SATU
PENDAHULUAN
Latar Belakang Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang hakiki dalam masyarakat. Adalah fakta yang tak terbantahkan, bahwa perubahan merupakan fenomena yang selalu mewarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat. Tidak ada suatu masyarakat pun yang statis dalam arti yang absolut. Setiap masyarakat selalu mengalami transformasi dalam fungsi waktu – sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama, kalau dicermati pada waktu yang berbeda, baik masyarakat “tradisional” mau pun masyarakat moderen, meskipun laju perubahan yang bervariasi dan juga harus diakui perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan (progress), namun dapat pula berarti kemunduran (regress) dalam bidang-bidang kehidupan tertentu (Pitana 1994: 3; Susanto 1977 :178). Masyaraktat Bali bukanlah suatu pengecualian dalam hal ini. Dengan perkataan lain, Bali tidaklah statis, melainkan selalu mengalami perubahan secara dinamis dari masa ke masa, bahkan dari hari ke hari.
1
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
Sebagaimana dikatakan Burhanuddin (2008:95-98), meningkatnya permasalahan sosial terkait dengan keberadaan pendatang menyebabkan masyarakat Bali bereaksi. Dulu dalam kehidupan masyarakat Bali ada dikotomi sebagai penanda antara pendatang dan orang lokal, yaitu nak Jawa dan nak Bali. Orang Bali menyebut semua orang Indonesia lainnya nak Jawa dan semua orang asing tamu/turis (Puspa 2010 dalam Raditya 2010: 14; Wingarta 2006: 63). Mungkin pada awalnya istilah ini hanya sebagai penanda yang tidak memiliki makna signifikan kecuali menunjukkan kelokalan dan kenonlokalan. Akan tetapi, istilah nak Bali dan nak Jawa sekarang telah bergeser dan melahirkan persoalan struktural yang menyebabkan terjadi ketegangan identitas dan menanamkan bibit diskriminasi etnis dan religius serta relasi antara orang Bali (penduduk lokal) dan pendatang. Bagi orang Bali istilah Jawa diartikan sebagai dari luar Bali. Para tetua orang Bali memahami seperti itu, biar pun ada orang yang dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Madura dan daerah lainnya pasti dikatakan uling (dari) Jawa. Dan sebaliknya ketika orang Bali pergi keluar dari Bali ke wilayah Nusantara lainnya akan selalu dikatakan ke Jawa (bandingkan pengalaman penulis ketika kuliah di Sulawesi, dikatakan kuliah di Jawa-Sulawesi). Tidak hanya itu, dalam hal kehidupan ritual, menjelang Galungan ada hari raya yang disebut sugihan Jawa (pembersihan buana agung) selain sugihan Bali (perbersihan buana alit). Jawa di sini bukan dimaksud pulau Jawa melainkan di luar Bali yakni alam semesta ini yang ada di Bali. Dulunya juga orang Bali menyebut orang Jawa sebagai nyama Jawa (saudara dari Jawa), kini sebutan tersebut sudah bergeser menjadi jelema Jawa (orang Jawa). Jelema adalah “pra-manusia”/sub manusia hasil pertemuan antara Rwa-Bhineda; jele lan melah (dua hal yang berbeda, bertentangan; antara yang baik dan tidak). Jelema baru dapat disebut sebagai manusia (“manut” ring sesana; “manut” ring sang hyang agama, “se” ngraning sesana), kalau hidupnya sesuai dengan kodratnya dan telah mendapat sentuhan pengetahuan (agama) dan 2
Pendahuluan
mengamalkannya sesuai dharmanya (Sutjaya dkk. 2007: 259; Cenkblong 2005). Dengan demikian perbedaan nyama Jawa menunjukkan kedekatan sedangkan jelema Jawa menunjukkan kejauhan. Demikian juga dengan kata nyama Selam (saudara Islam) kini bergeser menjadi jelema Selam (orang Islam). Menguatnya fakta perubahan ini, salah satunya dapat dilihat dari wacana keseharian masyarakat Bali tentang ke-Bali-an atau Ajeg Bali (Bdk. Dwipayana 2005: 33). Sebuah konsep yang secara historis, tersirat, dan bergema luas sesudah peristiwa pemboman di Kuta yang terjadi 12 Oktober 2002. Radio, televisi, koran, seminar, diskusi, pidato pejabat, dan publik setiap hari mendengungkan dan menyelipkan pemakaian kata Ajeg Bali. Misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Bali merayakan ulang tahunnya bertemakan kesehatan dengan ajeg Bali, pelajar sebuah SLTA melaksanakan kegiatan jalan santai bertemakan ”Ajegkan Bali” (Bali Post, 31 Desember 2003) Kapan istilah “Ajeg Bali” ini pertama kali muncul, tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi menurut Wijaya (dalam Tantular 2003: 24) kata Ajeg mula-mula digunakan oleh rohaniawan Ida Pedanda Made Gunung dalam berbagai dharmawacana-nya (khotbah). Tetapi secara formal, konsep ini dipopulerkan, dikumandangkan, dikawal dan digunakan oleh kelompok media Bali Post, tepatnya pada peresmian TV lokal yang diberi nama Bali TV dengan semboyan “Matahari dari Bali” yang tampil sebagai media pencerahan orang Bali dengan tekad dan ambisi menjaga Bali. Bali TV memiliki peran untuk mengkomunikasikan agenda Ajeg Bali. Selain itu, ditandai juga dengan dimuatnya sejumlah buah pikiran yang diterbitkan melalui edisi khusus dalam rangka memperingati HUT Bali Post ke-55, tanggal 16 Agustus 2003, yang kemudian disusul dengan diadakannya pertemuanpertemuan dengan tema Ajeg Bali. Misalnya; Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Senin 18 Agustus 2003, menampilkan makalah tunggal yang dibawakan oleh Wijaya (dalam Tantular 154178) dengan judul ‘Ajeg Bali’. Selanjutnya, mulai 10 September 2003 3
