28
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Untuk memenuhi kepentingan manusia, lingkungan sekitar danau diubah untuk dicocokkan dengan cara hidup manusia. Ruang dan tanah di sekitar kawasan danau dirombak untuk menampung berbagai bentuk kegiatan manusia seperti permukiman, prasarana jalan, saluran limbah rumah tangga, tanah pertanian, rekreasi dan sebagainya (Connell dan Miller 1995 diacu dalam Kumurur 2002). Sehingga seringkali terjadi pemanfaatan danau dan konservasi danau yang tidak berimbang, dimana terjadi pemanfaatan danau yang berlebih (over) yang tidak memperhatikan daya dukung. Pendangkalan akibat erosi, eutrofikasi merupakan penyebab
suksesi
suatu
perairan
danau.
Hilangnya
ekosistem
danau
mengakibatkan kekurangan cadangan air tanah pada suatu kawasan/wilayah dan akhirnya mengancam ketersediaan air bersih bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Akibatnya, lingkungan hidup yang didalamnya terdapat manusia dan alam terancam tidak dapat berlanjut. Pencemaran air berdampak pada suplai air minum, ekosistim, ekonomi, serta kesehatan manusia dan keamanan sosial (social security). Sekitar 3-4 juta
jiwa penduduk dunia
meninggal setiap tahun yang disebabkan oleh penyakit waterborne diseases, termasuk didalamnya lebih dari 2 juta jiwa anak – anak meninggal karena diare. Negara – Negara berkembang sangat rentan terkena dampak negatif dari pencemaran air khususnya perkampungan kota yang miskin dan kotor (Andreas et.al. 2001). Permasalahan yang selama ini terjadi di danau adalah
pendangkalan
danau, pencemaran, eutrofikasi, introduksi spesies asing, eksploitasi sumber daya, penurunan permukaan air danau, dan terjadinya konflik pemanfaatan air danau. Hal ini telah menjadi isu dan permasalahan danau di Indonesia. Danau yang bermasalah seperti
Danau Toba, Danau Sentarum, Danau Singkarak,
Danau Maninjau, Danau Limboto, Danau Rawa Pening, Danau Tempe, dan Danau Tondano merupakan danau yang terancam kelestarian fungsinya oleh karena terjadi konflik sosial, sedimentasi, pendangkalan, dan pencemaran yang pada akhirnya menyebabkan punahnya danau tersebut. Erosi di daerah tangkapan air menyebabkan sedimentasi. Akibatnya, daya tampung air dan
29
fungsi pengendalian banjir oleh danau menurun. Suripin (2001) mengemukakan bahwa kegiatan manusia sebagai salah satu faktor
paling penting terhadap
terjadinya erosi tanah yang cepat dan intensif. Kegiatan – kegiatan tersebut kebanyakan berkaitan dengan perubahan penutupan tanah akibat penggundulan hutan untuk pemukiman, lahan pertanian atau gembalaan. Menurut BAPEDALDA dan LPPM ITB (2004) mengemukakan bahwa beberapa permasalahan di sekitar Danau Sentani adalah indikasi adanya kerusakan daerah tangkapan air danau oleh lahan kritis dan pembukaan hutan serta penurunan kualitas air danau pada beberapa lokasi. Danau Sentani
pada saat ini dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, seperti sumber air bersih bagi penduduk sekitar, perikanan, pariwisata, dan transportasi air. Namun Danau Sentani sekaligus berfungsi juga sebagai tempat penampungan limbah dari kegiatan domestik, pertanian, perikanan, pariwisata, dan transportasi air. Kondisi multi fungsi tersebut membutuhkan kesepahaman mengenai pengelolaan kualitas air yang efektif, agar berbagai kepentingan tersebut dapat ditunjang secara sinergis. Kualitas air Danau Sentani selain dipengaruhi oleh aktivitas di danau juga oleh aktivitas di sekitar danau yang menjadi Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Sentani. Haryani (2004) mengemukakan bahwa Danau Sentani dasarnya berada 70 m di atas permukaan laut. Danau Sentani terletak di Kabupaten Jayapura. Kabupaten Jayapura beriklim tropis dengan keadaan suhu maksimum pada siang hari 32,2 0 C dan keadaan suhu minimum pada malam hari 23,60C sehingga temperatur rata-rata untuk Kabupaten Jayapura dan sekitarnya 27,60C. Keadaan musim Kabupaten Jayapura sama pula dengan daerah lain, yaitu tidak tetap. Walaupun demikian diantara bulan Desember sampai April angin sering bertiup kearah barat, sedangkan pada bulan Mei sampai Nopember angin bertiup kearah tenggara, sehingga keadaan musim di daerah Kabupaten Jayapura dan sekitarnya beriklim tropis basah yang rata-rata curah hujan setiap bulan lebih dari 200 mm. Sedangkan keadaan curah hujan di bagian timur Kabupaten Jayapura terdapat Pegunungan Cycloop yang merupakan sumber penyebab curah hujan di daerah ini sebab pada musim angin bertiup dari arah barat laut yang terjadi antara bulan Desember sampai bulan April uap air dibawah dari Samudera Pasifik di daerah pegunungan berubah menjadi hujan, curah hujan rata-rata pertahun adalah 3276 mm. Danau Sentani merupakan satu kesatuan dengan Cagar
