MAKALAH PROPOSAL OPERASIONAL PENELITIAN TA. 2014
KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERINTEGRASI TANAMAN TERNAK
Oleh: Nyak Ilham Saptana Bambang Winarso Herman Supriadi Supadi Yonas Hangga Saputra
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2014 1
ABSTRAK Pakan merupakan input pada proses produksi untuk menghasilkan anak sapi dan daging sapi. Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam penyediaan pakan adalah jumlah, kualitas dan harga pakan. Di Indonesia bahan baku pakan sapi banyak tersedia, namun dalam penyediaannya masih menghadapi masalah, diantaranya penyempitan lahan padang penggembalaan, persaingan bahan baku pakan untuk kebutuhan lain, dan kandungan nutrisi yang rendah. Keterbatasan sumber pakan konvensional, dapat diatasi dengan menggunakan bahan pakan berbasis limbah pertanian dan industri pertanian dengan mengembangkan system pertanian terintegrasi tanaman-ternak. Permasalahannya adalah integrasi tanaman-ternak masih terbatas pada skala kecil yang dilakukan oleh peternakan rakyat. Integrasi usaha tanaman perkebunan dan ternak sapi masih terbatas. Padahal potensi limbah untuk pakan mampu meningkatkan populasi sapi potong cukup besar. Keterlibatan perusahaan perkebunan dalam pengembangan sistem pertanian integrasi tanaman-ternak dapat mengefisienkan proses produksi dan meningkatkan daya saing daging sapi lokal. Tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan rekomendasi kebijakan pengembangan pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) menganalisis perkiraan potensi tambahan kapasitas tampung ternak dengan pengembangan integrasi tanaman-ternak, (2) mengidentifikasi potensi wilayah pengembangan baru usaha sapi potong berbasis sumberdaya pakan lokal, (3) menganalisis kelayakan usaha pada berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak, dan (4) mengidentifikasi kendala pengembangan berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak. Berdasarkan potensi limbahnya maka cakupan kajian ini dibatasi pada usaha integrasi sapi-sawit, sapi-tebu, dan sapi-padi. Lokasi penelitian akan dilakukan di Provinsi Jawa Timur, Riau, dan Sumatera Selatan. Jika masih memungkinkan lokasi penelitian, khususnya untuk intergrasi sapi-sawit dapat ditambah lokasi Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi. Untuk usaha integrasi sapi-tebu dapat ditambah lokasi D.I. Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai instansi pemerintah, perusahaan perkebunan dan peternak. Analisis data dilakukan dengan pendekatan deskriptif dan analisis finansial.
2
I. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Kebutuhan daging sapi nasional terus meningkat, sedangkan pasokannya belum mampu mencukupi sehingga kekurangannya masih harus diimpor. Karena itu pemenuhan permintaan daging sapi dengan hanya menghandalkan dari pemotongan sapi lokal akan meningkatkan harga daging sapi. Meningkatnya harga daging akan memicu pemotongan sapi termasuk pemotongan sapi betina produktif yang berdampak terhadap pengurasan populasi sapi. Penyebab pengurasan adalah ketidakmampuan meningkatkan produksi daging sapi dengan mengembangkan teknologi maju dan manajemen pemeliharaan ternak sapi (Yusdja dan Pasandaran, 2005). Ada tiga pilar utama yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan produksi daging sapi, yaitu bibit, pakan, dan manajemen usaha. Pakan merupakan input pada proses produksi untuk menghasilkan anak sapi dan daging sapi. Tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam penyediaan pakan adalah jumlah, kualitas (nutrisi) dan harga pakan. Di Indonesia bahan baku pakan sapi banyak tersedia, namun dalam penyediaannya masih menghadapi masalah, diantaranya penyempitan lahan padang penggembalaan, persaingan bahan baku pakan untuk kebutuhan lain, kandungan nutrisi yang rendah, teknologi pengolahan terbatas, industri dan sistem distribusi masih sangat terbatas . Keterbatasan sumber pakan konvensional, dapat diatasi dengan menggunakan bahan pakan berbasis limbah pertanian dan industri pertanian. Namun persaingan kedua sumber tersebut untuk kebutuhan lain menyebabkan harga dua kelompok produk tersebut menjadi mahal. Menurut Direktorat Perbibitan (2013) meningkatnya budaya bisnis saat ini menyebabkan usaha pembibitan untuk menghasilkan sapi bibit dan sapi bakalan sudah tidak menarik bagi peternak. Hal itu disebabkan siklus produksi yang lama dan biaya pakan yang semakin mahal. Sebagian peternak beralih ke usaha penggemukan sapi. Akibatnya kebutuhan terhadap sapi bakalan meningkat, sedangkan pasokannya semakin turun yang menyebabkan harga sapi bakalan menjadi meningkat. Dilemma ini berakhir dengan tingginya harga daging sapi lokal dan kalah bersaing dengan produk impor. Oleh karena itu diperlukan kemauan keras dari pemerintah untuk membuat kebijakan pengembangan integrasi tanaman-ternak. Permasalahannya adalah integrasi tanaman pangan dan sapi yang sudah dikembangkan masih terbatas pada skala kecil. Integrasi usaha tanaman 3
perkebunan dan ternak sapi masih terbatas. Padahal berdasarkan potensinya, pengembangan integrasi tanaman perkebunan dan sapi potong diduga mampu meningkatkan populasi sapi potong secara signifikan. Selain itu, melibatkan perusahaan perkebunan dalam pengembangan sistem pertanian integrasi tanaman-ternak dapat mengefisienskan proses produksi dan meningkatkan daya saing daging sapi lokal. Namun dengan berbagai kendala yang dihadapi sistem pertanian terintegrasi tanaman-ternak masih lambat berkembang. 1.2. Dasar Pertimbangan Konsumsi daging sapi diperkirakan akan terus meningkat. Namun usaha ternak yang berbasis lahan untuk sumber pakannya, daya tampungnya semakin terbatas. Pada sisi lain pasar domestik dan ekspor yang semakin meningkat mendorong luas lahan tanaman perkebunan semakin meningkat. Demikian juga konsumsi beras yang terus meningkat dan program swasembada beras yang konsisten mendorong semakin meningkatnya luas panen tanaman pangan, khususnya padi. Kelompok kedua tanaman tersebut selain menghasilkan produk utama juga menghasilkan produk limbah pertanian dan industri pertanian yang berpotensi untuk pakan ternak sapi. Berdasarkan fakta tersebut sudah sewajarnya kedepan usaha peternakan sapi potong diarahkan pada sistem pertanian terintegrasi tanaman ternak. Sistem tersebut selain mampu menyediakan pakan juga mampu menghasikan pupuk organik dengan tidah harus membeli. Sistem yang demikian dapat menekan biaya produksi dan memperbaiki kesuburan lahan sehingga menciptakan usaha pertanian yang berkelanjutan dan berdayasaing. 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah menghasilkan rekomendasi kebijakan pengembangan pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak. Tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) menganalisis perkiraan potensi tambahan kapasitas tampung ternak dengan pengembangan integrasi tanaman-ternak, (2) mengidentifikasi potensi wilayah pengembangan baru usaha sapi potong berbasis sumberdaya pakan lokal, (3) menganalisis kelayakan usaha pada berbagai pola Sistem
