PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SOEGIJAPRANATA : MENGABDI GEREJA DAN NEGARA 1940-1949 SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah
Oleh: YULITA HETY SUJAYA NIM: 111314018
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2015
i
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
==│││││││││ ■││││││ 1品 轟 識 1轟 轟 1黒 mOARA
1111“ 1崚 :“:'1崚:縄
菫 │:
11テ 11111:IFII::11
1姜 毎 1絲 ・
:軍│
T毎
軸蒙
;21‐
鞭
1201,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
S◎ EGttJAPnANATA:
MENGABDl GEttJA DAN NECARA 重94⑬ “1949
SttPSI E)ipcrsiapkatt dan dituiis olcL: Yttliξ 襲菫ett
S電 対/裁
Tttda Tang雄
Kc犠
:く
Scbctaris
.ltr會 摯 ia ot,lpinl_卜 i.Pa.
懸 ggota
ひr, へnto垂 ]ia繰
natitil弓 odこ 重 3vI象 :崚 │.S`P墓
巌 g3ota
夢 〕 rs.
Anggota
砂
‐ 17
,、
,重
,.]√ :.S:
り,■ 4 :1撃「:l
奮 3じ 与akti^卜 { ギご 「色雲 yttlto.M.M
=s.A`K.■
V● gyala誓 ■3,2拿 〔 ひk:舎 暮cr 2争 15
Fakull路 sI(cg羹 祖 dan llttu Pendittkan
Uttivttsitas SanatalDLtta
R(地 こIldi.Ph O
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ⅡALAPIAN
PERSEⅣ IBAⅡ AN
Sebagai ungkapan kasih,skripsi ini saya pcrsembahkan terLltalna kcpada:
O Kedua orang tta saya,Ayahanda Walterius Jcma'un dan lbu Maria Dilut ● Saudara― saudaraku:lⅥ clania Anita Jelita,Hendikus NIlasur, ⅣIaria CoHallla
Sulnami,dan Willy Brodus Haruln
iV
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
MOTTO
Jika
tangan
tidak
menggerakkan
tongkat,
tongkat
tidak
akan
menggerakkan apa pun (Thomas Aquinas)
“Cogito ergo sum” Saya berpikir, maka saya ada (Rene Descartes)
Ketika kita berpikir,
kita sudah berbuat, Tuhan benar-benar berbuat
untuk kita (Nicolas Malebranche)
v
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
PERNttZATAAN KEASLIAN KARYA
skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana la-vaknya karya ilmiah. Sa3'a menyatakan dengan sesungguhnya bahwa
″ 取ogyakana,28(3ktoし cr 2015
tllita llcty S可
Vi
等a
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
LEⅣIBAR PERNYATAAN PERSETIT」 lJAN
PllBLIKASI KARYA ILⅣ IIAH UNTUK KEPENTINGAN AKA.DEⅣ IIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasisu.a [Jniversitas Sanata Dharma :
Yuiita l{ety Suiaya
NomorMahasis*'a : 111314018 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakat tlniversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang be{udul:
SOECIJAPRANATA: ⅣIENGABDI
GEREJA DAN NEGARA 1940‐
1949
SttIPSI Besena pcFangkat yang dipcrlukall(bila ada),dCngan dcmikian saya llncmbcrik鑢
kepada perpusttan Univcrsitas
Sanata Dhaxllla hak unt■
lk
lllettyilnpan,
mengalihkannya dalanl belltuk l■ cdia lain,mengelolanya dalarll belltuk pangkalall
data, mendistnbusikannya secara tcFbataS, dan mempublikasikannya di intemet atau llledia lain untuk kcpentingan akadcmis tanpa pcrlu meminta izin dari saya mauptlll rncmbe貢 kan royalti kcpada saya sclama tetap mencantu■ まan nallla saya
scbagai pcnulis.Dcmikian pcmyttaall illi yang,管
Dibuat di Yogyakarta Pada tan3gal,28(Dktober 2015
Yulita Hety
VI:
alり ,a10cngall
scb9nattya.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRAK SOEGIJAPRANATA: MENGABDI GEREJA DAN NEGARA 1940-1949 Oleh: Yulita Hety Sujaya Universitas Sanata Dharma 2015 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: (1) latar belakang Soegijapranata mengabdi Gereja dan negara; (2) prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi Gereja; (3) prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara. Penelitian ini disusun berdasarkan metode penelitian historis faktual dengan tahapan: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verfikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan pendekatan politik dengan model penulisannya bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Latar belakang keluarga yang dimiliki oleh Soegijapranata memberikan andil bagi penumbuhan sikap untuk hormat dan kasih hal inilah yang telah memperkaya Soegijapranata sebagai seorang pribadi yang sopan santun, lincah bergerak, mudah bergaul, sekaligus memiliki kenakalan dan kekritisan tertentu. Selain itu aspek lain yang dirasakan membentuk dirinya sebagai pribadi yakni pendidikan di Muntilan, sehingga semangat kekatolikan yang ditanam dan menjiwai Soegija tidak dipisahkan dari akar kejawaan dan masa remaja yang tengah dialami. (2) Usaha-usaha yang dilakukan Soegijapranata dalam memikirkan nasib masyarakat Indonesia tidak hanya berefek lokal saja, namun juga berefek nasional sehingga dapat dirasakan oleh orang di luar wilayah Vikariat Apostolik Semarang dan juga yang nonKatolik.(3) Sikap yang mendasari perjuangan Soegijapranata dengan semangat nasionalisme untuk turut memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui pemikiran serta karya-karyanya di tengah umat Katolik mampu menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang terjadi di Indonesia.
viii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
ABSTRACT SOEGIJAPRANATA: SERVING CⅡ URCⅡ AND STATE 1940¨ 1949
BY: Yulita Hcty Sttaya Sanata Dharlna l」 niversity
2015
This study aims to describe and atalyze three key issues, namely: (1) Soegijapranata's background to serve Church and state; (2) His fundamental idea and strategies to serve the Church; (3) His fundamental idea and strategies to serve the country. This research used historical factual research method that includes the five
stages, namely choosing the topic, collecting the sources, verification, interpretation, and histography. The approach used is social and political approach. The results were completed using descriptive analytic report. These results of this research showed that (1) the family background of Soegijapranata contributed to his basic characters; respect and love, which enriched his dispositions as to become decent, active, easy-going as well as some certain delinquency aird wit. Having received private education in Muntilan, the spirit of Catholicism rvere planted and animated in Soegija. (2) Soegija's recpect for the whole courrtry affected people outside the territory of the Apostolic Vicariate of Semarang and also the non-Catholics. (3) The attitude that underlies the struggles of Soegijapranata with the spirit of nationalism in fighting for the independence of Indonesia through the thought and works in the middle of the Catholics were abie to solve various problems that occured in Indonesia.
IX
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya yang melimpah kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Soegijapranata Mengabdi Gereja dan Negara 1940-1949”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Sanata Dharma, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Ilmu Pendidikan Sosial, Program Pendidikan Sejarah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan 2. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, 3. Dr. Anton Haryono, M. Hum selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan skripsi. 4. Drs. B. Musidi, M. Pd. Selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan kepada penulis selama proses studi.
x
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5. Seluruh dosen dan sekretariat program studi pendidikan sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma. 6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Walterius Jema’un dan Ibu Maria Dilut yang telah menghabiskan banyak biaya dan tenaga untuk mendukung saya dalam menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. 7. Kakak Melania Anita Jelita, Hendikus Masur, Coriana Sumarni, dan Willy Brodus Harum yang telah memberikan banyak batuan baik berupa material maupun moril sepanjang saya mengenyam pendidikan di priodi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma. 8. Bapak Jeremias Lemek S.H. dan Bapak Ben Galus S.H yang telah memberikan bantuan baik berupa material maupun moril sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Univesitas Sanata Dharma. 9. Sahabat-sahabat saya, Suci Budiati, Ening Mawarniati, Veronika, Nona Grace, Bernadeta Yulia, Marlinda Dwi Ratnani, Ririn Nabiada, Erin Tamatur, Deslin Tokan, Meta Rambung, Yati Darma, Risman Salo, Primaden, Ema, dan Mbak Marta yang telah memberikan dukungan, bantuan, serta inspirasi dalam menyelesaikan skripsi. 10. Teman-teman Alumni SMA Fransiskus Xaverius Ruteng, Atno, Deni, Van Apri, Rivan yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan skripsi
xi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
tClllan scpcttuangall di Pendidikan Saartt allま 滋an 11.Tclll狙 ―
201l ymg
telah lncrllberikan dukungalt,bantuani selta inspirasi dal〔 un lncnyclesaikan skripsi.
12.Kekasih saya, Epiibnius Solantt yang tclah mcmbcrikan dukungan dan inspirasi dalarll pellytlsunan dan rnenyclesaikan sk五 psi ini.
13.Kよ a宙 ngkat/alumnus Pcndidikan Seiarall,Mas Angga,Mas Noval,Ka Bona,Ka Rit,Ka Nina 14.Tcman― tcman H.IIPS yang telah rnernbcrikan dukllngan dan inspirasi dalam pcnyusunan dan mcnyclcsaikan skripsiini. 15.Selllua pihak yang tidak dapat pcnulis scbutkan satu pcrsattl, yang telそ 通1 mcmbantu dalaln proses pcnulisan skripsi ini hingga tcrsclcsaikan
Pemllis menyadan bahwa penclitiall ini masih iaull dari sempurlltt oleh karena ittl dcngan rendah hati pcnulis menerima bcrbagai nlactt k五
tik dan sttan
yang bcrsi食it mcmbangun darl scrllua pihak. Scmoga pcnulisan sttpsi ini d4pat hkan. mcmberikan manttt bagi ptta pihak yang lncmbuむ 盛
彎¨ 輛 嶋
Yogyakarta. 28 Oktober 2015
Y
Sujaya
X‖
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. iv HALAMAN MOTTO ................................................................................. v PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .................................................. vi LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................... vii ABSTRAK ................................................................................................... viii ABSTRACT ................................................................................................. ix KATA PENGANTAR ................................................................................. x DAFTAR ISI ................................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................. 6 C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 7 D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 8 E. Tinjuan Kepustakaan ......................................................................... 9 F. Landasan Teori .................................................................................. 12 G. Metodologi Penelitian dan Pendekatan ............................................. 24 H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 28
xiii
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II LATAR BELAKANG SOEGIJAPRANATA MENGABDI GEREJA DAN NEGARA A. Masa Kecil Soegijapranata .......................................................... 29 B. Soegijapranata Sekolah di Muntilan ........................................... 32 C. Soegijapranata Masuk Serikat Jesuit ........................................... 39 D. Soegijapranata Menjadi Imam .................................................... 44 E. Soegijapranat Sebagai Vikaris Apostolik Semarang ................... 46 BAB III SOEGIJAPRANATA MENGABDI GEREJA A. Mengatasi Persoalan-Persoalan Gereja ...................................... 50 1. Berdiplomasi dengan Pihak Penguasa Jepang ...................... 51 2.
Menetapkan Penggunaan Bahasa Latin dan Bahasa Indonesia ............................................................ 54
3. Mempertahakan Fasilitas Misi .............................................. 55 4. Penguatan Kebutuhan Jasmani dan Rohani Para Misionaris di Kamp Internir ........................................................................ 58 5.
Memperbaiki Keuangan Misi ............................................... 61
6. Mempertahankan Posisi Gereja ............................................. 64 B. Tugas Penggembalaan ................................................................ 66 1. Pelayanan Sakramental .......................................................... 66 2. Memberikan Katakese ........................................................... 68 3. Mendidik Calon Imam ........................................................... 69 4. Memberikan Bimbingan bagi Keluarga Katolik ................... 71 5. Membina Organisasi atau Perkumpulan ................................ 73 C. Pembinaan Imam Bumiputra ...................................................... 74 BAB IV SOEGIJAPRANATA MENGABDI NEGARA A. Terlibat dalam Revolusi Nasional ............................................... 80 B. Menolong Rakyat Miskin ............................................................ 89 C. Menginspirasi Orang Katolik ...................................................... 94
xiv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V KESIMPULAN ............................................................................ 101 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 104 LAMPIRAN .................................................................................................. 107
xv
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kemunculan seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakatnya tidak terjadi begitu saja. Untuk itu, diperlukan berbagai persyaratan yang seharusnya terdapat di dalam diri seseorang yang akan menjadi pemimpin, antara lain ialah kejujuran dan keberanian moral. Hal itu berkaitan dengan berbagai hal lain, seperti kesungguhan yang meyakinkan, kesadaran yang dalam atas prinsip, keterusterangan dan tekad. Juga tidaklah dapat dilupakan bahwa seorang pemimpin seharusnya seseorang yang cerdas, yang mampu memperhitungkan berbagai kejadiaan yang sedang dihadapi dengan kecerdasan itu. Keterangan di atas dimaksudkan untuk mengawali uraian-uraian selanjutnya yang berkaitan dengan biografi seorang pahlawan nasional, Soegijapranata, yang sekaligus adalah putra Indonesia pertama yang diangkat oleh Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, sebagai Vikaris Apostolik,1 dengan gelar Uskup. Pengangkatannya terjadi pada tahun 1940 dan dimaksudkan untuk memimpin sebuah Vikariat Apostolik baru, yakni Vikariat Apostolik Semarang, pecahan dari
1
Vikariat Apostolik adalah bentuk otoritas untuk suatu kawasan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk dalam wilayah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan. Biasanya status suatu wilayah dalam Vikariat Apostolik bersifat sementara, walaupun tetap saja dapat berlangsung hingga lebih dari seabad, hingga wilayah misi itu sudah berkembang, memiliki pertumbuhan umat yang cukup dan bisa memenuhi syarat untuk menjadi keuskupan yang mandiri.
1
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
2
Vikariat Apostolik Batavia.2 Penunjukan ini terkesan sangat istimewa karena bukan saja Soegijapranata seorang pribumi pertama yang diangkat sebagai Uskup tetapi juga seorang nasionalis tulen. Hal inilah dalam perjalanannya kemudian, Soegijapranata banyak mewarnai perjalanan Gereja Katolik di Indonesia, mempunyai pijakan yang jelas dalam kehidupan sosial politik berbangsa dan bernegara. Pada tahun 1940, Indonesia masih berada di bawah kolonialisme Belanda. Unsur-unsur Belanda (Eropa) pada Gereja Katolik yang telah terbangun masih kuat. Akan tetapi, pada waktu itu Paus mempercayakan kepemimpinan Vikariat Apostolik baru itu justru kepada putera asli Indonesia, bukan kepada salah seorang misionaris Belanda seniornya yang telah turut memformasi dirinya. Selaku
Uskup
baru,
Soegijapranata
kala
itu
tidak
hanya
bertugas
menggembalakan umat Katolik pribumi, tetapi juga orang-orang Katolik kebangsaan Eropa yang tinggal di Vikariat Apostolik Semarang. Peristiwa tahun 1940 semakin monumental bila diingat bahwa dulu Soegijapranata kecil dikirim oleh orang tuanya ke Kolose Xaverius Muntilan semata-mata untuk sekolah, bukan untuk menjadi orang Katolik. Karena tidak ingin menjadi Katolik, tentu pada masa-masa awal di Muntilan tidak terlintas di benak pikirannya untuk menjadi imam/biarawan Katolik. Akan tetapi, sejarah yang sarat dengan interaksi sosial dan kultural yang sedemikian dinamis menentukan lain. Soegijapranata tidak hanya berhasil menyelesaikan sekolah yang diimpikannya, tetapi lebih dari itu, ia menemukan jalan hidup baru. Pada 2
Majalah Praba,Penyuluhan Agama Katolik Mitra Gereja dengan Negara, Yogyakarta: 2012, hlm. 36.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3
jalan baru ini pun Soegijapranata tidak hanya menemukan agama baru, menjadi orang Katolik, tetapi juga terpanggil untuk masuk/bergabung dalam suatu komunitas biara, menjadi biarawan Yesuit, dan berhasil menjalani tahbisan imamat pada tahun 1931. Hanya selang Sembilan tahun dari saat tahbisan imamatnya, Soegijapranata telah dipercaya oleh Paus untuk memimpin sebuah Vikariat (keuskupan) baru.3 Sebagai imam Katolik, dan kemudian menjadi Uskup, tugas utama Soegijapranata adalah menggembalakan umat Katolik. Meskipun demikian, dalam lintasan sejarahnya kiprah kekaryaan Soegijapranata tidak hanya berdimensi kegerejaan (kekatolikan) tetapi juga sarat dengan dimensi kebangsaan (keindonesiaan). Dimensi kebangsaan ini sudah tampak ketika ia memutuskan menjadi imam. Konon, ia tidak menemukan profesi lain yang lebih memungkinkan bagi dirinya untuk memuliakan Tuhan dan sekaligus untuk mengabdi bangsa Indonesia selain menjadi imam.4 Dimensi kebangsaan Soegijapranata ini tidak pernah kendur dan terus menguat. Hal ini antara lain tampak pada keterlibatannya dalam mengembangkan majalah Katolik berbahasa Jawa, Swaratama, yang tidak pernah berhenti menyuarakan
aspirasi-aspirasi
kebangsaan,
dan
intruksinya
pada
awal
kemerdekaan kepada umat Katolik Jawa (Indonesia) gembalaannya untuk terlibat aktif dalam revolusi nasional, yang secara simbolik ia sendiri berusaha
3
Budi Subanar, Kilasan Kisah Soegijapranata, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012, hlm. 2. 4 Ibid.,hlm. 3.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
4
mewujudkan dengan memindahkan kantor kevikariatannya dari Semarang ke Yogyakarta seiring dengan kepindahan pemerintah RI ke kota perjuangan itu.5 Bagi Soegijapranata, kekatolikan harus diwujud nyatakan dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu interaksi kebangsaan. Orang Katolik Indonesia harus berguna tidak hanya bagi Gerejanya, tetapi juga bagi bangsa dan negaranya. Bahkan, orang Katolik baru berguna bagi Gerejanya bila berguna bagi bangsa dan negaranya. Mereka harus memiliki keberanian yang tangguh untuk turut mengisi kemerdekaan yang telah berhasil diperjuangkan oleh bangsa Indonesia. Terutama bagi umat Katolik, nama Soegijapranata bukan sekedar nama yang tidak asing, tetapi nama besar yang senantiasa dikenang karena keteguhan dan konsistensi prakarsanya dalam mengintegrasikan praktik kekatolikan dengan paham kebangsaan yang harus dijalani/dihidupi oleh umat Katolik Indonesia.6 Sebagaimana diketahui, Soegijapranata telah diangkat oleh Presiden sebagai salah seorang pahlawan nasional. Hal itu merupakan perwujudan dari pengakuan akan "ada dan besarnya" jasa beliau kepada bangsa Indonesia selama hidupnya. Pengakuan atas jasa-jasa yang seperti diperoleh Soegijapranta merupakan kebiasaan dengan melalui penyaringan berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.7 Dengan demikian penghargaan semacam itu tidaklah diberikan kepada setiap pemimpin dan atau kepada setiap orang besar. Tidak semua pemimpin mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan. Pribadi Soegijapranata cukup dapat memancing perhatian karena likuliku hidupnya memang menarik. Kegiatannya sejak memasuki sekolah guru di 5
Ibid., hlm. 2-3. Ibid., hlm. 3-4. 7 Anhar Gonggong, MGR AlbertusSoegijapranata, Jakarta: PT Grasindo, 1943,hlm. 2-3. 6
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
5
bawah bimbingan pastor F. Van Lith, S.J. sudah menunjukkan keuletannya tetapi sekaligus juga keterbukaan dan keterusterangan di dalam mengemukakan pandangan. Juga setelah menduduki bangku pendidikan imam (pastor) dalam Gereja Katolik, Ia menunjukkan minatnya yang sangat besar, tidak hanya yang menyangkut pada agama Katolik yang dianutnya akan tetapi juga masalah pendidikan, budaya, dan seni. Dalam pandangan Soegijapranata, nasionalisme bukanlah melulu suatu kesadaran berbangsa, bukan pula ideologi yang menanamkan cinta tanah air belaka, tetapi di dalam nasionalisme terdapat pula nilai-nilai transendental dan keterarahan pada hidup abadi. Sikap rendah hati, serta pengakuan penuh syukur dan hormat terhadap tatanan manusiawi dan adikodrati ataupun terhadap keadaan dimana penyelenggara ilahi telah melengkapi manusia dengan cakrawala akan hidup abadi merupakan bagian integral dari nasionalisme.8 Soegijapranata merupakan salah satu contoh pribadi yang mampu mengintegrasikan hidup menggereja dan bernegara dalam dirinya. Sebagai pemimpin Gereja, Soegijapranata berkewajiban menjaga dan membela segala kepentingan Gereja Katolik Indonesia ditengah situasi yang membatasi gerak agama Katolik di Indonesia pada masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional. Sebagai warga negara, Ia juga berperan serta dalam usaha perjuangan Indonesia. Usaha dan semangat Soegijapranata menginspirasi banyak pihak untuk berperan aktif dalam hidup berbangsa dan bernegara kini.
8
Budi Subanar, Op.,Cit.. hlm. 8-9.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
6
Usaha-usaha Soegijapranata juga menginspirasi penulis, sebagai mahasiswa pendidikan sejarah sekaligus sebagai calon guru sejarah, untuk melihat kembali apa yang melatarbelakangi munculnya semangat kebangsaan itu di dalam diri Soegijapranata. Semangat dan pemikirannya menjadi sumber inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jiwanya selalu hidup diantara kita dan mampu menciptakan sosok pemimpin yang tegas, adil, jujur dan selalu menjunjung pluralitas. Penulis berusaha melihat usaha Soegijapranata dalam membangun Gereja Katolik Indonesia dan mengabdi Indonesia pada masa kepemimpinannya sebagai vikaris apostolik dimasa pendudukan Jepang dan revolusi nasional.
B. Rumusan Masalah Dalam penulisan skripsi yang akan mengambil skup temporal
1940-
1949,penulis akan memfokuskan pada tiga permasalahan: 1. Bagaimana latar belakang Soegijapranata mengabdi Gereja dan negara? 2. Bagaimana prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi Gereja? 3. Bagaimana prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara? Pada
permasalahan
pertama
akan
dibahas
antara
lain
tentang
Soegijapranata: Masa Kecil hingga menjadi Vikaris Apostolik Semarang. Pada permasalahan kedua akan dibahas antara lain: Mengatasi persoalanpersoalan
Gereja,
tugas
penggembalaan,
pembinaan
imam
bumiputra.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Pembahasan
tentang
Mengatasi
persoalan-persoalan
Gereja
7
meliputi:
Berdiplomasi dengan pihak penguasa Jepang, menetapkan penggunaan bahasa Latin dan bahasa Indonesia, mempertahankan fasilitas misi, pembebasan misionaris dari kam internir, memperbaiki keuangan misi, mempertahankan posisi Gereja.
Pembahasan
tentang
tugas
penggembalaan
meliputi:
Sakramental, memberikan katakese, mendidik calon imam,
Pelayanan memberikan
bimbingan bagi keluarga Katolik, membina organisasi atau perkumpulan. Pembahasan tentang pembinaan imam bumiputra. Pada permasalahan ketiga akan dibahas antara lain: Terlibat dalam revolusi nasional, menolong rakyat miskin, menginspirasi orang Katolik. Yang dimaksud Gereja pada permasalahan di atas adalah Gereja Katolik di Indonesia khususnya Vikariat Apostolik Semarang. Sementara itu negara yang di maksud adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
C. Tujuan Penulisan Sesuai dengan masalah yang dikemukan maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan latar belakang Soegijapranata mengabdi gereja dan negara. 2. Mengidentifikasi prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi gereja. 3. Mengidentifikasi prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
8
D. Manfaat Penulisan Manfaat penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi penulis a. Penulisan ini bermanfaat sebagai bekal calon guru sejarah. b. Menambah
wawasan
penulis
untuk
mengetahui
sejarah
perjuangan
Soegijapranata sebagai Uskup pribumi pertama Indonesia sekaligus pahlawan nasional. c. Dapat meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh 2. Bagi Universitas Sanata Dharma Kiranya penulisan ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber refrensi bagi para mahasiswa. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk contoh dalam penulisan skripsi bagi mahasiswa berikutnya. 3. Bagi masyarakat umum Penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi baru kepada masyarakat tentang perjuangan Soegijapranata selama masa penjajahan Jepang dan revolusi nasional. Selain itu masyarakat dapat mengetahui bagaimana semangat Soegijapranata yang menjadi panutan bagi Gereja dan Negara di Indonesia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
9
E. Tinjauan Pustaka Penelitian ini disusun dengan menggunakan sumber buku. Buku-buku pokok yang menunjang dalam penulisan skripsi ini antara lain: Buku karya G. Budi Subanar SJ yang berjudul: Soegija, Si Anak Betlehem Van Java9, Kilasan Kisah Soegijapranata10, Menuju Gereja Mandiri Sejarah Keuskupan Agung Semarang Di bawah Dua Uskup (1940-1981)11, Soegija Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusian12. Buku Soegija, Si Anak Betlehem Van Java menceritakan tentang perjalanan Soegijapranata dari masa kanak-kanak hingga berperan sebagai Vikaris Apostolik Semarang. Soegijapranata menemukan inti terdalam dari identitas dirinya sebagai orang Jawa yang mengalami perjumpaan dengan kekristenan yang kemudian mewujudkan cita-citanya sebagai imam untuk dapat mengabdi kepada bangsanya dan kepada Tuhan. Identitas itulah yang menjadi fondasi dasar bagi proses perjalanan hidup seterusnya. Buku ini, tidak hanya menampilkan surat dan tulisan Mgr. Soegijapranata, namun juga perjalanan hidupnya. Buku Kilasan Kisah Soegijapranata berisi tentang kiprah kekaryaan Soegijapranata yang sarat dengan dimensi kebangsaan (keindonesiaan), tidak hanya berdimensi kegerejaan (kekatolikan). Menurut buku ini, dimensi kebangsaan sudah tampak ketika ia memutuskan untuk menjadi imam.Konon, ia
9
Budi Subanar, Soegija Si Anak Betlehem Van Java, Yogyakarta: Kanisius 2013.
10
Budi Subanar, Kilasan Kisah Soegijapranata, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012. Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah Dua Uskup ( 1940-1981),Yogyakarata: Universitas Sanata Dharma, 2005. 12 Budi Subanar, Soegija Catatan Harian Pejuang Kemanusian, Yogyakarta: Galang Press, 2012. 11
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
10
tidak menemukan profesi lain yang lebih memungkinkan bagi dirinya untuk memuliakan Tuhan dan sekaligus untuk mengabdi bangsa. Buku Menuju Gereja Mandiri Sejarah Keuskupan Agung Semarang Di bawah Dua Uskup (1940-1981) berisi tentang situasi sosial budaya masyarakat dan Gereja di Vikariat Apostolik Semarang pada masa pendudukan Jepang dan revolusi
nasional.
Dalam
buku
ini
juga
dibahas
tentang keterlibatan
Soegijapranata dalam mengatasi masalah di Vikariatnya pada masa pendudukan Jepang serta peran beliau dalam revolusi nasional. Selain itu, buku ini juga menceritakan Soegijapranata aktif dalam tugas penggembalaan seperti pelayanan sakramen, katekese, pendidikan keluarga, dan organisasi atau perkumpulan. Selain itu, buku yang berjudul Soegija Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusian berisi tentang berbagai kegiatan pemerintahan gerejawi dalam pengungsian diYogyakarta. Terdapat sejumlah peristiwa menarik di dalamnya antara lain: a.
Soegijapranata yang mengucapkan pidato gencatan senjata setelah pesawat Indonesia ditembak jatuh Belanda di Maguwo, 27 Juli 1947, sehingga menewaskan Adisucipto dan Abdulrahman Saleh, dua pahlawan nasional dari Angkatan Udara.
b. Soegijapranata yang mencatat secara detail suasana 19 Desember 1948, saat Belanda menyerbu Yogyakarta yang pada waktu itu merupakan pusat pemerintahan RI.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
11
c. Kumpulan surat-surat kegembalaan Soegijapranata dari tahun-ketahun, naskah-naskah pidato Soegijapranata yang disampaikan di dalam berbagai kesempatan. d. Menjelaskan sejumlah hal, antara lain sejarah asal mula ungkapan Soegijapranata
“100%
Katolik
dan
100%
Indonesia”,
hubungan
Soegijapranata dengan Presiden Soekarno, hubungan Soegijapranata, dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, serta berbagai hubungan lain: dengan kaum awam, dengan anggota-anggota religius. Buku
Karangan
Anhar
Goggong
yang
berjudul
Mgr.