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
Bali Post melalui ‘kolom Ajeg Bali’ secara kontinu memuat masalahmasalah yang berkaitan dengan Ajeg Bali. Peristiwa bersejarah lainnya yang perlu diperhatikan mengenai konsep ini adalah gagasan penandatanganan prasasti Ajeg Bali yang dikaitkan dengan HUT ke-1 Bali TV yang diprakarsai oleh pimpinan Bali Post Group Satria Naradha yang ditujukan terhadap tokoh-tokoh politik dan pejabat pemerintah (Kutha Ratna dkk. 2005: 3-4; Bali Post, 31 Desember 2003)
Ajeg Bali terdiri dari dua kata “ajeg” dan Bali. Kata “ajeg” berpadanan kata dengan kata “jejeg” artinya tegak atau tidak berubah. Misalnya, kata ajegang awig-awig desane mengandung pengertian tegakkan peraturan desa. Sedangkan kata “Bali”, sejauh ini belum ada penelitian yang mengungkap asal kata tersebut. Menurut Ratna (Ratna dkk. 2005: 4), kemungkinan besar kata “Bali” ada kaitannya dengan aspek bahasa, pertukaran antara fonim “w” dengan “b”. Dengan demikian kata “Bali” berasal dari atau memiliki hubungan dengan “wali”. Wali dalam konteks ini adalah pengasuh, orang yang dituakan oleh masyarakat di sekitarnya. Sedangkan menurut Ida Pedande Gede Made Gunung (dalam Wingarta 2006: 59) dalam dharma wacana-nya (khotbah) mengatakan bahwa; Bali berasal dari kata “Wali” atau “Banten”. Artinya, Bali identik dengan kesucian baik buana agung (alam) mau pun buana alit (manusia). Jadi Ajeg Bali mengandung pengertian Bali yang kuat, tidak berubah Dalam perkembangannya Ajeg Bali tidak berhenti sebatas wacana melainkan masuk ke dalam berbagai ruang kehidupan. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa program dan tema kegiatannya yang telah menjadi instrumen untuk menekankan profil etnik eksklusif dari budaya Bali dan agama Hindu. Ajeg Bali sudah menjelma menjadi doktrin, slogan, “mantra sakti”, ikon, dan seolah-olah sudah menjadi ideologi tunggal yang hegemonik. Ajeg Bali menimbulkan pengerasan identitas kebalian, antara apa yang disebut Bali dan “bukan Bali” (Suryawan 2005: xxxv; 2008: 235). Atau sebagaimana dikatakan Degung Santikarma (2003 dalam Suryawan 2010: 255) dengan berbekal ”pembenaran” bernama Ajeg Bali inilah tersebar berbagai 4
Pendahuluan
perdebatan yang berujung pada sebuah tekad bagaimana ”menjaga” Bali agar tetap kokoh dan kuat menerima berbagai macam pengaruh yang mengancam keutuhan Bali. Terutama yang datang dari luar. Tidak hanya itu Ajeg Bali juga mengandung gerak ”pemurnian budaya”, yang ingin memilah antara yang ”asli” dan yang ”luar”. Ini tidak hanya karena benda yang ”asli” punya nilai komersial yang tinggi, seperti barang antik di artshop, tetapi juga karena manusia yang ”asli” bisa diklaim lebih berhak terhadap sumber daya yang ada di Bali. Beberapa program dan tema kegiatan konsep Ajeg Bali dalam kaitannya dengan berbagai ruang kehidupan masyarakat Bali antara lain adalah:
Pertama, Budaya dan agama. Budaya Bali semakin ditampilkan dalam bentuk Hindu secara eksklusif. Ini dicapai dengan menekankan perbedaan dengan Islam, tapi ironisnya pada saat yang sama meniru format Islam. Berbeda dengan sapaan Islam, Assalamualaikum, diganti dengan ucapan Om Swastiastu dan diakhiri dengan Om, Shanthi, Shanthi, Shanthi, Om sambil menangkupkan kedua belah telapak tangan di depan dada. Demikian juga saat kebanyakan jaringan televisi nasional menyiarkan adzan magrib, Bali TV (televisi lokal) menayangkan Puja Trisandya, pada pukul 6 petang sebuah doa Hindu dengan mencontoh format Islam dan menggunakan phrase yang diambil dari doa Protestan (Schulte Nordholt 2010: 71). Lebih lanjut dikatakan bahwa jargon Ajeg Bali tidak hanya membius identitas “keBali-an” masyarakat Bali, tapi secara tidak sadar Ajeg Bali juga telah membekukan kebudayaan (baca: budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik). Kebudayaan menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linear, dan homogenous, menjadikannya hak milik, juga menyulut benih-benih gerakan esensialisme kebudayaan, dan juga benih-benih fundamentalisme Hindu. Ini karena Ajeg Bali bagi pengikut gerakan esensialisme budaya seharusnyalah berdasar pada ajaran-ajaran agama Hindu yang mendasari kebudayaan Bali. Maka, disebutlah kemudian 5
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
Ajeg Bali seharusnyalah juga Ajeg Hindu. Konsep ini mengandung gerakan untuk menguatkan, mengokohkan dan membentengi kebudayaan Bali yang berdasarkan agama Hindu dari ancaman pengaruh luar yang berpotensi menghancurkan kebudayaan Bali.
