PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan
perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor pertanian juga menjadi tumpuan hidup banyak masyarakat di Indonesia dan tenaga kerja nasional. Tidak kurang dari sepertiga tenaga kerja nasional berada di sektor ini. Pada tahun 2013 masih terdapat sekitar 38 juta tenaga kerja yang bertahan di sektor pertanian. Jumlah tersebut setara dengan 34 persen penduduk Indonesia yang bekerja. (BPS, 2014) Dalam perjalanannya pertanian di Indonesia mengalami pasang surut. Pada REPELITA
IV
(1984-1988)
berbagai
upaya
dilakukan
pemerintah
untuk
meningkatkan produksi pangan beras melalui peningkatan sarana dan prasarana, termasuk input penunjang produksi padi di seluruh daerah pangan dengan mengutamakan daerah-daerah sentra produksi padi. Upaya pengerahan segala upaya di bidang pangan yang dimulai dengan perbaikan kondisi lapangan dan usaha tani hingga kelembagaan pertanian yang didukung oleh kondisi iklim yang baik ternyata menghasilkan peningkatan produksi beras yang relatif tinggi sehingga dapat dicapainya swasembada beras pada tahun 1984/1985. Saat itu produksi padi nasional mencapai 25,9 juta ton setara beras sehingga Indonesia kelebihan stok. Selain melakukan ekspor beras, Indonesia juga turut serta terlibat dalam program bantuan ke Afrika yang kekurangan pangan. (Dwidjono, 2011) Indonesia kini malah berada dalam persoalan ketahanan pangan. Salah satu pangkal masalahnya adalah defisit pangan yang belum juga tertangani. Selama lima tahun terakhir, nilai impor produk pertanian Indonesia lebih dari dua kali lipat nilai eksportnya. Berdasarkan indeks kelaparan global (IKG)1 2013 yang disusun oleh Von Grebmer dkk, Indonesia masih termasuk dalam kategori sebagai negara dengan tingkat kelaparan serius bersama kamboja dan Filipina. (BPS, 2014) Penyediaan pangan bagi masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara. Pangan dapat dihasilkan dari dalam negeri dengan melakukan proses produksi memanfaatkan sumber daya yang ada baik lahan, tenaga kerja maupun modal. Jika
1
IKG merupakan indeks yang disusun dari tiga variabel utama: tingkat kematian anak berumur kurang dari lima tahun, prevelensi anak dengan berat badan kurang dan proporsi penduduk kurang gizi.
cara pertama tidak mampu memenuhi pangan bagi masyarakat, maka pemerintah dapat melakukan kegiatan impor. Data FAO menunjukkan jika kegiatan impor beras Indonesia menunjukkan trend peningkatan. Kegiatan impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kegiatan ekspor. Jika pada tahun 2008 jumlah beras impor yang masuk ke Indonesia hanya sebesar 288.359 ton maka angka tersebut meningkat drastis menjadi 2.745.281 ton pada tahun 2011. Jumlah beras impor Indonesia sempat mengalami penurunan sebanyak 1.802.50 ton pada tahun 2012. Gambar 1.1. menunjukkan perkembangan nilai impor beras Indonesia tahun 2008 hingga 2012.
