I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan dan lahan mendorong munculnya lahan kritis yang semakin luas setiap tahun di seluruh Indonesia. Kekritisan lahan ditunjukan oleh meningkatnya bencana alam seperti banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, dan tanah longsor. Kerugian yang timbul akibat bencana tersebut mencakup kerugian jiwa dan harta dalam jumlah yang sangat besar. Berdasarkan pengukuran luas hutan pertengahan tahun 1980 (program pemetaan RePPProt) dan MoFEC tahun 1996, dalam jangka waktu 12 tahun telah terjadi penurunan luas hutan di Indonesia sebesar ± 20 juta hektar atau rata-rata sebesar 1,7 juta hektar per tahun (World Bank, 2001). Angka tersebut telah melebihi taksiran laju deforestasi yang dapat diterima yaitu berkisar antara 0,6 – 1,3 juta hektar per tahun (World Bank 2001). Laju deforetasi ini diperkirakan semakin besar dan tidak terkendali karena semakin meningkatnya kegiatan illegal logging dan konversi hutan menjadi areal penggunaan lain. Luas hutan indonesia mengalami penurunan rata-rata 1,872 juta hektar (1,7%) per tahun pada periode tahun 1990-2000, dan 1,871 juta hektar (2%) per tahun pada periode tahun 2000-2005 (FAO 2007). Persoalan penurunan luas hutan ini sebenarnya bukan hanya dihadapi oleh Indonesia saja, tapi negara-negara lainnya juga mengalami hal serupa, walaupun dalam degradasi dan masa yang berbeda. Hutan tropis Indonesia (dan negara Asia serta negara berkembang lainnya) sebenarnya mengalami tekanan serupa dengan yang dialami negara-negara maju beberapa abad yang lalu (Maini dan Ullsten 1993). Upaya untuk memerangi laju deforestasi dan degradasi hutan serta melakukan recovery hutan yang rusak telah banyak dilakukan melalui berbagai cara. Diantara upaya tersebut adalah rehabilitasi hutan dan lahan yang telah dilakukan Indonesia sejak tahun 1950-an. Hingga kini prestasi rehabilitasi memang terus bertambah luas setiap tahun, namun ternyata tidak mampu mengejar laju pertambahan luas deforestasi. Sehingga ketimpangan laju deforestasi dengan laju rehabilitasi masih tinggi dari tahun ke tahun.
2
Oleh
karena
itu,
Departemen
Kehutanan
menempatkan
Program
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sebagai prioritas yang strategis dalam rangka memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan (Peraturan Menhut No.P.03/Menhut-V/2010). Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam meredam laju degradasi hutan, utamanya melalui kegiatan reboisasi hutan dan penghijauan. Namun, upaya tersebut hingga saat ini belum juga mampu memberikan hasil nyata. Hal ini disebabkan pemerintah masih memandang masalah deforestasi sebagai masalah fisik semata, sehingga pendekatan teknologi selalu diandalkan untuk memecahkannya. Kegagalan tersebut di atas dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, deforestasi hanyalah gejala dari masalah lain, baik ekonomi, sosial, politik dan kebijakan. Tanpa upaya untuk memecahkan masalah yang sebenarnya, kegiatan rehabilitasi akan terus mengalami kegagalan; Kedua, kegiatan rehabilitasi tidak menarik (atraktif) bagi masyarakat pengguna lahan untuk berpatisipasi, karena tidak mampu memecahakan masalah mereka secara langsung, misalnya meningkatkan pendapatan atau mengurangi resiko kegagalan panen (Kartodihardjo 2006). Fenomena kerusakan hutan dan lahan dan dampak negatifnya terjadi pula di wilayah Provinsi Maluku yang memiliki lahan kritis sekitar 59,24% atau 2.762.754 ha dari luas wilayah daratnya 5.418.500 ha, sementara itu untuk Kota Ambon luas lahan kritis adalah 25.344 ha yang terdapat, di dalam kawasan adalah 9.755 ha diluar kawasan adalah 15.589 ha (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2005). Oleh karena itu Provinsi Maluku merupakan salah satu
satu
