I 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity untuk tumbuhan
obat
di
dunia
dengan
keanekaragaman
hayati
tertinggi
ke-2
setelah
BraziRismawati. Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30.000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Keanekaragaman hayati ini merupakan komoditi nasional yang bernilai tinggi untuk pengembangan industri agromedisin di dunia. Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) dengan keyakinan bahwa mengkomsumsi obat herbal relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat herbal sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar peluangnya 1. Masyarakat Indonesia sudah sejak ratusan tahun yang lalu memiliki tradisi memanfaatkan tumbuhan dari lingkungan sekitarnya sebagai obat tradisional. Kecenderungan masyarakat mencari pemecahan terhadap masalah kesehatan melalui pengobatan tradisional sangat dirasakan akhir-akhir ini. Fenomena ini terus meningkat sejak krisis ekonomi tahun 1997 yang menyebabkan harga obat sintetik melonjak tinggi karena sebagian besar bahan baku obat sintetik tersebut merupakan komoditi impor. Salah satu upaya pemerintah melalui Direktorat Jendral Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mendukung pengembangan agroindustri tumbuhan obat herbal Indonesia adalah ditetapkannya 13 komoditi tumbuhan obat herbal unggulan yaitu temulawak, jati belanda, sambiloto, mengkudu, pegagan, daun ungu, sanrego, pasak bumi, daun jinten, kencur, pala, jambu mete, dan tempuyung dengan pertimbangan bahwa komoditi tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mempunyai peluang pasar, dan potensi produksi yang tinggi, serta berpeluang dalam pengembangan teknologi2.
1
http://tanamanherbal.wordpress.com/, (18 Maret 2011)
1
2
Peluang pengembangan obat tradisional Indonesia masih terbuka lebar
karena permintaan pasar yang terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk Indonesia yang tinggi dan menyadari mahalnya harga obat sintetik belakangan ini. Tingginya minat masyarakat akan obat herbal yang minim dengan efek samping , banyak perusahaan industri farmasi nasional menawarkan produk obat herbal dalam bentuk ekstrak tumbuhan obat (fitofarmaka) yang diolah dan dikemas secara modern. Di Indonesia sendiri telah berdiri beberapa perusahaan yang memanfaatkan tanaman obat (biofarmaka) sebagai bahan baku utama seperti PT Sido Muncul, PT Nyonya Meneer, dan PT Mustika Ratu. Selain itu, dengan adanya usaha tanaman obat ini juga menambah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator ekonomi makro untuk mengetahui peranan dan kontribusi tanaman biofarmaka terhadap pendapatan nasional. Kontribusi tanaman obat (Biofarmaka) terhadap nilai PDB Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku pada Tahun 2006-2009 di Indonesia Komoditi Buah-buahan
2006
%
35.448
51,65
Nilai PDB (dalam milyar rupiah) 2007 % 2008 % 2009 42.362
55,16
%
42.660
53,13
30.595
34,60
Sayuran 24.694 35,98 25.587 33,32 27.423 Tanaman hias 4.734 6,89 4.741 6,17 6.091 Biofarmaka 3.762 5,48 4.105 5,35 4.118 68.638 Total 100 76.795 100 80.292 Keterangan : Hasil kajian Ditjen Hortikultura Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura, 2010(Diolah)
34,15 7,59 5,13 100
48.437 5.496 3.897 88.425
54,78 6,21 4,41 100