Albertus
Soegijapranata, SJ. Antara Gereja dan Negara13 berisi tentang kepribadian Soegijapranata, memberikan latar belakang historis yang terjadi di sekitar masa episkopat Soegijapranta, baik di dalam kerangka sejarah pergerakan Indonesia, maupun dalam sejarah dunia secara mondial terlebih-lebih masa Perang Dunia dan Perang Pasifik di Asia. Selin itu, Buku ini juga menceritakan rintangan yang dialami Soegijapranata, baik rintangan yang bersumber dari dalam diri sendiri maupun dari luar pada masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional. Buku lain yang mirip dengan kisah pribadi Soegijapranata dari kecil hingga dewasa adalah karya F.X Heryatno Wono Wulung SJ yang berjudul Rohani, Menyongsong Tahun Vatikan14. Buku ini juga membahas tentang perjuangan Soegijapranata dalam membela rakyat miskin dan menderita serta keterlibatan Gereja di tengah hidup masyarakat, dan bagimana Gereja dapat ambil bagian secara nyata di dalam meningkatkan kesejateraan umum. 13
AnharGonggong, MGR AlbertusSoegijapranata, Jakarta: PT Grasindo, 1943. Heryatno Wono Wulung, Rohani Menyonsong 25 Tahun Vatikan II, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
14
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
12
Buku karya Sr. Henricia Moeryantini, CB yang berjudul: Mgr. Albertus Soegijapranata SJ15 menjelaskan kaitan antara Soegijapranata dengan pembinaan hidup keagamaan umat seperti pembinaan klerus dan kehidupan membiara pribumi, pembinaan rohani umat di Vikariatnya. Di dalam buku ini juga diceritakan tentang Soegijapranata dengan kehidupan sosial, ekonomi, seperti pembinaan ekonomi organisasi-organisasi sosial serta menyadarkan masyarakat mengenai
hakekat
manusia
sebagai makhluk sosial, mengatasi beberapa
persoalan khusus dalam kehidupan ekonomi keluarga atau ekonomi rumah tangga, Selain itu, buku ini juga menceritakan tentang usaha Soegijapranata dalam menanggapi persoalan pendidikan, serta kaitan antara Soegijapranata dengan politik .
F. Landasan Teori 1. Gereja Yang dimaksud Gereja pada landasan teori ini adalah Gereja Katolik. Kata “Gereja” berasal dari kata Portugis igreya, yang jika mengingat akan cara pemakaiannya sekarang ini, adalah terjemahan dari kata Yunani kyriake, yang berarti menjadi milik Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan milik Tuhan adalah orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya. Jadi yang dimaksud dengan Gereja adalah persekutuan para orang beriman.16 Yang dimaksud dengan Gereja sebagai persekutuan adalah Gereja orangorang yang percaya kepada Kristus dan telah dibaptis (Umat Beriman Kristiani). 15
Henrica Moer Yantini CB, Mgr. Albertus Soegijapranata S.J, Ende Flores: Nusa Indah, 1975. Konferensi Wali Gereja Katolik, Iman Katolik ,Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 332.
16
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
13
Sementara itu, persekutuan dapat diartikan sebagai sebuah situasi akrab dan bersahabat dalam sebuah ikatan tertentu. Jadi, Gereja sebagai persekutuan artinya orang-orang yang percaya kepada Kristus dan telah dibaptis yang terikat dan berinteraksi satu sama lain dalam ikatan kasih Kristus. Di dalam Perjanjian Baru kata yang dipakai untuk menyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang berarti rapat atau perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul. Mereka berkumpul karena dipanggil atau dikumpulkan. Yang disebut anak Allah pertama-tama adalah seluruh persekutuan orang beriman.17 Jadi sebagai persekutuan orang beriman Gereja hadir di dunia ini bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk dunia. Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orangorang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan dari murid-murid Yesus (Gereja). Singkatnya, Gereja hendaknya menjadi sakramen keselamatan bagi dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai Gereja Katolik dan perananan Gereja dalam Gerakan pembebasan. a. Gereja Katolik Katolik berarti universal, seperti Allah juga universal. Katolik berarti: Mengakui dan menghargai seluruh umat manusia sebagai ciptaan Allah, yang terpanggil kepada kehidupan abadi bersama Allah, sesudah kebangkitan.18 Dalam Konsili Vatikan II Gereja tidak lagi memusatkan sebagai kelompok manusia yang terbatas, melainkan kepada Gereja sebagai sakramen Roh Kristus. Gereja berarti 17 18
Komisi Kateketik KWI, Perutusan Murid-Murid Yesus,Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 172. Paul Meijers o.p, Gereja Dalam Perkembangan, Yogyakarta: Kanisius, 1973, hlm. 41.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
14
bahwa pengaruh dan daya pengudus Roh tidak terbatas pada para anggota Gereja Katolik saja, melainkan juga terarah kepada seluruh umat manusia di dunia. Dengan
sifat
Katolik
dimaksudkan
bahwa
Gereja
mampu
mengatasi
keterbatasannya sendiri karena Roh yang berkarya di dalamnya. Gereja Katolik terbuka untuk semua orang, Gereja mampu mengatasi keterbatasannya untuk berkiprah ke segala penjuru dunia dan ajaranNya dapat diwartakan di mana-mana sejauh itu baik dan luhur. Dengan kata lain, rahmat itu terbuka bagi siapa saja yang mau menerimanya. Gereja sebagai persekutuan umat mempunyai
struktur kepemimpinan
(Hirarki)19. Untuk menggembalakan dan mengembangkan umat Allah, Kristus Tuhan dan GerejaNya mengadakan aneka pelayanan yang tujuannya demi kesejahteraan seluruh umat Allah. Gereja terdiri dari hirarki dan awam, hirarki memimpin dengan kekuasaan religius absolut dan awam adalah rakyat yang harus taat secara absolut pula. Ini semua sudah seharusnya begitu, dan dibina dalam suatu spiritualitas penuh askese. Segalanya demi keselamatan jiwa di dunia dan akhirat. Namun dengan idealisme yang menyala-nyala, hirarki telah mendorong pula umat dan awamnya untuk berkarya dan berkorban bagi Gereja di dalam negerinya maupun di luar negeri, di seluruh dunia. Kepemimpinan dalam Gereja Katolik pada dasarnya diserahkan kepada hirarki yang berasal dari Kristus sendiri. Menurut ajaran resmi Gereja mengajarkan bahwa atas penetapan Ilahi, para Uskup menggantikan para rasul sebagai penggembala Gereja. Kepada mereka itu para
19
Hirarki adalah orang-orang yang ditabiskan untuk tugas kegembalaan .Fungsi Hierarki adalah menjalankan tugas gerejani yaitu tugas-tugas yang secara langsung daan eksplisit menyangkut kehidupan beriman gereja, menjalankan tugas kepemimpinan dalam komunikasi iman.HIrarki mempersatukan umat dalam iman dengan petunjuk, nasihat dan Teladan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
15
Rasul berpesan, agar mereka menjaga seluruh kawanan, tempat Roh Kudus mengangkat mereka untuk menggembalakan jemaat Allah. Para pengganti mereka yakni para Uskup dikehendakiNya menjadi gembala dalam GerejaNya hingga akhir zaman.20 Dengan demikian, dasar dari kepemimpinan dalam Gereja adalah berasal dari kehendak Tuhan. Dalam kedudukannya, Uskup sering disebut sebagai pengganti dari para rasul Kristus. Setiap Uskup, karena tahbisannya, dengan sendirinya menjadi bagian dari jajaran para Uskup se-dunia di bawah pimpinan Sri Paus dan bertanggungjawab atas seluruh Gereja Katolik (Paroki) yang berada di dalam wilayah Keuskupan-nya. Dalam Gereja, kedudukan Uskup bersifat seumur hidup dan diangkat oleh Tahta Suci di Vatikan, Roma. Gereja memberikan gelar Monsigneur kepada seseorang yang secara sah diangkat menjadi Uskup . Tugas pokok Uskup adalah mempersatukan dan mempertemukan umat. Tugas pemersatu itu dibagi menjadi tiga yakni: tugas pewartaan, perayaan dan pelayanan. Tugas utama para Uskup adalah pewartaan Injil. Uskup yaitu memimpin umat dalam kalangan pastoral keuskupan. b. Perananan Gereja dalam Gerakan Pembebasan Di dunia, ternyata bukan hanya Gereja yang dipakai Allah untuk melaksanakan misi pembebasan dalam rangka Misi Eksodus. Gereja harus menyadari dan mau mengakui munculnya gerakan-gerakan pembebasan yang sedang memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat yang miskin dan tertindas, serta gerakan yang sedang memperjuangkan kemerdekaan kebangsaan pada zaman pascakolonialisme ini. Sikap Gereja terhadap gerakan pembebasan ini 20
Majalah Credo, Gereja, Politik dan Kekuasaan, Bekasi Timur, Kelompok Studi Credo, 1996, Hlm. 8-9.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
16
sering kali tidak jelas. Kecenderungan yang terjadi adalah sikap yang memandang gerakan-gerakan berada di luar “ Jalur” misi Gereja, atau paling tidak mendukung secara moral saja. Sikap yang tegas dan jelas dengan melibatkan diri merupakan sikap baru yang tidak mudah diterima di dalam Gereja itu sendiri. 21 Keterlibatan Gereja dalam gerakan pembebasan tidak berarti Gereja menerima semua yang dilakukan atas nama pembebasan dan kemerdekaan. Banyak gerakan pembebasan mengandung benih-benih korupsi dan kehilangan idealisme yang mulia. Tidak ada gerakan pembebasan yang murni secara absolut. Gereja bertugas untuk memperlihatkan intervensi Allah sebagai sesuatu yang esensial dalam gerakan pembebasan.22 Seperti dinyatakan dalam hasil Konsili Vatikan II (1962-1965) luar biasa. Gereja bukan saja memperoleh penyegaran jasmani, tetapi pula penyegaran/peremajaan rohani, spiritual, mental dan daya gerak. Gereja hadir di dunia, hidup bersamanya dan bertindak di dalamnya. Dalam hal politik dan kekuasaan, Konsili dengan jelas menyatakan bahwa Gereja dan negara bukan lagi merupakan dua pusat kekuasaan yang terpisah, tetapi dua organisme yang otonom dalam bidang masing- masing. Pelayanan itu harus efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejateraan umum. Pembebasan tanpa Allah merupakan gerakan yang buta dan kliru dalam menghalalkan cara-cara untuk mencapai tujuan. Para pemimpin pembebasan juga mudah terjebak dalam pemulian diri sendiri dan bukan lagi mengabdi kepada rakyat. Dalam kerangka seperti inilah, Gereja terlibat dan bahkan juga memahami serta mendukung revolusi kemerdekaan suatu bangsa. Gereja yang semula amat 21
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner (Dalam Konteks indonesia), Yogyakarta:Kanisius, 1996, hlm. 141-142. 22 Ibid., hlm. 42.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
17
dipengaruhi oleh iklim penjajahan selama beratus-ratus tahun itu, perlahan-lahan berkembang menjadi Gereja lokal yang banyak diwarnai ciri-ciri khas bangsa Indonesia, sambil bahu-membahu dengan golongan masyarakat lainnya berusaha membangun bangsa baru yang bermartabat. John Titaley dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan bangsa ini (Indonesia) adalah anugerah Allah yang harus dipertahankan dan diperjuangkan oleh Gereja sebagai bagian dari bangsa Indonesia.23 Oleh karena itu, Gereja Indonesia terlibat dalam Misi Eksodus dengan ikut serta secara sungguh-sungguh memelihara kemerdekaan bangsa yang secara formal sudah merdeka, bebas dari penjajahan mengalami juga kemerdekaan dalam berbagai aspek kehidupan bersama, keadilan, perdamaian, dan pemanusian. Sikap Gereja dalam pembangunan nasional yang sudah pernah dirumuskan DGI atau PGI dengan empat istilah, yaitu positif, kreatif, kritis, dan realistis perlu dikembangkan menjadi keterlibatan untuk bersama-sama golongan lain sebagai kesatuan bangsa dalam menanggulangi kemiskinan, menyuarakan kebenaran dan keadilan, serta membela mereka yang tergusur dalam arus modernisasi dan pembangunan. 2. Negara Negara adalah suatu organisasi kekuasaan, dan organisasi itu merupakan tata kerja dari pada alat perlengkapan negara yang merupakan suatu keutuhan, tata kerja mana melukiskan hubungan serta pembagian tugas dan kewajiban antara
23
Ibid,., hlm. 43.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
18
masing-masing alat perlengkapan negara itu untuk mencapai suatu tujuan yang tertentu.24 Sifat hakikat negara sebagai organisasi kekuasaan, menurut Kranenburg dan logeman adalah suatu pemahaman bahwa kekuasaan negara merupakan kekuasaan yang di organisasikan oleh sekelompok orang sebagai bangsa.25 Pergorganisasian kekuasaan yang dilakukan secara sadar untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu. Ada berbagai macam tujuan yang hendak dicapai seperti untuk memelihara ketertiban dan keamanan, menolak pihak-pihak lain yang bertujuan untuk berkuasa dan sebagainya. Apa yang dikemukan oleh Kranenburg dan logeman selaras dengan pendapat Hood Philips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold, yang mengatakan bahwa negara adalah masyarakat politik merdeka yang menduduki suatu wilayah tertentu yang anggotanya bergabung bersama untuk tujuan menolak kekuatan luar dan untuk pemeliharaan ketertiban internal.26 Sesuai dengan pendapat di atas, pengorganisasian kekuasaan oleh sekelompok orang yang disebut bangsa secara jelas dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama seperti antara lain disebutkan dalam definisi di atas. Dengan demikian penggunaan kekuasaan negara oleh penguasa di luar tujuan negara, seperti misalnya demi kepentingan penguasa atau pribadi pejabat negara adalah tindakan yang mengandung arti sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara.
24
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, cetakan ketujuh, 2005, hlm 149 Hotma P. Sibuea, Ilmu Negara, Jakarta:Erlangga, 2014, hlm. 39 26 Ibid., hlm. 40. 25
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
19
Beberapa pendapat mengenai lahirnya Negara adalah sebagai berikut:27 Penulis-penulis tua, membedakan dua macam cara lahirnya negara: 1. Negara karena didirikan, jadi di sini lahirnya negara dalam suasana damai, yang biasa disebut primairestaatwording. Dalam konteks ini, lahirnya negara, bukan karena hasil dari usaha melawan penjajah, misalnya melalui perang, melainkan dilahirkan secara sendirinya dalam masyarakat. Cara kelahiran inilah yang dianggap kelahiran yang sebenarnya. Lahirnya negara ini tentunya harus memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai negara. Misalnya, harus ada wilayah, penduduk, pengakuan dari dunia internasional. 2. Negara yang didapatkan, jadi lahirnya negara di sini dalam suasana perang atau revolusi. Cara ini disebut Secundaire Staatwording. Banyak negara di dunia ini yang dilahirkan karena cara seperti ini, misalnya bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang membara dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara juga bisa disebut nasionalisme. Tumbuhnya nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi yang meletakkan kecintaan, kesetiaan dan komitmen tertinggi pada negara kebangsaan.28 Dengan demikian nasionalisme menjadi dasar pembentukan negara kebangsaan. Hubungan nasionalisme dan negara kebangsaan memiliki kaitan yang erat. Negara kebangsaan adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan/ nasionalisme. Artinya adanya tekad masyarakat untuk
membangun masa
depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat
27 28
Dewa G. Atmatja, Ilmu Negara, Malang: Setara Pers, 2012, hlm. 75. Hans Kohn. Nasionalisme Arti Dan Sejarahnya. Jakarta: Pustaka Sardjana, 1961, hlm.11.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
20
tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya. Rasa nasionalisme sudah dianggap muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara kebangsaan. Dalam konteks negara Indonesia, tumbuhnya nasionalisme berkaitan erat dengan sistem politik kolonial yang memposisikan bangsa Indonesia sebagai bangsa terjajah yang harus dikuasai dan dieksploitasi segala sumberdaya yang dimilikinya. Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai respon atas kolonialisme. Kesamaan nasib sebagai sesama kaum terjajah merupakan suatu ikatan kuat diantara etnik-etnik di Indonesia untuk menjalin ikatan perjuangan, sedangkan keinginan untuk merajut masa depan yang lebih gemilang mendorong untuk membuat kesepakatan-kesepakatan sebagai manifestasi dari nasionalisme. Suatu hal yang luar biasa adalah nasionalisme ini mencapai tingkatan tertinggi dengan dirumuskannya hal itu secara tegas dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu berkehendak membangun suatu negara bangsa (nation-state) yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis. Dalam konteks negara yang didapatkan, untuk membentuk suatu negara, setidaknya melewati tiga fase penting, seperti fase pembuahan, fase perumusan, dan fase pengesahan.29 a. Fase Pembuahan Pada tahap ini, usaha yang dilakukan adalah mencari ideologi yang menjadi dasar dari terbentuknya suatu negara. Ideologi secara fungsional dimaknai sebagai seperangkat gagasan budaya, sosial-politik, hukum yang dianggap 29
YudiLatif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, hlm. 5.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
21
paling ideal atau yang paling baik. Secara fungsional ada dua tipe ideologi yaitu doktriner dan pragmatism. Ideologi doktriner ciri-cirinya antara lain, ajaranya dirumuskan secara sistematis dan rinci, diindoktrinasikan kepada masyarakat dan pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh pemerintah dan partai politik.30 Mendirikan suatu negara, harus mempunyai ideologi dan ideologi digali dari nilai-nilai yang mengakar dari suatu negara karena ideologi menjadi platform dalam menjalankan roda pemerintahan. Oleh karena itu ideologi menjadi awal dalam proses terbentuknya suatu negara. b. Fase Perumusan Setelah
ideologi
sudah
ditentukan,
maka
selanjutnya
adalah
mengkongkritkan ideologi itu dalam hukum dasar dari suatu negara. Pada tahap ini yang dilakukan adalah mereposisi dan menyempurnakan ideologi yang dianut oleh suatu negara melalui konsensus bersama. Dalam konteks negara Indonesia, ideologi yang dianut baik tersurat maupun tersirat dalam pembukaan UUD Negara RI tahun 1945 adalah kedaulatan rakyat berdasarkan falsafah negara Pancasila.31 Sukarno menyampaikan kelima prinsip dasar falsafah atau pandangan dunia yang telah disetujui oleh semua anggota BPUPKI pada pidatonya tanggal 1 Juni 1945. Kelima prinsip tersebut dalam padangan Sukarno adalah kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima prinsip itu disebut oleh Sukarno dengan Pancasila. Sila
30 31
Dewa G. Atmatja.Op. cit. hlm. 49. Ibid., hlm. 48.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
22
artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi. Ideologi yang dianut itu, harus tercermin dalam penyusunan hukum dari suatu negara. Negara yang mempunyai konstitusi seperti AS (Amerika Serikat) , nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi yang dianutnya itu harus tercermin dalam konstitusi dalam proses perumusan konstitusinya. c. Fase Pengesahan Setelah melewati konsensus secara luas mengenai dasar kenegaraan dalam rangka mempersiapkan suatu negara menjadi merdeka, maka selanjutnya adalah mengesahkan rumusan tersebut sebagai hukum dasar atau konstitusi. Fase ini sangat penting, sebab konstitusi yang telah dirumuskan itu, merupakan syarat utama dari suatu negara yang akan memproklamasikan kemerdekaanya, sehingga mendapat pengakuan dari negara lain. Dalam mencapai tujuan nasionalnya suatu negara selalu akan menghadapi berbagai rintangan baik yang datang dari dalam maupun dari luar negeri, bersifat langsung maupun tidak langsung. Rintangan dan ancaman tersebut harus dihadapi oleh seluruh rakyatnya, tentu saja sesuai dengan kemampuan dan profesinya masing-masing.32 Setiap warga negara yang telah membentuk negara, dimana saja dan kapan saja mempunyai keinginan dan kepentingan untuk melangsungkan hidupnya serta mencapai tujuan nasionalnya. Untuk keperluan itu setiap bangsa mendambakan partisipasi aktif dari seluruh warga negaranya. Partisipasi warga negara untuk 32
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1987, hlm. 316.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
23
tercapainya tujuan nasional serta kelangsungan hidupnya tidak bisa muncul begitu saja secara optimal, tanpa usaha. Indonesia menjadi suatu negara yang merdeka yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tentu melalui proses perjuangan yang sangat lama dan tidak terbentuk seketika. Perjuangan itu setidaknya telah menguras tenaga, pikiran sampai kehilangan nyawa. Perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya mempersatukan seluruh wilayah Nusantara telah dimulai sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Perjuangan itu diteruskan hingga mencapai puncak-puncaknya yaitu diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tahun 1928, dan diwujudkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.33 Sejarah pembelaan negara Indonesia, sejak zaman penjajahan telah banyak memberikan pengalaman untuk menyusun suatu sistem pembekalan negara yang mampu menanggulangi setiap ancaman, tantangan, hambatan serta gangguan terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila. Kesadaran untuk mempertahan negara dan bangsanya itu sesungguhnya telah dimiliki oleh seluruh rakyat, hal ini dijadikan sebagai modal untuk merumuskan konsepsi bela negara dari rintangan dan ancaman yang datang dari luar negeri.
33
Sunarso dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Yogyakarta: Uny Press, 2006, hlm. 107.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
24
G. Metode dan Pendekatan Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian sejarah pada dasarnya memiliki tahapan yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber, (3) verifikasi, (4) interpretasi, (5) penulisan.34 Untuk lebih jelas dapat diliat di bawah ini: a. Pemilihan Topik Pemilihan topik merupakan langkah pertama dalam penulisan sejarah. Syarat yang penting dalam pemilihan topik yaitu kedekatan intelektual dan kedekatan emosional. Kedekatan intelektual yaitu penulis memiliki kemampuan yang memadai untuk membahas topik yang akan ditulis. Sedangkan kedekatan emosional adalah ketertarikan penulis pada topik yang diambil. Apabila penulis memiliki kompetensi yang memadai dan tertarik pada topik tersebut sangat tinggi, maka penelitian sejarah yang dilakukan akan terasa menyenangkan. Penulis memiliki kedekatan intelektual dan emosional pada topik “Soegijapranata: Mengabdi Gereja dan Negara (1940-1949). Penulis memilih topik biografi dari Mgr. Albertus Soegijapranata, karena penulis merasa tertarik atas kepribadian sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik Indonesia pertama yang dipilih dari kalangan pribumi dan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Banyak usaha-usaha yang Soegijapranata lakukan untuk mengabdi gereja dan negara pada masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional. Penulis merasa senang pada topik tersebut. Dalam pemilihan topik juga harus memiliki nilai , topik yang akan diteliti harus memberikan makna dan kesan tersendiri bagi para 34
Kuntowijoyo, pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005, hlm. 89
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
25
pembaca kelak dan harus berdasarkan pengalaman manusia yang dianggap penting dan dapat membawa perubahan. b. Pengumpulan Sumber Setelah pemilihan topik dilakukan, tahap berikutnya adalah pengumpulan sumber (heuristik). Pengumpulan sumber harus relevan dan sesuai berdasarkan dengan topik yang akan ditulis. Ada beragam jenis sumber yaitu sumber tertulis, sumber lisan, benda tinggalan, dan sumber kuantitatif.35 Pada penelitian ini penulis menggunakan sumber yang berupa buku-buku terkait dengan topik yang akan dibahas. c. Kritik Sumber (Verifikasi) Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk mendapatkan otentisitas dan kredibilitas sumber. Yang maksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodologi sejarah untuk mendapatkan objektivitas suatu kejadian.36 Umumnya kritik sumber dilakukan terhadap sumber-sumber pertama Kritik ini meliputi verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah ada dua jenis kritik sumber, yaitu kritik eksternal (otentisitas dan integritas) dan kritik internal.37 Yang sering digunakan yaitu kritik internal, karena kritik internal ditujukan terhadap isi dari suatu sumber sejarah. Apakah isi yang ada dalam sumber itu memang dapat dipercaya atau tidak. Untuk itu yang harus dilakukan adalah membandingkan kesaksian antar berbagai sumber.
35
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm. 24. Ibid., hlm. 35. 37 Idem., hlm .103-104. 36
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
26
Sumber yang dipergunakan pada penelitian ini adalah buku-buku yang membahas mengenai kehidupan Soegijpranata, buku-buku yang membahas peristiwa ataupun situasi Indonesia, khususnya Vikariat Apostolik Semarang pada periode 194401949 dan buku-buku lain yang dapat membantu dalam penelitian ini. Teknik yang digunakan peneliti adalah studi teks yang juga didukung dengan studi pustaka. Sehingga data-data yang dipergunakan untuk penelitian mengenai Soegijapranata Mengabdi Gereja dan Negara dalam periode 1940-1949 adalah berupa sumber tertulis. Sumber-sumber tertulis yang dipergunakan ialah tulisan-tulisan dari para peneliti lain yang juga pernah meneliti mengenai kehidupan Soegijapranata. Selain untuk sebagai sumber penulisan, teks-teks tersebut juga digunakan untuk membandingkan penelitian-penelitian mengenai Soegijapranata yang telah ada sebelumnya, dengan penelitian yang akan dilakukan ini. Selain menggunakan sumber-sumber penulisan dari para peneliti lain, penelitian ini juga menggunakan majalah yang pernah memuat tulisan mengenai Soegijapranata. Data-data yang telah berhasil diperoleh kemudian akan dibandingkan sesuai dengan konteks Zaman di masa itu. Data-data tersebut akan ditelaah dan dibandingkan dengan data-data lainnya yang berkaitan dengan topik dan tema dalam penelitian ini. d. Interpretasi Interpretasi juga sering disebut penafsiran data. Data yang telah diperoleh dari sumber kemudian diinterpretasi. Terdapat dua macam interpretasi yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan). Fakta-fakta yang telah diperoleh melalui sumber kemudian diinterpretasi menjadi rangkaian peristiwa
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
yang dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian
27
intrepretasi data tersebut
menjadi kuat karena berdasarkan data yang relevan. e. Penulisan Sejarah ( Historiografi) Penulisan sejarah memiliki tiga bagian penting yang harus diperhatikan yaitu pengantar, hasil penelitian, dan kesimpulan. Dalam pengantar dijelaskan latar belakang topik yang diteliti, kemudian dalam hasil penelitian akan dijelaskan hasil penelitian yang diperoleh oleh penulis dan kesimpulan yaitu melakukan generalisasi dari bab-bab sebelumnya. 2. Pendekatan Penelitian Sejarah sebagai ilmu sosial tidak bisa berdiri tanpa bantuan ilmu sosial yang lain. Maka dari itu sejarah meminjam ilmu sosial yang lain agar penelitian sejarah lebih jelas. Pendekatan menjadi sangat penting, sebab dari pendekatan yang mengambil sudut pandang tertentu akan menghasilkan kisah kejadian tertentu.38 Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan sosial dan pendekatan politik . a. Pendekatan Sosial Pendekatan sosial adalah pendekatan yang mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Selain itu, dapat juga diartikan sebagai pendekatan yang mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Dalam pendekatan ini akan dilihat kembali keakraban dan loyalitas Soegijapranata dalam membantu rakyat Indonesia masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional.
38
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hlm .37.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
28
b. Pendekatan politik Pendekatan politik merupakan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan-kebijakan politik. Pendekatan politik digunakan untuk melihat kehidupan politik khususnya masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional di Indonesia. Pendekatan politik juga digunakan untuk melihat kembali perjuangan Soegijapranata dalam melawan penjajah masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional sebagai Uskup Indonesia pertama.
G. Sistematika Penulisan Penulisan Skripsi yang berjudul “Soegijapranata: Mengabdi Gereja dan Negara (1940-1949)”, mempunyai sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I
Berupa pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian dan pendekatan, serta sistematika penulisan.
Bab II
Bab ini menyajikan uraian tentang latar belakang Soegijapranata mengabdi Gereja dan negara
Bab III
Bab ini menyajikan uraian tentang Soegijapranata dalam mengabdi Gereja .
Bab IV
Bab ini menyajikan uraian tentang Soegijapranata dalam mengabdi negara
Bab V
Bab ini menyajikan kesimpulan yang berisi tentang jawaban-jawaban permasalah yang ada dalam bab II, III, dan IV
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB II LATAR BELAKANG SOEGIJAPRANATA MENGABDI GEREJA DAN NEGARA
A. Masa Kecil Soegijapranata Soegijapranata dilahirkan di Surakarta pada tanggal 25 November 1896 sebagai anak kelima dari sembilan bersaudara dari keluarga Karijosoedarma. Berhubungan situasi zaman pada waktu itu, angka kematian bayi masih tinggi, dari sembilan anak tersebut hanya beberapa saja yang selamat. Soegijapranata termasuk salah satu diantaranya yang selamat.39 Sebagaimana adat kepercayaan masa itu agar seorang anak dapat selamat dan tumbuh sehat, seorang bayi yang baru lahir juga menjalani ritus pembuangan di pawuhan.40 Soegijapranata kecil pun mengalami hal tersebut. Kisah ritus pembuangan bayi semacam itu dengan maksud agar kelak dapat menjadi anak yang sehat tanpa gangguan apapun. Kemudian bayi tersebut diberi nama Soegija yang diambil dari kata“Soegih”dengan harapan agar kelak dia menjadi orang yang kaya akan kepintaran dan juga kaya akan harta benda. Itulah yang menjadi dambaan dari kedua orang tuanya. Maklumlah keluarga Karijosoedarma sebagai abdi dalem Keraton bukan tergolong keluarga yang dapat hidup dengan serba kecukupan, bahkan untuk menambah penghasilannya ibu Karijosoedarma berjualan stagen
39
Muskens Pr, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 3, Ende-Flores: Arnoldus, 1974, hlm. 886. Pawuhan memiliki arti yaitu tempat sampah .
