I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Kelapa (Cocos nucifera L.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak yang paling penting di daerah tropis. Peranan kelapa sebagai komoditi perkebunan bagi masyarakat Indonesia dan negara sangat besar. Produksi kelapa selama bertahun-tahun menunjukkan penurunan bertahap karena berbagai alasan, tetapi masih bernilai ekonomi penting dengan adanya permintaan industri yang tinggi untuk minyak laurat. Agar produksi kelapa tidak menurun, maka pelaksanaan peremajaan dan rehabilitasi harus dilakukan pada sekitar 20-30% pertanaman kelapa (Prastowo 2007). Perbaikannya dilakukan melalui pemuliaan konvensional dan bioteknologi. Jenis kelapa di Indonesia sangat variatif diantaranya adalah kelapa kopyor yang merupakan kelapa mutan asli Indonesia dan berbeda fenotipenya dengan kelapa Makapuno yang berasal dari Filipina. Keberadaan kelapa kopyor yang unik dan asli Indonesia perlu terus dilestarikan dan dikembangkan lebih lanjut agar sumberdaya genetik asli Indonesia tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Berbeda dengan kelapa kopyor Indonesia, abnormalitas endosperma pada kelapa Makapuno menyebabkan jaringan ini menjadi lunak seperti jeli dan jika terlalu tua sebagian dari endospermanya akan terlarut dalam air kelapa, sehingga air kelapanya menjadi kental seperti minyak pelumas (Gambar 1.1). Perbedaan utama antara abnormalitas endosperma kelapa kopyor dan kelapa makapuno adalah pada kelapa kopyor endospermanya tetap mempunyai penampakan seperti endosperma kelapa tetapi terlepas dari cangkangnya (Gambar 1.1), rasa air kelapa dan endospermanya lebih manis dari kelapa normal dan tekstur endospermanya lembut seperti tekstur gabus (Maskromo 2005). Semakin tua buah kelapanya umumnya air kelapanya semakin berkurang dan volume endosperma yang terlepas serta mengumpul dalam rongga dalam cangkang biji kelapanya semakin banyak (Maskromo et al. 2007).
a
b
c
Gambar 1.1 Variasi endosperma pada kelapa. Perbandingan endosperma abnormal pada (a) kelapa kopyor asal Indonesia, (b) kelapa Makapuno asal Filipina dan (c) endosperma normal pada kelapa normal (Sudarsono et al. 2014a)
2
Makapuno tidak memiliki aktivitas galaktosidase yang memungkinkan mengubah struktur dinding sel dan adhesi sehingga menghasilkan endosperm yang sangat kental (Luengwilai 2014). Besar kemungkinan bahwa abnormalitas fenotipe endosperma kelapa kopyor juga diduga juga sebagai akibat dari defisiensi enzim penting tertentu selama dalam proses perkembangan endospermanya. Namun demikian, identitas enzim yang defisien dari endosperma kelapa kopyor sampai saat ini masih belum diketahui. Karakteristik mutan pada kelapa kopyor juga dapat diturunkan secara genetik dari tetua ke progeninya (Sukendah 2009). Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani kopyor adalah rendahnya kuantitas hasil buah kopyor yang dipanen. Akibatnya produksi buah kelapa kopyor masih belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Adanya kelapa normal di antara pertanaman kelapa kopyor diduga mempengaruhi produktivitas buah kopyor yang didapat (Sudarsono et al. 2012). Keberadaan pohon dewasa kelapa Dalam berbuah normal cenderung menyerbuk silang (Pandin 2009a) diduga berpengaruh negatif terhadap produksi buah kopyor. Pohon tersebut dapat menyebarkan serbuk sari pembawa sifat normal pada bunga betina pohon kelapa kopyor, akibatnya buah yang terbentuk dari penyerbukan akan menjadi buah normal (Sudarsono et al. 2012). Keberhasilan penyerbukan pada tanaman juga memerlukan bantuan polinator untuk persebaran serbuk sari tanaman kelapa maupun pada tanaman lainnya. Studi evaluasi persebaran serbuk sari pada pertanaman kelapa kopyor dianggap penting untuk dilakukan untuk membuktikan dan memberikan informasi kepada petani mengenai jarak dan arah persebaran serbuk sari serta faktor yang berpengaruh pada penyerbukan kelapa kopyor. Studi persebaran serbuk sari dapat dipelajari dengan metode pewarnaan serbuk sari (Blair dan Williamson 2010) atau menggunakan marka molekular (Austerlitz et al. 2004). Marka yang biasa digunakan dalam analisis persebaran serbuk sari adalah marka RAPD pada Ilex paraguariensis (Cansian et al. 2010) dan marka SSR pada tanaman Hymenaea courbaril (Carneiro et al. 2011), tanaman pinus (Feng et al. 2010). Marka yang sering digunakan adalah marka SSR (Single Sequence Repeat) yang mempunyai keunggulan yaitu bersifat kodominan, polimorfismenya tinggi, lokus tersebar di dalam genom dalam jumlah banyak (Lowe et al. 2004) dan sampel DNA yang dibutuhkan sedikit karena dalam melakukan deteksi menggunakan PCR (Polymerase chain reaction) yang dapat menggandakan DNA (Semagn et al. 2006). Penanda DNA berbasis SNAP adalah satu-satunya penanda DNA yang memiliki sifat bi–alel dan kodominan, sehingga penanda SNAP mampu membedakan alel homozigot dari heterozigot yang efisien (Morin et al. 2004). Beberapa marker SSR dan marker SNAP sedang dikembangkan oleh PMB Laboratorium dari kegiatan penelitian awal namun demikian penelitian lebih lanjut masih sangat diperlukan. Penelitian persebaran serbuk sari pada kelapa sampai saat ini belum ada dilaporkan sehingga dianggap penting untuk mempelajari persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor. Hasil yang diharapkan adalah memberikan informasi mengenai tipe persebaran serbuk sari dan besarnya persentase penyerbukan silang ataupun penyerbukan sendiri pada pertanaman kelapa, efek keberadaan pohon kelapa berbuah normal di dalam pertanaman kelapa berbuah kopyor, efek polinator terhadap produksi buah kopyor sehingga diharapkan produktivitas buah kelapa kopyor dapat ditingkatkan, selain itu juga
3
memberikan informasi dasar genomik dan molekuler yang akan sangat berguna dalam mendukung program pemuliaan kelapa kopyor di masa yang akan datang. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri yang terjadi pada populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Genjah 2. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri yang terjadi pada populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Dalam 3. Mengetahui peranan pendonor serbuk sari kelapa normal dalam pembentukan progeni kelapa kopyor (efek xenia pada tanaman) 4. Mengetahui kemampuan dan efektifitas polinator lebah madu sebagai agen penyerbuk dominan Manfaat Penelitian Dengan diperolehnya informasi mengenai pola persebaran dan agen pernyerbuk yang dominan diharapkan akan memberikan informasi kepada petani mengenai efek keberadaan pohon kelapa berbuah normal di dalam pertanaman kelapa berbuah kopyor, efek polinator terhadap produksi buah kopyor sehingga diharapkan produktivitas buah kelapa kopyor dapat ditingkatkan, selain itu juga memberikan informasi dasar genomik dan molekuler yang akan sangat berguna dalam mendukung program pemuliaan kelapa kopyor di masa yang akan datang. Kerangka Penelitian Pemanfaatan marka molekuler dalam mendeteksi dan membantu analisis persebaran serbuk sari dalam populasi kelapa kopyor diharapkan mampu memberi efek positif dalam peningkatan produktifitas hasil bagi petani. Dengan pertimbangan tersebut maka dilakukan penelitian untuk melihat berbagai pengaruh persebaran serbuk sari terhadap berbagai studi penelitian. Kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini memiliki ruang lingkup yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan yang diharapkan yang terlihat pada Gambar 1.3. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Percobaan 1) Persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor Genjah Pati mengindikasikan pentingnya peranan polinator serangga dalam penyerbukan Percobaan 2) Persebaran serbuk sari pada kelapa Dalam Kalianda membuktikan adanya penyerbukan silang pada kelapa Dalam Percobaan 3) Persebaran serbuk sari pada kelapa Dalam Dukuh Seti membuktikan pengaruh negatif kelapa normal terhadap hasil buah kopyor Percobaan 4) Lebah sebagai polinator merubah pola persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor Pati. Informasi dari persebaran serbuk sari pada pertanaman kelapa secara umum dapat dimanfaatkan untuk tujuan pemuliaan tanaman kelapa di masa mendatang dan rekomendasi kebun bibit kelapa yang efektif.
4
Bagan Alir Penelitian Plasma nutfah kelapa kopyor Indonesia ( Pati dan Lampung)
Karakteristik produktifitas kelapa kopyor
Analisis persebaran serbuk sari kelapa kopyor
Percobaan 1 Persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor Genjah Pati mengindikasikan pentingnya peranan polinator serangga dalam penyerbukan
Percobaan 2 Persebaran serbuk sari pada kelapa Dalam Kalianda membuktikan adanya penyerbukan silang pada kelapa dalam
Percobaan 3 Persebaran serbuk sari membuktikan potensi pengaruh negatif kelapa normal terhadap hasil buah kopyor
Percobaan 4 Lebah sebagai polinator merubah pola persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor Pati Gambar 1.2.
Data skoring tetua dan progeni setiap populasi Analisis parental menggunakan CERVUS
1. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri yang terjadi pada populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Genjah 2. Mengetahui besarnya persentase penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang yang terjadi pada populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Dalam 3. Mengetahui peranan pendonor serbuk sari kelapa normal dalam pembentukan progeni kelapa kopyor (efek xenia pada tanaman) 4. Mengetahui kemampuan dan efektifitas polinator lebah madu sebagai agen penyerbuk dominan
Bagan alir penelitian disertasi Analisis Persebaran Serbuk Sari Kelapa Kopyor (Cocos nucifera L.) Asal Pati dan Kalianda Menggunakan Marka SSR dan SNAP Sebagai Penunjang Program Pemuliaan Tanaman
5 II. TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa Tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) adalah satu satunya spesies dari cocos yang merupakan anggota dari subfamili Cocoideae dan famili Aracaceae (Palmaceae). Kelapa merupakan tanaman diploid yang memiliki jumlah kromosom 32 (2n=2×=32). Tanaman ini merupakan tanaman tahunan (perenial) yang bersifat monoecious yaitu memiliki bunga jantan dan betina pada tandan atau infloresensia yang sama (Chan dan Elevitch 2006). Ciri-ciri pohon kelapa menurut Chan dan Elevitch (2006) adalah memiliki batang tunggal dan beruas dengan tinggi mencapai 30 m dan diameter kanopi 8-9 m. Akar berbentuk serabut, tebal, berkayu dan adaptif pada lahan berpasir pantai. Daun tersusun secara majemuk dan menyirip sejajar tunggal, pelepah terletak pada ibu tangkai daun, duduk pada batang (roset batang). Warna pada tangkai daun (petiole) mengindikasikan warna buah pada kelapa. Bunga kelapa merupakan bunga majemuk yang dilindungi oleh spatha. Bunga jantan dan betina terdapat pada satu tangkai utama yang disebut spadix, setiap spadix terdiri atas 40-60 cabang (spikelet) dengan ribuan bunga jantan. Letak bunga bunga betina terletak di pangkal, sedangkan bunga jantan di bagian atas bunga betina hingga ujung spikelet. Buah kelapa memiliki tiga lapisan yaitu eksokarp (kulit tipis terluar yang memiliki lapisan lilin) berwarna kuning, hijau, jingga atau coklat, mesokarp berupa lapisan serat yang lebih tebal atau sering disebut sabut dan endokarp yang keras disebut batok yang melindungi biji. Endokarp dan biji hanya dipisahkan oleh membran yang melekat pada sisi dalam dari endokarp. Biji kelapa memiliki tiga mikrofil (micropyle) dan hanya satu yang mengindikasikan keberadaan embrio. Embrio kelapa berukuran kecil dan akan membesar ketika buah siap untuk berkecambah. Endosperma biji kelapa terdiri atas endosperma cair yang mengandung banyak enzim dan endosperma padat yang mengendap pada dinding endokarp ketika buah menua (kernel). Secara umum tanaman kelapa dibedakan atas dua tipe yaitu tipe Dalam (typica) dan tipe Genjah (nana) (Kumar et al. 2011). Penggolongan kedua tipe ini terutama didasarkan atas sifat munculnya pembungaan pertama, tinggi tanaman, komponen buah dan tipe penyerbukan. Kelapa Dalam mempunyai tinggi sekitar 15-18 m, batang kekar dengan dasar membengkak atau disebut bole. Bunga pertama muncul pada umur 6-10 tahun setelah tanam tetapi umur produktif dapat mencapai 90 tahun. Mahkota pohon memiliki 25-40 daun yang terbuka penuh, dengan panjang daun sekitar 5-7 m. Umumnya kelapa Dalam menyerbuk silang dan dari penyerbukan sampai buah masak memerlukan waktu sekitar 12 bulan dengan jumlah buah pertandan 6-12 butir. Ukuran buah besar sehingga produksi kopra, minyak dan sabut umumnya berkualitas baik. Pohon kelapa tipe Genjah berpenampilan pendek sekitar 8-10 m saat berumur 20 tahun dengan batang agak kecil dan tanpa bole. Daunnya terbuka penuh dengan panjang ≤ 4 m. Mulai berbunga umur 3-4 tahun setelah tanam tetapi pembungaannya tidak teratur. Umumnya kelapa genjah menyerbuk sendiri, dengan waktu yang diperlukan dari penyerbukan sampai buah masak 11-12 bulan. Produksi buah sekitar 10-30 butir pertandan dengan ukuran buah kecil sehingga
6 kualitas buah dan kopranya kurang baik. Produksi akan mulai menurun setelah tanaman berumur 25 tahun (Chan dan Elevitch 2006). Penyerbukan atau polinasi adalah jatuhnya serbuk sari dari kotak sari (antera) ke kepala putik (stigma) dalam satu bunga atau bunga yang berbeda. Penyerbukan tumbuhan dapat terjadi secara biotik dan abiotik. Penyerbukan biotik terjadi dengan bantuan hewan, sedangkan penyerbukan abiotik terjadi dengan bantuan angin, air dan gravitasi (Liferdi 2008). Jarak persebaran serbuk sari pada tanaman yang menyerbuk sendiri (autogamy) lebih rendah dibandingkan dengan tanaman menyerbuk silang (Boer 2007). Kelapa Dalam pada umumnya merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga tampilannya sangat beragam (Pandin 2009b). Kelapa Dalam memiliki bunga jantan yang matang lebih dulu dibanding bunga betina. Bunga betina siap diserbuki ketika bunga jantan umumnya sudah rontok sehinga terjadi penyerbukan silang. Kelapa Genjah pada umumnya memiliki pola penyerbukan sendiri meskipun memungkinkan terjadinya penyerbukan silang sehingga menyebabkan tingginya tingkat kemiripan genetik pada kelapa Genjah. Bunga betina dan bunga jantan pada kelapa Genjah masak secara bersamaan sehingga peluang untuk menyerbuk sendiri sangat besar (Hannum et al. 2003). Penelitian Ramirez et al. (2004) menyatakan sebanyak 59% penyerbukan kelapa dibantu oleh serangga lebah madu. Lebah membantu proses penyerbukan silang, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman budidaya. Potensi ini dimanfaatkan dengan cara meletakkan koloni lebah pada areal tanaman budidaya yang daya serbuknya rendah. Perpindahan lebah dari satu bunga ke bunga yang lain mempercepat proses polinasi karena serbuk sari banyak menempel pada kaki dan perut dari lebah (Liferdi 2008). Kelapa Kopyor Kelapa berbuah kopyor dari segi morfologi sama dengan tanaman kelapa lainnya. Maskromo et al. (2007) mengatakan buah kelapa kopyor hanya bisa dipastikan setelah buah dipanen dengan cara mengguncang buah kelapanya. Pada saat diguncang kelapa kopyor akan menghasilkan bunyi yang kurang nyaring dibanding kelapa normal, karena sebagian atau seluruh endosperma fase padatnya sudah lepas dari tempurungnya. Buah kopyor juga dapat diidentifikasi dengan ketukan, tetapi memerlukan keterampilan khusus untuk dapat melakukannya. Tukang ketuk kelapa yang sudah ahli dalam identifikasi buah kopyor disebut “tukang totok”. Tingkat akurasi penentuan buah kopyornya dapat mencapai 99% (Sudarsono et al. 2014a). Buah dengan sifat kopyor dihasilkan dari pohon kelapa tertentu yang sebagian besar buahnya mempunyai endosperma normal dan sebagian kecil abnormal (kopyor). Pohon kelapa kopyor hanya mempunyai buah kelapa kopyor dengan frekuensi antara 3-4 buah kopyor per tandan. Abnormalitas fenotipe endosperma kelapa Kopyor diduga juga sebagai akibat dari defisiensi enzim penting tertentu selama dalam proses perkembangan endospermanya. Namun demikian, identitas enzim yang mengalami defisien dari endosperma kelapa Kopyor sampai saat ini masih belum diketahui. Karakteristik mutan pada kelapa Kopyor juga dapat diturunkan secara genetik dari tetua ke progeninya (Sukendah 2009). Berdasarkan hasil penelitian Maskromo (2005) yang membedakan adalah bagian endospermanya seperti pada Gambar 2.1.
7
Gambar 2.1 Perbedaan fenotipe kelapa normal (kiri) dan kelapa kopyor (kanan)
Melalui serangkaian penelitian yang dilakukan sejak tahun 2005, pada tahun 2010 Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Manado telah berhasil melepas tiga varietas unggul lokal kelapa Genjah kopyor asal Pati, Jawa Tengah dengan potensi persentase rata-rata buah kopyor sekitar 40% pertandannya. Potensi produksi buah kopyor tersebut masih berpeluang untuk ditingkatkan dengan pemuliaan tanaman melalui penyerbukan silang buatan dengan tetua yang memiliki persentase buah kopyor tinggi yaitu dengan serbuk sari dari tanaman hasil kultur embryo yang menghasilkan buah kopyor mencapai 100% (Novarianto dan Miftahorrachman 2000). Kelapa kopyor ditemukan baik pada kelapa tipe Dalam maupun tipe Genjah, dengan perbanyakan melalui kultur embrio dan menggunakan bibit alami. Pada pengembangan menggunakan bibit alami, kelapa kopyor tipe Dalam hanya menghasilkan buah kopyor antara 10 – 20 %, sedangkan tipe Genjah berpotensi mencapai di atas 50 % pertandannya, dengan tingkat produksi yang beragam. Ini terkait dengan pola pembungaan masing-masing tipe kelapa tersebut. Kelapa tipe Dalam memiliki pola penyerbukan silang, sedangkan tipe Genjah menyerbuk sendiri. Hal tersebut menyebabkan masih rendahnya jumlah buah kopyor yang diperoleh petani, dan berdampak pada rendahnya produksi buah kopyor.
Penanda Genetik Konservasi dan penggunaan sumber genetik tanaman sangat penting dalam rangka produksi tanaman pertanian dan perkebunan serta pemeliharaan tanaman secara berkesinambungan. Oleh karena itu plasma nutfah merupakan sumber genetik tanaman yang perlu mendapat perhatian, tidak hanya pada tahap pengumpulan dan pemeliharaan tetapi juga bagaimana mengkarakterisasi keanekaragaman genetiknya, mengevaluasi sifat sifat yang dikehendaki dan memanfaatkan untuk pemuliaan tanaman. Penggunaan penanda sebagai alat karakterisasi sangat diperlukan untuk pengkarakteran tanaman secara genetik. Penanda dapat dikategorikan sebagai penanda morfologi, sitologi dan perkembangan terakhir adalah penenda molekuler. Penanda yang banyak dilakukan adalah penanda morfologi, yaitu dengan mengamati secara langsung karakter morfologi tanaman, namun penanda
8 tersebut mempunyai kelemahan karena karakter yang diamati kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan. Suatu metode karakterisasi yang dikenal dengan nama penanda molekuler telah dikembangkan untuk pengulangan keterbatasan penanda morfologi. Pemecahan kendala dalam pemuliaan konvensional mulai mendapat titik terang dengan ditemukannya marka molekuler. Marka molekuler yang pertama kali dikenal adalah marka protein yang secara genetik dikenal sebagai isozim (Amar et al. 2011). Meskipun marka telah banyak digunakan dalam analisis genetik tanaman namun dalam perkembangannya marka isozim masih sangat terbatas jumlahnya. Beberapa sistem enzim tertentu dipengaruhi oleh regulasi perkembangan jaringan, yaitu hanya mengekspresikan suatu sifat pada jaringan tertentu dan pada stadia pertumbuhan tanaman. Kedua faktor tersebut merupakan kendala utama pengunaan marka isozim dalam mengeksploitasi potensi genetik tanaman (Mondini et al. 2009). Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, maka pada awal tahun 1980-an ditemukan teknologi molekuler yang berbasis pada DNA. Marka molekuler tersebut dapat menutpi kekurangan dari marka isozim, karena jumlah yang tidak terbatas dan dapat melingkupi seluruh genom tanaman, tidak dipengaruhi oleh regulasi perkembangan jaringan, sehingga dapat dideteksi pada seluruh jaringan, dan memiliki kemampuan yang sangat tinggi dalam menganalisis keragaman karakter antar individu. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi yang berbasis marka DNA, maka saat ini telah ditemukan tiga tipe marka DNA dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semagn et al (2006) menyatakan bahwa penanda molekuler secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan metode deteksinya, yaitu (i) marka berbasis hibridisasi seperti RFLP, (ii) marka berbasis PCR seperti RAPD, AFLP, ISSR, SSR, dan (iii) marka berbasis sekuens DNA seperti SNP. Teknologi marka DNA berdasarkan teknik PCR dapat bersifat spesifik atau acak sesuai dengan tipe primer yang digunakan (Gupta et al. 2002). Marka DNA hasil amplifikasi primer spesifik adalah marka yang bersifat kodominan. Pengembangan marka-marka kodominan membutuhkan informasi sekuen dari DNA target yang digunakan untuk merancang primer spesifik, umumnya memiliki ukuran panjang 18-24 basa. Marka DNA hasil amplifikasi primer acak (random primer) adalah marka DNA yang bersifat dominan, yaitu tidak dapat membedakan antara genotipe tanaman homozigot dan heterozigot. RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) adalah generasi pertama dari teknologi marka DNA yang bersifat dominan. Generasi kedua dari marka-marka berdasarkan teknik PCR adalah Amplified Fragment Length Polymorphisms (AFLP) yang bersifat dominan dan Simple Sequence Repeats (SSR) yang bersifat kodominan (Panaud et al. 1996). Simple sequence repeats juga dikenal dengan mikrosatelit terdiri atas pengulangan beberapa basa nukleotida, berupa dinukleotida, trinukleotida, atau tetranukleotida, yang tersebar disepanjang genom kebanyakan spesies eukariotik (Powell et al. 1996). Jumlah pengulangan nukleotida berkisar antara 5-40 kali (Selkoe dan Toonen 2006) atau kurang dari 100 kali (Karp et al. 1997). Panjang pengulangan ini bervariasi tergantung individu/varietas dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Motif pengulangan nukleotida yang paling banyak ditemukan pada tanaman adalah AT, AG dan TC (Powell et al. 1996).
9 Primer spesifik dirancang pada runutan basa yang terkonservasi dan selanjutnya digunakan untuk mengamplifikasi dan mengidentifikasi lokus yang polimorfik dengan menggunakan metode standar elektroforesis pada gel poliakrilamida (Jannati et al. 2009). Keunggulan analisis SSR adalah : 1) mengidentifikasi polimorfisme secara akurat, 2) bersifat kodominan, dan 3) sangat reproducible. Kemampuan teknik SSR membedakan individu-individu berdasarkan kombinasi alel, menjadikan teknik ini sering digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis tetua (Zane et al. 2002) pada berbagai populasi spesies tanaman (Holton et al. 2002). Kelemahan teknologi SSR adalah memerlukan biaya dan curahan waktu yang tinggi untuk mengembangkannya, sehingga penggunaan marka SSR terbatas pada tanaman-tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Ruan 2010). Teknologi marka SSR telah mendominasi analisis genotyping tanaman sebelum teknologi SNPs dikembangkan. Sejak sepuluh tahun terakhir, teknologi marka SNPs mulai menggantikan teknologi marka SSR pada penelitian-penelitian genetika. Marka SNPs adalah marka berdasarkan variasi perubahan satu basa (A, T, G, atau C) pada situs-situs tertentu dari runutan basa DNA dalam genom organisme (Ganal et al. 2009). Polimorfisme SNP tersedia paling melimpah dan terdistribusi secara merata pada genom organism hidup (Aitken et al. 2009) sehingga metode analisis marka DNA berdasarkan SNP mampu mengidentifikasi variasi keragaman yang lebih tinggi dari metode analisis marka DNA berdasarkan SSR (Li et al. 2009). SNP (Single nucleotide polymorphism) adalah kelas mutasi yang disebabkan oleh subsitusi atau insersi-delesi (indel) yang umum terjadi di genom organisme hidup dan merupakan unit terkecil dari variasi genetik yang ditransmisikan dari generasi ke generasi. Marka berdasarkan SNPs banyak digunakan pada studi-studi tentang proses evolusi dari suatu genom atau gen, karena umumnya evolusi pada sifat-sifat penting di tanaman adalah atribut dari keberadaan SNPs dan variasinya (Shamay et al. 2004). SNP adalah perubahan posisi spesifik satu atau dua basa nukleotida yang sifatnya melimpah dalam genom eukariot. Perbedaan basa nukleotida diduga berpengaruh terhadap sifat fenotipik pada tiap-tiap individu (McCouch et al. 2010). Jumlah SNP yang melimpah membuat marka SNAP lebih menarik dibanding marka lainnya, termasuk dalam mengembangkan penanda bagi gen target tertentu (Lestari dan Koh 2013). Deteksi marka SNAP yang bersifat kodominan, berdasarkan pada amplifikasi PCR dengan primer yang berbasis pada informasi sekuen untuk gen spesifik Marka SNAP saat ini telah digunakan sebagai penanda genetik untuk berbagai fungsi pemuliaan tanaman, misalnya analisis keragaman genetik, pembuatan linkage map dan Marker Assisted Selection (Chen et al. 2011). Kelemahan dari teknik SNAP adalah memerlukan informasi keragaman sekuen untuk suatu gen yang menjadi target analisis (Mammadov et al. 2012). Persebaran Serbuk Sari Aliran gen atau gene flow adalah proses perpindahan informasi genetik melalui persebaran serbuk sari (persebaran gamet jantan) dan melalui persebaran benih (migrasi) (Mallet 2001). Aliran gen merupakan proses yang alami yang terjadi pada tanaman yang menyebabkan gen-gen dalam tanaman berpindah.
