ISSN : 2087-0795
38
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
1. Seni dan Desain Sang Primadona
PENDAHULUAN Laba-laba manusia, memiliki
Keberadaan seni rupa tidak
kebiasaan merajut, dan membiarkan
dapat lepas dari perjalanan sejarah
dirinya terajut di dalamnya, namun
seni rupa barat, khususnya sejak
anehnya terus saja ia merajut dan
masa Reneisans (Neo-klasik) abad
merajut sampai terajut di dalam rajut
XVIII, sampai masa kejayaan seni
-rajut yang ia buat sendiri, sehingga
modern abad XX, dan munculnya
sulitlah ia melepaskan dirinya. Demi-
seni modern kontemporer akhir abad
kian juga yang terjadi dalam perja-
XX. Keberadaan seni modern mam-
lanan seni. Seni sebenarnya hanya-
pu meyakinkan publik sebagai suatu
lah satu, yaitu “Art” dengan hurup
paradigma perkembangan seni rupa
besar kapital A, perbedaan di antara
modern yang mampu menjadi stan-
semua seni hanyalah perbedaan fi-
dardisasi perkembangan seni rupa
sik yakni perbedaan yang disebab-
secara universal.
kan pemakaian material (Susanne Langer).
Keberhasilan seni modern tersebut membawa perjalanan seni ru-
Seni dalam perjalanannya ke-
pa semakin mantap, sampai kemudi-
mudian dibagi dan dibagi dalam
an apa yang disebut sebagai tradisi
beberapa wilayah, sub wilayah, dan
“fine art”, yang meliputi trinitas seni
bagian-subbagian sampai pada ba-
lukis, patung dan arsitektur. Perkem-
gian yang spesifik, sehingga
tidak
bangan seni rupa, kemudian diukur
lagi mampu saling berhubungan dan
dari keberhasilan mereka dalam me-
pada akhirnya akan muncul dikoto-
kembangkan ketiga seni tersebut.
mi-dikotomi yang semakin rumit di
Ketika itulah muncul dikotomi dalam
antara semua seni tersebut.
seni rupa, perupa dalam tradisi “fine
Belakangan ini ketika Program
art” disebut artist, sedang para pe-
seni rupa pada perguruan tinggi seni
laku dalam katagori “craft” disebut
mulai diminati kembali oleh masya-
artisan atau perajin. Khususnya seni
rakat sebagai satu alternatif studi
lukis mendapatkan posisi superior,
perguruan tinggi maka “trikotomi” an-
karena keberhasilan para perupa ba-
tara seni, disain dan kriya semakin
rat dalam mendudukkan seni lukis
nyata dan tajam.
sebagai bagian dari “liberal art”.
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
39
ISSN : 2087-0795
Kegiatan yang mencerminkan bagian dari
intelegtualitas, sedang
“craftmanship” hanyalah “mechanical
kan justru munculnya kesadaran industri, akan pentingnya aspek perancangan (disain).
art” atau skill saja (Asmujo,2000).
Kesuksesan sekolah Bauhaus
Seni lukis dalam perjalanan
menjadi
pengantar
bagi
“boom”
selanjutnya, merupakan barometer
disain setelah perang dunia ke dua.
keberhasilan
seni
Maka terbentuklah paradigma disain
rupa, bahkan dalam wacana tradisi
sebagai bagian dari wilayah seni
pameran seni rupa, selalu dapat
rupa yang berafiliasi dengan industri.
dipastikan; bahwa pameran seni
Disain semakin dewasa dan kokoh,
rupa identik dengan pameran seni
hingga mampu meyakinkan masya-
lukis, sedang pameran pembangun-
rakat industri sebagai satu kebutuh-
an pedesaan identik untuk craft atau
an yang mendesak, bahkan mampu
kriya. Studi Seni lukis menempati
meyakinkan
posisi sebagai panglima dalam per-
satu
kembangan pendidikan tinggi seni
dunia kerja. Kemudian program studi
rupa saat itu. di Indonesia seputar
disain menempati posisi yang pen-
tahun 1970 s/d menjelang akhir
ting dalam perjalanan dan perkem-
tahun 1990-an,
perguruan tinggi
bangan pendidikan seni rupa. Bah-
seperti ISI Yogyakarta dan ITB
kan mampu menggeser posisi seni
Bandung, jurusan seni murni teruta-
murni dengan menempati posisi se-
ma progran studi seni lukis sangat
bagai panglima dalam perkembang-
diminati, bahkan sebagai program
an pendidikan tinggi seni rupa saat
primadona.
ini. Progran studi Disain sangat
perkembangan
Setelah munculnya revolusi Industri, kondisi Seni Kriya (craftman-
publik sebagai salah
alternatif
yang
menjanjikan
diminati, bahkan sebagai program primadona.
ship) semakin terpuruk. Keberadaan
Seputar tahun 1980-an
produksi manual mulai digantikan
gram studi disain pada perguruan
oleh produksi mesin industri. Produk
tinggi seni rupa, merupakan alter-
hasil tangan-tangan trampil kriyawan
natif yang paling menjanjikan hingga
tersingkir. Usaha untuk mengangkat
akhir tahun 1998. Terbukti di Ban-
kembali dan keinginan untuk me-
dung ada 6 perguruan tinggi dan 3
interaksikan antara seni dan skill (art
lembaga pendidikan menyelengga-
and craft) sia-sia. Apa yang dihasil-
rakan program studi disain, dan cu-
40
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
pro-
ISSN : 2087-0795
kup diminati oleh publik. Perkem-
“grass root”. Bahkan dengan lum-
bangan lebih lanjut, trikotomi seni,
puhnya padat modal, justru menyulut
disain dan kriya, semakin tampak
lahirnya usahawan untuk bergerak
dan nyata. Kriya menempati posisi
dalam industri berbasis kriya seperti
dibawah, bahkan direndahkan atau
di Jepara, Cirebon, Surakarta (Imam
diinferiorkan oleh fine art ataupun
Bukori,1999).
desain.
