PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Nurul Hidayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.
Bogor,
Desember
2005
NURUL HIDAYAH NRP. A.154040235
ii
ABSTRAK Nurul Hidayah, Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Kelompok Kelompok Swadaya Masyarakat di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibimbing oleh Arya Hadi Dharmawan sebagai ketua dan Edi Suharto sebagai anggota komisi pembimbing. Kemiskinan dialami lebih dari 20 persen Kepala Keluarga dari 3895 Kepala Keluarga yang ada di Desa Wonokromo. Pemerintah telah berusaha mengatasi kemiskinan tersebut melalui berbagai program, diantaranya adalah P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) yang dilaksanakan ada awal tahun 2000. Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Desa Wonokromo terbentuk karena adanya P2KP. Pada tataran konseptua l, KSM mempunyai fungsi yang sangat ideal. Namun, pada kenyataannya hampir semua KSM yang ada di Desa Wonokromo terbentuk hanya sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman dari P2KP, sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan terjadi melalui media kelompok tidak terwujud. Namun demikian, KSM yang sudah ada tersebut mempunyai peluang untuk diberdayakan agar berfungsi seperti yang diharapkan. Tujuan utama dari kajian ini adalah menyusun program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM secara partisipatif. Namun demikian, sebelum sampai pada tujuan utama tersebut, kajian ini juga bertujuan memetakan kondisi sosio-ekonomi dan budaya komunitas Desa Wonokromo, menganalisis dan meninjau pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo, dan mengetahui profil dan kapasitas KSM yang menjadi subjek kajian. Kajian ini bersifat kualitatif dan data diperoleh dengan metode non survei. Data dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari laporan kegiatan, data desa dan sebagainya. Sementara data primer diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam dan FGD (Focused Group Discussion). Adapun yang menjadi sumber data primer dalam kajian ini adalah aparat Desa Wonokromo, pengurus BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat), tokoh masyrakat, anggota masyarakat, Fasilitator Kelurahan, Bapppeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah) Kabupaten Bantul dan anggota KSM. KSM yang menjadi subjek kajian ini adalah KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, dengan alasan bahwa kedua KSM memiliki perbedaan dalam beberapa hal. Ada 11 macam kegiatan yang berhasil disusun dalam kajian ini, yaitu: (1) perumusan tujuan dan harapan kelompok bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (2) Mengadakan pertemuan rutin bagi KSM Teratai, (3) perumusan norma tertulis kelompok dan pembentukan komitmen untuk mematuhinya bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (4) peningkatan kemampuan manajemen keuangan bagi KSM Teratai, (5) pembentukan kerjasama antar anggota bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (6) membentuk kerjasama dengan KSM/lembaga lain bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (7) peningkatan kemampuan kewirausahaan bagi anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (8) pelatihan teknis produksi industri rumah tangga bagi anggota KSM Teratai, (9) pendampingan untuk memperoleh pinjaman modal usaha bagi anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (10) pendampingan dalam pemasaran hasil kerajinan bagi anggota KSM Teratai, dan (11) pendampingan dalam meningkatkan kualitas hasil kerajinan bagi anggota KSM Teratai.
iii
@ Hak cipta milik Nurul Hidayah, tahun 2005 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya
iv
RIWAYAT HIDUP
Nurul Hidayah lahir di Sleman pada tanggal 2 September 1967 dari pasangan Drs. H. Sarodja Dahlan dan Hj. Djazriyah. Pada tahun 1992 menikah dengan Drs. Taufik Nugroho, M.Ag dan telah memiliki tiga orang anak, yaitu Nabila Sholihah , Fahmi Syahida, dan Hanan Zaky Naufal. Pendidikan SD hingga SLTA ditempuh di Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1992. Pada tahun 1998 diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dan saat ini bertugas di Bagian Kepegawaian Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
v
PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
NURUL HIDAYAH
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
vi
Judul Tugas Akhir
:
Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Keompok Swadaya Masyarakat (Studi Kasus di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
Nama
:
NURUL HIDAYAH
NRP
:
A. 154040235
DISETUJUI KOMISI PEMBIMBING
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr. Ketua
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Edi Suharto, Ph.D Anggota
Dekan Sekolah Pasc a Sarjana
Dr. Djuara P. Lubis, MS
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
vii
PRAKATA Rasa syukur pengkaji panjatkan kepada Alloh SWT, karena atas rakhmat dan karunia-Nya pengkaji telah berhasil menyelesaikan Kajian Pengembangan Masyarakat yang menjadi salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister dalam progam Magister Pengembangan Masyarakat Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pengkaji ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah berperan dalam pelaksanaan Kajian Pengembangan Masyarakat ini, yaitu: 1. Departemen Sosial Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa kepada pengkaji. 2. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantu l yang telah memberikan ijin kepada pengkaji untuk mengikuti kuliah dalam program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 3. Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc, Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Djuar a P. Lubis, Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. 5. Drs. Marjuki M.Sc., Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung yang telah menyediakan fasilitas perkuliahan pada mahasiswa Program MPM IPB. 6. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan M.Sc.Agr, sebagai ketua komisi pembimbing. 7. Edi Suharto, Ph.D, sebagai anggota komisi pembimbing. 8. Aparat Desa Wonokromo yang telah memberi ijin kepada pengkaji dan memberikan informasi yang diperlukan. 9. Beberapa tokoh dan anggota masyarakat Desa Wonokromo yang telah memberikan informasi yang sangat berharga pada pengkaji. 10. Anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai yang telah berpartisipasi dalam penyusunan kajian ini. 11. Rekan-rekan mahasiswa MPM Angkatan II yang telah menjadi teman di kala suka dan duka. 12. Suami dan anak-anak tercinta yang telah memberikan dorongan semangat dan banyak berkorban untuk pengkaji. Pengkaji menyadari bahwa kajian ini masih jauh dari sempurna, namun pengkajii berharap kajian ini dapat memberi sumbangan kepada anggota KSM yang menjadi subjek dalam kajian ini dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memberi sumbangan pemikiran pada dunia akademik.
Bogor,
viii
Desember 2005
DAFTAR ISI Halaman Daftar Tabel………………………………………………………………...
x
Daftar Gambar …………………………………………………………….
xi
Daftar Singkatan…………………………………………………………...
xii
Bab I
Bab II
Pendahuluan…….……………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang Masalah …………………………………
1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………….
6
1.3. Tujuan………………………………………………………
7
Tinjauan Teori……………………………………………..
8
2.1. Kemiskinan………………………………………………...
8
2.1.1. Definisi Kemiskinan……..………………………..
8
2.1.2. Indikator Kemisikinan……………………………..
10
2.1.3. Penyebab Kemiskinan……………………………
10
2.1.4.Upaya Mengatasi Kemiskinan……………………
13
2.2. Pengembangan Masyarakat……………………………..
15
2.3. Pemberdayaan……………………………………………
16
2.4. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan……………...
20
2.5. Kelompok Swadaya Masyarakat………………………..
21
2.6. Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas
26
Kelembagaan KSM…………………………….………… Bab III
Bab IV
Metodologi………………………………………………………
30
3.1. Tempat dan waktu Kajian………………………………...
30
3.2. Cara Pengumpulan Data…………………………………
30
3.3. Teknik Analisis Data………………………………………
31
3.4. Cara Penyusunan Program………………………………
32
3.5. Refleksi Penerapan Metodologi Penelitian……………..
33
Peta Sosial Masyarakat Desa Wonkromo Kecamatan
38
Pleret Kabupaten Bantul………………………………………
ix
Bab V
4.1. Lokasi………………………………………………………
38
4.2. Kependudukan…………………………………………….
39
4.3. Sistem Ekonomi…………………………………………...
42
4.4. Struktur Komunitas………………………………………..
47
4.4.1. Stra tifikasi Sosial………………………………….
47
4.4.2. Kepemimpinan…………………………………….
49
4.5. Organisasi, Kelembagaan dan Adat Istiadat…………...
49
4.6. Sumber Daya Lokal……………………………………….
56
4.7. Masalah Sosial…………………………………………….
58
4.8. Ikhtisar………...………………………………………… …
60
Tinjauan terhadap Program P2KP
63
5.1. Deskripsi Kegiatan…..……...……………………………
63
5.1.1. Penyelenggara.......….……………………………
64
5.1.2. Sumber Biaya……………………………………..
65
5.1.3. Pendekatan……………………………………….
67
5.1.4.Golongan Partisipan Kegiatan…………………..
69
5.2. Pengembangan Ekonomi Lokal…………………………
70
5.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial
71
dalam P2KP………….. ………………………………….
Bab VI.
Kebijakan dan Perencanaan Sosial……………………..
72
5.4. Analisis Kritis terhadap P2KP…………………………..
75
5.6. Saran terhadap Pelaksanaan P2KP…………………….
78
5.7. Ikhtisar……………………………………………………..
79
Profil dan Kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat
81
6.1. Profil Kelompok Swadaya Masyarakat………………….
81
6.2. Analisis terhadap Kapasitas Kelembagaan KSM……..
82
6.2.1. KSM Maju Lancar…………………………………
85
6.2.2. KSM Teratai………………………………………..
93
6.3. Analisis terhadap Kekompakan Kelompok……………..
100
6.4. Analisis terhadap Permasalahan KSM yang dihadapi
102
KSM di Tingkat Kelompok………………………………. 6.5. Analisis Permasalahan di Tingkat Individu Anggota KSM………………………………………………………..
x
103
Bab VII
6.6. Ikhtisar……………………………………………………..
108
Program Pengembangan Kapasitas KSM………..………...
110
7.1. Latar Belakang Program Pengembangan Kapasitas
110
KSM….……………………………………………………. 7.2. Proses Penyusunan Program Pengembangan
111
Kapasitas KSM secara Partisipatif……..……………… 7.3. Berbagai Kegiatan dalam Program Pengembangan
114
Kapasitas KSM……………………………………………
Bab VIII
Kesimpulan dan Rekomendasi………………………………
125
8.1. Kesimpulan……………………………………………….
125
8.2. Rekomendasi Kebijakan…………………………………
128
Daftar Pustaka……………………………………………………………..
131
Lampiran……………………………………………………………………
133
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Pedoman Pengambilan Data Lapangan ……………….
32
Tabel 2.
Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin pada Tahun 2004………………………………
40
Tabel 3.
Jumlah Penduduk Desa Wonokrmo menurut Tingkat Pendidikan pada Tahun 2004…………………….……..
42
Tabel 4.
Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Menurut Mata Pencaharian pada Tahun 2004………………………….
43
Tabel 5.
Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Menurut Luas Kepemilikan Tanah Penduduk pada Tahun 2004……..
45
Tabel 6.
Jumlah Penduduk Penduduk Desa Wonokromo Berdasarkan Kepemilikan Hewan Ternak pada Tahun 2004………………….…………………………………….
46
Tabel 7.
Jumlah Hewan Ternak di Desa Wonokromo pada Tahun 2004………………………………………………..
46
Tabel 8.
Jumlah Usaha kecil/kerajinan di Desa Wonokromo padaTahun 2004…………………………………………..
47
Tabel 9.
Jumlah Modal Usaha Kredit P2KP di Desa Wonkromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2004………………………………………………………...
66
Tabel 10.
Prosentase Kredit Macet P2KP di Desa Wonokromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 20004……….
67
Tabel 11.
Jumlah KSM yang memperoleh pinjaman P2KP di Desa Wonokromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2004………………………………………………..
69
Tabel 12.
Inventarisasi Permasalahan dalam Pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo………………………………
78
Tabel 13.
Kondisi Saat ini Kapasitas Kelembagaan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai………………………………….
98
Tabel 14.
Kondisi Kapasitas Kelembagaan KSM yang diharapkan setelah Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas KSM………………………...
99
Tabel 15.
Hasil Analisis Kekompakan Kelompok terhadap KSM Maju Lancar dan KSM Teratai pada saat ini…………...
100
xii
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Tabel 19.
Kekompakan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai yang diharapkan setelah Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM……….
101
Permasalahan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai di Tingkat Kelompok …………………….………………….
102
Permasa lahan di Tingkat Individu Anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai………………………………….
109
Daftar Kegiatan dalam Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai………………………………………………………
118
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM………………………………………
29
Gambar 2.
Stratifikasi Sosial Masyarakat Desa Wonokromo……..
49
Gambar 3.
Bagan Alir Proses Penyusunan Program Pengembangan Kapasitas KSM secara Par tisipatif pada KSM Maju Lancar dan KSM Teratai ……………..
113
xiv
DAFTAR SINGKATAN
AMA
: Association of Metropolitan Authorities
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
BAPPEDA
: Badan Perencana Pembangunan Daerah
BKM
: Badan Keswadayaan Masyarakat
BKPK
: Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
BLM
: Bantuan Langsung Masyarakat
BPD
: Badan Perwakilan Desa
FGD
: Focused Group Discussion
IDT
: Inpres D esaTertinggal
ILO
: International Labour Organization
KMW
: Konsultan Manajemen Wilayah
KSM
: Kelompok Swadaya Masyarakat
KUT
: Kredit Usaha Tani
KUBE
: Kelompok Usaha Bersama
LPMD
: Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa
P2KP
: Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
PJOK
: Penanggung Jawab Operasional Kegiatan
PRISMA
: Persatuan Remaja Islam Masjid
UNICEF
: United Nation Children Funds
UNDP
: United Nation Development Programs
UPK
: Unit Pengelola Keuangan
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial di Indonesia yang sangat penting dan perlu dicari jalan keluarnya. Hal ini disebabkan, karena kemiskinan merupakan “pintu masuk” bagi permasalahan sosial yang lain seperti anak jalanan, pekerja anak, anak telantar,
kekurangan gizi,
rendahnya tingkat pendidikan dan sumber daya manusia, kriminalitas dan sebagainya. Berdasarkan data UNICEF (United Nations Children Funds ) dan UNDP (United Nations Development Pr ograms) pada Juli 1999, hampir 24 persen dari seluruh penduduk Indonesia atau lebih dari 50 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Separuh lebih dari anak Indonesia kekurangan gizi dan ratusan anak meninggal karena kekurangan gizi berat (marasmus kwashiokor). Data tersebut juga menunjukkan bahwa 60 persen dari ibu hamil dan anak sekolah kekurangan zat besi atau anemia, 15 persen dari yang lahir memiliki berat badan yang sangat rendah. Di samping itu, 6,5 juta anak diperkirakan tidak masuk sekolah dan menjadi pekerja anak, anak jalanan, dan terjerumus dalam dunia prostitusi. Di antara yang sekolah, hanya separuh dari mereka yang masuk hingga kelas enam dan kurang dari 50 persen dari yang lulus akan meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berdasa rkan
kenyataan
ini,
Indonesia
berpotensi
mengalami
deprivasi kualitas sumber daya manusia dan the lost generation (Hikmat, 2001:134). Pada kurun waktu 1976-1996 angka kemiskinan pernah turun dari 40,1 persen menjadi 11,3 persen. Namun demikian pada tahun
1996-1998
jumlah penduduk miskin meningkat dari 22,5 juta jiwa (11,3 persen) menjadi 49,5 juta jiwa (24,29 persen) akibat terjadinya
krisis moneter pada tahun
1997. ILO (International Labour Organization)
memperkirakan
jumlah
penduduk miskin di Indonesi a pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta jiwa atau sekitar 66,3 persen dari seluruh jumlah penduduk (Suharto et al, 2003:1). Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2002 menunjukkan jumlah penduduk miskin mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,66 juta jiwa (43 persen) termasuk dalam kategori fakir
1
miskin (Suharto, 2005:86). Dampak dari kemiskinan terlihat di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hingga bulan Oktober 2005 sebanyak 94 anak dilaporkan meninggal karena gizi buruk dan saat ini ada sekitar 9.829 anak dalam status gizi buruk yang memerlukan bantuan (Kompas, 17 Desember 2005). Sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, dan masalah utama yang ada di pedesaan adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Adapun gambaran nyata dari kemiskinan dan keterbelakangan di pedesaan adalah (1) pendapatan mayoritas penduduk yang rendah, (2) adanya kesenjangan
antara yang kaya dan miskin, (3) kurangnya
partisipasi
masyarakat dalam usaha pembangunan (Ismawan dan Kartjono yang dikutip oleh Mubyarto, 1985:26) Berdasarkan Praktek Lapangan I yang diadakan pada bulan Nopember 2004, kondisi-kondisi tersebut juga ada di Desa Wonokromo. Sebagian besar warganya yang memiliki pendidikan rendah (SLTP ke bawah) bekerja sebagai buruh lajon di kota Yogyakarta dengan pendapatan yang rendah dan tidak pasti, dan disisi lain ada sebagian kecil penduduk yang memiliki usaha yang cukup berhasil atau lahan pertanian yang luas. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, terutama mereka yang berpendidikan rendah masih sangat kurang. Permasalahan lain yang ada di Desa Wonokromo adalah pengangguran. Berdasarkan data desa tahun 2004, sekitar 28 persen dari 6742 orang penduduk usia kerja, belum terserap dalam lapangan ker ja. Disamping itu, kemiskinan dialami oleh 908 Kepala Keluarga (lebih dari 20 persen) dari 3895 Kepala Keluarga yang ada. Selama ini Pemerintah telah berusaha mengatasi kemiskinan melalui berbagai program. Beberapa program pemerintah antara lain adalah KUT (Kredit Usaha Tani), IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), dan sebagainya. Namun demikian program-program tersebut belum sepenuhnya berhasil mengatasi kemiskinan bahkan disinyalir telah menciptakan 2003:53).
ketergantungan pada bantuan pe merintah (Suharto et al,
Sejumlah
informasi
mengatakan
bahwa
program-program
penanggulangan kemiskinan tersebut kurang dapat menimbulkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat miskin sebagai objek dari progam-
2
program tersebut. Akibatnya, program-program tersebut tidak sustainable atau berkelanjutan. Pada awal tahun 2000, pemerintah melalui Departemen Kimpraswil melaksanakan program P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan).
Program
P2KP
pada
intinya
bertujuan
menanggulangi
kemiskinan seperti halnya dengan beberapa program tersebut di atas. Namun demikian,
nilai lebih dari program P2KP dibandingkan dengan
program-program terdahulu adalah
menggunakan pendekatan partisipasi,
yang dalam hal ini adalah keikutsertaan masyarakat
dalam mengelola
kegiatan P2KP. Kegiatan tersebut meliputi rembug kesiapan warga, Focused Group
Discussion
(FGD)
refleksi
kemiskinan,
pemetaan
swadaya,
pembuatan Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis), pengelolaan dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat), pembentukan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
dan
pembentukan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Nilai lebih lain dari program P2KP adalah menggunakan pendekatan pemberdayaan. Yang dimaksud dengan pendekatan pemberdayaan adalah strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (Sumarjo dan Saharudin, 2005:1). Arah dan tujuan utama dari pendekatan pemberdayaan adalah membuat masyarakat mandiri (dapat menyelesaikan masalahnya sendiri). Pendekatan pemberdayaan dalam P2KP nampak dalam pembentukan BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat). Baik BKM maupun KSM dibentuk oleh masyarakat dan dari masyarakat. BKM lembaga
yang
dibentuk
untuk
rangka
mengelola
memenuhi
BLM
merupakan suatu
(Bantuan
kebutuhan
dan
Langsung
Masyarakat)
dalam
kepentingan
masyarakat.
Para pengurus BKM merupakan representasi dari seluruh
masyarakat dan ditunjuk oleh masyarakat secara demokratis, partisipatif, transparan dan akuntabel. BKM ber tanggung jawab atas pelaksanaan keberlanjutan P2KP di tingkat masyarakat, baik dari sisi kelembagaan, kegiatan, maupun dana (tanpa nama, 2002:36). KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) merupakan kelompok yang beranggotakan orang-orang yang bersifat sukarela yang memiliki ikatan
3
sosial yang dibangun karena memiliki kesamaan dalam hal tujuan ekonomi, domisili, tujuan sosial, dan tujuan pembelajaran (tanpa nama, 2002:54). Berdasarkan laporan kegiatan P2KP Desa Wonokromo tahun 2004, jumlah KSM yang ada di Desa Wono kromo pada tahun 2000 ada 28 KSM ekonomi dan
tujuh KSM fisik, tahun 2002 ada 31 KSM ekonomi dan satu KSM
pelatihan, tahun 2002 ada 29 KSM ekonomi, tahun 2003 ada 36 KSM Ekonomi dan pada tahun 2004 ada 21 KSM Ekonomi (data dari bulan Januari sampai dengan Juni 2004). KSM ekonomi terdiri dari para anggota yang bergerak di bidang usaha ekonomi produktif seperti sektor perdagangan, usaha skala mikro dan kecil, serta mereka yang memiliki industri skala rumah tangga. Pembentukan KSM pada secara konseptual mempunyai tujuan yang sangat ideal. Tujuan tersebut adalah (1) memudahkan tumbuh kembangnya ikatan-ikatan dan solidaritas sosial serta semangat
kebersamaan antar
masyarakat, (2) mendorong warga masyarakat agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan, nila i-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, (3) mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien, (4) mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota, (5) terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lema h maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM, (6) mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajar/interaksi antar anggota, menggerakkan keswadayaan
dan
modal,
meningkatkan
dan
menertibkan
angsuran
pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota dan sebagainya (tanpa nama, 2002:24). Berdasarkan Praktek Lapangan II di Desa Wonokromo, diketahui bahwa beberapa tujuan pembentukan KSM tersebut belum dapat tercapai. Banyak anggota masyarakat yang bergabung sebagai anggota KSM hanya didasari oleh keinginan memperoleh kredit semata. Interaksi dan ikatan solidaritas antar anggota belum terjadi seperti yang diharapkan, sehingga proses pemberdayaan yang diharapkan seiring dengan pembentukan kelompok masih sulit untuk diwujudkan. Hal tersebut antara lain nampak dari belum adanya pertemuan rutin kelompok, dan kalaupun ada hanya bertujuan
4
untuk mengumpulkan angsuran pinjaman. Dengan demikian, pembentukan KSM belum berfungsi secara optimal. Kegagalan di atas menunjukkan bahwa KSM ekonomi di Desa Wonokromo memiliki sejumlah masalah dan sekaligus mempunyai sejumlah harapan. Harapannya adalah, bila KSM diberdayakan, akan dapat meningkatkan usaha ekonomi produktif para anggotanya. Tetapi jika tidak diberdayakan, maka KSM hanya akan berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman. Salah satu upaya agar KSM berfungsi secara optimal adalah dengan mengembangkan kapasitas kelembagaan KSM. Pengembangan kapasitas kelembagaan adalah suatu proses memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia, serta menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku 1992:56).
(Israel,
Pengembangan kapasitas kelembagaan KSM tersebut perlu
dilakukan mengingat fungsi sebagian besar KSM di Desa Wonokromo masih terbatas sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman melalui program P2KP. KSM yang terdiri atas beberapa anggota yang bergerak pada usaha skala mikro dan kecil dan industri rumah tangga dan perdagangan mempunyai pote nsi untuk dikembangkan. Melalui
KSM diharapkan para
anggota dapat meningkatkan usaha, mengingat lembaga tradisional yang ada seperti kelompok arisan kurang diharapkan sebagai sarana untuk pemupukan modal dan lebih berfungsi sosial dari pada ekonomi. Bila usaha ekonomi produktif mereka dapat ditingkatkan, akan dapat menyerap tenaga kerja di Desa Wonokromo. Hal ini disebabkan, bila suatu usaha mengalami peningkatan
maka akan memerlukan lebih banyak tenaga kerja dalam
melangsungkan usaha tersebut. Usaha kecil, mikro dan industri rumah tangga serta sektor perdagangan di Desa Wonokromo berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka mengatasi kemiskinan yang ada di desa tersebut. Hal ini mengingat bahwa Desa Wonokromo mempunyai sarana dan prasarana yang dapat mendukung sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro. Sarana dan prasarana tersebut antara lain adalah sarana transportasi yang memadai, bank, pasar desa, puluhan kios, dan sebagainya. Disamping itu, sektor pertanian kurang dapat diharapkan menjadi sumber nafka h utama yang disebabkan sempitnya
5
kepemilikan lahan dan rendahnya harga produk pertanian. Pengembangan sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro dapat dilakukan melalui KSM dimana sebagian dari para pelaku di sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro tersebut bergabung. Atas dasar pemikiran di atas, pengkaji tertarik untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kapasitas KSM yang ada Desa Wonokromo, dan mengapa KSM belum berfungsi secara optimal. 1.2. Rumusan Masalah Masalah kemiskinan dan pengangguran yang ada di Desa Wonokromo yang
disebabkan
terbatasnya
semakin sempitnya kepemilikan lahan pertanian dan
lapangan
kerja,
antara
lain
dapat
diatasi
dengan
mengembangkan sektor perdagangan dan usaha skala mikro dan kecil. Bila sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro dapat berkembang, diharapkan dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja yang ada di desa tersebut. Hal ini dikarenakan, bila suatu usaha sudah berkembang dengan baik akan memerlukan jumlah tenaga kerja yang semakin banyak. Keberadaan masyarakat Desa Wonokromo yang mempunyai usaha ekonomi produktif merupakan hal yang menggembirakan. Hal ini didukung dengan bantuan dana dari pemerintah melalui program P2KP yang sebagian diperuntukkan bagi kredit usaha ekonomi produktif. Namun demikian, usaha ekonomi produktif rentan menemui kegagalan, karena memerlukan daya juang tinggi dan kemampuan manajerial dalam mengelola usaha. Oleh karena itu pendampingan terhadap usaha produktif perlu dilakukan. Pendampingan tersebut antara lain dapat dilakukan melalui KSM dimana para pemilik usaha ekonomi produktif tersebut bergabung. KSM yang ada di Desa Wonokromo sekarang ini masih belum berfungsi secara optimal. KSM yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman melalui P2KP, mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kelompok yang dapat membantu para anggotanya dalam meningkatkan usaha. Oleh karena itu, pemberdayaan KSM perlu dilakukan
dengan
sungguh-sungguh
yang
dapat
dilakukan
dengan
pengembangan kapasitas kelembagaan KSM.
6
Program P2KP mengetahui
yang ada di Desa Wonokromo perlu dikaji untuk
sejauhmana
program
tersebut
memberi
manfaat
bagi
masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan untuk memberi masukan bagi penyusunan program pengembangan masyarakat yang akan dilakukan dalam kajian ini. Penyusunan suatu program pengembangan masyarakat (dalam hal ini pengembangan kapasitas kelembagaan KSM) tidak dapat mengabaikan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang ada dalam masyarakat, dikarenakan kondisi -kondisi tersebut akan ikut mewarnai kapasitas kele mbagaan KSM yang ada. Dengan demikian sebelum menyusun program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM, perlu terlebih dulu melakukan pemetaan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di Desa Wonokromo. 1.3. Tujuan Kajian Pengembangan Masyarakat ini memiliki beberapa tujuan yang saling terkait. Pada
intinya, tujuan akhir dari kajian ini adalah menyusun
program pengembangan masyarakat yang berupa pengembangan kapasitas KSM. Secara rinci, beberapa tujuan dari kajian ini adalah: (1) Memetakan kondisi sosio-ekonomi dan budaya komunitas Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul. (2) Menganalisis dan mengevaluasi program P2KP yang ada di Desa Wonokromo. (3) Mengetahui profil dan kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat yang menjadi subjek kajian. (4) Menyusu n program pengembangan kapasitas Kelompok Swadaya Masyarakat yang menjadi subjek kajian.
7
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Kemiskinan 2.1.1. Definisi Kemiskinan Istilah kemiskinan sudah
dikenal secara luas oleh masyarakat umum.
Namun demikian, pengertian kemiskinan masih sering menjadi perdebatan. Para ahli berusaha merumuskan istilah tersebut sesuai dengan tekanan dan persepsi masing-masing. Soekanto (2003:352) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf/standar kehidupan kelompok atau masyarakat di sekitarnya dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya. Sementara itu Friedman sebagaimana dikutip oleh Suharto et al (2003:6) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasa an sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi modal yang produktif atau aset (tanah, perumahan, peralatan kesehatan, dan sebagainya); sumber-sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai; organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, dan sebagainya); network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dll; pengetahuan dan ketrampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan orang. Ada dua macam perspektif yang dapat dipergunakan untuk mendekati masalah kemiskinan, yaitu perspektif kultural dan perspektif struktural atau situasional. Perspektif kultural mendekati masalah kemiskinan pada tiga tingkat analisis, yaitu individual, keluarga dan masyarakat. Pada tingkat individual, kemiskinan ditandai dengan sifat yang disebut dengan a strong feeling of marginality seperti sikap parokial, apatisme, fatalisme atau pasrah pada nasib, boros, tergantung dan inferior (rendah diri). Pada tingkat keluarga, kemiskinan ditandai dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Sementara pada tingkat masyarakat, kemiskinan terutama ditunjukkan dengan tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi -institusi masyarakat secara efektif (Usman, 2003:67). Menurut perspektif struktural atau situasional, masalah kemiskinan dilihat sebagai dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan
8
produk-produk teknologi modern. Penetrasi kapital antara lain terwujud dalam program-program pembangunan yang dinilai lebih mengutamakan pertumbuhan dan kurang memperhatikan pemerataan hasil pembangunan. Program-program tersebut
antara lain berbentuk intensifikasi, ekstensifikasi dan komersialisasi
pertanian untuk menghasilkan pangan sebesar-besarnya agar dapat memenuhi kebutuhan nasional dan eksport. Sedikit berbeda dengan pendapat Usman, Nasution sebagaimana dikutip oleh Rusli et al (2004:47)
membedakan kemiskinan menjadi dua, yaitu
kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga peluang produksi relatif kecil atau jika
kegiatan produksi
dapat dilakukan pada umumnya dengan tingkat efisiensi yang relatif rendah. Kemiskinan struktural atau disebut juga kemiskinan buatan merupakan kemiskinan yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang mencakup organisasi dan pranata yang terdapat dan berkembang di masyarakat. Organisasi dan pranata tersebut merupakan bagian dari sosial budaya masyaraka t. Dari dua definisi kemiskinan di atas dapat disimpulkan bahwa definisi pertama
memandang kemiskinan dari perspektif kultural, yaitu menekankan
pada ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan memanfaatkan tenaga, fisik dan mentalnya. Ketidakmampuan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti rendahnya sumber daya manusia, rendahnya etos kerja dan sebagainya. Sementara definisi kedua memandang kemiskinan dari perspektif struktural, yaitu ketidaksamaan kesempatan dalam mengakses sumber daya ekonomi.
Dari perspektif kultural, kemiskinan dapat
dilihat pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Pada tingkat individu nampak dalam rendahnya etos kerja, boros, tergantung dan sebagainya. Pada tingkat keluarga ditandai dengan jumlah keluarga yang besar. Sementara pada tingkat masyarakat diindikasikan dengan tidak terintegrasinya masyarakat miskin dalam lembaga-lembaga yang ada secara efektif. Pendapat lain mengatakan bahwa kemiskinan dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural atau buatan. Kemiskinan
9
alamiah disebabkan rendahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sementara kemiskinan struktural disebabkan oleh tatanan kelembagaan yang meliputi organisasi dan pranata yang ada dan berkembang di masyarakat. 2.1.2. Indikator Kemiskinan Hasil penelitian Iskandar (1993:48) menunjukkan bahwa ciri-ciri rumah tangga miskin adalah mempunyai anggota rumah tangga banyak, tingkat pendidikan kepala rumah tangga maupun anggotanya rendah, sering berubah pekerjaan,
sebagian besar mereka yang telah bekerja masih mau menerima
tambahan pekerjaan bila ditawarkan, dan sebagian sumber pendapatan utamanya adalah dari sektor pertanian. Bila dilihat dari pola pengeluaran rumah tangga, ternyata sebagian besar pengeluaran rumah tangga miskin adalah untuk makanan, dan bila ditelaah lebih jauh, persentase pengeluaran untuk kebutuhan karbohidrat lebih besar dibanding dengan persentase pengeluaran untunk protein. Di samping itu, penelitian ini juga menemukan bahwa kondisi tempat tinggal rumah tangga miskin masih memprihatinkan terutama dalam hal penyediaan air bersih dan listrik untuk penerangan. Sementara itu Sajogyo sebagaimana dikutip oleh
Rusli et al, (2004:46)
menggunakan tingkat pengeluaran setar a beras dalam menetapkan garis kemiskinan. Orang dikatakan miskin sekali jika tingkat pengeluaran perkapita pertahun setara kurang dari 240 kg beras bagi penduduk pedesaan dan 360 kg beras bagi penduduk perkotaan. Sedangkan jika pengeluaran kurang dari 180 kg beras bagi penduduk pedesaan dan 270 kg beras bagi penduduk perkotaan, maka dikatakan sebagai golongan penduduk paling miskin. Pendapat
Sajogya
tentang
ciri-ciri
orang
miskin
didasarkan
pada
pengeluaran individu tiap tahun yang dikonversikan dengan jumlah kilogram beras. Sementara hasil penelitian Iskandar
menunjukkan bahwa ciri-ciri
kemiskinan dapat dilihat dari perspektif yang lebih luas dan melihatnya dari berbagai aspek seperti jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, jenis dan karakter perkerjaan dan proporsi/jenis pengeluaran. 2.1.3. Penyebab Kemiskinan Untuk memahami penyebab masalah kemiskinan di Indonesia, ada dua macam paradigma yang dapat digunakan yaitu pertama, teori neo liberal dan
10
teori demokrasi sosial. Para pendukung teori neo liberal mengatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah kelemahan dan pilihan-pilihan individu, lemahnya pengaturan pendapatan, lemahnya kepribadian (sikap pasrah, rendahnya tingkat pendidikan, malas). Sementara itu para pendukung teori demokrasi sosial mengata kan bahwa kemiskinan disebabkan oleh adanya ketimpangan struktur ekonomi dan politik serta ketidakadilan sosial (Suharto, 2005:88). Merujuk kondisi kemiskinan di negara maju, Zastrow (2000:138) mengidentifikasikan bahwa kemiskinan disebabkan oleh berbagai hal, yaitu tingginya pengangguran, rendahnya kesehatan fisik,
cacat fisik, masalah
emosional, mahalnya biaya medis, kecanduan alkohol, pemakaian obat-obatan terlarang, besarnya jumlah anggota keluarga, penempatan kerja yang tidak sesuai/berlawanan
dengan
penggunaan
mesin,
kurangnya
ketrampilan,
rendahnya tingkat pendidikan, wanita sebagai kepala keluarga dengan anak kecil, rendahnya biaya hidup, diskriminasi ras, bekas narapidana, tinggal di daerah yang tidak membutuhkan pekerjaan, perceraian, kematian pasangan hidup, perjudian, rendahnya upah kerja, retardasi mental dan memasuki usia pensiun. Dawam
Raharjo
sebagaimana
dikutip
oleh
Jamasy
(2004:37)
menyebutkan bahwa ada tujuh faktor penyebab kemiskinan yang terkait satu sama lain. Faktor -faktor tersebut adalah: (1) kecilnya kesempatan kerja sehingga masyarakat tidak memiliki penghasilan tetap; (2) upah/gaji di bawah standar minimum, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar; (3) produktivitas kerja yang rendah; (4) ketiadaan aset, misalnya lahan untuk bertani dan modal untuk melakukan usaha; (5) diskriminasi dalam jenis kelamin dan kelas sosial; (6) tekanan harga, misalnya karena mekanisme permintaan dan penawaran bebas; dan (7) penjualan tanah yang berpotensi untuk masa depan keluarga. Pendapat tersebut lebih menekankan pada kemiskinan struktural. Menurut Tansey dan Ziegley sebagaimana dikutip oleh Suharto et al, 2003:8), kemiskinan mempunyai tiga penyebab, yaitu: 1. Human capital deficiencis, yaitu deefisiensi modal manusia yang berati rendahnya kualita s sumber daya manusia, seperti rendahnya
11
pengetahuan dan ketrampilan sehingga menyebabkan mendapatkan pekerjaan yang rendah pendapatannya dan rendahnya daya beli; 2. Insufficient demand for labor, yaitu rendahnya permintaan akan tenaga kerja sehingga meningkatkan pengangguran. Pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki pendapatan, daya beli rendah dan akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar; 3. Discrimination, yaitu adanya perlakuan yang berbeda terhadap golongan tertentu terutama dalam aksesibilitas terhadap sumber daya dan adanya dominasi pihak tertentu terhadap sumber daya tersebut. Sementara itu BKPK (Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan) dan Lembaga Penelitian SMERU mengidentifikasikan penyebab kemiskinan sebagai berikut: (1) Keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar, (2) Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan-goncangan (misal: krisis ekonomi, kehilangan pekerjaan, kegagalan panen, banjir atau kekeringan, bencana alam, kekerasan dalam rumah tangga, musibah, dsb), (3) Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena tidak adanya kepastian hukum, tidak ada perlindungan dari kejahatan, kesewenang -wenangan aparat, ancaman dan intimidasi, kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan dan rendahnya posisi tawar masyarakat miskin (Suharto et al, 2003:9). Di
samping
ketidakmampuan
hal-hal
individu
di
atas,
karena
kemiskinan
faktor-faktor
juga
yang
disebabkan
tidak
oleh
diinginkannya.
Hemmer, Spicker dan Weissberg sebagaimana dikutip oleh Dharmawan (2000:6) mengatakan bahwa kemiskinan dialami oleh : (1) orang yang mengalami cacat mental, (2) orang dengan cacat fisik, (3) orang yang mengalami penyakit menahun, (4) manusia usia lanjut yang tidak produktif, (5) orang yang tinggal di daerah miskin, (6) orang yang tidak memiliki pekerjaan, (7) orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, (8) petani dengan lahan garapan yang sempit, (9) petani buruh, dan (10) orang yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan pas-pasan.
12
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu rendahnya etos kerja, rendahnya pendidikan
dan
sumber
daya
manusia,
masalah
emosional,
lemahnya
kepribadian (malas, sikap pasrah), ketidakmampuan individu karena faktor-faktor di luar keinginannya, ketimpangan struktur sosial dan politik, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat miskin, krisis ekonomi,
diskriminasi ras/sosial/jenis kelamin, kecilnya kesempatan kerja,
upah/gaji di bawah standar minimum, bencana alam, kegagalan panen, tidak adanya suara yang mewakili dan membela masyarakat miskin, ancaman atau intimidasi dan sebagainya. 2.1.4. Upaya Mengatasi Kemiskinan Sejak jaman Orde Baru, pemerintah telah berusaha mengatasi masalah kemiskinan. Program-program pemerintah yang berusaha menanggulangi kemiskinan adalah KUT (Kredit Usaha Tani), IDT (Inpres Desa Tertinggal), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), dan masih banyak lagi. Namun demikian, beberapa ahli mengatakan bahwa program-progam di atas kurang dan bahkan tidak melibatkan masyarakat miskin dan menjadikan masyarakat miskin sebagai ob jek dari
program-program
tersebut.