10 Proses aliran gen dapat terjadi pada tanaman yang memiliki keserasian secara seksual antara tanaman domestik maupun kerabat liarnya (Pandin 2009a). Analisis aliran gen melalui serbuk sari dalam suatu populasi dapat digunakan untuk menduga apakah terjadi perkawinan antara tanaman yang berbeda (outcrossing) atau dengan tanaman yang sama (selfing) (Boer 2007). Hamrick dan Trapnell (2011) mengatakan bahwa pola persebaran biji dapat dianalisis menggunakan dua metode, yaitu : a. Metode tak langsung meliputi analisis struktur genetik populasi menggunakan marka genetik yang diwariskan secara maternal misalnya menggunakan cpDNA (DNA kloroplas) dan mtDNA (DNA mitokondria) dalam satu populasi. b. Metode langsung menggambarkan pola persebaran biji menggunakan marka molekuler untuk mengidentifikasi induk dari biji atau analisis parental. Analisis metode langsung dibagi menjadi dua yaitu analisis induk jantan dan betina dari biji dan analisis kecocokan antara induk jantan dengan induk betina terhadap keturunannya. Sistem perkawinan pada tanaman dapat diketahui melalui analisis pola persebaran serbuk sari. Penelitian Carneiro et al. (2011) menyatakan bahwa tanaman Hymenaea coubaril melakukan penyerbukan sendiri. Hal tersebut bertentangan dengan penelitian sebelumnya oleh Dunphy et al. (2004) yang menyatakan bahwa H. coubaril memiliki ketidaksesuaian secara seksual (self incompability). Penebangan pohon H. coubaril secara bebas dalam areal perhutanan dapat mengakibatkan berkurangnya pohon yang reproduktif. Kondisi tersebut mengakibatkan tanaman terisolasi, sehingga persentase penyerbukan sendiri dapat meningkat (Carneiro et al. 2011). Informasi genetik dari suatu organisme tidak mengalami perubahan sepanjang hayatnya namun tidak dapat dipertahankan karena masa hidup suatu organisme tersebut sangat terbatas. Namun demikian setiap organisme mempunyai potensi untuk menurunkan informasi genetik yang dimilikinya ke keturunannya melalui pertukaran gamet dan hal ini akan menghasilkan rekombinasi baru. Dengan demikian dinamika dari struktur genetik tidak dapat diamati ditingkat organisme tunggal, tetapi diamati ditingkat populasi dimana setiap anggota dari populasi tersebut saling bertukar gamet (Pandin 2009).
11 III. PERSEBARAN SERBUK SARI PADA KELAPA KOPYOR GENJAH PATI MENGINDIKASIKAN PERANAN POLINATOR SERANGGA DALAM PENYERBUKAN
Abstrak Analisis parental dapat digunakan untuk mengevaluasi persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor. Tujuan penelitian untuk mengevaluasi (i) persebaran serbuk sari, (ii) kisaran penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang yang terjadi, dan (iii) jarak serbuk sari ke tetua betina dalam populasi kelapa kopyor Pati. Hal ini sangat penting dilakukan untuk petani dalam peningkatan panen buah kopyor dan juga untuk mendukung pemuliaan kelapa mutan. Sebanyak 84 progeni dipanen dari 15 tetua betina. Kandidat tetua sebanyak 95 pohon dianalisis untuk melihat tetua jantan yang berptoensi untuk seluruh progeni. Provenan kelapa dewasa dipetakan sesuai posisi GPS. Seluruh sampel di identifikasi menggunakan 6 lokus SSR dan 4 lokus SNAP. Analisis parental dilakukan menggunakan CERVUS version 2.0 software. Hasil analisis mengindikasikan marka yang digunakan efektif untuk mengidentifikasi kandidat tetua di seluruh progeni. Tidak ada arah tertentu dari serbuk sari yang didonorkan tetua jantan ke tetua betina. Serbuk sari yang didonorkan berasal tetua jantan dari arah relatif terhadap posisi induk betina. Penyerbukan silang terjadi sebesar 82.1 % dari seluruh progeni yang dianalisis. Penyerbukan silang antara kelapa dalam dengan kelapa dalam (D x D), kelapa genjah dengan kelapa genjah (G x G), kelapa hibrida dengan kelapa hibrida (H x H), D x G, G x D, D x H, G x H dan H x G seluruhnya diobservasi. Penyerbukan sendiri (D x D dan G x G) terjadi sebesar 17,9% dari keseluruhan progeni. Kelapa genjah tidak selamanya mengalami penyerbukan sendiri. Keberadaan penyerbukan silang antara kelapa genjah dengan kelapa genjah, kelapa dalam dengan kelapa genjah dan kelapa hibrida dengan kelapa genjah juga diobservasi. Serbuk sari yang didonasikan dapat berasal dari serbuk sari donor yang berada dalam kisaran jarak tempuh 0-58 meter dari tetua betina resipien yang dievaluasi. Oleh karena itu, selain dengan adanya keberadaan angin, polinator serangga juga dapat berperan penting dalam polinasi kelapa Kopyor.
Kata kunci : kelapa mutan, endosperma abnormal, analisis parental, persebaran polen, penyerbukan silang, penyerbukan sendiri, marka SSR, marka SNAP
12 III. Pollen Dispersal of Pati Kopyor Coconut Indicating Importance Roles Of Insect Pollinator In Its Pollination *)
Abstract Parentage analysis has been used to evaluate pollen dispersal in Kopyor coconut (Cocos nucifera L.). The objectives of this research were to evaluate (i) the dispersal of pollen, (ii) the rate of self and out-crossing pollination, and (iii) the distance of pollen travel in Pati kopyor coconut population. The finding of this activities should be beneficial to kopyor coconut farmers to increase their kopyor fruit harvest and to support breeding of this unique coconut mutant. As many as 84 progeny arrays were harvested from 15 female parents. As many as 95 adults coconut provenances surrounding the female parents were analyses as the potential male parents for the progenies. The adult coconut provenances were mapped according to their GPS position. All samples were genotyped using six SSR and four SNAP marker loci. Parentage analysis was done using CERVUS version 2.0 software. Results of the analysis indicated the evaluated markers were effective for assigning candidate male parents to all evaluated seedlings. There is no specific direction of donated pollen movement from assigned donor parents to the female ones. The donated pollens could come from assigned male parents in any directions relative to the female parent positions. Cross pollination occured in as many as 82.1% of the progenies analyzed. Outcrossing among tall by tall (TxT), dwarf by dwarf (DxD), hybrid by hybrid (HxH), TxD, DxT, TxH, DxH, and HxD were observed. Self-pollination (TxT and DxD) occurred in as many as 17.9% of the progenies. The dwarf coconut is not always self pollinated. The presence of DxD, TxD, and HxD outcrossing were also observed. The donated pollens could come from pollen donor in a range of at least 0-58 m apart from the evaluated female recipients. Therefore, in addition to the wind, insect pollinators may play an important role in Kopyor coconut pollination.
KEY WORDS : Coconut mutant, abnormal endosperm, parentage analysis, pollen movement, outcrossing rate, self pollination, SSR marker, SNAP marker -------------------*) Sebagian dari penelitian Bab III. ini telah di-submit ke International Journal on Coconut Research and Development (CORD)
13 Introduction Kopyor coconuts are natural coconut mutants having abnormal endosperm and only exist in Indonesia. The endosperm is soft, crumbly and detached from the shell, forming flakes filling up the shell (Maskromo et al. 2007; Novarianto et al. 2014). The Makapuno coconut grown in the Philipines and other Asian countries is another example of coconut mutant exhibiting endosperm abnormality (Samonthe et al. 1989; Wattanayothin 2010). This mutant has been used as parent for hybridizations in coconut breeding (Wattanayothin 2005). The Macapuno coconut exhibits a soft and jelly-like endosperm (Santos 1999) that is phenotypically different to Indonesian Kopyor coconut. The kopyor coconut mutant phenotype is genetically inherited from parents to their progenies (Sukendah 2009) and most probably is controlled by a single locus (K locus) regulating the endosperm development of coconut (Sudarsono et al. 2014a). However, the identity of the regulatory locus has not yet been resolved. The abnormal endosperm phenotype in kopyor coconut is controlled by the recessive k allele; therefore, the genotype of kopyor fruit of coconut would be homozygous kk for the zygotic embryos and homozygous kkk for the endosperm. On the other hand, the genotype of the normal fruit of coconut would either be a homozygous KK or a heterozygous Kk for the zygotic embryo and either a homozygous KKK, heterozygous KKk, or heterozygous Kkk, respectively. The origin of Kopyor coconut mutant is not well documented; however, currently the kopyor provenances are found in a number of areas in Java and southern part of Sumatera (Novarianto and Miftahorrachman 2000). The district of Pati, Central Java Province is recognized as one of the Kopyor coconut production centers. Kopyor coconuts have existed in this region for generations, especially the dwarf type of Kopyor coconuts. Although only in a limited numbers, Kopyor Tall and Kopyor Hybrid coconut types also exist along side of the dwarf one. The tall and dwarf coconut have different morphological characters and pollination strategy. Tall coconuts are generally outcrossing since male flower mature earlier than the female counterpart in the same inflorescence. Dwarf coconut tends to self-pollinate because of an overlapping maturation period between male and female flowers (Deb Mandal and Shyamapada 2011). Pollination in coconut most probably is assisted by insect pollinators or by the wind (Ramirez et. al. 2004). The family of Diptera, Coleoptera and Hymenoptera are reported as effective pollinators of coconut (Ramirez et al. 2004). Distances of pollen transfer between male and female parents may be used to predict the type of pollinator assisting pollination in coconut. Such question may be answerred by studying pollen dispersal. Evaluating pollen dispersal in various plant species usually use an approach based on the parent – progeny genotype genotype (Austerlitz et al. 2004). Evaluations have been done in pines (Schuster and Mitoon 2000), Dinizia excels Fabaceae (Dick et al. 2003), Quercus garryana - Fagaceae (Marsico et al. 2009) and teak (Prabha et al. 2011). Availability of molecular markers capable of identifying genotype of parents and their progenies should assist the pollen dispersal studies. Using such markers, it should also be possible to estimate the
14 self-pollination and outcrossing rates in a certain population (Milleron et al. 2012). To our understanding, pollen dispersal analysis has not been evaluated in coconuts. With the development of kopyor coconut in Indonesia, availability of information associated with pollen dispersal should be beneficial considering the recessive nature of the kopyor character. Such coconut pollen dispersal evaluation requires availability of some coconut progeny arrays and polymorphic loci for molecular markers of coconut genome. Co-dominant markers, such as SSR and SNAP markers for coconut have been developed and routinely evaluated at PMB Lab, Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University (IPB), Bogor, Indonesia for a number of plant species. These include coconut (Sudarsono et al. 2014), cacao (Kurniasih 2012), and nut meg – Myristica sp. (Soenarsih 2012). Moreover, the gene specific SNAP markers have also been developed and used successfully in coconut (Sudarsono et al. 2014). The SSR markers have successfully been used in gene flow analysis of pines (Lian et al. 2001; Burczyk and Koralewski. 2005). SNAP marker have also been reported as an effective co-dominant marker for plant analysis (Morin et al. 2004, Sutanto et al. 2013) and proven to generate better data quality for the majority of samples on plant genetic studies (Brumfield et al. 2003) and population structure analysis (Herrera et al. 2007). The objectives of this research were is to evaluate (i) the dispersal of pollen, (ii) the rate of self and out-crossing pollination, and (iii) the distance of pollen travel in Pati kopyor coconut population. The finding of these activities should be beneficial to kopyor coconut farmers to increase their kopyor fruit yield and to support breeding and cultivar development of this unique mutant. Materials and Methods Time and Location of Research This research was conducted during the period of July 2012 up to January 2014. The field activities were at the Kopyor coconut plantation belonging to local farmer‟s at Sambiroto, Pati District, Central Java, Indonesia. The research site was at the following GPS location: S 6 32.182 E 11 03.354. The soil in the evaluated Kopyor coconut plantation is sandy soil. The laboratory activities were done at Plant Molecular Biology Laboratory (PMB Lab), Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia. Selection of Parents and Progeny Arrays There were 164 adult coconut trees in the field research site, consisted of a mixture of both kopyor heterozygous Kk and normal homozygous KK coconut trees. Only 95 out of 164 adult coconut trees in one block of 100x100 m2 were sampled in this evaluation. Based on the coconut type, the sampled population consisted of 68 dwarf, 14 tall and 13 hybrid coconuts. Moreover, based on their phenotype, they were recognized as 22 normal homozygous KK and 73 kopyor heterozygous Kk coconuts. Map of the existing coconuts in the research site was generated using the GPS position of all individuals.
15 Six dwarf, seven tall, and two hybrid coconuts among the kopyor heterozygous Kk trees were selected as female parents. They were selected using purposive random sampling to represent different sites in the sampled population. A single fruit bunch from each female parent containing 2-10 fruits/bunch was harvested 10-11 months after pollination. The total harvested fruits were collected and identified as either kopyor or normal fruits. The identified normal fruits were germinated and DNA was isolated from leaf tissue of the germinated seedlings (63 seedlings of normal fruits). The kopyor fruits are not able to naturally germinate since this character is lethal. Zygotic embryos were isolated from the identified kopyor fruits and DNA was isolated directly from the whole zygotic embryo tissues (21 zygotic embryos). Among the 84 DNA samples, 26 samples were from tall, 45 from dwarf, and 13 from hybrid female parents. Genotyping of Parents and Progenies DNA isolation was conducted using the CTAB method (Rohde et al. 1995). Either young coconut leaf or zygotic embryo (0.3-0.4 g) was homogenized in 2 ml of lysis buffer, containing 0.007 g PVP and 10 μl2-mercaptoetanol. The homogenized tissues were then incubated in 65°C waterbath for 60 minutes and the mixtures were centrifuged at 11000 rpm for 10 minutes using using the Eppendorf 5416 centrifuge. Supernatant was then transferred to an Eppendorf tube and an equal volume of chloroform:isoamyl-alcohol (24:1) was added. The mixtures were mixed well; centrifuged at 11000 rpm for 10 minutes and the supernatant was transferred into new microtube. Cold isopropanol (0.8 volume of supernatant) and sodium acetate (0.1 volume of supernatant) were added into the supernatant. After overnight incubation, the mixture was centrifuged at 11000 rpm for 10 minutes and DNA pellet was retained. The DNA pellet was washed using 500 μl of cold 70% ethanol, centrifuged and air dried before it was diluted into100 μl aquabidest. RNA contaminants were remove using RNase treatment following standard procedures (Sambrook and Russel 2001). SSR marker at 37 loci (Lebrun et al. 2001) were evaluated for their polymorphism 6 polimorphic loci were selected. In addition, four SNAP marker loci developed based on nucleotide sequence variabilities of both SUS and WRKY genes were also used to genotype all of the parents and progeny arrays. To generate markers, PCR amplifications were conducted using the following reaction mixtures: 2µl of DNA; 0.625 µl of primers, 6.25 µl PCR mix (KAPA Biosystem), and 3 µl ddH20. Amplifications were conducted using the following steps: one cycle of pre-amplification at 95°C for 3 minutes, 35 cycles of amplification steps at 95 °C for 15 seconds (template denaturation), annealing temperature for 15 seconds (primer annealing), and 72 °C for 5 seconds (primer extension), and one cycle of final extention at 72 °C for 10 minutes as suggested by KAPA Biosystem kit. The generated SSR markers were separated using vertical 6% polyacrilamide gel electrophoresis (PAGE) using SB 1x buffer (Brody and Kern 2004) and stained using silver staining. The silver staining was done following methods developed by Creste et al. (2001). Electrophoregrams were visualized over the light table and used to determine the genotype of the evaluated samples.
16 The generated SNAP markers were separated using 1% agarose gel electrophoresis using TBE 1x buffer and stained using standard DNA staining procedures (Sambrook and Russel 2001). The electrophoregrams were visualized over the UV transluminescence table and recorded using digital camera. The recorded pictures were used to determine the genotype of the evaluated samples. Identification of the Candidate Male Parents Each sample of the progeny arrays has a known female parent but unknown pollen donor (the male parent). The candidate male parents could be any one of the sampled adult population including the female parents. This steps were conducted to determine the assigned male parent donating pollen to generate any fruit in the progeny arrays. Identification of the assigned male parent was done by analyzing genotype of progeny and the respective female parent versus the genotype of all adult trees in the selected samples. The ID of the potential male parent for any progeny was determine based on the results of parentage analysis. Simulation was conducted to determine the threshold level for confidence interval of 80% (relax) and 95% (strict) levels before the final parentage analysis steps. Parentage analysis using the genotype of progenies, female parents, and potential male parents was done using CERVUS version 2.0 software (Marshall et al. 1998). Most likely approach (potential male parent with the highest LOD score) based on the matching genotype of progeny, female parent and potential male parent were used as the basis for assigning certain adult individual as the potential male parent or pollen donor of a progeny. The progeny and female parent genotype were compared with those of other adult trees and the assigned male parent was selected based on the output of CERVUS version 2.0 analysis results (Marshall et al. 1998). Pattern of Pollen Dispersal The location of the female and the asignmed male parents were plotted in the map of adult individuals generated by Garmin MapSource GPS mapping software version 76C5x. The distance between the known female parent and the assigned male parent was calculated using the same software. The distances and positions of both female and male parents in the generated map was then used to ilustrate pattern of pollen dispersal in the location. Self pollination was defined if the assigned male parent was the same as the female parent. Otherwise, they were assigned as outcrossing. The outcrossing were further grouped as outcrossing between either dwarf (dwarf parent pollinated other dwarf), tall (tall parent pollinated other tall), or hybrid (hybrid parent pollinated other hybrid); outcrossing between dwarf and either tall or hybrid (either tall or hybrid parent pollinated by dwarf); outcrossing between tall by hybrid coconuts (tall parent pollinated hybrid) or vice versa. The numbers of both self pollination and the respective cross pollination were calculated. Results and Discussions The Parents and Progeny Arrays Map of the existing coconut provenances in the research site are presented in Figure 3.1. As indicated, the sample coconut population consists of a mixture of
17 normal homozygous KK and kopyor heterozygous Kk individuals and a mixture of dwarf, tall and hybrid coconuts. All of these adult trees were used as potential male parents capable of donating pollens to and pollinating the selected female parents and generating the evaluated progeny arrays. The position of the selected female parents (6 dwarf, 7 tall, and 2 hybrid kopyor heterozygous Kk coconuts) are indicated in Figure 3.1. The harvested progenies from selected female parents ranged from 2-10 progenies per female parent. Out of 84 selected progenies, 21 were kopyor nuts and 63 were normal ones. They were harvested from tall (26 progenies), dwarf (45 progenies), and hybrid (13 progenies) female parents, respectively. Genotyping of Parents and Progeny Arrays The selected SSR and SNAP marker loci generated polymorphic markers in the evaluated coconut population. An example of the polymorphic marker generated by either the selected SSR (CnCir_56 locus) and SNAP (SUS 1_3 locus) primer pairs producing polimorphic markers is presented in Figure 2. and 3. In Figure 2, the evaluated individuals are either homozygous cc (sample # 1), bb (sample # 7-10), heterozygous bc (sample # 2-6, and 11), or heterozygous ab (sample # 12) for the CnCir_56 SSR locus. On the other hand, the evaluated individuals (sample # 1, 3, 4, 6) are heterozygous for reference and alternate SNAP alleles and the other two (sample # 2 and 5) are homozygous for the reference allele (Figure 3.3). All individuals were genotyped using the same approaches. The summary of genotping results for a total of 179 individuals using six SSR and four SNAP marker loci are presented in Table 3.1. The marker loci generated a range of 2-4 alleles per locus (Table 3.1). Mean number of alleles per locus is 3.4 and mean PIC for all marker loci was 0.47. The polymorphic information content (PIC) for SSR marker loci ranges from 0.31-0.68 while that of SNAP markers ranges from 0.28-0.37 (Table 3.1). The PIC values represents measures of polimorphism between genotypes in a locus using information of the allele numbers (Sajib et al. 2012). Total exclusionary power using the ten marker loci is either 0.85 (first parent) or 0.97 (second parent), indicating the SSR and SNAP markers should be informative enough for analyzing the evaluated coconut population. Identification of the Candidate Male Parents Results of simulation analysis using 10.000 iterations, 95 candidate male parents, and the known female parent for each progeny, predicted the rate of success in identifying male parents at 95% (strict) was 32% and at 80% (relax) confidence interval was 62%. Parentage analysis was able to resolve the identity of the male parent for every individual in the 84 progeny arrays using the most likely parent approach. Moreover, the results of analysis also indicated that assignment of the predicted male parents for the 20% (17 individuals) progenies are at least in the minimum of 95% confidence and 43% (36 individuals) were at least in the minimum of 80% confidence. The assignment for the male parents of other 57% (48 individuals) progenies were at the level of less than 80 % confidence. Although the confidence level was below 80 %, the male parent assignment for these progenies shows LOD (likelihood of odds) value higher than 0. A positive LOD value indicates the suspected male parent might be the true
18 parents. According to Marshall et al. (1998), the higher the LOD value the the higher the possibility the assigned male parent is the actual parent (Marshal et al. 1998).
Figure 3.1.Map of study site with the existed coconut provenances at Pati, Central Java, Indonesia. The marks in this map indicated the positions of the coconut provenances. The sampled provenances in an approximately one hectare area are in the square box. The flags indicate the positions of the selected female parents. Note: The marks indicate the position of ( ) normal tall,( ) kopyor tall, ( ) normal dwarf, ( ) kopyor dwarf, ( ) normal hybrid, and ( ) kopyor hybrid coconuts, respectively.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 M
Figure 3.2. Polymorphism of SSR markers generated by PCR of the genomic DNA sample # 1-12 with a pair of CnCir_56 SSR primers. M: 100 bp DNA ladder markers. The a, b, and c are the three specific alleles of the CnCir_56 locus.
19
R
1
A
R
2
A
R
3
A R
4
A
R
5
A
R
6
M
A
Figure3.3. Polymorphism of SNAP markers generated by PCR of the genomic DNA samples 1-6 with two pairs (the R: reference and the A: alternate primer pairs) of the SUS 1_3 SNAP locus. M: 100 bp DNA ladder markers. The R – PCR product of the R primer pairs and the A – PCR product of the A primer pairs. The occurrences of both R and A PCR products indicating the evaluated individuals are heterozygous, while if either only A or B indicating they were homozygous.