Berdasarkan observasi di dae-
Perjalanan kriya Indonesia se-
rah Klaten dan Serenan Surakarta,
belum krisis ekonomi (1998), hampir
Industri
semua industri kecil yang berbasis
bambu), mengalami lonjakan yang
kekriyaan dianggap marginal terha-
menonjol dan hampir 20 s/d 30
dap industri besar, bahkan seringkali
kontiner masuk pelabuhan Sema-
dimasukkan ke dalam sektor non-
rang dan Surabaya. Diikuti tekstil
formal dan dianggap jalan keluar
jadi (garment) Surakarta,
untuk menanggulangi penganggur-
kriya logam dan perhiasan di daerah
an. Akibatnya istilah kriya, dipakai
Cepogo
untuk menyebut semua usaha dan
Yogyakarta (Sony kartika, 1999).
perusahaan
masyarakat
Jadi jangan heran kalau awal tahun
pedesaan misalnya; kriya tahu, kriya
2000 pelabuhan Tanjung Priok Ja-
tempe, kriya singkong dan sebagai-
karta sepi peti kemas.
kecil
di
kriya
mebel
Boyolali
(kayu
dan
dan
industri Kotagede
nya. Sehingga kriya tidak saja seca-
Sudah kami singgung di atas,
ra posisioning terdepak ke bawah,
konsepsi seni lukis sebagai barome-
namun juga istilah kriya sendiri
ter perjalanan tradisi modern, dan
semakin tampak marginal (kam-
desain sebagai panglima yang mun-
pungan).
cul sebagai alternatif sesudah revo-
Namun Ketika
krisis
apa
kenyataannya?
ekonomi
Indonesia
lusi industri, secara essensi keduanya berkiblat pada basik konsepsi
1998, kriya yang terdepak kebawah,
universal. Pada akhirnya
kriya yang terlempar ke lorong mar-
dikotomi antara seni dan disain
ginal, kenyataannya justru berperan
belakangan ini. Para disainer mulai
penting untuk menciptakan lapangan
mengingkari bagian dari wilayah seni
kerja dan bahkan memberikan andil
rupa, mereka menolak karena seni
yang cukup signifikan dalam meng-
sudah
gerakan roda ekonomi pada lapisan
teknologi, bahkan cenderung sema-
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
tidak
lagi
muncul
mengindahkan
41
ISSN : 2087-0795
kin absurd dan individuailstik. Ma-
Trikotomi antara seni, disain,
syarakat cenderung menyekolahkan
dan kriya, akan semakin tajam dan
anaknya ke desain yang di anggap
saling menantang.
lebih menjanjikan lapangan kerja sebagai disainer bukan seniman.
Hasil rumusan seminar nasional 21 Oktober 2000 di Sekolah
Kenyataan itu memang benar,
Tinggi Seni Surakarta, melahirkan
bahwa dua tahun terakhir (th 2000-
konsepsi gagasan kriya sebagai
an), perguruan tinggi seni rupa
kriya
program studi seni murni mulai sepi
Konsepsi itu akan melahirkan kriya
dan kurang diminati. Yang paling
basic seni, desain dan basic tekno-
ironis, bahwa anggapan sebagian
logie, dengan tanpa meninggalkan
masyarakat bahwa untuk jadi seni-
“seni kriya tradisi Nusantara” seba-
man tidaklah harus masuk perguru-
gai referensi dalam pengembangan
an tinggi. Maka munculah seniman-
kreatifitas. Pada gilirannya Seniman
seniman otodidak yang lebih berani
dan Disainer yang selalu meng-
ketimbang seniman akademik sen-
anggap kriya sebagai tukang yang
diri.
siap melayani tuannya, perlu berfikir
seni
dan
kriya
terapan.
dua tiga kali. karena suatu saat ia 2. Kriya Sang Penyelamat
akan meninggalkan tuannya.
