PROFIL ANAK PROVINSI BANTEN TAHUN 2013 (DATA TERPILAH GENDER)
BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI BANTEN
PROFIL ANAK PROVINSI BANTEN TAHUN 2013
ISBN
: 978-602-0932-07-1
No Publikasi
: 36000.1450
Katalog BPS
: 4103001.36
Ukuran Buku
: 18,2 cm x 25,7 cm
Jumlah Halaman
: x+102 halaman
Naskah : Bidang Statistik Sosial
Gambar Kulit : Bidang Statistik Sosial
Diterbitkan Oleh : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten
Dicetak Oleh : CV. Dharmaputra
Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, penduduk Banten tercatat sebesar 10,6 juta jiwa dan lebih dari sepertiganya (35,93 persen) adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Besarnya proporsi jumlah anak memerlukan perhatian khusus semua pihak karena keberlanjutan suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas anak yang dihasilkan. Pemenuhan hak-hak anak menjadi suatu hal yang mutlak agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga menghasilkan generasi penerus yang berkualitas. Untuk mengetahui sejauh mana pemenuhan hak-hak anak di Provinsi Banten, BPS Provinsi Banten bekerja sama dengan Bappeda Provinsi Banten menyusun publikasi “Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013 (Data Terpilah Gender)”. Pada publikasi ini disajikan pemenuhan hak-hak anak berdasarkan 5 kluster Hak-hak anak yang ditetapkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) Tahun 1989. Data yang disajikan berupa indikator-indikator dalam bentuk tabel dan grafik. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian publikasi ini, disampaikan penghargaan dan terima kasih. Dan semoga bermanfaat.
Serang, Desember 2014 Kepala,
Dr. Syech Suhaimi
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
i
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Sumber Data 1.4 Sistematika Penyajian BAB II STRUKTUR PENDUDUK USIA 0-17 TAHUN 2.1 Jumlah dan Komposisi Anak 2.2 Tren Penduduk 0-17 Tahun 2.3 Rasio Jenis Kelamin (RJK) BAB III HAK SIPIL DAN KEBEBASAN 3.1 Kepemilikan Akte Kelahiran 3.2 Akses Terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) BAB IV LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF 4.1 Anak dan Keluarga yang Tinggal Bersama 4.2 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 4.3 Perkawinan Anak Usia Dini BAB V KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN 5.1 Penolong Kelahiran 5.2 Air Susu Ibu (ASI) 5.3 Imunisasi 5.4 Keluhan Kesehatan 5.5 Fasilitas Pelayanan Kesehatan 5.6 Tingkat Kunjungan BAB VI PENDIDIKAN 6.1 Partisipasi Sekolah 6.2 APS, APM dan APK 6.2.1 Angka Partisipasi Sekolah (APS) 6.2.2 Angka Partisipasi Murni (APM) Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
viii 1 1 3 3 4 5 5 8 9 10 10 15 20 20 23 27 33 34 36 42 46 50 52 54 54 58 59 61 iii
6.2.3 Angka Partisipasi Kasar (APK) 6.3 Angka Putus Sekolah 6.4 Alasan Tidak Sekolah 6.5 Angka Buta Huruf 6.6 Sarana Ke sekolah
63 66 70 73 76
BAB VII PERLINDUNGAN KHUSUS
80
7.1 Anak Bermasalah Hukum 7.1.1 Anak Pelaku Tindak pidana 7.1.2 Anak Korban Tindak pidana 7.2 Anak Jalanan 7.3 Anak dengan Kesulitan Fungsional 7.3.1 Kesulitan Melihat 7.3.2 Kesulitan Mendengar 7.3.3 Kesulitan Berjalan/Naik Tangga 7.3.4 Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi 7.3.5 Kesulitan Mengurus Diri Sendiri 7.4 Anak 10-17 Tahun yang Bekerja 7.4.1 Umur Anak yang Bekerja 7.4.2 Anak 10-17 Tahun Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan 7.4.3 Anak 10-17 Tahun Bekerja menurut Jam Kerja Pada Pekerjaan Utama DAFTAR PUSTAKA
iv
81 82 86 89 91 93 93 94 95 96 97 97 99 100 102
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1
Penduduk Provinsi Banten Usia 0-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin, 2013
7
Gambar 3.1
Persentase Balita Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
11
Gambar 3.2
Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Memiliki Akte Kelahiran Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013
12
Gambar 3.3
Persentase Penduduk 0-4 tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan di Provinsi Banten, 2013
14
Gambar 3.4
Persentase Penduduk 0-4 tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan dan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013
15
Gambar 3.5
Persentase Anak Berusia 5-17 Tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
19
Gambar 4.1
Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013
21
Gambar 4.2
Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
22
Gambar 4.3
Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Kabupaten Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
26
Gambar 4.4
Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Kawin dan Pernah Kawin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013
29
Gambar 4.5 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan di Provinsi Banten, 2013
31
Gambar 4.6 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Pernah Kawin Menurut Umur Kawin Pertama di Provinsi Banten, 2013
32
Gambar 5.1
35
Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten 2013
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
v
Gambar 5.2
Persentase Balita Menurut Penolong Kabupaten Kota di Provinsi Banten 2013
dan
36
Gambar 5.3
Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten 2013
37
Gambar 5.4
Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten 2013
38
Gambar 5.5
Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) bagi Balita Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
39
Gambar 5.6
Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan ASI dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013
40
Gambar 5.7
Persentase Balita Berumur 2-4 Tahun yang Memiliki Riwayat Mendapat ASI Ekslusif (6 Bulan) Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013
41
Gambar 5.8
Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013
43
Gambar 5.9
Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Imunisasi dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
44
Gambar 5.10 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013
45
Gambar 5.11 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Kabupaten Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
46
Gambar 5.12 Persentase Anak yang Sakit Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
47
Gambar 5.13 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Keluhan Terbesar dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
48
Gambar 5.14 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Mengobati Sendiri Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
49
Gambar 5.15 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013
50
vi
Kelahiran
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Gambar 5.16 Persentase Anak yang Berobat Jalan ke Fasilitas Medis menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
52
Gambar 5.17 Tingkat Kunjungan Anak ke Fasilitas Kesehatan di Provinsi Banten, 2013
53
Gambar 6.1
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2013 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
58
Gambar 6.3
Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013
61
Gambar 6.4
Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-17 Tahun menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
62
Gambar 6.5
Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-17 Tahun menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013
63
Gambar 6.6
Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-17 Tahun menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
64
Gambar 6.7
Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-17 Tahun menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013
65
Gambar 7.1
Warga Negara Indonesia Pelaku Tindak Kejahatan Menurut Klasifikasi Umur di Provinsi Banten, 2013
86
Gambar 7.2
Persentase Korban Kejahatan Selama Tahun 2013 Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin, di Provinsi Banten
87
Gambar 7.3
Persentase Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Provinsi Banten Periode Mei-Desember 2013
89
Gambar 7.4
Jumlah Anak Jalanan Menurut Jenis Kelamin, Banten 20102013
90
Gambar 7.5
Jumlah Anak Jalanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013
91
Gambar 7.6
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Anak Umur 10-17 Tahun menurut Kelompok umur di Provinsi Banten, 2013
98
Gambar 6.2
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
60
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1
Penduduk Provinsi Banten Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin (RJK), 2013
5
Tabel 2.2
Penduduk Provinsi Banten Menurut Kelompok Umur Sekolah, 2013
6
Tabel 2.3
Proyeksi Penduduk Provinsi Banten Umur 0-17 Tahun, 20102015
8
Tabel 3.1
Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
17
Tabel 3.2
Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir menurut Partisipasi Sekolah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
18
Tabel 4.1
Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2013
25
Tabel 4.2
Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD di Provinsi Banten, 2013
27
Tabel 4.3
Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013
30
Tabel 5.1
Persentase Anak yang Berobat Jalan menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
51
Tabel 6.1
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2013
56
Tabel 6.2
Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2013
57
Tabel 6.3
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Pernah/Sedang Sekolah menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
67
Tabel 6.4
Angka Putus Sekolah Penduduk menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Sekolah di Provinsi Banten, 2013
68
viii
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Tabel 6.5
Angka Putus Sekolah Penduduk Berumur 7-17 Tahun menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2013
70
Tabel 6.6
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi menurut Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
73
Tabel 6.7.
Angka Buta Huruf Anak Berumur 5-17 Tahun menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Usia Sekolah di Provinsi Banten, 2013
75
Tabel 6.8
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Masih Sekolah menurut Sarana Angkutan ke Sekolah, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
77
Tabel 6.9
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun ke Atas yang Masih Sekolah menurut Sarana Angkutan ke Sekolah dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2013
78
Tabel 7.1
Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2013
84
Tabel 7.2
Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2013
85
Tabel 7.3
Jumlah Anak Usia 10-17 tahun menurut Jenis dan Tingkat Kesulitan di Provinsi Banten, 2010
92
Tabel 7.4
Persentase Anak usia 10-17 Tahun menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Melihat di Provinsi Banten, 2010
93
Tabel 7.5
Persentase Anak Usia 10-17 Tahun menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mendengar di Provinsi Banten, 2010
94
Tabel 7.6
Persentase Anak usia 10-17 tahun menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Berjalan/Naik Tangga di Provinsi Banten, 2010
95
Tabel 7.7
Persentase Anak usia 10-17 tahun menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi di Provinsi Banten, 2010
96
Persentase Tabel 7.8 Anak usia 10-17 tahun menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengurus Diri Sendiri di Provinsi Banten, 2010
96
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
ix
Tabel 7.9
Anak Umur 10-17 Tahun menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
97
Tabel 7.10
Persentase Anak yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan dan Status Pekerjaan di Provinsi Banten, 2013
99
Tabel 7.11
Persentase Anak yang Bekerja menurut Jam Kerja, Partisipasi Sekolah dan Status Pekerjaan di Provinsi Banten, 2013
101
x
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin langsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Hal ini sangat disadari oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia, maka pada tahun 1989 PBB membuat Konvensi Hak Anak (KHA). Konvensi Hak Anak tersebut memuat 31 hak anak yang terpilah dalam 5 kluster. Indonesia telah meratifikasi KHA tersebut dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Agar lebih menjamin, anakanak mendapatkan haknya secara layak, Pemerintah mengundangkan UU nomor 23 tahun 2002 tetang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang tesebut dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hasil Proyeksi Sensus Penduduk 2010, penduduk Banten mencapai 10,6 juta jiwa, dan sekitar 35,93 persen diantaranya adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Gambaran kondisi anak saat ini menjadi dasar yang penting bagi pengambilan kebijakan yang tepat bagi anak. Dapat dikatakan bahwa investasi terhadap anak di masa kini merupakan investasi besar untuk bangsa di masa datang. Untuk mewujudkan anak yang berkualitas, hak-hak anak harus dikedepankan. Anak harus diberi hak untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan yang layak, terbebas dari intimidasi dan diskriminasi serta hak-hak sipil lainnya. Data yang ada memberikan gambaran bahwa tidak semua anak dapat menikmati hak-haknya. Masih ada sebagian dari mereka yang belum dapat menikmatinya.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
1
Dari aspek pendidikan, berdasarkan Susenas 2012, sekitar 82,3 persen anak usia 5-17 tahun masih bersekolah. Pada kelompok usia yang sama, persentase anak yang belum pernah bersekolah sekitar 11,9 persen dan yang tidak bersekolah lagi sekitar 5,8 persen. Penyebab utama tidak terpenuhi hak anak dari aspek pendidikan adalah masalah ekonomi, yaitu ketidakmampuan orang tua/wali anak untuk memberikan pendidikan. Dampak dari tidak terpenuhinya hak anak dari aspek pendidikan yaitu semakin banyak anak yang harus bekerja. Tidak dapat dipungkiri, anak usia 10-17 tahun sudah ada yang bekerja. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor perdagangan dengan status sebagai buruh ataupun pekerja tidak dibayar. Keadaan ini merupakan salah satu gambaran terjadinya eksploitasi terhadap anak. Hak anak lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah hak untuk mendapat kesehatan yang baik. Kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi agar dapat mewujudkan anak yang berkualitas. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan bahwa angka kematian bayi (AKB) di Provinsi Banten adalah 32 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut jauh dari target MDGs (23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) yang ingin dicapai pada tahun 2015. Sementara pada tahun yang sama, Angka Kematian Balita adalah sebesar 38 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 32 kematian balita per 1.000 kelahiran hidup. Indikator lainnya adalah status gizi anak, dimana berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi Balita Kurang Gizi (BKG) pada tahun 2012 di Provinsi Banten adalah sebesar 17,2 persen yang terdiri dari 4,3 persen gizi buruk dan 12,9 persen gizi kurang. Pemenuhan hak sipil anak dapat dilihat dari status kepemilikan akte kelahiran. Berdasarkan Susenas 2012, sekitar 66,0 persen anak balita memiliki akte kelahiran dan sisanya tidak memiliki. Hal ini mencerminkan belum terpenuhinya hak anak terhadap identitasnya dan masih lemahnya sistem pendataan 2
atau
registrasi
kelahiran.
Tidak
dimilikinya
akta
kelahiran
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
menyebabkan ketidakjelasan identitas anak, yang akan membawa sejumlah implikasi seperti diskriminasi, tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan, rawan menjadi korban perdagangan manusia, mudah dijadikan pekerja anak, rawan menjadi korban kejahatan seksual, dan lain-lain. Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka diperlukan adanya data profil anak sebagai gambaran keadaan anak-anak di Provinsi Banten secara menyeluruh diberbagai bidang. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Banten bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Banten melakukan suatu kajian analisis deskriptif mengenai situasi dan kondisi anak-anak di Banten. Penyusunan profil dalam jangka pendek menjadi sangat penting untuk disusun dan dikembangkan sebagai basis data dan masukan dalam upaya pemenuhan hak-hak anak.
1.2 Tujuan Publikasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi anak di Provinsi Banten ditinjau dari pemenuhan hak-hak anak
1.3 Sumber Data Publikasi ini menggunakan berbagai macam sumber data yaitu:
a. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2013 b. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2013 c. Sensus Penduduk 2010 dan Proyeksi Penduduk d. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 e. Polres f. Data Lain yang Diunduh dari Web
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
3
1.4 Sistematika Penyajian Secara sistematis publikasi ini disajikan dalam tujuh bab. Pemilihan bab dalam penyusunan Profil Anak disesuaikan dengan lima kluster hak anak pada Konvensi Hak Anak (KHA) yakni: hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan seni budaya, dan perlindungan khusus. Pengelompokan tentang isi KHA ke dalam lima kluster oleh Komisi Hak Anak PBB dilakukan dengan pertimbangan mempermudah pemahaman publik serta mempermudah dalam penyusunan laporan implementasinya kepada PBB. Dalam setiap kluster telah ditentukan indikator rinci, meskipun demikian karena keterbatasan data, tidak semua indikator tersebut disajikan dalam publikasi ini. Bab pertama menyajikan pendahuluan yang berisi latar belakang penyusunan publikasi, tujuan, sumber data serta sistematika publikasi. Bab kedua menyajikan tentang Struktur Penduduk 0-17 tahun. Bab ketiga menyajikan tentang Hak Sipil dan Kebebasan. Bab keempat tentang Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, bab kelima Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Bab keenam Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang dan Kegiatan Seni budaya, sedangkan bab ketujuh Perlindungan Khusus yang berisi tentang anak bermasalah hukum, anak bermasalah sosial, anak bekerja dan anak cacat.
4
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
STRUKTUR PENDUDUK USIA 0-17 TAHUN
2.1 Jumlah dan Komposisi Anak Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal (1) Ayat (1) adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Anak merupakan cikal bakal lahirnya suatu generasi baru yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya diperlukan untuk membentuk anak tumbuh menjadi manusia berkualitas. Kebutuhan anak yang tidak terpenuhi dengan baik dikhawatirkan akan menyebabkan turunnya kualitas hidup anak atau timbulnya berbagai masalah sosial pada diri anak. Tabel 2.1 Penduduk Provinsi Banten Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin (RJK), 2013
Kelompok Umur
Laki-laki
Laki-laki+ Perempuan
Perempuan
Rasio Jenis Kelamin
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
0-17
2 032 324
34,78
1 928 868
34,39 3 961 192
34,59
105,36
18+
3 811 871
65,22
3 679 428
65,61 7 491 299
65,41
103,60
Jumlah
5 844 195
100,00
5 608 296
100,00 11 452 491 100,00
104,21
Sumber: Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035
Pada tahun 2013 penduduk Provinsi Banten umur 0-17 tahun sebanyak 3,96 juta jiwa atau mencapai 34,59 persen dari keseluruhan penduduk. Dengan
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
5
demikian, sepertiga penduduk Provinsi Banten merupakan anak-anak yang masih membutuhkan perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun negara. Pemenuhan kebutuhan dasar untuk anak-anak di bidang pendidikan dasar, kesehatan, prasarana lingkungan dasar, dan sebagainya merupakan kewajiban bagi pemerintah. Usia bayi maupun balita merupakan masa-masa kritis dimana mereka masih sangat rentan terhadap berbagai jenis penyakit sehingga membutuhkan layanan kesehatan yang baik. Di bidang kesehatan, pemerintah telah berupaya meningkatkan kualitas kesehatan anak dengan layanan imunisasi, pemberian vitamin dan makanan tambahan. Peran serta orang tua untuk akses kepada pelayanan kesehatan mutlak diperlukan guna mengurangi angka kesakitan dan angka kematian pada bayi, balita dan anak. Pemenuhan kebutuhan pendidikan anak juga tidak kalah penting. Pendidikan merupakan sarana untuk membentuk generasi bangsa yang berkualitas. Disamping pendidikan keluarga yang telah diberikan oleh orang tua, pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah mutlak diperlukan. Tabel 2.2 Penduduk Provinsi Banten Menurut Kelompok Umur Sekolah, 2013 Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
(1)
(2)
(3)
0-4
616 776
589 352
1 206 128
5-6
231 139
218 299
449 438
7-12
645 515
611 752
1 257 267
13-15
321 768
303 867
625 635
16-17
217 126
205 598
422 724
2 032 324
1 928 868
3 961 192
Jumlah
Laki-laki+Perempuan (4)
Sumber: Proyeksi Penduduk 2010-2035
Dari 11,45 juta orang penduduk Provinsi Banten tercatat sebanyak 1,26 juta orang berada pada kelompok usia pendidikan dasar yaitu 7-12 tahun, sebanyak 6
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
1,05 juta orang berada pada kelompok pendidikan usia menengah (13-17 tahun), dan sebanyak 1,66 juta orang berada pada kelompok usia pendidikan pra sekolah (0-6 tahun). Jumlah anak paling tinggi adalah di Kabupaten Tangerang, baik laki-laki maupun perempuan. Hal ini tentunya wajar, mengingat Kabupaten Tangerang merupakan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk paling besar di Provinsi Banten. Sementara, jumlah anak paling sedikit adalah di Kota Cilegon. Jumlah anak laki-laki lebih banyak dibanding anak perempuan. Hal yang sama terjadi di semua kabupaten/kota.