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa, nilai PDB biofarmaka mengalami peningkatan dari tahun 2006 ke 2007 sebesar 9,12 persen. Keadaan ini disebabkan oleh adanya peningkatan lahan produksi tanaman obat herbal dan peningkatan perdagangan tanaman obat herbal. Peningkatan luas lahan ini salah satunya merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang menetapkan 13 tanaman obat herbal menjadi komoditi utama Indonesia. Pada tahun 2008 dan 2009 nilai PDB Biofarmaka cukup stabil. Hal ini dapat menjadi peluang perkembangan tanaman obat (biofarmaka) di Indonesia. 2
http:// peluang-tanaman-rempah-dan-obat-sebagai-sumber-pangan-fungsional.com/, (21 Maret 2011)
2
Peluang perkembangan tanaman obat didorong dengan bertambahnya luas budidaya tanaman obat di Indonesia untuk 13 komoditi utama tanaman obat (biofarmaka). Daerah pertanaman tumbuhan obat-obatan (untuk 13 tanaman biofarmaka utama) menyebar di seluruh provinsi di Indonesia. Pengusahaan tumbuhan obat di Indonesia dalam skala luas dengan areal penanaman seluas 126.504.197 m2 yang dikelola oleh Ditjen Bina Produksi Hortikultura (Ditjen Perkebunan, 2004) pada tahun 2003 masih terbatas untuk 13 komoditi tumbuhan obat yaitu: jahe, lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, kejibeling, dringo, kapulaga, temukunci, mengkudu, dan sambiloto. Data tanaman biofarmaka yang dikumpulkan melalui laporan Statistik Pertanian Hortikultura (SPH) pada tahun 2009 mencakup 15 jenis tanaman dengan tambahan tanaman mahkota dewa dan lidah buaya. Perkembangan luas panen 15 tanamana obat utama pada tahun 2008 dan 2009 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan Luas Panen Tanaman Biofarmaka di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2009 No.
Luas Panen (m2)
Komoditi Tahun 2008
Tahun 2009
Peningkatan/ Penurunan (%)
1
Jahe
87.117.173
68.654.046
-21,19
2
Laos/Lengkus
23.489.099
23.847.358
1,53
3
Kencur
29.416.619
25.617.301
-12,92
4
Kunyit
59.092.996
54.544.926
-7,70
5
Lempuyang
4.932.905
5.453.103
10,55
6 7
Tamulawak Temuireng
16.174.365 5..532.144
20.977.327 3.991.054
29,69 -27,86
8
Temukunci
1.837.517
2.488.178
35,41
9
Dringo/Dlingo
359.201
355.684
-0,98
10
Kapulaga
2.700.185
3.506.599
29,87
11
Mengkudu/Pace*)
984.935
699.332
-29,00
12
Mahkota Dewa*)
112.127
163.360
45,69
13
Kaji Beling
471.137
339.984
-27,84
14
Sambiloto
2.728.538
1.729.218
15 Lidah Buaya 190.728 441.216 Keterangan : *) Luas Panen mengkudu dan mahkota dewa dalam satuan pohon Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura, 2010
-36,62 131,33
Tabel 2 menunjukkan bahwa luas panen tanaman biofarmaka mengalami peurunan dari tahun 2008 ke tahun 2009 sebesar 9,66 persen untuk tanaman jenis rimpang, yaitu dari 227.952.019 meter persegi menjadi 205.928.977 meter 3
persegi. Komoditi non rimpang seperti mengkudu, kejibeling, dan sambiloto juga mengalami penurunan luas panen, sedangkan yang mengalami peningkatan luas panen adalah kapulaga, mahakota dewa, lidah buaya, temukunci, laos/lengkuas, temulawak, dan lempuyang. Perbandingan luas panen tanaman biofarmaka ini juga dapat dilihat perbandingan produksi pada tanaman biofarmaka. Perbandingan produksi tanaman biofarmaka untuk 15 komoditi utama tanaman biofarmaka dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan Produksi Tanaman Biofarmaka di Indonesia Tahun 2008 dan 2009 No.
Komoditi
Produksi (kg) Tahun 2008 154.963.886
Tahun 2009 122.181.084
Peningkatan/ Penurunan (%)
1.
Jahe
-21,16
2.
Laos/Lengkus
50.092.846
59.332.313
18,44
3.
Kencur
38.531.160
43.635.311
13,25
4.
Kunyit
111.258.884
124.047.450
11,49
5.
Lempuyang
7.621.045
8.804.375
15,53
6.