Table 3.1. Numbers of alleles and individuals, numbers of heterozygous and homozygous, observed (O) and expected (E) heterozygosity, and polymorphic information content (PIC) at 10 molecular marker loci of Kopyor coconut. Locus Name
No. of alleles
No. of individual
CnCir_87 CnCir_86 CnZ-18 CnZ_51 CnCir_B12 CnCir_56 CnSus1#14 CnSus1#3 WRKY19#1 WRKY 6#3
2 4 4 5 6 5 2 2 2 2
179 179 179 179 176 179 179 174 176 179
No. Of HeteroHomozyzygous gous 27 152 100 79 74 105 72 107 64 112 78 101 143 36 147 27 111 65 76 103
Heterozygosity O
E
0.15 0.56 0.41 0.40 0.37 0.44 0.80 0.85 0.63 0.43
0.39 0.72 0.61 0.58 0.72 0.64 0.49 0.50 0.47 0.34
PIC 0.31 0.67 0.57 0.54 0.68 0.57 0.37 0.37 0.36 0.28
Cross pollination is pollination of female flower by male pollen from different parents. Cross pollination produces half-sib progenies. The tall, dwarf and hybrid coconuts could reciprocally donate their pollens. Based on the assigned male parent of the 84 progeny arrays, cross pollination occured in as many as 69 events (82.1 %). Among those identified as outcrossing, 4 events are cross pollination between tall x tall (TxT), 16 tall by dwarf (TxD), and 4 tall by hybrid (TxH) parents. Moreover, outcrossing among DxD (15 events), DxT (6
20 events), DxH (11 events), HxH (2 event) and HxD coconuts (11 events) were also observed. Complete scheme and pollination types identified based on results of pollen dispersal analysis are presented in Table 3.2. The general understanding stated that because of the open flower morphology and the differences in flower maturation, tall coconut is probably always cross pollinated (Ramirez et al. 2004; Maskromo et al. 2011). However, our data indicated there are at least 2.38% of self pollination among the tall coconut (Table 3.2). Self pollination is characterized by the pollination of female flower by male pollen of the same parent. Self pollination produces full-sib progenies. Total numbers of self pollination are observed in as many as 15 events (17.9 %) in the evaluated progeny arrays (Table 3.2). They consist of two self pollination events in the tall kopyor coconut (2.38 %) and 13 self pollination events in the dwarf kopyor one (15.48%). Based on 13 progeny arrays harvested from the hybrid parents, no self pollination in the hybrid coconut is recorded (Table 3.2). The general understanding stated that because of the overlapping period between male and female flower maturation, dwarf coconut is always self pollinated (Maskromo et al. 2011). However, our data indicated the dwarf coconut is not always self pollinated. Contrary to the basic understanding, our data indicated the presence of more dwarf to dwarf (15 events, 17.86%), dwarf to tall (6 events, 7.14%) and dwarf to hybrid (11 events, 13.1%) outcrossing (Table 3.2). Finding by Rajesh et al. (2008) has previously indicated cross pollination did occur in dwarf coconuts. Availability of new tools, such as molecular markers, for analyzing outcrossing rate may change the previous understanding. Such changes have been shown in Hymenaea coubaril which was previously reported as more cross pollinated because of self incompatibility (Dunphy et al. 2004). Table 3.2. Crossing schemes and pollination types identified based on results of pollen dispersal analysis of the progeny arrays Crossing Pollination types Event numbers Percentage Scheme TxT Self 2 2.4% DxD Self 13 15.7% HxH Self 0 0 Sub-total Self 15 17.9 TxT Outcross 4 4.8% TxD Outcross 16 19.3% TxH Outcross 4 4.8% DxD Outcross 15 18.1% DxT Outcross 6 7.2% DxH Outcross 11 13.3% HxH Outcross 2 2.4% HxT Outcross 0 0 HxD Outcross 11 13.1% Sub-total Outcross 69 82.1% Total progenies 84 100.0% Note: T – tall coconut, D – dwarf coconut, and H - hybrid coconut
21 However, more recent pollen dispersal studies indicated that H. coubaril is more self pollinated (Carneiro et al. 2011). Other alternative explanation for this findings is it is just a special case in the evaluated site. In the study site, coconut provenances were planted in high density planting. Moreover, population of honey bees exist in the coconut plantation. Honey bees are known to roam around the male and female flowers and function as effective pollinators for coconuts. The high density planting and the availability of pollinators may have caused the unexpected outcrossing rate. However, those are subjects of further investigations. One assigned male parent may donate one or more pollens to the evaluated female coconut parent, with a range of 1-5 pollens per assigned male one. Number of assigned male parents donating certain numbers of pollen to the evaluated female parents is presented in Figure 3.4. The data indicate that most of the assigned male parents contribute only one pollen to the evaluated female parents. Only three assigned male parents (two dwarf, and one hybrid coconuts) donated 4 or 5 pollens to the surrounding female parents. The same female parents may receive donated pollens from different numbers of assigned male parents, with a ranged of 1-7 assigned male parents donated pollen to the same female one. The numbers female parents receiving donated pollens from different number of assigned male parent iss presented in Figure 3.5. The data indicated a single female parent most frequently received pollens from 2, 4 or 5 different assigned male parents. Only three female parents evaluated in this experiment (two dwarf and one hybrid coconuts) are found receiving pollens from at least 6 assigned male parents (Figure 3.5).
Number of male parent
40 30
27
20 11 10
7 2
1
4
5
0 1
2
3
6
7
Number of donated pollen Figure 3.4. Numbers of assigned male parent donating different numbers of pollen to evaluated female parents.
22
Number of female parent
6 4
4 3
3 2
2 1
1
1
0 1
2
3
4
5
6
7
Number of assigned male parents Figure 3.5. Numbers of female parent receiving donated pollens from different number of assigned male parents.
Number of events
Pattern of Pollen Dispersal The distances between female to the assigned male parents have been determined based on their GPS positions. The distance of pollen travel between assigned male to female parents as measured in this evaluation ranged from 0 - 58 m. Numbers of pollination events of each distance class from the assigned male to the female coconut parents are presented in Figure 3.6. The assigned male parents are distributed almost evenly in the different class distances from the female parents. The 0 m distance between parents indicates self pollination events.
18
20 15 10
13 6
12
12
7
0 0
< 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60
Class distance between male to female (m) Figure 3.6. Numbers of pollination events for each distance class from the assigned male to the female coconut parents.
23 To evaluate pattern of pollen dispersal among the assigned male parent to the female, the positions of assigned male parents as pollen donors to one female parent are plotted to a map using their GPS positions. Representative samples of the assigned male parent positions to a single female recipient parent are presented in Figures 3.7-3.11. As the female parent, Hybrid kopyor # 059 (Figure 3.7) received 6 donated pollens from six different assigned pollen donors. The pollen contributors to the progeny array harvested from Hybrid kopyor # 059 female parent were all kopyor heterozygous Kk coconuts. However, the seven progenies harvested from this female parent were all phenotypically normal, i.e. genetically either a normal heterozygous Kk or homozygous KK. The positions of the assigned male parents relative to the female parent # 059 in the study site were presented in Figure 3.7. The Dwarf kopyor # 067 (Figure 3.8) received 10 donated pollens from eight different assigned male parents. The assigned pollen contributors to the Dwarf kopyor # 067 female parent were all kopyor heterozygous Kk coconuts. Only one out of the 10 progenies harvested from this female parent was phenotypically kopyor. The assigned male parent for the harvested kopyor fruit was the tall kopyor # 089. The positions of the assigned male parents relative to the female parent # 067 were presented in Figure 3.8.
Figure 3.7. Pattern of pollen movement to female parent # 059 inferred from parentage analysis. The mark indicates position of ( ) Dwaf kopyor, ( ) Hybrid kopyor as the assigned male (pollen donor) parents, and ( ) hybrid kopyor # 59 as the female recipient, respectively.
24
Figure 3.8. Pattern of pollen movement to female parent # 067 inferred from parentage analysis. The marks indicate position of ( ) Dwaf kopyor, ( ) Hybrid kopyor, ( ) Tall kopyor as the assigned male (pollen donor), and ( ) Dwarf kopyor # 067 as the donor pollens and female recipient, respectively.
Dwarf kopyor # 068 (Figure 3.9) received 9 donated pollens from four assigned male parents. The four progenies were the result of outcross with either hybrid (# 59) or dwarf (#87 or # 90) and from self pollination. The assigned pollen contributors to the Dwarf kopyor # 068 were all kopyor heterozygous Kk coconuts. Three out of the 9 progenies harvested from Dwarf kopyor # 069 were phenotypically kopyor. These kopyor fruits received one donated pollen from either the tall kopyor # 059, dwarf kopyor # 68 or # 87. The positions of the assigned male parents relative to the female parent # 68 were presented in Figure 3.9. Dwarf kopyor # 084 (Figure 3.10) received 8 donated pollens from surrounding pollen donors. The pollen contributors to the Dwarf kopyor # 084 female parent were all kopyor coconuts. Only two out of the 8 progenies harvested from Dwarf kopyor # 084 were phenotypically kopyor. These two kopyor fruits received donated pollens from either The two assigned male parents, either dwarf kopyor # 056 (one pollen) and hybrid kopyor # 057 (one pollen), each contributed a one pollen to the evaluated progenies. Moreover, assigned male parent # 32 is the most distance pollen contributor among the evaluated trees. The positions of the assigned male parents (pollen contributors) relative to the female parent # 084 were presented in Figure 3.10.
25
Figure 3.9. Pattern of pollen movement to female parent # 068 inferred from parentage analysis. The marks indicate position of ( ) Dwaf kopyor and ( ) Hybrid kopyor as the assigned male parents (pollen donors), and ( ) Dwarf kopyor # 068 as the donor pollens and female recipient, respectively.
Figure 3.10.
Patterns of pollen movement to female parent # 084 inferred from parentage analysis. The marks indicate positions of ( ) Dwaf kopyor, ( ) Hybrid kopyor, ( ) the Tall kopyor as the assigned male - pollen donors, and ( ) Dwarf kopyor # 84 as the female recipient, respectively.
26 Dwarf kopyor # 089 (Figure 3.11) received 7 donated pollens from surrounding pollen donors. The pollen contributors to the Dwarf kopyor # 089 female parent were all kopyor coconuts. None of the 7 progenies harvested from Dwarf kopyor # 089 was phenotypically kopyor. The positions of the assigned male parents relative to the female parent # 089 were presented in Figure 3.11. Figures 3.7-3.11 indicated there is no specific direction of donated pollen movement from assigned male parents to the female parents. The donated pollen could come from assigned male parents in any directions relative to the female parent positions. The other positions of the assigned male parents were presented in Figure attachment 5-14. In the reseach location, wind blows from left to right during the night and from right to left during the day. If the wind is the major pollinators, there should be a specific pattern of pollen movement. Moreover, the distance of pollen dispersals should be close to the pollen donors. Our data did not support the wind as the only major pollinator in Kopyor coconut since pollens disperse in random directions and the assigned male parents are as far as 58 m apart from the evaluated female recipients. Our data also indicated that insect pollinators may play an important role in Kopyor coconut pollination. Numbers of insects are associated with inflorescence of kopyor coconuts. Such insects may aid pollination and promote cross pollination in kopyor coconuts, as it happens to other plant species (Bown 1988). These findings, however, do not rule out the role of wind in the Kopyor coconut pollination, especially from closely spacing male pollen donors.
Figure 3.11. Pattern of pollen dispersal plotted based on the assigned male parent as pollen donor to female parent # 089. The marks indicate position of ( ) Dwaf kopyor, ( ) the Tall kopyor as the assigned pollen donor, and ( ) Tall kopyor # 89 as the donor pollens and female recipient, respectively.
27 This might have been the first report of using molecular marker to study pollen dispersal in coconut. Results of this study point to new finding about pollen dispersal and pollination, selfing and out-crossing rates among dwarf, hybrid, and tall coconuts, respectively. However, to generalize the finding will require more further research and evaluation since these findings may be only specific for the current study site. Conclusion The evaluated markers were effective for assigning candidate male parents to all evaluated seedlings. There is no specific direction of donated pollen movement from assigned donor parents to the female ones. The donated pollens could come from assigned male parents in any directions relative to the female parent positions. Based on the assigned male parent of the 84 progeny arrays, cross pollination occured in as many as 69 events (82.1 %) including one among tall by tall (TxT), dwarf by dwarf (DxD) and hybrid by hybrid (HxH) cross pollination events. Moreover, outcrossing among TxD, TxH, DxH and vice-versa were also observed. This finding also indicated the dwarf coconut is not always self pollinated. The presence of 17.86 DxD, 19.05% TxD and 13.10% HxD were also observed. In Kopyor coconut, the pollens could travel from pollen donors as far as 58 m apart from the evaluated female recipients. Therefore, insect pollinators may play an important role in these distances of Kopyor coconut pollination.
28
29 IV. PERSEBARAN SERBUK SARI PADA KELAPA DALAM KALIANDA MEMBUKTIKAN ADANYA PENYERBUKAN SILANG PADA KELAPA DALAM
Abstrak Analisis paternitas digunakan untuk mengetahui pola persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor (Cocos nucifera L.) Dalam Kalianda. Tujuan spesifik penelitian ini untuk mengevaluasi (i) persebaran serbuk sari serta (ii) kisaran besarnya penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang pada Kelapa Dalam Kopyor Kalianda, asal Kalianda, Lampung. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam. Dari 60 pohon kelapa dewasa tersebut dipilih 14 pohon dewasa yang dijadikan sebagai induk betina. Sebanyak 49 progeni dipanen dari 14 induk betina terpilih dan dikecambahkan untuk sumber DNA dalam analisis paternitas. Calon tetua jantan terdiri atas 47 pohon kelapa berbuah normal (homozigot KK) dan 13 pohon kelapa berbuah kopyor (heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon. Enam lokus marker SSR polimorfik yaitu CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87, CnCir_56, CnZ_51, CnZ_18 dan empat lokus marker SNAP polimorfik yaitu CNSUS1#14, CNSUS1#3, WRKY6#3 dan WRKY19#1 digunakan untuk menentukan genotipe seluruh progeni, seluruh kandidat tetua jantan, dan semua tetua betina yang digunakan. Hasil percobaan menunjukkan serbuk sari kelapa kopyor Dalam Kalianda menyebar dengan jarak sejauh 63 m. Jarak penyebaran serbuk sari terbanyak yang teramati adalah pada jarak 40-50 m, dengan frekuensi sebesar 13 kejadian polinasi. Diantara 47 progeni yang dievaluasi, hanya satu (2%) progeni yang berasal dari penyerbukan sendiri (self pollination) dan 48 (98%) berasal dari penyerbukan silang. Hasil penelitian juga menunjukkan 13 progeni (27%) berasal dari penyerbukan silang antar tetua yang sama-sama kopyor heterosigot Kk dan 35 (71%) progeni berasal dari penyerbukan silang antara tetua kopyor heterosigot Kk dengan donor serbuk sari yang berasal dari kelapa normal homosigot KK.
Kata kunci : Kelapa Dalam Kopyor, penyerbukan sendiri, penyerbukan silang
30 IV. POLLEN DISPERSAL IN KALIANDA TALL COCONUT PROVED OUTCROSSING NATURE OF TALL COCONUT POLLINATION
Abstract Paternity analysis is used to determine the pattern of pollen spread among kopyor coconut (Cocos nucifera L.) in Kalianda, Lampung. The specific objective of this study are to evaluate (i) the spread of pollen (ii) the magnitude of the range of self-pollination and cross-pollination in Kalianda Tall Kopyor coconut at Kalianda, Lampung. The population used in this study consisted of 60 adult palm trees, mixtures of heterozygous kopyor (Kk) and homozygous normal (KK) coconut trees. Progeny arrays (47 nuts) were harvested from 14 kopyor heterozygous Kk female parents and the progeny were germinated. As many as 60 adult trees surrounding the identified female parents were selected as potential male parents, consisted of 47 normal homozygous KK palm and 13 kopyor heterozygous Kk parents. Six polymorphic SSR marker loci used were CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87, CnCir_56, CnZ_51, CnZ_18 and the four polymorphic SNAP markers used were CNSUS1 # 14, CNSUS1 # 3, WRKY6#1 and WRKY19 # 3. The markers were used to genotype all the progeny, the potential male and the female parents. Results of the experiment indicated pollen of Kalianda Tall Kopyor coconut disperse as far as 63 m. The most frequent pollen dispersal distance are between 40-50 m with the frequency of 13 pollination events. Among the evaluated progenies, only one (2%) comes from self pollination event and 48 (98%) comes from cross pollination ones. Results of the progeny evaluation also indicated that 13 progenies (27%) are the results of outcrossing among kopyor heterozygous Kk parents and 35 events (71%) are from outcrossing among kopyor heterozygous Kk parents and the normal homozygous KK assigned male parents.
Key words : Tall coconut kopyor, self polination, outcrossing pollination, pollen dispersal
31 Pendahuluan Kelapa kopyor merupakan komoditas andalan yang bernilai ekonomi tinggi dan dicirikan oleh daging buah yang bertekstur gembur dan sebagian besar tidak melekat di tempurungnya serta rasa yang gurih pada buah yang muda. Di Filipina, jenis kelapa ini disebut makapuno,di Sri Lanka dan Thailand disebut dikiri. Buah kopyor ini diduga berasal dari tanaman kelapa yang mengalami mutasi genetik secara alamiah. Kelapa berbuah kopyor adalah mutan kelapa yang ditemukan di antara populasi kelapa normal. Buah kelapa kopyor dapat dipasarkan dalam bentuk segar dan siap saji maupun melalui pengolahan lebih dahulu. Di Indonesia, pemanfaatan kelapa kopyor lebih ditujukan untuk kebutuhan konsumsi bahan pangan berupa es kopyor, es krim kopyor, koktil, selei kopyor dan bahan campuran kue (Sudarsono et al. 2012) . Hasil survei yang dilaksanakan Balitka pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kelapa kopyor terdiri atas dua tipe, yaitu tipe Dalam dan tipe Genjah. Tipe Dalam terdapat di Kalianda (Lampung Selatan), Ciomas (Bogor), Sumenep dan Jombang (Jawa Timur) dan Pati (Jawa Tengah). Pertanaman kelapa kopyor yang ditanam secara populasi dijumpai di Dukuhseti, Kabupaten Pati (Jawa Tengah), Sumenep (Jawa Timur), Ciomas (Bogor, Jawa Barat), Kalianda (Lampung Selatan), Riau dan Kalimantan Timur. Kelapa kopyor yang ditanam secara individu terdapat di Kabupaten Pati, Jombang dan Sumenep (Sudarsono et al. 2014a). Secara alami, tanaman kelapa kopyor tipe Dalam hanya menghasilkan buah kopyor 1-2 butir per tandan. Hal ini disebabkan kelapa tipe Dalam termasuk tanaman menyerbuk silang sehingga peluang bertemunya gen resisif pada bunga betina dan serbuk sari relatif kecil. Kelapa kopyor tipe Genjah menghasilkan buah kopyor per tandan lebih banyak dari tipe Dalam, kadang-kadang dapat mencapai 50%. Kabupaten Lampung merupakan salah satu sentra kelapa di provinsi Lampung, dengan total areal pertanaman pada tahun 2010 seluas 34.730 ha dan produksi 30 435.60 ton. Luas areal pertanaman kelapa tersebut terus menurun seiring dengan alih fungsi lahan untuk pengembangan komoditi lainnya dan untuk perluasan areal pemukiman. Pada pertanaman kelapa untuk produksi kopra maupun pemanfaatan lainnya ternyata terdapat kelapa Dalam kopyor dengan luasan dan jumlah tegakan yang bervariasi. Kondisi pertanamannya dalam bentuk populasi dan individu tanaman yang menyebar di area kebun kelapa beberapa petani setempat. Hingga saat ini asal usul tanamannya belum diketahui. Umumnya tanaman kelapa Dalam kopyor di Lampung berasal dari warisan orang tua atau pengembangan dari tanaman kelapa Dalam kopyor yang diperoleh dari relasi petani setempat (Sudarsono et al. 2014b). Berdasarkan pola penyerbukan, karakter morfologi seperti tinggi pohon, warna buah dan perbedaan kuantitatif dan kualitatif dalam komponen buah, dan kecepatan berbunga pertama kelapa dikelompokkan menjadi dua tipe. Tipe kelapa Dalam (Typica) cenderung menyerbuk silang disebabkan oleh bunga jantan yang lebih duluan matang dibandingkan bunga betina. Setelah penyerbukan, periode untuk menjadi buah sadalah 12 bulan. Tipe kelapa Genjah (Nana) cenderung menyerbuk sendiri karena adanya overlapping antara fase bunga jantan dan betinanya (DebMandal dan Shyamapada 2011). Kelapa memiliki tipe bunga berumah satu (monoecious), secara fisik bunga jantan dan betina terpisah dalam
32 individu pohon yang sama. Walaupun bunga jantan dan betina ada pada individu pohon yang sama, tetapi bunga jantan dan betina tersebut biasanya mekar pada waktu yang berbeda. Persebaran serbuk sari pada berbagai spesies tanaman kini telah banyak diteliti contohnya pada tanaman pinus (Schuster dan Mitoon 2000) dan Quercus garryana famili Fagaceae (Marsico et al. 2009). Dengan mengidentifikasi semua sumber serbuk sari yang potensial dalam suatu wilayah studi, penanda dari tetua secara langsung dapat digunakan untuk mengidentifikasi tetua jantan dari progeni yang dianalisis, dan dengan demikian memberikan wawasan tentang bagaimana sifat-sifat individu yang diberikan oleh tetua jantan dan menduga kisaran peluang tanaman menyerbuk sendiri atau menyerbuk silang dalam suatu populasi (Milleron et al. 2012). Untuk tanaman kelapa belum pernah dilaporkan mengenai pola persebaran serbuk sarinya secara spesifik. Untuk mengembangkan pertanaman kelapa Dalam kopyor di Kabupaten Lampung Selatan, maka dianggap perlu untuk melakukan analisis persebaran serbuk sari pada kelapa Dalam Kalianda sebagai sumber informasi berbagai tipe penyerbukan tanaman kelapa Dalam. Adapun tujuan spesifik penelitian ini untuk mengevaluasi (i) persebaran serbuk sari (ii) kisaran besarnya penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang pada Kelapa Dalam Kalianda Lampung.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2013 hingga Agustus 2014. Kegiatan lapang dilakukan di perkebunan kelapa kopyor di Agom Jaya, Kalianda Kabupaten Lampung Selatan, Lampung dengan lokasi GPS S5 39.462 E105 34.962. Tipe tanah yang dievaluasi pada perkebunan kelapa kopyor merupakan tipe tanah berpasir. Kegiatan laboratorium dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pemilihan Tetua dan Pemanenan Progeni Populasi terdiri atas 282 pohon. Populasi yang dipilih berdasarkan jumlah tanaman yang lebih dari 10 pohon kopyor. Populasi tersebut merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor. Berdasarkan tipe kelapa tersebut, populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60 pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat induk betina. Lebih lanjut berdasarkan fenotipenya, pohon kelapa berbuah normal (homozigot KK) sebanyak 47 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor (heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon. Keberadaan setiap pohon kelapa di perkebunan ditunjukkan dengan menggunakan pemetaan GPS. Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon tetua jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih.
33 Genotyping tetua dan progeni Isolasi DNA dilaksanakan menggunakan metode CTAB (Rohde et al. 1995) dengan modifikasi. Daun kelapa muda maupun embrio kelapa (0.3-0.4 g) digerus dengan buffer lisis 2 ml, yang mengandung PVP 0.007 g dan 2-mercaptoetanol sebanyak 10 μl. Hasil gerusan daun atau embrio diinkubasi dalam waterbath pada suhu 65 °C selama 60 menit dan dihomogenkan menggunakan sentrifugasi Eppendorf Centrifuge 5416 dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf kemudian ditambahkan kloroform:isoamil-alkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit dan dipindahkan ke mikrotube baru. Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan isopropanol dingin (0.8 volume dari supernatan) dan sodium asetat (0.1 volume supernatant). Setelah diinkubasi dalam freezer semalaman,suspensi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl. lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan aquabidest sebagai suspensi DNA. Kontaminan RNA dihilangkan dengan menggunakan RNase sesuai standar prosedur (Sambrook dan Russel 2001). Primer SSR yang diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) (Lampiran 1) diperoleh 6 primer yang polimorfik. Sebagai tambahan, empat lokus marka SNAP berdasarkan keragaman sekuens nukleotida (gen SUS dan WRKY) (Lampiran 2) juga digunakan untuk menganalisis seluruh tetua dan progeni. Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan 2µl DNA working solution, 0.625 µl primer, 6.25 pcr mix (KAPA Biosystem), dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi. Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus, yang dimulai pada suhu 95 °C selama 3 menit sebagai denaturasi awal, diikuti 95 °C selama 15 detik sebagai denaturasi siklus pertama, penempelan primer spesifik - suhu disesuaikan dengan masing-masing pasangan primer - selama 15 detik, pemanjangan primer pada suhu 72 °C selama 5 detik. Final extention 72 °C selama 10 menit sesuai rekomendasi kit KAPA Biosystem. Produk amplifikasi PCR untuk primer SSR dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004) dan pewarnaan gel dengan pewarna silver. Pewarnaan silver mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan modifikasi. Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan juga di atas light table. Produk amplifikasi PCR untuk primer SNAP dipisahkan menggunakan gel agarose 1% menggunakan buffer TBE 1x dan pewarnaan menggunakan gel untuk melihat hasil skoring yang dihasilkan (Sambrook and Russel 2001). Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan untuk setiap sampel. Identifikasi Kandidat Tetua Jantan Setiap progeni yang disampling sudah diketahui induk betinanya tetapi tidak diketahui pohon yang menjadi donor serbuk sarinya. Kandidat tetua jantan bisa menjadi salah satu induk betina dalam populasi pohon dewasa tersebut. Tahapan
34 ini dilakukan untuk memprediksi calon pendonor serbuk sari diantara calon tetua jantan yang dievaluasi di setiap progeni. Identifikasi donor serbuk sari dilakukan dengan menganalisis genotipe progeni versus seluruh induk jantan yang dievaluasi. Semua induk jantan atau induk betinanya dievaluasi dan berpotensi sebagai donor serbuk sari. Analisis molekuler menggunakan software CERVUS analysis parentage program komputer Cervus 2.0 (Marshall 1998). Hasil Cervus diperoleh data alel frekuensi, PIC, heterozigositas, homozigositas. Dilanjutkan dengan data simulasi dan data analisis tetua. Data analisis tetua akan diperoleh kandidat tetua dengan lambang (*): artinya tingkat kepercayaan 95%. (+): tingkat kepercayaan 80%. dan (-): tingkat kepercayaan < 80% . Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari Lokasi induk betina dan tetua jantan terpilih hasil analisis Cervus diplotkan menggunakan perangkat lunak pemetaan Garmin MapSource GPS versi 76C5x. Jarak antara induk betina dan tetua jantan dihitung menggunakan software yang sama. Jarak dan posisi dari kedua induk betina dan tetua jantan yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengilustrasikan pola persebaran serbuk sari di lokasi penelitian. Penyerbukan sendiri didefinisikan jika induk jantan yang teridentifikasi sama dengan tetua betinanya. Selain itu semuanya didefinisikan sebagai penyerbukan silang. Penyerbukan silang bisa dikelompokkan dengan kategori penyerbukan silang genjah (induk betina genjah diserbuki oleh tetua jantan genjah lainnya), penyerbukan silang dalam (induk betina dalam diserbuki oleh tetua jantan dalam lainnya), penyerbukan silang hibrida ((induk betina hibrida diserbuki oleh tetua jantan hibrida lainnya), penyerbukan silang antara induk betina genjah dengan Dalam atau hibrida, atau sebaliknya. Kedua tipe persilangan dan kuantitasnya semuanya dihitung.
