tersedia di pusat kota. Tabel 6.9 Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun ke Atas yang Masih Sekolah Menurut Sarana Angkutan ke Sekolah dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2014 Sarana Angkutan ke Sekolah (1)
SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat (2)
(3)
(4)
Tanpa Kendaraan
74,36
50,34
24,62
Sepeda
3,60
3,90
0,73
Sepeda Motor Pribadi
11,03
18,75
40,56
Becak/Dokar
0,22
0,05
0,00
4,57
19,17
25,61
2,28
4,52
5,00
Mobil Pribadi
0,80
0,97
0,57
Kendaraan Dinas
0,06
0,00
0,10
Lainnya
0,04
0,00
0,00
Kendaraan Umum dgn Rute Tertentu Kendaraan Bermotor Umum Lainnya
Sumber : Susenas 2014, BPS Provinsi Banten
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
85
PERLINDUNGAN KHUSUS
7
Anak adalah kaum yang paling rentan, mereka sulit untuk melawan segala tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehinga negara berkewajiban memenuhi hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Pemerintah telah berupaya untuk memberikan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi seorang anak. Pengesahan UU No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merupakan salah satu perwujudan nyata upaya Pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi anak. Produk hukum lainnya yang berupaya memberikan perlindungan bagi anak adalah Undang-Undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada tahun 2002, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan tentang hak-hak anak termasuk didalamnya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan. Perlindungan anak dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak anak merupakan upaya perlindungan yang diberikan untuk semua anak tanpa kecuali. Sedangkan perlindungan khusus seperti yang disebutkan pada Bab I Undang-Undang tersebut merupakan upaya perlindungan yang hanya diberikan bagi anak yang mengalami situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan tersebut antara lain diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang bermasalah hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak korban tindak pidana, anak penyandang cacat dan anak terlantar. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 secara rinci menyebutkan bahwa perlindungan khusus diberikan kepada :
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
87
1. Anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata) 2. Anak yang berhadapan dengan hukum 3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi 4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual 5. Anak yang diperdagangkan 6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan NAPZA 7. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan 8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental 9. Anak korban perlakuan salah/penelantaran 10. Anak penyandang cacat. Terkait dengan masalah keterbatasan data, pada bab ini akan dibahas cakupan anak yang memerlukan perlindungan khusus bermasalah pada anak bermasalah hukum, anak bermasalah sosial, anak penyandang cacat dan pekerja anak. 7.1. Anak Bermasalah Hukum Anak bermasalah hukum yang dimaksudkan dalam kajian ini merujuk pada konsep “anak yang berhadapan dengan hukum” yang digunakan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002. Pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Sesuai dengan delik hukum, konflik hukum yang dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa, pada umumnya merupakan konsekuensi dari tindakan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Atas perbuatan tersebut, pelakunya dapat diancam dengan sanksi atau hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum pidana, tindakan atau perbuatan melanggar hukum tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana,
88
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
sedangkan sanksi hukumannya disebut sebagai pidana (disadur dari Profil Anak Indonesia, 2012). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNAIR pada tahun 2003 beberapa faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana di Jawa Timur sebagian besar karena kondisi ekonomi yang tidak mampu (74,71%), pendidikan rendah (72,76%), lingkungan pergaulan dan masyarakat yang buruk (68,87%) dan yang terakhir karena lingkungan keluarga yang tidak harmonis (66,15%). Dari hasil penelitian ini penyebab utama yang paling besar adalah karena kondisi ekonomi yang tidak mampu dengan presentase sebanyak 74,71%. Kondisi ekonomi yang tidak mampu memang dapat membuat anak berbuat jahat apabila imannya kurang dan keinginannya akan sesuatu tidak terpenuhi oleh orang tuanya. Tindakan yang mungkin dilakukannya bisa berbentuk pencurian benda yang di inginkannya. Selain itu, adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Hal ini pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Tingginya frekuensi tontonan adegan kekerasan juga akan melahirkan apa yang di sebut dengan “kultur kekerasan” yang akan menimbulkan penggunaan tindak kekerasan yang mengarah kepada tindak pidana. Anak juga bisa melakukan tindak pidana karena terinspirasi dari tayangan film yang bernuansa pornografi dan pornoaksi
(http://jilbabkujiwaku.blogspot.co.id/2011/02/proses-pemidanaan-
terhadap-anak-di.html). Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Dengan pertimbangan inilah Pemerintah menyusun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
89