Pertanian
Terintegrasi
Tanaman-Ternak,
dan
(4)
mengidentifikasi
kendala
pengembangan berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak. 1.4.Keluaran yang Diharapkan Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) informasi tentang potensi tambahan kapasitas tampung ternak dengan pengembangan integrasi tanaman-ternak, (2)
4
informasi tentang wilayah pengembangan baru usaha sapi potong berbasis sumberdaya pakan lokal, (3) informasi tentang kelayakan usaha pada berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak, (4) informasi kendala pengembangan berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak, dan (5) rekomendasi kebijakan pola pengembangan sistem pertanian terintegrasi tanaman-ternak di Indonesia. 1.5.Perkaraan Manfaat dan Dampak Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi kapasitas tampung ternak melalui pengembangan sistem pertanian terintegrasi tanaman ternak. Dampak penelitian ini menurunkan biaya produksi usahatani tanaman dan ternak dan penambahan populasi dan produksi daging yang berdayasaing.
5
II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kerangka Teoritis Sistem pertanian terpadu adalah sistem yang menggabungkan peternakan konvensional, budidaya perairan, hortikultura, agroindustri dan segala aktivitas pertanian (Nurhidayati et al., 2008). Usaha peternakan ruminansia yang pada prinsipnya berbasis lahan, sedangkan penggunaan
lahan
semakin
bersaing
untuk
berbagai
keperluan
maka
kedepan
pengembangannya diarahkan pada sistem pertanian terintegrasi (terpadu) antara ternak dan tanaman. Sistem integrasi tanaman-ternak adalah suatu sistem pertanian yang dicirikan oleh keterkaitan yang erat antara komponen tanaman dan ternak dalam suatu usahatani atau dalam suatu wilayah. Keterkaitan tersebut merupakan suatu faktor pemicu dalam mendorong pertumbuhan pendapatan masyarakat tani dan pertumbuhan ekonomi wilayah dengan cara yang berkelanjutan (Pasandaran et. al., 2005). Integrasi antara tanaman dan ternak dapat diaplikasikan di wilayah agroekosistem komoditas tanaman pangan (padi dan palawija ) dan wilayah agroekosistem tanaman perkebunan diantaranya tanaman kelapa sawit dan tebu. Konsep pertanian terpadu telah diterapkan di Indonesia sejak petani mengenal pertanian. Pada tahun 1970-an mulai diperkenalkan sistem usahatani terpadu yang didasarkan pada hasil-hasil pengkajian dan penelitian dan kemudian secara bertahap muncul istilah-istilah pola tanam (Cropping pattern), pola usahatani (cropping sistem) sampai akhirnya muncul istilah sistem usahatani (farming sistem), dan akhirnya muncul istilah sistem tanaman-ternak (Crop-
Livestock Sistem-CLS), (Manwan, 1989). Sistem usahatani tanaman ternak pada dasarnya merupakan respon petani terhadap faktor resiko yang harus dihadapi, mengingat terdapatnya berbagai ketidakpastian dalam berusahatani (Soedjana, 2007). Pada saat persaingan dagang semakin meningkat dan issu pembangunan berkelanjutan menjadi perhatian, sistem pertanian terintegrasi tanaman-ternak perlu dikembangkan karena selain dapat menekan biaya pakan pada usaha ternak dan menekan biaya pupuk pada tanaman, juga dapat memperbaiki kualitas lahan yang rusah akibat penggunaan pupuk buatan. Sistem pertanian yang demikian menurut Nurhidayati et al., (2008) dikenal dengansistem pertanian berkelanjutan dengan teknologi input luar rendah (Low
External Input Sustainable Agriculture-LEISA). Terkait dengan program swasembada,
6
pengembangan sistem pertanian terpadu tanaman ternak dapat meningkatkan daya dukung pakan, sehingga mampu meningkatkan populasi dan produksi daging sapi. Di Indonesia, Badan Litbang Pertanian sangat gencar mengintroduksi inovasi teknologi sistem integrasi tanaman-ternak. Pola yang telah banyak diterapkan adalah Sistem Integrasi Tanaman Pangan-Ternak, Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (SISKA) atau Sapi-Sawit (SASA), Sistem Integrasi Sapi-Tebu (SATE). Selain itu masih ada beberapa potensi integrasi tanamanternaik lainnya, seperti ternak dan kakao. 2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait. 2.2.1. Potensi Ketersediaan Pakan melalui Integrasi Tanaman-Ternak Terkait dengan penyediaan pakan, dari usaha ternak yang terintegrasi dengan pakan dapat diperoleh tiga sumber pakan yaitu bahan bakan yang berasal dari tanaman sisa hasil peratnian, dari limbah industry pertanian, dan tanaman yang ada di lahan pertanian. Pada integrasi sapi-sawit bahan pakan dapat diperoleh dari.pelepah sawit, bungkil inti sawit, lumpur sawit, serabut perasan buah sawit, tandan kosong dan cangkang (Umar, 2009) serta tanaman hijauan di lahan perkebunan sawit. Pada integrasi sapi-tebu dapat berupa daun pucuk tebu dan daun rogesan, ampas tebu (bagas), dan molasses (Khuluq, 2012 dan Zigrabu, 2013) termasuk anakan tebu (Romli, et al., 2012). Pada integrasi sapi-padi/jagung dapat berupa jerami, dedak padi, dan tongkol jagung. Data 2000-2009 menunjukkan perkembangan luas areal perkebunan terus meningkat. Luas perkebunan sawit selama periode itu meningkat tajam sebesar 8,08 persen pertahun, dari 4,15 juta hektar menjadi 8,24 juta hektar. Luas perkebunan karet meningkat 0,21 persen pertahun dari 3,37 juta hektar menjadi 3,43 juta hektar. Luas kebun kakao meningkat sebesar 8,75 persen pertahun, dari 0,75 juta hektar menjadi 1,58 juta hektar. Luas tanaman tebu meningkat sebesar 3 persen pertahun, dari 340,66 ribu hektar menjadi 441, 44 ribu hektar (Kementerian Pertanian, 2012).