Hasil dan Pembahasan Pemetaan Populasi Tanaman Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1. Populasi tersebut menggambarkan populasi yang digunakan dalam analisis pola persebaran serbuk sari sebanyak 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60 pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat tetua betina. Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak 68 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 13 pohon. Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 2 sampai 10 buah. Progeni dari setiap pohon induk betina dipanen masing-masing satu tandan dengan jumlah total progeni 51 buah. Berdasarkan tipe kelapa tersebut, populasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 60 pohon kelapa dewasa yang semuanya tipe kelapa Dalam, dari 60 pohon tersebut dipilih 14 pohon yang dijadikan sebagai kandidat induk betina. Lebih lanjut berdasarkan fenotipenya, pohon kelapa berbuah normal
35 (homozigot KK) sebanyak 47 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor (heterozigot Kk) sebanyak 13 pohon. Genotyping tetua dan progeni Berdasarkan analisis molekuler menunjukkan bahwa seluruh primer yang digunakan menunjukkan pita polimorfik baik mikrosatelit dan SNAP. Salah satu contoh primer SSR (CnCir_56) dan SNAP ( WRKY 6_3 ) yang menghasilkan alel polimorfik pada populasi kelapa kopyor yang dianalisis dapat dilihat pada Gambar 4.2. dan 4.3. Pada Gambar 4.2. individu yang dievaluasi untuk lokus SSR CnCir_56 menunjukkan alel homozigot cc (sampel nomor 1), homozigot bb (sampel nomor 7-10), heterozigot bc (sampel 2-6 dan sampel 11) atau heterozigot ab (sampel nomor 12). Sedangkan individu sampel nomor 1,2,3,4 dan 6 heterozigot untuk referens dan alternate untuk alel SNAP (WRKY 6_3) dan sampel 5 homozigot untuk alel referens (Gambar 4.3). Setiap individu di genotipe dengan pendekatan yang sama.
Gambar 4.1. Lokasi studi penelitian tegakan kelapa kopyor di Agom Jaya Kalianda Lampung Selatan. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) induk betina Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
36
Gambar 4.2. Visualisasi DNA hasil amplifikasi primer SSR CnCir_56 dengan sampel DNA # 1-12. M: penanda 100 bp DNA . Posisi a, b, and c menunjukkan posisi alel spesifik pada primer CnCir_56.
1
2 3 4 5 6 2 3 4 5 6 R A R A R A R A R A R A
Gambar 4.3. Polimorfisme marker SNAP dua pasang dengan sampel DNA genom 1-6 ( R: reference dan A: alternate pasang primer) pada marka SNAP WRKY 6_3 SNAP. M: penanda 100 bp DNA . R produk PCR dari pasangan primer R dan A - produk PCR dari A pasangan primer. Jika produk PCR menunjukkan R dan A keduanya muncul maka individu yang dievaluasi heterozigot, sedangkan jika hanya salah satunya A atau B menunjukkan homozigot.
37 Tabel 4.1. Jumlah alel, heterozigositas observasi (O) dan ekspektasi (E) serta kandungan informasi polimorfis (PIC) pada 10 lokus marka molekuler populasi kelapa dalam Kalianda
Nama lokus
Jumlah alel
CnCir_87 CnCir_86 CnZ-18 CnZ_51 CnCir_B12 CnCir_56 CnSus1#14 CnSus1#3 WRKY19#1 WRKY 6#3
2 4 4 5 5 5 2 2 2 2
Het 57 41 80 74 60 68 71 75 108 104
Jumlah Hom 53 69 30 35 50 42 38 35 2 5
Heterozigositas O E 0.518 0.487 0.373 0.494 0.727 0.651 0.679 0.775 0.545 0.627 0.618 0.71 0.651 0.478 0.682 0.476 0.982 0.502 0.954 0.501
PIC 0.367 0.456 0.599 0.734 0.551 0.656 0.363 0.362 0.375 0.374
Keterangan: PIC = Polymorphic Information Content, Ho = Observed heterozigosity, He = Expected heterozygosity
Nilai PIC pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokus-lokus dengan marka SNP (Tabel 4.1). Nilai rata-rata Ho pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR tergolong lebih rendah dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Tingginya nilai Ho menunjukkan bahwa pada lokus-lokus tersebut genotipe yang diamati mayoritas memiliki alel-alel homozigot. Demikian juga nilai He pada lokus dengan marka SSR lebih tinggi dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Alel-alel heterozigot banyak dijumpai pada marka SSR menyebabkan nilai He lebih tinggi dibandingkan dengan marka SNP. Marka SNP menggunakan gen spesifik yang apabila dalam melakukan analisis keragaman dibutuhkan jumlah lokus dan genotipe yang cukup banyak untuk dianalisis sehingga diperoleh keragaman pada gen spesifik yang sedang dipelajari. Nilai He yang tinggi mengindikasikan bahwa pada lokus tersebut menunjukkan keragaman yang tinggi (Boer 2007). Rendahnya lokus yang digunakan merupakan salah satu penyebab rendahnya nilai He dan PIC, karena lokus yang dipelajari masih sedikit dan alelnya cenderung homozigot. Hasil penelitian Esteras et al. (2012) menggunakan 384 posisi SNP untuk pemetaan genetik dan analisis QTL pertama di Cucurbitaceae. Platform menggunakan SNP ini berguna untuk pemetaan dan studi keanekaragaman dan menjadi penting untuk mempercepat proses pemuliaan. Identifikasi Kandidat Tetua Jantan Hasil analisis tetua menunjukkan 24 (48,97%) dengan simbol (+), 10 (20,42%) simbol (*) dan 15 (30,61%) dengan simbol (-), yang menunjukkan bahwa success rate untuk level confidence diatas 95%, simbol (+) terdapat tiga progeni level confidence 80% sebesar 39 % dan level confidence dibawah 80% sebesar 61%. Seluruh nilai LOD menunjukkan tidak terdapat nilai negatif, sehingga simbol (-) diyakini sebagai jantan walaupun tingkat kepercayaan
38 dibawah 80%. Nilai peluang kemungkinan atau LOD (Likelihood of odds) menunjukkan nilai lebih besar dari 0 dan positif, nilai LOD positif lebih mengindikasikan bahwa tetua jantan yang diduga adalah benar. Semakin besar nilai LOD maka semakin besar peluang tetua tersebut merupakan tetua yang sebenarnya (Marshal et al. 1998). Dari hasil uji progeni dapat dibuat rangkuman skema persilangan dan tipe penyerbukan pada populasi Kalianda yang menunjukkan bahwa terjadi selfing genotipe kopyor sebanyak 1 kali (2%), persilangan antara genotipe kopyor sebanyak 13 kali (27%) dan persilangan genotipe kopyor dan normal sebanyak 35 kali (71%) (Tabel 4.2). Jumlah progeni yang dihasilkan dari tetua jantan yang teridentifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.4. Penyerbukan polen dari tetua jantan adalah sebanyak 1-3 serbuk sari, dengan frekuensi tertinggi yaitu 1 serbuk sari sebanyak 15 kali penyerbukan oleh 1 tetua jantan (Gambar 4.5). Jarak persebaran polen yang terdekat adalah 0 m dan terjauh > 60 m yaitu 63 m dengan frekuensi penyerbukan tertinggi terjadi pada jarak >50 m yaitu sebanyak 13 kali (Gambar 4.6). Tabel 4.2. Skema persilangan dan tipe penyerbukan yang diidentifikasi berdasarkan hasil analisis persebaran dari uji progeni populasi Kalianda. Skema Tipe Penyerbukan Penyerbukan Kopyor x Kopyor Self Kopyor x Kopyor Outcross Kopyor x Normal Outcross Total progeni
10 8
Jumlah peristiwa penyerbukan 1 13 35 49
Persentase 2% 27% 71% 100.00%
9 7 6
6
55 4
4 2
3 2
4
33
4 3
4
3
2 1
2
2 1
1
1
129 148 149 150 151 156 158 160 163 185 193 194 209 210 217
0
Gambar 4.4. Jumlah progeni yang dipanen per induk betina dan jumlah tetua jantan yang mendonasikan serbuk sari untuk tetua betina tertentu pada pertanaman kelapa kopyor populasi Agom Jaya, Lampung Selatan
39
20 15 11 10 4 0 1
2
3
Jumlah serbuk sari Gambar 4.5. Jumlah tetua jantan yang mendonasikan sejumlah serbuk sari pada induk betina di sekitarnya pada pertanaman kelapa kopyor populasi Agom Jaya, Lampung Selatan
15
13
penyerbukan
Jumlah peristiwa
20
10
10
7
7
5
5
3
3
1 0 0
< 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60
Kelas jarak antara tetua jantan terhadap betina (m) Gambar 4.6. Jumlah polinasi setiap kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih terhadap induk betina pada pertanaman kelapa kopyor populasi Agom Jaya, Lampung Selatan
40 Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari Evaluasi pola persebaran polen dari tetua jantan yang sudah ditentukan terhadap induk betina, posisi tetua jantan sebagai donor polen ke salah satu induk betina di plotkan di peta menggunakan posisi GPS. Contoh gambaran dari posisi tetua jantan yang sudah ditentukan terhadap induk betina resipien dipresentasikan pada gambar 4.7-4.18. Beberapa pola penyerbukan pada pohon induk betina kelapa Dalam kopyor yang memperlihatkan seluruh donor serbuk sari berasal dari pohon Dalam kopyor terjadi pada induk betina nomor 148, 150, 163, 193, dan 194 (Gambar 4.7 - 4.11).
Gambar 4.7. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor #148. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
41
Gambar 4.8. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 150. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
Gambar 4.9. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 194. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam Dalam kopyor.
42
Gambar 4.10. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 163. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
Gambar 4.11. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 193. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor. Beberapa pola penyerbukan pada pohon induk betina kelapa Dalam kopyor yang memperlihatkan sebagian donor serbuk sari berasal dari pohon Dalam normal terjadi pada induk betina nomor 149, 151, dan 156, (Gambar 4.12 4.14).
43
Gambar 4.12. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam normal Kalianda induk betina nomor 149. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam normal dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
Gambar 4.13. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam normal Kalianda induk betina no. 151. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor, ( ) tetua jantan Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam normal.
44
Gambar 4.14. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 156. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam normal.
Gambar 4.15. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor #129. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam Normal, ( ) tetua jantan Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam normal Pohon induk betina kelapa Dalam normal yang ada di sekitar pohon kelapa Dalam kopyor juga dapat menerima sumbangan serbuk sari yang berasal dari kelapa Dalam kopyor. Gambar 4.15-4.17 menunjukkan pohon induk betina Dalam normal nomor 129, 158, dan 209 menerima serbuk sari yang berasal dari donor kelapa Dalam kopyor dan Dalam Normal. Sebaliknya, pohon induk betina Dalam
45 normal nomor 210 hanya menerima serbuk sari yang berasal hanya dari donor kelapa Dalam kopyor (Gambar 4.18).
Gambar 4.16. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 158. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan Dalam normal.
Gambar 4.17. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 209. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam, ( ) tetua jantan Dalam normal dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
46
Gambar 4.18. Pola persebaran serbuk sari tanaman kelapa Dalam Kopyor Kalianda induk betina nomor 210. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor. Salah satu populasi kelapa berbuah kopyor dilaporkan di Kecamatan Kalianda Lampung Selatan (Mahmud 2000). Daerah sentra kopyor seperti Lampung dan Sumenep, petani memperbanyak dari pohon-pohon penghasil buah kopyor tipe Dalam. Perkembangan tanaman kelapa berbuah kopyor ini mungkin terjadi karena tumbuhnya buah kelapa normal yang memiliki gen kopyor dari tanaman penghasil buah kopyor tersebut. Selain buah kopyor bergenotipe kk (homozigot) yang letal, pada tanaman atau tandan yang sama juga dihasilkan buah dengan endosperma normal yang memiliki embrio mengandung gen kopyor dengan genotipe Kk (heterozigot) (Santos 1999). Pola pertanaman kelapa Dalam berbuah kopyor di Kalianda yang bercampur dengan kelapa Dalam normal. Pola tersebut memungkinkan terjadinya persilangan alami antar tanaman kelapa Dalam berbuah kopyor dengan kelapa dalam berbuah normal yang ada di sekitarnya. Hal tersebut disebabkan karena tipe kelapa Dalam umumnya memiliki pola penyerbukan secara silang, karena periode kematangan bunga betina (masa reseptif) tidak bersamaan dengan periode matangnya bunga jantan (antesis) pada satu tandan yang sama (Maskromo et al. 2011). Terbentuknya buah kopyor disebabkan oleh bertemunya gen kopyor pada bunga betina kelapa yang membawa sifat kopyor dengan gen kopyor pada serbuk sariyang menyerbuki bunga betina tersebut (Santos 1999). Bunga betina kelapa Dalam kopyor heterozigot atau tanaman kopyor homozigot yang dibuahi serbuk sari dari pohon kelapa normal akan membentuk buah normal atau tidak kopyor. Pola pembungaan dan pembuahan pada tanaman kelapa kopyor tipe Dalam tersebut menyebabkan rendahnya peluang terbentuknya buah kopyor pada tanaman kelapa berbuah kopyor yang dikelilingi tanaman
47 kelapa normal. Produksi buah kopyor pada tanaman yang tumbuh berdekatan dengan beberapa pohon kopyor lainnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman kopyor yang dikelilingi oleh banyak tanaman kelapa normal di sekitarnya. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut maka disarankan untuk menebang dan mengganti tanaman kelapa normal secara bertahap dengan tanaman berbuah kopyor (Sudarsono et.al. 2014a).
Simpulan Pola persebaran polen pada tanaman kelapa kopyor tipe Dalam Kalianda menunjukkan penyerbukan kelapa kopyor oleh kelapa normal dengan jarak persebaran serbuk sari paling sering terjadi pada jarak <50 m dengan frekuensi 13 kali penyerbukan, dengan persebaran terjauh pada jarak 63 m dan persebaran terdekat pada jarak 0 m. Hasil uji progeni menunjukkan persentase terjadinya selfing sebanyak 1 kali (2%) dan persentase outcrossing terjadi sebanyak 48 kali (98%) sehingga membuktikan besarnya penyerbukan silang pada tipe kelapa Dalam.
48
49 V. PERSEBARAN SERBUK SARI MEMBUKTIKAN POTENSI PENGARUH NEGATIF KELAPA NORMAL TERHADAP HASIL BUAH KOPYOR
Abstrak Salah satu tipe kelapa unik yang terdapat di Indonesia yaitu kelapa berbuah kopyor. Buah kopyor ini diduga berasal dari tanaman kelapa yang mengalami mutasi genetik secara alamiah. Upaya untuk mengatasi masalah produktifitas buah kopyor yang rendah salah satunya adalah dengan mempelajari efek xenia pada populasi kopyor. Xenia merupakan gejala genetik berupa pengaruh langsung serbuk sari pada fenotipe biji dan buah yang dihasilkan tetua betina. Populasi yang dipilih adalah area pertanaman di pekarangan rumah penduduk. Populasi tersebut merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor. Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak 33 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 9 pohon. Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh negatif xenia terhadap hasil panen buah kopyor ketika pohon betina kopyor heterosigot Kk dikelilingi oleh kelapa normal homosigot KK sebagai donor serbuk sari. Sebanyak 99 buah progeni yang dipanen dari pohon induk betina kelapa kopyor heterosigot Kk, semuanya mempunyai fenotipe normal. Hasil penelitian juga menunjukkan persebaran serbuk sari dapat terjadi dengan kisaran jarak 0 m (self pollination) hingga 54 m (outcrossing). Frekuensi persebaran serbuk sari terbesar terjadi pada jarak antar tetua yang berkisar 20 m. Pada jarak tersebut, terjadi penyerbukan sebanyak 30 kali. Frekuensi terjadinya penyerbukan silang sebesar 95% dan penyerbukan sendiri sebesar 5%.
Kata kunci : kelapa Dalam kopyor, xenia, persebaran serbuk sari
50 V. POLLEN DISPERSAL IN PATI TALL COCONUT INDICATED NEGATIVE XENIA EFFECT FOR KOPYOR FRUIT YIELD*
Abstract Kopyor coconut is one of the many unique coconut type existed in Indonesia. Kopyor coconut is a naturally occuring coconut mutant. Efforts to address the problem of low kopyor fruit yield is conducted by studying effect of xenia on kopyor fruit yield. Xenia is a genetic phenomenon in the form of a direct effect of pollen to the phenotype of fruits yielded by the female parents. The mixture of kopyor and normal coconut population was selected in the farmers coconut plantations. All adults trees surrounding the 9 kopyor heterozygous Kk palms were evaluated as potential male candidate parents (pollen donors). Results of the analysis indicated xenia reduce kopyor fruit yields. Kopyor heterozygous Kk female parents produced low number of kopyor fruits when they are surrounded by many normal homozygous KK pollen donors. Out of 99 harvested progeny arrays from the kopyor heterozygous Kk female parents, none exhibited kopyor phenotype. The results also indicated the pollen dispersal from normal homozygous KK donor palms range from 0 m (self pollination) to 54 m (outcrossing). The highest frequency of pollens are dispersed from a distance of less than 20 m (30 pollination events). The occurence of outcrossing frequency is at least 95% and the selfing frequency is 5%.
Key Words : Tall kopyor coconut, xenia, pollen dispersal
---------------------*) This chapter has been submitted to Buletin Palma : entitled ; Persebaran serbuk sari pada kelapa dalam dukuh seti membuktikan potensi pengaruh negatif kelapa normal terhadap hasil buah kopyor
51 Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa terbesar kedua di dunia setelah Filipina. Selain memiliki areal pertanaman terluas, Indonesia juga mempunyai keanekaragaman genetika kelapa yang besar. Hasil eksplorasi Balai Penelitian Palma Manado diperoleh kurang lebih 105 aksesi kelapa Dalam dan kelapa Genjah. Saat ini hasil eksplorasi tersebut dikoleksi secara ex situ di sam beberapa kebun koleksi plasma nutfah kelapa (Novarianto et al. 2000). Diantara berbagai jenis kelapa yang ada di Indonesia terdapat salah satu tipe kelapa yang unik yaitu kelapa berbuah kopyor. Buah kopyor ini diduga berasal dari tanaman kelapa yang mengalami mutasi genetik secara alamiah. Sebagai hasil mutasi alamiah, jumlah tanaman kelapa berbuah kopyor sangat sedikit dibandingkan dengan tanaman kelapa berbuah normal. Menurut Falconer (1985) peluang terjadinya mutasi alamiah secara umum sangat rendah yaitu sebesar 10-5 sampai 10-6 untuk setiap generasi. Hal ini berarti bahwa hanya 1 diantara 100.000 sampai 1.000.000 peluang terjadinya mutasi alamiah di alam. Selain itu organisme hasil mutasi cenderung letal, sehingga perkembangbiakannya terhambat dan akhirnya punah. Berdasarkan hal tersebut, kelapa mutan ini seharusnya tidak berkembang, tetapi ternyata kelapa ini banyak ditemukan di beberapa sentra produksi kelapa di Indonesia. Sifat kopyor dikendalikan oleh gen mutan pada lokus K. Buah kopyor mempunyai embrio zigotik denga genotipe homozigot kk dan endosperma kkk. Buah kelapa normal mempunyai embrio zigotik dengan genotipe homozigot KK atau heterozigot Kk dan alternatif endosperma KKK, KKk atau Kkk. Buah kopyor secara alami tidak dapat berkecambah sedangkan buah normal homozigot KK atau heterozigot Kk dapat berkecambah dan menghasilkan bibit kelapa. Keberadaan tanaman kelapa kopyor di Kab. Pati, Jawa Tengah sudah diketahui oleh masyarakat luas terutama di daerah Jawa sejak tahun 1960an dan pengembangannya terus dilakukan hingga saat ini (Dishutbun Pati 2004). Tanaman ini tersebar di tujuh kecamatan yaitu Dukuhseti, Margoyoso, Tayu, Wedarijaksa, Trangkil, Gunung Wungkal dan Cluwak. Luas pertanaman kelapa kopyor di Kabupaten Pati 378.09 Ha dan areal terluas terdapat di tiga kecamatan, yaitu Dukuhseti, Margoyoso dan Tayu, berturut-turut seluas 132.60 Ha, 131.55 Ha dan 69.50 Ha (Anonim 2004). Menteri Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2010 telah melepas secara resmi tiga varietas unggul lokal kelapa Genjah Kopyor asal Pati. Tiga varietas yang dimaksud adalah Genjah Hijau Kopyor, Genjah Coklat Kopyor dan Genjah Kuning Kopyor. Selain di tempat asalnya, ketiga varietas kelapa kopyor tersebut telah ditanam sebagai koleksi di Kebun Percobaan Kima Atas, Balitka Manado pada tahun 2006. Salah satu permasalahan yang dihadapi petani adalah produksi buah kopyor yang dipanen belum optimal. Tanaman kelapa kopyor di Pati dapat menghasilkan jumlah buah kopyor sebanyak 1-4 butir per tandan dari jumlah total buah 7-15 butir. Secara teori, berdasarkan pola segregasi Hukum Mendel, maka peluang terbentuk buah kopyor seharusnya mencapai 25% dari jumlah buah toal yang dipanen (Maskromo 2005). Upaya untuk mengatasi masalah produktifitas buah kopyor yang rendah salah satunya adalah dengan mempelajari efek xenia pada populasi kopyor. Xenia merupakan gejala genetik berupa pengaruh langsung serbuk sari pada fenotipe biji
52 dan buah yang dihasilkan tetua betina. Pada kajian pewarisan sifat, ekspresi dari gen yang dibawa tetua jantan dan tetua betina diekspresikan pada generasi berikutnya. Dengan adanya xenia, ekspresi gen yang dibawa tetua jantan dapat diekspresikan pada tetua betina (buah) (Bulant et al. 2000). Fenomena xenia pada tanaman kelapa telah diketahui berpengaruh terhadap ukuran buah, berat kopra dan ketegaran hibrida (Satyabalan 1995). Xenia berhubungan dengan fenotipe yang dikendalikan oleh gen resesif. Terbentuknya buah kopyor pada kelapa tergantung pada genotipe serbuk sari yang menyerbuki bunga betina tanaman kelapa kopyor, sehingga merupakan contoh xenia. Adapun tujuan spesifik penelitian ini untuk mengevaluasi efek negatif xenia pada pertanaman kelapa kopyor Dalam Pati dan mengetahui kisaran besarnya penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang yang terjadi pada populasi Kelapa Dalam Pati.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2013 hingga Desember 2013. Kegiatan lapang dilakukan di perkebunan kelapa kopyor di Desa Dukuh Seti Kabupaten Pati, Jawa Tengah dengan lokasi GPS S6 27.649 E111 02.747. Tipe tanah yang dievaluasi pada perkebunan kelapa kopyor merupakan tipe tanah berpasir. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pemilihan Tetua dan Pemanenan Progeni Populasi yang dipilih adalah area pertanaman di pekarangan rumah penduduk. Populasi tersebut merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor dengan total pohon dewasa 42 pohon. Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak 33 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 9 pohon. Semua pohonpohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Pemilihan pohon yang dijadikan sebagai induk betina dilakukan dengan metode purpossive random sampling. Induk betina yang digunakan sejumlah 7 pohon kelapa Dalam kopyor. Masing-masing pohon induk betina dipanen tiga tandan buah kelapa (progeni) dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 2 sampai 12 buah. Progeni buah kelapa normal langsung diisolasi DNA dari embrio zigotiknya. Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon tetua jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 1 sampai 10 buah. Progeni dari setiap pohon induk betina dipanen masing-masing satu tandan dengan jumlah total progeni 102 buah. Progeni buah kelapa tadi langsung diisolasi dari embrio zigotiknya untuk diperoleh DNA-nya.
53 Genotyping tetua dan progeni Isolasi DNA dilaksanakan menggunakan metode CTAB (Rohde et al. 1995) dengan modifikasi. Daun kelapa muda maupun embrio kelapa (0.3-0.4 g) digerus dengan buffer lisis 2 ml, yang mengandung PVP 0.007 g dan 2-mercaptoetanol sebanyak 10 μl. Hasil gerusan daun atau embrio diinkubasi dalam waterbath pada suhu 65 °C selama 60 menit dan dihomogenkan menggunakan sentrifugasi Eppendorf Centrifuge 5416 dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf kemudian ditambahkan kloroform:isoamil-alkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit dan dipindahkan ke mikrotube baru. Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan isopropanol dingin (0.8 volume dari supernatan) dan sodium asetat (0.1 volume supernatant). Setelah diinkubasi dalam freezer semalaman,suspensi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl. lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan aquabidest sebagai suspensi DNA. Kontaminan RNA dihilangkan dengan menggunakan RNase sesuai standar prosedur (Sambrook dan Russel 2001). Primer SSR yang diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) (Lampiran 1) diperoleh 6 primer yang polimorfik. Sebagai tambahan, empat lokus marka SNAP berdasarkan keragaman sekuens nukleotida (gen SUS dan WRKY) (Lampiran 2) juga digunakan untuk menganalisis seluruh tetua dan progeni. Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan 2µl DNA working solution, 0.625 µl primer, 6.25 pcr mix (KAPA Biosystem), dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi. Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus, yang dimulai pada suhu 95 °C selama 3 menit sebagai denaturasi awal, diikuti 95 °C selama 15 detik sebagai denaturasi siklus pertama, penempelan primer spesifik - suhu disesuaikan dengan masing-masing pasangan primer - selama 15 detik, pemanjangan primer pada suhu 72 °C selama 5 detik. Final extention 72 °C selama 10 menit sesuai rekomendasi kit KAPA Biosystem. Produk amplifikasi PCR untuk primer SSR dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004) dan pewarnaan gel dengan pewarna silver. Pewarnaan silver mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan modifikasi. Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen, di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotype dilakukan juga di atas light table. Produk amplifikasi PCR untuk primer SNAP dipisahkan menggunakan gel agarose 1% menggunakan buffer TBE 1x dan pewarnaan menggunakan gel untuk melihat hasil skoring yang dihasilkan (Sambrook and Russel 2001). Elektroforegram di visualisasi diatas meja UV transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan untuk setiap sampel.