Kedua, Politik Identitas. Politik identitas di sini dipahami bahwa orang Bali menarasikan diri dan kelompoknya berdasarkan formula adat, agama dan budaya mendapat dukungan dari gerakan Ajeg Bali. Hal ini terlihat dari muatan sosial politik dari wacana Ajeg Bali pasca serangan teroris tahun 2002 sehingga tidak sebatas menjadi gerakan untuk pelestarian budaya (nuansa cultural), tetapi juga menjadi semacam gerakan politik identitas etnik atau yang disebut dengan gerakan jati diri manusia Bali (Putra 2008: 16-17; Team Bali Post 2004: ii). Selanjutnya semangat tersebut, belakangan ini telah bergerak begitu jauh dan tanpa kendali, sebagaimana dikatakan Jayati dkk (2008: 80) mengarah pada pengentalan dan sentimen budaya atau apa yang disebut representasi etnis dan identitas kebalian lewat semangkok bakso. Bakso Krama Bali (BKB) adalah salah satu program dari Koperasi Krama Bali (KKB). KKB merupakan sebuah organisasi yang dibangun oleh dorongan bagaimana situasi di tengah krisis ini dapat memberikan alternatif-alternatif usaha ekonomi bagi yang memiliki modal usaha yang relatif terbatas. KKB juga dapat sebagai ajakan untuk membangun semangat entrepreneurship ekonomi bagi orang Bali yang belakangan ini hanya mengandalkan sektor pariwisata. Tampilannya yang empiris dapat disimak adalah dari segi pakaian. Penjual Bakso Krama Bali memakai pakaian adat madya seperti pada umumnya di Bali (dalam pakaian adat Bali ada tiga tingkatan: nista (paling sederhana), madya (sederhana) dan agung (utama, dulu hanya dipakai oleh para bangsawan). Dekorasi-dekorasi Bali sangat terlihat baik tampilan personal mau pun dekorasi di dalam rombong baksonya. Ada kaligrafi-kaligrafi simbol kata sukle dan berisi tempat sesajen yang disediakan dalam ruang rombong bakso tersebut. Krama Bali yang berjualan bakso diajarkan untuk menyapa setiap 6
Pendahuluan
pembelinya dengan Om Swastiastu. Deskripsi ini tentu menunjukkan bagaimana penjual bakso dikonstruksi dan dibentuk memberikan penandaan yang sangat kuat mempresentasikan etnisitas dan identitas kebaliannya.
Ketiga, bidang kependudukan. Dengan dikeluarkannya surat kesepakatan bersama Gubernur Bali dengan Bupati/Walikota se-Bali, Nomor 153 Tahun 2003, tentang Pelaksanaan Tertib Administrasi Kependudukan di Bali, maka dengan surat ini misalnya di kota Denpasar, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, menggulirkan kebijakan strategi menuju kemapanan Bali dalam mengelola urban, dengan memberlakukan persyaratan Kartu Identitas Penduduk Pendatang (KIPP) dan KIPEM (Kartu Identitas Pendatang Musiman) sebagai sarana untuk memfilter pendatang (Puspayoga dalam Team Bali Post 1999: 198-199). Yang dimaksud penduduk pendatang sesuai dengan Keputusan Walikota Denpasar Nomor 593 Tahun 2000 tentang Penertiban Penduduk Pendatang di Kota Denpasar, dalam pasal 1 disebutkan: setiap orang yang berasal dari luar Kota Denpasar. Dalam pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah kota Denpasar berkolaborasi dengan Desa Adat dan agama, sehingga KIPP dan KIPEM semacam KTP lokal salah satu syarat untuk memilikinya adalah harus mendapat pengakuan dari desa dinas dan dari desa adat. Hal ini menjadi penting dan menarik karena di Bali ada beda fungsi dari desa dinas dan desa adat. Desa dinas menyangkut data kependudukan di tempat tertentu, sedangkan desa adat menyangkut tanggung jawab krama adat (warga) terhadap desa adat tersebut dalam ruang lingkup kegiatan agama dan kebudayaan. Desa adat di Bali memiliki legalitas formal pertama, dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan Desa Pakraman mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai 7
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia”. Kedua, Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Istilah Pakraman dipakai untuk menegaskan otentitas dan otonomi desa tradisional, karena kata adat, terlalu dianggap kolonial dan terlalu Islami (Schulte Nordholt 2010: 34). Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat Hukum Adat yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu. Melaluinya diatur mengenai Parhyangan (hubungan vertikal dengan Tuhan), Pawongan (Hubungan horizontal antar warga), dan Palemahan (hubungan diagonal dengan lingkungan/wilayah). Desa Pakraman di Bali bertujuan untuk melestarikan khayangan tiga: Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem (Palguna 1998:103; Jean Counteau 2008: 30-31; Sudantra 2007: 2 ). Saat ini di Bali ada 564 Desa Dinas dan 1610 desa Adat/Pakraman (Surpha 2004: 131). Contoh KIPEM dan KIPP yang dikeluarkan pemerintahan kota Denpasar (Desa Pemogan, Denpasar Selatan) dan harus diketahui oleh Desa Dinas (kepala Dusun) dan Desa Adat (Kelian Adat). Gambar 1.1 Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM)
8
Pendahuluan
Gambar 1.2 Kartu Identitas Penduduk Pendatang (KIPP)
Dengan demikian dalam kaitan kependudukan ini, otomatis tidak semua pendatang bisa masuk kategori krama adat (warga) karena pendatang dari luar Bali sudah pasti bukan orang Bali asli, pun juga pada umumnya tidak beragama Hindu. Dari syarat ini, memungkinkan orang selamanya pendatang meskipun dia ber-KTP lokal Bali. Konteks krama adat ini yang menentukan. Belum lagi misalnya setiap desa adat memiliki aturan sendiri yang kadang kala berbeda dengan desa adat lainnya, di Bali disebut dengan istilah desa kala patra (tempat, waktu dan konteks) yang berarti antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya bisa saja berbeda. Kebijakan tentang kependudukan ini juga mengatur tentang standarisasi pungutan Desa/sumbangan Kelurahan di Kota Denpasar, melalui SK Walikota No.1002 tahun 2001 tanggal 13 Desember 2001 pungutan yang terkait dengan penduduk pendatang. Kemudian juga walikota mengeluarkan SK No.585 tahun 2002 tentang perubahan lampiran keputusan Walikota Denpasar tanggal 13 Desember 2001 No.2 tahun 2001 tentang standarisasi pungutan Desa/Sumbangan Kelurahan di kota Denpasar. Isinya adalah perubahan biaya administrasi yang dikenakan pada penduduk pendatang setiap tiga bulan sekali sebesar Rp.50.000,00/orang untuk di luar Denpasar (masih
