KERANGKA ACUAN TEKNIS KUNJUNGAN KERJA PANJA RUU USAHA PERASURANSIAN KOMISI XI DPR RI KE AMERIKA SERIKAT -----------------------------I.
PENDAHULUAN Komisi XI DPR RI merupakan Alat Kelengkapan DPR RI yang salah satu tugasnya adalah membidangi persoalan Keuangan Negara dan Perbankan. Saat ini, Komisi XI DPR RI diberi mandat untuk melakukan pembahasan RUU tentang Usaha Perasuransian. Perubahan terhadap Undang-Undang No 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2013, dengan judul “RUU tentang Usaha Perasuransian”. Peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang berlaku saat ini, khususnya di bidang perasuransian, diyakini tidak representative dan telah tertinggal dibandingkan dengan kemajuan dan perkembangan yang terjadi di industri asuransi, maupun dari standar praktik terbaik internasional (international best practice). Ketertinggalan tersebut telah membuka adanya celah hukum (lop holes) yang bila tidak diatasi dan diantisipasi dengan cepat dan tepat, berpotensi menimbulkan keadaan atau kejadian yang dapat merugikan masyarakat. Hal ini pun akan menjadi langkah kontraproduktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian, serta industri sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Kita ketahui bersama bahwa usaha asuransi dan usaha reasuransi setiap tahunnya mengalami pertumbuhan yang positif. Data Bapepam LK (2010) menunjukan bahwa total premi bruto yang dikelola oleh industri asuransi dari kurun waktu 2006 hingga tahun 2010 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 21,38 setiap tahunnya. Pada Tahun 2006 jumlah premi yang dikelola oleh industri asuransi mencapai Rp55,6 triliun dan pada Tahun 2010 adalah sebesar Rp125,12 triliun. Pertumbuhan industri asuransi ini juga terlihat pada rasio premi bruto terhadap Produk Domestik Bruto yang mengalami peningkatan, pada tahun 2006 sebesar 1,67% dan pada tahun 2010 sebesar 1,95%.
Pertumbuhan industri asuransi yang relatif cukup pesat, mengindikasikan semakin banyaknya masyarakat yang percaya dan memahami manfaat asuransi. Pertumbuhan industri asuransi, juga meningkatkan besarnya kewajiban klaim yang akan dan harus dibayarakan oleh perusahaan asuransi dan juga meningkatkan besaran dana investasi yang dapat dikelola oleh perusahaan-perusahaan asuransi. Dalam kurun waktu tahun 2006 hingga 2010, dana investasi industri asuransi meningkat tajam sebesar 133 persen. Pada tahun 2006 sebesar Rp. 152,94 Triliun dan Rp. 356,4 Trilliun pada tahun 2010. Kondisi kekinian menunjukan bahwa percepatan ragam produk keuangan, metode pemasaran dan distribusi, serta teknik dan mekanisme transaksinya merupakan fenomena nyata yang telah terjadi di seluruh sektor jasa keuangan di berbagai belahan dunia. Pada praktiknya, terjadi inovasi produk yang berimplikasi pada hadirnya produk-produk keuangan hibrida (hybrid financial products) ataupun produkproduk lintas sektoral seperti unit-link. Kondisi demikian mengakibatkan berkurangnya kejelasan dan ketegasan batas definitive produk-produk keuangan, yang menimbulkan jenis resiko baru, dan menghadirkan kegamangan regulator karena munculnya wilayah abu-abu (grey area) dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan. Fakta lain yang tidak bisa dipungkiri adalah perkembangan industri jasa keuangan syariah, termasuk perasuransian syariah yang cukup menjanjikan dalam menopang industri jasa keuangan secara umum dan perekonomian nasional. Data Bapepam LK (2012) menyebutkan bahwa saat ini terdapat 43 (empat puluh tiga) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan sebagian atau seluruh usaha asuransi dan usaha reasuransinya berprinsip syariah. Akan tetapi peraturan yang mengatur mengenai perasuransian berprinsip syariah belum dijumpai di dalam Undang-undang di bidang perasuransian yang berlaku saat ini, dan baru memiliki perangkat peraturan pada tingkatan di bawah Undang-undang. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam rangka pengaturan dan pengawasan industri perasuransian adalah ketersediaan perlindungan bagi pemegang polis atau tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Dalam beberapa kasus terkahir, para pemegang polis tersebut berpotensi kehilangan hak atas manfaat ekonomisnya secara material dan signifikan ketika terjadi proses pembubaran, likuidasi atau kepailitan atas suatu perusahaan perasuransian. Pembubaran, likuidasi atau kepailitan tersebut umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip tata kelola persuahaan yang baik (good governance) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat (insolven). Pada tingkat tertentu kondisi demikian dapat mengakibatkan ketidakpercaan masyarakat dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi resiko-resikonya. Tantangan lain dalam rangka pengembangan industri perasuransian di Indonesia adalah upaya antisipasi dampak arus globalisasi dan perdagangan bebas. Di regional ASEAN, industri perasuransian perlu meningkatkan daya saingnya dalam menghadapi Pasar Bebas ASEAN tahun 2015 (Asean Economic Community 2015).
