5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Budaya Lanskap merupakan suatu bentang alam dengan berbagai karakteristik yang terdefinisi secara harmoni menurut seluruh indra manusia (Simonds,2006). Definisi umum ini membuat pengertian lanskap dapat terdiferensiasi menurut skala tertentu, mulai dari skala mikro sebatas taman kantong sampai skala makro dalam tataran regional dan universal. Budaya merupakan kesatuan makna dari hasil cipta, karya, dan karsa, yang dalam hal ini, manusia. Budaya pasti bersifat dinamis karena pada dasarnya kebudayaan merupakan hasil peradaban dari setiap masa. Hal ini tersimpulkan dari tulisan Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (1986) yang isinya sebagai berikut, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia paling sedikit menyangkut lima hal, yaitu: 1. hakekat dari hidup manusia 2. hakekat dari karya manusia 3. hakekat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu 4. hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya 5. hakekat dari hubungan manusia dengan sesama manusia. Lanskap budaya sering diartikan sebagai sinonim dari lanskap buatan atau lanskap hasil rancangan, seperti taman, boulevard, kampus, rekayasa tapak, penanaman dan sebagainya. Lanskap budaya, menurut Plantcher dan Rossler (1995), merupakan sebuah model interaksi antara manusia, sistem sosial, dan cara mereka mengorganisasi ruang. Beberapa definisi lain mendefinisikan lanskap budaya sebagai wujud fisik dari setting perkotaan atau kawasan yang diciptakan oleh suatu etnis atau ras tertentu. Menurut Longstreth (2008) ketepatan dasar arti dari konsep lanskap budaya adalah perbedaan atau pembeda dari suatu tempat yang tidak cukup dinilai hanya dari lingkup kecil skala halaman rumah. Thisler (dalam Nurisjah dan Pramukanto, 2001) mendefinisikan lanskap budaya sebagai suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu.
6
Identitas atau karakter lanskap budaya dapat dijabarkan melalui tiga kelompok komponen, yaitu konteks, organisasi, dan elemen (Melnick, 1983). Penjabaran dari masing-masing kelompok komponen tersebut antara lain sebagai berikut: 1. lanskap budaya dalam kelompok konteks a. sistem organisasi lanskap budaya b. kategori penggunaan lahan secara umum c. aktivitas khusus dari penggunaan lahan 2. lanskap budaya dalam kelompok organisasi a. hubungan bentuk bangunan dangan elemen mayor alami b. sirkulasi jaringan kerja dan polanya c. batas pengendalian elemen d. penataan tapak 3. lanskap budaya dalam kelompok elemen a. hubungan pola vegetasi dengan penggunaan lahan b. tipe bangunan dan fungsinya c. bahan dan teknik konstruksi d. skala kecil dari elemen e. makam atau situs simbolik sejenisnya f. pandangan sejarah dan kualitas persepsi. Lanskap sejarah budaya memiliki nilai yang penting sebagai jatidiri dan kebanggaan suatu bangsa. Menurut Goodchild (1990), lanskap sejarah harus dikonservasi karena : 1. sesuatu yang penting dan merupakan bagian integral dari warisan budaya 2. menyediakan fakta fisik dan arkeologi dari warisan sejarah dan budaya 3. memberi kontribusi untuk kesinambungan perkembangan budaya 4. memberi kontribusi pada keragaman yang ada 5. memberikan kenyamanan bagi masyarakat, beristirahat, bersenang-senang, menyegarkan jiwa, atau menemukan inspirasi 6. mermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kenyamanan masyarakat serta dapat meningkatkan dan mendukung kegiatan wisata.