Apabila konsepsi seni dan de-
Terus terang saja, apa peng-
sain berangkat dari basic tradisi ba-
hargaan kita terhadap mereka seba-
rat, maka kriya berangkat dari basic
gai artisan atau perajin, yang selama
tradisi etnis. Paradigma kekriyaan
ini
mulai terangkat kepermukaan dan
rancang. Kita perlakukan mereka
mulai dipertimbangkan keberadaan-
hanya sebagai pelengkap, bukan
nya. Bahkan muncul pergeseran
sebagai bagian yang tak terpisahkan
konsepsi kekriyaan dari ketrampilan
antara desainer dengan pendukung-
(craftmanship) menjadi kemampuan
nya, namun hanya sekedar buruh
membuat gubahan atas material,
atau tenaga lepas yang tak mengerti
artinya; kriya tidak dapat dilepaskan
akan arti seni dan keindahan.
mengerjakan desain yang kita
dari basic teknologie bersifat eksterPEMBAHASAN
nal dan menekankan pada kemampuan mengutarakan gagasan lewat desain bersifat internal. 42
Ada satu pekerjaan yang harus disiapkan dalam dekade ini, yaitu
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
menghadapi era globalisasi (pasar
saling
global). Menghadapi pasar global
pengkayaan wawasan, sebagai satu
dalam bidang seni rupa, kita tidak
tumpuan untuk menyongsong era
mampu hanya mengandalkan kon-
globalisasi.
sinergi
untuk
menambah
sepsi universal yang berbasis tradisi
Seni Kriya yang sementara di-
barat, tetapi justru harus mampu
inferiorkan oleh seni dan desain, jus-
menyodorkan
alternatif
tru lebih siap dan mampu menjawab
yang bertolak dari konsepsi tradisi
konsepsi tersebut, karena kriya be-
etnis dengan sentuan modern (atau
rangkat dari tradisi dengan sentuhan
sebaliknya). Mengapa tidak, karena
modern. Itulah mengapa Iwan Tirta
dengan kekuatan tersebut barulah
mampu berbicara pada pasar glo-
mampu bersaing dalam pasar glo-
bal?, karena Iwan Tirta mencoba
bal.
memadukan
berbagai
Menghadapi
era
rancang
busananya
globalisasi
dalam konsepsi modern dalam sen-
dewasa ini kita kita dihadapkan da-
tuhan tradisi etnis nusantara. Kain
lam dua persoalan pokok dalam
ikat dari Surakarta (lihat prodok kain
persoalan budaya; satu sisi kita
di daerah kedung Lumbu dan Pasar
dituntut untuk maju (progress), satu
Kliwon), yang disodorkan sebagai
sisi kita dituntut untuk melestarikan
bentuk sarung pantai memenuhi pa-
warisan budaya yang telah mapan
saran Yogyakarta dan Bali, kemu-
(konservatif). Tidak dapat dipungkiri
dian masuk pasaran dunia lewat
bahwa wawasan kita tentang seni
Jepang, Eropa dan Kanada.
rupa adalah wawasan seni rupa
Demikian juga produk garment
modern barat, karena sistem pen-
dari Badung, Pekalongan Yogya-
didikan tinggi dengan segala perang-
karta
katnya mengacu pada pendidikan
alternatif eksport untuk Belanda,
seni rupa barat. Wawasan konsepsi
Amerika dan Jepang. Disusul produk
tersebut bukan berarti harus tolak,
mebeler Jepara, Serenan Klaten
namun
Jawa Tengah masuk
justru
merupakan
satu
dan
Surakarta
merupakan
ke pasaran
perangkat yang harus kita pelajari
Kanada, Swiss, Belanda dan negara
sebagai
Eropa lainnya. Semuanya adalah
satu
dasar
pengkayaan
untuk mengkaji budaya kita sendiri.
produk
Artinya
konsepsi
menopang devisa dalam perekono-
tersebut harus saling menopang dan
mian rakyat, dalam krisis moneter
bahwa
kedua
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
kekriyaan
yang
mampu
43
ISSN : 2087-0795
dewasa ini, merupakan konsekuensi
rapkan pelestarian tradisi seni se-
yang harus dihadapi.
mata-mata tanpa upaya pengem-
Wawasan terhadap paradigma
bangan untuk mencapai tradisi baru.
desain harus kita tingkatkan, tidak
Kesenjangan itulah yang terjadi pad-
hanya bagaimana mempelajari seni
a saat lesunya kebudayaan pada
rupa dan disain modern (barat).
masa pemerintahan kolonial Hindia-
Tetapi bagaimana menguasai kon-
Belanda,
sepsi modern sebagai sarana mem-
kerajaan Indonesia-Islam mulai me-
pelajari tradisi masa lalu sebagai
mudar. Di saat itulah kesadaran tra-
wacana untuk menyambut abad ba-
disi bangsa yang terjajah terdesak
ru (global). Sehingga disainer dan
yang berakibat kurangnya daya cipta
atau Seniman Indonesia tidak hanya
untuk menemukan bentuk ekspresi
jadi tukang di negeri sendiri
saja,
baru yang mencerminkan kekuatan
tetapi harus mampu menemukan jati
tradisi seni masa lampau. Makin
diri bangsa dan tampil sebagai
menipisnya kesadaran tradisi beraki-
disainer yang mampu menampilkan
bat pula surutnya daya apresiasi
disain
seni karya cipta bangsa sendiri.