54 Identifikasi Kandidat Tetua Jantan Setiap progeni yang disampling sudah diketahui induk betinanya tetapi tidak diketahui pohon yang menjadi donor serbuk sarinya. Kandidat tetua jantan bisa menjadi salah satu induk betina dalam populasi pohon dewasa tersebut. Tahapan ini dilakukan untuk memprediksi calon pendonor serbuk sari diantara calon tetua jantan yang dievaluasi di setiap progeni. Identifikasi donor serbuk sari dilakukan dengan menganalisis genotipe progeni versus seluruh induk jantan yang dievaluasi. Semua induk jantan atau induk betinanya dievaluasi dan berpotensi sebagai donor serbuk sari. Analisis molekuler menggunakan software CERVUS analysis parentage program komputer Cervus 2.0 (Marshall 1998). Hasil Cervus diperoleh data alel frekuensi, PIC, heterozigositas, homozigositas. Dilanjutkan dengan data simulasi dan data analisis tetua. Data analisis tetua akan diperoleh kandidat tetua dengan lambang (*): artinya tingkat kepercayaan 95%. (+): tingkat kepercayaan 80%. dan (-): tingkat kepercayaan < 80% .
Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari Lokasi induk betina dan tetua jantan terpilih hasil analisis Cervus diplotkan menggunakan perangkat lunak pemetaan Garmin MapSource GPS versi 76C5x. Jarak antara induk betina dan tetua jantan dihitung menggunakan software yang sama. Jarak dan posisi dari kedua induk betina dan tetua jantan yang dihasilkan kemudian digunakan untuk mengilustrasikan pola persebaran serbuk sari di lokasi penelitian. Penyerbukan sendiri didefinisikan jika induk jantan yang teridentifikasi sama dengan tetua betinanya. Selain itu semuanya didefinisikan sebagai penyerbukan silang. Penyerbukan silang bisa dikelompokkan dengan kategori penyerbukan silang genjah (induk betina genjah diserbuki oleh tetua jantan genjah lainnya), penyerbukan silang dalam (induk betina dalam diserbuki oleh tetua jantan dalam lainnya), penyerbukan silang hibrida ((induk betina hibrida diserbuki oleh tetua jantan hibrida lainnya), penyerbukan silang antara induk betina genjah dengan Dalam atau hibrida, atau sebaliknya. Kedua tipe persilangan dan kuantitasnya semuanya dihitung. Hasil dan Pembahasan
Pemetaan Populasi Tanaman Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.1. Pohon kelapa berbuah normal diberi warna merah, sedangkan untuk pohon kelapa berbuah kopyor diberi warna hijau. jumlah total pohon Kopyor sebanyak 9 pohon (Dalam kopyor 8 pohon dan Genjah kopyor 1 pohon) dan pohon normal sebanyak 33 pohon (Dalam normal 33 pohon dan Genjah normal 3). Yang dijadikan sebagai pohon induk betina adalah semua pohon berbuah kopyor dengan pertimbangan ingin melihat pengaruh pohon normal disekitar pohon berbuah kopyor tadi.
55
Gambar 5.1. Peta lokasi penelitian dengan tegakan kelapa kopyor pada desa Dukuh Seti Kabupaten Pati Jawa Tengah. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor, (….) induk betina genjah kopyor, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam kopyor, ( ) tetua jantan genjah normal, dan ( ) tetua jantan genjah kopyor
Tabel 5.1. Jumlah alel, heterozigositas observasi (O) dan ekspektasi (E) serta kandungan informasi polimorfis (PIC) pada 10 lokus marka molekuler hasil analisis Cervus pada populasi kelapa Dalam Pati Nama lokus
Jumlah Alel
CnCir_87 CnCir_86 CnZ-18 CnZ_51 CnCir_B12 CnCir_56 CnSus1#14 CnSus1#3 WRKY19#1 WRKY 6#3
2 4 4 5 5 5 2 2 2 2
Jumlah Het Hom 64 80 89 54 116 28 89 55 107 37 81 63 39 100 96 43 116 24 123 21
Heterozigositas O E 0.444 0.496 0.622 0.687 0.806 0.741 0.618 0.707 0.743 0.745 0.563 0.695 0.281 0.252 0.691 0.483 0.829 0.5 0.854 0.495
PIC 0.372 0.635 0.691 0.66 0.699 0.647 0.22 0.365 0.374 0.371
Keterangan: PIC= Polymorphic Information Content. Ho= Observed heterozigosity. He= Expected
56 Genotyping tetua dan progeni Nilai PIC pada lokus-lokus dengan menggunakan marka SSR menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokus-lokus dengan marka SNP (Tabel 5.1). Semakin rendah tingkat polimorfisme, maka tingkat keragaman juga semakin rendah. Hal ini disebabkan karena jumlah lokus pada marka SSR yang digunakan lebih banyak dari pada jumlah lokus pada marka SNP. Nilai PIC merupakan ukuran polimorfisme antar genotipe dalam suatu lokus yang menggunakan informasi jumlah alel (Sajib et al. 2012). Jumlah populasi homozigot dengan menggunakan lokus-lokus marka SSR tergolong lebih rendah dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Demikian juga nilai He pada lokus dengan marka SSR lebih tinggi dibandingkan dengan lokus pada marka SNP. Alel-alel heterozigot banyak dijumpai pada marka SSR menyebabkan nilai He lebih tinggi dibandingkan dengan marka SNP.Dari hasil analisis cervus juga bisa diperoleh persentasi donor normal dan donor kopyor yang menyerbuki pohon betina Dalam Kopyor yang ditunjukkan pada Tabel 5.2. Pada penelitian ini juga memperlihatkan tidak adanya buah kopyor yang bisa dipanen oleh petani. Hal ini mengindikasikan adanya dugaan bahwa kelapa kopyor yang heterozigot Kk diserbuki oleh pohon normal KK. maka nilai harapan produksi buah kopyornya menjadi nol dan semua buah yang dihasilkan merupakan buah normal dengan genotipe embrio zigotik homozigot KK (50%) atau heterozigot Kk (50%). Keberadaan pohon normal KK di sekitar pohon kopyor heterozigot Kk dapat berpengaruh langsung terhadap fenotipe buah yang dipanen sehingga dikategorikan sebagai efek xenia. Efek xenia ini bisa juga dipelajari melalui analisis serbuk sari dengan mengidentifikasi tetua pendonor polen yang terbaik untuk meningkatkan produksi buah. Hal ini juga dilakukan oleh Olfati et al. (2010) dengan melihat efek xenia pada buah dan biji cucumber. Sifat kopyor dikendalikan oleh satu lokus dengan alel resesif k. sedangkan sifat normal dikendalikan oleh alel K. Pohon kelapa kopyor di lokasi penelitian mempunyai genotipe heterozigot Kk. yang jika diserbuki oleh pohon kopyor heterozigot Kk lainnya. menghasilkan nilai harapan 25% hasil buah kopyor (genotipe embrio zigotik kk) dan 75% hasil buah normal (Sudarsono et al. 2014a)
Tabel 5.2. Skema persilangan dan tipe polinasi yang diidentifikasi berdasarkan hasil analisis persebaran polen dari uji progeni pada populasi kelapa Dalam Dukuh Seti, Pati Skema polinasi
Tipe polinasi
Jumlah kejadian
Persentase
Kopyor x Kopyor
Self
3
3%
Kopyor x Kopyor
Outcross
25
25%
Kopyor x Normal
Outcross
74
73%
102
100.00%
Total progeni
57
30 20
27
26 18
13 10
5
2
18
15 10
13 9
8
1 1
0 R1
R3
R6
R7
R10 R21 R32
Gambar 5.2. Jumlah progeni dipanen dan jumlah tetua jantan untuk tetua betina tertentu populasi kelapa Dalam Dukuh Seti, Pati
15 11 10 5
4
4
4
3 1
1
2
0 1 Gambar 5.3.
2
3
4
5
6
7
8
Jumlah serbuk sari yang didonasikan oleh tetua jantan terhadap tetua betina tertentu populasi kelapa Dalam Dukuh Seti, Pati
30 Jumlah peristiwa penyerbukan
21 20 10
30
22 15
5
5 1
0 0
0
< 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60
Kelas Jarak antara tetua jantan terhadap betina (m) Gambar 5.4. Jumlah polinasi setiap kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih terhadap tetua betina pada pertanaman kelapa kopyor populasi Desa Dukuh Seti Kabupaten Pati Jawa Tengah
58 Dari gambar 5.2. di atas terlihat bahwa jumlah progeni yang didapatkan dari 7 tetua betina adalah sebanyak 102 progeni (batang hitam) dengan 64 pohon tetua jantan (batang putih). Pada Gambar 5.3 menunjukkan terdapat 1-8 serbuk sari yang dapat di donorkan oleh satu tetua jantan dengan frekuensi tertinggi sebanyak 11 kali dengan 2 serbuk sari. Gambar 5.4 menunjukkan kelas jarak polen dengan jarak terdekat 0 m (selfing) dan terjauh <60 m yaitu 54 m. Frekuensi tertinggi terdapat pada jarak <20 m dengan 30 kali penyerbukan terjadi.
Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari Evaluasi pola persebaran polen dari tetua jantan yang sudah ditentukan terhadap induk betina, posisi tetua jantan sebagai donor polen ke salah satu induk betina di plotkan di peta menggunakan posisi GPS. Contoh gambaran dari posisi tetua jantan yang sudah ditentukan terhadap induk betina resipien dipresentasikan pada gambar 5.5 - 5.11.
Gambar 5.5. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua betina nomor R1. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam kopyor, dan ( ) tetua jantan genjah kopyor
59
Gambar 5.6. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua betina nomor R10. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi dirinya sendiri (selfing), ( ) tetua jantan Dalam normal dan ( ) tetua jantan Dalam kopyor.
Gambar 5.7. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua betina nomor R21. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor, ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan genjah normal.
60
Gambar 5.8. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua betina nomor R32. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi dirinya sendiri (selfing), ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam kopyor dan ( ) tetua jantan genjah normal
Gambar 5.9. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua betina nomor R6. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi dirinya sendiri (selfing), ( ) tetua jantan Dalam normal, ( ) tetua jantan Dalam kopyor, ( ) tetua jantan genjah normal, dan ( ) tetua jantan genjah kopyor
61
Gambar 5.10. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua betina nomor R7. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina genjah kopyor dan ( ) tetua jantan Dalam normal
Gambar 5.11. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Dukuh Seti dengan tetua betina nomor R3. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) induk betina Dalam kopyor tetapi sekaligus menjadi tetua jantan bagi dirinya sendiri (selfing) dan ( ) tetua jantan Dalam normal.
62 Gambar 5.5-5.11 menunjukkan pola persebaran serbuk sari induk betina kelapa Dalam kopyor memperlihatkan kecenderungan pohon pendonor serbuk sari sebagian besar dari kelapa normal. Pengaruh negatif xenia ini terlihat pada produktifitas buah kopyor dimana persentase buah yang dipanen semuanya menjadi buah normal disebabkan populasi pohon kelapa normal (KK) lebih besar di populasi tersebut. Sesuai dengan hasil penelitian Novarianto dan Lolong (2012) bahwa dalam kondisi pertanaman campuran dengan sejumlah tanaman kelapa normal rasio hanya menghasilkan rataan buah kopyor 15.8%. Sehingga dalam rekomendasi penelitian Sudarsono et al (2014b) dalam proyek Hi Link bahwa penebangan sebagian kelapa normal KK di antara pertanaman kelapa Genjah Kopyor Pati Kk menyebabkan terjadinya peningkatan persentase buah kopyor yang dipanen hingga 10%. Peningkatan persentase buah kopyor yang dipanen diduga terkait dengan menurunnya pengaruh xenia pada pertanaman akibat jumlah pohon normal KK yang semakin sedikit di lokasi penelitian. Populasi pertanaman yang cenderung kelapa Dalam juga terlihat 7 kali terjadi persilangan sendiri (self pollination) berdasarkan hasil analisis cervus. Kemungkinan ini juga bisa terjadi karena adanya tipe bunga kelapa dengan morfologi terbuka. Xenia merupakan gejala genetik berupa pengaruh langsung pollen pada fenotipe biji dan buah yang dihasilkan tetua betina. Pada kajian pewarisan sifat. ekspresi dari gen yang dibawa tetua jantan dan tetua betina diasumsikan baru diekspresikan pada generasi berikutnya. Dengan adanya xenia, ekspresi gen yang dibawa tetua jantan secara dini sudah diekspresikan pada organ tetua betina (buah) embrio dan/atau endosperm. Gejala xenia tidak hanya mempengaruhi warna tetapi juga bentuk kadar gula, kadar minyak, bentuk buah dan waktu pemasakan. Xenia bukanlah penyimpangan dari Hukum Pewarisan Mendel melainkan konsekuensi langsung dari pembuahan berganda (double fertilisation) yang terjadi pada tumbuhan berbunga dan proses perkembangan embrio tumbuhan hingga biji masak. Pada tahap perkembangan embrio sejumlah gen pada embrio dan endosperm berekspresi dan mempengaruhi penampilan biji, bulir atau buah (Denney 1992). Metaxenia tidak seperti xenia, tidak dapat dijelaskan dengan elemen-elemen hereditas (kromosom) yang terbawa di dalam polen karena tidak seperti kromosom yang terdapat pada jaringan yang menunjukkan pengaruh langsung dari polen tetua (Bodor et al. 2008). Metaxenia menguraikan tentang pengaruh polen pada jaringan buah maternal asal seperti pericarp dan komponen buah yang lain tidak dipengaruhi oleh polen. Sedangkan xenia menguraikan tentang pengaruh polen pada jaringan yang berisi sedikitnya satu satuan gen dari tetua jantan yakni embrio dan endosperm (Ehlenfeldt 2003). Simpulan Pertanaman kelapa Dalam kopyor Pati di desa Dukuh Seti cenderung mengalami pengaruh negatif xenia dengan keberadaan pohon-pohon kelapa normal yang dalam jumlah lebih banyak di sekitar pohon kopyor. Selain itu, pengaruh negatif xenia menyebabkan hasil buah kopyor yang dipanen hanya sebesar 1% dan buah normal yang dipanen sebesar 99 % dari total buah yang
63 dipanen. Jarak penyebaran serbuk sari yang terdekat sejauh 0 m (self pollination) dan terjauh sejauh 54 m. Frekuensi jarak penyebaran serbuk sari tertinggi terdapat pada jarak < 20 m dengan sebanyak 30 kali penyerbukan. Persentase terjadinya penyerbukan silang (outcrossing) sebesar 95% dan penyerbukan sendiri (selfing) sebesar 5%.
64
65 VI. LEBAH MADU SEBAGAI POLINATOR MERUBAH POLA PERSEBARAN SERBUK SARI KELAPA KOPYOR GENJAH PATI
Abstrak Jarak dan arah persebaran serbuk sari dapat memberikan informasi tentang faktor apa yang membantu penyerbukan kelapa kopyor di Pati. Analisis tetua jantan berdasarkan enam lokus SSR dan empat lokus SNAP digunakan untuk melihat pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor (Cocos nucifera L.). Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui (i) pola persebaran serbuk sari kelapa sebelum dan sesudah introduksi lebah madu (ii) jarak distribusi serbuk sari kelapa sebelum dan sesudah introduksi lebah. Enam lokus polimorfik marker SSR yang digunakan adalah CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87, CnCir_56, CnZ 51, CnZ 18 dan empat lokus marker polimorfik SNAP yang digunakan adalah CNSUS1Pos14. CNSUS1Pos3. WRKY6-Pos3 dan WRKY19-Pos1. Sepuluh lokus marker tersebut digunakan untuk mengidentifikasi genotipe semua calon tetua jantan, tetua betina dan semua progeninya. Hasil penelitian menunjukkan nilai PIC dari marker yang dievaluasi setelah introduksi koloni lebah madu lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum introduksi. Jarak penyebaran serbuk sari terjauh setelah introduksi koloni lebah madu sejauh 63 m dan sebelum introduksi sejauh 58 m. Persentase terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) sebelum introduksi lebah madu sebesar 18% sedangkan setelah introduksi lebah madu sebesar 9.45%. Dengan demikian, penyerbukan silang antar tanaman kelapa kopyor sesudah introduksi koloni lebah madu lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum introduksi.
Kata kunci : Lebah madu, polinator, persebaran polen, marka SSR, marka SNAP
66 VI. INTRODUCTION OF HONEY BEE POLLINATORS CHANGE THE PATTERN OF POLLEN DISPERSAL AMONG PATI DWARF KOPYOR COCONUTS
Abstract Distance and direction of pollen spread can give information about the factors assisting pollination in Pati kopyor coconut. Paternity analysis based on six SSR markers and four SNAP marker loci were used to determine pattern of the kopyor coconut (Cocos nucifera L.) pollen dispersal. The specific objectives of this research are to evaluate: (i) the pattern of kopyor coconut pollen dispersals before and after intoduction of honey bees colony in the coconut plantation and (ii) the distribution of class distance among the female and the assigned male coconut parents before and after the introduction of honey bee pollinators. The evaluated SSR marker loci are CnCir_B12, CnCir_86, CnCir_87, CnCir_56, CnZ 51,CnZ 18 and the four SNAP marker loci are CNSUS1Pos14, CNSUS1Pos3, WRKY6-Pos3 and WRKY19-Pos1. The markers were used to genotype all candidate male parent, the female parent, and all the progeny arrays. Results of the evaluation indicated PIC of the evaluated marker after honey bee colony introduction is higher than before introduction. The longest pollen distance after honey bee colony introduction is 63 m and before introduction is 58 m. Percentage of self pollination before introduction of honey bee colony is 18% while that after introduction is only 9.45%. Therefore, more outcrossing occurs after introduction of honey bee colony into the kopyor coconut plantation. .
Key Words: Honey bee, polinators, pollen dispersal, SSR marker, SNAP marker
67 Pendahuluan Kelapa kopyor memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai komoditas spesifik daerah karena mempunyai keunggulan kompetitif dibanding kelapa normal. Selain itu. buah kopyor juga berpotensi sebagai komoditas ekspor. Permintaan konsumen terhadap buah kopyor selalu tidak terpenuhi. karena terbatasnya produksi buahnya. Berdasarkan hal tersebut di atas, agribisnis kelapa kopyor saat ini menjadi sangat menjanjikan bagi petani. Pengembangan agribisnis buah kelapa kopyor masih menghadapi beberapa kendala, di antaranya adalah masih rendahnya produksi buah kopyor yang dihasilkan petani dari pohon kelapa kopyornya. Hal ini terkait dengan jumlah buah kopyor yang dihasilkan setiap pohon (Maskromo et al. 2007). Data pertanaman kelapa kopyor di Kabupaten Pati diidentifikasi sebanyak 47 261 pohon yang dimiliki oleh 1 583 petani dengan produksi buah kopyor 296 279 butir pertahun (Anonim. 2004). Berarti produksi buah kopyor rata-rata hanya 6 butir/pohon pertahun. Produksi buah kopyor tesebut masih sangat rendah dibanding dengan potensi yang dimiliki oleh kelapa Genjah yang mampu menghasilkan total buah perpohon80-120 butir pertahun. Jika produksi buah kelapa Genjah rata-rata 50 butir/pohon/tahun. artinya produksi buah kopyor ratarata di Kabupaten Pati hanya 6/50×100%=12%. Walaupun pada beberapa pohon terpilih ditemukan produksi buah kopyor antara 30-40%.Hal ini bisa terjadi karena pohon kelapa kopyor alami (Genotipe heterozygot=Kk) tumbuh di antara pohon kelapa bukan kopyor (Genotipe homozigot dominan=KK). Walaupun sifat kelapa Genjah lebih dominan menyerbuk sendiri, tetapi peluang terjadi penyerbukan silang masih cukup besar. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produktifitas pertanaman kelapa kopyor adalah tingkat keberhasilan penyerbukan dan persentase bunga betina yang berkembang menjadi buah dalam setiap tandan bunga. Vektor persebaran serbuk sari dan biji terdiri atas vektor abiotik seperti olehangin (anemochory), air (hydrochory), berat (barochory), dan vektor biotik yaitu dibantu oleh hewan (zoochory) yang meliputi endozoochorous(setelah melalui pencernaan) atau exozoochorous (tanpa melalui pencernaan). Keberhasilan penyerbukan di kelapa sangat ditentukan oleh keberadaan serangga penyerbuk (polinator) yang berkeliaran di tandan bunga tanaman kelapaterutama pada kelapa tipe dalam. Dengan mengetahui faktor polinator juga dapat membantu dalam mempelajari pola persebaran serbuk sari pada tanaman. Produksi kelapa sawit di beberapa daerah di Indonesia masih belum optimal meskipun kumbang penyerbuk untuk kelapa sawitElaeidobius kamerunicusdidatangkan ke Indonesia sejak tahun 1982 (Sianturi 2001). Hal ini disebabkan antara lain karena masih banyak bunga yang gagal diserbuki sehingga buah kelapa sawit tidak berkembang. Agar jumlah buah kelapa sawit yang berkembang semakin banyak, frekuensi penyerbukan perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan jenis dan populasi serangga penyerbuknya. Hasil eksplorasi Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Manado (Balitka) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah diperoleh adanya kelapa kopyor tipe Genjah. Kelapa kopyor tipe Genjah memiliki beberapa keunggulan dibanding tipe Dalam,yaitu berbuah lebih cepat pada usia 3-4 tahun setelah tanam,sedangkan kelapa kopyor tipe Dalam berbuah pada umur 5-7 tahun setelah tanam. Kelapa
68 kopyor tipe Genjah mampu menghasilkan jumlah buah kopyor pertandan lebih banyakbisa mencapai 50%, sedangkan tipe Dalam hanya 10% - 20% (Maskromo dan Novarianto 2007). Peluang terjadinya sifat makapuno (kopyor) ini disebabkan oleh penyerbukan antara bunga betina dan jantan yang membawa gen kopyor (Santos 1999). Penelitian persebaran serbuk sari pada kelapa sampai saat ini belum ada dilaporkan sehingga dianggap penting untuk mempelajari persebaran serbuk sari pada kelapa kopyor. Adapun tujuan spesifik penelitian ini untuk mengetahui (i) pola persebaran serbuk sari pada kelapa sebelum dan sesudah introduksi pollinator lebah madu (ii) jarak persebaran serbuk sari pada kelapa sebelum dan sesudah introduksi polinator.
Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret 2011 hingga Desember 2014. Kegiatan lapang dilakukan di perkebunan kelapa kopyor di Desa Sambiroto Kabupaten Pati, Jawa Tengah dengan lokasi GPS S6 27.649 E111 02.747. Tipe tanah yang dievaluasi pada perkebunan kelapa kopyor merupakan tipe tanah berpasir. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman (PMB Lab) Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Introduksi Lebah Madu Pertanaman lokasi penelitian seluas maksimum 0.5 ha diletakkan satu kotak sarang lebah madu (Apis melifera) pada tahun 2012. Populasi sebelum introduksi lebah dipanen pada tahun 2011 sementara untuk populasi setelah introduksi lebah dipanen pada tahun 2014 . Pemilihan Tetua dan Pemanenan Progeni Populasi yang dipilih adalah area pertanaman di pekarangan rumah penduduk dan merupakan campuran dari pohon kelapa kopyor heterozigot (Kk) dengan pohon kelapa normal (KK) atau kelapa yang tidak pernah menghasilkan buah kopyor. Populasi yang digunakan dalam analisis pola persebaran serbuk sari sebanyak 95 pohon kelapa dewasa yang terdiri 68 pohon kelapa Genjah, 14 pohon kelapa Dalam, dan 13 pohon kelapa Hibrida. Pohon kelapa yang ada di areal pertanaman terdiri atas pohon kelapa berbuah normal sebanyak 22 pohon dan pohon kelapa berbuah kopyor sebanyak 73 pohon. Semua pohon-pohon dewasa yang berada di sekitar pohon induk betina dijadikan sebagai calon induk jantan untuk dijadikan donor serbuk sari. Pemilihan pohon yang dijadikan sebagai induk betina dilakukan dengan metode purpossive random sampling yang mewakili masing-masing tipe kelapa Genjah, Dalam, Hibrida dan juga mewakili lokasi didalam petak sampel (Gambar 2). Total progeni dari seluruh induk betina sebanyak 127 buah. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 2 sampai 10 buah.
