1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2011), dapat dilihat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup besar yaitu sekitar 15.3 persen pada tahun 2010 atau merupakan urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran. Akan tetapi, sekalipun sektor pertanian mempunyai kontribusi yang cukup besar laju pertumbuhan sektor pertanian merupakan yang terendah dibandingkan sektor lain, yaitu hanya 2.9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian mengalami kelesuan karena perhatian dibidang pertanian mulai menurun. Sebagai pondasi kehidupan sebuah negara, sektor pertanian dewasa ini tengah menghadapi tantangan terberat yaitu era globalisasi. Salah satu ciri dari era globalisasi
adalah
perdagangan
bebas
yang
ditandai
dengan
semakin
meningkatnya arus perdagangan barang maupun jasa diantara negara-negara di dunia. Globalisasi dan perdagangan bebas memberikan peluang terbukanya ruang yang lebih besar untuk memperluas volume usaha pertanian. Menurut Departemen Pertanian (2010), arus perdagangan dalam mekanisme pasar yang murni adalah mengalir dari negara yang mempunyai comparative advantages ke negara yang tidak mempunyai comparative advantages (trade creation). Tumbuhnya trade creation diantara bangsa-bangsa akan meningkatkan kesejahteraan semua bangsa di dunia. Hal inilah yang menjadi spirit dari lahirnya isu globalisasi dan liberalisasi. Perdagangan internasional menjadi suatu faktor utama yang dapat membawa masyarakat Indonesia kearah kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Masalah perdagangan bukan hanya masalah ekonomi tetapi juga masalah politik. Masalah perdagangan bukan saja masalah menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan mitra dagang. Adanya perbedaan kekuatan politik dan militer merupakan godaan untuk mengubah hubungan yang semula bersifat sukarela dan saling menguntungkan dan bersifat paksaan. Karena itu, diperlukan kewaspadaan terhadap kemungkinan tersebut dan mengambil langkah persiapan
2
menghadapi hal tersebut. Iklim perdagangan yang terbuka dapat terus berjalan dengan melestarikan aturan main yang dapat menunjang keterbukaan dari sistem internasional. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan kewaspadaan terhadap godaan negara besar untuk menggunakan kekuatan ekonomi dan politik setiap kali ada sektor yang mengalami kemunduran dalam daya saing (Kartadjoemena, 2000). Kesadaran akan manfaat peranan perdagangan internasional bagi kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara tetangga membentuk organisasi kerjasama ekonomi regional yang memiliki kepentingan untuk membangun
kekuatan
ekonomi
bersama.
Sebagai
bagian
dari
tatanan
perekonomian dunia, Indonesia yang menganut sistem ekonomi terbuka harus ikut melaksanakan perdagangan bebas. Pengalaman pertama kerjasama perdagangan bebas regional yang diikuti Indonesia adalah kerjasama pada kawasan perdagangan bebas ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Free Trade Area (AFTA). Kerjasama ini diterapkan melalui skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang diwujudkan dengan penurunan tarif hingga menjadi 0-5 persen, penghapusan pembatasan kuantitatif, dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Gula dalam skema CEPT-AFTA dimasukkan dalam kategori Sensitive List yang harus telah diturunkan tarifnya pada tahun 2010 (Tim Tarif Depkeu, 2010). Implementasinya pemerintah berhasil mengupayakan tarif impor gula diatas 5 persen, yaitu 10 persen untuk gula putih dan 5 persen untuk gula mentah. Pengalaman kedua Indonesia mengikuti kelompok perdagangan regional adalah kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-China melalui skema ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Pelaksanaan ACFTA ini telah dimulai pada tahun 2004 yang diwujudkan dengan menghilangkan atau mengurangi hambatanhambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif. Kesepakatan perjanjian perdagangan ACFTA ini memberikan tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang diproduksi di Indonesia baik untuk tujuan ekspor maupun memenuhi kebutuhan nasional. Beberapa pihak menilai liberalisasi ACFTA hanya akan memberikan dampak negatif bagi kinerja perdagangan Indonesia. Ketakutan tersebut muncul mengingat daya saing produk asal China sangat tinggi terlebih bila dibandingkan dengan produk asal Indonesia. Oleh karena itu, banyak pihak yang menginginkan pemerintah melakukan