Indonesia
citra
Indonesia
ketika
pamor
budaya
yang berwawasan modern. Artinya
Revitalisasi budaya bersejarah
Menghadapi global bukan berarti
dapat menjadi langkah nyata dari
mempelajari
dari
usaha sebuah kelompok masyarakat
pendidikan disain modern (barat)
membangun kembali sejarah le-
saja, kalau tidak mau dikatakan
luhurnya serta menatap masa depan
sebagai
modern
dengan penuh keyakinan tentang
kecil atau barat-barat kecil. Meng-
kekuatan diri di tengah peradaban
hadapi global harus mampu me-
yang kian mengglobal. Dengan de-
nemukan jati-dirnya sendiri sebagai
mikian revitalisasi budaya bersejarah
manusia Indonesia.
bermakna
teori
unversal
disainer-disainer
Kesinambungan
usaha
mem-
seni
bangun citra diri sebagai sebuah
memang pernah terputus sehingga
bangsa yang berkarakter dan ber-
perintisan untuk mencapai bentuk
identitas.
kesenian baru terhalang bahkan
seni tangible/ intangible merupakan
terhenti sama sekali. Akibat dari
salah satu warisan sejarah adalah
kesenjangan proses perkembangan
langkah awal pencitraan kawasan
kesenian Indonesia hanya mengha-
budaya. Revitalisasi tersebut tidak
44
tradisi
sebagai
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
Revitalisasi
karya-karya
ISSN : 2087-0795
ada gunanya tanpa rekayasa kul-
vasi bangunan sejarah dan cagar
tural;
budaya, untuk mewujudkan culture
aktivitas
seni
budaya
di
dalamnya serta aktivitas penunjang
heritage
berupa informasi media; mass me-
Usaha mendapatkan suatu bentuk
dia, jurnal, rekayasa jalur wisata.
visual karya-karya seni tangible/
Penggarapan revitalisasi secara non-fisik akan mampu meng-
dari
kebudayaan
lokal.
intangible yang mengacu pada konsep falsafah Jawa/ nusantara.
hidupkan kembali energi masa lalu.
Koentjaraningrat
(1980:193-
Semangat cablaka (transparency),
195), disebutkan bahwa Kebudaya-
terbuka (exposure), sederhana, apa
an merupakan keseluruhan sistem
adanya dan egaliter, merupakan ba-
gagasan, tindakan dan hasil karya
gian terpenting kebudayaan lokal
manusia dalam kehidupan masya-
yang saat sekarang perlu digali,
rakat.
ditumbuh kembangkan serta disiner-
menurut ahli anthropologi sedikitnya
gikan dengan semangat modern.
ada tiga wujud, yaitu (1) Ideas, (2)
Hadirnya kembali energi masa lalu
activities dan (3) artifacts. Ketiga
akan mampu mewujudkan kembali
wujud kebudayaan tersebut oleh
identitas lokal di tengah alam rangka
Koentjaraningrat dinyatakan sebagai
mewujudkan gagasan tersebut di-
sistem-sistem yang erat kaitannya
perlukan sebuah studi tentang pe-
satu sama lainnya, dan dalam hal ini
rencanaan revitalisasi karya-karya
sistem yang paling abstrak (ideas)
seni tangible/ intangible. Studi ini
seakan-akan berada di atas untuk
diderasnya arus globalisasi dan mul-
mengatur
tikulturisme. Dilaksanakan sebagai
yang lebih kongkrit, sedangkan ak-
bentuk usaha mengumpulkan fakta
tivitas dalam sistem sosial meng-
dan data di lapangan sebagai data
hasilkan
guna terwujudnya sebuah perenca-
(artifact). Sebaliknya sistem yang
naan revitalisasi karya-karya seni
berada di bawah dan yang bersifat
tangible/ intangible yang terprogram,
kongkrit memberi energi kepada
efektif, efisien dan akuntabel, tetap
yang di atas (lihat: Ayat Rohaedi
mengedepankan substansi makna.
1986:83). Pendapat tersebut mem-
Fenomena tersebut akan mengarah
berikan gambaran bahwa kebudaya-
pada tujuan antara lain: Usaha pre-
an Jawa/ nusantara merupakan in-
servasi, konservasi sekaligus ekska-
teraksi timbal-balik di antara sistem-
Wujud dan isi kebudayaan,
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
aktivitas
sistem
kebudayaan
sosial
materialnya
45
ISSN : 2087-0795
sistem dalam wujud kebudayaan
proses kelahiran, hidup dan men-
tersebut,
antara
dapatkan kehidupan, yang semua-
idea, aktivitas dan artefak, dari
nya terjadi oleh adanya sebab dan
karya yang dihasilkan oleh masyara-
akibat. Suatu proses perubahan dari
kat (dalam hal ini adalah masyarakat
sebuah perilaku budaya, maka pada
Jawa). Semua bentuk seni beserta
fase tertentu masih mengacu pada
ekspresi estetik yang hadir dan
budaya
berkembang dalam setiap kebuda-
Apabila konsep tersebut dikaitkan
yaan, cenderung berbeda dalam co-
dengan
rak dan ungkapan, dan mempunyai
ekspresi budaya Jawa, maka bentuk
ciri khas masing-masing yang unik.
tersebut
Perbedaan corak dan ungkapan
perubahan (pelestarian dan perkem-
tidak hanya menyangkut dengan
bangan) budaya, yang secara tradisi
pemenuhan kebutuhan estetik saja,
mengacu pada budaya induk. Orang
tetapi juga terkait secara integral
Jawa sangat menghormati masalah
dengan pemenuhan kubutuhan pri-
tersebut, sehingga segala perilaku
mer dan sekunder.
kehidupan selalu dikaitkan dengan
yaitu
hubungan
sumber pohon
atau
induknya.
hayat
sebagai
merupakan hasil
proses
Berkaitan dengan sistem ke-
budaya induknya (dalam hal ini
budayaan Cliford Geertz (1981),
adalah warisan budaya). Ekspresi
menyoroti
sebagai
kebudayaan Jawa punya karakter-
suatu sistem sosial budaya yang
istik yang direpresentasikan dengan
alkulturatif
simbol.
kebudayaan dengan
agama
sinkretik dan terdiri dari
yang
tiga sub-
Pandangan mayarakat Jawa
kebudayaan Jawa, yang masing-
tidak dapat dipisahkan terhadap per-
masing
kembangan dan sistem budayanya.
merupakan struktur sosial
yang
berlainan.
