PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia semula terkenal sebagai negara pengekspor gula yang cukup besar dan diperhitungkan di dunia, tetapi saat ini justru berubah menjadi negara pengimpor gula dalam jumlah cukup besar. Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia, untuk tahun 2009, pada saat produksi dalam negeri sekitar 2,45 juta ton, kebutuhan domestik sekitar 4,64 juta ton, atau kemampuan produksi dalam negeri sekitar 53 persen. Tahun 2010 kebutuhan gula Indonesia mencapai 4,8 juta ton yang terdiri 2,6 juta ton gula konsumsi rumah tangga langsung dan 2,2 juta ton untuk industri makanan dan minuman. Sementara itu produksi gula kristal putih nasional dari tebu menurun drastis hanya sebesar 2,2 juta ton. Dengan kondisi tersebut, ketergantungan pemenuhan gula dalam negeri 56% terhadap total kebutuhan. Jumlah impor gula tahun 2010 mencapai 2,5 juta ton lebih yang terdiri 2,4 juta ton raw sugar, 75 ribu ton gula rafinasi, dan 118 ribu ton gula kristal putih. Pada tahun 2010/2011 produksi gula dunia mencapai 168 juta ton atau naik 4,66% dari tahun 2009/2010 sebesar 161 juta ton. Sementara konsumsi pada tahun 2010/2011 mencapai 167,9 juta ton, sehingga stok gula dunia mencapai 58,8 juta ton. Jumlah stok ini hampir sama dengan stok tahun sebelumnya. Namun meskipun stok jumlahnya relatif sama, karena jumlah konsumsi meningkat maka nisbah antara stok dengan konsumsi menurun dari tahun sebelumnya, yaitu menjadi 35,04 persen1. Stok gula dunia diperkirakan akan terus berkurang sejalan dengan meningkatnya harga minyak bumi yang ternyata mendorong industri tebu menjadi etanol. Akibat persaingan antara penggunaan tebu untuk gula dan untuk etanol, maka harga gula dunia cenderung bertahan pada tingkat yang tinggi. Sebagai negara yang mengimpor gula dalam jumlah besar, bagi Indonesia baik kelimpahan maupun kelangkaan gula dunia sangat nyata pengaruhnya terhadap kondisi pergulaan di Indonesia. Pemerintah Indonesia mencanangkan program swasembada gula tercapai pada tahun 2014. Kebutuhan total gula tahun 2014 diproyeksikan sebesar 5,6 juta ton, 1
International Sugar Organiation Quarterly Market Outlook, Februari 2011
1
2 terdiri dari gula kristal putih sebesar 3 juta ton dan gula kristal rafinasi sebesar 2,6 juta ton. Dengan asumsi produktivitas gula sebesar 7,44 ton per ha, swasembada gula akan tercapai jika luas areal meningkat menjadi 766 ribu ha (Dewan Gula Indonesia, 2007). Data tahun 2010 menunjukkan bahwa luas kebun tebu di Indonesia adalah 450 ribu ha. Luasan ini terdiri dari tebu petani (TR) sekitar 57,8% dan kebun tebu milik pabrik gula sekitar 42,2 persen. Pada tahun yang sama, di Jawa persentase kebun tebu petani sekitar 73,80%, sedangkan kebun milik pabrik gula sekitar 26,20 persen. Dari total luas tanaman tebu tersebut 77,27% adalah tebu yang dibudidayakan di lahan kering (Dewan Gula Indonesia, 2011). Pulau Jawa yang semula sebagai sentral produksi gula nasional semakin bergeser dengan semakin sulitnya diperoleh lahan yang sesuai untuk areal produksi tebu. Berdasarkan luas areal tebu yang ada saat ini, untuk mencapai swasembada diperlukan penambahan 15 pabrik gula dengan areal minimum 350 ribu ha. Salah satu faktor penting rendahnya produktivitas gula di Indonesia adalah rendahnya rendemen tebu yang dicapai. Dari data yang diperoleh 10 tahun terakhir terlihat bahwa rendemen rata-rata di Indonesia jarang melampaui 7%, bahkan di beberapa pabrik gula rendemen yang diperoleh hanya