1
Dewasa ini kekerasan berbasis gender semakin marak terjadi di dunia dan Indonesia pada khususnya. Kekerasan berbasis gender dapat terjadi secara fisik, emosi, ekonomi dan seksual. Data dari Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Komisi Nasional Perempuan (2015) menunjukkan jumlah kenaikan kasus kekerasan di Indonesia. Dari data grafik pada Gambar 1 terlihat peningkatan drastis mulai terjadi dari tahun 2009 (143.586 kasus), kemudian berfluktuatif pada tahun 2010 (menurun menjadi 105.103 kasus) dan tahun 2011 (meningkat menjadi 119.107 kasus). Pada tahun 2012 semakin meningkat menjadi 216.156 kasus, tahun 2013 meningkat sebanyak 279.688 kasus, dan pada tahun 2014 sejumlah 293.220 kasus. Korban akibat kekerasan di ranah personal terjadi dari yang paling tinggi hingga rendah menimpa istri, kekerasan dalam pacaran, kekerasan terhadap anak perempuan, relasi personal lain, kekerasan dari mantan pacar, dari mantan suami, dan terhadap pekerja rumah tangga.
Gambar 1. Catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan Tahun 2005-2015 Meningkatnya kasus kekerasan terjadi pula di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menurut data dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta (BPPM) (2014) pada Gambar 2, kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2011 berjumlah 990 kasus, kemudian mengalami sedikit kenaikan sejumlah 945 kasus di tahun 2012, dan tahun 2013 meningkat drastis hingga mencapai 1.509 kasus. Jumlah tersebut belum mewakili keseluruhan kasus yang terjadi, karena masih banyak perempuan terkendala struktur budaya yang bias gender (BPPM, 2014) sehingga merasa kekerasan wajar terjadi dan tidak melaporkan kepada lembaga terkait (Komisi Nasional Perempuan, 2008; 2009; 2010; 2012; 2014; 2015).
2
Gambar 2. Data Terpilah Gender dan Anak DIY Tahun 2014 Kolibonso (2006) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kekerasan terhadap perempuan
didefinisikan
sebagai
tindakan
kekerasan
berbasis
gender
(selanjutnya disebut KBG) yang mengakibatkan penderitaan psikologis dan seksual perempuan (United Nation, General Assembly, 1993). Istilah kekerasan berbasis gender atau kekerasan terhadap perempuan sering digunakan untuk merujuk pada kekerasan (fisik, seksual, emosi, dan ekonomi) yang ditujukan kepada seseorang akibat harapan tentang peran gender di dalam masyarakat atau suatu budaya. KBG menjadi suatu peristiwa traumatis yang dapat merusak kehidupan individu. Jika dilihat dari rentang usianya, remaja perempuan banyak menjadi korban KBG. Survei yang dilakukan oleh WHO (2005) di beberapa negara industri menunjukkan bahwa perempuan berusia 15 -19 tahun berisiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangannya. Dalam jangka waktu 12 bulan, 48% perempuan berusia 15-19 tahun di Bangladesh melaporkan dirinya mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangannya. Survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Perempuan (2014) di Indonesia pada 2013 menemukan bahwa kekerasan dalam pacaran terjadi sebesar 21%. Sementara itu, studi penelitian di sebuah SMA di Jakarta menemukan 337 siswi yang mengalami kekerasan dalam pacaran (Ariestina, 2009). Berbagai penyebab dapat membuat gadis remaja menjadi korban kekerasan berbasis gender, yaitu tingginya tingkat afiliasi terhadap rekan-rekan sebaya dengan perilaku menyimpang (Vezina, dkk, 2011), penggunaan narkoba (Temple, Shorey, Fite, Stuart, & Le, 2013), serta kekerasan dari dan di antara orangtua (Hammen, 2009; Maas, Fleming, Herrenkohl, & Catalano, 2010; Wenar & Kerig, 2006). Korban KBG dapat mengalami gangguan psikologis berupa penurunan kesejahteraan dan kesehatan mental remaja (Mosavel, Ahmed, &
3