Jawa
selaras
“Proses
budaya
Pendapat Niels Mulder (1984) ber-
dinamika
kaitan dengan perkembangan dan
masyarakat yang mengacu pada
sistem budaya masyarakat, memberi
konsep
yaitu
pernyataan bahwa kebudayaan ber-
“sangkan paraning dumadi” (lihat:
kembang bersifat berkelanjutan dan
Geertz 1981:X-XII).
ajeg (continue) dalam bahasa Jawa
dengan
budaya
induk,
Kelahiran dan
atau keberadaan karena adanya
dikenal
sebab akibat yaitu hubungan antara
waton kelakon. Sistem perubahan
manusia dengan Tuhannya melalui
tersebut sesuai pandangan hidup
46
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
dengan
istilah
alon-alon
ISSN : 2087-0795
orang Jawa yang menekankan ke-
kaidah-kaidah adat, yang mengatur
tentraman batin, yaitu pandangan
keselarasan dalam masyarakat, per-
yang menekankan pada ketentram-
aturan beribadat
an batin, keselarasan dan keseim-
hubungan formal dengan Tuhan dan
bangan,
dibarengi dengan sikap
kaidah-kaidah moril yang menekan-
narima terhadap segala peristiwa
kan sikap narima (menerima sesuai
yang terjadi, sambil menempatkan
dengan aturan yang berlaku), sabar,
individu di bawah masyarakat dan
waspada-eling (mawas diri), andap
masyarakat di bawah alam semesta
asor (rendah hati) dan prasaja (sa-
(hubungan kosmos). Barang siapa
haja) dan yang mengatur dorongan-
hidup selaras dengan dirinya sendiri,
dorongan dan emosi-emosi pribadi
akan selaras dengan masyarakat-
(Niels Mulder 1984:13).
nya,
maka
hidup
juga
Pendapat Mulder memberikan
dengan Tuhannya dan mampu men-
konotasi tentang pandangan hidup
jalankan hidup yang benar (Niels
masyarakat untuk mengatur dirinya
Mulder 1984:13).
dalam satu ikatan nilai kultural,
Pendapat
selaras
yang mengatur
memberi
antara dirinya dengan masyarakat
gambaran tentang pandangan ma-
(antar manusia), keselarasan hu-
syarakat; yang mengacu pada ke-
bungan dengan masyarakat (ter-
selarasan hubungan yang tak ter-
masuk alam sekitar), mengatur un-
pisahkan antara dirinya, lingkungan
tuk beribadah dan taat dengan
(masyarakat), lingkungan alam se-
Tuhannya (sikap manembah). Ke-
mesta,
dengan
selarasan hubungan tersebut dalam
Tuhannya. Selanjutnya Niels Mulder
falsafah Jawa disebut sebagai hu-
menyatakan
masyarakat
bungan hubungan vertikal-horisontal
Jawa mempunyai paugeran (aturan
antara jagad besar dan jagad kecil.
adat), yang mengacu pada ajaran
Falsafah Jawa menggambarkan hu-
budaya yang tertulis dan tak tertulis.
bungan sistem kehidupan dengan
Kehidupan di dunia, kehidupan da-
dua macam jagad, yaitu jagad besar
lam masyarakat, sudah dipetakan
(makrokosmos) dan jagad kecil (mi-
dan tertulis dalam macam-macam
krokosmos).
dan
tersebut
hubungan bahwa
peraturan, seperti kaidah-kaidah a-
Makrokosmos
adalah
jagad
dat etika Jawa (tata krama), yang
besar yang mencakup semua ling-
mengatur kelakuan antar manusia,
kungan tempat seseorang hidup, se-
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
47
ISSN : 2087-0795
dangkan mikrokosmos (jagad cilik)
Untuk menjawab ketiga per-
adalah diri dan batin manusia itu
tanyaan tersebut diperlukan strategi
sendiri. Secara vertikal mengatur
pencitraan;
hubungan antara batin kita (mikro-
strategi media dan strategi kreatif
yaitu
strategi
visual,
kosmos) dengan Tuhannya dan se-
Strategi visual mesti dilakukan
cara horisontal mengatur hubungan
oleh para ahli-ahli visual (kurator),
antara batin kita (mikokosmos) dan
yang mampu menvisualisasikan kar-
lingkungan alam semesta (makro-
ya-karya terpilih dan sudah melalui
kosmos).
pemetakan sebagai aset (modal)
Beberapa pendapat tersebut
untuk
dicitrakan
lewat
bentuk
apabila kita simak, bahwa rekayasa
pencitraan visual; misi, perwakilan,
budaya adalah merupakan salah sa-
utusan, festival dalam rangka. Pen-
tu sarana pencitraan budaya. Tugas
citraan visual tidak membutuhkan
kita adalah:
rekayasa berdasarkan target audiensi yang sebanyak-banyaknya. Maka
1) Bagaimana menangkap potensi
strategi visual mesti bekerja sama
budaya yang merupakan bagian
dengan ahli media untuk mencitra-
yang integral antara seni dan
kan seni budaya lewat apa yang kita
masyarakatnya.
sebut strategi media.