Akibatnya,
masyarakat
enggan
untuk
berpartisipasi yang berdampak pada ketidakberlanjutan program. Hasil penelitian Suharto et al (2003:52-53) terhadap berbagai program pengentasan kemiskinan di 17 propinsi di Indonesia menunjukkan kesimpulan sebagai berikut: (1) sebagian besar responden (88 persen) menyatakan bahwa berbagai
program
pengentasan
kemiskinan
belum
dapat
meningkatkan
pendapatan keluarga secara maksimal, (2) sebagian besar responden (80 persen) menyatakan bahwa program yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan, karena hampir semua program kurang memberikan bimbingan ketrampilan yang memadai, terdapat beberapa program yang tidak mengalokasikan dananya untuk kegiatan
bimbingan
ketrampilan
karena
sifat
progamnya
yang
bersifat
pencegahan, (3) menurut sebagian besar responden, program anti kemiskinan tidak dapat menciptakan kemandirian penerima bantuan. Bahkan beberapa program seperti RASKIN (Beras untuk Orang Miskin) dan JPS (Jaring Pengaman Sosial) dapat menciptakan ketergantungan dan kepasifan penerima bantuan.
13
Untuk mengatasi kemiskinan, seharusnya ter lebih dulu memperhatikan perspektif yang digunakan untuk melihat masalah tersebut. Menurut Usman (2003:68), jika akar masalah kemiskinan berkaitan dengan faktor kultural, maka yang diperlukan adalah menyusun strategi yang mampu meningkatkan etos kerja kelompok miskin, meningkatkan pendidikan supaya lebih memiliki pola pikir yang melihat ke masa depan, dan menata kembali institusi-institusi ekonomi supaya dapat mengakomodasi kelompok miskin. Sementara bila melihat
kemiskinan
berakar pada masalah struktural, strategi pembangunan perlu dirumuskan kembali dan tidak mementingkan pertumbuhan tetapi lebih mementingkan pemerataan kesempatan. Usman sebagaimana dikutip oleh
Jamasy (2004:xvi - xviii) mengatakan
bahwa ada beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk pengentasan kemiskinan yang berorientasi pemberdayaan, yaitu: (1)
Peningkatan sumber daya manusia di tingkat lokal dengan cara mengembangkan
ketrampilan
dengan
metode
a
dispersed
approach, yaitu dengan melatih semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pengentasan dan penanggulangan kemiskinan (aparat pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat miskin) untuk mengenali strategi dan inovasi yang akan diintroduksi. (2)
Penguatan pemimpin dan kepemimpinan di tingkat lokal. Dalam hal ini pemimpin harus mampu menjadi panutan masyarakat sekaligus diakui
kepemimpinannya
oleh
elit
lokal
lain,
memiliki
perbendaharaan pengetahuan sosial, ekonomi, dan politik lokal, sehingga mampu menterjemahkan berbagai kebutuhan kelompok miskin dan mampu menawarkan alternatif solusi ketika menghadapi berbagai
masalah
sosial.
Proses
penguatan
pemimpin
dan
kepemimpinan memerlukan waktu yang lama, namun harus dilakukan karena masyarakat yang tidak memiliki pemimpin yang kuat akan mudah terombang ambing oleh berbagai gesekan dan perubahan pemikiran. (3)
Penguatan kapasitas lembaga lokal, yaitu dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga adat yang sudah berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pihak luar yang mampu
14
berperan sebagai katalisator dan agen perubahan. Penguatan kapasitas lembaga perlu dilakukan dengan membangun jaringan vertikal dan horisontal. Jaringan horisontal dilakukan dengan lembaga pada level yang kurang lebih yang sama. Sementara jaringan ver tikal
dilakukan dengan lembaga-lembaga lain yang
cakupan kegiatannya lebih luas atau posisinya lebih tinggi. Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
upaya
mengatasi
kemiskinan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melihat perspektif yang digunakan. Bila menggunakan perspektif kultural, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan etos kerja, pendidikan, dan menata institusi ekonomi agar dapat mengakomodasi kelompok miskin. Sementara bila menggunakan perspektif struktural,
yang
perlu
dilakukan
adalah
merumuskan
kembali
strategi
pembangunan agar lebih mementingkan pemerataan kesempatan dan tidak mementingkan pertumbuhan. Upaya mengatasi kemiskinan yang berorientasi pemberdayaan dapat dilakukan dengan peningkatan sumber daya manusia di tingkat lokal, penguatan kepemimpinan dan pemimpin lokal dan penguatan kapasitas lembaga lokal. 2.2. Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat merupakan gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup seluruh komunitas melalui partisipasi aktif dan jika mungkin berdasarkan prakarsa komunitas (Brokensha dan Hodge yang dikutip oleh Adi, 200:23). Gerakan tersebut meliputi berbagai kegiatan pembangunan ditingkat lokal baik yang dilakukan pemerintah ataupun oleh lembaga-lembaga non pemerintah. Sementara itu AMA (Association of Metropolitan Authorities ) mendefinisikan
pengembangan
masyarakat
sebagai
metode
yang
memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupan (Suharto, 2005: 38). Disamping itu pengembangan masyarakat merupakan salah satu metode pekerjaan sosial yang utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumbersumber yang ada pada mereka serta menekankan prinsip-prinsip partisipasi sosial.
15
Ife (1995:108-115) mengemukakan beberapa prinsip pengembangan masyarakat, di antaranya adalah: (1) terintegrasi, pengembangan masyarakat hendaknya dapat mengintegrasikan berbagai aspek kehidupan masyarakat, yaitu sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan pribadi/spiritual, (2) keberlanjutan, yang diindikasikan dengan penggunaan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seminimum mungkin dan pembatasan pertumbuhan yang cenderung
bertentangan dengan prinsip keberlanjutan (3) pemberdayaan,
yang berarti memberikan ketrampilan
untuk
menentukan
sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan
meningkatkan
masa
depan
sendiri
kapasitas dan
atau
untuk
kemampuan berpartisipasi
untuk dalam
mempengaruhi kehidupan komunitasnya, (4) kemandirian, yaitu masyarakat didorong
untuk
mengandalkan
menggunakan dukungan
keinklusifan/tanpa kekerasan,
sumberdaya
proyek
atau
yang
dimiliki
sumbangan
dari
dan luar,
tidak (5)
yang dapat ditempuh dengan membangun
dialog dan meningkatkan saling pengertian, (6) konsensus, yaitu mengarah pada persetujuan dan bertujuan untuk mencapai solusi yang yang dimiliki oleh komunitas, dan (7) partisipasi, yang bertujuan agar setiap orang terlibat aktif dalam aktivitas-aktivitas komunitas. Dengan demikian, pengembangan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu geraka n, baik yang dilakukan pemerintah ataupun masyarakat dengan tujuan meningkatkan taraf hidup seluruh komunitas yang melibatkan partisipasi aktif dan prakarsa masyarakat. Adapun perinsip-prinsip pengembangan masyarakat diantaranya adalah terintegrasi, keberlajutan, pemberdayaan, kemandirian, keinklusifan/tanpa kekerasan, konsensus dan partisipasi. 2.3. Pemberdayaan Pemberdayaan merupakan strategi atau pendekatan dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat (people
centered
development). Pendekatan ini menyadari pentingnya
kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya melalui redistribusi modal atau kepemilikan (Korten yang dikutip oleh Sumarjo dan Saharudin, 2005:1).
16
Pemberdayaan adalah proses peningkatan kemampuan individu, atau kelompok,--
kekuatan
politik,
keluarga
atau
masyarakat-- agar
dapat
mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Akar pemberdayaan terletak pada pondasi politik dan filosofi masing-masing budaya seperti tertuang dalam konsep demokrasi yang mewujud dalam institusi politik. Semua hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan warga negara untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang berakibat pada
tingkat kesejahteraan (Swift yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:25). Konsep
pemberdayaan
berhubungan
dengan
kekuatan
individu
dan
kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku yang proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:25). Akar pemberdayaan terletak pada pondasi politik dan filosofi masingmasing budaya seperti tertuang dalam konsep demokrasi yang mewujud dalam institusi politik. pemberdayaan
Semua hal tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip warga
negara
untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan
keputusan yang berakibat pada tingkat kesejahteraan (Swift yang dikutip Dubois dan Miley, 2005:25). Konsep pemberdayaan berhubungan dengan kekuatan individu dan kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku yang proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson yang dikutip oleh Dubois dan Miley, 2005:16). Tujuan
utama
dari
pendekatan
pemberdayaan
adalah
membuat
masyarakat berdaya (mempunyai kekuatan). Kekuatan tersebu t meliputi aspek fisik dan material, aspek ekonomi dan pendapatan, aspek kelembagaan (tumbuhnya kekuatan individu dalam bentuk kelompok), kekuatan kerja sama, kekuatan intelektual (peningkatan SDM), dan kekuatan komitmen bersama untuk mematuhi dan menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Masyarakat berdaya berarti tahu, mengerti, paham dan termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang tersebut, berenergi, mampu bekerjasama, mengetahui berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan secara optimal, berani mengambil resiko atas keputusannya, mampu mencari
17
dan menangkap informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan taraf kehidupannya
dan
mampu
bertindak
secara
optimal.
Adapun
ciri-ciri
masyarakat berdaya adalah: (1) mampu memahami diri dan potensinya, (2) mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan), dan mengarahkan
dirinya
sendiri,
(3)
memiliki
kekuatan
untuk
berunding,
bekerjasama secara saling menguntungkan dengan bargaining power yang memadai, dan (4) bertanggung jawab atas tindakannya sendiri (Sumarjo dan Saharudin, 200:2). Masyarakat berdaya memiliki arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat dalam seluruh tahapan program. Setiap komponen dan elemen masyarakat pasti mempunyai kemampuan atau potensi.
Sumodiningrat
sebagaimana
dikuti
oleh
Jamasy
(2004:40)
mengatakan bahwa upaya untuk mencapai kemandirian masyarakat adalah dengan mewujudkan potensi kemampuan yang mereka miliki. Upaya untuk mencapai kemandirian tidak mudah dan tidak bisa diukur dengan waktu. Namun demikian, tidak mustahil proses pemberdayaan menuju kemandirian ditentukan ukuran waktunya. Hal tersebut tergantung pada bagaimana proses dalam mengelola sebuah program dan bagaimana mempertahankan komitmen (komitmen kepada misi dan komitmen kepada profesionalisme). Nugroho sebagai mana dikutip oleh Jamasy (2004:42) mengemukakan bahwa
pemberdayaan
merupakan
prasyarat
mutlak
bagi
upaya
penanggulangan kemiskinan yang memiliki tujuan penting, yaitu: (1) menekan perasaan ketidakberdayaan masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial-politis, yaitu dengan meningkatkan kesadaran kritis atas posisinya; (2) memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap orang miskin, yang dapat dilakukan bila terjadi reformasi sosial, budaya dan politik; (3) menanamkan rasa persamaan (egalitarian) dan memberikan gambaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir tetapi sebagai
penjelmaan
konstruksi
sosial;
(4)
merealisasikan
rumusan
pembangunan dengan melibatkan masyarakat miskin secara penuh; (5) perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin seperti perencanaan hidup, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas
18
dan kualitas kerja); dan (6) distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Kerangka pikir pada proses pemberdayaan mengandung tiga tujuan penting, yaitu (1) menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat atau kelompok yang akan diberdayakan, misalnya melalui peningkatan taraf pendidikan, peningkatan derajat kesehatan, peningkatan akses terhadap sumber-sumber kemajuan; dan (3) upaya melindungi
atau
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum berkembang (Jamasy, 2004:41-42). Pendekatan pemberdayaan yang mampu mengangkat masyarakat miskin menjadi berdaya dan berkembang adalah dengan melalui media kelompok. Kelompok dapat dijadikan sebagai media pembelajaran bagi para anggota sekaligus proses tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Dalam kelompok, kekuatan individu akan muncul sebagai kekuatan kelompok, dan disinilah terjadi proses penguatan dan pemberdayaan (Jamasy, 2004:55). Pemberdayaan merupakan strategi pembangunan yang berpusat pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Pemberdayaan merupakan proses peningkatan kemampuan peningkatan kemampuan individu, atau kelompok, -kekuatan politik, keluarga atau masyarakat-- agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Tujuan pemberdayaan adalah membuat masyarakat
mandiri
yang
kemampuan
yang
mereka
dapat miliki,
dicapai
dengan
menekan
mewujudkan
perasaan
tidak
potensi berdaya,
memutuskan hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif terhadap orang miskin, menanamkan rasa persamaan, menanamkan kesadaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir, melibatkan masyarakat miskin secara penuh, perlunya pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin dan, distribusi infrastruktur pembangunan yang lebih merata. Adapun
kerangka
pikir
dalam
proses
pemberdayaan
bertujuan
menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
19
berkembang,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat,
peningkatan akses terhadap sumber-sumber kemajuan, melindungi
atau
mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, menciptakan keadilan, serta menciptakan kebersamaan dan kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum berkembang. Proses pemberdayan dapat dilakukan melalui media kelompok yang merupakan sarana pembelajaran, tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. 2.4. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pengembangan kapasitas merupakan suatu pendekatan pembangunan di mana semua orang memiliki hak yang sama terhadap sumber daya, dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka sendiri (Eade yang dikutip oleh Tonny
dan
pengembangan
Utomo,
kapasitas
2004:67). masyarakat
Sementara
itu
merupakan
menurut suatu
Maskun,
pendekatan
pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata (Tonny dan Utomo, 2004:68). Kekuatan -kekuatan tersebut adalah kekuatan sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan sumber daya manusia sehingga menjadi local capacity. Kapa sitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa terutama dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi tantangan pengembangan potensi alam dan ekonomi setempat. Pengembangan kapasitas kelembagaan adalah upaya untuk mengubah kemampuan, peran dan peranan kelembagaan menjadi lebih baik dari pada keadaan sekarang (Purwaka, 2003:53). Sementara itu pendapat
lain
mengatakan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan adalah proses memperbaiki kemampuan lembaga guna mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dengan keuangan yang tersedia (Israel, 1992:13). Brinkerhoff sebagaimana
dikutip
oleh
Israel
(1992:14)
mengemukakan
bahwa
pengembangan kelembagaan adalah prose s menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu karena didukung oleh norma standar dan nilai-nilai dari dalam. Dengan demikian pengembangan kapasitas kelembagaan merupakan upaya atau proses untuk mengubah/memperbaiki
20
kemampuan lembaga dengan cara mengefektifkan penggunaan sumber daya manusia dan keuangan yang tersedia, dan menciptakan pola baru kegiatan dan perilaku. Selanjutnya Israel (1992:14) mengatakan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan meliputi sistem manajemen, struktur dan perubahan organisasi, kebijaksanaan pengaturan staf dan personalia, pelatihan staf, manajemen keuangan dan perencanaan, penyusunan anggaran, akunting, auditing, perawatan dan pengadaan sarana dan fasilitas kelompok. Menurut
Setiabudi
(2002:7),
ada
enam
fitur
utama
dari
kelompok/institusi masyarakat yang sehat, kuat dan mandiri, yaitu: (1) adanya visi/misi/harapan/tujuan kelompok; (2) adanya sistem manajemen kelompok; (3) adanya sistem manajemen keuangan kelompok; (4) adanya norma akuntabilitas kelompok; (5) adanya linkage/jaringan; dan (6) adanya upaya pembelajaran dan evaluasi. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan/kelompok meliputi: (1) tujuan dan harapan kelompok, (2) struktur kelompok, (3) manajemen kelompok, (4) manajemen keuangan, (5) norma kelompok, (6) pembelajaran, (7) jaringan, dan (8) pengadaan sarana/fasilitas kelompok. Pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok merupakan salah satu bentuk pemberdayaan melalui media kelompok, karena di dalamnya terdapat aspek pembelajaran dalam rangka meningkatkan kemampuan SDM anggotanya. Di samping itu, pemberdayaan pada umumnya dilakukan secara kolektif (Parson et al yang dikutip oleh Suharto, 2005:68). 2.6. Kelompok Swadaya Masyarakat KSM adalah kelompok yang terbentuk karena adanya program P2KP (yang mensyaratkan menjadi anggota KSM bagi anggota masyarakat yang ingin memperoleh pinjaman modal). KSM terdiri atas anggota masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif. Pembentukan KSM dapat didasarkan atas kesamaan dalam hal tujuan ekonomi, domisili, tujuan
sosial dan tujuan
pembelajaran. Tujuan pembentukan KSM adalah: (1) memudahkan tumbuh
21
kembangnya ikatan -ikatan dan solidaritas sosial serta semangat kebersamaan antar masyarakat; (2) mendorong warga masyarakat agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan, nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan; (3) mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien; (4) mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota; (5) terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lemah maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM; (6) mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajar/interaksi antar anggota,
menggerakkan
keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota dan sebagainya (tanpa nama, 2004:46). KSM dituntut untuk mempunyai kemampuan administratif, baik internal maupun eksternal. Kemampuan internal administratif berkaitan dengan penggunaan sumber daya manusia, sarana dan teknologi yang diperlukan guna
melaksanakan
fungsi
kelembagaannya.
administratif eksternal meliputi
Sedangkan
kemampuan
proses kegiatan dan hubungan dengan
lembaga dan kelompok lain di luar administratif suatu lembaga, terutama untuk memperoleh bantuan pengetahuan dan ketrampilan teknis yang diperlukan bagi pengembangan kemandiriannya (Supriatna, 1997:126). Upaya untuk memperbaiki KSM didasarkan pada empat asumsi dasar, yaitu: (1) produktivitas pengambilan keputusan yang tidak tersentralisir, (2) program yang terencana dengan memperluas partisipasi, (3) program yang dapat diajarkan dan dimanfaatkan bagi peningkatan kualitas kelompok, dan (4) pengembangan potensi kepemimpinan kelompok yang dapat menularkan pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman. Yang menjadi kunci pokok proses pengembangan dan pendidikan ketrampilan KSM, agar mereka mampu mengidentifikasi
masalah,
proses
pemecahan
masalah,
pengambilan
keputusan, dan penentuan perencanaan program, sumber dana dan daya maupun pelaksanaan programnya (Zaltman dan Duncan yang dikutip oleh Supriatna, 1997:126).
22
Agen perubahan atau fasilitator sangat dibutuhkan bagi penumbuhan kemampuan administratif kelompok masyarakat dari segi pengembangan pengetahuan
dan
ketrampilan
pelaksanaannya. Disamping itu berfungsi
untuk
administratif
mempercepat
kelompok
bagi
proses
penyusunan
program
dan
fasilitator atau agen perubahan dapat pelaksanaan
masyarakat
otonomi
(Supriatna,
dan
kemampuan
1997:127).
Bantuan
pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman dari para konsultan selaku fasilitator pendidikan masyarakat dapat bersumber dari pemerintah, pekerja sosial, penyuluh lapangan kesehatan, penyuluh pertanian, pendidik/guru, atau LSM dan Perguruan Tinggi. Kelompok yang disiapkan dan diberdayakan dengan baik akan berfungsi sebagai wahana proses belajar mengajar anggota, wahana untuk menajamkan
masalah
bersama
yang
dihadapi,
wahana
pengambilan
keputusan untuk menentukan strategi menghadapi masalah bersama, dan wahana memobilisasi sumber daya para anggota. Untuk mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, kelompok harus terus menerus didorong untuk meningkatkan pendapatan, keterbukaan wawasan, aktif bekerja sama dan meningkatkan sikap demokratis-partisipatif dalam penyelenggaraan kelompok. Upaya peningkatan pendapatan ditandai dengan seringnya penyelenggaraan pemupukan modal, tabungan, serta usaha produktif anggota. Keterbukaan ditandai oleh kesediaan anggota kelompok untuk menerima gagasan dan kelembagaan baru. Kegotongroyongan ditandai dengan adanya upaya pemberian bantuan dari keluarga yang sudah sejahtera kepada keluarga yang belum sejahtera. Sementara demokrasi ditandai oleh kepemimpinan kelompok yang dipilih
dari dan oleh anggota serta pengambilan keputusan yang
dilakukan secara musyawarah (Supriatna, 1997:129). Koentjaraningrat
sebagaimana
dikutio
oleh
Soekanto (2003:137)
menyatakan bahwa suatu kelompok sekurang-kurangnya mempunyai enam unsur, yaitu: (1) sistem norma yang mengatur tingkah laku, (2) rasa kepribadian kelompok yang disadari semua anggotanya, (3) interaksi yang intensif antara warga kelompok, (4) sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar anggota kelompok, (5) adanya pemimpin yang mengatur kegiatan kelompok,
23
dan (6) sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif, harta konsumtif atau harta pusaka tertentu. Dalam kelompok terjadi fenomena yang dinamakan dengan dinamika kelompok. Menurut Rivas dan Toseland (2001:70), ada empat dimensi dalam dinamika
kelompok,
yaitu
pola
interaksi
dan
komunikasi,
kohesifitas,
mekanisme kontrol (norma, aturan dan status), dan budaya kelompok. Menurut Northen sebagaimana dikuti p oleh Rivas dan Toseland (2001:70), interaksi sosial adalah sebuah istilah untuk menandai dinamika kelompok yang saling mempengaruhi dimana kontak/hubungan
antara individu mewujud dalam
sikap, perilaku dan partisapasi. Ada dua komponen interaksi sosial, yaitu komunikasi verbal dan non verbal. Kohesi kelompok adalah semua kekuatan anggota yang ada dalam kelompok. Sebuah kelompok yang kohesif ditandai oleh beberapa hal, yaitu memuaskan kebutuhan anggota untuk berafiliasi, mengenali kebutuhan anggota, mempromosikan kemampuan anggota, meningkatkan perasaan memiliki terhadap kelompok, anggota kelompok tertarik pada kelompok ketika anggota merasa partisipasinya dihargai dan merasa disukai, dan menjaga perasaan aman. Kelompok akan lebih kohesif jika dapat memberikan perasaan aman pada anggotanya. Schachter sebagaimana dikuti oleh Rivas dan Toseland
(2001:79)
mengatakan
bahwa
ketakutan
dan
keterasingan
meningkatkan kebutuhan seseorang untuk berafiliasi. Sosial kontrol adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dimana sebuah kelompok sebagai sebuah satu kesatuan yang bertujuan memenuhi harapan-harapan dari para anggota untuk mampu meraih tujuan. Kontrol sosial terdiri dari beberapa faktor yang saling berinteraksi, termasuk norma yang berkembang dalam kelompok dan aturan serta status individu sebagai anggota kelompok. Tanpa ada keteraturan yang pasti, interaksi kelompok akan menjadi kacau dan tidak terprediksi, dan kelompok tidak akan berfungsi secara efektif. Keteraturan sosial dan stabilitas dan adalah prasyarat untuk pembentukan dan penjagaan sebuah kelompok yang kohesif. Kontrol sosial dapat digunakan untuk menjaga kelompok dari anggota kelompok yang menyimpang. Kontrol sosial yang terlalu ketat dapat
24
mengurangi kohesifitas kelompok dan menimbulkan konflik kelompok dan ketidakpuasan anggota. Kontrol sosial terdiri atas norma, peran, status. (Toseland dan Rivas, 2001:82) Norma adalah harapan dan kepercayaan yang mengendalikan perilaku anggota dalam kelompok. Norma mengacu pada perilaku anggota secara khusus dan perilaku tersebut dapat diterima di kelompoknya. Norma menstabilisasi dan mengatur perilaku anggota dalam kelompok. Dengan menyediakan petunjuk untuk perilaku yang diterima, norma akan meningkatkan stabilitas dan memprediksi serta membuat rasa aman bagi anggotanya. Selain itu norma juga akan menolong untuk memudahkan mengorganisasi dan mengkoordinasi perilaku untuk mencapai tujuan (Toseland dan Rivas, 2001:83). Peran merupakan hal yang penting mempengaruhi anggota kelompok. Peran sangat erat hubungannya dengan norma. Norma adalah harapan yang ada pada kelompok, sementara peran adalah fungsi individu dalam kelompok. Tidak seperti norma yang mendefinisikan perilaku pada situasi tertentu, peran mendefinisikan perilaku berkaitan dengan tugas-tugas khusus yang ada dalam kelompok sebagai anggota. Peran mewujud dalam keterlibatan anggota dalam kelompok
tersebut.
Peran
penting
dalam
sebuah
kelompok
karena
mengantarkan individu masuk dalam divisi kerja dan menggunakan tenaganya (Toseland dan Rivas, 2001:84) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa KSM dituntut untuk mempunyai kemampuan administratif, baik internal ma upun eksternal. Adapun upaya untuk memperbaiki KSM didasarkan pada empat asumsi dasar, yaitu dalam hal pengambilan keputusan, memperluas partisipasi, peningkatan kualitas kelompok, dan pengembangan potensi kepemimpinan kelompok. Hal tersebut dapat dilakukan dengan bantuan fasilitator/agen perubahan. Untuk mencapai
kemajuan, kelompok harus terus menerus didorong untuk
meningkatkan pendapatan, keterbukaan wawasan, aktif bekerja sama dan meningkatkan sikap demokratis-partisipatif dalam penyelenggaraan kelompok.
25
Di dalam kelompok terdapat enam unsur, yaitu sistem norma, rasa kepribadian kelompok, interaksi yang intensif, sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar anggota kelompok dan harta kelompok, dan adanya pemimpin yang mengatur kegiatan kelompok. Dalam kelompok terdapat dinamika kelompok yang terdiri yang terdiri atas empat dimensi, yaitu pola interaksi dan komunikasi, kohesifitas, mekanisme kontrol (norma, aturan dan status), dan budaya kelompok. 2.7. Kerangka Kerja Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KS M Berdasarkan Praktek Lapangan I, kemiskinan merupakan permasalahan utama yang ada di Desa Wonokromo, di mana sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai buruh dengan pendapatan yang rendah dan tidak tetap. Sudah banyak program pemerintah yang ada di desa ini, seperti KUT (Kredit Usaha Tani), P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) dan sebagainya. Namun demikian, masalah kemiskinan di desa tersebut belum juga teratasi. Kemiskinan
dapat dipandang dari dua perspektif, yaitu struktural dan
kultural. Dari perspektif kultural, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya sumber daya manusia, etos kerja, kepercayaan diri, ketergantungan,
semangat
berkelompok dan sebagainya. Sehingga untuk mengatasi kemiskinan dapat dilakukan dengan meningkatkan sumber daya manusia dan etos kerja, meningkatkan
kepercayaan
diri
dan
menciptakan
kemandirian
serta
mengembangkankan kapasitas kelompok yang ada. Perspektif struktural memandang
bahwa
kemiskinan
antara
lain
disebabkan
oleh
kebijakan
pembangunan yang belum berpihak kepada masyarakat miskin, kurangnya akses
masyarakat
miskin
terhadap
sumber -sumber
perekonomian
sebagainya. Dengan demikian untuk mengatasi kemiskinan antara lain
dan dapat
dilakukan dengan meningkatkan keberpihakan kebijakan pembangunan pada masyarakat miskin,dan memperbesar akses masyarakat miskin terhadap sumber-sumber perekonomian. Program P2KP merupakan suatu proyek pemerintah yang berupaya mengatasi masalah kemiskinan, yaitu dengan memberikan BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang diserahkan kepada desa/kalurahan untuk dikelola
26
oleh BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Dana BLM di Desa Wonokromo sebagian kecil digunakan untuk pengerasan jalan dan sisanya dipergunakan untuk memberikan pinjaman kepada kelompok usaha ekonomi produktif yang sebut dengan Kelompok Swadaya Masyarakat. KSM
dibentuk karena ada
sekelompok orang yang memiliki usaha produktif atau baru memulai usaha dan ingin memperoleh pinjaman melalui P2KP (Laporan Praktek Lapangan II, 2005) Secara konseptual, tujuan pembentukan KSM memudahkan tumbuh kembangnya ikatan-ikatan
ada lah untuk: (1)
dan solidaritas sosial serta
semangat kebersamaan antar masyarakat; (2) mendorong agar lebih dinamis dalam mengembangkan kegiatan,
warga masyarakat
nilai-nilai kemanusiaan
dan kemasyarakatan; (3) mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien; (4) mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota; (5) terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lemah maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM; (6) mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter
antar
anggota,
wadah
proses
belajar/interaksi
antar
anggota,
menggerakkan keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usah a anggota (tanpa nama, 2004:24). Pada kenyataannya, tujuan-tujuan pembentukan KSM tersebut belum semuanya dapat tercapai, dan banyak KSM
yang belum berfungsi secara
optimal. Untuk mengetahui mengapa hal tersebut terjadi, perlu dilakukan ka jian secara mendalam terlebih dulu terhadap KSM
yang ada. Kajian tersebut
bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi dan kapasitas kelembagaan KSM yang ada di Desa Wonokromo sekarang ini. KSM terdiri atas para pelaku di sektor perdagangan, usaha kecil dan mikro di Desa Wonokromo. Bila sektorsektor usaha tersebut dapat berkembang, diharapkan dapat ikut mengatasi masalah kemiskinan yang ada di desa tersebut. Logikanya, bila usaha dapat berkembang, pendapatan anggota kelompok akan meningkat sekaligus akan dapat menyerap tenaga kerja yang ada dan mampu mengeluarkan mereka dari kemiskinan.
27
Suatu KSM yang sehat, kuat dan mandiri ditandai dengan adanya tujuan dan harapan kelompok, sistem manajemen kelompok, manajemen keuangan, norma kelompok, adanya jaringan dengan kelompok/lembaga lain, ada upaya pembelajaran untuk memperbaiki SDM anggota kelompok. Untuk menuju ke sana, diperlukan upaya untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan KSM. Pengembangan kapasitas kelembagaan KSM meliputi beberapa hal, yaitu sistem manajemen, struktur kelompok, sistem atau norma yang mengatur anggota kelompok, peningkatan SDM anggota kelompok, manajemen keuangan dan pengadaan dan perawatan sarana dan fasilitas yang dimiliki kelompok. Untuk memperkuat kelompok dapat dilakukan mela lui beberapa tahap yaitu membentuk norma dan aturan yang berfungsi untuk mencapai tujuan kelompok, memberlakukan kepemimpinan yang partisipatif, mengusahakan dana milik kelompok, mengelola usaha yang menguntungkan dan menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan kelompok lain. Adapun upaya untuk memperbaiki KSM didasarkan pada empat asumsi dasar, yaitu dalam hal pengambilan keputusan,
memperluas
partisipasi,
peningkatan
kualitas
kelompok,
dan
pengembangan potensi kepemimpinan kelompok. Hal tersebut dapat dilakukan dengan bantuan fasilitator/agen perubahan. Pengembangan kapasitas kelemb agaan KSM harus mengacu pada konsep pemberdayaan yang menekankan adanya peran serta dan partisipasi aktif. Penyusunan program Pengembangan kapasitas KSM dilakukan dengan melibatkan peran serta atau partisipasi anggota kelompok secara penuh dengan dipandu oleh seorang fasilitator. Dengan demikian,
segala kepentingan dan
kebutuhan anggota kelompok dapat terakomodasi. Bila hal tersebut terjadi, diharapkan program pengembangan kapasitas KSM dapat sustainable. Hasil akhir yang diharapkan dari pengembangan kapasitas kelembagaan KSM adalah agar KSM menjadi kuat dan mandiri yang akan berdampak pada peningkatan usaha dan peningkatan pendapatan para anggotanya. Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan kerangka konseptual dalam bentuk diagram berikut ini:
28
BAB III METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Kajian Kajian dilaksanakan di Desa Wonokromo Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul. Adapun alasan pemilihan tempat adalah desa tersebut memiliki ciri khas dibanding desa -desa lain di sekitarnya, yaitu masih kentalnya nilai-nilai religius di desa tersebut dan masih terpeliharanya kelembagaan tradisional seperti
kelompok
pengajian,
gotong
royong,
upacara
sebagainya. Di samping itu desa tersebut memiliki
tradisional
dan
beberapa potensi seperti
sumberdaya manusia, modal sosi al dan potensi ekonomi yang dapat dikembangkan. Kajian dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap I adalah Praktek Lapangan I yang dilaksanakan pada tanggal 9 sampai dengan 15 Nopember 2004, tahap II adalah Praktek Lapangan II yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari sampai dengan 5 Maret 2005, dan Praktek Lapangan III yang merupakan
penyusunan
program
pengembangan
masyarakat
yang
dilaksanakan pada bulan Juni hingga September 2005. Dalam praktek lapangan III juga dilakukan pengambilan data yang dapat melengkapi data yang sudah diperoleh pada Praktek Lapangan I dan II. 3.2. Cara pengumpulan data Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pengambilan data menggunakan metode non survei. Data yang digunakan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dengan mendokumentasikan laporan kegiatan, data desa dan sebagainya. Sementara pengumpulan data primer dilakukan dengan
(1) diskusi Kelompok, (2)
wawancara Mendalam dengan kasus dan informan kunci, dan (3) observasi. Data primer mengenai peta sosial Desa Wonokromo diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam dengan aparat Desa Wonokromo, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat. Data primer mengenai pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam dengan aparat Desa Wonokromo, pengurus BKM, anggota KSM, Fasilitator Kelurahan,
dan staf Bappeda (Badan Perencana Pembangunan
30
Daerah ) Kabupaten Bantul. Data tentang kapasitas kelembagaan KSM diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pengurus KSM dan FGD dengan para anggota KSM. Sementara penyusunan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM dilakukan bersama-sama dengan anggota KSM dan mengundang aparat Desa Wonokromo dan pengurus BKM Desa Wonokromo. Sebelum dilakukan wawancara mendalam dan melakukan FGD, pengkaji terlebih dulu mengadakan pendekatan dengan para informan dan menyampaikan maksud pengkaji. Sebelum memulai wawancara pengkaji mencoba membuka percakapan dengan membicarakan permasalahan umum yang ada di Desa. Dalam hal ini pengkaji lebih banyak mendengarkan dan memberikan tanggapan secukupnya, sehingga para informan merasa dihargai dan bersemangat dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Pengkaji menggunakan alat bantu tape recorder untuk merekam apa yang disampaikan para informan dan kemudian memasukkan data yang diperoleh kedalam catatan harian. Lebih jelasnya, pedoman pengambilan data lapangan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
31
Tabel .1: Pedoman Pengambilan Data Lapangan Data Kajian Peta Sosial Wonokromo
Desa
Tinjauan terhadap Program P2KP
Kapasitas kelembagaan KSM
Aspek
Sumber Data
Metode
Lokasi Kependudukan Struktur Komunitas Organisasi dan Kelembagaan Sumber Daya Lokal Masalah Sosial Deskripsi Kegiatan Pengembangan Ekonomi Lokal Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Kebijakan dan Perencanaan Sosial
Data Desa, tokoh masyarakat, aparat Desa, anggota masyarakat
Studi dokumentasi, observasi, dan wawancara mendalam dengan kasus dan informan kunci Studi dokumentasi, observasi, wawancara mendalam dengan kasus dan informan kunci
• • • • • • •
Penyusunan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM
• • • • • • • • •
Tujuan dan harapan kelompok Struktur kelompok Norma kelompok Manajemen kelompok Manajemen keuangan Pembelajaran Pengadaan sarana kelompok Jaringan Tujuan dan harapan kelompok Struktur kelompok Norma kelompok Manajemen kelompok Manajemen keuangan Pembelajaran Pengadaan sarana kelompok Jaringan
Laporan kegiatan, Juknis dan Juklak P2KP, aparat desa, tokoh masyarakat, pengurus BKM, anggota KSM, Bappeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah) Kabupaten Bantul Anggota kelompok
Anggota kelompok, aparat Desa Wonokromo dan Pengurus BKM
Wawancara mendalam dengan kasus dan informan kunci, laporan kegiatan, FGD (Focused Group Discussion)
(FGD) Focused Group Discussion
3.3. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh melalui kajian ini merupakan data kualitatif dan dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus (Sitorus dan Agusta, 2004:26). Analisis data kualitatif meliputi tiga jalur, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman yang dikutip oleh Sitorus dan Agusta, 2004:26).
Reduksi
data
merupakan
bentuk
analisis
yang
menajamkan,
32
menggolongkan,
mengarahkan,
membuang
yang
tidak
perlu,
dan
mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan akhir dapat diambil. Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penarikan kesimpulan juga mencakup verifikasi atas kesimpulan. Kesimpulankesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) memikir ulang selama penulisan, (2) tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan, (3) peninjauan
kembali
dan
tukar
pikiran
antar
tema n
sejawat
untuk
mengembangkan “kesepakatan intersubyektif”, dan (4) upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain. Ketiga
kegiatan
analisis
(reduksi
data,
penyajian
data,
dan
penarikan
kesimpulan) dilakukan merupakan proses siklus dan interaktif. 3.4. Cara Penyusunan Program Penyusunan
program
pengembangan
kapasitas
kelembagaan
KSM
dilakukan dengan Focused Group Discussion (FGD). FGD merupakan proses pengumpulan informasi mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok (Sumarjo dan Saharudin, 2005:41). FGD pada dasarnya adalah wawancara kelompok yang dipandu oleh seorang moderator, berdasarkan topik diskusi yang merupakan permasalahan penelitian. FGD lebih ditujukan untuk mencari masukan mengenai suatu masalah tanpa berniat untuk mengambil keputusan mengenai langkah-langkah penyelesaiannya. Alasan pemakaian FGD adalah (1) adanya keyakinan bahwa masalah yang diteliti tidak dapat dipahami dengan metode survei atau wawancara individu, (2) untuk memperoleh data kualitatif yang bermutu dalam waktu relatif singkat, (3) sebagai metode yang dirasa cocok untuk permasalahan yang bersifat sangat lokal dan spesifik. Adapun alasan praktis penggunaan FGD adalah semua peserta memiliki kesempatan untuk dapat berbagi pengalaman, pendapat atau ide, sehingga mudah menelusuri mengapa orang berpikir dan bersikap tertentu. Disamping itu FGD sangat kondusif untuk kegiatan penelitian di pedesaan dengan kebudayaannya yang menghargai kebersamaan yang terwujud dalam kegiatan ritual desa, kerja bakti dan gotong royong (Sumarjo, 2005:43).