40
29
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
30
dan nila.41 Maka wajar bila bayi kecil Soegijapranata diharapkan kelak dapat menjadi orang yang kaya, tidak seperti orang tuanya yang agak jauh dari kekayaan. Sejak kecil Soegijapranata mendapat didikan dari ayahnya dalam bidang seni tradisional khususnya berkaitan dengan kebijaksanaan hidup lewat kesenian, seperti lewat tembang.42 Tembang-tembang dilatihkan setiap malam, dengan membaca buku tembang, mengajarkan berbagai watak kesatria terhormat dan nilai luhur yang perlu dimiliki oleh seorang pribadi. Berkaitan dengan pembinaan olah seni, selain tembang sejak kecil Soegija sudah pandai memukul gamelan dan mempunyai minat besar terhadap kebudayaan Jawa. Dari pihak ibunya Soegijapranata mendapat pendidikan keluhuran budi dengan mengatur rasa dan kehendak serta tahu sopan santun. Hal tersebut diperoleh melalui pengajaran bahasa Jawa dengan penggunaan kaidah-kaidah yang memperhatikan tingkatan-tingkatan tertentu dari lawan bicara misalnya dengan teman sebaya, orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajat sosialnya. Ada satu latihan sikap luhur lain yang diajarkan, yakni sikap memegang janji terhadap perkataan yang diucapkan.43 Pendidikan di dalam keluarga dan masyarakat inilah yang memperkaya Soegijapranata sebagai seorang pribadi santun, lincah bergerak, mudah bergaul, sekaligus memiliki kenakalan dan kekritisan tertentu. Hal tersebut terekam dalam berbagai kesan dari sejumlah orang. 41
Henrica Moer Yantini CB, Mgr. Albertus Soegijapranata S.J, Ende Flores: Nusa Indah, 1975, hlm. 13. 42 Tembang adalah lirik atau sajak yang mempunyai irama nada sehingga dalam bahasa Indonesia biasa disebut sebagai lagu. Kata tembang berasal dari bahasa Jawa yaitu tembang. 43 Budi Subanar, Soegija Si Anak Betlehem Van Java, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 22.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
31
Pada tahun 1900 keluarga Karijosodarma pindah ke Yogyakarta, dan tinggal di daerah Wirogunan. Pihak lain yang mempengaruhi pengalaman keagamaan Soegija adalah seorang sahabat sekolah, sahabat karibnya yang alim. Teman itu setiap kali mengajarkan bahasa Arab dan menceritakan tentang kisah Nabi kepada Soegijapranata serta norma-norma hidup sebagai seorang Muslim. Sikap sahabat itulah yang membangun sikap simpatinya. Pergaulan tersebut sekaligus membangun suatu benteng dalam menghadapi lingkungan hidup di Yogyakarta yang kurang mendukung untuk pembentukan pribadi yang kokoh. Saat itu situasi Yogyakarta pada masa kecil Soegijapranata dapat digambarkan sebagai berikut: “Di sini (Yogyakarta) murid-murid usianya antara 8-20 tahun. Maka sekalipun duduk di Sekolah Dasar namun percakapan mereka sudah sangat kotor dan tidak pantas didengar. Lebih-lebih karena keadaan di Kota Yoyakarta pada waktu itu memang sangat buruk. Baik dikalangan bangsawan Keraton maupun maupun di kampungkampung, penghargaan orang terhadap nilai-nilai susila pada umumnya sangat merosot. Terutama di kalangan masyarakat atas pada waktu itu menjadi mode untuk memelihara selir dan pemuda rupawan.”44 Di samping berkawan dengan teman yang alim, Soegijapranata juga berkawan dengan teman-teman yang “bandel”. Saat itu pula Soegija telah merasakan adanya diskriminasi di antara anak muda. Sinyo-sinyo Belanda merasa kedudukanya lebih tinggi dari pada anak muda pribumi. Tidak jarang kejengkelan Soegijapranata tercetus dalam bentuk tantangan berkelahi, baik secara sendirian maupun secara bersama-sama atau “keroyokan”. Bila dalam perkelahian tersebut kalah, maka Soegijapranaata mencari cara lain untuk memukul lawannya yaitu dengan menantang main bola karena dalam permainan ini paling sedikit dia masih 44
Pengakuan I.J.Kasiomo dalam Tim Wartawan Kompas dan Redaksi Penerbit Gramedia, I.J.Kasimo: Hidup dan Perjuangan, Jakarta: Gramedia, 1980 , hlm.10.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dapat memukul
32
lawan-lawannya.45 Di Yogyakarta diantara teman-temannya
Soegijapranata terkenal berani, dan tidak ada seorang anakpun yang luput dari gangguan dan ejekan bila berani mendekati Soegijapranata. Dalam jalur pendidikan formal, Soegijapranata menempuh Sekolah Rakyatnya di dua tempat. Disebut Sekolah Rakyat karena berlangsung antara dua sampai empat tahun.46 Pada tahun 1906 Soegijapranata menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Ngabean, sebuah sekolah yang berada di dekat rumahnya, suatu sekolah yang diselenggarakan pada siang hari. Pada tahun 1960 ketika ada Sekolah Rakyat di Wirogunan yang diselenggarakan pada pagi hari, Soegijapranata pindah sekolah ketempat baru. Pendidikan di Sekolah Rakyat tersebut hanya berlangsung sampai kelas tiga. Ketika di Lempuyangan mulai di buka Hollandsch Inlandsche School (HIS)47 suatu sekolah tingkat pendidikan dasar, tetapi mulai diperkenalkan penggunaan bahasa Belanda, Soegijapranata melanjutkan ke sekolah tersebut pada tahun 1907.
B. Soegijapranata Sekolah di Muntilan Soegijapranata Sejak kecil telah memiliki sifat-sifat yang berani, jujur dan tabah disamping berbagai bakat yang ditunjang oleh kecerdasan otaknya.48 Namun demikian, tentulah keberanian, kecerdasan, dan bakat-bakat itu perlu 45
Budi Subanar, op., cit. hlm. 25. Ibid., hlm. 26. 47 Hollandsch Inlandsche School disingkat HIS, sekolah yang diselenggarakan terbatas untuk anakanak golongan atas pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Sekolah ini pertama kali didirikan pada tahun 1914, sebagai hasil reorganisasi Sekolah kelas 1.Tingkat pendidikan yang diberikan kurang lebih setara dengan pendidikan ELS (Europesche Lagere School)tanpa pelajaran bahasa Prancis.Pendidikan berlansung selama tujuh tahun dengan bahasa pengantar utama bahasa Belanda. 48 Dokumen, In Memorian Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Yogyakarta: Ignatius College. 1963, hlm.9. 46
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
33
untuk dikembangkan sehingga dapat berguna sebagaimana yang diharapkan. Untuk mengembangkan diri, seseorang memerlukan bimbingan dari orang lain yang lebih dewasa. Sehubungan dengan itu, Soegjapranata sebagai anak pribumi mendapatkan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang tidak mudah diperoleh di masa penjajahan waktu itu. Pada tahun 1909 Soegijaprantana bertemu dan berkenalan dengan seorang pastor yang ketika itu sedang mencari calon murid-murid untuk dididik di sekolah guru yang sedang didirikannya di Muntiln. Pastor yang dimaksud ialah Frans Van Lith S.J. Perkenalannya dengan menyebar agama Katolik di Jawa Tengah itu agaknya telah sangat menentukan perjalanan hidup Soegijapranata dalam mengabdi Gereja dan Negara. Pada tahun 1909 pendidikan selanjutnya dijalani di Muntilan. Berkaitan dengan sekolah di Muntilan yang dirintis oleh Romo Van Lith, Soegijapranata mengalami dua kontak. Kontak pertama, Ketika Soegijapranata sudah berada pada kelas tertinggi di Sekolah Rakyat Wirogunan, Soegija bertemu dengan Romo Van Lith yang berkunjung ke sana. Romo Van Lith memang sering pergi mencari murid untuk sekolah baru yang dirintisnya lewat kunjungan-kunjungan yang dilakukannya ke berbagai sekolah di daerah Yogyakarta dan di daerah-daerah lain. Dalam pertemuan itulah Soegijapranata menyatakan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di Muntilan. Kontak kedua dialami Soegijapranata melalui cerita tentang sekolah tersebut lewat seorang mantan gurunya. Mantan Gurunya tersebut menceritakan pengalamannya mengajar di Muntilan melalui beberapa surat yang dikirimkan kepada para muridnya yang berada di Yogyakarta. Di dalam suratnya, mantan gurunya
tersebut bercerita tentang pengalamannya,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
34
tentang tingginya mutu yang diajarkan di Muntilan, dan tidak memaksa agama.
49
Kedua hal itulah yang mulai mengesan pada diri Soegijapranata. Bapak Karijosoedarma menjadi heran waktu mendengar bahwa Putranya akan masuk sekolah Kristen, tetapi Soegijapranata menanggapi keheranan orang tuanya dengan menegaskan bahwa meskipun akan bersekolah di sekolah Kristen tetapi tidak akan menjadi Kristen, Soegijapranata hanya ingin memperoleh pengetahuan dan agar kelak dapat menjadi guru untuk memajukan bangsanya. Sikap yang jelas dari Soegijapranata tersebut dengan tegas sekali ditekankan waktu dia sampai di Muntilan. Dia menghadap Romo J.A.A. Mertens. Rektor Kolose Muntilan, dan mengatakan bahwa dia tidak mau dipermandikan serta tidak mau menjadi Katolik, dan bahwa kedatangannya di Muntilan hanya ingin melanjutkan sekolah untuk menjadi guru. Soegijapranata ingin melanjutkan sekolah di bawah asuhan romo-romo Belanda. Dan hal itu ia harus hidup terpisah dari orang tuanya karena sekolahnya di Muntilan, selain itu Soegijapranata harus menjalani hidup di asrama. Kedatangan
Soegijapranata
di
Muntilan
pada
tahun
1909
akan
mengakibatkan perubahan total dalam pribadinya. Di asrama Muntilan, Soegijapranata
termasuk
mengherankan
bahwa
anak sejumlah
yang
disegani
teman
teman-temannya.
seniornya
berusaha
Tidak
mengajak
Soegijapranata untuk menjadi Katolik. Pada permulaan tinggal di asrama Soegijapranata sangat dekat dengan salah seorang Romo yaitu Romo L. Van Rickjevorsel. Karena kedekatannya itu, Soegijapranata pernah bertanya berapa
49
Ibid., hlm. 28.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
35
gaji yang diterima oleh Romo tersebut. Ternyata jawaban yang diterima menyatakan bahwa Romo tidak menerima gaji. Para romo merasa senang karena boleh mempersiapkan anak-anak muda untuk kebaikan dan kebahagian masa depan mereka, Romo tesebut masih menambah “dengan cara demikian berarti ada dua hal dilakukan, yakni mengabdi kepada sesama sekaligus merupakan pengabdian kepada Tuhan.”50 Pengakuan Romo tersebut memberikan suatu pengetahuan lain kepada Soegijapranata sehingga membawa perubahan dalam dirinya, terlebih sikap dan perlakuan yang baik dari romo-romo staf terhadap Soegijapranata, termasuk menerima pernyataan Soegija yang tidak bersedia menjadi Katolik. Hal-hal itu membuat Soegijapranata merasa aman tinggal di Muntilan. Dalam suasana tersebut, Soegijapranata mulai menemukan suatu yang baik dalam lingkungan Katolik yang baru saja dikenalnya. Kekatolikan yang ditanamkan dan menjiwai Soegijapranata serta kawankawanya tidak dipisahkan dari akar kejawaan dan masa remaja yang tengah dialami mereka. Justru dalam identitas kejawaan, kekatolikan anak-anak itu diperkembangkan. Sejalan dengan cara pikir anak-anak Jawa yang banyak diwarnai oleh cerita wayang yang memenuhi fantasi mereka, Romo Van Lith bercerita tentang kisah-kisah Rama dan Kresna yang menjadi titisan Visnu. Dengan fantasi mereka, anak-anak diajak mengembara dengan kisah-kisah tersebut, bahkan diperkaya dengan fantasi dari cerita benua-benua lain. Sungguh, akar identitas anak-anak diperdalam sekaligus cakrawalanya dibuka dan
50
Budi Subanar, op., cit. hlm.35.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
36
diperkembangkan lewat kisah-kisah yang diceritakan oleh Romo Van Lith. Melalui berbagai hal, anak-anak diperkenalkan pada tradisi dan pemikiran kristiani. Dalam perayaan Ekaristi, anak-anak diajak mengenali, mencecapi, serta mengakarkan landasan hidup rohani. Jiwa nasionlisme Soegijapranata tumbuh berkat didikan Romo Van Lith dan Pater Van Driessche SJ yang menanamkan rasa cinta tanah air dan patriotisme di tengah situasi penjajahan. Bersama anak-anak asrama yang lain, Soegijapranata juga diperkembangkan sesuai dengan jiwa remajanya. Dalam jiwa kemudaaan, mereka sekaligus dilatih untuk sportif dan berani mengakui kesalahan. Romo Van Lith menciptakan keakraban yang sehat diantara
mereka dan menciptakan
suasana agar anak berusaha untuk saling membela diri sehingga dapat membangun kesadaran sebagai suatu bangsa yang mempunyai harga diri. Pater van Lith pernah berkata "selagi orang Jawa mau berteriak, mereka masih bisa ditolong. Namun, jika mereka tutup mulut, hampir tidak ada obatnya, dan kamu harus waspada."51 Soegijapranata sangat terkesan dengan nasihat perihal mekanisme penegakan harga diri orang Jawa ini.Semangat yang mendasari perjuangan Romo Van Lith dalam merintis karya pendidikan bagi kaum pribumi tampak dihayati, dimiliki dan dijunjung tinggi oleh Soegijapranata serta kawankawannya. Semangat dan nilai luhur yang diperjuangkan oleh Romo Van Lith antara lain: rasa toleransi, disiplin pribadi, kejujuran, kesederhanaan, pengabdian tanpa pamrih, nasionalisme, dan sebagainya. Dalam mendidik para murid,Romo Van Lith menekankan pentingnya memperjuangkan martabat manusia yang di
51
Budi Subanar, op., cit. hlm.45.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
dalamnya
termasuk
memperjuangkan
kesejajaran
antar
manusia
37
serta
membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan. Berbagai kegiatan diikuti Soegijapranata dan kawan-kawannya. Pada pagi hari ia mengikuti kegiatan belajar di kelas, sore hari ia berkebun dan melakukan kegiatan seni serta kegiatan lain, malam hari, ia masih melanjutkan kegiatan belajar dan semuanya berjalan seimbang. Setelah sekian waktu berada di asrama, suatu saat Soegijapranata menyatakan keinginannya untuk mengikuti pelajaran agama Katolik. Hal tersebut diungkapkan kepada Romo Mertens selaku pimpinan asrama
Muntilan.
Romo
Mertens
tidak
segera
mengiyakan
keinginan
Soegijapranata, namun untuk mengikuti pelajaran agama Katolik perlu izin dari orang tua.Alasan Soegijapranata untuk mengikuti pelajaran agama Katolik adalah karena merupakan bagian dari pembentukan yang ditawarkan Kolese Xaverius. Alasan itulah yang membuat Romo pimpinan mengizinkan Soegijapranata bergabung bersama teman-teman Katolik mengikuti pelajaran agama. Tiga bulan setelah mengikuti pelajaran agama, Soegijapranata menemui lagi Romo pimpinan asrama. Kali itu Soegijapranata mengungkapkan permintaan supaya ia diperbolehkan menerima babtisan. Sebuah jawaban seperti sebelumnya diperoleh Soegijapranata dari Romo rektor Kolese bahwa untuk itu Soegijapranata perlu mendapatkan izin dari orang tua. Lalu Soegijapranata mengusahakannya, akan tetapi orang tuanya tidak mengizinkan keinginan Soegijapranata. Suatu keinginan yang muncul dari dalam diri dan larangan dari orang tua menjadi bahan permenungannya. Pada hal Romo rektor juga menghendaki adanya izin orang tua. Akan
tetapi,
penjelasan
para
Romo
tentang
misteri
Tritunggal
yang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
38
memperkayanya semakin mengisi khazanah batin Soegijapranata. Itulah yang makin menguatkan keinginan Soegijapranata untuk dibabtis. Sampai suatu saat Soegijapranata menghadap Romo mertens lagi, Soegijapranata mengemukakan kisah yang dialami Yesus ketika ia mengalami keterpisahan dari orang tuaNya saat berziarah ke Yerusalem. Pada Saat itu Yesus berusia 13 tahun. Yesus memberikan jawaban yang membuat orang tuaNya merenung ketika menemukan Yesus yang hilang. Ibu-Nya bertanya, ”Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” Yesus menjawab, “ Mengapa kamu mencari aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku berada dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk 2:4-52).52 Dengan kisah Yesus itulah Soegijapranata menyakinkan Romo Mertens untuk boleh menerima babtisan. Soegija sampai pada keputusan untuk meminta supaya Soegijapranata dibolehkan menerima babtisan. Risiko yang akan terjadi akan dihadapinya. Atas sikap dan pandangan itulah Romo Mertens mengizinkan Soegijapranata menerima babtisan. Sakramen Babtis diterima Soegijapranata pada tanggal 24 Desember 1910. Nama permandian yang dipakai adalah Albertus. Pada masa liburan Natal, peristiwa pembabtisan atas dirinya disampaikan Soegijapranata kepada orang tuanya disertai dengan permohonan maaf karena Soegijapranata telah menentang kehendak orang tua. Sang ayah dengan prinsip kejawaanya yang berpandangan bahwa semua agama itu baik akhirnya menyetujui apa yang telah dilakukan anaknya. Di tengah suasana kegembiraan keluarga besar, pada suatu kesempatan, seorang dari keluarga besar itu mengajukan pertanyaan terbuka kepada Soegijapranata bahwa apakah benar Soegijapranata telah menjadi 52
Ibid., hlm .40.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
39
Katolik. Saat itu suasana menjadi hening dengan adanya pertanyaan tersebut. Dengan segala keberanianya sebagai seorang anak, Soegijapranata membenarkan pertanyaan itu, “Ya, saya sekarang telah menjadi orang Kristen, saya telah dibabtis menjadi Katolik.”53 Tahun 1915, Soegijapranata telah menyelesaikan masa belajarnya di Kolose Xaverius. Kemudian Soegijapranata menjalani praktik sebagai guru selama 1 tahun, dan bertugas mengajar di almamaternya. Selesai menjalani tugas mengajar, Soegijapranata menyatakan keinginannya menjadi imam. Kemudian mulailah ia dengan tahap pendidikan di Seminari Menegah. Mulai 1916, menjalani suatu babak baru dalam kehidupannya yaitu menjadi murid Seminari Menengah di tengah Kolose Xaverius Muntilan. Untuk itu selama 3 tahun, Soegijapranata bersama dengan B. Sumarno dan Hardjasuwondo mempelajari bahasa Yunani, Latin, Prancis serta mendalami bahan-bahan kesusastraan untuk mempersiapkan diri memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.
C. Soegijapranta Masuk Serikat Jesuit Periode persiapan bahasa latin sudah dilalui, penyusaian diri terhadap berbagai situasi yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari sudah dijalani. Kini Soegijapranata memasuki babak baru, tepatnya tanggal 27 September 1920, Soegijapranata mulai menjalani masa Novisiat. Soegijapranata satu-satunya Novis Jawa yang masuk 1920. Novisiat itu terletak di Mariendaal, Grave, Belanda. Masa Novisiat Soegijapranata, sebagaimana pada umumnya, dijalani selama dua tahun.
53
Ibid., hlm .41.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
40
Pada masa Novisiat itu juga, Soegijapranata menerima jubah untuk pertama kalinya. Dalam rentang waktu tiga tahun berikutnya, 1923-1926 Soegijapranata menjalani studi filsafat. Setelah menyelesaikan studi filsafat pada pertengahan tahun 1926, Soegijapranata diutus kembali Ke Jawa. Soegijapranata ditugaskan untuk mengajar di almamaternya di Muntilan. Soegijapranata selalu menyampaikan ungkapan yang senantiasa dikenangnya itu:
Menyampaikan hak-hak putra Allah yang merdeka, mendidik menjadi ahli waris Yesus.” Cinta kasih satu sama lain; mau mengampuni dan membuang jauh-jauh iri hati, kebencian dan mendiamkan sesama, itulah keutamaan yang ditanamkan dalam berkarya.54 Kedatangan kembali Soegijapranata pada tahun 1926 tentu dengan banyak perubahan yang dialaminya. Pengajaran lain yang ditangani Soegijapranata adalah mengajar agama Katolik. Setelah meninggalnya Romo Van Lith terliat jelas bagimana kekristenan yang ditularkan kepada Soegijapranata begitu tertanam. Beberapa hal yang dikenangnya terumus dalam ungkapan berikut: “Menyampaikan kepada kita hak-hak putra Allah yang merdeka, mendidik kita menjadi ahli waris bersama Yesus Kristus, itulah citacita beliau: supaya kita menjadi orang dewasa yang bisa bekerja dengan berdikari, yang tahu berkorban, yang berani membela hak-hak sendiri dan hak-hak agama mereka, itulah kerasulan yang dicintainya. Anak-anaknya harus berkembang menjadi orang Katolik yang tulen dan kuat, dengan mempertahankan dan meningkatkan apa yang baik dalam watak bangsa Jawa”55 Semangat yang telah dimulai Romo Van Lith itulah yang dilanjutkan oleh Soegijapranata untuk menanamkan kekristenan dalam diri orang-orang muda Jawa yang dilayaninya. Hal itulah yang dilakukan dalam kiprah pengajaran dan 54
Sr.M. Patrice, OSF dkk,Pendidikan Religiositas Menjadi Anak Imam Yang Terbuka, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004. Hlm. 31. 55 Dokumen “Van Lith: Pembuka Pendidikan Guru di Jawa. Sejarah 150 tahun Serikat Jesus di Indonesia
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
41
pendidikan di Kolose Xaverius Muntilan. Disamping mengajar, Soegijapranata bertugas mendampingi para murid dengan aktivitas yang mengembangkan kecintaan terhadap budaya seperti belajar gamelan dan menari. Hal tersebut cukup merangsang pertumbuhan cinta dan bangga pada kebudayaan yang dimiliki. Di luar kegiatan mengajar di kelas dan mendampingi anak dalam kehidupan dan kegiatan asrama, Soegijapranata masih mempunyai satu tugas lain. Sesuai dengan bakatnya dalam bidang tulis menulis Soegijapranata menjadi pimpinan majalah Swaratama.56 Dalam majalah Swaratama inilah keperihatinannya terhadap berbagai hal banyak dituangkan dalam bentuk tulisan. Salah satu ungkapan yang ia tuliskan dalam majalah Swaratama tersebut berbunyi: “Setiap bangsa harus berkembang dengan pemerintahannya sendiri”57. Artikel-artikel yang ditulis Soegijapranata meliputi berbagai topik diantaranya masalah sosial, budaya, agama, sampai dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan komunis. Dengan menjabat redaktur Swaratama, bakat tulis menulisnya
makin
tersalur dan semangat kebangsaan Soegijapranata terus menguat. Hal ini antara lain tampak pada, keterlibatannya dalam mengembangkan majalah Swaratama, yang tidak pernah berhenti menyuarakan aspirasi-aspirasi kebangsaan. Seperti pernyataan yang ditulisnya dalam Swaratama edisi No. 29/VII, 5 Agustus 1927 tentang pemberontakan kaum komunis di Banten pada bulan November 1926 juga tidak terlepas dari komentar Soegijapranata. Pernyataannya antara lain berbunyi:
56
Majalah Swaratamaadalah sebuah terbitan yang semula merupakan sebuah forum komunikasi untuk alumni Kolese Xaverius sendiri. Tujuan Swaratama adalah sebagaimana terumus dalam terbitan No.34/VI, September1926 berbunyi, antara lain: Untuk menjelaskan ajaran Katolik guna melawan ajaran-ajaran lain yang mengaburkan.
57
Sr. M. Patrice, Op. Cit, hlm. 31.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
42
“Selama komunis ada, pemberontakan tidak akan pernah berakhir. Tidaklah mudah untuk begitu saja menghilangkan pengaruh komunis ini. Karenanya dibutuhkan sesuatu yang lain yang dapat menghilangkan pengaruhnya. Untuk menjaga terhadap pengaruh komunis, hal yang perlu adalah menunjukan dedikasi yang terus menerus dan setia berpegang pada moralitas.” 58
Dalam kaitan dengan perjuangan suatu bangsa untuk memperoleh kemerdekaan, Soegijapranata juga menuangkan gagasannya. Sebagaimana terlihat dalam sebuah tulisannya dalam Swaratama edisi No. 27/VIII, 29 Juli 1928. “Secara sederhana dirumuskan, setiap bangsa harus berkembang dengan pemerintahannya sendiri. Adalah mudah bagi suatu pemerintahan untuk mengatur suatu bangsa yang homogen dari pada mengatur bangsa yang beragam dan heterogen. Keberadaan bangsa dan negara didasarkan pada hukum kodrat. Sebelum suatu bangsa dipersatukan dalam pemerintahan sebuah negara, bangsa tersebut sudah dipersatukan oleh karakternya, kebiasan-kebiasaanya, citacitanya, bahasa, dan asal usulnya. Karenanya, kodrat suatu bangsa menjadi landasan utamanya. Sedangkan pemerintahan dibentuk untuk mengatur, dan bukan sebaliknya. Karennya adalah hak suatu bangsa untuk memiliki kemerdekaanya. Dengan demikian, kemerdekaan negara dan pemerintahan adalah sarana untuk mengatur dalam mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan pemerintah”.59 Tema-tema tulisan itu adalah cerminan keprihatinan Soegijapranata yang dalam kiprahnya mendatang ketika Soegijapranata telah ditahbiskan dan berkarya sebagai imam dan menjadi Vikaris Apostolik Semarang diwujudkan secara nyata dalam berbagai gerakan umat dalam masyarakat. Soegijapranata mengatakan bahwa meskipun Swaratama terang-terangan memakai identitas Katolik tetapi dijamin tak akan “menyuruh orang berkalung tasbih (rosario) dan mendali-mendali suci sambil komat kamit di sepanjang jalan.”60 Apa yang dimuat dalam majalah Swaratama diharapkan berguna bagi
58
Budi Subanar, Op., cit.hlm. 85. Ibid.,hlm. 87. 60 Budi Susanto, Harta dan Surga, Yogyakarta: Kanisius ,1990, hlm.83. 59
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
43
hidup rohani jasmani secara Katolik bagi setiap pembaca di tempat manapun juga, dalam suasana apapun, tanpa membeda-bedakan pangkat dan asal usul. Setelah menjalani dua tahun praktik kerja di Kolose, pada akhir Agustus 1928 Soegijapranata kembali ke Belanda. Hal ini untuk menjalani tugas studi teologi. Studi teologi tersebut dijalani Soegijapranata di Maastrich. Dalam masa studi tersebut, Soegijapranata sempat juga terlibat dalam pertemuan dengan sejumlah pemuda Indonesia seperti Moh. Hatta yang saat itu telah mulai membentuk Perhimpunan Indonesia (PI).61 Kelompok perhimpunan Indonesia itulah yang pada tahun 1918 terlibat dalam usaha semakin mengkukuhkan sebutan Indonesia sebagai ganti Malay dalam kancah percaturan politik. Kemudian dikokohkan lagi dengan adanya Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Sebelumnya istilah Indonesia hanya dipergunakan dalam lingkup geografi sebagaimana telah dirintis pengunaannya oleh sejumlah ilmuwan Inggris sekitar tahun 1950-an. Kemudian Adolf Bastian, seorang ahli etnografi berkebangsaan Jerman pada tahun 1884 dengan judul Indonesian oder die Inslen des Malaiisschen Archipels (Indonesia atau pulau-pulau dari kepulauan Melayu). Dari situlah kemudian pengertian Indonesia berkembang dan menjadi bagian dari perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaannya sebagaimana juga dilibati oleh pemuda-pemuda pribumi yang belajar di Eropa. Hal tersebut juga memberi pengaruh kepada
61
Perhimpunan Indonesia (PI) berdiri pada tahun 1908 oleh orang-orang indonesia yang berada di negeri Belanda. Pada mulanya perhimpunan indonesia bernama Indische Vereenigng. Kegitannya pada mulanya hanya terbatas pada penyelenggaraan pertemuan sosial dengan para anggota ditambah dengan sesekali mengadakan pertemuan dengan orang-orang belanda yang banyak memerhatikan masalah indonesia,antara lain Mr. Abenendanon, Mr. Van Deventer, dan Dr. Snouck Hurgronye. Organisasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama dari orang-orang yang berasal dari Indonesia, maksudnya orang-orang pribumi dan nonpribumi bukan Eropa, di negeri Beland dan hubunganya dengan orang Indonesia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
44
Soegijapranata sejak awal di Muntilan Sampai masa studi terakhirnya. Dalam pertemuan ini juga tidak terlepas memerhatikan masalah indonesia. Organisasi ini bertujuan untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama dari orang-orang yang berasal dari Indonesia, maksudnya orang-orang pribumi dan non-pribumi bukan Eropa, di negeri Belanda dan hubunganya dengan orang Indonesia. Perhimpuanan Indonesia merupakan bagian dari pergerakan dari pemuda Indonesia yang tengah menjalani studi di Belanda.