2) Bagaimana mewadahi potensi
Strategi Media mesti dilakukan
tersebut sebagai satu daya un-
oleh beberapa ahli media, yang
tuk mendorong aktivitas budaya,
mampu merayasa seni budaya lewat
yang pada gilirannya mampu
media yang cocok sebagai salah ca-
memberikan citra budaya ter-
ra untuk membangun “brand image”
hadap masyarakatnya.
terhadap publik, dan selanjutnya
3) Bagaimana aktivitas budaya ter-
akan tercipta sebuah ruang publik.
sebut mampu menjadi modal/
Pemilihaan media pencitraan akan
aset untuk membangun “brand
sangat penting, sehingga diperlukan
image” terhadap publik, dan se-
pemilihan media yang tepat. Visual-
lanjutnya akan tercipta sebuah
isasi dan pemilihan media belumlah
ruang
mampu
cukup apabila tidak sinergi dengan
menjawab terhadap pencitraan
tim kreatif sebagai daya dukung
seni budaya.
yang penting dalam pencitraan.
48
publik
yang
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
Strategi kreatif mesti dilakukan oleh tim kreatif dari berbagai disiplin ilmu, terutama yang faham terhadap
kan andil dalam pembangngunan manusia seutuhnya. Seyogyanya
visi
pendidikan
menejemen pencitraan. Keputusan
tinggi seni di Indonesia: harus mam-
media dengan visualisasi tertentu
pu menciptakan, memelihara, dan
secara strategis dikerjakan oleh tim
mengembangkan seni; mampu me-
kreatif; apakah akan dipublikasikan
perkaya nilai-nilai kemanusiaan dan
lewat, publikasi mass-media eletro-
lingkungan hidup dalam dimensi
nik/ cetak, atau apakah akan dibuat
kultural dan spiritual; serta peka dan
rekaman CD interaktif, atau akan
tanggap terhadap fenomena per-
ditayangkan lewat kampanye ilmiah
ubahan. Sehingga misi pendidikan
atau bentuk-bentuk lain sehingga
tinggi seni di Indonesia adalah:
tercipta ruang pablik yang mampu menjawab pencitraan seni budaya.
1) Menggali, mengkaji dan mengolah potensi pluralitas budaya lokal sebagai modal agar mam-
Pendidikan Tinggi “Masa Depan” Pendidikan Tinggi “masa de-
pu bersaing dalam percaturan global,
pan” adalah merupakan pendidikan
2) Membangun sikap kritis, reflek-
yang bertujuan untuk mengembang-
tif, dan terbuka terhadap be-
kan ilmu. Dalam bidang seni berarti
ragam pergeseran paradikmatif
mempelajari dengan cara menggali
keilmuan, teknologi, dan kepro-
dari
ke-
fesian dalam bidang seni, serta
mudian mencoba mengangkat nilai
peduli terhadap permasalahan
esensinya untuk kemudian menemu-
dalam masyarakat dan lingkung-
kan nilai baru sebagai satu dinamika
an hidup.
kehidupan
masyarakat,
kehidupan masyarakat.
3) Meningkatkan pengalaman ber-
Pendidikan seni rupa yang
kesenian melalui kreasi dan
perlu dipersiapkan, terutama untuk
apresiasi karya seni yang ber-
memberi bekal kemampuan yang
mutu
mampu menopang dinamika masyarakat dalam menghadapi pasar glo-
Perguruan tinggi seni dan pu-
bal kini dan yang akan mendatang.
sat kesenian, berkewajiban meles-
Jawabnya adalah pendidikan seni
tarikan nilai seni yang diwariskan
rupa “masa depan” yang memberi-
dari para pencipta pendahulunya.
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
49
ISSN : 2087-0795
Salah satu bentuk kesenian yang
dern. Artinya untuk menghadapi glo-
sarat dengan nilai-nilai budaya yang
bal bukan berarti mempelajari tetapi
masih perlu dikembangkan secara
menguasai teori unversal dari pen-
pelestarian secara revitalisasi mau-
didikan seni/disain modern (barat)
pun reinterpretasi dalam seni per-
saja, kalau tidak mau dikatakan
tunjukan maupun dari seni rupa
sebagai
perlu dipetakan. Kesenian tradisi
modern kecil atau barat-barat kecil.
diminati kembali sebagai salah satu
Menghadapi global harus mampu
alternatif sebagai sumber inspirasi
menemukan jati-dirnya sendiri seba-
penciptaan dan rekayasa budaya
gai manusia Indonesia. Paradigma
dan dimanfaatkan sebagai propa-
seni modern dengan sentuan tradisi
ganda sosial.
merupakan
Hal ini dapat di-
seniman
atau
fenomena
diasainer
pencarian
katakan sebagai bukti adanya pro-
identitas
ses kontinuitas dalam upaya peles-
Indonesia.Tidak
tarian tradisi, dan merupakan salah
bahwa wawasan kita tentang seni
satu cermin adanya transformasi
adalah
budaya, dalam proses mencari for-
(barat), karena sistem pendidikan
mat budaya Indonesia.
