PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran strategis dalam pembangunan nasional. Sebagai sektor yang menyerap 80 – 90% tenaga kerja, usaha Mikro Kecil dan Menengah juga menjadi segmen terbesar pelaku ekonomi nasional. Menurut data Departemen Koperasi dan UKM, jumlah UMKM di Indonesia periode tahun 2008 – 2009 mengalami peningkatan sebesar 2,64% yaitu dari 51,4 juta unit pada Tahun 2008 menjadi 52,7 unit pada tahun 2009. UMKM merupakan pelaku usaha terbesar dengan persentasenya mencapai 99,99% dari total pelaku usaha nasional pada tahun 2009. Hal ini mengindikasikan UMKM memiliki peran yang besar dalam menopang perekonomian. Berdasarkan data statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tahun 2008 – 2009, yang memiliki proporsi unit usaha terbesar adalah sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan, (2) Perdagangan, Hotel dan Restoran, (3) Pengangkutan dan Komunikasi, (4) Industri Pengolahan; serta (5) Jasa-jasa, yang masing-masing tercatat sebesar 49,98 persen; 29,44 persen; 6,46 persen; 6,19 persen dan 4,33 Persen. Pada saat krisis ekonomi tahun 1997/1998, UMKM memiliki ketahanan yang relatif lebih baik dibandingkan dengan Usaha Besar (UB) karena tingginya local content pada faktor-faktor produksi UMKM, baik pada penggunaan bahan baku maupun permodalan. Selain itu, UMKM pada umumnya berbasis pada basic needs masyarakat luas dan memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan lain yang ada adalah kurangnya ketergantungan pada bahan baku impor dan potensi pasar yang tinggi mengingat harga produk yang dihasilkan relatif rendah sehingga terjangkau oleh golongan ekonomi lemah (Hill, 2001). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki, selama lebih kurang 10 tahun terakhir sektor UMKM juga menjadi alternatif penyaluran kredit perbankan dalam rangka penyebaran risiko kredit ditengah-tengah sulitnya mencari debitur yang tidak bermasalah.
1
Di
balik
keunggulan
dan
ketahanan
yang
dimiliki,
pada
kenyataannya hingga saat ini masih banyak terdapat permasalahan yang dihadapi oleh sektor UMKM. Upaya pengembangan UMKM masih menjumpai berbagai kendala antara lain pengelolaan usaha yang masih tradisional, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai, skala dan teknik produksi yang rendah serta masih terbatasnya akses kepada lembaga keuangan, khususnya perbankan. Berdasarkan data BPS tahun 2009, total UMKM yang dibiayai oleh perbankan baru sebesar 11,78% saja, suatu angka yang masih sangat jauh dari harapan dan upaya yang konkrit dalam pengembangan UMKM melalui bantuan permodalan perbankan. Berbagai upaya dalam pengembangan UMKM telah dilakukan dan berjalan sampai dengan saat ini serta melibatkan banyak pihak, yaitu Pemerintah, Bank Indonesia, Perbankan Nasional dan Lembaga-lembaga lainnya yang peduli terhadap UKM antara lain, Departemen dan Kementrian, BUMN, LSM dan bahkan Lembaga Asing. Peran pemerintah dalam pengembangan sektor ini telah cukup banyak digulirkan, salah satunya adalah kebijakan penyaluran kredit pada sektor UMMK. Bentuk kebijakan ini juga merupakan salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang dialami sebagian besar rakyat Indonesia. Pelaku utama yang memiliki posisi dan peran strategis dalam pengembangan UMKM adalah perbankan, mengingat bank merupakan lembaga keuangan yang begitu besar keterlibatannya dalam perputaran keuangan masyarakat dan secara signifikan dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan usaha mikro dan kecil di Indonesia. Kebijakan Bank Indonesia dalam pemberdayaan sektor UKM melalui UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dengan perubahannya Nomor 3 tahun 2004 telah memberikan perubahan paradigma yang mendasar. Dalam hal ini, Bank Indonesia tidak lagi memberikan bantuan keuangan atau Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) sehingga peranan Bank Indonesia dalam pengembangan UKM berubah menjadi tidak langsung. Pendekatan yang digunakan kepada UMKM bergeser dari development role menjadi promotional role. Pendekatan yang memberikan subsidi kredit dan bunga 2
murah telah bergeser kepada pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kegiatan pelatihan petugas bank, penelitian dan penyediaan informasi. Dengan kondisi tersebut, Bank Indonesia tetap memberikan dukungan, namun kebijakan BI baik dari sisi supply maupun demand lebih difokuskan dalam rangka mendorong fungsi intermediasi perbankan serta untuk mendukung sistem perbankan yang sehat. Dari sisi supply, Bank Indonesia mengeluarkan berbagai kebijakan perbankan sehingga dapat meningkatkan penyaluran kredit kepada UMKM dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian (prudent). Kebijakan tersebut antara lain Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/2/PBI/2001 tentang pemberian Kredit Usaha Kecil yang menganjurkan bank memberikan sebagian kreditnya kepada usaha kecil;
