PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan kayu untuk hampir semua bangunan struktural masih sangat umum bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Kayu yang digunakan untuk bangunan struktural umumnya terdiri dari jenis lokal, seperti kayu nangka, rasamala, puspa, sengon, kayu durian, kayu mangga dan lain sebagainya serta jenis komersial yang didominasi oleh jenis-jenis kayu luar Jawa seperti meranti, punak, mabang, kapur atau kamper, keruing, kempas, bangkirai, damar laut dan kayu-kayu campuran seperti borneo super. Jenis-jenis kayu tersebut memiliki variabilitas sifat fisik maupun mekanik yang sangat tinggi sebagai akibat pengaruh sifat-sifat genetik dan faktor lingkungan selama pertumbuhannya. Bangunan struktural sebagai bagian dari konstruksi teknik dirancang dengan memperhitungkan persyaratan keamanan yang tinggi demi keselamatan dan kenyamanan penghuninya. Pada semua konstruksi teknik bagian-bagian pelengkap suatu bangunan harus diberi ukuran-ukuran fisik yang akurat agar dapat menahan gaya-gaya yang sesungguhnya atau yang mungkin akan diberikan kepadanya (Popov, 1984). Pada prinsipnya suatu bangunan struktural menuntut tiga aspek penting, yaitu kekakuan (stiffness), kekuatan (strength) dan kestabilan (stability) struktur. Kekuatan, kekakuan dan kestabilan suatu bangunan struktural kayu dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya bentuk rancang bangun, jenis kayu yang digunakan, macam sambungan dan beban yang dipikulnya. Sambungan kayu merupakan titik kritis atau terlemah yang terdapat pada elemen atau titik hubung dari suatu bangunan struktural (Tular dan Idris, 1981). Pada umumnya sistim batang rangka bangunan struktural hendaknya diupayakan sedemikian rupa agar sambungan yang terdapat pada elemen atau titik-titik hubungnya hanya bekerja gaya uni-aksial tarik atau tekan saja. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kekakuan struktur yang tinggi karena struktur terhindar dari bahaya tekukan. Namun demikian berdasarkan macam beban yang bekerja dan jenis strukturnya, disamping beban uni-aksial tersebut, elemen atau titik-titik hubung bangunan struktural dapat saja memikul atau menyalurkan beban lentur, geser dan atau
momen lentur. Macam sambungan kayu yang bersifat kritis dan perlu penanganan serius sehingga perlu diperhitungkan berdasarkan kaidah ilmiah adalah sambungan tarik, geser dan sambungan momen. Hal ini disebabkan kekuatan sambungan kayu, khususnya yang menerima gaya tarik luas bidang kontak dari komponen atau batang utamanya digantikan oleh luas bidang tarik atau geser dari alat sambungnya sehingga kekuatan sambungan tarik umumnya lebih rendah dan sulit menyamai besar kekuatan batang utamanya. Sambungan tarik pada kayu juga rentan terhadap sesaran dan ini merupakan kelemahan berikutnya. Kekuatan sambungan kayu sangat dipengaruhi oleh komponen pembentuk sambungan, yaitu balok kayu yang akan disambung, alat sambung dan macam atau bentuk sambungan (Surjokusumo 1984). Alat sambung tipe dowel seperti paku merupakan salah satu alat sambung mekanis, relatif murah dibandingkan baut dan mudah diperoleh dipasaran serta mudah pengerjaannya. Kebiasaan praktisi bangunan di Amerika Serikat menggunakan paku untuk disain sambungan dilakukan dengan pertimbangan bahwa gaya-gaya yang dipikul dan disalurkan relatif kecil, dan menggunakan baut bila memikul dan menyalurkan gaya yang lebih besar. Dengan demikian walaupun
paku
umumnya
digunakan untuk
konstruksi ringan,
namun
kemungkinan untuk digunakan pada konstruksi struktural yang memikul beban tinggi (heavy timber construction) bisa saja diterapkan, seperti yang telah dilakukan oleh beberapa disainer bangunan di Uni Eropa dan New Zealand (Breyer et al. 2007). Pandangan bahwa paku hanya mampu memikul atau menyalurkan beban rendah terutama disebabkan penelitian sambungan kayu ukuran pemakaian atau skala penuh (full scale) dengan paku untuk jenis kayu yang memiliki kerapatan atau berat jenis sedang sampai tinggi belum banyak dilakukan di Indonesia. Menurut Faherty dan Williamson (1989) sambungan-sambungan kayu sekarang ini sebenarnya sudah dapat didisain dengan ketelitian yang sama seperti bagian-bagian lain dari struktur. Namun demikian disain dan praktek konstruksi yang buruk sering dilakukan terutama terkait dengan pengendalian kekuatan atau kemampuan pengendalian selama masa layanan (serviceability) dari suatu sambungan pada sistim bangunan struktural.
