I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang membutuhkan
kompensasi untuk menikmati waktu luangnya (leisure time) dengan melakukan perjalanan wisata. Naisbit (1994) telah memperkirakan bahwa mulai tahun 2000 sektor pariwisata akan menjadi industri terbesar di dunia dan menyumbang ekonomi global. Sebagai penyumbang ekonomi global, pakar ini menyatakan bahwa
sektor
pariwisata
tidak
ada
tandingannya
dikarenakan
mampu
mempekerjakan 204 juta orang di seluruh dunia, atau 10,6% dari angkatan kerja global, menghasilkan 10,2% produk nasional bruto dunia, dengan keluaran bruto mendekati US$ 3,4 triliun, dan menjadi produsen terkemuka dengan pendapatan pajak terbesar mencapai US$ 655 milyar (WTO, 2000). Kondisi ini terus mengalami kenaikan, sebagaimana ditunjukkan dengan pendapatan pajak yang mencapai US$ 733 milyar (WTO, 2006). Sektor pariwisata memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai salah satu sumber penerimaan devisa maupun sebagai pencipta lapangan kerja serta kesempatan berusaha. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) sebanyak 4.871.351 orang, dan penerimaan sebesar US$ 4.447,98
Juta (BPS, 2006). Wisatawan yang mengunjungi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) berjumlah 2.139.540 orang (BPS Yogyakarta, 2006). Sumbangan sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Gunungkidul semakin meningkat. Pada tahun anggaran 1993/1994, sumbangan sektor pariwisata terhadap PAD mencapai Rp.111 juta (5,9%), kemudian pada tahun anggaran 1998/1999 meningkat Rp.304 juta (6,8%). Selain itu kunjungan wisata tahun 1993 berjumlah 179.374 orang (termasuk 393 wisata mancanegara), sedangkan pada tahun 1998 meningkat menjadi 300.847 orang (termasuk 453 wisata mancanegara). Ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun telah terjadi kenaikan kunjungan wisata rata-rata 12% per tahun (Dinas Pariwisata Kabupaten Gunungkidul, 2000). Kekayaan alam dan keajaiban alam yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), merupakan potensi yang dapat dikembangkan dan mempunyai
2 daya jual yang tinggi. Kawasan Pegunungan Seribu dengan potensi kars-nya, merupakan kawasan yang unik dan potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata yang berbasis ekologi dan kelestarian lingkungan. Selain unik, kars merupakan kawasan yang cukup langka di Indonesia bahkan di dunia dan belum banyak dikembangkan sebagai daerah ekowisata. Keputusan
Menteri
ESDM N0. 961.K/40/MEM/2003 tanggal 23 Juli 2003 dan tanggal 1 Desember 2004 telah menetapkan bahwa kawasan kars Pegunungan Seribu Kabupaten Gunungkidul sebagai kawasan eko-kars. Kawasan ini merupakan kawasan kars tropik dan telah ditetapkan sebagai kawasan warisan dunia (The World Heritage) pada tahun 1994 oleh International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, dan menyebutkan bahwa Kars Gunung Sewu merupakan salah satu kars terbaik di dunia. Untuk menjaga kawasan kars tidak mengalami kerusakan akibat pengembangan wisata maka, diperlukan pengembangan ekowisata, karena ekowisata merupakan bagian dari semua jenis wisata antara lain: wisata masa, wisata alternatif dan wisata berkelanjutan (Weaver, 2001). Pariwisata di Yogyakarta dikembangkan sebagai wisata budaya dan konservasi, serta menempatkan jenis wisata lain sebagai wisata pendukung, dan berdasarkan keseimbangan pasar dan potensi yang tersedia, termasuk kawasan di Kabupaten Gunungkidul (Bapeda Yogyakarta, 2000). Bapeda
Gunungkidul
(2005)
mengelompokkan
kawasan
pesisir
Wediombo termasuk daerah wisata yang masuk dalam kategori pengembangan E, yaitu wisata dan konservasi skala nasional, sedangkan di sebelah utara pengembangan I yaitu hutan produksi jati, di sebelah barat merupakan pusat pengembangan D sebagai panjat tebing skala internasional dan di sebelah timur adalah pengembangan F yaitu sektor industri perikanan. Berdasarkan kluster pengembangan wisata, wilayah ini disebut sebagai kluster pengembangan pantai Rongkop (Gambar 1). Kawasan Wediombo memiliki unsur strategis yang tinggi, yang mencakup aspek ilmiah, ekonomi, kemanusiaan dan konservasi
yang
merupakan dasar bagi kegiatan pengelolaan kawasan yang berbasis pada pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sasarannya adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang telah menghuni kawasan
3 tersebut secara turun temurun, yang
pada umumnya merupakan komunitas
marginal.