Data
ini
menunjukkan
potensi
untuk
dijadikan
pengembangan produksi daging sapi melalui pengembangan sistem pertanian integrasi tanaman-ternak. Menurut Diwyanto et al., (2004) limbah perkebunan sawit mempunyai potensi yang cukup besar untuk menyediakan sumber pakan dengan daya tampung 1-3 ekor per ha kebun kelapa sawit. Pada perkebunan tebu, limbah tanaman berupa pucuk tebu mencapai 30,8 ton/ha (Romli et al., 2012) dan diperkirakan setiap hektar tanaman tebu mampu menghasilkan 100 ton
7
bagas (Purba, 2013). Murni et al., (2008) merinci komposisi dari tanaman tebu dapat dihasilkan batang tebu sebagai produk utama sebanyak 60 persen dan sisanya limbah berupa pucuk tebu 30 persen dan daun rogesan 10 persen. Batang tebu hanya dapat menghasilkan 5 persen gula, sisanya 75 persen air yang bercampur dengan komponen gula, bagas 15 persen, molasses 3 persen dan sisanya yang tidak bisa dimanfaatkan (filter mud) 2 persen. Menurut Suparjo (2008) komponen bagas mencapai 24-36 persen. Berdasarkan komposisi itu, limbah tanaman tebu sangat potensial untuk dimanfaatkan, antara lain untuk pakan ternak. Kuswandi (2007), Dengan hamparan 100 ha kebun tebu diperkirakan dapat menghasilkan pucuk tebu sebanyak 380 ton bahan kering, yang dapat memelihara tidak kurang dari 347 – 520 ekor sapi dengan bobot hidup 200 kg sepanjang tahun bila sapi mampu mengkonsumsi bahan kering 1 – 1,5% dari bobot hidup. Bila bagas diproses dan ditambahkan dalam pakan, maka tambahan sekitar 20 ekor sapi lagi dapat dibesarkan. Demikian seterusnya, dengan memanfaatkan limbah lain seperti ampas, pith dan tetes, maka jumlah pemilikan dapat ditingkatkan dengan catatan, suplementasi bahan dari luar kawasan harus diadakan. Pada tanaman pangan, data 2000-2009 menunjukkan perkembangan luas panen padi meningkat 1,01 persen pertahun dari 11,79 juta hektar menjadi 12,88 hektar. Perkembangan luas panen komoditas palawija khususnya jagung meningkat 2,16 persen pertahun, dari 3,50 juta ha menjadi 4,15 juta hektar. Luas panen kedele menurun 0,02 persen pertahun dari 0,82 juta ha turun menjadi 0,72 ha (Kementerian Pertanian, 2012). Tanaman padi gogo per hektar dapat menyediakan pakan sebanyak 18,9
hari, dari
jumlah sapi 29 ekor. ( Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian , 2005). Pemberian jerami fermentasi sebagai pakan basal dengan ditambah konsentrat, nyata (P<0,05) dapat memberikan kinerja pertumbuhan sapi lebih baik dan secara ekonomi layak, serta mempercepat tanda-tanda estrus ( Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian , 2005). Selain ketersediaan secara agregat, hal lain yang perlu diperhatikan terkait dengan pemanfaatan limbah ada sistem pertanian tanaman-ternak adalah harga, kandungan gizi, dan distribusi ketersediaannya selama setahun. Namun karena penelitian ini fokus pada usahatani terintegrasi tanaman-ternak sehingga limbah tidak harus dibeli, maka aspek harga tidak diperlukan. Demikian juga penelitian ini tidak menyinggung aspek gizi secara dalam. Namun aspek distribusi ketersediaan sangat terkait dengan ketersedian, sehinga menjadi perlu untuk menjadi perhatian.