3,000,000
2,745,281
2,500,000 2,000,000 1,802,050 1,500,000 1,000,000 500,000
685,768
288,359
248,454
2008
2009
2010
2011
2012
Gambar 1.1. Kuantitas Impor Beras Indonesia tahun 2008-2012 (ton)
Di sejumlah negara, produksi pangan tidak hanya bertumpu pada produktivitas semata sebab pada titik tertentu produksi pangan tidak akan mampu memenuhi permintaan mengingat jumlah penduduk yang terus bertambah. Bahkan negara-negara maju di dunia yang perekonomiannya sangat tergantung pada sektor jasa dan industri juga tidak mengabaikan perluasan lahan pertaniannya. Sejumlah negara yang memiliki lahan pertanian yang terbatas atau tanah yang kurang subur telah melakukan pembelian lahan di negara lain. Ini dilakukan untuk mengamankan ketahanan pangan dalam negeri. Lahan serta pangan memang merupakan dua hal yang saling berkaitan. Pemenuhan pangan di masa mendatang sangat tergantung dari berapa banyak lahan yang tersedia untuk dimanfaatkan bagi sektor pertanian. Muhtarom (2015) menyebutkan bahwa masalah konversi lahan pertanian merupakan fenomena yang
sangat erat kaitannya dengan pembangunan suatu wilayah. Keterbatasan sumber daya lahan, pertumbuhan penduduk dan ekonomi di wilayah pusat pertumbuhan merupakan faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Berbagai permasalahan seperti kurangnya daya dukung lahan disertai dengan konflik kepentingan ekonomi yang semakin besar, luas lahan pertanian yang terbatas, jumlah penduduk yang semakin besar menyebabkan kebutuhan akan lahan juga semakin tinggi. Di sisi lain pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan non pertanian dengan sewa yang sangat tinggi. Merujuk pada data BPS yang dikumpulkan dari Kementrian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional, Indonesia masih memiliki lahan seluas 39 juta hektar lebih. Lahan yang terbentang dari Aceh hingga Papua ini dibagi ke dalam kelompok meliputi lahan sawah berupa sawah irigasi dan non irigasi, lahan perkebunan, ladang serta lahan yang sementara yang tidak diusahakan. Lahan persawahan memiliki luas 8.112.103 hektar sementara 11.876.881 hektar adalah jenis lahan perkebunan. 5.272.895 hektar merupakan jenis lahan ladang sedangkan lahan yang sementara tidak diusahakan memiliki luasan yang paling besar yaitu 14. 213.815 hektar. Perkembangan luas lahan di Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga tahun 2013 tertera pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Luas penggunaan Lahan Pertanian di Indonesia, 2009-2013 (Ha) No
Tahun
Jenis Lahan (Ha)
2009
2010
2011
2012
2013
1
Sawah
8,068,427
8,002,552
8,094,862
8,132,345
8,112,103
4,905,107
4,893,128
4,924,172
4,417,561
4,819,525
3,163,220
3,170,690
3,170,690
3,714,763
3,292,578
2
sawah Irigasi Sawah non Irigasi Tegal / Kebun
11,782,332
11,877,777
11,626,219
11,949,727
11,876,881
5,428,689
5,334,545
5,697,171
5,260,081
5,272,895
14,880,526
14,754,249
14,378,586
14,252,383
14,213,815
40,159,974
39,969,123
39,796,838
39,594,536
39,475,694
3 4
Ladang/ Huma Lahan yang Tidak Diusahakan Jumlah
Sumber : BPS Pusat 2014
Jika dilihat dari rentang waktu 2009 hingga tahun 2013 maka luas lahan sawah di Indonesia menunjukkan trend pertumbuhan meski mengalami perlambatan. Kondisi ini lebih disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang sulit dibendung.
Penduduk akan membutuhkan lahan untuk dijadikan sebagai areal pemukiman. Sementara banyak areal pertanian yang terpaksa dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kondisi ini telah mendorong terjadinya perlambatan pada perluasan lahan atau bahkan penurunan luas lahan yang dapat mengancam keberlangsung pertanian di Indonesia. Di Indonesia hampir seluruh provinsi bergantung pada sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi daerah, salah satunya adalah Aceh. Syahrur (2001) menjelaskan bahwa berdasarkan analisis SWOT menunjukkan profil perekonomian Aceh cukup potensial untuk dikembangkan karena berada pada posisi yang sangat strategis. Kondisi strategis ini diperkuat dengan potensi sektor pertanian yang masih besar, ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh yang masih dominan dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Lazimnya, Aceh dikelompokkan ke dalam tiga bagian wilayah yaitu Kawasan Barat-Selatan terdiri dari delapan
kabupaten/kota, Kawasan Tengah empat
kabupaten dan Kawasan Timur-Utara terdiri dari 11 kabupaten kota. Masing–masing kawasan tersebut memilik potensi pertanian, diantaranya memiliki komoditas yang sama. Kawasan Timur-Utara Aceh yang terbentang sepanjang 450 km dari perbatasan Sumatera Utara hingga ujung pulau Sumatera ini merupakan kawasan potensial akan tanaman pangan seperti padi dan palawija. Kawasan tersebut juga tercatat sebagai penyumbang produksi padi terbesar setara dengan 72 persen dari seluruh padi di provinsi Aceh. Lima daerah utama penghasil beras adalah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Pidie serta Bireuen. Produksi gabah dari kelima kabupaten tersebut mencapai 85 persen dari keseluruhan produksi kawasan dan mencapai 62 persen dari total produksi gabah di Provinsi Aceh. Dari sepuluh daerah penghasil padi terbesar di Aceh, enam di antaranya berada di Kawasan Timur Utara Aceh dan berada dalam peringkat yang berurutan. Sepuluh daerah sebagai penghasil produksi Padi tertinggi di Aceh tahun 2012 ditunjukkan dalam Tabel 1.2 berikut ini.