2
Perkembangan terakhir disain sambungan kayu di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dalam aplikasi berbagai tipe sambungan kayu termasuk sambungan geser ganda (double shear connections) papan atau batang/balok kayu - pelat logam dengan paku didasarkan pada perhitungan nilai disain rujukan yang diperoleh dari persamaan batas leleh (yield limit equations). Persamaan batas leleh tersebut menurut Tjondro (2007) pertama kali diperkenalkan oleh Johansen’s (1949) didasarkan pada prinsip-prinsip mekanika teknik untuk memprediksi kekuatan leleh dari lentur baut tunggal dan tahanan dari kayu saat hancur. Dalam banyak hal prinsip ini berlaku juga untuk alat sambung tipe dowel lainnya termasuk paku. Disain sambungan kayu baik geser tunggal maupun geser ganda dengan alat sambung paku di Indonesia didasarkan pada Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI NI-5 1961) (1979) dan selanjutnya disempur nakan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI, 2002). Dalam penyusunannya, kedua peraturan konstruksi kayu ini belum mengakomodasikan kedua parameter tersebut. Disamping itu ketentuan mengenai beberapa variabel utama sambungan tampang satu (geser tunggal) yang tercantum dalam PKKI 1961 masih terbatas besaran maksimumnya, yaitu berat jenis kayu, diameter paku dan tebal batang sambungan masing-masing 0,6; 5,2 mm dan 40 mm. Penelitian tentang sifat mekanik kekuatan lentur paku, tahanan lekatan atau kuat tumpu paku baik pada batang utama kayu (main member) maupun batang/pelat tepi baja (site member) serta kekuatan sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja pada berbagai jenis kayu tropis Indonesia belum banyak dilakukan.
Perumusan Masalah Aplikasi sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk pada bangunan-bangunan struktural, apalagi yang memikul beban-beban sangat tinggi belum ada laporan dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Kalaupun ada sambungan paku pada bangunan struktural yang menerima beban cukup tinggi, maka umumnya disain sambungan lebih didasarkan atas intuisi atau pengalaman lapangan. Dengan demikian terdapat dugaan kuat bahwa penggunaan paku dan kayu sebagai elemen bangunan struktural sangat berlebihan atau boros bahan baik
3
dalam hal jumlah dan mutu paku maupun dimensi penampang dan mutu kayu. Pemborosan ini lebih disebabkan disamping belum tersedianya data teknik (nilai disain struktural paku dan mutu kayu konstruksi) di lapangan, juga praktek konstruksi kayu berasaskan keteknikan sulit dan belum secara meluas diterapkan dikalangan masyarakat. Bentuk bangunan struktural, khususnya gelagar rangka batang umumnya dirancang sedemikian rupa sehingga komponen atau elemen-elemen penyusun rangka bangunan tersebut hanya menerima beban tekan atau tarik uni-aksial saja. Kekakuan dan kekuatan bangunan struktural sangat ditentukan oleh kekakuan dan kekuatan elemen penyusunnya serta kekakuan dan kekuatan sambungan yang terdapat pada elemen atau titik hubung antar elemen penyusunnya. Titik kritis bangunan struktural bukan terletak pada elemen utamanya, yaitu batang atau balok kayunya namun terdapat pada sambungan kayu yang memikul beban tarik, geser atau momen lentur. Penelitian untuk mengkaji fenomena sambungan kayu ukuran pemakaian (full scale) menggunakan paku majemuk karena pengaruh gaya-gaya tarik belum banyak dilakukan. Dengan demikian penelitian ini mencoba mempelajari dan mengamati fenomena yang terjadi dari sambungan tersebut untuk sepuluh jenis kayu tropis yang terdapat di Indonesia. Dalam rangka menjelaskan fenomena yang terjadi dari suatu sambungan kayu sepuluh jenis kayu dengan paku majemuk karena pengaruh gaya tarik, maka berbagai parameter atau data utama dan penunjang berupa data sifat fisik dan mekanik bahan kayu, paku dan pelat baja serta data contoh uji sambungan diperoleh melalui pengujian laboratorium. Data atau informasi mengenai kekuatan tarik maksimum sejajar serat kayu dibutukan untuk melihat sampai seberapa jauh penurunan kekuatan sambungan dibandingkan dengan kekuatan kayu solidnya. Data kekuatan tarik tersebut diturunkan atau diperoleh dari model-model pendugaan empirik berbagai sifat mekanis dari sifat fisiknya yang dikembangkan oleh Tjondro, (2007). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan atau berdasarkan pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengujian kekuatan tarik sejajar serat kayu apalagi dalam ukuran lapangan relatif sulit dilakukan. Pada pengujian ukuran penuh gaya yang dibutuhkan untuk merusak contoh uji dari jenis-jenis
4
kayu berkerapatan sedang sampai tinggi sangat besar, sehingga menyulitkan dalam pembuatan asesories (grip) sebagai pencengkeram contoh uji, karena diduga timbul tegangan-tegangan sekunder. Data kerapatan dan kekuatan tekan maksimum sejajar serat kayu diperlukan untuk melihat kemampuan alat sambung paku menumpu/menekan/membenam pada kayu. Data kadar air diukur setelah batang kayu mencapai kadar air kesetimbangan (kering udara) yaitu kadar air kayu pada kondisi setimbang dengan temperatur dan kelembaban udara relatif disekitarnya.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini meliputi beberapa hal, yaitu : 1. Menerangkan perilaku dan menentukan besar pengaruh diameter dan jumlah paku terhadap kekuatan sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja akibat beban uni-aksial tekan sepuluh jenis kayu tropis Indonesia. 2. Menentukan kekuatan dan sesaran pada batas proporsional dan batas maksimum dari kurva beban-sesaran sambungan geser ganda. 3. Merumuskan model-model regresi hubungan antara kekuatan sambungan kayu geser ganda batang kayu dengan paku tunggal berpelat sisi baja dengan kerapatan kayu menurut diameter paku. 4. Menyusun tebel kelas mutu sambungan geser ganda menurut beberapa diameter paku pada sesaran tertentu.
Novelty Penelitian Novelty yang telah diperoleh setelah mengadakan penelitian kekuatan sambungan geser ganda berdasarkan pendekatan teoritis dan pengujian empiris adalah sebagai berikut: 1. Nilai disain lateral Z sambungan geser ganda batang kayu dengan paku berpelat sisi baja yang berada diluar ketentuan yang diatur dalam Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI)-NI 1961 meliputi : a. Dimensi tebal penampang batang kayu 55 mm
5
b. Dimensi tebal pelat baja 15 mm c. Diameter paku 5,5 mm d. Jenis kayu yang memiliki kerapatan tinggi (> 0,70 g/cm3), yaitu rasamala, mabang, kempas, kapur dan bangkirai. 2. Nilai disain lateral Z sambungan geser ganda dapat ditetapkan pada sesaran di daerah elastis, yaitu 1,00 mm, bukan 1,50 mm sebagaimana diatur dalam PKKI-NI 1961. 3. Sesaran pada batas maksimum sambungan geser ganda terjadi dibawah 5,00 mm dari kurva beban-sesaran. 4. Model regresi power merupakan model terbaik untuk menduga nilai disain lateral Z sambungan geser ganda dengan paku berpelat sisi baja dari kerapatan kayu. 5. Tersusunnya tabel kelas mutu sambungan geser ganda dengan rentang kerapatan kayu 0,21-0,99 g/cm3 menurut diameter paku (4,1; 5,2; dan 5,5 mm) dan sesaran sambungan (1,00; 1,50; dan 1,50 mm).
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : 1. Faktor diameter dan jumlah paku mempengaruhi kekuatan sambungan geser ganda batang kayu dengan paku majemuk berpelat sisi baja menurut berbagai jenis kayu tropis Indonesia 2. Terdapat hubungan regresi antara kekuatan sambungan geser ganda batang kayu dengan paku tunggal berpelat besi baja dengan diameter dan jumlah paku pada berbagai berat jenis dan atau kerapatan kayu tropis Indonesia.
6