D. Soegijapranata Menjadi Imam Belum sampai menyelesaikan masa studi teologinya, bertepatan dengan hari raya Bunda Maria diangkat ke Surga, 15 Agustus 1931, Soegijapranata menerima tahbisan Imam. Sejak menerima tahbisan, Soegijapranata merasa bahwa namanya belum cukup. Ia masih menambahkan
kata
pranata di belakang namanya
sehingga menjadi Albertus Soegijapranata. Soegijapranata meninggalkan Belanda pada 8 Agustus 1933. Setiba kembali ke tanah air, Soegijapranata mendapat tugas sebagi pastor pembantu di Gereja Bintaran Yogyakarta62. Disamping menjadi pastor Bintaran, masih ditambah dengan tugas untuk melayani stasi Ganjuran yang letaknya kurang lebih 13 km di sebelah selatan kota Yogyakarta. Soegijapranata juga menjadi pembimbing dari berbagai macam kelompok kongregasi Maria di Yogyakarta yang anggotanya terdiri dari orangorang Jawa, selain itu Soegijapranata ikut serta dalam kongres Wanita Katolik. Dalam sambutannya, Soegijapranata mengacu pada gambar dekorasi yang
62
Budi Subanar, Op., Cit. hlm.90.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
45
dipasang panitia. Gambar itu berupa Srikandi yang tengah memanah. Bertolak dari gambar dekorasi tersebut, Soegijapranata mengupas makna Srikandi yang memanah, serta implikasi yang dituntut dari kaum perempuan. pesan yang disampaikan Soegijapranata dalam pertemuan tersebut adalah untuk menjadi pribadi yang luwes, ulet, dan tangguh sekaligus berkemaun untuk menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan masa depan. Perhatian Soegijapranata sungguh dirasakan oleh umat. Karya Soegijapranata tidak berhenti melulu sebagai pastor paroki untuk umat pribumi, tetapi Soegijapranata kembali terlibat dengan penerbitan majalah Swaratama, yang tidak berhenti menyuarakan aspirasi-aspirasi kebangsaan. Disamping itu, sejak tahun 1938 Soegijapranata diangkat menjadi penasihat pada komisi yang menangani pelayanan misi Serikat Yesus. Tentu saja seorang penasihat bidang karya misi juga perlu memahami dinamika perkembangan dan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat. Di dalam tugas itulah Soegijapranata mulai mengembangkan wawasan untuk turut memikirkan masalah-masalah besar serta memberikan usulan-usulan yang mungkin dilakukan dalam rangka pengembangan pembinaan iman umat. Dengan cara demikian, lengkaplah gerak pelayanan Soegijapranata. Mulai dari pelayanan Sakramental, dan karya pastoral lain yang langsung berkontak dengan umat, karya jurnalistik lewat penerbitan, sampai dengan karya strategis lewat jabatannya sebagai penasihat untuk karya misi yang memberikan sumbangan pemikiran. Karya tersebut dijalani sampai akhirnya terpilih sebagai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
46
Vikaris untuk Vikariat Apostolik Semarang yang baru mulai dipisahkan dari induknya, Vikariat Apostolik Batavia. Sebelum
pindah
ke
Semarang
sebagai
Uskup,
Soegijapranata
mengungkapkan salah satu rahasia pribadinya. Soegijapranata menyatakan, motifasinya memilih jalan hidup menjadi imam bukanlah melulu alasan religius saja, tetapi juga dorongan rasa nasionalismenya. “Keputusanku untuk menjadi imam itu karena didorong untuk mengabdi bangsa. Saya telah mencari beberapa kemungkinan profesi, tetapi tidak ada yang lebih memungkinkan untuk memuliakan Tuhan dan sekaligus untuk mengabdi bangsa selain menjadi imam.”63
E.Soegijapranata Sebagai Vikaris Apostolik Semarang 1. Pendirian Vikariat Apostolik Semarang Usulan pendirian Vikariat Apostolik Semarang dimulai oleh Mgr. P. Willekens sebagai Vikariat Apostolik Batavia dalam sebuah surat yang ditunjukkan kepada ketua Kongregasi Propoganda Fide di Vatikan, 1 Maret 1940. Dalam suratnya, Mgr. Willekens menyebutkan sejumlah alasan perlunya dibentuk Vikariat Apostolik yang baru. Pertama, Vikariat Apostolik Batavia terlalu luas dengan cukupan wilayah meliputi Batavia, Bogor, dan Jawa Tengah. Kedua, wilayah Batavia dan sekitarnya dan wilayah di Jawa Tengah memiliki kultur yang berbeda. Ketiga, wilayah Jawa Tengah telah memiliki fasilitas bangunan dan personel misionaris serta umat yang memadai. Pada waktu itu, jumlah umat di Vikariat Apostolik Batavia mencapai 60.875 orang, sebagaian besar berada di
63
Budi Subanar, Kilasan Kisah Soegijapranata, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2012, hlm. 16.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
47
wilayah Jawa Tengah yang meliputi Semarang dan kota-kota sekitarnya dengan jumlah 41.127 orang. 64 Surat tersebut ditindaklanjuti dengan kunjungannya ke Roma pada bulan Mei 1940. Dalam kunjungan tersebut, Mgr. Willekens mengadakan pertemuan dengan sekretaris kongregasi propoganda fide. Dari hasil pertemuan, Mgr. Willekens kembali membuat surat. Surat yang ditunjukan kepada ketua kongregasi propaganda fide menambahkan alasan lain yang pernah disebutnya. Alasan baru menyebutkan situasi
yang mendesak sehubungan
dengan
perkembangan dalam negeri di Hindia Belanda, antara lain berkaitan dengan pengalaman gerakan komunis yang pernah mengadakan pergolakan. Alasan tersebut ditambahkan mengingat pada masa itu di bawah pimpinan Pius XI Vatikan sangat memberikan perhatian terhadap akibat gerakan komunis yang terjadi di berbagai wilayah. Mgr. Willekens juga mengusulkan bahwa Vikariat Apostolik yag baru tersebut sebaiknya diserahkan kepada anggota Serikat Yesus. Alasannya adalah karena serikat Yesuslah yang selama ini telah berkarya di wilayah tersebut. 2. Penunjukan Soegijapranata Sebagai Uskup. Perkembangan yang terjadi kemudian adalah sebuah telegram yang diterima Mgr. Willekens. Bunyinya sangat singkat”You may consecrate without bulls” (anda
dapat
melantiknya
tanpa
keputusan/pengangkatan dari Paus.
harus
menunggu
bulla)
atau
surat
Mgr. Willekens diberi wewenang untuk
menabiskan Romo Soegijapranata sebagai Vikaris Apostolik Semarang tanpa
64
Budi Subanar, Soegija Si Anak Betlehem Van Java, Yogyakarta: Kanisius 2013, hlm. 127.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
48
surat resmi yang menyertainya.65 Kemendesakan tersebut dapatlah dipahami mengingat situasi waktu itu, yakni tengah berkobarnya Perang Dunia II. Dalam kongregasi propaganda telah menunjukkan seorangputra pribumi dari Jawa. Itu pun tidak mendasarkan diri pada urut-uratan senioritas. Seakan-akan dalih yang pernah diajukan Nabi Yeremia, kembali tak diterima. “Ah Tuhan Allah! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.”tetapi Tuhan berfirman kepadaku: “Janganlah katakan: Aku ini masih muda, tetapi kepada sipapapun engkau kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang ku printahkan kepadamu, haruslah kausampaikan” (Yer 1: 6-7).66 Dalam surat pengangkatannya yang dikeluarkan Paus XII, nama Soegijapranata tercantum diantara sekian banyak kardinal, puluhan uskup agung dan Uskup Vikaris Apostolik lain, sebagian besar merupakan putra pribumi yang diangkat dari berbagai penjuru dunia. Soegijapranata sendiri tampak kebingungan terhadap pemilihan atas dirinya itu. Kegelisahan Soegijapranata dapat dipahami karena mengemban jabatan Uskup berarti mengemban tugas berat, terlebih Uskup yang diangkat dalam situasi perang. Dalam situasi demikan, Soegijapranata harus mempimpin umat untuk mempersiapkan diri membentuk Gereja lokal (setempat) yang mandiri. Pada tanggal 6 November 1940, Mgr Willekens dari Batavia disertai oleh Vikaris Malang dan Vikaris Lampung menabiskan Soegijaparanata di Semarang sebagai Vikaris Apostolik Semarang dengan gelar Uskup Danaba. Pelantikan Soegijapranata itu dihadiri oleh sejumlah pejabat pemerintah Hindia Belanda serta sejumlah utusan raja-raja di Keraton Surakarta dan Yogyakarta dan umat Katolik 65 66
Ibid., hlm. 128. Idem., hlm.128.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
49
yang berdatangan dari berbagai wilayah Vikariat Apostolik Semarang. Soegijapranata telah melangkah masuk kancah tanggung jawab besar sebagai seorang Vikaris pada wilayah baru yang dibentuk.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB III SOEGIJAPRANATA MENGABDI GEREJA
A. Mengatasi Persoalan-Persoalan Gereja Tugas sebagai seorang Vikaris Apostolik, mau tidak mau mengharuskan Soegijapranata tampil sebagai gembala umat di Vikariatnya. Tugas tersebut tidaklah mudah, terlebih pada saat itu Vikariat sedang menghadapi persoalan dengan pemerintah pendudukan Jepang. Persoalan-persoalan inilah yang membuat Soegijapranata harus membela kepentingan Gereja Vikariatnya dan Gereja Katolik Indonesia, pada umumnya. Di sisi lain, cap agama Katolik sebagai agama kolonial masih kental dalam pikiran masyarakat Indonesia saat itu, maka Soegijapranata juga harus membuktikan bahwa orang Katolikpun dapat memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai seorang warga negara yang sedang mempertahankan kemerdekaan negaranya. Usaha Soegijapranata tidak hanya menyangkut pada persoalan-persoalan kecil tetapi juga tindakan-tindakan yang sangat penting bagi Gereja Katolik, khususnya di Vikariat Apostolik Semarang. Perjuangan beliau berefek nasional sehingga dapat dirasakan pula oleh orang di luar wilayah Vikariat Apostolik Semarang, bahkan termasuk orang-orang non-Katolik. Masih banyak tindakantindakan yang dilakukan Soegijapranata dalam rangka mempertahankan Gereja Katolik Indonesia di tengah penjajahan Jepang yang akan terlihat dalam pembahasan sub-bab selanjutnya.
50
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
51
1. Berdiplomasi dengan Pihak Penguasa Jepang Dalam menghadapi penguasa Jepang yang melakukan intervensi terhadap Gereja Katolik di Indonesia Soegijapranata menghadapinya dengan cara diplomatis. Hal itu dilakukan untuk membantu Gereja Katolik khususnya di Vikariat Apostolik Semarang supaya tetap mampu bertahan di dalam situasi berat. Dalam suratnya yang ditujukan kepada penguasa Jepang pada tahun 1942, Soegijapranata menjelaskan organisasi Gereja Katolik beserta teritorinya: Vikaris atau Prefektur Apostolik yang memimpin Vikariat, para imam atau pastor yang memimpin paroki dan juga para biarawan yang tinggal di biara. 67 Selain menjelaskan posisi Gereja Katolik Indonesia, Soegijapranata juga berusaha memperoleh izin membuka kembali seminari kecil St. Petrus Kanisius Mertoyudan dan seminari St. Paulus di Yogyakarta yang telah ditutup pihak penguasa Jepang. Dalam usaha diplomasi ini, Soegijapranata bekerja sama dengan Mgr. P. Willekens SJ. Kedua vikaris tersebut bersama Rm L. Weve SJ., mengirimkan surat kepada penguasa Jepang supaya diperbolehkan membuka kembali seminari kecil.68 Dalam diplomasi berhadapan dengan penguasa Jepang. Soegijapranata selalu mengatasnamakan sebagai perwakilan Paus Pius XII seperti yang dirumuskan dalam suratnya pada tahun 1942,
67
Penjelasan tentang “Soesoenan Pengoeroes Gereja Katolik” yang ditulis di Semarang tanpa tanggal seperti dikutip dari Budi Subanar, SJ., Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah dua Uskup (1940-1981), Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma , 2005, hlm 57. 68 Room Katholiek Kerk en de Bezzeting door de Japanners in Nederland-Indie (1945). AAJAK , hlm.753.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
52
“Yang bertandatangan di bawah ini, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, dengan rahmat Allah dan kemurahan hati Sri Paduka Paus Pius XII yang bertahta di Roma, Uskup Danaba dan Vikaris Apostolik Semarang.”69 Hal itu merupakan strategi Soegijapranata agar dirinya terbebas dari penahanan yang dilakukan oleh penguasa Jepang. Selain itu, supaya penguasa Jepang tidak memandang bahwa agama Katolik identik dengan imperialisme. Disinilah istilah Gereja sebagai lembaga supra-nasional kembali didengungkan. Gereja memang hakekatnya bersifat supra-nasional karena Gereja didunia merupakan jalan bagi segala bangsa, tidak suku bangsa tertentu, dalam mencapai keselamatan.70 Gereja memang mengintegral dalam sebuah negara, namun Gereja tidak dapat disamakan dengan negara itu sendiri karena Gereja juga berdiri sendiri terpisah dari negara.Jadi Gereja Katolik (di) Belanda tidak dapat disamakan dengan negara Belanda, demikian juga dengan Gereja Katolik (di) Indonesia. Mereka menyatu dan berdiri terpisah. Soegijapranata berdiplomasi dengan menjelaskan posisi Gereja Katolik. Gereja Katolik di seluruh dunia (termasuk Gereja Katolik Indonesia) berada di bawah Sri Paus (Paus Pius XII), yang berkedudukan di Roma. Gereja Katolik juga memiliki hubungan diplomatik dengan Jepang. Paus Pius XII menempatkan Mgr. Paul Marella di Tokyo dan Jepang menempatkan Mgr. Ken Herada di Roma. Soegijapranata juga menjelaskan bahwa Gereja Katolik di daerah misi dikelola oleh Kongregasi Kudus Penyebaran Iman yang berpusat di Roma. Karena Gereja Katolik diakui secara resmi oleh kekaisaran Jepang maka tidaklah perlu bagi
69 70
Ibid., hlm. 57. Harjoko Harjomardjojo, O, Cram. Penyusaian Gereja dengan Kepribadian Para Bangsa, EndeFlores: Arnoldus, 1962, hlm. 31.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
53
Gereja Katolik Indonesia untuk meminta pengakuan dari pihak penguasa Jepang di Indonesia. Itulah cara-cara yang digunakan Soegijapranata untuk mempertahankan eksistensi Gereja Katolik di Indonesia dalam menghadapi penguasa Jepang. Dengan menyertakan hubungan diplomatik yang bagus antara Roma dan Tokyo serta pengakuan diri sebagai wakil resmi Tahta Suci Vatikan, Soegijapranata terbebas dari usaha penginterniran dari Jepang.71 Dengan jabatan ini, ia mampu mengusahakan supaya karya misi tetap berjalan, dan mampu menggagalkan maksud penguasa Jepang untuk menggunakan Gereja Randusari di Semarang sebagai gudang perbekalan. Usaha menjelaskan hubungan diplomatik RomaTokyo ini juga menyelematkan banyak misionaris dari ancaman hukuman mati saat menjalankan masa interniran penguasa Jepang. Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa alasan Soegijapranata melakukan diplomasi untuk memperjuangkan kemerdekan Indonesia dikarenakan bela rasa yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya, serta pengabdiannya sebagai imam kepada Tuhan, karena salah satu tugas dari Gereja adalah membela kaum yang tertindas. Tumbuhnya bela rasa dalam diri Soegijapranata tidak luput dari penngaruh para pengajar Soegijapranata di Kolese Xaverius, Muntilan dan kedua orang tuanya, serta pengalaman Soegijapranata yang melihat langsung bagiamana kehancuran akibat dari sebuah penjajahan peperangan pada saat dirinya remaja, bahkan ketika Soegijapranata telah menjadi seorang imam.
71
Anhar Gonggong, Mgr. Albertus Soegijapranata Grasindo, hlm .39.
SJ; Antara Gereja dan negara, Jakarta:
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
54
2. Menetapkan Penggunaan Bahasa Latin dan Bahasa Indonesia Masa Pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945 berpengaruh besar terhadap perkembangan Gereja Katolik di Indonesia. Kondisi Gereja pada masa pendudukan Jepang hidup dalam tekanan keras dari kebijakan politik Jepang. Selama masa pendudukan Jepang, terdapat aturan yang melarang atau membatasi gerak lembaga agama. Aturan itu ditetapkan pada tanggal 29-3-2603,72 yang menyatakan larangan menggunakan bahasa Belanda dalam liturgi. Bagi Gereja Katolik Indonesia, adanya peraturan pendudukan Jepang untuk tidak menggunakan bahasa Belanda dalam kebaktian-kebaktian tidak berpengaruh banyak. Karena Gereja Katolik Indonesia masih menggunakan bahasa Latin dalam liturgi. Akan tetapi pastor menjadi kesulitan ketika harus menyampaikan homili atau kotbah, karena biasanya menggunakan Bahasa Belanda. Surat gembala Soegijapranata SJ yang biasanya ditulis dalam tiga bahasa (Belanda, Indonesia, dan Jawa), kini tidak lagi diterbitkan dalam bahasa Belanda, karena dalam aturan kedua yang diterbitkan Jepang, alinea keempat menyatakan bahwa kotbah, nyayian dan ungkapan-ungkapan religius lainnya dalam Gereja harus menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya. Penggunan bahasa musuh dilarang keras. Larangan itu merupakan usaha Jepang untuk menghapus pengaruh Barat dalam budaya Indonesia. Sebelum larangan itu diberlakukan pada tahun 1942 Soegijapranata sudah menghimbau kepada para pastor paroki yang melarang mereka untuk berkotbah
72
Sistem kalender Jepang, Tahun 2603 sama dengan tahun 1943 dalam sistem kalender masehi
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
55
dan melaksanakan liturgi dalam bahasa Belanda73. Hal itu dilakukan Soegijapranata untuk menyelamatkan Gereja dari tuntutan Jepang agar tidak menggunakan bahasa Belanda dalam liturgi terutama kotbah, nyanyian, doa, dan semacamnya. 3. Mempertahankan Fasilitas Misi Pengambilalihan fasilitas-faslitas misi yang meliputi berbagai bangunan sekolah, Gereja, rumah sakit, biara, dan yang lain menjadi masalah bagi Vikariat Apostolik Semarang selama masa pendudukan Jepang (1942-1945). Tindakan lain yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang adalah mengambil alih fasilitas misi milik Gereja74. Hal itu sesuai dengan aturan kedua alinea kelima yang menyebutkan bahwa lembaga-lembaga sosial dan kemanusian yang dimiliki Gereja harus dilimpahkan kepada Ken dan Si75 di wilayah masing-masing. Dalam Alinea ke enam pun disebut bahwa sekolah-sekolah misi harus diberikan kepada Ken dan Si serta pelajaran-pelajaran yang diberikan harus disesuaikan dengan program pemerintah. Pengambilalihan fasilitas milik misi oleh Jepang membawa dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan Gereja Katolik Indonesia. Dampak paling nyata adalah hilangnya sejumlah kegiatan misi yang sebetulnya sangat dibutuhkan bangsa Indonesia saat itu. Fasilitas misi yang disita antara lain, Gereja St. Antonius Kotabaru yang kemudian digunakan sebagai gudang sehingga umat tidak memiliki tempat ibadah. Tanggal 5 April 1942 di Mertoyudan, bangunan 73
Surat Mgr. A. Soegijapranat SJ kepada para imam di Vikariat Apostolik Semarang tanggal 10 Januari 1943 seperti dikutip dari Budi Subanar,SJ., Menuju Gereja Mandiri; Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah dua Uskup (1940-1981),hlm .56. 74 Muskens Pr, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 3, Ende-Flores: Arnoldus, 1974, hlm. 888. 75 Semacam lembaga RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga) di masa sekarang
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
56
seminari juga diambil alih dan digunakan untuk sekolah pertanian Nogako.76 Akibatnya, para seminaris harus pulang ke rumah masing-masing. Akan tetapi pendidikan mereka tetap berlangsung secara diaspora dan sembunyi-sembunyi dengan bantuan pastor dan frater yang tidak diinternir oleh Jepang. Di Muntilan, rumah sakit Katolik milik suster-suster Fransiskanes Heythuissen diambil alih, Kolese Xaverius, sekolah guru rintisan romo Van Lith SJ ditutup. Jepang meminta Kolese dikosongkan karena akan digunakan untuk tempat penginterniran orangorang Belanda, dan para muridnya pindah kesekolah-sekolah ala Jepang. Sebagai Vikaris, Soegijapranata harus mengatasi masalah ini sehingga berbagai kegiatan misi tetap dapat berjalan. Berdasarkan pada posisi Gereja Katolik yang secara resmi diakui oleh hukum perundang-undangan Jepang, Soegijapranta berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan semua fasilitas misi dengan berbagai cara seperti yang dilakukan di Semarang. Soegijapranata menempelkan nama-nama pada setiap pintu pastoran Atmodirono, sehingga memunculkan kesan bahwa pastoran berpenghuni penuh. Begitu pula ketika pastoran Gedangan akan diminta karena pemerintah pendudukan Jepang membutuhkan tempat yang luas, Soegijapranata secara sepotan menjawab, “Gedung-gedung bioskop itu kan cukup luas, dan tempatnya pun, tentu, tidak dapat tidak strategis.77 Soegijapranata dan beberapa kaum religius bumiputra yang tersisa berusaha menjaga bangunan misi agar tidak dibumihanguskan. Selain mengajak para religius bumiputra yang ada, Soegijapranata menulis surat khusus untuk beberapa orang awam untuk diserahi tanggung jawab 76
Majalah AQUILA Edisi Khusus: Buku kenangan 90 Tahun Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan (1912-2002), No 5 Tahun LXXIII Januari-Juni 2002, hlm.10. 77 Budi Subanar, SJ., Soegija Si Anak Betlehem Van Java, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm 135
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
57
mempertahankan fasilitas-fasilitas misi yang dimiliki oleh Gereja dan biara.78 Soegijapranata untuk wilayah Wonosari menunjuk R.T. Hardjasastrawardaja, R.M. Poerwahadisewaja, dan R.A. Moediharja, untuk wilayah Kendal menunjuk A. J. Soemantri dan untuk mempertahankan sekolah misi di Godong, Jawa Tengah menunjuk M. Soemani-Notoatmodjo.79 Sogijapranata juga menyampaikan kebijakannya dengan menuliskan surat, “Pada masa-masa sulit, di seluruh wilayah Vikariat ini, saya menugasi para imam dan kaum awam untuk menjadi wakil-wakil saya dalam menjaga berbagai bangunan dan harta kekayaan Gereja dan dalam berbagai isu religius diberbagai kelompok dan menjalakan tugastugasnya”.80 Soegijapranata tidak hanya meminta para imam dan kaum awam saja yang menjaga bangunan dan harta benda milik misi, tetapi ia juga ikut mempertahankan bangunan dan harta benda misi. Bahkan tidak jarang ia menantang penguasa Jepang untuk memenggal lehernya. Hal ini dilakukan saat Syuchookan menjumpainya dengan maksud meminta Gereja Katedral Randusari supaya dijadikan sebagai kantor penguasa Jepang saat itu. Mendengar maksud itu, Soegijapranata merasa tersinggung dan dengan tegas menolaknya dengan berkata “itu barang dan tempat yang disucikan, saya tidak akan memberi izin.Penggal dulu kepala saya, baru tuan boleh memakainya”.81 Sebagai
seorang
yang
mencintai
kedamaian
dan
anti
kekerasan
Soegijapranata tidak ingin Gereja menjadi bagian dari penjajah yang telah 78
Budi Subanar, SJ., Menuju Gereja Mandiri; Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah dua uskup ( 940-1981), Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, hlm .59. 79 Ibid., hlm .123. 80 Surat Mgr. A. Soegijapranata SJ, kepada pembesar Yesuit 7 mei 1946. Hlm 4-5 seperti dikutip dari Budi Subanar, SJ., Menuju Gereja Mandiri; Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah dua uskup ( 940-1981), hlm .123. 81 Anhar Gonggong,Op., Cit. hlm .40.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
58
menyengsarakan rakyat Indonesia. Dan demi mempertahankan integritas Gerejanya dari ancaman Jepang dan kepentingan negaranya, ia bersedia mati. 4. Penguatan Kebutuhan Jasmani dan Rohani Para Misionaris di Kamp Internir Sejak kedatangannya di Indonesia Jepang sudah mulai menawan orangorang Eropa, khususnya yang memiliki hubungan dengan Belanda. Mereka yang ditawan, biasanya adalah orang-orang sipil dan militer, Jepang juga menawan para imam dan anggota kelompok religius lain. Masa pendudukan Jepang memang menjadi masa yang paling berat bagi perkembangan Gereja Katolik Indonesia. Selain bangunan dan harta benda misi diambil oleh Jepang, penginterniran misionaris juga menjadi kerugian lain dalam perkembangan Gereja Katolik Indonesia. Proses penginterniran para misionaris dimulai pada tanggal 30 Mei 1942, para misionaris Belanda (dua imam MSF dan tiga imam SJ) yang berkarya di Surakarta diinternir disebuah rumah sakit. Tanggal 28 Juni1942 para Bruder tarekat Maria Yang Dikandung Tanpa Noda di Surakarta masuk ke kam Interniran. Kemudian sejumlah imam Yesuit dan guru awam yang berkarya di Yayasan Kanisius juga diinternir. Mereka adalah Rm. Van Kalken, Rm. J. Nojons, Rm. J. Van Rijckevorsel, Rm. W. Rietra, Rm. C. Teppema, Rm. W. Vendel, Rm. Reksaatmadja, bapak Krisno, bapak Laman dan bapak Siwo. Pada bulan Agustus 1942, tiga Yesuit dan satu guru dibebaskan.82 Namun yang lain dipindahkan ke penjara Cipinang Jakarta. Pada tanggal 24 Juli 1942, imam-imam yang berkarya
82
Budi Subanar, Op., Cit.hlm. 136.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
59
di Seminari kecil di Mertoyudan ditawan di Keselir (Selatan Banyuwangi), Jawa Timur. Tanggal 20 Agustus 1942, enam Bruder FIC ditawan. Para misionaris yang diinternir tidak hanya berasal dari Vikariat Apostolik Semarang saja, namun juga ada dari daerah-daerah lain, termasuk Mgr. Albers. O. Carm, prefek dari prefektur Apostolik Malang. Selain itu para susterpun juga mengalami hal yang sama.
Suster-suster
Carolus
Borromeus
dan
suster-suster
Fransiskanes
Heythuysen harus merelakan karya misi mereka diminta Jepang dan menjalankan masa interniran di berbagai tempat. Selama masa penginterniran, banyak tawanan yang meninggal dunia, sebanyak 12 Imam SJ, 10 Bruder FIC, 3 Bruder CSA, 40 suster Fransiskanes Heythuysen, 18 suster CB dan 70 suster ursulin meninggal di kam Jepang entah karena siksaan atau kelaparan atau karena penyakit.83 Selain penyiksaan fisik, ada juga misionaris yang dibunuh dalam kamp interniran seperti yang dialami oleh Mgr. Aerts, Uskup Maluku- Irian Barat, bersama 12 pastor dan bruder. Mereka tidak diperiksa dahulu namun langsung ditembak mati.84 Meninggalnya imam, bruder, suster tersebut menjadi kehilangan besar bagi Gereja Katolik Indonesia yang sedang bertumbuh dengan bantuan tenaga
misionaris asing, khusunya
Eropa. Pada masa pendudukan Jepang ini, di Indonesia hanya ada 4 uskup yang masih menempati posisinya dan tidak masuk ke kamp interniran Jepang. Mgr. P. J. Willekens di Jakarta, Mgr. H. Leueven di Flores, keduanya tidak dapat bergerak bebas karena mereka adalah warga Belanda, kemudian Mgr. Yamaguchi di Flores, 83 84
M.P.M, Muskens Pr,Op., Cit, hlm. 289. Anhar Gonggong,Op., Cit,hlm. 40.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
60
yang merupakan uskup pinjaman dari Jepang dan Mgr.A. Soegijapranata di Semarang, yang praktis harus mengurus Gereja dari Aceh sampai Banyuwangi.85 Berhadapan dengan situasi demikian, Soegijapranata tetap berusaha melakukan usaha pembebasan para misionarisnya dengan cara menjelaskan hubungan Jepang dan Vatikan. Usaha itu tidak sepenuhnya berhasil, walaupun masih ada misionaris yang ditahan namun ada juga misionaris yang dibebaskan dari hukuman mati, dan hanya diganti dengan hukuman penjara.86 Soegijapranata juga menjalin korespondensi dengan para imam yang diinternir dengan cara berkirim surat dan kartu pos. Dari korespondensi inilah ia menerima laporan kematian dari yang ada di kamp internir beserta barang-barang yang ditinggalkan.87 Selain itu, Soegijapranata juga mengambil tindakan yang diharapkan dapat meringankan penderitaan para misionaris di kamp interniran. Ia mengusahakan adanya pemeliharaan iman dan perbaikan kesehatan di kamp, serta meminta kepada pemerintah pendudukan Jepang untuk memberikan kelonggaran bagi para imam yang berusia di atas 60 tahun untuk diperbolehkan ditawan bersama dengan tawanan perempuan dan anak-anak.88 Usaha itupun berhasil dimana para imam yang lanjut usia berhasil
bergabung bersama tawanan
perempuan dan anak-anak karena kondisi mereka yang menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi.