North Pegunungan Karik Goa Cirme Sandang Beji Aortapaar Pesanggrahan Goa Topan Wonokobaran Gembirawati Panggang Pantai Parang Rodeo
Pallyan
Goa Sodo Saptosari Goa Maria Tritia
Kluster Panggang dan sekitarnya
Pt. Ngobaran Pt. Nguyahan Pt. Subuh Pt. Langkap
Kluster Pantai Saptosari dan sekitarnya
Samudera Hindia
Pt. Ngicahan
Rongkop
Tepus
Pt. Grigik
Pt. Boran Pt. Kukla
Pt. Sepanjang Pt. Krakel Pt. Dhini Pt. Sandak Pt. Stik
Kluster Pantai Tepus dan sekitarnya
Gunung Batur
Pantai Slang Pantai Wedlember Pantai Ngungap
Pantai Sadeng
Kluster Pantai Rongkop dan sekitarnya
Gambar 1. Kluster Pengembangan Wisata di Pantai Selatan Yogyakarta; Kawasan Wediombo termasuk dalam Kluster Pantai Rongkop Wediombo merupakan salah satu kawasan di Kabupaten Gunungkidul yang sedang dikembangkan sebagai kawasan wisata (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2000). Pemanfaatan yang dilakukan pada saat ini adalah sebagai wisata pantai, tetapi kawasan ini belum tertata dengan baik. Jumlah pengunjung rata-rata 13.510 wisatawan/tahun dengan pemasukan Rp. 17.656.000/tahun (Dinas Pariwisata Gunungkidul, 2008). Kawasan Wediombo, merupakan wilayah kars yang mempunyai potensi wisata berbasis alam, yang meliputi goa dan kars, pantai yang dikelilingi tebing kars, sungai bawah tanah, dan hutan. Tumbuhan seperti kina, segawe, nyamplung (Callophylum inophylum), lowo merupakan tumbuhan endemi pada habitat ini. Fauna yang ada meliputi trenggiling (Manis javanica), kera ekor panjang (Macaca fasicularis), lutung (Trachy pithechus cristatus), kijang (Muntiacus muntjak), ular phyton (Phyton reticulatus), bajing goa (Rheithrosciurus), penyu hijau (Chelonia mydas) dan berbagai fauna lain yang hidup di dalam goa maupun diluar goa.
4 Kawasan Wediombo mempunyai dataran yang luas yang dikelilingi bukit-bukit kars dan
berpotensi untuk kegiatan
camping ground, trekking, hiking, dan
kegiatan wisata lainnya. Masyarakat lokal Kawasan Wediombo mempunyai kebudayaan khas yang bersifat tradisionil, dan merupakan potensi yang menarik untuk dikembangkan sebagai pendukung kegiatan wisata. Berbagai potensi daya tarik alam (lanskap) pada Kawasan Kars Wediombo mendukung pengembangan konsep ekowisata yang berbasis kepada kawasan kars. Permasalahannya fragile
(Aurighi
et
adalah al.,
2004),
kawasan kars merupakan ekosistem yang sehingga
kalau
dikembangkan
harus
memperhitungkan daya dukungnya. Strateginya adalah mengembangkan bentuk wisata yang mempunyai fungsi penyangga, sehingga tekanan kegiatan wisata ke obyek kars secara langsung dapat dikurangi, sekaligus sumbangan terhadap perekonomian dan pengembangan masyarakat. Oleh karena itu perencanaan spatial kawasan dengan mempertimbangkan nilai lingkungan
alami
penting
dilakukan. Beberapa metode pengelolaan ekowisata antara lain adalah: (1) Limit of Acceptable Change (LAC) (Stankey et al. dalam Farrel dan Marion JL, 2002) menekankan terhadap perlindungan kawasan, tetapi dari sisi ekonomi tidak optimal. (2)
Visitor Impact Management (VIM) (Susan
et al., 2003),
menekankan mengenai dampak kondisi sekarang tetapi tidak mengkaji potensial yang menyebabkan dampak tersebut. (3) Visitor Experience Resources Protection (VERP) (Hof dan Lime, 1997), yang berisi gambaran kondisi sumberdaya alam ke depan dan kondisi sosial,