33
3.5.Refleksi Penerapan Metodologi Penelitian Kajian ini bersifat kualitatif dan data diambil dengan metode non survei. Untuk memperoleh data kualitatif yang akurat diperlukan kesabaran, dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang untuk mengecek kebenaran. Namun demikian, waktu yang digunakan dalam pengambilan data sejak dari Praktek Lapangan I, Praktek Lapangan II dan penyusunan kajian dirasakan sangat kurang. Untuk mengatasinya pengkaji meminta bantuan seorang rekan untuk melakukan analisis data yang telah diperoleh pengkaji di lapangan. Hal ini disebabkan karena setiap hari pengkaji harus menemui para informan kunci dan mencari data sekunder untuk memperoleh data yang diperlukan. Di tengah keterbatasan
waktu,
pengkaji
telah
berusaha
secara
maksimal
untuk
memperoleh data yang akurat. Berikut ini akan diuraikan refleksi penerapan metodologi penelitian pada masing-masing jenis data berdasarkan tujuan penelitian. 1. Peta Sosial Desa Wonokromo Pengambilan data tentang peta sosial
masyarakat Desa Wonokromo
meliputi lokasi, kependudukan, struktur komunitas, organisasi dan kelembagaan, sumber daya lokal dan masalah sosial. Pengambilan data -data tersebut dimulai pada praktek lapangan I yang dilakukan pada bulan Nopember 2004 dan dilengkapi pada Praktek Lapangan II. Yang menjadi nara sumber dari data primer adalah aparat pemerintahan Desa Wonokromo, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat. Adapun pengambilan data primer dilakukan de ngan wawancara mendalam sementara data sekunder diperoleh melalui Data Desa dan Monografi Desa. Kesulitan yang dihadapi dalam pengambilan data adalah pelaksanaan Praktek Lapangan I yang bersamaan waktunya Hari Raya Idul Fitri dan waktu yang sangat kurang (sekitar dua minggu yang dikurangi dengan libur hari raya). Di samping itu, kesulitan juga dialami dalam
memperoleh informasi tentang
struktur komunitas karena harus menterjemahkan bahasa akedemis ke dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh sumber informasi
34
Yang menjadi informan kunci dalam pengambilan data tentang peta sosial Desa Wonokromo adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa, beberapa aparat Desa Wonokromo, tokoh masyarakat dan beberapa anggota masyarakat yang dianggap mengetahui banyak tentang Desa Wonokromo. Kesulitan tidak dialami ketika melakukan wawancara mendalam karena para informan kunci cukup ramah dan terbuka kepada pengkaji. Namun demikian, pengkaji harus dengan sabar mendengarkan cerita para informan kunci, karena mereka bisa bercerita sampai dua jam lebih. Untuk mempermudah pengambilan data melalui wawancara, pengkaji menggunakan panduan wawancara dan bantuan tape recorder. Hasil rekaman kemudian dimasukkan dalam catatan harian. Catatan harian kemudian dianalisis melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. 2. Tinjauan terhadap P2KP Data primer tentang program P2KP diperoleh melalui wawancara mendalam
dengan
aparat
Desa
Wonkromo,
pengurus
BKM
(Badan
Keswadayaan Masyarakat), anggota KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), tokoh masyarakat, Fasilitator Kelurahan, PJOK (Penanggung Jawab Operasional Kegiatan)
dan staf Bappeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah)
Kabupaten Bantul. Adapun data sekunder diperoleh dari laporan kegiatan P2KP di tingkat desa dan kabupaten. Pengambilan data tentang P2KP dilaksanakan pada waktu Praktek Lapangan II yang dilaksanakan pada tanggal 28 Februari sampai dengan 5 Maret 2005 dan dilengkapi pada waktu Praktek Lapangan III. Kesulitan juga dialami dalam pelaksanaan Praktek Lapangan II karena waktu yang dijadwalkan sangat singkat (dua minggu), sementara data yang harus diperoleh cukup banyak. Untuk menemui para anggota KSM satu persatu tidak dimungkinkan karena keterbatasan waktu. Untuk mengatasinya pengkaji datang ke kantor BKM yang buka tiga kali dalam sebulan dan menunggu para anggota KSM (biasanya ketua KSM) ketika membayar angsuran pinjaman P2KP untuk diwawancarai. Sementara untuk menemui pengurus BKM tidak mengalami kesulitan karena mereka siap memberi informasi kapan saja, termasuk di rumah. Fasilitator Kelurahan juga sulit ditemui karena hanya beberapa kali datang ke kantor BKM,
35
sehingga harus membuat perjanjian terlebih dulu sebelum mengadakan wawancara.
Wawancara
dengan
staf
Bappeda
(Badan
Perencana
Pembangunan Daerah) juga tidak mengalami kesulitan karena mereka cukup terbuka dan bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan. Informasi tentang P2KP yang diperoleh dari aparat Desa Wonokromo hanya sedikit, hal ini dikarenakan keterlibatan mereka dalam pelaksanaan P2KP hanya pada waktu sosialisasi saja. 3. Profil dan Kapasitas KSM Pengambilan data tentang profil KSM dan kapasitas kelembagaan KSM dilaksanakan pada waktu Praktek Lapangan III yang berlangsung pada pertengahan bulan Juli hingga awal bulan September 2005. Data diperoleh melalui FGD dan wawancara mendalam dengan anggota KSM. FGD dilakukan dengan dua KSM yaitu KSM Maju Lancar pada tanggal 15 Juli 2005 dan KSM Teratai pada tanggal 10 Juli 2005. Di samping itu, FGD juga bertujuan untuk mengetahui permasalahan baik di tingkat kelompok maupun di tingkat individu anggota KSM. Setelah dilakukan FGD dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa anggota KSM dengan tujuan menggali permasalahan yang dihadapi anggota KSM dalam menjalankan usahanya. Ketika diadakan FGD pertama kali, pengkaji terlebih dulu menyampaikan informasi tentang maksud dan tujuan dilakukannya FGD. Pengkaji juga menyampaikan selamat atas kelancaran pembayaran angsuran pinjaman para anggota KSM. Selama ini para anggota KSM beranggapan bahwa fungsi KSM hanya sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman. Oleh karena itu pengkaji menyampaikan informasi bahwa tujuan pembentukan KSM tidak hanya sebagai sarana memperoleh pinjaman P2KP tetapi juga dapat dijadikan sarana untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan, saling membantu mengatasi permasalahan dalam menjalankan usaha, dan sebagainya. Alasan mengapa dipilih KSM Maju Lancar dan KSM Teratai adalah pengkaji ingin membandingkan kapasitas kelembagaan kedua KSM karena kedua KSM memiliki beberapa perbedaan dalam hal: (1) sebagian besar anggota KSM Maju Lancar adalah laki-laki sementara semua anggota KSM Teratai terdiri
36
atas perempuan, (2) semua anggota KSM Maju Lancar bergerak di sektor perdagangan sementara sebagian besar anggota KSM bergerak di sektor industri rumah tangga, dan (3) KSM Maju Lancar sudah mengadakan pertemuan rutin dan KSM Teratai belum pernah mengadakan pertemuan rutin. Aspek yang digali dari kapasitas kelembagaan KSM meliputi delapan aspek, yaitu tujuan dan harapan kelompok, struktur kelompok, norma kelompok, manajemen kelompok, manajemen keuangan kelompok, pengadaan sarana kelompok dan jaringan/kerjasama. Wawancara mendalam dilakukan dengan tujuan untuk mencocokkan data yang diperoleh melalui FGD dengan data yang diperoleh melalui wawancara secara individual. Wawancara mendalam juga bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi anggota KSM berkaitan dengan usaha ekonomi produktif yang dimiliki. FGD dengan KSM Teratai tidak mengalami kendala yang berarti karena hampir semua anggota (perempuan semua) ikut berpartisipasi dalam proses diskusi. Mereka dengan lancar mengemukakan permasalahan yang mereka hadapi dan berusaha mencari solusinya. Hanya ada seorang anggota yang usianya paling tua di antara anggota yang lain yang kurang berpartisipasi dalam diskusi. Untu k mengatasi hal ini pengkaji beberapa kali meminta anggota KSM tersebut untuk mengemukakan pendapat dalam diskusi. FGD dengan KSM Maju Lancar yang
mayoritas anggotanya laki-laki
berjalan cukup lancar. Namun demikian, anggota perempuan (sebanyak tiga orang kurang berpartisipasi dalam diskusi. Oleh karena itu pengkaji berusaha memberi dukungan kepada mereka untuk berbicara. Yang menjadi moderator dalam diskusi dengan KSM Maju Lancar adalah rekan laki-laki pengkaji karena sebagian besar anggota KSM adalah laki-laki. Hal ini dilakukan dalam rangka menyesuaikan diri dengan budaya Desa Wonokromo dimana peran laki -laki lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. 4. Penyusunan Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM Penyusunan program pengembangan kapasitas kelembagaan dilakukan bersama -sama dengan anggota kedua KSM dengan cara FGD dan mengundang aparat desa dan pengurus BKM. FGD dengan KSM Teratai dilakukan pada
37
tanggal 17 Juli 2005 dan FGD dengan KSM Maju Lancar dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2005. FGD diawali dengan pemaparan oleh pengkaji tentang hasil pertemuan
sebelumnya
permasalahan
mengenai
kapasitas
kelembagaan
KSM
dan
yang dihadapi para anggota KSM baik di tingkat kelompok
maupun tingkat individu. Hal ini bertujuan untuk mengklarifikasi apakah kesimpulan
yang
dibuat
oleh
pengkaji
sesuai
dengan
yang
keadaan/permasalahan yang dihadapai para angggota KSM. Setelah itu para anggota KSM diminta pendapatnya untuk ikut
mencari solusi tentang
permasalahan yang ada. Menumbuhkan
partisipasi
anggota
KSM untuk
ikut
serta
dalam
memecahkan masalah yang mereka hadapi bukan merupakan hal yang mudah. Karena mereka belum terbiasa dalam diskusi kelompok. Di samping itu, tingkat pendidikan juga berpengaruh. Anggota KSM yang tingkat pendidikannya SLTP ke bawah cenderung kurang berpartisipasi dalam diskusi. Untuk mengantisipasi hal ini, pengkaji berusaha memberi dukungan semaksimal mungkin agar mereka ikut memikirkan dan mencari solusi permasalahan yang mereka hadapi.
38
BAB IV PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA WONOKROMO KECAMATAN PLERET KABUPATEN BANTUL 4.1. Lokasi Desa Wonokromo merupakan salah satu desa dari empat desa yang ada di Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul. Desa ini terdiri atas 12 dusun (pedukuhan), yaitu Dusun Wonokromo I, Wonokromo II, Karanganom, Brajan, Jati, Jejeran I, Jejeran II, Pandes I, Pandes II,
Ketonggo, Demangan dan
Sareyan. Desa ini terletak di wilayah paling Barat Kecamatan Pleret dan termasuk wilayah Kabupaten Bantul bagian Timur. Adapun batas-batas dari Desa Wonokromo adalah sebelah Barat dibatasi oleh Desa Trimulyo (Kecamatan Jetis), sebelah Timur dibatasi Desa Pleret (Kecamatan Pleret), sebelah Utara dibatasi Desa Tamanan (Kecamatan Banguntapan dan sebelah Selatan dibatasi Desa Trimulyo (Kecamatan Jeti s). Jarak Desa Wonokromo dari pusat pemerintahan Kecamatan Pleret sekitar 1,5 km dan dapat ditempuh dengan Angkutan Pedesaan selama 5 menit, dari pusat pemerintahan Kabupaten Bantul sejauh 10 km dan dapat ditempuh dengan Angkutan Pedesaan selama 30 menit, dan dari pusat pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar 10 km yang dapat ditempuh dengan Angkutan Kota dan dilanjutkan dengan Angkutan Umum jurusan JogjaImogiri selama 35 menit. Desa ini dilalui jalan raya jurusan Jogja -Imogiri yang cukup ramai lalu lintasnya. Di sepanjang jalan tersebut banyak warung makan, kios, toko (pakaian, kelontong, foto kopi dan alat tulis, elektronik, dsb), sekolah, bank, perpustakaan desa, puskesmas, stasiun pengisian bahan bakar dan
bahkan
sudah ada dua buah pasar swalayan berlantai dua dan tiga. Di desa ini juga ada sebuah pabrik pelintingan rokok yang cukup banyak
menyerap tenaga kerja.
Kondisi desa ini bahkan lebih ramai dibandingkan dengan ibu kota Kecamatan Pleret yang jaraknya sekitar satu setengah kilometer.
39
Desa Wonokromo terletak 60 meter di atas permukaan laut dan curah hujannya 200/300 mm/tahun. Bila dilihat dari topografinya, desa ini termasuk dalam kategori dataran rendah dan suhunya berkisar antara 21-34 derajat celcius. Desa Wonokromo dilalui oleh dua buah sungai yang cukup besar, yaitu Sungai Gajah Wong dan Sungai Code dan satu buah sungai kecil yaitu Sungai Belik. 4.2.
Kependudukan Jumlah penduduk Desa Wonokromo menurut data yang dibuat pada tahun
2003 adalah 9.963 jiwa, yang terdiri atas 2.947 jiwa laki-laki dan 5.016 jiwa perempuan. Adapun kepadatannya sekitar 1.500 jiwa perkilometer. Data mengenai komposisi umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam tabel 2 dan piramid berikut ini. Tabel.2:Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Menurut Umur dan Jenis K elamin pada Tahun 2003 Jenis Kelamin No.
Golongan Umur
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.
0 – 1 tahun
57
75
132
2.
2 – 4 tahun
249
258
507
3.
5 – 6 tahun
495
550
1.045
4.
7 – 12 tahun
363
434
797
5.
13-15 tahun
250
255
505
6.
16-18 tahun
516
520
1.036
7.
19-25 tahun
563
576
1.139
8.
26-35 tahun
1.318
1.216
2.534
9.
36-45 tahun
481
490
971
10.
46-50 tahun
365
350
715
11.
51-60 tahun
169
178
347
12.
61-75 tahun
66
75
141
13.
> 75 tahun
55
39
94
4.947
5.016
9.963
JUMLAH
Sumber: Data Desa Wonokromo Nopember 2004
40
Penghitungan
rasio
jenis
kelamin
diperoleh
angka
98,62
persen
(mendekati 100 persen). Artinya, jumlah penduduk laki-laki hampir sama dengan jumlah penduduk perempuan. Seperti halnya dikemukakan Rusli dkk. (2004:15), bila rasio jenis kelamin sebesar 100, berarti jumlah penduduk laki-laki sama dengan jumlah penduduk perempuan. Dari data di atas diketahui bahwa jumlah penduduk yang berusia 16 -60 tahun (usia kerja) adalah 6.742 jiwa (67,67 persen). Dari jumlah tersebut yang terserap dalam lapangan kerja sebesar 4.850 jiwa, sisanya belum atau tidak mendapatkan pekerjaan. Perbandingan antara penduduk yang bekerja dan penduduk yang tidak atau belum bekerja adalah 5 banding 4 (dihitung dari total usia kerja). Menurut Rusli et al (2004:15) Rasio Beban Tanggungan (RBT) adalah perbandingan antara jumlah penduduk yang digolongkan bukan usia produktif (bukan usia kerja) terhadap jumlah penduduk usia produktif (usia kerja). Karena data yang tersedia di desa penggolongan umurnya sesuai dengan jenjang pendidikan dan usia pensiun, maka
dalam penghitungan RBT usia produktif
dimulai dari umur 16 hingga 60 tahun. Dari perhitungan RBT diperoleh angka 47%. Artinya, setiap 100 orang usia produktif menanggung 47 orang usia non produktif. Menurut Rusli et al (2004:24) penduduk struktur muda adalah bila jumlah penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun lebih dari 40 persen dan jumlah penduduk yang berumur lebih dari 65 tahun kurang dari persen. Sementara penduduk struktur tua bila jumlah penduduk yang kurang 15 tahun kurang dari 30 persen dan yang berusia lebih dari 65 tahun lebih dari 10 persen. Struktur Umur penduduk Desa Wonokromo cenderung termasuk dalam struktur penduduk muda dan, karena penduduk yang berusia kurang dari 15 tahun ada 28,97 persen dan penduduk yang berusia 61 tahun (interval umur dalam data profil desa dimulai pada usia 61 dan bukan 65 tahun) ke atas ada 2,3 persen (jauh di bawah 5 persen). Disamping itu dari perhitungan median, diperoleh bahwa umur median terletak kurang lebih pada usia 16-18. Oleh karena penduduk Desa Wonokromo dapat dikategorikan dalam struktur umur muda.
41
Angka kelahiran pada tahun 2003 yang ada di Desa Wonokromo adalah 18 orang laki-laki dan 24 orang perempuan. Sementara angka kematiannya adalah 12 orang laki-laki dan lima orang perempuan. Bila melihat data yang dibuat pada tahun 2003 tersebut, maka angka kelahirannya lebih besar dari angka kematiannya. Mobilitas penduduk yang ada di desa Wonokromo ditunjukkan pada data berikut ini. Jumlah penduduk yang datang ada 16 orang laki-laki dan 14 perempuan. Jumlah penduduk yang pergi/pindah ada 17 orang laki -laki dan 13 orang perempuan. Data ini menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah penduduk yang datang dan pergi/pindah seimbang. Mobilitas penduduk yang bersifat non permanen juga terjadi di desa Wonokromo, yaitu komutasi. Setiap pagi penduduk Desa Wonokromo yang berprofesi sebagai buruh bangunan dan buruh pabrik pergi ke kota yang jaraknya sekitar 10 km untuk bekerja dan kembali pulang pada sore harinya dengan mengendarai sepeda. Jumlah mereka mencapai ribuan orang dan mendapatkan upah setiap hari Sabtu. Tingkat pendidikan masyarakat desa Wonokromo relatif bagus bila dibandingkan dengan desa-desa
lain di sekitarnya. Hal ini antara lain
disebabkan oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan tersedianya sarana sekolah dari TK hingga SLTA. Bahkan baru-baru ini berdiri satu Perguruan Tinggi Swasta yang bernama Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam.
Da ta tentang tingkat pendidikan penduduk Desa Wonokromo dapat
dillihat pada tabel berikut ini.
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tabel.3:Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Tahun 2004 Tingkat Pendidikan Jumlah
Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat Akademi (D1-D3) Sarjana S-2/S-3
Jumlah Sumber: DataDesa Wonokromo Nopember 2004
764 2.489 1.210 1.176 228 23 3 5890
42
Data di atas menunjukkan bahwa jumlah pali ng besar adalah tamatan SD. Namun demikian, sebagian besar generasi mudanya adalah tamatan SLTP dan SLTA. Dari hasil wawancara dengan salah seorang anggota masyarakat diperoleh informasi bahwa, meskipun pendapatan orang tua yang berprofesi sebagai buruh sa ngat rendah, mereka berusaha menyekolahkan anak-anak mereka sampai minimal SLTA. Penghasilan yang sedikit tidak menghambat mereka untuk
menyekolahkan anak-anak mereka. Pola hidup sederhana
(prihatin) mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian penghasilan disisihkan untuk ditabung dalam bentuk emas atau membeli hewan ternak yang dapat dijual ketika membutuhkan uang untuk biaya sekolah anak-anak mereka. Kesadaran akan pendidikan yang dimiliki Desa Wonokromo membawa dampak positip bagi peningkatan Sumber Daya Manusia. Namun, di sisi lain menimbulkan persoalan baru, yaitu meningkatnya jumlah pengangguran yang tidak terserap oleh lapangan kerja yang ada. Banyak tamatan SLTA bahkan Sarjana yang mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan. Data yang ada dalam Profil Desa Wonokromo menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia usia kerja ada 6.742 orang, penduduk usia kerja yang sudah bekerja ada 4.850 orang dan jumlah penduduk usia kerja yang belum bekerja ada 1892 orang. Dari data tersebut dapat diperoleh angka Reit Pengangguran, yaitu sebesar 28,06 persen.
4.3. Sistem Ekonomi Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Wonokromo cukup bervariasi dan dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tabel.4: Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Menurut Mata Pencaharian pada Tahun 2004 MATA PENCAHARIAN JUMLAH DALAM PERSEN PNS ABRI Swasta Wiraswasta/Pedagang Petani Buruh Pensiunan Jasa
297 58 2.148 516 455 3.092 128 61
4,4 0,8 31,8 7,64 6,73 45,77 1,89 0,9
Sumber : Data Desa Wonokromo Nopember 2004
43
Data di atas menunjukkan bahwa mata pencaharian yang paling besar jumlahnya adalah sebagai buruh (45,77 persen). Informasi yang diperoleh dari aparat desa dan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa para buruh ini adalah buruh tani dan bangunan. Pada musim tanam dan musim panen para buruh banyak yang bekerja sebagai buruh tani di Desa Wonokromo atau di desa-desa sekitarnya. Sementara di luar musim tersebut sebagian besar dari bekerja sebagai buruh bangunan di kota Yogyakarta.
mereka
Penghasilan seorang
buruh berkisar antara tiga belas ribu hingga dua puluh lima ribu rupiah perhari. Untuk buruh bangunan, biasanya menerima upah seminggu sekali, yaitu pada hari Sabtu. Mata pencaharian lain yang cukup besar jumlahnya adalah pegawai swasta, yang meliputi para karyawan yang bekerja di kantor swasta ataupun perusahaan. Mereka ini sebagian besar bekerja di kota Yogyakarta atau sebagai karyawan pabrik pelintingan rokok yang ada di Desa Wonokromo. Sementara penduduk yang memiliki usaha dan berdagang ada 516 orang. Usaha mereka antara lain pengrajin bordir, peci rajut, indusri kue kering, pemilik salon dan sebagainya. Semetara para pedagang terdiri atas para pedagang di pasar, pemilik warung kelontong, pemilik warung makan dan sebagainya. Lokasi yang cukup strategis dan tersedianya fasilitas perdagangan seperti kios dan pasar membuat sebagian kecil penduduk Desa Wonokromo berprofesi sebagai pedagang di pasar atau berjualan di kios yang dibangun oleh Pemerintah Desa. Meskipun di Desa Wonokromo terdapat pasar desa dan puluhan kios, yang berjualan di pasar dan kios-kios tersebut sebagian besar pedagang berasal dari luar Desa Wonokromo. Menurut keterangan Sekretaris dan Kepala Desa, pedagang yang berjualan di pasar dan kios hanya sepuluh persen yang berasal dari Desa Wonokromo, sisanya berasal dari desa-desa di sekitar Desa Wonokromo. Sektor agraria di Desa Wonokromo sangat didukung oleh lahannya yang subur dan sarana irigasi yang memadai. Lahan pertanian yang meliputi sawah dan ladang dan luasnya 272,133 hektar (kurang lebih 50 persen dari total luas wilayah desa) dimiliki sebagian penduduk (497 orang). Sementara penduduk yang mata pencahariannya petani jumlahnya 455 orang.
44
Data tentang luas kepemilikan lahan dapat dillihat pada tabel b erikut ini.
NO
Tabel.5: Jumlah Penduduk Desa Wonokromo berdasarkan Luas Kepemilikan Tanah pada Tahun 2004 Luas Kepemililkan Tanah Jumlah
1. Kurang dari 0,1 hektar 2. 0,1 – 0,5 hektar 3. 0,6 - 1,0 hektar 4. 1,1 – 1,5 hektar 5. 1,6 – 2,0 hektar 6. 3,0 – 5,0 hektar 7. 6,0 – 8,0 hektar 8. 9,0 – 10 hektar 9. Lebih dari 10 hektar Sumber: Data Desa Nopember 2004
Sebagian besar penduduk memiliki lahan kurang
398 orang 42 orang 28 orang 18 orang 6 orang 1 orang -
dari 0,1 hektar.
Sementara penduduk yang memiliki lahan di atas satu hektar hanya 25 orang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani hanya memiliki lahan yang sempit dan diperkirakan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari, mengingat keuntungan yang diperoleh dari hasil pertanian hanya sedikit. Hal ini dikarenakan rendahnya harga jual produksi pertanian. Dari hasil wawancara dengan Sekretaris Desa diperoleh informasi bahwa komoditi pertanian yang biasa ditanam di Desa Wonokromo adalah padi dan palawija. Hasil pertanian tersebut tidak dapat diandalkan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sawah yang tidak seberapa luas ditanami untuk memenuhi kebutuhan sendiri sehingga tidak perlu membeli beras. Sementara untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak terpaksa harus mencari pekerjaan yang lain seperti pergi ke kota menjadi buruh bangunan. Seperti yang dikemukakan Sekretaris Desa berikut ini: “Petani mriki radin-radin sawahipun kirang saking satus lobang, hasilipun mboten cekap kangge urip sabendinten lan ngragati lare sekolah. Kagem nyekapi kedah pados pedamelan sanes dados tukang utawi buruh. Petani mriki sami nanem pantun lan polowijo, pajengipun mirah, mboten cucuk kaliyan anggenipun ngupokoro” (Petani sini rata-rata sawahnya kurang dari seratus lobang (satu lobang=sepuluh meter persegi), hasilnya tidak cukup untuk hidup sehari-hari dan membiayai anak sekolah. Untuk mencukupi harus mancari pekerjaan lain menjadi tukang atau buruh. Petani di sini menanam padi dan palawija, lakunya murah, tidak sebanding dengan perawatannya).
45
Peternakan yang ada di Wonokromo hanya bersifat sambilan dan belum dikelola secara serius. Data mengenai jumlah penduduk yang memiliki hewan ternak dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel.6: Jumlah Penduduk Desa Wonokromo Berdasarkan Jenis Hewan yang Dipelihara pada Tahun 2004 No
Jenis Hewan yang Dipelihara
1. Sapi 2. Kambing 3. Ayam 4. Kerbau 5. Itik 6. Domba Sumber : Data Desa Wonokromo Nopember 2004
Jumlah orang yang Memelihara 92 orang 53 orang 1.455 orang 2 orang 8 orang 43 orang
Data mengenai jumlah hewan ternak yang ada di Desa Wonokromo dapat dilihat dalam tabel berikut ini. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tabel.7:Jumlah Hewan Ternak di Desa Wonokromo pada Tahun 2004 Jenis Hewan Ternak Jumlah Ayam Kampung Ayam Ras Itik Kambing Domba Sapi Perah Sapi biasa Kerbau
8.745 ekor 2.000 ekor 708 ekor 157 ekor 10 ekor 8 ekor 123 ekor 5 ekor
Sumber : Data Desa Wonokromo Nopember 2004
Kesimpulan dari dua tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kepemilikan hewan ternak penduduk hanya sedikit dan skalanya masih skala rumah tangga. Dari keterangan Kepala Desa, sektor peternakan belum dikembangkan secara optimal, karena beberapa alasan. Antara lain ma syarakat masih enggan untuk memelihara ternak karena memerlukan modal besar dan kesabaran, hasilnya tidak dapat segera dipetik, serta memerlukan tenaga yang cukup besar untuk memeliharanya. Disamping itu, resiko kematian akan mendatangkan kerugian yang c ukup besar. Ada beberapa penduduk yang mempunyai usaha perikanan, namun masih dikelola dalam skala rumah tangga. Hanya satu orang yang memiliki usaha perikanan yang cukup besar, yaitu Kepala Dusun Brajan yang mempergunakan tanah bengkoknya untuk budidaya ikan. Sementara itiu jumlah penduduk yang membudidayakan lele dumbo ada sembilan orang, dan yang membudidayakan
46
jenis ikan yang lain ada 15 orang. Hasil perikanan masih di jual di lingkungan Desa Wonokromo dan sekitarnya. Pembuatan batu bata terdapat di Dusun Ketonggo dan Jati. Pemilik usaha batu bata berjumlah 15 orang. Pemasaran batu-bata tidak memiliki kendala karena banyak pedagang yang
datang untuk mengambilnya. Kendala yang
dihadapi oleh para pembuat batu bata ini adalah kurangnya modal untuk menyewa lahan sawah yang akan diambil tanahnya untuk membuat batu bata. Penduduk yang memiliki industri batu -bata ada yang mengerjakan sendiri lahan sawah yang dimiliki/menyewa dari orang lain dan ada yang membayar orang untuk mengerjakannya. Jenis industri dan kerajinan yang ada di Desa Wonokromo sangat bervariasi macamnya. Meskipun demikian, jumlah produksi dari kegiatan kerajinan
dan
industri
tersebut
masih
berskala
kecil,
dan
jangkauan
pemasarannya konsumennya hanya berasal dari Desa Wonokromo dan beberapa de sa di sekitar Desa Wonokromo. Jenis usaha kecil yang ada di desa Wonokromo dapat dilihat dalam Tabel 8 berikut ini. Tabel.8:Jumlah Usaha Kecil/kerajinan yang ada di Desa Wonokromo pada Tahun 2004 No Jenis usaha Jumlah 1. Pembuatan Tahu 5 2. Pembuatan Tempe 85 3. Pembuatan Telur Asin 5 4. Pembuatan Gula semut 1 5. Pembuatan Keripik Singkong 12 6. Pembuatan Keripik Pisang 1 7. Pembuatan baso 8 8. Pembuatan roti/kue 6 9. Pembuatan Tape 3 10. Pembuatan ampyan g kacang 3 11. Konveksi 2 12. Elektronik 2 13. Anyaman Rotan 1 14. Anyaman Sabut Kelapa 1 15. Pembuatan Sapu lidi 26 16. Pembuatan Keset 1 17. Sulaman/bordir 25 18. Merangkai bunga 1 19. Bingkai gambar 2 20. Keranjang roti 1 21. Ukiran kayu 1 22. Pembuatan Mainan anak 4 23. Pembuatan aquarium 10 24. Pembuatan pot bunga 1 25. Pembuatan batu nisan 4 26. Pembuatan kapur untuk bangunan 2 27. Pembuatan kusen rumah 10 28. Pembuatan peci rajut 25 Sumber: Data Desa Wonokromo Nopember 2004
47
Belum lama ini di Desa Wonokromo berdiri pabrik pelintingan rokok Kraton Dalem yang dapat menyerap tenaga kerja perempuan sebanyak 200 orang dengan gaji 400 hingga 600 ribu perbulan. Dalam perekrutan tenaga kerjanya, pemerintah Desa Wonokromo dilibatkan. Tenaga kerja diprioritaskan dari keluarga tidak mampu. Menurut keterangan Kepala Desa Wonokromo, tenaga kerja yang berasal dari Desa Wonokromo tersebut dinilai bagus produktifitasnya oleh pihak perusahaan. Disamping itu keberadaan pabrik pelintingan rokok tersebut dapat sedikit mengurangi pengangguran yang ada di Desa Wonokromo. 4.4. Struktur Komunitas 4.4.1. Stratifikasi Sosial Dalam suatu masyarakat, ada sesuatu yang dihargai oleh masyarkat tersebut yang merupakan bibit munculnya pelapisan atau stratifikasi sosial. Sesuatu yang dihargai tersebut bisa berupa uang/harta benda, tanah, kekuasaan dan ilmu pegetahuan. Menurut Soekanto (1990:63), ukuran yang digunakan untuk menentukan stratifikasi sosial adalah (1) ukuran kekayaan, (2) ukuran kekuasaan, (3) ukuran kehormatan, dan (4) ukuran ilmu pengetahuan. Namun demikian, golongan yang berada di lapisan atas biasanya tidak hanya memiliki satu macam dari apa yang dihargai masyarakat, melainkan memiliki beberapa hal yang dihargai masyarakat. Sebagai contoh seseorang yang memiliki kekayaan pada umumnya juga memiliki ilmu pengetahuan yang luas karena mampu mencapai pendidikan yang tinggi, yang pada akhirnya memiliki kekuasaan dan kehormatan. Stratifikasi sosial juga terjadi di Desa Wonokromo. Para kyai/tokoh agama memiliki stratifikasi sosial paling tinggi karena mempunyai pengetahuan yang tinggi dalam ilmu agama, kekayaan berupa tanah yang dapat dipergunakan untuk membangun pondok pesantren dan sekaligus kehormatan karena perannya menyebarkan ilmu agama kepada masyarakat. Strata kedua ditempati oleh aparat desa, pegawai negeri dan tokoh masyarakat. Aparat Desa memiliki posisi yang cukup baik di masyarakat
karena memiliki kekuasaan. Pegawai
negeri juga memiliki posisi yang cukup baik di masyarakat karena masyarakat memandang bahwa pegawai negeri bukan hanya sebagai profesi melainkan juga sebagai suatu kedudukan. Sebutan mas guru sering digunakan untuk memanggil
48
mereka yang berprofesi sebagai pegawai negeri baik guru maupun non guru. Tokoh masyarakat yang kebanyakan berasal dari pegawai negeri ataupun pensiunan juga memiliki status yang baik di masyarakat, karena peranannya dalam masyarakat. Para tokoh masyarakat ini biasanya di tunjuk sebagai ketua RT (Rukun Tetangga), pengurus kelompok pengajian, pengurus lembaga yang ada di tingkat desa seperti LPMD (Lembaga Pemeberdayaan Masyarakat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), dan sebagainya. Sementara strata ketiga ditempati oleh pedagang, petani dan buruh. Gambaran stratifikasi sosial yang ada di Desa Wonokromo dapat dilihat dalam
Gambar 2 berikut ini:
Gambar. 2: Stratifikasi Sosial Masyarakat Desa Wonokromo
Kyai/pemuka agama
Aparat Desa, PNS, dan Tokoh Masyarakat Petani, Pedagang dan buruh
4.4.2. Kepemimpinan Kepemimpinan yang ada di Desa Wonokromo terdiri atas pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah Kepala Desa dan Kepala Dusun (dukuh) yang dipilih oleh masyarakat melalui pemilihan yang diadakan setiap delapan tahun sekali. Dalam kehidupan sosial, fungsi kepemimpinan Kepala Desa adalah pemimpin wilayah dan
administratif.
Tingkat kepatuhan
masyarakat terhadap Kepala Desa lebih rendah bila dibandingkan dengan kepatuhan terhadap kepemimpinan informal. Oleh karena itu Kepala Desa sering meminta bantuan pemimpin informal (kyai) untuk mendukung program-program pemerintah. Kepemimpinan informal merupakan pemimpin yang tidak diangkat melalui prosedur pemilihan, melainkan pemimpin yang muncul secara alamiah di dalam masyarakat. Pemimpin informal muncul karena karisma yang dimiliki seseorang
49
sehingga setiap anggota masyarakat menghormati dan mematuhi apa yang diucapkannya. Pemimpin informal yang ada di Desa Wonokromo adalah Kyai yang sudah dianggap senior dalam masyarakat dan mempunyai pengalaman yang banyak dalam kehidupan. Pemimpin informal sering dijadikan rujukan oleh anggota masyarakat, aparat desa, tokoh masyarakat bahkan masyarakat yang berada di luar desa. 4.5. Organisasi, Kelembagaan dan Adat Istiadat Lembaga yang ada di Desa Wonokromo meliputi lembaga yang bergerak di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kesehatan keagamaan, dan kekerabatan. Lembaga yang bergerak di bidang pemerintahan
adalah
Pemerintahan Desa, LPMD (Lembaga Pemberdayaaan Masyarakat Desa), BPD (Badan Perwakilan Desa), Pudusunan/pedukuhan dan RT. Pemerintahan Desa lebih berfungsi administratif seperti membayar pajak, pengurusan KTP, akte kelahiran/kematian, dan sebagainya. BPD merupakan lembaga yang berperan sebagai pengontrol jalannya pemerintahan desa. LPMD merupakan lembaga yang berperan dalam upaya membangun desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pedusunan dan RT merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah desa yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah yang lebih sempit. Namun demikian, dari keterangan beberapa tokoh masyarakat BPD dan LPMD masih kurang berfungsi dikarenakan kesibukan para pengurus dan anggotanya yang sebagian besar berprofesi sebagai pegawai negeri. Bahkan dalam BPD sendiri tercipta dua kubu, yaitu yang pro Kepala Desa dan tidak setuju dengan kebijakan Kepala Desa. Lembaga ekonomi yang ada di desa Wonokromo diantaranya adalah Bank Pasar, KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat). Bank Pasar merupakan cabang dari Bank Pasar yang ada di ibukota Kabupaten Bantul dan merupakan bank milik Pemerintah Kabupaten Bantul. Bank ini terletak di sudut perempatan Wonokromo dan bersebelahan dengan Pasar Desa Wonokromo. KSM merupakan kelompok-kelompok usaha bentukan pemerintah yang menerima pinjaman kredit melalui Program P2KP. Tiap-tiap KSM beranggotakan lima sampai 15 orang menerima dengan pinjaman berkisar antara lima juta sampai dengan 28 juta rupiah dengan jaminan kredit
50
sistem tanggung renteng.
BKM merupakan lembaga yang diberi wewenang
untuk mengelola dana Bantuan Langsung Masyarakat dalam program P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan). Lembaga-lembaga yang bergerak dibidang pendidikan adalah tujuh buah TK, tujuh buah SD, dua buah SLTP, dua buah SLTA, satu buah perpustakaan dan 15 buah pondok pesantren (15 buah) serta satu buah Perguruan Tinggi Swasta yang baru saja berdiri. Tersedianya berbagai sarana tersebut membuat masyarakat Desa Wonokromo tidak mengalami kendala untuk melanjutkan pendidikan dan biaya pendidikannya relatif murah bila dibandingkan di kota. Bahkan, Pondok Pesantren tidak memungut biaya pendidikan sedikitpun bagi masyarakat yang ingin menimba ilmu agama. Lembaga yang bergerak di bidang kesehatan adalah Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang letaknya sangat strategis dan mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum karena terletak di pinggir jalan raya. Ongkos berobat di Puskesmas sebesar tiga ribu rupiah perorang sudah termasuk biaya pendaftaran dan obat. Puskesmas ini setiap hari ramai dikunjungi oleh masyarakat, meskipun di Desa Wonokromo ada dokter umum dan dokter gigi yang membuka praktek. Masayarakat Desa Wonokromo yang kebanyakan berpenghasilan rendah lebih memilih berobat ke Puskesmas yang biayanya murah. Lembaga keagamaan yang ada di desa Wonokromo adalah Takmir Masjid yang ada di setiap dusun. PRISMA (Persatuan Remaja Islam Masjid) dan PHBI (Persatuan Hari Besar Islam) merupakan dua oraganisasi keagamaan yan ada di Dusun Wonokromo I dan II dan saling bekerja sama dalam meningkatkan kegiatan keagamaan dalam masyarakat seperti mengaji, ibadah di
bulan
Ramadhan dan sebagainya. Lembaga yang bergerak di bidang sosial adalah Yayasan Al-Ikhlas yang merupakan organisasi yang bertujuan memberi santunan kepada kepada anggota masyarakat yang tidak mampu, fakir miskin dan anak yatim. Dana santunan diambilkan dari zakat mal/harta dan infaq yang dikeluarkan orangorang yang mampu. Lingkup kegiatan dari Yayasan Al Ikhlas masih di tingkat dusun, yaitu Dusun Wonokromo I dan II.