Alam
Pegunungan Cycloops (Jayapura) yang berareal 245.000 ha. Pegunungan
30
Cycloops yang berbatasan dengan Kota Jayapura ditetapkan menjadi cagar alam (tahun 1995), sebagai pusat penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Danau Sentani memiliki luas 9.630 hektar (ha), sejauh ini merupakan sumber hidup bagi sekitar 5.000 keluarga di sekitarnya. Danau itu juga telah diprogramkan Pemerintah Kota Jayapura sebagai obyek wisata kota. Selain air hujan, Danau Sentani mendapatkan suplai air dari sekitar 34 sumber mata air dari pegunungan. Pihak aktivis lingkungan hidup mengumumkan sekitar 20 sumber air di antaranya dinyatakan telah mengering akibat penebangan, permukiman penduduk, dan kemarau panjang. Tingkat kedalaman danau berkisar antara 6 meter – 140 meter. Laju pengendapan (sedimentasi) di Danau Sentani mencapai 90 ton per tahun. Tanah yang terlarut akibat erosi pada akhirnya akan mengalami sedimentasi di bagian hilir badan air sehingga mengakibatkan pendangkalan di danau.
Sebagian
bahan
sedimentasi
itu
diakibatkan
oleh
penggalian,
penambangan, penebangan hutan, pembukaan lahan, dan pembangunan jalan di Pegunungan Cycloops. Erosi tanah yang memasuki badan air dapat menimbulkan dampak positif, yakni peningkatan kandungan unsur hara di perairan. Namun disisi lain, erosi tanah juga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan, antara lain penurunan nilai kecerahan serta peningkatan nilai kekeruhan dan padatan tersuspensi. Oleh sebab itu dibutuhkan kajian dan pengelolaan Danau Sentani sehingga dapat berkelanjutan. Laju erosi pada daerah tangkapan air (DTA) Sentani sebesar 94,52 ton/ha/tahun (BPDAS 2002 dalam Mandosir et al. 2004), kondisi ini diakibatkan oleh vegetasi hutan yang rusak. Dalam pengelolaan danau agar tetap lestari melibatkan multistakeholder, yaitu: (1) Pelaku Usaha, baik yang bergerak di dalam kawasan danau maupun di luar kawasan danau, (2) Pemerintah, yakni Pemda, Dinas Perikanan, dan Dinas kehutanan, (3) perguruan Tinggi, (4) Lembaga Swadaya masyarakat /Yayasan lingkungan hidup, dan Masyarakat umum, baik masyarakat nelayan dan non nelayan. Disamping itu masih ada faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pengelolaan danau, seperti kualitas Sumber daya manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi, dan infrastruktur. Kenyataan tersebut di atas menunjukkan
bahwa pengelolaan danau
menjadi sangat penting, kompleks dan dinamis. Penting karena danau memiliki fungsi
ekologi,
kompleks
karena
melibatkan
multistakeholder
dengan
31
karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dan sedimentasi dapat berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan masalah – masalah yang berkaitan dengan pengelolaan danau harus dilakukan secara integratif – holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan secara parsial – sektoral. Pendekatan kesisteman ini didasarkan pada sebernetic, holistic dan effectiveness (SHE), dengan melibatkan seluruh stakeholder. Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui trend/pola pertumbuhan ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan sistem model dinamik. Dengan demikian, pendekatan ini akan
memudahkan
bagi
pengambil
kebijakan (decision maker) dalam
pengelolaan danau untuk secara dini menyiapkan langkah – langkah strategis, dalam pengelolaan danau dan dalam menghadapi setiap perubahan yang akan terjadi ke depan. Disamping itu, melalui pendekatan ini juga dapat teridentifikasi faktor pengungkit dalam pengelolaan danau, sehingga kebijakan strategis yang akan diambil menjadi lebih efektif. Pendekatan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan kesisteman dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam pengelolaan danau, karena pendekatan sistem dinamik ini dapat menyederhanakan struktur sistem yang kompleks dan rumit (Muhamadi et al. 2001). Melalui pendekatan sistem dinamik ini seorang pengambil keputusan dapat
menggunakan
pengalamannya
dalam
pengambilan
keputusan,
berdasarkan simulasi model dan perilaku sistem yang dihadapi (Davidsen 1993 dalam Kholil 2005), sehingga kebijakan strategis yang perlu dilakukan untuk menciptakan kondisi yang dikehendaki dapat diantisipasi secara lebih dini. Secara garis besar pengembangan sistem model dinamik meliputi 3 tahap, yaitu: (a) Cognitive map, (b) Construction model, (c) Simulation and Policy analysis.