7
2.2. Lanskap Danau Maninjau Danau merupakan suatu istilah untuk salah satu jenis ekosistem perairan darat. Menurut Suwigno (dalam Ubaidillah dan Maryanto,2003) perairan dikatakan bertipe danau, apabila perairan tersebut dalam dengan tepian curam. Danau cenderung memiliki kejernihan air yang lebih baik dibanding rawa dan sungai. Tumbuhan air pada danau terbatas hanya pada tepian. Pada umumnya danau bercirikan sebagai berikut: memiliki kecuraman tinggi atau terjal, kedalaman lebih dari 100 m, fluktuasi permukaan air + 1-2 m, daerah tangkap hujan sempit, jumlah teluk sedikit, garis pantai pendek, masa simpan air lama, dan pengeluaran (outlet) air dari atas. Ciri-ciri tersebut membedakan kondisi ekologis danau dan sekelilingnya dengan kondisi ekologis perairan tergenang di darat lainnya seperti rawa, situ, dan waduk. Salim (1968) menggambarkan Danau Maninjau sebagai nikmat yang tak ternilai dan tergantikan, karena tak ada tempat lain yang menyamainya. Semburan kilat cahaya matahari berpadu dengan biru lagit tampak pada permukaan danau, refleksi yang membuat seolah-olah daratan dan bukit-bukit di lingkar danau ini melayang. Sebelum memasuki Nagari Maninjau, akses utama yang dilalui adalah kelok 44 dari setiap tikungan atau kelok yang dilalui akan terlihat pemandangan jernihnya air danau yang membiru. Dilihat dari dekat, semakin jelas jernihnya air danau pada dasar yang dangkal terlihat jelas. Bunyi riak air dan angin membentuk buih-buih ombak yang seolah menghibur masyarakat di sekitarnya. Seniman dan para pujangga akan banyak mendapat bahan inspirasi dari pemandangan Danau Maninjau ini, bahkan mungkin akan kehabisan warna untuk melukiskan keindahannya. Berbagai keindahan tersebut disampaikan sebagai gambaran umum kondisi Danau Maninjau pada masa lampau. Kondisi Danau Maninjau akhir-akhir ini, menurut Badjoeri (dalam Setyawan, 2004), telah mengalami berbagai macam degradasi dan gejala-gejala penurunan kualitas alaminya. Hasil analisis Badjoeri menunjukkan bahwa Danau Maninjau telah mengalami eutrofikasi, telah terjadi penumpukan bahan organik dan ketidakseimbangan proses dalam siklus karbon pada dasar danau, dan terjadi perputaran arus atau turbulensi pada sistem perairan yang menyebabkan oksigen terdapat sampai ke dasar perairan atau disebut juga nitrifikasi pada dasar danau.
8
Penurunan kualitas air Danau Maninjau ini juga disebabkan oleh pembuatan bendungan PLTA di Batang Antokan sebagai outlet Danau Maninjau yang menyebabkan pembalikan massa air dari kolom air bagian bawah yang anaerobik dan mengandung gas beracun, pembuatan karamba budidaya ikan, dan peningkatan aktivitas-aktivitas berlimbah domestik disekitar danau, seperti pertokoan, hotel, cafe, rumah makan, rekreasi masal, pasar, dan sebagainya. Penurunan kualitas jasa lingkungan ini merupakan akibat dari semakin intensifnya tekanan aktivitas sosial ekonomi masyarakat saat ini.
2.3. Sistem Adat Budaya Minangkabau Menurut Ismael dalam Rasyid (2008), Minangkabau memiliki hierarki sistem adat yang terdiri dari unsur inti (core element) dan unsur turunan (peripheral element). Masing-masing unsur ini terbagi lagi menjadi dua tingkatan. Unsur inti (core element) adat terbagi menjadi adat nan sabana adat (adat yang benar-benar adat) pada tingkat filosofis dan adat nan diadatkan (adat yang diadatkan) pada tingkat teoritis. Unsur inti (core element) dari adat ini tidak dapat diubah dalam kondisi apapun karena merupakan dasar atau acuan dari sistem adat tersebut. Tataran di bawahnya, elemen adat turunan (peripheral element) terbagi menjadi adat nan teradat (adat yang teradat) pada tingkat metodologis dan adat istiadat (adat yang terlihat) pada tingkat praktis. Elemen turunan ini dapat disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan aktual masyarakat dan umumnya berfungsi praktis dalam menjaga hubungan antar masyarakat, kekeluargaan internal, momen-momen atau kejadian penting, dan kehidupan sehari-hari. Skema sistem adat ini digambarkan dalam diagram di bawah (Gambar 2). Unsur inti dari piramida sistem adat Minangkabau bersifat tetap dan mutlak. mencakupi tataran filosofis dan metodologis, adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan. Adat nan sabana adat adalah filosofi kepastian alami, acuan terhadap ketentuan-ketentuan
alam,
yang
berlaku
sepanjang
waktu.