Tangerang Kota Tangerang Serang
563185
536511
305342
294624
277202
259448
Lebak
247347
Kota Tangsel
226600
218838
Pandeglang
223425
211615
228049
Kota Serang
119069
Kota Cilegon
70154 66819
112964
Laki-Laki
Perempuan
Sumber : Sakernas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 2.1 Penduduk Provinsi Banten Usia 0-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin, 2013 Dengan melihat besarnya jumlah penduduk muda yang memerlukan pendidikan ini, pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban untuk menyediakan akses pendidikan yang adil dan merata dan perluasan kesempatan belajar bagi seluruh anak usia sekolah sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
7
2.2 Tren Penduduk 0-17 Tahun Trend penduduk usia 0-17 tahun periode 2010-2015 disajikan pada Tabel 2.3. Pada kurun 2010-2015, jumlah penduduk usia 0-17 tahun memperlihatkan trend yang meningkat. Pada tahun 2010, jumlah penduduk usia 0-17 tahun sekitar 3,82 juta jiwa meningkat menjadi 4,05 juta jiwa pada tahun 2015. Peningkatan ini didorong oleh peningkatan jumlah anak usia 0-4 tahun dari 1,12 juta jiwa pada tahun 2010 menjadi 1,23 juta jiwa pada tahun 2015. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa tingkat kelahiran di Banten masih cukup tinggi. Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa TFR di Banten sebesar 2,5, angka ini stagnan tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan hasil SDKI 2007. Angka TFR 2,5 memberikan arti bahwa rata-rata wanita di Banten melahirkan anak antara 2-3 orang selama masa reproduksinya. Trend jumlah anak pada kelompok usia lainnya memberi pola yang bisa fluktuatif. Tabel 2.3 Proyeksi Penduduk Provinsi Banten Umur 0-17 Tahun, 2010-2015
Kelompok Umur
Tahun 2010
2011
2012
2013
2014
2015
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
0-4
1 122 509
1 156 070
1 183 709
1 206 128
1 222 435
1 229 320
5-9
1 033 396
1 044 792
1 062 206
1 085 493
1 112 622
1 144 193
10-14
1 041 621
1 040 639
1 038 703
1 036 497
1 037 452
1 043 983
15-17
622 526
625 770
629 915
633 074
632 628
629 492
3 820 052
3 867 271
3 914 533
3 961 192
4 005 137
4 046 988
Jumlah
Sumber: Proyeksi Penduduk 2010-2035
8
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
2.3 Rasio Jenis Kelamin (RJK) Pada Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa RJK kelompok umur 0-17 tahun sebesar 105,36 yang artinya pada tahun 2013 penduduk berumur 0-17 tahun lebih banyak berjenis kelamin laki-laki daripada perempuan. Sementara pada kelompok umur 18 tahun ke atas, proporsi penduduk laki-laki berkurang dibanding penduduk berumur 0-17 dengan RJK sebesar 103,60. Hal ini berkaitan dengan angka harapan hidup laki-laki yang memang lebih rendah daripada perempuan. Meskipun penduduk laki-laki lebih banyak daripada perempuan, guna mewujudkan kesetaraan gender maka baik anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan dan layanan kesehatan yang layak.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
9
HAK SIPIL DAN KEBEBASAN
3.1 Kepemilikan Akte Kelahiran Hak anak yang terkait dengan hak sipil dan kebebasan adalah hak mendapatkan nama dan status kebangsaan serta hak untuk mengakes terhadap teknologi informasi dan komunikasi. Hak mendapat status kebangsaan dapat dilihat dari kepemilikan akte kelahiran. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) PBB pasal 7 dinyatakan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Akte kelahiran adalah bukti catatan kewarganegaraan seseorang atau sebuah sertifikasi formal/resmi mengenai identitas dan keluarga seseorang yang diterbitkan oleh pemerintah setempat. Akte kelahiran seharusnya dimiliki oleh setiap warga, dan keberadaan akte ini sangat penting sekali untuk dipergunakan dalam berbagai keperluan. Sampai saat ini masih banyak anak di Banten yang identitasnya tidak atau belum tercatat dalam akta kelahiran, sehingga secara de jure keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta tidak terlindungi keberadaanya. Semakin tidak jelas identitas seorang anak, maka semakin mudah terjadi eksploitasi terhadap anak, seperti anak menjadi korban perdagangan bayi dan anak, tenaga kerja dan kekerasan. Pada Gambar 3.1, dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2013 menunjukkan bahwa hampir 2/3 anak balita di Provinsi Banten mempunyai akte kelahiran. Sisanya tidak mempunyai akte atau pun tidak mengetahui tentang kepemilikan akte anak tersebut. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin anak balita, tidak ada perbedaan nyata dalam kepemilikan akte kelahiran.
10
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
120,00 100,00 80,00
33,57
33,56
33,57
65,95
65,95
65,95
Laki-laki
Perempuan
Total
60,00 40,00 20,00 -
Punya
Tidak Punya
Tidak Tahu
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.1 Persentase Balita Menurut Kepemilikan Akte Kelahiran dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Apabila dilihat berdasarkan kabupaten/kota, ada perbedaan yang sangat nyata antara daerah yang bertipe perdesaan dan perkotaan dalam hal kepemilikan akter kelahiran untuk anak balita. Untuk daerah kabupaten yang tipikal perdesaan kecuali Kabupaten Tangerang, persentase anak balita yang memiliki akte kelahiran cukup rendah. Di Kabupaten Pandeglang, tercatat hanya 37,32 persen anak balita yang memiliki akte kelahiran. Persentase yang hampir sama terjadi di Kabupaten Lebak, sekitar 38,35 persen anak balita yang mempunyai akte kelahiran. Kabupaten lainnya yang mempunyai persentase yang rendah adalah Kabupaten Serang dimana hanya 57,12 anak balita yang mempunyai akte kelahiran. Daerah lain yang mempunyai persentase lebih rendah dari angka Provinsi adalah Kota Serang. Di kota ini, baru sekitar 65,72 persen anak balita yang mempunyai akte kelahiran. Sungguh disayangkan, Kota Serang sebagai ibu kota Provinsi Banten yang seharusnya menjadi cermin kemajuan Provinsi Banten ternyata masih tertinggal dibandingkan dengan daerah Tangerang maupun Cilegon. Kota Tangerang Selatan mempunyai persentase tinggi untuk Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
11
anak balita yang memiliki akte kelahiran yaitu 87,64 persen kemudian diikuti oleh Kota Tangerang (84,48 persen) dan Kota Cilegon (82,64 persen) dan Kabupaten Tangerang (69,38 persen) (Gambar 3.2). Rendahnya kepemilikan akte kelahiran oleh Balita di beberapa Kabupaten dapat dikaitkan dengan penolong kelahiran si balita itu sendiri. Balita yang ditolong kelahirannya oleh Dokter/Bidan umumnya mempunyai akte kelahiran karena kadang kala Dokter/Bidan menyediakan pelayanan tambahan untuk pengurusan akte kelahiran. Sedangkan Balita yang ditolong kelahirannya oleh Dukun bersalin umumnya tidak mempunyai akte kelahiran. Di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, sebagian besar balita penolong kelahirannya adalah dukun bersalin (liat pada Bab V).
Banten
65,95
Tangsel
87,64
Kota Tangerang
84,48
Kota Cilegon
82,64
Kab Tangerang
69,38
Kota Serang
65,72
Kab Serang
57,12
Lebak
38,35
Pandeglang
37,32 -
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.2 Persentase Penduduk 0-4 Tahun yang Memiliki Akte Kelahiran Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 Dari data di atas dapat dilihat bahwa keperdulian orang tua terhadap hakhak anak khususnya pada aspek hak sipil masih dirasakan kurang. Untuk meningkatkan keperdulian orang tua/wali terhadap hal ini perlu dikaji penyebab 12
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
mengapa tersebut terjadi. Beberapa faktor dijadikan sebagai penyebab utama mengapa orang tua/wali tidak memenuhi hak anak untuk memperoleh akte kelahiran. Penyebab paling utama adalah ketidak mampuan secara ekonomi orang tua/wali untuk memperoleh akte kelahiran. Pada Gambar 3.3 dapat dilihat persentase anak balita yang tidak mempunyai akte kelahiran berdasarkan alasan yang dikemukakan oleh orang tua/walinya. Sekitar 54,54 persen beralasan karena biaya mahal/tidak ada biaya. Permasalahan ini perlu mendapat perhatian dari instansi terkait. Beberapa kabupaten/kota di Provinsi Banten sudah menerapkan pembuatan akte kelahiran gratis, menjadi pertanyaan apabila masalah biaya mahal masih menjadi kendala kepemilikan akte lahir di Provinsi Banten. Alasan lainnya adalah ketidaktahuan masyarakat dalam mengurus akte kelahiran (6,67 persen) dan ketidak perdulian masyarakat tentang pentingnya akte kelahiran (tidak merasa perlu) yaitu sebesar 5,59 persen. Perlu upaya sosialisasi dari instansi terkait tentang kemudahan membuat akte kelahiran dan juga penyadaran bagi masyarakat tentang pentingnya kepemilikan akte kelahiran. Di dalam akta kelahiran terdapat Hak Asasi Manusia (HAM) dan sesungguhnya merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945. Pada Gambar 3.4, dapat dilihat bahwa kendala biaya menjadi kendala utama dalam kepemilikan akte kelahiran di seluruh kabupaten/kota kecuali di Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Di Pandeglang, sebanyak 73,17 persen anak balita yang tidak punya akte kelahiran terkendala karena biaya mahal. Kendala biaya ini masih menjadi penghalang utama di 5 kabupaten/kota lainnya dengan besaran persentase yaitu 64,01 persen di Kabupaten Lebak; 57,36 persen di Kota Serang; 55,57 persen di Kota Cilegon; 51,33 persen di Kabupaten Tangerang dan 48,02 persen di Kabupaten Serang.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
13
60,00
54,54
50,00 40,00 27,44
30,00 20,00 10,00
2,46
6,67
2,93
5,95
0,00 Biaya mahal/tidak ada biaya
Perjalanan jauh
Tidak tahu kelahiran harus dicatat
Tidak tahu cara mengurusnya
Tidak merasa perlu
Lainnya
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.3 Persentase Penduduk 0-4 tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan di Provinsi Banten, 2013 Di Kabupaten Tangerang, sebanyak 12,07 persen balita yang tidak mempunyai akte kelahiran beralasan karena tidak mengetahui cara mengurus akte kelahiran. Sungguh sangat disayangkan, Kabupaten Tangerang yang berdekatan dengan ibu kota Negara, namun informasi mengenai cara pembuatan akte kelahiran tidak sampai ke seluruh lapisan masyarakat. Perlu dilakukan sosialisasi yang lebih gencar agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui tentang bagaimana proses pembuatan akte kelahiran. Satu hal yang patut disayangkan adalah ketidakperdulian masyarakat tentang pentingnya kepemilikan akte kelahiran. Sebanyak 15,91 persen anak balita yang tidak punya akte kelahiran di Kabupaten Serang disebabkan karena orang tua/wali mereka tidak merasa perlu untuk membuat akte kelahiran. Persentase yang cukup tinggi pun terjadi di Kabupaten Pandeglang yaitu 11,07 persen. Perlu upaya yang gencar dalam rangka penyadaran masyarakat tentang hak-hak anak yang terkait dengan hak atas kewarganegaraan. Tanpa memiliki akte kelahiran, orang tua/wali telah merampas hak-hak kewarganegaan si anak. 14
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Akte kelahiran sangat diperlukan dalam berbagai urusan salah satunya adalah pendaftaran sekolah.
Banten
6,67
54,54
Pandeglang
5,95
73,17
Lebak
2,29 11,07
64,01
Kota Cilegon
55,57
Kota Serang
57,36
Kab Serang
8,38
2,46
51,33
Kota Tangerang
23,94
Kota Tangsel
21,91
-
8,69 7,05
20,00
Biaya mahal/tidak ada biaya
8,34
7,52 4,58
48,02
Kab Tangerang
6,39 3,65
15,91 12,07
-
-
40,00
60,00
Tidak tahu cara mengurusnya
80,00
100,00
Tidak merasa perlu
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.4 Persentase Penduduk 0-4 tahun yang Tidak Memiliki Akte Kelahiran Menurut Alasan dan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 3.2 Akses Terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Komunikasi adalah salah satu jembatan agar manusia dapat berinteraksi antar sesama. Dengan komunikasi pula, arus pengetahuan/informasi dapat mengalir dari satu orang ke orang lainnya. Pada awalnya, komunikasi antar sesama manusia dilakukan dengan cara sederhana. Seiiring dengan perubahan jaman, cara komunikasi semakin berkembang. Pada saat ini komunikasi telah didukung oleh pengetahuan teknologi informasi. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak Pasal 17 menyatakan bahwa negara harus menjamin bahwa anak mempunyai akses ke informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional; terutama yang ditujukan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
15
pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya dan kesehatan fisik dan mentalnya. Untuk tujuan ini, maka Negara harus : (a) Mendorong media massa untuk menyebarluaskan informasi dan bahan yang mempunyai manfaat sosial dan budaya pada anak; (b) Mendorong kerjasama internasional dalam produksi, pertukaran dan penyebarluasan informasi dan bahan tersebut dari suatu diversitas budaya, sumber-sumber nasional dan internasional; (c) Mendorong produksi dan penyebarluasan buku anak-anak; (d) Mendorong media massa agar mempunyai perhatian khusus pada kebutuhan-kebutuhan linguistik anak, yang menjadi anggota kelompok minoritas dan merupakan penduduk asli; (e)
Mendorong
perkembangan
pedoman-pedoman
yang
tepat
untuk
perlindungan anak dari informasi dan bahan yang merusak kesejahteraannya. Pada saat ini, teknologi informasi dan komunikasi yang sangat menunjang kehidupan manusia adalah internet. Dengan internet, tidak ada lagi batasan jarak dan waktu dalam berkomunikasi. Dengan itu, cara manusia berinteraksi antar satu dengan yang lain telah berubah secara drastis menjadi lebih cepat dan mudah. Internet adalah salah satu keajaiban penemuan di dunia. Penemuan internet merubah dunia menjadi lebih dinamis dan serba cepat. Kemajuan internet telah menyentuh banyak sisi kehidupan manusia. Kejadian di belahan dunia lain bisa kita ketahui dengan segera melalui internet. Manusia pun saling berinteraksi melalui internet. Aktifitas perdagangan juga berkembang pesat dengan bantuan internet. Menurut catatan Internet World Statistics, Amerika Utara adalah pengguna akses internet terbesar di dunia dengan penetrasi mencapai 78,6 persen, Australia/Oseania 67,8 persen, Eropa mencapai 63,5 persen, Amerika Latin/Karibia 43 persen, Timur Tengah 40,2 persen, Asia 27,5 persen, dan terakhir adalah Afrika 15,6 persen. Jumlah totalnya mencapai sekitar 2,4 milyar orang atau lebih dari sepertiga penduduk dunia (Profil Anak Indonesia, 2012).
16
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Tabel 3.1 Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+ Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
5-6
1,46
1,23
1,35
7-12
10,33
7,38
8,89
13-15
28,38
35,10
31,53
16-17
46,72
49,98
48,29
Total
18,38
18,52
18,45
Sumber: Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Pengguna internet tidak hanya dibatasi bagi orang dewasa. Pada saat ini, pengenalan internet sudah dilakukan sejak usia dini. Sejak sekolah dasar, anak sudah dikenalkan dengan internet. Sekitar 18,45 persen anak usia 5-17 tahun pernah mengakses internet selama tiga bulan terakhir sebelum tanggal survei. Berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang berarti antar pengguna internet anak laki-laki dan anak perempuan. Dilihat berdasarkan kelompok umur, semakin tinggi kelompok umur semakin besar pula persentase anak yang mengakses internet. Pada kelompok usia 5-6 tahun, hanya sekitar 1,35 persen anak yang mengakses internet. Pada usia ini, umumnya orang tua mengenalkan anak dengan berbagai aplikasi-aplikasi yang bersifat edukasi. Namun sering kali pula anak mengakses internet terkait dengan permainan yang bersifat online. Pada usia meningkat remaja, 13 tahun ke atas, penggunaan internet semakin marak. Sekitar 31,53 persen anak usia 13-15 tahun mengakses internet, sedangkan anak usia 16-17 tahun yang mengakses internet sebesar 48,29 persen. Semakin meningkatnya usia, semakin tinggi pula kebutuhan untuk mengakses internet. Mengakses internet dapat memberikan peluang bagi anak untuk mengembangkan pengetahuannya. Selain menambah pengetahuan, akses internet dibutuhkan anak remaja untuk dapat berkomunikasi di media sosial. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
17
Mudahnya anak untuk mengakses internet merupakan salah satu wujud pemenuhan hak anak terhadap teknologi informasi. Namun demikian, Pemerintah harus melindungi anak agar internet tidak berdampak buruk pada anak. Pada Tabel 3.2 dapat dilihat proposi anak berusia 5-17 tahun yang mengakses internet selama tiga bulan sebelum survei menurut partisipasi sekolah dan jenis kelamin. Hampir seluruh anak usia 5-17 tahun yang mengakses internet adalah pelajar yaitu sebesar 96,67 persen. Anak yang belum/tidak pernah sekolah namun mengakses internet sebesar 0,07 persen, diduga mereka mengakses internet untuk mengakses permainan online. Hanya sekitar 3,26 persen anak yang mengakes internet sudah tidak bersekolah lagi. Tabel 3.2 Proporsi Anak Berusia 5-17 tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir menurut Partisipasi Sekolah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Partisipasi Sekolah
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+ Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
Belum/Tidak Pernah Sekolah Masih Sekolah Tidak Bersekolah Lagi Total
0,13
0,00
0,07
97,40
95,89
96,67
2,47
4,11
3,26
100,00
100,00
100,00
Sumber: Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Dilihat berdasarkan kabupaten/kota, persentase anak usia 5-17 tahun yang mengakses internet paling banyak adalah di Kota Tangerang, baik yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Sementara, persentase anak yang mengakses internet paling sedikit adalah di Kabupaten Lebak, masing-masing sebesar 6,31 persen anak laki-laki dan 6,82 persen anak perempuan.
18
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
18,52 18,38
Provinsi Banten
29,48
Kota Tangsel
Kota Cilegon
37,52
Kota Tangerang Serang
Pandeglang
43,38
8,49 7,98 16,60 15,11
Tangerang Lebak
34,13
19,27 15,66 22,49 17,68
Kota Serang
6,82 6,31 10,67 7,55
Perempuan
Laki-laki
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 3.5 Persentase Anak Berusia 5-17 Tahun yang Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
19
LINGKUNGAN KELUARGA DAN PENGASUHAN ALTERNATIF Dalam mukadimah Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa anak agar perkembangan kepribadiannya tumbuh secara utuh dan serasi maka anak harus tumbuh kembang dalam lingkungan keluarga dalam suasana kebahagiaan cinta dan pengertian. Oleh karena itu, anak sebaiknya tinggal dalam keluarga yang utuh. Namun demikian, tidak tumbuh kembang anak akan lebih optimal apabila anak sudah berinteraksi dengan lingkungan lain di sekitarnya. Dalam bagian ini akan dibahas tentang anak yang tinggal dalam keluarga serta anak yang mengikuti pendidikan usia dini.
4.1 Anak dan Keluarga yang Tinggal Bersama Di dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 28 dijelaskan bahwa pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Keluarga adalah lingkungan pertama dimana anak berinteraksi, sehingga dari sinilah proses pendidikan dimulai. Lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Pendidikan keluarga sangat berpengaruh pada perkembangan karakter dan kepribadian anak. Pendidikan keluarga merupakan tanggung jawab orang tua. Peran ibu dalam pendidikan lebih banyak dibanding peran ayah, karena ibu memiliki lebih banyak kesempatan bersama anak sementara ayah biasanya lebih banyak bekerja. Selain itu, ibu memiliki kesempatan yang tidak dimiliki ayah karena ibulah yang mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Karena itu, peluang seorang anak tinggal serumah dengan ibu kandung menjadi lebih besar. 20
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Dalam pembahasan ini, anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung mencakup anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung saja, serta anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung beserta bapak kandung. Untuk melihat persentase anak yang tinggal dengan ibu kandung, digunakan data Susenas 2013.
94,01 92,93
92,52
92,49
92,5
90,92
Perkotaan
Perdesaan Laki-laki
Perkotaan+Perdesaan
Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.1 Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013 Persentase anak yang tinggal serumah dengan ibu kandung mencapai sebesar 92,72 persen, sedangkan 7,28 persen anak tidak tinggal bersama ibu kandungnya. Hal ini dapat dimungkinkan karena ibu kandung telah meninggal atau ibu kandung tinggal di rumah tangga lain. Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan yang berarti antara persentase anak laki-laki dan anak perempuan yang tinggal serumah dengan ibu kandung. Persentase anak laki-laki yang tinggal serumah dengan ibu kandung sedikit lebih tinggi (92,93 persen) dibanding anak perempuan (92,50 persen). Di daerah perkotaan, persentase anak laki-laki yang tinggal dengan ibu kandungnya lebih tinggi (94,01 persen) dibanding anak perempuan (92,49 persen) dan sebaliknya di
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
21
daerah perdesaan persentase anak perempuan yang tinggal dengan ibu kandungnya lebih tinggi (92,52 persen) dibanding anak laki-laki (90,92 persen).