Tamulawak
23.740.105
36.826.340
55,12
7.
Temuireng
8.817.235
7.584.022
-13,99
8.
Temukunci
3.096.643
4.701.570
51,83
9.
Dringo/Dlingo
687.008
1.074.901
56,46
10.
Kapulaga
21.230.881
25.178.901
18,60
11.
Mengkudu/Pace*)
16.306.163
16.267.057
-0,24
12.
Mahkota Dewa*)
17.089.485
12.066.850
-29,39
13.
Kaji Beling
1.202.453
943.721
-21,52
14.
Sambiloto
7.716.432
4.334.768
-43,82
15. Lidah Buaya 2.903.138 5.884.352 Keterangan : *) Luas Panen mengkudu dan mahkota dewa dalam satuan pohon Sumber : Direktorat Jendral Holtikultura, 2010
102,69
Peningkatan luas panen pada beberapa tanaman biofarmaka juga diikuti dengan peningkatan produksi tanaman biofarmaka tersebut. Secara umum tanaman biofarmaka jenis rimpang mengalami peningkatan produksi sebesar 2,35 persen dari tahun 2009.
Komoditi tanaman biofarmaka yang mengalami
peningkatan diataranya mahkota dewa, lidah buaya, temulawak, temukunci, kapulaga, dan laos/lengkuas. Namun ada beberapa tanaman biofarmaka jenis rimpang yang mengalami penurunan seperti jahe dan temuireng. Produktivitas tanaman biofarmaka mengalami fluktuatif produksi setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari total produksi per luas lahannya setiap 4
tahunnya. Tanamana biofarmaka jenis rimpangan umumnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 ke tahun 2009 kecuali temuireng dan temukunci mengalami penurunan produkstivitas. Tanaman biofarmaka jenis lainya yang mengalami peningkatan produktivitas adalah mengkudu, sambiloto dan lidah buaya. Produktivitas 15 tanaman biofarmaka dari tahun 2008 dan 2009 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Produktivitas Tanaman Biofarmaka Indonesia pada Tahun 2008 dan 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Komoditi Jahe Laos/Lengkus Kencur Kunyit Lempuyang Tamulawak Temuireng Temukunci Dringo/Dlingo Kapulaga Mengkudu/Pace*) Mahkota Dewa*) Kaji Beling Sambiloto Lidah Buaya
Produktivitas (kg/m2) Tahun 2008 Tahun 2009 1,78 1,78 2,49 2,13 1,31 1,70 1,88 2,27 1,54 1,61 1,47 1,76 1,59 1,90 1,89 1,69 1,91 3,02 7,86 1,34 16,56 23,36 152,41 73,87 2,55 2,78 2,83 2,51 15,22 13,34
Keterangan : *) Luas Panen mengkudu dan mahkota dewa dalam satuan pohon Sumber : Direktorat Jendral Holtikultura, 2010 (Diolah)
Tabel 4 menunjukkan produktivitas tanaman biofarmaka dari tahun 2008 ke tahun 2009. Beberapa jenis tanaman biofarmaka diatas adalah temulawak dari jenis rimpangan dan mahkota dewa dari jenis buah, serta pegagan dari jenis daun. Saat ini pegagan belum menjadi 15 tanaman biofarmaka utama. Perubahan produktivitas tanaman biofarmaka dapat disebabkan oleh berbagai kejadian yang berpeluang terjadi baik dalam proses budidaya dan pasca panen tanaman obat serta pengolahan tanaman obat atau simplsia menjadi obat herbal. Perlakuan tanaman obat sebelum diolah menjadi obat herbal merupakan salah satu kegiatan yang dapat menentukan kualitas obat herbal yang akan dihasilkan. 5
Pengusahaan tanaman biofarmaka menjadi obat herbal atau jamu telah menyebar keseluruh Indonesia. Salah satu instansi di Jawa Barat yang memproduksi tanaman obat-obatan (biofarmaka) adalah Kebun Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB) yang berlokasi di Blok C Kebun percobaan Cikabayan, Kampus IPB Dramaga, Bogor. Kebun UKBB membudidayakan tanaman biofarmaka. Kebun UKBB membudidayakan 310 tanaman obat yang terdiri dari tanaman koleksi dan tanaman komersial. Diantara tanaman obat yang dibudidayakan di kebun UKBB adalah