Simon, 2011), meningkatnya risiko stres, depresi, serta keinginan bunuh diri (Hammen, 2009; Gelaye, Arnold, & Williams, 2009; Pillai, Andrews, & Patel, 2009). PTSD, gejala depresi, hingga depresi dapat dialami oleh remaja perempuan yang mendapat kekerasan dari orangtua, mengalami kekerasan dalam pacaran, serta khususnya kekerasan seksual (Tanau, 2015; Fu’ady, 2011; & Sari, 2013). Penderitaan korban KBG dapat bertahan atau semakin parah pada taraf hubungan selanjutnya (Temple, dkk, 2013). Masa remaja dikatakan sebagai masa yang berat dan penuh goncangan sehingga dapat membuat remaja lebih rentan memiliki masalah dan mengalami gangguan mental seperti depresi. Onset depresi dapat terjadi di masa remaja tengah dan akhir, serta dapat menyebabkan gangguan depresi berat saat dewasa (Newman & Newman, 2012). Hasil penelitian menemukan bahwa 22,7% partisipannya mengalami dua atau lebih episode depresi (16-21 tahun) (Fergusson, Boden, & Horwood, 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa depresi rentan terjadi pada individu usia remaja dan dewasa awal. Terdapat peningkatan drastis gangguan depresi pada usia 13 dan 15, memuncak pada usia 17 dan 18 tahun, lalu menurun ketika memasuki usia dewasa yang dipengaruhi oleh tingkat perkembangan emosi dan kognitif, sehingga remaja mampu mengalami kesedihan dan menilai kehidupannya secara negatif (Wenar & Kerig, 2006). Peran gender juga dapat berpengaruh dalam perkembangan remaja dan terkait dengan depresi. Remaja perempuan memiliki simtom lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena remaja perempuan mendapat tekanan dari lingkungan, merasa rendah diri, dan merasa tidak aman (Chaplin, 2006; Newman & Newman, 2012). World
Federation
for
Mental Health
(2012) mengangkat
tema
“Depression: A Global Crisis” dalam rangka memperingati World Mental Health Day tahun 2012. Hal ini dilakukan karena depresi merupakan salah satu isu penting yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat di segala penjuru dunia. World Mental Health Survey menemukan bahwa sebanyak 350 juta penduduk dunia dari 17 negara yang dijadikan sampel penelitian mengalami depresi. Lebih lanjut survei ini menemukan bahwa 1 dari 20 orang yang diteliti mengalami depresi. Ditemukan pula beberapa golongan masyarakat yang rentan mengalami depresi yaitu para wanita, penduduk miskin, masyarakat berpendidikan rendah, individu yang mengalami kekerasan dan perceraian, memiliki riwayat gangguan
4
depresi dalam keluarga, dan menderita penyakit kronis (World Federation for Mental Health, 2012). Depresi adalah suatu gangguan afektif akibat perubahan suasana hati dan konsep diri ke arah negatif yang termanifestasi ke dalam bentuk emosi, kognitif, motivasi, dan secara fisik sehingga mengakibatkan menurunnya keberfungsian individu (Beck, 1967; Passer & Smith, 2007; Maramis & Maramis, 2009). Beck (1967) melihat depresi dari sudut pandang kognitif dan membaginya ke dalam tiga aspek (the primary triad), yaitu bagaimana individu melihat pengalamannya (the experience), dirinya (the self), dan masa depannya (the future). Depresi terjadi ketika tiga pola kognitif utama tersebut aktif dan mendorong individu memaknai kesemuanya dengan pola pikir negatif. Depresi secara biologis dapat terjadi karena faktor genetik dan kimiawi dalam otak. Sementara jika dikaitkan dengan lingkungan sosio-kultural, depresi dapat disebabkan oleh stressor minor (kehidupan sehari-hari individu) dan mayor (sistem masyarakat). Selain itu, secara psikologis, depresi dijelaskan sebagai akibat dari pola pikir negatif, gaya kepribadian pesimistis, dan rentannya individu terhadap kekurangan dan penolakkan (Passer & Smith, 2007; Maramis & Maramis, 2009). Depresi jika dibiarkan akan menjadi awal dari gangguan psikologis dan bagi kehidupan secara keseluruhan. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu penanganan serius. Berbagai intervensi selain obat telah dilakukan untuk mengatasi depresi. Intervensi dengan pendekatan kognitif-perilaku terbukti efektif menurunkan depresi pada partisipan anak-anak, remaja, dewasa, dengan penyakit fisik maupun psikologis, baik terapi individu maupun kelompok, serta melalui website atau tatap muka langsung (Forbes & Dahl, 2005; Mutia, Subandi, & Mulyati, 2010; Farrer, Christensen, Griffiths, Mackinnon, 2011; Watkins, Hunter, Hepner, Paddock, Zhou, & de la Cruz, 2012; Mclndoo & Hopko, 2014; Suldo, Savage, & Mercer, 2014). Terapi mindfulness juga terbukti efektif untuk menurunkan depresi (Preddy, Mclndoo, & Hopko, 2013; Pots, Meulenbeek, Veehof, Klungers, Bohlmeijer, 2014). Behavioral activation dapat menurunkan simtom depresi dengan meningkatkan suasana hati melalui peningkatan aktivitas (Solehah, 2014; Fadilah, 2014; Magdison, Seitz-Brown, Safren, & Daughters, 2014). Empathic love therapy yang dilakukan baik individu dan kelompok terbukti mampu menurunkan simtom
depresi (Saragih, 2014; Widiasari, 2015).