Aceh Tenggara
62,462
Aceh Selatan
64,309
Nagan Raya Aceh Barat Daya Aceh Tamiang
75,899 96,426 102,082
Bireuen
141,440
Aceh Besar
203,516
Pi d i e
204,052
Aceh Timur Aceh Utara
213,033 341,951
Gambar 1.2. Sepuluh daerah penghasil produksi Padi tertinggi di Aceh tahun 2012 (ton)
Berdasarkan analisis sosial ekonomi petani di Aceh, kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB dari tahun 2006 hingga 2013 sebesar 24 hingga 28 persen. Capaian share tertinggi dalam periode tersebut terjadi pada tahun 2009. Saat itu peranan sektor pertanian mencapai 28,36 persen dari total PDRB Aceh. Sepanjang tahun 2008 hingga 2012 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2008 PDRB propinsi Aceh (dengan migas) berjumlah 34.097,99 Miliar rupiah. Namun jumlah tersebut turun pada tahun 2009 menjadi 32.219,09 Miliar rupiah. Tahun berikutnya PDRB Aceh kembali naik meski jumlahnya masih berada di bawah PDRB tahun 2008. Tahun 2010 PDRB Aceh berjumlah 33.103,08 Miliar rupiah. Sementara pada tahun 2011 dan 2012 PDRB Aceh (dengan migas) terus naik masing-masing pada posisi 34.789,37 Miliar rupiah dan 36.599,71 Miliar rupiah. (BPS, 2013). Berbeda dengan PDRB dengan Migas yang menunjukkan trend naik turun, PDRB Aceh tanpa Migas tampak lebih stabil bahkan terus naik setiap tahunnya. Pada tahun 2008 PDRB Aceh tanpa migas berjumlah 26.523,09 Miliar rupiah. Pada tahun 2011 dan 2012 PDRB Aceh tanpa migas naik masing-masing 30.809,52 Miliar rupiah dan 32.676.58 Miliar rupiah. Adanya peningkatan ini menunjukkan bahwa potensi sumber daya alam yang dimiliki Propinsi Aceh melalui sembilan sektor ekonomi telah memberikan sumbangsih untuk PDRB. Perbandingan antara PDRB Aceh dengan Migas dan Tanpa Migas ADHK 2000 tahun 2008-2013 (Miliar Rupiah) tersaji dalam Gambar 1.3. di bawah ini.
40,000.00 30,000.00 20,000.00 10,000.00 2008
2009
2010
PDRB Dengan Migas
2011
2012
2013
PDRB Tanpa Migas
Gambar 1.3. Perbandingan PDRB Aceh dengan Migas dan Tanpa Migas ADHK 2000 tahun 2008-2013 (Miliar Rupiah)
Jika peranan sektor migas di Aceh mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya produksi minyak dan gas, kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh sektor pertanian. Secara nominal sektor ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun meski dalam perkembangannya kontribusi sektor ini cenderung menurun. Hal tersebut menunjukkan jika sektor pertanian bukan saja sebagai penyumbang terbesar dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh, namun juga sektor yang menunjang pertumbuhan ekonomi di provinsi ini. Dari lima sub lapangan usaha, tanaman pangan adalah subsektor yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pertumbuhan sektor pertanian di Aceh. Sepanjang tahun 2009 hingga 2013 kontribusi subsektor ini mencapai 41 persen. Sedangkan kontribusi subsektor perkebunan sebesar 20 persen, subsektor perternakan 17 persen serta subsektor perikanan sebesar 16 persen. Kontribusi terkecil
disumbangkan
oleh
subsektor
kehutanan
sebesar
enam
persen.
Perkembangan PDRB Aceh Atas Dasar Harga Konstan 2000 Sektor Pertanian dan subsektor lainnya tertera pada Tabel 1.2 berikut ini.