Masyarakat
Minangkabau dituntut menjadikan alam sebagai guru yang menyiratkan ilmu pengetahuan. Adat nan diadatkan pada tataran teoritis merupakan adat yang disusun dan diwariskan oleh nenek moyang pendahulu Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Bentuk dari adat nan diadatkan ini adalah pola
9
adat dari dua keselarasan induk suku Bodi Caniago dan Koto Piliang yang berupa sistem garis keturunan matrilineal.
Gambar 2. Sistem Adat Minangkabau (Ismael dalam Rasyid, 2008) Unsur turunan dari tataran filosofis dan teoritis pada sistem adat Minangkabau ini adalah tataran metodologis dan praktis, adat nan teradat dan adat istiadat. Adat nan teradat adalah peraturan kesepakatan dari para penghulu pemimpin suku atau kaum dari setiap nagari. Bentuk dari adat nan teradat ini adalah kata-kata adat, adat salingka nagari, harato salingka kaum (adat berlaku dalam nagari, harta pusaka berlaku selingkar kaum). Segmen metodologis ini berlaku pada skala nagari, sehingga kesepakatan dari masing-masing internal nagari tidak mutlak sama, disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan hak otonomi setiap nagari. Adat istiadat merupakan kebiasaan dan ciri khusus dalam aspek-aspek praktis kehidupan sehari-hari, kesenian, permainan rakyat, bentuk pakaian, tatacara dalam pembangunan rumah, penggunaan rumah adat, upacaraupacara adat, dan sebagainya.
2.4. Keberlanjutan Lanskap Budaya Suatu keberlanjutan dapat dijelaskan dari sisi kualitatif secara deskriptif yang berwujud kenaikan secara eksponensial dari kehidupan seseorang atau organisme dalam suatu sistem (Wikipedia 2010). Pembangunan berkelanjutan dalam Laporan Burtland tahun 1987 (dalam Basyir, 2008) dijelaskan sebagai
10
pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa harus berkompromi dengan kemampuan generasi masa depan agar tetap terpenuhi kebutuhannya. Menurut Basyir (2008), konsep keberlanjutan berkaitan dengan ekosistem, penggunaan sumber daya lingkungan, serta pertumbuhan populasi. Analisis ekosistem dan penilaian siklus hidup perlu dilakukan dalam upaya pemanfaatan secara lestari sumber daya alam. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengenai pertumbuhan populasi penduduk dan kebutuhannya pun harus mengusung konsep keberlanjutan. Newman dan Jennings (2008) menyebutkan bahwa, keberlanjutan adalah tujuan bersama. Tujuan bersama harus diwujudkan dengan terintegrasi dan jangka panjang. Visi jangka panjang adalah titik awal pemicu perubahan positif ke arah keberlanjutan. Beberapa kata kunci yang harus diperhatikan dan terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan antara lain, intergenerasi, sosial, keseimbangan politik, dan setiap individu. Tujuan ini seharusnya mengekpresikan aspirasi bersama dari semua pihak agar dapat dicapai keseimbangan atau keadilan. Akses seimbang untuk setiap sumberdaya baik manusia dan alam, sebaik mungkin berbagi dalam tanggung jawab bersama menjaga nilai-nilai untuk generasi mendatang. Visi keberlanjutan akan memotivasi masyarakat, pemerintah, pelaku bisnis, dan semua yang memiliki tujuan bersama. Landasan untuk strategi pengembangan, program aksi, dan semua proses untuk mewujudkan tujuan tersebut akan terbentuk dengan sendirinya jika memiliki visi yang sama. Keberlanjutan merupakan istilah sebagai representasi dari suatu roda kehidupan yang terkait dengan dimensi waktu. Keberlanjutan dapat dikaitkan dengan suatu lanskap atau bentang alam (ekologis), sosial-ekonomi, dan spiritual budaya masyarakat. Keberlanjutan dapat dipahami sebagai kata sifat yaitu berkelanjutan. Lanskap yang berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya yang juga menjunjung nilai-nilai keberlanjutan. Keberlanjutan lanskap budaya dapat disimpulkan sebagai tingkat atau nilai hasil dari interaksi sosial ekonomi budaya masyarakat dan lanskapnya. Lanskap budaya yang berkelanjutan