Undang-Undang ini, anak yang bermasalah dengan hukum/perkara disebut sebagai anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun dan belum mencapai umur 18 tahun serta belum kawin. Sejalan dengan itu, analisis mengenai profil dan perkembangan anak bermasalah hukum pada bagian ini dilakukan dengan menggunakan data jumah putusan pengadilan terhadap jenis tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan jumlah narapidana anak/anak pidana hasil registrasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kondisi 31 Desember 2014 yang diunduh dari kemenkumham.go.id. Sedangkan analisis mengenai profil dan perkembangan anak korban tindak pidana dilakukan dengan menggunakan data anak korban tindak kejahatan/kriminalitas berdasarkan Susenas 2014. 7.1.1. Anak Pelaku Tindak Pidana Anak yang terkait dengan permasalahan hukum dimasukkan dalam dua kriteria yaitu anak didik pemasyarakatan dan tahanan anak. Dimasukkan sebagai anak didik pemasyarakatan apabila sudah jatuh keputusan terhadap tindakan pidana yang dilakukan oleh anak tersebut. Sedangkan tahanan anak adalah anak yang masih dalam proses pemeriksaan, penyidikan atau penuntutuan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan Pasal 1 (Ketentuan Umum) Butir 8 dijelaskan bahwa anak didik pemasyarakatan adalah : a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua/walinya memeroleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun. 90
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Dalam perkara hukum, seorang pelaku tindak pidana ditetapkan sebagai terpidana melalui beberapa tahapan. Tahap pertama ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik. Seseorang dinyatakan menjadi tersangka jika ada bukti permulaan bahwa ia patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Setelah buktibukti dirasa cukup, tersangka akan dituntut, diperiksa dan diadili di pengadilan dan berganti status menjadi terdakwa. Dan apabila dalam proses peradilan hakim menemukan bukti-bukti yang kuat yang menyatakan si terdakwa memang bersalah, setelah hakim mengetok palunya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (incraht), maka saat itu pun si terdakwa berubah statusnya menjadi terpidana. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Tinggi Banten tahun 2014, sebanyak 220 kasus tindak pidana telah disidangkan. Dari total kasus tersebut, sebanyak 37 kasus tindak pidana dilakukan oleh anak-anak. Sebagian besar jenis tindak pidana dengan terdakwa anak adalah tindak pidana narkotika/psikotropika sebanyak 19 kasus. Hal ini yang membutuhkan penanganan khusus, karena para terdakwa ini tidak hanya sebagai pengedar tetapi juga sebagai pengguna narkoba. Pengadilan Anak 16%
Tindak Pidana Lain 3%
Tindak Pidana Narkotika/Psi kotropika 51%
Pencurian 24%
Kejahatan thd Negara 3%
Penadahan 3%
Gambar 7.1 Jumlah Persidangan Kasus Tindak Pidana dengan Terdakwa Anak di Provinsi Banten Periode Januari-Desember 2014 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
91
Di Provinsi Banten terdapat 6 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan 4 Rumah Tahanan (Rutan) yang tersebar di 5 Kabupaten/Kota. Baik Lapas ataupun Rutan,
keduanya
menampung
narapidana
dan
tahanan.
Berdasarkan
pengelompokkan umur, terdapat 2 (dua) Lapas untuk anak-anak yaitu Lapas Kelas II Anak Pria Tangerang dan Lapas Kelas IIb Anak Perempuan Tangerang. Penghuni kedua Lapas ini berasal dari berbagai daerah, sehingga tidak dapat menggambarkan masalah “anak yang berhadapan dengan hukum” di Provinsi Banten. Berdasarkan data yang diunduh dari web kemenkumham.go.id, pada Desember 2014, jumlah anak pelaku tindak pidana sebanyak 94 orang. Dari jumlah tersebut, 84 persen diantaranya (79 anak) berstatus narapidana dan hanya sebanyak 15 anak yang berstatus tahanan (Tabel 7.1). Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 88 anak (94 persen) pelaku tindak pidana adalah anak laki-laki dan yang perempuan hanya sebanyak 6 anak (6 persen). Tabel 7.1 Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2014 Kelompok Usia
Status
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Dewasa
Anak-Anak
Dewasa+ Anak-Anak
Narapidana
2.802
95
2.897
Tahanan
1.759
48
1.807
Jumlah
4.561
143
4.704
Narapidana
73
6
79
Tahanan
15
0
15
Jumlah
88
6
94
Narapidana
2.875
101
2.976
Tahanan
1.774
48
1.822
Jumlah
4.649
149
4.798
Sumber : Web Kementrian Hukum dan HAM
92
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Apabila dilihat berdasarkan lokasi Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, dapat dilihat bahwa anak didik pemasyarakatan dan tahanan anak masih ada yang digabungkan dengan narapida/tahanan dewasa. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Pasal 31 dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara. Terkait hal tersebut diatas, telah dilakukan konfirmasi pada dinas/instansi yang menangani masalah ini yaitu Kanwil Kemenkumham Provinsi Banten. Informasi yang diperoleh bahwa tahanan anak yang masih digabungkan di dalam Lapas/Rutan dewasa, dikarenakan proses hukum yang belum selesai. Sedangkan narapidana anak yang digabungkan di dalam Lapas/Rutan dewasa karena adanya permintaan dari pihak keluarga agar lebih dekat jaraknya dengan rumah tempat tinggal. Pada Tabel 7.2 dapat dilihat jumlah narapidana dan tahanan menurut kelompok usia di Lapas dan Rutan yang berada di Provinsi Banten keadaan Desember 2014. Dari sepuluh Lapas/Rutan di wilayah Provinsi Banten, tujuh Lapas/Rutan dihuni oleh narapidana/tahanan dewasa dan anak-anak. Ketujuh Lapas/Rutan tersebut adalah Lapas Kelas II Anak Pria Tangerang, Lapas Kelas II B Anak Perempuan Tangerang, Lapas Kelas III Cilegon, Rutan Kelas I Tangerang, Rutan Kelas II B Pandeglang, Rutan Kelas II B Rangkas Bitung dan Rutan Kelas II B Serang.