8
Terkait dengan distribusi ketersediaan, Penelitian Romli et al., (2012) pada lima kabupaten
di
Jatim
menunjukkan
bahwa
ketersediaan
limbah
tanaman
tebu
dapat
dimanfaatkan untuk pakan ternak selama bulan Juni-Desember. Pemanfaatan diluar waktu itu dapat dilakukan melalui proses pengawetan lebih lanjut. Rincian distribusi ketersediaan limbah tanaman tebu di Jatim dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Waktu Ketersediaan Hijauan Lain dan Limbah Tanaman Tebu di Jawa Timur, 2011 Limbah Tanaman Tebu Kabupaten Hujauan lain Anakan Pucuk Daun Regosan Malang -Sawah
Bulan 1-8
Bulan 2-5
Bulan 5-11
Bulan 2-5
-Tegal
Bulan 1 -6
Bulan 3-5
Bulan 5-11
Bulan 2-6
Bulan 1-6
Bulan 3-5
Bulan 5-10
Bulan 2-6
Bulan 1-6
Bulan 3-5
Bulan 6-11
Bulan 2-6
-Sawah
Bulan 1-8
Bulan 2-5
Bulan 6-10
Bulan 2-6
-Tegal
Bulan 1-6
Bulan 3-5
Bulan 6-10
Bulan 3-6
-Sawah
Bulan 1-9
Bulan 2-5
Bulan 6-11
Bulan 2-6
-Tegal
Bulan 1-7
Bulan 3-5
Bulan 6-11
Bulan 3-6
Pasuruan -Tegal Probolinggo -Tegal Lumajang
Sitobondo
Sumber Romli et al., (2012)
2.2.2. Potensi Wilayah Pengembangan Pertanian Terintegrasi Tanaman Ternak Berdasarkan konsep sistem integrasi, usaha ini dapat dilakukan pada lingkup usaha dan lingkup kawasan. Berdasarkan hal itu maka usaha tanaman-ternak yang terintegrasi tidak harus dilakukan dalam satu kesatuan usaha, tetapi masih dalam satu kesatuan kawasan. Pada pola integrasi ternak sapi dan tanaman padi di Pantura Jawa, bisa saja jerami yang dihasilkan di kawasan pantura dimanfaatkan sebagai pakan ternak pada usaha ternak sapi di kawasan sekitarnya. Demikian juga dengan integrasi tanaman sawit atau tebu dengan usaha ternak sapi di sekitar perkebunan. Lebih luas lagi integrasi tersebut dapat juga dilakukan pada dua kawasan
9
yang lebih jauh namun antar kedua usaha itu ada keterkaitan usaha untuk saling terintegrasi dengan tetap memperhatikan biaya transportasi yang harus dikeluarkan. Sistem integrasi tanaman-ternak berpeluang untuk dikembangkan baik di daerah dengan luasan lahan pertanian yang terbatas maupun didaerah dengan potensi lahan pertanian yang luas, dengan harapan akan mampu meningkatkan produksi, populasi, produktivitas dan daya saing produk peternakan (Kana Hau et al., 2005). Berdasarkan lokasi sumber pakannya, maka integrasi sapi-sawit akan mengikuti lokasi perkebunan sawit di Indonesia. Oleh karena itu potensi pengembangan integrasi tanaman ini banyak dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Sebagai contoh di Provinsi Bengkulu, Lampung, Jambi, Riau, Sumatera Utara, Kalteng dan Kaltim sudah banyak peternak yang mnggembalakan sapinya di lahan perkebunan sawit dan ada beberapa yang sudah diintegrasikan secara khusus. Menurut informasi dari WIKIPEDIA, sebagian besar pabrik tebu berada di Jawa Timur. Kemudian diikuti Jawa Tengah, Jawa Barat dan beberapa lainnya di DIY, Lampung, Sumut, Sulsel, dan Sumsel. Berdasarkan beberapa hasil penelitian seperti Romli et al., (2012), penggunaan limbah tebu sudah dimanfaatkan untuk pakan ternak di beberapa daerah di Jatim. Usaha integrasi tanaman pangan seperti padi dan sapi dapat dilakukan hampir di semua provinsi, terutama pada daerah sentra produksi padi. Penelitian CLS secara kelembagaan dimulai di Batumarta, Sumatera Selatan pada tahun 1985 yang dilakukan oleh Puslitbang Tanaman pangan dan Puslitbang Peternakan untuk melakukan penelitian tanaman dan ternak secara terpadu dengan mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan (Sustainable) yang ramah lingkungan (environmentally tolerable), secara sosial diterima masyarakat (socially
acceptabel), secara ekonomi layak (economically feasible) dan diterima secara politis (politically desirable), (Ismail et al., 1989). Hingga tahun 2008, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan telah mengembangkan program integrasi tanaman-ternak pada beberapa lokasi (Tabel 2). 2.2.3.
Kelayakan Usaha pada Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak Untuk memberikan keuntungan yang lebih, pengembangan sistem usahatani terintegrasi
tanaman-ternak perlu diimbangi dengan peningkatan mamajemen dengan upaya pemanfaatan semua produk tani sehingga tercapai pola zero waste atau tidak ada bagian yang terbuang dan tersedianya sumber pakan dengan biaya minim (zero cost). Pemanfaatan limbah untuk pakan ternak dengan ketersediaan yang cukup (in-situ situation) akan menghidupi ternak tanpa perlu mendatangkan dari luar (ex-situ situation) (Djajanegara., et. al., 2005).
10
Menurut Diwyanto et al., (2004) dan Manti et al., (2004), sistem integrasi tanaman ternak di lahan perkebunan sawit, dengan menggunakan sapi sebagai tenaga kerja di perkebunan sawit berakibat pada peningkatan pendapatan pemanen sekitar 50% melalui penerimaan upah panen, dimana tenaga seekor sapi dapat digunakan kegiatan memanen 15 ha kebun sawit secara bergilir. Tabel 2. Target dan Realisasi Pengadaan Ternak Sapi Potong pada Program Integrasi TanamanTernak Nasional, 2008 No
Propinsi
Jumlah Kelompok
Realisasi Target (ekor) (ekor) TOTAL Jantan Betina Jantan Betina (ekor)
1 2 3 4
NAD Riau Jambi Sumsel
1 3 2 4
0 0 6 20
40 72 93 89
0 0 6 20
40 72 93 89
40 72 99 109
5
Babel
4
0
131
0
131
131
6 7 8 9
Bengkulu Jatim Kalbar Kalteng
5 15 2 1
17 0 7 0
156 64 71 25
17 0 7 0
156 64 71 25
173 64 78 25
10 11
Sulsel Sulteng
1 1
4 6
20 30
4 6
20 30
24 36
12
Sultra
4
9
71
9
71
80
13
Sulbar
4
50
108
50
108
158
14 15
Sulut INDONESIA
2 49
0 119
54 1024
0 119
54 1024
54 1143
Keterangan Integrasi Sapi – Jagung dan sayuran Sapi – sawit Sapi – sawit sapi – sawit & kopi Sapi - sawit & jagung Sapi - sawit, coklat, padi Sapi – padi Sapi – sawit Sapi-padi& jagung Sapi - tanaman pangan Sapi – jagung Sapi - Mete, kakao, padi Sapi - sawit, coklat,padi Sapi – jagung dan kelapa
Sumber : Ditjend Peternakan dan Kesehatan Hewan (data diolah).
Pada usahatani integrasi sapi-tebu, pupuk kandang yang dihasilkan dari tiga ekor sapi dewasa selama setahun dapat menghemat 50 persen aplikasi pupuk organik pada tanaman tebu.
