PENDAHULUAN Latar belakang Pembangunan suatu bangsa pada hakekatnya adalah upaya pemerintah bersama masyarakat untuk menyejahterakan bangsa. Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM).
SDM yang berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh,
mental yang kuat, kesehatan yang prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi (Azwar 2004). Upaya untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas pada masa yang akan datang harus dilakukan pada masa bayi dan anak-anak. Pembentukan sumberdaya yang unggul dan berkualitas baik fisik, mental maupun sosial dilakukan dalam keluarga sejak dini (Syarief 1997). Peran utama keluarga dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas adalah menyiapkan serta menerapkan pengasuhan dan tumbuh kembang anak dengan baik dan benar, sehingga di kemudian hari keluarga akan melahirkan generasi-generasi yang siap menghadapi tantangan demi eksistensi fisik, ketahanan kejiwaan, survivalitas ekonomi dan sosialnya dalam menghadapi dinamika perubahan jaman (Departemen Sosial RI 1991) Anak adalah masa depan bangsa, mereka adalah pekerja produktif dan pembangun bangsa di masa depan. Terdapat dua strategi untuk menjadikan anak sebagai tumpuan bangsa yaitu pertama menjamin kelangsungan hidup anak dengan kualitas fisik yang memadai melalui pemberian pangan dan gizi, kedua membangun kualitas intelektual, sosial dan emosional anak yang berkesinambungan selama hidupnya (Said 2004). Berdasarkan teori Human Capital yang dipelopori oleh Schultz, Mincer dan Becker di akhir tahun 50-an, anak memiliki nilai ekonomi. Investasi pada anak memberikan keuntungan bagi orangtuanya di masa yang akan datang karena diharapkan dapat menyediakan pendapatan yang lebih baik secara ekonomi (Boyden & Levison, 2000). Nilai anak bagi orangtua berbeda-beda menurut tipe masyarakat, sehingga menyebabkan perbedaan dalam pengambilan keputusan dan tipe hubungan orangtua anak. Untuk meraih kualitas nilai anak yang diharapkan, orangtua menyediakan pendapatan dan hartanya, lingkungan perumahan, dukungan keluarga dan sikap positif terhadap anak (Nauck 2000; Morgan & King 2001). Selain itu sebagai sumber kepuasan bagi orangtua,
2
keberadaan anak akan membutuhkan alokasi pendapatan dan waktu (Bradbury, 2004). Anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua.
Hasil
penelitian di barat menyebutkan bahwa orangtua berharap anaknya lebih cerdas daripada dirinya (Furnham, Rakow & Mak 2002). Anak yang sehat dan cerdas merupakan cerminan dari pertumbuhan dan perkembangan anak yang baik. Tiga tahun pertama dalam kehidupan anak merupakan masa yang paling sensitif yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan (Gutama 2004). Gizi, perawatan dan lingkungan psikologis adalah faktor penentu tumbuh kembang anak. Konsumsi yang cukup menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
yang
baik.
Sebaliknya
konsumsi
yang
tidak
memadai
menyebabkan kurang gizi yang mengakibatkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan, menurunkan produktifitas, meningkatkan kesakitan dan kematian (Azwar 2004). Kecukupan asupan zat gizi tersebut dimungkinkan karena adanya pemberian makan yang berarti terjadi interaksi antara ibu-anak yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan anak.
Lingkungan asuh anak yang
mencakup stimulasi dalam keluarga dan interaksi ibu-anak berhubungan positif dengan pertumbuhan anak dan pekembangan anak. Praktek pengasuhan yang baik akan mengoptimalkan perkembangan fisik dan mental. Interaksi ibu dan anak
merupakan faktor eksternal yang pengaruhnya paling kuat terhadap
tumbuh kembang anak (Satoto 1990). Perumusan Masalah Salah satu jenis makanan/minuman yang dianggap mengandung zat gizi yang dapat membuat anak tumbuh sehat dan cerdas adalah susu.
Dalam
penjabaran angka kecukupan gizi kedalam makanan untuk anak usia 1-3 dan 3-6 tahun dianjurkan mengkonsumsi susu satu porsi atau setara dengan satu porsi pangan hewani sebesar 50 gram mengandung 95 kalori, 10 gram protein dan 6 gram lemak (Depkes 2005). Selain itu menurut Khomsan (2000) pada masa pertumbuhan idealnya seorang balita mengkonsumsi dua gelas susu perhari setara dengan 500 ml susu segar, akan tetapi dalam PUGS (Pedoman Umum Gizi Seimbang) yang dipromosikan oleh Departemen Kesehatan tahun 1994 tidak mencantumkan anjuran mengkonsumsi susu dalam salah satu pesannya
3
dari 13 pesan dasar gizi seimbang. Hal tersebut menjadikan pedoman bahwa susu bukan merupakan makanan utama melainkan hanya pelengkap, sedangkan di Thailand, salah satu anjuran (dari 9) petunjuk gizi seimbang adalah mengkonsumsi susu setiap hari dengan kuantitas dan kualitas yang sesuai dengan umur (Smitasiri dan Chotiboriboon 2003). Menurut Khomsan (2000) untuk anak berusia 2 tahun ke atas, susu bukan lagi merupakan makanan wajib, akan tetapi terdapat kebutuhan dan harapan yang besar dari orang tua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak melalui pemberian susu. Hal tersebut merupakan suatu prospek usaha yang potensial bagi industri. Di samping itu jumlah bayi dan balita di Indonesia cukup banyak. Berdasarkan hasil sensus penduduk, jumlah bayi dan balita di Kota Bogor tahun 2005 adalah 64.108 orang atau sekitar 7.59% dari total penduduk Kota Bogor. Oleh karena itu bayi dan anak merupakan target pasar yang potensial. Saat ini banyak dijual berbagai jenis makanan bayi dan anak Menurut Badan POM, produk susu bayi dan anak yang terdaftar sebanyak 143 merek dengan kategori 109 MD (makanan dalam negeri) dan 34 ML (makanan luar negeri). Dari sejumlah merek tersebut terdapat 124 merek susu untuk anak yang terdiri dari 2 merek MD dan 17 merek ML untuk susu formula lanjutan dan 101 merek MD dan 4 merek ML untuk susu pertumbuhan (Gartini 2004). Hal tersebut membuktikan bahwa selain produsen lokal, perusahaan asing juga turut meramaikan pasar produk susu balita di Indonesia (Anonim 2003). Jenis susu yang diperdagangkan untuk anak antara lain susu bubuk, susu kental manis, susu siap minum (susu sapi segar, susu UHT atau ultra heat treatment dan susu pasteurisasi) serta yoghurt dengan berbagai merek. Menurut praktisi Industri Pangan, Edy B. Regar, pangsa pasar susu di Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2005 untuk lLiquid Milk; Sweetened Condensed Milk (susu kental manis) sebesar 50 persen (251.870), Pasteurized Milk 6 persen (30.220), Sterilized Milk (UHT) 1 persen (4.260), dan Evaporated Milk 2.890. Pangsa pasar susu powder milk: Infant Milk Formula 11 persen (54,990), growing up milk 10 persen (52.260), full cream milk powder 18 persen (89.030), dan formulized nutrition milk 4 persen (22.260) (Khairina 2006). Pertumbuhan pasar susu di Indonesia mencapai 20%-30% per tahun. Inilah yang mendorong para produsen susu berlomba untuk memperluas pasar (Anonim 2006).