Penggabungan
narapidana/tahanan
dewasa
dan
anak-anak
dikhawatirkan memberikan dampak buruk. Pada akhirnya, pertimbangan bahwa anak nakal memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial menjadi sulit untuk untuk dicapai.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
93
Tabel 7.2 Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2014 Tahanan Lapas/Rutan
Dewasa
Narapidana
Tahanan % Kapasitas AnakAnakKapasitas Total Dewasa Total + Napi anak anak (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 4 677 677 681 600 114
(1) (2) Lapas Kelas I 4 Tangerang Lapas Kelas II 2 11 13 58 67 125 138 220 Anak Pria Tangerang Lapas Kelas II 379 379 379 425 Serang Lapas Kelas II A 6 6 36 36 42 250 Wanita Tangerang Lapas Kelas II B 23 23 57 3 60 83 100 Anak Perempuan Tangerang Lapas Kelas III 76 76 51 4 55 131 700 Cilegon Rutan Kelas I 542 1 543 272 272 815 596 Tangerang Rutan Kelas II B 150 2 152 55 55 207 143 Pandeglang Rutan Kelas II B 90 90 69 1 70 160 100 Rangkas bitung Rutan Kelas II B 225 1 226 235 1 134 360 274 Serang Sumber : Web Kementrian Hukum dan HAM, keadaan 31 Desember 2014
63 89 17
83 19 137 145 160 131
7.1.2. Anak Korban Tindak Pidana Anak adalah kaum lemah yang sangat mudah untuk dijadikan sasaran tindak kejahatan, sehingga pengawasan terhadap anak sangat diperlukan. Tindak kejahatan terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang lain tetapi juga oleh orang yang berada di lingkungan anak itu sendiri baik keluarga maupun tetangga. Salah satu tindak kejahatan yang dilakukan terhadap anak adalah pelecehan seksual, kasus yang banyak diberitakan secara nasional baik melalui media cetak maupun elektronik. Di samping itu, kasus KDRT terhadap anak juga banyak 94
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
diberitakan seperti kasus kekerasan terhadap anak maupun kasus penelantaran anak. Anak korban tindak pidana akan didekati dari hasil Susenas yang melihat peristiwa kejahatan dari pengalaman rumah tangga sampel. Berdasarkan Susenas 2014, di Provinsi Banten sekitar 139.230 orang menjadi korban tindak kejahatan atau 1,19 persen dari total penduduk. Dari sekitar 139 ribu orang yang menjadi korban kejahatan, 11,92 persen diantaranya adalah anak-anak. Jenis tindak kejahatan yang banyak dialami oleh anak-anak adalah perampokan dan pencurian. Perampokan adalah pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perampokan terhadap anak biasanya berupa “pemalakan” yang dilakukan oleh “preman”.
Anak-anak
Dewasa
43,62 29,01 70,99 56,38
Laki-laki
Perempuan
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Banten
Gambar 7.2 Persentase Korban Kejahatan di Provinsi Banten Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin Selama Tahun 2014 Gambar 7.2 memperlihatkan penduduk yang mengalami tindak kejahatan dipilah berdasarkan jenis kelamin. Anak-anak yang kena tindak kejahatan, 43,62 persen diantaranya menimpa anak perempuan. Di bagian muka telah disebutkan bahwa sebagian besar tindak kejahatan yang menimpa anak-anak adalah Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
95
perampokan. Diduga anak perempuan biasanya sudah diberikan perhiasan oleh orang tuanya. Hal ini lah yang menarik seseorang untuk merampas perhiasan tersebut, karena anak sangat mudah untuk diancam khususnya anak perempuan. Sementara itu, orang dewasa yang terkena tindak kejahatan lebih banyak menimpa laki-laki. Pada Susenas, apabila kejahatan menimpa pada rumah tangga, misalnya perampokan di rumah, maka yang dianggap korban tindak kejahatan adalah kepala rumah tangga dan umumnya kepala rumah tangga di Banten adalah laki-laki. Tindakan lain yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana pada anak adalah tindakan kekerasan yang dialami oleh anak.