Pendapatan usaha penggemukan sapi menggunakan limbah kulit kopi memberikan
peningkatan sebesar 41,9% bila hanya memberikan hijauan saja (Parwati et al. 2009). Hasil penelitian Diwyanto dan Haryanto (2001) menunjukkan bahwa integrasi ternak dengan padi pola tanam IP 300 yang dilakukan di Yogyakarta dan di Sukamandi mampu 11
meningkatkan pengasilan petani hingga seratus persen apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Sekitar empat puluh persen hasil tersebut berasal dari nilai tambah pupuk organik yang diperoleh dari ternak sapi. Sementara hasil penelitian Zurriyati, (2008) menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan petani dapat dilakukan dengan sistem usahatani terpadu/terintegrasi antara tanaman dan ternak sapi potong. Pembuatan dari kotoran sapi merupakan salah satu peluang tambahan pendapatan petani dari kegiatan usahatani tersebut. Tambahan pendapatan petani kasus di Desa Masda Makmur kabupaten Rokan Hulu-Riau, dari hasil kompos pendapatan petani mampu meningkat antara 30 persen sampai dengan seratus persen. Model usahatani petani yang mengintegrasikan tanaman pangan dengan ternak sapi, kambing
dan
ayam,
di
Batumarta
(Sumatera
Selatan)
merupakan
model
integrasi
multikomoditas yang paling efisien dan berkelanjutan (Anwarhan dan Supriadi, 1994). Sukses pengembangan model usahatani tanaman ternak di Batumarta didukung oleh sistem modal bergulir yang merupakan faktor kunci keberhasilan adopsi teknologi dalam pengembangan integrasi tanaman ternak (Supriadi dan Anwarhan, 1994). Integrasi tanaman dan ternak dengan penggunaan varitas unggul yang diikuti dengan introduksi teknologi pada tanaman padi gogo dan kacang tanah, perbaikan pakan dan pemanfaatan sumber daya lokal dapat menekan biaya dan meningkatkan produksi yang akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan petani. (Subiharta, et al., 2006). 2.2.4.
Kendala Pengembangan Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak Pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak di Indonesia ditemukan di berbagai
agroekosistem dalam skala usaha yang beragam mulai dari petani yang berpemilikan lahan , 0.5 ha sampai pada perkebunan kelapa sawit yang luasnya ribuan hektar. Walaupun demikian belum semua sumber daya khususnya lahan, modal dan tenaga kerja dimanfaatkan secara optimal,
disamping
masih
adanya
kendala
teknologi,
informasi
dan
kelembagaan
(Prawiradiputra, 2009). Menurut Romli et al., (2012), di Jawa Timur masih banyak limbah tanaman tebu yang belum dimanfaatkan. Oleh karena itu disarankan agar limbah tebu yang dihasilkan dalam jumlah banyak pada waktu singkat tersebut perlu diolah lebih lanjut untuk dapat diawetkan dan ditingkatkan kualitasnya untuk dimanfaatkan pada saat kekurangan pakan (Purba, 2013). Kandungan bahan kering pucuk tebu lebih rendah dari bahan kering jerami padi, namun protein
12
kasarnya lebih tinggi dari jerami padi dan jagung. Pembuatan silase pucuk tebu dengan tambahan urea dan molases berpengaruh nyata terhadap kandungan N dan C/N. Kendala pemanfaatan bagas untuk pakan ternak adalah sifatnya yang kamba (bulky), sehingga memerlukan biaya transportasi dan penggudangan yang mahal. Pada saat penggudangan bagas mudah terserang jamur dan serangga karena kandungan gula yang tersisa (Purba, 2013). Proses pengolahan limbah perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrisi dan daya cerna pakan limbah tebu (Khuluq, 2012). Pengolahan
ampas
tebu
dengan
cara fermentasi menggunakan Phanerochaete chrysosporium (jamur pelapuk) 15 gram/Kg ampas tebu berpengaruh nyata (P> 0,05) meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organic pakan (Rayhan et al., 2013). Pada sistem pertanian terintegrasi tanaman-ternak pada agroekosistem sawah irigasi, tadah hujan maupun lahan kering, ternak sapi masih merupakan usaha sambilan bagi sebagian besar petani sehingga pemeliharaannyapun masih bersifat tradisional. Walaupun dalam kenyataannya dalam struktur pendapatan rumah tangga seperti petani di lahan kering usaha ini merupakan penyumbang terbesar terhadap pendapatan rumah tangga (Kariyasa dan Pasandaran, 2005). Jika demikian, walaupun kontribusi pendapatan dari ternak besar, belum tentu usaha dilakukan dengan efisien mampu meningkatkan pendapatan petani, serta meningkatan kuantitas dan kualitas daging sapi nasional. Di Kabupaten Lima Puluh Kota, usaha integrasi sapi-kakao, memanfaatkan daun hasil pemangkasan tanaman kakauodan kulit biji kakao untuk pakan sapi simental dan turunannya terkendala pada palatabiltas (daya suka) yang rendah (Suryanti, 2011). Selain itu, limbah kakao yang dihasilkan per luasan tertentu relatif sedikit dan kandungan gizinya lebih rendah dari rumput gajah. Pengolahan limbah kakao dapat meningkatkan nilai ekonomis limbah, namun membutuhkan decomposer dan jumlah limbah yang banyak sehingga pengolahannya menjadi efisien.
13
III.METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Kerangka pemikiran Integrasi tanaman ternak sebenarnya telah mengakar pada pola pertanian rakyat sejak lama dan menjadi bagian dari budaya bertani yang dilakukan petani. Dalam sistem usaha tani konvensional, ternak merupakan unsur penunjang yang diperlakukan sebagai tabungan. Distorsi terhadap sistem konvensional mulai terjadi seiring dengan meningkatnya populasi penduduk dan menyempitnya lahan pertanian, serta meningkatnya budaya bisnis. Banyak lahan persawahan dewasa ini dikategorikan sebagai lahan sakit yang antara lain dicirikan oleh hasil tanaman yang melandai dan tidak dapat lagi meningkat walaupun upaya intensifikasi dilakukan secara maksimal. Satu-satunya cara terbaik untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah dengan menggalakkan kembali penggunaan bahan-bahan organik termasuk pupuk kandang dan mengintensifkan integrasi ternak dalam sistem usaha tani. Ternak dapat memperbaiki kualitas dan meningkatkan produktivitas lahan melaui intensifikasi daur ulang unsur hara dan energi (Pasandaran et al., 2005). Integrasi antara tanaman pangan dan tanaman perkebunan dengan ternak sapi potong pada dasarnya merupakan perpaduan dua komoditas yang bisa dikembangkan secara bersamaan pada wilayah yang sama yang masing-masing keberadaannya saling memnutuhkan satu sama lain. Tanaman sebagai penghasil limbah pertanian dan limbah industri pertanian bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sementara ternak sapi potong merupakan hewan ternak penghasil pupuk organik potensial yang dapat dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman yang dapat memperbaiki kondisi lahan yang sakit. Dengan terpenuhinya salah satu sarana input terutama pakan untuk ternak dan pupuk organik untuk tanaman tebu, maka diharapkan keduanya akan menurunkan biaya produksi dan meningkatkan produksi. Dengan meningkatnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani dan mendukung program swasembada di Indonesia. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan Penelitian ini akan membahas aspek makro agregat nasional yang didukung dengan aspek mikro pada tingkat usahatani. Mengingat potensi limbah pertanian yang besar pada tanaman kelapa sawit, tebu dan padi maka cakupan kajian ini dibatasi pada usaha integrasi sapi-sawit, sapi-tebu, dan sapi-padi.