Untuk itu masing-masing produsen berusaha menawarkan
4
produk yang sesuai dengan tuntutan konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai
tinggi
oleh
konsumen
(consumer’s
values
perception)
dengan
menampilkan kelebihan produkya, walaupun pada umumnya setiap merek susu tersebut memilki atribut yang hampir sama. Ketatnya persaingan diantara perusahaan-perusahaan susu tersebut menyebabkan perusahaan harus mempu bersaing melakukan berbagai cara promosi dan iklan untuk meningkatkan daya beli konsumen. Di sisi lain, menurut Departemen Perindustrian
1
menyebutkan
bahwa konsumsi susu, baik bubuk maupun kental, di Indonesia masih terendah di Asia, hanya mencapai 7,05 kg per kapita pertahun, sedangkan di Malaysia, Singapura dan Filipina sudah mencapai 20 kg per kapita per tahun, bahkan di Thailand mencapai hingga 25 kg per kapita per tahun. Kondisi penawaran produk susu yang beragam di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan susu yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan memilih aneka jenis dan kualitas susu sesuai dengan keinginan dan kemampuan. Di sisi lain, tidak semua konsumen tahu dan menggunakan hak serta kewajibanya sebagai konsumen yang baik pada saat sebelum, selama dan sesudah membeli karena tingkat pengetahuan konsumen yang rendah. Kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Oleh karena itu konsumen Indonesia selama ini berada pada posisi yang lemah terkesan hanya menjadi objek pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen (Deperindag, 1999). Terkait dengan hal itu, timbul permasalahan-permasalahan yang akan diteliti untuk mendapatkan jawabannya antara lain : 1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keputusan pembelian susu untuk anak usia 2-5 tahun? 2. Bagaimana proses pemilihan merek susunya? 3. Bagaimana pembentukan sikap loyalitas mereknya? 4. Bagaimana pengaruh konsumsi susu terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, apakah seperti klaim yang disampaikan pada iklan susu? 5. Apakah justru faktor lain selain konsumsi susu seperti pengasuhan atau karakteristik
keluarga
perkembangan anak?. 1 Agrina volume 1 No. 24, 4 April 2006 halaman 5
yang
berperan
dalam
pertumbuhan
dan
5
Oleh karena itu kajian mengenai proses keputusan pembelian susu untuk anak usia dua sampai lima tahun dan pemilihan mereknya, konsumsi susu anak serta kaitannya dengan pengasuhan yang diberikan untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting, baik dari segi manajemen pemasaran maupun perspektif kesejahteraan sosial. Dilihat dari dari perspektif kesejahteraan sosial hasil penelitian ini akan memberikan informasi tentang pemahaman perilaku konsumen tentang pembelian makanan khususnya susu sebagai bahan untuk pendidikan gizi dan konsumen.
Dari sisi manajemen
pemasaran, faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan pembelian dan pembentukan sikap loyalitas merek dapat dirancang sebagai strategi pemasaran. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh perilaku pembelian dan konsumsi susu serta pengasuhan terhadap tumbuh kembang anak usia 2-5 tahun di kota Bogor. Secara khusus tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian susu untuk anak 2-5 tahun; 2. Menganalisis proses pengambilan keputusan pemilihan merek; 3. Menganalisis pembentukan sikap loyalitas merek; 4. Menganalisis
pengaruh
konsumsi
susu
dan
pengasuhan
terhadap
pertumbuhan dan perkembangan anak 2-5 tahun. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap ilmu perilaku konsumen tentang orientasi dan fakta-fakta perilaku konsumen berdasarkan teori psikososial dengan kajian faktor-faktor mempengaruhi perilaku pembelian susu,
proses
pengambilan keputusan
pemilihan merek
dan
pembentukan sikap loyalitas merek. Faktor-faktor seperti karakteristik keluarga/ individu dan karaketristik anak serta akses informasi dapat mempengaruhi keputusan pembelian. Informasi tersebut diharapkan dapat memberikan sumbangan untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan yang diinginkan oleh keluarga dengan memfokuskan pemberdayaan keluarga sebagai konsumen yang cerdas dan pengembangan kualitas anak.
6
Hasil penelitian diharapkan dapat menyediakan pandangan tentang perilaku segmen konsumen tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif. Selain itu bagi pemerintah atau LSM, informasi ini dapat dijadikan masukan untuk menentukan arah kebijakan dalam pemberdayaan masyarakat untuk membentuk konsumen yang cerdas. Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
informasi
tentang
pengetahuan gizi dan tumbuh kembang serta sikap pemberian susu yang bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini berguna untuk memberikan penyuluhan agar konsumen dapat memilih makanan yang bergizi, beragam dan berimbang secara rasional. Penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan temuan pengaruh konsumsi susu dan pengasuhan terhadap tumbuh kembang anak.
Hasil
penelitian ini akan memberikan masukan cara membentuk tumbuh kembang anak baik kepada orangtua khususnya ibu, pemerintah dan LSM atau pemerhati anak.
TINJAUAN PUSTAKA Teori Perilaku Konsumen Teori perilaku konsumen telah dikembangkan sejak pertengahan abad 20 melalui kontribusi dari disiplin ilmu yaitu ilmu ekonomi dan psikologi (Mowen dan Minor 2001). Teori ekonomi berasumsi bahwa orang adalah rasional dan ingin membuat pilihan yang optimal yang digambarkan sebagai pilihan yang terbaik. Orang yang rasional adalah orang yang konsisten terhadap pilihannya di berbagai situasi. Perilaku pengambilan keputusan keluarga dalam pengalokasian sumberdaya yang dimiliki pada hakekatnya dapat dijelaskan dengan kerangka analisis perilaku ekonomi maksimisasi utilitas (Bryant, 1990; Becker, 1965). Pada kerangka keputusan yang baku, orang memilih satu dari beberapa pilihan untuk mencapai kepuasan sebagai tujuan. Model tradisional pembuatan keputusan konsumen secara rasional dan logis menggambarkan proses keputusan pembelian dengan pendekatan pemecahan masalah, melalui lima tahapan mulai dari pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pilihan dan evaluasi hasil.
Tahapan pengambilan keputusan diklasifikasikan
sebagai pendekatan pengambilan keputusan secara rasional.
Pendekatan
keputusan rasional konsumen adalah penaksiran dan evaluasi manfaat atau fungsi atribut produk untuk memenuhi keputusan yang memuaskan (Solomon 2002). Tujuan rasional didasarkan pada kriteria ekonomi atau objektif seperti harga, ukuran atau kapasitas. Konsumen sering berperilaku tidak sadar selama membuat keputusan. Kenyataannya selama membuat keputusan tidak selalu urut melalui pendekatan oportunis melalui tahapan pengambilan keputusan secara rasional. Pada dekade 1960-an disiplin perilaku konsumen muncul sebagai sebuah disiplin yang berbeda. Perkembangannya tidak lepas dari para pakar seperti George Katona, Robert Ferber dan John A Howard. George Katona dikenal sebagai bapak ekonom psikologi mengkritik teori ekonomi perilaku konsumen dan kemudian mengembangkannya dengan memasukkan elemen-elemen psikologis dalam pengambilan keputusan konsumen, sedangkan Robert Ferber seorang ekonom yang mengembangkan teori perilaku konsumen dengan menerapkan prinsip psikologi dan ekonomi dan bersama Hugh G Wales menulis buku “Motivation and Market Behavior” pada tahun 1958. John Howard bersama Jagdish N Shet memberikan kontribusi teori perilaku konsumen dengan
8
mengembangkan model pengambilan keputusan yang dikenal sebagai “Howard and Shet Model” (Sumarwan 2003). Hal ini yang mendasari pembelian produk dan jasa untuk memperoleh kesenangan, menciptakan fantasi atau perasaan emosi yang disebut keputusan pembelian berdasarkan perspektif pengalaman. Akar perspektif pengalaman merupakan bagian dari bidang psikologis motivasi dan bidang tertentu dari sosiologi dan antropologi.