Berdasarkan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada empat kategori kekerasan yang kerap terjadi pada anak yaitu (disadur dari http://tktunasbangsasby.blogspot.com/). 1. Kekerasan seksual, meliputi eksploitasi seksual dan berbagai bentuk penyimpangan seksual orang dewasa pada anak-anak. 2. Kekerasan fisik, misalnya menampar, menjewer, memukul dengan benda keras. 3. Kekerasan emosional/kekerasan verbal, misalnya membentak, memaki, merendahkan martabat, mengancam, memelototi. 4. Kekerasan dalam bentuk penelantaran dengan membiarkan anak tanpa pengawasan, melalaikan anak yang mengakibatkan kecelakaan. Seperti dilansir Komisioner KPAI, Susanto MA, sejak Januari hingga April 2014 KPAI menerima sebanyak 565 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Dari 565 kasus tersebut, dikelompokkan menjadi 94 kasus kekerasan fisik, 12 kasus kekerasan psikis dan sebanyak 459 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. Diperkirakan masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi yang tidak dilaporkan oleh pihak korban. Kasus kekerasan terhadap anak dapat dikatakan sudah memasuki “fase darurat”, karena semakin banyaknya korban dan membutuhkan perhatian
96
lebih
dari
pemerintah
agar
tidak
semakin
meningkat
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
(http://news.okezone.com/read/2014/06/16/337/999726/2014-ada-622-kasuskekerasan-anak). Di Provinsi Banten, salah satu lembaga pemerhati masalah kekerasan terhadap anak adalah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten. Berdasarkan catatan LPA, pada kurun waktu Januari-Desember 2014 terjadi 272 kasus kekerasan terhadap anak yang tersebar di 8 Kabupaten/Kota di Provinsi Banten. Mungkin jumlahnya akan lebih banyak lagi ketika korban berani melaporkan adanya tindak kekerasan yang menimpa dirinya. Pihak korban akan menganggap kasus yang menimpanya itu sebagai aib yang harus ditutup-tutupi. Dari 272 tindak kekerasan terhadap anak, sebagian besar adalah anak berhadapan dengan hukum baik anak sebagai pelaku, korban maupun saksi (84 kasus), eksploitasi ekonomi (61 kasus), kekerasan seksual (57 kasus) dan kekerasan fisik psikis (41 kasus). Sisanya adalah hak asuh anak (10 kasus), penculikan anak (10 kasus), anak terlantar (6 kasus) dan eksploitasi seksual (3 kasus). Jumlah 272 tindak kekerasan ini mungkin belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya, karena diduga masih banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak tercatat. Adakalanya kekerasan fisik terhadap anak oleh orang dewasa di lingkungan sekitarnya dianggap wajar karena dianggap sebagai upaya untuk mendidik seorang anak. Sedangkan kekerasan seksual yang akan menjadi aib bagi korban, umumnya enggan untuk dilaporkan. Sementara itu, eksploitasi ekonomi yang dialami seorang anak dianggap wajar oleh sebagian orang karena anak harus membantu orang tuanya. Tanpa memperdulikan hak anak, anak dituntut untuk membantu orang tuanya secara ekonomi. Gambar 7.3 menyajikan data tentang tindak kekerasan terhadap anak yang tercatat oleh LPA selama Mei-Desember 2014.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
97
Hak Asuh Anak 4%
Penculik Anak 4%
Anak Terlantar Eksploitasi 2% Seksual 1%
Kekerasan Fisik & Psikis 15% Eksploitasi Ekonomi 22% Kekerasan Seksual 21%
Anak Berhadapan dengan Hukum 31%
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Banten
Gambar 7.3 Persentase Kasus Kekerasan terhadap Anak di Provinsi Banten Periode Januari-Desember 2014 7.2 Anak Terlantar Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar guna memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, diperlukan kebijakan yang berpihak pada fakir miskin dan anak terlantar secara terencana, terarah, dan berkelanjutan. Secara definisi, anak terlantar adalah anak yang berusia 0-18 tahun yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajibannya (karena beberapa kemungkinan seperti miskin atau tidak mampu, salah seorang/kedua orang tuanya sakit, salah seorang/kedua orang tuanya meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak ada pengasuh)sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik jasmani, rohani maupun sosial. Menurut Keputusan Menteri Sosial RI. No. 27 Tahun 1984 terdapat beberapa karakteristik atau ciri-ciri anak terlantar yaitu: 98
Anak (Laki-laki/perempuan) usia 0-18 tahun Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
-
Tidak memiliki ayah atau ibu atau keduanya karena meninggal tanpa dibekali secara ekonomis untuk melanjutkan pelajaran pada pendidikan dasar serta belum ada orang lain yang menjamin kelangsungan pendidikan pada tingkatan dasar dalam kehidupan anak.
-
Orang tua sakit-sakitan dan tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap.