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, dan mengingat bahwa Undang-undang No 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian telah berusia lebih dari 20 (dua puluh) tahun, serta dengan telah diundangkannya Undang-undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka Rancangan Undang-Undang ini perlu disusun dengan sesuai, cermat dan komprehensif. Sebagai contoh berdasarkan UU OJK, pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan yang semula dilakukan secara terpisah oleh masing-masing regulato di sektor jasa keuangan, kini berubah menjadi pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi oleh satu institusi regulator yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Sebagai bagian dari proses pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian, serta guna memperoleh informasi dan perbandingan dengan Negara lain yang memiliki industri perasuransian yang mapan, maka dipilih untuk melakukan kunjungan kerja ke Negara Amerika Serikat. Panja RUU tentang Usaha Perasuransian Komisi XI DPR RI berencana melakukan pertemuan dengan berbagai instansi yang dinilai representative dalam memberikan data serta informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan pembahasan terhadap RUU dimaksud. Kunjungan ini bertujuan untuk melihat bagaimana Negara lain mengatur sistem dan industri perasuransiannya, pengalaman mengelola serta menentukan kebijakan terhadap bisnis keuangan khususnya di bidang perasuransian, sehingga dapat menjadi catatan dan referensi bagi anggota Panja dalam proses pembahasan RUU tentang Usaha Perasuransian dengan Pemerintah. II.
LATAR BELAKANG Amerika Serikat dipilih karena dinilai merepresentasikan kondisi industry asuransi yang dipandang paling maju dan mapan di kawasan Amerika (Utara dan Selatan). Kondisi Negara dan masyarakat yang mendukung, membuat industri ini semakin baik, dan akhirnya perusahaan-perusahaan asuransi yang beroperasi di Negara ini sudah memenuhi standard yang tinggi. Amerika Serikat merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Kondisi ini tentu saja menyebabkan Amerika mempunyai system industry sector jasa keuangan yang paling maju, termasuk asuransinya. Panitia Kerja RUU tentang Usaha Perasuransian Komisi XI DPR RI berencana mengunjungi negara bagian California, khususnya San Fransisco dan Los Engeles. California adalah sebuah negara bagian yang terletak di pesisir barat Amerika Serikat, dengan penduduk terbanyak di AS. Andaikata California sebuah negara merdeka, dia akan berada dalam posisi ke-6 dan ke-9 ekonomi di dunia. Asosiasi asuransi mempunyai peran penting dalam industrinya. Asosiasi ini mengeluarkan peraturanperaturan yang jelas dan melakukan perubahan-perubahan yang membawa kemajuan untuk industri asuransi, dan sudah berjalan dengan efektif dan berkesinambungan.
Adapun output yang diharapkan dari kunjungan kerja Panitia Kerja RUU tentang Usaha Perasuransian Komisi XI DPR RI ke Negara Amerika Serikat, antara lain: 1. Menciptakan struktur industri usaha perasuransian yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara inklusif, serta mendorong perkembangan industri usaha perasuransian sebagai upaya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan; 2. Menciptakan landasan hukum usaha perasuransian yang sesuai dengan standar praktik terbaik internasional (international best practice) dalam sistem pengaturan dan pengawasan yang efektif; dan 3. Mendorong terwujudnya kepastian perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa Usaha Perasuransian, khususnya bagi para pemegang polis atau tertanggung atau peserta; II.