51
Selain lembaga-lembaga di atas, ada juga kelompok Karang Taruna, Dasa Wisma, dan
PKK yang dibentuk oleh pemerintah desa.
Pada prakteknya,
lembaga-lembaga ini kurang mempunyai fungsi di masyarakat. Petemuan rutin yang dilakukan digunakan sebagai sarana untuk arisan oleh warga masyarakat. Lembaga sosial lain yang ada di Desa Wonokromo adalah Gotong Royong dan Kelompok Ronda. Meskipun tidak ada aturan tertulis, seti ap warga masyarakat mematuhi norma-norma yang telah menjadi kesepakatan. Bila ada pembangunan sarana umum seperti pembuatan saluran air, pengerasan jalan, masyarakat dengan sukarela secara gotong royong akan mengeluarkan tenaga dan biaya untuk membangun sarana tersebut. Disamping itu, bila ada salah seorang anggota masyarakat
yang mempunyai hajatan, tetangga-tetangga
terdekatnya akan membantu hingga hajatan tersebut selesai dan tanpa mengharap imbalan apapun. Begitu pula jika ada salah satu anggota masyara kat yang meninggal dunia, maka para tetangganya akan membantu wahli warisnya untuk mengurus jenasah hingga penguburannya dan selamatan
tujuh hari
hingga seribu hari. Bahkan kain kafan dan dan perlengkapannya sudah tersedia yang berasal dari uang kas RT. Gotong royong di masyarakat Desa Wonokromo tidak berlaku
pada
pembangunan rumah yang sifatnya pribadi/tidak ada hubungan saudara atau pengerjaan sawah. Pembangunan rumah dilakukan dengan sistem upah yang disesuaikan dengan standar upah yang berlaku. Begitu pula dengan pengerjaan sawah seperti mencangkul, membajak, menuai padi dikerjakan dengan sistem upah. Selain upah, para tukang dan buruh mendapatkan makan, minum, dan rokok ala kadarnya. Frekuensi pemberian makan ini tergantung kemampuan dan kerelaan yang membangun rumah dan pemilik sawah. Kelompok kekerabatan yang lain adalah kelompok ronda. Dalam satu RT terdiri atas tujuh kelompok ronda (sesuai dengan jumlah hari dalam satu minggu). Setiap anggota masyarakat bebas memilih kelompok/hari sesuai dengan jadwal kesibukannya. Kelompok Ronda ini bertujuan untuk menjaga keamanan lingkungan tempat tinggal masyarkat. Setiap anggota masyarakat sudah bersepakat menyediakan uang minimal seratus rupiah per rumah setiap malam (uang jimpitan) untuk dikumpulkan para peronda yang sedang berkeliling.
52
Uang jimpitan ini dikumpulkan untuk membeli barang-barang yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti tenda untuk hajatan, sound system dan sebagainya. Kegiatan ronda ini berlaku di seluruh dusun di Desa Wonokromo dan pengaturannya pelaksanaannya di tiap RT. Tempat yang dijadikan Pos Ronda bisa di gardu ronda atau di rumah penduduk yang diatur secara bergiliran. Kelembagaan sosial atau pranata sosial diartikan oleh Koentjaraningrat sebagaimana dikutip oleh Nasdian dan Utomo (2004:6) sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Mengacu pada pengertian tersebut, terdapat berbagai kelembagaan atau pranata sosial yang ada di Desa Wonokromo. Ada kesepakatan tidak tertulis di komunitas desa Wonokromo. Bila ada salah seorang anggota masyarakat di desa Wonokromo mempunyai hajatan, maka dua atau tiga hari sebelum hajatan (menikahkan anak atau sunatan), si empunya hajat mengirimkan nasi beserta sayur dan lauk pauk ke tetangga-tetangganya atau sanak saudara/relasi dekat meskipun tinggalnya cukup jauh. Para tetangga tersebut kemudian datang ke rumah orang yang mempunyai hajatan untuk “menyumbang” uang yang jumlahnya dengan
kebiasaan
masyarakat
dan
kedekatan
hubungan
disesuaikan
dengan
yang
mempunyai hajatan. Bila kebiasaan tersebut tidak dilaksanakan baik yang mempunyai hajatan maupun masyarakat di sekitar orang yang mempunyai hajatan, maka orang tersebut akan dianggap sebagai ora lumrah wong (tidak pantas sebagai anggota masyarakat/asosial). anggota
masyarakat
akan
berusaha
Bagaimanapun caranya, setiap
melaksanakan
kebiasaan
tersebut,
meskipun dengan cara mencari pinjaman uang. Kebiasaan ini cukup membebani anggota masyarakat yang berpenghasilan rendah, apalagi pada bulan-bulan musim orang hajatan, seminggu bisa dua sampai empat kali “menyumbang”. Jumlah uang sumbangan berkisar antara dua puluh hingga lima puluh ribu rupiah (tergantung jauh dekatnya hubungan). Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Desa Wonokromo bahwa ahli waris dari orang yang telah meninggal dunia mengadakan pertemuan yang dinamakan dengan tahlilan di rumah almarhum/keluarga almarhum yang bertujuan untuk mendoakan arwah orang yang telah meninggal dunia. Tahlilan tersebut dilaksanakan pada hari ke tujuh, keempatpuluh, keseratus, setahun, dua
53
tahun dan seribu hari setelah almarhum meninggal dunia. Acara tahlilan dilaksanakan dengan mengundang sejumlah orang (minimal satu RT) untuk membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah acara selesai dan makan minum ala kadarnya, setiap orang yang datang dalam acara tersebut membawa pulang satu besek (kotak yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi nasi beserta sayur dan lauk, satu kantong plastik beras (kurang lebih setengah kilogram), satu butir telur mentah, satu bungkus mi instan, satu bungkus teh dan gula pasir. Bila ada anggota masyarakat yang tidak melaksanakan kebiasaan tersebut juga akan dianggap sebagai ora lumrah wong. Meski tidak ada sanksi nyata yang diberikan masyarakat bagi orang yang tidak melaksanakan kebiasaan tersebut, si pelanggar akan merasa bersalah bila tidak melaksanakan adat istiadat tersebut. Upacara selamatan lain yang ada di Desa Wonokromo. Upacara selamatan pada bulan ke tujuh kehamilan anak pertama diadakan dengan mengundang
tetangga
dan
sanak
saudara
untuk
membaca
doa
bagi
keselamatan janin yang sedang dikandung yang dilanjutkan dengan makan mainum ala kadarnya dan setiap orang membawa satu besek berisi nasi dan makanan yang je nisnya telah ditentukan. Setelah bayi lahir diadakan lagi upacara selamatan yang dinamakan puputan (lepasnya tali pusar) dan selapanan (hari ke 35 setelah bayi lahir). Ajaran agama Islam untuk melaksanakan aqiqah atau menyembelih kambing bagi mereka yang mampu biasanya disamakan waktunya dengan salah satu acara puputan atau selapanan. Upacara selamatan juga dilakukan pada waktu selesai membangun rumah. Upacara tersebut dilakukan di rumah yang baru di bangun dengan membaca doa-doa sesuai dengan agama Islam (hampir seluruh penduduk Desa Wonokromo beragama Islam) yang diikuti dengan makan minum ala kadarnya dan pembagian besek kepada para hadirin. Menjelang datangnya bulan Ramadhan, masyarakat Desa Wonokromo mempunyai kebiasaan mengadakan ruwahan/nyadran (dilaksanakan pada bulan Ruwah dalam perhitungan Jawa). Dalam ruwahan tersebut setiap rumah/Kepala Keluarga membawa satu besek (berisi nasi dan lauk pauk dan ketidak
54
ketinggalan nasi ketan, kolak dan kue apem) ke masjid untuk mendoakan leluhur dan keluarga yang sudah meninggal. Setelah pembacaan doa selesai dan minum dan makan makanan kecil yang sudah disediakan takmir masjid, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan membawa besek yang mereka bawa tadi ke rumah masing-masing untuk dimakan sekeluarga. Kebiasaan lain yang ada di desa Wonokromo adalah mengunjungi tetangga dan kerabat yang dianggap lebih tua/dituakan pada Hari Raya Idul Fitri untuk meminta maaf dan bersilaturahmi, setelah melaksanakan Sholat ‘Id di masjid atau lapangan. Kebiasaan tersebut berlangsung selama satu minggu. Upacara adat yang ada di Desa Wonokromo adalah Rebo Pungkasan. Upacara ini dilaksanakan setahun sekali , yaitu pada hari Selasa (malam Rabu terakhir bulan Sapar dalam penanggalan jawa) jam 20.00 hingga selesai. Upacara ini sudah berlangsung secara turun temurun dan Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul berusaha melestarikan acara tersebut sebagai aset pariwisata. Seminggu sebelum pelaksanaan upacara tersebut di adakan pasar malam di lapangan Desa Wonokromo dan festival Hadroh (salah satu jenis kesenian Islam) se Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara pasar malam dan festival Hadroh ditutup dengan pengajian akbar pada malam Selasa di halaman Balai Desa Wonokromo. Pada hari Selasa malam Rabu diadakan arak-arakan Lemper Raksasa “Boga Wiwaha” dan “Gunungan” yang merupakan hasil bumi Desa Wonokromo. Di belakangnya, ada beberapa kelompok kesenian setempat yang ikut memeriahkan
upacara tersebut seperti Slawatan Montro, slawatan
Rodat dan sebagainya. Pengiring dan pembawa lemper raksasa terdiri atas satu orang Manggala, 43 orang prajurit Keraton Yogyakarta dan sembilan orang penabuh musik serta kelompok kesenian setempat yang berjumlah kurang lebih 90 orang. Sudah menjadi kebiasaan dan tradisi pada masyarakat Desa Wonokromo bahwa bukanlah hal yang tabu jika anak yang sudah menikah dan mempunyai anak masih tinggal bersama orang tuanya, hingga anak tersebut mampu membangun rumah sendiri dan tinggal terpisah dengan orang tuanya. Lokasi membangun rumahpun masih dekat dengan rumah orang tuanya karena tanahnya merupakan tanah warisan orang tuanya. Jarang sekali dan hampir
55
tidak ada anak yang sudah menikah langsung tinggal terpisah dengan orang tua atau mertuanya. Oleh karena itu, dalam satu rumah bisa dihuni oleh beberapa Kepala Keluarga dan mereka hidup dengan rukun dan saling membantu sama lain. Pola pengasuhan yang ada pada masyarakat Desa Wonokromo adalah masih menganut sistem keluarga batih. Hal ini dikarenakan sebagian besar rumah masih dihuni oleh beberapa keluarga inti. Sehingga kakek, nenek, bibi dan paman masih berperan dalam pengasuhan anak disamping orang tua dari anak sendiri. 4.6. Sumber Daya Lokal Sebagaimana desa -desa yang ada di Indonesia, sebagian penduduk Desa Wonokromo (556 Kepala Keluarga)
menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian. Dari 556 petani, yang memiliki sawah ada 455 petani dan 39 pemilik ladang dan sisanya petani penggarap/penyewa dan penyakap. Total luas lahan pertanian yang terdiri atas sawah dan ladang adalah 272,133 hektar. Penghitungan rata rata luas penguasaan lahan per petani diperoleh angka 0,489 hektar.
Luas lahan tersebut tidak mampu menanggung kebutuhan hidup petani
dan keluarganya, apalagi memenuhi kebutuhan penduduk Desa Wonokromo yang berjumlah 9.963 jiwa. Oleh karena itu banyak penduduk Desa Wonokromo (3.000 orang lebih) yang pergi ke kota untuk bekerja sebagai buruh bangunan atau
pabrik.
Melihat
kenyataan
di
atas,
sektor
pertanian
tidak
dapat
dikembangkan lagi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, karena keterbatasan lahan. Meskipun lahan pertanian di Desa Wonokromo termasuk dalam kategori lahan yang subur dan sistem irigasinya sudah baik. Kelembagaan yang mengatur hubungan masyarakat dengan pengelolaan sumber daya alam tampak dalam terjadinya stratifikasi sosial, yaitu petani pemilik lahan, petani penggarap/penyewa dan buruh tani. Kesepakatan antara petani dan petani penggarap adalah sistem maro (petani penggarap memperoleh setengah dari hasil pertanian dan pemilik lahan mendapatkan setengahnya lagi. Disamping itu juga ada yang menerapkan sistem sewa pertahun yang besarnya sesuai dengan kesepakatan antara pemilik tanah dan penyewa lahan. Sementara hubungan petani pemilik lahan dengan buruh tani adalah dikenakan
56
dengan sistem upah. Seorang buruh tani mendapatkan upah sebesar lima belas ribu rupiah ditambah dengan makan siang. Perlu dikemukakan juga bahwa sistem penguasaan lahan di Desa Wonokromo berdasarkan warisan atau orang tua atau membeli bila ada salah satu anggota masyarakat yang menjual tanahnya. Hampir semua lahan di Desa Wonokromo sudah bersertifkat. Budi daya ikan di Desa Wonokromo mempunyai potensi yang cukup bagus untuk dikembangkan, mengingat masih banyak lahan pekarangan yang belum dimanfaatkan secara maksimal dan kemudahan memperoleh sumber air. Disamping itu, permintaan masyarakat terhadap ikan terus meningkat dan pangsa pasarnya masih terbuka luas. Pembuatan batu bata di Dusun Ketonggo dan Dusun Jati produknya masih berskala kecil. Mengingat kebutuhan akan batu bata yang cukup besar, karena banyaknya pembangunan perumahan di wilayah Kabupaten Bantul, pembuatan batu bata dapat dikembangkan produksinya. Yang perlu mendapat perhatian adalah sistem pemasarannya, karena selama ini para pengrajin batu bata masih menunggu para pedagang material dengan harga yang ditentukan oleh pedagang tersebut. Yang menarik untuk dikaji
dari sumber daya yang ada di Desa
Wonokromo adalah lokasinya yang sangat strategis karena dilintasi jalan raya Jogja Imogiri yang cukup padat lalu lintasnya. Di lokasi sekitar perempatan Wonokromo banyak berdiri toko dan kios yang menjual berbagai macam kebutuhan, dari makanan, pakaian, elektronik hingga onderdil kendaraan bermotor. Dengan kata lain, apa saja laku dijual di lokasi ini karena banyak orang yang datang dari penjuru kecamatan yang datang berbelanja. Sate kambing Wonokromo juga terkenal sampai ke berbagai daerah. Warung sate kambing ini jumlahnya mencapai puluhan buah dan semuanya tidak pernah sepi pembeli. Desa Wonokromo juga sangat terkenal dengan upacara adat Rebo Pungkasan yang diadakan setahun sekali, sehingga banyak warga dari kecamatan lain yang datang mengunjungi acara tersebut. Pada acara tersebut diadakan pasar malam yang menjual berbagai macam dagangan. Sayangnya,
57
sebagian besar pedagang pada pasar malam tersebut justru berasal dari desa/daerah lain dan hanya sedikit yang berasal dari Desa Wonokromo. Pasar desa yang luasnya 0,4 hektar dan terletak di perempatan Wonokromo bisa menampung ratusan pedagang. Namun demikian, pasar tersebut hanya buka tiga hari dalam lima hari menurut perhitungan Jawa, yaitu Legi, Pahing dan Wage. Sementara dua hari yang lain para pedagang pindah ke pasar Desa Pleret yang jaraknya sekitar satu setengah kilometer. Pasar tersebut banyak didatangi pembeli baik untuk dikonsumsi sendiri ataupun dijual lagi secara eceran. Kios-kios yang berdiri di pinggir pasar adalah milik Desa Wonokromo dan dijadikan sumber pemasukan desa. Bangunan-bangunan kios tersebut masih sangat sederhana dan pemerintah desa berencana merenovasi kios-kios tersebut. Di sepanjang
jalan di sebelah Timur Balai Desa Wonokromo banyak
terdapat kios-kios yang jumlahnya lebih dari 50 buah. Kios-kios tersebut semuanya menjual onderdil sepeda motor baik baru ataupun bekas. Onderdilonderdil tersebut berasal dari luar Kabupaten Bantul. Banyak orang berdatangan dari luar Bantul untuk membeli onderdil sepeda motor.
Kios-kios tersebut milik
masyarakat Desa Wonokromo yang disewakan kepada orang dari luar Desa Wonokromo untuk berjualan onderdil sepeda motor. Pada mulanya kios-kios tersebut hanya beberapa buah dan makin lama makin banyak jumlahnya. Pemerintah Desa Wonokromo saat ini sedang membangun pusat perdagangan di sebelah Barat Balai Desa Wonokromo. Pembangunan tersebut diserahkan kepada pengembang dan ditawarkan kepada masyarakat di Desa Wonokromo dan sekitarnya untuk membeli kios tersebut dengan sistem hak pakai. 4.7. Masalah Sosial Masalah sosial yang cukup menonjol di Desa Wonokromo adalah kemiskinan dan pengangguran. Dari data yang dibuat oleh petugas dari BKKBN yang dibuat pada tahun 2003 menunjukkan bahwa di Desa Wonokromo ada sekitar 908 Kepala Keluarga dari 3.895 kepala Keluarga yang ada yang termasuk dalam kategori miskin. Data
tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan terjadi
pada lebih dari 20 persen dari Kepala Keluarga yang ada.
58
Kemiskinan terjadi antara lain karena terbatasnya lahan pertanian dan rendahnya harga produk pertanian.
Sempitnya lahan menyebabkan sektor
pertanian tidak menjadi sektor andalan di desa Wonokromo. Langkanya lapangan pekerjaan di desa, yang dikarenakan sempitnya lahan pertania n membuat sebagian besar penduduk usia kerja pergi ke kota yang tidak jauh jaraknya dari Desa Wonokromo. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh bangunan dan pabrik. Setiap pagi mereka berangkat ke kota dan sore harinya pulang kembali ke rumah. Rendahnya upah buruh dan ketidakpastian pekerjaan (rentan PHK dan harus mencari pekerjaan di tempat baru bila proyek pembangunan selesai) membuat para buruh tersebut tidak mempunyai penghasilan yang pasti. Mereka kadang-kadang tidak mempunyai pekerjaan dalam jangka waktu seminggu, dua minggu bahkan satu bulan, sampai ada yang menawari pekerjaan. Pekerjaan apapun mereka lakukan untuk memperoleh uang seperti menjadi tukang becak atau kuli angkut. Dalam kondisi tidak mempunyai penghasilan, mereka dapat bertahan hidup karena mereka masih tinggal dengan orang tua atau saudara. Masalah sosial lain yang sangat penting adalah pengangguran yang cukup banyak jumlahnya. Data yang ada dalam Profil Desa Wonokromo menunjukkan bahwa jumlah penduduk usia usia kerja ada 6742 orang, penduduk usia kerja yang sudah bekerja ada 4.850 orang (termasuk para buruh tidak tetap) dan jumlah penduduk usia kerja yang belum bekerja ada 1892 orang. Dari data tersebut dapat diperoleh angka Reit Pengangguran, yaitu sebesar 28,06 persen. Jumlah tersebut akan semakin bertambah dengan semakin meningkatnya jumlah lulusan SLTA, Akademi maupun Sarjana. Lokasi strategis dan pasar desa yang dimiliki Desa Wonokromo justru lebih banyak dimanfaatkan oleh orang yang berasal dari luar Desa Wonokromo. Pedagang yang ada di Pasar Wonokromo hanya sepuluh persen yang berasal dari Desa Wonokromo dan sisanya berasal dari luar Desa Wonokromo bahkan luar kecamatan. Kios-kios dan toko yang ada juga lebih banyak dimanfaatkan oleh orang-orang dari luar Desa Wonokromo. Ha l ini disebabkan karena terbatasnya modal dan kemampuan untuk berdagang di kalangan masyarakat
59
Desa Wonokromo. Seperti yang dikemukakan oleh Sekretaris Desa Wonokromo berikut ini: “Tiyang Wonokromo sekedik ingkang saget dagang. Ingkang manfaataken kios -kios lan peken malah sanes saking Wonokromo. Bakul wonten peken namung sedoso persen ingkang saking deso Wonokromo. Ingkang nyewo kios lan bikak toko ugi kathah ingkang saking njawi”. (Orang Wonokromo sedikit yang bisa berdagang. (Yang memanfaatkan kios-kios dan pasar malah bukan dari Wonokromo. Pedagang di pasar hanya sepuluh persen yang berasal dari Desa Wonokromo. Yang menyewa kios dan buka toko juga banyak yang dari luar) Keberadaan banyak pesantren di Desa Wonokromo mempunyai dampak yang cukup signifikan pada masyarakat Desa Wonokromo. Sejak kecil masyarakat sudah dibiasakan untuk mempelajari ilmu agama Islam (kitab kuning) di pondok pesantren disamping ilmu umum yang diperoleh di bangku sekolah formal. Orang yang menguasai ilmu agama
akan mendapatkan status yang
tinggi di masyarakat, apalagi bila dapat menjadi guru mengaji atau bahkan Kyai dan mendirikan Pondok Pesantren. Kehidupan dunia dan harta bagi sebagian besar masyarakat dianggap tidak penting. Pemahaman yang sempit tentang agama Islam telah menyebabkan masyarakat kurang mempunyai semangat untuk meningkatkan perekonomian mereka. Tradisi pesantren yang menekankan pada ibadah yang bersifat ritual telah mendarah daging dalam tubuh masyarakat. Hal tersebut nampak dalam kegiatan rutin yang ada di masyarakat, seperti tahlilan, yasinan, upacara selamatan dan sebagainya. Ikatan emosional dan ketaatan yang begitu tinggi terhadap Kyai mempunyai sumbangan yang cukup besar dalam membentuk karakter dan pribadi dalam setiap individu dalam masyarakat, yang akhirnya menjadi budaya masyarakat. Nilai-nilai dan norma yang diajarkan Kyai akan diinternalisasi oleh para santrinya dan masyarakat yang ada di sekitar Pondok Pesantren. Tradisi pesantren yang lebih mengutamakan kehidupan akhirat dan ibadah ritual membuat
sebagian
besar
masyarakat
kurang
memiliki
kemauan
untuk
meningkatkan perekonomian. Ada semboyan hidup yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Desa Wonokromo, yaitu sugih nrimo dan sugih sabar. Artinya, setiap orang hendaknya bersikap menerima dan bersyukur dengan apa yang dimiliki dan sabar dengan kesulitan yang dialami.
60
4.8.
Ikhtisar Permasalahan utama yang ada di Desa Wonokromo adalah kemiskinan
dan pengangguran. Kemiskinan terjadi pada hampir 20 persen Kepala Keluarga dari 3895 Kepala Keluarga yang ada. Sementara angka reit pengangguran mencapai 28,06 persen dari 6742 orang penduduk usia kerja. Jumlah tersebut akan semakin bertambah dengan bertambahnya lulusan SLTP, SLTA yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak mendapatkan pekerjaan. Kemiskinan dan pengangguran tersebut antara lain disebabkan oleh semakin sempitnya kepemilikan lahan pertanian dan langkanya lapangan pekerjaan di Desa Wonokromo, sehingga sebagian besar penduduk mencari pekerjaan sebagai buruh di kota Yogyakarta. Pekerjaan sebagai buruh dengan gaji rendah dan tidak tetap menyebabkan mereka sulit untuk meningkatkan taraf kehidupan karena gaji mereka hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Di samping itu kesulitan untuk memperoleh modal yang cukup untuk menambah modal juga dialami oleh mereka yang bergerak dalam sektor perdagangan dan industri rumah tangga. Di samping faktor struktural (sempitnya lahan pertanian dan sulitnya mencari pekerjaan), kemiskinan di Desa Wonokromo juga disebabkan oleh faktor kultural. Faktor kultural yang paling dominan adalah kurangnya motivasi masyarakat untuk meningkatkan tingkat pendapatan. Hal ini dikarenakan adanya semboyan hidup nrimo ing pandum
(merasa puas dengan apa yang sudah
dimiliki) yang dimiliki sebagian besar masyarakat Desa Wonokromo. Disamping itu kemampuan manajemen yang rendah dalam menjalankan usaha juga menjadi kendala untuk meningkatkan skala usaha bagi mereka yang bergerak di sektor perdagangan dan industri rumah tangga. Pendidikan penduduk Desa Wonokromo relatif baik (generasi mudanya rata-rata tamat SLTA), namun tidak diikuti oleh ketrampilan dan motivasi yang kuat untuk
berwirausaha. Harapan mereka adalah memperoleh pekerjaan
kantoran di kota, sementara saat ini untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan merupakan hal yang sulit. Sebagian dari mereka yang tamat
61
SLTA dengan terpaksa ikut menjadi buruh seperti orang tuanya, karena tidak memperoleh pekerjaan di sektor formal. Masyarakat Desa Wonokromo masih menjalankan tradisi yang diturunkan secara turun temurun seperti upacara adat Rebo Pungkasan, selamatan terhadap bayi yang sedang dikandung pada usia kandungan tujuh bulan (mitoni), selamatan terhadap orang yang sudah meninggal, selamatan rumah yang baru di bangun dan sebagainya. Kelompok yang ada di Desa Wonokromo sebagian besar mempunyai tujuan sosial dan keagamaan seperti kelompok ronda, kelompok Dasa Wisma, kelompok yasinan, kelompok pengajian dan sebagainya. Sementara kelompok yang mempunyai tujuan ekonomi (Kelompok Swadaya Masyarakat) merupakan hal yang relatif baru bagi masyarakat Desa Wonokromo dan motivasi pembentukannya masih sekedar ingin memperoleh pinjaman dari P2KP.
62
BAB V TINJAUAN TERHADAP PROGAM P2KP 5.1. Deskripsi Kegiatan Pada awal tahun 2000 di Desa Wonokromo diadakan sosialisasi tentang adanya program P2KP (Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) oleh Pemerintah Desa Wonokromo kepada masyarakat desa dalam forum
yang
dinamakan dengan Musbangdes (Musyawarah Pembangunan Desa). Desa Wonokromo dijadikan salah satu dari dua lokasi pelaksanaan program P2KP karena desa ini masuk dalam kategori “kota” di Kecamatan Pleret di samping Desa Pleret yang menjadi ibu kota kecamatan. Setelah diadakan sosialisasi melalui pertemuan Musbangdes yang dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat, kemudian diputuskan bahwa Desa Wonokromo menerima program P2KP. Setelah itu kemudian dibentuk BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) yang bertugas mengelola BLM (Bantuan Langsung Masyarakat). BKM dibentuk secara musyawarah oleh masyarakat Desa Wonokromo yang personilnya terdiri atas berbagai unsur seperti pemuda, PKK, tokoh masyarakat dan sebagainya. Namun demikian tidak ada satupun dari unsur aparat desa yang terlibat dalam kepengurusan BKM. Kepengurusan BKM terdiri atas ketua, sekretaris, bendahara, UPK (Unit Pengelola Keuangan) yang terdiri atas lima orang anggota dan anggota BKM yang terdiri atas 12 orang yang merupakan wakil dari 12 dusun yang ada di Desa Wonokromo. Setelah BKM terbentuk, kemudian diadakan musyawarah oleh para pengurus dan anggota BKM tentang penggunaan BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang besarnya dua ratus lima puluh juta rupiah. Dalam musyarawah tersebut diputuskan bahwa sebagian dana (55 juta rupiah) tersebut digunakan untuk pembangunan sarana fisik (pengerasan jalan) di dua belas dusun dan sisanya (195 juta rupiah) dipinjamkan kepada masyarakat untuk menambah modal usaha. Sebagaimana yang tertera dalam pedoman umum pelaksanaan P2KP, syarat untuk meminjam dana BLM adalah membentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat).
63
5.1.1. Penyelenggara Penyelenggara P2KP secara nasional adalah Departemen Pemukiman dan
Prasarana
Wilayah
(Kimpraswil)
yang
untuk
kelancaran
tugasnya
membentuk PMU (Project Manajement Unit). PMU didukung oleh Tim Pengarah Inter Departemen yang terdiri atas unsur-unsur Bappenas, Departemen Kimpraswil, Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Kantor Menko Kesra/Komite Penanggulangan Kemiskinan. Tim ini dibentuk melalui Surat Keputusan Dirjen Perumahan dan Pemukiman Departemen Kimpraswil. Peranan Pemerintah Propinsi DIY adalah memberikan dukungan dan jaminan atas kelancaran pelaksanaan P2KP di wilayah DIY. Penanggungjawab pelaksanaan P2KP di tingkat propinsi adalah Bappeda (Badan Perencana Pembangunan) Propinsi yang untuk kelancaran tugasnya membentuk tim koordinasi antar instansi terkait di tingkat propinsi. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul berperan menjamin kelancaran pelaksanaan
P2KP
di
wilayah
Kabupa ten
Bantul.
Penanggungjawab
pelaksanaan P2KP di Kabupaten Bantul adalah Bappeda Kabupaten Bantul yang untuk kelancaran tugasnya dapat membentuk tim koordinasi antar instansi terkait di tingkat kabupaten. Unsur yang termasuk dalam pelaksanaan P2KP di tingka t Kecamatan Pleret adalah Camat dan perangkatnya dan Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK). Camat berperan memberikan dukungan dan jaminan atas kelancaran pelaksanaan P2KP. Sementara PJOK berperan sebagai pelaksana proyek P2KP di tingkat kecamatan dan bertanggung jawab terhadap administrasi pencairan dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) Kepala Desa Wonokromo berperan utama memberi dukungan dan jaminan agar pelaksanaan P2KP di desa Wonokromo dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebagaimana disebutkan dalam Pedoman Teknis P2KP (2004:53) bahwa
tugas dan tanggung jawab Kepala
Desa Wonokromo adalah: (1) Membantu pemasyarakatan awal P2KP ke seluruh masyarakat di desa Wonokromo;
64
(2) Memfasilitasi proses pengambilan keputusan oleh masyarakat
untuk
menerima/menolak P2KP dan jika masyarakat menerima P2KP, atas nama warga mengajukan surat ke Bappeda Kabupaten Bantul dan KMW (Konsultan Manajemen Wilayah); (3) Memfasilitasi
terselenggaranya
pertemuan
pengurus
RT/RW
dan
masyarakat dengan KMW/fasilitator, dan kader masyarakat dalam upaya menyebarluaskan informasi dan pelaksanaan P2KP; (4) Membantu memfasilitasi proses pembentukan kelembagaan komunitas; (5) Memfasilitasi koordinasi dan sinkronisasi kegiatan yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan; termasuk peninjauan lapangan; (6) Memfasilitasi pelaksanaan pemetaan swadaya dalam rangka pemetaan kemiskinan dan potensi sumberdaya komunitas yang dilaksanakan masyarakat; (7) Memfasilitasi dan mendukung penyusunan Program Jangka Menengah Penanggulangan Kemiskinan (PJM Pronangkis) dan program tahunannya oleh masyarakat yang diorganisasikan oleh BKM; (8) Mendorong tumbuh kembangnya proses pembangunan partisipatif di desa Wonokromo; (9) Memberikan laporan bulanan pelaksanaan P2KP di desa Wonokromo kepada pemerintah di atasnya (Kecamatan Pleret). (10) Berkoordinasi
dengan
fasilitator,
kader
masyarakat
dan
BKM,
memfasilitasi penyelesaian masalah dan konflik serta penanganan pengaduan yang muncul dalam pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo. 5.1.2. Sumber Biaya Pelaksanaan Proyek P2KP memakai dua sumber dana yaitu (1) pinjaman bank dunia dan (2) APBN (Anggaran Pendapatan Negara), APBD (Anggaran Pendapatan Daerah) Propinsi dan APBD Kabupaten. Dana pinjaman dari Bank Dunia antara lain digunakan untuk: (a) BLM (Bantuan Langsung Masyarakat), (b) Kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti pendampingan tim fasilitator, lokakarya dan pelatihan masyarakat. Sementara itu pemerintah Indonesia (Pusat, Propinsi dan Kabupaten) mengalokasikan dana untuk Biaya Operasional Proyek (BOP), termasuk BOP PJOK (Penanggung Jawab Operasional Kegiatan) dan BOP Kalurahan/desa. Desa Wonokromo mendapatkan dana untuk BOP
65
sebesar Rp 1.500.000,- yang diberikan tiap semester masing-masing Rp 750.000,BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang
diperuntukkan untuk Desa
Wonokromo adalah sebesar dua ratus lima puluh juta rupiah. Lima puluh lima juta di antaranya digunakan untuk dana stimulan bagi 7 dusun yang digunakan untuk pengerasan jalan. Sementara sisanya (195 juta rupiah) oleh BKM (melalui Unit Pengelola Keuanan) dipinjamkan kepada 28 KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dengan bunga 18 persen pertahun. Pemasukan dana yang diperoleh dari bunga pinjaman tersebut, lima puluh persen diantaranya digunakan untuk pengembangan modal, dan sisany a digunakan untuk biaya operasional Unit Pengelola Keuangan (UPK) dan sebagian lagi dikembalikan kepada KSM. Dari tahun ke tahun ke tahun dana yang dikembangkan melalui kredit kepada KSM semakin bertambah. Perkembangan dana tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel.9: Jumlah Modal Usaha Kredit P2KP Desa Wonokromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2004 NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tahun Awal tahun 2000 Akhir tahun 2000 Akhir tahun 2001 Akhir tahun 2002 Akhir tahun 2003 Akhir tahun 2004
Jumlah Modal Rp 195.000.000,Rp 210.019.900,Rp 224.054.039,Rp 256.092.180,Rp 282.135.680,Rp 336.907.725,-
Sumber: Laporan Kegiatan P2KP Desa Wonokromo th 2004
Pada tahun 2003 sebagian keuntungan yang diperoleh dari bunga pinjaman digunakan untuk memberikan beasiswa kepada 12 anak tidak mampu yang berasal dari 12 dusun yang ada di desa Wonokromo. Masing-masing anak memperoleh beasiswa sebesar Rp 60.000,- untuk waktu satu tahun. Pada tahun 2004, sebagian bunga juga digunakan untuk merenovasi gedung yang tadinya digunakan untuk Puskesmas. Gedung tersebut kini digunakan untuk Kantor BKM dan Perpustakaan Desa. Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan kegiatan pemberian kredit melalui P2KP. Permasalahan tersebut adalah jumlah dana BLM yang dirasa masih kurang, mengingat banyak masyarakat Desa Wonokromo yang bergerak
66
di sektor perdagangan dan industri tumah tangga membutuhkan banyak modal. Saat ini banyak KSM mengajukan pinjaman, namun harus antri dalam waktu yang cukup lama (hingga dua bulan), karena terbata snya dana yang tersedia. Permasalahan yang lain
adalah kredit macet, meskipun bila dibandingkan
dengan desa lain yang ada di Kabupaten Bantul
kredit macet di desa
Wonokromo relatif kecil. Menurut Ketua BKM, jumlah kredit macet sejak awal pelaksanaan sekitar 20 juta rupiah. Prosentase kredit macet dalam proyek P2KP dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel.10: Prosentase Kredit Macet P2KP di Desa Wonokromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2004 NO. 1. 2. 3. 4. 5.
TAHUN
PROSENTASE KREDIT MACET 2 7 0,41 0,43 0,3
Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004
Sumber: Laporan Kegiatan P2KP Desa Wonokoromo tahun 2004
Dengan demikian dapat diketahui bahwa prosentase kredit macet mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan semakin ketatnya BKM dalam menyeleksi pengajuan pinjaman dari KSM. Bila ada KSM yang sampai terlambat membayar angsuran, maka tidak akan diijinkan untuk memperoleh pinjaman lagi. Ketegasan BKM tersebut dapat memberi pelajaran kepada KSM yang lain untuk selalu membayar angsuran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 5.1.3. Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam
P2KP masih bersifat top down,
karena program ini dirancang oleh penyandang dana dan pemerintah pusat. Baik lokasi pelaksanaan dan jumlah bantuan dana ditentukan oleh pemerintah pusat. Lokasi yang menjadi pelaksanaan kegiatan P2KP adalah kalurahan yang ada di kotamadya atau desa yang termasuk dalam kategori kota di wilayah kabupaten. Adapun jumlah BLM ditentukan berdasarkan jumlah penduduk yang ada di desa/kalurahan yang bersangkutan. Meskipun bersifat top down,
namun demikian program ini juga
menggunakan pendekatan partisipasi. Partisipasi di sini diartikan sebagai respon masyarakat terhadap program yang ditawarkan oleh pemerintah. Partisipasi
67
tersebut dimanifestasikan dalam forum rembug warga (dalam Musbangdes) yang memutuskan apakah masyarakat menerima atau menolak program P2KP. Asas partisipatif nampak dalam pemilihan pengurus dan anggota BKM yang dipilih langsung oleh masyarakat. Anggota dan pengurus BKM terdiri atas para tokoh masyarakat yang ada dimasing -masing dusun dan tidak ada unsur aparat desa yang duduk dalam kepengurusan BKM. Anggota BKM merupakan orang-orang yang dipandang mampu mewakili dan membela kepentingan masyarakat. Disamping menggunakan
pendekatan
pendekatan
partisipatif,
pemberdayaan
pelaksanaan
melalui
P2KP
kelompok.
juga
Pendekatan
kelompok ini nampak dalam pembentukan KSM-KSM sebagai wadah anggota masyrakat untuk
meningkatkan usaha perekonomiaannya. Adapun alasan
pembentukan KSM sebagaimana mana disebutkan dalam Pedoman Umum Pelaksanaan P2KP ( tanpa nama, 2004:27) adalah: (1) Memudahkan tumbuh kembangnya ikatan-ikatan dan solidaritas sosial serta semangat kebersamaan antar masyarakat; (2) Mendorong
warga
mengembangkan
masyarakat
kegiatan,
agar nilai-nilai
lebih
dinamis
kemanusiaan
dalam dan
kemasyarakatan; (3) Mendorong agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan efisien; (4) Mendukung terjadinya proses saling asah dan saling asuh antar sesama anggota; (5) Terjadinya konsolidasi kekuatan bersama antar yang lemah maupun antar yang kuat dan yang lemah di suatu KSM; (6) Mengembangkan dan melembagakan tanggung renteng, membangun jaminan karakter antar anggota, wadah proses belajar/interaksi antar anggota, menggerakkan keswadayaan dan modal, meningkatkan dan menertibkan angsuran pinjaman, menguatkan dan mengembangkan usaha anggota dan sebagainya. Namun demikian, pendekatan pemberdayaan melalui kelompok yang diharapkan melalui P2KP ternyata tidak berjalan. Pembentukan KSM ternyata hanya dijadikan syarat atau formalitas untuk memperoleh pinjaman P2KP. Hal ini dibuktikan dengan hanya ada satu KSM dari 32 KSM yang ada yang mengadakan pertemuan rutin. Menurut keterangan dari ketua KSM Maju Lancar (KSM yang mengadakan perte muan rutin), pertemuan tersebut bertujuan untuk
68
mengumpulkan angsuran pinjaman dari para anggota dan dilanjutkan dengan pembacaaan ayat-ayat Al Qur’an.