sekitar 6,5 persen. Pencapaian produktivitas gula tebu tahun 2010 hanya sebesar 5,29 ton per ha. Hasil ini diperoleh dari rendemen rata-rata tebu sebesar 6,47% dan produktivitas tebu sebesar 80,56 ton per ha. Jika dibandingkan dengan negara penghasil gula yang saat ini surplus di Asia, yaitu Thailand dan Cina, sebenarnya data produktivitas tebu Indonesia tidak terlalu rendah. Produktivitas tebu rata-rata di Cina saat ini adalah 77,1 ton dengan rendemen rata-rata 14%. Yunnan merupakan salah satu provinsi penghasil gula terbesar di Cina dan mengalami peningkatan produktivitas dari 60 ton menjadi 80 ton tebu per hektar. Rata-rata produkitivitas tebu di Thailand sekitar 70-75 ton per hektar dengan rendemen rata-rata 12 persen2. Negara penghasil gula terbesar saat ini adalah Brasil, dari data yang ada ternyata tingginya hasil gula per hektar disebabkan oleh tingginya rendemen yaitu 14-16% sedangkan hasil tebunya hanya antara 68-70
2
Office Of Cane And Sugar Board, Thailand (2010)
3 ton per hektar. Sementara hasil tebu di Australia saat ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yaitu 84 ton per ha tetapi dengan rendemen 14-15 persen3. Meskipun hasil gula per satuan luas ditentukan oleh hasil tebu dan rendemen, tetapi peningkatan rendemen jauh lebih strategis dibandingkan peningkatan hasil tebu. Pilihan ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain efisiensi akan lebih tinggi jika rendemen yang ditingkatkan daripada pada hasil tebu.
Efisiensi ini
tercapai dengan penghematan biaya tebang angkut sampai dengan proses pengolahan tebu menjadi gula. Jika produktivitas gula dapat ditingkatkan sesuai asumsi dalam road map atau lebih tinggi, kebutuhan tambahan areal tidak perlu sampai 300 ribu ha.
Potensi rendemen tebu di Indonesia memungkinkan pencapaian
rendemen riel lebih dari 8 persen. Kontribusi varietas dan masa tanam yang tepat dapat mencapai > 20% dari produktivitas yang dicapai saat ini (P3GI, 2011). Proses pembentukan gula yang sesungguhnya terjadi pada tanaman melalui suatu proses metabolisme yang panjang dari mulai fotosintesis sampai dengan pembentukan sukrosa. Tebu adalah tanaman semusim yang akan berakhir masa pertumbuhannya
dengan
berbunga
pada
bulan
Mei-Juni
(Barnes,
1974).
Pembentukan sukrosa terjadi mulai awal musim kemarau, karena dipacu oleh enzim Sukrosa Phosphate Synthetase (Lehninger, 1982; Babb and Haigler, 2001). Sementara itu pembentukan gula monosakarida mulai terjadi saat tanaman berumur 4 bulan setelah tanam.
Hal ini berarti tanaman tebu harus memiliki masa
pertumbuhan yang cukup untuk membentuk gula monosakarida yang nantinya akan diubah menjadi sukrosa. Sebagian besar tebu saat ini diusahakan di lahan kering sehingga umumnya ditanam di awal musim hujan, yaitu bulan November–Desember dengan tujuan menghindarkan tanaman dari cekaman air. Tanaman tebu yang ditanam pada awal musim hujan akan digiling pada musim kemarau (Juni–September ) tahun berikutnya sehingga umur tanaman berkisar 8 bulan.
Dengan umur ini tentu saja tanaman
belum cukup matang pada saat dipanen, sehingga produktivitas yang dicapai tidak maksimum. Untuk mendapatkan masa pertumbuhan yang cukup, masa tanam harus digeser lebih maju ke akhir musim kemarau. Penggeseran masa tanam harus disertai dengan penyiraman agar tanaman tidak mengalami cekaman air di awal 3
Australia Sugar Annual Report (2009)
4 pertumbuhannya. Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air hujan yang tersimpan dalam tanah.
