I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan
lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti sumber air minum dan habitat beraneka ragam makhluk, tetapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir dan kekeringan, pengaman garis pantai dari intrusi air laut dan abrasi, penambat sedimen dari darat dan penjernih air, penyedia unsur hara (KNPELB 2004). Fungsi habitat, lahan basah sebagai penyedia makanan, air, hasil hutan, tempat perlindungan bagi ikan, burung, mamalia, dan sebagai tempat pemijahan berbagai spesies (Tiner 1989). Fungsi hidrologi lahan basah dapat dikaitkan dengan kuantitas air yang masuk, tinggal, dan keluar di lahan basah. Fungsi kualitas air mencakup penyerapan sedimen dan pengendali polusi pada lahan basah (Novitzki et al. 2004). Luas permukaan bumi yang terdiri dari lahan basah belum diketahui dengan pasti. Pusat Monitoring Konservasi Dunia memperkirakan sekitar 5.7 juta km2 atau kira-kira 6% dari permukaan daratan bumi dengan komposisi yaitu 2% danau, 30% tanah berlumpur, 26% mata air, 20% payau dan 15% dataran berbanjir (Biro Konvensi Ramsar 1997). Meskipun hanya 6% muka bumi yang dicakup oleh lahan basah, tetapi menyediakan habitat untuk kira-kira 20% spesies yang diketahui, dan diyakini bahwa sejumlah besar spesies masih belum tergambarkan (Nirarita et al. 1996). Sekitar 38 juta hektar atau 21% dari luas daratan Indonesia merupakan lahan basah, yang menjadikan Indonesia sebagai pemilik lahan basah terluas di Asia. Lahan basah tersebut sebagian besar terdapat di daratan rendah alluvial dan lembah-lembah sungai, muara sungai dan di daerah pesisir di hampir semua pulau Indonesia. Dari 256 lahan basah di Indonesia baru 127 lahan basah yang dikonservasi walaupun situs-situs tersebut belum memperoleh status dilindungi (Wibowo & Suyatno 1996). Inventarisasi dari Wetland Internasional mendata bahwa di Indonesia terdapat 256 lahan basah (wetland sites) yang tersebar di
2 seluruh kepulauan. Namun baru 56 saja yang telah memenuhi kriteria Ramsar yang mempunyai arti penting secara internasional (Wibowo et al. 1996). Lahan basah di Indonesia telah mengalami perubahan dan terancam kelestariannya baik secara fisik maupun habitat yang terdapat pada lahan basah tersebut. Perubahan tersebut umumnya terjadi disebabkan oleh karena lahan basah dianggap sebagai lahan yang tidak berguna. Padahal lahan basah sangat bermanfaat antara lain adalah sebagai habitat, pengatur fungsi hidrologi, pencegah bencana alam dan menjaga sistem dan proses-proses alami. Dalam kurun waktu 1991-1996, setidaknya ada tiga kegiatan penting yang berkaitan langsung dengan kebijakan pengelolaan lahan basah di Indonesia yaitu: meratifikasi Konvensi Ramsar, pembentukan Komisi Nasional Lahan Basah, dan pengukuhan strategi nasional dan rencana aksi pengelolaan lahan basah di Indonesia. Namun demikian, ketiga hal itu belum mengubah pola pengelolaan lahan basah. Pengelolaannya masih bersifat sektoral menurut masing-masing lembaga dan tidak mengacu pada strategi nasional yang telah ditetapkan. Laporan Wetland Indonesia mengenai kondisi lahan basah di Indonesia menunjukkan penurunan yang signifikan. Hingga tahun 1996, diperkirakan Indonesia kehilangan lahan basah sekitar 12 juta ha (WI-IP 2002). Pada tahun 2000, luas lahan basah di Indonesia adalah 42.5 juta ha yang terdiri atas 31.4 juta ha lahan basah alami dan 11.1 juta ha lahan basah buatan. Data tahun 2002 menunjukkan adanya penyusutan luasnya, yaitu menjadi 33.8 juta ha yakni 25.0 juta ha lahan basah alami dan 8.8 juta hektar lahan basah buatan. Sebagai contoh, kondisi lahan basah di Indramayu sebagai habitat burung air dalam waktu kurang dari 10 tahun terjadi penurunan yang mencapai 1 juta ekor. Pada tahun 1984-1986 menurun menjadi 300 ribu ekor per tahun, dan tahun 1987 tinggal 200 ribu ekor (Bratasida 2002). Convention on wetlands of international importance especially as waterfowl habitat atau lebih dikenal dengan konvensi Ramsar yang diresmikan pada tanggal 2 februari 1971 di kota Ramsar Iran dan berlaku secara formal sejak tahun 1975. Tujuan konvensi ini adalah konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional dan kerjasama internasional untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan di seluruh dunia. Indonesia