Tabel 1.2. PDRB Aceh ADHK 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009-2013 (Juta Rupiah) No
Lapangan Usaha
2009
2010
2011
2012
2013
1
Tanaman Pangan
3,353,315
3,598,217
3,852,088
4,092,676
4,239,158
2
Perkebunan
1,696,448
1,748,507
1,830,189
1,913,347
1,987,194
3
Peternakan
1,447,049
1,499,049
1,579,119
1,702,112
1,797,219
4
Kehutanan
518,234
518,110
546,696
571,329
583,601
5
Perikanan
1,418,912
1,473,206
1,528,145
1,581,524
1,608,067
PERTANIAN
8,433,958
8,837,089
9,336,237
9,860,988
10,215,241
Sumber : BPS Aceh 2014
PDRB subsektor tanaman pangan di provinsi Aceh sepanjang kurun waktu 2009 hingga 2013 tumbuh positif sebesar 3.54 persen. Jika Provinsi Aceh dibagi ke dalam dua kawasan yaitu Kawasan Timur Utara Aceh serta Kawasan Barat Selatan dan Tengah Aceh maka Kawasan Timur dan Utara menjadi kawasan penyumbang pertumbuhan terbesar yaitu 3.67 persen. Sebelas daerah yang berada di kawasan ini, semuanya tumbuh positif. Kabupaten Bireuen merupakan daerah dengan pertumbuhan PDRB tanaman pangan paling besar yaitu 5.53 persen. Sementara pertumbuhan terendah terjadi di Kota Sabang sebesar 0.65 persen. Sedangkan untuk Kawasan Barat Selatan dan Tengah Aceh, PDRB tanaman pangan tumbuh sebesar 3.27 persen. Dari dua belas daerah yang berada di kawasan ini ada satu yang mengalami pertumbuhan negatif yaitu Kota Subulussalam. Pertumbuhan di daerah pemekaran ini sebesar -2.31 persen sementara pertumbuhan PDRB subsektor tanaman pangan paling tinggi terjadi di Kabupaten Simeulue sebesar 6.34 persen.
Tabel 1.3. Pertumbuhan PDRB Subsektor Tanaman Pangan di Dua Kawasan dalam Provinsi Aceh tahun 2009-2013 Kawasan Kawasan Timur Utara Kawasan Barat Selatan dan tengah Aceh
Sumber : BPS Aceh 2014 (diolah)
Pertumbuhan PDRB Subsektor Tanaman Pangan (persen) 3.67 3.27 3.54
Sebagai sektor usaha primer, pertanian di Aceh menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada tahun 1998, penduduk yang bekerja di sektor pertanian lebih dari separuhnya, yakni mencapai 60 persen dari total penduduk yang bekerja (sebanyak 1,54 juta). Seiring kemajuan ekonomi dan perubahan struktur perekonomian, lambat laun sektor pertanian ditinggalkan pekerjanya yang memilih pindah ke lapangan usaha lain yang menjanjikan pendapatan yang lebih tinggi. Namun tetap saja jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor pertanian masih menjadi yang terbesar dibandingkan dengan delapan sektor lainnya. Pada tahun 2008 hingga 2013 distribusi ketenagakerjaan penduduk Aceh yang bergerak di sektor pertanian berada dalam kisaran 46-49 persen dari total seluruh tenaga kerja. Pada tahun 2008 misalnya, hampir separuh penduduk yang bekerja masih bertumpu pada sektor ini. Namun peranan mereka hanya mampu menggerakkan sektor pertanian dengan kontribusi 26,37 persen terhadap total perekonomian. Lima tahun kemudian produktivitas sektor pertanian semakin membaik. Pada tahun 2013 tercatat 46,53 persen tenaga kerja sektor pertanian mampu memberikan kontribusi sebesar 27,22 persen terhadap perekonomian Aceh sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 1.3.
Share PDRB
48.47
26.37
2008
48.89 45.59
Share Tenaga Kerja
48.49
46.86
46.53
28.36
27.94
27.45
27.46
27.22
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 1.4. Share PDRB dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Propinsi Aceh tahun 2008-2013
Diproyeksikan kesempatan kerja di Aceh hingga tahun 2016 masih bertumpu pada sektor pertanian dan dua sektor lainnya yaitu jasa dan perdagangan. Sektor pertanian memberikan kesempatan kerja terbanyak mencapai 885 ribu orang pada
tahun 2015 dan meningkat menjadi 899 ribu orang pada tahun 2016. Proyeksi ini menunjukkan jika sektor pertanian masih akan tetap menjadi sektor andalan. Perkiraan kesempatan kerja menurut lapangan usaha terdapat pada Tabel 1.4 berikut ini.