5
Transpersonal Psychotherapy juga efektif untuk mengatasi depresi pada remaja (Brunstein-Klomek, Zalsman, & Mufson, 2007). Positive psychotherapy (PPT) juga mampu mengatasi depresi dengan menurunkan depresi itu sendiri, meningkatkan emosi positif, keterlibatan dengan orang lain, serta meningkatkan kebermaknaan hidup (Seligman, Rashid, & Parks, 2006; Gander, Proyer, Ruch, & Wyss, 2013; Nilasari, 2013). Positive psychotherapy (PPT) yang digunakan pada beberapa penelitian sebelumnya telah terbukti efektif untuk mengatasi berbagai masalah atau meningkatkan sumber daya dalam diri individu. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji efektivitas PPT, yaitu gabungan antara psikoterapi positif dan konseling nikotin standar efektif menghentikan kebiasaan merokok (Kahler, dkk, 2013), PPT juga dapat diterapkan pada penderita psikotik (skizofrenia, bipolar, dan depresi dengan psikotik) (Brownell, Schrank, Jakaite, Larkin, & Slade, 2015), dan dapat meningkatkan kebahagian serta menurunkan depresi (Sin & Lyubomirsky, 2009; Pietrowsky & Mikutta, 2012; Gander, dkk, 2013). Di Indonesia sendiri efektivitas PPT mampu meningkatkan kesejahteraan para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) (Ayunigntyas, 2011; Hidayah, Priharti, & Karyanai, 2014). Sebagian besar individu sulit merasa bahagia ketika sedang merasakan emosi negatif. Menurut Seligman, dkk (2006), emosi negatif lebih mudah diingat dan lebih tertanam dalam diri individu sehingga mengalahkan kebahagiaan. Selain itu Harrington (2013) menambahkan bahwa menyelesaikan masalah lebih mudah
dilakukan
dengan
menghubungkan
emosi
negatif
dengan
permasalahannya, dan jenis-jenis emosi positif lebih sedikit serta lebih sulit didefinisikan dibandingkan dengan emosi negatif. Beberapa tahun terakhir, orang-orang mulai berfokus dan mencari cara untuk menjalani kehidupan secara efektif, yang salah satunya diperoleh melalui studi tentang emosi positif (Harrington, 2013). Csikszentmihalyi menyatakan bahwa psikologi positif telah menjadi bahan untuk dibicarakan dan diteliti, bahkan orang-orang mulai menganggap serius mengenai rasa syukur, pemaafan, keberanian, dan segala sesuatu berkaitan dengan hal-hal positif dalam diri manusia (dalam Jarden, 2012). Berbagai studi yang berfokus pada emosi positif telah banyak dilakukan dalam menangani masalah psikologis, salah satunya dengan memberikan psikoterapi
6
positif. Psikoterapi positif (positive psychotherapy) merupakan intervensi yang dikembangkan berdasarkan perspektif psikologi positif yang bertujuan untuk memahami, menjelaskan, dan memfasilitasi kebahagiaan dan kesejahteraan partisipan, serta memprediksi faktor-faktor yang mempengaruhinya (Carr, 2004). Psikologi positif diturunkan dari perspektif humanistik yang menekankan pada kebebasan pribadi, pertumbuhan psikologis, dan aktualisasi diri (Linley & Joseph, 2004; Passer & Smith, 2007), berkaitan dengan kekuatan psikologis dan emosi positif (Snyder & Lopez, 2007), serta merujuk pada kebenaran yang dilakukan seseorang daripada kesalahannya (Harrington, 2013). Positive psychotherapy terdiri dari 3 komponen untuk mencapai kebahagiaan (Seligman, 2002; Compton & Hoffman, 2013), yaitu melalui kehidupan yang menyenangkan (the pleasant life), keterlibatan dalam kehidupan (the engaged life), dan kehidupan yang bermakna (the meaningful life). Kehidupan yang menyenangkan (the pleasant life) terbentuk oleh emosi-emosi positif yang dirasakan berkaitan dengan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Keterlibatan dalam kehidupan (the engaged life) mengandung arti berpartisipasi penuh dalam kehidupan dengan mengidentifikasi serta menggunakan bakat dan kekuatan tertinggi yang dimiliki setiap individu. Kehidupan yang bermakna (the meaningful life) terwujud melalui penggunaan kekuatan dan bakat khusus dalam mengejar suatu makna kehidupan yang lebih besar dari dirinya sendiri. Aktivitas-aktivitas
yang
dilakukan
dalam