14
Keseimbangan lingkungan berazaskan
“Zero waste”
TANAMAN
Peningkatan pendapatan RT petani
Pendapatan Usahatani
LIMBAH Tanaman dan Agroindustri
PUPUK ORGANIK
PAKAN TERNAK
KOTORAN TERNAK
SAPI POTONG GAS BIO
Kerangka pikir : Pentingnya integrasi tanaman tebu-ternak sapi potong dalam upaya meningkatkan ketahanan ekonomi Nasional.
Swasembada dan Ekspor KETAHANAN EKONOMI NASIONAL
Peningkatan Pendapatan P t i
Swasembada Daging Sapi HASIL TERNAK
Sumber Energi RT
15
Aspek makro agregat nasional akan dibahas menggunakan data sekunder dan dukungan studi pustaka. Aspek mikro akan dibahas menggunakan data primer yang diperoleh dari lapangan. Untuk menambah informasi dan jika dana dan waktu tersedia akan dikaji kasus-kasus yang ada di luar tiga provinsi utama lokasi penelitian. 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden 3.3.1. Dasar Pertimbangan Lokasi kajian akan dilakukan di wilayah sentra pengembangan tanaman pangan, tanaman kelapa sawit dan tanaman tebu. Untuk dapat menjawab tujuan penelitian maka pada lokasi-lokasi sumber pakan yang berasal dari limbah tanaman tersebut diharapkan sudah ada responden yang melakukan usaha terintegrasi tanaman-ternak baik dalam satu usahatani atau satu kawasan. Diharapkan pada lokasi penelitian dapat diproleh usaha terintegrasi tanamanternak yang dilakukan oleh peternak atau kelompok ternak dan perusahaan. 3.3.2. Lokasi dan Responden Berdasarkan kriteria diatas maka lokasi penelitian akan dilakukan pada daerah sentra tebu yaitu Provinsi Jawa Timur, sentra produksi tanaman kelapa sawit yaitu Provinsi Riau, dan sentra produksi padi yang memiliki berbagai agroekosistem ( lahan irigasi, lahan tadah hujan, lahan rawa, dan lahan pasang surut) yaitu Provinsi Sumatera Selatan. Jika masih memungkinkan lokasi penelitian, khususnya untuk intergrasi sapi-sawit dapat ditambah lokasi Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Jambi. Untuk usaha integrasi sapitebu dapat ditambah lokasi D.I. Yogyakarta. Responden yang akan diwawancarai terdiri dari instansi terkait, peternak yang melakukan usaha terintegrasi dengan tanaman, dan perusahaan yang melakukan usaha terintegrasi antara usaha tanaman dan sapi serta usaha yang menghasilkan limbah pertanian yang berpotensi digunakan untuk pakan ternak. Rincian lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.1.
16
Tabel 3.1. Rencana Jenis dan Jumlah Responden yang Akan Digunakan pada Penelitian No
Provinsi Lokasi Penelitian
Responden Jakarta
Riau
Kalteng/
Jlh
Sumsel
Jatim
-
-
2
1
Ditjen PKH
2
-
Jambi/DIY -
2
Ditjen Perkebunan
1
-
-
-
-
1
3
Dinas Peternakan & Kesehatan Hewan Provinsi
-
1
3
1
1
6
4
Dinas Pertanian Provinsi
-
-
-
1
-
1
5
Dinas Perkebunan Provinsi
-
1
3
-
1
5
6
BPTP
-
1
3
1
1
6
7
Dinas Peternakan Kabupaten
-
2
3
2
2
9
8
PTPN Kelapa Sawit/Tebu
-
1
2
-
1
4
9
Perusahaan Swasta Sawit
-
1
1
-
-
2
10
Perusahaan Swasta Tebu
-
-
-
-
2
2
11
Peternak (terintegrasi)
-
20
15
20
20
75
12
Kelompok Peternak
3
2 29
3 33
2 27
2 30
9 122
*)
Jumlah *) Keterangan: akan dikirimkan daftar pertanyaan singkat pada seluruh BPTP terkait kajian integrasi tanaman ternak
3.4. Data dan Metode Analisis 3.4.1. Jenis data Untuk mendukung kelengkapan informasi dalam penelitian, maka ada beberapa data yang dibutuhkan baik data primer maupun data sekunder. Data sekunder dikumpulkan melalui berbagai dokumen dari instnasi terkait. Data primer dikumpulkan melalui wawancara kepada responden pengusaha peternakan dan pengusaha perkebunan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner. Informasi kebutuhan data selengkapnya ditampilkan dalam Tabel 3.2.