PBI No 6/25/PBI/2004 dan SE Nomor
6/44/DPNP tanggal 22 Oktober 2004 perihal Rencana Bisnis Bank Umum Dalam Penyaluran Kredit UMKM sehingga diketahui komitmen Bank dalam menyalurkan kredit pada sektor UMKM. Melalui
kebijakan
Pemerintah
dan
Bank
Indonesia
serta
perubahan paradigma perbankan dalam memandang sektor UMKM selama 10 tahun terakhir, penyaluran kredit pada sektor ini mengalami trend perningkatan/pertumbuhan
yang
cukup
signifikan
seiring
dengan
peningkatan portofolio kredit perbankan untuk pemberian kredit UMKM. Perkembangan kredit UMKM yang bersumber dari pembiayaan Bank menunjukkan Baki Debet akhir September 2010 telah mencapai IDR 929,3 Trilyun atau 56% dari total Baki Debet Kredit perbankan sebesar IDR 1.670,3 Triliyun (akhir September 2010) dengan komposisi :
Usaha Mikro
: IDR 300,7 Trilyun, (NPL 3,13%)
Usaha Kecil
: IDR 366,2 Trilyun, (NPL 1,99%)
Usaha Menengah : IDR 262,2 Trilyun, (NPL 3,33%)
Hingga September 2010, net ekspansi kredit pada sektor UMKM mencapai 147,6 Trilyun atau meningkat 28% bila dibandingkan akhir tahun 2009, suatu pertumbuhan yang cukup signifikan. Pada kenyataannya, komposisi kredit UMKM didominasi oleh Kredit Konsumsi dengan prosentase sebesar 54% yang diikuti oleh Kredit Modal Kerja sebesar 37% dan Kredit Investasi sebesar 9%. Besarnya porsi Kredit Konsumsi menunjukkan bahwa prosentase Baki Debet kredit pada 3
sektor UMKM sebesar 56% dari total kredit perbankan tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya, mengingat : 1. Kredit Konsumsi digunakan untuk keperluan konsumtif antara lain : pembelian kendaraan, tanah, bangunan, biaya pendidikan dan lainnya yang sejenis 2. Kredit yang disalurkan pada sektor UMKM sepatutnya dipergunakan untuk menunjang aktivitas usaha (produktif) sehingga kredit konsumsi tidak dapat dikategorikan sebagai kredit UMKM yang penggunaannya untuk keperluan konsumtif. 3. Penggolongan kredit konsumsi sebagai kredit UMKM tidak sesuai dengan Undang-undang No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (berdasarkan penggunaan/kriteria usaha). 2.
Rumusan Masalah Secara umum setkor UMKM cukup banyak memiliki kelemahan yang sering menjadi hambatan bagi UMKM tersebut untuk berkembang dan
berkelanjutan,
meskipun
kontribusinya
terhadap
pertumbuhan
perekonomian Indonesia selama beberapa tahun terakhir cukup strategis dan tidak dapat diabaikan, begitu juga kontribusinya terhadap penurunan jumlah pengangguran. Salah satu permasalahan yang bersifat klasik dan mendasar (basic problem) adalah berupa permasalahan modal. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya dan komitmen dari berbagai pihak yang berkepentingan terutama pemerintah, Bank Indonesia dan Perbankan sebagai lembaga keuangan yang memiliki fungsi menyalurkan kredit. Bank terutama Bank Pemerintah yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah dan berkaitan sangat erat dengan program dan kebijakan pemerintah sendiri, memiliki peran yang strategis dalam pengembangan UMKM terutama dalam hal permodalan usaha. Kondisi makro ekonomi yang kondusif dan trend kinerja perbankan yang semakin baik selama beberapa tahun terakhir dapat menjadi faktor pendorong dalam penyaluran kredit pada sektor UMKM. Berdasarkan kondisi tersebut maka rumusan masalah yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah :
4
a.
Bagaimana bank pemerintah dapat menjadi pilar bagi pelaku UMKM dalam hal memberikan bantuan permodalan.
b.
Mencari gambaran peran dan komitmen Bank pemerintah dalam pengembangan UMKM melalui bantuan permodalan (kredit).
c.
Bagaimana membuat para pelaku UMKM paham tentang produkproduk kredit yang disediakan oleh Bank Pemerintah dan memahami pentingnya kredit yang disalurkan bagi keberlangsungan usaha.
3.
Tujuan Penelitian a.
Mengevaluasi kinerja pembiayaan kredit Bank Pemerintah kepada Sektor Usaha Mikro dan Kecil.
b.
Menggambarkan perspektif Kredit Konsumsi sebagai kredit non UMKM.
c.
Menilai pengaruh suku bunga kredit dan NPL (Non Performing Loan) terhadap penyerapan kredit pada sektor Usaha Mikro dan Kecil
4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini, antara lain : a.
Memberikan informasi kinerja Pembiayaam Bank Pemerintah pada sektor UMKM yang mencerminkan kondisi yang sebenarnya (Kinerja Riil) dan gambaran sejauh mana peran dan komitmen Bank Pemerintah terhadap UMKM.
b.
Memberikan informasi bahwa kredit Konsumsi tidak dapat digolongkan sebagai kredit UMKM mengingat penggunaanya yang bersifat konsumtif (non produktif)..
c.
Menjadi referensi bagi Pemerintah dan Bank Indonesia dalam menetapkan kebijakan penyaluran kredit dalam rangka pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di masa yang akan datang.
5