Proses pemberdayaan yang diharapkan
terjadi melalui pembentukan kelompok belum terjadi. Jumlah KSM di desa Wonokromo yang mendapatkan pinjaman kredit melalui P2KP dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel.11: Jumlah KSM yang mendapatkan pinjaman kredit P2KP di Desa Wonokromo dari Tahun 2000 sampai dengan Tahun 2004 NO. 1. 2. 3. 4. 5.
TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004
JUMLAH KSM 28 KSM Ekonomii, 7 KSM Fisik 31 KSM Ekonomi, 1 KSM Pelatihan 29 KSM Ekonomi 36 KSM Ekonomi 36 KSM Ekonomi
Sumber: Laporan Kegiatan P2KP Desa Wonokromo tahun 2004
5.1.4. Golongan Partisipan Kegiatan Pihak-pihak yang terlibat (stake holder) pemerintah
(pusat,
propinsi,
kabupaten,
dalam proyek P2KP adalah
kecamatan
dan
desa),
masyarakat (dalam bentuk KSM) di mana proyek P2KP dilaksanakan,
BKM, dan
Perguruan Tinggi (terlihat perannya dalam Konsultan Manajmen Wilayah dan Fasilitator). Pada awal pelaksanaan P2KP yang lebih banyak berperan adalah pemerintah dan fasilitator, yaitu ketika diadakan sosialisasi program P2KP. Setelah BKM dan KSM terbentuk, masyarakat yang didampingi oleh fasilitator lebih banyak berperan dalam kegiatan P2KP, terutama masyarakat yang yang tergabung dalam BKM, UPK dan KSM. Hingga sekarang ini, pelaksanaan kegiatan P2KP lebih banyak dilakukan oleh BKM (sebagai pengelola dana pinjaman) dan KSM sebagai penerima pinjaman. Pemerintah Desa yang diharapkan berkolaborasi dengan BKM dalam upaya mengatasi kemiskinan di Desa Wonokromo ternyata tidak banyak berperan dan seperti tidak mau tahu tentang pelaksanaan P2KP. Seperti halnya yang dikemukakan oleh ketua BKM, Bapak Swt berikut ini: “Selama ini pemerintah desa tidak pernah ngaruhke (menanyakan) bagaimana pelaksanaan program P2KP, bahkan tidak pernah menagih laporan pelaksanaan kegiatan. BKM seperti berjalan sendiri”. Begitu pula dengan Faskel (Fasilitator Kelurahan) yang diharapkan dapat mendampingi BKM dan KSM ter nyata hanya sesekali datang ke kantor BKM.
69
Sejak awal pelaksanaan program pada tahun 2000 hingga saat ini dan hampir berjalan selama lima tahun, faskel sudah berganti sebanyak empat kali. Seperti yang dikemukakan oleh ketua BKM Desa Wonokromo berikut ini: “Selama ini peran faskel hanya menanyakan kelancaran KSM dalam membayar angsuran dan tidak pernah memberi pembinaan kepada BKM maupun KSM. Datang ke sini juga jarang. Seingat saya, sampai sekarang sudah empat orang faskel yang pernah bertugas di sini”. 5.2. Pengembangan Ekonomi Lokal Masyarakat Desa Wonokromo yang menggantungkan hidupnya pada sektor informal (seperti pedagang di pasar, pemilik warung makan/kelontong, pedagang keliling, pemilik industri batu bata/pengolahan batu kapur, industri rumah tangga)
banyak terbantu dengan adanya program kredit P2KP. Hasil
wawancara dengan mereka yang bergerak di sektor informal ini menunjukkan bahwa mereka sangat terbantu dengan adanya program kredit P2KP, karena tidak harus menyediakan agunan untuk mengajukan kredit dan bunganya relatif rendah. Sebagian besar mereka mengakui bahwa usahanya dapat terus berjalan setelah memperoleh pinjaman modal dari P2KP. Bahkan ada seorang pengusaha kue kering yang memulai usahanya dari modal yang diperoleh dari pinjaman
P2KP.
Hingga
kini
usaha
tersebut
sudah
berkembang
dan
pemasarannya sampai ke luar kota. Seperti penuturan Ibu Rn berikut ini: Kulo milai usaha roti kering tahun 2000, sakwise pikantuk potangan saking P2KP setunggal yuto. Arto meniko kulo tumbasakaen bahanbahan kagem ndamel roti kados gandum, gendis pasir, mentego, lan sanesipun. Alat-alatipun kulo utang kaliyan rencang kulo. Potangan kintun piyambak angsal tigang yuto setengah kulo blanjakaken bahan-bahan roti. Kulo mboten kangelan anggenipun nyade roti amargi sampun wonten bakul wonten ingkang mendeti lan dipun kintun dugi Klaten”. (Saya mulai usaha roti kering sejak tahun 2000, setelah mendapat pinjaman dari P2KP sebesar satu juta yang saya belikan bahan-bahan untuk membuat roti seperti terigu, gula pasir, mentega dan sebagainya. Pinjaman terakhir saya memperoleh tiga setengah juta dan saya belanjakan bahan-bahan roti. Saya tidak kesulitan dalam menjual roti karena sudah ada pedagang yang mengambil dan dikirim sampai Klaten). Program P2KP belum sepenuhnya memanfaatkan potensi lokal yang ada. Potensi lokal yang ada di desa Wonokromo antara lain adalah sektor pertanian, peternakan dan perikanan, serta perdagangan dan industri rumah tangga. Sektor pertanian kurang mendapatkan prioritas dalam proyek P2KP dikarenakan jumlah
70
kepemilikan lahan rata-rata penduduk yang sempit sehingga tidak membutuhkan modal yang besar, dan waktu yang dibutuhkan untuk kembalinya modal relatif lama. Sektor peternakan dan perikanan juga belum mendapatkan perhatian dalam porgram P2KP karena hanya sedikit masyarakat memiliki usaha budidaya peternakan dan perikanan dan perputaran modalnya relatif lama. Sampai saat ini yang mendapatkan prioritas untuk memperoleh pinjaman adalah sektor perdagangan dan industri rumah tangga, karena sektor ini lebih cepat menghasilkan keuntungan dan perputaran modalnya relatif cepat, sehingga dapat mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang singkat (satu tahun). Dengan demikian, sampai saat ini yang dapat menikmati pinjaman dari P2KP baru terbatas pada mereka yang memiliki usaha di sektor perdagangan dan industri rumah tangga. Pelaksanaan P2KP yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi lokal (perdagangan dan sektor informal) belum mengarah pada usaha pemasaran yang lebih luas. Pemasaran yang dilakukan oleh sebagian besar anggota KSM masih di lingkungan desa dan kecamatan sekitarnya. Adapun KSM yang ada masih bersifat aneka usaha dan usaha yang dimiliki anggota tidak saling terkait. 5.3. Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial dalam P2KP Menurut Woolcock sebagaimana dikutip oleh Nasdian dan Utomo (2004:20), modal sosial didefinisikan sebagai informasi, kepercayaan dan norma norma timbal balik yang melekat dalam suatu jaringan sosial. Komunitas membangun modal sosial melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi, demokrasi, penguatan pemilikan komunitas dan kepercayaan. Munurut Coleman sebagaimana dikutip oleh
Nasdian dan Utomo (2004:21)
sumber-sumber modal sosial muncul dalam bentuk tanggung jawab dan harapan-harapan yang tergantung pada kepercay aan dari lingkungan sosial, kemampuan aliran informasi dalam struktur sosial dan norma -norma yang disertai sanksi. Modal sosial dalam pelaksanaan P2KP nampak dalam partisipasi warga dalam forum Musbangdes yang menentukan apakah menerima atau menolak P2KP. Modal sosial juga nampak dalam pembentukan kepengurusan dan keanggotaan BKM yang dilakukan secara demokratis. Kepercayaan dan harapan
71
anggota masyarakat yang terwakili dalam forum Musbangdes memunculkan tanggung jawab para pengurus dan anggota BKM untuk mengelola dana BLM dengan baik. Tanggung jawab para pengurus dan anggota BKM merupakan perwujudan dari modal sosial yang bersumber dari kepercayaan dan harapan masyarakat. Pelayanan yang dilakukan BKM terhadap KSM yang mengajukan pinjaman dan membayar angsur an juga merupakan salah satu bentuk modal sosial. Dalam pembentukan KSM juga terlihat adanya modal sosial dimana para anggota mengembangkan hubungan-hubugan aktif dan adanya saling percaya di antara para anggotanya. Suatu KSM tidak akan solid dan berlangsung lama jika tidak ada komunikasi yang baik dan kepercayaan diantara anggotanya. Kepercayaan tersebut yang menjadi dasar adanya sistem tanggung renteng yang menjadi jaminan kelompok tersebut untuk memperoleh pinjaman. Gerakan Sosial merupakan suatu bentuk perilaku atau tindakan kolektif yang melibatkan sekelompok orang yang membaktikan diri untuk mendorong atau menolak suatu perubahan sosial
(Baldridge dalam Nasdian dan Utomo,
2004:13). Mengacu pengertian tersebut, pelaksanaan proyek P2KP merupakan suatu bentuk gerakan sosial, karena melibatkan sekelompok orang (anggota KSM, UPK dan BKM) yang membaktikan diri untuk mendorong suatu perubahan sosial, yaitu menanggulangi kemiskinan dan meningkatan pendapatan para anggota KSM. 5.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial Menurut Suharto (2004:36-40), kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori berdasarkan pelaksanaannya, keberlanjutannya, dan permasalahannya. Menurut pelaksanaannya model kebijakan sosial dibagi dua, yaitu Model Imperatif dan Model Indikatif. Model kebijakan sosial imperatif adalah kebijakan sosial yang terpusat, dimana seluruh tujuan-tujuan sosial, jenis, sumber, dan jumlah pelayanan sosial, semuanya ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan indikatif merupakan kebijakan sosial yang mengupayakan kesamaan visi dan aspirasi seluruh masyarakat. Pemerintah hanya menentukan sasaran kebijakan secara garis besar, sedangkan pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat atau badan swasta. Kebijakan sosial indikatif disebut juga
72
dengan kabijakan sosial partisipatif. Kebijakan sosial dalam P2KP merupakan kombinasi antara kebijakan sosial imperatif dan indikatif, karena tujuan-tujuan, jenis, dan sumber dana serta jumlahnya ditentukan oleh pemerintah pusat, sementara pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat sepenuhnya Menurut ruang lingkupnya, kebijakan sosial dibedakan atas Model Universal dan Model Selektivitas. Model universal merupakan kebijakan sosial yang diarahkan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan pelayanan sosial warga masyarakat
secara menyeluruh, tanpa membedakan usia, jenis kelamin
dan status sosial. Sementara kebijakan sosial selektifitas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial anggota masyarakat tertentu saja. P2KP hanya diperuntukkan bagi masyarakat miskin saja, sehingga
P2KP termasuk dalam
kebijakan sosial selektivitas. Berdasarkan
kemantapan
dan
keberlanjutannya,
kebijakan
sosial
dibedakan atas model residual dan model institusional. Menurut model residual, kebijakan sosial hanya diperlukan apabila lembaga-lembaga alamiah (keluarga) tidak
dapat
menjalankan
fungsinya,
sehingga
bersifat
temporer.
Model
institusional mengatakan bahwa kebijakan sosial perlu dirumuskan tanpa mempertimbangkan berfungsi tidaknya lembaga-lembaga alamiah, bersifat ajeg, melembaga dan berkesinambungan. Dalam hal ini P2KP merupakan kebijakan sosial institusional, karena tanpa mempertimbangkan keberfungsian lembaga alamiah, bersifat melembaga dan berkesinambungan. Bedasarkan jenis permasalahannya, kebijakan sosial dikelompokkan menjadi model kategorikal dan model komprehensif. Kebijakan sosial kategorikal adalah kebijakan sosial yang hanya difokuskan untuk mengatasi permasalahan sosial tertentu saja. Sementara kebijakan sosial komprehensif tidak hanya untuk mengatasi satu bidang masalah, melainkan beberapa masalah sosial yang terkait diatur dan dirumuskan secara terintegrasi dalam satu formulasi kebijakan sosial terpadu. P2KP termasuk dalam kategori kebijakan sosial komprehensif, karena bergerak
dibidang
perekonomian,
pembangunan
fisik,
perumahan,
dan
pelayanan sosial. Namun demikian, pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo masih meliputi bidang perekonomian yang terlihat dalam pemberian pinjaman kepada KSM, pembangunan fisik (pengerasan jalan) dan pelayanan sosial (pemberian beasiswa kepada anak yatim).
73
Perencanaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Conyers sebagaimana dikutip oleh Suharto (2004:32), perencanaan sebaiknya tidak dipandang sebagai aktivitas yang terpisah dari kebijakan, tetapi merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan yang amat kompleks. Pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo diawali dengan keputusan masyarakat dan Pemerintah Desa untuk menerima program P2KP. Setelah dana BLM cair dan BKM telah terbentuk, kemudian dilakukan perencanaan mengenai penggunaan dana tersebut. Proses perencanaan melibatkan segala unsur masyarakat yang tergabung dalam BKM. Dana BLM direncanakan untuk mengatasi sejumlah masalah sosial yang ada di Desa Wonokromo dengan tetap mengacu pada pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan P2KP. Setelah melalui proses diskusi, maka diputuskan bahwa sebagian dana BLM (55 juta rupiah) dipergunakan sebagai dana stimulan untuk membangun pengerasan jalan di 12 dusun (mengingat kondisi jalan di Desa Wonokromo masih buruk). Pengerasan jalan ini diharapkan dapat membuka akses perekonomian masyarakat Desa Wonokromo. Sementara sebagian besar dana BLM (195 juta rupiah) dipinjamkan kepada anggota masyarakat yang memiliki usaha produktif. Dua
kebijakan tersebut merupakan upaya untuk
mengatasi kemiskinan yang ada di Desa Wonokromo. Perencanaan ke depan BKM Desa Wonokromo akan memberi pelatihan ketrampilan kepada para pemuda yang masih belum mendapatkan pekerjaan. Pelaksanaan pelatihan tersebut akan bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bantul. Rencana ini sebagai upaya untuk mengatasi masalah pengangguran yang ada di Desa Wonokromo. Seperti yang dikemukakan ketua BKM berikut ini: “Kami menyadari bahwa di Desa Wonokromo masih banyak orang yang belum mendapatkan pekerjaan, untuk itu kami merencanakan akan bekerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bantul untuk memberi pelatihan ketrampilan kepada para pemuda yang belum bekerja agar mereka lebih mudah memperoleh pekerjaan”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa P2KP merupakan kebijakan pemerintah pusat dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Namun demikian pelaksanaan kegiatan P2KP dan penggunaan dana BLM diserahkan kepada masing-masing kelurahan/desa sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan rencana tersebut. Masyarakat Desa Wonokromo diberi
kebebasan untuk
74
membuat perencanaan sesuai dengan kondisi dan masalah sosial yang ada dengan memperoleh pendampingan dari Faskel (Fasilitator Kelurahan) dan KMW (Konsultan Manajemem Wilayah). 5.5. Analisis Kritis terhadap P2KP Proyek Penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP) disusun oleh pemerintah pusat (dalam hal ini Departemen Kimpraswil) bersama penyandang dana (Bank Dunia) dan tidak diketahui oleh orang banyak, apalagi Pemerintah Desa/Kelurahan
dan
orang
miskin
sendiri.
Yang
paling
mengerti
dan
bertanggung jawab terhadap penyusunan program adalah pemilik sumber dana (Bank Dunia) dan Pemerintah Pusat yang dalam hal ini diwakili oleh Departemen Kimpraswil, sementara Pemerintah di tingkat Propinsi dan Kabupaten tinggal menerima Petunjuk Umum dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan P2KP. Pendekatan yang top down dalam pelaksanaan P2KP telah menimbulkan beberapa masalah pada pelaksanaan program P2KP, yaitu: (1) Pemerintah propinsi hingga desa kurang memiliki tanggung jawab pada pelaksanaan program yang berakibat pada kurangnya komitmen untuk memantau dan mendampingi secara sungguh-sungguh pelaksanaan P2KP di tingkat desa, (2) kebutuhan riil masyarakat desa tidak diketahui oleh Pemerintah Pusat karena selalu beranggapan bahwa penangangan kemiskinan
selalu identik dengan
pemberian bantuan dana, (3) ketergantungan masyarakat akan bantuan dana pemerintah semakin tinggi dan kurang memiliki inisiatif untuk mandiri, (4) pembentukan KSM yang secara konseptual memiliki tujuan yang ideal ternyata pada kenyataannya hanya sebagai media untuk memperoleh pinjaman P2KP. Pelaksanaan P2KP melibatkan unsur Pemerintah dan Perguruan Tinggi yang menyediakan jasa konsultan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa. Namun demikian, peran Perguruan Tinggi yang dalam hal ini diwakili Fasilitator Kelurahan masih dirasa sangat kurang dalam mendampingi pelaksanaan P2KP. Data di lapangan menunjukkan bahwa setelah BKM dan KSM terbentuk, yang menjadi fokus perhatian dari Faskel adalah kelancaran pengembalian pinjaman. Pendampingan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja BKM dan usaha anggota KSM belum dilakukan.
75
Pelaksanaan P2KP melalui jalur yang cukup panjang, yaitu
dari
pemerintah pusat hingga ke tingkat desa. Dengan demikian Biaya Operasional Proyek (BOP) yang harus disediakan untuk membantu orang miskin dan bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tentu sangat besar.
Pada
kenyataannya biaya yang sangat besar tersebut tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh masyarakat atas peran yang diberikan pemerintah. Setelah dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) diterima masyarakat desa, masyarakat
diberi kebebasan untuk
mengelola dana tersebut selama tidak
melanggar rambu-rambu yang ada dalam Petunjuk Teknis yang ada. Seorang Fasilitator Kelurahan ditugaskan untuk mendampingi kegiatan masyarakat dalam pelaksanaan P2KP. Sampai sejauh ini peran fasilitator belum seperti yang diharapkan, karena masih berorientasi pada kelancaran pembayaran angsuran dan belum memberi pendampingan kepada BKM dan KSM untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Desa Wonokromo. Menurut keterangan dari Ketua BKM Desa Wonokromo,
Fasilitator Kelurahan sering berganti-ganti orang
(sampai saat ini sudah empat kali), sehingga pendampingan yang dilakukan tidak berjalan efisien. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan P2KP di desa Wonokromo yang dimulai sejak tahun 2000 sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditandai dengan: (1) bantuan dana dari pemerintah dapat
membantu peningkatan modal dan menjadi modal awal masyarakat
khususnya yang mempunyai usaha ekonomi produktif disektor perdagangan dan industri rumah tangga, (2) sedikitnya kredit macet yang dikelola oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) dibandingkan dengan desa-desa lain yang ada di Kabupaten Bantul, (3) dana BLM yang dipinjamkan kepada KSM telah berkembang hampir mencapai 200 persen, sehingga keuntungan yang diperoleh dari bunga pinjaman dapat digunakan untuk pengembangan modal, memberi beasiswa murid SD, renovasi kantor BKM dan Perpustakaan Desa. Sedikitnya kredit macet dari dana yang dikelola oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) antara lain disebabkan masyarakat Desa wonokromo yang masih memegang teguh nilai-nilai agama, sehingga mereka jujur dan disiplin dalam membayar angsuran.
Berdasarkan wawancara dengan KSM yang
76
mengalami kemacetan dalam membayar angsuran kredit menunjukkan bahwa KSM yang memiliki usaha budidaya ikan gurame tersebut mengalami kegagalan usaha. Namun demikian kelompok tersebut akan tetap berusaha melunasi pinjaman. Di samping keberhasilan pelaksanaan P2KP seperti yang telah diuraikan di atas, ada beberapa persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo. Hasil wawancara dengan Ketua BKM dan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa: (1) peran Pemerintah Daerah
dan Kecamatan dalam
mendampingi Masyarakat Desa Wonokromo dalam pelaksanaan P2KP masih kurang dan hanya terbatas melakukan monitoring kegiatan dan belum ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk membantu meningkatkan usaha ekonomi produktif yang dilakukan masyarakat, (2) peran Pemerintah Desa dalam membantu BKM dan memberdayakan KSM belum ada, dan membiarkan BKM dan KSM berjalan sendiri, (3) BKM masih berfungsi hanya sebagai lembaga yang menyalurkan pinjaman, padahal tujuan dibentuknya BKM
lebih luas, (4)
pembentukan KSM masih berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman kredit dan belum berfungsi seperti yang dicita-citakan, (5) Peran KMW dan fasilitator masih dirasa kurang, terutama dalam memberdayakan BKM dan KSM, (6) Sektor swasta yang diharapkan ikut berperan dalam kegiatan P2KP ternyata tidak terealisir, dan (7) pinjaman dana melalui P2KP hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat miskin di Desa Wonokromo, yaitu masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif khususnya perdagangan dan industri rumah tangga. Sementara masyarakat yang tidak memiliki usaha ekonomi produktif, terutama petani dan para buruh belum dapat merasa kan manfaat Proyek P2KP. Beberapa permasalahan dari pelaksanaan P2KP
di Desa Wonokromo dapat
dilihat dalam tabel berikut ini:
77
Tabel.12: Inventarisasi Permasalahan dalam Pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo Pelaksanaan dan Manajemen Program
Sasaran
Kebutuhan Lokal
Peran Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan P2KP masih terbatas sebagai penyalur bantuan, memonitor kelancaran pengembalian pinjaman, dan menyediakan biaya operasional bagi Pemerintah Daerah, Kecamatan dan Desa.
Pinjaman da na P2KP hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil dari komunitas miskin yang ada di Desa Wonokromo, yaitu mereka yang memiliki usaha ekonomi produktif industri rumah tangga dan mereka yang bergerak di sektor perdagangan. Sementara mereka yang bergerak di sektor pertanian, perikanan dan peternakan belum dapat memperoleh fasilitas pinjaman.
Kebutuhan masyarakat miskin di Desa Wonokromo tidak hanya dana semata, melainkan juga pendampingan untuk meningkatkan perekonomian.
Peran Pemerintah Desa dalam pelaksanaan P2KP hanya pada waktu sosialisasi program dan setelah BKM terbentuk pelaksanaan P2KP diserahkan kepada BKM seluruhnya tanpa ada upaya untuk membantu BKM dan KSM dalam mengatasi permasalahan yang ada.
Kesiapan infrastruktur penopang BKM masih terbatas fungsinya sebagai lembaga penyalur pinjaman. Pembentukan KSM masih berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman Belum ada sanksi/aturan yang jelas terhadap KSM yang tidak bisa mengembalikan pinjaman. Sektor swasta yang ada di Desa Wonokromo belum dilibatkan dalam pelaksanaan P2KP
Sumber: Hasil wawancara mendalam dengan Ketua BKM, anggota KSM, tokoh masyarakat dan anggota masyarakat
5.6. Saran terhadap Pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo Dari beberapa kelemahan yang ada dalam pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo, maka dapat dikemukakan saran sebagai berikut: (1) meningkatkan peran dan fungsi Pemerintah Daerah dan Kecamatan dalam mendampingi BKM dan
KSM
dalam
upaya
meningkatkan
perekonomian
masyarakat
Desa
Wonokromo, (2) pemerintah Desa Wonokromo menjalin kerjasama dengan BKM dalam upaya meningkatkan usaha para anggota KSM, (3) BKM meningkatkan kinerjanya, sehingga tidak hanya sebagai lembaga penyalur pinjaman dan dapat membantu meningkatkan usaha anggota KSM, (4) mengoptimalkan fungsi KSM sehingga tidak hanya sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman, (5) meningkatkan peran KMW (Konsultan Manajemen Wilayah) dan Fasilitator Kelurahan dalam mendampingi BKM dan KSM, (6) Pemerintah Daerah,
78
Kecamatan dan Desa melibatkan sektor swasta dalam pelakanaan P2KP, dan (7) pinjaman P2KP juga diperuntukkan bagi mereka yang memiliki usaha pertanian, peternakan dan perikanan disamping mereka yang memiliki usaha perdagangan dan industri rumah tangga, dengan jangka waktu pengembalian yang disesuaikan dengan masa panen/penuaian hasil. Saran yang dapat diberikan kepada Pemerintah Pusat adalah (1) mengubah pandangan bahwa upaya untuk mengatasi kemiskinan selalu identik dengan pemberian bantuan, (2) memperhatikan aspek kultural dalam upaya mengatasi kemiskinan, (3) terlebih dahulu mencari informasi tentang kebutuhan riil masyarakat yang menjadi sasaran program sebelum program dilaksanakan, dan (4) merubah pendekatan top down menjadi bottom up dalam pelaksanaan program pembangunan dan pengentasan kemiskinan, karena pendekatan yang top down menyebabkan masyarakat kurang berpartisipasi yang berdampak pada keberlanjutan program. 5.7. Ikhtisar Pelaksana
Program
P2KP
secara
nasional
adalah
Departemen
Kimpraswil yang dimulai pada tahun 2000 sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Pendekatan yang digunakan dalam P2KP masih bersifat top down, artinya program dirancang oleh pemerintah pusat tanpa memperhatikan kebutuhan riil masyarakat dari sasaran program. Bila kebutuhan riil masyarakat tidak dapat dipenuhi oleh program pemerintah, maka akan mengakibatkan masyarakat kurang berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan program. Akibatnya, program tidak akan sustainable. Pendekatan bottom up yang berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat digunakan
pemerintah
dalam
menyusun
program
seharusnya
pembangunan
dan
pengentasan kemiskinan. Karena, program yang muncul dari bawah atau berdasarkan kebutuhan riil masyarakat, akan memunculkan rasa memiliki dan tanggung jawab dari masyarakat yang menjadi sasaran program, sehingga akan bersifat sustainable. Program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM yang disusun bersama-sama dengan anggota KSM diharapkan akan bersifat sustainable karena disusun berdasarkan kebutuhan riil anggota KSM.
79
Desa Wonokromo Kecamatan
Pleret
yang
merupakan salah satu desa dari dua desa di menjadi
lokasi
pelaksanaan
program
P2KP.
Pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo yang dimulai pada awal tahun 2000 boleh dikatakan berhasil bila dilihat dari sedikitnya kredit macet dan pinjaman yang diberikan dapat dijadikan tambahan modal usaha bagi mereka yang memiliki usaha ekonomi produktif, khususnya mereka yang bergerak dalam perdagangan dan usaha ekonomi produktif. Disamping itu jumlah dana (sebesar 195 juta rupiah) yang dipinjamkan kepada KSM telah berkembang hampir mencapai 200 persen dan sebagian keuntungan dari bunga yang diperoleh digunakan untuk memberi beasiswa murid SD dan merenovasi kantor BKM dan gedung perpustakaan desa. Disamping keberhasilan, pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo juga mengandung beberapa kelema han. Pembentukan KSM yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi para anggotanya untuk saling bekerjasama dalam meningkatkan
usaha
ternyata
hanya
berfungsi
sebagai
sarana
untuk
memperoleh pinjaman dari P2KP dan kerjasama diantara anggota KSM belum terjalin. Tujuan pembentukan KSM yang sangat ideal secara konseptual ternyata belum dapat terwujud.
80
BAB VI PROFIL DAN KAPASITAS KELOMPOK SWADAYA MASYARAKAT 6.1.
Profil Kelompok Swadaya Masyarakat Desa Wonokromo menjadi salah satu dari dua desa yang menjadi lokasi
pelaksanaan program P2KP di Kecamatan Pleret, karena merupakan salah satu desa yang termasuk dalam kategori “kota” di Kecamatan Pleret. Desa Wonokromo mendapat BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dari program P2KP sebesar 250 juta rupiah. Sebagian dari dana tersebut, yaitu sebesar 55 juta rupiah digunakan untuk membangun sarana fisik, yaitu pengerasan jalan yang ada 12 dusun yang ada di Desa Wonokromo. Sementara sisanya dipinjamkan kepada masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif dan masuk dalam kategori miskin. Adapun syarat untuk memperoleh pinjaman tersebut adalah membentuk kelo mpok yang dinamakan dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). KSM bermunculan setelah adanya sosialisasi bahwa ada pinjaman dari pemerintah
melalui
program
P2KP
dengan
sistem
tanggung
renteng
(mensyaratkan anggota masyarakat yang termasuk kategori miskin untuk bergabung dalam kelompok bila ingin memperoleh pinjaman). Pada awal sosialisasi, belum banyak yang berminat untuk mengajukan pinjaman, sehingga seorang aparat desa (memiliki usaha material) ikut membentuk kelompok guna memperoleh pinjaman tersebut, termasuk beberapa orang tokoh masyarakat yang memiki usaha. Seperti yang dikemukakan oleh Bp. Drs. Swt, M.Pd (Ketua BKM Wonokromo) berikut ini: “Pada masa-masa awal dikenalkan program pinjaman dari P2KP, masih sedikit masyarakat yang berminat untuk mengajukan pinjaman. Sehingga beberapa aparat desa dan tokoh masyarakat yang sebetulnya tidak termasuk dalam kategori miskin ikut mengajukan pinjaman”. Namun
demikian,
seiring
dengan
berjalannya
waktu,
semakin
banyak
masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif dan berasal dari golongan miskin yang berminat untuk memperoleh pinjaman dan pada tahun 2005 ada 31 KSM yang memperoleh pinjaman dari P2KP.
81
Sebelum ada program P2KP Di Desa Wonokromo, belum ada kelompok yang latar belakang pembentukannya berdasarkan kepentingan ekonomi. Kelompok yang ada baru terbatas pada kepentingan-kepentingan agama dan sosial seperti kelompok pengajian, kelompok ronda, kelompok Dasa Wisma dan sebagainya. Meskipun ada kegiatan arisan dalam kelompok-kelompok tersebut, sifatnya hanya sebagai pengikat dan daya tarik bagi para anggotanya agar secara rutin hadir dalam pertemuan tersebut. Disamping itu, jumlah uang yang dibayarkan dalam arisan tersebut relatif sedikit (berkisar antara seribu hingga lima ribu rupiah) dan kurang bisa diandalka n sebagai akumulasi modal. Dengan demikian Kelompok Swadaya Masyarakat yang bernuansa kepentingan ekonomi merupakan hal baru bagi masyarakat Desa Wonokromo. Menurut keterangan dari beberapa ketua KSM yang ada di Desa Wonokromo, pertemuan yang sifatnya rutin di antara anggota kelompok tidak pernah dilakukan dan hanya ada satu kelompok yang mengadakan pertemuan rutin, yaitu KSM Maju Lancar. Seperti halnya yang dikemukakan oleh salah satu petugas UPK Desa Wonokromo Bpk H. Wdn berikut ini: “KSM mriki mboten wonten engkang ngawontanaken pakempalan rutin, kejawi KSM Maju Lancar ing Dusun Ketonggo” (KSM di sini tidak ada yang mengadakan pertemuan rutin, kecuali KSM Maju Lancar di Dusun Ketonggo). Pada tahun 2005
ada 32 KSM yang menikmati pinjaman kredit dari
P2KP. Semua KSM beranggotakan mereka yang memiliki usaha ekonomi produktif perdagangan dan industri rumah tangga. Pada awal pelaksanaan P2KP ada KSM yang anggotanya mempunyai usaha perikanan, namun tidak dapat membayar angsuran dikarenakan kegagalan usaha. Akhirnya, BKM mengambil kebijakan bahwa yang dapat
memperoleh pinjaman hanya mereka yang
mempunyai usaha perdagangan dan industri rumah tangga, karena sebagian besar dari mereka dapat membayar angsuran dengan lancar. 6.2.