penelitian
ini
disusun
berdasarkan penelitian Seligman, dkk (2006). Terdapat 6 aktivitas, yaitu mengoptimalkan kekuatan terbaik dalam diri (using your strength), menemukan tiga hal baik/berkah dalam hidup (three good things/blessings), membuat biografi terbaik untuk dikenang (obituary/biography), mengungkapkan rasa terima kasih (gratitude visit), merespon kisah orang lain secara aktif dan konstruktif (active/constructive responding), dan menikmati sesuatu dengan menyenangkan (savoring). Proses pengoptimalan kekuatan terbaik dalam diri (using your strength) mengandung unsur pengenalan dan penggunaan hal-hal terbaik dalam diri sehingga menumbuhkan emosi positif (Linley & Joseph, 2004). Sedangkan dengan menemukan tiga hal baik atau berkah dalam hidup (three good things/blessings), mengondisikan individu untuk mengingat hal-hal positif sekaligus menetralisir ingatan negatif (Seligman, dkk, 2006). Aktivitas membuat biografi
terbaik
untuk
dikenang
(obituary/biography)
membuat
individu
7
berpandangan positif atas kesuksesannya kelak sekaligus mendorong sikap hidup yang lebih baik (Lee, 2015). Pengalaman yang diperoleh dari aktivitas mengungkapkan rasa terima kasih (gratitude visit) dapat meningkatkan perasaan bersyukur, mengurangi perasaan-perasaan negatif, serta menumbuhkan moral dan perilaku prososial individu dengan orang lain (Seligman, 2002; Linley & Joseph, 2004; Seligman, dkk, 2006). Merespon secara aktif & konstruktif (active/constructive responding), dapat berpengaruh pada peningkatan emosi positif, keterampilan sosial, dan interaksi dengan orang lain (Seligman, dkk, 2006). Aktivitas terakhir yaitu menikmati sesuatu dengan menyenangkan (savoring) dapat memposisikan individu untuk menikmati suatu stimulus dengan kesadaran penuh sehingga berpengaruh pada bagaimana individu tersebut merasakan
emosi
positif,
mempersepsikan,
merasakan
sensasinya,
memikirkannya, dan keluar dalam bentuk perilaku positif (Bryant, Ericksen, & DeHoek, 2008; Harrington, 2013). Psikoterapi positif melihat suatu masalah dari sudut pandang positif (Cope, 2009). Penelitian-penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa psikoterapi positif efektif menurunkan gejala depresi sekaligus meningkatkan emosi positif, meningkatkan keterlibatan hidup dengan orang lain, dan memaknai hidup (Seligman, dkk, 2006; Gander, dkk, 2013; Nilasari, 2013), serta meningkatkan perkembangan remaja ke arah yang lebih positif (Park & Peterson, 2008). Akan tetapi, penelitian tentang efektivitas PPT untuk menurunkan depresi pada remaja korban KBG belum dilakukan baik dalam lingkup internasional maupun Indonesia. Individu depresi memiliki lebih banyak emosi negatif yang berakibat pada terganggunya keberfungsian individu. Individu depresi akan merasakan emosiemosi negatif, berpikiran negatif, mengalami penurunan gairah dan pola hidup, serta menarik diri dari berbagai aktivitas. Seseorang yang memiliki banyak emosi negatif kemungkinan memiliki sedikit emosi positif sehingga membuat hidupnya lebih cenderung merasakan kesedihan (Seligman, 2002). Oleh sebab itu, aktivitas-aktivitas PPT dilakukan untuk menurunkan emosi negatif dengan meningkatkan emosi positif (Bahrami, Kasaei, & Zamani, 2012) yang dapat membuat individu memiliki kehidupan yang menyenangkan, memiliki keterlibatan dalam kehidupan dan interaksi dengan orang lain, serta memperoleh kehidupan yang bermakna (Seligman, 2002; Compton & Hoffman, 2013). Emosi positif
8
berkaitan erat dengan kebahagiaan, karena emosi positif dapat membuat individu memiliki persepsi positif terhadap dirinya dan orang lain, mendorong kemampuan untuk disukai dan bekerjasama dengan orang lain, meningkatkan aktivitas dan sosialisasi melalui perilaku
prososial,
meningkatkan
kesejahteraan
fisik,
kreativitas, dan koping yang baik (Lyubomirsky, King, & Diener, 2005). Peneliti mencoba menjelaskan efek PPT dalam penelitian ini terhadap depresi berdasarkan simtom-simtom depresi (Beck, 1967), 6 aktivitas PPT (Seligman,