-
Anak yang lahir karena tindak perkosaan, tidak ada yang mengurus dan tidak mendapat pendidikan. Berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Banten, pada tahun 2014 terdapat
9.851 anak terlantar, yang terdiri dari 1.152 anak terlantar dibawah lima tahun dan 8.339 anak terlantar di atas lima tahun. Dilihat dari sebaran anak terlantar menurut Kabupaten/Kota, Kabupaten Serang memiliki anak terlantar terbanyak yaitu 4.649 orang dan Kota Tangerang Selatan memiliki jumlah anak terlantar paling sedikit yaitu 112 orang. 7.3 Anak Jalanan Mengacu kepada definisi ditetapkan oleh Kementrian Sosial, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari dijalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Pada umumnya anak jalanan menghabiskan waktu di jalan untuk mencari nafkah baik atas keinginan sendiri maupun paksaan dari orang tua maupun orang lain. Anak jalanan harus mendapatkan perlidungan khusus karena secara tidak langsung mereka adalah anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi. Secara lebih khusus, anak yang bekerja akan dibahas pada sub bab selanjutnya.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
99
1.800 1.628
1.600
674
600
889
217
170
101
200
348
400
788
873
800
1.076
1.000
797
1.200
1.296
1.400
2011
2012
2013
2014
Laki-laki
Perempuan
Total
Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten
Gambar 7.4 Jumlah Anak Jalanan Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2011-2014 Selama tahun 2011-2014, jumlah anak jalanan berfluktuatif. Sebelum tahun 2012, jumlah anak jalanan cukup tinggi yaitu di atas 1.600 orang. Pada tahun 2012, jumlah anak jalanan menurun cukup drastis hampir setengahnya dari keadaan tahun 2011 yaitu menjadi 873 orang. Jumlah anak jalanan tahun 2013 mengalami peningkatan menjadi 1.076 orang, kemudian berkurang lagi menjadi 889 orang pada tahun 2014. Jumlah anak jalanan belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya, berdasarkan informasi yang didapatkan dari Dinas Sosial Kota Tangerang bahwa pendataan anak jalanan ini hanya sampel di beberapa tempat mangkal. Pendataan secara menyeluruh terhadap anak jalanan sangat sulit untuk dilakukan karena keberadaannya yang selalu berpindah tempat. Penurunan jumlah anak jalanan diduga karena adanya peran aktif dari SKPD terkait dalam menertibkan keberadaan anak jalanan. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah anak jalanan berjenis kelamin laki-laki jauh lebih besar dibanding dengan yang perempuan. Pada tahun 2014, sebanyak 788 anak jalanan adalah anak laki-laki sedangkan yang perempuan hanya sebesar 101 100
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
orang. Perlu kajian lebih lanjut penyebab dari seorang anak menjadi anak jalanan sehingga dapat dibuatkan kebijakan yang tepat untuk mengatasi anak jalanan ini. Kota Tangsel
96
Kota Serang
309
Kota Cilegon
37
Kota Tangerang
49
Kab Serang
201
Kab Tangerang
131
Lebak Pandeglang
47 19 0
50
100
150
200
250
300
350
Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten
Gambar 7.5 Jumlah Anak Jalanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2014 Pada Gambar 7.5 dapat dilihat sebaran anak jalanan menurut Kabupaten/Kota. Jumlah anak jalanan terbanyak terdapat di Kota Serang yaitu sebanyak 309 anak diikuti oleh Kabupaten Serang sebanyak 201 orang dan Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Pandeglang masing-masing sebanyak 131 orang dan 96 orang. Perlu ditelaah lebih lanjut apakah anak jalanan yang ada di Kota Serang adalah penduduk asli Kota Serang atau kah anak jalanan yang sengaja datang ke Kota Serang untuk mencari nafkah. 7.4 Anak dengan Kesulitan Fungsional Disabilitas yang dalam kehidupan sehari-hari sering disebut sebagai orang cacat, adapun penyandang disabilitas sering dianggap sebagai penduduk yang kurang produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara keseluruhan sehingga terkadang hak-haknya pun diabaikan oleh semua unsur baik pemerintah, tempat bekerja dan masyarakat sekitarnya.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
101
Di Provinsi Banten, terdapat anak yang tidak mengalami perkembangan fisik secara normal atau yang sering disebut disabilitas. Beberapa pengertian disabilitas antara lain mereka kemungkinan akan mengalami kesulitan/gangguan dalam melihat, mendengar, berjalan/naik tangga, mengingat/berkonsentrasi/ berkomunikasi, dan mengurus diri sendiri. Hal ini akan menyebabkan mereka tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara normal. Ketidakmampuan seseorang melakukan aktivitas sehari-hari secara normal disebut sebagai Kesulitan Fungsional (functional difficulty). Informasi mengenai kesulitan fungsional diperoleh dari hasil SP 2010. Tabel 7.3 menyajikan jumlah anak usia 10-17 tahun menurut jenis dan tingkat kesulitan yang dialami. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa jenis kesulitan yang paling banyak dialami anak usia 10-17 tahun adalah kesulitan mengurus diri sendiri, sebanyak 7.746 jiwa dengan tingkat kesulitan sedikit dan 1.687 jiwa dengan tingkat kesulitan parah. Jenis kesulitan lainnya yang dialami oleh anak adalah kesulitan mengingat/ berkonsentrasi/ berkomunikasi (5.663 jiwa), kesulitan melihat (3.506 jiwa), berjalan/naik tangga (2.341 jiwa), dan kesulitan mendengar (1.666 jiwa). Tabel 7.3 Jumlah Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Jenis dan Tingkat Kesulitan di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Total