Analisis terhadap Kapasitas Kelembagaan KSM Analisis terhadap kapasitas kelembagaan KSM perlu dilakukan sebelum
merancang program pengembangan kapasitas KSM yang menjadi subjek kajian. Sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab 3 bahwa kapasitas kelembagaan
82
dapat dilihat dari tujuh aspek, yaitu tujuan dan harapan kelompok, struktur kelompok, manajemen kelompok, manajemen keuangan, norma kelompok, pembelajaran, dan pembentukan jaringan/kerjasama. KSM yang menjadi subjek kajian adalah KSM Maju Lancar
dan KSM
Teratai. Alasan mengapa dipilih kedua KSM tersebut adalah KSM Maju Lancar mewakili KSM yang para anggotanya bergerak di sektor perdagangan seperti warung kelontong, warung mie ayam, pedagang di pasar, kios LPG dan Aqua, jualan material,
dan sebagainya. Sementara KSM Teratai
para anggotanya
bergerak dalam bidang kerajinan dan industri seperti industri batu bata, bis sumur, kerajinan peci rajut dan bordir. KSM Maju Lancar beranggotakan 15 orang anggota (12 laki -laki dan tiga perempuan) yang tinggal dalam satu RT di Dusun Ketonggo. Sementara anggota KSM Teratai terdiri atas delapan orang anggota dan semuanya ibu-ibu yang tinggal dalam satu RT di Dusun Jati. Kelompok Maju Lancar terbentuk pada tanggal 5 Mei 2000 setelah ada sosialisasi
dari
petugas
BKM
(Badan
Keswadayaan
Masyarakat)
Desa
Wonokromo mengenai adanya program pinjaman kredit dengan jaminan tanggung renteng. Para anggota masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif
yang ada di Dusun Ketonggo RT II berkumpul dalam rangka
pembentukan kelompok dan mengajukan proposal pinjaman. Dalam pertemuan tersebut
hadir petugas dari BKM yang kebetulan juga Ketua RT II Dusun
Ketonggo yang memiliki usaha kredit peralatan rumah tangga dan juga bergabung sebagai anggota KSM Maju Lancar. Dalam pertemuan tersebut diberitahukan tentang prosedur pengajuan pinjaman serta bunga yang harus dibayarkan. Dalam pertemuan juga dibentuk kepengurusan seperti ketua, sekretaris dan bendahara. Kelompok Maju Lancar
sudah empat kali memperoleh pinjaman dari
P2KP. Pinjaman yang diperoleh KSM Maju Lancar terus meningkat dari pinjaman pertama sebesar lima belas juta rupiah hingga pinjaman terakhir mencapai dua puluh delapan juta rupiah. Hal ini dikarenakan kredibilitas KSM Maju Lancar yang cukup baik yang ditunjukkkan
dengan selalu tepat dalam membayar setiap
angsuran setiap bulannya. KSM
ini sengaja memakai nama Maju Lancar,
dengan harapan bahwa setiap anggota dapat senantiasa lancar dalam
83
membayar angsuran dan pinjaman yang diperoleh dapat memajukan usaha ekonomi yang dilakukan oleh para anggotanya. KSM Teratai berdiri sejak empat tahun yang lalu yaitu pada bulan Februari 2001. Kelompok ini terbentuk setelah ada pemberitahuan dari petugas BKM yang datang pada pertemuan Dasa Wisma dan memberitahukan bahwa ada program pinjaman bagi anggota masyarakat yang memiliki usaha ekonomi produktif dan membutuhkan tambahan modal usaha. Para ibu yang hadir dalam pertemuan Dasa Wisma tersebut dan memiliki usaha ekonomi produktif tertarik dengan tawaran tersebut. Atas koordinator Ibu Chuswatun yang kemudian ditunjuk sebagai Ketua KSM kemudian mengajukan proposal pinjaman atas nama sembilan orang yang tertarik untuk mengajukan pinjaman. Namun kemudian, anggota kelompok tinggal delapan orang, karena satu orang dikeluarkan dari kelompok akibat sering terlambat dalam membayar angsuran yang merepotkan anggota kelompok yang lain karena harus meminjami dulu agar pembayaran angsuran kelompok
ke BKM tepat pada waktunya. Hingga
sekarang KSM teratai sudah empat kali mendapat pinjaman dari program P2KP. Pinjaman pertama berjumlah tiga juta rupiah,kedua enam juta rupiah, ketiga delapan setengah juta rupiah dan keempat sebesar sepuluh setengah juta rupiah. Pinjaman tersebut kemudian dibagi kepada anggota sesuai dengan jumlah yang ditentukan oleh BKM. Sampai saat ini pinjaman terakhir sudah selesai masa angsurannya dan sudah mengajukan proposal pinjaman kelima sebesar 15 juta rupiah. Rencananya pinjaman tersebut akan cair pada bulan September. KSM Teratai senantiasa dapat memperoleh peningkatan dalam pinjaman karena kelompok ini selalu tepat dalam mengangsur. Ketepatan dalam mengangsur merupakan indikator bagaimana kredibilitas kelompok di mata BKM. Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa BKM tidak pernah mengecek untuk apa penggunaan dana pinjaman tersebut, karena bagi BKM yang penting adalah tepat membayar angsuran. Untuk
lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan analisis terhadap
kapasitas kelembagaan kedua KSM yang dilihat dari aspek tujuan dan harapan kelompok, struktur kelompok, manajemen kelompok, manajemen kelompok, manajemen keuangan, norma kelompok, pembelajaran, dan pembentukan
84
jaringan. Kajian terhadap kapasitas kelembagaan KSM tersebut dilakukan dengan wawancara mendalam dan FGD. 6.2.1. Kelompok Maju Lancar 1. Tujuan dan harapan Kelompok Tujuan dan harapan dari pembentukan KSM Maju Lancar belum pernah dibicarakan secara khusus oleh para anggota KSM. Namun demikian motivasi yang mendasari para anggota untuk bergabung dalam kelompok adalah memperoleh pinjaman dari P2KP yang dipergunakan untuk menambah modal usaha yang mereka jalankan. Disamping itu, kelompok ini juga tidak mengesampingkan kehidupan keberagamaan yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Desa Wonokromo. Hal ini terlihat dalam setiap pertemuan rutin kelompok, yang selalu dilanjutkan dengan pembacaan suratsurat Al Qur’an secara bersama-sama. Pembacaan surat-surat dalam setiap pertemuan (diadakan selepas Magrib) merupakan rutinitas dalam acara yang bertujuan untuk mengumpulkan angsuran para anggota. Sudah menjadi tradisi masyarakat Desa Wonokromo yang hampir seratus persen beragama Islam bahwa waktu selepas Magrib digunakan untuk membaca Al Qur’an, seperti halnya yang dikemukan oleh salah satu anggota KSM Maju Lancar Bpk Jwn berikut ini: “Sampun dados adatipun tiyang Wonokromo, menawi bakdo Magrib pun wajibaken ngaos Al Qur’an. Amargi kempalan meniko pun wontenaken bakdo Magrib, dados pun lajengaken kaliyan waosan Al Qur’an sesarengan. (Sudah menjadi kebiasaan orang Wonokromo bahwa setiap habis sholat Magrib diwajibkan untuk membaca Al Qur’an. Karena pertemuan diadakan selepas Magrib, dilanjutkan dengan pembacaan surat-surat Al Qur’an secara bersama-sama). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan dan harapan yang mendasari para anggota kelompok untuk bergabung dalam KSM Maju Lancar adalah
memperoleh
tambahan
modal
sekaligus
melakukan
ibadah/ritual
keagamaan yang nampak dari pembacaan ayat-ayat suci Al Qur’an dalam setiap pertemuan rutin. 2. Struktur Kelompok Struktur kelompok merupakan bentuk hubungan antara individu-individu di dalam kelompok dan pengaturan peranan yang ditentukan oleh tujuan
85
kelompok yang ingin dicapai. Disamping itu, struktur kelompok ini antara lain meliputi kekuasaan/kepemimpinan dan adanya komunikasi antara anggota (Hubeis, tanpa tahun:42). Data yang diperoleh dari lapangan menunjukkan bahwa hubungan dan komunikasi yang terjadi antara para anggota KSM Maju Lancar cukup baik dan. Hal ini terlihat dengan adanya pertemuan rutin yang diadakan secara rutin yang memungkinkan para anggota untuk saling berkomunikasi. Disamping itu kerjasama kelompok ini cukup baik, yang ditunjukkan dengan adanya upaya untuk saling tolong di antara anggota. Bila ada salah satu anggota yang belum dapat membayar angsuran pinjaman, maka anggota kelompok yang lain akan memberikan toleransi dan meminjaminya dengan uang kas kelompok. Setiap anggota juga dengan senang hati menyediakan tempat dan hidangan ala kadarnya bila tiba gilirannya untuk menyediakan tempat untuk pertemuan rutin. Kelompok Maju Lancar terdiri atas 15 orang anggota (12 laki-laki dan tiga orang perempuan) yang semuanya memiliki usaha di sektor perdagangan seperti penjual material, warung bakso dan mie ayam, warung kelontong, berjualan di pasar, dagang gorengan, kios Aqua, agen LPG dan sebagainya. Pada awalnya kelompok ini terdiri atas 16 orang, namun karena satu orang tidak bisa melunasi angsuran pinjaman, maka pada periode pinjaman berikutnya tidak diperbolehkan meminjam lagi dan secara otomatis tidak menjadi anggota kelompok. Namun demikian, hubungan antara para anggota dengan salah satu anggota yang tidak dapat membayar angsuran tetap baik. Kekurangan angsuran dibayar dengan kas kelompok dan bila anggota yang tidak dapat membayar angsuran tersebut sudah dapat melunasi angsurannya, diperbolehkan bergabung dengan KSM dan mengajukan pinjaman lagi. Semua anggota mengetahui bahwa ketidakmampuan mengangsur dikarenakan kegagalan usaha dan bukan karena tidak bertanggung jawab. Kepengurusan dalam KSM Maju Lancar terdiri atas ketua, sekretaris dan bendahara. Dalam prakteknya, ketua bertugas mengumpulkan angsuran pinjaman dan menyetorkannya pada kantor BKM. Sekretaris bertugas mencatat keluar masuknya kas kelompok dan bendahara berfungsi sebagai kasir dan memasukkan kas
kelompok ke BRI. Kepengurusan tersebut dibentuk secara
musyawarah oleh para anggota. Sebagai ketua kelompok ditunjuk Bp Rt seorang sarjana yang memiliki usaha menjual material dan warung kelontong. Sementara
86
bendahara dipegang oleh Bp. Zn yang memiliki usaha kios LPG sekaligus seorang sopir di sebuah dealer LPG. Jabatan sekretaris dipegang oleh Bp. Sdn yang memiliki usaha agen tiket bus. Berikut ini penuturan Bp Jwn seorang anggota KSM Maju Lancar: Pak Rt dipun dapuk dados ketua kelompok amargi piyantunipun entengan lan wani tombok (Pak Rt ditunjuk sebagai ketua kelompok karena orangnya suka menolong dan paling mampu di antara para anggota kelompok). Dari hasil observasi diketahui bahwa anggota kelompok yang ditunjuk menjadi pengurus kelompok adalah mereka yang secara ekonomi relatif lebih baik bila dibandingkan dengan anggota kelompok yang lain. Sebagai ketua, Bp Rt mempunyai usaha dagang material, sementara istrinya membuka warung kelontong. Disamping itu, rumahnya yang cukup luas disewakan untuk kos. Menurut penuturannya, sebenarnya ia tidak begitu membutuhkan tambahan modal
dari P2KP, karena ia dapat meminjam modal dari saudaranya yang
memiliki toko kelontong yang cukup besar. Namun karena ditunjuk menjadi ketua oleh para tetangganya, akhirnya ikut mengajukan pinjaman. Kepemimpinan yang ada dalam KSM Maju Lancar cukup efektif dan para anggota mematuhi terhadap kepemimpinan yang ada. Model kepemimpinan yang dijalankan oleh ketua kelompok cukup demokratis. Artinya, setiap pengambilan keputusan dimusyawarahkan terlebih dulu dengan para anggota. Sebagai contoh, ketika ada salah satu anggota yang mengalami kegagalan usaha dan tidak dapat membayar angsuran pinjaman, ketua memusyawarahkan dengan semua anggota untuk memecahkan masalah tersebut. 3. Manajemen Kelompok Manajemen
didefinisikan
sebagai
suatu
proses
perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan da n pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Stoner yang dikutip oleh Handoko, 1998:67). KSM Maju Lancar merupakan salah satu bentuk organisasi sederhana karena di dalamnya terdiri atas kumpulan orang yang memiliki usaha ekonomi produktif dan mempunyai tujuan tertentu, yaitu memperoleh bantuan modal dari P2KP.
87
Proses perencanaan yang ada dalam KSM Maju Lancar
belum ada.
Namun demikian sudah ada keinginan dari para anggota agar suatu saat dapat mandiri dan tidak tergantung pada pinjaman dari P2KP dengan modal yang berasal dari kas kelompok. Keinginan tersebut masih terbatas harapan dan belum ada perencanaan yang matang karena menunggu hingga kas kelompok menjadi banyak. Seperti halnya yang dikemukakan oleh ketua KSM Bp Rt: “Sak mangkehipun kelompok Maju Lancar pengin mandiri lan mboten gumantung kaliyan P2KP. Kas kelompok ingkang wonten dipun ampilaken dateng anggota supados berkembang. (Suatu saat nanti kami ingin mandiri dan tidak tergantung dari pinjaman program P2KP. Kas kelompok yang ada dipinjamkan kepada anggota supaya berkembang) Proses pengorganisasian nampak dari kegiatan yang dilakukan secara rutin yaitu pertemuan yang diadakan sebulan sekali setiap tanggal lima belas (Dua hari sebelum tanggal pembayaran angsuran ke kantor BKM). Pertemuan ini bertujuan untuk mengumpulkan angsuran pinjaman dari para anggota. Waktu pertemuan diadakan
dua hari menjelang angsuran dengan tujuan memberi
kesempatan bagi anggota yang belum dapat membayar angsuran pada tanggal tersebut. Namun demikian pengorganisasian terhadap usaha yang dilakukan para anggota dan masing-masing anggota menjalankan usahanya secara individual. Pengarahan dan pengawasan terhadap usaha yang dijalankan anggota belum dilakukan dan masing-masing anggota masih menjalankan usahanya sesuai dengan kemampuan dan pengalamannya masing-masing. Pengarahan dan pengawasan masih sulit dilakukan karena masing-masing anggota mempunyai usaha sendiri-sendiri dan
tidak ada ketergantungan antara para
anggota. Sementara itu peran BKM dan Fasilitator Kelurahan kurang bisa diharapkan. Seperti yang dikemukakan oleh ketua KSM Maju Lancar Bp. Rt: “Sedanten anggota kagungan usaha lan pedamelan piyambak, mboten woten komunikasi kangge ngrembag usaha anggota sanesipun. BKM dugi sakmeniko namung nyaluraken potangan. Faskel ugi dereng nate ngawontenaken pembinaan dumateng anggota”. (Masing-masing anggota memiliki usaha dan kesibukan sendiri-sendiri sehingga tidak ada komunikasi untuk membahas usaha anggota yang lain. BKM sampai sekarang hanya menyalurkan dana pinjaman. Sementara Faskel juga belum pernah mengadakan pembinaan terhadap anggota KSM).
88
4. Manajemen Keuangan Manajemen keuangan KSM Maju lancar dilaksanakan secara terbuka, Dikatakan terbuka karena cash and flow keuangan dapat diketahui oleh seluruh anggota kelompok. Catatan tentang keluar masuknya dana terdokumentasi dengan baik yang dibuat oleh sekretaris kelompok. Seluruh anggota dapat memperoleh informasi tentang posisi keuangan yang ada; debet, kredit, jumlah kekayaan kelompok secara keseluruhan. Sampai saat pengambilan data, jumlah dana kelompok mencapai lima juta rupiah. Dana tersebut berasal dari pengembalian bunga dari setiap angsuran yang dibayarkan ke BKM, sisa bunga yang dibayarkan anggota (bunga yang ditentukan oleh BKM 18 persen pertahun, namun para anggota membayar 20 persen), dan bunga pinjaman dari pinjaman anggota terhadap dana kelompok yang besarnya 20 persen pertahun. Perencanaan kedepan, kekayaan kelompok yang terus bertambah tersebut akan digunakan untuk pengembangan kredit anggota. Harapan akhir dari kelompok ini memang berupaya mandiri. Pengertian mandiri disini adalah kelompok ini dapat memberikan pinjaman modal kepada anggota tanpa bergantung pada program pinjaman dari P2KP. 5. Norma Kelompok Norma dapat didefinisikan sebagai aturan-aturan berperilaku mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan (Hubeis, tanpa tahun:44). Dengan demikian norma kelompok dapat berupa aturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang akan mengatur perilaku anggota yang berkaitan dengan kehidupan kelompok. Norma yang ada dalam KSM Maju Lancar belum dalam bentuk tertulis namun telah diinternalisasi dalam diri masing-masing anggota. Norma ter sebut antara lain kewajiban anggota untuk menghadiri pertemuan rutin yang dilakukan setiap satu bulan sekali, kewajiban anggota untuk mengangsur pinjaman secara tepat waktu yaitu pada saat pertemuan rutin kelompok, kewajiban anggota untuk menyediakan tempa t dan konsumsi untuk pertemuan rutin yang dilakukan secara bergilir. Sanksi terhadap pelanggaran norma yang ada belum diberlakukan secara tegas, sehingga ada beberapa anggota yang melanggar norma tersebut, seperti tidak menghadiri pertemuan rutin, tidak membayar angsuran pinjaman
89
secara tepat pada saat pertemuan kelompok, dan sebagainya. Seperti halnya yang dikemukakan oleh salah satu anggota KSM yaitu Ibu Rby berikut ini: “Wonten anggota kelompok ingkang mboten nate tindak kempalan, nanging tetep pareng ngampil kredit P2KP, padahal rumiyin wonten perjanjian bilih ingkang mboten nindaki pakempalan mboten pareng ngampil potangan”. (Ada anggota yang tidak pernah datang di pertemuan, tetapi tetap boleh meminjam kredit P2KP, padahal dulu ada perjanjian bahwa yang tidak mendatangi pertemuan rutin tidak boleh mengajukan pinjaman). Begitu pula sanksi tidak diberikan secara tegas ketika ada salah satu ada anggota yang tidak dapat membayar angsuran hingga mencapai jumlah ratusan ribu rupiah dikarenakan kegagalan usaha. Seperti yang dikemukakan oleh ketua KSM Maju Lancar berikut ini: “Wonten setunggal anggota ingkang mboten saget mbayar angsuran kaping enem, jumlahipun satus seket ewu pendak wulanipun, nanging kelompok mboten saget maringi ukuman amargi mboten wonten perjanjian. Kelompok langkung ngutamakaken paseduluran, lan meniko mboten pun jarag, nanging amargi usahanipun bangkrut, ugi wonten masalah keluarga Pak Wwn. Kagem njagi supados kelompok dipun pitados dateng BKM, cicilan Pak Wwn pun bayar ngagem kas kelompok lan meniko sampun dimusyawarahaken kaliyan anggota sanesipun. Sedoyo anggota mboten rumaos dirugekaken, amargi kagem nulung tiyang ingkang mbetahaken. Ingkang baken kelompok saget ngajengaken pinjaman maleh. (Ada salah satu anggota yang tidak dapat membayar angsuran sebanyak enam kali angsuran yang jumlahnya seratus lima puluh ribu tiap angsuran, namun kelompok tidak dapat memberikan sanksi apapun karena memang tidak ada perjanjian yang tegas. Kelompok lebih mengutamakan hubungan persaudaraan, toh ini bukan kesengajaan, tetapi memang usahanya yang bangkrut, selain ada masalah keluarga pada Bp Wwn (anggota yang tidak dapat membayar angsuran), Untuk menjaga agar kelompok dipercaya oleh BKM, angsuran Bp Wwn dibayar dengan kas kelompok dan ini sudah dimu syawarahkan oleh anggota kelompok yang lain. semua anggota kelompok juga tidak merasa dirugikan, yang penting kelompok dapat tetap mengajukan pinjaman ke BKM lagi”. Disamping hal-hal yang telah disebutkan di atas, norma yang ada pada KSM Maju Lancar adalah bahwa persyaratan untuk menjadi anggota kelompok adalah memiliki usaha sebagaimana syarat yang diberikan BKM bagi anggota KSM yang ingin mengajukan pinjaman. Meskipun pada kenyataannya ada anggota yang tidak mempergunakan pinjaman untuk menambah modal usaha. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibu Wlkn seorang penjual gorengan:
90
“Sakbendinten kulo ndamel gorengan lan kulo setoraken dateng warungwarung. Kulo ngampil arto dateng P2KP sampun kaping sekawan. Ampilan kintun piyambak Rp 750.000, kulo ginaaken kangge ndamel WC wonten griyo tilaran batih kulo ingkang badhe kulo kontrakaken”. (Setiap hari saya membuat gorengan dan saya setorkan ke warung-warung. Saya pinjam uang ke P2KP sudah empat kali. Pinjaman terakhir sebesar Rp 750.000,- saya gunakan untuk membuat WC di rumah peninggalan suami yang akan saya kontrakkan). Kelompok juga tidak memberikan sanksi apabila yang ada anggota yang tidak menggunakan pinjaman untuk menambah modal usaha. Bagi kelompok yang terpenting adalah anggota lancar dalam membayar angsuran. Seperti yang dikemukakan ketua KSM Maju Lancar berikut ini: “Kulo mboten nate pengin mangertosi kegem menopo ampilan saking P2KP pun ginakaken, ingkang baken anggota lancar anggenipun ngangsur”. (saya tidak pernah mengontrol anggota dalam menggunakan pinjaman dari P2KP, yang terpenting adalah anggota lancar dalam membayar angsuran) 6. Pembelajaran Salah satu fungsi dibentuknya KSM adalah adanya proses pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan anggota yang bermanfaat untuk meningkatkan usaha para anggotanya. Seperti yang dikemukakan oleh Ismawan dan Kartjono sebagaimana dikutip oleh (Mubyarto, 1985:83) bahwa Kelompok Swadaya merupakan suatu wadah dari suatu proses pendidikan atau wadah bekerjanya proses saling belajar-mengajar di antara anggota yaitu proses saling asah, asih dan asuh. Proses saling asah, asih dan asuh tersebut dapat membantu permasalahan yang dihadapi para anggotanya. Dari data yang diperoleh di
lapangan, proses pembelajaran tersebut
belum terjadi pada KSM Maju Lancar . Belum ada komunikasi antar anggota kelompok yang membahas permasalahan yang berkaitan dengan usaha masing-masing anggota. Disamping itu, peranan Fasilitator Kalurahan yang diharapkan dapat membantu mendampingi memecahkan permasalahan yang dihadapi kelompok ternyata belum terwujud. Seperti penuturan Bp. Rt ketua KSM Maju Lancar berikut ini: “Faskel nate ngaruhaken keompok Maju Lancar, nanging namung nagletaken dospundi anggota anggenipiun ngangsur, lancar menopo
91
mboten, mboten nangletaken masalah usaha anggota”. (Faskel pernah mendatangi kelompok kami, tetapi hanya menanyakan bagaimana anggota mengangsur, lancar atau tidak, tidak menanyakan masalah usaha anggota”. Interaksi yang terjadi antar anggota kelompok pada setiap pertemuan belum membahas tentang usaha yang dijalankan anggota. Bagi para anggota kelompok, asal dapat membayar angsuran tepat waktu sudah merasa senang, dan tidak lagi memikirkan bagaimana cara meningkatkan usaha. Hal ini disadari para anggota bahwa untuk bertahan hidup di ja man yang penuh persaingan sekarang ini diperlukan perjuangan yang keras. Bagi mereka, dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membiayai sekolah anak merupakan hal yang patut disyukuri, mengingat banyak tetangga mereka yang kesulitan memenuhi kebutuhan untuk makan dan harus bekerja kasar setiap hari. Seperti yang dituturkan oleh Bp. Jwn berikut ini: “Kulo sampun rumaos seneng menawi saget nguripi lan nyekolahaken lare-lare dugi SMA, ngelingi tanggi-tanggi kathah ingkang rekaos pados arto kangge urip sabendintenipun. Kagem ningkataten usaha awrat sanget, amargi sakmeniko sampun kathah saingan. Kulo sampun remen menawi usaha kulo saget ajeg kados sakmeniko” (Saya sudah merasa senang bila dapat menghidupi dan menyekolahkan anak-anak sampai SMA, mengingat banyak para tetangga yang sulit mencari uang untuk hidup setiap harinya. Untuk meningkatkan usaha berat sekali, karena sekarang sudah banyak saingan. Saya sudah senang bila usaha saya dapat bertahan seperti sekarang ini). 7. Kerjasama dan Pengadaan Fasilitas Kelompok Sampai saat ini, KSM Maju Lancar
belum pernah menjalin kerjasama
dengan dengan KSM lain, Instansi Pemerintah, LSM maupun lembaga yang lain. BKM dan Faskel yang diharapkan dapat membina kemajuan usaha anggota belum berperan sebagaiman mestinya. Seperti yang dikemukakan oleh Bp Rt ketua KSM Maju Lancar berikut ini: “Menawi kulo tingali, usahanipun kulo sakrencang meniko dereng majengmajeng, kawit riyin ngeten kemawon, padahal sampun pikantuk utangan saking P2KP. BKM lan Faskel dereng nate maringi pe mbinaan kagem kemajengan usaha anggota KSM” (Kalau saya lihat, usaha saya dan kawan-kawan belum mengalami kemajuan, dari dulu begini saja, padahal sudah dapat pinjaman dari P2KP. BKM dan Faskel belum pernah memberi pembinaan untuk kemajuan usaha anggota KSM). Dari hasil wawancara dengan salah satu anggota KSM Maju Lancar, diperoleh data bahwa kerjasama antar anggota dalam menjalankan usaha juga
92
belum terjalin. Padahal, kalau dilihat dari jenis dagangan yang mereka jual, sebenarnya ada saling ketergantungan untuk memperoleh bahan baku. Misalnya, penjual gorengan atau kue membeli bahan baku di tempat anggota yang lain yang menjual bahan baku tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Bp Jwn berikut ini: “Sampun pinten-pinten wulan kulo ugi mande terigu, gendis pasir, lisah goreng lan mentego. Menawi saget anggota ingkang mande gorengan lan roti blonjo panggenan kulo, bab regi saget pun rembag sesarengan” (sudah beberapa bulan saya menjual terigu, gula pasir, minyak goreng dan mentega. Kalau bisa anggota yang menjual gorengan dan roti belanja di tempat saya, soal harga dapat dibahas bersama) Sampai sejauh ini KSM belum memiliki fasilitas dan sarana ataupun peralatan yang dimiliki secara bersama-sama kecuali dana kelompok yang dapat dipinjamkan kepada anggota. Hal ini dikarenakan usaha yang dilakukan anggota masih berjalan sendiri-sendiri, sehingga sarana belum diperlukan yang pada umumnya digunakan untuk melakukan usaha secara bersama-sama oleh anggota. 6.2.2. KSM Teratai Berikut ini akan diuraikan analisis terhadap kapasitas kelembagaan KSM Teratai yang dipandang dari aspek: (1) tujuan dan
harapan kelompok, (2)
struktur kelompok, (3) manajemen kelompok, (4) manajemen keuangan, (5) norma kelompok, (6) proses pembelajaran, (7) kerjasama dan pengadaan fasilitas/sarana kelompok. Data ini diperoleh melalui wawancara mendalam dan FGD. 1. Tujuan dan Harapan Kelompok KSM Teratai belum memiliki tujuan dan harapan kelompok, kecuali memperoleh pinjaman dari P2KP. Disamping itu kelompok juga belum pernah mengadakan pertemuan rutin ataupun ataupun pertemuan khusus untuk membahas tentang tujuan dan harapan kelompok. menyadari
pentingnya
Para anggota juga belum
tujuan dan kelompok, karena usaha yang mereka
jalankan selama ini berjalan sendiri-sendiri tanpa ada ketergantungan antara anggota kelompok. Namun demikian dari data yang diperoleh motivasi utama
93
dari para anggota untuk bergabung dalam kelompok adalah memperoleh pinjaman dari P2KP. 2. Struktur Kelompok Sebagaimana telah disebutkan bahwa struktur kelompok merupakan bentuk hubungan antara individu-individu di dalam kelompok dan pengaturan peranan yang ditentukan oleh tujuan kelompok yang ingin dicapai (Hubeis, tanpa tahun:46). Struktur kelompok ini antara lain meliputi kekuasaan/kepemimpinan dan adanya komunikasi antara anggota. Dari data yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa hubungan antara anggota bersifat kekerabatan karena mereka tinggal dalam satu RT dan sering bertemu dalam berbagai pertemuan seperti pengajian, Dasa Wisma dan sebagainya. Namun demikian, pengambilan keputusan masih didominasi oleh ketua kelompok. Misalnya dalam memberikan sanksi
terhadap
anggota
yang
terlalu
sering
terlambat
membayar
angsuran.Tanpa mengadakan musyawarah dengan anggota yang lain, ketua kelompok dengan leluasa mengeluarkan anggota yang tidak tepat waktu dalam membayar angsuran. Namun demikian ketegasan ketua kelompok ini cukup efektif dalam membentuk kedisiplinan anggota-anggota yang lain, sehingga mereka tidak berani terlambat membayar angsuran. Dengan demikian KSM Teratai belum pe rnah terlambat membayar angsuran ke BKM sehingga mempunyai kredibilitas yang baik di mata BKM. Seperti yang dikemukakan oleh ketua KSM Teratai berikut ini: “Menawi kulo, engkang baken anggota saget mbayar cicilan sesuai kaliyan wekdal ingkang sampun dimufakataken, amargi kulo tanggung jawab kaliyan BKM. Kulo mboten pengin dipun biji awon kaliyan BKM. Menawi wonten anggota ingkang mbeler anggenipun ngangsur, kulo oyak-oyak, lan menawi sampun lunas cicilanipun kulo dalaken saking kelompok, mboten angsal ngajengaken potangan malih. Kulo mendel mawon, sinaoso tiyang meniko sengit kaliyan kulo. Meniko kagem kesaenan kelompok, supados anggota sanesipun mboten pun rugikaken, amargi kedah nalangi riyin ngagem kas kelompok. (Bagi saya yang terpenting adalah anggota kelompok membayar angsuran sesuai dengan waktu yang telah disepakati, karena sebagai ketua kelompok saya bertanggung jawab kepada BKM. Saya tidak ingin kelompok ini mendapat penilaian buruk di mata BKM. Sehingga ketika ada anggota yang sampai terlambat membayar angsuran, saya kejar-kejar dan begitu selesai angsurannya langung saya keluarkan dari kelompok dan tidak boleh meminjam lagi. Saya diam saja meskipun orang tersebut kemudian membenci saya. Ini saya lakukan demi kebaikan kelompok,
94
agar anggota yang lain tidak dirugikan, karena harus meminjami dulu dengan kas kelompok) Komunikasi antar anggota belum terjalin secara baik dan intensif karena mereka tidak pernah mengadakan pertemuan rutin. Meskipun para anggota kelompok sering bertemu dalam kegiatan yang dilakukan pada tingkat RT seperti pertemuan Dasa Wisma dan Pengajian rutin tiap Minggu Pahing, belum terjadi komunikasi yang khusus membahas mengenai KSM yang sudah dibentuk sejak empat tahun yang lalu. Ketua kelompok dipegang oleh Bu Hwtn yang ditunjuk secara spontan oleh para anggota. Alasan mereka adalah Ibu Hswtn yang juga ketua kelompok Dasa Wisma ini orangnya sudah biasa memimpin, aktif di masyarakat dan ramah kepada siapa saja. Tugas ketua adalah mengumpulkan angsuran anggota dan menyerahkannya ke kantor BKM. Sekretaris dipegang oleh Ibu
Tuti yang
memiliki usaha kerajinan peci rajut dan kue kering. Ibu Tuti ini juga cukup aktif di perkumpulan Dasa Wisma. Tugas sekretaris adalah mencatat keluar masuknya kas kelompok sekaligus memegang dana kelompok. Sementara bendahara dipegang oleh Ibu Siti Warsiyah, dan sampai saat ini belum memiliki tugas apapun. Dari hasil observasi dan wawancara diperoleh informasi bahwa kondisi ekonomi ketua kelompok paling baik. Suaminya seorang anggota polri dan memiliki usaha pembuatan batu-bata yang cukup berhasil. 3. Manajemen Kelompok Manajemen
didefinisikan
sebagai
suatu
proses
perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Stoner yang dikutip oleh Handoko, 1998:78). Proses
manajemen
kelompok
belum
terjadi
dalam
KSM
Teratai
mengingat aktifitas tiap anggota dalam melakukan kegiatan usaha masih sendirisendiri dan belum ada pertemuan rutin kelompok. Proses perencanaan, pengorganisasian, dan pengawasan terhadap usaha para anggota juga belum ada dalam KSM Teratai.
95
4. Manajemen Keuangan Manajemen keuangan secara sederhana sudah terlihat dalam KSM Teratai yang lebih banyak dilakukan oleh sekretaris kelompok. Manajemen keuangan tersebut terlihat dari adanya pembukuan keluar masuknya dana kelompok. Sekarang ini dana kelompok sudah terkumpul sebesar enam ratus dua puluh lima ribu rupiah. Dana tersebut berasal dari pengembalian bunga setiap kali membayar angsuran ke BKM dan pembulatan bunga yang dibayarkan dari para anggota (seharusnya bunga yang dibayarkan 18 persen pertahun lalu dibulatkan menjadi 20 persen). Dana kelompok tersebut disimpan oleh sekretaris kelompok dan sebagai persiapan untuk pengeluaran yang berkaitan dengan kepentingan kelompok seperti biaya pembuatan proposal dan menjamu petugas UPK pada saat melakukan pencairan dana pinjaman. Sampai sejauh ini dana kelompok tersebut belum dipinjamkan kepada anggota kelompok mengingat jumlahnya yang masih sedikit. Dari pengakuan sekretaris kelompok, tidak setiap anggota mengetahui berapa jumlah dana yang dimiliki kelompok, karena mereka seperti tidak ingin tahu dan mempercayakan pengelolaan dana tersebut pada ketua dan sekretaris. 5. Norma Kelompok Norma kelompok yang ada pada KSM Teratai masih sederhana sekali yaitu mengharuskan setiap anggotanya untuk membayar angsuran secara tepat waktu sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan. Meskipun aturan tersebut tidak dinyatakan secara tertulis, namun sangat dipatuhi oleh para anggotanya. Hal ini disebabkan oleh ketegasan ketua kelompok dalam menerapkan sanksi dengan tidak mengikutkan anggota kelompok yang terlambat dalam membayar angsuran dalam periode pinjaman berikutnya. 6. Pembelajaran Proses pembelajaran yang diharapkan terjadi dalam kelompok ternyata belum terjadi pada KSM Teratai. Keterampilan yang mereka miliki seperti membuat peci rajut mereka peroleh dari saudara atau tetangga terdekat dan bukan melalui kelompok. Seperti yang di tuturkan oleh Ibu Ttk, sekeretaris KSM Teratai berikut ini:
96
“Kulo pikantuk keterampilan ndamel peci rajut saking sederek kulo piyambak, sanes saking anggota kelompok Teratai sanesipun. Menawi badhe bakdo, kulo ndamel kue kering ngantos setunggal kwintal. Kulo saget ndamel kue kering saking majalah”. (Saya mendapat keterampilan membuat peci rajut dari saudara saya, bukan dari anggota kelompok Teratai yang lain. Kalau menjelang lebaran saya membuat kue kering hingga satu kwintal. Saya bisa membuat kue kering karena membaca dari majalah). Namun demikian, dari FGD yang dilakukan
dengan KSM Teratai
sebagian besar anggota kelompok menginginkan tambahan keterampilan yang lain, mengingat kesulitan pemasaran dari produk yang mereka hasilkan. Sebagai contoh apa yang dikemukakan oleh Ibu St yang memiliki usaha kerajinan peci rajut: “Peci namung pajeng menawi badhe poso, bakdo lan bakdo besar. Sanesipun wulan meniko sepi pesenan. Kulo pengin keterampilan ingkang saget ndamel dagangan ingkang saget pajeng terus” (Peci hanya laku bila menjelang puasa, hari raya dan hari raya kurban. Selain bulanbulan tersebut pesanan sepi. Saya ingin keterampilan yang bisa membuat dagangan yang bisa laku terus). 7. Kerjasama dan pengadaan sarana/fasilitas kelompok Kerjasama yang terjadi pada KSM teratai baru terbatas pada anggota yang memiliki jenis usaha yang sama yaitu anggota yang memiliki usaha membuat peci rajut. Bila ada salah satu anggota mempunyai kelebihan pesanan yang tidak dapat dikerjakannya sendiri, maka ia akan melimpahka n pesanan tersebut pada anggota kelompok yang lain. KSM Teratai belum pernah menjalin kerjasama dengan kelompok lain ataupun lembaga yang lain. KSM Teratai belum memiliki sarana atau fasilitas yang dapat digunakan bersama -sama, kecuali kas kelompok yang berjumlah enam ratus ribu rupiah. Hal ini dikarenakan usaha yang mereka jalankan masih bersifat individual, sehingga belum memerlukan fasilitas yang dapat digunakan secara bersama sama. Hasil analisis terhadap kapasitas kelembagaan kedua KSM dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
97
Tabel.13: Kondisi Saat ini Kapasitas Kelembagaan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai NO.
ASPEK KAPASITAS KELEMBAGAAN
KSM MAJU LANCAR
KSM TERATAI
1.
Tujuan dan harapan kelompok
Memperoleh pinjaman dari P2KP
Memperoleh pinjaman dari P2KP
2.
Struktur kelompok
Hubungan dan komunikasi antar anggota cukup intensif karena ada pertemuan rutin kelompok Kepemimpinan cukup demokratis Peran pengurus kelompok sudah ada
Hubungan dan komunikasi kelompok kurang baik karena belum ada pertemuan rutin Kepemimpinan cenderung otoriter Peran pengurus kelompok belum ada
3.
Manajemen kelompok
Belum ada perencanaan, pengarahan dan pengawasan terhadap usaha para anggota Bentuk pengorganisasian nampak dalam penyelenggaraan pertemuan rutin
Belum ada perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan terhadap usaha para anggota
4.
Manajemen keuangan
Manajemen keuangan sudah ada dan dilaksanakan secara transparan Dana/kas kelompok dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan modal usaha
Manajemen keuangan belum ada Dana/kas kelompok disimpan oleh pengurus kelompok
5.
Norma kelompok
Norma tidak tertulis Norma kelompok meliputi kewajiban anggota menghadiri pertemuan rutin, mengangsur pinjaman dengan tepat, dan menyediakan tempat dan konsumsi bagi penyelenggaraan pertemuan rutin, dan syarat untuk menjadi anggota kelompok adalah memiliki usaha. Sanksi belum diberlakukan secara tegas.
Norma tidak tertulis Norma kelompok meliputi kewajiban anggota membayar angsuran tepat waktu, anggota kelompok harus memiliki usaha Sanksi diberlakukan dengan tegas (mengeluarkan anggota yang tidak membayar angs uran tepat waktu)
6.
Pembelajaran
Belum ada proses pembelajaran yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan anggota.
Belum ada proses pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan anggota.
7.
Kerjasama/jejaring
Belum ada kerjasama antar anggota dalam meningkatkan usaha. Belum ada kerjasama/jejaring dengan KSM/lembaga lain.
Belum ada kerjasama antar anggota dalam meningkatkan usaha. Belum ada kerjasama/jejaring dengan KSM/lembaga lain.
8.
Pengadaan fasilitas/sarana kelompok
Belum memiliki kelompok
Belum memiliki kelompok
fasilitas/sarana
fasilitas/sarana
Sumber: Wawancara mendalam dengan pengurus KSM dan FGD dengan KSM Maju Lancar dan Teratai
Hasil analisis terhadap kapasitas kelembagaan kedua KSM menunjukkan bahwa kedua KSM memiliki sejumlah permasalahan jika ditinjau dari delapan aspek. Setelah kedua KSM mengimplementasikan program pengembangan kapasitas KSM yang
disusun dalam kajian ini, diharapkan kedua KSM dapat
berfungsi optimal dan
tidak lagi hanya berfungsi sebagai sarana untuk
98
memperoleh pinjaman. Sehingga pemberdayaan melalui kelompok akan terjadi. Kondisi kapasitas kelembagaan kedua KSM setelah melaksanakan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM dapat dilihat tabel berikut ini: Tabel. 14: Kondisi Kapasitas Kelembagaan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai yang diharapkan setelah Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan SM NO.
ASPEK KAPASITAS KELEMBAGAAN
1.
Tujuan dan kelompok
harapan
2.
Struktur kelompok
KSM MAJU LANCAR •
Tujuan dan harapan kelompok tidak hanya memperoleh pinjaman P2KP, tetapi lebih luas lagi, yang muncul dari kebutuhan dan kepentingan anggota kelompok
•
Tujuan dan harapan kelompok tidak hanya memperoleh pinjaman P2KP, tetapi lebih luas lagi, yang muncul dari kebutuhan dan kepentingan anggota kelompok
•
Hubungan dan komunikasi antar anggota cukup intensif karena ada pertemuan rutin kelompok. Kepemimpinan cukup demokratis dan dipatuhi oleh para anggotanya. Peran pengurus kelompok berfungsi secara optimal
•
Hubungan dan komunikasi antar anggota cukup intensif karena ada pertemuan rutin kelompok. Kepemimpinan cukup demokratis dan dipatuhi oelh para anggotanya. Peran pengurus kelompok berfungsi secara optimal
•
Sudah ada perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan terhadap usaha para anggota
•
Sudah ada perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan terhadap usaha para anggota
•
Manajemen keuangan dilaksanakan secara transparan. Kelompok memiliki dana yang dikelola untuk kepentingan para anggota. Kelompok dapat mandiri dalam menyediakan modal usaha bagi para anggotanya
•
Manajemen keuangan dilaksanakan secara transparan. Kelompok memiliki dana yang dikelola untuk kepentingan para anggota. Kelompok dapat mandiri dalam menyediakan modal usaha bagi para anggotanya
Kelompok memiliki norma tertulis, termasuk sanksi tertulis jika ada anggota kelompok yang melanggar. Setiap anggota kelompok mematuhi norma kelompok.
•
•
Terjadi proses pembelajaran yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para anggota kelompok.
•
Terjadi proses pembelajaran yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para anggota kelompok.
•
Terjalin kerjasama antar anggota dalam upaya meningkatkan usaha. Terjalin kerjasama dengan KSM/lembaga lain.
•
Terjalin kerjasama antar anggota dalam upaya meningkatkan usaha. Terjalin kerjasama dengan KSM/lembaga lain.
• •
3.
Manajemen kelompok
4.
Manajemen keuangan
• •
5.
Norma kelompok
•
•
6.
Pembelajaran
7.
Kerjasama/jejaring
•
8.
Pengadaan fasilitas/sarana kelompok
KSM TERATAI
Kelompok memiliki fasilitas/ sarana yang dapat digunakan untuk peningkatan usaha.
• •
• •
•
•
Kelompok memiliki norma tertulis, termasuk sanksi tertulis jika ada anggota kelompok yang melanggar. Setiap anggota kelompok mematuhi norma kelompok.
Kelompok memiliki fasilitas/ sarana yang dapat digunakan untuk peningkatan usaha.
99
6.3.
Analisis terhadap Kekompakan Kelompok Kekompakan kelompok (group cohesiveness) merupakan kesatuan
kelompok yang dicirikan dengan keterikatan yang kuat di antara anggota dan menggambarkan kekuatan kelompok yang tidak saja tahan terhadap guncangan dari luar tetapi juga memukul ke dalam (Hubeis, tanpa tahun:26). Faktor-faktor yang menentukan kekompakan kelompok adalah kepemimpinan, keanggotaan, nilai dari tujuan kelompok, homogenitas kelompok, integrasi, kerjasama, dan besar kelompok. Analisis terhadap kekompakan kedua KSM yang menjadi subjek kajian dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel.15: Hasil Analisis Kekompakan Kelompok KSM Maju Lancar dan KSM Teratai Saat Ini NO.