TUJUAN Terdapat berbagai tujuan dari Panitia Kerja RUU Usaha Perasuransian Komisi XI DPR RI berkunjung ke Amerika Serikat, antara lain: 1. Mendapatkan pembelajaran dari negara lain dalam menyusun dan membuat berbagai peraturan di sektor jasa keuangan, khususnya di bidang Usaha Perasuransian; 2. Memperoleh data dan informasi terkait langkah kebijakan yang dilakukan oleh negara lain dalam mengatur industri asuransi sehingga tercipta struktur usaha perasuransian yang sehat; 3. Mengetahui pengalaman yang dilakukan oleh Negara lain dalam melakukan tugas pengaturan dan pengawasan di bidang usaha perasuransian, serta berbagai langkah hukum yang dilakukan terkait masalah di sektor usaha perasuransian; 4. Bertukar pikiran dan berbagi pengalaman/pengetahuan dengan Negara lain tentang kondisi industri usaha perasuransian di masing-masing Negara. Data dan Informasi yang terhimpun selama melakukan kunjungan ke Amerika Serikat akan menjadi refensi bagi anggota Panitia Kerja RUU Usaha Perasuransian Komisi XI DPR RI dalam melakukan pembahasan dan penyempurnaan RUU Usaha Perasuransian.
III.
PROFIL AMERIKA SERIKAT Kepala Negara
: Presiden Barack Obama
Luas Wilayah
: 9,826,091 km2
Jumlah Penduduk
: 313,847,465 jiwa
Gross Domestic Product (GDP)
: $15.66 Trillion
GDP per Kapita
: $49,800
Komposisi GDP menurut sektor
: Pertanian 1.2% Industri 19.1%
Jasa 79.7%
IV.
Tingkat Pengangguran
: 8.2% (2012) 9.0% (2011)
Tingkat Kemiskinan
: 15.1% (2010)
Tingkat Inflasi
: 2% (2012) 3.1% (2011)
Total Ekspor
: $1.61 Trillion (2012) $1.49 Trillion (2011)
Mitra Ekspor
: Kanada (19%), Meksiko (13.3%), Cina (7%), Jepang (4.5%), Negara lainnya (56.2%)
Komoditas Ekspor
: Capital goods (49.0%), Produk Industri—organic chemical (26.8%), Consumer goods (15.0%), dan Produk Pertanian (9.2%)
Total Impor
: $2.36 Trillion (2012) $2.24 Trillion (2011)
Mitra Impor
: Cina (18.4%), Kanada (14.2%), Meksiko (11.7%), Jepang (5.8%), Jerman (4.4%), Negara lainnya (45.5%)
Komoditas Impor
: Produk Industri (32.9%), Consumer goods (31.8%), Capital goods (30.4%), dan Produk Pertanian (4.9%)
JADWAL Pelaksanaan kunjungan kerja Panja RUU Usaha Perasuransian Komisi XI DPR RI ke Amerika Serikat rencananya akan diselenggarakan pada tanggal 4 Mei sampai dengan 10 Mei 2013. Namun demikian juga akan disesuaikan dengan kesiapan dari Instansi terkait di negara bersangkutan. Adapun Rancangan jadwal pertemuan adalah sebagai berikut : A. Minggu, 5 Mei 2013, San Fransisco Pertemuan dengan perwakilan masyarakat di Wisma Indonesia, 2800 Scott St. San Farnsisco, CA 94123 B. Senin, 6 Mei 2013, San Fransisco 1. Pertemuan dengan California Departmen of Insurance, Fremont Street, San Fransisco, CA 94105. Joel Laucher, Deputy Commissioner of Rate Regulation Teresa Campbell - Enforcement/Health Enforcement San Francisco Asisstant Chief Counsel 2. Pertemuan dengan April Insurance & Co, 1788 19th Avenue San Fransisco, CA 94122 John Oei, Owner
C. Rabu, 7 Mei 2013, Los Angeles 1. Pertemuan dengan California Life and Health Insurance Guarantee Association, 10780 Santa Monica Blvd. Los Angeles, CA 90025. 2. Pertemuan dengan Comission on Insurance, 500 West Temple Street, Los Angeles, CA 90012
V.