69 Genotyping tetua dan progeni Isolasi DNA dilaksanakan menggunakan metode CTAB (Rohde et al. 1995) dengan modifikasi. Daun kelapa muda maupun embrio kelapa (0.3-0.4 g) digerus dengan buffer lisis 2 ml, yang mengandung PVP 0.007 g dan 2-mercaptoetanol sebanyak 10 μl. Hasil gerusan daun atau embrio diinkubasi dalam waterbath pada suhu 65 °C selama 60 menit dan dihomogenkan menggunakan sentrifugasi Eppendorf Centrifuge 5416 dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tube eppendorf kemudian ditambahkan kloroform:isoamil-alkohol (24:1) sebanyak volume supernatant lalu disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit dan dipindahkan ke mikrotube baru. Supernatan dipindah ke tube eppendorf baru kemudian ditambahkan isopropanol dingin (0.8 volume dari supernatan) dan sodium asetat (0.1 volume supernatant). Setelah diinkubasi dalam freezer semalaman,suspensi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 10 menit hingga diperoleh pellet DNA. Pellet DNA dicuci dengan menggunakan ethanol 70% dingin 500 μl. lalu disentrifugasi dan dikeringkan. Pellet DNA diencerkan menggunakan aquabidest sebagai suspensi DNA. Kontaminan RNA dihilangkan dengan menggunakan RNase sesuai standar prosedur (Sambrook dan Russel 2001). Primer SSR yang diseleksi dari 36 primer (Lebrun et al. 2001) (Lampiran 1) diperoleh 6 primer yang polimorfik. Sebagai tambahan, empat lokus marka SNAP berdasarkan keragaman sekuens nukleotida (gen SUS dan WRKY) (Lampiran 2) juga digunakan untuk menganalisis seluruh tetua dan progeni. Amplifikasi PCR dilakukan dengan menggunakan 2µl DNA working solution, 0.625 µl primer, 6.25 pcr mix (KAPA Biosystem), dan 3 µl ddH2O untuk setiap reaksi. Amplifikasi dilakukan sebanyak 35 siklus, yang dimulai pada suhu 95 °C selama 3 menit sebagai denaturasi awal, diikuti 95 °C selama 15 detik sebagai denaturasi siklus pertama, penempelan primer spesifik - suhu disesuaikan dengan masing-masing pasangan primer - selama 15 detik, pemanjangan primer pada suhu 72 °C selama 5 detik. Final extention 72 °C selama 10 menit sesuai rekomendasi kit KAPA Biosystem. Produk amplifikasi PCR untuk primer SSR dipisahkan dengan elektroforesis gel poliakrilamid 6% menggunakan Buffer SB 1x (Brody dan Kern 2004) dan pewarnaan gel dengan pewarna silver. Pewarnaan silver mengikuti metode Creste et al. (2001) dengan modifikasi. Elektroforegram di visualisasi di atas meja UV transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotype dilakukan juga di atas light table. Produk amplifikasi PCR untuk primer SNAP dipisahkan menggunakan gel agarose 1% menggunakan buffer TBE 1x dan pewarnaan menggunakan gel untuk melihat hasil skoring yang dihasilkan (Sambrook and Russel 2001). Elektroforegram di visualisasi di atas meja UV transluminesen di foto menggunakan kamera digital. Pemberian skor setiap genotipe dilakukan untuk setiap sampel. Identifikasi Kandidat Tetua Jantan Setiap progeni yang disampling sudah diketahui induk betinanya tetapi tidak diketahui pohon yang menjadi donor serbuk sarinya. Tahapan ini dilakukan untuk
70 memprediksi calon pendonor serbuk sari diantara calon tetua jantan yang dievaluasi dalam percobaan. Identifikasi donor serbuk sari dilakukan dengan menganalisis genotipe progeni versus seluruh induk jantan yang dievaluasi. Semua induk jantan atau induk betinanya dievaluasi dan berpotensi sebagai donor serbuk sari. Analisis molekuler menggunakan software CERVUS analysis parentage program komputer Cervus 2.0 (Marshall 1998). Hasil Cervus diperoleh data alel frekuensi, PIC, heterozigositas, homozigositas. Dilanjutkan dengan data simulasi dan data analisis tetua. Data analisis tetua akan diperoleh kandidat tetua dengan lambang (*): artinya tingkat kepercayaan 95%. (+): tingkat kepercayaan 80%. dan (-): tingkat kepercayaan < 80% . Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari Data genotipe progeni yang telah diketahui induk betinanya dibandingkan dengan data pohon dewasa yang berpotensi menjadi tetua jantan (kandidat tetua jantan). Identitas induk jantan diketahui berdasarkan metode all parent with plus LOD. Hasil analisis selanjutnya digunakan untuk menentukan identitas induk jantan berdasarkan nilai LOD tertinggi. Jarak antara induk betina dengan induk jantan yang teridentifikasi dihitung menggunakan perangkat lunak GPS. Jarak tersebut dihitung dengan memanfaatkan data koordinat tiap pohon. Induk betina dan induk jantan kemudian digambarkan ke dalam peta sesuai dengan lokasi penelitian sehingga membentuk pola persebaran serbuk sari. Induk jantan yang teridentifikasi sama dengan induk betinanya, maka diasumsikan terjadi penyerbukan sendiri, sedangkan jika induk jantan yang teridentifikasi berbeda dengan induk jantan maka diasumsikan terjadi penyerbukan silang.
Gambar 6.1. Posisi pengambilan sampel di pertanaman kelapa kopyor Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah. Garis merupakan batasan populasi yang dianalisis. Gambar bendera menunjukkan sebaran induk betina yang disampling. Simbol menunjukkan posisi ( ) : Dalam normal, ( ) : Dalam kopyor, ( ) : Genjah normal, ( ) : Genjah kopyor, ( ) : hibrida normal, ( ) : hibrida kopyor dan ( ) sarang koloni lebah madu.
71 Hasil dan Pembahasan Pemetaan Populasi Tanaman Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.1. Populasi tersebut menggambarkan bahwa pohon kelapa berbuah normal masih banyak tersebar di dalam populasi yang dipilih. Jumlah total pohon normal sebanyak 22 pohon dimana Genjah Normal 14 pohon. Dalam Normal 3 pohon dan Hibrida Normal 5 pohon. Jumlah total pohon Kopyor sebanyak 73 pohon dimana Genjah Kopyor 54 pohon. Dalam Kopyor 11 pohon dan Hibrida Kopyor 8 pohon. Induk betina yang digunakan sejumlah 15 pohon yang terdiri dari 2 pohon kelapa Hibrida, 6 pohon kelapa Genjah dan 7 pohon kelapa Dalam. Satu tandan buah kelapa (progeni) dipanen dari setiap induk betina yang terpilih dengan kisaran jumlah progeni per induk betina antara 2 sampai 10 buah. Genotyping tetua dan progeni Berdasarkan analisis molekuler nilai rata-rata PIC dengan marka SSRmenunjukkan bahwa pada populasi sebelum introduksi lebahmemiliki nilai rata-rata PIC lebih tinggi dibandingkan dengan populasi sesudah introduksi lebah (Tabel 6.1). Begitu pula dengan nilai rata-rata PIC dengan marka SNP baik pada populasi sebelum dan sesudah introduksi lebah memiliki nilai yang hampir sama. Nilai PIC merupakan ukuran polimorfisme antar genotipe dalam suatu lokus yang menggunakan informasi jumlah alel (Sajib et al. 2012). Nilai PIC pada lokuslokus dengan menggunakan marka SSR menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokus-lokus dengan marka SNP.
Tabel 6.1. Jumlah individu heterozigot dan homozigot, heterozigositas observasi dan harapan, dan Polymorphic Information content (PIC) di 10 lokus marka molekuler kelapa Kopyor sebelum (BF) dan setelah (AF) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa kopyor populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah Nama lokus CnCir_87 CnCir_86 CnZ-18 CnZ_51 CnCir_B12 CnCir_56 CnSus1#14 CnSus1#3 WRKY19#1 WRKY 6#3
Jumlah heterozigot BF AF 54 27 102 100 92 74 92 72 101 64 111 78 146 143 184 147 183 111 185 76
Jumlah homozigot BF
152 79 105 107 112 101 36 27 65 103
AF 174 126 136 136 126 117 80 41 44 43
Heterozigositas teramati BF AF
0.151 0.559 0.413 0.402 0.364 0.436 0.799 0.845 0.631 0.425
0.237 0.447 0.404 0.404 0.445 0.487 0.646 0.818 0.806 0.811
PIC BF
AF
0.311 0.666 0.565 0.541 0.677 0.565 0.369 0.374 0.357 0.283
0.327 0.663 0.544 0.375 0.682 0.627 0.36 0.372 0.369 0.368
72 Jumlah individu heterosigot yang teranalisis oleh kedua marka SSR dan SNP menunjukkan kecenderungan yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah individu homozigot. Hal ini bisa dilihat dari nilai He observasi yang rata-rata nilainya dibawah 0.5. Nilai He yang rendah menunjukkan bahwa kelapa-kelapa yang dianalisis banyak terbentuk oleh hasil penyerbukan sendiri, karena gen-gen terfiksasi/terkumpul dalam satu populasi hasil penyerbukan selfing atau dari polen tanaman dengan sifat yang sama. Nilai PIC kedua marka juga menunjukkan nilai yang rendah dengan rata-rata nilai dibawah 0.5 yang berarti bahwa tingkat keragaman populasi kelapa-kelapa yang diamati rendah. Jumlah individu yang homozigot pada lokus-lokus marka SSR tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan lokus pada marka SNP yang terlihat pada rendahnya nilai heterosigositas (He). Rendahnya nilai He menunjukkan bahwa pada lokus-lokus tersebut genotipe yang diamati mayoritas memiliki alel-alel homozigot. Alel-alel heterozigot lebih banyak dijumpai pada marka SSR menyebabkan nilai He SSR lebih tinggi dibandingkan dengan marka SNP, sehingga menyebabkan rata-rata nilai PIC pada marka SSR lebih tinggi di bandingkan dengan marka SNP yang membuktikan bahwa marka SSR lebih efektif dalam menujukkan keragaman dalam suatu populasi. Jumlah individu Heterozigot dan Homozigot pada populasi sebelum introduksi lebah (BF) cenderung lebih rendah dari pada populasi setelah introduksi lebah (AF). Dengan nilai heterosigositas obeservasi yang rata-rata cenderung lebih tinggi pada setelah introduksi lebah. Hal ini menunjukkan bahwa setelah introduksi lebah, populasi buah yang dihasilkan lebih banyak walaupun buah yang dihasilkan tidak benyak berbuah kopyor seperti yang dikehendaki. Nilai PIC pada kedua populasi menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi pada sebelum introduksi lebah. Hal ini bisa dijelaskan karena pola hidup lebah yang cenderung mencari makanan hanya disekitar pohon-pohon induk betina kelapa. Perubahan parameter yang terjadi pada kedua populasi sebelum dan sesudah introduksi lebah terjadi hanya pada jumlah rata-rata alel/lokus yang meningkat 2,85%, sedangkan pada parameter yang lain semuanya tetap (Tabel 6.2). Identifikasi Kandidat Tetua Jantan Hasil analisis tetua menunjukkan bahwapada populasi sebelum dan sesudah introduksi lebah berturut turut terdapat 18dan 47simbol (+) yang menunjukkan bahwa 80% yakin bahwa kandidat tetua tersebut yang menjadi tetua jantan. Simbol (*) ditemukan sebanyak 3dan 13 pada kedua populasi yang menunjukkan bahwa 95% yakin bahwa sebagai tetua jantan. dan simbol (-) sebanyak 84dan 123 pada kedua populasi yang menunjukkan dibawah 80% diduga sebagai tetua jantan. Seluruh nilai LOD menunjukkan tidak terdapat nilai negatif. sehingga simbol (-) diyakini sebagai jantan walaupun tingkat kepercayaan dibawah 80%. Nilai peluang kemungkinan atau LOD (Likelihood of odds) menunjukkan nilai lebih besar dari 0 dan positif. nilai LOD positif lebih mengindikasikan bahwa tetua jantan yang diduga adalah benar. Semakin besar nilai LOD maka semakin besar peluang tetua tersebut merupakan tetua yang sebenarnya (Marshal et al. 1998). Pada populasi tanpa introduksi lebah menunjukkan kemampuan menduga kandidat tetua jantan lebih rendah dibandingkan dengan populasi introduksi lebah. Pada populasi setelah introduksi hampir 50% menunjukkan tingkat kepercayaan
73 lebih dari 80% untuk menduga kandidat tetua jantan dengan benar. dibandingkan dengan populasi sebelum introduksi lebah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan introduksi lebah persebaran polen lebih terkontrol sehingga saat dilakukan analisis dalam pendugaan kandidat tetua jantan lebih akurat dibandingkan tanpa adanya introduksi lebah. Populasi sebelum introduksi memiliki tingkat kepercayaan lebih rendah dalam menduga kandidat tetua jatan.Hal ini diduga karena penyerbukan yang tidak terkontrol dan banyak kontaminasi dari polen pohon lain yang tidak digunakan dalam kandidat tetua jantan.
Tabel 6.2. Perubahan parameter populasi sebelum dan setelah introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor di populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah
Parameter Rata-rata Jumlah rata-rata alel/lokus Heterozigositas ekspektasi PIC Total exclusionary power: - Tetua Pertama - Tetua Kedua
Perubahan parameter yang berhubungan dengan introduksi lebah madu Sebelum Sesudah 3.4 3.6 0.55 0.55 0.47 0.47 0.85 0.97
0.85 0.97
Diagram batang jumlah tetua jantan yang berkontribusi terhadap betina terpilih pada populasi kelapa yang diuji menunjukkan bahwa introduksi lebah mampu meningkatkan jumlah polen tetua jantan yang menyerbuk yaitu dari 83 menjadi 127 peristiwa penyerbukan (Gambar 6.2). Hal ini dapat dijelaskan karena sifat lebah yang lebih senang mengumpul pada populasi tanaman betina dan membentuk koloninya disekitar tanaman tersebut, sehingga menyebabkan tingginya peristiwa penyerbukan pada tanaman kelapa betina. Jumlah serbuk sari yang didonorkan dari tetua jantan juga mengalami peningkatan setelah dilakukan introduksi lebah. Frekuensi penyerbukan oleh tetua jantan sebelum introduksi lebah maksimal hanya mampu mendonorkan 5 serbuk sari, dengan adanya introduksi lebah dapat meningkatkan frekuensi penyerbukan pollen dari tetua jantan yang sama sampai 7 serbuk sari. Terdapat 1 donor yang berkontribusi 7 serbuk sari dan 4 donor yang berkontribusi 6 serbuk sari (Gambar 6.2). Diagram batang jumlah tetua betina penerima donor dari tetua jantan terpilih pada populasi kelapa yang diuji menunjukkan bahwa introduksi lebah dapat meningkatkan jumlah polen yang menyerbuki betina. Dari diagram terlihat bahwa pada sebelum introduksi lebah jumlah serbuk sari yang bisa di donorkan oleh satu tetua jantan maksimal 7 serbuk sari, namun setelah dilakukan introduksi lebah terdapat satu tetua jantan yang dapat menyerbuki 9 sampai 10 serbuk sari ke satu betina(Gambar 6.3).
Jumlah tetua jantan yang berkontribusi
74
40 30
27
20 11 10
7 2
1
4
5
0 1
2
3
6
7
Jumlah tetua jantan yang berkontribusi
Jumlah polen donor ke tetua betina
40 30 20
20 14
10
7 3
3
4
4
5
6
1
0 1
2
3
7
Jumlah polen donor ke tetua betina
Gambar 6.2. Frekuensi tetua jantan yang mengkontribusikan serbuk sari terhadap tetua betina yang diuji sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah
75
Jumlah tetua betina
6 4
4 2
3
3 2
1
1
1
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
1
9
10
Jumlah tetua jantan donor
Jumlah tetua betina
6 4
4 2
3
3
3
1
1
0 1
2
3
4
5
6
7
8
Jumlah tetua jantan donor Gambar 6.3. Jumlah tetua betina penerima donor serbuk sari dari tetua jantan terpilih sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah
Berdasarkan diagram kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih terhadap tetua betina sebelum dan sesudah introduksi lebah menunjukkan bahwa introduksi lebah dapat meningkatkan jarak dan frekuensi persebaran polen. Jarak persebaran polen yang mampu disebarkan oleh lebah hingga >60 m dengan 2 serbuk sari. Sedangkan frekuensi penyerbukan pada introduksi lebah cenderung mengalami peningkatan, dimana jarak dengan frekuensi tinggi yaitu berkisar 0-50 m, dengan frekuensi tertinggi 36 serbuk sari pada jarak <20 m (Gambar 6.4).
76
Jumlah peristiwa penyerbukan
50 40 30 20 10 0
15
13
18
6 0
12
12
7 0
< 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60
50 40 30 20 10 0
penyerbukan
Jumlah peristiwa
Kelas Jarak antara tetua jantan terhadap betina (m)
36
25 12
14
20
16 2
0
2
< 10 < 20 < 30 < 40 < 50 < 60 > 60
Kelas jarak antara tetua jantan terhadap betina (m) Gambar 6.4. Jumlah penyerbukan setiap kelas jarak dari tetua kelapa jantan terpilih terhadap tetua kelapa betina sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa kopyor populasi Desa Tayu Kabupaten Pati Jawa Tengah
Analisis Pola Persebaran Serbuk Sari Beberapa pola penyerbukan pada pohon induk kelapa Genjah kopyor sebelum dan sesudah introduksi lebah ditunjukkan pada gambar 6.5 – 6.10 dan Gambar lampiran 17-27. Penyerbukan dengan jarak yang dekat diduga dibantu oleh angin sedangkan jarak yang jauh dibantu oleh serangga (Boer 2007). Jarak antar pohon memberikan pengaruh terhadap frekuensi penyerbukan. jarak yang paling dekat (0-10 m) memiliki persentase kontribusi serbuk sari yang paling tinggi. Hal tersebut disebabkan karena apabila penyerbukan dibantu oleh angin maka perbedaan tinggi pohon pendonor serbuk sari yang lebih tinggi dibanding pohon penerima serbuk sari mengakibatkan jarak edar serbuk sari bisa lebih jauh. Selain itu. dengan data tersebut dapat diketahui bahwa yang berperan lebih banyak dalam penyerbukan kelapa kopyor di Pati adalah faktor polinator biologis yaitu lebah. Perlakuan setelah introduksi lebah memperlihatkan tipe penyerbukan selfing yang terjadi sebanyak 15% dan jarak edar serbuk sari paling jauh adalah 83 km, kemungkinan disebabkan karena lebah mampu lebih jauh membawa serbuk sari dibandingkan angin.
77
Gambar 6.5. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #059 diduga berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk sari, dan ( ) Hibrida Kopyor #059 sebagai tetua jantan terpilih (donor serbuk sari) dan resipien betina (penyerbukan sendiri). Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu.
78
Gambar 6.6. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #067 diduga berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk sari terpilih, dan ( ) Genjah Kopyor #067 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu
79
Gambar 6.7. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #069 diduga berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk sari terpilih, dan ( ) Genjah Kopyor #069 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu
80
Gambar 6.8. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #084 diduga berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) Genjah Kopyor, ( ) Hibrida Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk sari terpilih, dan ( ) Genjah Kopyor #084 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu
81
Gambar 6.9. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #089 diduga berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) Genjah Kopyor, ( ) Dalam Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk sari terpilih, dan ( ) Dalam Kopyor #089 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu Kondisi pertanaman di lapang juga memiliki jarak tanam yang berdekatan sehingga memungkinkan bagi tanaman kelapa genjah untuk melakukan outcrossing dengan tanaman genjah lainnya. Penelitian Perera et.al (2010) menyatakan bahwa meskipun bunga jantan dan betina berada pada posisi berdekatan pada satu bunga akan tetapi tetap berpeluang untuk outcrossing.
82
Gambar 6.10. Pola pergerakan serbuk sari terhadap tetua betina #092 diduga berdasarkan analisis parentage sebelum (atas) dan setelah (bawah) introduksi koloni lebah madu pada pertanaman kelapa Kopyor Tayu Kabupaten Pati. Simbol mengidentifikasikan posisi ( ) Genjah Kopyor sebagai tetua jantan pendonor serbuk sari, dan ( ) Genjah Kopyor #092 sebagai resipien betina. Simbol ( ) menunjukkan posisi sarang koloni lebah madu
Varietas kelapa dalam Srilangka adalah menyerbuk silang (penyerbukan terbuka) dimana serbuk sari matang dan terlepas dari bunga jantan sebelum bunga betina siap untuk dikawini (reseptif). Untuk populasi sebelum introduksi lebah jarak persebaran serbuk sari terjauh adalah 58 m sedangkan populasi setelah introduksi lebah jarak persebaran serbuk sari terjauh adalah 63 m. Untuk jarak yang terdekat adalah 0 m atau
83 penyerbukan sendiri pada kedua populasi. Penyerbukan paling banyak terjadi dalam rentang jarak <30 m untuk populasi sebelum introduksi lebah yaitu 18 even penyerbukan, untuk populasi setelah introduksi lebah penyerbukan paling sering terjadi pada rentang jarak <20 m yaitu 36 even (Gambar 6.4) Dalam mencari pakan, lebah mengunjungi berbagai kuntum bunga untuk mencari nektar atau serbuk sari bunga. Ketika mengambil serbuk sari bunga, secara tidak sengaja butir-butir serbuk sari bunga tersebut menempel pada bulubulu yang ada di seluruh tubuh lebah dan terbawa pergi oleh lebah. Apabila lebah madu tersebut hinggap pada bunga yang lain maka butir-butir serbuk sari bunga yang menempel pada tubuh lebah itu dapat menempel pada kepala putik bunga yang siap mengalami penyerbukan. Kepala putik yang siap mengalami penyerbukan mempunyai substansi tertentu untuk mengikat serbuk sari bunga yang jatuh diatasnya. Sehingga terjadilah penyerbukan yang akan dilanjutkan dengan proses pembuahan. Apabila lebah madu tersebut terbang pada jenis bunga yang berbeda maka akan terjadi penyerbukan silang. Kemampuan untuk melakukan penyerbukan silang ini sangat tinggi dibandingkan dengan jenis serangga lain (Suryanarayana et al. 1992). Lebah merupakan polinator terbaik yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Misalnya pada tanaman jarak pagar, lebah dapat meningkatkan produksi sebesar 40% (Kasno et al. 2010). Simpulan Nilai PIC rata-rata yang terbentuk pada populasi setelah introduksi lebah sedikit lebih tinggi dibandingkan sebelum introduksi lebah. Jarak persebaran polen lebih jauh setelah introduksi lebah (63 m) dibandingkan sebelum introduksi lebah (58 m). Persentase selfing lebih tinggi terjadi sebelum introduksi lebah (18%) dibandingkan setelah introduksi lebah (9,45%). Persentase outcrossing pada populasi sebelum introduksi lebah sebesar 82% dan setelah introduksi lebah menjadi 90,55%.
84
85 VII. PEMBAHASAN UMUM
Penggunaan analisis penyebaran polen pada sistem perkawinan baik pada hewan maupun tumbuhan sangat efektif untuk melihat tipe persilangan, inbreeding depression dan mempelajari evolusi biologi dalam suatu populasi (Auld dan Rafael 2013). Populasi kelapa kopyor merupakan salah satu tanaman dari family Arecaceae yang sangat menarik untuk dipelajari system perkawinannya. Kelapa terdiri atas dua tipe pohon yaitu tipe Genjah dan tipe Dalam yang berbeda pada performa (tinggi tanaman) dan umur berbuah tanaman. Tanaman kelapa memiliki bunga jantan dan betina yang terpisah dan matang pada waktu yang berbeda yang menyebabkan tanaman kelapa umumnya menyerbuk silang. Kelapa Dalam, kelapa Genjah dan kelapa Hibrida saling melakukan penyerbukan silang satu sama lain dan tidak semua kelapa Dalam melakukan penyerbukan silang. Begitupun dengan kelapa Genjah tidak semuanya melakukan penyerbukan sendiri. Pada penelitian yang dilakukan pada percobaan 1 pada populasi tanaman kelapa tipe Genjah terlihat terjadi selfing sebanyak 15 kali (17,9%) dan jumlah outcrossing yang terjadi sebanyak 69 kali (82.1%). Pada percobaan 2 yang dilakukan pada kelapa tipe Dalam terlihat terjadi selfing sebanyak 1 kali (2%) dan jumlah outcrossing yang terjadi sebanyak 48 kali (98%). Hal tersebut diduga disebabkan karena morfologi bunga kelapa yang terbuka, sehingga kelapa Genjah juga memiliki peluang untuk menyerbuk silang (Maskromo et al. 2011). Selain itu kondisi pertanaman di lapang juga memiliki jarak tanam yang berdekatan sehingga memungkinkan bagi tanaman kelapa Genjah untuk melakukan outcrossing dengan tanaman Genjah lainnya. Waktu mekar bunga jantan (18-20 hari) dan betina (4-7 hari) yang berbeda juga dapat meningkatkan besarnya penyerbukan silang (outcrossing) pada kedua tipe kelapa. Adanya tanaman kelapa berbuah normal diantara tanaman kelapa berbuah kopyor disebabkan oleh proses seleksi bibit yang belum dapat dipisahkan antara bibit yang dapat berbuah kopyor dengan bibit kelapa normal pada saat penanaman di lapang. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya tanaman kelapa Dalam normal yang ditemukan di lokasi pertanaman untuk tanaman berbuah kopyor. Bibit kopyor alami yang ditanam petani berasal dari tanaman kelapa Dalam kopyor heterozigot (Kk) yang secara teori membawa gen kopyor (k) namun juga memiliki gen normal (K). Pada saat pembungaan, tanaman kopyor heterozigot tersebut akan bersegregasi sehingga pada saat pembuahan berpeluang terbentuk buah dengan genotipe (kk) dengan fenotipe endosperm kopyor yang embrionya tidak dapat tumbuh seperti embrio pada buah kelapa normal. Pada tandan buah yang sama berpeluang terbentuk buah normal dengan genotipe (Kk) dengan fenotipe endosperm normal namun membawa gen kopyor (k). Dengan prinsip memiliki peluang bergabung secara bebas saat proses meosis seperti pada Hukum Mendel II, maka pada tandan buah yang sama akan terbentuk juga buah genotipe (KK) dengan fenotipe endosperm dan embrionya tidak membawa gen kopyor (k). Buah dengan genotipe KK akan menghasilkan tanaman yang tidak akan menghasilkan tanaman berbuah kopyor atau disebut kelapa berbuah sayur (Sudarsono et al. 2014b).