Pembelian berdasarkan
perspektif pengalaman dilakukan karena dorongan hati dan mencari variasi. Konsumen melakukan pembelian hanya untuk kesenangan (Mowen dan Minor 2001). Model Perilaku Konsumen Solomon (2002) menyebutkan bahwa perilaku konsumen merupakan ilmu yang mempelajari proses ketika individu atau kelompok menyeleksi, membeli atau menggunakan dan mengkonsumsi produk, pelayanan, ide atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan. Sedangkan menurut Hawkins, Best dan Coney (2001) perilaku konsumen adalah studi tentang individu, kelompok atau organisasi dan proses untuk menyeleksi, menjamin, menggunakan dan mengkonsumsi produk, pelayanan dan pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhan dan dampak prosesnya terdapat pada konsumen dan masyarakat. Engel, Blackwell, dan Miniard (1994) mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusul tindakan tersebut yang dipengaruhi perbedaan individu, proses psikologis dan pengaruh lingkungan (Gambar 1) dan secara lengkap dapat dilihat model perilaku konsumen pada Gambar 2. Hal ini tidak terlepas dari proses pengambilan keputusan yang diambil oleh individu maupun kelompok sebelum mengkonsumsi barang dan atau jasa. Pengambilan keputusan adalah studi pengidentifikasian dan pengambilan alternatif berdasarkan pada value dan kesukaan pengambil keputusan. Mengambil keputusan mengimplikasikan memilih alternatif untuk dipertimbangkan tidak hanya sebagai suatu alternatif yang mungkin tetapi juga memilih satu yang terbaik yang sesuai dengan tujuan, keinginan, gaya hidup, nilai, dll. Pengambilan keputusan juga merupakan proses penurunan ketidaktentuan dan keragu-raguan tentang alternatif dalam memperoleh pilihan rasional yang dibuat diantaranya. Definisi ini menekankan pengumpulan informasi fungsi pengambilan
9
keputusan dan setiap keputusan melibatkan sejumlah resiko (Harris, 1998), sedangkan menurut Erasmus, Boshoff dan Rousseau (2001) pengambilan keputusan dan pembelian adalah suatu hal yang sulit sebagai hasil pengaruh eksternal yang harus ditangani dalam kerangka referensi internal melalui sosialisasi
konsumen. Waktu,
energi,
harga,
ketersediaan,
kesempatan
merupakan faktor-faktor yang mendorong ke dalam situasi sebelum keputusan dilakukan (Harris, 1998).
PENGARUH LINGKUNGAN Budaya Kelas Sosial Pengaruh Pribadi Keluarga Situasi PERBEDAAN INDIVIDU Sumberdaya Konsumen Motivasi dan Keterlibatan Pengetahuan Sikap Kepribadian Gaya Hidup Demografi
PROSES KEPUTUSAN Pengenalan kebutuhan Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif Pembelian Hasil
PROSES PSIKOLOGIS Pengolahan Informasi Pembelajaran Perubahan Sikap/perilaku
STRATEGI PEMASARAN
Gambar 1 Model perilaku konsumen (Engel, Blackwell, dan Miniard 1994). Dalam proses pengambilan keputusan konsumen dapat dididik atau ditingkatkan perilakunya melalui implementasi pencarian informasi
yang
dibutuhkan untuk membuat keputusan yang baik, akan tetapi justru semakin banyak informasi semakin sulit keputusan dibuat (Erasmus, Boshoff dan Rousseau (2001) dan Harris (1998)). Pencarian informasi memerlukan waktu dan uang. Ketika terlalu banyak informasi diperoleh, satu atau lebih masalah akan muncul, diantaranya : 1) menunda keputusan karena membutuhkan waktu untuk informasi ekstra, 2) kemampuan pengambilan keputusan menurun karena tidak dapat mengelola atau menilai informasi dengan baik, 3) menyeleksi informasi yang tersedia, 4) terjadi kecapaian mental, 5) terjadi kecapaian keputusan. Kuantitas informasi dapat diproses oleh pemikiran orang yang terbatas. Kalau informasi diseleksi secara sadar, proses akan bias terhadap bagian pertama dari informasi yang diterima, kemudian pikiran lelah dan mulai mengabaikan informasi
10
Masukan
Pemrosesan Informasi
Proses Keputusan
Variabel yang Mempengaruhi
Pengenalan Kebutuhan Pencarian Internal
Pemaparan Stimulus Didominasi Pemasar Lain-lain
Pencarian
Kepercayaan
Perhatian Pemahaman
Pengaruh Lingkungan
Ingatan
Evaluasi Alternatif
Budaya Kelas Sosial Pengaruh Pribadi Keluarga Situasi
Sikap
Penerimaan Nilai Retensi
Sumberdaya Konsumen Motivasi dan Keterlibatan Pengetahuan Sikap Kepribadian Gaya Hidup Demografi
Pembelian Pencarian Eksternal
Hasil
Ketidakpuasan
Gambar 2 Model perilaku konsumen lengkap (Engel, Blackwell, dan Miniard 1994).
Perbedaan Individu
Kepuasan
11
berikut atau lupa akan informasi yang pertama (Harris, 1998). Pilihan tidak selalu tergantung pada alternatif tetapi tergantung pada kondisi yang khusus, spesisifk produk dan situasi yang ada (Erasmus, Boshoff dan Rousseau, 2001). Setiap keputusan dibuat dalam lingkungan keputusan yang didefinisikan sebagai koleksi informasi, alternatif, nilai dan kesukaan yang tersedia pada saat keputusan dibuat. Lingkungan keputusan yang ideal adalah terdapatnya seluruh informasi yang diperlukan, semuanya akurat, setiap alternatif memungkinkan untuk dipilih. Bagaimanapun informasi dan alternatif dibatasi karena waktu dan usaha untuk memperoleh informasi dan mengidentifikasi alternatif terbatas (Harris, 1998). Strategi pembuatan keputusan konsumen tergantung pada produk, situasi dan pengalaman sebelumnya. fokus
pada
fungsi
dan
Pemahaman perilaku konsumen tidak hanya
penampilan
atribut
produk
tetapi
juga
harus
mempertimbangkan makna produk bagi konsumen. Pembuatan keputusan konsumen harus mempertimbangkan dimensi relevan pembelian (frekuensi dan kepentingan pembelian). Selain itu juga harus memperhatikan sikap dan kesukaan
berdasarkan
pengalaman
yang
sebenarnya
terlibat
selama
pengambilan keputusan. Skrip sebagai struktur kognitif pada memori melalui pengalaman dapat digunakan oleh individu pada situasi secara otomatis (Erasmus, Boshoff dan Rousseau ,2001). Setiap keputusan : 1) mengikuti keputusan sebelumnya, 2) memungkinkan keputusan yang akan datang, 3) mencegah keputusan lain yang akan datang. Penting menyadari bahwa keputusan yang dibuat mempengaruhi aliran keputusan koleksi ketersediaan alternatif pada saat ini maupun yang akan datang. Dalam mempuat keputusan diperlukan: informasi, alternatif, kriteria, tujuan, nilai, kesukaan, kualitas keputusan dan penerimaan. Satu hal penting yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan adalah faktor manusia yang selalu mempertimbangkan keputusan yang pernah diimplementasikan orang lain. Hanya keputusan yang dapat diimplementasikan secara menyeluruh yang akan bekerja sesuai dengan yang dimaksudkan (Harris, 1998). Proses pemilihan berbeda tergantung pada tipe produk, waktu dan orang yang terlibat. Konsumen sering menanggulangi keputusan penuh resiko secara komplek yang melibatkan ukuran pengeluaran uang, dalam waktu yang singkat dan tanpa pencarian informasi yang luas. Oleh karena itu pendekatan subjektif digunakan untuk fokus perilaku konsumsi daripada pembuatan keputusan
12
pembelian, hal ini untuk mengakomodasi pengaruh emosi dan aspek nonrasional pada perilaku konsumen. Paradigma konsumsi hedonik disarankan sebagai alternatif untuk penelitian perilaku konsumen. Hal ini didasarkan pada teori psikologis dengan lebih memperhatikan aspek konsumsi yang berkaitan dengan image sensori, fantasi, aspek emosi penggunaan produk. (Erasmus, Boshoff dan Rousseau ,2001). Tidak ada satu model pengambilan keputusan konsumen yang dapat menggambarkan secara lengkap mencerminkan seluruh pembelian atau keputusan konsumen. Disarankan bahwa penelitian pengambilan keputusan harus dalam konteks dan produk yang spesifik untuk memberikan gambaran dan menyumbangkan teori pada ilmu konsumen, misalnya makanan dan gizi, pakaian, alat rumah tangga, peralatan elektronik, rumah dan interior, merchandise.