KESIMPULAN Demikian Kerangka Acuan Teknis ini dibuat sebagai pedoman bagi Panja RUU Usaha Perasuransian melakukan kunjungan ke Negara Amerika Serikat. Kunjungan unu tersebut merupakan salah satu cara dari proses pembelajaran dengan metode Learning by Doing untuk menambah wawasan dalam pembuatan, penyempurnaan, dan penyusunan RUU tentang Usaha Perasuransian. Berbagai data dan informasi yang diperoleh dari hasil kunjungan diharapkan dapat menambah pengetahuan anggota Panja RUU Usaha Perasuransian sehingga Undang-undang yang dihasilkan berkualitas baik, yang disebabkan karena adanya Transfer of Knowledge dari Negaranegara yang dikunjungi oleh para delegasi.
KOMISI XI DPR RI
MATERI PENDUKUNG KUNJUNGAN KERJA KOMISI XI DPR RI
ABSTRAKSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG USAHA PERASURANSIAN I.
ABSTRAKSI MATERI RUU Usaha perasuransian merupakan salah satu upaya untuk menanggulangi risiko yang dihadapi anggota masyarakat dan sekaligus merupakan salah satu lembaga penghimpun dana masyarakat, sehingga usaha perasuransian memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian, dalam upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Dalam rangka meningkatkan peranan dari usaha perasuransian tersebut dalam pembangunan, maka perlu diberikan kesempatan yang luas untuk berusaha di bidang perasuransian namun dengan tidak mengabaikan prinsip usaha yang sehat dan bertanggung jawab, yang sekaligus dapat mendorong kegiatan perekonomian nasional. Perkembangan yang pesat tengah terjadi dalam industri asuransi saat ini, yang dapat dilihat baik dari segi meningkatnya volume usaha maupun meningkatnya kebutuhan masyarakat tertanggung atas berbagai jenis pelayanan jasa asuransi. Diantara kebutuhan masyarakat tersebut yaitu kebutuhan akan adanya produk asuransi yang lebih sesuai untuk menutup resiko keuangan dan kebutuhan akan pengelolaan investasi sebagai bagian tak terpisahkan dalam pengelolaan resiko keuangan melalui asuransi. Selain itu, perkembangan dalam industri asuransi secara bersamaan terjadi pula perkembangan di dalam industry lembaga keuangan secara keseluruhan yang ditandai dengan semakin menipisnya batasan jenis pelayanan yang diberikan masing-masing sektor di dalam industri lembaga keuangan sehingga diperlukan adanya system pembinaan dan pengawasan lembaga keuangan yang lebih baik dan terpadu. Terlebih lagi dengan terbentuknya lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan, termasuk kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yang selama ini menjadi landasan hukum bagi kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dinilai sudah kurang sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi, baik di industry perasuransian itu sendiri maupun industri lembaga keuangan secara keseluruhan. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian yang merupakan penyempurnaan dari ketentuan yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tersebut dengan maksud agar tercipta iklim usaha yang lebih kondusif dan lebih terlindunginya kepentingan masyarakat tertanggung. Penyempurnaan ketentuan mengenai usaha perasuransian tersebut ditekankan pada perbaikan industri usaha perasuransian yang lebih sehat dan bertanggung jawab serta mengacu pada prinsip-prinsip dasar pengawasan industry asuransi (insuransce core principles) yang ditetapkan oleh Asosiasi Pengawas Asuransi Internasional atau IAIS (International Association of Insurance Supervisors). Butir-butir ketentuan yang menjadi pokok-pokok pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang ini meliputi: 1. Pengelompokan cakupan atau lingkup usaha perasuransian yang dibagi atas asuransi umum, asuransi jiwa, dan perusahaan reasuransi; 2. Badan hukum perusahaan asuransi yang diharuskan berbentuk perseroan terbatas (PT) karena dinilai memiliki keunggulan dari segi karakteristik dan pengaturan tata kelola yang baik; 3. Kepemilikan perusahaan perasuransian, yang selain dapat dimiliki oleh WNI dan badan hukum Indonesia, juga dimungkinkan kepemilikan bersama dengan warga Negara/badan hukum asing dengan persyaratan tertentu diantaranya keharusan perusahaan perasuransian yang memiliki usaha sejenis; 4. Ketentuan-ketentuan yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan perasuransian antara lain: Mendapatkan izin usaha dari OJK. Melaporkan pembukaan kantor di luar kantor pusat kepada OJK. Menerapkan tata kelola perusahaan yang baik dan memenuhi standar perilaku usaha. Menetapkan satu pengendali dengan mendapatkan persetujuan OJK. Mematuhi ketentuan mengenai kesehatan keuangan. Memliliki dana jaminan dalam bentuk dan jumlah yang ditetapkan OJK. Bertanggung jawab atas tindakan agen asuransi yang terkait pemasaran produk atau transaksi. Menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan pembiayaan terorisme. Menjadi peserta program penjaminan pemegang polis/tertanggung/peserta yang diselenggarakan oleh LPS. Menjadi anggota lembaga mediasi penyelesaian sengketa asuransi. Menjadi anggota asosiasi usaha perasuransian sesuai jenis usahanya. Mendapatkan persetujuan OJK atas rencana perubahan kepemilikan perusahaan. Memperoleh persetujuan OJK dalam melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Melaporkan kepada OJK rencana penghentian kegiatan usaha. 5. Kewenangan OJK dalam menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap perusahaan perasuransian. Kewenangan dalam fungsi pengaturan
yaitu membuat dan menetapkan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan bidang perasuransian. Kewenangan fungsi pengawasan yaitu pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban perusahaan perasuransian; 6. Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian ini juga diatur diantaranya ketentuan mengenai: objek asuransi di Indonesia, penutupan asuransi atas objek asuransi yang harus didasarkan pada asas kebebasan memilih penanggung atau pengelola, permohonan pailit perusahaan perasuransian hanya dapat diajukan oleh OJK, dana asuransi harus digunakan terlebih dulu untuk membayar kewajiban kepada tertanggung jika terjadi pailit, keharusan persetujuan OJK terhadap asosiasi usaha perasuransian, pialang atau agen asuransi dan profesi penyedia jasa bagi perusahaan perasuransian wajib terdaftar di OJK, dan pengelola statuter 7. Jenis-jenis sanksi administratif dan jenis tindakan pelanggaran yang dapat dikenai sanksi administrative, berupa: Peringatan; Pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha; Larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu; Pencabutan izin usaha; Pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian; Denda administratif; dan Larangan menjadi pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi Perusahaan Perasuransian. 8. Sanksi pidana dan jenis perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana, yaitu: Setiap orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, usaha asuransi syariah, Usaha Reasuransi atau Usaha Reasuransi Syariah, kegiatan Usaha Pialang Asuransi atau Usaha Pialang Reasuransi, kegiatan Usaha Penilai Kerugian Asuransi tanpa izin usaha. Anggota dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, aktuaris perusahaan, auditor internal, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang lalai atau dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data, dan atau dokumen yang tidak benar, palsu dan atau menyesatkan kepada Otoritas Jasa Keuanganataukepada pihak yang berkepentingan. Anggota dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, aktuaris perusahaan, auditor internal atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang tidak memberikan keterangan dan data atau
kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Usaha Perasuransian dan hal-hal lain yang diperlukan oleh pemeriksa. Setiap orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan dan atau menggunakan kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah tanpa hak. Setiap orang yang menerima, menadah, membeli, mengagunkan atau menjual kembali kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah. Setiap orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-samamelakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah. Direksi dan atau pihak yang menandatangani polis baru dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang sedang dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha.
9.
Ketentuan Peralihan;
10.
