LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA
Oleh : Nizwar Syafa’at Adreng Purwoto M. Maulana Chaerul Muslim
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2006
RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan 1. Kebijakan subsidi dan sistem distribusi pupuk yang selama ini dibuat begitu amat komprehensif ternyata tidak menjamin adanya ketersediaan pupuk ditingkat petani khususnya pupuk bersubsidi sesuai dengan HET yang telah ditetapkan. Mulai dari tahap perencanaan kebutuhan, penetapan HET, besaran subsidi sampai distribusi ke pengguna pupuk bersubsidi sepertinya telah begitu baik dibuat, tetapi permasalahan langka pasok, lonjak harga termasuk didalamnya keinginan petani untuk menerima besaran HET, besaran subsidi yang terlalu kecil dan pendistribusian pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran terus terjadi dan berulang setiap tahun. Sampai awal 2006 belum ada solusi yang tepat dan memuaskan semua pihak terkait terhadap masalah subsidi dan distribusinya ini, sehingga diperlukan suatu sistem yang tepat dan berkesinambungan mulai dari perencanaan kebutuhan sampai pendistribusian pupuk bersubsidi. 2. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk bersubsidi dan secara rinci tujuan penelitian ini adalah : (1) Menganalisis efektifitas HET yang berlaku dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (2) Menganalisis dampak kenaikan HET terhadap profitabilitas usahatani, (3) Menganalisis kesanggupan petani membayar pupuk per unit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, (4) Menentukan besaran subsidi pupuk dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dan (5) Menganalisis pola distribusi pupuk bersubsidi yang efisien dan efektif. Metoda Penelitian 3. Analisis efektifitas HET dan faktor-faktor yang mempengaruhinya akan dilakukan secara deskriptif dengan mempergunakan tabulasi. Analisis dampak kenaikan HET terhadap keuntungan usahatani padi akan dilakukan secara deskriptif dengan mempergunakan metode akuntansi sederhana (analisa biaya dan pendapatan usahatani). Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesanggupan petani membayar pupuk per unit akan dilakukan dengan menggunakan regresi sederhana. Sedangkan besaran subsidi dihitung dengan menggunakan metoda langsung dan metoda tidak langsung Sementara untuk mengevaluasi apakah sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini sudah efisien dan efektif akan dilakukan dengan pendekatan kinerja, yang terdiri dari 3 (tiga) subsistem, yaitu: (1) delivery system, (2) receiving system, dan (3) accountability system.
xiv
Hasil Penelitian Efektifitas HET dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya 4. Hasil pengamatan selama periode Oktober 2005 sampai dengan Mei 2006 di provinsi lokasi penelitian, yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Sumatera Utara ditemukan bahwa HET pupuk adalah tidak efektif, yang diindikasikan dengan harga beli pupuk oleh petani di kios pengecer resmi 5,3 – 23,8 persen diatas HET. 5. Ketidakefektifan HET pupuk tersebut disebabkan baik oleh faktor langka pasok, peningkatan secara tajam margin pemasaran riil maupun faktor kesulitan untuk memenuhi kriteria HET pupuk sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian. Langka pasok dipicu terutama oleh ketersediaan volume pupuk bersubsidi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan volume pupuk yang dibutuhkan petani. Peningkatan secara tajam margin pemasaran riil dipicu oleh praktek jual beli DO (delivery order), pengambilan keuntungan di luar fee yang telah ditetapkan, pungutan liar di sepanjang jalur distribusi, dan kenaikan biaya distribusi akibat kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Sementara itu kesulitan untuk memenuhi kriteria HET pupuk sesuai dengan peraturan Menteri Pertanian dikarenakan dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa HET pupuk berlaku untuk pembelian pupuk di kios pengecer resmi, secara tunak dan dalam bentuk kemasan 50 kg untuk Urea, SP-36 dan ZA serta kemasan 50 kg atau 20 kg untuk NPK. Padahal banyak petani yang membeli pupuk di kios pengecer resmi namun pembayarannya dilakukan setelah panen dan volume pupuk yang dibeli bukan kelipatan 50 kg atau 20 kg. Dampak Kenaikan HET Pupuk Terhadap Profitabilitas Usahatani Padi 6. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan HET pupuk tanpa dibarengi dengan kenaikan HPP gabah akan menurunkan keuntungan usahatani padi. Hal ini diindikasikan oleh penurunan keuntungan dengan sewa lahan sebesar 4,93 persen dan penurunan keuntungan tanpa sewa lahan sebesar 2,50 persen. Indikasi lainnya adalah R/C rasio dengan sewa lahan menurun dari 1,57 menjadi 1,53 dan R/C rasio tanpa sewa lahan menurun dari 3,50 menjadi 3,39. 7. Sementara itu kenaikan HET pupuk dengan dibarengi oleh kenaikan HPP gabah baik dengan persentase yang sama maupun berbeda masih tetap akan meningkatkan keuntungan usahatani padi. Hal ini diindikasikan oleh kenaikan keuntungan dengan sewa lahan sekurang-kurangnya sebesar 20,64 persen dan kenaikan keuntungan tanpa sewa lahan sekurang-kurangnya 10,45 persen. Indikasi lainnya adalah kenaikan R/C rasio dengan sewa lahan dari 1,57 menjadi sekurang-kurangnya 1,67 dan kenaikan R/C rasio tanpa sewa lahan dari 3,50 menjadi sekurang-kurangnya 3,64. 8. Jika pemerintah akan menaikkan HET pupuk dan pada waktu bersamaan juga ingin menaikkan keuntungan usahatani padi maka pemerintah harus pula menaikkan HPP gabah sekurang-kurangnya dengan persentase yang xv
sama dan harus pula dapat menjamin efektifitas HET pupuk maupun HPP gabah itu sendiri. Apabila kondisi ini terpenuhi maka kenaikan HET pupuk tidak akan menurunkan keuntungan usahatani padi maupun kesejahteraan petani. Kesanggupan Petani Membayar Kenaikan HET Pupuk 9. Rata-rata harga masing-masing jenis pupuk yang sanggup dibayar petani jika HET harus naik secara agregat di ketiga provinsi lokasi penelitian adalah sebagai berikut: Urea (Rp1.206,06/kg atau 14,86 % diatas HET yang berlaku), SP-36 (Rp1.512,83/kg atau 8,06 % diatas HET yang berlaku), ZA (Rp1.149,29/kg atau 20,98 % diatas HET yang berlaku), dan NPK (Rp 1.673,91/kg atau 4,62 % diatas HET yang berlaku). Tampak bahwa untuk pupuk SP-36 dan NPK dimana HET yang berlaku relatif tinggi, persentase kenaikan HET kedua jenis pupuk tersebut yang sanggup dibayar petani adalah relatif rendah, yaitu 8,06 persen untuk SP-36 dan 4,62 persen untuk NPK. Sebaliknya, untuk pupuk Urea dan ZA dimana HET yang berlaku relatif rendah, persentase kenaikan HET kedua jenis pupuk tersebut yang sanggup dibayar petani adalah relatif tinggi, yaitu 14,86 persen untuk urea dan 20,98 persen untuk ZA. 10.Berdasarkan data diatas, rata-rata persentase kenaikan HET keempat jenis pupuk tersebut yang sanggup dibayar petani adalah 12,13 persen. Ini berarti bahwa apabila pemerintah terpaksa harus menaikkan HET pupuk maka ratarata persentase kenaikan HET keempat jenis pupuk tersebut paling tinggi adalah 12,13 persen. 11.Faktor-faktor yang berpengaruh secara positip terhadap kesanggupan petani membayar harga pupuk lebih tinggi daripada HET yang berlaku adalah usia petani yang merepresentasikan pengalaman berusahatani, tingkat pendidikan formal petani yang merepresentasikan tingkat pengetahuan tentang berusahatani, dan pendapatan dari luar usahatani yang merepresentasikan cadangan modal kerja. Sementara itu faktor yang berpengaruh secara negatip terhadap kesanggupan petani membayar harga pupuk lebih tinggi daripada HET yang berlaku adalah luas lahan garapan yang merepresentasikan sikap petani terhadap risiko. Besaran Subsidi Pupuk 12.Total volume kebutuhan pupuk bersubsidi pada tahun 2007 berdasarkan metoda langsung – yang mempertimbangkan target luas areal dan rekomendasi pemupukan – mencapai 8,7 juta ton atau meningkat 45 persen dibandingkan tahun 2006, sedangkan berdasarkan metoda tidak langsung – yang mempertimbangkan respon petani terhadap insentif/disinsentif ekonomi dan kenaikan luas areal dan intensifikasi – berkisar antara 6,2 – 6,3 juta ton atau meningkat 3,3 – 5,0 persen dibandingkan tahun 2006. Ditinjau dari persentase kenaikannya, total volume kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2007 berdasarkan metoda tidak langsung adalah lebih realistis. xvi