Perilaku konsumen kuat dimotivasi secara ekstrinsik maupun
instrinsik dan tujuan manfaat produk hanya diterangkan secara parsial pada pembelian yang spesifik. Oleh karena itu untuk memahami perilaku konsumen harus fokus pada perilaku konsumsi termasuk seluk beluk emosi, faktor situasi, faktor inidividu di bawah lingkungan spesifik (Erasmus, Boshoff dan Rousseau, 2001). Hawkins, Best dan Coney (2001) membuat model perilaku konsumen yang merefleksikan kepercayaan tentang perilaku konsumen secara umum tetapi isinya tidak cukup detail dapat memprediksi perilaku spesifik. Individu mengembangkan konsep diri dan gaya hidup berdasarkan berbagai pengaruh internal (sebagian besar psikologis dan fisik) dan pengaruh eksternal (sebagian besar sosial dan demografi).
Konsep diri dan gaya hidup menghasilkan
kebutuhan dan keinginan yang memerlukan keputusan konsumsi untuk kepuasan. Proses pengambilan keputusan diaktifkan saat individu menghadapi situasi yang relevan.
Pengalaman yang dihasilkan kembali mempengaruhi
konsep diri dan gaya hidup konsumen melalui pengaruh karakteristik internal dan eksternal. Mowen dan Minor (2002) menyebutkan bahwa pembentukan sikap konsumen seringkali menggambarkan hubungan antara kepercayaan, sikap dan perilaku. Kepercayaan, sikap dan perilaku juga terkait dengan konsep atribut produk. Sedangkan menurut Ajzen (1991) satu teori yang menjelasan pengaruh informasi dan motivasi pada perilaku adalah The theory of planned behavior (TPB). Pada teori ini (Gambar 3), determinan perilaku (behavior) terkuat adalah
13
kecenderungan perilakunya.
bertindak
(behavioral
intention)
yang
berkaitan
dengan
Intention diprediksi oleh dua komponen yaitu sikap individu
(attitude) dan tekanan sosial yang dirasakan (subjective norm).
Selain
kecenderungan bertindak, perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh persepsinya tentang tingkat kemudahan melakukan perilaku tersebut (perceived behavior control) yang merupakan faktor-faktor non motivasi seperti ketersediaan peluang dan sumber yang diperlukan (waktu, dana, ketrampilan, kerjasama dengan orang lain). Besarnya peranan attitude, subjective norm dan perceived behavior control relatif dapat memprediksi behavior intention tergantung pada perilaku yang dimaksud dan situasi pada saat perilaku itu terjadi (Ajzen 1991). Attitude toward behavior menggambarkan tingkat penilaian kesukaan terhadap perilaku yang dimaksud. Subjective norm merupakan tekanan sosial yang diterima melakukan atau tidak melakukan perilaku yang dimaksud, sedangkan perceived behavior control menggambarkan tingkat kemudahan yang dipersepsikan untuk melakukan perilaku yang dimaksud (Ajzen 1991).
Behavioral Belief
Attitude toward the Behavior
Normative Belief
Subjective Norm
Control Belief
Perceived behavioral Control
Intention
Behavior
Gambar 3 Theory of planned behavior (Ajzen, 1991). TPB adalah teori yang memprediksi dan menerangkan perilaku orang pada keadaan yang spesifik berkenaan dengan target, action, context dan time (TACT) (Ajzen 2002). Dalam teori ini, perilaku adalah kerjasama fungsi intention dan perceived behavioral control. harus sesuai.
Untuk prediksi yang akurat, beberapa kondisi
Satu, ukuran kedua faktor tersebut harus cocok atau sesuai
dengan perilaku yang diprediksi. Kedua, kondisi kedua faktor harus stabil selama penilaian dan observasi perilaku yang dimaksud (Ajzen 1991).
14
Proses pembelian selalu dilakukan setelah proses pemilihan. Dalam Food Choice and Acceptability Programme, pemilihan makanan didefinisikan sebagai seleksi makanan untuk konsumsi sebagai hasil interaksi berbagai faktor sensori, fisiologis dan psikologis yang saling berinteraksi, berkompetisi, mendominasi dengan berbagai faktor sosial, lingkungan dan ekonomi dengan derajat yang berbeda-beda (Buttriss et al. 2004). Pembelian makanan merupakan aktifitas keputusan keterlibatan yang rendah (low involvement) yang menggambarkan kebiasaan dan kenyamanan serta sering merupakan tindakan bawah sadar dan instant yang diikuti dengan perilaku pembelian yang konsisten dan bersifat kebiasaan.
Walapun demikian pada umumnya konsumen membeli makanan
tetap melalui proses pengambilan keputusan sebelum seleksi dibuat (Traill 1999). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelian Susu Salah satu pendekatan yang digunakan untuk mempelajari pembelian makanan adalah memahami konsep psikologi sosial ke dalam hubungan attitude dan behavior (Shepherd 1999).
Konsep ini digunakan sebagai cara untuk
menerangkan berbagai hal yang berkaitan dengan faktor yang menentukan pembelian
makanan yang diperantarai oleh keyakinan/kepercayaan yang
dipegang individu. Sebagai contoh, konsep ini digunakan sebagai cara untuk menerangkan pemilihan makanan berkaitan dengan topik proses perubahan diet, peran makanan dalam mengontrol berat badan dan penyakit, hubungan stress dan makanan, makanan dan penampilan, dll (Conner dan Armitage 2002). Determinan psikososial seperti sikap merupakan prediktor yang baik untuk pemilihan makanan (Dillen et al. 2002). Oleh karena itu variabel psikososial yang memprediksi perilaku konsumsi menjadi target penting untuk perubahan program pendidikan gizi (Baranowski et al. 1999). Pendekatan
psikososial
mengasumsikan
banyak
faktor
yang
mempengaruhi pemilihan makanan yang mungkin menjadi faktor antara oleh belief dan attitude individu. Pada saat pilihan makanan, kepercayaan individu tentang kualitas gizi dan efeknya terhadap kesehatan pada makanan mungkin lebih penting daripada kualitas gizi aktual dan dampak kesehatannya. Demikian pula berbagai faktor seperti pemasaran, ekonomi, sosial, budaya, agama dan faktor demografi berperan melalui sikap dan kepercayaan yang dipegang oleh individu dalam menentukan perilakunya. Oleh karena itu penelitian hubungan
15
antara
pilihan
dan
kepercayaan
serta
sikap
yang
dipegang
individu
menggambarkan pemahaman yang lebih baik tentang pengaruh berbagai faktor yang menentukan pemilihan makanan (Shepherd 1999). Menurut Shepherd (1999) pemilihan makanan dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kebutuhan gizi atau fisiologis tetepi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya (Gambar 4), sedangkan menurut Koelen (2002) pemilihan makanan dipengaruhi oleh pengetahuan, kepercayaan, sikap dan sosial serta kesukaan dan budaya. Faktor-faktor tersebut dikategorikan sebagai faktor yang terkait dengan makanan, faktor individu yang memilih makanan serta faktor lingkungan ekonomi dan sosial saat pemilihan makanan dibuat. Faktor yang terdapat pada makanan seperti kandungan gizi, sifat fisik dan kimia diterima individu sebagai atribut sensori seperti penampilan, rasa, aroma, dll. Kesukaan terhadap atribut sensori makanan akan menjadi faktor penentu terhadap penerimaan atribut sensori itu sendiri. Perbedaan psikologi antar individu seperti kepribadian juga berpengaruh pada pemilihan makanan. Selain itu faktor pemasaran dan variabel ekonomi seperti sosial, budaya atau faktor demografi dapat mempengaruhi pemilihan makanan. MAKANAN Kandungan Gizi Sifat Fisik dan Kimia
Efek Fisiologis
INDIVIDU Persepsi Atribut Sensori Faktor Psikologis : Kepribadian Pengalaman Mood kepercayaan
EKONOMI DAN SOSIAL Harga. Merk Sosial dan Budaya
Sikap terhadap : Atribut sensori Kesehatan dan gizi Harga dan nilai
PEMILIHAN MAKANAN Asupan Makanan Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan (Shepherd, 1995 dalam Shepherd, 1999). Menurut Traill (1999) pemilihan makanan melibatkan pemahaman tentang interaksi komplek antara faktor makanan, faktor pribadi, dan faktor lingkungan pembelian (Gambar 5). Yang termasuk faktor makanan adalah karakteristik
16