Ketentuan Penutup
Adapun materi-materi terkait usaha perasuransian di dalam sistematika RUU tentang Usaha Perasuransian, yang terdiri dari 15 Bab dan 72 Pasal, yaitu: Bab I : Ketentuan Umum Bab II : Ruang Lingkup Usaha Perasuransian Bab III : Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Perusahaan Perasuransian Bab IV : Perizinan Usaha Bab V : Penyelenggaraan Usaha Bab VI : Perlindungan Pemegang Polis/Tertanggung/Peserta Bab VII : Perubahan Kepemilikan, Penggabungan (Merger), dan Peleburan (Konsolidasi) Bab VIII : Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Bab IX : Pengaturan dan Pengawasan Bab X : Profesi Penyedia Jasa Bagi Usaha Perasuransian Bab XI : Asosiasi Usaha Perasuransian Bab XII : Sanksi Administratif Bab XIII : Ketentuan Pidana Bab XIV : Ketentuan Peralihan Bab XV : Ketentuan Penutup II.
STATUS RUU Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2010-2014 berdasarkan Keputusan DPR-RI No.41A/DPR RI/2009-2010, pada nomor urut 84 yakni Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Kemudian Rancangan
Undang-Undang ini tercantum pula di dalam Prolegnas Rancangan UndangUndang Prioritas Tahun 2012 berdasarkan Keputusan DPR-RI No.08/DPRRI/II/2011-2012, pada Nomor urut 58 yang merupakan Rancangan UndangUndang dari Pemerintah yang Draft Rancangan Undang-Undang dan Naskah Akademiknya disiapkan oleh Kementerian Keuangan. Pemerintah telah menyampaikan Draft Rancangan Undang-Undang kepada DPR dan telah diumumkan dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 16 Agustus 2012.
CALIFORNIA DEPARTMENT OF INSURANCE
The CDI ensures that consumers are protected; that the insurance marketplace is fostered to be vibrant and stable; that the regulatory process is maintained as open and equitable;and that the law is enforced fairly and impartially. First created in 1868, the California Department of Insurance (CDI) has undergone many changes in its history. In 1988 California voters passed Proposition 103, and the CDI's authority and responsibility was significantly broadened in the property and casualty area. Proposition 103 converted the Insurance Commissioner's status from an appointed position by the Governor into a position elected by the people of California. Proposition 103 also expanded the Department's important role in consumer protection by requiring that property and casualty insurance company rates be pre-approved by the Department before going into effect. In the early 1990's, the state Legislature passed tough new anti-fraud insurance legislation that transformed the CDI into a law enforcement agency, in addition to its other functions. The legislation provided sworn peace officers to investigate and arrest those who commit fraud. The actions of fraud investigators in our Enforcement Branch have paved the way for direct cost savings to be passed on to consumers by way of lower premiums. The CDI licenses and regulates insurance companies, agents, and brokers in California. Currently the Department licenses over 1,800 insurance companies and more than 335,000 individuals and business entities as insurance agents, brokers, adjusters, and bail agents. License fees, assessments, and Proposition 103 recoupment fees are the primary sources of funding for the CDI. Today we have a complement of 1,274 employees working to protect the consumers' insurance interests. Regulatory Authority and Enforcement As a state mandated regulatory agency, the CDI has authority over how the insurance industry conducts business within California. The following eight points represent areas where regulatory authority is exercised on a daily basis by the Department: Legal - Legal action is the ultimate enforcement instrument of the Department. Possible legal enforcement actions include: Cease and Desist Orders, Notices of Noncompliance, and Administrative Law Hearings. These actions may result in fines or penalties against our licensees. Consumer Protection - The Department aids consumers by regulating how insurance companies market and administer their policies. Insurance business must be conducted in an honest, open, and fair manner. Licensing - As mandated by the California Insurance Code (CIC), the Department holds licensing examinations for brokers and agents and investigates suspected violations of the CIC by licensees.