seharusnya
dapat
memenuhi
berbagai
kebutuhannya
dan
menuangkan segala potensi terbesarnya di masa ini untuk persiapan masa depan,
11
dengan tetap menjaga kelestarian pendukung kehidupan masa depannya yaitu lanskap sebagai wadah ekosistem. Penilaian keberlanjutan masyarakat telah berkembang di negara-negara yang tergabung dalam jaringan global desa berkelanjutan atau dikenal dengan Global Ecovillage Network (GEN). Penilaian keberlanjutan masyarakat yang dikenal dengan Community Sustainability Assessment (CSA) ini merupakan suatu cara atau alat untuk mengevaluasi tingkat keberlanjutan lanskap budaya melalui pendekatan yang dimulai dari penggalian pemahaman masyarakat terhadap masing-masing parameter keberlanjutan dari tiga pilar atau aspek keberlanjutan. Tingkat keberlanjutan masyarakat dilihat dari tiga pilar ecovillage menurut GEN yaitu aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan spiritual budaya. Kriteria-kriteria untuk setiap aspek telah ditetapkan oleh GEN sebagai parameter tingkat keberlanjutan masyarakat yang akan diteliti. Berdasarkan GEN, parameter keberlanjutan yang digunakan untuk setiap aspek antara lain sebagai berikut: 1. Aspek Ekologis, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika: a. Masyarakat memiliki ikatan mendalam dengan tempat tinggal mereka, batas-batas, kekuatan, kelemahan, dan irama kehidupan yang selaras menjadi bagian dari total ekosistem b. Kehidupan alami beserta proses dan sistemnya dihormati, termasuk margasatwa dan habitat tumbuhan c. Gaya hidup manusia yang lebih meningkatkan integritas lingkungan dan tidak mengurangi atau merusaknya d. Pangan utama diperoleh dari sumber lokal dan kawasan alami, organik, bebas zat pencemar, dan memberi keseimbangan gizi e. Struktur-struktur dirancang dengan memadukan dan untuk melengkapi lingkungan alami, material, bahan, dan metode yang ramah lingkungan, konsep bioregional dan ekologis (dapat diperbaharui dan tidak beracun) f. Konservasi dipraktikan dalam berbagai metode dan sistem transportasi g. Konsumsi dan penghasil limbah diminimalkan h. Tersedia air bersih yang dapat diperbaharui, dengan masyarakat yang menghormati dan waspada dalam memelihara sumbernya
12
i. Limbah manusia dan air limbah didaur ulang untuk manfaat lingkungan j. Sumber energi yang tidak beracun dan dapat diperbaharui dimanfaatkan sebaik mungkin, teknologi inovatif tidak dieksploitasi atau dibiarkan tetapi digunakan untuk kebaikan bersama. 2. Aspek Sosial-Ekonomi, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika: a. Terdapat suatu kestabilitasan sosial dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, aman dan bebas dalam mengekspresikan diri untuk kepentingan bersama b. Tersedia ruang dan sistem yang mendukung dan memaksimalkan komunikasi, relasi, dan produktivitas c. Terdapat peluang atau teknologi yang cukup untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas secara tepat d. Bakat,
keterampilan,
dan
sumber
daya
masyarakat
lainnya