FAKTOR PENENTU KEKOMPAKAN KELOMPOK
KSM MAJU LANCAR
KSM TERATAI
1.
Kepemimpinan
Kepemimpinan cukup demokratis
berfungsi dan
Kepemimpinan berfungsi tetapi cenderung otoriter
2.
Keanggotaan
Anggota memiliki rasa bangga terhadap kelompok dan memiliki kesadaran untuk menghadiri dan menyediakan tempat untuk pertemuan rutin
Anggota belum memiliki rasa bangga terhadap kelompok
3.
Nilai dari kelompok
Tujuan kelompok (memperoleh pinjaman dari P2KP) dapat memberikan rasa puas pada anggota karena dapat memperoleh pinjaman tanpa menggunakan agunan
Tujuan kelompok (memperoleh pinjaman P2KP) memberikan rasa kurang puas pada anggota dikarenakan pinjaman terlalu sedikit
4.
Homogenitas kelompok
Kelompok cukup homogen karena para anggota memiliki kesamaan dalam hal kepentingan, agama, budaya dan lokasi tempat tinggal dan sebagian besar terdiri atas laki-laki
Kelompok cukup homogen karena semua anggota terdiri atas perempuan dan mereka mempunyai kepentingan yang sama yaitu memperoleh pinjaman dari P2KP
5.
Integrasi
Kelompok cukup terintegrasi yang ditandai dengan rasa keterikatan antar anggota dan masing-masing anggota merasa menjadi bagian dari kelompok. Komunikasi antar anggota cukup intensif karena ada pertemuan rutin kelompok
Kelompok kurang terintegrasi karena kurang ada komunikasi diantara anggota kelompok dan tidak pernah mengadakan pertemuan rutin
6.
Kerjasama
Belum ada kerjasama/saling bantu diantara anggota dalam menjalankan usaha.
Belum ada kerjasama antar anggota Dalam menjalankan usaha.
7.
Besar kelompok
Anggota kelompok berjumlah 15 orang anggota yang terdiri atas 12 orang laki-laki dan tiga orang perempuan
Anggota terdiri atas 8 orang anggota (semua perempuan)
tujuan
Sumber: FGD dengan KSM Maju Lancar dan Teratai
100
Berdasarkan analisis terhadap kekompakan terhadap kedua KSM yang menjadi subjek kajian, maka dapat disimpulkan bahwa KSM Maju Lancar lebih kompak dari pada KSM Teratai. Program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM juga bertujuan untu k meningkatkan kekompakan kelompok kedua KSM. Kondisi kekompakan kelompok yang diharapkan setelah dilaksanakan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel.16: Kekompakan kelompok KSM Maju Lancar dan KSM Teratai yang diharapkan setelah Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM NO.
FAKTOR PENENTU KEKOMPAKAN KELOMPOK
KSM MAJU LANCAR
KSM TERATAI
1.
Kepemimpinan
Kepemimpinan demokratis
2.
Keanggotaan
Anggota memiliki rasa bangga terhadap kelompok dan memiliki kesadaran untuk menghadiri dan menyediakan tempat untuk pertemuan rutin
Anggota memiliki rasa bangga terhadap kelompok dan mempunyai kesadaran untuk mengadakan pertemuan rutin
3.
Nilai dari kelompok
Tujuan kelompok dapat memberikan rasa puas kepada setiap anggota karena dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka.
Tujuan kelompok dapat memberikan rasa puas kepada setiap anggota karena dapat memenuhi kebutuhan dan pentingan mereka.
4.
Homogenitas kelompok
Kelompok semakin homogen karena para anggota memiliki kesamaan dalam hal kepentingan
Kelompok cukup homogen karena para anggota memiliki kesamaan dalam hal kepentingan
5.
Integrasi
Kelompok semakin terintegrasi yang ditandai dengan rasa keterikatan antar anggota dan masing-masing anggota merasa menjadi bagian dari kelompok. Komunikasi antar anggota semakin intensif karena ada pertemuan rutin kelompok
Kelompok cukup terintegrasi karena ada komunikasi dan pertemuan rutin
6.
Kerjasama
Terjalin kerjasama/saling bantu diantara anggota dalam menjalankan usaha.
Terjalin kerjasama/saling bantu diantara anggota dalam menjalankan usaha.
7.
Besar kelompok
Anggota kelompok berjumlah 15 orang anggota yang terdiri atas 12 orang laki-laki dan tiga orang perempuan
Anggota terdiri atas 8 orang anggota (semua perempuan)
tujuan
berfungsi dan
Kepemimpinan berfungsi cukup demokratis
dan
101
6.4.
Analisis terhadap Permasalahan yang dihadapi KSM di Tingkat Kelompok Setelah diadakan analisis terhadap kapasitas kelompok yang meliputi
delapan aspek, yaitu tujuan dan harapan kelompok, struktur kelompok, norma kelompok,
manajemen
kelompok,
manajemen
keuangan
kelompok,
kerjasama/jejaring, pembelajaran dan pengadaan fasilitas kelompok maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedua KSM mempunyai sejumlah permasalahan yang dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel.17: Permasalahan yang dihadapi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai Saat ini ditingkat kelompok No. 1.
2.
Kelompok Swadaya Masyarakat Maju Lancar
KSM Teratai
Aspek kapasitas Kelembagaan Tujuan dan harapan kelompok
Permasalahan Tujuan dan harapan kelompok masih terbatas pada keinginan untuk memperoleh pinjaman P2KP.
Norma kelompok
Belum ada norma tertulis dan norma yang ada belum diberlakukan secara tegas.
Kerjasama
Belum ada kerjasama antar anggota dalam menjalankan usaha dan belum ada kerjasama dengan KSM/lembaga lain
Pembelajaran
Belum ada proses pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan anggota.
Tujuan dan harapan kelompok
Tujuan dan harapan kelompok masih terbatas pada keinginan untuk memperoleh pinjaman P2KP
Struktur kelompok
Belum ada pertemuan rutin
Norma kelompok
Belum ada norma tertulis.
Manajemen keuangan kelompok
Dana kelompok sudah ada, namun belum dikelola dengan baik.
Pembelajaran
Belum ada proses pembelajaran dalam kelompok.
Kerjasama/jejaring
Belum ada kerjasama antar anggota dalam menjalankan usaha dan belum ada kerjasama dengan KSM/ lembaga lain.
Sumber: Hasil FGD dan wawancara mendalam dengan KSM Maju Lancar dan KSM Teratai
102
6.5. Analisis Permasalahan di Tingkat Individu Anggota KSM 1. KSM Maju Lancar Analisis terhadap permasalahan anggota KSM yang berkaitan dengan usaha yang mereka jalankan perlu dilakukan mengingat sebagian besar dari usaha anggota KSM
belum mengalami kemajuan dan boleh dikatakan
mengalami stagnasi meskipun mereka telah memperoleh pinjaman modal dari P2KP. Hal tersebut nampak dari jumlah dan jenis dagangan yang tidak bertambah dari tahun ke tahun. Sebagaimana yang dituturkan oleh Ibu Rbd, seorang pemilik warung sembako berikut ini: “Kulo mande sembako kados ngaten sampun gangsal tahun kepengker, sakderengipun kulo mande sekul rames, nanging lajeng mandeg amar gi kulo sayah sanget. Kawit riyin dagangan kulo nggih namung sementen niki, mboten nate tambah, amargi batihnipun kangge urip sabendintenipun” (Saya jualan sembako seperti ini sudah mulai lima tahun yang lalu, sebelumnya saya jualan nasi rames, tetapi kemudian berhenti karena saya capai sekali. Dari dulu dagangan saya yang seperti ini, tidak pernah tambah, karena untungnya untuk hidup sehari-hari). Penghasilan mereka rata-rata lima belas hingga dua puluh lima ribu perhari, namun dengan penghasilan tersebut mereka berusaha agar dapat memenuhi kehidupan sehari-hari, kehidupan sosial (menengok orang sakit, takziah, mengadiri orang hajatan) dan membiayai pendidikan anak. Hal ini dimungkinkan karena biaya hidup di desa yang masih murah dan pola hidup sederhana yang mereka terapkan. Sebagai contoh, belum tentu setahun sekali membeli pakaian dan pola dan jenis makanan yang mereka konsumsi sangat sederhana. Keinginan untuk meningkatkan skala usaha bukan tidak dimiliki para anggota KSM. Mereka senantiasa ingin meningkatkan usaha mereka, mengingat biaya hidup yang semakin tinggi. Motivasi yang kurang dan keterbatasan modal menjadi kendala utama mereka yang bergerak di sektor perdagangan dalam usaha meningkatkan skala usaha, karena keuntungan yang mereka peroleh habis untuk membiayai hidup sehari-hari dan tidak sempat ditabung untuk menambah modal usaha. Meskipun mereka memperoleh pinjaman modal dari P2KP, mereka harus menyisihkan sebagian keuntungan untuk
membayar
angsuran tiap bulannya. Dengan demikian pinjaman modal yang diperoleh dari P2KP hanya “sebentar” berada di tangan anggota KSM karena dalam waktu
103
setahun harus lunas. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Rby seorang pedagang warung kelontong berikut ini: “Kulo pikantuk sambetan saking P2KP Rp 750.000,-, kulo ginakaken kangge kulakan rokok namung angsal sekedik. Dereng ngantos ngembangaken modal meniko, kulo kedah nyisihaken kangge angsuran saben wulanipun” (Saya mendapat pinjaman dari P2KP Rp 750.000,-, saya gunakan untuk belanja rokok cuma mendapat sedikit. Belum sempat mengembangkan modal tersebut, saya harus menyisihkan untuk angsuran tiap bulannya). Namun demikian pinjaman, dari P2KP cukup memberikan manfaat yang bagi mereka yang bergerak di sektor perdagangan. Hal ini dikarenakan setelah menerima pinjaman dari P2KP dagangan di warung mereka kelihatan agak penuh dibandingkan sebelum mendapat pinjaman. Hal ini diakui oleh Ibu Atik seorang pemilik warung kelontong: “Kulo remen menawi bibar nampi sambetan saking P2KP, amargi warung kulo ketingal ragi kebak daganganipun, dados mboten nyeliki tiyang blonjo” (Saya senang kalau habis menerima pinjaman dari P2KP, kerena warung saya kelihatan agak penuh dagangannya, jadi tidak mengecewakan orang belanja). Bagi mereka yang bergerak disektor perdagangan yang membutuhkan modal agak besar seperti dagang Aqua, LPG, wartel, dan material, pinjaman dari P2KP dirasakan sangat kurang. Seperti yang dituturkan oleh Bp. Zn seorang pedagang LPG berikut ini: “Kulo pikantuk potangan saking P2KP tigang yuto, dipun cicil tigang atus saben wulanipun. Arto tigang yuto kirang sanget kagem paitan sadeyan gas, amargi regi tabungipun sampun awis” (Saya mendapat pinjaman dari P2KP tiga juta, diangsur tiga ratus tiap bulannya. Uang tiga juta sangat kurang untuk modal jualan LPG, karena harga tabungnya sudah mahal). Sebagian
anggota
KSM
Maju
Lancar
yang
sudah
memiliki
tempat/kios/warung untuk berjualan ini tidak berani untuk meminjam ke bank karena harus menyediakan agunan dan ketakutan akan kehilangan harta yang diagunkan apabila tidak dapat membayar angsuran. Bagi mereka, pinjaman dari P2KP merupakan alternatif terbaik meskipun jumlah pinjaman yang mereka peroleh relatif kecil.
104
Usaha yang dijalankan para anggota KSM selama ini berlangsung secara alamiah, yaitu hanya mengandalkan naluri dan pengalaman semata. Pembukuan dan catatan tidak pernah mereka lakukan (kecuali anggota yang mempunyai usaha kreditan). Dengan demikian mereka tidak mengetahui secara pasti penghasilan atau keuntungan setiap hari atau setiap bulannya. Yang mereka ketahui hanyalah berapa jumlah uang yang mereka terima dalam satu hari dari usaha dagang yang mereka lakukan yang terdiri atasa modal dan keuntungan. Begitu memperoleh uang dari hasil penjualan, kemudian dibelanjakan untuk berjualan lagi. Begitu seterusnya, dan hal ini telah berlangsung sekian tahun. Pengeluaran untuk kehidupan sehari-hari mereka ambil dari uang yang diperoleh dari berjualan atau menjual hasil kerajinan. Mereka tidak pernah mengetahui apakah pengeluaran melebihi atau lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh. Seperti yang dikemukakan Ibu Rbd seorang pemilik warung kelontong: “Kulo mboten nate nyatet menopo ingkang kulo sade lan ingkang kulo kulakaken. Arto ingkang wonten kulo kilakaken barang-barang ingkang sampun telas. Kagem urip sabendintenipun mendet saking warung, nyangoni lare lan mbayar sekolah ugi mendet arto saking warung. Sedanden mboten nate kulo catet, mangkeh malah ndamel tambah mumet” (Saya nggak pernah mencatat apa yang saya jual dan yang saya belanjakan. Uang yang ada saya belanjakan barang-barang yang sudah habis. Untuk hidup setiap harinya ambil dari warung, memberi uang saku dan membayar sekolah juga mengambil uang dari warung. Semua nggak pernah saya catat, nanti malah bikin pusing). Aspek perencanaan belum nampak pada kegiatan usaha yang dijalankan para anggota. Usaha dagang yang mereka jalankan dan bermodal kecil berjalan seadanya dan belum ada motivasi dari para anggota untuk meningkatkannya. Mereka menyadari semakin ketatnya persaingan, karena semakin banyak orang lain yang menjual dagangan sejenis. Seperti dituturkan Bu Rbd, seorang pemilik warung kelontong berikut ini: “Sakmeniko teng pundi-pundi wonten warung, nanging kulo mboten kuwatir, amargi pun gadhah langganan. Tanggi -tanggi remen blonjo panggenan kulo, amargi saget diutang lan sak wayah-wayah saget blonjo. Kulo mboten ngoyo, sak tekanipun mawon amargi rejeki sampun wonten ingkang ngatur”. (Sekarang di mana-mana ada warung, tetapi saya tidak khawatir karena sudah punya langganan.Para tetangga senang belanja di tempat saya karena boleh hutang dan belanja sewaktuwaktu. Saya tidak berambisi, karena rejeki sudah ada yang mengatur )
105
Dengan demikian permasalahan yang dihadapi para anggota KSM yang berkaitan dengan usaha yang mereka jalankan adalah (1) kurangnya modal menjadi kendala utama dalam upaya meningkatkan skala usaha, (2) kemampuan manajemen dan perencanaan usaha masih rendah, dan (3) motivasi untuk meningkatkan skala usaha masih rendah. 2. KSM Teratai Hampir semua anggota KSM Teratai memiliki usaha kerajinan dan industri, kecuali dua orang yang memiliki usaha warung kelontong dan jualan makanan di pasar. Dari hasil FGD dan wawancara, diketahui bahwa sebagian besar anggota, terutama mereka yang memiliki usaha kerajinan peci rajut (4 orang) mengalami kendala pemasaran dalam menjual hasil produksinya. Hal ini dikarenakan adanya persaingan yang dirasakan para anggota KSM, baik yang bergerak di sektor perdagangan maupun industri rumah tangga. Semakin banyaknya saingan tesebut menimbulkan kesulitan untuk menjual dagangan ataupun memasarkan produk kerajinan. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Ttk, seorang pengrajin peci rajut berikut ini: “Sakniki wonten pundi-pundi kathah tiyang ingkang ndamel peci lan ingkang gadah modal kathah wantun nyade mirah. Sakniki nyade peci rekaos lan mirah sanget mboten kados riyin, saget pajeng slangkung setunggalipun, sakniki paling awis namung pajeng gangsal welas (Sekarang di mana-mana banyak orang yang membuat peci dan yang mempunyai modal besar berani menjual murah. Sekarang menjual peci susah dan murah sekali, tidak seperti dulu, satu peci bisa laku dua puluh lima ribu, sekarang paling banyak hanya laku lima belas ribu). Menghadapi persaingan yang semakin tinggi banyak anggota KSM yang bergerak pada industri rumah tangga
yang ingin mengembangkan usaha
dengan jenis produksi yang lain. Untuk itu mereka merasa perlu untuk memperoleh keterampilan baru untuk mendukung usaha tersebut. Namun untuk mengikuti kursus pendidikan keterampilan mereka tidak memiliki biaya. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu St seorang pengrajin bordir dan peci rajut berikut ini: “Sabendinten kulo ndamel bordir utawi peci rajut, namung bathinipun sekedik sanget. Sedintenipun namung pikantuk kirang langkung sedoso ewu. Kulo pengin nggadhahi keterampilan sanes, supados saget nambah blonjo sabendintenipun. Nanging menawi badhe tumut kursus ragatipun awis lan repot amargi taksih gadhah lare alit” ( Setiap hari saya membuat bordir atau peci rajut,
106
tetapi keuntungannya sedikit sekali. Seharinya hanya dapat kurang lebih sepuluh ribu. Saya ingin memiliki keterampilan lain, agar dapat menambah uang belanja setiap hari. Tetapi kalau ikut kursus biayanya mahal dan repot karena masih mempunyai anak kecil). Kendala lain yang dihadapi anggota KSM Teratai adalah masalah permodalan. Anggota yang memiliki usaha pembuatan batu-bata dan material memerlukan modal dana yang cukup besar untuk menjalankan usahanya. Selama ini pinjaman yang diperoleh dari P2KP yang berkisar antara satu hingga dua setengah juta rupiah dirasakan masih sangat kurang. Dari delapan anggota KSM Teratai, hanya satu orang yang mempunyai akses ke perbankan, yaitu anggota yang memiliki usaha batu-bata karena suaminya seorang anggota Polri yang bisa meminjam ke BRI tanpa menggunakan jaminan. Anggota KSM yang memiliki usaha kerajinan, dagang, dan industri material tidak memiliki akses ke perbankan dikarenakan penghasilan yang tidak tetap dan tidak mempunyai barang berharga yang dapat digunakan untuk jaminan. Bagi mereka, pinjaman dari P2KP marupakan andalan utama. Manajemen yang dilakukan anggota KSM Teratai dalam menjalankan usahanya masih sederhana dan berdasar pada pengalaman. Seorang pedagang sayur matang di pasar misalnya, sudah menjalankan usahanya bertahun-tahun namun tidak pernah meningkat usahanya dan jenis dan macam dagangannya tidak pernah berubah, karena dagangan yang dianggapnya laku adalah dagangan yang dijualnya sekarang ini. Dengan demikian permasalahan utama yang dihadapi para anggota KSM Teratai adalah (1) kesulitan pemasaran hasil kerajinan karena semakin banyak saingan dan rendahnya kualitas produk, (2) permodalan baik yang berupa keterampilan maupun dana, (3) kemampuan manajemen usaha masih lemah. Permasalahan yang dihadapi di tingkat individu kedua KSM dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
107
Tabel.18: Hasil Analisis Permasalahan di Tingkat Individu Anggota KSM Maju Lancar dan KSM Teratai saat ini No.
Kelompok Swadaya Masyarakat
1.
KSM Maju Lancar
2.
KSM Teratai
Permasalahan 1. Kurangnya modal menjadi kendala utama dalam upaya meningkatkan skala usaha. 2. kemampuan manajemen usaha masih rendah. 3. Motivasi untuk meningkatkan skala usaha masih rendah
1. kesulitan pemasaran hasil kerajinan karena semakin banyak saingan dan rendahnya kualitas produk. 2. permodalan masih kurang baik yang berupa keterampilan maupun dana. 3. manajemen usaha masih lemah. 4. Motivasi untuk meningkatkan skala usaha masih rendah. Sumber: Hasil FGD dan wawancara mendalam dengan anggota KSM Maju Lancar dan Teratai
6.5.
Ikhtisar Bab ini membahas tentang profil KSM, kapasitas kelembagaan KSM,
kekompakan KSM, dan permasalahan baik yang dihadapi tingkat kelompok maupun permasalahan di tingkat individu anggota KSM. Pembahasan tentang profil KSM bertujuan untuk mengetahui
gambaran
KSM yang ada di Desa
Wonokromo. Analisis terhadap kapasitas kelembagaan KSM bertujuan untuk mengetahui tentang kapasitas kelembagaan KSM yang menjadi subjek kajian. Analisis terhadap kekompakan kelompok dilakukan untuk mengetahui mana yang lebih kompak dari kedua KSM yang menjadi subjek kajian. Analisis terhadap permasalahan ditingkat kelompok dan tingkat individu perlu dilakukan untuk memberi masukan bagi penyusunan program pengembangan kapasitas KSM. Analisis terhadap kapasitas kelembagaan meliputi delapan aspek, yaitu tujuan dan harapan kelompok, struktur kelompok, norma kelompok, manajemen kelompok,
manajemen
keuangan,
kerjasama/jejaring,
dan
pengadaan
fasilitas/sarana kelompok. Sementara analisis terhadap kekompakan kelompok meliputi kepemimpinan, keanggotaan, nilai dari tujuan kelompok, homogenitas kelompok, integrasi, kerjasama dan besar kelompok.
108
Analisis terhadap permasalahan ditingkat kelompok dari kedua KSM adalah sebagai berikut: (1) tujuan dan harapan kedua KSM masih terbatas pada keinginan untuk memperoleh pinjaman P2KP, (2) kepemimpinan yang ada di KSM teratai cenderung otoriter, (3) kedua KSM belum memiliki norma tertulis dan belum ada sanksi yang tegas pada KSM Maju Lancar, (4) kedua KSM belum ada kerjasama antar anggota ataupun kerjasama dengan KSM/lembaga lain, (5) belum ada proses pembelajaran pada kedua KSM, (6) pengelolaan dana kelompok pada KSM Teratai belum optimal. Analisis permasalahan di tingkat individu kedua KSM meliputi: (1) kemampuan manajemen usaha anggota kedua KSM masih lemah, (2) motivasi untuk meningkatka usaha pada anggota kedua KSM masih lemah, (3) masalah permodalan menjadi kendala utama bagi anggota kedua KSM
untuk
meningkatkan skala usaha, dan (4) sebagian besar anggota KSM Teratai mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil kerajinan yang dikarenakan rendahnya kualitas produksi dan semakin banyaknya saingan dan keterampilan yang dimiliki masih terbatas pada satu jenis kerajinan.
109
BAB VII PROGRAM PENGEMBANGAN KAPASITAS KELEMBAGAAN KSM 7.1.
Latar Belakang Penyusunan kelembagaan KSM
Program
Sebagaimana telah dikemukakan
Pengembangan
Kapasitas
bahwa KSM (Kelompok Swadaya
Masyarakat) yang menjadi subjek kajian ini belum berfungsi seperti yang diharapkan dalam meningkatkan usaha ekonomi produktif para anggotanya. Hal ini dikarenakan fungsi KSM masih sekedar sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman dari P2KP Proyek Penanggulangan Kemisikinan Perkotaan). Disamping itu, para anggota juga belum menyadari akan potensi KSM yang mereka bentuk, kecuali sebagai sarana untuk dapat menambah modal usaha. Secara konseptual KSM memiliki berbagai fungsi, antara lain sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan,
sarana untuk menjalin
kerjasama baik dengan sesama anggota KSM maupun dengan KSM lain, kerjasama dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah, dan menumbuhkan keswadayaan dalam pengadaan modal usaha. Bila fungsi KSM tersebut dapat berjalan, maka diharapkan dapat membantu me ningkatkan usaha para anggota yang tergabung di dalamnya. Namun pada kenyataannya, KSM belum berfungsi seperti yang diharapkan Menurut Ismawan dan Kartjono (dalam Mubyarto, 1985:7)
KSM yang
mandiri adalah kelompok yang memiliki kemampuan-kemampuan: (1) me ngetahui masalah yang dihadapi, (2) mengetahui potensi yang dimiliki, (3) mengetahui kekuatan dan kelemahan kelompok, (4) mampu memecahkan masalah, (5) mampu menangkap kesempatan, (6) melakukan proses pendidikan/keterampilan melalui kelompok, (7) melakukan pemupukan modal swadaya, (8) melakukan usaha produktif, dan (9) mampu mengelola proyek stimulan. Kemandirian KSM dapat dicapai antara lain melalui program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM yang melibatkan berbagai pihak seperti anggota KSM, fasilitator, para pengurus BKM, lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah serta sektor swasta. Tanpa keterlibatan mereka pengembangan kapasitas
110
kelembagaan
KSM
mustahil
dilakukan.
Hal
yang
perlu
diingat
dalam
pengembangan kapasitas kelembagaan KSM adalah kesabaran karena hasilnya tidak segera kelihatan. Hal ini disebabkan dalam pengembangan kapasitas kelembagaan KSM lebih banyak terjadi proses belajar yang bertujuan untuk meningkatkan sumber daya kelompok dan sumber SDM anggota kelompok. Dalam proses belajar ter sebut banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kesiapan dan kemampuan anggota dalam menerima keterampilan dan pengetahuan, kemampuan pemberi materi dalam menyampaikan informasi, dan motivasi anggota kelompok untuk meningkatkan kapasitas diri dan kelompoknya, dan kesabaran fasilitator yang melakukan pendampingan. Disamping itu, program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM masyarakat
Desa
ibarat memperkenalkan budaya baru bagi
Wonokromo.
Hal
ini
mengingat
bahwa
KSM
yang
mengkhususkan diri dalam kegiatan ekonomi ini, merupakan hal yang relatif baru bagi masyarakat Desa Wonokromo dan bukan merupakan kelompok yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat seperti halnya kelompok ronda, kelompok pengajian dan sebagainya. Sebagaimana telah disebutkan pada Bab 3, bahwa pengembangan kapasitas kelembagaan
meliputi beberapa aspek, yaitu tujuan dan harapan
kelompok, struktur kelompok, manajemen kelompok, manajemen keuangan kelompok, norma kelompok, pembelajaran dan kerjasama serta pengadaan fasilitas kelompok.
Karena aspek yang akan disentuh dalam program pengembangan
kapasitas kelembagaan kelembagaan cukup banyak, maka perlu dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan para anggota KSM yang terlibat didalamnya. 7.2. Proses Penyusunan Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM secara Partisipatif Penyusunan
program
pengembangan
kapasitas
kelembagaan
KSM
dilakukan bersama-sama dengan anggota kedua KSM yang menjadi subjek kajian dengan melakukan diskusi kelompok terfokus (FGD). Sebelum dilakukan FGD, dilakukan wawancara mendalam terlebih dahulu dengan pengurus kelompok yang bertujuan untuk meminta persetujuan dilakukan FGD dan memperoleh informasi tentang kapasitas kelembagaan KSM yang dilihat dari delapan aspek. Kemudian
111
hasil wawancara tersebut dikonfirmasikan kepada seluruh anggota KSM dalam FGD berikutnya. FGD dilakukan dua kali tiap kelompok. Diskusi pertama bertujuan untuk mengetahui kapasitas kelembagaan KSM dan
mengenali permasalahan yang
dihadapi para anggota kelompok, baik yang menyangku t permasalahan kelompok sebagai sebuah lembaga, maupun permasalahan yang dihadapi anggota yang berkaitan dengan usaha mereka. Setelah diskusi pertama, dilakukan wawancara mendalam
kepada
beberapa
anggota
KSM
untuk
menggali
lebih
dalam
permasalahan yang di hadapi kelompok baik di tingkat kelompok maupun individu. Diskusi kedua bertujuan untuk merumuskan rencana program sebagai upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi KSM baik di tingkat individu maupun di tingkat kelompok. Pada disukusi kedua disampaikan terlebih dahulu hasil diskusi pertama dan wawancara mendalam yang bertujuan untuk klarifikasi. Setelah itu setiap anggota KSM diberi kesempatan mengemukakan pendapat dalam upaya mengatasi permasalahan yang ada. Pendapat yang dikemukakan para anggota kelompok
kemudian
diinventaris
dan
menjadi
bahan
rencana
program
pengembangan kapasitas kelembagaan KSM. Proses penyusunan program dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
112
Gambar 3: Bagan Alir Proses Penyusunan Program Pengembangan Kapasita s kelembagaan KSM secara Partisipatif pada Kelompok Maju Lancar dan Teratai
Wawancara mendalam dengan pengurus KSM Maju Lancar dan KSM Teratai
Diskusi I dengan KSM Teratai
Diskusi I dengan KSM Maju Lancar
Hasil: Kapasitas KSM Teratai, permasalahan di tingkat kelompok dan individu
Hasil: Kapasitas KSM Maju Lancar, permasalahan di tingkat kelompok dan individu
Wawancara mendalam dengan beberapa anggota KSM
Wawancara mendalam dengan beberapa anggota KSM
Diskusi II dengan KSM Teratai
Diskusi II dengan KSM Maju Lancar
Hasil diskusi I dan wawancara disampaikan kepada anggota KSM Bersama anggota KSM mencari solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada
Hasil diskusi I dan wawancara disampaikan kepada anggota KSM Bersama anggota KSM mencari solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada
Prgram Pengembangan Kapasitas KelembagaanKSM
Evaluasi/monitoring program secara partisipatif
Program Pengembangan Kapasitas Kelembagaan KSM di Masa Depan
113
7.3.
Berbagai Kegiatan kelembagaan KSM
dalam
Program
Pengembangan
Kapasitas
Penyusunan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM yang dilakukan bersama-sama dengan anggota kelompok kedua KSM menghasilkan beberapa kegiatan. Beberapa kegiatan dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM Maju Lancar
meliputi: (1) perumusan tujuan dan harapan
kelompok, (2) pembentukan norma kelompok dan pembentukan komitimen untuk mematuhi norma, (3) pelatihan kewirausahaan, (4) pembentukan kerjasama antar anggota kelompok, (5) pembentukan jejaring KSM/lembaga lain,
(6) membantu
anggota KSM menambah modal usaha. Adapun kegiatan yang ada dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM Teratai meliputi: (1) perumusan tujuan dan harapan kelompok, (2) pembentukan norma kelompok, (3) mengadakan pertemuan rutin, (4) pendampingan pengelolaan dana kelompok, (5) pembentukan kerjasama antar anggota KSM, (7) pembentukan kerjasama dengan KSM/lembaga lain, (8) pendampingan pemasaran hasil kerajinan dan peningkatan kualitas produk (9) pendampingan mencari tambahan modal usaha, (10) pelatihan keterampilan industri rumah tangga, dan (11) pelatihan kewirausahaan. Perumusan tujuan dan harapan kelompok merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat tujuan dan harapan kelompok akan menentukan ke arah mana tujuan KSM. Bila tujuan dan harapan KSM sudah terbentuk maka KSM akan memiliki arah dan tujuan yang hendak dicapai. Pembentukan tujuan dan harapan kelompok hendaknya dapat mengakomodasi kepentingan seluruh anggota kelompok. Perumusan tujuan dan harapan kelompok dapat dilakukan oleh seluruh anggota kelompok yang didampingi oleh fasilitator. Perumusan tujuan dan harapan kelompok perlu dilakukan baik oleh KSM Teratai maupun KSM Maju Lancar karena tujuan dan harapan kedua KSM baru terbatas menginginkan pinjaman dari P2KP. Pembentukan norma kelompok perlu dilakukan perlu dilakukan oleh kedua KSM karena kedua kelompok tersebut belum memiliki norma tertulis. Bila sudah ada norma tertulis dan sanksi-sanksi sudah ditetapkan, maka norma tersebut akan cenderung dipatuhi oleh para anggotanya. Tujuan pembentukan norma kelompok
114
adalah mengatur kehidupan berkelompok dalam rangka mencapai tujuan kelompok yang telah ditetapkan dalam perumusan tujuan dan harapan kelompok. Pendampingan dalam mengelola dana kelompok perlu dilakukan terhadap KSM Teratai karena dana kelompok yang ada (meskipun jumlahnya masih sedikit) belum dikelola secara optimal untuk kepentingan kelompok. Bila kelompok dapat mengelola dana kelompok dengan baik diharapkan KSM dapat mandiri dalam memperoleh modal usaha dan tidak tergantung dari program pemerintah. Pendampingan pengelolaan dana kelompok ini dapat dilakukan oleh BKM yang selama ini telah berhasil mengelola dana BLM, Peguruan Tinggi ataupun instansi pemerintah. Mengadakan pertemuan
rutin perlu dilakukan oleh KSM Teratai, karena
kelompok ini sama sekali belum pernah mengadakan pertemuan rutin. Pertemuan rutin perlu dilakukan untuk menjalin komunikasi yang intensif antar anggota kelompok dan meningkatkan kohesifitas kelompok serta sebagai sarana untuk berbagi masalah. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan memberikan penyadaran kepada setiap anggota kelompok tentang pentingnya pertemuan rutin yang dapat dilakukan oleh seorang fasilitator. Pelatihan kewirausahaan sangat perlu dilakukan mengingat kemampuan manajemen dan kemampuan para anggota KSM yang masih rendah. Keterampilan dan pengatahuan tentang kewirausahaan diharapkan dapat membangkitkan motivasi dan kemampuan manajemen serta kemampuan untuk memasarkan produk yang dihasilkan. Sehingga pada akhirnya anggota KSM dalam meningkatkan usahanya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan. Pelatihan ini dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan BKM, praktisi bisnis/sektor swasta, dan Perguruan Tinggi. Adapun dana dapat berasal dari swadaya anggota KSM, dana kelompok ataupun BKM. Pembentukan kerjasama dan jejaring perlu dilakukan oleh kedua KSM mengingat selama ini belum ada kerjasama yang terjalin, baik antar sesama anggota KSM
maupun dengan KSM/lembaga lain yang dapat mempermudah
dalam hal pemasaran, memperoleh bahan baku, ataupun memperoleh pengetahuan
115
dan keterampilan. Sebelum dilakukan kerjasama dengan “pihak luar”, sebaiknya antar anggota kelompok menjalin kerjasama terlebih dulu, baik dalam hal memperoleh bahan baku, pemasaran produk, ataupun dalam hal memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat untuk meningkatkan usaha. Hal ini dimungkinkan karena setiap anggota KSM pasti mempunyai informasi, keterampilan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi anggota yang lain. Misalnya, salah seorang anggota KSM yang memiliki keterampilan membuat kue kering dapat menularkan keterampilannya tersebut pada anggota yang lain. Hal ini bisa dilakukan melalui komunikasi yang itensif dalam pertemuan kelompok. Untuk KSM Teratai yang belum mengadakan pertemuan rutin, sebelum menjalin kerjasama antar anggota seharusnya diadakan pertemuan rutin kelompok terlebih dahulu, karena selama ini belum ada. Kerjasama dengan KSM lain, BKM, Perguruan Tinggi, Instansi pemerintah, dan LSM juga perlu dilakukan untuk berbagai
kepentingan
seperti
memperoleh
keterampilan
dan
pengetahuan,
memperluas pemasaran, dan memperoleh pendampingan dalam meningkatkan usaha. Kerjasama ini dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas dan tidak/kurang membutuhkan dana. Yang diperlukan dalam hal ini adalah kemampuan untuk menjalin komunikasi dengan berbagai pihak tersebut yang dapat didampingi oleh seorang fasilitator Pelatihan keterampilan industri rumah tangga perlu dilakukan terhadap KSM Teratai mengingat masih ada anggota KSM yang merasa belum mantap dengan usaha yang dijalankannya dikarenakan rendahnya permintaaan terhadap produksi yang
dihasilkan,
kesulitan
pemasaran
dan
semakin
banyaknya
saingan.
Penambahan keterampilan industri rumah tangga diharapkan dapat menjadi alternatif dalam menambah pendapatan disamping usaha yang telah dimiliki. Pelatihan ini dapat diberikan oleh LSM, Lembaga Pengabdian Masyarakat yang berasal dari Perguruan Tinggi ataupun instansi pemerintah yang memiliki kewenangan dalam bidang tersebut. Dana pelatihan ini dapat berasal dari KSM, BKM, Perguruan Tinggi, dan instansi pemerintah. Dana dari di Perguruan Tinggi biasanya tidak berupa uang, melainkan berupa pemberian keterampilan yang dikoordinir oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat yang ada di setiap Perguruan Tinggi. Sementara peran dari instansi pemerintah dapat berupa pemberian
116
keterampilan yang biasanya di lakukan oleh Dinas Pertanian dan Dinas Perindagkop (Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi). Pendampingan untuk memperoleh tambahan modal usaha perlu dilakukan terhadap KSM Maju lancar dan KSM Teratai, karena sebagian besar anggota kedua KSM tersebut merasakan bahwa pinjaman dari P2KP masih kurang. Pendampingan dapat dilakukan dengan membantu anggota KSM untuk dapat memiliki akses ke perbankan
karena
bagi
sebagian
besar
anggota
KSM,
dunia
perbankan
dipersepsikan sebagai sesuatu yang sulit untuk dijangkau. Pendampingan untuk memasarkan hasil kerajinan dan peningkatan kualitas produk perlu dilakukan terhadap KSM Teratai. Hal ini perlu dilakukan mengingat anggota kelompok yang memiliki usaha kerajian peci rajut sulit memasarkan hasil produknya dikarenakan semakin banyak saingan dan kualitas produk yang dihasilkan masih rendah. Peningkatan kualitas hasil kerajianan perlu dilakukan terlebih dulu sebelum dilakukan upaya memperluas pemasaran.
Hal ini bisa
dilakukan oleh seorang fasi litator yang mengetahui tentang informasi pasar bagi hasil kerajinan peci rajut pemasaran dan bekerjasama dengan KSM lain yang memiliki anggota dengan jenis usaha serupa. Berikut ini akan disajikan tabel tentang rencana program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM yang menjadi subjek kajian:
117
BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1.