Enforcement - To protect the public from economic loss and distress by actively investigating and arresting those who commit insurance fraud and to reduce the overall incidence of insurance fraud through anti-fraud outreach to the public, private, and government sectors. Certificates of Authority - Insurance companies that want to do business in California must apply and be reviewed by the Department to determine whether or not they should be given the authority to sell insurance in this state. Conservation and Liquidation -The Department takes an active, leading role to conserve, rehabilitate, or liquidate troubled insurance companies under appointment of the Superior Court. Rate Regulation - The Rate Regulation Branch, under the provisions of Proposition 103, reviews proposed personal auto and homeowners insurance rates to ensure that they are fair, reasonable, and adequate. Financial Surveillance - By examining and reviewing key financial statements and conducting audits of insurance companies in California, the Department oversees the financial condition of the insurance industry and helps to ensure stability and to protect policyholders. Consumer Communications Bureau The Department's statewide toll-free consumer Hotline, provides callers with immediate access to current information on insurance issues. The Hotline is staffed by knowledgeable insurance professionals who can answer questions, give direction, and provide assistance to consumers who are experiencing insurance related problems or concerns. By calling the Hotline, a consumer can ask questions on insurance claims and underwriting practices as well as check the license status of his/her insurance company, agent, or broker. Requests for Assistance After listening to and discussing a consumer's concerns over the phone, a Hotline officer may decide to send the consumer a Request for Assistance (RFA) form to be completed and returned to the Department. The RFA provides the necessary information to open a complaint investigation, which will be handled by officers in the Claims Services Bureau or the Rating and Underwriting Services Bureau, depending on the subject matter involved. Within 10 working days the consumer will receive an acknowledgment from the officer who will be handling the file. Educating Consumers Along with assisting consumers with specific insurance concerns, the Department publishes free brochures to help consumers become aware of their rights and to aid them in making informed insurance decisions. These publications can be requested by calling toll-free 800927-HELP (4357). Also, as part of the Department's mission to protect consumers, the Education and Outreach Program provides speakers who can travel off-site to participate in public events such as town hall meetings, business and community fairs, and professional association events.
THE CALIFORNIA LIFE & HEALTH INSURANCE GUARANTEE ASSOCIATION The California Life & Health Insurance Guarantee Association is a statutory entity created in 1991 when the California legislature enacted the California Life and Health Insurance Guarantee Association Act (see Additional Information for a copy of the Act). The guarantee association is composed of all insurers licensed to sell life insurance, health insurance, and annuities in the state of California. In the event that a member insurer is found to be insolvent and is ordered to be liquidated by a court, the Guarantee Association Act enables the guarantee association to provide protection (up to the limits spelled out in the Act) to California residents who are holders of life and health insurance policies, and annuity contracts, with the insolvent insurer. Specifically, when a member insurer is found to be insolvent and is ordered liquidated, a special deputy receiver takes over the insurer under court supervision and processes the assets and liabilities through liquidation. The task of servicing the insurance company's policies and providing coverage to California's resident policyholders becomes the responsibility of the guarantee association. The protection provided by the guarantee association is based on California law and the language of the insolvent company's policies at the time of insolvency. We will make every effort to ensure that the information provided here is in accordance with the most current law in the event that the California legislature amends the Guarantee Association Act or other laws. However, if there should be any inconsistency between the Guarantee Association Act or any other law or regulation and the information on this Web site, the relevant law will supersede. In light of these changes in law and the dramatic variations in policy language, the association cannot make statements regarding coverage of a specific policy unless it is a policy with a company for which the association has been activated to provide protection. Finally, this Web site is for general information purposes and should not be relied upon as legal advice. Again, we hope the information provided in this Web site is useful. Be sure to read the Frequently Asked Questions section of the site for more information, and please refer to the Contact Us section if you have any questions for the guarantee association.
COMMISSION ON INSURANCE
Members of the Commission on Insurance are nominated by the Board of Supervisors and selected on the basis of experience or knowledge in the area of consumer insurance which includes automobile liability, homeowners, health and earthquake insurance. As members of the Los Angeles County Commission on Insurance, we hold ourselves accountable to the Board of Supervisors and to the communities that they serve and from where we reside. A diverse group of insurance specialists, we work collaboratively to inform the Board of significant developments, court cases, and the status of pending legislation concerning consumer insurance matters. As an advisory body to the Board, we submit regular and special reports and recommendations to the Board as deemed appropriate; develop information and make recommendations on methods for reducing the costs of insurance; improve customer education and broaden community awareness regarding insurance issues. Upon specific approval by the Board, the Commission may be authorized to conduct public hearings, call witness and experts, present testimony and participate in insurance matters before the Congress, State Legislature or State Insurance Commission or other appropriate public bodies.