1
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang
perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari kayu tahun 2010 yaitu sebesar ± US $ 687 juta (BPS Jawa Timur, 2010) atau hampir 60 % dari total ekspor produk kayu nasional sebesar US $ 1.166.706.643. Produk dari kayu dan hasil hutan lainnya menyumbang sekitar 3,6 % terhadap PDRB sektor industri pengolahan di Jawa Timur. Jumlah Industri pengolahan kayu termasuk industri yang mengolah kayu bulat atau Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK) di Jawa Timur setiap tahun cenderung bertambah dan memberikan sumbangan cukup besar terhadap devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan jumlah industri pengolahan kayu tidak didukung dengan peningkatan faktor produksi. Meskipun kuantitas industri bertambah namun dari jumlah produksi cenderung menurun. Ini terlihat dari data Statistik Kehutanan Tahun 2011 adanya penurunan produksi plywood, veneer, blockboard dan sebagainya sejak tahun 2003. Penurunan ketersediaan bahan baku kayu sebagai input pada industri perkayuan merupakan permasalahan utama yang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini khususnya bagi Industri Primer Hasil Hutan. Bahan baku kayu yang tersedia tidak lagi mampu mengimbangi permintaan yang ada sehingga terjadi defisit kebutuhan kayu.
Pada awal tahun 2000
Indonesia mengalami
kesenjangan yang besar antara kebutuhan kayu bagi industri dengan kemampuan sumberdaya hutan untuk memproduksi kayu secara lestari. Terlebih lagi dengan adanya kebijakan penurunan produksi (soft landing) mulai tahun 2003 telah mengakibatkan produksi kayu makin kecil (Widiarti, 2006) Kebutuhan kayu nasional pada tahun 2011 sekitar 56 juta m3 hanya mampu dipenuhi oleh hutan alam produksi sebesar 5 juta m3 atau 9 % sedangkan sisanya adalah dari hutan tanaman sebesar 20 juta m3. Dengan kondisi tersebut, terjadi defisit kebutuhan kayu sebesar 31 juta m 3 pertahun. Fakta tersebut menunjukkan bahwa hutan alam dan hutan tanaman saja tidak mampu lagi memenuhi semua kebutuhan kayu. Bahan baku Industri Primer Hasil Hutan berasal dari hutan alam produksi dan hutan tanaman. Sebelum tahun 2000 persentase terbesar sebagai pemasok bahan baku industri adalah berasal dari hutan alam produksi.
Akan tetapi
2
pembalakan yang berlebihan yang biasanya diikuti perambahan areal hutan tersebut telah menyebabkan laju kerusakan hutan sebesar 1.08 juta Ha pertahun selama periode tahun 2000 dan 2006 serta menciptakan areal lahan kritis lebih dari 30 Ha (Dirjen Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, 2007) Tabel 1 Data Deforestasi di dalam dan di luar Kawasan Hutan periode 20062009 (Ha/Th) No
Kawasan Hutan x 1000 Ha Hutan Tetap HPT HP Jumlah
Kelompok Hutan KSA-KPA 1 Jawa Timur Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Lainnya Total 2 Indonesia Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Lainnya * Total
HL
4.4 0 25 29.4
65.7 0 6.2 71.9
0 0
17,283.5 7,325.6 727.1 25,336.2
44,520.3 19,656.3 3,152.9 67,329.5
HPK
Jumlah
0
2.9 0 273.9 276.8
73 0 305.1 378.1
0 0 0 0
82,848.0 22,790.5 23,869.5 129,508.0
98,412.8 127,079.3 30,952.3 256,444.4
243,064.6 176,851.7 58,701.8 478,618.1
21,370.6 102,990.6 7,396.7 131,757.9
APL (x 1000 Ha)
73 0 305.1 378.1
Total
64.4 0 405.8 470.2
137.4 0 710.9 848.3
264,435.2 136,590.1 279,842.3 71,693.8 66,098.5 13,467.1 610,376.0 221,751.0
401,025.3 351,536.1 79,565.6 832,127.0
Sumber : Statitik Kehutanan Indonesia 2010 (Kementrian Kehutanan, Juli 2011)
Data dari Kementerian Kehutanan menunjukkan total deforestasi antara tahun 2006 sampai 2009 secara nasional adalah 832 juta Ha sedangkan untuk Jawa Timur sendiri adalah 848.000,3 Ha atau 0,1 %.