dipertukarkan secara bebas dan ditawarkan sebagai daya jual dan pelayanan terhadap masyarakat luar e. Keragaman dihormati sebagai sumber kesehatan mental, vitalitas, dan kreativitas di lingkungan alam dan hubungan-hubungan masyarakat f. Penerimaan, kerakyatan, dan keterbukaan sebagai pemahaman terhadap pentingnya keragaman yang memperkaya pengalaman sosial dan lingkungan serta meningkatkan rasa keadilan g. Pertumbuhan individu, pembelajaran, dan kreativitas dihargai dan dipelihara sebagai peluang untuk belajar dan mengajarkan yang luas dan bervariasi h. Pilihan-pilihan untuk memperbaiki, memelihara, dan meningkatkan kesehatan (fisik, mental, emosi, dan spiritual) tersedia dan terjangkau masyarakat i. Aliran sumber daya dalam arti memberi dan menerima modal, barang, atau jasa dapat mengimbangi kebutuhan dan keinginan masyarakat, jika kelebihan hasil saling berbagi. 3. Aspek Spiritual Budaya, yakni kehidupan masyarakat seimbang jika: a. Kekuatan budaya dilestarikan melalui aktivitas seni, seremoni ritual budaya, dan perayaan-perayaan
13
b. Kreativitas dan seni dilihat sebagai ungkapan kesatuan hubungan timbal balik dengan alam semesta c. Menghargai waktu luang d. Terdapat rasa hormat dan dukungan terhadap manifestasi kespiritualan dalam berbagai cara e. Tersedia peluang-peluang untuk pengembangan jati diri f. Gembira dan memiliki ekspresi yang dikembangkan melalui ritual atau perayaan g. Kualitas kebersamaan dalam hati masyarakat memberikan kesatuan dan integritas dalam kehidupannya, hal ini merupakan suatu persetujuan dan visi bersama tentang komitmen saling berbagi h. Adanya kapasitas dan fleksibilitas cepat tanggap dalam menghadapi suatu masalah i. Pemahaman menyeluruh tentang keberadaan dan hubungannya dengan elemen di luar lingkungannya j. Secara sadar masyarakat memilih berperan untuk menciptakan dunia yang damai, penuh cinta, dan lestari. Analisis keberlanjutan dapat dilakukan secara deskriptif dengan metode analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) dan dilakukan untuk mengetahui keberlanjutan lanskap budaya lingkar Danau Maninjau. Metode SWOT digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari segi internal, dan mengidentifikasi peluang dan ancaman dari segi eksternal. Langkah kerja dalam melakukan analisis SWOT, antara lain: a.
Identifikasi Faktor Internal dan Faktor Eksternal, Tahap identifikasi faktor internal digunakan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan yang sesuai dengan dasar studi. untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut. Tahap identifikasi faktor eksternal digunakan untuk mengetahui ancaman dan peluang yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2005).
14
Tabel 1. Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Internal Simbol
Faktor Internal
Tingkat Kepentingan
Kekuatan (Strengths) S1 S2 Sn
Kelemahan (Weaknesses) W1 W2 Wn
Sumber: David (2005) Tabel 2. Formulir Tingkat Kepentingan Faktor Eksternal Simbol
Faktor Eksternal
Tingkat Kepentingan
Peluang (Opportunitiess) O1 O2 On
Ancaman (Threats) T1 T2 Tn
Sumber: David (2005) b.
Penilaian Faktor Internal dan Eksternal, Tahap ini dilakukan pemberian simbol terhadap faktor-faktor yang telah
diidentifikasi. Setelah melakukan penentuan tingkat kepentingan selanjutnya adalah penentuan bobot. Menurut David (2005), penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1-4, yaitu sebagai berikut. Nilai 1 jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator vertikal, Nilai 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal,
15
Nilai 3 jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertikal, Nilai 4 jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor vertikal. Tabel 3. Formulir Pembobotan Faktor Internal dan Eksternal Faktor Internal/Eksternal
A
B
C
D
Total
Bobot
A
x1
α1
B
x2
α2
C
x3
α3
D
x4
α4
Total
Sumber: Kinnear dan Taylor (1991) Langkah selanjutnya setelah penentuan bobot adalah menentukan bobot akhir masing-masing variabel dapat ditentukan dengan menggunakan rumus (Kinnear dan Taylor, 1991):
αi Dengan: αi = bobot variabel ke-I, i c.
= 1, 2, 3,..., n,
=
xi ∑ni=1 xi xi = nilai variabel ke-I, n = jumlah variabel.