wilayah sasaran kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN). Secara Nasional kegiatan GERHAN mulai dilaksanakan sejak tahun 2003, sedangkan di Provinsi Maluku baru dilaksanakan tahun 2004. Handadhari (2004) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan akselerasi upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL), maka mulai tahun 2003 Pemerintah mencanangkan suatu Gerakan yang akan melibatkan seluruh instansi dan lapisan masyarakat dalam upaya pemulihan sumberdaya alam melalui GERHAN yang dilakukan pada Daerah Aliran Sungai (DAS). Pemulihan fisik hutan dan lahan yang rusak serta pencegahan dampak negatifnya dilakukan melalui rehabilitasi vegetatif dan sipil
3
teknis. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, lapangan kerja dan kesempatan usaha
akan tercipta dari kegiatan yang bersifat langsung maupun kegiatan-
kegiatan lain yang terkait. Disamping itu, hasil-hasil kegiatan penanaman hutan dan lahan pada saatnya nanti akan menghasilkan produksi berupa bahan baku kayu dan hasil buah-buahan . Program GERHAN juga dirancang untuk implementasi good governance dalam kegiatan reboisasi hutan dan lahan, artinya sistem rehabilitasi hutan dan lahan tersebut dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, efektifitas dan efisiensi (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2005). Secara prinsip, good governance menghendaki proses transformasi struktural dan transaksi proses pengelolaan hutan dan lahan yang merupakan prasyarat dan prakondisi bagi berlangsungnya upaya pemulihan mutu sumberdaya hutan dan lahan berkelanjutan. Dari sisi proses, kegiatan GERHAN dimaksudkan untuk menstimulir kesadaran semua pihak baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Kesadaran yang akan ditumbuh-kembangkan adalah bahwa disamping memanfaatkan hutan maka budaya menanam sangat diperlukan sebagai respon untuk memulihkan mutu sumberdaya hutan dan lahan yang menurun akibat pemanfaatan yang eksesif (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2005). Dari sisi struktur, GERHAN memuat tujuan mendorong transformasi struktural pengelolaan bibit, pembuatan tanaman, bangunan konservasi tanah, kegiatan spesifik (percontohan tanaman unggul, renovasi persemaian, pengelolaan tanaman dengan silvikultur intensif, serta kegiatan pendukung antara lain koordinasi antar departemen (interdep), pengembangan kelembagaan serta pengawasan dan pengendalian). Bentuk pembagian peran dan tanggungjawab pelaksanaan GERHAN dilakukan melalui penjenjangan peran dan tanggungjawab baik dalam proses pengendalian, pembinaan maupun pelaksanaan. Agar kegiatan GERHAN dapat dikembangkan secara berkelanjutan dan terlembagakan dalam kehidupan masyarakat, maka diperlukan upaya pebaikan dan penyempurnaan melalui mekanisme umpan balik (negative feedback). Untuk memperoleh data dan informasi pencapaian hasil kerja kegiatan tersebut perlu dilakukan proses
4
monitoring dan evaluasi kinerja tiap satuan kerja (Satker) yang telah ditetapkan sebagai pelaksanaan kegiatan melalui penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah proses utnuk mengukur kinerja setiap tahapan kegiatan GERHAN. Hasil penilaian kinerja adalah informasi kinerja pelaksanaan yang menggambarkan seberapa besar standar prosedur telah dilaksanakan dan standar hasil telah dapat dicapai. Pencapaian kinerja unit satker diukur dari pencapaian keberhasilan pelaksanaan setiap unsur pengelolaan kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengedalian baik ketetapan prosedur maupun hasilnya dari unit-unit petak/blok kegiatan yang berada di wilayah satker. Dengan demikian, pada prinsipnya penilaian kinerja pelaksanaan kegiatankegiatan dalam rangka GERHAN adalah proses audit manajemen kegiatan GERHAN. Aspek-aspek manajemen kegiatan yang dinilai meliputi aspek perencanaan, pelaksanaan, pembinaan administrasi, pembinaan teknis dan pengedalian. Teknik penilaian dilakukan terhadap sistem manajemen kegiatan mulai dari input, proses dan output. Dalam teknik penilaian sistem yang demikian maka dibutuhkan pemahaman tentang prosedur kegiatan, tupoksi unit-unit manajemen terkait dan kemampuan merekonstruksi proses pelaksanaan dan melakukan pengambilan keputusan berdasarkan professional