Cognitif map merupakan langkah pengenalan masalah secara
mendasar, dilakukan melalui studi literatur, wawancara pakar dan diskusi dengan stakeholder melalui diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion :FGD). FGD merupakan forum diskusi stakeholder untuk mengidentifikasi seluruh variabel, masalah, kendala, dan kebutuhannya dalam pengelolaan danau. Hasil dari FGD kemudian dibuat kedalam system conceptualization dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop diagram), yang menggambarkan hubungan sebab akibat dan feed backnya satu variabel terhadap lainnya, sehingga memudahkan pengendalian sesuai dengan yang diinginkan. Construction model,
32
merupakan tahap pengembangan model yang didasarkan pada causal loop diagram. Pengembangan
model
dilakukan
menggunakan
software
tool
POWERSIM. Sebagai langkah akhir dari pengembangan model dinamis adalah simulasi dan analisis kebijakan. Analisis kebijakan ini dilakukan terhadap hasil simulasi model berdasarkan skenario yang dikembangkan. Hasil analisis kebijkan inilah yang kelak menjadi bahan rekomendasi kebijakan dalam pengelolaan danau terpadu. 1.2. Kerangka Pemikiran Aktivitas penggunaan lahan dalam sistem DAS akan menimbulkan dampak penting pada lingkungan fisik khususnya kualitas air dan sedimentasi. Penggunaan lahan pada sektor industri akan menghasilkan bahan buangan, berupa limbah industri. Di lain pihak penggunaan lahan pada sektor domestik (pemukiman, jasa perkotaan, fasilitas umum dan pariwisata) akan menghasilkan bahan buangan, berupa air limbah domestik. Sedangkan aktivitas penggunaan lahan pada sektor pertanian dan perkebunan akan menghasilkan bahan buangan (hasil samping dari pemupukan dan penggunaan pestisida) dalam bentuk limbah pertanian. Apabila air limbah industri dan air limbah domestik ini telah melampaui ambang batas atau baku mutu air limbah yang telah ditetapkan, maka air limbah industri dan domestik tersebut akan menjadi sumber pencemar potensial yang sangat mempengaruhi kualitas air danau. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk di dalam sistem DAS akan meningkatkan pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal penduduk. Tanpa adanya upaya pengendalian terhadap penggunaan lahan dalam sistem DAS, akan menyebabkan meningkatnya laju erosi. Ditambah lagi apabila dalam pembukaan lahan untuk pembalakan kayu, industri (perhotelan, karamba jaring apung atau KJA) dan pemukiman jika tidak diikuti pendekatan ekologis (konservasi air dan tanah), diprediksi akan meningkatkan laju erosi dan sedimentasi di Danau Sentani. Faktor manusia merupakan salah satu faktor penting (disamping faktor alam) yang sangat menentukan keberlangsungan sebuah danau. Aktivitas manusia di sekitar Danau Sentani seperti cara – cara penangkapan ikan, cara pengembangan KJA, cara budidaya ikan, aktivitas pertanian dan perambahan hutan di cagar alam Cyclop, mempengaruhi keberlangsungan Danau Sentani. Data tahun 1997 menunjukkan bahwa interaksi masyarakat di sekitar Danau
33
Sentani khususnya Cagar Alam Cyclop adalah kegiatan perambahan hutan untuk kegiatan perladangan dan pemanfaatan kayu untuk keperluan lainnya serta pengambilan batuan, kegiatan ini berdampak langsung pada Danau Sentani. Kawasan Cagar Alam Cyclop merupakan pendukung utama terhadap daerah yang berada di bawahnya termasuk Danau Sentani. Cagar alam ini merupakan sumber mata air yang sangat dibutuhkan oleh penduduk ibukota provinsi, Kabupaten dan Kotamadya Jayapura. Cagar alam Cyclop disamping sebagai sumber air minum juga menyiapkan air bagi Danau Sentani. Lahan di sekitar Danau Sentani banyak yang berubah menjadi pemukiman dan pertanian. Hal tersebut disebabkan bertambahnya penduduk yang diikuti oleh permintaan terhadap lahan, yang sebelumnya hutan