Jumlah air yang tersedia di dalam
tanah sangat dipengaruhi oleh sifat fisik tanah dan ketersediaan bahan organik. Hal ini menyebabkan pasokan air sering kurang mencukupi untuk pertumbuhan tanaman. Selain ketersediaan air, masalah kritis di lahan kering adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Ketersediaan hara, terutama P kurang baik, dan kandungan bahan organik sangat rendah.
Dari pengukuran di beberapa tempat di Jawa Timur,
kandungan bahan organik kurang dari 3%, padahal tanah untuk tanaman tebu seharusnya memiliki kandungan bahan organik tanah tidak kurang dari 5 persen. Rendahnya kandungan bahan organik menyebabkan efisiensi pemupukan dan retensi air rendah. Tanaman tebu adalah tanaman yang membutuhkan air pada saat awal pertumbuhan dan menghendaki kondisi kering nyata di akhir masa pematangan. Jaminan kecukupan air pada awal tanam adalah syarat mutlak tercapainya pertumbuhan yang baik.
Kekurangan air pada saat awal pertumbuhan akan
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan proses pembentukan gula. Sementara itu keadaan kering pada akhir pertumbuhan justru diinginkan karena berpengaruh terhadap proses pembentukan sukrosa dan kematangan tebu. Tambahan air pada saat awal pertumbuhan sangat diperlukan, dimana kebutuhan air tanaman tebu pada saat pertumbuhan setara dengan curah hujan 100 mm/bulan (http:/www.isuagcenter.com). Beberapa penelitian dan praktik di lapangan menunjukkan bahwa pemberian air pada awal pertumbuhan ternyata memberikan hasil yang sangat positif. Salah satu kunci sukses PT Gunung Madu Plantation di Lampung adalah dengan menggeser masa tanam tebu ke akhir musim kemarau dengan memberikan tambahan air. Pergeseran masa tanam dari bulan Februari ke bulan November di Thailand berdasarkan penelitian yang oleh Jintrawet et al. (2000) ternyata sangat berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas gula. Di lapangan saat ini ketersediaan air mulai menjadi masalah yang sangat sulit diatasi bagi petani.
5 Oleh sebab itu diperlukan suatu cara yang tepat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air oleh tanaman yang ditanam lebih awal (akhir musim kering). Peningkatan efisiensi penggunaan air dapat dilakukan dengan pengurangan tambahan air tetapi pertumbuhan tanaman tidak terganggu. Kondisi ini dapat terjadi jika evaporasi dapat dikurangi sehingga air di tanah tetap tersedia bagi tanaman. Cara lain untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air adalah dengan menanam varietas yang tahan kekeringan, sehingga tanaman tebu tetap tumbuh dengan baik meskipun mengalami kekurangan air atau hanya mendapat tambahan air yang relatif sedikit. Perbaikan kondisi tanah pada tanaman tebu dapat dilakukan dengan menggunakan bahan organik. Percobaan pada lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan dengan klas S3 menunjukkan hasil yang baik dengan penambahan bahan organik (Siswanto, 1998). Dalam proses pengolahan tebu menjadi gula terdapat hasil samping yang disebut blotong. Bahan ini merupakan hasil endapan nira dalam proses pemurnian. Penggunaan blotong di perkebunan tebu mulai dilakukan sejak awal tahun 1985. Penelitian oleh Utomo dan Susanti (1986) di Malang Selatan menunjukkan bahwa pemberian blotong pada lahan kering ternyata mampu meningkatkan hasil tebu 25 persen.