judgment. Hal ini menjadi kunci validitas penilaian mengingat kegiatan yang dinilai adalah kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan. Penilaian kinerja dilakukan secara berjenjang dari penilaian setiap petak/unit kegiatan, penilaian per jenis kegiatan diukur dari pencapaian aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan, pembinaan dan pengedalian untuk jenis kegiatan yang bersangkutan. Pencapaian kinerja unit satker diukur dari pencapaian keberhasilan pelaksanaan setiap jenis kegiatan. Dalam pelaksanaannya, program GERHAN tidak terlepas dari beberapa masalah baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Permasalahan teknis yang dihadapi GERHAN antara lain terjadi pada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan reboisasi kawasan hutan “remote area”, proses pembuatan tanaman serta pemeliharaan pada lokasi-lokasi reboisasi yang terisolir, ketersediaan tenaga kerja dan kualitas bibit serta persen hidup tanaman yang rendah. Dalam aspek non-teknis, maka beberapa masalah yang dihadapi GERHAN antara lain meliputi
5
keterlambatan turunnya dokumen anggaran GERHAN, kurang optimalnya peran Tim Pengendali Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan masih rendahnya dukungan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota terutama dalam penyediaan anggaran pendamping. Sampai dengan saat ini Departemen Kehutanan masih “sendiri” dalam menyelenggarakan GERHAN. Departemen terkait lainnya bahkan belum mengalokasikan anggaran untuk GERHAN. Permasalahan non-teknis lainnya ialah masih lemahnya kelembagaan masyarakat serta masih belum lancarnya aliran laporan dari daerah. Meskipun demikian, pada dasarnya GERHAN dapat dikatakan sebagai sebuah “Gerakan Moral” yang berskala Nasional. Idealnya Gerakan Moral ini memerlukan komitmen publik, komitmen institusional, komitmen kelompok masyarakat dan akhirnya komitmen masyarakat/publik. Komitmen-komitmen ini penting agar pada saatnya nanti masyarakat menjadi tahu, mau, mampu dan sadar melaksanakan upaya RHL secara mandiri (Dephut 2006). 1.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan data statistik kehutanan (2008), degradasi dan deforestasi hutan tahun 2000 – 2005 adalah 5.447.800 ha dengan rata-rata tahunan 1.089.560 ha. Degradai dan deforestasi yang terjadi di dalam kawasan hutan seluas 766.602 ha dan di luar kawasan hutan seluas 1.303.935 ha. Provinsi Maluku memiliki luas 5.418.500 ha yang terdiri dari areal hutan seluas 4.663.346 ha, dan areal tak berhutan seluas 775.154 ha. Selanjutnya pada areal berhutan seluas 4.663.346 ha tersebut terdiri dari hutan suaka alam (HAS) seluas 475.443, hutan lindung (HL) dan hutan konversi (HPK) seluas 1.633.646 ha. Berdasarakan data Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Maluku (2007) bahwa terdapat 2.762.754 ha atau 59,24 % dari kawasan hutan merupakan kawasan kritis yang perlu direhabilitasi. Disamping itu masih terdapat areal di luar kawasan yang juga perlu direhabilitasi seluas 310.071 ha. Secara nasional, upaya untuk mengendalikan laju kerusakan hutan dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) melalui pencanangan program GERHAN pada tanggal 31 Maret 2003 oleh Presiden RI Megawati. Target yang ingin dicapai melalui program tersebut di atas, yaitu
6
rehabilitasi pada lahan kritis seluas 3 juta hektar yang pelaksanaannya dari tahun 2003-2007. Untuk mendukung keberhasilan kegiatan tersebut maka telah ditetapkan Surat Keputusan Bersama tiga menteri koordinator yakni Menteri Koodinator Kesejahteraan Rakyat. Nomor 09/KEP/MENKO/KESRA/III/2003, Menteri Ekonomi melalui keputusan Nomor KEP.16/M.EKON/03/2003, dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan melalui keputusan Nomor KEP.08/MENKO/POLKAM/III/2003,
tentang
Tim
Koordinasi
Perbaikan