Tabel 1.4. Perkiraan Kesempatan Kerja Menurut lapangan Usaha di Aceh tahun 2015- 2016. No
Lapangan Usaha
2015
2016
1
Pertanian
885
899
2
Pertambangan
18
20
3
Industri Pengolahan
52
52
4
Listrik, gas, dan Air
4
4
5
Bangunan
147
154
6
Perdagangan
305
314
7 8 9
Angkutan Keuangan Jasa Kemasyarakatan
73 35 441
73 40 463
Sumber : Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh tahun 2014
Meski menyerap banyak jumlah tenaga kerja namun ternyata tidak diiringi dengan tingginya produktivitas pekerja pertanian. Berbagai pemicu rendahnya produktivitas diduga berkaitan dengan keterbatasan sumber daya manusia, serta hambatan lainnya seperti letak geografis, stabilitas harga, dan faktor produksi lainnya. Petani di Aceh pada tahun 2013 misalnya hanya mampu mencatat produktivitasnya senilai 33,04 juta rupiah per orang per tahun. Jumlah ini sangat minim jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Ketimpangan paling besar
terlihat jika
dibandingkan dengan sektor pertambangan yang meraup 720 juta rupiah per orang pertahun. Perbedaan produktivitas antar sektor usaha juga dapat dilihat dari upah pekerja. Upah buruh di sektor pertanian jauh lebih rendah daripada rata-rata upah buruh secara umum (semua sektor). Pada tahun 2013, rata-rata upah buruh tani di Aceh hanya sebesar Rp.388.064 perbulan. Sedangkan jumlah rata rata upah buruh di sektor lainnya yang mencapai Rp.914.580 perbulan. Meski demikian ketimpangan upah buruh sektor pertanian terhadap upah buruh secara umum semakin mengecil, walaupun perbedaanya berkisar 2,36 kali lipat pada tahun 2013. Padahal pada lima
tahun sebelumnya perbedaan upah buruh tersebut tercatat hampir empat kali lipat atau 3,89 kali lipat.
Gambar 1.5. Produktivitas Tenaga Kerja Menurut Sektor Usaha di Propinsi Aceh tahun 2013 (Juta Rupiah/Org/Tahun)
Pada umumnya rumah tangga di sektor pertanian menyatakan “cukup” terhadap pendapatan yang diperolehnya. Hal ini diungkapkan oleh 56 persen rumah tangga usaha pertanian. Namun demikian, 36 persen petani di Aceh yang pendapatan utamanya dari sektor pertanian adalah rumah tangga usaha pertanian dengan tingkat pendapatan kurang. Sementara mereka yang bekerja disubsektor perikanan dan kehutanan, sebanyak 40 hingga 43 persen berpenghasilan kurang. Untuk tingkat kecukupan “sangat kurang” paling banyak dialami oleh rumah tangga jasa pertanian. Di sisi lain masih ada sekitar 4-5 persen RTUP yang pendapatannya lebih dari cukup di berbagai subsektor pertanian kecuali perikanan. Kenyataan ini menunjukkan jika jumlah petani di Aceh yang benar-benar sejahtera masih sangat minim. Tantangan sekaligus persoalan pertanian Aceh lainnya adalah mengenai jaminan ketersediaan lahan pada masa mendatang. Tidak dapat dipungkiri dari tahun ke tahun masalah penciutan tanah sawah yang disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan menjadi tanah non pertanian masih terjadi. Alih fungsi tanah pertanian ini terjadi karena didorong oleh sejumlah faktor seperti peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat, pemilihan lokasi strategis dan keinginan untuk meningkatkan nilai
ekonomi tanah. Alih fungsi lahan di Aceh juga karena disebabkan oleh kelemahan pada peraturan perundangan-undangan yang mengatur pengendalian alih fungsi tanah pertanian, persepsi pemilik tanah bahwa sebagai pemilik mereka berhak menggunakan tanahnya untuk apa saja baik untuk pertanian maupun non pertanian, tidak jelasnya delineasi antar kawasan, kurangnya koordinasi antar instasi terkait serta banyaknya bangunan yang dibangun tanpa IMB. (Abdurrahman, 1997)
1.2.