menentukan tingkat penggunaan sumberdaya yang
tersedia, dimana, kapan dan mengapa. Pada lingkungan yang berbeda perlu dilakukan percobaan, dan kemampuan pengawasan untuk menyiapkan informasi mengenai cara
pengelolaan yang harus diuji. Metode micro-ROS tetap
mengutamakan perlindungan lingkungan, dan dapat digunakan untuk menilai pada kawasan yang sempit, memberikan kesempatan rekreasi se-optimum mungkin untuk mendapatkan pengalaman berwisata (Parkin et al., 2000). Metode ini diperkirakan sesuai diterapkan di Kawasan Wediombo. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan identifikasi potensi kawasan secara biofisik, sosial-ekonomi, sosial-budaya, tipologi wisatawan dan aspek legal, kemudian analisis demand
5 supply, analisis prioritas manfaat-biaya dan analisis spasial untuk ekowisata dengan micro-ROS. Model pengembangan ekowisata dianalisis dengan analisis SWOT dan analisis AHP. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di kawasan karst antara lain; Penelitian di kawasan kars Belize di Amerika Tengah dan Caribia membahas mengenai peningkatan tekanan penduduk dan menekankan kepada perlindungan lingkungan (Day, 1996), penelitian ekowisata di kepulauan Ogasawara (Ichiki, 2002), membahas mengenai identifikasi kawasan yang potensial sebagai kawasan ekowisata. Penelitian lain adalah sistem keberlanjutan Kars dilihat dari sisi managemen kebiasaan masyarakat dan lingkungan fisik, yang ditekankan pada kemampuan masyarakat untuk menyelaraskan kehidupan sesuai lingkungannya (Sunkar, 2004). Beberapa penelitian tersebut ternyata hanya menekankan kepada perlindungan lingkungan pada kawasan fragile, kemampuan masyarakat bertahan dan identifikasi kawasan tanpa menyinggung maksimalisasi kesempatan berekreasi pada kantong kawasan yang potensial untuk pengembangan wisata, sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya pada suatu wilayah (region) yang luas. Penelitian di Kawasan Wediombo ini merupakan penelitian dengan pendekatan terpadu selain melakukan perencanaan konservasi, juga menganalisis prioritas manfaat dan biaya, keselarasan permintaan dan kesediaan, menganalisis SWOT objek wisata, dan penentuan alternatif jenis wisata. Upaya untuk mengembangkan Kawasan Kars Wediombo sebagai wilayah ekowisata masih dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Permasalahan mendasar antara lain adalah belum adanya sarana dan prasarana yang memadai sebagai kawasan ekowisata, belum lengkapnya inventarisasi dan informasi spasial mengenai potensi kawasan wisata dan belum terumuskannya aspek aspek strategi pengembangan ekowisata kars Kawasan Wediombo secara optimal. Kondisi ini dapat teridentifikasi dari jumlah wisatawan yang berkunjung ke Wediombo masih terbatas pada hari-hari besar dan libur. Wisatawan hanya mengenal wisata Pantai Wediombo dengan waktu kunjungan relatif singkat. Banyak kawasan yang mempunyai nilai wisata tinggi belum dimanfaatkan secara optimal, baik kawasan pantai, kawasan hinterland
maupun budaya daerah
6 Wediombo dan sekitarnya. Semua potensi yang ada belum dikemas sebagai atraksi wisata yang menarik. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut supaya dapat merancang model pengembangan wilayah Kars Wediombo dan sekitarnya sebagai kegiatan ekowisata yang terpadu. 1.2.