3 mengesahkan konvensi Ramsar tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1991 yaitu mengenai lahan basah dipandang dari kepentingan internasional khususnya sebagai habitat burung air, dan terbentuknya Komite Lahan Basah Nasional pada tahun 1994. Komitmen negara anggota konvensi yaitu negara berkewajiban untuk memasukan konservasi lahan basah ke dalam rencana Tata Ruang Nasional dan melaporkan perkembangan implementasi komitmennya terhadap konvensi yang menjadi catatan publik. Lahan basah Muaragembong telah masuk dalam daftar database Wetland International Indonesia dengan kode JAV09 merupakan salah satu dari 718 lahan basah yang telah tercantum dalam database lahan basah Ramsar. Disebutkan dalam database tersebut bahwa Muaragembong sebagai lahan basah dan cagar alam seluas 10 481 ha. Penentuan lahan basah Muaragembong ditetapkan berdasarkan kriteria Ramsar yaitu termasuk lahan basah pasang surut yang khas atau mewakili dataran rendah (Silvius et al. 1987). Lahan basah ini, mempunyai pantai yang landai (1 sampai dengan 5 m), berair payau dan salinitas kearah darat cenderung rendah serta tumbuh hutan mangrove. Hutan mangrove di lahan basah Muaragembong ini tumbuh di tanah berlumpur, lahan tergenang air secara berkala, menerima pasokan air tawar dari Ci Tarum. Lahan basah di Indonesia mengalami kerusakan fisik dan biologis ekosistem lahan basah, terutama sungai, danau dan rawa, karena eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak seimbang, pencemaran, konversi habitat dan faktor alam seperti bencana alam (WI-IP 2002). Lahan basah Muaragembong sebagai salah satu lahan basah di Indonesia telah mulai terkikis baik oleh alam maupun oleh kegiatan penduduk yang berdatangan. Keberadaan hutan bakau makin terancam dengan perubahan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten Bekasi 2003 - 2012 (Rasyad 2004). Dibandingkan ekosistem hutan dataran tinggi, rasa kepemilikan terhadap lahan basah oleh masyarakat setempat tidak begitu kuat. Interaksi budaya dan konsep religi masyarakat terhadap hutan dataran tinggi lebih kuat dibandingkan terhadap ekosistem lahan basah. Pada sejumlah lahan basah, tidak ditemukan organisasi tani maupun kelembagaan sosial yang terkait dengan lahan basah (Walhi 2004). Pada lahan basah ini, lembaga perekonomian yang telah ada pada masyarakat nelayan Muaragembong adalah Koperasi Unit
4 Desa (KUD) dan TPI. Saat ini TPI tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya. Hasil tangkapan nelayan tak pernah dilelang, namun demikian restribusi terhadap hasil tangkapan tetap ditarik. Koperasi Unit Desa yang seharusnya dapat menjadi lembaga penyedia kredit dan berbagai keperluan nelayan juga tidak berjalan (Panjaitan 1997). Ditinjau dari regulasi yang ada, pengaturan pada ekosistem lahan basah masih sangat minim. Namun demikian, pandangan, ikatan batin, dan faktor pendorong konservasi maupun eksploitasi oleh masyarakat atas lahan basah di suatu tempat bersifat khas. Perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga terjadinya konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan basah Muaragembong. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan kajian yang mampu mengakomodasikan segenap kepentingan stakeholder yang terkait dengan pengelolaan lahan basah Muaragembong dan tetap mengutamakan keberlanjutan fungsi ekologi dan pemanfaatan. Kelestarian ekologi dapat berjalan apabila terdapat
kebijakan
pengelolaan
lahan
basah
di Muaragembong
secara
berkelanjutan. Oleh karena itu kajian integratif diperlukan untuk menemukan solusi optimal pengelolaan lahan basah Muaragembong.
1.2.
Identifikasi dan Perumusan Masalah Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 tentang
penunjukan kawasan hutan lindung seluas 10 482 ha pada lahan basah Muaragembong dengan status tanah adalah tanah negara. Namun kurangnya sosialisasi tentang arti dan fungsi lahan basah Muaragembong kepada masyarakat, maka timbullah berbagai konflik. Bahkan Pemerintah Daerah menganggap lahan basah ini potensial untuk dikembangkan untuk kepentingan produksi melalui alih fungsi, misalnya dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor A.1357/INS.L/1963 tentang tanah negara yang digarap rakyat akan dijadikan tanah pertanian dan dibagikan kepada masyarakat, maka lahan basah yang semula merupakan hutan mangrove menjadi peruntukan lain, seperti kegiatan pertanian dan perikanan.