9
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
dalam satu provinsi) dan Rp.100.000,00/orang untuk penduduk pendatang dari luar Bali. Pada tanggal 18 November 2002, Paruman Bendesa Pakraman se-Kota Denpasar memutuskan standarisasi pungutan di Desa Pakraman dalam penanganan penduduk pendatang. Hal ini tertuang dalam keputusan Manggala Paruman Bendesa Desa Pekraman Kota Denpasar No.005PBDA/XI/2002 tentang standarisasi Pungutan Desa Pekraman atas biaya administrasi penduduk pendatang di Kota Denpasar yang ditindaklanjuti dengan surat No.006/PBDA/XI/2002, yang memberi kewenangan pada Desa Pekraman untuk memungut biaya bagi penduduk pendatang sebesar Rp.50.000,00/orang/tiga bulan untuk luar Kota Denpasar dan Rp.100.000,00/orang/tiga bulan untuk luar Bali. Jadi kalau ditotal dengan pungutan di Desa Dinas, maka seseorang penduduk pendatang dikenakan pembayaran sebesar Rp.100.000,00/orang/tiga bulan untuk pendatang dari luar Denpasar dan Rp.200.000,00/orang/tiga bulan untuk pendatang dari luar Bali. Khusus di Desa Pekraman, biaya tersebut digunakan dengan rincian, 20% masuk kas Desa Pakraman, 20% masuk ke kas banjar adat dan 60 untuk biaya oprasional penertiban penduduk (Sarad 2003: 31; Jean Counteau 2003: 49) Dengan dasar itulah penertiban penduduk dilakukan dengan tidak tanggung-tanggung. Politik kependudukan makin menjadi nyata dengan adanya kisah-kisah razia, sweeping KIPEM (Kartu Identitas Penduduk Musiman) KTP (Kartu Tanda Penduduk), dan KIPP (Kartu Indentitas Penduduk Pendatang) yang dilakukan oleh pecalang.
Pecalang secara etimologi berasal dari kata celang artinya tajam indranya. Celang mendapat prefik pe yang menyatakan orangnya. Celang menjadi pecalang berarti orang yang mempunyai indera tajam melebihi masyarakat lainnya. Seragam mereka (pecalang) terdiri dari udeng (destar), bunga yang diselipkan di satu telinga, kaos bertuliskan pecalang dan nama desa mereka, jaket safari tanpa lengan, kampuh kotak-kotak hitam-putih (kain poleng) di atas sarong, sebilah keris yang sudah disucikan di pura, dan telepon genggam; tato dilarang 10
Pendahuluan
(Widnyani dkk. 2002: 35; Schulte Nordholt 2010: 38). Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Bali No.3 Tahun 2001 Bab X pasal 17 Pecalang memliki tugas dan wewenang sebagai berikut: 1) Pecalang menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah desa Pekraman, 2) Pecalang mempunyai tugas melaksanakan tugas-tugas keamanan dalam wilayah desa Pekraman dalam hubungan tugas adat dan agama, dan 3) Pecalang diangkat dan diberhentikan oleh paruman desa atau musyawarah desa. Tetapi dalam prakteknya sehari-hari pecalang tidak hanya berhubungan dengan aktivitas upacara, agama, dan adat, melainkan telah melebar dan meluas serta masuk dalam ruang-ruang kekuasaan dan modal yang dilakukan Desa Pakraman. Gerakan “penertiban penduduk” menunjukkan bagaimana lahan uang bernama “penertiban” menghidupi biaya operasional satuan pecalang ini. Dengan “kekuasaan tradisi” inilah pecalang menghidupi dirinya. Ada pecalang yang mengawal lomba layang-layang, mengatur lalu lintas, menegur turis yang berpakaian tidak sopan memasuki tempat upacara, menjaga dan memungut sumbangan saat ritual sabung ayam, satgas partai politik, pemungut retribusi parkir serta penjaga keamanan konser musik. Dengan perkataan lain, pecalang juga bersedia menerima “jasa pengamanan” untuk konser musik, menjaga sabung ayam (tajen), menerima tugas keamanan toko-toko, pesta perkawinan, dan acara-acara hotel berbintang di Bali. Kadang banyak juga yang menggunakan jasa rangkap, pecalang dan juga polisi. Perusahaan, khususnya hotel-hotel di Bali sejak lama menggunakan jasa pecalang untuk mengamankan lingkungan sekitar hotel. Ada juga pada acaraacara khusus yang berskala besar. Seperti penuturan salah seorang humas hotel di kawasan Nusa Dua yang mengungkapkan menggunakan jasa pecalang selain aparat keamanan negara jika ada tamu negara. Ia mengungkapkan ini sebagai bentuk kerjasama hotel dengan masyarakat sekitar dan selain itu juga, pecalang terbukti efektif, karena mereka berasal dari lingkungan desa sekitar hotel, sehingga dirasa faham betul mengenai kondisi dan orang-orangnya. 11
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
Tugas pecalang sebagai “penjaga” rasa aman masyarakat Bali untuk melakukan ritual memberikan kesan bahwa pecalang adalah “unik” dan tradisional. Ini karena adat dan sejarahnya memang telah ada dari dulu, atau juga “diada-adakan” untuk menguatkan latar belakang sejarah kemunculan pecalang. Pecalang dikonstruksi sebagai penjaga tradisi (Santikarma dalam Putra (ed) 2004: 120;
http://memecahsenyap.blogspot.com/2008/10/anak-muda-bali-dan jagoan.html : diakses 6 April 2011; Zohro 2009: 215). Wewenang Desa Pakraman melalui pecalang yang berani melakukan penertiban dan menarik “uang keamanan” di wilayah desanya berdasarkan pada kesepakatan bersama. Kesepakatan itu ditandatangani bersama oleh Forum Kepala Desa/Lurah dengan Paruman Desa Pakraman se-Kota Denpasar di Taman Budaya Denpasar, 10 Oktober 2002 (Bali Post, 11 Oktober 2002). Inti kesepakatan tersebut adalah untuk bersama-sama menertibkan, membina, dan mengontrol penduduk pendatang.