tinggi dengan segala perangkatnya
budaya
Indonesia dapat
wawasan
akar
dipungkiri
seni
modern
Wawasan terhadap paradigma
mengacu pada pendidikan seni rupa
seni harus kita tingkatkan, tidak
barat. Wawasan konsepsi tersebut
hanya bagaimana mempelajari seni
bukan berarti harus tolak, namun
rupa modern (barat). Tetapi bagai-
justru merupakan satu perangkat
mana menguasai konsepsi modern
yang harus kita pelajari sebagai satu
sebagai sarana mempelajari tradisi
dasar pengkayaan untuk mengkaji
masa lalu sebagai wacana untuk
budaya kita sendiri. Artinya bahwa
menyambut
kedua
abad
baru
(global).
konsepsi
tersebut
harus
Sehingga desainer dan atau Se-
saling menopang dan saling sinergi
niman Indonesia tidak hanya jadi
untuk menambah pengkayaan wa-
tukang di negeri sendiri saja, tetapi
wasan, sebagai satu tumpuan untuk
harus mampu menemukan jati diri
menyongsong era globalisasi. Untuk
bangsa dan tampil sebagai seniman
menyongsong era global, maka tak
dan atau disainer yang mampu
dapat ditawar adalah bagaiman me-
menampilkan citra Indonesia akar
kuasai modern dengan sentuhan
Indonesia
tradisi.
50
yang berwawasan mo-
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
Paradigma
seni
modern
ISSN : 2087-0795
dengan sentuan tradisi merupakan
gaimana menguasai modern dengan
fenomena untuk mencari
sentuhan tradisi). Ini sesuai dengan
identitas
budaya Indonesia akar Indonesia
paradikma baru pendidikan tinggi
Wawasan terhadap paradigma
seni di Indonesia yakni:
seni modern harus kita tingkatkan,
mengkaji
dan
artinya
pluralitas
budaya
seni
modern
(yang
kini
Menggali,
mengolah lokal
potensi sebagai
sebagai alternatif mata kuliah), mes-
modal agar mampu bersaing dalam
tinya tidak sekedar dipelajari, tetapi
percaturan
bagaimana
menghadap global maka harus studi
menguasai konsepsi
modern sebagai sarana untuk mem-
global.
Artinya
untuk
lokal, semakin global semakin lokal.
pelajari tradisi masa lalu. Hasilnya
Berhadapan dengan masya-
akan mampu memberikan fenomena
rakat
baru yang mampu membingkai dina-
dengan potensi etnis yang sudah
mika kehidupan seni modern untuk
berakar secara mapan sebagai seni
menjawab persoalan dalam mencari
tradisi yang sudah lama diyakini.
indentitas budaya Indonesia. Se-
Maka tidak dapat diingkari bahwa
hingga disainer dan atau Seniman
pendidikan yang bertolak dari seni
Indonesia tidak hanya jadi tukang di
etnis akan muncul nilai-nilai baru
negeri sendiri
tetapi harus
yang bernuansa tradisi dengan sen-
mampu menemukan jati diri bangsa
tuhan modern. Maka program studi
dan tampil sebagai seniman dan
seni rupa dengan dasar seni, desain
atau desainer yang mampu menam-
dan teknologi
pilkan citra Indonesia akar Indonesia
ninggalkan akar budayanya akan
yang berwawasan modern. Artinya
memberi jawaban alternatif di atas.
untuk menghadapi global bukan ber-
Program studi kriya mampu mem-
arti mempelajari tetapi menguasai
beri jawaban, karena ia berangkat
teori unversal dari pendidikan seni/
dari tradisi etnis dalam wacana pen-
disain modern (barat) saja, kalau ti-
didikan modern.
saja,
maka
akan
berhadapan
dengan tanpa me-
dak mau dikatakan sebagai seniman SIMPULAN
atau desainer modern-modern kecil atau barat-barat kecil.
Paradigma seni modern barat
Menghadapi global praktisi ha-
dengan sentuhan tradisi merupakan
rus mampu menemukan jati-dirinya
fenomena pencarian identitas buda-
sendiri sebagai orang Indonesia (ba-
ya Indonesia akar Indonesia.Tidak
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
51
ISSN : 2087-0795
dapat dipungkiri bahwa wawasan
untuk menyusun dan menciptakan
kita tentang seni adalah wawasan
produk kreatif yang mampu menja-
seni modern (barat), karena sistem
dikan produk unggulan sebagai per-
pendidikan tinggi dengan segala
sonal indentity, (3) harus mendorong
perangkatnya mengacu pada pendi-
aktivitas budaya yang berkembang
dikan seni rupa barat. Wawasan
di masyarakat, yang pada gilirannya
konsepsi
berarti
akan mampu memberikan citra bu-
harus tolak, namun justru merupa-
daya terhadap masyarakatnya, dan
kan satu perangkat yang harus kita
(4) berkewajiban untuk memetakan
pelajari sebagai satu dasar peng-
aktivitas budaya tersebut di atas
kayaan untuk mengkaji budaya kita
sebagai
sendiri
bangun “brand image” terhadap pu-
tersebut
bukan
modal/ aset untuk mem-
Menghadapi era global harus
blik, dan selanjutnya akan tercipta
mampu menemukan jati-dirnya sen-
sebuah ruang publik yang mampu
diri sebagai orang Indonesia (bagai-
menjawab terhadap pencitraan seni
mana menguasai modern dengan
budaya.
sentuhan tradisi). Ini sesuai dengan paradigma baru pendidikan tinggi seni di Indonesia yakni: menggali, mengkaji
dan
mengolah
*Penulis adalah Guru Besar dan Staff pengajar di Program Studi Seni Rupa Murni ISI Surakarta
potensi
pluralitas budaya lokal sebagai modal agar mampu bersaing dalam percaturan
global.