92,50 92,93
Provinsi Banten
94,69
Kota Tangerang Selatan
95,80 92,90
Kota Serang
96,55 94,00 93,18
Kota Cilegon
92,39
Kota Tangerang
94,62 92,86
Serang
91,97 92,47 91,77
Tangerang 90,39
Lebak
92,43 91,70
Pandeglang
90,48
Perempuan
Laki-laki
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.2 Persentase Anak yang Tinggal Serumah dengan Ibu Kandung Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Bila dilihat menurut kabupaten/kota, persentase anak laki-laki yang tinggal dengan ibu kandung yang paling besar adalah di Kota Serang sebesar 96,55 persen dan persentase anak perempuan yang tinggal dengan ibu kandung yang paling besar adalah di Kota Tangerang Selatan sebesar 94,69 persen. Sementara persentase anak yang tinggal dengan ibu kandung yang paling kecil untuk anak laki-laki adalah di Kabupaten Pandeglang dan untuk anak perempuan adalah di Kabupaten Lebak. Hal ini dimungkinkan karena di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak banyak ibu yang harus bekerja di luar daerah sehingga tidak dapat tinggal bersama anak mereka.
22
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
4.2 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Anak usia dini ialah anak yang berada pada rentang usia 0-6 tahun. Usia dini merupakan masa-masa emas perkembangan anak yang biasa dikenal dengan istilah Golden Age. Masa Golden Age ialah masa anak usia dini untuk mengekplorasi hal-hal yang ingin mereka lakukan, senang bermain dan peka terhadap rangsangan sekitar. Pada masa ini, otak anak-anak berkembang sangat pesat. Pada rentang usia tersebut otak anak akan menerima dan menyerap berbagai macam informasi dari lingkungan sekitarnya, tanpa mengetahui baik dan buruk. Pada rentang waktu itulah terjadi perkembangan mental, fisik maupun spiritual pada anak secara cepat dan signifikan. Anak akan mulai mempelajari segala hal dan karakternya sudah mulai terbentuk. Oleh karena itu, perlu diberikan pendidikan sejak usia dini sebagai langkah persiapan anak menghadapi masa-masa depannya. Pemberian pendidikan sejak usia dini ini sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada Bab I, Pasal I butir 14 Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pada Pasal 28 lebih dijelaskan lagi tentang PAUD, dimana dinyatakan bahwa PAUD diselenggarakan sebelum pendidikan dasar melalui jalur formal, non formal maupun informal. PAUD menyediakan berbagai kegiatan, seperti kognitif, bahasa, emosi, fisik, dan motorik. Kegiatan ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kemampuan anak baik bersifat motorik maupun non-motorik. PAUD pada jalur pendidikan formal dapat berupa Taman Kanak-Kanak (TK) atau Raudhatul Athfal (RA) atau yang sederajat dengan rentang usia 4-6 tahun. PAUD pada jalur non-formal dapat berupa Kelompok Bermain (KB) dengan Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
23
rentang usia 2-4 tahun. Sedangkan PAUD jalur pendidikan informal dapat berupa Taman Penitipan Anak (TPA) dengan rentang usia 3 bulan sampai 2 tahun dan satuan PAUD dengan rentang usia 4-6 tahun. Secara umum, Pendidikan Anak Usia Dini ditujukan untuk mengembangkan potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tujuan utama PAUD adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan pada masa dewasa. Sementara tujuan penyertanya adalah untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah, sehingga dapat mengurangi usia putus sekolah dan mampu bersaing secara sehat di jenjang pendidikan berikutnya. Angka partisipasi PAUD diperoleh dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2013. Partisipasi PAUD anak kelompok umur 0-6 tahun sebesar 12,52 persen. Sementara untuk rentang kelompok umur yang lebih sempit (3-6 tahun) partisipasi PAUD menjadi lebih besar yaitu 21,10 persen. Partisipasi PAUD untuk anak kelompok umur 5-6 tahun sebesar 29,47 persen, anak kelompok umur 3-4 tahun sebesar 13,31 persen, dan anak kelompok umur 0-2 tahun sebesar 0,69 persen. PAUD lebih banyak diikuti oleh anak kelompok umur 5-6 tahun dan hanya sedikit diikuti oleh anak kelompok umur 0-2 tahun. Dapat dikatakan bahwa PAUD lebih banyak diikuti oleh anak kelompok umur Taman Kanak-kanak (TK) dibanding kelompok umur lain. Apabila dilihat berdasarkan klasifikasi daerah, ada perbedaan nyata angka partisipasi PAUD anak laki-laki dan anak perempuan. Di daerah perkotaan, angka pertisipasi PAUD anak laki-laki lebih tinggi dibanding yang perempuan. Partisipasi PAUD anak laki-laki di daerah perkotaan sebesar 16,12 persen dan partisipasi PAUD anak perempuan sebesar 13,36 persen. Sebaliknya di daerah perdesaan, partisipasi PAUD anak perempuan sebesar 9,72 persen dan partisipasi anak laki-laki sebesar 5,75 persen. 24
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Secara keseluruhan, partisipasi PAUD anak laki-laki tidak berbeda secara signifikan dibanding yang perempuan. Tabel 4.1 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2013 Kelompok Umur (Tahun)
Tipe Daerah Jenis Kelamin
0-2
3-4
5-6
3-6
0-6
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Laki-laki
0,76
15,61
39,99
27,26
16,12
Perempuan
0,72
14,72
31,53
22,54
13,36
Laki-laki+Perempuan
0,74
15,18
36,02
25,01
14,80
Laki-laki
0,33
5,95
13,83
9,71
5,75
Perempuan
0,81
12,65
19,12
16,07
9,72
Laki-laki+Perempuan
0,57
9,14
16,61
12,90
7,73
Laki-laki
0,62
12,59
31,81
21,78
12,87
Perempuan
0,75
14,08
27,02
20,37
12,15
Laki-laki+Perempuan
0,69
13,31
29,47
21,10
12,52
Perkotaan :
Perdesaan :
Perkotaan+Perdesaan :
Sumber: Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Dilihat menurut kabupaten/kota, persentase anak laki-laki yang mengikuti PAUD paling banyak adalah di Kota Tangerang Selatan dan untuk anak perempuan adalah di Kota Tangerang. Sementara, persentase anak yang mengikuti PAUD paling kecil adalah di Kabupaten Lebak, baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Hal ini dimungkinkan karena keberadaan PAUD di Kabupaten lebak masih sedikit.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
25
12,15 12,87
Provinsi Banten
11,71
Kota Tangsel Kota Serang
11,48
5,49 7,67
Kota Cilegon
12,76
Kota Tangerang
16,86
Serang
10,56
Pandeglang
4,2
21,73
11,59
6,07
Tangerang Lebak
21,63
17,02
6,76 7,09
Perempuan
10,41
Laki-laki
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.3 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Kabupaten Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 28 ayat (2) PAUD dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu TK/RA/BA, Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu, dan satuan PAUD Sejenis Lainnya, seperti PAUDTAAM, PAUD-PAK, PAUD-BIA, TKQ dan PAUD Lembaga Lainnya. Jenis PAUD yang paling banyak diikuti oleh anak usia 0-6 tahun adalah TK/RA/BA sebesar 55,32 persen. Kemudian di urutan berikutnya adalah Satuan PAUD lainnya sebesar 25,47 persen dan Pos PAUD/PAUD Terintegrasi BKB/Posyandu sebesar 15,84 persen. Partisipasi PAUD untuk Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak sangat kecil, masing-masing sebesar 2,17 persen dan 1,20 persen. Menariknya, jenis PAUD Taman Penitipan Anak (TPA) hanya diikuti oleh anak di daerah perkotaan, terlihat dari angka partisipasi PAUD untuk Taman pendidikan anak di daerah perdesaan yang sebesar nol persen. Hal ini dapat
26
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
dimungkinkan karena untuk saat ini penyelenggaraan TPA masih terkonsentrasi di daerah perkotaan yang tujuannya memenuhi kebutuhan ibu-ibu yang bekerja. Tabel 4.2 Persentase Anak Usia 0-6 Tahun yang Sedang Mengikuti PAUD Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenis PAUD di Provinsi Banten, 2013 Jenis PAUD Tipe Daerah dan Jenis Kelamin
Pos Satuan Taman PAUD/PAUD Kelompok PAUD TK/RA/BA Penitipan Terintegrasi Bermain Sejenis Anak BKB/ Lainnya Posyandu
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Laki-laki
59,42
1,85
0,91
14,61
23,20
Perempuan
59,35
0,00
2,26
12,49
25,90
Laki-laki+Perempuan
59,39
1,06
1,49
13,70
24,36
Laki-laki
47,90
7,08
0,00
25,28
19,74
Perempuan
33,65
6,40
0,00
24,00
35,96
Laki-laki+Perempuan
38,96
6,65
0,00
24,48
29,91
Laki-laki
57,81
2,58
0,79
16,10
22,72
Perempuan
52,51
1,70
1,66
15,55
28,57
Laki-laki+Perempuan
55,32
2,17
1,20
15,84
25,47
Perkotaan :
Perdesaan :
Perkotaan+Perdesaan :
Sumber: Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
4.3 Perkawinan Anak Usia Dini Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam undang-undang perkawinan tersebut, umur Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
27
menjadi salah satu syarat dalam melaksanakan perkawinan. Dalam undangundang tersebut telah ditentukan batas minimal usia perkawinan bagi pria adalah 19 tahun dan wanita adalah 16 tahun. Dalam pasal 7 ayat (1), pada usia tersebut baik pria maupun wanita diasumsikan telah cukup matang untuk memasuki gerbang perkawinan dengan segala permasalahannya. Selain itu, penetapan batas usia minimal perkawinan ini dimaksudkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Namun pada kenyataannya masih saja terjadi perkawinan yang dilakukan sebelum mencapai batas umur yang ditentukan yang dikenal dengan istilah perkawinan usia dini. Faktor-faktor penyebab perkawinan usia dini dapat berasal dari dalam diri anak maupun dari luar diri anak. Faktor yang berasal dari dalam diri anak antara lain faktor pendidikan, pemahaman agama, telah melakukan hubungan biologis, dan kehamilan sebelum pernikahan. Faktor yang berasal dari luar diri anak antara lain faktor orang tua, faktor ekonomi, dan faktor sosial budaya. Perempuan yang melahirkan pada usia muda memiliki resiko yang lebih besar. Belum kuatnya fungsi rahim dan hormonal serta kurang pahamnya perawatan pada masa kehamilan berakibat pada rentannya kehamilan seperti terjadinya tekanan darah tinggi, lahir prematur, berat bayi lahir rendah, serta tingginya angka kematian ibu dan bayi. Perkawinan usia dini juga sangat memengaruhi fisik ataupun psikologis anak yang dilahirkan kelak. Ketrampilam mengasuh anak serta pengendalian emosi seorang ibu yang menikah pada usia dini pada umumnya masih kurang. Hal ini menimbulkan resiko anak yang dilahirkan akan mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, dan gangguan psikologis. Ditinjau dari sisi sosial, perkawinan dini dapat berdampak negatif yaitu mengurangi harmonisasi keluarga serta meningkatnya kasus perceraian. Hal ini disebabkan emosi yang masih labil, gejolak darah muda, dan cara pola pikir yang belum matang. Di samping ego yang tinggi dan kurangnya tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga sebagai suami-istri. Jika dilihat dari segi kependudukan, 28
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
perkawinan usia dini mengakibatkan tingginya tingkat fertilitas sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kependudukan. Dalam publikasi ini, perkawinan usia dini diartikan sebagai keadaan dimana anak wanita berumur 1017 tahun telah berstatus kawin atau pernah kawin dengan umur kawin pertama 15 tahun ke bawah.
Provinsi Banten
1,16
Lebak
2,62
Kota Cilegon
2,28
Pandeglang
1,92
Kota Tangerang Selatan
0,96
Tangerang
0,92
Serang
0,80
Kota Serang Kota Tangerang
0,60 0,18
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.4 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Kawin dan Pernah Kawin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 Di Provinsi Banten terdapat sebesar 1,16 persen anak perempuan berumur 10-17 tahun berstatus kawin dan pernah kawin dengan persentase terbesar terdapat di Kabupaten Lebak (2,62 persen) dan persentase terkecil terdapat di Kota Tangerang (0,18 persen). Persentase anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin di daerah perdesaan lebih banyak dibanding di daerah perkotaan. Persentase anak perempuan 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin di daerah perdesaan sebesar 1,55 persen, dengan rincian sebesar
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
29
1,47 persen berstatus kawin dan 0,08 persen berstatus cerai hidup. Sementara untuk daerah perkotaan sebesar 0,94 persen, dengan rincian sebesar 0,9 persen berstatus kawin dan 0,04 persen berstatus cerai hidup. Kecenderungan melakukan perkawinan pada usia muda di daerah perdesaan dipengaruhi oleh berbagai hal seperti faktor ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Sebagian orang tua di perdesaan menikahkan anaknya dengan harapan setelah anak menikah dapat meringankan beban ekonomi keluarga. Selain itu, pada umumnya anak perempuan yang memasuki usia remaja dan belum menikah akan dianggap sebagai perawan tua. Hal inilah yang menyebabkan perkawinan pada usia muda di daerah perdesaan lebih tinggi dibanding daerah perkotaan. Tabel 4.3 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013 Status Perkawinan Tipe Daerah Belum Kawin
Kawin
Cerai Hidup
Cerai Mati
(2)
(3)
(4)
(5)
Perkotaan
99,05
0,90
0,04
0,00
Perdesaan
98,45
1,47
0,08
0,00
Perkotaan+Perdesaan
98,84
1,10
0,06
0,00
(1)
Sumber: Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Dari Gambar 4.5 dapat dilihat bahwa sebagian besar anak perempuan berumur 10-17 tahun (98,84 persen) masih berstatus belum kawin dan sisanya 1,16 persen pernah kawin dengan rincian 1,1 persen berstatus kawin dan 0,06 persen berstatus cerai hidup. Hal ini sangat memprihatinkan karena dalam usia yang sangat muda anak-anak tersebut sudah mengalami perceraian yang tentunya akan menimbulkan dampak psikologis bagi perkembangan anak ke depannya.
30
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Kawin 1,1
Belum Kawin 98,84
Cerai (Cerai Hidup + Cerai Mati) 0,06
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.5 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun Menurut Status Perkawinan di Provinsi Banten, 2013 Anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu yang umur kawin pertamanya 15 tahun ke bawah, 16 tahun, serta 17 tahun. Dari keseluruhan anak perempuan berumur 10-17 tahun yang berstatus kawin dan pernah kawin, sebesar 15,96 persen diantaranya melakukan perkawinan usia dini (umur perkawinan pertama 15 tahun ke bawah). Sedangkan sisanya sebesar 31,38 persen melakukan perkawinan pertama di umur 16 tahun dan sebesar 52,66 persen melakukan perkawinan pertama di umur 17 tahun.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
31
15,96 52,66
31,38
≤15 Tahun 16 Tahun ≥17 Tahun
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 4.6 Persentase Anak Perempuan 10-17 Tahun yang Berstatus Kawin dan Pernah Kawin Menurut Umur Kawin Pertama di Provinsi Banten, 2013 Perkawinan usia dini dapat berakibat pada tidak terpenuhinya secara optimal salah satu hak anak yaitu mendapatkan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu cara untuk peningkatan kualitas hidup warga. Namun pada sebagian besar kasus perkawinan usia dini, anak akan terhenti pendidikannya. Hal ini dapat meningkatkan angka putus sekolah. Selain itu, banyak pihak masih berpikir ketika seorang siswa hamil tidak berhak mengikuti Ujian Akhir Nasional. Namun, dengan membiarkan anak putus sekolah adalah bentuk pelanggaran hak anak untuk mendapatkan pendidikan. Lebih jauh lagi, membiarkan anak dengan pernikahan dini putus sekolah akan membuat kemiskinan berulang serta kemungkinan kejadian pernikahan anak-anak pada generasi selanjutnya terus berlanjut. Oleh karena itu, perhatian dari berbagai pihak diperlukan dalam menanggulangi perkawinan usia dini agar tercipta generasi penerus bangsa yang berkualitas.
32
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
KESEHATAN DASAR DAN KESEJAHTERAAN
Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Kesehatan harus dipandang sebagai suatu investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia yang menentukan nasib suatu bangsa, atau khususnya di Provinsi Banten. Pentingnya pembangunan kesehatan ini telah menjadikannya sebagaisalah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs). Oleh karena itu, pemerintah baik pusat maupun daerah terus berupaya keras dalam meningkatkan pembangunan kesehatan dengan membuat kebijakan-kebijakan serta penyediaan fasilitas penunjang dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Pemantauan kondisi kesehatan masyarakat sangat diperlukan untuk melihat perkembangan capaian yang didapat serta dapat dijadikan sebagai landasan untuk membuat kebijakan-kebijakan baru dengan hasil yang lebih baik. Kebutuhan hak dasar akan kesehatan harus dimulai sejak masa anak-anak. Pemenuhan kebutuhan kesehatan pada anak sejalan dengan Konvensi tentang HakHak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989. Pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa negara-negara Pihak mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi dapat diperoleh dan atas berbagai fasilitas untuk pengobatan penyakit dan rehabilitasi kesehatan. Negara-negara Pihak harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya atas akses ke pelayanan perawatan kesehatan tersebut. Berikut akan disajikan gambaran kondisi kesehatan anak di Provinsi Banten, yang terdiri dari sub bab penolong kelahiran, Air Susu Ibu (ASI), imunisasi, keluhan kesehatan, akses ke pelayanan kesehatan dan tingkat unjungan. Informasi tentang pelayanan antenatal dan kematian anak tidak dapat ditampilkan dalam publikasi ini dikarenakan belum tersedianya data terbaru. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
33
5.1 Penolong Kelahiran Penolong kelahiran merupakan faktor yang sangat memengaruhi tingkat keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi dalam proses kelahiran. Penolong kelahiran adalah salah satu bagian dari pelayanan antenatal care, yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan primer. Penolong kelahiran didefinisikan sebagai orang yang biasa memeriksa wanita hamil atau memberikan pertolongan selama persalinan dan masa nifas. Penolong kelahiran dibedakan menjadi dua yaitu tenaga kesehatan dan bukan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah mereka yang mendapatkan pendidikan formal seperti dokter spesialis kandungan, bidan dan tenaga kesehatan lainnya, sedangkan bukan tenaga kesehatan misalnya dukun terlatih maupun dukun tidak terlatih. Seringkali seorang ibu yang akan melahirkan ditolong lebih dari satu orang penolong kelahiran. Misalnya seorang ibu pada awal persalinannya ditolong oleh dukun, karena terjadi masalah maka harus dibawa ke bidan. Dalam kasus tersebut, ada dua penolong kelahiran dimana penolong kelahiran pertama adalah dukun, sedangkan penolong kelahiran terakhir adalah bidan. Pada sub bab ini akan diulas mengenai penolong kelahiran terakhir. Berdasarkan data Susenas 2013 seperti yang disajikan pada Gambar 5.1, dapat dilihat bahwa penolong kelahiran terakhir paling banyak di Provinsi Banten adalah bidan, baik balita laki-laki maupun perempuan yaitu sebesar 57,35 persen dan 60,88 persen. Penolong kelahiran yang tertinggi berikutnya adalah dukun bersalin. Masih tingginya persentase kelahiran di Provinsi Banten yang ditolong oleh dukun diduga disebabkan oleh faktor budaya dan sarana prasarana kesehatan yang kurang memadai. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan maupun menyediakan sarana prasarana kesehatan yang memadai di seluruh wilayah Provinsi Banten.