17
Tabel 3.2. Rencana Jenis Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Tujuan Penelitian dan Sumber Data No 1
2
3
4
Tujuan Penelitian Jenis Data Menganalisis perkiraan 1. Luas tanaman perkebunan potensi tambahan kapasitas sawit dan tebu menurut umur tampung ternak dengan tanaman. pengembangan integrasi 2. Luas panen tanaman padi. tanaman-ternak, 3. Potensi jumlah dan jenis limbah yang dapat dimanfaatkan Mengidentifikasi potensi 1. Luas tanaman perkebunan wilayah pengembangan baru sawit dan tebu menurut umur usaha sapi potong berbasis tanaman menurut provinsi sumberdaya pakan lokal, 2. Luas panen tanaman padi menurut provinsi. 3. Populasi sapi Menganalisis kelayakan 1. Data input produksi (jumlah usaha pada berbagai pola dan harga; dibeli dan Sistem Pertanian dihasilkan/milik sendiri) Terintegrasi Tanaman2. Data output (jumlah dan Ternak, harga: dijual dan digunakan sendiri) 1. Kendala teknologi Mengidentifikasi kendala 2. Kendala administrasi pengembangan berbagai 3. Kendala pengadaan pola Sistem Pertanian Terintegrasi TanamanTernak
Sumber Data 1.Data sekunder 2.Data sekunder 3.Studi literatur 1.Data sekunder 2. Data sekunder 1.Data primer 2.Data primer Informasi primer
3.4.2. Metode Analisis Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu: “Menganalisis perkiraan potensi tambahan kapasitas tampung ternak dengan pengembangan integrasi tanaman-ternak” diperlukan informasi berupa data luas tanaman perkebunan menurut umur tanaman dan luas panen tanaman padi. Berdasarkan data tersebut dan mengacu pada hasil penelitian sebelmnya maka diperkirakan jumlah bahan pakan yang tersedia dan dikonversikan menjadi kapasitas tampung ternak yang dapat diusahakan. Analisis data dan informasi dilakukan dengan pendekatan deskriptif dengan teknik tabulasi. Untuk menjawab tujuan kedua, yaitu: “Mengidentifikasi potensi wilayah pengembangan baru usaha sapi potong berbasis sumberdaya pakan lokal”, diperlukan informasi berupa data luas tanaman perkebunan menurut umur tanaman dan luas panen tanaman padi pada tiap 18
provinsi dan populasi ternak ruminansia di daerah tersebut. Berdasarkan data yang tersedia dapat diketahui kapasitas tampung dan jumlah ternak ruminansia yang ada serta potensi penambahan populasi ternak ruminansia. Analisis data dilakukan dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan teknik tabulasi. Untuk menjawab tujuan ketiga, yaitu: “Menganalisis kelayakan usaha pada berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak”, diperlukan analisis finansial usaha ternak sapi yang diintegrasikan dengan tanaman. Untuk menjawab tujuan keempat: “Mengidentifikasi kendala pengembangan berbagai pola Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak” diperlukan informasi dari pihak peternak, pengusaha, instansi terkait dan peneliti. Informasi yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif dengan teknik tabulasi dan grafik/gambar.
19
IV. ANALISIS RISIKO Suatu kajian sosial ekonomi melibatkan berbagai pihak sebagai responden. Responden yang digunakan dalam penelitian terdiri dari peternak dan perusahaan. Lokasi peternak yang terpencar, usaha integrasi yang masih terbatas merupakan kemungkinan risiko yang akan dihadapi peneliti dalam mendapatkan jumlah responden yang direncanakan. Untuk perusahaan yang
melakukan integrasi atau sebagai penghasil limbah industry pertanian untuk sumber
pakan selain belumbanyak yang melakukan ada juga risiko kesulitan untuk mendapat akses melakukan wawancara untuk mengumpulkan data. Tabel 4.1 dan tabel 4.2 berikut menyajikan kemungkinan risiko yang dihadapi dan penanganan risiko yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Tabel 4.1. Daftar Risko yang Mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Penelitian No
Risiko
Penyebab
Dampak
1
Sulit mendapatkan responden peternak terintegrasi.
Usaha terintegrasi masih terbatas.
Data dan informasi kurang.
2
Sulit mendapatka responden perusahaan perkebunan yang berpotensi melakukan usaha integrasi tanaman-ternak
Usaha integrasi masih terbatas, birokrasi perizinan sulit, dan tidak memberikan informasi pada pihak luar.
Informasi integrasi peternakan dan perkebunan tidak diperoleh
3
Administrasi keuangan
Revisi anggaran
Penelitian terlambat
Tabel 4.2. Daftar Penangan Risiko yang Mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Penelitian No
Risiko
Penyebab
Penanganan Risiko
1
Sulit mendapatkan responden peternak terintegrasi.
Usaha terintegrasi masih terbatas.
Mengurangi jumlah responden atau menambah lokasi .
2
Sulit mendapatka responden perusahaan perkebunan yang berpotensi melakukan usaha integrasi tanaman-ternak.
Usaha integrasi masih terbatas, birokrasi perizinan sulit, dan tidak memberikan informasi pada pihak luar.
Menambah lokasi penelitian.
3
Administrasi keuangan.
Revisi anggaran.
Skope kajian dipersempit.
20
V.TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANA
5.1. Susunan Tim Pelaksana Tim Peneliti yang melaksanakan penelitian ini terdiri dari enam orang berasal dari Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor. Rincian tenaga peneliti yang melaksanakan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1.
Susunan Tim Penelitian Kajian Pengembangan Sistem Pertanian Terintegrasi Tanaman-Ternak
No
Nama
Golongan
Jabatan Fungsional/Bidang Keahlian
Kedudukan dalam Tim
1
Dr. Nyak Ilham
IV/b
Peneliti Utama/Ekonomi Ketua Pertanian
2
Dr. Saptana
IV/e
Peneliti Utama/Ekonomi Anggota Pertanian
3
Drs. Bambang Winarso
IV/b
Peneliti Madya/Ekonomi Anggota Pertanian
4
Ir. Herman Supriadi, MS
IV/e
Peneliti Utama/Sistem Anggota Usaha Pertanian
5
Ir. Supadi
IV/b
Peneliti Madya/Ekonomi Anggota Pertanian
6
Yonas, H. Saputra, SP
III/a
Staf peneliti
Anggota
5.2. Jadwal Pelaksana Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan selama satu tahun kalender dari Januari sampai dengan Desember 2014. Rincian rencana kegiatan tiap bulan disajikan pada Tabel 5.2. Namun demikian, dalam pelaksanaan dapat terjadi perubahan-perubahan baik yang disebabkan administrasi keungan dan kondisi lapangan yang tidak mendukung.