5 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25/1999 tentang penetapan status kawasan Muaragembong masih di Departemen Kehutanan, perlu peninjauan kembali antara masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani, mengakibatkan konflik pemanfaatan lahan antara Departemen Kehutanan sebagai pengelola lahan basah dengan masyarakat mengenai penggunaan lahan basah untuk area perlindungan dan area pemanfaatan. Kebijakan Bupati Bekasi tentang Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi tahun 2003-2013 dan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang kawasan Pantai Utara Kabupaten Bekasi 2003-2013, maka rencana pengembangan Kecamatan Muaragembong (bagian dari kawasan khusus pantai utara) menjadi Kota Baru Pantai Makmur dengan kegiatan industri, pergudangan, pemukiman, pelabuhan, wisata, perdagangan dan jasa, dengan tetap mempertahankan fungsi hutan. Penggarapan tanah telah dilakukan secara turun temurun dan bahkan ada bidang-bidang tanah yang disertifikasi oleh Badan Pertanahan Nasional (LPP Mangrove 2003). Konflik lainnya adalah status yang belum jelas: mengenai tanah timbul, jalur hijau hutan lindung, tata batas lahan kehutanan pada umumnya. Konflik tanah timbul tersebut, diselesaikan dengan ditunjuk tanah timbul sebagai kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 598/Kpts/II/1997 tahun 1997 (Tim Terpadu 2005). Dalam database Wetland International dengan kode JAV09 lahan basah Muaragembong merupakan cagar alam dengan luas sebesar 10 481 ha (Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, 2004) atau sama dengan luas berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 92/Um/54 (sebagai hutan tetap). Namun Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.475/Menhut-II/2005 tahun 2005 tentang perubahan fungsi sebagian kawasan hutan lindung Ujung Krawang (Muaragembong) menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap seluas ± 5 170 ha. Dan Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 2 tahun 2006 tentang pengelolaan kawasan lindung dinyatakan bahwa kawasan lahan basah ini merupakan kawasan lindung. Serta Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta,
Bogor,
Depok, Tangerang,
Bekasi,
Puncak,
Cianjur
6 (Jabodetabekpunjur) dengan tujuan antara lain keterpaduan penataan ruang pada kawasan Jabodetabekpunjur. Adanya konflik kepentingan yaitu luasnya penggunaan lahan untuk kegiatan ekonomi karena desakan kebutuhan lahan penduduk setempat serta lemahnya pembinaan dan pengendalian, lemahnya konsistensi kebijakan pengelolaan lahan hutan mangrove, kurang tegasnya sikap instansi yang berwenang (Perhutani dan Pemerintah Daerah) dan perbedaan persepsi diantara sektor-sektor pembangunan dan masyarakat. Persepsi masyarakat Muaragembong mengatakan bahwa hutan mangrove yang perlu dipertahankan cukup di tepi pantai saja (20 – 30% hutan, 80 – 70% tambak), yang lainnya tidak perlu walaupun kawasan tersebut secara hukum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Sedangkan kebijakan Perum Perhutani menginginkan kondisi sebaliknya, bahwa pemanfaatan hutan untuk tambak tidak lebih dari 20% (Tim Terpadu 2005). Secara
ringkas
dapat
diidentifikasi
permasalahan
lahan
basah
Muaragembong yaitu: (1) terjadi konflik penggunaan lahan, (2) konflik kewenangan antar instansi, (3) terjadi perubahan fisik habitat mangrove dan (4) adanya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam pengaturan pemanfaatan lahan ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, dirumuskan permasalahan penelitian yaitu: (1) bagaimana kondisi fisik dan potensi lahan basah Muaragembong, dan (2) bagaimana merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong yang berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh semua stakeholder.
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk:
1. Mengevaluasi kondisi dan potensi lahan basah Muaragembong. 2. Menyusun zonasi konservasi kawasan lahan basah. 3. Merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan dan dapat diimplementasikan oleh stakeholder.
7 1.4.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi
lahan basah Muaragembong saat ini untuk menyusun kebijakan yang berguna dalam upaya pengelolaan lahan basah Muaragembong secara berkelanjutan. Secara khusus, penelitian ini diharapkan bermanfaat: 1. Bagi pemerintah Kabupaten Bekasi sebagai acuan dan pedoman dalam penyusunan
rencana
pembangunan
dan
pengembangan
lahan
basah
Muaragembong; serta dalam pengusulan lahan basah Muaragembong menjadi Ramsar site.. 2. Masyarakat dan daerah sekitarnya (Kota Madya Jakarta Utara dan Kabupaten Kepulauan Seribu), sebagai
bahan pembelajaran dan
masukan dalam
melaksanakan kegiatan sosial ekonomi dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, sumberdaya alam dan usaha keberlanjutan. 3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan dari penelitian ini adalah mendorong adanya pertukaran data dan publikasi diantara para anggota Ramsar berkenaan dengan lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional. 4. Bagi dunia usaha menjadi acuan dalam investasi dan pembangunan.