34
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Bidan Laki-laki
Dukun Bersalin
1,50
1,06
19,96
20,43
60,88
57,35 17,66
21,16
Dokter
Lainnya
Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.1 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten 2013 Dilihat menurut kabupaten/kota, penolong kelahiran terbanyak di hampir semua kabupaten/kota adalah bidan. Persentase penolong kelahiran oleh bidan terbanyak adalah di Kota Cilegon sebesar 77,08 persen. Dilihat secara keseluruhan,
penolong
kelahiran
oleh
dukun
bersalin
di
beberapa
kabupaten/kota masih cukup tinggi. Di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak sebagian besar kelahiran ditolong oleh dukun bersalin. Penolong kelahiran oleh dokter masih kecil persentasenya jika dibandingkan dengan bidan atau dukun bersalin. Persentase penolong kelahiran oleh dokter paling tinggi adalah di Kota Tangerang Selatan sebesar 45,32 persen. Persentase kelahiran yang ditolong oleh selain dokter, bidan, dan dukun bersalin sudah sangat kecil.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
35
Banten
19,48
59,05
Kota Tangsel Kota Serang Kota Cilegon
45,32
53,47
13,85
51,94
16,95
Kota Tangerang Serang
20,20
Pandeglang 5,33 Dokter
5,61 0,36
69,52
2,78 1,69
55,44
22,04
Lebak 6,72
0,87
77,08
8,27
Tangerang
1,21 33,34
26,02
32,97 66,33
3,32 10,38 1,25
46,01
46,71
44,20
Bidan
1,27
49,78
Dukun Bersalin
0,56 0,68
Lainnya
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.2 Persentase Balita Menurut Penolong Kelahiran dan Kabupaten Kota di Provinsi Banten 2013 5.2 Air Susu Ibu (ASI) Balita merupakan calon penerus bangsa yang akan mempengaruhi masa depan suatu negara. Balita yang sehat merupakan asset suatu bangsa dan diharapkan memiliki peluang yang besar untuk membangun negara di masa datang. Oleh karena itu, kesehatan balita menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Salah satu faktor yang memengaruhi kesehatan balita adalah makanan yang dikonsumsi sejak lahir. Seharusnya seorang bayi yang baru lahir mendapatkan
ASI
untuk
kekebalan
tubuh
dan
kesehatannya.
WHO
merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Para ahli menyatakan bahwa manfaat ASI akan meningkat jika bayi diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Akan tetapi belum semua ibu tahu pentingnya ASI untuk bayi. 36
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Salah satu kandungan ASI yang paling fenomenal adalah kolostrum yang mengandung zat kekebalan (immunoglobulin), protein dan vitamin A yang tinggi. ASI memberikan manfaat bagi bayi diantaranya bayi mendapat nutrisi dan enzim terbaik yang dibutuhkan, bayi mendapat zat-zat imun, serta perlindungan dan kehangatan melalui kontak dari kulit ke kulit dengan ibunya yang memberikan manfaat secara psikologis. Susu formula tidak akan bisa menyamai ASI dalam hal kandungan maupun manfaat bagi bayi (Yuliarti: 2010 disadur dari Publikasi Anak Indonesia 2012). Oleh karena itu, pemberian ASI pada balita menjadi hal yang harus diperhatikan.
Perdesaan
93,81
92,41
91,4
Perkotaan
Perempuan
95,33
95,87
92,86
94,46
94,62
97,18
Laki-laki
Laki-laki + Perempuan
Perkotaan + Perdesaan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.3 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten 2013 Gambar diatas memperlihatkan bahwa persentase balita yang mendapat ASI di Provinsi Banten sudah cukup tinggi yaitu sebesar 93,91 persen. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap balita laki-laki (92,41 persen) maupun perempuan (95,33 persen) yang pernah diberi ASI. Sementara itu berdasarkan daerah, persentase balita di daerah perdesaan yang pernah diberi ASI (95,87 persen) lebih tinggi dibandingkan balita di daerah perkotaan (92,86 persen). Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
37
95,33 92,41
Banten
94,08
Kota Tangsel
98,26
92,76 92,55
Kota Serang
97,12 96,20
Kota Cilegon Kota Tangerang
81,10
90,45 97,28 98,01
Serang
96,15 93,20
Tangerang Lebak
91,40
98,58 97,01 95,08
Pandeglang Perempuan
Laki-laki
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.4 Persentase Balita yang Pernah Diberi ASI Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten 2013 Persentase balita yang pernah diberi asi di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Banten sudah cukup tinggi. Balita laki-laki yang pernah diberi asi paling banyak di Kota Tangerang Selatan sebesar 98,26 persen, sedangkan untuk balita perempuan paling banyak adalah di Kabupaten lebak sebesar 98,58 persen. Persentase balita yang pernah diberi asi paling kecil adalah di Kota Tangerang, baik balita laki-laki maupun perempuan. Lama pemberian ASI berpengaruh positif terhadap kondisi kesehatan dan proses tumbuh kembang anak balita. Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan bayi. Selain pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, standar pemberian makanan bagi balita yang lain adalah memberikan makanan pendamping ASI setelah 6 bulan dan ASI dilanjutkan hingga 2 tahun. Jika hal itu dilakukan maka anak tidak hanya
38
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
sehat dan pandai, tetapi juga memiliki kemampuan spiritual (SQ) dan emosional (EQ) jauh lebih tinggi (Yuliarti: 2010 disadur dari Publikasi Anak Indonesia 2012).
15,59
Perkotaan
Perdesaan
14,43
14,87
Perempuan
14,02
15,35
13,88
13,17
14,63
15,82
Laki-laki
Laki-laki + Perempuan
Perkotaan + Perdesaan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.5 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) bagi Balita Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Rata-rata lama pemberian ASI di Provinsi Banten seperti terlihat pada Gambar 5.5 adalah sekitar 14,43 bulan. Menurut daerah tempat tinggal, rata-rata lama pemberian ASI di daerah perkotaan lebih rendah dibanding daerah perdesaan. Di daerah perkotaan rata-rata lama pemberian ASI adalah sekitar 13,88 bulan dan untuk daerah perdesaan sekitar 15,59 bulan. Hal ini mungkin disebabkan banyaknya ibu-ibu pekerja di daerah perkotaan, sehingga menyebabkan pemberian ASI pada balita lebih singkat. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, tidak ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata lama pemberian ASI balita laki-laki (14,02 bulan) dan perempuan (14,87 bulan). Lama pemberian ASI yang lebih dari setahun tersebut mengindikasikan bahwa kesadaran ibu-ibu akan pentingnya manfaat ASI masih cukup tinggi di Banten. Pemberian ASI secara eksklusif sampai usia 6 bulan pertama kehidupan merupakan suatu misi primer dalam program kesehatan masyarakat dunia yang Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
39
direkomendasikan oleh WHO. Mengingat pentingnya pemberian ASI bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan kecerdasan bayi, maka pemerintah sangat memberi perhatian terhadap pemberian ASI eksklusif ini. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 128 disebutkan bahwa (1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis, (2) Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus, dan (3) Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan sarana umum.
11,59 10,26
9,58
ASI Saja 3,61
Perkotaan
3,41
Perdesaan
3,55
ASI dengan makanan tambahan
Perkotaan + Perdesaan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.6 Rata-rata Lama Pemberian ASI (Bulan) Tanpa Makanan Tambahan dan ASI dengan Makanan Tambahan bagi Balita Menurut Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013 Rata-rata lama pemberian ASI tanpa makanan tambahan atau ASI ekslusif di Provinsi Banten adalah sekitar 3,55 bulan baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Rata-rata lama pemberian ASI tanpa makanan tambahan yang masih 40
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
kurang dari 6 bulan perlu ditelaah lebih lanjut, apakah disebabkan oleh kesadaran terhadap pemberian ASI ekslusif yang masih rendah atau karena adanya masalah hormon atau kesehatan dari sebagian besar ibu-ibu yang menyusui. Sementara itu, rata-rata lama pemberian ASI dengan makanan tambahan pada balita adalah
46,13
46,50
45,76
37,53
33,92
40,83
50,16
51,98
48,24
selama 10,26 bulan (Gambar 5.6).
Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan + Perdesaan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.7 Persentase Balita Berumur 2-4 Tahun yang Memiliki Riwayat Mendapat ASI Ekslusif (6 Bulan) Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013 Dari Gambar 5.7 dapat dilihat persentase balita umur 2-4 tahun yang di beri ASI eksklusif selama enam bulan. Balita berumur 2-4 tahun yang memiliki riwayat mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan hanya sebesar 46,13 persen, balita laki-laki sebanyak 45,76 persen, sedikit lebih rendah dibanding balita perempuan sebanyak 46,50 persen. Jika dilihat dari tipe daerahnya, balita berumur 2-4 tahun yang memiliki riwayat mendapatkan ASI ekslusif selama enam bulan di daerah perkotaan sebesar 50,16 persen jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yang hanya sebesar 37,53 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
41
di daerah perkotaan akan pentingnya ASI ekslusif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
5.3 Imunisasi Salah satu upaya dalam meningkatkan kesehatan balita adalah dengan imunisasi. Imunisasi berasal dari kata imun, yang berarti kebal atau resisten. Jadi Imunisasi adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manusia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain. Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif dan efisien dalam mencegah penyakit dan merupakan bagian kedokteran preventif yang mendapatkan prioritas. Sampai saat ini ada tujuh penyakit infeksi pada anak yang dapat menyebabkan kematian dan cacat, walaupun sebagian anak dapat bertahan dan menjadi kebal. Ketujuh penyakit tersebut dimasukkan pada program imunisasi yaitu penyakit tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, polio, campak dan hepatitis-B. Berdasarkan data Susenas, balita di Provinsi Banten yang pernah diberi imunisasi pada tahun 2013 adalah sebesar 93,54 persen, dengan persentase yang hampir sama antara pemberian imunisasi pada balita laki-laki (92,47 persen) dan balita perempuan (94,69 persen). Sedangkan jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, pemberian imunisasi pada balita di daerah perkotaan sebesar 95,02 persen lebih banyak dibandingkan dengan balita di daerah perdesaan yang hanya sekitar 90,34 persen (Gambar 5.8).
42
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
93,54
95,02 90,34
91,82
94,69
96,04 88,94
92,47
94,07
Laki-laki
Perkotaan Perdesaan Perkotaan + Perdesaan
Perempuan
Laki-laki + Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.8 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013 Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program imunisasi dapat dilihat dari capaian program dalam 1 tahun. Program imunisasi dikatakan sangat berhasil bila capaian antara 75-100 persen dari target, cukup berhasil bila capaian antara 50-75 persen dari target dan bila capaian dalam 1 tahun dibawah 50 persen dari target berarti program belum berhasil. Dari Gambar 5.9 terlihat bahwa berdasarkan jenis imunisasi yang diberikan, capaian imunisasi BCG, DPT, Polio dan Hepatitis B telah melampaui 75 persen, yang artinya sangat berhasil. Sedangkan tingkat keberhasilan imunisasi campak hanya pada level cukup berhasil, karena pencapaiannya yang masih di bawah 75 persen. Persentase balita yang pernah diberikan imunisasi BCG adalah sekitar 91,21 persen (laki-laki 89,93 persen dan perempuan 92,60 persen). Untuk imunisasi DPT,sebesar 87,66 persen balita yang pernah mendapat imunisasi tersebut (86,88 persen laki-laki dan perempuan 88,50 persen). Persentase balita yang pernah diberi imunisasi polio terdapat sekitar 87,69 persen (laki-laki 86,47 persen dan perempuan 89,01 persen). Untuk balita yang mendapat imunisasi Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
43
campak persentasenya sekitar 72,86 persen (laki-laki 72,19 persen dan perempuan 73,58persen). Balita yang diimunisasi Hepatitis B yaitu sebesar 80,94
72,19 73,58 72,86
80,38 81,55 80,94
86,47 89,01 87,69
86,88 88,50 87,66
89,93 92,60 91,21
persen (laki-laki 80,38 persen dan perempuan 81,55 persen).
Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan
BCG
DPT
Polio
Campak Hepatitis B
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.9 Persentase Balita yang Pernah Diberi Imunisasi Menurut Jenis Imunisasi dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Sesuai dengan pedoman WHO, anak dinyatakan telah di imunisasi lengkap bila telah mendapatkan satu kali imunisasi BCG, tiga kali imunisasi DPT, tiga kali imunisasi polio, dan satu kali imunisasi campak (BPS, 2007). Pemberian imunisasi pada balita seharusnya diberikan secara lengkap dan tepat waktu. Keseluruhan imunisasi sudah harus diberikan secara lengkap sebelum bayi berumur 1 tahun. Pada Gambar 5.10 terlihat bahwa persentase balita berumur 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap (BCG 1 kali, DPT 3 kali, Polio 3 kali dan campak 1 kali) masih cukup rendah, yaitu hanya sebesar 42,66 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara balita laki-laki (41,69 persen) dan perempuan (43,68 persen). Sementara itu persentase balita berumur 1-4 tahun yang mendapat imunisasi lengkap berdasarkan daerah tempat tinggal, berbeda 44
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
cukup nyata antara daerah perkotaan dan perdesaan. Balita berumur 1-4 tahun di perkotaan yang mendapat imunisasi lengkap yaitu sebesar 44,52 persen jauh lebih besar dibandingkan di perdesaan yang hanya sebesar 38,64 persen. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan hal ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat di perdesaan akan pentingnya imunisasi bagi anak dan kurang
42,66
43,68
41,69
38,64
36,36
41,18
44,52
44,79
44,26
tersedianya sarana dan prasarana penunjang imunisasi di daerah perdesaan.
Laki-laki Perempuan Laki-laki + perempuan
Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan + perdesaan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.10 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013 Persentase balita perempuan yang mendapat imunisasi lengkap lebih tinggi dibanding yang laki-laki. Hal ini terjadi hampir di semua kabupaten/kota. Persentase balita perempuan yang mendapat imunisasi lengkap paling tinggi adalah di Kabupaten Lebak, seluruh balita perempuan di Kabupaten Lebak telah mendapat imunisasi lengkap. Sementara persentase balita laki-laki yang mendapat imunisasi lengkap paling tinggi adalah di Kota Tangerang Selatan, yaitu 97,15 persen. Persentase balita perempuan yang mendapat imunisasi lengkap paling kecil adalah di Kota Serang, sedangkan untuk balita laki-laki adalah di Kabupaten Tangerang. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
45
Banten
92,14
84,77
95,82 97,51
Kota Tangsel Kota Serang
85,96
61,47
99,19 96,98
Kota Cilegon Kota Tangerang
94,26
88,84
Serang
83,30
Tangerang
83,16
Lebak
93,44 89,44 90,64
Pandeglang
83,81
Perempuan
100,00
91,74
Laki-laki
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.11 Persentase Balita Berumur 1-4 Tahun yang Mendapat Imunisasi Lengkap Menurut Kabupaten Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 5.4 Keluhan Kesehatan Keluhan kesehatan adalah keadaan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan atau kejiwaan, baik karena penyakit akut, penyakit kronis, kecelakaan, kriminal atau hal lain yang menyebabkan terganggunya kegiatan sehari-hari. Sementara terganggunya kegiatan dapat diartikan tidak dapat melakukan kegiatan secara normal (bekerja, sekolah, kegiatan sehari-hari) sebagaimana mestinya. Dalam Susenas 2013, keluhan kesehatan yang dicakup di antaranya panas, batuk, pilek, asma/napas sesak/cepat, diare/buang-buang air, sakit kepala berulang,sakit gigi dan lainnya. Pertanyaan mengenai keluhan kesehatan tersebut digunakan untuk menghitung angka kesakitan (morbiditas). Seseorang dikatakan sakit jika dia mengalami keluhan kesehatan dan terganggu aktivitas sehariharinya. 46
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
14,16
14,07
14,25
15,98
15,89
16,07 13,20
13,12
13,28
Laki-laki Perempuan Laki-laki + perempuan
Perkotaan
Perdesaan Perkotaan + perdesaan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.12 Persentase Anak yang Sakit Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Dari Gambar 5.12 dapat dilihat tingkat morbiditas anak di Banten adalah sebesar 14,16 persen. Jika dilihat dari jenis kelaminnya, persentase anak yang sakit tidak berbeda secara signifikan antara anak laki-laki dan anak perempuan yaitu 14,25 persen anak laki-laki dan 14,07 persen anak perempuan. Sementara itu jika dilihat dari tipe daerahnya, persentase anak di daerah perdesaan yang sakit lebih banyak dibanding anak di daerah perkotaan yaitu 13,20 persen di daerah perkotaan dan 15,98 persen di daerah perdesaan. Dari 14,16 persen anak yang sakit di Provinsi Banten Tahun 2013, keluhan kesehatan yang dialami berbeda-beda. Tiga keluhan kesehatan terbesar yang diderita anak adalah pilek (15,59 persen), batuk (15,29 persen) dan panas (14,21 persen). Sementara itu jika dilihat dari jenis kelamin anak, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar jenis keluhan kesehatan yang diderita anak lakilaki dan anak perempuan (Gambar 5.13).
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
47
15,48 15,71 15,59
Perempuan Laki-laki + Perempuan
Lainnya
Pilek
Batuk
Panas
9,62 9,06 9,35
15,47 15,09 15,29
14,19 14,23 14,21
Laki-laki
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.13 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan Menurut Jenis Keluhan Terbesar dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Orang-orang yang mengalami keluhan kesehatan, tidak selamanya melakukan pengobatan ke fasilitas kesehatan, diantara mereka ada yang mengobati sendiri. Mengobati sendiri adalah upaya seseorang yang melakukan pengobatan dengan menentukan jenis obat sendiri (tanpa saran/resep dari tenaga kesehatan), baik secara tradisional, modern maupun lainnya. Dari Gambar 5.11 terlihat sebanyak 61,17 persen anak yang mempunyai keluhan kesehatan mengobati sendiri penyakitnya. Mengobati sendiri oleh anak disini termasuk anak yang belum mampu mengurus diri sendiri dan dirawat/diobati oleh orang tua, keluarga atau orang dewasa lainnya. Sedangkan jika dilihat dari tipe daerahnya, terdapat perbedaan yang signifikan. Anak yang mempunyai keluhan kesehatan dan mengobati sendiri di daerah perdesaan lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Artinya anak yang mempunyai keluhan kesehatan di daerah perkotaan lebih banyak mendatangi tenaga kesehatan atas keluhan kesehatan yang dideritanya.