13.Kebutuhan subsidi pupuk tahun 2007, dengan asumsi HPP pupuk pada tahun 2007 naik sebesar 10 persen, untuk skenario pertama (HET pupuk dan HPP gabah sama-sama tidak berubah) mencapai 6,7 trilyun, untuk skenario kedua (HET pupuk dan HPP gabah naik dengan persentase yang sama) berkisar antara Rp 4,0 trilyun – Rp 5,9 trilyun, sedangkan untuk skenario ketiga (HET pupuk dan HPP gabah naik dengan persentase yang berbeda) berkisar antara Rp 3,9 trilyun – Rp 5,8 trilyun. Rancangan Sistem Distribusi 14. Sesuai dengan Permendag Nomor 03/M-DAG/Per/2/2006 sistem distribusi pupuk bersubsidi saat ini masih menganut sistem distribusi pasif dan semi tertutup. Beberapa konsekuensi dari sistem penyaluran pupuk bersubsidi saat ini yang pasif dan tidak lengkap adalah: rawan penyimpangan dan manipilasi perhitungan besaran subsidi di tingkat pengecer/kios, tidak tepat sasaran, tidak mampu mengatasi dualisme harga, petani cenderung menggunakan pupuk di atas rekomendasi (over intensification). 15. Untuk mengatasi kelemahan sistim distribusi saat ini, maka diusulkan disain pola pengelolaan pupuk bersubsidi bersifat aktif dan lengkap, yang terdiri dari: (1) sistem distribusi (delivery system); (2) sistem penerimaan (receiving system) yang kompatibel dengan sistem penyeluran dalam sistem pipa tertutup, tetapi ditangani oleh dua instansi yang berbeda kepentingan; dan (3) sistem akuntabilitas (accountability system). Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan Kesimpulan 16.Di provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Sumatera Utara selama periode Oktober 2005 sampai dengan Mei 2006 HET pupuk adalah tidak efektif, yang diindikasikan dengan harga beli pupuk oleh petani di kios pengecer resmi 5,3 – 23,8 persen diatas HET. Penyebab pertama adalah terjadinya langka pasok yang dipicu terutama oleh ketersediaan pupuk bersubsidi yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan volume pupuk yang dibutuhkan petani. Penyebab kedua adalah peningkatan margin pemasaran yang relatif tinggi yang dipicu oleh praktek jual beli DO (delivery order), pengambilan keuntungan di luar fee yang telah ditetapkan, pungutan liar disepanjang jalur distribusi, dan kenaikan biaya distribusi akibat kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Penyebab ketiga adalah kesulitan memenuhi kriteria HET pupuk sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian yang menyebutkan bahwa HET pupuk berlaku untuk pembelian pupuk di kios pengecer resmi, secara tunai dan dalam bentuk kemasan 50 kg untuk Urea, SP-36 dan ZA serta kemasan 50 kg atau 20 kg untuk NPK. Padahal banyak petani yang membeli pupuk di kios pengecer resmi dengan cara pembayaran setelah panen dan volume pupuk yang dibeli bukan kelipatan 50 kg atau 20 kg.
xvii
17.Kenaikan HET pupuk akan menurunkan keuntungan usahatani padi jika tidak dibarengi dengan kenaikan HPP gabah yang diindikasikan oleh penurunan R/C rasio dengan sewa lahan dari 1,57 menjadi 1,53. Sementara itu kenaikan HET pupuk masih tetap meningkatkan keuntungan usahatani padi asalkan dibarengi dengan kenaikan HPP gabah baik dengan persentase yang sama maupun berbeda.yang diindikasikan oleh kenaikan R/C rasio dengan sewa lahan pada usahatani padi dari 1,57 menjadi sekurang-kurangnya 1,67. 18.Kenaikan HET pupuk sebesar 1 (satu) persen akan menaikkan pangsa biaya pupuk terhadap total biaya dengan sewa lahan sebesar 0,08 persen dan terhadap total biaya tanpa sewa lahan sebesar 0,13 persen. Disamping itu, kenaikan HET pupuk sebesar 1 (satu) persen juga akan menurunkan produksi gabah kering panen sebesar 0,12 persen. Selanjutnya, kenaikan HET pupuk sebesar 1 (satu) persen akan menurunkan keuntungan usahatani padi dengan sewa lahan sebesar 0,49 persen dan keuntungan usahatani padi tanpa sewa lahan sebesar 0,25 persen. 19.Petani di provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Sumatera Utara sanggup membayar harga pupuk rata-rata 12,13 persen diatas HET yang berlaku yang diindikasikan oleh rata-rata persentase kenaikan HET keempat jenis pupuk (urea, SP-36, ZA dan NPK) yang sanggup dibayar petani adalah 12,13 persen. Jadi jika pemerintah akan menaikkan HET pupuk maka ratarata persentase kenaikan HET keempat jenis pupuk tersebut paling tinggi adalah 12,13 persen. 20.Kesanggupan petani di provinsi Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan Sumatera Utara membayar harga pupuk lebih tinggi daripada HET yang berlaku dipengaruhi secara positip oleh usia yang merepresentasikan pengalaman berusahatani, tingkat pendidikan formal yang merepresentasikan pengetahuan tentang berusahatani, dan pendapatan dari luar usahatani yang merepresentasikan cadangan modal kerja serta dipengaruhi secara negatip oleh luas lahan garapan yang merepresentasikan sikap terhadap risiko. 