3
renegosiasi terhadap perjanjian perdagangan tersebut. Namun, sebagian pihak lainnya yang optimis yakin bahwa liberalisasi ACFTA akan membawa dampak positif bagi sektor pertanian. Keyakinan ini yang kemudian mendorong Indonesia untuk turut serta dalam liberalisasi awal ACFTA. Early Harvest Programme (EHP) merupakan tahapan awal liberalisasi ACFTA yang terdiri dari penghapusan tarif antara produk negara ASEAN dengan produk China dan sebaliknya untuk delapan jenis produk yang terdiri dari kelompok produk hewan hidup (live animals), daging, dan jeroan yang bisa dimakan (meat and edible meat & offal), ikan termasuk udang (fish), produk susu (dairy products), produk hewan lainnya (other animal products), tanaman hidup (live trees), sayur (edible vegetables), dan produk buah serta kacang-kacangan (edible fruits and nuts) dengan pengecualian untuk jagung manis. Komoditas pertanian seperti beras, gula, jagung, dan kedelai dimasukkan dalam kategori produk High Sensitive List (HSL) yang tarifnya baru akan diturunkan atau dihapuskan menjadi 0-50 persen mulai 1 Januari 2015 (Ditjen KPI, 2005). Sejak kesepakatan ACFTA mulai diberlakukan, tren neraca perdagangan Indonesia dengan China semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 neraca perdagangan non migas Indonesia dengan China mengalami defisit sebesar US$ 1.293 miliar. Pada tahun 2008 menurun tajam sebesar US$ 7.160 miliar. Hingga tahun 2012 neraca perdagangan Indonesia dengan China masih mengalami defisit. Defisit perdagangan Indonesia China pada tahun 2012 sebesar US$ 5.875 miliar (Kementerian Perdagangan, 2012). Data ini menunjukkan semakin banyaknya komoditi non migas dari China yang masuk ke Indonesia. Semakin menurunnya surplus dalam neraca perdagangan Indonesia disebabkan semakin timpangnya neraca ekspor Indonesia dan China. Dalam beberapa tahun terakhir China juga telah melakukan lompatan ekonomi yang sangat besar dan menjadi penguasa ekonomi terbesar kedua di dunia. Terlebih lagi, pemerintah China mempunyai keeratan hubungan dengan masyarakat China perantauan yang berada di seluruh dunia terutama ASEAN. Hal ini memberikan peluang kepada China untuk mampu mengintegrasikan ASEAN dan menjadikannya mitra di bidang ekonomi.
4
Tidak hanya produk-produk impor dari China yang banyak memasuki pasar konsumsi Indonesia, tetapi juga produk-produk impor asal negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Singapura. Impor produk pertanian dari Thailand mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, sehingga membuat neraca perdagangan Indonesia dengan Thailand juga terus mengalami defisit. Pada tahun 2010 defisit perdagangan Indonesia dengan Thailand mencapai US$ 3.4 miliar. Produk-produk pertanian dari negara ASEAN yang mendominasi pasar domestik adalah beras, gula, tepung dan olahannya, buah, sayuran dan olahannya serta produk makanan lain. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (2010), secara keseluruhan Singapura merupakan negara yang mendominasi ekspor ke negaranegara ASEAN yaitu sebesar 40.91 persen, diikuti oleh Malaysia sebesar 20.22 persen dan Thailand 16.28 persen, sedangkan Indonesia hanya mampu menguasai pasar ASEAN sebesar 12.34 persen. Meskipun dalam neraca perdagangan ASEAN Indonesia belum mengalami defisit, namun pertumbuhan impor lebih besar daripada ekspor sehingga tetap diperlukan upaya antisipatif. Wacana penurunan tarif impor gula sebagai komoditas High Sensitive List yang akan mulai diturunkan tarifnya pada tahun 2015 menjadi isu menarik untuk diwaspadai. Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh penduduk di Indonesia bahkan juga di dunia. Berdasarkan catatan Dewan Gula Indonesia (2011) kebutuhan gula kristal putih untuk konsumsi langsung adalah 2.574 juta ton, sedangkan jumlah kebutuhan gula kristal rafinasi sebesar 2.058 juta ton. Jumlah tersebut sangat tinggi apabila dilihat dari kinerja produksi gula dalam negeri yang hanya mampu menghasilkan gula hablur sebesar 3.159 juta ton (Ditjenbun, 2011). Tingginya kebutuhan gula nasional yang selama ini belum mampu dipenuhi oleh produksi lokal membuat pemerintah melakukan kebijakan impor. Beberapa impor gula Indonesia didatangkan dari negara ASEAN. Tren kenaikan konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat serta pertumbuhan industri makan dan minuman. Terkait dengan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dikhawatirkan akan