48
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
61,17
61,49
60,87
67,83
69,42
66,33
57,25
56,79
57,68
Laki-laki Perempuan Laki-laki + perempuan Perkotaan
Perdesaan
Perkotaan + perdesaan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.14 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Mengobati Sendiri Menurut Daerah Tempat Tinggal dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Anak yang mengobati sendiri ketika mengalami keluhan kesehatan menggunakan berbagai macam jenis obat, di antaranya obat modern, obat tradisional dan lainnya. Sebanyak 95,72 persen anak yang mengobati sendiri keluhan kesehatannya, menggunakan obat modern, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Penggunaan obat tradisional sebanyak 15,68 persen, sedangkan obat lainnya sebanyak 3,45 persen. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal penggunaan ketiga jenis obat tersebut antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sementara itu, penggunaan obat tradisional di daerah perdesaan masih cukup banyak yaitu sebesar 17,98 persen seperti terlihat pada Gambar 5.15.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
49
Perkotaan
Obat tradisional
15,49 12,52 14,07 95,06 95,91 95,46
Obat modern Lainnya
2,67 3,28 2,96 18,06 17,89 17,98
Perdesaan
Obat tradisional
Lainnya Perkotaan + perdesaan
95,80 96,40 96,10
Obat modern 4,58 3,73 4,16 16,53 14,78 15,68
Obat tradisional
Perempuan 95,36 96,11 95,72
Obat modern Lainnya
Laki-laki
3,44 3,47 3,45
Laki-laki + Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.15 Persentase Anak yang Mempunyai Keluhan Kesehatan dan Penggunaan Obat menurut Jenis Kelamin dan Tipe Daerah di Provinsi Banten, 2013 5.5 Fasilitas Pelayanan Kesehatan Adanya ketidakmerataan pelayanan kesehatan dan sulitnya akses ke pelayanan kesehatan masih menjadi masalah. Sulitnya akses ke pelayanan kesehatan dapat menjadi salah satu penyebab masih adanya masyarakat yang berobat ke bukan tenaga kesehatan atau mengobati sendiri. Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa fasilitas kesehatan dengan tenaga medis lebih menjadi pilihan masyarakat dibandingkan bukan tenaga medis, yaitu diantaranya
rumah
sakit
pemerintah,
rumah
sakit
swasta,
praktek
dokter/poliklinik, puskesmas/pustu dan praktek tenaga kesehatan. Tiga jenis fasilitas kesehatan yang paling banyak dikunjungi oleh anak adalah praktek dokter/poliklinik (40,65 persen), puskesmas/pustu (29,65 persen) dan praktek tenaga kesehatan (27,13 persen). Meskipun demikian, masih ada anak yang berobat ke bukan tenaga medis seperti ke praktek pengobatan tradisional (0,55 50
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
persen), dukun bersalin (0,24 persen) dan lainnya (1,32 persen). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persentase anak laki-laki dan anak perempuan yang berobat jalan ke masing-masing fasilitas kesehatan, baik tenaga medis maupun bukan tenaga medis. Masih adanya anak yang berobat ke bukan tenaga medis sudah seharusnya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan serta mempermudah akses ke pelayanan kesehatan demi terwujudnya kesehatan masyarakat. Tabel 5.1 Persentase Anak yang Berobat Jalan menurut Jenis Fasilitas Kesehatan dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Fasilitas Kesehatan
Laki-Laki
Perempuan
Laki-Laki +Perempuan
(1)
(2)
(3)
(4)
Rumah Sakit Pemerintah
2.91
0.92
1.95
Rumah Sakit Swasta
4.06
3.51
3.79
Praktek Dokter/Poliklinik
40.86
40.43
40.65
Puskesmas/Pustu
29.15
30.18
29.65
Praktik Tenaga Kesehatan
27.64
26.59
27.13
Praktik Pengobatan Tradisional
0.63
0.46
0.55
Dukun Bersalin
0.10
0.40
0.24
Lainnya
1.52
1.11
1.32
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Dilihat menurut kabupaten/kota, Kesadaran masyarakat untuk berobat jalan di fasilitas medis sudah cukup tinggi. Hal ini terlihat dari persentase anak yang berobat jalan ke fasilitas medis yang mencapai 100 persen di beberapa kabupaten/kota. Persentase anak yang berobat ke fasilitas medis paling rendah adalah di Kabupaten lebak, yaitu nak laki-laki sebesar 94,69 persen dan anak perempuan sebesar 94,13 persen
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
51
99,09 98,74
Banten
100,00 100,00
Kota Tangsel Kota Serang
98,63
99,83
Kota Cilegon
100,00 100,00
Kota Tangerang
100,00 99,34
Serang
100,00 100,00 99,08 98,65
Tangerang 94,13 94,69
Lebak Pandeglang
98,00
Perempuan
99,16
Laki-laki
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.16 Persentase Anak yang Berobat Jalan ke Fasilitas Medis menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 5.6 Tingkat Kunjungan Tingkat kunjungan merupakan banyaknya kunjungan pasien ke salah satu fasilitas kesehatan dibandingkan dengan jumlah seluruh kunjungan. Tingkat kunjungan anak ke salah satu fasilitas kesehatan dapat menggambarkan jenis fasilitas kesehatan yang paling diminati sebagai tempat untuk berobat jalan seorang anak. Tingkat kunjungan anak ke fasilitas medis di Banten tahun 2013 cukup tinggi, yaitu 97,70 persen menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat terhadap kesehatan anak cukup tinggi. Dari Gambar 5.13 dapat dilihat bahwa tingkat kunjungan anak yang tertinggi adalah tingkat kunjungan ke praktek dokter/poliklinik yaitu sebesar 38,99 persen. Tingkat kunjungan ke bukan tenaga medis (praktek pengobatan tradisional, dukun bersalin dan lainnya) masih
52
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
terdapat di Banten. Dari total kunjungan anak yang berobat jalan, 2,29 persen di antaranya berkunjung ke bukan tenaga medis.
RS pemerintah RS Swasta 25,70 27,25
0,62 2,29 2,32 3,45 38.99
0,36 1,32
Praktek Dokter/ poliklinik Puskesmas/pustu Praktek nakes Praktek batra Dukun bersalin
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 5.17 Tingkat Kunjungan Anak ke Fasilitas Kesehatan di Provinsi Banten, 2013
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
53
PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar pokok bagi masyarakat, salah satu cerminan dari kesejahteraan masyarakat adalah tingginya masyarakat yang mampu untuk melaksanakan pendidikan. Hal ini secara jelas tertuang dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa tujuan negara antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia telah menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of the Child) pada tahun 1990. Dalam Konvensi Hak-Hak Anak dinyatakan bahwa setiap negara di dunia melindungi dan melaksanakan hak-hak anak tentang pendidikan dengan mewujudkan wajib belajar pendidikan dasar bagi semua secara bebas (Artikel 28) dan konvensi mengenai HAM yang menyatakan “Setiap orang berhak atas pendidikan”. Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 6 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Melalui UU tersebut, Pemerintah ingin memastikan bahwa seluruh anak dapat berpartisipasi dalam kegiatan sekolah. Sesuai dengan Undang Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Sesuai dengan definisi anak tersebut, penulisan profil anak tentang pendidikan menggunakan umur 5-17 tahun.
6.1. Partisipasi Sekolah Partisipasi sekolah merupakan indikator yang digunakan untuk melihat akses masyarakat
terhadap pendidikan khususnya bagi penduduk usia
sekolah. Partisipasi sekolah penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu tidak/belum pernah sekolah, masih bersekolah, dan tidak bersekolah 54
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
lagi. Seseorang dengan status masih sekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Seseorang dengan status masih sekolah adalah mereka yang terdaftar dan aktif mengikuti pendidikan baik di suatu jenjang pendidikan formal (pendidikan dasar yaitu SD/MI dan SMP/MTs, pendidikan menengah yaitu SMA/SMK/MA dan pendidikan tinggi yaitu PT) maupun pendidikan non formal (Paket A setara SD, paket B setara SMP dan paket C setara SMA) yang berada di bawah pengawasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Instansi Negeri lain maupun Instansi Swasta. Tabel 6.1 menyajikan persentase anak umur 5-17 tahun menurut tipe daerah, jenis kelamin serta partisipasi sekolah untuk pendidikan formal dan non formal. Pada tahun 2013, terdapat 82,45 persen anak berumur 5-17 yang sedang bersekolah. Sedangkan sisanya sebesar 12,10 persen belum/tidak pernah bersekolah dan sebesar 5,45 persen sudah tidak bersekolah lagi. Berdasarkan tipe daerah, terlihat bahwa persentase anak umur 5-17 tahun di perkotaan yang masih bersekolah (82,82 persen) lebih besar dibanding di perdesaan (81,78 persen). Hal ini diduga karena akses untuk memperoleh pendidikan di perkotaan jauh lebih baik dibanding dengan di perdesaan, serta ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan di perkotaan yang lebih lengkap dan lebih memadai dibandingkan dengan di perdesaan. Persentase anak umur 517 tahun di perkotaan yang tidak/belum pernah sekolah sebesar 12,52 persen lebih besar dibanding di perdesaan yang sebesar 11,34 persen. Akses masyarakat pada pendidikan juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. Pada Tabel 6.1, terlihat bahwa persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah lebih rendah dari anak laki-laki. Persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah secara keseluruhan tercatat sebesar 11,54 persen, sedangkan untuk laki-laki sebesar 12,62 persen. Kesenjangan terhadap akses pendidikan antar jenis kelamin Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
55
ditemukan baik di perkotaan maupun perdesaan. Di daerah perkotaan persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah (11,16 persen) lebih rendah dibanding anak laki-laki (13,80 persen). Sebaliknya, di daerah perdesaan persentase anak perempuan umur 5-17 tahun yang tidak/belum pernah sekolah (12,26 persen) lebih tinggi dibanding anak laki-laki (10,52 persen). Faktor demografis lain yang memengaruhi akses penduduk pada pendidikan antara lain adalah umur. Semakin tinggi kelompok usia sekolah semakin rendah tingkat partisipasi sekolahnya. Tabel 6.1 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2013
Tipe Daerah/Jenis Kelamin (1)
Formal + Non Formal Jumlah Tdk/Blm Sekolah
Masih Sekolah
Tdk Sekolah Lagi
(3)
(4)
(2)
(5)
Perkotaan (K) : Laki-laki (L)
13.80
81.39
4.81
100.00
Perempuan (P)
11.16
84.34
4.51
100.00
12.52
82.82
4.66
100.00
Laki-laki (L)
10.52
82.10
7.38
100.00
Perempuan (P)
12.26
81.43
6.32
100.00
11.34
81.78
6.88
100.00
Laki-laki (L)
12.62
81.65
5.74
100.00
Perempuan (P)
11.54
83.32
5.14
100.00
12.10
82.45
5.45
100.00
L+P Pedesaan (D) :
L+P K+D:
L+P
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
56
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Persentase penduduk yang masih sekolah pada kelompok umur 7-12 tahun (kelompok usia SD/MI) tercatat sebesar 98,60 persen, kelompok umur 1315 tahun (kelompok usia SMP/MTs) sebesar 90,90 persen dan kelompok umur 16–17 tahun (kelompok usia SM/MA) sebesar 76,86 persen. Penurunan ini tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti akses dan ketersediaan fasilitas sekolah pada jenjang yang lebih tinggi serta biaya sekolah yang lebih mahal. Perkembangan dalam beberapa tahun terakhir, terdapat kecenderungan orangtua menyekolahkan anaknya untuk pertama kali pada usia yang masih muda atau sebelum umur yang direkomendasikan. Hasil Susenas tahun 2013 menunjukkan bahwa terdapat anak berumur 5-6 tahun yang saat ini bersekolah (23,82 persen), meskipun pada kelompok umur ini bukan merupakan usia wajib sekolah.
Jika
dilihat
berdasarkan
kelompok
umur
pendidikan
yang
direkomendasikan yaitu 7-17 tahun, terlihat bahwa anak pada kelompok umur 717 yang bersekolah sebesar 92,89 persen, anak yang tidak/belum sekolah sebesar 0,69 persen dan anak yang tidak sekolah lagi sebesar 6,42 persen. Tabel 6.2 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2013 Formal + Non Formal Kelompok Umur (1)
Tdk/Blm Sekolah
Masih Sekolah
(2)
(3)
Tdk Sekolah Lagi
Jumlah
(4)
(5)
5–6
76.18
23.82
0.00
100.00
7 – 12
0.75
98.60
0.65
100.00
13 – 15
0.36
90.90
8.74
100.00
16 - 17
0.98
76.86
22.16
100.00
5 – 17
12.10
82.45
5.45
100.00
7 – 17
0.69
92.89
6.42
100.00
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
57
Banten
12,10
82,45
5,45
Kota Tangsel
11,90
85,04
3,06
Kota Serang
12,44
80,09
7,47
Kota Cilegon
9,61
87,50
2,89
Kota Tangerang
13,59
Serang
82,07
9,97
Tangerang
12,86
Lebak
11,05
Pandeglang
12,74
,00
4,35
84,43
5,60
82,38
4,77 9,09
79,86 81,04
20,00
Tidak/belum pernah bersekolah
40,00
60,00
Masih bersekolah
6,23
80,00
100,00
Tidak bersekolah lagi
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.1 Persentase Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota dan Partisipasi Sekolah di Provinsi Banten, 2013 Dilihat menurut kabupaten/kota, persentase anak usia 5-17 tahun yang masih sekolah paling besar adalah di Kota Cilegon. Sementara persentase anak usia 5-17 tahun yang masih sekolah paling rendah adalah di Kabupaten Lebak. Yang perlu menjadi perhatian adalah di Kabupaten Lebak sebesar 9,09 persen anak usia 5-17 sudah tidak bersekolah lagi. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Hal ini dapat dimungkinkan karena faktor fasilitas pendidikan yang kurang atau biaya sekolah yang mahal. 6.2. Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) Partisipasi penduduk
usia sekolah dalam
mengikuti pendidikan
berdasarkan jenjang dan umur dapat diketahui melalui indikator Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). APS dibedakan menjadi APS 7-12 tahun, APS 13-15 tahun, 58
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
APS 16- 18 tahun, dan APS 19-24 tahun. APS 7-12 tahun menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 yang saat ini masih bersekolah di jenjang manapun. Sementara itu APM digunakan untuk melihat partisipasi sekolah menurut
kelompok
usia
sekolah
sesuai
jenjang
pendidikannya. APM
dibedakan menjadi APM SD, APM SMP, APM SM, dan APM PT.
APM SD
menunjukkan angka partisipasi penduduk berumur 7-12 tahun yang masih bersekolah di SD/sederajat. Sedangkan APK digunakan untuk melihat partisipasi sekolah penduduk menurut jenjang pendidikan tertentu tanpa melihat umur. Seperti APM, APK dibedakan menjadi APK SD, APK SMP, APK SM, dan APK PT. Interpretasi APK SD yaitu angka partisipasi penduduk yang masih bersekolah di jenjang SD/sederajat pada usia berapapun.
Meskipun konsep anak dalam
publikasi ini adalah penduduk yang berusia sampai dengan 17 tahun, khusus untuk APK SM dan APM SM mengacu pada konsep Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yaitu menggunakan kelompok usia 16-18 tahun. Hal ini dilakukan agar interpretasi yang digunakan dalam publikasi ini sama dengan yang dikeluarkan oleh Kemdikbud. Sementara itu kelompok umur APS menyesuaikan dengan kelompok umur anak yaitu kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-17 tahun. 6.2.1. Angka Partisipasi Sekolah (APS) Angka partisipasi sekolah (APS) merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah dan sebagai indikator dasar yang digunakan untuk melihat akses pada pendidikan khususnya bagi penduduk usia sekolah. APS adalah gambaran penduduk yang bersekolah menurut kelompok umur. Kegiatan bersekolah tidak saja bersekolah di jalur formal akan tetapi juga termasuk bersekolah di jalur non formal seperti paket A setara SD/MI, paket B setara SMP/MTs dan paket C setara SM/MA. Gambar 6.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2013 APS 7-12 tahun sebesar 98,60 persen. Hal ini berarti dari 100 anak usia 7-12 tahun, sebanyak 98 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
59
anak bersekolah dan 2 anak tidak sekolah (tidak pernah sekolah dan tidak sekolah lagi), APS 13-15 tahun sebesar 90,90 persen dan APS 16-17 tahun sebesar 76,86 persen. Jika dilihat menurut jenis kelamin, tampak bahwa secara umum APS anak perempuan lebih tinggi dibandingkan APS anak laki-laki. Kondisi ini terjadi pada setiap kelompok umur baik untuk anak lakilaki maupun anak perempuan. Gambar 6.1 juga memperlihatkan bahwa semakin tinggi kelompok usia sekolah semakin
7-12 Laki-laki
13-15 Perempuan
76,86
77,94
75,86
90,90
91,14
90,68
98,60
98,96
98,25
rendah persentase anak yang bersekolah.
16-17 Laki-laki + Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 APS anak usia 7-12 tahun di seluruh kabupaten/kota tidak berbeda signifikan. Semakin tinggi kelompok umur, perbedaan APS antara kabupaten/kota semakin terlihat. APS tertinggi untuk anak usia 7-12 tahun, 13-15 tahun, maupun 16-17 tahun adalah di Kota Cilegon. Sementara APS paling rendah untuk anak usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun adalah di Kota Serang dan APS paling rendah untuk anak usia 16-17 tahun adalah di Kabupaten Lebak.
60
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Banten
98,60 90,90
76,86
Kota Tangsel
99,16 94,79
84,14
Kota Serang
75,99
Kota Cilegon
85,47 85,89
Kota Tangerang
83,37
Serang
77,14
Tangerang
80,16
Lebak Pandeglang 13-15
98,96 90,84 98,75 91,27 97,64
98,03 90,14
67,73
7-12
99,79 97,39
99,05 93,34
85,83
60,08
97,54
16-17
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.3 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 6.2.2. Angka Partisipasi Murni (APM) Angka
Partisipasi
Murni
(APM)
merupakan
proporsi
penduduk
kelompok usia sekolah tertentu yang sedang bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai dengan usianya terhadap jumlah penduduk pada kelompok
usia
sekolah
tersebut.
APM
berfungsi
untuk
menunjukkan
partisipasi pendidikan penduduk pada tingkat pendidikan tertentu yang sesuai dengan usianya, atau melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah pada jenjang pendidikan yang sesuai usianya. Sebagai gambaran misalnya APM
SD adalah proporsi jumlah murid SD/sederajat yang berusia 7 – 12
tahun terhadap jumlah seluruh anak yang berusia 7 – 12 tahun. APM digunakan untuk melihat penduduk usia sekolah yang dapat bersekolah tepat waktu. Bila seluruh anak usia sekolah dapat bersekolah tepat waktu, maka APM akan mencapai 100 persen.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
61
Sesuai dengan target MDG’s, disebutkan bahwa pencapaian APM SD ditargetkan dapat mencapai 95 persen pada tahun 2015. Gambar 6.4 menunjukkan bahwa pada tahun 2013, pencapaian APM SD sebesar 96,12 persen, APM SMP sebesar 77,71 persen dan APM SMA sebesar 68,60 persen. Berdasarkan jenjang pendidikan, terlihat bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan maka semakin rendah besaran APM atau dengan kata lain berbanding terbalik antara
68,60
77,71
96,12 70,31
78,87
67,01
76,68
95,93
96,31
APM dan jenjang pendidikan.
SD SMP SMA
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.4 Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Dilihat menurut jenis kelamin, tampak bahwa APM anak perempuan lebih tingi dibandingkan dengan APM anak laki-laki berlaku pada semua jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan yang lebih rendah (SD/Sederajat) APM anak perempuan sebesar 96,31 persen dan anak laki-laki lebih rendah sebesar 95,93 persen. Kondisi serupa juga terjadi pada jenjang yang lebih tinggi (SMP/sederajat dan SM/sederajat), APM anak perempuan lebih tinggi dibanding APM anak lakilaki. 62
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Secara umum, APM SD persentasenya tidak berbeda signfikan. Seperti halnya APS, terlihat bahwa kesenjangan APM semakin tinggi sejalan dengan semakin meningkatnya jenjang pendidikan. Pada jenjang SMP, APM paling tinggi adalah di Kota Cilegon dan yang paling rendah adalah di Kabupaten Lebak. Sementara pada Jenjang SMA, APM paling tinggi adalah di Kota Tangerang dan yang paling rendah adalah di Kabupaten Lebak.
Banten
68,60
97,80
Kota Tangsel
73,96 73,33
Kota Serang
77,01 69,99
Kota Cilegon
80,93 77,71
Serang
68,19
Tangerang
81,59
71,04
Lebak
52,98
Pandeglang
65,08
60,67
SD
SMP
96,23
85,32
71,59
Kota Tangerang
96,12
77,71
73,01
82,34
95,49
93,24 97,68 96,74 97,09 93,73
SMA
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.5 Angka Partisipasi Murni (APM) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 6.2.3 Angka Partisipasi Kasar (APK) Angka Partisipasi Kasar (APK) mengindikasikan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan menurut jenjang pendidikan tanpa melihat umur. APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pembangunan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. APK SD merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang sekolah di SD/sederajat terhadap jumlah penduduk usia 7 – 12 Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
63
tahun. Nilai APK bisa lebih dari 100 persen apabila jumlah murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan (misal anak bersekolah di SD/sederajat
76,51
90,73
100,07 79,43
92,46
99,29 73,80
89,20
100,80
berumur kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun).
SD SMP SMA
Laki-laki
Perempuan
Laki-laki+Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.6 Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Berdasarkan Gambar 6.6 diketahui bahwa APK SD sebesar 100,07 persen, APK SMP sebesar 90,73 persen dan APK SMA sebesar 76,51 persen. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin rendah APK. Penurunan APK pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi sejalan dengan kecenderungan penurunan APS dan APM pada usia atau jenjang yang semakin tinggi. Jika dibandingkan dengan APM SD sebesar 96,12 persen, APK SD sebesar 100,07 menunjukkan bahwa ada sekitar 3,95 persen anak yang bersekolah di SD/sederajat berusia kurang dari 7 tahun dan lebih dari 12 tahun. Dengan kata lain angka tersebut menunjukkan bahwa murid SD/ sederajat selain mencakup anak yang berusia 7 – 12 tahun, juga mencakup anak yang berusia kurang dari 7
64
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
tahun dan lebih dari 12 tahun. Kondisi ini diduga lebih banyak disebabkan banyak anak yang terlalu dini untuk bersekolah SD/sederajat. Dilihat menurut jenis kelamin terlihat bahwa pada jenjang pendidikan SD/sederajat APK anak laki-laki lebih tinggi dibanding APK anak perempuan (APK SD anak laki-laki sebesar 100,80 dan APK SD anak perempuan sebesar 99,29). Sebaliknya pada jenjang SMP/ sederajat dan SM/sederajat, APK anak perempuan lebih tinggi dibanding APK anak laki-laki (Gambar 6.6).