Lingkungan melalui Rehabilitasi dan Reboisasi Nasional (Dephut 2008) . Di Provinsi Maluku target pelaksanaan GERHAN sejak tahun 2004 – 2007 mencapai luas 3.072.825 ha. Untuk kawasan berhutan 2.762.754 ha dan di luar kawasan hutan 310.071 ha (59 %). Realisasinya sebesar 27.534 ha atau hanya 0,896 % dari total luasan yang harus direhabalitasi dalam kurun waktu 5 tahun. Hal Ini berarti bahwa capaian kegiatan rehabilitasi setiap tahunnya hanya sekitar 5.506,8 ha dan ini merupakan suatu angka yang sangat kecil. Dengan demikian luas hutan yang rusak ini memerlukan sekitar 553 tahun untuk dapat direhabilitasi secara menyeluruh, itupun dengan catatan tidak ada pertambahan luasan hutan yang rusak, serta dana pemerintah yang disediakan untuk penanganan program ini masih seperti begini (Limba 2007). Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi oleh dunia kehutanan di daerah ini. Di Pulau Ambon luas kawasan hutan yang perlu direhabilitasi berdasarkan kelompok penutupan lahan pada seluas 9.755 ha, sedangkan luas lahan yang perlu direhabilitasi di luar kawasan hutan berdasarkan kelompok penutupan lahan pada seluas 15.589 ha, dan target pelaksanaan GERHAN 2004 – 2007 sebesar 1.335 ha. Fakta di atas menunjukan bahwa pemerintah memiliki keterbatasan dana yang dialokasikan untuk merehabilitasi kawasan hutan terdegradasi dan lahan kritis lainnya. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran sebagai warga negara untuk ikut peduli terhadap kondisi kerusakan hutan. Disamping itu masyarakat harus menyadari bahwa kerusakan hutan akan sangat sulit untuk direhabilitasi atau diperbaiki. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian untuk mencoba membangun model pelaksanaan RHL yang sesuai dengan kondisi biofisik Pulau Ambon.
7
Degradasi Hutan dan Lahan
Hutan
Kekritisan Lahan (meningkatnya bencana alam seperti : banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi dan tanah longsor)
Lahan Kritis
Didalam Kawasan Hutan
Diluar Kawasan Hutan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Upaya Penanggulangan
Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN)
Teknis 1. Persiapan 2. Pelaksanaan 3. Pengawasan dan Pengendalian
`
Sosial & Ekonomi 1. Penyerapan Tenaga Kerja 2. Partisipasi Masyarakat 3. Jenis Kegiatan Yang Melibatkan Masyarakat 4. Keterlibatan Masyarakat 5. Analisis Kelayakan Finansial & Sensitivitas
Kelembagaan 1. Hak Kepemilikan 2. Aksi Bersama 3. Ketidaksepadanan Informasi 1.
Permasalahan-permasalahan apa saja yang menyebabkan terjadinya fluktuasi keberhasilan GERHAN
Rekomendasi Bagi Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Lahan Yang Akan Datang Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Pengelolaan Hutan Yang Lestari di Pulau Ambon
8
1.3 Perumusan Masalah Deforestasi dan degradasi hutan telah menimbulkan kerugian dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Salah satu upaya untuk menanggulanginya telah dilaksanakan berbagai program rehabilitasi hutan dan lahan, yang mana salah satunya adalah GERHAN. Sebagaimana telah diuraikan di depan, GERHAN adalah program nasional untuk perbaikan kualitas lingkungan yang dalam pelaksanaannya melibatkan banyak pihak. Pembangunan kehutanan merupakan salah satu bagian dalam pembangunan yang terintegrasi ke dalam pembangunan wilayah secara keseluruhan. Program GERHAN yang merupakan upaya pemerintah dalam rangka pembangunan kehutanan seharusnya memperhatikan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di samping aspek teknis dan biologi. Perhatian pada aspek-aspek tersebut diyakini akan memberikan kontribusi positif dalam pencapaian tujuan program GERHAN pada khususnya dan pembangunan masyarakat (baik sekitar hutan maupun keseluruhan) pada umumnya. Berdasarkan hasil laporan Lembaga Penilaian Independen (LPI) diperoleh presentase keberhasilan GERHAN pada tahun 2004 adalah sebesar 29,26 % (sangat jelek), tahun 2005 adalah 78,51 % (baik), tahun 2006 adalah 66,87 % (cukup/sedang), tahun 2007 adalah 25,9 % (sangat jelek). Gap antara laporan dan kenyataan di lapangan merupakan permasalahan yang perlu untuk dipecahkan. Permasalahan kegagalan program kehutanan, dapat terjadi karena aplikasi teknologi yang kurang tepat/tidak sesuai dengan kondisi biofisik setempat, atau dapat pula disebabkan oleh persoalan-persoalan sosial lainnya. Perlu dicermati bahwa di Provinsi Maluku khususnya Pulau Ambon kegiatan GERHAN telah dilakukan sejak tahun 2004 dan berakhir tahun 2007. Karena itu, bagaimana memikirkan masa transisi setelah program GERHAN ini dan juga bagaimana memperoleh pembelajaran untuk pelaksanaan kegiatan serupa. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia (Permenhut) Nomor: P.08/Menhut-II/2010 Tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Kehutanan Tahun 2010 – 2014, penyusunan rencana rehabilitasi hutan dan lahan ke depan harus mengacu pada struktur perencanaan pembangunan yang ditetapkan
9
dalam pedoman penyusunan Renstra, serta sejalan dengan proses restrukturisasi program dan kegiatan yang merupakan bagian dari reformasi perencanaan pembangunan nasional. Sebagai dokumen perencanaan lima tahun, renstra kementerian tersebut, telah dirumuskan visi yang menggambarkan keadaan yang ingin dicapai sampai dengan akhir masa renstra. Selanjutnya renstra tersebut juga telah merumuskan misi yang merupakan upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi, dan tujuan dari masing-masing misi serta sasaran strategis pembangunan kehutanan tahun 2010-2014. Salah satunya adalah Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di 32 Provinsi dengan luasan 1.600.000 ha pada DAS, 2.000.000 ha pada HKm, dan 500.000 ha pada Hutan Desa. Untuk Provinsi Maluku RHL DAS dengan luasan 31.800 ha dan 2.600 ha untuk Hutan Desa. Apabila RHL yang dimulai tahun 2010 tersebut diharapkan akan berhasil atau sukses khususnya di Maluku, maka Program GERHAN yang telah dilaksanakan sebelumnya dijadikan ukuran untuk pelaksanaan RHL yang akan berjalan. Dengan demikian, kinerja GERHAN pada waktu lampau di Maluku perlu diketahui untuk memastikan rekomendasi yang tepat bagi rencana program RHL berikutnya. Dari laporan pelaksanaan GERHAN sebelumnya (Dinas Kehutanan Provinsi Maluku 2006), dipaparkan bahwa kinerja GERHAN di Maluku khususnya Kota Ambon berhasil. Namun demikian, permasalahannya adalah indikator yang digunakan, penilaian kinerja tersebut masih perlu untuk memasukkan indikator pendukung lainnya, disamping hanya menggunakan faktor teknis, guna menentukan kinerja GERHAN secara lebih komprehensif. Untuk itu penelitian ini dibangun dalam rangka menganalisis kinerja GERHAN di Pulau Ambon dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti aspek teknis, aspek sosial ekonomi, dan aspek kelembagaan. Pulau Ambon merupakan wilayah yang menarik dan strategis untuk di teliti, karena lokasi kegiatan GERHAN di pulau tersebut memiliki aksessibilitas yang sangat baik dengan berbagai stakeholder yang terlibat dalam kegiatan GERHAN.
10
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana aspek teknis, sosial ekonomi, dan kelembagaan yang mempengaruhi pelaksanaan GERHAN, permasalahan-permasalahan yang menyebabkan terjadinya fluktuasi keberhasilan GERHAN dan rekomendasi apa saja yang dihasilkan bagi pelaksanaan RHL di Maluku. Untuk mencapai tujuan dimaksud, diperlukan beberapa kajian sebagai berikut : 1. Mengkaji aspek teknis, sosial ekonomi dan kelembagaan pelaksanaan GERHAN. 2. Menganalisis permasalahan-permasalahan apa saja yang menyebabkan terjadinya fluktuasi keberhasilan GERHAN. 3. Menyusun rekomendasi bagi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan berdasarkan kinerja GERHAN yang telah diketahui.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna : 1. Sebagai acuan dan sumber informasi terkait pengembangan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ke depan di Pulau Ambon. 2. Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi kebijakan dan kelembagaan untuk meningkatkan peranan masyarakat dalam kegitan rehabilitasi hutan dan lahan. 3. Memberikan informasi yang dapat memperkaya Khasanah ilmu pengetahuan mengenai aspek teknis, sosial ekonomi,kelembagaan dari kegiatan Rehabilitasi, khususnya GERHAN di DAS Waehapu.