fisiologis (seperti efek gizi, keamanan pangan dan resiko kesehatan) dan persepsi sensori (seperti rasa, aroma, penampilan, dll). Faktor personal meliputi gaya hidup, sistem nilai, persepsi kualitas dan kesadaran lingkungan; aspek biologis (seperti kesehatan, kebutuhan diet termasuk perhatian tentang berat badan, kolesterol, alergi makanan, dll), perhatian psikologis (seperti etika dan sikap cara produksi makanan, contohnya budidaya hewan) dan sosio demografi (pendapatan, tingkat pendidikan, komposisi keluarga, dll), sedangkan faktor lingkungan pembelian meliputi budaya, ekonomi dan pemasaran. Proses keputusan pembelian konsumen merupakan interaksi atau kombinasi faktor yang satu dengan lainnya. Faktor Makanan
• Efek psikologis • Persepsi sensori Faktor Pribadi
• Biologis • Psikologis • Sosiodemografis
Proses Keputusan
Kebutuhan Pengenalan
Faktor Lingkungan • Budaya • Ekonomi • Pemasaran
Pencarian Informasi Evaluasi Pilihan
Gambar 5 Model pembelian makanan (Traill, 1999). Hasil penelitian Kirk et al. (2002) menunjukkan bahwa proses pemilihan makanan khususnya berkaitan dengan intake buah dan sayur sangat komplek. Faktor-faktor yang menentukan pemilihan tersebut adalah faktor sensori, sudah dikenal dan kebiasaan, interaksi sosial, biaya, ketersediaan, keterbatasan waktu, personal, ideologi, iklan dan media serta kesehatan. Sebagai perbandingan model pilihan makanan yang dikembangkan oleh Furst (Roininen 2001) terdiri dari 3 faktor yaitu : 1. life course seperti pengalaman seseorang; 2. pengaruh seperti : faktor pribadi, kerangka sosial, kandungan makanan;
17
3. sistem dan strategi individu untuk pembuatan pilihan dan negosiasi nilai seperti : persepsi sensori, pertimbangan keuangan, kenyamanan, kesehatan, gizi, manajemen hubungan dan kualitas. Demografi Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan.
Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang konsumen. Selanjutnya profesi atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang akan mempengaruhi pendapatan yang diterimanya. Pendapatan dan pendidikan tersebut kemudian akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan pola konsumsi seseorang
(Sumarwan 2003).
Konsumen yang berpendapatan tinggi akan mempunyai alternatif yang lebih banyak dalam memilih jenis dan merek produk (Assael 1995). Pengetahuan Pengetahuan didefinisikan sebagai informasi yang disimpan di dalam ingatan.
Himpunan bagian dari informasi total yang relevan dengan fungsi
konsumen di pasar disebut pengetahuan konsumen. Pengetahuan konsumen terdiri dari informasi yang disimpan dalam ingatan, yaitu pengetahuan produk (product
knowledge),
pengetahuan
pemakaian
(usage
knowledge)
dan
pengetahuan pembelian (purchase knowledge). Pengetahuan produk mencakup kesadaran akan kategori produk dan merek produk, terminologi produk, atribut atau ciri produk, dan kepercayaan tentang kategori produk secara umum dan mengenai merek spesifik (Engel, Blackwell, dan Miniard 1994). Pengetahuan subjektif mempengaruhi pencarian informasi dan kualitas pilihan karena konsumen dimotivasi berkelakuan secara konsisten dengan pengetahuan
subjektifnya.
Konsumen
yang
dapat
menghubungkan
pengetahuan subjektif dengan perilakunya lebih konsisten daripada yang tidak dapat menghubungkannya. Pilihan kategori produk sebagai hasil kualitas lebih penting daripada pilihan merek. Efek dari pengetahuan subjektif tentang kualitas gizi mempengaruhi nilai kualitas produk makanan yang dipilihnya (Moorman et al. 2001). Sikap Menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (1994) sikap adalah suatu evaluasi menyeluruh yang memungkinkan orang merespon dengan cara menguntungkan atau tidak menguntungkan, mendukung atau tidak mendukung secara konsisiten
18
berkenaan dengan objek atau alternatif yang diberikan. Sikap biasanya memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Determinan psikososial seperti sikap merupakan prediktor yang baik untuk pemilihan makanan (Dillen et al. 2002). Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu : 1) kognitif, berupa kepercayaan yang berhubungan dengan objek; 2) afektif, menunjukkan perasaan
yang
berhubungan dengan objek; dan 3) konatif, berupa kecenderungan untuk bertindak terhadap objek atau keinginan untuk membeli (Assael 1995). Sedangkan menurut Solomon ( 2002) komponen sikap dikenal sebagai model ABC yaitu Afective, Behavior dan Cognition. Kelompok Acuan Pengaruh pribadi dapat juga dikatakan sebagai pengaruh kelompok acuan yaitu orang atau kelompok orang yang memberi pengaruh secara bermakna pada individu baik secara umum maupun spesifik tentang nilai, sikap atau perilaku (Schiffman & Kanuk 2004). Dalam pemasaran, kelompok acuan sebagai pemberi pengaruh dalam pengambilan keputusan untuk membeli.
Menurut
Solomon (2002) kelompok acuan yang mempengaruhi pembelian individu dapat berupa orangtua, kekasih, kelompok partai, teman, atau idola yaitu para selebritis. Produk, jasa dan merek yang dibeli oleh keluarga merupakan hasil interaksi dan saling mempengaruhi antar anggota keluarga (Sumarwan 2003). Aktivitas pemasaran Aktivitas pemasaran adalah satu-satunya variabel yang dikendalikan oleh pemasar. Pemasar berusaha mempengaruhi konsumen dengan menggunakan stimuli-stimuli pemasaran seperti iklan dan sejenisnya agar konsumen bersedia memilih produk yang ditawarkan. Terdapat lima jenis promosi yang biasa digunakan
untuk
menyampaikan
pesan
kepada
konsumen,
yaitu
iklan
(advertising), penjualan tatap muka (personal selling), promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat dan publisitas (publicity and public relation), serta pemasaran langsung (direct marketing) (Sutisna 2001) Iklan dapat digunakan untuk menciptakan imajinasi dan simbol dari produk dan jasa, yang sangat penting dalam penjualan produk dan jasa yang sulit dibedakan (Belch &Michael 1993). Iklan yang efektif ialah iklan yang pesannya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga dapat memberikan respon seperti yang diharapkan (Kasali 1992). Pemilihan media untuk penyampaian pesan memerlukan banyak pertimbangan. Pemilihan media biasanya didasarkan
19
atas keterlibatan konsumen dalam proses pembelian terhadap produk yang ditawarkan, kelompok pendengar radio, penonton televisi, pembaca surat kabar, pembaca majalah, jangkauan media dan biaya (Sutisna 2001). Menurut Setiadi (2003) sumber informasi juga dapat mempengaruhi perilaku konsumen dalam memilih dan membeli produk yang dikelompokkan menjadi 4 yaitu: 1) sumber pribadi: keluarga, teman, tetangga, kenalan; 2) sumber komersial: iklan, tenaga penjual, penyalur, kemasan dan pameran; 3) sumber umum: media massa, organisasi konsumen; dan 4) sumber pengalaman: pernah menangani, menguji dan menggunakan produk. Konsumen secara umum menerima informasi terbanyak tentang produk berasal dari sumber-sumber komersial yang didominasi oleh pemasar, sedangkan informasi yang efektif justru berasal dari sumber-sumber pribadi. Oleh karena itu sumber informasi komersial secara umum melaksanakan fungsi memberitahu, sedangkan sumber pribadi melaksanakan fungsi legitimasi dan atau evaluasi. Untuk menarik minat konsumen, produsen susu pertumbuhan telah memasarkan produknya tidak hanya dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan standar tetapi juga telah memasarkan berbagai bentuk yang tersegmentasi berdasarkan usia dan kondisi fisiologis target konsumen. Berdasarkan usia telah banyak dipasarkan susu pertumbuhan untuk usia 1-3 tahun, 2-4 tahun, 4-6 tahun, 3-6 tahun. Pernyataan (klaim) ”difortifikasi” atau ”diperkaya” dengan zat gizi tertentu pada susu pertumbuhan hanya diperbolehkan apabila pangan mengandung vitamin, mineral, protein, serat makanan atau kalium sedikitnya 10% angka kecukupan gizi lebih banyak dari kandungan zat-zat tersebut dalam pangan sejenis (Badan POM, 2003). Klaim yang berkaitan pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan kecerdasan, disarankan untuk disertai dengan hasil penelitian yang valid secara ilmiah (Karmini & Briawan 2004). Menurut Lannon 1986 dalam Sumarwan (2003), klaim gizi membentuk setengah bagian dari total iklan suatu produk pangan, dan hal tersebut sangat menguntungkan produsen. Padahal klaim-klaim tersebut seringkali membuat konsumen menjadi rancu dan bingung. Oleh karena itu kebenaran dari informasi atau klaim tersebut seharusnya melalui pengujian atau dibandingkan dengan standar yang ada (Sumarwan 2003). Pelabelan merupakan cara efektif komunikasi keberadaan pilihan alternatif makanan, walaupun