1.5.
Kerangka Pikir Lahan basah merupakan salah satu ekosistem yang paling kompleks,
sangat produktif dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Konvensi Ramsar mendefinisikan lahan basah yaitu daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam (6) meter pada waktu surut (Biro Konvensi Ramsar 1997). Wetlands International (2003) menyatakan bahwa lahan basah adalah suatu daerah peralihan antara lingkungan daratan dengan lingkungan perairan, di mana tanah yang tergenang atau jenuh air menyebabkan berkembangnya suatu vegetasi yang khas. Pada lahan basah pesisir, luas hutan mangrove merupakan faktor yang menentukan keberadaan dan fungsi lahan basah.
8 Ekosistem lahan basah berubah dengan adanya kegiatan manusia dan proses alami. Kondisi dan potensi lahan basah dikaji untuk mengetahui apakah masih memenuhi kriteria Ramsar sebagai lahan basah, sehingga dapat ditentukan kebijakan pengelolaan lahan basah secara berkelanjutan. Opsi pengelolaan lahan basah berdasarkan kondisi dan potensi lahan, yaitu: (1) apabila lahan basah masih berfungsi sebagai ekosistem lahan basah maka diusulkan untuk dilakukan konservasi, dan (2) apabila lahan basah telah berubah namun masih ada indikator-indikator yang memenuhi syarat sebagai lahan basah maka diusulkan untuk rehabilitasi, sebagian atau seluruhnya. Opsi ini dilakukan pada zona yang sesuai berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan.
1.6.
Kebaruan Penelitian Sumbangan terhadap keilmuan dari penelitian ini adalah :
1.
Dalam merumuskan kebijakan pengelolaan lahan basah Muaragembong secara partisipatif dengan menggunakan kriteria Ramsar yaitu identifikasi lahan basah yang mempunyai kepentingan internasional atau dapat dikatakan, suatu lahan basah dapat diidentifikasikan sebagai daerah yang mempunyai kepentingan internasional apabila paling sedikit memenuhi salah satu kriteria Ramsar tersebut diatas (Tabel 2). Dengan menggunakan kriteria Ramsar pada lahan basah Muaragembong, maka lahan basah Muaragembong yang semula hanya dalam database Ramsar dapat diusulkan menjadi Ramsar site. Hal ini menjadikan Indonesia akan tercatat sebagai negara yang mempunyai komitmen tinggi secara internasional dalam melaksanakan konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana dan menaikan citra positif bagi negara. Disamping itu, terjadi pertukaran informasi antar anggota Ramsar tentang pengelolaan lahan basah dan dimungkinkan untuk mendapatkan dana dari Ramsar Small Grants Fund dalam pengelolaan lahan basah pada lahan basah Muaragembong.
2.
Selama ini belum pernah dibuat peta lokasi lahan basah Muaragembong berdasarkan Ramsar. Informasi yang didapat pada lahan basah ini dari dalam daftar Wetlands International Indonesia Program (WI-IP 1997) adalah lahan basah ini sebagai cagar alam dengan kode JAV09 terletak pada koordinat
9 Lintang 06º 02' 07'' S dan Bujur 107º 4' 45'' E, dengan luas 10 481 ha. Sehingga penelitian ini menghasilkan peta lahan basah Muaragembong untuk tahun 1987 seluas 10 481 ha dan tahun 2008 seluas 13 561 ha (Gambar 24). Adapun perbedaan lahan basah ini pada tahun 1987 dengan 2008, antara lain; (a) pada tahun 1987 lahan basah ini berdasarkan kriteria Ramsar sebagai cagar alam (Silvius et al. 1987) dan tahun 2008 lahan basah ini mengalami perubahan fisik, sehingga diusulkan menjadi lahan basah alami (konservasi) seluas 6 700 ha (49%) dan lahan basah non alami seluas 6 861 ha (51%), (b) kriteria Ramsar yang digunakan (Bab V. Sub Bab 5.5. Usulan Lahan Basah Muaragembong menjadi Ramsar site pada Tabel 46). 3.
Penelitian pada lahan basah ini bersifat komprehensif yaitu keterkaitan lahan basah dengan interaksi masyarakat dan lingkungan, dimana pada saat ini Pemerintah belum intensif memberikan sosialisasi arti ekosistem lahan basah bagi kehidupan kepada masyarakat.