Pengaruh pemberian blotong terhadap
peningkatan daya memegang air ditunjukkan oleh penelitian Suhadi dan Sumojo (1985). Selanjutnya Toharisman et al. (1991) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa pemberian blotong pada lahan kering mampu meningkatkan ketersediaan unsur P dan Ca bagi tanaman. Namun pada tanah Alluvial di lahan sawah pemberian blotong tidak memberikan pengaruh yang nyata. Permasalahan penggunaan blotong secara langsung pada areal tanaman adalah sulitnya melakukan penaburan, karena kadar airnya masih tinggi (> 50%). Pemberian kompos yang dibuat dari blotong dan bagase (ampas tebu) ternyata mampu memperbaiki serapan unsur hara N dan S, dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering. Percobaan pemberian kompos blotong di tanah berat (wilayah PG Jatitujuh) menunjukkan bahwa ketersediaan unsur P dan K meningkat pada akhir pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Penelitian lain di PG Tjoekir pada musim tanam 2003/2004 menunjukkan dengan dosis kompos blotong 3 ton per hektar yang diberikan ke juringan ternyata mampu meningkatkan
6 produtivitas tebu 10% dan rendemen 0,5 sampai 0,7 persen4. Hasil nyata juga dapat dilihat pada keberhasilan Pabrik Gula Gunung Madu dan Sugar Group di Lampung dalam peningkatan rendemen melalui program soil building dengan pemberian bahan organik berupa blotong secara kontinyu pada tanaman tebu pertama (plant cane). Praktik aplikasi pemberian blotong ataupun kompos blotong yang banyak dilakukan masih bertujuan memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, sedangkan terhadap pengurangan frekuensi penyiraman belum dilakukan.
Perumusan Masalah Dari penelusuran aspek yang menjadi penentu produksi gula di dalam negeri, dapat ditarik beberapa hal penting, yaitu penurunan produksi gula lebih disebabkan oleh penurunan produktivitas tebu dan rendahnya rendemen yang dicapai daripada produktivitas tebu dan luas areal. Luas areal tanaman tebu relatif tetap selama 5 tahun terakhir. Penurunan produktivitas karena rendahnya rendemen ini antara lain disebabkan oleh pergeseran areal (wilayah produksi) lahan tebu dari lahan sawah irigasi ke lahan kering. Permasalahan pengusahaan tebu di lahan kering adalah : a. Umumnya di lahan kering tebu ditanam di awal musim hujan. Pada saat itu curah hujan masih rendah dan kadar air tanah yang kurang terjamin, bahkan sering kurang terutama di awal pertumbuhan, sehingga pertumbuhan awal terhambat. b. Kesuburan tanah kurang baik terutama ketersediaan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan tebu (N, P, dan K). Akibatnya selain pertumbuhan terganggu, proses pembentukan gula tidak berlangsung dengan baik, sehingga rendemen yang diperoleh rendah. c. Kandungan bahan organik rendah (lahan untuk tebu menghendaki kandungan bahan organik minimum 3%) d. Varietas kurang sesuai, karena selama ini orientasi perakitan varietas adalah untuk lahan sawah dengan pengairan yang terjamin. Akibat ketidaksesuaian ini tanaman mengalami cekaman air pada awal pertumbuhan yang ditunjukkan dengan berkurangnya pembentukan anakan dan berkurangnya tinggi dan
4
Laporan Litbang PTPN X, 2005
7 diameter batang. Pada saat musim hujan datang, tanaman akan lebih memperbaiki
pertumbuhan
vegetatif
sehingga
pembentukan
gula
tidak
maksimum.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka di lapangan dilakukan tindakan pemecahan: a. Memberikan pengairan di awal pertumbuhan, biasanya selama 3 bulan sebelum air hujan mencukupi kebutuhan air tanaman. b. Melakukan pemupukan untuk mencukupi unsur hara. Pupuk yang diberikan adalah pupuk anorganik (Urea dan ZA, SP-36, dan KCl) untuk mencukupi kebutuhan unsur hara makro yang dianggap kurang. c. Penggunaan varietas yang dianggap sesuai ditanam di lahan kering dengan kriteria memiliki potensi hasil tinggi. Namun dari tindakan yang diambil ternyata belum mampu menyelesaikan masalah, karena : a. Pemberian air memang mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman, tetapi keterbatasan jumlah air dan tambahan biaya menimbulkan masalah yang tidak mudah diatasi di lapangan. Air menjadi mahal jika diberikan secara tidak tepat, khususnya di Jawa yang umumnya sumber air untuk irigasi adalah sumur. b. Pemupukan yang dilakukan ternyata sering tidak berpengaruh besar terhadap hasil. Hal ini karena kondisi fisik tanah kurang baik akibat rendahnya bahan organik. Daya tukar kation dan aerasi tanah kurang baik, sehingga serapan hara oleh akar tanaman menjadi kurang baik. c. Penggantian varietas ternyata belum mampu mengatasi permasalahan budidaya tebu di lahan kering. Beberapa varietas yang digunakan ternyata tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi lahan kering. Diperlukan suatu pengujian yang cermat terhadap varietas yang akan ditanam di lahan kering, sebab varietas yang memiliki potensi hasil tinggi belum tentu sesuai untuk tiap wilayah. Pemilihan varietas harus didasarkan pada sifat toleran terhadap kekeringan dan memiliki respon tinggi terhadap pemberian air. Jika digambarkan dalam diagram alir, pemikiran untuk mengatasi masalah di atas adalah sebagai tertera pada Gambar 1.