beberapa
studi mengindikasikan
bahwa
konsumen
20
umumnya tidak peduli membaca label (Traill 1999). Isyarat eksternal seperti kupon, label privat, nama merek, dan diskon menciptakan informasi untuk memudahkan evaluasi nilai kognitif konsumen. Label dapat digunakan oleh konsumen untuk membantu memutuskan kualitas pangan yang dipilih. Informasi pada label dapat membantu menurunkan ketidakpastian tentang kualitas produk, akan
tetapi
dapat
juga
memberikan
efek
negatif
yang
menyebabkan
kebingungan konsumen (Juhl, Poulsen dan Fjord 2000). Loyalitas Merek Loyalitas merek (brand loyalty) diartikan sebagai sikap positif seorang konsumen terhadap suatu merek, konsumen memiliki keinginan kuat untuk membeli ulang merek yang sama pada saat sekarang maupun masa yang akan datang (Sumarwan 2003).
Menurut Mowen dan Minor (2001) kesetiaan merek
dipengaruhi secara langsung oleh kepuasan/ketidakpuasan dengan merek yang telah diakumulasi dalam jangka waktu tertentu sebagaimana persepsi kualitas produk. Terdapat
dua
pendekatan
untuk
mengukur
loyalitas
merek
yaitu
pendekatan intrumental conditioning dan kognitif. Pendekatan intrumental conditioning (pendekatan perilaku) menekankan perilaku masa lalu yang merefleksikan
konsistensi
perilaku
pengulangan
pembelian,
sedangkan
pendekatan kognitif (pendekatan sikap) memandang loyalitas sebagai fungsi dari proses pskologis (pengambilan keputusan) (Setiadi 2003). Pendekatan perilaku melihat loyalitas merek berdasarkan kepada pembelian merek. Metode proporsi pembelian sering digunakan untuk mengukur loyalitas merek dalam penelitian konsumen.
Metode ini menanyakan kepada konsumen mengenai pembelian
produk selama periode tertentu, misalnya enam bulan atau satu tahun. Kemudian dicatat berapa kali suatu merek dibeli. Loyalitas merek ditentukan berdasarkan proporsi dari merek yang dibeli dibandingkan dengan jumlah pembelian. Misalnya, jika selama periode tersebut lebih dari 50% pembelian adalah merek A, maka konsumen dianggap sebagai loyal terhadap merek A. Pengukuran loyalitas berdasarkan pendekatan perilaku tidak menggambarkan loyalitas yang sesungguhnya atau pembelian ulang, sehingga untuk mengatasi hal tersebut dilakukan pendekatan kedua yaitu pengukuran loyalitas berdasarkan sikap konsumen dan perilakunya. Loyalitas merek akan menyebabkan
21
munculnya komitmen merek yaitu kedekatan emosional, psikologis dari seorang konsumen terhadap suatu produk (Mowen dan Minor 2001). Menurut Bennett dan Rundle-Thiele (2002) pengukuran sikap loyalitas terhadap merek dapat digunakan untuk menerangkan atau memprediksi perilaku pembelian merek yang sama. Dengan menggunakan studi longitudinal membuktikan bahwa sikap loyalitas berhubungan secara signifikan dengan perilaku loyalitas merek dan kepuasan serta keterlibatan kategori merek. Konsumsi Gizi Susu Susu didefinisikan sebagi produk hasil kelenjar susu (mammary gland) atau sekresi dari kelenjar susu binatang menyusui. Sebagian besar susu yang diproduksi adalah susu yang berasal dari sapi, baik yang dikonsumsi dalam bentuk segar maupun digunakan sebagai bahan baku dalam memproduksi berbagai jenis susu olahan (Rahman et al. 1992). Produk susu olahan adalah produk berbahan dasar susu hasil olahan industri pangan. Pada umumnya produk olahan susu dikonsumsi dalam bentuk susu bubuk, susu kental manis, susu siap minum (susu segar, susu UHT atau ultra heat treatment dan susu pasteurisasi) (Gandakusuma 2003).
Pusat
Standarisasi Industri Departemen Perindustrian mendefinisikan susu bubuk adalah susu bubuk berlemak (full cream milk powder), rendah lemak (partly skim milk powder) dan tanpa lemak (skim milk powder) dengan atau tanpa panambahan vitamin, mineral dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (SNI 01-2970-1999), susu bubuk berlemak adalah susu sapi yang telah diubah bentuknya menjadi bubuk; susu kental manis adalah produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh dengan menghilangkan sebagian air dari susu segar atau hasil rekonstitusi susu bubuk berlemak penuh, atau hasil rekombinasi susu bubuk tanpa lemak dengan lemak susu/lemak nabati, yang telah ditambah gula, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan lain yang diizinkan (SNI 01-2971-1998); susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun (SNI 01-3141-1998); susu formula lanjutan adalah makanan yang merupakan bagian dari makanan selama masa penyapihan untuk bayi yang berumur 6 bulan sampai anak berumur 3 tahun (SNI 01-4213-1996)
22
Menurut Maryoto (2003), saat ini produk susu olahan kini tidak hanya diproduksi dalam bentuk umum atau dapat dkonsumsi oleh semua golongan usia, tetapi telah tersegmentasi berdasarkan usia dan kondisi fisiologis konsumen target. Secara umum produk susu yang tersegmentasi berdasarkan usia konsumen dengan sangat tajam sehingga memiliki jenis dan merek yang terbanyak beredar di pasaran adalah produk susu bubuk. Susu adalah sumber kalsium dan fosfor yang sangat penting untuk pembentukan tulang. Tulang manusia mengalami turning over yaitu peluruhan dan pembentukan secara berkesinambungan. Pada saat usia muda formasi tulang berlangsung lebih intens dibandingkan resorpsinya. Sementara pada usia tua resorpsi berlangsung lebih cepat dibandingkan formasinya. Itulah sebabnya pada usia tua terjadi apa yang disebut gradual lose of bone (proses kehilangan massa tulang). Pentingnya susu bagi kesehatan tidak hanya menyangkut masalah osteoporosis. Susu diketahui mendatangkan manfaat untuk optimalisasi produksi melatonin. Melatonin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pineal pada malam hari. Kehadiran melatonin akan membuat kita merasa mengantuk dan kemudian tubuh bisa beristirahat dengan baik. Susu yang mengandung banyak asam amino triptofan ternyata merupakan salah satu bahan dasar melatonin. Itulah sebabnya minum susu sebelum tidur sangat dianjurkan agar tidur lebih nyenyak. Susu juga mempunyai kemampuan mengikat logamlogan berat yang bertebaran di lingkungan sekitar akibat polusi. Dengan demikian susu bermanfaat untuk meminimalisir dampak keracunan logam berat yang secara tidak sengaja masuk ke dalam tubuh karena lingkungan yang terpolusi (Khomsan 2002). Konsumsi Susu Dalam penjabaran angka kecukupan gizi kedalam makanan untuk anak usia 1-3 dan 3-6 tahun dianjurkan mengkonsumsi susu satu porsi atau setara dengan satu porsi pangan hewani sebesar 50 gram mengandung 95 kalori, 10 gram protein dan 6 gram lemak (Depkes 2005). Selain itu menurut Khomsan (2000) pada masa pertumbuhan idealnya seorang balita mengkonsumsi dua gelas susu perhari yang setara dengan 500 ml susu cair segar. Konsumsi Gizi Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kualitas makanan dan gizi yang dikonsumsi. Sementara itu kualitas makanan dan gizi sangat tergantung pada pola asuh makan anak. Jumlah dan kualitas makanan yang dibutuhkan untuk
23
konsumsi anak penting sekali dipikirkan, direncanakan dan dilaksanakan oleh ibu atau pengasuhnya. Pemberian makan dengan jumlah dan kualitas yang baik akan memberikan sumbangan terhadap status gizinya.