Keempat, aspek ekonomi. Konsep Ajeg Bali telah menjadi dasar untuk membangun sebuah konsep ekonomi baru (semacam syariah Hindu); dengan salah satu tujuannya adalah penguatan ekonomi masyarakat Hindu yang sedang terpuruk dan kalah bersaing dengan para pendatang. Dari konsep ekonomi ini lahirlah program yang dikenal dengan “Koperasi Krama Bali” (KKB), yang didirikan pada Mei 2002. ABG Satria Naradha menjadi ketua Koperasi Krama Bali. (Dwipayana, dalam Suryawan 2005: 3). Ketika baru diresmikan, KKB sudah merangkum 3000 anggota. Sejumlah pejabat Bali seperti Kapolda, ketua DPRD, hingga ketua partai politik menjadi anggota. Melalui media di bawah Bali Post, masuknya pejabat sebagai anggota KKB dipublikasikan. Koperasi Krama Bali selain melakukan pelatihan-pelatihan membuat bakso, coto, dan sate Ajeg Bali yang khas KKB untuk dapat bersaing dengan pedagang dari luar Bali, juga menyediakan dana bantuan atau pinjaman modal pada krama (warga Hindu Bali). Mereka yang bergabung dalam KKB di setiap usahanya akan diberikan 12
Pendahuluan
spanduk bertuliskan, “Binaan Koperasi Krama Bali”. Dan jika beruntung akan dimuat sebagai promosi di Harian Bali Post. Selain merintis usaha bakso, coto, dan sate, KKB juga mendorong warga lokal menekuni sektor informal, seperti kerajinan, tukang cukur, toko elektronik serta berusaha di lokasi “Pasar oleh-oleh Bali” di Kuta. Mariyah (2006 dalam Suryawan 2009: 140) dalam studinya tentang KKB, dengan mengutip penyataan ABG Satria Naradha menguraikan, bahwa perekonomian masyarakat lokal Bali dapat kembali digairahkan dengan KKB. Warga lokal yang ingin berusaha akan dilatih oleh pihak KKB tentang keterampilan dan manajeman usaha yang ingin digelutinya. Gerakan pemberdayaan masyarakat lokal untuk lebih menekuni sektor informal ini juga dimaksudkan untuk merespon kenyataan bahwa “orang Bali membeli bakso dengan menjual tanahnya, sementara pendatang menjual bakso membeli tanah” Warga lokal menjadi prioritas program KKB, agar lebih berdaya secara ekonomi. Upaya memberi kemudahan bagi warga lokal dalam berusaha ternyata diiringi dengan berbagai pembatasan dan perlakuan diskriminatif terhadap pendatang. Mariyah (2006 dalam Suryawan 2009: 140) mencatat, ada semacam pembatasan bagi pendatang, khususnya pedagang kaki lima untuk tidak berjualan di tempat-tempat tertentu atau ada pungutan liar oleh oknum pecalang, di samping retribusi resmi dibayar setiap hari. Mariyah (dalam Suryawan 2009: 141) mengisahkan seorang pedagang nasi bungkus di kawasan Pulau Serangan Denpasar: “Tetapi yang dilarang (berjualan) hanya beberapa orang Jawa sementara orang Bali diperbolehkan. Mereka seperti mengada-ngada, kok saya tidak boleh berjualan di sini. Seperti pedagang lain, saya tiap hari juga bayar retribusi kok saya diperlakukan begini”
Perlakuan diskriminasi dan kekerasan juga dialami pedagangpedagang bakso di Desa candi, kecamatan Keramas, kabupaten Gianyar. Pengepul bakso memiliki 18 orang pedagang bakso yang setiap harinya berjualan bakso di Desa Keramas, bersamaan 13
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
munculnya kasus formalin, bakso tikus dan tragedi bom Bali 2005, setidaknya ada tiga (3) orang penjual bakso memperoleh tindakan teror dari masyarakat desa Keramas. Penduduk setempat meneror dengan menyatakan “Kamu nak Jawa, Muslim, bawa bom ya” sambil gerobak baksonya digoyang-goyang. Karena menerima perlakuan teror ke 18 penjual bakso itu terpaksa berhenti berdagang. Mereka sebagian pulang kampung ke Jawa beserta rombongnya dan sebagian lagi pindah ke Denpasar menumpang pada saudaranya (Mariyah, dalam Suryawan 2008: 253-254). Menguatnya perubahan sikap masyarakat Hindu Bali terhadap pendatang yang termaterikan lewat identitas ke-Bali-an ini juga tidak lepas dari pernyataan dua tokoh/elit berpengaruh di Bali, yang mencetuskan dan mendukung konsep Ajeg Bali, mantan Kapolda Bali dan sekarang Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengungkapkan,
“Orang Bali kini seperti memberi senjata kepada orang luar untuk membunuh orang Hindu Bali sendiri.” Sedangkan rohaniawan Ida Pedanda Made Gunung meyakinkan dan memprovokasi masyarakat Hindu Bali dengan pernyataan: “Orang Bali jual tanah untuk bakso, sedangkan orang luar jual bakso untuk beli tanah di Bali” (Suparta 2006: 100) atau yang dikatakan dalam dharma wacana-nya bahwa
“Bali telah menjadi leteh atau cemar, karena banyak orang luar yang tinggal di Bali tidak mengerti/memahami hakekat kesucian Bali” Dari beberapa realita di atas, studi ini bermaksud menelusuri fenomena perubahan paradigma masyarakat Bali dalam menyama braya. Khususnya terhadap pendatang (mereka yang datang ke Bali dengan kepercayaan/agama yang bukan Hindu, kendati pun telah tinggal begitu lama, bahkan dari generasi ke generasi), misalnya dari nyama (saudara) menjadi jelema (orang lain) yang salah satunya termaterikan lewat wacana konsep Ajeg Bali, yang digagas oleh para aktor dan agensi yang berkepentingan. Penulis tertarik untuk melakukan studi makna perubahan dari dinamika tersebut, yang bertolak dari kearifan lokal (local wisdom) Bali, yakni menyama braya yang selama ini diyakini secara luas oleh masyarakat Bali sebagai 14
Pendahuluan