Secara nasional,
deforestasi terbesar adalah pada kawasan hutan terutama pada hutan produksi yang merupakan sumber bahan baku utama bagi industri pengolahan kayu. Pemerintah
Indonesia
telah
melakukan
upaya
untuk
mengatasi
kesenjangan pasokan dan kebutuhan bahan baku tersebut melalui program rehabilitasi hutan dan pembangunan hutan tanaman.
Disamping melakukan
pengelolaan terhadap hutan negara, pemerintah telah
mempromosikan dan
mendorong pembangunan kehutanan berbasis masyarakat antara lain dengan menggalakkan
penanaman
komoditas
kehutanan
pada
lahan–lahan
rakyat/lahan milik. Apabila pembangunan kehutanan berbasis masyarakat ini terus berkembang, maka tekanan terhadap hutan alam dalam bentuk eksploitasi untuk pemenuhan industri baik yang legal maupun illegal akan dapat dikurangi, dan sekaligus memberikan peran yang signifikan kepada masyrakat untuk turut serta memberikan jaminan terhadap kelangsungan industri kehutanan nasional (Dirjen RLPS, 2006)
3
Hutan Rakyat merupakan alternatif bagi pemenuhan kebutuhan akan pasokan kayu di Pulau Jawa. Hutan Rakyat di Jawa berpotensi memasok bahan baku kayu dengan potensi produksi sampai 16 juta meter kubik per tahun dan potensi pengembangan yang luasnya mencapai 2,7 juta hektar. Sementara di wilayah Jawa Timur sendiri diperkirakan terdapat areal hutan rakyat seluas 641 ribu Ha dan memiliki potensi produksi sekitar 2,4 – 3,2 jt m3/th (BPKH XI Jawa – Madura, 2009) dan masih memiliki potensi untuk dikembangkan. Peningkatan penggunaan bahan baku dari hutan rakyat terlihat dari data BRIK tahun 2004-2006 dimana persentase ekspor produk kayu olahan yang menggunakan bahan baku dari hutan rakyat berkisar antara 38-40%, berarti hampir separuh dari volume ekspor produk kehutanan telah menggunakan bahan baku dari sumber-sumber alternatif. Hutan rakyat selain memberikan kontribusi dalam memajukan industri kehutanan juga merupakan salah satu bentuk kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang cukup efektif dan efisien dalam meningkatkan produktivitas lahan kritis, memperbaiki tata air dan lingkungan, pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kayu bangunan, dan sekaligus sebagai upaya dalam meningkatkan ekonomi masyarakat desa hutan melalui hasil-hasilnya (Winarno, 2007).
Untuk itu Kementerian Kehutanan telah menargetkan
pengembangan hutan rakyat ini di lahan milik masyarakat, adat, dan lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang terlantar. Meningkatnya pemintaan kayu yang berasal dari hutan rakyat tidak serta merta diiringi dengan pembangunan hutan rakyat. Lambatnya pembangunan hutan rakyat antara lain karena masih ditemuinya beberapa permasalahan dalam pengembangan hutan rakyat.