dkk,
(Frederickson,
2006),
1998;
mengoptimalkan
dan
mekanisme
Harrington,
kekuatan
terbaik
2013). dan
pembangunan
emosi
positif
Aktivitas-aktivitas
positif
seperti
menemukan
hal-hal baik
dapat
meningkatkan emosi positif dan menetralkan emosi negatif pada individu depresi (Linley & Joseph, 2004; Seligman, dkk, 2006). Proses pencarian kekuatan dan hal-hal baik serta membayangkan kesuksesan di masa depan secara kognitif dapat membentuk fleksibilitas pola pikir, membangun cara berpikir positif, dan perilaku yang mendukung pengembangan sumber daya pribadi (Frederickson, 1998; Harrington, 2013). Pola pikir yang positif akan meningkatkan harga diri, memampukan individu untuk berekspektasi positif, dan memperluas pola pikir individu depresi. Individu depresi memiliki motivasi yang rendah sehingga terhambat dalam bertindak, beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain (Beck, 1967; Passer & Smith, 2007). Setelah tahap merasakan emosi positif dan melalui aktivitas mengungkapkan terima kasih dan pemberian respon aktif dan konstruktif, individu depresi diajak untuk berinteraksi dengan kehidupannya sehingga mampu meningkatkan motivasi, merasakan lebih banyak dukungan sosial, merasakan kepuasan hidup, dan mengganti ingatan negatif menjadi positif (Seligman, 2002; Linley & Joseph, 2004; Seligman, dkk, 2006). Individu depresi juga cenderung mengalami gangguan pada daya fisik dan vegetatif (Beck, 1967). Emosi positif yang terbangun dari aktivitas menikmati sesuatu dengan menyenangkan mampu mempercepat pemulihan sehingga daya fisik dan vegetatif
individu
dapat
pulih
dan
mencapai taraf
normalnya
kembali
(Frederickson, 1998; Harrington, 2013). Berdasarkan uraian di atas maka peneliti merancang intervensi PPT dengan nama Program AKTIF-Aku Positif untuk menurunkan depresi pada remaja korban KBG. Program AKTIF-Aku Positif bagi remaja korban KBG ini merupakan salah satu penelitian dari tiga penelitian payung yang disupervisi oleh
9
Prof. Dr. Sofia Retnowati, MS. untuk mengembangkan PPT di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas Program AKTIF-Aku Positif dalam menurunkan depresi pada remaja perempuan korban KBG. Hipotesis yang diajukan yaitu Program AKTIF-Aku Positif efektif menurunkan depresi pada remaja KBG. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi partisipan penelitian, yaitu berupa penurunan depresi. Manfaat lainnya adalah dapat memperkaya ilmu psikologi, terutama penggunaan dan pengembangan PPT di Indonesia.
10 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Remaja Korban KBG Depresi
SIMTOM-SIMTOM DEPRESI 1. Emosi negatif (suasana hati sedih, perasaan negatif terhadap diri sendiri, tidak puas, & hilangnya keterikatan emosional). 2. Kognitif negatif (harga diri rendah, ekspektasi negatif, menyalahkan diri sendiri, & ragu-ragu). 3. Motivasi menurun (kelumpuhan kehendak, menghindar, keinginan bunuh diri, tergantung pada orang lain). 4. Daya fisik & vegetatif terganggu (gangguan tidur, selera makan & hasrat seksual menurun, dan kelelahan).
DEPRESI MENURUN 1. Emosi positif (kebahagiaan meningkat, puas terhadap diri sendiri, keterikatan emosional meningkat). 2. Kognitif positif (harga diri tinggi, ekspektasi positif, dapat menerima kesalahan diri sendiri, & tegas). 3. Motivasi meningkat (memiliki semangat hidup, mampu menghadapi tantangan, tidak tergantung pada orang lain). 4. Daya fisik & vegetatif normal (tidur cukup & berkualitas, selera makan & hasrat seksual normal, tidak mudah lelah).
Program AKTIF-Aku Positif 1. Mengoptimalkan kekuatan terbaik dalam diri. 2. Menemukan tiga hal baik/berkah dalam hidup. 3. Membuat biografi terbaik untuk dikenang. 4. Mengungkapkan rasa terima kasih. 5. Merespon kisah orang lain secara aktif & konstruktif. 6. Menikmati sesuatu dengan menyenangkan.
Keterangan: Area Penelitian
Intervensi yang diberikan
Hasil intervensi
Gambar 3. Kerangka Penelitian