85
Y.B.Mangunwijaya, “ Mengenang seorang Yesuit Gerejawan Besar; Mgr. A.Soegijapranata”, dalam Budi Susanto SJ , Harta dan Surga; Peziarahan Yesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius, hlm.167. 86 Tim Kas, Garis-Garis Besar Sejarah Gereja Katolik Keuskupan Agung Semarang, hlm. 73. 87 Budi Subanar,Op., Cit, hlm .144. 88 Anhar Gonggong, Op., Cit, hlm. 41.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
61
Disamping itu Soegijapranata menulis surat gembala kepada kelompokkelompok religius yang berkarya di Vikariat Apostolik Semarang. Ia menulis supaya meneguhkan mereka dalam menghadapi situasi sulit akibat terputusnya komunikasi dengan pusat tarekat di Eropa. Soegijaparanata mengutip sebuah ayat dari injil Lukas 12:49 “Aku akan datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah aku harapkan, api itu tetap menyala”. Soegijapranata menguatkan para misionaris supaya mereka tidak kehilangan keberanian dalam menjalankan karya misi di tengah situasi yang sulit.89 5. Memberbaiki Keuangan Misi Masalah lain yang cukup mengkhawatirkan Vikariat Apostolik Semarang muncul dari segi ekonomi, khususnya masalah keuangan. Sesungguhnya sejak awal pembentukannya, Vikariat Apostolik Semarang sudah mengalami krisis keuangan dunia dan ketika Jepang datang, kondisi keuangan Vikariat baru itu semakin memburuk. Beberapa alasan yang memunculkan masalah tersebut, Pertama, karena situasi perang yang memutuskan jalur komunikasi maka banyak ordo dan tarekat, yang memiliki pusat di Eropa, tidak dapat menerima bantuan keuangan untuk misi di Indonesia. Kedua, kas Vikariat Apostolik Semarang sebanyak 146.900 gulden diblokir oleh Jepang. Ketiga, karena berganti penguasa maka berganti juga kebijakan. Sebelumnya saat dijajah Belanda, ada bantuan subsidi pemerintah untuk sekolah-sekolah Katolik dan kini, saat dijajah Jepang bantuan tersebut
89
Surat Gembala Mgr. A. Soegijapranata SJ kepada kelompok-kelompok religius di Vikariat Apostolik Semarang, tanpa tanggal, seperti dikutip dari Budi Subanar, SJ., Menuju Gereja Mandiri; Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah dua uskup (1940-1981), Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma 2005, Hlm. 42.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
62
dihentikan. Guna menutup biaya operasional sekolah-sekolah tersebut, maka Vikariat Apostolik Semarang juga ikut membantu. Selama masa pendudukan Jepang terjadi kesulitan ekonomi di berbagai wilayah Gerejawi di Indonesia karena banyak biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan bangunan misi. Berhadapan dengan situasi ini, Soegijapranata SJ melarang imam-imamnya untuk meminta bantuan persembahan dari umat. Hal ini dimaksudkan karena Soegijapranatajuga menyadari bahwa umat mengalami situasi yang sama dengan yang dialami oleh Gereja. Akan tetapi kebijakan ini secara umum tidak dijalankan dengan tegas. Willy Setyardjo, seorang seminaris yang bertanggung jawab atas paroki Kampemenstraat (sekarang Gereja Kidul Loji), mengajak para pemuda untuk mengumpulkan uang yang akan digunakan untuk memperbaiki keadaan keuangan para misionaris dan mempersiapkan pembebasan mereka.90 Masalah keuangan semakin bertambah berat saat penguasa Jepang meminta semua orang Belanda, termasuk para misionaris mencacatkan diri dan membayar sejumlah uang kepada penguasa Jepang. Hal ini tentu sulit dilakukan karena Tarekat atau Ordo yang berkarya di Indonesia tidak memiliki banyak uang karena putusnya jalur komunikasi dengan pusat Tarekat atau Ordo tersebut. Di Vikariat Batavia, Mgr. P. Willekens SJ mengusulkan kepada penguasa Jepang untuk membeli mobilnya dengan sejumlah uang yang akan dipakai untuk membayar pajak anggota-anggota kelompok religius di Vikariatnya.
90
Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri Sejarah Keuskupan Agung Semarang Di bawah Dua Uskup ( 1940-1981), Yogyakarata: Universitas Sanata Dharma, 2005, hlm. 68.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
63
Vikariat Apostolik Semarang juga mengalami masalah yang sama dengan Vikariat Apostolik Batavia. Berkat usaha diplomasi Soegjapranata mendapatkan bantuan keuangan dari Nuntius di Tokyo sebagimana yang diungkapkannya kepada pembesar Yesuit sebagai berikut: “Pada tahun-tahun yang sulit ini, saya secara teratur mendapatkan bantuan keuangan dari Mgr. Marella di Tokyo. Kunjungan Mgr. Yamaguci, Uskup Nagasaki juga memberikan banyak pertolongan.”91 Dalam menghadapi situasi yang sulit itu Soegijapranata melakukan tindakan untuk memperbaiki keuangan misi antara lain, pada tahun 1941, di Muntilan diadakan kegiatan untuk mengumpulkan uang dan bahan mentah (barang) yang akan disumbangkan untuk gerakan misi. Selain itu Soegijapranata membentuk panitia untuk mengadakan pertandingan sepak bola, pertunjukan drama, dan pasar malam. Panitia mendapatkan dana dari tiket yang berhasil mereka jual. Selain itu untuk memperoleh uang Soegijapranata mengingatkan umatnya untuk mengumpulkan barang bekas berupa koran atau botol. Disamping itu Soegijapranata juga mendapatkan bantuan dari kongregasi penyebaran Iman di Vatikan sebanyak 135.000 lira.92 Bantuan ini merupakan wujud solidaritas dari Gereja seluruh dunia. Dana yang dikumpulkan dari umat beriman di seluruh penjuru dunia dibagikan kesegenap wilayah Gerejawi yang membutuhkan di bawah koordinasi kongregasi penyebaran iman. Selain bantuan dari luar negeri, Vikariat Apostolik Semarang mendapatkan bantuan dari umatnya sendiri. Paroki-paroki mengumpulkan dana untuk membantu keuangan Seminari 91 92
Ibid., hlm. 69. Kurs mata uang saat itu I diollar = 20 lira Italia “ Acta Cooperationis Missionariae Sancta Sedis, II,1942, 169; 188 seperti dikutip dalam Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri Sejarah Keuskupan Agung Semarang Di Bawah Dua Uskup ( 1940-1981), Yogyakarata: Universitas Sanata Dharma, 2005, hlm. 69.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
64
Tinggi, imam-imam yang baru saja keluar dari kamp interniran mendapatkan bantuan makanan dari umatnya, dan lain sebagainya. 6. Mempertahankan Posisi Gereja Salah satu hal yang memberatkan kehidupan menggereja adalah isu, yang disebarkan oleh penguasa Jepang bahwa agama Katolik adalah agama kolonial sehingga umat Katolik dianggap sebagai antek-antek imperialis. Masalah ini sering kali menjadi dasar sikap Jepang terhadap Gereja Katolik Indonesia. Para pemimpin Jepang merasa bahwa semua orang Belanda adalah musuh. Pandangan itu dipukul rata kepada semua orang Belanda, entah orang tersebut bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau biarawan. Akibatnya, Jepang merasa terancam dengan banyaknya misionaris asal Belanda yang dimiliki Gereja Katolik Indonesia. Mereka Perlu mengamankan para misionaris itu karena takut jika sewaktu-waktu menjadi mata-mata bagi pasukan sekutu. Guna mengatasi masalah itu, Soegijapranata melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Bahkan beliau melakukan perjalanan ke Pati, Demak, dan Kudus, daerah yang menuduh bahwa agama Katolik adalah agama kolonial.93 Hubungan antara Soegijapranata dengan kaum awam ditunjukkan di dalam kunjungan-kunjungan tersebut. Dalam kunjungan itu ia memberikan dukungan yang sangat baik bagi keberadaan Gereja Katolik. Berbagai aktivitas yang ia lakukan yakni bertemu dengan banyak kelompok atau organisasi kaum awam, kadang-kadang ia membimbing retret kaum awam dan menyampaikan berbagai gagasannya seputar nila-nilai Kristen, kehidupan sosial, dan politik. Dalam
93
Ibid., hlm. 66.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
65
banyak kesempatan itu, ia juga mengingatkan orang Katolik Indonesia bahwa mereka mesti berterima kasih kepada para misionaris Belanda yang bekerja dengan sangat keras untuk membangun Gereja Katolik Indonesia. Disamping itu pada tahun 1942 saat mempimpin sebuah misa di Gereja Randusari Soegija berkata kepada umatnya,“Secepatnya.Ini saatnya kita terpanggil mempertahankan hak agama dan hak bangsa kita”. Salah satu tindakan nyata Soegija untuk mempertahankan hak agama dan bangsanya terlihat saat Gereja Randusari hendak disita oleh Jepang untuk dijadikan markas, Soegija dengan tegas menolak, kepada tentara Jepang, Soegija mengatakan “ini adalah tempat yang suci, saya tidak akan memberi ijin. Penggal dulu kepala saya baru tuan boleh memakainya”94 kepada tentara Jepang
B. Tugas Penggembalaan Periode awal sebagai Vikaris Apostolik ditandai oleh perang Dunia ke II dan pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan Soegijapranata tetap menghadapai situasi yang sulit karena belum stabilnya pemerintahan yang baru dan pertentangan ideologis yang memecah-mecah parlemen. Berkaitan dengan penggembalaan umat, selain peneguhan yang dilakukan lewat surat-surat
94
Film yang disutradarai oleh sutradara senior Indonesia Garin Nugroho, Film itu menceritakan peran Soegija ketika Perang Pasifik 1940-1949, yang tidak hanya penting bagi umat Katolik, melainkan untuk Indonesia. Sebab Soegija kerap menulis artikel untuk media luar negeri demi melawan penjajah. Silent diplomacy, nama perjuangan itu. Soegija juga memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai bentuk solidaritas atas kepindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kegembalaan,
Soegijapranata
juga
berkeliling
66
kewilayah-wilayah,
memperlihatkan diri bahwa dirinya tidak ditahan, “Lihat, saya ada di sini. Saya masih tetap hidup dan berkeliling mengunjungi umat secara bebas. Saya tidak dihukum. Tidak ada siksaan ditimpakan pada saya. Sebagai hasil panen pertama dari tanah ini, kita sekalian, secara pertama-tama dan tidak tergantikan oleh orang lain, dipanggil untuk mempertahankan hak-hak Allah, hak-hak yang dimiliki Gereja, hak agama kita, dan hak bangsa kita”95 Demikianlah salah satu kenangan akan usahanya untuk menguatkan umat dan memberi motivasi supaya tetap berjuang pada zaman pendudukan Jepang. Walaupun menghadapi tantangan-tantangan yang kurang menguntungkan tersebut, Soegijapranata tetap memperhatikan umat Katolik yang lemah dalam iman dan roh, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:96 1. Pelayanan Sakramental Sebagai gembala umat di Vikariat Semarang Soegijapranata harus membela kepentingan Vikariatnya dengan segala usaha yang dapat beliau lakukan antara lain dengan merayakan ekaristi harian bersama umat beriman. Umat merasa puas bila mereka sudah bisa memenuhi kewajibannya sebagai orang Katolik, yang antara lain mengaku dosa dan menerima Sakramen Maha Kudus. Sejak tahun 1933 Pembinanan rohani umat selalu diperhatikan oleh Soegijapranata. Untuk membantu mereka dalam memahami pesan Injil selama Liturgi, ia mulai memperkenalkan pemakaian terjemahan Injil di dalam misa. Selama perayaan tersebut, Soegijapranata juga menyampaikan homili. Selain itu pada tahun 1941 Soegijapranata mengunjungi berbagai wilayah antara lain:
95
Ibid ., hlm 140 Budi Subanar, Op., Cit, hlm. 94-95.
96
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
67
Yogyakarta, Muntilan, Mendut, Bara, Wedi, dan Magelang secara teratur untuk memberikan sakramen penguatan. Ia pun terlibat aktif dalam membimbing retret bagi kaum awam.97 Dalam membimbing retret tersebut ia mengajar umat beriman untuk berperan serta dalam perayaan Liturgi sedemikian rupa sehingga di situ pun umat beriman mencapai doa yang tulus yang harus terus dikembangkan seumur hidup juga mengajak semua untuk melaksanakan tugas kewajiban status hidup mereka, mengundang mereka untuk menghayati nasihat-nasihat Injil, dan mengusahakan supaya di tempat ibadat atau Gereja di mana Ekaristi suci dirayakan dan disemayamkan diadakan penghormatan dengan sembah sujud, sehingga umat beriman dengan hati penuh syukur dapat menanggapi anugerah Kristus . Peranan Soegijapranata sebagai Vikaris Apostolik Semarang, sangat diperlukan. Dengan kebijakan dan usahanya, beliau mampu menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang terjadi di Vikariatnya seperti yang dikamukakan oleh Julius Darmojuwono98 dan teman-temannya saat masih mengikuti pendidikan di Seminari Menengah di Yogyakarta. “Jika hubungan dengan Roma dan luar negeri terputus, sekurangkurangnya ada seorang Uskup pribumi di sini, yang dapat memimpin, mengarahkan Gereja Katolik di sini,dan dapat menampung kesulitankesulitan dan menjadi tempat pertanyaan.”99 Seperti yang diungkapkan pula oleh seorang imam, sekaligus rekan dekat Soegijapranata demikian “syukurlah, pada saat-saat sulit ini yang menjadi uskup adalah orang yang „tegelan‟ (sampai hati dan keras), tetapi juga seorang yang 97
Ibid., hlm. 96. Uskup Indonesia pertama yang diangkat menjadi Kardinal oleh Paus Paulus VI pada tanggal 26 Juni 1963. 99 Henricia Moeryantini CB, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, Ende: Nusa Indah, 1975,hlm. 7. 98
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
68
lincah dapat mengambil dan menggerakkan hati orang.”100 Usaha Soegijapranata untuk hadir di tengah umat ini setidaknya dapat menguatkan kembali orang-orang Katolik untuk tetap melakukan aktifitas keagamaan meskipun berada di tengah situasi yang sulit. 2. Memberikan Katakese Sejak menerima tahbisan imam 15 Agustus 1931 ingin bahwa para guru, terutama para katekis yang memberikan pelajaran agama Katolik menjadi rekan sekerja untuk memberikan pelayanan penggembalaan. Pendidikan bagi para calon katekis
menjadi
sebuah
keprihatinan
yang
besar.
Dalam
pandangan
Soegijapranata, katekis adalah tulang punggung karya pewartaan. Soegija membayangkan bahwa seorang katekis itu layaknya bagaikan seorang juru bicara atau juru penerang.101 Mereka adalah ujung tombak Gereja yang terjun langsung masyarakat dengan tugasnya untuk memadukan antara pergulatan kongkrit hidup anggota masyarakat sehari-hari dengan ajaran iman dan nilai-nilai kristiani, seorang katekis perlu mendapat pembekalan yang cukup tentang berbagai wawasan teologi dan pengetahuan Kitab Suci. Dalam memberikan pelajaran agama kepada para katekis, Soegijapranata menganjurkan supaya sebagian besar menggunakan bahasa Jawa, karena memahami cara berpikir orang-orang tersebut, mereka juga mengawali pengajaran mereka dari kehidupan sehari-hari.102 Masa studi yang standar bagi para calon katekis adalah 3 tahun. Hal-hal yang diajarkan mencakup katekismus, injil, sejarah Gereja, liturgi, dan moral. Selain itu dalam proses memberikan katakese 100
Ibid., hlm. 7. Budi Subanar, Soegija si Anak Betlehem van java, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm .114. 102 Ibid., hlm. 96-97. 101
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
69
terarah pada kedewasaan yang harus dikembangkan terutama berbuat sesuatu bagi Gereja dan masyarakat sesuai dengan situasi dan pola hidup. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa katekese berupa inisiasi ke dalam suatu proses yang mengubah manusia secara intern. Disamping itu pada tahun 1941 Soegijapranata memberikan anjuran kepada para imam yang bekerja di paroki-paroki supaya mereka selalu mempersiapkan khotbah-khotbah pada hari minggu dan hari besar sebaik mungkin, karena bagi umat Katolik, kesempatan untuk memperdalam halhal keagamaan dan hidup rohani hanya dapat dilaksanakan dengan mendengar khotbah saja. 3. Mendidik Calon Imam Ketika Soegijapranata SJ masih menjadi seorang Skolastik, salah satu ajang formasi intelektualnya adalah media pers. Antara tahun 1926-1928, ia menjadi pemimpin redaksi Swaratama, sebuah terbitan mingguan Katolik berbahasa Jawa, walaupun sebagain besar pembacanya adalah orang non Katolik. Salah satu tujuan Swaratama sebagaimana terumus dalam terbitan No.34/VI, September 1926 adalah mempertahankan doktrin Katolik dari serangan ajaran-ajaran yang menentang. Sebagai pemimpin redaksi, Soegijapranata menulis berbagai artikel tentang masalah sosial, budaya, moral, kependidikan, politik, dan semacamnya.103 Saat menjadi uskup, demi pendidikan atau formasi intelektual kaum awam, Soegijapranata mendorong Seminari Tinggi untuk memberikan sumbangsih yang nyata dalam bidang ini. Ia sendiri memberikan kuliah sosiologi kepada kaum awam. Upaya-upaya lain yang menunjukkan kepeduliannya pada pendidikan
103
Ibid., hlm .98.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
70
formal tampak ketika ia memberikan beasiswa dan memberikan buku-buku untuk perpustakan. Pada 26 Juli 1942 Seminari Tinggi membersembahkan hasil didikannya
yang
pertama
dengan
ditabiskannya
imam
pertama
oleh
Soegijapranata yaitu romo Poerwadihardja. Soegijapranata terus berjuang untuk mempertahankan kelanjutan dari hidup Seminari Tinggi terutama dalam masamasa sukar selama masa pendudukan Jepang. Ia selalu memberikan bimbingan agar para calon imam tidak patah semangat di tengah jalan meskipun banyak kesukaran yang harus diatasi. Disamping itu Soegijapranata selalu memberikan dorongan kepada para calon imam, beliau memberikan bimbingannya agar bila diantara mereka ada yang dipanggil, mereka berani untuk menerima panggilan tersebut dan berani untuk menanggapi panggilannya sesuai dengan kehendak Tuhan104 4. Memberikan Bimbingan Bagi Keluarga Katolik Sejak masih menjadi pastor Paroki Bintaran, Soegijapranata sudah memiliki perhatian yang besar pada pendidikan keluarga Katolik. Ia sendiri turut memberikan kursus perkawinan kepada pasangan-pasangan Katolik yang hendak menikah. Kebijakan untuk memberikan kursus perkawinan semacam ini merupakan salah satu keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan para imam pada tahun 1935. Pada tahun 1940 ketika sudah menjadi uskup, Soegijapranata masih menyempatkan diri untuk memberikan kursus perkawinan bahkan setelah menikah pun Soegijapranata tetap memberi perhatian bagaimana nilai-nilai kristiani diterapkan. 104
Henricia Moeryantini CBM, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ., Ende Flores: Nusa Indah, 1975, hlm. 43
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
71
Perhatian Soegijapranata sungguh dirasakan oleh umat. Seperti yang dikisahkan pasangan R. G. Doeriat dalam berhadapan dengan dengan Soegijapranata dalam persiapan pembentukan keluarga Katolik. Eddy Suhendro menuliskan pengalaman tersebut dalam buku Anak-Anak Jaman. Kisah Sejati perjalanan Hidup Lima Puluh Tahun Perkawinan keluarga R. G. Doeriat (17 Juli1937- 17 Juli 1987) sebagai berikut, Ketika sudah menetap di rumah sumirah, Doeriat sering datang. Siti Rabini menerimanya seperti teman biasa. Pada hari-hari tertentu, mereka pergi ke Yogyakarta untuk mengikuti pelajaran persiapan perkawinan yang diajarkan oleh Soegija. Mereka berdua pergi tanpa pengawal, karena jaman sudah modern, dan anak-anak muda dianggap sudah bisa percaya. Romo yang bertubuh pendek penuh semangat itu, mengajarkan tentang perkawinan, kehidupan seks, dan hubungan suami istri. Siti Robina hanya tersenyum-senyum, tidak tahu apa arti semua itu. Kehidupan dewasa masih di luar jangkauan pemikirannya.105 Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa Soegijapranata mengharapkan pendidikan dan pembinaan untuk para calon pasangan yang akan membentuk keluarga Katolik perlu diadakan untuk mempersiapkan mereka dalam membentuk keluarga Katolik yang tangguh. Karena sangat mendambakan terwujudnya keluarga-keluarga Kristiani yang kokoh sejak generasi pertama keluarga Jawa, ia sangat menghargai kebijakan yang tidak mendukung perkawinan campur antara orang Katolik dan orang bukan Katolik. Kebijakan Soegijapranata tentang sakramen perkawinan dapat dilihat dalam surat
pada tahun 1935 kepada
sekretarisnya berikut ini: Saya mendapat, dan mungkin saja saya keliru, bahwa Romo Christen masih terlalu mudah memberikan dispensasi bagi “disparitas cultus” 105
Budi Subanar, Soegija si Anak Betlehem van java, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 118.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
72
bagi orang Jawa. Pada saat sekarang, di Vikariat ini, peraturan tentang hal ini tetap tegas dengan sesuatu kekecualian yang didasarkan atas alasan boni communi106 Soegijapranata menyadari bahwa Gereja tidak boleh lekas puas dan menghentikan usaha serta karya kerasulanya hanya karena gedung-gedung Gereja sudah penuh sesak dikunjungi umat, karena mutu orang Katolik tidak hanya tergantung dari kerapnya pergi ke Gereja atau menghadiri misa kudus, namun terletak dalam bagaimana dia menghayati iman Katoliknya dalam hidup seharihari, maka sasaran utama dari perhatian Soegijapranata ialah justru masalah pembinaan iman dalam keluarga-keluarga. 5. Membina Organisasi atau Perkumpulan Organisasi atau perkumpulan merupakan salah satu sarana yang potensial untuk memberikan pelayanan kegembalaan kepada umat beriman. Pada Tahun 1933 sejak masih menjadi pastor di Bintaran, Yogyakarta, Soegijapranata sudah menaruh perhatian pada perkumpulan kaum awam. Pada tahun 1943, Soegijapranata menganjurkan supaya paroki-paroki dibagi kedalam beberapa wilayah yang memiliki pemimpinnya sendiri supaya dapat mengorganisasi umat yang ada di situ untuk urusan liturgis, sosial, atau aktivitas lain. Selain mendukung adanya berbagai organisasi teritorial, ia juga mengusulkan supaya didirikan organisasi-organisasi profesional antara lain didirikan perkumpulan “pangrukti laya” perkumpulan ini untuk keluarga yang secara tiba-tiba mengalami kesusahan dengan kematian yang sedikit banyak memerlukan biaya. Misalnya pembelian peti mati atau bantuan biaya penguburan. Pangrukti laya ini
106
Ibid., hlm. 99.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
73
memwajibkan setiap anggotanya untuk membayar iuran uang secara berkala yaitu setiap bulan dengan jumlah yang telah ditentukan. Selain itu Soegijapranata mendirikan semacam koperasi simpan pinjam, meskipun masih taraf yang sederhana. Namun ide itu sedikit meringankan beban keluarga-keluarga Katolik yang kebanyakan hidup sebagai pegawai rendah yang selalu mempunyai hutang. Disamping itu di pada tahun 1940 kemudian sebagai Vikaris Semarang, ia menjadi mediator gagasan di organisasi-organisasi profesional kaum awam seperti dibentuk suatu Badan urusan perburuhan Katolik yang bertugas mengkordinir dan memimpin organisasi buruh Katolik, untuk memperhatikan jaminan-jaminan rohani dan jasmani dari kaum buruh Katolik pada umumnya. Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui pembentukan organisasiorganisasi tersebut. Pertama, mereka dimaksudkan untuk mencari solusi bagi kemiskinan ekonomi yang dirasakan umat. Gerakan ini didasarkan atas nilai-nilai dan tujuan yang tersirat dalam Pancasila sebagai dasar negara. Dengan memilih Pancasila sebagai orientasi nilainya, organisasi-organisasi tersebut harus terbuka seluas-luasnya bagi semua orang, meskipun organisasi tersebut didirikan oleh Katolik.107 Organisasi itu ada untuk mencapai sesuatu. ”Sesuatu” itu adalah tujuan, dan tujuan itu biasanya tidak dapat dicapai oleh individu-individu yang bekerja sendiri, atau jika mungkin, hal tersebut dicapai secara lebih efisien melalui usaha kelompok untuk mmencapai tujuan bersama.
107
Ibid., hlm. 100.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
74
C. Pembinaan Imam Bumiputra Pembinaan imam bumiputera di Vikariat Apostolik Semarang sudah ada sejak tahun 1911 di Kolese Xaverius Muntilan, yang sekarang gedungnya digunakan untuk Sekolah Menengah Atas Van Lith, selain itu ada juga gedung yang digunakan sebagai biara Ordo Santa Fransiskus (OSF). Diawali oleh dua siswa Kolese Xaverius, F. X. Satiman dan Darmasepoetra, yang mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang imam maka dibukalah kelas Retorica (persiapan sebelum menjalani pendidikan di Belanda). Mereka berdua dibekali kesusastraan dan kursus bahasa Yunani dan Latin yang akan banyak digunakan dalam tahap pendidikan selanjutnya. Di tahun berikutnya memang tidak banyak kalangan bumiputera yang berminat untuk menjadi imam, namun setiap tahun selalu ada siswa yang berkeinginan untuk menjalani pendidikan imamat.108 Periode selanjutnya, Mgr. P. Willekens SJ menginformasikan kepada para Vikaris dan Profektur Apostolik di Hindia Belanda bahwa akan didirikan Seminari Tinggi di Wilayah Vikariat Apostolik Batavia. Seminari Tinggi tersebut dibuka di Muntilan pada tanggal 15 Agustus 1936.109 Pada tahun pertama 1936 Seminari Tinggi ini mendapatkan 5 seminaris (3 dari Vikariat Apostolik Batavia dan 2 dari Prefektur Apostolik Padang). Proses Seminari Tinggi ini diisi dengan pelajaran filsafat selama 2 tahun dan setelah itu dilanjutkan dengan pelajaran
108
Tahun 1911 ada 2 orang ( F. X. Satiman dan P. Darmasepoetra): tahun 1911 ada 3 orang: tahun 1914 ada 4 orang: tahun 1915 ada 5 orang: tahun 1916 ada 3 orang. 109 Henricia Moeryantini CB,OP., Cit, hlm. 40.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
75
teologi selama 4 tahun110. Selama 5 tahun pertama, Seminari Tinggi mengalami empat permasalahan pokok, yaitu pemilihan kandidat seminaris, staf pengajar, bentuk formatio dan masalah dana. Akan tetapi penyelenggaraan ilahi terhadap proses pendidikan calon imam bumiputra ini dapat tetap berjalan dan menghasilkan imam-imam bumiputra yang berkualitas. Menjelang tahun 1941, sebagai konsekuensi pembentukan Vikariat Apostolik Semarang dari Vikariat Apostolik Batavia maka Mgr. P. Willekens SJ mengalihkan tanggung jawab 2 seminari (Seminari Menengah Mertoyudan dan Seminari Tinggi Yogyakarta) kepada Soegijapranata Pada masa Soegijapranata, seminari harus menghadapi kebijakan pemerintah pendudukan Jepang yang menginginkan bangunan seminari digunakan untuk kepentingan Jepang. Dengan usaha yang tanpa kenal lelah, Soegijapranata berusaha membuka kembali seminari dengan cara berdiplomasi dengan Jepang. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil sehingga ditempuh jalan lain agar proses pembinaan imam bumiputra tidak terhenti di tengah jalan dengan menyebar para misionaris di beberapa wilayah (Muntilan, Yogyakarta, Boro, Mendut, dan Magelang) untuk belajar di bawah bimbingan beberapa imam skolastik. Pada siang hari mereka bekerja dan pada malam hari mereka belajar. Dalam membimbing dan membantu rektor seminari, para staf dan juga seminari melewati masa-masa yang sulit. Soegijapranata mengungkapkan gagasannya tentang perlunya Seminari Tinggi bagi Gereja dan Bangsa Indonesia.