Tiga aspek perilaku
pemberian makan pada anak oleh ibu atau pengasuhnya yang mempengaruhi asupan adalah : (1) menyesuaikan metode pemberian makan dengan kemampuan psikomotorik anak; (2) pemberian makanan yang responsif, termasuk dorongan untuk makan, memperhatikan nafsu makan, waktu pemberian, kontrol terhadap makanan antara anak dan pemberi makanan dan hubungan yang baik dengan anak selama memberi makan; (3) situasi pemberian makan, termasuk bebas gangguan, waktu pemberian makan yang tertentu serta perhatian dan perlindungan selama makan (Engel, Menon & Haddad 1997). Masa usia pra sekolah adalah saat yang tepat bagi orangtua untuk mulai menerapkan perilaku hidup sehat serta pola dan kebiasaan makan yang baik kepada anaknya.
Di usia ini anak cenderung untuk berhati-hati terhadap
makanan yang baru dikenalinya.
Umumnya anak usia pra sekolah hanya
menyukai beberapa jenis makanan saja dan akan memakannya setiap hari. Orangtua dan pengasuh lainnya merupakan teladan bagi anak usia pra sekolah. Jika orangtua ataupun pengasuh yang lain mengkonsumsi beraneka ragam makanan, anak juga akan mengikutinya (Warldlaw, Insel dan Seyler 1992) Pengasuhan Psikososial International Conference on Nutrition mendefinisikan pengasuhan adalah suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam
rangka
tumbuh
kembang
anak
dan
anggota
keluarga
lainnya.
Pengasuhan dalam prakteknya (biasanya oleh wanita) dibagi dalam enam aktifitas yaitu: (1) pengasuhan untuk wanita, seperti menyediakan waktu istirahat yang cukup atau meningkatkan asupan makanan selama masa kehamilan; (2) pemberian ASI dan makanan pendamping ASI bagi anak balita; (3) stimulasi psikososial anak dan pemberian dukungan untuk tumbuh kembang anak; (4) praktek penyimpanan dan persiapan makanan; (5) praktek kesehatan; dan (5) perawatan anak selama mengalami sakit, termasuk diagnosa penyakit dan pengadopsian praktek kesehatan di rumah (Engel, Menon & Haddad 1997). Menurut Rutter (1984) perkembangan anak yang normal membutuhkan pengasuhan ibu yang berkualitas. Terdapat enam ciri pengasuhan ibu yang
24
berkualitas yaitu: (a) hubungan kasih sayang, (b) kelekatan/keeratan hubungan, (c) hubungan yang tidak terputus, (d) interaksi yang memberikan rangsangan, (e) hubungan dengan satu orang, (f) melakukan pengasuhan di rumah sendiri. Pola pengasuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu nilai, norma dan budaya yang memberi ciri atau karakteristik dari setiap keluarga, demikian juga faktor kepribadian yang telah terbentuk oleh peran latar belakang keluarga, pendidikan, sosial ekonomi dan lingkungan fisik. Pengasuhan merupakan bentuk interaksi antara ibu dan anak yang ditandai dengan kasih sayang (care), perasaan yang mendalam (affection), saling mendukung (support) dan kebersamaan dalam kegiatan pengasuhan (Singgih 2003).
Selain itu bentuk
interaksi tersebut berupa kehadiran dan perhatian ibu yang diekspresikan dalam bentuk perilaku (ucapan, ungkapan emosi dan kasih sayang, arahan dan kegiatan perawatan) ibu kepada anaknya (Rohner 1986). Interaksi ibu dan anak merupakan suatu pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik. Stimulasi keluarga mencakup berbagai upaya keluarga yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak. Hal tersebut merupakan hubungan mikro yang berperan sebagai lingkungan belajar anak dalam perkembangannya. Interaksi ibu dan anak
merupakan faktor eksternal yang pengaruhnya paling kuat terhadap
tumbuh kembang anak (Satoto 1990). Salah satu aspek penting dalam pengasuhan anak adalah penyediaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak (Seifert & Hoffnung 1987; Papalia & Olds 1989; Turner & Helms 1991).
Menurut Caldwell & Bradley
(1984), lingkungan dimana anak berada sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Dalam hal ini, Caldwell & Bradley meyakini bahwa
perkembangan anak dapat ditingkatkan dengan menyediakan lingkungan bagi anak yang: 1) memenuhi kebutuhan fisik dasar, kesehatan dan keselamatan anak; 2) memungkinkan kontak dengan sejumlah orang dewasa; 3) memiliki iklim emosional yang positif; 4) menyediakan semua kebutuhan anak secara optimal; 5) menyediakan masukan sensoris yang beragam dan terpola; 6) memungkinkan hadirnya orang yang selalu tanggap secara fisik, kata dan rasa terhadap perilaku anak; 7) memiliki larangan sosial minimal terhadap perilaku motorik dan eksploratorik; 8) pengorganisasian lingkungan fisik dan temporalnya baik; 9) menyediakan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman kultural yang kaya dan beragam; 10) menyediakan alat mainan yang memfasilitasi koordinasi
25
proses sensorimotor; 11) memungkinkan kontak dengan orang dewasa yang memberi nilai terhadap pencapaian perilaku anak; dan 12) memberikan kesempatan bagi anak untuk mendapatkan pengalaman kegiatan yang kumulatif. Berdasarkan keduabelas premis teoritis dan empiris itulah Caldwell & Bradley mengembangkan suatu instrumen yang digunakan untuk menilai sejauh mana orangtua menyediakan lingkungan yang mendukung perkembangan anaknya. Instrumen tersebut diberi nama Home Observation for Measurement of the Environment yang disingkat HOME. Kualitas pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua diukur dengan menggunakan HOME (Home Observation for Measurement of the Environment Inventory) yang terdiri dari dua versi yaitu untuk kelompok bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Untuk kelompok bayi pengukuran terdiri dari 6 sub-skala dengan total skor 45 yaitu: penerimaan terhadap emosi dan kata-kata anak (11 butir pertanyaan), penerimaan terhadap perilaku anak (8 butir pertanyaan), organisasi lingkungan fisik (6 butir pertanyaan), penyediaan alat permainan (9 butir pertanyaan), keterlibatan orangtua dengan anak (6 butir pertanyaan), serta kesempatan yang diperoleh anak melalui stimulasi yang diberikan kepada orangtua (5 butir pertanyaan), sedangkan untuk kelompok usia prasekolah terdiri dari 8 subskala dengan total skor 55 yaitu: stimulasi belajar (11 butir pertanyaan), stimulasi bahasa (7 butir pertanyaan), lingkungan fisik (7 butir pertanyaan), kehangatan dan penerimaan (7 butir pertanyaan), stimulasi akademik (5 butir pertanyaan), modeling dan mendorong kematangan sosial (5 butir pertanyaan), variasi stimulasi kepada anak (9 butir pertanyaan), serta hukuman (4 butir pertanyaan) (Caldwell dan Bradley, 1984). Tumbuh kembang Anak Pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, mental dan emosional dan sosial pada usia dini dipengaruhi oleh pemeliharaan gizi, kesehatan, stimulasi mental dan psikososial (Syarief
2002). Gizi bersama dengan
kesehatan anak, merupakan faktor yang penting dalam penentuan tumbuh kembang anak selanjutnya, baik kelangsungan hidup maupun pertumbuhan fisik dan intelektualnya (Syarief 1997). Unicef 1997 telah mengkaji berbagai masalah gizi dan faktor penyebabnya di berbagai negara, dan berdasarkan kajian tersebut telah dianalisis penyebab langsung, tidak langsung, masalah utama dan masalah dasar (Gambar 6).