Banten
76,51
100,07 90,73
99,96 85,68 93,22 98,06 84,93 76,41 100,77 103,28 78,83 94,70 99,04 91,05 102,16 96,73 68,77 101,56 92,94 71,24 103,39 74,64 63,46 98,00 88,83 74,86
Kota Tangsel Kota Serang Kota Cilegon Kota Tangerang Serang Tangerang Lebak Pandeglang SD
SMP
SMA
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Gambar 6.7 Angka Partisipasi Kasar (APK) Anak Usia 7-17 Tahun Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 Pada beberapa Kabupaten/Kota, masih banyak anak usia dibawah 7 tahun atau diatas 12 tahun yang bersekolah pada jenjang SD. APK SMP paling tinggi adalah di Kota Cilegon sebesar 103,28 persen. Sebanyak 17,96 persen anak SMP di Kota Cilegon berusia dibawah 13 tahun atau diatas 15 tahun. APK SMA paling tinggi adalah di Kota Tangerang Selatan sebesar 93,22 persen dan paling rendah adalah di Kabupaten Lebak sebesar 63,46 persen. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
65
6.3 Angka Putus Sekolah Pendidikan merupakan hak yang sangat fundamental bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dan terarah. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab II Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Melalui pendidikan, terutama pendidikan di sekolah, seorang anak tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga dapat mengembangkan kepribadiannya sehingga menjadi pribadi yang matang secara kognitif, afektif, maupun motorik. Selanjutnya, di dalam UU No. 23 Tahun 2002 Bab IX Pasal 49 juga disebutkan bahwa negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Namun, pada kenyataannya tidak semua anak mempunyai kesempatan memperoleh pendidikan yang layak dan seluas-luasnya hingga menyebabkan mereka putus sekolah. Putus sekolah didefinisikan sebagai seseorang yang tidak dapat menyelesaikan pendidikan atau berhenti bersekolah dalam suatu jenjang pendidikan sehingga belum memiliki ijazah pada jenjang pendidikan tersebut. Dalam upaya penuntasan wajib belajar sembilan tahun, putus sekolah masih merupakan persoalan tersendiri yang perlu penanganan serius dalam mencapai pendidikan untuk semua (Education for All). Tabel 6.3 menyajikan persentase penduduk berumur 7-17 tahun yang pernah/ sedang bersekolah menurut tipe daerah, jenis kelamin dan status sekolahnya. Pada tahun 2013, persentase penduduk usia 7-17 tahun yang pernah sekolah dengan status putus sekolah di Provinsi Banten sebesar 2,14 persen, artinya dari setiap 1000 orang penduduk usia 7-17 tahun terdapat 21 anak yang putus sekolah. Angka ini mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau yang tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu, dan sering digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan di 66
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
bidang pendidikan. Bila dilihat menurut tipe daerah, anak putus sekolah lebih banyak terjadi di perdesaan (2,54 persen) dibandingkan di perkotaan (1,92 persen). Sementara itu, jika diamati berdasarkan jenis kelamin, putus sekolah lebih banyak dialami oleh anak laki-laki (2,80 persen) dibanding anak perempuan (1,43 persen). Pola ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan. Tabel 6.3
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Pernah/Sedang Sekolah Menurut Tipe Daerah dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
Tipe Daerah/Jenis Kelamin (1)
Masih Sekolah (2)
Pernah Sekolah Putus Sekolah (3)
Tamat Sekolah (4)
Perkotaan : Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan
93.62 94.27 93.94
2.57 1.24 1.92
3.16 4.05 3.60
90.38 91.77
3.19 1.79
5.28 5.73
Laki-laki + Perempuan Perkotaan + Perdesaan : Laki-laki
91.03
2.54
5.49
92.42
2.80
3.94
Perempuan Laki-laki + Perempuan
93.40 92.89
1.43 2.14
4.63 4.27
Perdesaan : Laki-laki Perempuan
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Salah satu upaya pemerintah dalam rangka memberikan jaminan perlindungan hak setiap anak untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan yang nyaman diciptakan suatu kawasan atau kota layak untuk tempat tinggal anak atau sekarang dikenal dengan Kota Layak Anak (KLA). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) mengembangkan 31 indikator KLA yang dikelompokkan melalui 5 kluster. Salah satu kluster menyebutkan bahwa semua anak berhak untuk memperoleh akses pendidikan dengan indikator rinci Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
67
yaitu tidak ada anak yang mengalami drop out atau putus sekolah pada semua jenjang pendidikan. Indikator ini menjadi ukuran capaian pemenuhan hak-hak anak dalam bidang pendidikan. Sejalan dengan masih adanya anak yang mengalami putus sekolah, peran aktif dari berbagai pihak (stakeholder) sangat diperlukan agar tidak ditemukan lagi adanya anak yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan. Hasil Susenas 2013 menunjukkan bahwa anak putus sekolah cenderung meningkat seiring bertambahnya kelompok umur, seperti pada Tabel 6.4. Pada kelompok umur 7-12 tahun terdapat 0,52 persen anak yang putus sekolah. Selanjutnya, pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 5,09 persen dan pada kelompok umur 16-17 tahun meningkat menjadi 3,07 persen anak putus sekolah. Tabel 6.4
Angka Putus Sekolah Penduduk Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Sekolah di Provinsi Banten, 2013
Tipe Daerah/ Jenis Kelamin (1)
7-12
Kelompok Umur 13-15
16-17
(2)
(3)
(4)
Perkotaan : Laki-laki
0.67
5.59
3.96
Perempuan
0.19
3.06
2.03
Laki-laki + Perempuan
0.43
4.38
3.01
Laki-laki
0.82
7.49
4.63
Perempuan
0.50
4.98
1.50
Laki-laki + Perempuan
0.67
6.35
3.20
Laki-laki
0.73
6.29
4.19
Perempuan
0.30
3.73
1.87
Laki-laki + Perempuan
0.52
5.09
3.07
Perdesaan :
Perkotaan + Perdesaan :
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
68
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Dilihat dari tipe daerah tempat tinggal, dari semua kelompok umur yang berbeda anak yang bertempat tinggal di daerah perdesaan lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak yang berada di daerah perkotaan. Bila dilihat menurut jenis kelamin, anak laki-laki cenderung lebih banyak yang mengalami putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pola yang sama terjadi baik pada kelompok umur 7-12 tahun, 13-15 tahun maupun 16-17 tahun. Pada umumnya semakin tinggi kelompok umur, semakin tinggi pula persentase anak yang putus sekolah. Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun oleh pemerintah sejak tahun 1994 menunjukkan keberhasilan jika dilihat dari angka partisipasi sekolah di semua tingkatan (lihat Sub bab 6.2). Angka partisipasi murni SD saat ini sudah mencapai 90 persen lebih, sedangkan SMP di angka 70-an persen dengan tren membaik setiap tahun. Meskipun angka partisipasi sekolah terus meningkat, namun masih terdapat sejumlah siswa yang tidak mampu melanjutkan pendidikannya atau putus sekolah, terutama di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP). Hasil Susenas 2013 menunjukkan bahwa angka putus sekolah masih didominasi pada jenjang pendidikan SMP/sederajat yaitu sebesar 4,97 persen, kemudian disusul jenjang SD/sederajat sebesar 1,23 persen, dan SM/sederajat sebesar 0,79 persen (Tabel 6.5). Berdasarkan tipe daerah tempat tinggal, anak putus sekolah yang tinggal di daerah perdesaan lebih besar persentasenya dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Kondisi ini berlaku pada jenjang pendidikan SMP/sederajat, sedangkan pada jenjang SD dan SM/sederajat berlaku sebaliknya. Menurut jenis kelamin, anak laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk putus sekolah dibandingkan anak perempuan. Pada jenjang SD/sederajat, angka putus sekolah anak laki-laki (1,77 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (0,65 persen). Begitu pula pada jenjang SMP/sederajat, angka putus sekolah anak lakilaki (6,20 persen) lebih tinggi daripada anak perempuan (3,60 persen). Pada jenjang SM/sederajat berlaku sebaliknya, meskipun perbedaannya tidak signifikan yaitu Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
69
angka putus sekolah anak perempuan (0,88 persen) lebih tinggi daripada anak lakilaki (0,71 persen). Tabel 6.5
Angka Putus Sekolah Penduduk Berumur 7-17 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2013 Jenjang Pendidikan
Tipe Daerah/ Jenis Kelamin
SD/Sederajat
SMP/Sederajat
SMA/Sederajat
(1)
(2)
(3)
(4)
Perkotaan : Laki-laki
1.87
5.11
0.98
Perempuan
0.60
2.81
1.15
Laki-laki + Perempuan
1.25
4.00
1.07
Laki-laki
1.62
7.95
0.00
Perempuan
0.75
5.04
0.00
Laki-laki + Perempuan
1.21
6.64
0.00
Laki-laki
1.77
6.20
0.71
Perempuan
0.65
3.60
0.88
Laki-laki + Perempuan
1.23
4.97
0.79
Perdesaan :
Perkotaan + Perdesaan :
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
6.4. Alasan Tidak Sekolah Pendidikan belum dapat dinikmati oleh seluruh anak di Provinsi Banten, sehingga masih terdapat anak-anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa alasan yang melatarbelakanginya antara lain karena tidak ada biaya, bekerja, menikah/mengurus rumah tangga, 70
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
sekolah jauh, tidak suka/malu, tidak diterima, cacat, dan lain-lain. Alasan karena tidak ada biaya dan bekerja umumnya berkaitan erat dengan faktor ekonomi (kemiskinan atau kemampuan ekonomi orang tua). Alasan sekolah jauh berkaitan dengan faktor geografis seperti daerah perbukitan, wilayah pedalaman, dan kepulauan sehingga akses sekolah sulit dijangkau ataupun ketersediaan jumlah sekolah yang minim. Sementara untuk alasan karena tidak suka/malu, menikah/mengurus rumah tangga dan lain-lain, umumnya berkaitan dengan faktor sosial budaya seperti tidak naik kelas, motivasi anak rendah, kurangnya perhatian orang tua memotivasi anak, atau adanya anggapan bahwa perempuan sebaiknya tidak bersekolah terlalu tinggi.Tabel 6.6 Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi menurut Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin, 2013. Dari beberapa faktor yang dikemukakan di atas, permasalahan ekonomi sangat dominan menjadi penyebab anak tidak sekolah. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.6, mayoritas anak berumur 7-17 tahun tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi dengan alasan tidak ada biaya yaitu sebesar 62,30 persen. Faktor ekonomi juga bisa menyebabkan seorang anak harus bekerja/mencari nafkah sehingga mendorong mereka untuk tidak sekolah. Ada sebesar 8,63 persen anak yang tidak sekolah dengan alasan bekerja/mencari nafkah. Selain itu terdapat anak yang tidak bersekolah karena alasan menunggu pengumuman (5,16 persen), merasa pendidikan cukup (2,70 persen), menikah/mengurus rumah tangga (1,49 persen), dan alasan lain di bawah 1 persen. Peraturan Pemerintah RI No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar Bab VI Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Untuk menunjang program wajib belajar tersebut, pemerintah telah meluncurkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang pada dasarnya bertujuan untuk meringankan beban semua Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
71
siswa dan membebaskan siswa miskin dari kewajiban membayar uang sekolah. Namun, seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa persentase anak usia 7-17 tahun yang tidak bersekolah dengan alasan tidak ada biaya relatif masih tinggi. Kondisi ini mencerminkan bahwa program sekolah gratis untuk tingkat pendidikan dasar yang didengungkan pemerintah, ternyata belum sepenuhnya terealisasi dan dinikmati oleh masyarakat luas. Di sisi lain, juga masih ditemukan alasan anak yang tidak bersekolah karena sekolah jauh. Di wilayah-wilayah yang secara geografis sangat luas (seperti wilayah pedalaman) dimana sarana transportasi tidak memadai dan jumlah sekolah yang terbatas menjadi pendorong mereka tidak/belum sekolah atau tidak bersekolah lagi. Hal ini mengindikasikan belum meratanya fasilitas sekolah yang dapat diakses oleh penduduk sehingga menyebabkan anak tidak dapat bersekolah. Tabel 6.6 juga menunjukkan bahwa alasan anak yang tidak bersekolah karena tidak ada biaya, bekerja, cacat, dan menunggu pengumuman lebih banyak dijumpai pada anak yang tinggal di daerah perkotaan dibandingkan perdesaan. Sebaliknya, alasan karena menikah/mengurus rumah tangga, merasa pendidikan cukup, malu karena ekonomi, sekolah jauh, dan lainnya banyak dijumpai pada anak yang berada di daerah perdesaan. Bila dilihat menurut jenis kelamin, proporsi anak perempuan yang tidak bersekolah dengan alasan menikah/mengurus rumah tanga sebesar 3,34 persen. Begitu pula untuk alasan merasa pendidikan cukup, sekolah jauh, dan menunggu pengumuman, bekerja, malu karena ekonomi, cacat, dan lainnya angkanya lebih tinggi pada anak perempuan dibanding anak laki-laki. Sebaliknya, anak laki-laki yang tidak bersekolah karena alasan tidak ada biaya, memiliki persentase lebih besar dibanding anak perempuan.
72
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Tabel 6.6 Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi Menurut Alasan Tidak/Belum Pernah Sekolah/Tidak Bersekolah Lagi, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Alasan Tdk/Belum Pernah Sekolah/Tdk Bersekolah lagi (1)
Tidak Ada Biaya Bekerja/Mencari Nafkah Menikah/ Mengurus RT Merasa Pendidikan Cukup Malu Karena Ekonomi
Perkotaan
Perkotaa+ Perdesaan
Perdesaan
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
61.00 54.78 58.12 66.37 68.68 67.36 63.52 60.79 62.30 9.99 19.79 14.53
2.61
0.00
1.50
6.53 11.24
8.63
0.00
3.66
1.70
0.00
2.91
1.24
0.00
3.34
1.49
2.95
1.59
2.32
2.23
4.41
3.16
2.61
2.81
2.70
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Sekolah Jauh
0.00
0.25
0.12
0.42
0.00
0.24
0.20
0.14
0.17
Cacat
0.00
0.00
0.00
1.34
1.63
1.47
0.63
0.70
0.66
Menunggu Pengumuman
6.87
5.43
6.20
2.90
5.25
3.90
5.00
5.35
5.16
Tidak Diterima
0.00
0.00
0.00
0.00
2.47
1.05
0.00
1.07
0.48
Lainnya
0.39
0.00
0.21
0.00
0.00
0.00
0.20
0.00
0.11
Jumlah
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
6.5. Angka Buta Huruf Buta huruf adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Kemampuan membaca dan menulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
73
dalam masyarakat yang lebih luas. Masih tingginya jumlah penduduk yang tidak dapat membaca dan menulis dapat berakibat pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Oleh karenanya perlu dilakukan pemberantasan buta huruf secara menyeluruh, serentak dan terpadu dengan dilandasi semangat gotong royong dari seluruh elemen pemerintah dan masyarakat. Masalah buta huruf menjadi persoalan yang terjadi hampir di semua negara, khususnya negara berkembang yang erat kaitannya dengan kondisi kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakberdayaan masyarakatnya. Dalam rangka menangani permasalahan tersebut, badan dunia seperti UNESCO, UNICEF, WHO, World Bank dan badan-badan internasional lainnya melakukan kampanye dan sosialisasi pentingnya pemberantasan buta huruf di seluruh dunia. UNDP menjadikan angka melek aksara sebagai variabel dari empat indikator untuk menentukan Indeks Pembangunanan Manusia (IPM) suatu negara, di samping rata-rata lama pendidikan, rata-rata usia harapan hidup (indeks kesehatan) serta indeks perekonomian berupa pengeluaran per kapita. Di Indonesia, berbagai upaya dalam pemberantasan buta huruf telah dilakukan oleh pemerintah bahkan sejak awal kemerdekaan tahun 1945. Pada tahun 2006, Presiden menginstruksikan kepada pemerintah pusat maupun daerah untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan dalam rangka memberantas buta aksara yang tertuang dalam Inpres No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Pemberantasan Buta Aksara (GN-PPBA). Keseriusan dan komitmen pemerintah juga diimplementasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 bahwa salah satu target pembangunan pendidikan adalah menurunnya angka buta huruf penduduk 15 tahun ke atas menjadi sekitar 4 persen pada tahun 2014. Sebagai implementasinya pemerintah telah melakukan berbagai program seperti program Keaksaraan Fungsional (KF) sejak tahun 2007. Program ini dimaksudkan untuk memberantas kebutaaksaraan dengan fokus kegiatan melalui diskusi, membaca, menulis, berhitung dan pemecahan masalah yang dihadapi 74
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
dalam aktivitas yang berkaitan dengan kebutuhan keseharian. Bentuk penghargaan atas mereka yang mengikuti kegiatan keaksaraan dan dinyatakan lulus, pemerintah memberikan sertifikat “SUKMA” (Surat Keterangan Melek Aksara) yang dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mengikuti program Paket A setara SD/MI. Selain itu, guna melayani kebutuhan membaca di kalangan masyarakat pemerintah menyediakan program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diharapkan dapat ikut memberantas buta huruf dan meningkatkan minat baca masyarakat. Tabel 6.7. Angka Buta Huruf Anak Berumur 5-17 Tahun Menurut Tipe Daerah,Jenis Kelamin dan Kelompok Usia Sekolah di Provinsi Banten, 2013
Tipe Daerah / Jenis Kelamin
Kelompok Usia Sekolah 5–6
7 - 12
13 – 15
16 -17
5 -17
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Laki-laki
62.96
2.19
0.27
0.52
11.27
Perempuan
58.68
3.02
0.88
0.00
10.44
Laki-laki+Perempuan
60.95
2.60
0.56
0.26
10.86
Laki-laki
81.05
8.12
1.05
0.00
14.78
Perempuan
79.24
3.25
0.24
0.00
14.32
Laki-laki+Perempuan
80.10
5.83
0.68
0.00
14.56
Laki-laki
68.61
4.44
0.56
0.34
12.54
Perempuan
66.16
3.11
0.65
0.00
11.79
Laki-laki+Perempuan
67.41
3.79
0.60
0.18
12.18
(1)
Perkotaan :
Perdesaan :
Perkotaan+Perdesaan :
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
75
Menurut data hasil Susenas, pada tahun 2013 angka buta huruf (ABH) anak berumur 5-17 tahun masih relatif tinggi yaitu sebesar 12,18 persen. Relatif tingginya ABH anak tersebut disebabkan sumbangan ABH yang cukup tinggi pada kelompok usia 5-6 tahun sebesar 67,41 persen. Hal ini dapat dipahami karena anak pada kelompok umur tersebut pada umumnya belum duduk di bangku sekolah. Pada anak kelompok usia sekolah (7-17 tahun), ABH semakin menurun dengan meningkatnya usia sekolah. Hal ini mengindikasikan program pelaksanaan wajib belajar berjalan dengan baik, yang salah satu hasilnya adalah pemberantasan buta huruf. Namun terlihat adanya perbedaan ABH yang cukup signifikan antara daerah perkotaan dan perdesaan, terutama pada anak usia 7-12 tahun yaitu ABH di perkotaan sebesar 2,60 persen, sedangkan di perdesaan jauh lebih tinggi yaitu sebesar 5,83 persen. Sementara pada kelompok usia 13-15 dan 16-17 tahun relatif hanya terjadi sedikit perbedaan antara ABH anak laki-laki dan perempuan. Jika dilihat menurut jenis kelamin, ABH anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan ABH anak perempuan. Pola ini berlaku pada semua kelompok usia sekolah, terutama pada kelompok usia 7-12 tahun dimana ABH anak laki-laki sebesar 4,44 persen dan ABH anak perempuan sebesar 3,11 persen. Pola ini terjadi baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.