Menurut Darusman dan Hardjanto (2006)
Permasalahan hutan rakyat yang muncul sampai saat ini meliputi empat aspek yaitu: a) produksi, b) pengolahan, c) pemasaran dan d) kelembagaan. Agar hutan rakyat dalam pemenuhan bahan baku industri dapat memberikan manfaat secara ekonomi, sosial dan ekologi bagi semua pihak terkait, maka diperlukan arahan yang komprehensif untuk merencanakan pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur. 1.2 Perumusan Masalah Saat ini industri pengolahan kayu Indonesia sedang menghadapi berbagai masalah. Masalah yang dirasakan paling mengganggu dan harus sesegera mungkin disikapi dan dicarikan jalan keluarnya adalah semakin
4
menipisnya cadangan sumberdaya kayu, serta ketidakseimbangan antara demand dan supply hasil hutan kayu sebagai akibat dari kebijakan pengelolaan hutan dan pengembangan industri perkayuan yang kurang tepat dimasa-masa lalu (Massijaya, 2000) Hasil penelitian LP IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada tahun 2000 menunjukkan dengan jelas kesenjangan antara demand dan supply bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu pada berbagai skenario
Tabel 2. Prakiraan kekurangan bahan baku industri pengolahan kayu Indonesia pada tahun 2000 - 2018 (dalam jutaan m3). Prakiraan Supply Prakiraan Selisih Supply Demand No. Tahun Optimis Moderat Pesimis Demand Optimis Moderat Pesimis (a) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
(b) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
(c) 37.9 38.0 38.1 38.4 42.3 42.7 43.1 43.3 43.4 51.3 52.0 52.6 53.2 53.5 54.2 55.7 56.7 57.6 58.0
(d) 28.4 28.5 28.5 28.5 28.6 31.0 31.2 31.5 31.5 31.6 36.2 36.7 37.1 37.4 37.5 38.0 39.0 40.2 40.4
(e) 20.4 20.3 20.3 20.3 21.7 21.8 21.9 21.9 24.8 24.8 25.0 25.2 25.3 25.3 25.6 26.0 26.3 26.6 26.6
(f) 44.3 45.8 47.4 49.2 51.0 53.0 55.1 57.4 59.9 62.6 65.6 68.8 72.3 76.1 80.2 84.7 89.5 94.7 100.2
(c-f) -6.4 -7.8 -9.3 -10.8 -8.7 -10.3 -12.0 -14.1 -16.5 -11.3 -13.6 -16.2 -19.1 -22.6 -26.0 -29.0 -32.8 -37.1 -42.2
(d-f) -15.9 -17.3 -18.9 -20.7 -22.4 -22.0 -23.9 -25.9 -28.4 -31.0 -29.4 -32.1 -35.2 -38.7 -42.7 -46.7 -50.5 -54.5 -59.8
(e-f) -23.9 -25.5 -27.1 -28.9 -29.3 -31.2 -33.2 -35.5 -35.1 -37.8 -40.6 -43.6 -47.0 -50.8 -54.6 -58.7 -63.2 -68.1 -73.6
Berdasarkan Tabel 2, diperkirakan tahun-tahun kedepan pertambahan suplai bahan baku tidak mampu mengimbangin tingginya pertambahan permintaan sehingga akan kesenjangan pasokan dan permintaan bahan baku akan semakin besar sehingga kekurangan bahan baku kayu bulat akan semakin besar.
5
Berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam empat sub sistem, yaitu produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan kelembagaan (Widiarti, 2007). Akibat dari permasalahan dalam setiap sub sistem ini adalah peranan hutan rakyat belum optimal meningkatkan perekonomian petani dan posisi petani sebagai produsen lemah karena tidak memiliki bargaining position. Agar terpenuhinya kebutuhan bahan baku secara berkelanjutan pada tahun-tahun
mendatang,
pemerintah
telah
meminta
kalangan
industri
pengolahan kayu untuk memperluas dan memperbanyak investasi dengan membagikan bibit serta membina masyarakat dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman kayu. Diharapkan dengan cara demikian investasi industri pengolahan kayu akan maju, bahan baku lebih lestari, dan masyarakat sejahtera secara berkeadilan.
Akan tetapi kemitraan antara industri dan masyarakat
khususnya di Provinsi Jawa Timur sampai saat ini belum menunjukan hasil yang signifikan. Beberapa permasalahan pengembangan hutan rakyat pola kemitraan yang masih dihadapi adalah: 1. Belum tersedia data kongkrit yang memberikan informasi jumlah perusahaan mitra yang mau berpartisipasi, dan data potensi kebutuhan bahan baku dan sasaran pengembangan. 2. Peran BUMN/BUMS belum optimal sebagai mitra kelompok tani hutan rakyat. 3. Fasilitasi Pemerintah belum intensif/optimal, dan belum didapat pola pengelolaan yang tepat yang menjembatani usaha kemitraan. 4. Model pengembangan sedang berjalan, dan belum memberikan informasi pola pengelolaan yang tepat guna. 5. Peraturan perundangan yang ada belum banyak mendukung dalam pengembangan hutan rakyat. Dengan mempertimbangkan hal diatas, maka pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana mengembangkan hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku Industri Primer Hasil Hutan di Jawa Timur.