5
semakin mengancam industri gula domestik yang tengah bangkit dari keterpurukan. Negara-negara anggota ASEAN memiliki kontribusi yang berbeda-beda terhadap perkembangan perjanjian perdagangan bebas ACFTA sekalipun jenis produk pertanian yang dihasilkan hampir sama karena adanya kesamaan kondisi iklim dan budaya. Manfaat perdagangan bebas ACFTA yang akan dipetik oleh negara-negara ASEAN tergantung pada daya saing produk pertanian negaranegara ASEAN itu sendiri. Hal ini terlihat setelah perjanjian perdagangan bebas ACFTA diberlakukan, Thailand masih memimpin sebagai pengekspor gula terbesar di antara negara ASEAN yang lain, baik untuk gula mentah maupun gula kristal rafinasi. Untuk impor gula, jenis gula yang paling banyak diimpor oleh Indonesia adalah gula kristal rafinasi. Bahkan terjadi peningkatan melebihi dua kali lipat untuk impor gula kristal rafinasi ini dari tahun 2008 yang hanya sebesar 424.8 ribu ton menjadi 1.28 juta ton pada tahun 2009 (FAO Statistic Division, 2011), sedangkan Malaysia sebagai negara pengimpor gula terbesar di ASEAN lebih banyak mengimpor gula mentah daripada gula kristal rafinasi. Sebagai komoditas khusus, gula merupakan salah satu dari kebutuhan pangan yang sangat penting bagi kebutuhan sehari-hari baik dalam rumah tangga maupun industri makanan dan minuman. Prospek utama pengembangan industri gula nasional adalah untuk memperkuat ketahanan pangan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia berupaya meningkatkan produksi dalam negeri, termasuk mencanangkan target swasembada gula. Akan tetapi, produksi gula yang dihasilkan oleh Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan dalam negeri, sehingga impor gula harus diadakan setiap tahunnya. Hal ini membuat target swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009 yang telah dicanangkan pemerintah tidak terealisasi. Saat ini pemerintah mencanangkan target swasembada gula akan tercapai pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut, sejak tahun 2004 pemerintah melakukan suatu Program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Tentunya keberhasilan program ini sangat berkaitan dengan kemampuan industri gula dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestiknya yang selama ini belum terbukti.
6
Ketidakmampuan produksi dalam negeri memenuhi kebutuhan nasional disebabkan oleh inefisiensi pengolahan yaitu kapasitas dan efisiensi teknis pabrik gula yang sangat rendah. Rendahnya tingkat efisiensi pabrik gula disebabkan oleh tingginya biaya produksi dan umur mesin pabrik gula yang sudah tua. Hal ini menyebabkan rendemen tebu yang diterima petani rendah dan kualitas gula yang diproduksi juga menjadi kurang baik. Selain karena faktor inefisiensi, rendahnya rendemen tebu juga karena tidak diterapkannya teknologi penggunaan varietas bibit unggul pada budidaya tebu sehingga kualitas tebu giling yang dihasilkan petani juga rendah. Data yang ada menunjukkan bahwa struktur produksi gula dan rendemen tebu cenderung mengalami penurunan. Rendemen Indonesa tidak pernah lagi mencapai 15 persen seperti yang pernah terjadi pada tahun 1929. Rendemen tertinggi hanya 8.1 persen pada 2008 dan turun kembali tahun 2009 menjadi 7.76 persen dan semakin menurun pada tahun 2010 menjadi 6.96 persen (Dewan Gula Indonesia, 2012). Hal ini menjadi pemicu langkah pemerintah melakukan impor gula yang terus mengalami peningkatan. Dampak dari membanjirnya impor gula adalah turunnya harga gula di pasar domestik. Penurunan ini tentunya akan menyebabkan harga gula domestik menjadi lebih rendah daripada harga pokok produksi gula. Kondisi ini yang selanjutnya menyebabkan gula dalam negeri Indonesia menjadi tidak kompetitif lagi dibandingkan gula impor sehingga Indonesia menjadi sasaran pasar impor gula dunia. Harga gula dunia ini merupakan referensi bagi produsen dan importir ketika bertransaksi. Harga gula mentah pada Bursa Berjangka New York terbilang fluktuatif. Demikian juga dengan harga gula kristal rafinasi pada London International Financial Futures and Options Exchange (LIFFE). Setelah naik pada kisaran 32.04 cents per pound untuk gula kristal rafinasi dan 34.78 cents per pound untuk gula mentah kembali menunjukkan gejala penurunan baik pada kuartal I maupun ke II tahun 2011. Penurunan ini disebabkan stok gula dunia yang diperkirakan melimpah terkait dengan kenaikan produksi. Namun demikian harga gula dunia yang lebih murah ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi untuk lebih meningkatkan impor gula mentah (raw sugar). Harga gula mentah yang tinggi ini merupakan motivator bagi para petani untuk menanam tebu dan