110
Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2005, hlm. 90.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
76
“Rencana saya adalah bahwa Seminari Tinggi secara pelan memberikan pengaruh pada kaum intelektual Katolik Jawa. Ini akan menjadi hal yang baik bagi Republik Indonesia. Upaya ini akan dilaksanakan oleh para misionaris Belanda yang mengajar di sekolahsekolah. Itu artinya para dosen Seminari Tinggi menulis artikel di majalah untuk memberikan pengaruhnya dan untuk menunjukan kerjasama antara para misionaris dan imam. Karenanya, kaum awam memiliki majalah mereka sendiri, para misionaris memberikan arahan intelektual di wilayah mereka masing-masing di Republik Indonesia yang baru, yang mencakup politik, ekonomi, sosiologi, kesusastraan, buku-buku acuan yang dilandaskan pada filsafat dan teologi sebagai bagian dari iman kita. Seminari Tinggi tersebut akan menghasilkan para pemimpin yang mengisi kemerdekaan Indonesia. Kita tidak hanya membutuhkan para imam yang saleh, tetapi juga para pemimpin Katolik yang kokoh”.111 Soegijapranata
menaruh
harapan
bahwa
Seminari
Tinggi
dapat
menghasilkan imam-imam yang saleh dan kokoh, bahkan ia berani berharap para imam juga dapat mengisi kemerdekaan dengan cara khas mereka, yaitu memberikan pengaruhnya kepada kaum intelektual. Selain harapan itu, Soegijapranata meyakini Seminari Tinggi pun dapat menjadi awal rantai dalam menyebarluaskan
pengaruh
intelektual
bagi
masyarakat
Indonesia.
Ia
menyebutkan bahwa para misionaris Belanda mengajarkan di sekolah itu (Seminari Tinggi) dan menyalurkan ilmunya kepada para misionaris. Mereka (para misionaris) dan para seminaris juga menyebarkan pandangan intelektual mereka kepada kaum awam, baik dengan cara menulis artikel maupun dengan cara lisan seperti kotbah. Akhirnya, kaum awam mendapatkan pandangan dan pemikiran yang dapat mereka laksanakan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
111
Budi Subanar, Menuju Gereja Mandiri, Yogyakarta: Sanata Dharma, 2005, hlm.93.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
77
Soegijapranata menaruh perhatian pada formasi intelektual dan spiritual para imamnya. Perhatian Soegijapranata dalam formasi spiritual dapat dilihat dari beliau memberikan ret-ret kepada para imam Vikariatnya.112 Dalam banyak kesempatan ia menyampaikan berbagai gagasannya seputar nilai-nilai Kristen dan kehidupan sosial. Pada tahun 1942 komitmen Soegijapranata dalam formasi intelektual imamnya dapat terlihat dari usaha mengirim mereka untuk studi lanjut di luar negeri. Salah satu motivasi Soegijapranata mengirim para imamnya untuk studi di luar negeri adalah harapan supaya Gereja Indonesia dapat semakin menyatu dengan negara Indonesia, salah satunya dalam kebudayaan. Soegijapranata memberikan perhatian besar untuk pembinaan calon imam di Seminari Tinggi. Prinsip yang dipegang oleh Soegijapranata adalah bahwa pendidikan calon imam tidak boleh berhenti, ia berusaha mencukupi tenaga pendidik pada Seminari Tinggi yang terdiri dari tiga imam dan dua frater yang ditempatkan untuk mengajar filsafat dan teologi serta sekaligus mengurus asrma. Bahkan yang ditunjuk sebagai rektor adalah Romo Hardjawasita yang baru saja ditahbiskan pada tahun 1942.113 Berkat prinsip bahwa pendidikan imam tidak boleh berhenti, selama zaman Jepang, pendidikan imam di Seminari Tinggi berhasil mendidik sejumlah imam yang ditabiskan dalam masa sulit tersebut. Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, selanjutnya Seminari Tinggi masuk ke dalam periode pembangunan kembali yang merupakan masa perkembangan dan konsolidasi. Pada masa ini, program Seminari ditekankan pada
112
F.X. Mudji Sutrisno, SJ., “Krisis di Ambarawa: Laporan Bruder Woerjaamadja, SJ.” Dalam budi susanto, SJ, Harta dan Surga: Peziarah Yesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius,1990, hlm. 43 113 Budi Subanar, Soegija si Anak Betlehem van java, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 142
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
78
pengadaan staf dan dosen tetap. Soegijapranata selalu memberi bimbingan supaya para calon imam tidak patah semangat di tengah jalan meskipun banyak kesusahan yang harus mereka atasi.114 Walaupun tidak secara berkala mengunjungi Seminari Tinggi dan berwawancara dengan para seminaris, perhatian beliau sangat besar terhadap formasi seminaris di Seminari Tinggi dengan mengadakan waktu untuk memberikan khalwat kepada para calon imam yang nanti akan berkarya di wilayahnya, untuk memberikan petunjuk agar mereka dapat berhasil dalam pengabdiannya di paroki-paroki. Disamping itu beliau selalu berusaha mengadakan kontak kekeluargaan dengan orang tua atau sanak keluarga dari para calon imam karena peranan orang tua dan keluarga dalam membina panggilan adalah begitu besar, dan merekalah yang antara lain mampu memberikan dukungan dan dorongan moril kepada putra-putranya yang berniat menjawab panggilan imamatnya. Dalam rangka pengembangan pendidikan ini Soegijapranata selalu mendorong agar sedapat mungkin disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat sekitar. Supaya mata pelajaran yang diberikan tidak hanya yang serba teoritis yang mengawang, tetapi agar anak-anak didik diberi bekal kemampuan praktis untuk kehidupan dikemudian hari. Menjelang tahun 1941 saat ia bertanggung jawab atas Seminari Menengah Mertoyudan ia perna mengatakan kepada muridnya, Kemajuan bangsa dan kebudayaan tiada hanya dalam bidang pengetahuan, ilmu, kepandaian, kecerdikan, kecerdasan, tetapi pun dalam bidang kemakmuran, yang merata pula, justru dalam bidang kesusilaan dan peradaban lahir batin.115
114
Henricia Moeryantini, Op., Cit, hlm. 36. Ibid., hlm. 96.
115
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
79
Apa yang dipaparkan diatas merupakan bagian dari usaha Soegijapranata untuk menanggapi masalah pendidikan yang merupakan hal yang penting dan corak Gereja Indonesia di kemudian hari sangat tergantung
pada berhasil
tidaknya pendidikan kaum imam, sebab kaum imam itulah yang kelak akan menjadi tokoh-tokoh Gereja Indonesia.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB IV SOEGIJAPRANATA MENGABDI NEGARA
A. Terlibat Dalam Revolusi Nasional Tuntutan Belanda untuk meng-hak-i kembali tanah bekas jajahannya semakin membuat Soegijapranata terkepung dalam berbagai pilihan keputusan politis yang tidak ringan. Perjuangannya untuk menumbuhkan citra Gereja Katolik yang supra-nasional selama masa pendudukan Jepang diuji. Baik oleh kaum Nasionalis maupun oleh pihak Belanda. Ujian itu tidaklah mudah karena beberapa rekan seserikatnya terlibat dalam kegiatan Partai Rakyat Katolik Belanda yang sedang mempersiapkan proses pengembalian Indonesia ke tangan Belanda. Ketika Perang Dunia II mulai menunjukkan tanda-tanda kemenangan akan berpihak kepada Sekutu, banyak orang Belanda yang mendambakan kembalinya Indonesia ke pangkuan Kerajaan Belanda. Dapat dimaklumi, kebanggaan bahwa mereka pernah mampu menghasilkan Zaman “tempoe doeloe” yang eksotik menjadi salah satu obat penting dari perasaan hancur di dalam negeri (Belanda) akibat diporak porandakan oleh peperangan dengan Jerman. Ketika rakyat Indonesia bahagia menyambut kemerdekaan yang menandai lepasnya mereka dari segala bentuk penjajahan negara asing, maka Belanda merasa bahagia karena Belanda memiliki keinginan untuk kembali menguasai Indonesia dengan seluruh kekayaan alam Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
80
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
81
pasukan Belanda dengan “membonceng” NICA116 berhasil kembali masuk ke Indonesia. Sebenarnya NICA bukan merupakan organisasi bentukan pemerintahan Belanda melainkan bentukan sekutu Amerika, namun banyak orang-orang belanda yang direkrut untuk menjadi anggota NICA. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai Indonesia, sehingga terjadi kembali pertempuran antara pasukan Belanda dengan rakyat Indonesia di bebarapa daerah di Indonesia. Dalam menghadapi situasi yang sulit Soegijapranata kembali memikirkan nasib bangsanya yang sudah dijajah terlalu lama. Soegijapranata semakin giat menyuarakan impiannya akan sebuah negara yang merdeka, yang diperintah sendiri oleh kaum pribumi. Soegijapranata menginginkan orang dari bangsanya sendirilah yang akan mempimpin Indonesia demi terwujudnya kesejateraan yang merata. Dengan memperhatikan beberapa sikap dan tindakan Soegijapranata dalam tahun-tahun perjuangan revolusi sesudah 1945 cukup jelas bahwa Soegijapranata memilih berpihak kepada kaum nasionalis Indonesia. Suasana tegang dan sulit dihadapi bangsa Indonesia setelah kedatangan Sekutu. Banyak laskar-laskar pejuang yang bermunculan di berbagai daerah dan bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) berusaha mengusir Sekutu yang mencoba masuk ke Wilayah mereka. Dalam situasi yang sulit dan menegangkan itu Soegijapranata baik sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai kepala hierarki Gereja untuk wilayah Vikariat Apostolik Semarang berusaha mengambil
116
Netherlands-Indies Civil Administration ( Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) adalah tentara sekutu yang bertugas mengontrol daerah Hindia Belanda setelah Jepang menyerang tanpa syarat kepada sekutu pada Perang Dunia II pada pertengahan 14 Agustus 1945. NICA menumpang sekutu sewaktu datang ke indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
82
bagian untuk menciptakan suasana yang menguntungkan bagi perjuangan bangsanya.117 Misalkan seperti yang dilakukan oleh Soegijapranata saat membela Indonesia ketika menghadapi serangan militer Belanda I dan II pada tahun 1947 dan 1948. Pada masa perang pasca kemerdekaan RI Soegijapranata tidak mengunakan senjata dalam menghadapi Belanda, namun menggunakan kuasanya sebagai seorang uskup dengan cara berdiplomasi untuk meminta militer Belanda menghentikan penyerangan terhadap Indonesia. Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia ditandai dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan tersebut masih harus dipertahankan dari usaha perebutan kekuasaan oleh Belanda.
Belanda
melancarkan dua aksi militer untuk menggempur militer Indonesia hingga terciptanya suasana yang kacau balau. Setelah mendengar berita bahwa bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan yang kemudian dipertegas oleh maklumat dari Mr.Wongsonegoro, Soegijapranata langsung memerintahkan untuk membuat bendera merah putih yang besar. Bendera tersebut kemudian dipasang di depan pastoran Gedangan, Semarang. Sejak saat itu, halaman pastoran Gedangan selalu „dihiasi‟ oleh bendera Republik Indonesia yang berkibar dengan megah setiap hari. Tindakan Soegijapranata itu membuat gerah pihak Belanda/ NICA yang segera menegur atas tindakan pengibaran bendera merah putih itu. Soegijapranata merespon teguran itu dengan mengatakan bahwa pengibaran bendera merah putih merupakan tindakan kepatuhannya kepada pemerintah di sini (Indonesia). Malah 117
Anhar Gonggong, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ Antara Gereja dan Negara, Jakarta: Grasindo, 1993, hlm.50.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
83
beliau menantang pimpinan Belanda/NICA dengan berkata “kalau kamu ingin bendera itu turun, coba datanglah kembali dan rebutlah kekuasaan di sini”.118 Situasi yang berkembang di Jakarta saat itu kurang kondusif untuk menjalankan pemerintahan negara serta mengancam keselamatan para pemimpin negara. Di dalam majalah Pantja yang terbit pada tanggal 15 Januari 1946, Pemerintah Indonesia mengeluarkan pengumuman tentang pemindahan Presiden dan wakil Presiden dari Jakarta ke Yogyakarta. Isi pengumumannya adalah : “Berhubung dengan keadaan di Jakarta pada dewasa ini, pemerintah RI menganggap perlu agar Presiden dan wakil Presiden berkedudukan di luar Jakarta. Oleh sebab itu kemarin Presiden dan wakil Presiden telah berangkat ke tempat kedudukan yang baru. Mr. Amir Sjariffudin, Menteri Keamanan merangkap Menteri Penerangan, telah meletakkan jabatan sebagai Menteri Penerangan dan sekarang berkedudukan di Yogyakarta.119 Pemindahan ibu kota ke Yogyakarta merupakan bagian dari strategi untuk menyelamatkan
kemerdekaan
dan
pemerintahan
RI
yang
baru
saja
diproklamasikan. Sejalan dengan usaha tersebut, Soegijapranata memperlihatkan dukungannya terhadap pemerintahan RI dengan cara memindahkan pusat pelayanan umat Katolik di wilayahnya dari kota Semarang ke Yogyakarta mulai tanggal 13 Februari 1947.120 Pada awalnya, Soegijapranata bertahan di Semarang saat banyak orang-orang Indonesia mengungsi ke daerah yang lebih aman, bahkan beliau sempat dikatakan „pengkhianat‟ karena tidak ikut pindah ke wilayah republik.121 Namun keputusannya untuk tetap tinggal di Semarang, yang menjadi
118
Ibid., hlm. 51. Majalah Pantja Raja, 15 Januari 1946 seperti dikutip dari Pramoedya Ananta Toer, dkk., Kronik Revolusi Indonesia; Jilid II (1946), Keputusan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 1999. 120 Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia, Jakarta: Grasindo, 1999, hlm. 380. 121 Anhar Gonggong, op., cit. hlm. 60. 119
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
84
pusat hierarki Gerejanya itu, tidak dapat dipertahankan lebih lama karena situasi yang semakin rawan di Semarang. Keputusan Soegijapranata untuk pindah ke Yogyakarta sudah disertai dengan pertimbangan yang matang. Karena selain alasan Semarang dikuasai oleh tentara Belanda, sebagai seorang Vikaris, Soegijapranata mendukung keberadaan negara baru ini secara penuh. Sebagai seorang nasionalis ia harus mengambil keputusan yang mendukung bangsa dan negaranya. Selain itu keputusan Soegijapranata untuk pindah didasari agar ia bisa memantau secara langsung situasi dan kondisi pemerintah Indonesia, serta dapat secara langsung berkomunikasi dengan para pemimpin negara. Di Yogyakarta, Soegijapranata disambut oleh Presiden Soekarno dan pada kesempatan itu, ia menyatakan loyalitasnya.
Menurut
kantor
berita
“antara”,
dalam
kesempatan
itu
Soegijapranata menyampaikan kepada Presiden bahwa ia bersedia memikul tugas mendidik umatnya untuk menjadi warga negara yang patuh. Pernyataan itu beliau buktikan pada saat berbicara di depan 3500 orang Katolik Yogyakarta pada tahun 1947. Pada saat itu Soegijapranata menyatakan bahwa mereka berkewajiban mendukung pemerintahan republik yang (kini) sudah merdeka.122 Kebijakan lain Soegijapranata dalam keberpihakan pada negara Indonesia ketika penyerangan agresif Belanda pada tanggal 21 Juli 1947 atau yang lebih dikenal dengan agresi militer Belanda I mengakibatkan wilayah Jawa Tengah berhasil diduduki oleh Belanda. Tindakan agresor Belanda itu menimbulkan reaksi yang sangat keras dari dalam maupun luar negeri. Dalam suasana seperti itu
122
Ibid., hlm. 380.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
85
Soegijapranata kembali menunjukkan sikap patriotisnya melalui reaksi yang diyatakan dengan jelas dalam pidatonya di RRI Solo demikian, Mestinya umat Katolik harus merasa berterima kasih kepada Republik Indonesia, yang diproklamasikan secara sepihak itu dan mestinya tidak menolak republik, tetapi memberi dukungan dan bantuan kepadanya. Kami berjanji akan bekerja sama dengan semua lapisan masyarakat, untuk mewujudkan kemerdekaan teguh dan kemauan merata.123 Dalam pidato tersebut ada dua poin pokok, yaitu ajakan dan janji, Soegijapranata mengajak bangsa Belanda, khususnya yang beragama Katolik dan mereka yang bergabung dalam partai Katolik Belanda untuk meninggalkan sikapnya yang bermusuhan dengan Republik Indonesia. Ia juga menjanjikan kepada bangsanya untuk bersama-sama bahu-membahu guna mencapai tujuan yang diciptakannya yaitu kemerdekaan penuh. Dalam kesempatan pidato lain, Soegijapranta juga menyatakan bahwa agresi mendatangkan kesusahan dan penderitaan kepada beribu-ribu orang, dan kiranya di masa depan tidak menguntungkan bagi kerjasama yang diharapkan akan berlangsung hangat atas dasar persamaan derajat menurut hukum dan keadilan.124 Kritik Soegijapranta terhadap agresi militer Belanda yang pertama dan yang kedua itu, juga diungkapkan melalui koran APN yang terbit di Amsterdam, Belanda pada tanggal 16 Mei 1949 demikian, Aksi militer itu telah diadakan untuk merebut kembali apa yang sudah hilang, melakukan pembalasan buat segala kekalahan, menghidupkan kembali apa yang sudah tidak ada, memperbaiki dengan kekerasan senjata dan pertunjukan kekuatan.125 123
Anhar Gonggong, op., cit. hlm. 65. Jan Bank, op., cit. hlm. 509-510. 125 Budi Subanar, Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang, Yogyakarta: Galang Press, 2003, hlm. 17. 124
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
86
Dalam usahanya membela bangsa dan negara, Soegijapranta mencoba mendapatkan dukungan dari luar negeri terhadap posisi Indonesia yang semakin terdesak akibat agresi militer Belanda. Usaha ini berhasil mendatangkan delegasi Vatikan di Yogyakarta pada bulan Desember 1947 dan tindakan inilah yang sering disebut dengan aksi diplomatik Vatikan. Pada tanggal 18 Januari 1947, sebelum pindah ke Yogyakarta, Soegijapranata mengirimkan surat kepada kardinal Fumasioni Biondi, Prefek Kongregasi Penyebaran iman. Dalam surat tersebut ada tiga pokok masalah yang dituliskan oleh Soegijapranata, pertama adalah pengalaman sikap militer Jepang terhadap karya misi di Indonesia. Kedua, situasi aktual yang berkaitan dengan usaha diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menhadapi pemerintah Belanda. Dan yang ketiga berkaitan dengan rencana penunjukkan nuntius untuk Indonesia.126 Berkaitan dengan poin yang ketiga, Soegijapranata memberikan masukan kepada pihak Vatikan agar nuntius yang akan ditunjukan bukan merupakan kebangsaan Amerika atau Belanda. Mengingat nuntius adalah wakil paus, sehingga diharapkan nuntius yang ditunjuk tidak terlibat dalam kancah politik.Seperti mempertimbangkan masukan dari Soegijapranata, maka pada akhirnya pihak Vatiakan menunjuk Mgr. George de Jonge d‟ Finlandia menjadi nuntius untuk Indonesia. Pada tanggal 7 Juli 1947, Soegijapranata SJ menerima pengumuman bahwa Mgr. George de Jonge d‟ Ardoya akan menjadi delegasi Vatikan di Indonesia. Pada bulan Desember 1947, Mgr. George de Jonge d‟ Ardoya mengunjungi Yogyakarta dan selama kunjungan tersebut beliau 126
Budi Subanar, Kilasan kisah Soegijapranata, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2013, hlm .42-43.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
87
bertemu dengan Presiden di istana negara. Mgr. George de Jonge d‟ Ardoya juga menyerahkan
surat kepercayaan kepada wakil perdana menteri.127 Diplomasi
semacam ini menunjukkan bahwa Vatikan mendukung pemerintahan Republik Indonesia pengasingan. Hal itu juga menunjukkan kebijakan Vatikan yang secara konsekuen sesuai dengan petunjuk-petunjuk nasionalisme dan patriotisme.128 Kisah lain tentang keberpihakan Soegijapranata terhadap Indonesia terjadi saat beliau bertemu dengan Prof. George Mc Turna Kahin, seorang Profesor bidang ilmu politik Asia Tenggara di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Pada waktu itu, Kahin berada di Indonesia. Dengan susah payah Kahin menerobos masuk ke Yogyakarta sekitar bulan Agustus 1948 dan bertemu dengan Soegijapranata. Sejak saat itulah Kahin menjalin relasi yang dekat dengan pemimpin umat Katolik di wilayah Republik Indonesia. Kahin terkesan terhadap sikap orang-orang Katolik Indonesia yang ikut pindah ke wilayah republik sebagai bentuk dukungan terhadap Indonesia. Kahin mengungkapkan bahwa dari 46.000 orang Katolik di Jawa, lebih dari 40.000 orang ikut hijrah ke daerah-daerah yang masih dikuasai oleh republik. Taktik blokade yang digunakan Belanda terhadap Yogyakarta tentu menghancurkan kehidupan sosial ekonomi di Ibu Kota RI tersebut. Dalam situasi tertutup itulah, masuk akal bahwa berita dari dan ke luar negeri sangat dibutuhkan untuk terus membakar semangat para pemimpin perjuangan. Di saat seperti inilah beberapa majalah terbitan luar negeri menjadi salah satu kebutuhan penting untuk dapat
127
Budi Subanar, SJ.,Menuju Gereja Mandiri; Sejarah Keuskupan Agung Semarang di bawah dua uskup ( 940-1981), Yogyakarta: Sanata Dharma, 2007, hlm. 79. 128 Loc., Cit, hlm. 79.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
88
selalu mengikuti perkembangan sosial politik di luar negeri. Maka Kahin sering „menyelundupkan‟ bahan-bahan seperti majalah Cammonweal ke Yogyakarta. Sebagai seorang yang berpengalaman juga dalam bidang jurnalistik, Soegijapranata tahu bahwa ini merupakan peluang untuk mendapatkan dukungan dari luar negeri, beliau menulis ke redaksi majalah Amerika tersebut. Akan tetapi sewaktu menulis surat itu, pikiran Soegijapranata masih terkesan dengan peristiwa “Madiun Affair” atau gerakan 30 September di Madiun yang melibatkan kaum komunis Indonesia. Soegijapranata menulis, Revolusi kaum komunis telah ditumpas oleh pemerintah kami. Akan tetapi, menariknya cita-cita komunisme tetap saja terasa kuat selama Belanda masih memblokade kami, sebagaimana mereka melakukannya sekarang ini, dan tidak mengijinkan makanan, pakaian, kiriman pos, buku, majalah dan pikiran-pikiran masuk dari dunia luar ke kami.129 Beliau nyatakan bahwa majalah seperti cammonweal sangat bermanfaat bagi pikiran kaum muda Indonesia. Kaum muda Indonesia yang mempunyai kehendak untuk berkembang sesuai dengan cita-cita mereka, kemerdekaan dan keadilan sosial. Selain itu Soegija juga menuliskan keperihatinan dalam surat Gembala yang ditulisnya langsung, yang pada
saat misa akan
dibacakan. Pada Surat Gembala pada tanggal 2 Februari 1949, Soegija menulis keprihatinannya atas penjajahan yang masih terjadi di Indonesia. Soegija menyatakan bahwa penjajahan merupakan salah satu bentuk pelangaran terhadap hak asasi manusia untuk merdeka. Dalam surat gembala tersebut Soegija menuliskan semikian,
129
Budi Susanto SJ, Harta dan Surga; Peziarahan Yesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern, Yogakarta: Kanisius, hlm.156.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
89
Sungguhlah barang siapa kasih akan sesama manusia, sekurangkurangnya haruslah mengakui dan menghormati hak-haknya. Adapun tujuh hukum yang terakhir dari hukum-hukum sepuluh perintah Tuhan, itulah bermaksud untuk memperlindungkan hak-hak asasi manusia yang terpenting.Hukum kelima menghormati dasar hak-hak manusia, ialah hak atas hidup.Hukum yang keempat, keenam, kesembilan untuk memelihara hidup rumah tangga dan keluarga, yang merupakan sumber hidup bangsa dan memwujudkan tempat latihan buat anak cucu dan orang tuanya sendiri.Hukum yang ketujuh itulah untuk mempertahankan hak-hak tiap manusia tentang miliknya dan tentang buah pekerjaannya.Hukum yang kedelapan membela hak tentang kebenaran dan tentang saling percaya, yang sangat dihayatkan buat pergaulan hidup manusia yang teratur. Hak-hak tersebut memang merupakan sumber dasar-dasar hidup manusia dan masyarakat.Asalanya tiada dari negara, tetapi dari Tuhan, Chalak bangsa manusia, dari pada itu dipeliharakan dan diawasi oleh Tuhan sendiri.Tiada terdapatlah suatu negara yang mengaruniakan itu “kepada manusia, atau yang dapat merampasnya.Tak adalah undangundang manusia yang dapat membinasakannya.Hak-hak itu tidak boleh diasingkan. Hak-hak tersebut niscaya menuntut keselamatan manusia Dari beberapa usaha yang dilakukan Soegija dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dapat disimpulkan bahwa walaupun Soegijapranata tidak masuk dalam bearisan pemerintahan seperti Mohammad Roem, Moh Hatta ataupun para diplomat resmi lainnya, Soegijapranata tidak memiliki batasan dalam berjuang. Soegijapranata melakukan diplomasi dengan caranya sendiri yaitu melalui tulisan. Walaupun ia bukanlah seorang jurnalis, Soegijapranata tetap mampu menyampaikan pemikiran-pemikirannya mengenai penjajahan dan mimpi untuk merdeka, serta himbauan kepada umat Katolik untuk ikut andil dalam usaha kemerdekaan Indonesia melalui surat-surat Gembala yang ditulis oleh Soegijapranata sendiri. Tulisan-tulisan Soegijapranata banyak berisi mengenai keprihatinan Soegijapranata akan kondisi rakyat Indonesia yang dirampas haknya sebagai manusia yang merdeka oleh Belanda. Yang kemudian tulisan tersebut
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
90
mendapatkan respon positif dari berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Selain itu dari paparan panjang di atas, dapat dilihat bagaimana Soegijapranata dapat menjalin relasi yang baik dengan berbagai pihak mulai dari vatikan, pemerintah Indonesia, dan peneliti. Relasi Soegijapranata dengan berbagai pihak tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu kekuatan Soegijapranata dalam melakukan diplomasi untuk menggalang dukungan demi membantu pemerintah Indonesia mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
B. Menolong Rakyat Miskin Sebagai seorang Vikaris, Soegijapranata selalu mengajak umatnya untuk hidup secara Katolik. Cara hidup Katolik yang dimaksud oleh Soegijapranata bukan berkalung rosario, menjajar mendali-mendali dan mendaraskan doa yang panjang, akan tetapi cara hidup yang tidak terpisah dengan kehidupan sehari-hari. Cara hidup Katolik adalah dengan setia memegang teguh nilai-nilai kekatolikan di tengah Gereja, jalan, pekerjaan, tempat hiburan atau dimanapun tanpa peduli kanan kirinya, yang menggangu, menggoda, dan membawa kepada dosa, supaya jelas bahwa hidupnya dilandasi dengan keyakinan dan kehidupan yang luhur. Dengan demikian, cara hidup Katolik yang dimaksud adalah cara hidup yang tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari, baik sebagai warga Gereja maupun sebagai warga negara. “Negara tugasnya memelihara, menyatukan, mengatur serta mengurus kehidupan rakyat dengan bertindak yang terarah pada kesejateraan, ketentraman, kepentingan umum yang bersifat sementara, bersifat lahiriah dan duniawi. Sedang Gereja Katolik bertugas memelihara,
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
91
membimbing dan mengembangkan kehidupan rohani manusia dengan mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan agama, peribadatan, kesusilaan, kerohanian yang sifatnya tetap, kekal, surgawi dan mengatasi kodrat ... Dengan menjamin ketentraman, norma-norma, kesejateraan, budaya, dan hak-hak asasi, negara mempersiapkan suatu iklim yang perlu bagi berkembangan keagamaan dan moralitas, Gereja Katolik dengan menjaga hidup keagmaan, moralitas kejujuran, kesetian terhadap janji, keadilan, cinta kepada sesama, dedikasi terhadap pekerjaan dan lembaga; dengan cara mendidik untuk menaruh hormat kepada pemimpin, dan mengarahkan untuk bertindak seturut hukum, berarti Gereja membangun suatu dasar yang kokoh bagi masyrakat dan pemerintah.”130 Dari Kata-kata tersebut, Soegijapranata ingin menunjukan bahwa sejatinya, Gereja Katolik dan Negara memiliki pernanan penting dalam kehidupan umat manusia guna mencapai kepada kehidupan yang diimpikan setiap orang. Oleh karena itu haruslah umat Katolik memiliki kesadaran untuk mengabdi kepada Gereja Katolik dan Negrara secara seimbang. Soegijapranata memberikan landasan moral sosial dan landasan teologis bagi pengintegrasian kekatolikan dan nasionalisme. Soegijapranata memberikan contoh dri perintah ke empat dari sepuluh perintah Allah. Ia pernah mengatakan, “Sebagaimana dalam Katekismus-kita wajib mencintai Gereja Kudus, dan kita juga wajib mencintai negara, dan seluruh hati kita. Soegijapranata berharap bahwa umat Katolik tidak menjadi orang yang hanya berhenti sebagai defotif pada halhal seputar liturgi, melainkan bergulat dengan kekatolikannya dalam kehidupan sehari-hari. Antara Gereja Katolik dan negara haruslah sejalan, karena memiliki tugas yang hampir sama.