Kerangka Pemikiran Secara konseptual, ekowisata didefinisikan sebagai suatu bentuk wisata
yang berbasis kepada sumberdaya alam dan keberlanjutan, difokuskan kepada pengalaman dan pembelajaran tentang sumberdaya alam, mengendalikan dampak negatif yang rendah, tidak konsumtif dan berorientasi kepada masyarakat lokal (kontrol, manfaat, dan skala). Tipenya adalah kawasan alam dan mempunyai konstribusi untuk mencari pengalaman dan konservasi atau perlindungan kawasan (Fennel, 1999). Ekowisata merupakan pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan, yang meliputi alam maupun budaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan yang konservatif, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Ditjen Pariwisata, 1995). Kawasan Kars Wediombo merupakan bagian dari kawasan Kars Gunungsewu yang ditetapkan sebagai warisan dunia (International Speleology Mac Donnald British Cave Research Association, 1994). Ditinjau dari segi pengelolaan, ekowisata merupakan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan keindahan alam dan secara ekonomi berkelanjutan berupaya mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Suhandi, 2001). Ekowisata dapat dikatakan lahir karena kecenderungan wisatawan dalam memilih objek atau lokasi wisata untuk dikunjungi. Wisatawan tidak hanya sekedar ingin melihat dan menikmati daya tarik objek wisata, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah mendapatkan tambahan wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru. Ekowisata kawasan kars masih sangat sedikit yang dikembangkan, bahkan belum diperhitungkan sebagai potensi yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan penduduk lokal. Pantai kars yang terdapat di Gunungkidul, khususnya
7 kawasan Wediombo merupakan tujuan utama pengunjung yang berupa pantai teluk dengan batuan vulkanik atau disebut pantai gunung api (Sunarto, 2000). Selain mempunyai potensi wisata alam dan pantai, terdapat potensi taman laut, wisata penelitian dan diving zone. Di sebelah barat di luar Kawasan Wediombo terdapat wisata panjat tebing yang bertaraf internasional (tebing yang curam di Pantai Siung). Potensi lainnya adalah terdapatnya bentukan bentang alam pada batuan karbonat (batu gamping) yang mempunyai bentuk sangat khas berupa bukit berbentuk kerucut (conical), lembah, cekungan tertutup berbentuk lonjong atau bulat (dolin), sungai bawah tanah dan goa. Karena sifatnya yang sangat porous batu gamping tidak mampu menahan air permukaan lebih lama meresap ke bawah membentuk sungai-sungai bawah tanah. Karakteristik lainnya adalah kondisi kering dengan hutan yang ditumbuhi vegetasi jati, akasia, mahoni, semua jenis tumbuhan yang tahan terhadap kondisi kekurangan air dan beberapa habitat fauna yang tidak ditemukan di kawasan lain. Sebagai kawasan kars, Wediombo sering diidentikkan sebagai kawasan tandus, kekurangan air dan kondisi perekonomian masyarakatnya rendah (Fryerand Jacson dalam Nibbering, 1991). Dikawasan ini, sebagian penghasilan hidup petani berasal dari pertanian tadah hujan, yang menghasilkan tanaman dengan produktivitas rendah, dan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri. Jika terdapat vegetasi atau hutan, hanya tanaman tahan kekeringan yang dapat tumbuh, seperti pohon jati, sengon, akasia, jambu mete dan pohon-pohon lain yang bersifat tahan kekeringan. Namun demikian sesungguhnya secara ekonomi kawasan kars dapat dikembangkan secara produktif, dengan melihat setidaknya 4 potensi. Pertama, potensi pertanian lahan kering. Kedua, potensi hutan yang cukup baik bagi industri manufaktur yaitu kayu jati, mahoni, akasia, jambu mete dan lain-lain yang sifatnya tahan terhadap iklim dan morfologi kars. Ketiga, adalah potensi tambang berupa kars (batu gamping), untuk pemenuhan industri kerajinan batu marmer, bahan baku semen dan lain-lain. Namun demikian apabila kegiatan penambangan tidak terkontrol maka kelestarian kawasan kars akan rusak, sehingga terjadi degradasi lingkungan. Keempat, adalah potensi pemandangan alam dan keunikan kawasan kars untuk dijadikan
kawasan wisata. Untuk
mengembangkan kawasan kars sebagai kawasan wisata, maka konsep ekowisata
8 merupakan konsep yang sesuai, karena mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan alam serta, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal sesuai dengan tujuan ekowisata. Blamey (1997; 2001) mengidentifikasi elemen kriteria ekowisata meliputi elemen pendidikan, berbasis alam dan keberlanjutan. Konsep dan program pengembangan
ekowisata berkelanjutan pada dasarnya menuntut adanya
kerjasama dan pelibatan antara pihak-pihak yang berkepentingan meliputi berbagai keahlian mulai dari perencanaan sampai ke implementasi. Sementara pengembangan ekowisata pada kawasan konservasi membutuhkan kerja sama yang sinergi, adaptif antara pemangku kawasan pelestarian alam, masyarakat sekitar serta pihak swasta, maka ekowisata merupakan alat yang mampu sebagai kunci konservasi, berdasarkan ketiga pilar manajemen lingkungan (Gambar 2).