7
perbaikan dalam praktek usaha pertaniannya. Soewandi (2012) menyatakan penurunan harga gula dunia perlu diwaspadai terkait dengan status Indonesia sebagai produsen sekaligus pengimpor gula. Dimana perubahan harga gula di pasar dunia akan berdampak terhadap terbentuknya harga di pasar domestik. Pencegahan masuknya gula kristal rafinasi yang notabene mendapat fasilitas keringanan tarif 0-5 persen ke pasar konsumen harus menjadi komitmen negara terkait dengan perlindungan produksi berbasis sumberdaya lokal. Terlebih lagi saat ini pemerintah melakukan kesepakatan ACFTA, dimana selama hampir setengah dekade penerapan ACFTA, perkembangan yang terlihat semakin memperkuat kekhawatiran dan ketidakberdayaan Indonesia yang tidak siap menghadapi persaingan ketat dalam perdagangan bebas. Pemerintah melalui beberapa kementerian dan instansi telah melakukan usaha-usaha guna meningkatkan daya saing produk Indonesia, terutama setelah pemberlakuan kesepakatan ACFTA. Dalam perjanjian ACFTA, komoditas gula dikategorikan sebagai komoditas High Sensitive List (HSL) sehingga masih diperbolehkan adanya intervensi pemerintah berupa tarif dan akan mengalami penurunan tarif mulai tanggal 1 Januari 2015. Sehingga masih ada waktu bagi pemerintah untuk membangkitkan kembali industri gula nasional. Implikasi jangka panjang yang perlu diwaspadai adalah berbaliknya neraca perdagangan sehingga Indonesia menjadi pasar produk China dan ASEAN lain. Cadangan devisa China pada tahun 2009 sebesar US$ 2.13 trilliun dan dalam jangka waktu enam bulan telah bertambah menjadi sebesar US$ 185.6 miliar. Hal ini menunjukan bahwa China dapat memborong sumber komoditas ekspor sektor pertanian di Malaysia, Thailand dan Indonesia (Irianto, 2009). Penghapusan tarif impor dapat menjadi ancaman dengan semakin banyaknya gula impor yang akan memenuhi pasar dalam negeri. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya perubahan faktor lingkungan internal dan eksternal dalam membangkitkan kembali industri gula nasional dalam era perdagangan bebas ACFTA maka menarik untuk dilakukan penelitian yang mampu mengevaluasi kebijakankebijakan periode historis dan strategi kebijakan antisipatif dimasa mendatang sehingga kebangkitan industri gula nasional lebih berdayaguna baik bagi kesejahteraan produsen, konsumen maupun perekonomian nasional.
8
1.2. Perumusan Masalah Gula sebagai komoditas penting dan strategis bagi masyarakat tidak hanya dirasakan pentingnya bagi konsumen sebagai pengguna akhir tetapi juga bagi kalangan produsen yang mengolah komoditi ini dengan value added tersendiri. Sedangkan disisi lain, industri gula nasional menghadapi permasalahan yang cukup kompleks. Hal ini membuat semakin perlunya penelitian terkait dengan implementasi kebijakan perdagangan dalam skema ACFTA yang berhubungan dengan intervensi kebijakan industri gula negara eksportir dan importir gula pada negara-negara ASEAN dan China serta strategi kebijakan terkait dengan kebangkitan industri gula nasional. Industri
gula
dalam
negeri
masih
dihadapkan
pada
persoalan
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan gula baik untuk konsumsi langsung (rumah tangga) maupun konsumsi tidak langsung (industri) yang selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Ketidakmampuan ini ditunjukkan pula dengan kegagalan realisasi program swasembada gula tahun 2007, 2008, dan 2009. Rencana swasembada gula selanjutnya dicanangkan oleh pemerintah akan terealisasi pada tahun 2014, dimana tepat satu tahun sebelum gula terlibat dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA. Program Revitalisasi Industri Gula 20102014 menjadi salah satu program prioritas untuk terwujudnya target swasembada gula 2014 sekaligus menutup neraca perdagangan gula nasional. Melalui program revitalisasi ini pemerintah menargetkan produksi gula nasional dapat mencapai 5.70 juta ton pada tahun 2014 yang