130
Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Yogykarta: Kanisius, 1922-1997, hlm 434
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
92
Rm. Y.B. Mangunwijaya, Pr. Menggaris bawahi tentang keteguhan iman Katolik dan kemurnian dalam kesusilaan yang perlu ditampilkan dengan kelemah lembutan, kesabaran, dan keramahan sebagaimana diajarkan oleh Soegijapranata dalam hidup menggereja dan bermasyrakat.131 Romo Mangun mempercacayai bahwa peran serta Soegijapranata dalam organisasi-organisasi Pancasila merupakan pertolongan yang diberikan beliau kepada rakyat terjajah dan miskin secara struktural. Peran serta Soegijapranata yang ditampilkan oleh Romo Mangun tersebut merupakan cara hidup Katolik yang dikehendaki oleh Soegijapranata. Dalam usaha menghidupi cara hidup Katolik di tengah kehidupan berbangsa, umat Katolik dituntut untuk tetap setia dalam iman dan kemurnian kesusilaan. Sehingga nasionalisme dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menciptakan budaya dan pemerintahan yang mandiri dan memiliki kekhasanya sendiri, ada warna kekatolikan dalam budaya dan pemerintah tersebut. Oleh karena itu nasionalisme bukanlah suatu mitos, namun realitas yang harus selalu dihidupi oleh setiap umat Katolik Indonesia. Sebagai bentuk kecintaan terhadap negara Indonesia Soegijapranata melakukan hal-hal sebagai berikut Soegijapranata mempercayai bahwa hidup sebagai seorang Katolik terlihat dalam hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Beliau meyakini bahwa meskipun orang Katolik di Indonesia hanyalah kaum minoritas, namun orang Katolik dapat menjadi terang di tengah kegelapan dan garam di tengah dunia. Secara iman, hal ini mudah dipahami oleh setiap orang Katolik namun sulit dilakukan.
131
Budi Susanto, Op., Cit, hlm. 165-192.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
93
Soegijapranata meneladankan bahwa keminoritasan justru adalah kebanggaannya, kebanggaan manusia yang mendapatkan rahmat yang terpilih, yang mendapat tugas istimewa yaitu menerangi (di tengah kegelapan) dan memberi rasa (di tengah kehambaran). Salah satu bentuk menjadi terang dan garam adalah memperhatikan kaum yang lemah dan miskin. Bukan kehendak mereka menjadi yang terjajah dan miskin
namun
stukturlah
yang
menyebabkan
demikian.
Soegijapranata
mencontohkan akibat masa penjajah dan revolusi kemerdekaan, banyak orang yang kehilangan harta bendanya. Mereka tidak bisa mendapatkan kembali harta bendanya meskipun telah mengalami kemerdekaan karena harta benda mereka hancur atau hilang. Sulit mencari pihak yang bertanggung jawab dan mau mengganti atas kehilangan mereka. Selain itu, masalah struktural yang dihadapi adalah masalah komunisme yang berkembang di banyak negara menjelang Perang Dunia II. Secara jelas dan tegas Gereja mengutuk komunisme, tetapi Gereja juga tidak mengatakan setuju dengan prinsip liberalisme dan kapitalisme. Di Indonesia saat itu prinsip inilah yang mewujud dalam kolonialisasi kapitalisme asing karena setiap negara memiliki kebebasan termasuk dalam menginfasi negara lain dalam hal ekonomi. Itulah yang menjadikan Soegijapranata tidak memihak namun dengan semangat ensiklik Rerum Novarum132 lebih memfokuskan diri kepada optimalisasi kesejahteraan masyarakat.
132
Ensiklik Rerum Novarum adalah ensiklik yang dikeluarkan oleh Paus Leo XII pada tahun 1891. Ensiklik ini menaruh fokus keprihatinan pada kondisi kerja pada waktu itu, dan tentu saja juga nasib para pekerjanya. Tampilnya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama, pertanian. Akibatnya para pekerja buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas. Jatuh dalam kemiskinan struktural yang luar biasa dan tidak mendapat keadilan dalam upah dan perlakuan.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
94
Perjuangan Soegijapranatadan juga Rm. J. Dikstra SJ serta I. J. Kasimo, dimulai pada tahun 1949 dengan merintis suatu tradisi baru menolong dan mengangkat kaum miskin dari segala golongan, suku ataupun agama secara struktural, secara politik praktis lewat kerangka perjuangan ekonomi makro. Soegijapranatabersama Rm. J. Dikstra SJ mendirikan Biro Sosial Sentral Pancasila yang menkoordinasikan organisasi-organisasi Pancasila lainnya yang bergerak dibidang sosial kemasyarakatan. Soegijapranata bersama I. J.Kasimo memperjuangkan politik yang baik sesuai dengan nilai-nilai kekatolikan. Politik yang dapat memberi pengaruh seperti terang dan garam dalam kehidupan masyarakat dengan menjujung tinggi prinsip salus popule suprema lex (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi)133 Soegijapranata juga mengajak orang Katolik melakukan perlawanan dengan cara memihak rakyat kecil dan menggugat para pemimpin yang berkhianat kepada rakyatnya namun juga tetap mengindahkan nilai-nilai kekatolikan seperti yang beliau ungkapkan pada tahun 1949, Perlawanan yang tepat dan patut kita laksanakan secara positif adalah membentuk masyarakat Katolik yang meliputi segala lapisan bangsa dan suku...yang keras kepala dalam mempertahankan dan memperkembangkan keutuhan imannya dan kemurnian kesusilaanya. Tetapi lemah lembut, sabar hati dan beramah-tamah dalam memperlakukan mereka yang berlainan agama atau keyakinan.134 Akhirnya, meskipun bentuk perjuangan. Soegijapranata bersama orang Katolik lainnya bersifat struktural namun aspek karitatif tetap diakui dan memiliki tempat. Mereka tidak pertama-tama membantu uang dan benda, namun penghargaan dan pengakuan harkat dan martabat manusia yang diutamakan. 133
Dua, Mikhael. Politik Pergerakan Menuju Kemandirian Bangsa, Jakarta: Gramedia, hlm. 61. Budi Susanto, Op., Cit, hlm. 174.
134
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
95
Sehingga setiap orang bisa merasakan disapa sebagai sahabat dan saudara meskipun tidak sepangkat atau sederajat di dunia, namun dimata Tuhan tetap sama.
C. Menginspirasi orang Katolik Dalam
Film
Mgr.
Albertus
Soegijapranata
SJ135,
sangat
jelas
menggambarkan sosok anak negeri yang sederhana bernama Soegijapranata sebagai seorang pemimpin selalu mengedepankan pelayanan didasarkan pada cinta kasihnya pada sesamanya. Salah satu dialog dalam cerita film tersebut yang menarik adalah, ketika ada seorang mengatakan, “Rama Kanjeng persediaan makanan untuk para imam sudah siap disajikan.“. Tetapi beliau mengatakan, “Prioritaskan dulu makanan untuk rakyat, kalau rakyat sudah makan, baru para imam dan uskupnya!” Apa yang dikatakannya, ini menunjukkan pemimpin sejati adalah pemimpin siap melayani dan bukan untuk dilayani. Dari perkataan cukup keras tersebut, beliau ingin memberikan pelajaran yang berharga bagi generasi muda bahwa sikap patriot, cinta tanah air dan rela berkorban bagi bangsa dan negara harus ditanamkan pada generasi muda. Kerena kaum mudalah yang mampu menjadi harapan hari depan negara. Pendidikan kaum muda adalah pertama-tama merupakan tugas dari kaum tua terhadap kaum muda. Kaum tua memberikan dorongan moral terhadap kaum muda untuk 135
Film yang disutradarai oleh sutradara senior Indonesia Garin Nugroho, Film itu menceritakan peran Soegija ketika Perang Pasifik 1940-1949, yang tidak hanya penting bagi umat Katolik, melainkan untuk Indonesia. Sebab Soegija kerap menulis artikel untuk media luar negeri demi melawan penjajah. Silent diplomacy, nama perjuangan itu. Soegija juga memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai bentuk solidaritas atas kepindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
96
berkembang, memberikan ruang kreativitas dan melaksanakan ide, konsep sampai pada implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh kerena itu kaum tua juga hendaknya sadar bahwa mereka jangan selalu memaksakan kehendak pada kaum muda, walaupun mereka mempunyai sejarah, tetapi sejarah itu sebagai pelajaran hidup bukan buku suci yang harus dilaksanakan oleh kaum muda. Dalam pidatonya di kongres umat Katolik seluruh Indonesia yang kedua di Semarang 27 Desember 1954, Soegijapranata mengungkapkan: Tuntutan masyarakat kita: apakah Gereja Katolik beserta seluruh umat berimannya memiliki keberanian yang besar untuk berjuang mengisi kemerdekaan Indonesia yang sudah diraih dan untuk mencapai suatu keadaan masyarakat yang damai dan sejahtera, baik secara jasmani maupun rohani.136 Dengan pidato tersebut Soegijapranata hendak mengajak umat Katolik untuk berani berjuang mengisi kemerdekaan Indonesia dengan tujuan kebaikan bersama (bonum commune), baik warga Gereja maupun masyarakat Indonesia. Beliau berharap umat Katolik Indonesia menjadi salah satu pelaku yang juga menentukan nasib bangsanya.137 Dengan harapan itu Soegijapranata mendorong umat Katolik Indonesia untuk mengintegrasikan nilai-nilai kristianitas dan nasionalisme. Beliau menemukan landasan bagi upaya pengintegrasian tersebut dengan mengutip tafsiran atau interpretasi perintah ke empat dari sepuluh perintah
136
Ibid., hlm. 81 Justinus Cardinal Darmoyuwono, “Mereka Yang Mewarnai Perkembangan Gereja Indonesia” dalam Budi Susanto, SJ (ed), Harta dan Surga; Peziarahan Yesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius, hlm.196.
137
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
97
Allah, sebagaimana tertulis dalam ketekismus “kita harus mengasihi Gereja Katolik dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati”. 138 Soegijapranata dikenal dengan semboyan 100% Katholik 100% Indonesia, untuk meneguhkan umatnya agar menjadi manusia yang beriman dan cinta tanah air. Semboyan ini menjadi semangat perjuangan bagi orang Katolik yaitu bekerja, berbuat untuk Gereja dan negara dalam bahasa latin disebut: Pro Ecclesia Et Patria. Konsep hidup beragama sekaligus berbangsa semacam ini diusung untuk meretas batas antara umat beragama dan tetap hidup dalam satu bangsa. Bahkan slogan itu pun dirasa masih sangat relevan bagi umat nasrani dalam hidup beragama dan berbangsa hingga saat ini. Kehidupan rohaninya yang diisi dengan berbagai hal positif dan kecintaannya kepada tanah air memang patut dijadikan inspirasi pemuda Katolik Indonesia. Semangat Pro Ecclesia et Patra Soegijapranata telah menginspirasi beberapa orang Katolik untuk mau terlibat dalam kehidupan bernegara. Bentuk keterlibatan mereka tidak hanya aktif dalam politik saja, namun juga ada yang menjaga sikap dan menyumbangkan pemikirannya melalui media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau sarana-sarana lainnya. Meskipun bentuk sarananya beragam namun mereka tetap berusaha menjadi terang dan garam di tengah bangsa Indonesia. Akhirnya seperti yang diungkapkan oleh Soegijapranata, mereka semakin menjadi patriot karena mereka semakin menjadi Katolik. Tokoh pertama yang paling dekat dan sejalan dengan pemikiran Soegijapranata adalah adik kelasnya saat di Kolose Xaverius Muntilan, yaitu
138
Budi Subanar, op., cit. hlm. 82.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
98
Ignatius Joseph Kasimo. Kasimo dikenal oleh masyarakat luas sebagai salah satu tokoh kaum minoritas (kristiani) yang memberikan sumbangan besar bagi perkembangan politik bangsa Indonesia. Kasimo bersama dengan F.S Haryadi dan R.M. Jakob Suryadi serta 30 teman ex-Muntilan lainnya, pada tanggal 5 Agustus 1923 mendirikan Pakempalan Politik Katolik di Djawa (PPKD). Setelah kemerdekaan, organisasi-organisasi politik Katolik partkular139 ini meleburkan diri menjadi Partai Katolik Repubik Indonesia (PKRI). Bersama dengan PKRI, Kasimo bekerjasama secara aktif membangun dan menegakkan martabat bangsa Indonesia. Di dunia Internasional, Kasimo diminta menjadi anggota delegasi perundingan kemerdekaan RI dengan Belanda. Ia menjadi jembatan perundingan antara pemerintah RI dengan pemimpin Partai Katolik Belanda, Max Van Pool yang memiliki pengaruh besar dalam parlemen Belanda. Akan tetapi sesaat sebelum perundingan ini selesai, Belanda sudah melancarkan agresinya pada tanggal 21 Juli 1947. Akibat agresi tersebut, kabinet Sjahrir runtuh dan Kasimo ditunjuk dalam kabinet baru sebagai Menteri muda Kesejahteraan oleh Amir Sjarifoeddin.140 Karyanya sebagai Menteri muda Kesejahteraan, yang juga merangkap Menteri persediaan Makanan Rakyat, dimulai dengan situasi kelaparan akibat blokade hubungan internasional terhadap Indonesia yang menyebabkan banyak rakyat kekurangan sandang dan bahan makanan. Kasimo mengeluarkan Kasimo Plan yang bertujuan mencapai swasembada pangan di Indonesia dalam waktu 3 tahun (1947-1949). Masih banyak lagi peran serta Kasimo dalam negara 139
Selain di Jawa, di Minahasa ada PEMAKAT, di Timor ada PARKI, di Kalimantan ada PAKIKA; mereka adalah organisasi-organisasi Katolik. 140 Tim Wartawan Kompas I. J. Kasimo, Hidup dan Perjuangannya, hlm, 88
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
99
Indonesia, seperti menjadi penggagas TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) sebagai usaha perjuangan supaya lahan tebu milik rakyat tidak dikuasai oleh pabrik gula yang menerapkan sistem sewa tanah yang justru merugikan rakyat. Tokoh kedua yang terlibat bersama Soegijapranata dalam perjuangan sosialkemanusian adalah Rm. John Djkstra SJ141, dimana Soegijapranata menjadi ketuanya. Kedua tokoh tersebut memang serasi dan dapat menjalin kerjasama yang baik dalam bidang sosial-ekonomi. Banyak pihak, tidak terbatas pada orang Katolik saja namun juga masyarakat pada umumnya di luar lingkup Katolik yang mengakui keberhasilan Rm. John Djkstra SJ dan Soegijapranata dalam mengembangkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.142 Dalam perkembangan selanjutnya, Panitia Sosial lebih berani melakukan banyak proyek sosial ekonomi, termasuk dalam membimbing ikatan-ikatan Pancasila, menyelenggarakan kursuskursus kader, menjadi penasehat organisasi lain di bidang sosial-ekonomi, memberi pendidikan kerasulan bagi para calon, dan menerbitkan buku-buku kerasulan sosial. Masih banyak tokoh lain yang dapat disebut yang tersemangati oleh ungkapan Soegijapranata Pro Ecclesia et Patria (Semangat Mengabdi Gereja dan Negara). Ignatius Slamet Rijadi dan Agustinus Adisutjipto, dua putra Katolik yang bergabung dalam pasukan gerilya memerangi agresi Belanda dan gugur dalam rangka mempertahankan eksistensi Indonesia. Slamet Rijadi gugur dalam serangan yang dilakukan oleh pemberontak Belanda di Ambon pada tanggal 3 November 1950 dan Adisutjipto gugur di Yogyakarta pada tanggal 29 Juli 1947 saat menembus blokade Belanda dari India dan Pakistan guna membawa obat141
Henricia Moeryantini C, Mgr. Albertus Soegijpranata SJ, Ende Flores: Percetakan Arnoldus, 1975, hlm. 63. 142 Ibid., hlm 64
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
100
obatan bagi pejuang Indonesia. Yosephat Sudarso yang juga menjadi pejuang saat polemik Irian Barat dengan Belanda memuncak. Sebagai Laksamana Muda, beliau setia melakukan tugas patroli di laut Aru hingga pada tanggal 13 Januari 1962 beliau gugur dalam pertempuran di atas KRI Macan tutul. Disamping mereka semua, masih banyak tokoh-tokoh Katolik lain yang tidak terkenal namun mereka tetap memberikan sumbangan bagi negara Republik Indonesia sesuai dengan bidangnya masing-masing. Usaha para tokoh Katolik menghidupi nilai-nilai kekatolikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menghasilkan buah dengan semakin diterimanya orang Katolik dalam negara Indonesia. Cap agama Katolik sebagai agama penjajah makin lama makin menghilang dengan peran kaum Katolik dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Banyak tokoh
yang berjuang
membuktikan bahwa Katolik adalah agama supra-nasionalis atau di atas kepentingan bangsa, namun juga tetap menunjukkan sifat karitatifnya kepada bangsanya. Akhirnya mereka dapat menjadi contoh konkrit yang menghayati semangat Pro Ecclesia et Patria Soegiapranata dalam hidup mereka. Berjuang membela Gereja, sebagai warga Gereja, dan membela negara sebagai warga negara. Tindakan Soegijapranata tergolong berani dan penuh resiko. Namun karena didasari oleh rasa semangat nasionalisme maka menghadirkan rahmat bagi semua umat Katolik karena mereka dapat diterima sebagai warga negara yang sama dengan negara lainnya. Dengan kata lain, tuduhan Katolik adalah pro-kolonial atau mata-mata penjajah dapat terkikis dengan sendirinya melalui tindakan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
101
nasionalisme Soegijaranata. Sebagai latar belakang keputusannya tersebut iamenjelaskan bagaimana interprestasinya tentang nasionalisme, “Nasionalisme kita (orang Katolik) tidak lain dari pengakuan dan penghormatan kita yang penuh kerendahan hati dan rasa syukur atas tatanan adikodrati dan alamiah dan atas situasi yang diberikan kepada kita (kemerdekaan) oleh penyelenggara Ilahi”.143 Dengan demikian, nasionalisme bagi Soegijapranata adalah pengakuan dan penghormatan terhadap kemerdekaan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia dengan rahmat penyelenggara Ilahi. Suasana kemerdekaan ilmiah itulah yang menjadi tatanan alamiah suatu bangsa dan harus selalu disyukuri oleh seluruh rakyat Indonesia. Soegijapranata merupakan pahlawan tanpa senjata. Karena bagaimanapun ia memiliki peran dalam perjuangan kemerdekan Indonesia, terutama pada masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional. Keikutsertaan Soegijapranata dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia disambut hangat oleh bebeberapa pemimpin negara saat itu seperti Presiden Soekarno, Sri Sultan Hamengkubowono IX dan beberapa petinggi militer Indonesia. Tak jarang para pemimpin negara meminta masukan-masukan dari Soegijapranata terhadap situasi negara pada saat itu. Tak jarang para pemimpin negara tersebut berkirim surat dengan Soegijapranata untuk membahas situasi negara. Bahkan Soegijapranata sering diundang dalam acara yang diadakan oleh pemerintah Indonesia yang pada saat itu masih terpusat di Yogyakarta.
143
Y.B. Mangunwijaya, “Mengenang Seorang Yesuit Gerejawan Besar, Mgr. Alb. Soegijapranata” dalam Budi susanto, SJ, Harta dan Surga: Peziarah Yesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 165-169.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
102
Keterlibatan Soegijapranata dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia itu membuat Presiden Soekarno mengapresiasi dan mengakui para umat Katolik dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu bentuk apresiasi Presiden Soekarno terhadap umat Katolik di Indonesia adalah dengan menghadiakan sebuah lukisan Bunda Maria yang di belinya dari seorang pelukis berkebangsaan Italia yang diserahkan oleh kurir kepada Soegijapranata pada 10 Agustus 1948. Bersamaan dengan lukisan Bunda Maria tersebut, Presiden Soekarno juga menuliskan sepucuk surat yang ditunjukan kepada soegija. Dalam penutup surat tersebut Presiden menyampaikan harapannya kepada umat Katolik di Indonesia tetap sejahtera dalam Republik. Kehadiran Soegijapranata dalam dunia politik di
Indonesia juga
memberikan dampak positif bagi umat Katolik Indonesia, hal tersebut dikarenakan Soegijapranata juga berjuang demi umat Katolik Indonesia, agar umat Katolik Indonesia dapat ikut serta membangun bangsa dan negara Indonesia yang baru saja merdeka.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dari bab II sampai bab IV, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Sejak memutuskan untuk menjadi seorang imam, Soegijapranata bertekad di dalam hatinya menjadi seorang imam untuk menghayati hidup sebagai pengorbanan dan pelayanan, serta penyerahan diri kepada kehendak Allah. Perilaku dan sifat Soegijapranata terbentuk dari latar belakang keluarga dan didikan kedua orang tuanya yang telah memberikan inspirasi kepada dirinya bahwa yang terpenting dalam kehidupan manusia adalah hormat dan kasih. Pendidikan di dalam keluarga dan masyarakat inilah yang telah memperkaya Soegijapranata sebagai seorang pribadi yang sopan santun, lincah bergerak, mudah bergaul, sekaligus memiliki kenakalan dan kekritisan tertentu. Tumbuhnya bela rasa dalam diri Soegijapranata tidak luput dari pengaruh para pengajar Soegijapranata di Kolese Xaverius, Muntilan yakni Romo Van
Lith dan Pater Van Driessche SJ yang
menanamkan rasa cinta tanah air dan patriotisme ditengah situasi penjajahan. Selain itu aspek lain yang dirasakan membentuk dirinya sebagai pribadi yakni pengalaman Soegijapranata yang melihat langsung bagaimana kehancuran akibat dari sebuah penjajahan dan peperangan pada saat dirinya remaja, bahkan ketika Soegijapranata telah menjadi seorang imam. 103
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
104
2. Kiprah Soegijapranata dalam mempimpin umat Katolik di Vikariat Apostolik Semarang pada khususnya, dan umat Katolik di Indonesia pada umumnya dapat dilihat dari keterlibatan beliau masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional. Soegijapranata memiliki kemampuan untuk mempengaruhi umat Katolik Indonesia, baik dari kaum pribumi maupun umat Katolik non-Pribumi. Hal tersebut disadari betul oleh Soegijapranata sehingga
pengaruh
dan
kedudukannya
sebagai
seorang
uskup
dimanfaatkan untuk mengajak umat Katolik Indonesia ikut berjuang dalam memperjuangkan
dan
mempertahankan
keselamatan
Gereja
dan
kemerdekaan Indonesia. Soegijapranata tidak ingin umat Katolik Indonesia
hanya
berdiam
diri
melihat
kemerdekaan
bangsanya
dipermainkan dan direbut oleh bangsa lain. Soegijapranata mengingatkan bahwa umat Katolik yang berada di Indonesia merupakan bagian dari bangsa dan negara Indonesia, oleh karena itu umat Katolik di Indonesia memiliki kewajiban untuk memperjuangkan nasib bangsa dan Indonesia untuk menjadi lebih baik. Segala macam bentuk tindakan dan kebijakan yang dilakukan Soegijapranata selama pendudukan Jepang, menunjukkan bahwa dirinya merupakan sosok yang layak menjadi teladan dalam berkiprah pada lingkup Gereja dan negara bersama umat dan anggota masyarakat lainnya. Soegijapranata adalah sosok sederhana yang mempunyai sifat bijaksana, tegas, tenang dan berhati-hati hal tersebut menjadikan dirinya salah satu contoh figur pemimpin yang berani, membela Gereja dan negara.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
105
Soegijapranata adalah salah satu potret seorang pribadi yang memiliki semangat nasionalisme yang begitu dalam. Semangat ini tidak hanya disimpan di bawah tempurung tetapi selalu diusahakan dipancarkan sejauh dan seluas mungkin. Soegijapranata mencari daya upaya untuk ikut serta membina semangat cinta tanah airnya, terutama di kalangan umat Katolik. Hal ini selalu di tekankan oleh Soegijapranata apabila kita ingin memperjuangkan nusa bangsa hendaknya dilakukan dengan semangat kebangsaan. Rasa nasionalisme inilah yang pada akhirnya
membuat
Soegijapranata
ikut
terjun
dalam
memperjuangkan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam mewujudkan Nasionalisme Soegijapranata tidak memisahkan, kedua kepentingan yakni antara Gereja dan negara. Kedua hal tersebut dijalani secara adil. Sebagai seorang warga negara yang sadar akan kedudukannya sebagai bagian dari anak bangsa, ia sangat prihatin dengan keadaan rakyat Indonesia. Sikap ini pulalah yang mendasari perjuanganbeliau untuk turut memperjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui pemikiran-pemikiran serta karya-karya beliau di tengah umat Katolik Jawa.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Anhar Gonggong. 1993. MGR. Albertus Soegijapranata SJ Antara Gereja dan Negara. Jakarta: Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia). Bank, Jan. 1999. Katolik di Masa Revolusi Indonesia , Jakarta: Grasindo. Budi Subanar. 2003. Soegija Si Anak Betlehem Van Java. Yogyakarta: Kanisius ---------------------. 2003. Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang. Yogyakarta: Galang Press. ---------------------. 2005. Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua Uskup (1940-1981). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. --------------------. 2012. Soegija Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan. Yogyakarta: Galang Press. . --------------------. 2012. Kilasan Kisah Soegijapranata. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Budi Susanto. 1990. Harta dan Surga: Peziarah Jesuit Dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius Dewa G. Atmatja,. 2012. Ilmu Negara. Malang: Setara Pers. Frans, Magnis Suseno. 1987. Etika Politik. Jakarta: PT. Gramedia. Heryatno Wono Wulung. 1989. Rohani Menyonsong 25 Tahun Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius. Klinken, Van. 2010. Penggerak Bangsa Yang Terlupa: Nasionalisme Minoritas Kristen. Yogyakarta: LKIS. Kohn, Hans. 1961. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Pustaka Sardjana.
106
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
107
Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka Meijers, Paul. 1973. Gereja Dalam Perkembangan. Yogyakarta: Kanisius. Dua Mikhael. 1996. Politik Pergerakan Menuju Kemandirian Bangsa, Jakarta: Gramedia. Moeryantini, H., CB., 1975. Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Ende Flores: Nusa Indah. Muskens Pr. 1974. Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 3. Ende-Flores: Arnoldus.
--------------------- Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 4. Ende-Flores: Arnoldus. Soehino. 2005. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty, Cetakan ketujuh. Patrice, M. 2004. Pendidikan Religiossitas Menjadi Anak Imam Yang Terbuka. Yogyakarta: Kanisius. Suhartono W. Pranoto. 2010. Teori dan Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sunarso, dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press. Widi Artanto. 1996. Menjadi Gereja Misioner (Dalam Konteks Indonesia). Yogyakarta: Kanisus.
Majalah: Praba, Tahun ke 65-N0.02-Januari-II-201307 April 2012 Seda, Frans. 1996. ”Gereja, Politik, dan Kekuasaan”, Credo No. 1/TH 01/96. Rohani, 29 Agustus 2003
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
SILABUS Mata Pelajaran
: Sejarah Indonesia (Wajib)
Kelas
: XI
Kompetensi Inti
:
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya 2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
108
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kompetensi Dasar
Materi Pokok
1.1 Menghayati nilainilai persatuan dan keinginan bersatu dalam perjuangan pergerakan nasional menuju kemerdekaan bangsa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa terhadap bangsa dan negara Indonesia. 2.1 Mengembangkan nilai dan perilaku mempertahankan harga diri bangsa dengan bercermin pada kegigihan para pejuang dalam melawan penjajah.
I Wayan Badrika, 2006. Sejarah Untuk SMA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Alam, Jilid 2 Jakarta: Erlangga.