Aspek Biofisik
Aspek Sosial Budaya SML
Aspek Ekonomi
Gambar 2. Tiga Pilar Sistem Manajemen Lingkungan (SML)
Dikembangkannya kawasan kars sebagai kawasan ekowisata diharapkan akan meningkatkan PDRB, meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, konservasi sumberdaya alam, menyerap tenaga kerja, mengurangi tingkat urbanisasi yang tinggi dan melestarikan budaya lokal, sehingga kawasan kars menjadi daerah yang maju dan dapat membangun secara berkelanjutan. Kerangka pemikiran penelitian sebagaimana telah diuraikan dirangkum pada Gambar 3.
9
Kawasan KARST Wediombo
Nilai Kawasan yang Tinggi
Ekologi
Ekonomi
1. Goa kars 2. Pantai 3. Bentuk pengunungan 4. Flora dan fauna 4. Sungai bawah tanah
Wisata Spiritual
Sosial
Potensi Pengembangan Ekowisata Kars
Wisata Pendidikan
Wisata Petualang
Wisata Penelitian
Wisata Massa
PERMASALAHAN - Terfragmentasi (tdk terpadu) - Konflik kepentingan - Pemanfaatan kars tidak optimal
Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Wediombo yang Berkelanjutan
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.3.
Perumusan Masalah Secara potensi kawasan Wediombo merupakan kawasan yang sangat
fragile, mempunyai keunikan dan kelengkapan keanekaragaman hayati yang tidak ditemukan di kawasan lain. Kawasan Wediombo sangat sesuai jika dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. Kondisi yang terjadi adalah bahwa pengembangan wisata kawasan Wediombo tidak mendapatkan hasil yang optimal, karena jumlah kunjungan wisatawan pada hari-hari biasa sangat sedikit. Potensi kawasan kars Wediombo dan sekitarnya yang dikembangkan sebagai kawasan ekowisata kars belum banyak diketahui oleh wisatawan, penduduk lokal, pihak swasta (sebagai pengelola kawasan wisata) maupun
10 pemerintah daerah. Hal ini ditinjau dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan maupun wisata khusus. Potensi
kawasan kars secara ekonomi dapat
dikembangkan secara produktif, jika dilakukan identifikasi biofisik, identifikasi sosial budaya dan identifikasi sosial ekonomi. Agar pengembangan dapat tertata dengan baik dan berkelanjutan, maka perlu dilakukan pewilayahan (zoning) pengembangan. Identifikasi kawasan unggulan kars dan kawasan pendukung kars sebagai kawasan wisata, membantu untuk membuat zoning kawasan, maka pengembangan ekowisata kars dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa Permasalahan mendasar antara lain adalah pengelolaan kawasan masih terfragmentasi (tidak terpadu) dan hanya pada pengembangan ekowisata tertentu saja, munculnya konflik kepentingan dalam pengelolaan kawasan ekowisata terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan konservasi kawasan disamping partisipasi masyarakat masih kurang dalam ikut mengembangkan ekowisata kars karena tingkat sumberdaya manusia yang masih rendah, tidak adanya data inventarisasi kawasan potensi wisata termasuk hasil analisis supply dan demand. Hal ini
disebabkan oleh belum
dilakukannya identifikasi potensi secara biofisik, sosial budaya dan sosial ekonomi termasuk tipologi wisatawan, potensi permintaan maupun penawaran wisatawan dan potensi penawasan dan permintaan ekowisata. Permasalahan lain adalah belum dilakukan zoning kawasan untuk mengetahui besarnya pengalaman yang bisa diperoleh wisatawan dan belum adanya kebijakan konservasi kawasan dalam rangka pengembangan ekowisata kars yang berbasis ekologi dan perlindungan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari tingginya degradasi lingkungan dapat terjadi akibat perbuatan masyarakat lokal maupun akibat kondisi alam, seperti kondisi hutan, goa, pantai, menipisnya jumlah flora dan fauna tertentu dan kondisi batuan yang tidak dapat menampung air hujan sehingga jika musim kering akan kekurangan sumber air. Semua permasalahan-permasalahan tersebut
pada
akhirnya
bermuara
pada
belum
terumuskannya
konsep
pengembangan ekowisata kars Wediombo dan sekitarnya yang berkelanjutan. Permasalahan yang dirumuskan di atas merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala bagi pengembangan Wediombo sebagai kawasan ekowisata kars. Tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam membangun objek ekowisata