86 Fenomena pembentukan buah kelapa kopyor dan kelapa normal pada pertanaman kelapa campuran disebabkan adanya efek xenia. Xenia merupakan pengaruh langsung serbuk sari (pollen) pada fenotipe biji dan buah yang dihasilkan tetua betina. Peristiwa xenia pada kelapa kopyor memberikan efek negatif untuk pembentukan endosperma pertanaman kelapa kopyor pada umumnya di populasi Dukuh Seti. Hal ini terlihat dari banyaknya donor serbuk sari yang disumbangkan oleh tetua jantan kelapa normal terhadap induk betina kopyor. Sehingga endosperma yang terbentuk semuanya menghasilkan endosperma yang normal. Seperti yang dijelaskan pada laporan Hi Link 2014 (Sudarsono et al. 2014) bahwa buah kelapa dengan daging buah (endosperma) yang keras dapat dihasilkan dari pohon kelapa normal KK (homosigot KK) atau dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk). Buah kelapa ini mempunyai embrio sigotik dengan konstitusi genetik KK dan Kk, daging buah (endosperma) yang dihasilkan dengan konstitusi genetik KKK, Kkk atau KKk, jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kopyor Kk atau kk; atau dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk). Buah kelapa dengan daging buah (endosperma) yang lembut dan terlepas dari batok (cangkang)-nya, yang dalam kondisi tertentu dapat dihasilkan dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) – jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) atau kelapa kopyor kk (homosigot kk); atau dari pohon kelapa kopyor kk (homosigot kk) - jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa kopyor Kk; atau kelapa kopyor kk. Buah kelapa kopyor kk (homosigot Kk) mempunyai embrio sigotik dengan konstitusi genetik kk dan daging buah (endosperma) dengan konstitusi genetik kkk. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produktifitas pohon kelapa kopyor secara umum ditentukan tingkat keberhasilan penyerbukan dan persentase bunga betina yang berkembang menjadi buah per tandan. Tingkat keberhasilan penyerbukan pada kelapa salah satunya ditentukan oleh keberadaan serangga polinator terutama pada kelapa tipe dalam. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tandan kelapa yang banyak dikunjungi oleh serangga penyerbuk umumnya mempunyai tingkat keberhasilan penyerbukan yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dari jumlah buah total yang dipanen lebih banyak. Sebaliknya, tandan dengan jumlah buah total yang dipanen rendah tetapi mempunyai jumlah betina yang banyak, mengindikasikan rendahnya tingkat keberhasilan penyerbukan pada tandan tersebut. Di lapangan, juga teramati banyaknya populasi lebah madu lokal (Apis serana) yang terbang mengerumuni tandan yang sedang mekar. Bantuan serangga sebagai polinator penyerbuk memanfaatkan infloresens bunga untuk melengkapi aktivitas hidupnya seperti melakukan perkawinan, meletakkan telur, dan mencari makanan sehingga aktivitas tersebut secara tidak langsung menyebabkan terjadinya penyerbukan silang (Bown 1988). Lebih lanjut Bown (1988) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang merangsang serangga untuk hinggap pada infloresens bunga antara lain bau atau aroma yang dihasilkan oleh infloresens bunga yang terbuka seperti pada bunga tanaman kelapa. Pada kebanyakan tanaman araceae, dihasilkan kombinasi senyawa berupa amonia, protein, dan asam amino yang membuat serangga untuk mendatangi organ reproduksi bunga. Berdasarkan hal tersebut, usaha untuk menjamin tingkat keberhasilan penyerbukan yang tinggi diduga dapat dilakukan dengan mengintroduksikan koloni lebah di pertanaman kelapa kopyor. Dengan
87 menerapkan budidaya lebah madu lokal di sekitar pertanaman kelapa kopyor, diharapkan akan dapat mengatasi permasalahan rendahnya keberhasilan penyerbukan sehingga meningkatkan jumlah buah kelapa total yang dipanen per tandan dan meningkatkan produktifitas kelapa kopyor di lapangan.
88
89 VIII. SIMPULAN
1. Serbuk sari yang didonasikan pada populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Genjah Pati berasal dari serbuk sari donor yang berada dalam kisaran jarak tempuh 0-58 meter dari tetua betina yang dievaluasi. Oleh karena itu, selain dengan adanya keberadaan angin, polinator serangga juga dapat berperan penting dalam polinasi kelapa Kopyor. 2. Populasi pertanaman kelapa kopyor tipe Dalam Kalianda hasil analisis penyebaran serbuk sari menunjukkan persentase terjadinya outcrossing sebesar 98% dan persentase selfing sebesar 2%. Hal ini mengindikasikan bahwa kelapa kopyor tipe Dalam memiliki tipe penyerbukan yang menyerbuk silang. 3. Kelapa Dalam tidak dianjurkan untuk dijadikan sebagai pendonor serbuk sari dalam populasi pertanaman kelapa kopyor karena akan menyebabkan menurunnya produksi buah kelapa kopyor yang disebabkan adanya efek xenia. 4. Lebah madu efektif dijadikan sebagai polinator dalam pertanaman kelapa kopyor karena dapat meningkatkan produksi buah dengan meningkatkan jarak persebaran polen yang lebih jauh dibandingkan dengan populasi sebelum introduksi lebah.
90
91 DAFTAR PUSTAKA
Amar Mohamed Hamdy, Manosh Kumar Biswas, Zongwen Zhang, Wen-Wu Guo. 2011. Exploitation of SSR, SRAP and CAPS-SNP markers for genetic diversity of Citrus germplasm collection. Scientia Horticulturae. 128 : 220-227. Aitken N, Smith S, Schwarz C, Morin PA. 2009. Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery in mammals: a targeted-gene approach. Mol Ecol. 13:1423-1431. Auld., Josh R, Rafael Rubio de Casas. 2013. The correlated evolution of dispersal and mating-system traits. Evol Biol (2013) 40:185–193. Austerlitz F, Dick CW, Klein EK, Muratorio SO, Smouse PE, Sork VL. 2004. Using a genetic markers to estimate the pollen dispersal curve. Molecular ecology. 13:937-954. Blair AW, Williamson PS. 2009. Pollen dispersal in a star cactus (Astrophytum asterias). Journal of Arid Environments. 74:525-527. Boer D. 2007. Keragaman dan struktur genetik populasi jati sulawesi tenggara berdasarkan marka mikrosatelit [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Brody Jonathan R, Scott E Kern. 2004. History and principles of conductive media for standard DNA electrophoresis. Analytical Biochemistry 333 (1): 1–13. Brumfield RT, Beerli P, Nickerson DA, Edwards SV. 2003. The utility of single nucleotide polymorphisms in inferences of population history. Trends Ecol Evol. 18:249-256. Bown D. 1988. Aroid: Plants of the arum family. Oregon (US): Timber Press Portland. Bulant C, Gallais A., Matthys-Rochon E. Prioul J.L. 2000. Xenia effects in maize with normal endosperm. Crop Science. Vol. 40 No. 1 : 182-189. Burczyk J, Koralewski T. 2005. Parentage versus two-generation analyses for estimating pollen-mediated gene flow in plant population. Mol.Ecol. 14:2525-2537. Bodor P, Gaal M, Toth M. 2008. Metaxenia in apples cv. Rewena, Relinda, Baujade as influenced by scab resistant pollinizers. Int J Hort Sci.14(3):1114. Cansian RL, Mossi AJ, Luccio MD, Cechet ML, Mazutti M, Echeverrigaray S. 2010. Molecular identification of pollen donor plants on a progeny of Cambona-4 female matrix of maté (Ilex paraguariensis St. Hil. Aquifoliaceae). Acta Scientiarum Biological Sciences. 32(1):39-42. Carneiro FS, Lacerda AEB, Lemes MR, Gribel R, Kanashiro M, Wadt LHO, Sebbenn AM. 2011. Effects of selective logging on the mating system and pollen dispersal of Hymenaea courbaril L. (Leguminosae) in the Eastern Brazilian Amazon as revealed by microsatellite analysis. Forest Ecology and Management. 262:1758-1765. Chan E, Elevitch CR. 2006. Cocos nucifera (coconut). Species profile for pasific island agroforestry. www.traditionaltree.org. Diakses 19 April 2013.
92 Chen H, He H, Zou Y, Chen W, Yu R, Liu X, Yang Y, Gao YM, Xu JL, Fan LM. 2011. Development and application of a set of breeder-friendly SNP markers for genetic analyses and molecular breeding of rice (Oryza sativa L.). Theor Appl Genet. 123:869-879. Creste S, Tulmann AN, Figueira A. 2001. Detection of single sequence repeat polymorphism in denaturing polyacrylamide sequencing gels by silver staining. Plant Mol Biol Reporter 19:299-306. DebMandal M, Shyamapada M. 2011. Coconut (Cocos nucifera L.: Arecaceae): In health promotion and disease prevention. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 4(3):241-247. Denney JO. 1992. Xenia includes metaxenia. HortScience 27:722–728. Dick CW, Etchelecu G, Austerlitz F. 2003. Pollen dispersal of tropical tree (Dinizia excels: Fabaceae) by native insects and African honeybees in pristine and fragmented Amazonian rainforest. Mol Ecol. 12:753-764. Dunphy BK, Hamrick JL, Schwagerl, J. 2004. A comparison of direct and indirect measures of gene flow in the bat-pollinated tree Hymenaea courbaril in the dry forest life zone of south-western Puerto Rico. Int J Plant Sci. 165:427-436. Dishutbun. 2004. Selayang pandang komoditi kelapa kopyor di Kabupaten Pati. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati. Ehlenfeldt M.K. 2003. Investigations of metaxenia in northern highbush blueberry (Vaccinium corymbosum L.) cultivars. Journal of the American Pomological Society. 57(1):156:162. Esteras Cristina, Pedro Gómez, Antonio JM, José B, Nelly V D, Cristina R, Fernando N and Belén P. 2012. High-throughput SNP genotyping in Cucurbita pepo for map construction and quantitative trait loci mapping. BioMedCentral. (13- 80) :1471-2164 Falconer DS, Mackay TFC. 1985. Introduction to quantitative genetic. New York (US): Longman. Feng FJ, Sui X, Chen MM, Zhao D, Han SJ, Li MH. 2010. Mode pollen spread in clonal seed orchard of Pinus koraiensis. Journal of Biophysical Chemistry. 1(1):33-39. Ganal MW, Altmann T, Roder MS. 2009. SNP identification in crop plants. [curr opin]. Plant Biol. 12:211-217. Gary NE. 1992. Activities and Behavior of Honey Bee. Di dalam: The Hive and the honey bee. Illinois: Dadant & Hamilton, Ltd. Gupta PK, Roy JK, Prasad M. 2002. Single nucleotide polymorphisms: a new paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism detection with emphasis on their use in plants. Curr Sci. 80:524-535. Hamrick JL, Trapnell DW. 2011. Using population genetic analyses to understand seed dispersal patterns. Acta oecologica. 37:641-649. Hannum S, Hartana A, Suharsono. 2003. Kemiripan genetika empat populasi kelapa genjah berdasarkan pada Random Amplified Polymorphic DNA. Hayati 4:125-129. Herrera MM, Alan WM, James WB, David NK, Raymond JS. 2007. Usefulness of WRKY gene-derived markers for assessing genetic population structure: An example with Florida coconut cultivars. Scientia Horticulturae 115:19–26.
93 Holton TA, Christopher JT, McClure L, Harker N, Henri HJ. 2002. Identification and mapping of polymorphic SSR markers from expressed gene sequences of barley and wheat. Mol Breed. 9:63-71. Jannati M, Fotouhi R, Pourjan A, Salehi A Z. 2009. Genetic diversity analysis of Iranian citrus varieties using microsatellite (SSR) based markers. J Hortic For. 1:120-125. Karp AS, Kresnovich, Bhat KV, Ayad WG, Hodgkin T. 1997. Molecular Tools in Plant Genetic Resources Conservation: A Guide to The Technologies. IPGRI Technical Bulletin No.2. Italia (IT): International Plant Genetic Resources Institute. Kasno, Hasan HES, Efendi DS, Syaefuddin. 2010. Efektifitas 3 spesies lebah madu sebagai agen penyerbukan untuk meningkatkan produktifitas (>40%) biji jarak pagar (Jatropa curcas) pada ekosistem iklim basah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 15(1):25-33. Kurniasih Surti. 2012. Pemanfaatan marka molekuler untuk mendukung perakitan kultivar unggul kakao (Theobroma cacao L.) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kumar Pradeep, Manimekalai R, Ranjitha Kumari. 2011. Microsatellite Marker based Characterization of South Pacific Coconut (Cocos nucifera L.) Accessions. International Journal of Plant Breeding and Genetics. 5(1) :34-43. Lebrun P, Baudouin L, Bopurdeix T, Konan JL, Barker JHA, Aldam C, Herran A, Ritter E. 2001. Construction of linkage map of the Rennell Island Tall coconut type (Cocos nucifera L.) and QTL analysis for yield characters. Genome. 44:962-970. Lestari P, Koh HJ. 2013. Development of new CAPS/Dcaps and SNAP markers for rice eating quality. Hayati Journal Biosciences. 20(1): 15-23. Li S, Wan H, Ji H, Zou K, Yang G. 2009. SNP discovery based on CATS and genotyping in the finless porpoise (Neophocaena phocaenoides). Conserv Genet 10:2013-2019. Liferdi L. 2008. Lebah polinator utama pada tanaman hortikultura. Iptek Hortikultura. 4:1-5. Lian C, Miwa M, Hogetsu T. 2001. Outcrossing and paternity analysis of Pinus densiflora (Japanese red pine) by micro- satellite polymorphism. Heredity 87:88–98. Luengwilai K, Diane M. B., Orrawan P., Jingtair S. 2014. Postharvest quality and storage life of „Makapuno‟ coconut (Cocos nucifera L.). Scientia Horticulturae. 175: 105–110 . Lowe A, Harris S, Ashton P. 2004. Ecological Genetics. London (UK): Blackwell Publishing. Mahmud Z. 2000. Petunjuk teknis budidaya kelapa kopyor. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta (ID): Dirjen Perkebunan. Mallet J. 2001. Gene flow. Di dalam Woiwod IP, Reynolds DR, Thomas CD, editor. Insect Movement: Mechanisms and Consequences. Wallingford (GB): CAB International. Mammadov JA, Aggarwal R, Buyyarapu R, Kumpatla SP. 2012. SNP Markers and their impact on plant breeding. Int J Plant Genom. 2012:1-11.
94 Marsico TD, Jessica JH, Romero-Saverson J. 2009. Patterns of seed dispersal and pollen flow Quercus garryana (Fagaceae) following post-glacial climatic changes. J Biogeogr. 36(5):929-941. Maskromo I dan H. Novarianto. 2007. Potensi genetik kelapa kopyor Genjah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 29 No. 1. Maskromo I, Novarianto H, Mashud N. 2007. Potensi pengembangan kelapa kopyor di Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Vol 13 No. 1. Maskromo I, Novarianto H, Sudarsono. 2011. Fenologi pembungaan tiga varietas kelapa genjah kopyor pati. Di dalam: Roedhy P, Slamet S, Anas D, Nurul K, Dewi S, Sintho WA, editor. Prosiding Seminar PERHORTI Kemandirian Produk Hortikultura untuk Memenuhi Pasar Domestik dan Ekspor; 2011 Nov 23-24; Lembang, Indonesia. Bogor (ID): Perhimpunan Hortikultura . Indonesia. Hlm 1002-1010. Maskromo I. 2005. Kelapa Kopyor, dari normal jadi abnormal. Trubus No. 429. XXXVI. Marshal TC, Slate J, Krilek LEB, Pemberton JM. 1998. Statistical confidence for likehood based paternity inference in nature populations. Mol Ecol. 7:639655. McCouch SR, Zhao K, Wright M, Tung CW, Ebana K, Thomson M, Reynolds A, Wang D, DeClerck G, Ali ML. 2010. Development of genome wide SNP assays for rice. Breed Sci. 60:524-535. Milleron Matias, Unai Lopez de Heredia, Zaida Lorenzo, Ramon Perea, Aikaterini Dounavi, Jesus Alonso, Luis Gil, Nikos Nanos. 2012. Effect of canopy closure on pollen dispersal in a wind-pollinated species (Fagus sylvatica L.). Plant.Ecology. 213:1715-1728. Mondini L, Arshiya Noorani, Mario A. Pagnotta. 2009. Assesing plant genetic diversity by molecular tools. Diversity. 1:19-35. Moran., Emily and James SC. 2011. Estimating seed and pollen movement in a monoecious plant: a hierarchical Bayesian approach integrating genetic and ecological data. Molecular Ecology 20 : 1248–1262. Morin PA, Luikart G, Wayne RK, The SNP working group. 2004. SNPs in ecology, evolution and conservation. Trends Ecol Evol. 19:208-216. Muntamah L. 2009. Aktivitas Apis Cerana mencari polen dan indentifikasi polen di perlebahan tradisional bali [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Novarianto H, Miftahorrachman. 2000. Koleksi dan konservasi jenis-jenis kelapa unik. Makalah poster dalam Simposium Pengelolalan Plasma nutfah dan pemuliaan Bandung 22-23 September. Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Novarianto H, Kangiden DI, Tampake H, Rompas T. 2000. Penyerbukan buatan pada kelapa. Pemberitaan Penelitian Tanaman Industri. 8(50):13-16. Novarianto H, Lolong AA. 2012. Peningkatan persentase buah kopyor melalui penyerbukan sendiri. Bul Palma. 13 (1): 7-16. Novarianto H, Maskromo I, Dinarti D, and Sudarsono. 2014. Production technology for Kopyor coconut seednuts and seedlings in Indonesia. International Journal on Coconut R & D. 30(2):31-40.
95 Olfati JA, Sheykhtaher Z, Qamgosar R, Sabet AK, Peyvast GH, Samizadeh H, Rabiee B. 2010. Xenia dan metaxenia on cucumber fruit and seed characteristics. Int J Veg Sci. 16:243-252. Panaud O, Chen X, McCouch SR. 1996. Development of microsatellite markers and characterization of simple sequence length polymorphism (SSLP) in rice (Oryza sativa). Mol.Gen.Genet. 252, 597-607. Pandin DS. 2009a. Inbreeding depression analysis based on morphological characters in four generations of selfed Mapanget Tall Coconut no 32 (Cocos nucifera L.). Indonesian Journal of Agriculture 2(2):110-114. Pandin DS. 2009b. Depresi penangkaran dalam empat generasi penyerbukan tertutup tanaman kelapa dalam mapanget No.32 berdasarkan sifat morfologi dan penanda mikrosatelit. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Piotto., FA, Katherine DBP, Marcílio de A, Giancarlo CXO. 2013. Interspecific xenia and metaxenia in seeds and fruits of tomato. Sci. Agric. (70.2) : p.102-107 Perera PIP, Hocher V, Weerakoon LK, Yakandawala DMD, Fernando SC, Verdeil JL. 2010. Early inflorescence and floral development in Cocos nucifera L. (Arecaceae: Arecoideae). South African Journal Botany 76 ; 482-492. Powel W, Gordon CM, Jim P. 1996. Polimorphism revealed by simple sequence repeat. Trend Plant Sci. 1:215-221 Prabha SS, Indira EP, Nair PN. 2011. Contemporary gene flow and matting system analysis in natural teak forest using microsatellite markers. Current Science 101 (9):1213-1219. Prastowo B. 2007. Potensi sektor pertanian sebagai penghasil dan pengguna energi terbarukan. Perspektif Vol. 6 No. 2/ Desember . Hal 84-92. Rajesh MK, Arunachalam V, Nagarajan P, Lebrun P, Samsudeen K, Thamban C. 2008. Genetic survey of 10 Indian coconut landraces by Simple Sequence Repeats (SSRs). Scientia Horticulturae 118:282–287. Ramirez VM, Tablat VP, Kevan PG, Morillo IR, Harries H, Barrera MF, Villareal DZ. 2004. Mixed mating strategies and pollination by insects and wind in coconut palm (Cocos nucifera L. (Arecaceae)): importance in production and selection. Agricultural and Forest Entomology. 6:155-163. Rohde W, Kullaya A, Rodriguez J, Ritter E. 1995. Genome analysis of Cocos nucifera L by PCR amplification of spacer sequences separating a subset of copis-like EcoR1 repetitive elements. J Genet and Breed. 49:170 -186. Ruan C. 2010. Germplasm regression combined marker trait association identification on plants. Afr J Biotechnol. 9:573-580. Sajib AM, M.M. Hossain, A.T.M.J. Mosnaz, H. Hossain, M.M. Islam, M.S. Ali, SH. Prodhan. 2012. SSR marker-based molecular characterization and genetic diversity analysis of aromatic landreces of rice (Oryza sativa L.). J. BioSci. Biotech 1(2): 107-116. Samonthe LJ, Mendoza EMT, Ilag LL, De La Cruz ND, Ramirez DA.1989. Galactomannan degrading enzym in maturing normal and makapuno and germinating normal coconut endosperm. Phytochemistry. 28(9):22692273.
96 Sambrook J. and Russel DW. 2001. Molecular cloning: a Laboratory Manual. Third Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor, New York. Santos GA. 1999. Potensial use of clonal propagation in coconut improvement program. Di dalam Oropeza C, Verdiel JL, Ashburner GR, Cardena R, Samantha JM, editors. Current advances in coconut biotechnology. Current Plant Science and biotechnology in Agriculture. London (GB): Kluwer Academic Publisher. hlm 419-430. Santoso U, Kubo K, Ota T, Tadokoro T, Maekawa A. 1996. Nutrient composition of kopyor coconuts (Cocos nucifera L.). Food Chem. 57:299-304. Satyabalan K. 1995. Xenia effect and hybrid vigor in coconuts. Int J Coconut R&D. 11(1):41-47. Schuster WSF, Mitoon JB. 2000. Paternity and gene dispersal in limberpine (Pinus flexilis James). Heredity. 84:348-361. Selkoe KA, Toonen RJ. 2006. Microsatellites for ecologists: a practical guide to using and evaluating microsatellite markers. Ecol Lett. 9:615-629. Semagn K, Bjornstad A, Ndjiondjop MN. 2006. An overview of molecular marker methods for plants. African J Biotech. 5:2540-2568. Shamay A, Fang J, Pollak N, Yonash N (2006). Discovery of c-SNPs in Anemone coronaria and assessment of genetic variation. Genet. Resour. Crop Evol. 53: 821-829. Sianturi, H.S.D., 2001. Budidaya Kelapa Sawit. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Soenarsih Sri. 2012. Pala (Myristica spp.) maluku utara berdasarkan keragaman morfologi, kandungan atsiri, pendugaan seks tanaman dan analisis marka SSR [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudarsono, Sudrajad, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR, Maskromo I. 2012. Produksi bibit kopyor true to type dengan persilangan terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sudarsono, Sudrajad, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR, Maskromo I. 2014a. Pendekatan genomik dan molekuler untuk pengembangan kultivar unggul kelapa eksotik asal Indonesia, penyediaan bibit dan pengendalian hamanya. Laporan Akhir KKP3N. IPB bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sudarsono, Sudrajad, Novarianto H, Hosang MLA, Dinarti D, Rahayu MR, Maskromo I. 2014b. Produksi bibit kopyor true to type dengan persilangan terkontrol dan peningkatan produksi buah kopyor dengan polinator lebah madu. Laporan Akhir Program Hi Link. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suryanarayana MC, Rao GM, Singh TSMS. 1992. Studies on pollen sources for Apis cerana Fabr and Apis mellifera L bees at Muzaffarpur, Bihar, India. Apidologie. 23: 33-46. Sukendah 2009. Teknologi pembiakan kultur in vitro dan analisis molekuler pada tanaman kelapa kopyor [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
97 Sutanto A, D. Sukma, C. Hermanto, and Sudarsono. 2014. Isolation and characterization of Resistance Gene Analogue (RGA) from Fusarium resistant banana cultivars. Emirates Journal of Food and Agriculture. 26(6):508-518. Wattanayothin, S. 2005. The study on curd coconut hybrids. J. TNCEL 1(3):6-7. Wattanayothin, S. 2010. Variety improvement of Makapuno. Proceedings of the XLIV COCOTECH Meeting, 5-9 July 2010, Samui Island, Thailand. pp. 96-108. Zane L, Bargelloni L, Patarnello T. 2002. Strategies for microsatellite isolation [review]. Mol Ecol. 11:1-16.