Jenis Kesulitan
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Melihat
1,659,873
3,080
426
3,506
0.21
Mendengar
1,661,713
996
670
1,666
0.10
Berjalan/Naik Tangga
1,661,038
1,278
1,063
2,341
0.14
Mengingat/Berkonse ntri / Berkomunikasi
1,657,716
3,611
2,052
5,663
0.34
Mengurus Diri Sendiri
1,653,946
7,746
1,687
9,433
0.57
Jumlah Anak
Sumber : Sensus Penduduk 2010
102
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
7.4.1 Kesulitan Melihat Kesulitan melihat adalah seseorang walaupun sudah menggunakan kacamata masih mengalami kesulitan atau gangguan melihat apabila jarak minimal 30 cm dan dengan penerangan cukup tidak dapat melihat dengan jelas baik bentuk, ukuran, dan warna. Dari hasil SP2010, tercatat sebesar 0,21 perses anak usia 10-17 tahun mengalami kesulitan melihat, diantaranya 0,19 persen mengalami kesulitan melihat sedikit dan 0,03 persen mengalami kesulitan melihat parah. Apabila dilihat per kelompok umur, tidak ada perbedaan yang signifikan persentase anak yang mengalami kesulitan melihat. Anak yang mengalami kesulitan melihat akan mengalami hambatan terutama dalam kegiatan belajar dan membaca, sehingga dalam proses belajar dan membaca diperlukan bantuan huruf braille khususnya bagi anak yang mengalami kesulitan melihat parah. Tabel 7.4 Persentase Anak usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Melihat di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan
Jumlah Anak
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
Sedikit
Parah
Jumlah
%
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
10-12
99.85
0.13
0.02
0.15
100.00
641,788
13-15
99.77
0.20
0.03
0.23
100.00
623,514
16-17
99.72
0.25
0.03
0.28
100.00
398,077
10-17
99.79
0.19
0.03
0.21
100.00
1,663,379
Sumber : Sensus Penduduk 2010
7.4.2 Kesulitan Mendengar Seseorang dikatakan mengalami kesulitan atau gangguan mendengar jika tidak dapat mendengar suara dengan jelas, membedakan sumber, volume dan kualitas suara sehingga tidak dapat merespon suara tersebut secara wajar. Kondisi ini terjadi walaupun sudah menggunakan alat bantu dengar. Persentase
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
103
anak usia 10-17 tahun yang mengalami kesulitan mendengar sebesar 0,10 persen, dengan 0,06 persen mengalami kesulitan sedikit dan sebesar 0,04 persen mengalami kesulita parah. Sama halnya dengan kondisi dalam kesulitan melihat, tidak ada perbedaan yang signifikan persentase anak yang mengalami kesulitan mendengar berdasarkan kelompok umur. Tabel 7.5 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mendengar di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Jumlah
Jumlah Anak % Jumlah
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
10-12
99.91
0.06
0.03
0.09
100.00
641,788
13-15
99.90
0.06
0.04
0.10
100.00
623,514
16-17
99.89
0.06
0.05
0.11
100.00
398,077
10-17
99.90
0.06
0.04
0.10
100.00
1,663,379
(7)
Sumber : Sensus Penduduk 2010
7.4.3 Kesulitan Berjalan/Naik Tangga Seseorang dikatakan mengalami kesulitan atau gangguan berjalan/naik tangga bila tidak dapat berjalan normal misalnya maju, mundur, ke samping, tidak stabil dan kesulitan untuk menaiki tangga. Persentase anak yang mengalami kesulitan berjalan atau naik tangga sebesar 0,14 persen, dengan tingkat kesulitan sedikit sebesar 0,08 persen dan kesulitan parah sebesar 0,06 persen). Kesulitan berjalan atau naik tangga banyak dialami oleh anak usia 10-12 tahun, dimana kesulitan sedikit sebesar 0,08 persen dan kesulitan parah sebesar 0,07 persen.
104
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Tabel 7.6 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Berjalan/Naik Tangga di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Jumlah
Jumlah Anak % Jumlah
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
10-12
99.85
0.08
0.07
0.15
100.00
641,788
13-15
99.87
0.07
0.06
0.13
100.00
623,514
16-17
99.87
0.07
0.06
0.13
100.00
398,077
10-17
99.86
0.08
0.06
0.14
100.00
1,663,379
atau
gangguan
(7)
Sumber : Sensus Penduduk 2010
7.4.4 Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi Seseorang
dikatakan
mengingat/berkonsentrasi
mengalami jika
kesulitan
mengalami
kesulitan
dalam
mengingat/berkonsentrasi. Seseorang dikatakan mengalami kesulitan atau gangguan dalam berkomunikasibila dalam berbicara berhadapan tanpa dihalangi sesuatu, pembicaraannya tidak dapat dimengerti atau tidak dapat berbicara sama sekali karena gangguan fisik atau mental. Termasuk dalam kategori ini adalah penyandang cacat tuna rungu/wicara dan autis. Tabel 7.7 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan
Jumlah Anak
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
Sedikit
Parah
Jumlah
%
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
10-12
99.64
0.24
0.12
0.36
100.00
641,788
13-15
99.67
0.20
0.12
0.33
100.00
623,514
16-17
99.68
0.19
0.13
0.32
100.00
398,077
10-17
99.66
0.22
0.12
0.34
100.00
1,663,379
Sumber : Sensus Penduduk 2010
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
105
Persentase anak yang mengalami kesulitan mengingat/berkonsentrasi/ berkomunikasi sebesar 0,34 persen dimana 0,22 persen anak mengalami tingkat kesulitan sedikit dan 0,12 persen dengan tingkat kesulitan parah. Tidak ada perbedaan
yang
signifikan
persentase
anak
yang
kesulitan
mengingat/berkonsentrasi/ berkomunikasi berdasarkan kelompok umur. 7.4.5 Kesulitan Mengurus Diri Sendiri Seseorang dikatakan mengalami kesulitan mengurus diri sendiri jika ia mengalami kesulitan mengurus diri sendiri jika ia mengalami kesulitan dalam kegiatan sehari-hari seperti makan, mandi, berpakaian, ke toilet, dan lain-lain. Tidak termasuk bayi atau anak manja. Persentase anak usia 10-17 tahun yang mengalami kesulitan mengurus diri sendiri sebesar 0,57 persen, dengan 0,47 persen mengalami kesulitan sedikit dan sebesar 0,10 persen mengalami kesulitan parah. Berdasarkan kelompok umur, kesulitan mengurus diri sendiri banyak dialami oleh anak usia 10-12 tahun, dengan 0,78 persen tingkat kesulitan sedikit dan 0,13 persen tingkat kesulitan parah. Tabel 7.8 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengurus Diri Sendiri di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Jumlah
Jumlah Anak % Jumlah
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
10-12
99.09
0.78
0.13
0.91
100.00
641,788
13-15
99.60
0.32
0.09
0.40
100.00
623,514
16-17
99.73
0.19
0.08
0.27
100.00
398,077
10-17
99.43
0.47
0.10
0.57
100.00
1,663,379
(7)
Sumber : Sensus Penduduk 2010
106
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
7.5 Anak 10-17 Tahun yang Bekerja Dalam Konvensi Hak Anak pasal 32 disebutkan bahwa Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya. Negara-negara yang menandatangani Konvensi Hak Anak harus menetapkan batas umum minimum untuk bekerja. Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan hal tersebut dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 13 tahun 2003. Dalam Undang-Undang tersebut dicantumkan bahwa anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. 7.5.1 Komposisi Kegiatan Anak Usia 10-17 Tahun Penduduk usia kerja adalah penduduk berusia 15 tahun ke atas, mereka diklasifikasikan sebagai penduduk yang mampu memproduksi barang dan jasa melalui kegiatan bekerja. Pada kenyataannya tidak semua penduduk usia kerja mau bekerja. Mereka yang mau bekerja dinamakan angkatan kerja sedangkan yang tidak mau bekerja dinamakan bukan angkatan kerja. Dengan terbatasnya lapangan kerja, tidak semua penduduk yang mau bekerja tertampung memperoleh pekerjaan. Mereka yang tidak bekerja tetapi sedang dalam proses mencari pekerjaan atau mau menerima pekerjaan diklasifikasikan sebagai penganggur terbuka. Keterlibatan
anak-anak
dalam
pekerjaan
merupakan
salah
satu
permasalahan yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan. Hasil Sakernas Agustus 2014 menunjukkan sekitar 4,86 persen anak usia 10-17 tahun masuk dalam kelompok pekerja. Dilihat berdasarkan jenis kelamin tidak ada perbedaan signifikan antara persentase pekerja anak perempuan dengan pekerja anak laki-
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
107
laki. Persentase pekerja anak laki-laki adalah 4,99 persen, sedangkan persentase pekerja anak perempuan adalah 4,77 persen. Tabel 7.9 Persentase Anak Usia 10 - 17 Tahun Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Jenis Kegiatan Utama Seminggu yang Lalu di Provinsi Banten, 2014 Kelompok Umur 10-12
Jenis Kegiatan (1)
1.
Bekerja
2.
Pengangguran
3.
Sekolah
4.
Mengurus Rumah Tangga
5.
Lainnya Total
13-15
16-17
10-17
L
P
L
P
L
P
L
P
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
-
0.67
1.84
3.51
14.76
11.55
4.99
4.71
1.51
0.46
2.28
2.47
12.06
9.51
4.87
3.69
95.33
96.59
90.56
86.44
62.91
65.68
84.11
84.30
-
0.37
0.55
3.26
0.45
5.77
0.34
2.94
3.16
1.90
4.77
4.32
9.81
7.49
5.70
4.35
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber: Sakernas 2014, BPS Provinsi Banten
Tabel 7.9 memperlihatkan bahwa semakin tinggi usia, semakin besar banyak anak yang masuk dunia kerja dan sebaliknya semakin sedikit yang kegiatan utamanya adalah sekolah. 7.5.2 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Anak Usia 10-17 Tahun Penghitungan TPAK dapat dilakukan dengan membandingkan antara jumlah penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja dengan jumlah penduduk yang termasuk dalam usia kerja. TPAK anak usia 10-17 adalah sebesar 9,16 persen artinya dari 100 anak usia 10-17, sekitar 9 anak diantaranya masuk kedunia kerja, walaupun angkanya relatif kecil namun keadaan ini tetap perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.