landasan moral yang cukup efektif dalam membangun, membina dan menjaga relasi masyarakat. Menyama braya bagi masyarakat Bali dimengerti sebagai bingkai pelindung kerukunan hidup masyarakat dari ancaman kehidupan yang individualistis, materialistis dan disintegrasi masyarakat dan bangsa atau sebagai energi perekat kebersamaan atau integrasi (Puja Media 2002: iv). Integrasi di sini, dipahami sebagai suatu proses yang dilakukan beberapa individu atau kelompok menuju arah dan pandangan bersama dalam kerelaan untuk saling menerima dan mengakui nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal dan nilai-nilai yang menghargai kemajemukan agama, etnik dan budaya. Dengan perkataan lain, integrasi sebagai pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu. Hal ini menjadi penting dan diperlukan agar masyarakat tetap terintegrasi meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik berupa fisik mau pun konflik yang terjadi secara sosial budaya. Dalam tulisan ini, istilah masyarakat Bali mempunyai arti dan makna sebagai orang-orang Bali secara etnis (memiliki suatu wilayah tertentu dan memiliki kesadaran yang kuat tentang adanya kesatuan budaya Bali, bahasa Bali, dan kesatuan agama Hindu) dan masyarakat Bali.
Fokus Studi Sebagai upaya konstruktif untuk menemukan fakta apa yang terjadi terkait dengan fenomena perubahan menyama braya dalam dinamika masyarakat Bali dan untuk memberikan sumbangan penelitian, maka arah penelitian ini adalah untuk menemukan fenomena-fenomena yang mencerminkan perubahan tersebut bagi masyarakat Bali yang multikultural. Untuk sampai kepada hasil tersebut, fokus permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kearifan lokal Bali menyama braya dalam kaitannya dengan pluralitas dan integrasi sosial? 15
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
2. Bagaimanakah perubahan menyama braya dalam kehidupan masyarakat Bali dan faktor-faktor apa yang mengkonstruksi perubahan tersebut? 3. Apa fenomena yang mencerminkan perubahan tersebut dalam kehidupan masyarakat Bali yang multikultural? Gambar 1.3 Alur fokus studi
Pluraritas dan Integrasi
Menyama Braya
Dinamika Perubahan (Nyama → Jelema)
Fenomena Perubahan
Faktor-faktor Penyebab Perubahan
Tujuan Tujuan Penelitian Penelitian Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kearifan lokal menyama braya dalam kaitannya dengan pluralitas dan integrasi sosial. 2. Mendeskripsikan terjadinya perubahan menyama braya, mencari dan menemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut. 3. Menemukan fenomena-fenomena yang mencerminkan perubahan tersebut dalam kehidupan masyarakat Bali yang multikultural. 16
Pendahuluan
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat bersifat teoritis dan praktis. 1. Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan keilmuan, yakni teori tentang perubahan sosial, secara khusus relasi sosial yang bertitik tolak dari kearifan lokal. 2. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Masyarakat Bali, a. Untuk meningkatkan tali persaudaraan di antara pemeluk agama dan etnis yang berbeda. b. Untuk memberikan pemahaman mengenai pentingnya paradigma nilai kemanusiaan di balik maraknya ritual-ritual keagamaan. c. Untuk mencegah konflik primordial di Bali, memupuk persaudaraan, kedamaian, harmoni dan ketenangan kehidupan dalam suasana multiagama, multietnis dan multikultural. d. Pembangunan sosial-ekonomi secara menyeluruh di Bali khususnya dan Indonesia umumnya. Metode Penelitian •
Pendekatan Penelitian Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut, digunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan model fenomenologi (untuk menggambarkan kasus yang diamati apa adanya berdasarkan kenyataan empiris dan menggambarkan apa yang sulit dari subjek, tetapi kenyataannya ada (Suwondo dkk. 2008: 3; Muhadjir 2000: 17). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Moleong (2000: 9) bahwa model penelitian fenomenologi berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Demikian halnya juga bagi Berger dan Luckman (1990: 2930) yang menggunakan analisis fenomenologi sebagai metode yang 17
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
paling cocok untuk menjelaskan dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari atau pengalaman subjektif dan pendekatan konstruksionis (menangkap kenyataan empirik dengan ciri induktif dengan tujuan tidak membuat generalisasi). Metode penelitian ini juga akan diawali penelitian eksploratif (exploratory research) atau disebut juga penelitian penjajagan/formulatif. Menurut Ida Bagoes Oka (2004: 38) penelitian eksploratif yang dimaksud adalah penelitian yang bersifat terbuka dengan tekanan utamanya adalah untuk menemukan ide (gagasan) atau pandangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan hal-hal yang baru muncul dalam masyarakat. Dengan kata lain, untuk lebih mengenal atau memperoleh pandangan baru tentang sesuatu gejala. •
Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan dan perolehan data di lapangan dilakukan melalui: a. Observasi Observasi Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra (Bungin 2008: 147). Dari pemahaman ini, observasi adalah cara yang digunakan untuk memperoleh data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Pengamatan merupakan cara untuk mengamati perilaku dan benda-benda yang digunakan atau dihasilkan oleh masyarakat yang hendak dipahami melalui penelitian. Melalui teknik, peneliti langsung datang ke lapangan dan melakukan pengamatan dengan panca indera dan kemampuan yang ada pada dirinya di samping melaksanakan 18
Pendahuluan