terdiri dari 2.96 juta ton gula konsumsi dan 2.75 juta ton gula kristal rafinasi (Renstrabun, 2010). Swasembada gula dapat tercapai dan keterlibatan gula dalam liberalisasi perdagangan bebas ACFTA dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memperoleh surplus dari perdagangan tersebut apabila pemerintah mengatasi permasalahan pada industri gula secara serius. Permasalahan pada industri gula nasional tidak hanya on farm tetapi juga off farm. Berdasarkan uraian sebelumnya maka secara rinci permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Ketidakmampuan produksi gula nasional memenuhi kebutuhan gula menyebabkan kecenderungan impor gula di Indonesia semakin meningkat. Inefisiensi ekonomis yang selama ini terjadi dalam struktur industri gula
9
domestik menyebabkan Indonesia tidak memiliki daya saing dalam menghadapi gula impor (Kementerian Perindustrian, 2009). Lebih jauh membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok pada kran impor ini sama artinya dengan membiarkan industri gula terus mengalami kemunduran. 2. Masalah swasembada gula sudah sangat sering disebut sebagai salah satu tujuan nasional yang mudah dicapai. Hal ini mengingat Indonesia pernah menjadi eksportir gula kedua di dunia. Akan tetapi, target peningkatan produksi yang seringkali dicanangkan pemerintah setiap tahunnya tidak dapat tercapai. Kementerian Pertanian (2012) menyatakan bahwa target produksi 5.7 juta ton gula yang terdiri dari 2.9 juta ton gula kristal putih dan 2.7 juta ton gula kristal rafinasi akan terpenuhi apabila penyediaan lahan minimal seluas 350 ribu hektar, investasi pembangunan pabrik gula baru dan revitalisasi pabrik gula berjalan sesuai dengan rencana. Namun karena penyediaan areal baru belum dapat dipenuhi, maka pemerintah melakukan revisi target pencapaian produksi untuk tahun 2011. 3. Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih menganut dualisme gula, yaitu gula kristal putih (GKP) dan gula kristal rafinasi (GKR), sedangkan negara lain sudah menganut satu gula dimana hanya ada gula dan gula mentah saja. Natsir (2012) menyatakan, sebagai negara yang menganut dualisme gula mekanisme perdagangan, distribusi, dan produksi gula diatur oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Namun, kenyataanya pemerintah kurang tegas dalam pengaturan dan pengawasannya. Hal ini yang menyebabkan gula kristal rafinasi yang notabene kualitasnya lebih putih dan diperuntukan bagi industri merembes ke pasar konsumsi. 4. Tim Nasional Revitalisasi Gula (2010) menyatakan bahwa masalah kebijakan fiskal seperti tarif bea masuk, belum sepenuhnya mendukung pengembangan industri gula Indonesia. Pemberlakuan kebijakan keringanan tarif impor sebesar 0-5 persen yang selama ini diberlakukan pemerintah terhadap gula mentah (raw sugar) berpengaruh pada keragaan perdagangan gula secara simultan, dimana perubahan keragaan perdagangan gula ini berdampak pula terhadap perubahan kesejahteraan pelaku perekonomian gula. Hal ini muncul sehubungan dengan kecenderungan terus menurunnya harga gula dunia baik
10
untuk raw sugar maupun white sugar dikarenakan meningkatnya produksi di sejumlah negara produsen utama yang potensial menambah stok dunia. Pemberian fasilitas keringanan tarif ini berpotensi mendorong pabrik gula kristal rafinasi lebih memilih mengimpor gula mentah sehingga petani akan kembali masuk dalam perangkap liberalisasi perdagangan gula yang sarat akan distorsi. 5. Kebijakan pemerintah dengan menetapkan harga patokan petani (HPP) dalam era liberalisasi perdagangan yang kini dijalankan merupakan salah satu bentuk ketidakefisienan kebijakan. HPP gula ditujukan pemerintah untuk melindungi kepentingan petani. Dimana apabila harga lelang berada dibawah HPP maka selisih harga akan dibayarkan pemerintah kepada petani yang disebut dana talangan. Namun yang terjadi adalah harga lelang tidak pernah berada dibawah HPP gula sehingga harga dasar gula tersebut yang menjadi patokan pabrik gula atau pedagang sebagai harga terendah (KPPU, 2010). 6. Lembaga keuangan atau perbankan belum optimal dalam mendukung Program Revitalisasi Industri gula Nasional yang direncanakan oleh pemerintah untuk mencapai Swasembada Gula 2014. Petani masih mengalami kesulitan dalam mengakses kredit karena rumitnya persyaratan yang
harus
dipenuhi
petani
untuk
mendapatkan
kredit.