Kesimpulan
1. Peta Sosial Desa Wonokromo Permasalahan utama yang ada di Desa Wonokromo adalah kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan terjadi pada hampir 20 persen Kepala Keluarga dari 3895 KK yang ada. Sementara angka reit pengangguran mencapai 28,06 persen dari 6742 orang penduduk usia kerja. Kemiskinan dan pengangguran tersebut antara lain disebabkan oleh
semakin sempitnya kepemilikan lahan
pertanian dan langkanya lapangan pekerjaan di Desa Wonokromo. Di samping itu kesulitan untuk memperoleh modal yang cukup untuk menambah modal juga dialami oleh mereka yang bergerak dalam sektor perdagangan dan industri rumah tangga. Di samping faktor struktural (sempitnya lahan pertanian dan sulitnya mencari pekerjaan), kemiskinan di Desa Wonokromo juga disebabkan oleh faktor kultural. Faktor kultural yang paling dominan adalah kurangnya motivasi masyarakat untuk meningkatkan tingkat pendapatan. Hal ini dikarenakan adanya semboyan hidup nrimo ing pandum
(merasa puas dengan apa yang sudah
dimiliki) yang dimiliki sebagian besar masyarakat Desa Wonokromo. Disamping itu kemampuan manajemen yang rendah dalam menjalankan usaha juga menjadi kendala untuk meningkatkan skala usaha bagi mereka yang bergerak di sektor perdagangan dan industri rumah tangga. Masyarakat Desa Wonokromo masih menjalankan tradisi yang diturunkan secara turun temurun seperti upacara adat Rebo Pungkasan dan berbagai macam upacara selamatan. Kelompok yang ada di Desa Wonokromo sebagian besar mempunyai tujuan sosial dan keagamaan seperti kelompok ronda, kelompok dasa wisma, kelompok yasinan, kelompok pengajian dan sebagainya. Sementara kelompok yang mempunyai tujuan ekonomi (Kelompok Swadaya Masyarakat) merupakan hal yang relatif baru bagi masyarakat Desa Wonokromo dan motivasi pembentukannya masih sekedar ingin memperoleh pinjaman dari P2KP.
125
2. Tinjauan terhadap P2KP Desa Wonokromo Kecamatan
Pleret
yang
merupakan salah satu desa dari dua desa di menjadi
lokasi
pelaksanaan
program
P2KP.
Pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo yang dimulai pada awal tahun 2000 boleh dikatakan berhasil bila dilihat dari sedikitnya kredit macet dan pinjaman yang diberikan dapat dijadikan tambahan modal usaha bagi mereka yang memiliki usaha ekonomi produktif, khususnya mereka yang bergerak dalam perdagangan dan usaha ekonomi produktif. Disamping itu jumlah dana (sebesar 195 juta rupiah) yang dipinjamkan kepada KSM telah berkembang hampir mencapai 200 persen dan sebagian keuntungan dari bunga yang diperoleh digunakan untuk memberi beasiswa murid SD dan merenovasi kantor BKM dan gedung perpustakaan desa. Disamping keberhasilan, pelaksanaan P2KP di Desa Wonokromo juga mengandung beberapa kelemahan. Pembentukan KSM yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi para anggotanya untuk saling bekerjasama dalam meningkatkan
usaha
ternyata
hanya
berfungsi
sebagai
sarana
untuk
memperoleh pinjaman dari P2KP dan kerjasama diantara anggota KSM belum terjalin. Tujuan pembentukan KSM yang sangat ideal secara konseptual ternyata belum dapat terwujud. Program P2KP yang berupa pemberian dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) ternyata hanya dapat menyentuh aspek struktural dari akar penyebab dari kemiskinan. Aspek kultural seperti rendahnya etos kerja, rendahnya SDM, sikap tergantung dan kurangnya kemampuan mengelola usaha belum tersentuh dalam program P2KP. Hal ini mengakibatkan pinjaman yang diterima oleh anggota KSM belum dapat dikelola secara optimal, sehingga belum dapat meningkatkan skala usaha. 3. Profil dan Kapasitas kelembagaan Kelompok Swadaya Masyarakat KSM yang ada di Desa Wonokromo masih terbatas fungsinya sebagai sarana untuk memperoleh pinjaman dari P2KP, padahal secara konseptual KSM mempunyai fungsi yang sangat luas, diantaranya adalah sebagai sarana untuk tukar menukar informasi, keterampilan dan pengetahuan, menjalin kerja sama
126
dalam menjalankan usaha dan sebagainya. Hanya ada satu KSM di Desa Wonokromo yang mengadakan pertemuan rutin, yaitu KSM Maju lancar yang ada di Dusun Ketonggo dan menjadi subjek kajian ini. Namun demikian pertemuan rutin tersebut masih terbatas untuk mengumpulkan angsuran pinjaman dan dilanjutkan dengan pengajian. Analisis terhadap kapasitas kelembagaan meliputi delapan aspek, yaitu tujuan dan harapan kelompok, struktur kelompok, norma kelompok, manajemen kelompok,
manajemen
keuangan,
kerjasama/jejaring,
dan
pengadaan
fasilitas/sarana kelompok. Sementara analisis terhadap kekompakan kelompok meliputi kepemimpinan, keanggotaan, nilai dari tujuan kelompok, homogenitas kelompok, integrasi, kerjasama dan besar kelompok. Hasil analisis ka pasitas kelembagaan KSM dan analisis kekompakan kelompok secara rinci dapat dilihat pada Tabel 13 dan Tabel 15. 4. Program Pengembangan Kapasitas kelembagaan KSM Program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi KSM, baik di tingkat kelompok maupun ditingkat
individu
kelembagaan menghasilkan
anggota
KSM
kelompok.
disusun
beberapa
Program
bersama-sama
kegiatan
yang
pengembangan
dengan diharapkan
anggota dapat
kapasitas KSM
dan
mengatasi
permasalahan yang ada. Program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM Maju Lancar meliputi beberapa kegiatan, yaitu: (1) perumusan tujuan dan harapan kelompok, (2) pembentukan norma tertulis dan pembentukan komitmen untuk mematuhi norma,
(3)
kerjasama
peningkatan antar
anggota
kemampuan KSM,
(4)
kewirausahaan, menjalin
(4)
pembentukan
kerjasama/jejaring
dengan
KSM/lembaga lain, (5) dan pendampingan untuk memperoleh modal usaha. Program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM Teratai meliputi beberapa kegiatan, yaitu: (1) perumusan tujuan dan harapan kelompok bagi KSM MAju LAncar dan KSM Teratai , (2) mengadakan pertemuan rutin kelompok bagi KSM MAju LAncar, (3) pembentukan norma tertulis dan pembentukan komitmen untuk mematuhinya KSM Maju Lancar dan Teratai, (4) peningkatan kemampuan
127
manajemen keuangan kelompok bagi KSM Teratai, (5) peningkatan kemampuan kewirausahaan bagi KSM MAju Lancar dan Teratai, (6) pembentukan kerjasama antar anggota bagi KSM MAju Lancar dan Teratai , (7) pembentukan kerjasama/jejaring dengan KSM/lembaga lain bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai, (8) pelatihan keterampilan industri rumah tangga bagi KSM Teratai, (9) pendampingan dalam meningkatkan kualitas hasil kerajinan bai KSM Teratai, (10) pendampingan dalam memasarkan produk kerajinan bagi KSM Teratai, dan (11) pendampingan untuk memperoleh tambahan modal usaha bagi KSM Maju Lancar dan KSM Teratai. Secara rinci, kegiatan yang ada dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan kedua KSM dapat dilihat pada Tabel 19. 8.2.
Rekomendasi Kebijakan Program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM yang telah
disusun tidak akan memberi manfaat apapun bila tidak ada keinginan dan motivasi yang kuat dari anggota KSM dan pihak-pihak yang terkait untuk melaksanakan program tersebut. Rekomendasi yang dapat diberikan kepada berbagai pihak terkait dengan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM adalah: 1. Pemerintah Desa Wonokromo Peran Pemerintah Desa dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM adalah membentuk forum KSM di tingkat desa. Otoritas Pemerintah Desa akan sangat mendukung terbentuknya forum KSM. Adanya forum KSM tingkat desa akan sangat mendukung terjalinnya kerjasama/jejaring antar KSM yang akan membantu para anggota KSM dalam usaha meningkatkan skala usaha seperti meningkatkan kualitas pro duksi, menambah pengetahuan dan keterampilan, memperluas pemasaran, memudahkan mencari bahan baku dan tambahan modal dan sebagainya. 2. BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) Desa Wonokromo Peran BKM sangat diharapkan dalam setiap kegiatan yang ada dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM. Otoritas BKM akan sangat berpengaruh dalam pelakasanaan kegiatan program pengembangan
128
kapasitas kelembagaan KSM. Himbauan BKM kepada KSM yang menjadi subjek kajian sangat diharapkan agar KSM bersedia melaksanakan program yang telah disusun. Kerjasama dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM seperti Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul, Perguruan Tinggi, Lembaga Pendidikan, sektor swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat perlu dilakukan oleh BKM dalam mendukung terlaksananya program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM. BKM juga diharapkan perannya dalam membentuk forum KSM tingkat desa, karena BKM yang senantiasa berkomunikasi secara intensif dengan KSM yang ada di Desa Wonokromo. 3. Fasilitator Kelurahan Fasilitator Kelurahan sangat diharapkan perannya dalam setiap kegiatan yang ada dalam progarm pengembangan kapasitas kelembagaan KSM. Peran Fasilitator
adalah
sebadai
pendamping
dalam
pelaksanaan
program
pengembangan kapasitas kelembagaan KSM, misalnya dalam merumuskan harapan dan tujuan kelompok, merumuskan norma kelompok, mencari akses ke perbankan, menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi, LSM, dan sektor swasta, dan sebagainya. Peran fasilitator akan semakin berkurang ketika KSM sudah dapat mandiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi baik di tingkat kelompok maupun di tingkat individu anggota kelompok. 4. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi diharapkan perannya sebagai pendukung kegiatan dalam program pengembangan kapsitas KSM,
yaitu
menyediakan
tenaga
fasilitator
untuk
mendampingi
dalam
pelaksanaan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM. Selain itu, LSM dan Perguruan Tinggi diharapkan dapat memberikan bantuan dana dalam pelaksanaan program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM, memberi pelatihan keterampilan, mendampingi anggota KSM dalam memperoleh akses ke perbankan, membantu memasarkan hasil kerajinan dan sebagainya.
129
5. Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi diharapkan perannya dalam program pengembangan kapasitas kelembagaan KSM dalam kegiatan pendampingan pemasaran hasil kerajinan dan meningkatkan kualitas hasil kerajinan bagi angota KSM Teratai. Sementara
Dinas
Tenaga
Kerja
diharapkan
perannya
dalam
memberi
keterampilan industri rumah tangga kepada anggota KSM Teratai. 6. Pekerja Sosial Pekerja
sosial
merupakan
profesi
pertolongan
kemanusiaan
yang
bertujuan untu k membantu individu, keluarga, kelompok dan masyarakat agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai dengan peranannya. Seorang pekerja sosial diharapkan dapat berperan sebagai fasilitator dan membantu mendampingi KSM melaksanakan setiap kegiatan dalam program pengembangan
kapasitas
diharapkan dapat
kelembagaan
KSM.
Seorang
pekerja
sosial
membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi
anggota KSM baik di tingka kelompok maupun di tingkat individu.
130
LAMPIRAN KASUS KASUS I Hasil wawancara dengan Ibu Wkn (61 tahun) salah satu anggota KSM Maju Lancar I pada tanggal 25 Juli 2005 Ketika penulis datang pada sore hari, Bu Wkn (begitu para tetangganya memanggil) sedang mempersiapkan bahan masakan dagangan un tuk dijual besok pagi. Rumahnya yang sempit dan ditinggali dengan dua orang anak, satu menantu dan lima orang cucu nampak berantakan dan tidak tertata. Beberapa cucunya sedang makan nasi bungkus sambil duduk di lantai, sementara menantunya sedang menggendong anaknya yang berusia lima bulan. Bu Wkn dengan ramah mempersilakan penulis untuk masuk dan duduk di seperangkat sofa sederhana yang sudah tua. Ia kemudian bercerita dengan panjang lebar tentang perjalanan hidupnya, anak-anaknya dan kehidupan sehari-harinya. Ia masih nampak sehat dan ceria meski penglihatannya sudah agak rabun. Bu Wkn sudah ditinggal mati suaminya sejak dua puluh empat tahun yang lalu dengan tujuh orang anak yang masih kecil- kecil dan anak yang paling bungsu masih menyusu. Sejak suaminya masih hidup, ia sudah terbiasa berjualan makanan di kantin sekolah sehingga ia masih bisa menghidupi ketujuh orang anak-anaknya meski suaminya sudah meniggal. Namun demikian,ketika anak-anaknya beranjak besar dan membutuhkan biaya untuk sekolah, Bu Walkin terpaksa menjual sebagian rumah peninggalan suaminya dengan terlebih dulu meminta pertimbangan kepada seorang kyai tempatnya mengaji. Kini anakanaknya sudah dewasa dan bekerja semua, dan tinggal satu orang yang belum menikah. Anak-anaknya tidak memperbolehkan lagi untuk berjualan di sekolah. Namun demikian Bu Wkn tidak ingin menggantungkan hidupnya dari pemberian anak-anaknya dan tetap mencari uang dengan berjualan makanan/gorengan seperti pisang goreng, tahu susur, bakwan dan sebagainya. Setiap hari Bu Wkn bangun jam empat pagi untuk bersiap-siap memasak makanan gorengan untuk disetorkan ke warung-warung dan kantin sekolah. Ada lima warung yang menjadi langganannya. Jam tujuh pagi dagangan sudah siap diantar ke warung-warung langganan. Ia memasak dan men gantar dagangan dengan dibantu menantu perempuannya. Jam satu siang ia mengambil uang dari para langganan dan sisa dagangan kalau ada. Uang tersebut kemudian ia belanjakan bahan-bahan untuk jualan besok pagi. Begitu kehidupan sehari-hari Bu Walkin. Dalam memasarkan dagangannya ia tidak mengalami masalah karena semua langganannya membayar secara tunai. Untuk berbelanja bahan-bahan makanan gorengan ia membutuhkan modal sekitar lima puluh ribu rupiah untuk membeli minyak, terigu, bahan bakar kayu, tahu, pisang dan sebagainya. Dalam sehari ia dapat mengantongi keuntungan sekitar sepuluh hingga dua puluh ribu rupiah (tergantung habis tidaknya dagangan). Dengan uang tersebut ia dapat membeli satu kilogram beras, sayur dan lauk. Ia juga dapat memberi uang saku kepada cucunya. Penghasilannya tersebut banyak untuk membantu penghidupan anaknya yang bekerja sebagai tukang becak dengan pendapatan yang tidak pasti. Pengeluarannya semakin banyak ketika bulan-bulan musim hajatan seperti sekarang ini. Dalam seminggu ia dapat “menyumbang” tiga hingga empat kali dengan jumlah dua puluh ribu
134
sampai empat puluh ribu rupiah (tergantung dekatnya hubungan dengan yang punya hajatan). Seperti yang dituturkan Bu Walkin berikut ini: “Bathi kulo saking sadeyan gorengan saget kulo nggih tumbas wos lan ubo rampe nipun, nyangoni putu-putu kulo, lan nyumbang menawi wonten tanggi engkang kagungan damel. Kados sasi niki, seminggu saget nyumbang tiyang sekawan. Sakjatose kulo nggih kawraten menawi kedah nyumbang, nanging dos pundi malih, sampun dados adatipun tiyang mriki”. (Keuntungan yang saya peroleh dari jualan gorengan dapat saya gunakan untuk membeli beras beserta sayur dan lauk, memberi uang saku cucu-cucu saya dan menyumbang tetangga yang punya hajat. Seperti bulan ini, dalam seminggu dapat menyumbang empat orang. Sebenarnya saya keberatan jika harus menyumbang, tetapi bagaimana lagi, sudah menjadi kebiasaan orang sini) Bu Wkn mendapat informasi tentang pinjaman P2KP dari tetangganya yang bernama Pak Jwn. Sebelum ada pinjaman dari P2KP ia sering meminjam pada rentenir yang bunganya sangat tinggi meskipun cicilannya harian. Sudah empat kali Bu Wkn memperoleh pinjaman dan pinjaman terakhir sebesar Rp 750.000,- ia gunakan untuk membuat WC di rumah peninggalan suaminya yang akan dikontrakkan. Bu Wkn merasa sangat terbantu dengan adanya pinjaman P2KP, karena kalau harus meminjam ke bank repot karena harus ada jaminan dan ia tidak mengetahui bagaimana caranya. Sementara kalau harus pinjam ke rentenir bunganya sangat tinggi. Seperti yang ia katakan berikut ini: “Kulo rumaos remen wonten potangan saking P2KP,amargi bunganipun sekedik mboten kados rentenir. Menawi pados potangan wonten bank rebyek sanget, kedah wonten jaminan menopo. Utang kulo terakhir kulo nggih damel WC wonten griyo tilaran batih kulo ingkang badhe kulo kontrakaken”. (Saya merasa senang ada pinjaman dari P2KP, karena bunganya sedikit, tidak seperti rentenir. Kalau harus meminjam ke bank repot, harus pakai jaminan. Pinjaman terakhir saya gunakan untuk membuat WC di rumah peninggalan suami saya yang akan dikontrakkan). Bu Wkn yang tidak tamat SD ini merasa bahwa keuntungan yang ia peroleh dari jualan gorengan memang hanya pas untuk hidup, namun ia tidak mempunyai alternatif lain untuk menambah penghasilan karena tidak memiliki ketrampilan lain selain membuat gorengan. Seperti yang ia tuturkan berikut ini: “Saget kulo namung ndamel gorengan. Sakjatose kulo pengin saget nambah penghasilan, nanging kulo mboten gadah ketrampilan sanesipun. Bathi kulo saking sadeyan gorengan namung pas kagem blonjo sakbendinanipun”. (Kemampuan saya hanya membuat gorengan. Sebenarnya saya ingin dapat menambah penghasilan, tetapi saya tidak mempunyai ketrampilan yang lain. Keuntungan dari jualan gorengan hanya bisa untuk belanja sehari-hari)
135
KASUS 2 Hasil wawancara dengan Bu Rbd (45 tahun) salah satu anggota KSM Maju Lancar pada tanggal 2 Agustus 2005. Sore ini Bu Rbd sedang membersihkan rumah ketika penulis datang ke rumahnya. Rumah bagian yang hanya terdiri satu pintu dan satu jendela dan tidak menyerupai warung tersebut digunakan untuk berjualan sembako dan minyak tanah. Rumah tersebut merupakan warisan dari orang tuanya yang dibagi dua dengan kakaknya. Dagangannya tidak tertata rapi dan nampak berantakan. Meskipun jenis dagangannya bermacam-macam, namun jumlahnya sedikit sehingga nampak beberapa bagian yang kosong. Sambil sesekali melayani pembeli, Bu Rubidah berbincang-bincang secara panjang lebar dengan penulis. Bu Rbd yang seorang sarjana sastra sejarah UGM ini berjualan sembako sudah sejak lima tahun yang lalu. Sebelumnya ia berjualan nasi dan sayur meneruskan warung nasi ibunya. Karena merasa terlalu capai memasak, ia kemudian berhenti berjualan nasi, meskipun keuntungannya lumayan. Ia mengaku beberapa tahun terakhir ini ia mudah capai dan tidak seperti dulu lagi. Tiga hari sekali Bu Rbd berbelanja dagangan ke pasar yang tidak jauh dari rumahnya. Dalam sehari ia bisa menjual dagangan sejumlah seratus hingga dua ratus ribu rupiah, dengan keuntungan dari sepuluh hingga lima belas persen, kecuali untuk minyak tanah bisa untung dua puluh lima persen. Seperti yang dituturkan oleh Bu Rbd berikut ini: “Kulo menawi mendhet bathi mboten kathah-kathah, mboten sekeco, amargi ingkang blonjo namung tanggi -tanggi piyambak. Kejawi lisah troli, bathinipun lumayan, seliteripun saget bathi tingangatus rupiah”. (saya kalau mengambil untung tidak banyak, nggak enak, karena yang belanja para tetangga. Kecuali untuk minyak tanah, untungnya lumayan, satu liternya bisa untung tiga ratus rupiah). “Kulo susah menawi wonten ingkang utang amargi bathinipun naumung sekedhik, nanging kulo mboten mentolo, amargi kaleh tanggi piyambak. Sakniki warung-warung sampun kathah, nanging tanggi -tanggi remen blonjo wonten mriki, amargi saget pun utang. Menawi wonten ingkang mbeler menawi pun tagih, mboten kulo utangi malih”. (Saya susah kalau ada yang hutang karena untungnya sedikit, tetapi saya tidak tega karena sama tetangga sendiri. Sekarang warung-warung sudah banyak, tetapi para tetangga senang berbelanja ke sini karena boleh hutang. Tetapi kalau ada yang susah ditagih, tidak saya perbolehkan hutang) Khusus untuk dagangan beras dan telur, tidak memerlukan modal karena sudah ada yang menyetorkan dan tidak perlu membayar dulu sampai dagangan laku. Kedua jenis dagangan ini yang paling banyak laku. Kendala yang dihadapi Bu Rbd adalah kurangnya modal usaha dan semakin banyaknya saingan. Kebutuhan dua orang anaknya yang duduk di bangku SMP cukup besar dan mereka tidak mau diajak berhemat dengan makan seadanya. Sehingga modal usaha banyak berkurang untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah. Bu Rbd sudah menjanda sejak sebelas tahun yang lalu ketika anak tunggalnya baru berumur dua tahun. Saat ini ia menghidupi tiga orang yaitu
136
seorang kakak perempuannya yang sakit ingatan dan selalu men gurung diri di kamar, seorang anak tiri dan anak tunggalnya. Untuk membiayai sekolah anakanaknya ia sering mendapat bantuan dari saudara-saudara suaminya yang berhasil secara ekonomi. Bu Rbd seperti menyesali nasibnya yang tidak memiliki pekerjaan tetap/pegawai seperti teman-teman kuliahnya dulu. Ia bercerita bahwa sewaktu lulus kuliah dulu pernah ditawari pekerjaan sebagai dosen di luar Jawa, tetapi ia tidak mau dan keburu menikah. Ia sering diolok-olok oleh anak perempuan tunggalnya karena tidak bekerja padahal seorang sarjana. Anak tunggalnya berniat ingin kuliah dan bekerja sementara anak tirinya ingin melanjutkan ke STM dan bekerja. Namun Bu Rbd merasa ragu apakah bisa membiayai kuliah anaknya, karena penghasilannya hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Ia sebenarnya tidak ingin menggantungkan diri pada bantuan saudara-saudara suami. Bu Rbd sudah meminjam dana P2KP sebanyak tiga kali, yaitu 500.000 sebanyak dua kali dan pinjaman terakhir sebesar satu juta rupiah yang digunakan untuk menambah modal warungnya. Ia tidak berani meminjam modal terlalu banyak karena takut tidak bisa membayar. Seperti penuturannya berikut ini: “Kulo mlebet KSM Maju Lancar amargi pengin pikantuk utangan saking P2KP. Kulo mboten wantun mendet utang kathah-kathah amargi ajrih menawi mboten saget nyarutang” (Saya masuk KSM Maju Lancar karena ingin mendapat pinjaman dari P2KP. Saya nggak berani mengambil pinjaman banyak, karena takut tidak bisa mengangsur) Sebenarnya Bu Rbd ingin mempunyai ketrampilan yang dapat digunakan untu k menambah penghasilan, mengingat semakin banyaknya warung dan pasar swalayan yang menjual dengan harga jauh lebih murah. Apalagi ada pasar Desa Wonokromo yang jaraknya hanya tiga ratus meter dari rumahnya. Ia juga ingin modal untuk menambah dagangan.
137
KASUS 3 Hasil wawancara dengan Bapak Jwn (55 tahun), anggota KSM Maju Lancar pada tanggal 28 Juli 2005: Bapak dari tiga orang anak (satu orang sudah menikah) dan kakek dari satu orang cucu ini mempunyai usaha kredit segala macam peralatan ruma h tangga seperti piring, kompor, hingga peralatan elektronik seperti televisi, radio, majic jar dan sebagainya. Usahanya sudah dimulai sejak remaja, kurang lebih 35 tahun yang lalu. Ia harus bekerja sejak muda karena harus membantu ibunya yang menjanda sejak ia masih kecil (kelas empat SD) untuk menghidupi dan menyekolahkan ketiga orang adik perempuannya. Pak Juwen (begitu para tetangganya memanggil) hanya sekolah hingga SMP karena harus bekerja. Dari usahanya Pak Jwn bisa membantu ibunnya membesarkan ketiga adiknya bahkan ada yang menjadi sarjana. Disamping itu Pak Jwn harus merawat ibunya yang menderita sakit selama delapan tahun sebelum akhirnya meninggal dunia. Kini Pak Jwn tinggal membiayai kedua anaknya yang masih duduk dibangku SLTA dan kelas empat SD. Usaha Pak Jwn mencapai puncaknya pada tahun 1980 dimana waktu itu ia bisa mampu mengkreditkan puluhan sepeda kepada nasabahnya, disamping barang-barang rumah tangga yang lain. Kini. Nasabahnya sudah semakin berkurang dengan hadirnya toko -toko dan pasar swalayan yang mulai banyak bermunculan hingga ke desa-desa. Namun demikian banyak pelanggannya yang masih bertahan, terutama mereka dari golongan ekonomi lemah, seperti para petani dan buruh yang menerima upah seminggu sekali. Dari usahanya tesebut, Pak Jwn bisa memperoleh keuntungan sekitar enam ratus ribu rupiah perbulan (setelah dikurangi angsuran BRI dan P2KP). Dua tahun yang lalu Pak Jwn terpaksa mengajukan kredit ke BRI sebesar lima belas juta rupiah karena modalnya habis untuk membuat rumah. Ia bisa mendapat kredit dengan jaminan rumah yang ditempatinya sekarang ini. Tiap bulannya ia harus mengangsur sembilan ratus ribu rupiah. Untuk mencari nasabah, Pak Jwn berkeliling dari desa ke desa. Lima hari dalam seminggu pada sore hari ia menagih angsuran kepada nasabahnya, sekaligus menawarkan barang-barang yang diperlukan para nasabah. Angsuran ditagih tiap seminggu sekali sehabis gajian sehingga tidak memberatkan para nasabahnya. Dari usahanya tersebut Pak Jwn dapat memperoleh keuntungan yang lumayan, namun harus telaten dalam menagih angsuran. Sebagai contoh, sebuah magic jar yang dibelinya dengan harga seratus tujuh puluh lima ribu rupiah bisa laku dijual dengan harga tiga ratus ribu rupiah dengan angsuran sepuluh ribu rupiah tiap minggunya. Kendala yang dihadapi dalamusahanya adalah apabila ada nasabah yang belum lunas cicilannya tetapi kemudian pindah rumah dan tidak tahu alamatnya, meskipun kasus ini sangat jarang terjadi dan pernah terjadi satu sampai dua kali. Penghasilan dari usaha kreditan tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya sekolah anak-anaknya. Apalagi sekarang menantu dan anaknya yang sudah menikah masih tinggal bersamanya dan belum memiliki pekerjaan. Untuk menambah penghasilan Pak Jwn bekerja sebagai penjaga malam di SMP yang berada di dekat rumahnya dengan gaji dua ratus ribu rupiah perbulan. Di samping itu ia juga menjadi juru tagih di UPK (Unit Pengelola Keuangan) Desa
138
Wonokromo dengan gaji seratus lima puluh ribu rupiah sekaligus tukang membuatkan minuman para petugas UPK. Seperti penuturannya berikut ini: “Kulo niki sampun kulino rekaos kawit alit, gawean nopo mawon kulo lakoni, ingkan baken halal. Kulo menawi dalu jogo malem wonten SMP 1 Pleret, lumayan gajinipun, kenging kanggeh ragat lare sekolah. Kulo ugi dados juru tagih wonten UPK, mlebetipun namung kaping tigo setunggal wulanipun” (Saya sudah terbiasa menderita sejak kecil, pekerjaan apa saja saya jalani, yang penting halal. Kalau malam saya jaga malam di SMP 1 Pleret, lumayan gajinya,bisa untuk membiayai anak sekolah. Saya juga menjadi juru tagih di UPK, masuknya hanya tiga kali dalam satu bulan) Untuk menambah penghasilan, kini Pak Jwn juga menjalin kerjasama dengan penjual martabak dan roti bakar. Setiap hari ia menyetori minyak, terigu, mentega dan meises kepada para penjual tersebut dengan harga sama dengan yang di jual di toko. Meskipun sedikit keuntungannya, ia senang karena bayarnya secara tunai sehinga modal dapat segera kembali dan dibelanjakan dagangan kembali. Usaha ini sudah berjalan beberapa bulan dengan dibantu istrinya dalam mengkemas dagangan tersebut. Dagangan tersebut ia beli di sebuah agen dalam bentuk karungan, kemudian dibungkus dalam plastik dengan ukuran satu kilogram. Pak Jwn sudah empat tahun bergabung dengan KSM Maju Lancar. Selama itu pula ia dapat memperoleh pinjaman modal dengan bunga lebih rendah dari bank dan tanpa agunan. Untuk pinjaman terakhir, ia memperoleh jatah 3,5 juta yang ia gunakan untuk modal usaha kreditnya. Selama ini ia selalu lancar dalam membayar angsuran. Ia berharap dapat memperoleh pinjaman yang lebih besar lagi sehingga tidak harus membayar ke BRI yang harus menggunakan jaminan dan bunganya lebih besar. Usaha yang dijalaninya selama ini meski sudah berjalan puluhan tahun belum banyak mengalami kemajuan, bahkan semakin susah dalam mencari nasabah. Ini dikarenakan semakin banyaknya orang yang mempunyai usaha serupa dengan Pak Jwn dan semakin banyak toko-toko yang menjual peralatan rumah tangga dan harganya jauh lebih murah. Namun demikian Pak Jwn tetap merasa yakin usahanya akan berjalan lancar, karena sudah mempunyai langganan tetap.
139
KASUS 4 Hasil wawancara dengan Bu Wgn (38 tahun), anggota KSM Teratai pada tanggal 20 Juli 2005: Ketika penulis datang ke rumahnya, Bu Waginem sedang menyiangi sayuran untuk persiapan masak besok yang akan dijual di pasar. Di rumahnya yang teramat sederhana tidak terdapat seperangkat meja kursi tamu, yang ada hanyalah satu buah meja dan dua buah kursi kayu yang sudah kusam warnanya. Di sudut ruangan terdapat tumpukan bahan-bahan sayuran yang akan di masak besok pagi seperti gori/nangka muda, kembang turi, bayam dan daun pepaya. Dengan ramah ia mempersilakan penulis duduk. Mula-mula ia nampak agak pendiam, namun ketika penulis mencoba bertanya segala hal tentang dirinya, ia menjawab dengan lancar. Bu Wgn berjualan sayuran matang sudak sejak menikah, kira-kira dua puluh dua tahun yang lalu. Pertama-tama ia berjualan sayur di rumah pada pagi hari, tetapi kemudian ia berjualan di pasar karena pembelinya lebih bannyak. Para langganannya kebanyakan para pedagang sayur keliling yang kulakan sayur dalam bungkusan plastik kecil-kecil untuk di jual lagi. Macam dagangannya antara lain bakwan, tempe mendoan, gudangan, gudeg, dan sebagainya. Jam tiga dini hari Bu Wgm sudah bangun dan mulai memasak dengan dibantu seorang tetangganya dengan upah lima ribu rupiah sekali masak. Jam tujuh pagi semua masakan sudah siap dan Bu Wgn berangkat ke pasar yang tidak jauh dari rumahnya dengan mengendarai sepeda yang sudah tua. Jam sebelas siang dagangan sudah habis, kemudian Bu Waginem berbelanja untuk masak esok paginya. Jam dua belas ia sudah sampai di rumah untuk kemudian tidur karena malamnya kurang tidur. Khusus bulan Puasa ia tidak berjualan di pasar, tetapi berjualan di rumah pada sore hari untuk melayani para tetangganya yang mempersiapkan buka puasa, sehingga penghasilannya pada bulan puasa menurun. Untuk berjualan dalam satu hari, Bu Wgn memerlukan modal kira-kira enam puluh ribu rupiah dan bisa menjual dagangan dari delapan puluh ribu hingga seratus ribu rupiah, sehingga bisa memperoleh keuntungan kotor dua puluh hingga empat puluh ribu rupuah (dikurangi ongkor tenaga). Dengan keuntungan tersebut dapat digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan membiayai pendidikan dua orang anaknya. Anak sulungnya sekarang kuliah di salah satu PTS di Yogyakarta semester empat. Sementara anak yang kedua sudah lulus STM yang berniat ingin bekerja. Sedang anak bungsu masih duduk di kelas dua SMP. Bu Waginem ingin anak-anaknya dapat menjadi orang pandai, tidak seper ti bapak ibunya yang hanya tamatan SD. Suami Bu Waginem bekerja sebagai tukang kebun di salah satu sekolah di Yogyakarta yang jaraknya cukup jauh. Dengan penghasilannya selama ini, ia sudah merasa cukup puas karena dapat menyekolahkan anak-anaknya, meski ia harus hidup prihatin. BU Wgn sudah empat kali mendapat pinjaman dari P2KP yang jumlahnya hanya berkisar tiga ratus hingga tujuh ratus ribu rupiah. Namun jumlah tersebut sangatlah berarti baginya. Pinjaman tersebut ia gunakan untuk membeli bahanbahan un tuk jualan seperti minyak, terigu, gula jawa, bumbu-bumbu dan sebagainya. Bila membeli dalam jumlah banyak harganya lebih murah sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar. Ia sebenarnya menginginkan pinjaman P2KP yang lebih besar untuk membeli bahan baku untuk jualan, namun karena
140
jenis usahanya memerlukan modal sedikit, sehingga hanya mendapat pinjaman sedikit. Ia mengetahui pinjaman P2KP karena diberitahu petugas dari BKM yang datang pada pertemuan Dasa Wisma dan kemudian bergabung dalam kelompok Teratai.
141
KASUS 5 Hasil wawancara dengan Bp. Zn (58 tahun) bendahara KSM Maju Lancar pada tanggal 29 Juli 2005: Ketika penulis datang pada sore hari ke rumahnya, Pak Zn baru saja bangun tidur setelah seharian bekerja sebagai sopir di sebuah dealer LPG di Yogyakarta. Rumahnya yang lantai dua, dibagian bawah digunakan untuk jualan LPG, Aqua dan Wartel yang ditunggui istri dan anak-anaknya. Pak Zaini memiliki delapan orang anak, yang tiga sudah menikah dan lima orang masih sekolah di bangku SMA dan SMP. Untuk menambah penghasilannya sebagai sopir, dengan dibantu istri dan anak-anaknya ia berjualan gas yang dimulai lima tahun yang lalu. Dalam sehari ia bisa menjual kurang lebih lima belas tabung LPG dan dua puluh galon Aqua. Keuntungan tiap tabung LPG sekitar empat ribu rupiah sementara untuk satu galon aqua mendapat untung delapan ratus rupiah. Bila untuk dijual lagi, keuntungan tersebut masih harus dibagi lagi dengan penyalurnya. Dari keuntungan tersebut ia dapat membiayai sekolah anakanaknya hingga SLTA, bahkan ada yang sampai akademi. “Sedinten kulo saget bathi kirang langkung seket ewu. Sakjane sampun lumayan, namung kulo kedah nyisihaken kagem angsuran P2KP tigangatus ewu sewulanipun. Kulo ngampil tigang yuto kangge modal sadeyan gas meniko. Kulo sekeluargo kedah saget urip prihatin, amargi lare-lare taksih mbetahaken ragat kathah kangge sekolah” (Sehari saya dapat untung kira-kira lima puluh ribu. Sebenarnya sudah lumayan, tetapi saya harus menyisihkan untuk angsuran P2KP tiga ratus ribu per bulan. Saya pinjam tiga juta untuk modal jualan gas. Saya sekeluarga harus hidup prihatin, karena anak-anak masih membutuhkan biaya untuk sekolah). Pak Zn yang tidak tamat SLTA ini pernah mencoba berbagai macam usaha dari jualan perabot rumah tangga, agen minyak tanah dan pemborong bangunan. Namun usahanya tersebut bangkrut karena ditipu orang, sehingga pernah membuat Pak Zaini putus asa selama beberapa tahun. “Kulo nate mborong bangunan, truk kulo ngantos sekawan. Kulo diapusi kaliyan pemborong sanes ngantos kulo bangkrut, bondho kulo telas sedanten, kejawi omah ingkang kulo panggeni sakmeniko. Wekdal semanten kulo utang wonten BRI ngantos puluhan juta kangge modal mborong bangunan, nanging mboten saget ngangsur amargi bangkrut. Sakwise meniko kulo dados nglokro pinten-pinten tahun, mboten wantun usaha malih. Menawi mboten gadhah iman, kulo sampun edan riyin-riyin. Akhire kulo trimo nyopir wonten Restu Agung dugi sakmeniko. Kulo sadeyan gas mulai gangsal tahun kepengker sakwise ati kulo sampun mantun” (Saya pernah jadi pemborong bangunan, truk saya sampai empat. Saya ditipu oleh pemborong lain sampai saya bangkrut, harta saya habis semua, kecuali rumah yang saya tinggali sekarang. Waktu itu saya meminjam BRI hingga puluhan juta rupiah untuk modal memborong bangunan, tetapi nggak bisa mengangsur karena bangkrut. Setelah itu saya jadi putus asa beberapa tahun, nggak berani usaha lagi. Kalau nggak punya iman, saya sudah gila sejak dulu. Saya akhirnya jadi sopir di Restu Agung (agen LPG) hingga sekarang. Saya mulai jualan LPG mulai lima tahun yang lalu setelah sakit hati saya sembuh). Pak Zn sudah empat kali memperoleh pinjaman dari P2KP yang ia gunakan untuk modal jualan LPG dan Aqua. Pinjaman terakhir sebesar tiga juta
142
rupiah ia gunakan untuk membuka wartel. Dalam menjual LPG ia selalu menjaga kepuasan konsumen dan selalu memeriksa berat LPG dan tidak mau mengurangi beratnya seperti sering dilakukan oleh para pengecer LPG yang lain. Permasalahan yang dihadapi Pak Zaini adalah masalah permodalan. Pinjaman dari P2KP sebenarnya sangat kurang untuk berjualan LPG. Selain itu, permintaan konsumen terhadap LPG semakin menurun seiring dengan kenaikan harga LPG. Sekarang ini banyak pemakai LPG yang kembali ke minyak tanah karena mahalnya harga LPG. Sebenarnya Pak Zaini juga ingin menjadi agen minyak tanah, tetapi tidak mempunyai modal yang mencapai puluhan juta rupiah.
143