Sambiloto, Jati belanda, Sidaguri, Lidah buaya, Bangle, Brotowali, Pegagan, Daun ungu, Mahkota dewa, Mengkudu, Mimba, Jambu biji, Sirih hijau, Temulawak, Jahe, dan Kunyit. Temulawak (curcumae xanthoriza rhizoma), Pegagan (guazumae folium), dan Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa) merupakan komoditi utama pada setiap jenisnya di kebun UKBB. Temulawak (curcumae xanthoriza rhizoma) merupakan tanaman obat jenis rimpang. Temulawak dapat dikonsumsi dalam bentuk kering (simplisia kering) maupun dalam bentuk yang telah diolah seperti serbuk atau kapsul. Temulawak berkhasiat meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, pencegah kanker, anti oksidan dan anemia. Pegagan (guazumae folium) merupakan tanaman obat jenis daun. Pegagan berasa manis, bersifat mendinginkan, memiliki fungsi membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), dan penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan (haemostatika). Pegagan dapat dikonsumsi langsung sebagai lalapan atau dikeringkan dan diseduh seperti teh. Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa) merupakan tanaman obat yang memanfaatkan buahnya. Mahkota dewa dapat mentralisir racun, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengurangi kadar gula, melancarkan peredaran darah, dan anti alergi. Mahkota dewa dapat dikonsumsi dalam bentuk simplisia kering atau yang sudah diolah seperti dalam bentuk kapsul. Salah satu kegiatan kebun UKBB yang sangat mempengaruhi kualitas tanaman obat yang akan dihasilkan adalah kegiatan pasca panen. Kegiatan pasca panen tanaman obat sebelum menjadi obat herbal yang sering disebut juga dengan simplisia berupa penyortiran basah, pencucian, perajangan untuk jenis tanaman rimpang, pengeringan, dan penyortiran kering serta penyimpanan. Setiap proses 6
tersebut akan menimbulkan peluang kejadian yang dapat mendatangkan kerugian bagi perusahaan atau yang sering disebut dengan risiko usaha. Kurang optimalnya proses pasca panen tanaman obat ini dapat menimbulkan risiko seperti berkurangnya kualitas simplisia yang dihasilkan dan tidak dapat memenuhi standar dari Badan POM yaitu simplisia yang baik untuk diolah menjadi obat herbal adalah 10 persen. Penyimpanan simplisia yang terlalu lama dan tempat penyimpanan yang tidak baik menyebabkan simplisia busuk atau rusak dan akhirnya simplisia tidak dapat diproduksi. Salah satu startegi manajemen risiko yang dapat mengurangi risiko yang ada, dapat dilakukan diversifikasi usaha. Berbeda dengan usaha spesialisasi yang hanya mengusahakan satu unit usaha (satu komoditi) maka usaha diversifikasi dilakukan dengan menggabungkan beberapa unit usaha yang ada dalam perusahaan sehingga apabila terjadi kegagalan salah satu unit usaha maka tidak akan menghabiskan komoditi yang ada atau mengurangi risiko yang dihadapai perusahaan. 1.2
Perumusan Masalah Setiap
kegiatan
dalam
usaha
tanaman
obat
(biofarmaka)
akan
mempengaruhi kualitas obat herbal yang akan dihasilkan. Salah satu kegiatan yang menentukan hasil produksi obat herbal adalah pengolahan bahan baku obat herbal. Kegiatan pasca panen pada tanaman obat umumnya sama, namun memiliki perbedaan pada beberapa perlakuan pada setiap jenisnya. Pada simplisia yang berasal dari daun (pegagan) dan buah (mahkota dewa) tidak dilakukan perajangan seperti yang dilakukan terhadap rimpang (temulawak). Salah satu yang mempengaruhi kualitas obat herbal yang akan dihasilkan adalah
keadaan
cuaca.