Sehingga,
permasalahan modal masih menjadi problematika bagi petani tebu rakyat untuk persiapan penanaman dan pemanenan tebu (Tim Nasional Revitalisasi Industri Gula, 2009). Untuk menyederhanakan permasalahan industri gula nasional yang begitu kompleks maka penelitian ini memerlukan seperangkat model ekonometrika yang komprehensif sehingga mampu mengintegrasikan perubahan-perubahan internal maupun eksternal pada keterpaduan perdagangan komoditas gula serta dampaknya terhadap kesejahteraan konsumen, produsen serta penerimaan pemerintah dalam skema liberalisasi perdagangan ACFTA.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji prospek perdagangan
11
gula Indonesia dalam kerangka implementasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Menganalisis keragaan pasar gula Indonesia ditinjau dari sisi permintaan dan penawaran gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2.
Mengevaluasi dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian terhadap kinerja industri gula Indonesia dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada era pra liberalisasi ACFTA (2004-2010).
3.
Meramalkan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal berkaitan dengan liberalisasi perdagangan gula dalam skema ACFTA terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula pada periode 2011-2014 dan 2015-2020. Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
masukan dan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan merumuskan strategi industri gula domestik dalam implementasi kerangka perjanjian pasar bebas ASEAN-China.
1.4.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji prospek perdagangan gula
Indonesia pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA dan dampak kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan faktor eksternal terhadap kinerja industri gula dan kesejahteraan pelaku ekonomi gula Indonesia. Oleh karena itu, ruang lingkup dan keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini dibatasi pada era liberalisasi perdagangan gula ACFTA tahun 2015 dan tercapainya target swasembada gula yang dilakukan pemerintah melalui Program Revitalisasi Industri Gula Nasional, sehingga kebijakankebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini berada dalam lingkup kedua hal tersebut. 2. Disagregasi pengusahaan perkebunan tebu dalam penelitian ini hanya dilakukan berdasarkan status pengusahaan perkebunan tebu yaitu perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta, dan perkebunan rakyat. Disagregasi berdasarkan provinsi ataupun kepulauan tidak dilakukan, sehingga kebijakan pemerintah yang akan dievaluasi tidak sampai pada tingkat tersebut.
12
3. Penelitian ini tidak mengkaji pasar input usahatani tebu dan produk industri tersiernya. 4. Kajian ini tidak melakukan analisis secara detail mengenai proses dalam setiap subsistem produksi, tetapi melihat bagaimana kemampuan pabrik gula dalam melakukan kegiatan produksi. 5. Karena ketiadaan data time series produksi tebu, maka data produksi yang digunakan dalam penelitian ini sudah dalam wujud gula hablur, sehingga produktivitas yang digunakan juga merupakan produktivitas gula hablur. 6. Dalam penelitian ini baik Gula Kristal Putih (GKP) maupun Gula Kristal Rafinasi (GKR) dianggap sama atau homogen yang selanjutnya disebut sebagai gula, sedangkan untuk gula mentah dilakukan konversi setara gula. 7. Permintaan gula Indonesia hanya didisagregasi berdasarkan penggunanya yaitu konsumen rumah tangga dan industri. Untuk konsumen industri tidak dibedakan berdasarkan penggunaan bahan bakunya, baik yang menggunakan gula kristal putih, gula kristal rafinasi maupun gula mentah dianggap sama. 8. Data impor gula yang digunakan merupakan data resmi. Data impor gula yang tidak resmi, ilegal, dan tidak tercatat seperti penyelundupan tidak diakomodir dalam penelitian ini. 9. Data harga impor gula yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibedabedakan berdasarkan asal negara impornya. Data harga impor gula yang digunakan adalah data harga impor gula Indonesia. 10. Simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari (1) simulasi tunggal yang mencakup kebijakan ekonomi di sektor pertanian dan perubahan faktor eksternal, dan (2) simulasi kombinasi yang mencakup keduanya. 11. Simulasi kebijakan tarif impor yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan skema penghapusan dan penurunan tarif yang telah disepakati pemerintah dalam kerangka ACFTA, sehingga tidak dilakukan simulasi tarif diluar perjanjian tersebut.