98
99 LAMPIRAN Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
Buffer ekstraksi Buffer ini merupakan campuran dari beberapa larutan, yaitu Tris, EDTA, NaCl, CTAB, dan aquadest , Tris 1 M dibuat dengan cara Tris base 121,1 gr dilarutkan ke dalam 800 ml aquadest , kemudian pH diatur menjadi 7,5 menggunakan HCL pekat (± 42 ml) untuk menurunkan pH, kemudian volume larutan dicukupkan hingga 1000 ml, EDTA 0,5 M dibuat dengan cara disodium ethylenediaminetetraacetate dengan 186,1 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , kemudian pH diatur menjadi 8,0 menggunakan NaOH, setelah itu mencukupkan volume hingga 1 liter, NaCl 2,5 M dibuat dengan cara 292,2 gr NaCl dilarutkan dalam 1 liter aquadest, Buffer ekstraksi sebanyak 200 ml, dibuat dari Tris 20 ml, EDTA 8 ml, NaCl 112 ml, CTAB (cetyltrimethylamoniumbromide) 4 gr kemudian bahan-bahan tersebut dilarutkan dengan aquadest 50 ml kemudian dicukupkan hingga volume mencapai 200 ml, Chloroform-isoamylalkohol Chloroform-isoamylalkohol merupakan campuran chloroform dengan isoamyl alkohol dengan perbandingan 24:1, yaitu 480 ml chloroform dan 20 ml isoamyl alkohol, SB Bufer 20X Boric acid sebanyak 22,5 gr dan NaOH 4 gr dilarutkan dalam 300 ml aquadest, kemudian volume dicukupkan hingga 500 ml, Stok 1 liter SB buffer 1x dibuat dengan melarutkan 50 ml stok SB buffer dengan 950 ml aquadest, TBE Buffer 5 M Tris base 54 gr dilarutkan dalam 800 ml aquadest , lalu ditambahkan 27,5 gr boric acid dan 20 ml EDTA, kemudian volume dicukupkan hingga 1 liter, Buffer TBE 0,5 M dibuat melalui pengenceran TBE buffer 5 M dengan menggunakan rumus : V1 x M1 = V2 x M2 V1 x 5 M = 1000 x 0,5 M V1 = 10 ml TBE buffer 5 M + 990 ml aquadest Etanol 70% Etanol absolute sebanyak 350 ml dicampurkan dengan 150 ml aquadest , Ethidium bromide Ethidium bromide sebanyak 1 gr dilarutkan ke dalam 100 ml aquadest, dan penyimpanannya menggunakan botol gelap atau botol yang dibungkus dengan aluminium foil, Acrylamide Bis-acrilamide (19:1) 40% Acrylamide 190 gr dan Bis-acrylamide 10 gr dimasukkan ke dalam beacker glass 500 ml, kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 400 ml, Setelah larut sempurna, cukupkan volume menjadi 500 ml, Larutan disaring
100 menggunakan kertas saring dan menyimpannya ke dalam botol gelap di lemari es, 8. Acrylamide solution 6% Urea sebanyak 210 gr dilarutkan dalam 200 ml aquadest, Setelah larut, kemudian ditambahkan 100 ml TBE buffer 5 M dan 75 ml stock akrilamid 40%, Volume dicukupkan sampai 500 ml, kemudian disaring dengan kertas saring, Larutan disimpan dalam botol gelap di lemari es, 9. Ammonium persulfate (APS) Ammonium persulfate sebanyak 1 gr dilarutkan dalam 10 ml aquadest, kemudian larutan disimpan pada suhu 4ºC, 10. Sodium thiosulfate Sodium thiosulfate 100 mg dilarutkan ke dalam 10 ml aquadest, larutan disimpan pada suhu ruang, 11. Larutan dalam pewarnaan silver Pewarnaan silver menggunakan lima larutan, yaitu larutan fiksasi, larutan nitrit acid, larutan staining, larutan developer, larutan stop, Larutan fiksasi dibuat dengan melarutkan 10 ml asam asetat glacial dan 100 ml ethanol 95% ke dalam 890 ml aquadest, Larutan nitrit acid dibuat dengan melarutkan 15 ml nitrit acid ke dalam 985 ml aquadest, Larutan staining dibuat dengan melarutkan 1,5 gr silver nitrat ke dalam 1 liter aquadest, Larutan developer dibuat dengan melarutkan 30 gr sodium carbonat di dalam 1000 ml aquadest, Larutan ini disimpan dalam freezer -20ºC sampai pada saat akan digunakan, Pada saat akan digunakan, larutan ditambahkan 1,5 ml formaldehid 37% dan 200 µl sodium thiosulfate, Larutan stop dibuat dengan melarutkan 50 ml asam asetat glacial ke dalam 950 ml aquadest
101 Lampiran 2 . Daftar 36 primer SSR No
Urutan basa (5’ – 3’)
Lokus
1
CnCir_74
2
CnCir_J2
3
CnCir_87
4
CnCir_G4
5
CnCir_K8
6
CnCir_K1
7
CnCir_241
8
CnCir_123
9
CnCir_J10
10
CnCir_B11
11
CnCir_109
12
CnCir_2
13
CnCir_86
14
CnCir_89
15
CnCir_192
16
CnCir_D8
17
CnCir_121
18
CnCir_56
19
CnCir_H11
20
CnCir_167
21
CnCir_C9
22
CnCir_C5
23
CnCir_48
24
CnCir_B12
25
CnCir_H4
26
CnCir_1
F R F R F R F R
=GAG =CGG =CCA =GTC =ATA =GAC =AGT =AAA
ATC CAA TTG ACC ACA TGA ATA CCC
CTC CAA TCA ATC TCC ATC GTC ATA
ACC AGA TTG TTC TCC CAA ACG ACC
TCC GAA TTA TCA AAC CCC CCA AGC
AC C TTT TG GTT TC CTG TT GAA AA AAG
F=CCA GAC ATG AAA CAA ACA A R =CAT GGC ACA TAG GAA GAA F =TTA CCAGGC CAC AAA GAA R =AGA GTG AAC AAAGAG GAA GAT T F =CCA CTC CAA CAA CAC C R =AAT CAC CAA ACA CAT CTT C F =AAA GTG AAG TGG ATA ATG TG R =AGA GAG GAT CTA GGG TTG T F =GAG GGT ATG GTG CTG CTT G R =ATC CTT CAT GTG GCT CTG C F =TCT GCA TCC CTT CTT TAT TA R =TTGTCT TTC TTT ATT CTA TTG G F =CCT ACC ACA CCT TCC A R =ATC ATC TCA GTC CTT CTC A F =AGTCCT AAA AGT GTT GGC R =GTA ATC CTA TGG CTG CTT F =ACT CAC GCA AAT ATA CTC A R =ACT CACGCA AAT ATA CTC A F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R
=GAG TTG GAG AAG AAG AGG =ACG ACA ATA GAT GGA ACA =TTA GTT AGT GCT GTG GAT TG =TTG CTA TGA GTC CCT TGT =GCT CTT GAT GTG GCT GCT =AGG CGTGTT GAG ATT GTG =GGA CAC TGG GTT CTG TT =CTC TGT AAT CTG CGG G =AAC CAG AACTTA AAT GTC G =TTTGAA CTC TTC TAT TGG G =TCA TTC AGA GGA CAA AAG TT =TAA AAA TTC ATA AAG GTA AAA =GGT GGG TAA GTG AAC ATC =GTG ATA CAA CGA ACC CTC = CAG AAA GGA GAA AGG AAA T =CTA CGA TAG AGG AAT GAG C =ACC AAC AAA GCC AGA GC =GCA GCC ACT ACC TAA AAA =GTG AGG CTG CAA AGA AC =TCG TCA AAC CTG ACC A =GCT CTT CAG TCT TTC TCA A =CTG TAT GCC AAT TTT TCT A =TTA GAT CTC CTC CCA AAG =ATC GAAAGA ACA GTC ACG =TTG GTC TAT TGC ATG TTC =TGG CAT TGA GAG GGT
Suhu annealing (°C)
Linkage group
54
16
52
15
54
13
55
13
53
13
55
12
53
11
54
11
60
10
53
10
55
10
55
10
53
9
53
9
55
9
58
8
56
8
53
8
46
5
57
5
57
4
57
4
51
4
51
3
55
3
53
3
102 27
CnCir_206
28
CnCir_151
29
CnCir_147
30
CnCir_51
31
CnCir_E4
32
CnCir_226
33
CnCir_202
34
CNZ_21
35
CNZ_51
36
CNZ_18
F R F R F R F R F R F R F R F R F R F R
=AAA GAG AAC GCA ACC A =CAA GTT CCA AAG AAC CA =ACC ATG ATG TGC CTG T =GTT CAC AGT AGG TGG CTT =TTT CTC ACC AAC AAA TAA =CTT GTG TGT TAG GGT CAT =TCT CGT GGA TCT CGT C =GCT CTT CCA GTT ACG TTT =GCA TGG TAT TCG GAT TTG =ATG GTT CAG ATT TGG ACA =CTG AAG ATA TGT GTT TAT =TGT TCC AGA TTG AGG TT =TTT AGA GGA AGA AGG ATG =GTG GTT GCT TGG TAT TGT =ATGTTTTAGCTTCACCATGAA =TCAAGTTCAAGAAGACCTTTG =CTTTAGGGAAAAAGGACTGAG =ATCCATGAGCTGAGCTTGAAC =ATGGTTCAGCCCTTAATAAAC =GAACTTTGAAGCTCCCATCAT
AC C
GT GC AG
51
2
54
2
52
2
55
2
55
1
52
1
55
1
52
-
52
-
52
-
Lampiran 3. Daftar primer SNAP
No Primer Id 1
2
3
4
Urutan sekuens primer
Panjang Primer (basa)
Suhu Annealing (°C)
CN_SUS1_P#3 Ref
GAATGAGATGCTACAAAGAATAAATAAG
28
51,0
CN_SUS1_P#3 _REV
TCTGTTCTAAATGGAACGCG
20
52,9
CN_SUS1_P#3 ALT
GAATGAGATGCTACAAAGAATAAATAAA
28
50,7
CN_SUS1_P#14 REF
GCTGAAAGTCACTGAAAAGGTAG
23
53,8
CN_SUS1_P#14 REV
AAATTATTAAGAATGTCATGGTTTC
25
48,3
CN_SUS1_P#14 ALT
GCTGAAAGTCACTGAAAAGGTAC
23
54,0
WRKY19-P#1Ref
CGTCTTCTGCAAACTAAGCTCA
22
56,3
WRKY19-P#1Rev
ATGATATATATACAAGACTACGCCGAT
27
55,0
WRKY19-P#1Alt
GTCTTCTGCAAACTAAGCTCG
21
53,5
WRKY6-P#3Ref
ATAAATATCACATATCCCTGAGCAA
25
55,0
WRKY6-P#3Rev
CTACAGGTATTGTTAAATGTGCCA
24
55,0
WRKY6-P#3Alt
TATAAATATCACATATCCCTGAGCAG
26
54,9
103 Lampiran 4. Glosari 1.
Kelapa kopyor : kelapa mutan asli Indonesia dengan daging buah (endosperma) yang terlepas dari cangkang (batok)-nya dan daging buahnya lembut sehingga enak untuk campuran es atau es krim, Kelapa kopyor umumnya dikonsumsi segar seperti kelapa muda, 2. Kelapa normal : kelapa dengan daging buah yang keras dan biasa digunakan untuk menghasilkan kopra, santan, VCO atau minyak goreng, Di kalangan masyarakat juga dikenal sebagai kelapa sayur, 3. Kelapa tipe Dalam : kelapa yang umur berbuah pertamanya antara 6-7 tahun setelah tanam, Dicirikan dengan ukuran buah yang besar, jumlah buah per tandan yang relatif sedikit, dan batang yang besar/kokoh, 4. Kelapa tipe Genjah : kelapa yang umur berbuah pertamanya antara 3-4 tahun setelah tanam, Dicirikan dengan ukuran buah yang relatif kecil, jumlah buah per tandan yang relatif banyak, dan batang yang kecil, 5. Kelapa tipe Hibrida : kelapa hasil persilangan antara tipe Genjah (G) dengan tipe Dalam (D), Karakteristiknya berbuah lebih cepat dari kelapa tipe Dalam , berbuah besar dan jumlah buah/tandan banyak, dengan batang yang lebih besar/kokoh dibadingkan kelapa tipe Genjah, 6. Kelapa Makapuno : kelapa mutan asal Filipina dengan daging buah (endosperma) yang lembek, 7. Gen K : gen yang menyebabkan daging buah (endosperma) kelapa menjadi keras seperti kelapa normal, 8. Gen k : gen mutan yang menyebabkan daging buah(endosperma) kelapa menjadi terlepas dari batoknya seperti pada kelapa kopyor, 9. Pohon kelapa normal KK (homosigot KK) : pohon kelapa dengan simbol genetik (genotipe) KK merupakan pohon kelapa berbuah normal, Secara teknis pohon kelapa ini juga disebut sebagai pohon kelapa normal homosigot (KK) dan secara umum dikenal dengan istilah pohon kelapa sayur, Pohon kelapa ini hanya akan menghasilkan buah kelapa normal (kelapa sayur) dan tidak akan pernah menghasilkan buah kelapa kopyor, 10. Pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) : pohon kelapa dengan simbol genetik (genotipe) Kk merupakan pohon kelapa yang berbuah campuran antara buah kelapa normal dan buah kelapa kopyor, Pohon kelapa ini di daerah Pati, Jawa Tengah juga disebut kelapa kopyoran, Pohon kelapa kopyor Kk, dalam setiap tandan buahnya berpotensi menghasilkan buah kelapa campuran,yaitu: (a) buah kelapa normal KK, (b) buah kelapa normal Kk, dan (c) buah kelapa kopyor kk,Dengan demikian, petani yang memanen buah dari pohon kelapa kopyor Kk ini akan: (a) menjual buah kelapa kopyor kk yang dipanen langsung ke konsumen dan(b) menjadikan buah kelapa normalyang dipanen (campuran dari buah kelapa normal KK dan buah kelapa normal Kk) sebagai bibit, 11. Pohon kelapa kopyor kk (homosigot kk) : pohon kelapa dengan simbol genetik (genotipe) kk merupakan pohon kelapa yang berpotensi berbuah 100% buah kelapa kopyor dalam setiap tandan buahnya, Pohon kelapa kopyor ini merupakan kelapa kopyor hasil kultur jaringan (embryo rescue), Pohon kelapa kopyor kk, meskipun dalam setiap tandan buahnya berpotensi menghasilkan buah kelapa 100%,tetapi: (a) jika terjadi penyerbukan dengan
104 serbuk sari dari kelapa normal KK,maka hasil buahnya menjadi 100% buah kelapa normal, (b) jika terjadi penyerbukan dengan serbuk sari dari kelapa kopyor Kk,maka hasil buahnya menjadi 50% buah kelapa normal Kk dan 50% buah kelapa kopyor kk, dan (c) jika terjadi penyerbukan dengan serbuk sari dari kelapa kopyorkk,maka hasil buahnya menjadi 100% buah kelapa kopyorkk,Dengan demikian, petani yang menanam pohon kelapa kopyor kk inidisarankan : (a) mengisolasi pohon kelapa kopyor kk-nya daripohon kelapa normal KK atau pohon kelapa kopyor Kk yang ada di sekitarnya, agar tidak menurunkan produksi buah kopyor, dan(b) melakukan emaskulasi (penghilangan bunga jantan penghasil serbuk sari) dari tanaman kelapa normal KK atau kelapa kopyor Kk agar tidak menjadi sumber kontaminan serbuk sari yang akan menurunkan produksi buah kopyor, 12. Buah kelapa normal KK (homosigot KK) : buah kelapa dengan daging buah(endosperma) yang keras, yang dapat dihasilkan dari pohon kelapa normal KK (homosigot KK) atau dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk), Buah kelapa ini mempunyai embrio sigotik dengan konstitusi genetik KK dan daging buah(endosperma) dengan konstitusi genetik KKK, Buah kelapa normal KK (homosigot KK) ini jika dijadikan bibit akan menjadi bibit kelapa normal, yang nantinya berkembang menjadi pohon kelapa normal KK (homosigot KK) dan yang akan menghasilkan 100% buah kelapa normal, 13. Buah kelapa normal Kk (heterosigot Kk) : buah kelapa dengan daging buah(endosperma) yang keras, yang dalam kondisi tertentu dapat dihasilkan dari pohon kelapa normal KK (homosigot KK) – jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kopyor Kk atau kk; atau dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk)– jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa normal KK, kelapa kopyor Kk atau kelapa kopyor kk; atau dari kelapa kopyor kk (homosigot kk) jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa normal KK atau kelapa kopyor Kk, Buah kelapa normal Kk (heterosigot Kk) mempunyai embrio sigotik dengan konstitusi genetik Kk dan daging buah(endosperma) dengan konstitusi genetik Kkk atau KKk, Buah kelapa normal Kk (heterosigot Kk) ini jika dijadikan bibit akan menjadi bibit kelapa kopyor alami, yang nantinya berkembang menjadi pohon kelapa kopyorKk (heterosigot Kk) dan yang akan menghasilkan 25-50% buah kelapa kopyor per tandan, 14. Buah kelapa Kopyor homosigot kk : buah kelapa dengan daging buah(endosperma) yang lembut dan terlepas dari batok (cangkang)-nya, yang dalam kondisi tertentu dapat dihasilkan dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk)– jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk)atau kelapa kopyor kk (homosigot kk); atau dari pohon kelapa kopyor kk (homosigot kk) - jika diserbuki oleh serbuk sari dari pohon kelapa kopyor Kk; atau kelapa kopyor kk, Buah kelapa kopyor kk (homosigot Kk) mempunyai embrio sigotik dengan konstitusi genetik kk dan daging buah(endosperma) dengan konstitusi genetik kkk, Buah kelapa kopyor kk (homosigot kk) ini tidak bisa dijadikan sebagai bibit, tetapi langsung dijual kepada konsumen, Jika ingin dijadikan sebagai bibit maka perlu dilakukan embryo rescue (penyelamatan embrio) dengan teknik kultur jaringan, Hasil embrio rescue akan menjadi bibit kelapa kopyor homosigot kk, yang nantinya berkembang menjadi pohon kelapa kopyor kk (homosigot
105
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
kk) dan yang akan berpotesi menghasilkan 100% buah kelapa kopyor per tandan, Bibit kelapa normal KK (homosigot KK): bibit kelapa yang ditumbuhkan dari buah kelapa normal KK (homosigot KK), Bibit ini jika ditanam hanya akan menghasilkan buah kelapa normal dan tidak akan menghasilkan buah kelapa kopyor, Bibit kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk): bibit kelapa yang ditumbuhkan dari buah kelapa normal heterosigot Kk, Bibit ini jika ditanam akan menjadi pohon kelapa kopyor Kk dan berpotensi menghasilkan buah kelapa Kopyor dengan persentase tertentu per tandannya, Bibit kelapa kopyor alami: Bibit kelapa kopyor yang diperjualbelikan secara komersial oleh petani penangkar kelapa kopyor, Pada umumnya, bibit kelapa kopyor alami merupakan bibit campuran yang terdiri atas bibit kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) dan bibit kelapa normal KK (homosigot KK), Secara teoritis, proporsi campurannya berkisar antara 2:1 untuk bibit kelapa kopyor Kk dan bibit kelapa normal KK,Bibit kelapa kopyor alamitelah dapat secara rutin diproduksi dengan teknologi sederhana oleh petani,Karena merupakan bibit campuran, konsumen pembeli bibit tidak mempunyai garansi akan mendapatkan pohon kelapa yang menghasilkan kelapa kopyor atau yang hanya menghasilkan kelapa normal, Jika bibityang dibeli adalah bibit kelapa Kk (heterosigot Kk) maka akan menjadi pohon kelapa yang berbuah kopyor, tetapi jika bibit yang dibeli adalah bibit kelapa KK (homosigot KK) maka akan menjadi pohon yang tidak akan pernah berbuah kopyor, Adanya ketidakpastian ini yang menjadi masalah bagi petani penangkar dan konsumen yang membeli, Bibit kelapa kopyor kk (homosigot kk): Bibit kelapa yang dihasilkan dari kultur in vitro embrio sigotik kelapa kopyor, Karena kelapa kopyor kk tidak bisa berkecambah secara alami, maka embrionya harus diisolasi dan ditanam dalam media steril di laboratorium kultur jaringan, Hasilnya adalah bibit kelapa kopyor kk (homosigot kk), yang hargaper bibitnyarelatif masih sangat mahal, Produksi bibit kelapa ini memerlukan peralatan laboratorium yang relatif canggih dan tidak efektif untuk dilakukanoleh petani, Persilangan terbuka (open polination) : persilangan yang dilakukan secara alami dengan bantuan serangga sehingga hanya dapat diidentifikasi induk betinanya dan tidak dapat teridentifikasi (tidak jelas) identitas induk jantannya, Dengan persilangan terbuka, identitas progeni hasil persilangan hanya akan dapat dirunut ke satu tetua tertentu saja yang digunakan sebagai induk betinanya, Bibit kelapa kopyor alami merupakan bibit kelapa yang ditumbuhkan dari buah kelapa hasil persilangan terbuka, Embryo sigotik : mata tunas yang ada di dalam buah kelapa, Ketika berkecambah (secara alami atau dengan bantuan kultur jaringan),embryo sigotik kelapanyaakan tumbuh dan berkembang menjadi bibit kelapa, Daging buah (endosperma) : bagian dalam buah kelapa yang dapat dimakan atau diperas untuk membuat santan dan minyak kelapa, Pada kelapa normal, daging buahnya keras dan menempel pada batoknya, sebaliknya pada kelapa kopyor, daging buahnya lembut dan terlepas dari batoknya, Polinator: serangga yang membantu proses penyerbukan kelapa sehingga bisa menghasilkan buah, Penyerbukan kelapa tipe Dalam memerlukan
106 bantuan serangga sedangkan tipe Genjah tidak harus dibantu serangga, Tetapi, keberadaan serangga juga berpengaruh positif terhadap penyerbukan kelapa tipe Genjah, 23. Polinator lebah madu : lebah madu juga dapat berfungsi sebagai serangga yang membantu penyerbukan kelapa, Keuntungannya adalah serangga ini menghasilkan produk tambahan berupa madu, selain sebagai polinator, Serbuk sari dan nektar kelapa dapat dijadikan sebagai makanan bagi lebah madu, sehingga budidaya lebah madu di bawah tegakan pohon kelapa dapat berdampak positif karena menghasilkan madu dan membantu penyerbukan, 24. Produksi buah kelapa kopyor : budidaya kelapa kopyor untuk dipanen buah kelapa kopyornya, Petani atau pekebun dapat menanam pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) yang akan menghasilkan buah kelapa kopyor 25-50% atau pohon kelapa kelapa kopyor kk (homosigot kk) yang akan menghasilkan buah kelapa kopyor 100%, 25. Produksi bibit kelapa kopyor : budidaya budidaya kelapa kopyor untuk dipanen buah kelapa normalnya dan dijadikan sebagai benih untuk menghasilkan bibit kelapa kopyor, Petani atau pekebun dapat menanam pohon kelapa kopyor Kk (heterosigot Kk) yang akan menghasilkan buah kelapa kopyor 25-50% dan buah normal yang akan dipanen umur 11 bulan untuk dijadikan sebagai benih, Buah kelapa normal yang dipanen selanjutnya dapat dikecambahkan menjadi bibit dan dijual sebagai bibit kelapa kopyor alami (jika hasil persilangan terbuka) atau sebagai bibit kelapa kopyor T3 (jika hasil persilangan terkontrol dengan tetua jantan kelapa kopyor homosigot kk)
107 Lampiran 5.
Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 37
Lampiran 6.
Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 39
108 Lampiran 7. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 44
Lampiran 8.
Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 51
109 Lampiran 9.
Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 53
Lampiran 10. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 58
110 Lampiran 11. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 69
Lampiran 12. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 85
111 Lampiran 13. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 88
Lampiran 14. Pola persebaran serbuk sari kelapa kopyor Genjah Pati desa Tayu dengan tetua betina # 92
112 Lampiran 15. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Kelapa Dalam Kalianda, Agom Jaya dengan pohon induk betina nomor 160
Lampiran 16. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Kelapa Dalam Kalianda, Agom Jaya dengan pohon induk betina nomor 185
113
Lampiran 17. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 31
Lampiran 18. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 38
114
Lampiran 19. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 46
Lampiran 20. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 48
115 Lampiran 21. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 51
Lampiran 22. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 57
116 Lampiran 23. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 58
Lampiran 24. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 68
117 Lampiran 25. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 85
Lampiran 26. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 88
118 Lampiran 27. Pola persebaran serbuk sari pada populasi Tayu sesudah introduksi lebah dengan pohon induk betina nomor 167
119 RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Parepare pada tanggal 9 Februari 1982 sebagai anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Drs.Muh.Warkah Larekeng dan Nadjmah Aminuddin,SPd. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar pada tahun 2000 hingga 2004. Pada tahun 2006 penulis menempuh studi Pascasarjana Sistem-Sistem Pertanian Unhas dan lulus pada tahun 2008. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada program studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura tahun 2009 dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Tinggi Indonesia. Penulis bekerja sebagai dosen yayasan di Universitas Muhammadiyah Parepare, Kopertis IX dari tahun 2005 sampai 2014. Tahun 2015 hingga sekarang menjadi dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar. Selama mengikuti kuliah S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan Pemulia Indonesia (PERIPI) dan Perhimpunan Hortikultura Indonesia (PERHORTI). Penulis mengikuti seminar Pakar Bioteknologi tahun 2012 sebagai penyaji dengan judul artikel “Penggunaan 2,4 D dan Picloram untuk Induksi Kalus Embriogenik Tanaman Kelapa Kopyor secara In Vitro”, dan pada acara Seminar Nasional Hortikultura 2011 sebagai penyaji dengan judul artikel “Keefektifan Bahan Pemadat Dan Pemotongan Haustorium Pada Kultur Embrio Zigotik Kelapa Kopyor”. Karya ilmiah berjudul “Pollen Dispersal of Pati Kopyor Dwarf Coconut Indicating Importance of Insect Pollinators role in its pollination” dikirimkan ke Cord, International Journal on Coconut R & D, Asian and Pacific Coconut Community dan akan diterbitkan pada Volume 31 Nomor 1 Tahun 2015. Artikel yang lain dikirim ke Buletin Palma dengan judul “Penyebaran Serbuk Sari Membuktikan Potensi Pengaruh Negatif Kelapa Normal Terhadap Hasil Buah Kopyor”. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari Program S-3 penulis.