21.Apabila dana yang mampu disediakan pemerintah untuk subsidi pupuk pada tahun 2007 sebesar Rp 5,8 trilyun, dengan asumsi HPP pupuk pada tahun 2007 naik sebesar 10 persen, maka skenario yang paling mungkin diambil pemerintah pada tahun 2007 adalah menaikkan HET pupuk dan HPP gabah masing-masing 10 persen. Dengan skenario ini, kebutuhan subsidi pupuk sekitar 5,8 trilyun dan total volume pupuk bersubsidi yang mampu disediakan pemerintah sebesar 6307441 ton atau 6,3 juta ton dengan rincian sebagai berikut: urea sebanyak 4509650 ton atau 4,5 juta ton, SP-36 sebanyak 753285 ton atau 753 ribu ton, ZA sebanyak 629894 ton atau 630 ribu ton dan NPK sebanyak 414612 ton atau 415 ribu ton. 22.Sistem distribusi pupuk bersubsidi yang berlaku saat ini perlu diubah dari sitem distribusi yang bersifat pasif dan tidak lengkap ke sistem distribusi yang bersifat aktif dan lengkap. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi sejumlah kelemahan dari sistem distribusi yang berlaku saat ini seperti: rawan penyimpangan dan manipilasi perhitungan besaran subsidi di tingkat pengecer/kios, tidak tepat sasaran, tidak mampu mengatasi dualisme harga, xviii
dan, petani cenderung menggunakan pupuk di atas rekomendasi (over intensification). Implikasi Kebijakan 23.Agar ketidakefektifan HET pupuk tidak terulang kembali pada tahun 2007 maka HET pupuk harus dinaikkan karena HET pupuk yang selama 3 (tiga) tahun terakhir ini tidak pernah disesuaikan dipandang sudah tidak realistis lagi. Tidak realistisnya HET pupuk yang berlaku secara sederhana didasarkan atas fakta bahwa selama 3 (tiga) tahun terakhir ini harga bahan bakar minyak (BBM) telah mengalami beberapa kali penyesuaian, sedangkan HET pupuk yang di dalamnya mengandung komponen biaya transportasi belum pernah disesuaikan. Apabila anggaran subsidi pupuk yang disediakan dan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk pupuk tidak berubah, dengan adanya kenaikan HET pupuk diharapkan total volume pupuk bersubsidi akan naik. Perlu diketahui bahwa penyebab utama tidak efektifnya HET pupuk selama ini adalah karena ketersediaan volume pupuk bersubsidi lebih rendah dari volume pupuk yang dibutuhkan petani dan disamping itu HET pupuk yang berlaku sudah tidak realistis lagi. Dalam hubungan ini persentase kenaikan HET pupuk harus mempertimbangkan batas-batas kesanggupan petani untuk menebusnya. Sesuai dengan temuan dalam penelitian ini, ratarata persentase kenaikan HETkeempat jenis pupuk (Urea, SP-36, ZA dab NPK) paling tinggi adalah 12,13 persen. 24.Karena kenaikan HET pupuk dipastikan akan menurunkan keuntungan usahatani padi, maka untuk menetralisir dampak negatip tersebut pada saat bersamaan pemerintah perlu menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dengan persentase yang sama atau pun berbeda. Dalam hubungan ini pemerintah wajib menjamin efektifitas dari HPP gabah tersebut. Apabila langkah tersebut dijadikan prosedur tetap oleh pemerintah setiap kali menaikkan HET pupuk maka dampak negatip baik yang berdemensi ekonomi, sosial maupun politis akan dengan mudah diatasi. Hanya saja perlu dicatat bahwa dengan prosedur semacam itu tidak berarti pemerintah dapat menaikkan HET pupuk semau-maunya. Dalam konteks ini persentase kenaikan HET pupuk harus tetap memperhatikan batas-batas kesanggupan petani untuk menebusnya. 25.Pada tahun 2007 untuk menjamin efektifitas HET pupuk yang telah dinaikkan tersebut di tingkat petani maka pemerintah harus mengganti sistem distribusi pupuk yang berlaku yang bersifat pasif dan tidak lengkap dengan sistem yang bersifat aktif dan lengkap. Perlu diketahui bahwa salah satu konsekuensi dari sistem distribusi pupuk yang bersifat pasif dan tidak lengkap adalah tidak tepat sasaran. Oleh karena itu tanpa ada perbaikan terhadap sistem distribusi pupuk yang berlaku maka manfaat kenaikan HET pupuk praktis hanya akan dinikmati oleh pelaku distribusi. Padahal petanilah yang menjadi sasaran utama pemberlakuan subsidi pupuk oleh pemerintah agar beban biaya usahatani yang mereka tanggung berkurang sehingga keuntungan yang mereka peroleh bertambah. xix