108
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
60 50 49,41
40
46,97
43,91
30 20 10 9,86
9,16
8,41
0 Laki-laki
Perempuan TPAK
Total
TPT
Sumber: Sakernas 2014, BPS
Provinsi Banten
Gambar 7.6 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Anak Umur 10-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2014 Berdasarkan kelompok umur, dapat diketahui bahwa semakin muda usia semakin rendah partisipasi di dunia kerja, dapat dilihat pada Gambar 7.7 dimana TPAK usia 10-12 hanya 1,33 persen, usia 13-15 TPAK sebesar 5,03 persen dan untuk usia 16-17 yang sudah termasuk dalam penduduk usia kerja TPAK sebesar 24,14 persen. Tabel ini juga menunjukkan TPT menurut kelompok umur, jadi semakin kecil kelompok umurnya anak masih banyak yang menganggur seperti usia 10-12 sebesar 75,19 persen sedangkan anak usia 16-17 tahun sebsesar 46,97 persen.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
109
80 70
30 24,14
25
75,19
60 20
50 40
47,18
45,04
30
9,16
15 10
5,03
20 10
46,97
5
1,33
0
0 10-12
13-15
16-17 TPT
10-17
TPAK
Sumber: Sakernas 2014, BPS
Provinsi Banten
Gambar 7.7 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Anak Umur 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2014 7.5.3 Karakteristik Anak Bekerja Tabel 7.10 menyajikan informasi dunia kerja yang digeluti oleh anak usia 10-17 tahun. Sektor perdagangan, rumah makan merupakan sektor yang paling banyak diminati anak usia 10-17 dengan persentase sebesar 29,29 persen dan sektor pertanian kurang diminati, ini ditandai anak yang bekerja di sektor pertanian sebesar 4,75 persen. Demikian juga informasi tentang status pekerjaan akan mengambarkan struktur pekerjaan yang dilakukan oleh anak. Dapat dilihat pada Tabel 7.10 bahwa anak usia 10-17 yang bekerja sebagian besar adalah buruh/karyawan adalah dengan nilai sebesar 53,37 persen.
110
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
Tabel 7.10
Persentase Anak yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Status Pekerjaan Utama di Provinsi Banten, 2014 Lapangan Pekerjaan
Status Perkerjaan
(1)
Pertanian, PerdagangJasa Perkebunan, an, Rumah KemasyaKehutanan, Industri Makan dan rakatan, Lainnya Jumlah Perburuan & Jasa Sosial dan Perikanan Akomodasi Perorangan (2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Berusaha sendiri
-
1,30
1,13
-
2,44
4,87
Buruh/karyawan/pegawai
-
24,35
6,48
21,68
1,07
53,57
Pekerja bebas di pertanian
2,20
-
-
-
-
2,20
-
1,00
1,53
1,50
4,04
8,07
2,55
4,55
20,15
4,04
-
31,29
4,75
31,20
29,29
27,22
Pekerja bebas di non pertanian Pekerja keluarga/tak dibayar Total
7,54 100,00
Sumber: Sakernas 2014, BPS Provinsi Banten
7.5.4 Anak Usia 10-17 Tahun yang Bekerja menurut Jam Kerja Pada Pekerjaan Utama Data Sakernas 2014 memperlihatkan bahwa sebagian besar pekerja anak bekerja waktu penuh yaitu 35 jam keatas (Tabel 7.11). Separuh dari mereka sekurang-kurangnya bekerja selama 35 jam dalam seminggu. Angka ini tampaknya terlalu tinggi untuk jenis pekerjaan yang “aman” atau “safe” bagi anak-anak.
Sekitar 51,74 persen dari anak usia 10-17 tahun yang bekerja,
mempunyai jam kerja di atas 35 jam ke atas per minggu. Apabila ditelaah lebih dalam, maka mereka adalah anak yang menjadi buruh/karyawan dan sudah tidak bersekolah lagi yaitu sekitar 50,45 persen. Disamping sebagai buruh, sekitar 10,63 persen nya adalah pekerja keluarga. Untuk anak yang masih bersekolah, sebagian besar mereka bekerja paruh waktu yaitu dengan dengan jam kerja di bawah 35 jam selama seminggu. Dan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014
111
mereka ini umumnya adalah pekerja keluarga. Hal ini sangat wajar, karena prioritas utama mereka adalah bersekolah. Tabel 7.11
Persentase Anak yang Bekerja menurut Jam Kerja, Partisipasi Sekolah dan Status Pekerjaan di Provinsi Banten, 2014 Jam Kerja seluruhnya
Partisipasi Sekolah
Status Pekerjaan
(1)
(2)
0 (3)
Berusaha sendiri
(4)
(5)
35 Ke Total atas (6)
(7)
-
1,14
-
-
1,14
-
1,93
0,82
-
2,74
-
2,09
0,33
-
2,42
Pekerja keluarga/tak dibayar
- 13,81
7,10
-
20,92
Berusaha sendiri
-
0,81
1,65
1,31
3,77
1,13
2,76
4,52 42,04
50,45
-
0,00
3,22
4,71
7,94
-
1,93
5,02
3,68
10,63
Buruh/karyawan/pegawai Masih Bersekolah Pekerja bebas
Buruh/karyawan/pegawai Tidak bersekolah Pekerja bebas lagi Pekerja keluarga/tak dibayar Total
112
1-14 15-34
1,13
24,27 22,66 51,74 100,00
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2014