Artinya
untuk
DAFTAR PUSTAKA
menghadap global maka harus studi lokal, semakin global semakin lokal. Oleh karena itu, pendidikan seni seharusnya, (1) berbasis riset dan kekaryaan dan berkewajiban untuk memetakan
potensi budaya
masyarakat yang berkembang
se-
hingga mampu menjadi bagian yang
Buchori Zainudin, Imam (1999). “Kriya tradisi dalam wacana pendidikan tinggi menghadapi budaya global”, Makalah Seminar Nasional Seni Rupa Tradisi Nusantara Kriya Indonesia dan Tatangan Era Globalisasi abad 21, Surakarta: STSI Bernet Kempers, AJ. (1959). Ancient Art, C.P.J. van der peet, Amsterdam
integral antara seni dan masyarakatnya, (2) berkewajiban mewadahi
Dharsono (Sony Kartika) (2007), Estetika, Bandung: Rekayasa Sain
potensi tersebut sebagai satu daya 52
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
ISSN : 2087-0795
____________________ (2007), Budaya Nusantara: Kajian konsep Mandala dan Konsep Tri-loka terhadap Pohon Hayat pada Batik. Bandung; Rekayasa sain Geertz, Clifford (1973), The Interpretation of Culture. New York: Basic Book,Ink _____________(1960), The Religion of Java. New York: The Free Press. Gustami, SP, (1989), “Konsep Gunungan dalam Seni Budaya Jawa Manifestasinya di Bidang Seni Ornamen”: Sebuah Studi Pendahuluan, Penelitian Yogyakarta: Balai Penelitian Institut Seni Indonesia Poerbatjaraka Dr.R.Ng. (Lesya): Arjunawiwaha, Tekst en Vertaling. Martinus Nijhoff, „S Gravenhage, 1926 Hadiwijono, Harun, (tt), Kebatinan Jawa dalam Abad 19, Jakarta, BPK Mulya Holt, C., (1967), Art in Indonesia: Continuities and Change, Ithaca New York, Cornell University Press, 55-56, 60, 136. Hoop, A.N.J. Th.a Th. Van Der, (1949), Indonesische Siermotieven, Uitgegeven Door Hiet, Koninklijk Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, 275276, 278-284. Irianto, Asmujo J (1999), Kria Dalam Pendidikan Tinggi, Makalah Seminar Nasional Seni Rupa Tradisi Nusantara Topik: Implementasi Konsep Kriya dalam Pendidikan Tinggi Surakarta:STSI Jessup, Helen Ibitson, (1990), Court Arts of Indonesia, New York, The Asia Society Galleries
Jose an Miriam Arguelles (1972), Mandala, Boelder and London: Shambala Kawindrosusanto, Koeswadji, (1956), “Gunungan” Majalah Sana Budaya, Th.1No.2 Maret Koentjaraningrat (1994), “Kebudayaan Jawa”, Seri Etnografi Indonesia no:2, Jakarta, Balai Pustaka., 193-195. Koentjaraningrat (1985), Javanese Culture. New York: Oxford University Press Mulder, Niel (1984), Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press Sayid, R.M. (tth), Bab “Tosan Aji Prabote Jengkap”, Surakarta: Perpustakaan Mangkunegaran Simuh, (1988), Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi terhadap Wirit Hidayat Jati, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press) Simuh, (1996), Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa., Yogyakarta, yayasan Bentang Budaya Subagyo, Rahmat, (1981), Agama Asli Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka Soedarsono, RM (1999), Seni Indonesia (kontinuitas dan Perubahan), Terjemahan Clare Holt dalam Art in Indonesian Continuities and Change, Corne; University (1967), Yogyakarta:ISI Sumardjo, Jakob, TTh, “Memahami
Vol. 5, No. 1, Juli 2013
53
ISSN : 2087-0795
Seni”. Bandung, Diktat Kuliah PascaSajana ITB (tidak diterbitkan) Sony Kartika (2003) “Trikotomi Seni, disain dan Kriya”, makalah Bandung: STDI Thomas Drysdale (1978). “Katalog Pameran empat Seniman Pop, School of Fine Art”. New York; University. Triguna, Ida Bagus Gede Yudha, (1997), “Mobilitas Kelas, Konflik dan Penafsiran Kembali Simbolisme Masyarakat Bali, Desertasi Doktor, Bandung, PPs Universitas Padjadjaran Walker, John (1999), Studi on Master Plan for Design Promotion in the Republic of Indonesia, Japan International cooperation Agensy dan Departemen Koperasi dan Industri Kecil RI Wiryamartana, I. Kuntara, 1990. Arjunawiwaha: Tranformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa, Yogyakarta, Duta Wacana University Press.
54
Vol. 5, No. 1, Juli 2013