21
Tabel 5.2. Rencana Jadwal Kegiatan Penelitian Selama Tahun 2014 Jenis kegiatan
1
2
3
4
5
Bulan 6 7
8
9
10
11
12
Pembuatan proposal operasional Seminar Proposal Perbaikan Proposal Studi Literature Penyusunan Kwesioner Survey Utama Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan kemajuan Penulisan draft laporan akhir Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan akhir Penggandaan laporan akhir
22
DAFTAR PUSTAKA Anwarhan, H., and H. Supriadi. 1994. Crop-animal interactions in rubber-based farming systems in upland transmigration areas. In: Sustainable animal production and the environment. Proceedings of the 7 th AAAP Animal Science Congress, held in Bali, Indonesia, July 11-16, 1994. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . 2005. Sistem Usahatani Integrasi Tanaman dan Ternak Berbasis Tanaman Pangan di Kabupaten Blora. Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi - P4MI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Diwyanto., Sitompul., Manti., Mathius dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-sapi. Pros. Lokakarya Nasional. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Bengkulu 9 – 10 Sept. 2003. Departemen Pertanian dengan PT Agricinal, Bogor. Diwyanto dan Haryanto. 2001. Importance of integration in sustainable farming system. In: Integration of Agricultural and Environmental Policies in an Environmental Age. Dalam Diwyanto, Prawiradiputra dan Darwinsyah Lubis. Integrasi Tanaman Ternak Dalam Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing Berkelanjutan dan Berkerakyatan WARTAZOA , 12 (1): 1-7. Direktorat Perbibitan. 2013. Kajian Kinerja Skim Kredit Usaha Pembibitan Sapi di Indonesia dan Upaya Perbaikannya. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Jakarta. Djajanegara, Ismail dan Kartaatmadja. 2005. Teknologi dan Manajemen Usaha Berbasis Ekositem., Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Kariyasa dan Pasandaran. 2005. Struktur Usaha dan Pendapatan Integrasi Tanaman-ternak Berbasis Agroekosistem. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Kana Hau D., J. Nulik dan A. Pohan.2005. Prospek pengembangan sistem integrasi tanamanternak di Nusa Tenggara Timur. Dalam:Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Timur Kementerian Pertanian. 2012. Statistik Pertanian 2000 – 2011. Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. Khuluq. A.D. 2012. Potensi Pemanfaatan Limbah Tebu sebagai Pakan Fermentasi Probiotik. Buletin Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri, 4 (1): 37-45. Kuswandi. 2007. Teknologi Pakan untuk Limbah Tebu (Fraksi Serat) sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa, 17 (2): 82-92.
23
Manwan. 1989. Farming sistems research in Indonesia: its evolution and future out look. In: Sukmana et al. (eds). Development in Procedures for farming System Research: Proceeding of an international Workshop. Agency for Agricultural Research and Development, Indonesia. Nurhidayati, I. Pujiwati, A. Solichah, Djuharu, dan A. Basit. 2008. Pertanian Organik: Suatu Kajian Sistem Pertanian Terpadu Berkelanjutan. Program Studi Agroteknologi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Islam Malang, Malang. Parwati, I.M. Rai Yasa dan S. Guntoro. 2009. Tingkat Pendapatan Petani Ternak Dengan Pemberian Limbah Kulit Kopi Pada Ternak Sapi. Prosiding Loka Karya : SISTEM INTEGRASI TANAMAN-TERNAK. Pengembangan Jejaring Penelitian dan Pengkajian; Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Pasandaran E., Djajanegara A., Kariyasa K., dan Kasryno F. 2005. Kerangka Konseptual Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta. Prawiradiputra, B. R. 2009. Masih Adakah Peluang Pengembangan Integrasi Tanaman dengan Ternak di Indonesia. Wartazoa, 19 (3). Purba, F.H.K. 2013. Potensi Ampas Tebu dalam Peluang Usaha dan Pemanfaatan Komersial. http://heropurba.blogspot.com/2013/03/potensi-ampas-tebu-dalam-peluangusaha.html. Diunduh 12 Februari 2014. Rayhan, M., W. Suryapratama, dan T.R. Sutardi. Romli, M., T. Basuki, J. Hartono, Sudjindro dan Nurindah. 2012. Sistem Pertanian Terpadu Tebu-Ternak Mendukung Swasembada Gula dan Daging. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, Jakarta. Soedjana. 2007. Sistem usaha tani terintegrasi tanaman-ternak sebagai respon petani terhadap factor resiko dalam Prawiradiputra., Masih Adakah Peluang Pengembangan Integrasi Tanaman Dengan Ternak Di Indonesia., WARTAZOA, 19 (3): 143-149 Subiharta, B. Hartoyo dan H. Anwar. 2006. Teknologi sistem usahatani integrasi tanaman dan ternak berbasis tanaman pangan di lahan kering. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah. Suparjo. 2008. Teknologi Pemanfaatan Limbah untuk Pakan. Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Jambi, Jambi. Suryanti, R. 2011. Penerapan Integrasi Usaha Tanaman Ternak serta Kebutuhan Penyuluhan Pertanian (Kasus Integrasi Usaha Kakao dan Sapi di Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota) Program Pasca Sarjana, Universitas Andalas, Padang.
24
Supriadi,H., and H. Anwarhan. 1994. Technology adoption of crop-animal farming systems: Problems and their alternative solution. In: Sustainable animal production and the environment. Proceedings Science Congress, held in Bali, Indonesia, July 11-16, 1994. Umar. S. 2009. Potensi Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Pusat Pengembangan Sapi Potong dalam Merevitalisasi dan Mengakselerasi Pembangunan Peternakan Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Reproduksi Ternak pada Fakultas Pertanian, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 12 Desember 2009, Medan. Yusdja, Y. dan E. Pasandaran. 2005. Keragaan Agribisnis Tanaman-ternak. Dalam: Efendi Pasandaran, A.M. Fagi dan Faisal Kasryno, hal. 185-201. Integrasi Tanaman-Ternak Di Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Zigrabu, C. 2013. Menilik Integrasi Sistem Pertanian Terpadu Tebu-Ternak untuk Mendukung Swasembada Gula dan Daging Tahun 2014 di Kediri, Jawa Timur. http://cielbiezig46.blogspot.com/2013/01/peranan-pabrik-gula-dalam-meningkatkan.html. Diunduh 12/2/2014 Zurriyati. 2008. Peningkatan Pendapatan Petani Desa Masda Makmur, Rambah Samo-Riau Dari Pembuatan Kompos Asal Kotoran Sapi Pada Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Prosiding. Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
25