Perumusan Masalah Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan
perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor pertanian juga menjadi tumpuan hidup banyak masyarakat di Indonesia dan tenaga kerja nasional. Di Indonesia hampir seluruh provinsi bergantung pada sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi daerah termasuk Aceh. Dari 23 kabupaten kota di Aceh ada 11 daerah yang berada di kawasan Pantai Timur-Utara yang merupakan kawasan potensial akan tanaman sumber pangan seperti padi dan palawija. Kawasan ini juga tercatat sebagai penyumbang produksi padi terbesar setara dengan 72 persen dari seluruh padi di provinsi Aceh. Lima daerah utama penghasil beras adalah Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Besar, Pidie serta Bireuen. Produksi gabah dari kelima kabupaten tersebut mencapai 85 persen dari keseluruhan produksi kawasan dan 62 persen dari total produksi gabah di Provinsi Aceh. Tidak hanya potensial akan tanaman pangan, 11 kabupaten kota di kawasan tersebut juga merupakan penghasil produk perkebunan seperti sawit, kakao dan karet serta sentra ternak lembu karena kaya akan sumber pakan. Sektor pertanian di Aceh cenderung meningkat setiap tahunnya meski sejak tahun 2009 hingga 2013 kontribusinya cenderung menurun. Dari lima subsektor yang berada dalam lapangan usaha pertanian, tanaman pangan adalah subsektor yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pertumbuhan sektor pertanian di Aceh. Sepanjang tahun 2009 hingga 2013 kontribusi subsektor ini mencapai 41 persen. Sedangkan kontribusi subsektor lainnya berkisar antara enam hingga 20 persen. Selain itu PDRB subsektor tanaman pangan di provinsi Aceh sepanjang kurun waktu 2009 hingga 2013 juga tumbuh positif sebesar 3.54 persen. Jika Provinsi Aceh dibagi ke dalam dua kawasan maka Kawasan Timur dan Utara menjadi kawasan penyumbang pertumbuhan terbesar yaitu 3.67 persen. Sedangkan untuk
Kawasan Barat Selatan dan Tengah Aceh, PDRB tanaman pangan tumbuh sebesar 3.27 persen. Sebagai sektor usaha primer, pertanian di Aceh juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Pada tahun 1998, penduduk yang bekerja di sektor pertanian lebih dari separuhnya yakni mencapai 60 persen dari total penduduk yang bekerja (sebanyak 1,54 juta). Sedangkan Pada tahun 2008 hingga 2013 distribusi ketenagakerjaan penduduk Aceh yang bergerak di sektor pertanian berada dalam kisaran 46 hingga 49 persen dari total seluruh tenaga kerja. Meski demikian sektor pertanian Aceh masih dihadapkan dengan sejumlah persoalan seperti produktivitas yang tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Berbagai pemicu rendahnya produktivitas diduga berkaitan dengan keterbatasan sumber daya manusia serta hambatan lainnya seperti letak geografis, stabilitas harga, dan faktor produksi lainnya. Petani di Aceh pada tahun 2013 misalnya hanya mampu mencatat produktivitasnya senilai 33,04 juta rupiah per orang per tahun. Jumlah ini sangat minim jika dibandingkan dengan sektor lain seperti sektor pertambangan yang meraup 720 juta rupiah per orang pertahun. Selain itu petani Aceh juga memiliki upah jauh lebih rendah daripada ratarata upah buruh secara umum (semua sektor). Pada tahun 2013, rata-rata upah buruh tani di Aceh hanya sebesar 388.064 rupiah perbulan. Sedangkan jumlah rata rata upah buruh di sektor lainnya yang mencapai 914.580 rupiah perbulan Kondisi ini telah mendorong para petani beralih ke lapangan usaha lainnya untuk memenuhi penghidupan yang lebih layak. Dengan tumbuhnya sektor lain ternyata mengancam lahan pertanian yang dialih fungsikan menjadi areal pemukiman dan lahan untuk sektor lainnya seperti industri dan jasa. Padahal lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam pembangunan pertanian. Berkurangnya lahan maka akan berdampak pada hasil produksi. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pertumbuhan sumberdaya pertanian seperti lahan, tenaga kerja dan modal di Provinsi Aceh? 2. Kabupaten dan Kota mana saja di Provinsi Aceh yang subsektor tanaman pangannya menjadi unggulan? 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi PDRB subsektor tanaman pangan Provinsi Aceh?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat
disusun tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pertumbuhan sumberdaya pertanian seperti lahan, tenaga kerja dan modal di Propinsi Aceh. 2. Untuk mengetahui Kabupaten dan Kota apa saja dalam Provinsi Aceh yang subsektor tanaman pangannya menjadi unggulan. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi PDRB subsektor tanaman pangan Propinsi Aceh.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Penulis sebagai sarana pembelajaran dan penerapan ilmu. 2. Pemerintah sebagai sumbangan pemikiran dalam menentukan perencanaan dalam peningkatan produksi pangan di Aceh. 3. Peneliti lain sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dalam pengembangan kajian terkait Sub Sektor Tanaman Pangan.