Pembelajaran
Penilaian
Alokasi Waktu
109
Sumber Belajar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3.5 Menganalisis peran tokoh-tokoh Nasional dan Daerah dalam perjuangan menegakkan negara Republik Indonesia. 4.5 Menulis sejarah tentang satu tokoh nasional dan tokoh dari daerahnya yang berjuang melawan penjajahan kolonial Barat
Mengamati: Tokoh-tokoh Nasional dan Membaca buku teks, Daerahdalam browsing internet dan Perjuangan berdiskusi dengan Menegakkan teman di samping Negara Republik tentang Indonesia Soegijapranata mengabdi Gereja dan negara 1940 Latar Belakang 1949 Soegijapranata Mengabdi Gereja dan Menanya: Negara Tanya jawab, berdiskusi dan Prakarsa dan memberi komentar langkahtentang langkah Soegijapranata Soegijapranata mengabdi Gereja mengabdi dan negara 1940Gereja 1949 Prakarsa dan langkahlangkah Soegijapranata mengabdi Negra
Mengeksplorasikan: Di dalam kelompok , siswa Mengumpulkan data lanjutan terkait dengan latar
Observasi: Mengamati kegiatan pesertadidik dalam proses mengumpulka n data, analisis data dan pembuatan laporan tentang Soegijapranat a Mengabdi Gereja dan Negara 19401949 Portofolio: Menilai laporan makalah peserta didik tentang Soegijapranata Mengabdi Gereja dan
2 x 45 menit.
110
Subanar, Budi. 2012. Kilasan Kisah Soegijapranata. Yogyakarta: Universitas SanataDharma --------. 2003. Soegija Si Anak Betlehem Van Java. Yogyakarta: Kanisius --------. 2003. Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang. Yogyakarta: Galang Press --------. 2005. Menuju Gereja Mandiri: Sejarah Keuskupan Agung Semarang di Bawah Dua
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
belakang, serta usaha-usaha Soegijapranata dalam mengabdi Gereja dan negara, melalui bacaan atau internet Mengasosiasi: Menganalisis informasi yang didapat dari berbagai sumber mengenai keterkaitan untuk mendapatkan kesimpulan tentang latar belakang, serta usaha-usaha Soegijapranata dalam mengabdi Gereja dan negara, melalui bacaan atau internet
Negara19401945
Tes tertulis: Menilai kemampuan peserta didik dalam penguasaan materi Soegijapranata Mengabdi Gereja dan Negara 19401945
111
Uskup (19401981). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. --------.2012. Soegija Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusian. Yogyakarta: Galang Press. Gonggong, Anhar. 1993. MGR. Albertus Soegijapranata SJ Antara Gereja dan Negara. Jakarta: Grasindo (Gramedia Widiasarana Indonesia). Susanto, Budi. 1990. Harta dan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mengkomunikasikan Membuat hasil kajiandalam bentuk tulisan mengenai tentang latar belakang, serta usaha-usaha Soegijapranata dalam mengabdi Gereja dan negara, melalui bacaan atau internet
112
Surga: Peziarah Jesuit Dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius Moeryantini, H., CB., 1975. Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Ende Flores: Nusa Indah. Wulung, W, Heryanton. 1989. Rohani Menyonsong 25 Tahun Vatikan II. Yogyakarta: Kanisius.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Mengetahui, Kepala Sekolah
Willy Brodus Harum S.Pd.
113
Yogyakarta, 13 Oktober 2015 Guru Mata Pelajaran
Yulita Hety Sujaya
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Satuan Pendidikan
: SMK Negeri 2 Depok Yogyakarta
Kelas/ Semester
: XI / 2
Mata Pelajaran
: Sejarah Indonesia
Materi Pokok
: Tokoh-Tokoh Nasional dan Daerah
Pertemuan
: 1
Alokasi Waktu
: 2 x 45 menit
A. Kompetensi Inti 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya 2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan pro-aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. 3. Memahami,
menerapkan
dan
menganalisis
pengetahuan
faktual,
konseptual, prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. B. Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi No.
Kompetensi Dasar
Indikator Pencapaian Kompetensi
1.
1.1 Menghayati nilai-nilai persatuan dan keinginan bersatu dalam perjuangan pergerakan nasional menuju 114
1.1.1
Bersyukur dengan cara berdoa sebelum dan sesudah kegiatan belajar dan mengajar
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
kemerdekaan bangsa sebagai karunia Tuhan Yang 1.1.2 Maha Esa terhadap bangsa dan negara Indonesia 2.
3
4
115
Menghargai jasa-jasa pahlawan Indonesia dengan cara, menjadi generasi muda yang berkarakter
2.1 Mengembangkan nilai dan perilaku mempertahankan harga diri bangsa dengan bercermin pada kegigihan para pejuang dalam melawan penjajah
2.1.1
Tidak menyontek ketika ulangan.
2.1.2
Menyelesaikan pekerjaan Rumah/tugas tepat waktu.
3.1 Menganalisis peran tokohtokoh nasional dan daerah dalam perjuangan menegakan negara Republik Indonesia khususnya perjuangan Soegijapranta.
3.1.1
Mendeskripsikan latar belakang Soegijapranata mengabdi gereja dan negara 1940-1949
3.1.2
Mendeskripsikan prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi gereja 1940-1949
3.1.3
Mendeskripsikan prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara 1940-1949
4.1 Menulis sejarah tentang satu 4.1.1 tokoh nasionaal dan tokoh daerah
Melaporkan hasil tulisan mengenai latar belakang, Soegijapranta mengabdi gereja, dan mengabdi negara 1940-1949
C. Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat: 1. Menunjukan sikap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah dengan belajar tekun. 2. Menunjukan sikap prilaku menghargai jasa-jasa pahlawan dalam melawan penjajah. 3. Menunjukan sikap dan prilaku cinta tanah air dalam kehidupan sehari-hari.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
116
4. Bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas 5. Menunjukan sikap dan prilaku jujur 6. Menjelaskankan latar belakang Soegijapranata mengabdi gereja dan negara 1940-1949 7. Menjelaskan prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi gereja 1940-1949 8. Menjelaskan prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara 1940-1949 9. Mempresentasikan dan melaporkan latar belakang, Soegijapranata mengabdi gereja, dan Soegijapranata mengabdi negara 1940-1949 D. Materi Ajar 1. Latar belakang Soegijapranata mengabdi gereja dan negara 1940-1949 2. Prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi gereja 19401949 3. Prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara 19401949 E. Metode Membelajaran 1. Pendekatan pembelajaran
: Saintifik
2. Metode pembelajaran
: Ceramah, tanya jawab, diskusi, presentasi
3. Model Pembelajaran
: Problem Based Learning
F. Sumber Belajar Hapsari, Ratna, M. Adil. 2013. Sejarah Indonesia untuk SMK/MAK Kelas XI. Jakarta: Erlangga I Wayan Badrika. 2006 . Sejarah Kelas XI. Jakarta: Erlangga G. Media Pembelajaran Alat: Laptop, speaker, LCD. Bahan: Power point, film tentang peran Soegijapranata
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
A. Kegiatan Pembelajaran Kegiatan
Deskripsi
Guru mengucapkan salam kepada siswa Guru mengajak siswa untuk berdoa bersama Guru mengecek kehadiran siswa Apersepsi: Guru menyampaikan pengantar tentang peran tokoh pergerakan nasional dalam melawan penjajah Menyampaikan tujuan pembelajaran
Pendahuluan
Kegiatan Inti
Mengamati Peserta didik mengamati Film tentang peran Soegijapranata masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional Menanya Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya dan menyampaikan pendapat tentang Materi Soegijapranata mengabdi gereja dan negara 1940-1949 Mengumpulkan informasi Peserta didik membaca Modul atau referensi lain yang relevan tentang peran Soegijapranata masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional. Mengasosiasi Peserta didik melakukan kegiatan mengemukakan pendapat untuk menganalisis entang peran Soegijapranata masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional. Peserta didik merumuskan nilai-nilai yang diperoleh dari perjuangan Soegijapraanata masa pendudukan Jepang dan revolusi nasional Mengkomunikasikan Peserta didik mempresentasikan analisis hasil diskusi kelompok di depan kelas yang
117
Alokasi waktu 5’ Menit
70’ Menit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
118
diwakili oleh salah satu anggota kelompok masing-masing, anggota kelompok lain memberikan tanggapan. Peserta didik menyajikan hasil simpulan materi yang telah dipelajari di depan kelas. Penutup
Peserta didik diberikan ulasan singkat tentang kegiatan pembelajaran dan hasil belajarnya Peserta didik dapat ditanyakan: -Apakah sudah memahami materi tersebut? -Apa ada kesulitan? Peserta didik diberikan pertanyaan lisan secara acak untuk mendapatkan umpan balik atas pembelajaran yang baru saja dilakukan Konfirmasi Peserta didik diberikan tugas untuk membuat laporan tentang Peran Soegijapranata dalam mengabdi Gereja dan negara Informasi materi pembelajaran yang akan datang
B. Penilaian a. Sikap Spiritual a. Teknik Penilaian : Observasi b. Bentuk Instrumen: Lembar observasi c. Kisi-kisi: No. Sikap/nilai 1. Bersyukur kepada Tuhan 2. d. Instrumen: Instrumen 1. No.
Nama Peserta didik
1. 2. 3. Instrumen 2. No.
Nama Peserta didik
Butir Instrumen 1
Indikator: Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran (1-4)
Indikator: Berhubungan baik dengan teman sekelas (1-4)
15’ Menit
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
119
1. 2. 3. Kisi-kisi Indikator sikap spiritual: Berdoa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran 1. Berdoa dengan tidak sungguh-sungguh 2. Kadang-kadang berdoa dengan sungguh-sungguh 3. Sering berdoa dengan sungguh-sungguh 4. Selalu berdoa dengan sungguh-sungguh Kisi-kisi Indikator sikap spiritual: Berhubungan baik dengan teman sekelas 1. Tidak pernah ramah dan toleran teman sekelas 2. Kadang-kadang ramah dan toleran teman sekelas 3. Sering ramah dan toleran teman sekelas 4. Selalu ramah dan toleran teman sekelas Petunjuk Penyekoran : Peserta didik memperoleh nilai : Baik Sekali : apabila memperoleh skor Baik : apabila memperoleh skor Cukup : apabila memperoleh skor Kurang : apabila memperoleh skor
8 6 4 2
b. Sikap Sosial a. Teknik Penilaian: Observasi b. Bentuk Instrumen: Lembar observasi c. Kisi-kisi: No. Sikap/nilai 1. Tidak menyontek 2. Tugas tepat waktu 3. d. Instrumen
Butir Instrumen 1 2
Indikator No. 1. 2. 3. 4.
Peserta didik
Memiliki jiwa nasionalisme (1-4)
Tanggung jawab (1-4)
Peduli (1-4)
Jumlah Skor
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Kisi-kisi Indikator sikap sosial memiliki jiwa nasionalisme: Deskriptor Skor Tidak mencintai tanah air 1 Kurang mencintai tanah air 2 Cukup mencintai tanah air 3 Sangat mencintai tanah air 4 Kisi-kisi Indikator sikap sosial tanggung jawab: Deskriptor Skor Tidak pernah melaksanakan tugas 1 tepat waktu Kurang melaksanakan tugas tepat 2 waktu Cukup melaksanakan tugas tepat 3 waktu Sangat melaksanakan tugas tepat 4 waktu Kisi-kisi Indikator sikap sosial peduli: Deskriptor Tidak pernah membantu orang lain Kurang membantu orang lain Sering membantu orang lain Sangat membantu orang lain Petunjuk Penyekoran: Peserta didik memperoleh nilai: Baik Sekali : apabila memperoleh skor Baik : apabila memperoleh skor Cukup : apabila memperoleh skor Kurang : apabila memperoleh skor
Skor 1 2 3 4
12 9 6 3
c.
Pengetahuan Soal tes 1. Bagaimana latar belakang Soegijapranata mengabdi gereja dan negara? 2.
Sebutkan peran Soegijapranata dalam mengatasi persoalan Gereja?
120
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
3.
121
Jelaskan prakarsa Soegijapranata dalam mengabdi gereja khususnya dalam tugas pengembalaan
4.
Bagaimana prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara?
Kunci jawaban 1. Bagaimana latar belakang Soegijapranata mengabdi gereja dan negara? Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyapranata, juga dikenal dengan tulisan gaya Jawa Albertus Sugiyopranoto; lahir 25 November 1896 – meninggal 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun), lebih dikenal dengan nama lahir Soegija. Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia Belanda, oleh seorang abdi dalem dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kecil, dan di kota itulah dia mengawali pendidikannya. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di Xaverius Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; keputusan ini akhirnya direstui keluarga Soegija, yang juga mendukung pilihannya untuk menjadi seorang romo. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Dia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave; dia juga menyelesaikan juniorate di Grave pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, dia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; dia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 dia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht; di Maastricht dia ditahbiskan oleh Uskup Roermond, Laurentius Schrijnen, pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah ini Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor. Soegijapranata mulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta pusat, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada bulan April 1934. Tahun berikutnya wilayah kerjanya ditambah lagi dengan paroki di
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
122
Ganjuran, Bantul. Dalam periode ini dia berusaha untuk meningkatakn rasa keKatolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsekrasikan oleh Vikaris Apostolik Batavia Petrus Willekens sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan 2. Sebutkan peran Soegijapranata dalam mengatasi persoalan Gereja? Dalam rangka mempertahankan Gereja Katolik Indonesia di tengah penjajahan Jepang Soegija melakukan hal-hal berikut: 1. Berdiplomasi dengan Pihak Penguasa Jepang 2. Menetapkan penggunaan Bahasa Latin dan Bahasa Indonesia 3. Mempertahankan Fasilitas Misi 4. Pembebasan Misionaris dari Kamp Internir 5. Memberbaiki Keuangan Misi 6. Mempertahankan Posisi Gereja 3. Jelaskan prakarsa Soegijapranata dalam mengabdi gereja khususnya dalam tugas pengembalaan Dalam usahanya untuk menguatkan umat dan memberi motivasi supaya tetap berjuang pada zaman pendudukan Jepang. Mgr. A. Soegijapranata tetap memperhatikan umat Katolik yang lemah dalam iman dan roh, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Pelayanan Sakramental 2. Memberikan Katakese 3. Mendidik Calon Imam 4. Memberikan Bimbingan Bagi Keluarga Katolik 5. Membina Organisasi atau Perkumpulan 4. Bagaimana prakarsa dan langkah-langkah Soegijapranata mengabdi negara? Untuk menyelamatkan kemerdekaan dan pemerintahan RI yang baru saja diproklamasikan. Mgr. A. Soegijapranata SJ memperlihatkan dukungannya terhadap pemerintahan RI dengan cara memindahkan pusat pelayanan umat Katolik di wilayahnya dari kota Semarang ke Yogyakarta mulai tanggal 13 Februari 1947. Dalam usahanya membela bangsa dan negara, Mgr. A.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
123
Soegijapranta SJ mencoba mendapatkan dukungan dari luar negeri terhadap posisi Indonesia yang semakin terdesak akibat agresi militer Belanda. Usaha ini berhasil mendatangkan delegasi Vatikan di Yogyakarta pada bulan Desember 1947 dan tindakan inilah yang sering disebut dengan aksi diplomatik Vatikan. Selain itu usaha l Soegijapranata menolong rakyat miskin dari segala golongan, suku ataupun agama secara struktural.
Pedoman penskoran No. Rambu-rambu skor 1. Jawaban lengkap dengan alasan yang tepat 2. Jawaban berdasarkan buku paket dengan alasan seadanya 3. Jawaban sesuai dengan buku paket 4. Jawaban kurang lengkap 5. Jawaban tidak sesuai dengan soal yang ditanyakan
Skor 20 15 10 7 4
d. Psikomotorik a. Teknik Penilaian: - Tes: penugasan individu b. Bentuk Instrumen - Proyek c. Kisi-kisi Tes : Peserta didik diberi tugas untuk menulis paper tentang perjuangan salah satu tokoh nasional dan tokoh dari daerahnya yang berjuang melawan penjajahan kolonial Barat d. Instrumen Lembar penilaian Tes
:Peserta didik diberi tugas untuk menyimpulkan tentang usahausaha
Soegijapranata
dalam
melawan
penjajah
masa
pendudukan Jepang dan revolusi nasional Non tes : Peserta didik dalam kelompok diberi tugas untuk membuat paper tentang usaha-usaha Soegijapranata dalam membela gereja dan negara No.
Nama
Aspek yang dinilai
Nilai
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
Peserta didik
Relevansi Kelengkapan Pembahasan (1-4) (1-4) (1-4)
124
Ketepatan Waktu (1-4)
1. 2. 3. 4. 5. Petunjuk Penyekoran: Peserta didik memperoleh nilai: Baik Sekali : apabila memperoleh skor Baik : apabila memperoleh skor Cukup : apabila memperoleh skor Kurang : apabila memperoleh skor
13 – 16 9 – 12 5–8 1–4
Yogyakarta, 28 Oktober 2015
Mengetahui, Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran
Wilibrodus Harum
Yulita Hety Sujaya
Akhir
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
125
LAMPIRAN-LAMPIRAN 5. Lampiran Materi SOEGIJAPRANATA: MENGABDI GEREJA DAN NEGARA (1940-1949) A. Latar Belakang Soegijapranata Mengabdi Gereja dan Negara (1940-1949 Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyapranata, juga dikenal dengan tulisan gaya Jawa Albertus Sugiyopranoto; lahir 25 November 1896 – meninggal 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun), lebih dikenal dengan nama lahir Soegija, merupakan Vikaris Apostolik Semarang, kemudian menjadi uskup agung.
Dia merupakan uskup pribumi Indonesia
pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia". Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia Belanda, oleh seorang abdi dalem dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kecil, dan di kota itulah dia mengawali pendidikannya. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di Xaverius Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; keputusan ini akhirnya direstui keluarga Soegija, yang juga mendukung pilihannya untuk menjadi seorang romo. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Dia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave; dia juga menyelesaikan juniorate di Grave pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, dia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; dia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 dia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht; di Maastricht dia ditahbiskan oleh Uskup Roermond, Laurentius Schrijnen, pada tanggal 15 Agustus 1931.
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
126
Setelah ini Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor. Soegijapranata mulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta pusat, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada bulan April 1934. Tahun berikutnya wilayah kerjanya ditambah lagi dengan paroki di Ganjuran, Bantul. Dalam periode ini dia berusaha untuk meningkatakan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsekrasikan oleh Vikaris Apostolik Batavia Petrus Willekens sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah dia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang menduduki nusantara Hindia Belanda pada awal tahun 1942, dan selama periode pendudukan itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor, baik yang keturunan Eropa maupun pribumi, ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan melayani orang Katolik dalam vikariatnya sendiri. B. Mengatasi Persoalan-Persoalan Gereja Tugas sebagai seorang Vikaris Apostolik, mau tidak mau mengharuskan Mgr. A. Soegijapranata SJ tampil sebagai gembala umat di Vikariatnya. Tugas tersebut tidaklah mudah, terlebih pada saat itu Vikariat sedang menghadapi persoalan dengan pemerintah pendudukan Jepang. Persoalan-persoalan inilah yang membuat Soegijapranata harus membela kepentingan Gereja Vikariatnya dan Gereja Katolik Indonesia, pada umumnya. Di sisi lain, cap agama Katolik sebagai agama kolonial masih kental dalam pikiran masyarakat Indonesia saat itu, maka Soegijapranata juga harus membuktikan bahwa orang Katolikpun dapat memenuhi tugas dan kewajibannya sebagai seorang warga negara yang sedang mempertahankan kemerdekaan negaranya. Usaha-usaha Mgr. A. Soegijapranata SJ, tidak hanya menyangkut pada persoalan-persoalan kecil tetapi juga tindakan-tindakan yang sangat penting bagi Gereja Katolik, khususnya di Vikariat Apostolik Semarang. Perjuangan beliau
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
127
berefek nasional sehingga dapat dirasakan pula oleh orang di luar wilayah Vikariat Apostolik Semarang, bahkan termasuk orang-orang non-Katolik. Masih banyak
tindakan-tindakan
yang dilakukan
Soegijapranata dalam
rangka
mempertahankan Gereja Katolik Indonesia di tengah penjajahan Jepang yang akan terlihat dalam pembahasan sub-bab selanjutnya. 1. Berdiplomasi dengan Pihak Penguasa Jepang 2. Menetapkan penggunaan Bahasa Latin dan Bahasa Indonesia 3. Mempertahankan Fasilitas Misi 4. Pembebasan Misionaris dari Kamp Internir 5. Memberbaiki Keuangan Misi 6. Mempertahankan Posisi Gereja C. Tugas Penggembalaan Periode awal sebagai Vikaris Apostolik ditandai oleh perang Dunia ke II dan pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan Soegijapranata tetap menghadapai situasi yang sulit karena belum stabilnya pemerintahan yang baru dan pertentangan ideologis yang memecah-mecah parlemen. Berkaitan dengan penggembalaan umat, selain peneguhan yang dilakukan lewat surat-surat kegembalaan,
Soegijapranata
juga
berkeliling
ke
wilayah-wilayah,
memperlihatkan diri bahwa dirinya tidak ditahan, Demikianlah salah satu kenangan akan usahanya untuk menguatkan umat dan memberi motivasi supaya tetap berjuang pada zaman pendudukan Jepang. Walaupun menghadapi tantangan-tantangan yang kurang menguntungkan tersebut, Mgr. A. Soegijapranata tetap memperhatikan umat Katolik yang lemah dalam iman dan roh, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Pelayanan Sakramental 2. Memberikan Katakese 3. Mendidik Calon Imam 4. Memberikan Bimbingan Bagi Keluarga Katolik 5. Membina Organisasi atau Perkumpulan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
128
D. Pembinaan Imam Bumiputra Pembinaan imam bumiputera di Vikariat Apostolik Semarang sudah ada sejak tahun 1911 di Kolese Xaverius, Muntilan. Diawali oleh dua siswa Kolese Xaverius, F. X. Satiman dan Darmasepoetra, yang mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang imam maka dibukalah kelas Retorica (persiapan sebelum menjalani pendidikan di Belanda). Mereka berdua dibekali kesusastraan dan kursus bahasa Yunani dan Latin yang akan banyak digunakan dalam tahap pendidikan selanjutnya. Di tahun berikutnya memang tidak banyak kalangan bumiputera yang berminat untuk menjadi imam, namun setiap tahun selalu ada siswa yang berkeinginan untuk menjalani pendidikan imamat. Mgr. A. Soegijapranata SJ menaruh harapan bahwa Seminari Tinggi dapat menghasilkan imam-imam yang saleh dan kokoh, bahkan ia berani berharap para imam juga dapat mengisi kemerdekaan dengan cara khas mereka, yaitu memberikan pengaruhnya kepada kaum intelektual. Selain harapan itu, Mgr. A. Soegijapranata SJ meyakini Seminari Tinggi pun dapat menjadi awal rantai dalam menyebarluaskan
pengaruh
intelektual
bagi
masyarakat
Indonesia.
Ia
menyebutkan bahwa para misionaris Belanda mengajarkan di sekolah itu (Seminari Tinggi) dan menyalurkan ilmunya kepada para misionaris. Mereka (para misionaris) dan para seminaris juga menyebarkan pandangan intelektual mereka kepada kaum awam, baik dengan cara menulis artikel maupun dengan cara lisan seperti kotbah. Akhirnya, kaum awam mendapatkan pandangan dan pemikiran yang dapat mereka laksanakan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Mgr. A. Soegijapranata SJ menaruh perhatian pada formasi intelektual dan spiritual para imamnya. Perhatian Mgr. A. Soegijapranata SJ dalam formasi spiritual dapat dilihat dari beliau memberikan ret-ret kepada para imam Vikariatnya. Dalam banyak kesempatan ia menyampaikan berbagai gagasannya seputar nilai-nilai Kristen dan kehidupan sosial. Pada tahun 1942 komitmen Mgr. A. Soegijapranata SJ dalam formasi intelektual imamnya dapat terlihat dari usaha mengirim mereka untuk studi lanjut di luar negeri. Salah satu motivasi Mgr. A. Soegijapranata SJ mengirim para imamnya untuk studi di luar negeri adalah
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
129
harapan supaya Gereja Indonesia dapat semakin menyatu dengan negara Indonesia, salah satunya dalam kebudayaan. Soegijapranata memberikan perhatian besar untuk pembinaan calon imam di Seminari Tinggi. Prinsip yang dipegang oleh Soegijapranata adalah bahwa pendidikan calon imam tidak boleh berhenti, ia berusaha mencukupi tenaga pendidik pada Seminari Tinggi yang terdiri dari tiga imam dan dua frater yang ditempatkan untuk mengajar filsafat dan teologi serta sekaligus mengurus asrma. Bahkan yang ditunjuk sebagai rektor adalah Romo Hardjawasita yang baru saja ditahbiskan pada tahun 1942. Berkat prinsip bahwa pendidikan imam tidak boleh berhenti, selama zaman Jepang, pendidikan imam di Seminari Tinggi berhasil mendidik sejumlah imam yang ditabiskan dalam masa sulit tersebut. Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, selanjutnya Seminari Tinggi masuk ke dalam periode pembangunan kembali yang merupakan masa perkembangan dan konsolidasi. Pada masa ini, program Seminari ditekankan pada pengadaan staf dan dosen tetap. Mgr. A.
Soegijapranata SJ selalu memberi
bimbingan supaya para calon imam tidak patah semangat di tengah jalan meskipun banyak kesusahan yang harus mereka atasi. Walaupun tidak secara berkala mengunjungi Seminari Tinggi dan berwawancara dengan para seminaris, perhatian beliau sangat besar terhadap formasi seminaris di Seminari Tinggi dengan mengadakan waktu untuk memberikan khalwat kepada para calon imam yang nanti akan berkarya di wilayahnya, untuk memberikan petunjuk agar mereka dapat berhasil dalam pengabdiannya di paroki-paroki. Disamping itu beliau selalu berusaha mengadakan kontak kekeluargaan dengan orang tua atau sanak keluarga dari para calon imam karena peranan orang tua dan keluarga dalam membina panggilan adalah begitu besar, dan merekalah yang antara lain mampu memberikan dukungan dan dorongan moril kepada putraputranya yang berniat menjawab panggilan imamatnya. Dalam rangka pengembangan pendidikan ini Soegijapranata selalu mendorong agar sedapat mungkin disesuaikan dengan kebutuhan lingkungan masyarakat sekitar. Supaya mata pelajaran yang diberikan tidak hanya yang serba teoritis yang mengawang, tetapi agar anak-anak didik diberi bekal kemampuan praktis untuk kehidupan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
130
dikemudian hari. Menjelang tahun 1941 saat ia bertanggung jawab atas Seminari Menengah Mertoyudan . E. Terlibat Dalam Revolusi Nasional Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia ditandai dengan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan tersebut masih harus dipertahankan
dari usaha perebutan kekuasaan oleh
Belanda.
Belanda
melancarkan dua aksi militer untuk menggempur militer Indonesia hingga terciptanya suasana yang kacau balau. Setelah mendengar berita bahwa bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan yang kemudian dipertegas oleh maklumat
dari
Mr.
Wongsonegoro,
Mgr.
Soegijapranata
SJ
langsung
memerintahkan untuk membuat bendera merah putih yang besar. Bendera tersebut kemudian dipasang di depan pastoran Gedangan, Semarang. Sejak saat itu, halaman pastoran Gedangan selalu ‘dihiasi’ oleh bendera Republik Indonesia yang berkibar dengan megah setiap hari. Tindakan Mgr. Soegijapranata SJ itu membuat gerah pihak Belanda/ NICA yang segera menegur atas tindakan pengibaran bendera merah putih itu. Mgr. A. Soegijapranata SJ merespon teguran itu dengan mengatakan bahwa pengibaran bendera merah putih merupakan tindakan kepatuhannya kepada pemerintah di sini (Indonesia). Malah beliau menantang pimpinan Belanda/NICA dengan berkata “kalau kamu ingin bendera itu turun, coba datanglah kembali dan rebutlah kekuasaan di sini” Pemindahan ibu kota ke Yogyakarta merupakan bagian dari strategi untuk menyelamatkan
kemerdekaan
dan
pemerintahan
RI
yang
baru
saja
diproklamasikan. Sejalan dengan usaha tersebut, Mgr. A. Soegijapranata SJ memperlihatkan
dukungannya
terhadap
pemerintahan
RI
dengan
cara
memindahkan pusat pelayanan umat Katolik di wilayahnya dari kota Semarang ke Yogyakarta mulai tanggal 13 Februari 1947 Dalam usahanya membela bangsa dan negara, Mgr. A. Soegijapranta SJ mencoba mendapatkan dukungan dari luar negeri terhadap posisi Indonesia yang semakin terdesak akibat agresi militer Belanda. Usaha ini berhasil mendatangkan
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI
131
delegasi Vatikan di Yogyakarta pada bulan Desember 1947 dan tindakan inilah yang sering disebut dengan aksi diplomatik Vatikan. F. Soegijapranata mengabdi Negara 1. Terlibat Dalam Revolusi Nasional 2. Menolong Rakyat Miskin 3. Menginspirasi orang Katolik