Pembuatan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE), Menurut Rangkuti (1997), nilai peringkat pada faktor positif (kekuatan dan
peluang) berbanding terbalik dengan faktor negatif (kelemahan dan ancaman). Pada faktor positif, nilai 4 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang sangat penting, nilai 3 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang penting, nilai 2 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang cukup penting, dan nilai 1 berarti faktor tersebut memiliki tingkat kepentingan yang tidak penting. Penilaian faktor negatif adalah sebaliknya. Kemudian, peringkat dan bobot dari masing-masing faktor dikalikan untuk memperoleh skor pembobotan (Tabel 4 dan Tabel 5).
16
Tabel 4. Formulir Matriks IFE Simbol
Faktor Internal
Bobot
Peringkat
Skor
Bobot
Peringkat
Skor
Kekuatan (Strengths) S1 S2 Sn Kelemahan (Weaknesses) W1 W2 Wn Total
Sumber: Rangkuti (1997) Tabel 5. Formulir Matriks EFE Simbol
Faktor Eksternal
Peluang (Opportunities) O1 O2 On Ancaman (Threats) T1 T2 Tn Total
Sumber: Rangkuti (1997) Dari total skor yang diperoleh dari matriks IFE dan EFE dapat diketahui posisi tapak studi pada suatu kuadran yang menyatakan kekuatan dan kelemahannya melalui matriks internal-eksternal (IE) (Gambar 3). Menurut David (2005), matriks IE memiliki sembilan kuadran yang dapat dibagi menjadi tiga bagian sebagai berikut: 1. Grow and build strategy (Kuadran I, II, dan III) Diperlukan strategi yang bersifat intensif dan agresif. Fokus dari strategi ini adalah penetrasi pasar, pengembangan pasar, dan pengembangan produk.
17
2. Hold and maintain strategy (Kuadran IV, V, dan VI) Fokus strategi ini adalah penetrasi pasar dan pengembangan produk. 3. Harvest and divest strategy (Kuadran VII, VIII, dan IX) Fokus strategi ini adalah perlu dilakukan manajemen biaya yang agresif saat biaya peremajaan bisnis untuk merevitalisasi bisnis tergolong rendah. Total Skor IFE
Total Skor EFE
4
tinggi
tinggi
3
sedang
2
rendah
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
1
3
sedang 2
rendah 1
Gambar 3. Kuadran Strategi d.
Matriks SWOT Faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi dapat dimasukkan ke
dalam tabel yang sesuai dengan matriks SWOT (Tabel 6). Matriks ini menggambarkan hubungan antara kekuatan dan kelemahan dengan peluang dan ancaman. Menurut David (2005), hasil dari matriks SWOT ini adalah alternatif strategi manajemen lanskap yang dapat meningkatkan kekuatan dan peluang serta mengatasi kelemahan dan ancaman dengan empat alternatif strategi sebagai berikut. 1. Strategi SO (Strengths-Opportunities) Strategi ini memanfaatkan kekuatan internal perusahaan untuk menarik keuntungan dari peluang eksternal 2. Strategi ST (Strengths-Threats) Strategi ini menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal 3. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities) Strategi ini bertujuan memperbaiki kelemahan internal dengan cara mengambil keuntungan dari peluang eksternal
18
4. Strategi WT (Weaknesses-Threats) Strategi ini bertujuan mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman eksternal.
Tabel 6. Formulir Matriks SWOT Eksternal Internal
Opportunities (Peluang)
Threats (Ancaman)
Strengths (Kekuatan)
SO
ST
Weaknesses (Kelemahan)
WO
WT
Sumber: David (2005) e.
Pembuatan Tabel Peringkat Alternatif Strategi Penentuan prioritas dilakukan kepada beberapa alternatif strategi yang
diperoleh dari matriks SWOT. Tahap ini dilakukan dengan cara menjumlahkan skor dari faktor-faktor penyusunnya (Tabel 7). Strategi yang memiliki skor tertinggi merupakan strategi yang menjadi prioritas utama. Tabel 7. Formulir Penentuan Peringkat Alternatif Strategi Alternatif Strategi
Keterkaitan dengan Unsur SWOT
SO1 SO2 SOn ST1 ST2 STn WO1 WO2 WOn WT1 WT2 WTn
Sumber: Saraswati (2010)
Skor
Peringkat