11 adalah: identifikasi potensi dan kelayakan, pengembangan, pengelolaan, pemeliharaan dan pemasaran. Sementara sukses tidaknya mengkomersialkan suatu objek ekowisata berkelanjutan tergantung pada kejelian mengidentifikasi aneka daya tarik sumber daya alam dan potensi untuk mengembangkan, mendidik SDM yang dibutuhkan secara terarah dan konseptual, pengembangan secara fisik sesuai konsep wisata berkelanjutan dengan menganalisa dampak yang akan terjadi (Robby, 2003). Berdasarkan uraian di atas, secara umum permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana potensi Kawasan Kars Wediombo ditinjau dari kondisi biofisik, sosial-budaya, sosial ekonomi, dukungan hukum, dan tipologi wisatawan dalam hubungannya dengan pengembangan ekowisata kars Wediombo ? 2. Seberapa besar Supply dan Demand serta bagaimana prioritas manfaat (Benefit) dan biaya (Cost) kawasan ekowisata kars Wediombo? 3. Bagaimana zonasi Kawasan Kars Wediombo sebagai kawasan ekowisata sudah dilakukan sesuai kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan? 4. Bagaimana model pengembangan kawasan ekowisata kars yang harus diterapkan di Wediombo supaya dapat berkembang dalam konteks sebagai wilayah ekowisata kars berkelanjutan yang berbasis kepada masyarakat lokal ? Perumusan masalah model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta secara skematis disajikan pada Gambar 4. 1.4
Tujuan Penelitian Sesuai dengan kondisi tersebut, maka tujuan penelitian adalah membangun
model
pengembangan
kawasan
ekowisata
kars
yang
berkelanjutan
Wediombo.Untuk membangun model tersebut, beberapak kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus adalah : 1. Mengidentifikasi potensi kawasan dengan mengidentifikasi karakteristik biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars Wediombo, legal aspek dan tipologi wisatawan untuk pengembangan ekowisata kars.
12 2. Menganalisis besarnya demand dan supply, serta prioritas manfaat dan biaya pengembangan ekowisata kars di kawasan Wediombo dan sekitarnya. 3. Mendelineasi zona kawasan kars Wediombo berdasarkan potensinya untuk pengembangan ekowisata yang berkelanjutan 4. Menyusun model pengembangan ekowisata
kars di Wediombo dan
sekitarnya. Potensi Pengembangan Ekowisata Kars
Kawasan KARST Wediombo
Fragil, Unik, dan Keanekaragaman tinggi
PERMASALAHAN
Analisis Pengembangan Ekowisata Kars Wediombo Kabupaten Gunungkigdul
karakter biofisik, sosial-budaya dan ekonomi kawasan kars
Demand, supply, dan prioritas manfaat dan biaya
zonasi pengembangan kawasan ekowisata kars
Model Pengembangan Kawasan Kars Wediombo yang bekelanjutan
Gambar 4.
Skema Perumusan Masalah Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars yang Berkelanjutan di Wediombo, Gunungkidul.
1.5. Manfaat Penelitian Beberapa pengembangan
manfaat
yang
dapat
diperoleh
dari
penelitian
model
kawasan ekowisata kars yang berkelanjutan di Kawasan
Wediombo Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, antara lain :
13 1. Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai sumber informasi dan bahan pustaka dalam pengembangan ekowisata khususnya terkait kawasan kars. 2. Manfaat bagi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat lokal dalam memahami peranan partisipasi mereka dalam pengembangan ekowisata kars dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan kars. 3. Manfaat bagi penyelenggara jasa wisata yaitu, memberikan gambaran mengenai peluang dan prospek dunia pariwisata di Kawasan Wediombo yang berwawasan ekowisata. 4. Manfaat bagi pemerintah yaitu, sebagai arahan dalam merumuskan kebijakan pengembangan ekowisata yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, distribusi kesejahteraan dan pelestarian lingkungan.
1.6.
Novelty
1.
Dihasilkan model pengembangan kawasan ekowisata kars Wediombo berkelanjutan melalui keterpaduan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan pada semua zona wisata.
2.
Dalam membangun model tersebut digunakan berbagai metode secara terintegrasi yang meliputi metode analisis statistik, analisis Supply dan Demand, analisis Eckenrode, analisis MPE, analisis Micro-ROS, dan analisis AWOT.