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan diatas pada penelitian ini secara garis besar bertujuan untuk menyusun sebuah perencanaan pengembangan hutan rakyat untuk pemenuhan pasokan bahan baku industri hasil hutan kayu yang
6
berkelanjutan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menyusun arahan pengembangan hutan rakyat di Provinsi Jawa Timur melalui : a. Identifikasi jenis tanaman yang berpotensi dalam pengembangan hutan rakyat di Jawa Timur b. Identifikasi kesesuaian dan ketersediaan lahan yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat berdasarkan kesesuaian lahan. c. Identifikasi pola kemitraan dan kelembagaan antara industri kayu dengan masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk menetapkan kebijakan dan arahan pengembangan hutan rakyat sehingga diharapkan dapat meningkatkan kelestarian produksi, kelestarian lingkungan dan sekaligus akan memberikan kontribusi terhadap kelestarian sosial (kesejahteraan masyarakat).
1.5 Kerangka Pemikiran Laju deforestasi hutan Indonesia yang relatif tinggi yaitu 1 juta hektar atau sekitar 670 ribu hektar untuk kawasan hutan pertahun menyebabkan pasokan bahan baku dari hutan produksi alam semakin berkurang sementara permintaan terhadap bahan baku kayu bulat semakin meningkat (FAO, 2010). Deforestasi tidak hanya terjadi di hutan alam produksi namun juga terjadi di hutan tanaman sehingga Kementerian Kehutanan mengeluarkan kebijakan “soft landing” sejak tahun 2003 yang pokok isinya adalah mengurangi peran hutan alam sebagai pemasok kayu untuk industri kayu dengan mengurangi jatah produksi tebang secara bertahap setiap tahun. Penurunan jatah produksi tebang selain pada hutan alam produksi juga diberlakukan terhadap produksi kayu yang berada pada kawasan hutan produksi khususnya hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Dengan berkurangnya pasokan kayu dari hutan alam produksi dan hutan tanaman akan menjadi peluang bagi kayu yang berasal dari hutan rakyat menjadi sumber pasokan utama bahan baku industri primer hasil hutan. Beberapa jenis kayu rakyat seperti Sengon dan Jabon memiliki karakteristik yang sesuai untuk bahan baku plywood dan berbagai produk hasil hutan lainnya. Dengan masa panen yang relatif lebih singkat dari kayu yang berasal dari hutan alam, permintaan yang cukup tinggi, harga pasar yang
7
kompetitif, perawatan yang relatif mudah serta pola tanam wanatani dengan tumpangsari
merupakan
peluang
bagi
petani
untuk
meningkatkan
kesejahteraannya. Akan tetapi yang menjadi kendala bagi masyarakat adalah tidak tersedianya modal dan pengetahuan silvikultur yang baik agar usaha ini dapat memberikan nilai ekonomi yang tinggi Sehubungan dengan hal tersebut dan agar pengembangan hutan rakyat dapat memberikan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan industri kayu, maka perlu dilakukan perencanaan yang baik dalam pengembangan hutan rakyat. Dengan demikian diperlukan identifikasi lahan yang berpotensi untuk pengembangan hutan rakyat, analisis kesesuaian jenis untuk komoditas unggulan agar menghasilkan produksi yang menguntungkan serta analisis pola kemitraan dan kelembagaan pengembangan hutan rakyat agar arahan pengembangan hutan rakyat dapat mencapai hasil yang optimal Adapun tahapan alur kerangka berfikir dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
TERBATAS
INDUSTRI PRIMER HASIL HUTAN KAYU (IPHHK)
HUTAN ALAM HUTAN TANAMAN
Solusi
JAMINAN PASOKAN KAYU
HUTAN RAKYAT
EKONOMI Peningkatan pendapatan petani
Pengembangan HR
MANFAAT ARAHAN PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT
EKOLOGI Perbaikan kualitas lingk, penurunan luas lahan kritis
SOSIAL Peningkatan hidup petani
JENIS TANAMAN
LOKASI
KELEMBAGAAN
PENGEMBANGAN
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
taraf