8
ISUE UTAMA PRODUKSI GULA DALAM NEGERI MENURUN SEMENTARA KEBUTUHAN TERUS MENINGKAT
PERMASALAHAN
PENYEBAB PRODUKTIVITAS TURUN (HASIL TEBU & RENDEMEN RENDAH)
PENYEBAB UTAMA PERGESERAN LAHAN DARI SAWAH KE LAHAN KERING
MASALAH UTAMA LAHAN KERING
KETERSEDIAAN HARA KURANG
2
KANDUNGAN BHN ORGANIK RENDAH
KADAR AIR TANAH KURANG
1
4
VARIETAS TIDAK COCOK
HASIL TEBU DAN RENDEMEN RENDAH
HASIL TEBU DAN KADAR NIRA RENDAH
MENGALAMI CEKAMAN
HARA DITAMBAH DENGAN PUPUK
PENAMBAHAN AIR PD AWAL PERTUMB
MENGGANTI VARIETAS
JUMLAH AIR TERBATAS
TIAP VARIETAS BERBEDA SIFAT
PEMBERIAN AIR DG TEPAT
PENGGUNAAN VARIETAS YANG SESUAI
HARA TETAP KURANG TERJAMIN PENAMBAHAN KOMPOS BLOTONG KETERSEDIAAN HARA DIPERBAIKI
PENINGKATAN EFISIENSI PENGGUNAAN AIR
PEMECAHAN MASALAH
3
PERTUMBUHAN DIPERBAIKI
HASIL TEBU DAN RENDEMEN TINGGI
Gambar 1 Bagan alir kerangka pemecahan masalah
Tujuan Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tebu yang ditanam di lahan kering. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah: a. Mempelajari pengaruh pemberian air terhadap keragaan beberapa varietas tebu dari mulai pertumbuhan, produktivitas tebu dan rendemen.
9 b. Mempelajari pengaruh pemberian kompos blotong terhadap serapan hara oleh tanaman tebu pada kadar air tanah yang berbeda. c. Menganalisis efisiensi penggunaan air sehubungan dengan pemberian kompos blotong pada beberapa varietas tebu. d. Mendapatkan rekomendasi pemberian air yang efisien di lapangan dengan adanya penambahan kompos blotong.
Hipotesis Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Tiap varietas akan memiliki keragaan yang berbeda pada tingkat kadar air tanah yang berbeda. 2. Pemberian kompos blotong akan memperbaiki efisiensi serapan hara, sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik, yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil tebu dan rendemen. 3. Pemberian air yang cukup di awal pertumbuhan tanaman (dari tanam sampai awal musim hujan) akan memperbaiki pertumbuhan tanaman. 4. Pemberian kompos blotong akan memperbaiki efisiensi penggunaan air dan serapan hara (terutama N, P dan K), sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik yang ditunjukkan dengan peningkatan hasil tebu dan rendemen.