pencatatan segala gejala yang ditemui. Dengan perkataan lain, teknik ini digunakan untuk menangkap makna di balik suatu kegiatan. Observasi adalah langkah awal yang krusial untuk mendapatkan data yang dalam sebelum interview, karena itu sangat membantu peneliti dalam membangun pertanyaan penelitian. Melalui observasi, peneliti juga akan dapat mengeleminir subyektifitasnya, sebab setiap orang punya habitus, relationship yang berbeda sehingga punya pemahaman yang berbeda tentang sesuatu hal. Dalam proses observasi (pengamatan) dalam penelitian ini akan digunakan dua cara pengamatan, yaitu pertama, pengamatan yang dilakukan dengan melibatkan diri (participant observation) dengan objek yang diamati dengan maksud peneliti/pengamat betul-betul menyelami kehidupan obyek pengamatan melalui hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan. Kedua, pengamatan tanpa melibatkan diri (non participant). Operasionalisasi pengamatan dalam penelitian ini, pertama-tama dilakukan dengan peninjauan lapangan (penjajakan) yang dilakukan untuk menjajagi lokasi penelitian yang hendak diteliti dalam hal ini Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar, Bali. Hal ini, sudah mulai dilakukan pada tahun 2005 setelah peneliti menyelesaikan studi Magister Sosiologi Agama UKSW sebagai langkah awal untuk persiapan studi Program Doktor. Dalam penjajakan ini, peneliti juga melakukan pengenalan akan kondisi wilyah dan kondisi infrastruktur Desa (pemerintahan Dinas dan Adat, sarana pendidikan, ibadah, kesehatan dan ekonomi). Kedua, observasi ini dilakukan dengan lebih intensif/sungguh-sungguh ketika peneliti telah menjalani perkuliahan pada Program Pascasarjana Doktor Studi Pembangunan UKSW dan secara khusus setelah dinyatakan lulus dalam ujian proposal tahun 2009. Peneliti dalam mendapatkan hasil pengamatan yang valid, menetap di Desa Pemogan hampir selama 2 tahun (akhir 2009-awal 2011) dan melakukan tiga kali perpindahan tempat pemondokan pada dusun/banjar yang berbeda. Pada tahap ini, peneliti mengamati masyarakat dalam kegiatannya. Misalnya 19
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan agama. Selain itu, peneliti juga berjumpa dengan beberapa pihak yang terkait (Kepala Desa, Bendesa Adat, Kepala Dusun, Camat Denpasar Selatan, dan tokoh-tokoh masyarakat dan agama serta masyarakat Desa Pemogan), yang dapat memberikan informasi dalam penelitian ini. Dalam melakukan pengamatan, peneliti juga melakukan pemotretan dan rekaman secara audio-visual dengan menggunakan handycam dengan maksud untuk meningkatkan hasil validitas pengamatan. b. Wawancara Data kualitatif adalah berupa kata-kata dan ungkapan, maka wawancara menjadi perangkat yang sangat penting. Wawancara adalah sumber data yang utama dalam penelitian kualitatif. Wawancara merupakan suatu proses tanya jawab antara peneliti dan obyek penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan secara lisan mengenai data, keterangan, pandangan, dan pendirian obyek yang diwawancarai. Setidaknya ada dua jenis wawancara: wawancara terstruktur (structured Interview) dan wawancara tak terstruktur (unstructured Interview). Wawancara terstruktur mengacu pada situasi ketika peneliti melontarkan sederet pertanyaan temporal pada tiap-tiap responden berdasarkan kategori-kategori jawaban terbatas. Sebaliknya wawancara tak terstruktur berdasarkan sifat dasarnya memberi ruang yang lebih luas dibandingkan dengan tipe wawancara terstruktur (Denzin dkk. 2009: 507; Agus Salim 2006: 16). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara mendalam (in-depth interview), sebagai suatu proses untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah dilakukan berkalikali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi 20
Pendahuluan
penelitian (Bungin 2008: 108). Metode ini sangat penting untuk melengkapi data yang diperoleh dengan pengamatan karena tidak semua data berkaitan dengan manusia, perilaku, apalagi dengan pandangan dan pendiriannya, didapat dengan pengamatan. Metode wawancara ini akan dilakukan secara atau bersifat terbuka, dilakukan dengan memilih dan menentukan informan kunci (key-informant) di kalangan tokoh masyarakat (etnis dan agama) dan pemerintah (adat dan desa dinas) di Pemogan, Denpasar Selatan. Selanjutnya dalam pengumpulan data dengan metode ini, pewawancara juga dilengkapi dengan alat bantu (seperti Voice digital Record, blocknote, pulpen) sebagai suplemen terhadap pelaksanaan wawancara itu sendiri. c. Studi dokumentasi Di samping metode observasi dan wawancara, peneliti juga menggunakan teknik dokumentasi. Menurut Kartodirjo (1994), bahan dokumen sering mencakup detail dan hal-hal khusus tentang aktivitas hubungan sosial yang sukar ditangkap dengan observasi langsung. Sebaliknya, bahkan dokumen sering disusun tanpa kesadaran akan proses-proses dan gejala-gejala sosial yang jumlahnya tidak terbatas dalam alam empiris sehingga hanya sebagian kecil yang mengendap dalam dokumen. Nawawi (1995: 74), lebih jelas mengatakan bahwa dokumentasi merupakan pengumpulan data yang dilakukan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen, gambar, buku, koran, dan majalah. Dokumentasi dilakukan untuk memperoleh referensi yang dianggap relevan seperti konsep, gagasan, teori yang relevan dan berkaitan dengan penelitian baik dalam proses pengumpulan data dan pengolan data. Dokumentasi (file, dokumen dan foto-foto) dipandang perlu dalam penelitian ini, dalam upaya mendukung dan melengkapi data hasil wawancara dan observasi, sehingga penelitian ini menjadi jelas dan lengkap. Penerapan dokumentasi menjadi penting, sehubungan dengan obyek penelitian ini.