6.6. Sarana ke Sekolah Sarana dan prasarana pendidikan merupakan penunjang penting bagi tercapainya suatu tujuan dari pendidikan dan menjadi prasyarat awal dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Oleh karenanya, merupakan hal yang penting untuk mendapatkan gambaran kondisi pemerataan sarana dan prasarana pendidikan, agar kebijakan di bidang pendidikan khususnya di bidang sarana dan prasarana dapat lebih tepat arah dan tepat sasaran. 76
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Salah satu sarana pendidikan yang merupakan komponen penting dalam menunjang keberhasilan pendidikan adalah sarana angkutan ke sekolah. Informasi mengenai sarana ke sekolah ini sangat berguna untuk melihat sampai seberapa jauh pemerintah melakukan upaya penyediaan sarana angkutan terutama bagi penduduk yang bertempat tinggal jauh di pedalaman dan belum terjangkau sarana angkutan yang memadai. Tabel 6.8 Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun yang Masih Sekolah Menurut Sarana Angkutan ke Sekolah, Tipe Daerah, dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013
Sarana Angkutan ke Sekolah (1)
Perkotaan
Perkotaan+ Perdesaan
Perdesaan
L
P
L+P
L
P
L+P
L
P
L+P
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
Tanpa kendaraan
53.48 55.87 54.66 82.32 85.05 83.60 63.92 65.79 64.83
Sepeda
4.99
1.54
2.07
1.79
3.74
Sepeda motor pribadi
18.08 15.78 16.95 10.60
7.92
9.35
15.38 13.11 14.28
Becak/dokar
0.06
2.66
2.46
0.09
3.12
0.07
0.00
0.09
0.04
0.04
14.07 15.83 14.94
3.01
2.95
2.99
10.07 11.45 10.74
3.98
4.38
4.17
2.05
1.48
1.78
3.28
3.39
3.33
Mobil pribadi
1.64
0.70
1.18
0.22
0.00
0.12
1.13
0.47
0.81
Sepeda motor dinas
0.07
0.04
0.06
0.00
0.00
0.00
0.05
0.03
0.04
Mobil dinas
0.00
0.09
0.05
0.00
0.00
0.00
0.00
0.06
0.03
Kendaraan umum dengan rute tertentu Kendaraan bermotor umum lainnya
0.08
3.84
0.06
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Hasil Susenas 2013 menunjukkan bahwa di Provinsi Banten mayoritas siswa atau lebih dari separuh penduduk usia 7-17 tahun yang masih sekolah pergi ke sekolah tanpa menggunakan kendaraan atau hanya berjalan kaki (64,83 persen), seperti yang terlihat pada Tabel 6.8. Sementara sisanya sekitar 35,17 persen siswa Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
77
pergi ke sekolah menggunakan sarana kendaraan, yaitu berturut-turut 14,28 persen siswa menggunakan sepeda motor pribadi, 14,07 persen siswa mengunakan kendaraan umum, 3,12 persen siswa menggunakan sepeda, dan hanya 0,88 persen siswa menggunakan mobil pribadi, becak/dokar, serta kendaraan dinas. Tabel 6.9
Persentase Penduduk Berumur 7-17 Tahun ke Atas yang Masih Sekolah Menurut Sarana Angkutan ke Sekolah dan Jenjang Pendidikan di Provinsi Banten, 2013
Sarana Angkutan ke Sekolah (1)
Tanpa Kendaraan
SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat (2)
(3)
(4)
78.06
50.76
31.82
Sepeda
3.26
4.12
0.72
Sepeda Motor Pribadi
8.58
15.87
36.37
Becak/Dokar
0.08
0.00
0.11
3.46
21.48
23.64
2.73
4.05
4.72
Mobil Pribadi
0.92
0.79
0.35
Kendaraan Dinas
0.06
0.00
0.00
Lainnya
0.01
0.08
0.00
Kendaraan Umum dgn Rute Tertentu Kendaraan Bermotor Umum Lainnya
Sumber : Susenas 2013, BPS Provinsi Banten
Bila dilihat menurut jenjang pendidikan, sebagian besar siswa SD/sederajat (78,06 persen) dan SMP/sederajat (50,76 persen) pergi ke sekolah tanpa kendaraan atau dengan berjalan kaki (Tabel 6.9). Hal ini dapat menggambarkan jarak tempuh ke sekolah yang relatif dekat. Adanya Instruksi Presiden (Inpres) Tahun 1973, tentang pembangunan SD di setiap desa/kelurahan memudahkan masyarakat untuk menyekolahkan anak di sekitar daerah tempat tinggal atau jarak tempuh yang jauh namun karena belum tersedia transportasi yang memadai 78
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
sehingga mereka harus berjalan kaki. Dilihat menurut sarana ke sekolah, sarana kendaraan terutama sepeda motor pribadi dan kendaraan umum lebih banyak digunakan oleh pelajar SM/sederajat (36,37 persen). Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya sarana gedung SM/sederajat hanya tersedia di pusat kota.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
79
PERLINDUNGAN KHUSUS
Anak adalah kaum yang paling rentan, mereka sulit untuk melawan segala tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa. Oleh karena itulah anak harus diberi perlindungan khusus terutama dari segala tindakan yang dapat merugikan dirinya. Pasal-pasal dalam Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa anak harus dilindungi dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakukan buruk atau eksploitasi termasuk penyalahgunaan seks, penggunaan obat-obatan, ekploitasi ekonomi, perdagangan anak dan diskriminasi minoritas. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk memberikan perlindungan yang sebaik-baiknya bagi seorang anak. Pengesahan UU No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak merupakan salah satu perwujudan nyata upaya Pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi anak. Produk hukum lainnya yang berupaya memberikan perlindungan bagi anak adalah Undang-Undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Pada tahun 2002, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-undang tersebut dijelaskan tentang hak-hak anak termasuk didalamnya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan. Perlindungan anak dalam rangka menjamin terpenuhinya hak-hak anak merupakan upaya perlindungan yang diberikan untuk semua anak tanpa kecuali. Sedangkan perlindungan khusus seperti yang disebutkan pada Bab I Undang-Undang tersebut merupakan upaya perlindungan yang hanya diberikan bagi anak yang mengalami situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan tersebut antara lain diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang bermasalah hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak korban tindak pidana, anak 80
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
penyandang cacat dan anak terlantar. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 secara rinci menyebutkan bahwa perlindungan khusus diberikan kepada : 1. Anak dalam situasi darurat (anak pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata) 2. Anak yang berhadapan dengan hukum 3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi 4. Anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual 5. Anak yang diperdagangkan 6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan NAPZA 7. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan 8. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental 9. Anak korban perlakuan salah/penelantaran 10. Anak penyandang cacat. Terkait dengan masalah keterbatasan data, pada bab ini akan dibahas cakupan anak yang memerlukan perlindungan khusus bermasalah pada anak bermasalah hukum, anak bermasalah sosial, anak penyandang cacat dan pekerja.
7.1. Anak Bermasalah Hukum Anak bermasalah hukum yang dimaksudkan dalam kajian ini merujuk pada konsep “anak yang berhadapan dengan hukum” yang digunakan dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002. Pada Pasal 64 ayat (1) disebutkan bahwa anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana. Sesuai dengan delik hukum, konflik hukum yang dialami oleh anak-anak maupun orang dewasa, pada umumnya merupakan konsekuensi dari tindakan atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya. Atas perbuatan tersebut, pelakunya dapat diancam dengan sanksi atau hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam konteks hukum pidana, Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
81
tindakan atau perbuatan melanggar hukum tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana, sedangkan sanksi hukumannya disebut sebagai pidana (disadur dari Profil Anak Indonesia, 2012). Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Dengan pertimbangan inilah Pemerintah menyusun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dalam undang-undang ini, anak yang bermasalah dengan hukum/perkara disebut sebagai anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun dan belum mencapai umur 18 tahun serta belum kawin. Sejalan dengan itu, analisis mengenai profil dan perkembangan anak bermasalah hukum pada bagian ini dilakukan dengan menggunakan data narapidana anak/anak pidana hasil registrasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kondisi 31 Desember 2013 yang diunduh dari kemenkumham.go.id. Sedangkan analisis mengenai profil dan perkembangan anak korban tindak pidana dilakukan dengan
menggunakan
data
anak
korban
tindak
kejahatan/kriminalitas
berdasarkan Susenas 2013. 7.1.1. Anak Pelaku Tindak Pidana Anak yang terkait dengan permasalahan hukum dimasukkan dalam dua kriteria yaitu anak didik pemasyarakatan dan tahanan anak. Dimasukkan sebagai anak didik pemasyarakatan apabila sudah jatuh keputusan terhadap tindakan pidana yang dilakukan oleh anak tersebut. Sedangkan tahanan anak adalah anak yang masih dalam proses pemeriksaan, penyidikan atau penuntutuan. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan Pasal 1 (Ketentuan Umum) Butir 8 dijelaskan bahwa anak didik pemasyarakatan adalah : 82
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua/walinya memeroleh penetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun. Di Provinsi Banten terdapat 6 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan 4 Rumah Tahanan (Rutan) yang tersebar di 5 Kabupaten/Kota. Baik Lapas ataupun Rutan,
keduanya
menampung
narapidana
dan
tahanan.
Berdasarkan
pengelompokkan umur, terdapat 2 (dua) Lapas untuk anak-anak yaitu Lapas Kelas II Anak Pria Tangerang dan Lapas Kelas IIb Anak Perempuan Tangerang. Penghuni Lapas kedua Lapas ini berasal dari berbagai daerah, sehingga tidak dapat menggambarkan masalah “anak yang berhadapan dengan hukum” di Provinsi Banten. Berdasarkan data yang diunduh dari web kemenkumham.go.id, pada Desember 2013, jumlah anak pelaku tindak pidana sebanyak 265 orang. Dari jumlah tersebut, 78 persen diantaranya (206 anak) berstatus narapida dan hanya sebanyak 59 anak yang berstatus tahanan (Tabel 7.1). Berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 256 anak (97 persen) pelaku tindak pidana adalah anak laki-laki dan yang perempuan hanya sebanyak 9 anak (3 persen). Apabila dilihat berdasarkan lokasi Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, dapat dilihat bahwa anak didik pemasyarakatan dan tahanan anak masih ada yang digabungkan dengan narapida/tahanan dewasa. Hal ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Pasal 31 dari Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa Anak Nakal yang oleh Hakim diputus untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai Anak Negara.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
83
Tabel 7.1 Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2013 Kelompok Usia
Status
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Narapidana
2.741
442
3.183
Tahanan
1.219
92
1.311
Jumlah
3.960
534
4.494
199
7
206
57
2
59
256
9
265
Narapidana
2.940
449
3.389
Tahanan
1.276
94
1.370
Jumlah
4.216
543
4.759
Dewasa
Anak-Anak
Narapidana Tahanan Jumlah
Dewasa+ Anak-Anak
Sumber : Web Kementrian Hukum dan HAM
Pada Tabel 7.2 dapat dilihat jumlah narapidana dan tahanan menurut kelompok usia di Lapas dan Rutan yang berada di Provinsi Banten keadaan Desember 2013. Lapas/Rutan yang dihuni oleh narapidana/tahanan dewasa dan anak-anak adalah Lapas Kelas II B Anak Perempuan Tangerang, Rutan Kelas II B Pandeglang, Rutan Kelas II B Rangkas Bitung, dan Rutan Kelas II B Serang. Penggabungan narapidana/tahanan dewasa dan anak-anak dikhawatirkan memberikan dampak buruk. Pada akhirnya, pertimbangan bahwa anak nakal memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial menjadi sulit untuk untuk dicapai.
84
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Tabel 7.2 Jumlah Narapidana dan Tahanan Menurut Kelompok Usia pada Lapas dan Rutan di Provinsi Banten, Desember 2013 Tahanan Lapas/Rutan
Dewasa
Narapidana
Tahanan % Kapasitas AnakAnakKapasitas Total Dewasa Total + Napi anak anak (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
(1) (2) Lapas Kelas I 14 14 1.269 - 1.269 1.283 600 Tangerang Lapas Kelas II Anak Pria 41 41 184 184 225 220 Tangerang Lapas Kelas II 704 704 704 425 Serang Lapas Kelas II A Wanita 69 69 364 364 433 250 Tangerang Lapas Kelas II B Anak Perempuan 2 2 4 73 7 80 84 100 Tangerang Lapas Kelas III 88 88 88 700 Cilegon Rutan Kelas I 737 737 405 405 1.142 596 Tangerang Rutan Kelas II B 106 4 110 63 1 64 174 143 Pandeglang Rutan Kelas II B 46 46 95 2 97 143 100 Rangkas bitung Rutan Kelas II B 337 12 349 122 12 134 483 274 Serang Sumber : Web Kementrian Hukum dan HAM, keadaan 31 Desember 2013
214 102 166 173
84 13 192 122 143 176
Apabila dilihat pelaku tindak kejahatan menurut klasifikasi umur yang dihimpun dari Polres Kabupaten/Kota (data Kota Serang masih tergabung di Polres Kabupaten Serang, dan data Kota Tangerang Selatan bersumber dari masing-masing Polsek), terdapat sebanyak 86 anak pelaku tindak kejahatan (2,95 persen). Angka ini relatif kecil, namun tetap harus dicermati. Harus ditelaah lebih lanjut penyebab dari tindakan kejahatan yang mereka lakukan. Penanganan terhadap mereka harus dikawal dengan ketat agar hak-hak anak tidak terampas. Mereka tetap harus mendapat dukungan dan perlindungan agar tidak terjadi penyimpangan terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun mental. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
85
3.500 3.000
86
86
2.739
2.826
2.500 2.000 1.500 1.000 500 87 Perempuan
Laki-laki Dewasa
Total Anak-Anak
Sumber : Polres Kab/Kota kecuali Kota Serang dan Tangsel
Gambar 7.1 Warga Negara Indonesia Pelaku Tindak Kejahatan Menurut Klasifikasi Umur di Provinsi Banten, 2013 7.1.2. Anak Korban Tindak Pidana Anak adalah kaum lemah yang sangat mudah untuk dijadikan sasaran tindak kejahatan, sehingga pengawasan terhadap anak sangat diperlukan. Tindak kejahatan terhadap anak tidak hanya dilakukan oleh orang lain tetapi juga oleh orang yang berada di lingkungan anak itu sendiri baik keluarga maupun tetangga. Salah satu tindak kejahatan yang dilakukan terhadap anak adalah pelecehan seksual, kasus yang banyak diberitakan secara nasional baik melalui media cetak maupun elektronik. Di samping itu, kasus KDRT terhadap anak juga banyak diberita seperti kasus kekerasan terhadap anak maupun kasus penelantaran anak. Anak korban tindak pidana akan didekati dari hasil Susenas yang melihat peristiwa kejahatan dari pengalaman rumah tangga sampel. Berdasarkan Susenas 2013, di Provinsi Banten sekitar 135 ribu orang menjadi korban tindak kejahatan atau 1,17 persen dari total penduduk. Dari 135 orang penduduk yang menjadi korban kejahatan, 12,5 persen atau 17 ribu jiwa diantaranya adalah anak-anak. 86
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Jenis tindak kejahatan yang banyak dialami oleh anak-anak adalah perampokan dan pencurian. Perampokan adalah pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Perampokan terhadap anak biasanya berupa “pemalakan” yang dilakukan oleh “preman”. Gambar 7.2 memperlihatkan penduduk yang mengalami tindak kejahatan dipilah berdasarkan jenis kelamin. Anak-anak yang kena tindak kejahatan, 73,04 persen diantaranya menimpa anak perempuan. Di bagian muka telah disebutkan bahwa sebagian besar tindak kejahatan yang menimpa anak-anak adalah perampokan. Diduga anak perempuan biasanya sudah diberikan perhiasan oleh orang tuanya. Hal ini lah yang menarik seseorang untuk merampas perhiasan tersebut, karena anak sangat mudah untuk diancam khususnya anak perempuan. Sementara itu, orang dewasa yang terkena tindak kejahatan lebih banyak menimpa laki-laki. Pada Susenas, apabila kejahatan menimpa pada rumah tangga, misalnya perampokan di rumah, maka yang dianggap korban tindak kejahatan adalah kepala rumah tangga dan umumnya kepala rumah tangga di Banten adalah laki-laki.
Anak-anak
26,96
Dewasa 34,83 65,17
73,04
Laki-laki
Perempuan
Gambar 7.2 Persentase Korban Kejahatan Selama Tahun 2013 Menurut Kelompok Usia dan Jenis Kelamin, di Provinsi Banten Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
87
Tindakan lain yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana pada anak adalah tindakan kekerasan yang dialami oleh anak. Berdasarkan Komisi Nasional Perlindugnan Anak, ada empat kategori kekerasan yang kerap terjadi pada anak yaitu (disadur dari http://tktunasbangsasby.blogspot.com/). 1. Kekerasan seksual, meliputi eksploitasi seksual dan berbagai bentuk penyimpangan seksual orang dewasa pada anak-anak. 2. Kekerasan fisik, misalnya menampar, menjewer, memukul dengan benda keras. 3. Kekerasan emosional/kekerasan verbal, misalnya membentak, memaki, merendahkan martabat, mengancam, memelototi. 4. Kekerasan dalam bentuk penelantaran dengan membiarkan anak tanpa pengawasan, melalaikan anak yang mengakibatkan kecelakaan. Di Provinsi Banten, salah satu lembaga pemerhati masalah kekerasan terhadap anak adalah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Banten. Berdasarkan catatan LPA, pada kurun waktu Mei-Desember 2013 terjadi 23 kasus kekerasan terhadap anak yang tersebar di 3 Kabupaten/Kota yaitu Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kota Serang. Dari 23 tindak kekerasan yang dialami terhadap anak, sebagian besar adalah kekerasan fisik (9 kasus) dan kekerasan seksual (8 kasus). Sisanya adalah eksploitasi ekonomi (4 kasus), penculikan (1 kasus) dan penelantaran (1 kasus). Jumlah 23 tindak kekerasan ini mungkin belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya, karena diduga masih banyak kasus kekerasan terhadap anak yang tidak tercatat. Adakalanya kekerasan fisik terhadap anak oleh orang dewasa di lingkungan sekitarnya dianggap wajar karena dianggap sebagai upaya untuk mendidik seorang anak. Sedangkan kekerasan seksual yang akan menjadi aib bagi korban, umumnya enggan untuk dilaporkan. Sementara itu, eksploitasi ekonomi yang dialami seorang anak dianggap wajar oleh sebagian orang karena anak harus membantu orang tuanya. Tanpa memperdulikan hak anak, anak dituntut untuk membantu orang tuanya secara ekonomi. Gambar 7.3 menyajikan data tentang 88
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
tindak kekerasan terhadap anak yang tercatat oleh LPA selama Mei-Desember 2013. Penculikan Anak/Kehilan gan Anak Eksploitasi 4% Ekonomi Anak 18% Terlantar 4% Kekerasan Fisik & Psikis 39%
Kekerasan Seksual 35%
Sumber : Lembaga Perlindungan Anak Provinsi Banten
Gambar 7.3 Persentase Kasus Kekerasan Terhadap Anak di Provinsi Banten Periode Mei-Desember 2013 7.2 Anak Jalanan Mengacu kepada definisi ditetapkan oleh Kementrian Sosial, anak jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari dijalanan, baik untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalan dan tempat-tempat umum lainnya. Pada umumnya anak jalanan menghabiskan waktu di jalan untuk mencari nafkah baik atas keinginan sendiri maupun paksaan dari orang tua maupun orang lain. Anak jalanan harus mendapatkan perlidungan khusus karena secara tidak langsung mereka adalah anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi. Secara lebih khusus, anak yang bekerja akan dibahas pada sub bab selanjutnya.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
89
1.800
674
600 348
217
170
200
314
400
1.076
873
800
797
1.000
1.296
1.200
1.402
1.400
1.628
1.643
1.600
2010
2011
2012
2013
Laki-laki
Perempuan
Total
Gambar 7.4 Jumlah Anak Jalanan Menurut Jenis Kelamin, Banten 2010-2013 Selama tahun 2010-2013, jumlah anak jalanan berfluktuatif. Sebelum tahun 2012, jumlah anak jalanan cukup tinggi yaitu di atas 1.600 orang. Pada tahun 2012, jumlah anak jalanan menurun cukup drastis hampir setengahnya dari keadaan tahun 2011 yaitu menjadi 873 orang. Pada tahun 2013, jumlah anak jalanan mengalmai peningkatan menjadi 1.076 orang. Penurunan jumlah anak jalanan diduga karena adanya peran aktif dari SKPD terkait dalam menertibkan keberadaan anak jalanan. Apabila dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah anak jalanan berjenis kelamin laki-laki jauh lebih besar dibanding dengan yang perempuan. Pada tahun 2013, sebanyak 797 anak jalanan adalah anak laki-laki sedangkan yang perempuan hanya sebesar 170 orang. Perlu kajian lebih lanjut penyebab dari seorang anak menjadi anak jalanan sehingga dapat dibuatkan kebijakan yang tepat untuk mengatasi anak jalanan ini.