26
Penyebab langsung kekurangan gizi adalah kurangnya konsumsi dan adanya penyakit infeksi, sedangkan kekurangan konsumsi dan penyakit disebabkan oleh kurangnya akses makanan, kurangnya praktek pengasuhan dari ibu kepada anak serta buruknya penyediaan air dan sanitasi serta pelayanan kesehatan (Engel, Menon dan Hadad 1997) Peristiwa tumbuh kembang pada anak meliputi seluruh proses yang terjadi sejak pembuahan hingga dewasa. Istilah tumbuh kembang mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Secara garis besar dibedakan 3 jenis tumbuhkembang; 1) tumbuh kembang fisik, 2) tumbuh kembang intelektual, 3) tumbuh kembang emosional (Markum et al. 1991). Kurang Gizi
Dampak Penyebab langsung
Penyebab Tidak Langsung
Kurang konsumsi
Tidak cukup pangan
Penyakit
Pola asuh anak tidak memadai
Sanitasi & air bersih/ pelayanan kesehatan dasar tidak memadai
Kurang pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumberdaya masyarakat
Pokok Masalah Di Masyarakat
Pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan Akar Masalah (nasional)
Krisis ekonomi, politik dan sosial
Gambar 6 Kerangka pikir penyebab kurang gizi pada anak (UNICEF dalam Engel, Menon dan Hadad 1997). Pertumbuhan Berdasarkan pertumbuhan bayi dan anak, menurut Hurlock (1992) usia anak prasekolah atau early childhood adalah anak yang berusia antara 2-6 tahun, sedangkan menurut Persatuan Ahli Gizi Indonesia usia anak pra sekolah adalah 1-6 tahun. Proses pertumbuhan dan perkembangan anak terjadi sejak dalam kandungan. Setiap organ dan fungsinya mempunyai kecepatan tumbuh
27
yang berbeda-beda (Depkes 2000). Hurlock (1995) mendefinisikan pertumbuhan secara konseptual sebagai suatu perubahan kualitatif dalam arti pertambahan ukuran dan struktur yang tidak hanya terjadi pada bagian badan yang besar yang berada di luar, namun juga dalam tubuh seperti otak. Menurut Satoto (1990) pertumbuhan merupakan indikator yang tepat dari kecukupan masukan zat-zat gizi esensial seseorang. Status Gizi. Tahapan tumbuh kembang anak balita (termasuk usia pra sekolah) lebih lambat dibandingkan pada masa bayi, tetapi lebih cepat dibandingkan dengan tahap tumbuh kembang remaja. Tingginya aktifitas dan terus berlangsungnya pertumbuhan tubuh memerlukan pangan dan zat gizi dalam jumlah besar. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992) masa seorang anak berada pada usia kurang dari lima tahun termasuk salah satu masa yang tergolong rawan.
Pada umumnya anak mulai susah makan atau hanya suka pada
makanan jajanan yang tergolong hampa kalori dan zat gizi lainnya. Perhatian terhadap makanan dan kesehatan bagi anak pada usia ini sangat diperlukan. Penilaian status gizi dilakukan dengan menggunakan antropometri dan membandingkannya dengan standar Harvard atau standar NCHS (National Center for Health Statistic). Untuk penilaian status gizi berdasarkan BB/U batas penentuan gizi buruk bila kurang dari -3 sd, gizi kurang bila -3 sd sampai dengan -2 sd, dan gizi baik bila - 2 sd sampai dengan +2 sd, serta gizi lebih bila lebih dari +2 sd (Riyadi 1995). Kesehatan. Kesehatan memiliki arti yang luas, karena menurut WHO didefinisikan sebagai keadaan sejahtera secara fisik, mental dan sosial, dan bukan hanya sekedar tidak adanya penyakit maupun cacat. Kesehatan anak ditandai oleh terhindarnya tubuh dari penyakit, tubuh dalam kondisi baik sehingga dapat melangsungkan aktivitas secara normal sesuai dengan periode usianya. Pada beberapa studi epidemiologi kesehatan anak diukur dari kejadian sakit mencakup jenis penyakit yang diderita, frekuensi dan lama menderita jenis penyakit tertentu (Hardinsyah, Dwiriani, Hastuti, Briawan, Effendi 2001). WHO menganjurkan
penelitian
penyakit
selama
tiga
bulan
terakhir
untuk
menggambarkan status kesehatan seseorang. Perkembangan Perkembangan anak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang ada dalam diri anak dan faktor lingkungan. Sifat-sifat bawaan anak berupa
28
potensi kecerdasan dan potensi pribadi akan terwujud secara optimal tergantung pada pengaruh lingkungannya, berupa asupan zat gizi, stimulus fisik dan psikis yang diberikan secara cukup pada masa perkembangan anak. Menurut teori investasi rumah tangga, gen orangtua dan pendidikannya menentukan input kualitas dan kuantitas waktu yang diberikan kepada anak. IQ anak merupakan cadangan investasi keluarga. Pendidikan ayah dan ibu mempengaruhi IQ anak secara langsung melalui kualitas dan kuantitas waktu yang diberikan kepada anak tetapi pendidikan ibu lebih penting menentukan IQ anak (Leibowitz 1982) Terdapat tiga dimensi perkembangan anak yaitu perkembangan mental, perkembangan psikomotor dan perkembangan sosial yang dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan secara keseluruhan. Selain itu juga masih terdapat dimensi-dimensi lain yaitu perkembangan emosi, perkembangan bahasa,
perkembangan moral
dan
lainnya
yang
berhubungan
dengan
perkembangan anak (Soetjiningsih 1990) Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik, seperti berbicara, bermain, berhitung dan membaca. Pada masa bayi, tumbuh kembang intelektual ini erat kaitannya dengan kematangan fungsi neurologik dan perilaku. Proses tumbuh kembang emosional bergantung kepada kemampuan bayi untuk membentuk ikatan batin, kemampuan bercinta dan berkasih sayang dan kemampuan mengelola rangsangan agresif (Markum et al. 1991). Menurut Keat (1985) dalam Satoto (1990) perkembangan mental atau perkembangan kognitif merupakan proses mental yang mencakup pemahaman tentang dunia, penemuan pengetahuan, pembuatan perbandingan, berfikir dan mengerti. Proses mental tersebut ialah proses pengolahan informasi yang menjangkau kegiaan kognisi, intelegensia, berfikir, belajar, pemecahan masalah dan pembentukan konsep. Dalam pengertian yang lebih luas proses mental tersebut menjangkau pula kreatifitas, imajinasi dan ingatan. Terdapat bebagai metode yang dapat dilakukan untuk mengukur perkembangan anak balita diantaranya yaitu: metode Bayley Development Scale yang mengukur tingkat psikomotorik, mental dan behavior serta metode Stanford-Binnet Scale. Selain itu Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional juga menyusun intrumen kompetensi (perkembangan) anak prasekolah untuk anak usia 3.5-6.4 tahun (Tim TK 2004).