21
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
d. Menyalin Data Sekunder Data sekunder tidak lain adalah data yang sudah diolah yang pemerolehannya bukan dari peneliti. Data tersebut diperoleh di sejumlah tempat, kantor, dan lembaga atau sudah ada di dokumendokumen meski pun dalam beberapa hal, untuk keperluan tertentu dalam penelitian ini, harus dioleh lagi. Data statistik, laporan, arsip, artikel, foto, gambar, dan peta termasuk diantaranya. e. Studi kepustakaan Studi kepustakaan yang dimaksud disini adalah studi yang berkaitan dengan budaya hidup masyarakat Bali, khususnya yang mempunyai signifikansi dengan pokok yang dikaji. f. Studi tentang kasus tertentu Studi ini dilakukan dengan mempelajari catatan-catatan kasus (case record) mengenai suatu permasalahan, misalnya mengapa dalam kedukaan menyama braya menjadi sesuatu yang amat nampak dan mengapa konflik menjadikan menyama braya kehilangan arti dan makna. •
Unit Analisa dan Amatan Unit analisa tiga fokus studi dan unit amatan adalah Komunitas etnis, agama, pemerintah (Dinas dan Adat), dan masyarakat secara umum khususnya di Desa Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali. •
Sumber Informasi
Informan kunci adalah orang-orang yang memiliki wawasan atau pendapat mengenai masalah pokok yang diteliti diantaranya; Kepala Desa yang sekaligus mantan Kelian Adat atau Bendesa Adat (Kepala Desa Pakraman), A.A. Ketut Sujaya, Ida Bagus Suteja (Bendesa 22
Pendahuluan
Adat Kepaon), Dewa Putu Budha (tokoh agama dan sekarang ketua KUD Kepaon), Nyoman Mariana (Mantan Bendesa Adat dan sekarang Ketua LPM), Haji Nyoman Ibrahim (Majelis taklim Masjid “ALMuhajirin” Kampung Banjar Adat Islam Kepaon), Ahmad Subawai (Kepala Dusun Kampung Banjar Adat Islam Kepaon), John Ketut Pantja (Tokoh Kristen) dan Atu Mangku (tokoh Budha/Kong Hu Chu), Putu Wardana (Kepala Dusun Dukuh Tangkas), Mohamad Musa (Matan Sekretaris Desa Pemogan), responden masyarakat multi etnis, kultur dan agama, dan data sekunder yang berupa file, statistik, laporan, foto, gambar, peta yang ada di pemerintah Desa Dinas maupun Desa Pekraman di Desa Pemogan. •
Jenis Data Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti yang berasal dari wawancara dari sejumlah informan yang menjadi informan kunci, seperti tokoh etnis, tokoh agama, Pemerintah Desa dinas dan Adat, dan pengamatan pada masyarakat di Desa Pemogan. Data sekunder adalah data yang sudah diolah yang diperoleh dari sejumlah tempat, kantor, lembaga. Data ini juga akan dilengkapi dengan data statistik, laporan arsip, artikel, foto, gambar, dan peta untuk melengkapi data-data primer. Maleong (2005) mengatakan sumber data, antara lain foto, dokumen dan koran. •
Analisis Data Analisa data naratif: pengumpulan data, klasifikasi data (reduksi data) berdasarkan pada kenyataan empirik, display: uraian hasil wawancara dan kasus-kasus, interpretasi dan tulisan/laporan.
Originalitas Penelitian Cliford Geertz dalam karya besarnya tentang Religion of Java, sebagai hasil penelitian di sebuah kota kecil bagian tengah Jawa Timur
23
Menyama Braya: Studi Perubahan Masyarakat Bali
yang bernama Mojokuto, menuliskan tentang hubungan/relasi sosial masyarakat Jawa yang “plural”, yakni abangan, santri, dan priyayi. Di mana relasi tersebut, telah menghantar pada hubungan masyarakat Jawa dalam konflik dan integrasi. Artinya sekalipun ada perbedaan dan antagonisme dari ketiga sub-komunitas tersebut, tetapi ketiganya tercakup dalam struktur sosial yang sama, memegang banyak nilai yang sama yang cenderung melawan efek pemecah dari penafsiranpenafsiran yang berbeda terhadap nilai-nilai dan masih dalam perasaan kebudayaan yang satu. Penelitian dan fakta tersebut, menunjukkan bahwa sangat relevan untuk dilakukan penelitian tentang relasi sosial dalam masyarakat yang plural dalam arti: etnis, budaya dan agama. Penelitian tentang menyama braya dalam dinamika masyarakat Bali khususnya studi makna perubahan sosial di Desa Pemogan, Denpasar Selatan, Bali, membuat peneliti berkeyakinan akan dapat memperkaya khazanah pengetahuan tentang perubahan sosial masyarakat dalam perspektif relasi sosial. Relevansi Penelitian ini mencoba mengeksplorasi dan mendiskripsikan bagaimana relasi masyarakat Bali yang plural dalam hal agama, etnik, dan budaya yang dilandasi kearifan lokal menyama braya. Dari hasil ini diharapkan informasi mengenai pemahaman menyama braya dalam dinamika masyarakat Bali dan menemukan faktor penyebab serta makna dari perubahannya, sehingga kemungkinan diperoleh bentuk relasi sosial yang berbeda dari relasi sosial yang terjadi di tempat yang lain. Dengan demikian penelitian ini akan membuka ruang bagi peneliti lain untuk menemukan dan menyusun konsepsi dan implementasi alternatif tentang model relasi sosial yang dilandasi kearifan lokal, sesuai dengan nilai-nilai budaya adiluhung dalam masyarakat setempat.
24