90
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Kota Tangsel
146
Kota Serang Kota Cilegon
393 34
Kota Tangerang
109
Kab Serang
3
Kab Tangerang
146
Lebak Pandeglang
212 33 0
100
200
300
400
500
Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten
Gambar 7.5 Jumlah Anak Jalanan Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2013 Pada Gambar 7.5 dapat dilihat sebaran anak jalanan menurut Kabupaten/Kota. Jumlah anak jalanan terbanyak terdapat di Kota Serang yaitu sebanyak 393 anak diikuti oleh Kabupaten Lebak sebanyak 212 anak dan Kabupaten Tangerang serta Kota Tangerang Selatan masing-masing sebanyak 146 anak. Perlu ditelaah lebih lanjut apakah anak jalanan yang berkeliaran di Kota Serang adalah penduduk asli Kota Serang atau kah anak jalanan yang sengaja datang ke Kota Serang untuk mencari nafkah.
7.3 Anak dengan Kesulitan Fungsional Disabilitas yang dalam kehidupan sehari-hari sering disebut sebagai orang cacat, adapun penyandang disabilitas sering dianggap sebagai penduduk yang kurang produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara keseluruhan sehingga terkadang hak-haknya pun diabaikan oleh semua unsur baik pemerintah, tempat bekerja dan masyarakat sekitarnya. Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
91
Di Provinsi Banten, terdapat anak yang tidak mengalami perkembangan fisik secara normal atau yang sering disebut disabilitas. Beberapa pengertian disabilitas antara lain mereka kemungkinan akan mengalami kesulitan/gangguan dalam
melihat,
mendengar,
berjalan/naik
tangga,
mengingat/berkonsentrasi/berkomunikasi, dan mengurus diri sendiri. Hal ini akan menyebabkan mereka tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara normal. Ketidakmampuan seseorang melakukan aktivitas sehari-hari secara normal disebut sebagai Kesulitan Fungsional (functional difficulty). Tabel 7.3 Jumlah Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Jenis dan Tingkat Kesulitan di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Total
Jenis Kesulitan
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Melihat
1,659,873
3,080
426
3,506
0.21
Mendengar
1,661,713
996
670
1,666
0.10
Berjalan/Naik Tangga
1,661,038
1,278
1,063
2,341
0.14
Mengingat/Berkonse ntri / Berkomunikasi
1,657,716
3,611
2,052
5,663
0.34
Mengurus Diri Sendiri
1,653,946
7,746
1,687
9,433
0.57
Jumlah Anak
Sumber : Sensus Penduduk 2010
Informasi mengenai kesulitan fungsional diperoleh dari hasil SP 2010. Tabel 7.3 menyajikan jumlah anak usia 10-17 tahun menurut jenis dan tingkat kesulitan yang dialami. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa jenis kesulitan yang paling banyak dialami anak usia 10-17 tahun adalah kesulitan mengurus diri sendiri, sebanyak 7.746 jiwa dengan tingkat kesulitan sedikit dan 1.687 jiwa dengan tingkat kesulitan parah. Jenis kesulitan lainnya yang dialami oleh anak adalah kesulitan mengingat/ berkonsentrasi/ berkomunikasi (5.663 jiwa), kesulitan melihat (3.506 jiwa), berjalan/naik tangga (2.341 jiwa), dan kesulitan mendengar (1.666 jiwa). 92
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
7.3.1 Kesulitan Melihat Kesulitan melihat adalah seseorang walaupun sudah menggunakan kacamata masih mengalami kesulitan atau gangguan melihat apabila jarak minimal 30 cm dan dengan penerangan cukup tidak dapat melihat dengan jelas baik bentuk, ukuran, dan warna. Dari hasil SP2010, tercatat sebesar 0,21 perses anak usia 10-17 tahun mengalami kesulitan melihat, diantaranya 0,19 persen mengalami kesulitan melihat sedikit dan 0,03 persen mengalami kesulitan melihat parah. Apabila dilihat per kelompok umur, tidak ada perbedaan yang signifikan persentase anak yang mengalami kesulitan melihat. Anak yang mengalami kesulitan melihat akan mengalami hambatan terutama dalam kegiatan belajar dan membaca, sehingga dalam proses belajar dan membaca diperlukan bantuan huruf braille khususnya bagi anak yang mengalami kesulitan melihat parah. Tabel 7.4 Persentase Anak usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Melihat di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan
Jumlah Anak
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
Sedikit
Parah
Jumlah
%
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
10-12
99.85
0.13
0.02
0.15
100.00
641,788
13-15
99.77
0.20
0.03
0.23
100.00
623,514
16-17
99.72
0.25
0.03
0.28
100.00
398,077
10-17
99.79
0.19
0.03
0.21
100.00
1,663,379
Sumber : Sensus Penduduk 2010
7.3.2 Kesulitan Mendengar Seseorang dikatakan mengalami kesulitan atau gangguan mendengar jika tidak dapat mendengar suara dengan jelas, membedakan sumber, volume dan kualitas suara sehingga tidak dapat merespon suara tersebut secara wajar. Kondisi ini terjadi walaupun sudah menggunakan alat bantu dengar. Persentase anak usia 10-17 tahun yang mengalami kesulitan mendengar sebesar 0,10 persen, Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
93
dengan 0,06 persen mengalami kesulitan sedikit dan sebesar 0,04 persen mengalami kesulita parah. Sama halnya dengan kondisi dalam kesulitan melihat, tidak ada perbedaan yang signifikan persentase anak yang mengalami kesulitan mendengar berdasarkan kelompok umur. Tabel 7.5 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mendengar di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Jumlah
Jumlah Anak % Jumlah
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
10-12
99.91
0.06
0.03
0.09
100.00
641,788
13-15
99.90
0.06
0.04
0.10
100.00
623,514
16-17
99.89
0.06
0.05
0.11
100.00
398,077
10-17
99.90
0.06
0.04
0.10
100.00
1,663,379
(7)
Sumber : Sensus Penduduk 2010
7.3.3 Kesulitan Berjalan/Naik Tangga Seseorang dikatakan mengalami kesulitan atau gangguan berjalan/naik tangga bila tidak dapat berjalan normal misalnya maju, mundur, ke samping, tidak stabil dan kesulitan untuk menaiki tangga. Persentase anak yang mengalami kesulitan berjalan atau naik tangga sebesar 0,14 persen, dengan tingkat kesulitan sedikit sebesar 0,08 persen dan kesulitan parah sebesar 0,06 persen). Kesulitan berjalan atau naik tangga banyak dialami oleh anak usia 10-12 tahun, dimana kesulitan sedikit sebesar 0,08 persen dan kesulitan parah sebesar 0,07 persen.
94
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
Tabel 7.6 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Berjalan/Naik Tangga di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Jumlah
Jumlah Anak % Jumlah
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
10-12
99.85
0.08
0.07
0.15
100.00
641,788
13-15
99.87
0.07
0.06
0.13
100.00
623,514
16-17
99.87
0.07
0.06
0.13
100.00
398,077
10-17
99.86
0.08
0.06
0.14
100.00
1,663,379
(7)
Sumber : Sensus Penduduk 2010
7.3.4 Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi Seseorang
dikatakan
mengingat/berkonsentrasi
mengalami jika
kesulitan
mengalami
atau kesulitan
gangguan dalam
mengingat/berkonsentrasi. Seseorang dikatakan mengalami kesulitan atau gangguan dalam berkomunikasibila dalam berbicara berhadapan tanpa dihalangi sesuatu, pembicaraannya tidak dapat dimengerti atau tidak dapat berbicara sama sekali karena gangguan fisik atau mental. Termasuk dalam kategori ini adalahpenyandang cacat tuna rungu/wicara dan autis. Persentase anak yang mengalami kesulitan mengingat/berkonsentrasi/ berkomunikasi sebesar 0,34 persen dimana 0,22 persen anak mengalami tingkat kesulitan sedikit dan 0,12 persen dengan tingkat kesulitan parah. Tidak ada perbedaan yang signifikan persentase anak yang kesulitan mengingat/berkonsentrasi/ berkomunikasi berdasarkan kelompok umur.
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
95
Tabel 7.7 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengingat/Berkonsentrasi/Berkomunikasi di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan
Jumlah Anak
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
Sedikit
Parah
Jumlah
%
Jumlah
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
10-12
99.64
0.24
0.12
0.36
100.00
641,788
13-15
99.67
0.20
0.12
0.33
100.00
623,514
16-17
99.68
0.19
0.13
0.32
100.00
398,077
10-17
99.66
0.22
0.12
0.34
100.00
1,663,379
Sumber : Sensus Penduduk 2010
7.3.5 Kesulitan Mengurus Diri Sendiri Seseorang dikatakan mengalami kesulitan mengurus diri sendiri jika ia mengalami kesulitan mengurus diri sendiri jika ia mengalami kesulitan dalam kegiatan sehari-hari seperti makan, mandi, berpakaian, ke toilet, dan lain-lain. Tidak termasuk bayi atau anak manja. Persentase anak usia 10-17 tahun yang mengalami kesulitan mengurus diri sendiri sebesar 0,57 persen, dengan 0,47 persen mengalami kesulitan sedikit dan sebesar 0,10 persen mengalami kesulitan parah. Berdasarkan kelompok umur, kesulitan mengurus diri sendiri banyak dialami oleh anak usia 10-12 tahun, dengan 0,78 persen tingkat kesulitan sedikit dan 0,13 persen tingkat kesulitan parah. Tabel 7.8 Persentase Anak Usia 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur dan Tingkat Kesulitan Mengurus Diri Sendiri di Provinsi Banten, 2010 Mengalami Kesulitan Sedikit Parah Jumlah
Jumlah Anak % Jumlah
Kelompok Umur
Tidak Ada Kesulitan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
10-12
99.09
0.78
0.13
0.91
100.00
641,788
13-15
99.60
0.32
0.09
0.40
100.00
623,514
16-17
99.73
0.19
0.08
0.27
100.00
398,077
10-17
99.43
0.47
0.10
0.57
100.00
1,663,379
(7)
Sumber : Sensus Penduduk 2010 96
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
7.4 Anak 10-17 Tahun yang Bekerja Dalam Konvensi Hak Anak pasal 32 disebutkan bahwa Negara-negara Pihak mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya. Negara-negara yang menandatangani Konvensi Hak Anak harus menetapkan batas umum minimum untuk bekerja. Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan hal tersebut dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor13 tahun 2003. Dalam Undang-Undang tersebut dicantumkan bahwa anak berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun dapat melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental,dan sosial. 7.4.1 Umur Anak yang Bekerja Tabel 7.9 Anak Umur 10-17 Tahun menurut Jenis Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Provinsi Banten, 2013 Jenis Kelamin (dalam ribuan) Jenis Kegiatan
LakiLaki
Perempuan
Total
(2)
(3)
(4)
1. Bekerja
34,6
33,5
68,1
2. Pengangguran
31,3
26,1
57,4
2,8
8,8
11,6
28,5
17,3
45,8
817,4
776,8
1.594,2
6,9
39,7
46,6
83,1
49,0
132,1
973,3
925,1
1.898,4
(1)
2.1 Pengangguran Pernah Bekerja 2.2 Pengangguran Tidak Pernah Bekerja 3. Sekolah 4. Mengurus Rumah Tangga 5. Lainnya Total Sumber: Sakernas 2013, BPS Provinsi Banten
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
97
Keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan merupakan salah satu permasalahan yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan. Hasil Sakernas Agustus 2013 sekitar 6,61 persen dari total penduduk usia 10-17 tahun masuk ke angkatan kerja. Distribusi TPAK anak berdasarkan umur yang tersaji pada Gambar 7.6 menunjukkan bahwa cukup banyak anak usia 10-17 tahun yang memasuki pasar kerja. Seiring meningkatnya umur, terlihat semakin tinggi perbedaan partisipasi di dunia kerja. Pada usia 10-12 tahun, TPAK adalah 0,55 persen, sedangkan persentase TPAK usia 16-17 adalah 17,87 persen. Secara umum, TPAK anak usia 10-17 tahun adalah 6,61 persen. Angka ini memberikan arti bahwa dari 10.000 orang anak usia 10-17 tahun, 661 orang diantaranya sudah memasuki dunia kerja untuk bekerja atau mencari pekerjaan. 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
47,49
45,72
41,75 17,87
35,17
6,61 4,48 0,55 10-12
13-15
16-17 TPT
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
10-17
TPAK
Sumber: Sakernas 2013, BPS
Gambar 7.6 Provinsi Banten Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Anak Umur 10-17 Tahun Menurut Kelompok Umur di Provinsi Banten, 2013
98
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
7.4.2 Anak 10-17 Tahun yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Seperti halnya dengan struktur ketenagakerjaan secara umum, empat lapangan kerja utama yang banyak menyerap tenaga kerja anak-anak adalah Perdagangan, Jasa, Industri pengolahan dan pertanian. Sektor Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi menyerap sebesar 34,65 persen dari total anak yang bekerja. Selanjutnya diikuti oleh sektor Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan yang menyerap tenaga kerja anak sebesar 20,92 persen. Sektor industri pengolahan menyerap sebesar 18,60 persen dan sektor pertanian sebesar 11,86 persen (Tabel 3.3). Tabel 7.10 Persentase Anak yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan dan Status Pekerjaan di Provinsi Banten, 2013 Lapangan Pekerjaan
Status Perkerjaan
(1) Berusaha sendiri
Pertanian, PerdagangJasa Perkebunan, an, Rumah KemasyaKehutanan, Industri Makan dan rakatan, Lainnya Jumlah Perburuan & Jasa Sosial dan Perikanan Akomodasi Perorangan (2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
-
-
5,62
1,16
1,12
7,91
Buruh/karyawan/pegawai
1,24
16,53
8,55
13,24
9,76
49,31
Pekerja bebas di pertanian
1,23
-
-
-
-
1,23
-
-
0,72
6,52
1,81
9,06
9,38
2,07
19,76
-
1,29
32,49
11,86
18,60
34,65
20,92
Pekerja bebas di non pertanian Pekerja keluarga/tak dibayar Total
13,98 100,00
Sumber: Sakernas 2013, BPS Provinsi Banten
Apabila lapangan pekerjaan dikaitkan dengan status pekerjaan, dapat dilihat bahwa pada sektor Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
99
sebagian besar berstatus pekerja keluarga yaitu sekitar 19,76 persen. Pada sektor ini, pekerja anak banyak yang bekerja untuk membantu orang lain dalam memperoleh penghasilan tanpa dibayar. Anak-anak yang diminta oleh orang tuanya untuk menjaga warung setelah pulang sekolah adalah salah satu contoh nyata pekerja keluarga di sektor Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Akomodasi. Di sektor pertanian, dari 11,86 persen anak yang bekerja di sektor ini yang berstatus sebagai pekerja keluarga sebanyak 9,38 persen. Atau hampir seluruh pekerja anak di sektor pertanian adalah pekerja keluarga. Anak biasanya membantu orang tua untuk bekerja di ladang/sawah/kebun terutama pada saat panen. Informasi lain yang diperoleh dari Tabel 3.3 adalah komposisi anak yang bekerja berdasarkan status pekerjaan. Hampir separuh dari anak yang bekerja, berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai yaitu 49,31 persen. Di samping sebagai buruh/karyawan/pegawai, pekerja anak banyak yang berstatus sebagai pekerja kelarga yaitu sekitar 32,49 persen. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa anak bekerja untuk membantu anggota keluarga lainnya dalam mencari penghasilan atau mereka bekerja di usaha keluarga. Dan mereka ini bukanlah menjadi pencari nafkah keluarga. Yang perlu dicermati adalah anak bekerja dengan status berusaha sendiri, yaitu sebanyak 7,91 persen. Ini menandakan bahwa mereka menjadi pencari nafkah dalam keluarga. 7.4.3 Anak 10-17 Tahun yang Bekerja menurut Jam Kerja Pada Pekerjaan Utama Data Sakernas 2013 memperlihatkan bahwa sebagian besar pekerja anak bekerja waktu penuh yaitu 35 jam keatas (Tabel 3.2). Separuh dari mereka sekurang-kurangnya bekerja selama 35 jam dalam seminggu. Angka ini tampaknya terlalu tinggi untuk jenis pekerjaan yang “aman” atau “safe” bagi anak-anak. Sekitar 51,46 persen dari anak usia 10-17 tahun yang bekerja, mempunyai jam kerja di atas 35 jam ke atas per minggu. Apabila ditelaah lebih 100
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
dalam, maka mereka adalah anak yang menjadi buruh/karyawan dan sudah tidak bersekolah lagi yaitu sekitar 26,30 persen. Disamping sebagai buruh, sekitar 9 persen nya adalah pekerja keluarga yaitu 3,04 persen pekerja keluarga yang masih sekolah dan 6,39 persen adalah pekerja keluarga yang tidak bersekolah lagi. Untuk anak yang masih bersekolah, sebagian besar mereka bekerja paruh waktu yaitu dengan dengan jam kerja di bawah 35 jam selama seminggu. Dan mereka ini umumnya adalah pekerja keluarga. Hal ini sangat wajar, karena prioritas utama mereka adalah bersekolah. Tabel 7.11
Persentase Anak yang Bekerja menurut Jam Kerja, Partisipasi Sekolah dan Status Pekerjaan di Provinsi Banten, 2013 Jam Kerja seluruhnya
Partisipasi Sekolah
Status Pekerjaan
(1)
(2)
0 Berusaha sendiri
1-14 15-34
(3)
(4)
(5)
35 Ke Total atas (6)
(7)
-
0,62
-
-
0,62
1,95
-
3,54
4,23
9,72
-
-
-
1,76
1,76
Pekerja keluarga/tak dibayar
-
8,99
6,23
3,04
18,27
Berusaha sendiri
-
-
1,66
5,62
7,29
6,56
-
6,73 26,30
39,59
-
2,06
2,35
4,12
8,53
-
2,60
5,23
6,39
14,22
Buruh/karyawan/pegawai Masih Bersekolah Pekerja bebas
Buruh/karyawan/pegawai Tidak bersekolah Pekerja bebas lagi Pekerja keluarga/tak dibayar Total
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013
8,52
14,27 25,76 51,46 100,00
101
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2012. Profil Anak Indonesia 2012. Jakarta: BPS dan Kemenpppa. Lutfiana Safitri. 2014. Golden Age pada Anak Usia Dini. http://m.kompasiana.com/post/read/636143/3/golden-age-pada-anak-usia-dini.html (diakses tanggal 2 Oktober 2014) Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.1989. Konvensi Hak-Hak Anak. New York. Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 1995. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga Pemasyarakatan. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 1997. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sekretariat Negara. Jakarta. Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Sekretariat Negara. Jakarta. Zulfa Fikriana Rahma. 2012. Resiko Pada Remaja Akibat Pernikahan Dini. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
102
Profil Anak Provinsi Banten Tahun 2013