Perubahan
cuaca
yang
tidak
menentu
sangat
mempengaruhi proses pengeringan tanaman obat karena, cahaya matahari yang dibutuhkan untuk proses pengeringan tanaman obat tidak maksimal. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya standar yang ditetapkan oleh Badan POM yaitu simplisia kering yang baik untuk diolah menjadi obat herbal adalah memiliki kadar air dibawah 10 persen. Selain itu, proses pencucian yang tidak benar juga sangat mempengaruhi kualitas tanaman obat yang akan diolah menjadi obat herbal. Pencucian tanaman 7
obat dengan air yang tidak bersih akan menambah bakteri dan dapat menambah kontaminasi pada tanaman obat tersebut. Ketika pencucian dilakukan dalam waktu yang lama akan mengurangi zat yang bermanfaat dalam tanaman obat tersebut. Perhitungan waktu dan keadaan penyimpanan tanaman obat yang akan diolah menjadi obat herbal atau sering disebut simplisia juga mempengaruhi kualitas obat herbal yang akan dihasilkan. Pada kebun UKBB bak pencucian hanya terdapat satu buah, sedangkan banyak bak pencucian yang baik untuk simplisia basah minimal tiga bak pencucian. Dengan adanya kendala ini, proses pencucian berlangsung lama sehingga akan menyebakan simplisia akan cepat kehilangan kandungan yang dibutuhkan. Ukuran perajangan sangat berpengaruh pada kualitas bahan simplisia. Jika perajangan terlalu tipis dapat menambah kemungkinan berkurangnya zat yang terkandung dalam simplisia. Sebaliknya, jika terlalu tebal maka membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses pengeringan. Simplisia yang berasal dari daun lebih cepat kering dari simplisia yang berasal dari buah dan rimpang. Apabila simplisia sulit dikeringkan atau hanya kering di permukaan simplisia maka akan mudah rusak atau busuk (Wardana, et al, 2002). Kegiatan pasca panen khususnya kegiatan penyortiran yang dilakukan oleh kebun UKBB hanya dilakukan satu kali, yaitu pada saat simplisia basah atau pada saat pencucian simplisia. Pada saat simplisia sudah kering tidak dilakukan penyortiran lagi, sehingga ada kemungkinan simplisia bercampur dengan bahanbahan lain seperti pasir atau tanah pada saat penjemuran. Selain itu, dengan tidak adanya kepastian permintaan simplisia pada kebun UKBB dapat berpengaruh pada proses penyimpanan simplisia yang ada di kebun UKBB. Semakin lama simplisia disimpan maka akan semakin berkurang kualitas simplisia tersebut. Berbagai faktor penyebab risiko tersebut, membuat rendemen dari simplisia basah ke simplisia kering tidak sama setiap produksinya. Salah satu alternatif untuk mengatasi risiko yang ada tersebut, kebun UKBB telah melakukan diversifikasi usaha yaitu dengan melakukan pengolahan pasca panen beberapa jenis simplisia tanaman obat. Kebun UKBB telah mengusahakan 310 jenis tanaman obat yang terdiri dari tanaman komersial dan tanaman koleksi. Menurut pihak kebun UKBB sendiri, dengan melakukan 8
diversifikasi ini telah dapat mengurangi risiko yang dihadapi dalam pasca panen tanaman obat. Temulawak (curcumae xanthoriza rhizoma), Pegagan (guazumae folium), dan Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa) merupakan komoditi utama pada setiap jenisnya di kebun UKBB. Salah satunya faktor indicator risiko pada ketiga komoditi tersebut adalah rendemen dari setiap komoditi yang cukup berfluktuatif. Pada Lampiran 1 dapat dilihat, bahwa rendemen dari simplisia basah ke simplisia kering setiap komoditi berfluktuasi setiap bulannya selama setahun. Rendemen yang menjadi acuan adalah rendemen hasil pengeringan yang memanfaatkan sinar matahari. Hal ini dikarenakan, pengeringan dengan menggunakan sinar matahari tidak optimal sehingga akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari simplisia tersebut. Berdasarkan informasi di lapangan, kualitas simplisia yang memanfaatkan sinar matahari kurang baik dan akan membutuhkan proses lain untuk meningkatkan kualitas simplisia tersebut. Kuantitas simplisia yang memanfaatkan sinar matahari lebih berat dari kuantitas simplisia yang memanfaatkan alat pengeringan (oven), karena masih memiliki kadar air yang lebih banyak dari simplisia yang memanfaatkan oven. Selain faktor sinar matahari, ada beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi rendemen dari setiap komoditi tersebut seperti ketebalan perajangan, proses pencucian, dan proses penyimpanan. Selain itu, ketiga tanaman obat ini menjadi komoditi utama untuk kebun UKBB dikarenakan Pusat Studi Biofarmaka IPB dan kebun UKBB telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan kuantitas untuk simplisia yang diproduksi terutama simplisia temulawak. Beberapa usaha yang telah dilakukan oleh Pusat Studi Biofarmaka IPB dan kebun UKBB adalah mengikuti berbagai seminar atau talkshow mengenai tanaman obat dan melakukan kerjasama dengan pihak luar seperti dalam memasarkan produk untuk diekspor. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka ada beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini : 1. Apakah diversifikasi pasca panen untuk tiga jenis simplisia tanaman obat dapat menurunkan risiko pada kebun Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB)? 9
2. Bagaimana manajemen risiko yang dilakukan oleh kebun Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB) untuk menangani risiko yang dihadapi ? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukan diatas, maka
tujuan penelitian dilakukan adalah sebagai berikut : 1.
Menganalisis usaha diversifikasi yang dilakukan oleh kebun Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB) dalam upaya menurunkan risiko.
2.
Menganalisis manajemen risiko pengolahan (pasca panen) bahan baku obat herbal jamu yang dihadapi oleh kebun Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB) dalam menjalankan usahanya.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan gunakan memberikan manfaat sebagai :
1.
Bagi Pemerintah sebagai bahan pertimbangan kebijakan dalam pengolahan (pasca panen) bahan baku obat herbal atau jamu.
2.
Bagi Peniliti sebagai penerapan ilmu yang telah diperoleh selama masa perkuliahan.
3.
Bagi Perusahaan sebagai bahan pertimbangan yang dapat diterapkan untuk pengembangan usaha.
4.
Bagi Pembaca sebagai sumber pengetahuan atau informasi tentang risiko yang dihadapi oleh pengusaha tanaman biofarmaka khususnya dalam proses pengolahn (pasca panen) bahan baku obat herbal atau jamu.
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian Analisis Risiko Pasca Panen Tanaman Obat di Kebun Unit
Konservasi Budidaya Biofarmaka yang berlokasi di Blok C Biofarmaka, Kebun percobaan Cikabayan, Kampus IPB Dramaga memiliki keterbatasan yaitu : 1.
Penelitian ini mengkaji proses pasca panen tanaman obat atau simplisia dari Temulawak (curcumae xanthoriza rhizoma), Pegagan (guazumae folium), dan Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa) karena ketiga komoditi tersebut merupakan komoditi unggulan pada masing-masing jenisnya di kebun Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB). 10
2.
Penelitian ini memandingkan proses pasca panen yang memanfaatkan sinar matahari pada Temulawak (curcumae xanthoriza rhizoma), Pegagan (guazumae folium), dan Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa) dengan proses pasca panen
menggunakan alat pengering (oven) pada Temulawak
(curcumae xanthoriza rhizoma), Pegagan (guazumae folium), dan Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa).
11