dan lahan pertanian. Kegiatan pembangunan di sekitar Danau Sentani makin meningkat seperti pembangunan Kampus baru UNCEN, pembangunan perumnas dan perumahan BTN, pembangunan SMU, pembangunan pembangkit listrik, industri perhotelan, meluasnya perumahan penduduk, dan industri pengolahan kayu, usaha restoran. Sementara kegiatan penggunaan lahan di dalam Danau Sentani adalah restoran dan budidaya ikan jaring apung. Kegiatan penggunaan lahan di sekitar Danau Sentani di pengaruhi oleh faktor sosial ekonomi seperti jumlah penduduk (petani dan nelayan), tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan. Kesejahteraan penduduk rendah akan mendorong meningkatnya aktivitas perambahan
hutan, penambangan kerikil, pasir dan batu
di sungai yang
bermuara ke Danau Sentani. Kegiatan penggunaan lahan yang tidak seimbang dan meningkatnya industri akan menyebabkan meningkatnya laju erosi dan pencemaran yang berakibat terjadinya sedimentasi di Danau Sentani. Secara garis besar ada dua aspek utama yang terkait dalam pengelolaan danau, Aspek pertama, berkaitan dengan aspek teknis yang berlangsung yaitu perambahan hutan, erosi, transport sedimen, pendangkalan danau, usaha karamba jaring apung, peternakan, hotel dan restoran. Aspek kedua berkaitan dengan aspek non teknis yaitu kelembagaan, sistem pendanaan, teknologi, prilaku sosial dan kesadaran masyarakat. Untuk menjamin keberlanjutan danau maka pengelolaan danau tidak hanya menekankan pada satu aspek tehnis saja, atau non tehnis saja, tetapi keduanya harus diselesaikan secara menyeluruh (holistik) dengan menggunakan pendekatan kesisteman, dan bukan berdasarkan pendekatan reduksionis yang hanya menekankan pada satu variabel. Aspek – aspek sangat terkait satu dengan lainnya ( Gambar 1).
34
Pendangkalan
Transport sedimen
Kelembagaan
Penegakan hukum
Ÿ
Pengelolaan Danau Holistikintergratif
Ÿ
Prilaku sosial Partisipasi Masyarakat
Sistem pendanaan
Erosi Perambahan hutan
Teknologi Ekonomi/ Kesejahteraan masyarakat
KJA
Peterna kan
Pencemaran
Hotel Restoran
EKONOMI
BIOFISIK EKOLOGI
SOSBUD
Pendekatan sistem
Gambar 1. Kerangka pemikiran Penerapan pendekatan kesisteman dalam pengelolaan danau pada hakekatnya untuk harmonisasi dari tiga aspek ekonomi, aspek biofisik ekologi dan aspek sosial budaya, sehingga indikator pengelolaan danau tidak hanya dilihat dari kelayakan ekonomi dan tidak merusak lingkungan, tetapi juga harus dapat diterima oleh masyarakat sekitar (economically feasible, ecologically sustainable dan sosiologically acceptable), seperti pada Gambar 1. Hal ini sejalan dengan konsep triple bottom line yakni pembangunan tidak hanya dilihat dari nilai tambah
35
ekonomi saja tetapi harus memperhatikan nilai tambah sosial dan lingkungan agar pengelolaan danau menjadi lestari. Overlaping antara aspek ekonomi, sosial dan lingkungan menunjukkan bahwa adanya keterpaduan yang kokoh antara ketiga aspek tersebut dalam pembangunan pada umumnya atau secara khusus dalam pengelolaan Danau Sentani. Ketiga aspek harus seimbang. 1.3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kapasitas asimilasi parameter kualitas air di Danau Sentani. 2. Mengembangkan model kelembagaan pengelolaan danau. 3. Rekayasa model sistem dinamik pengelolaan danau lestari. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini menghasilkan model pengelolaan danau secara terpadu dengan pendekatan kesisteman. Manfaat praktis: Penelitian ini adalah untuk memberikan suatu masukan bagi para pengambil kebijakan dibidang pengelolaan danau, sehingga dapat mengambil kebijakan secara cepat, tepat dan akurat. Manfaat teoritis akademis : Dari segi teoritis akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan rujukan bagi para peneliti lain yang akan melakukan pengkajian pengelolaan danau dengan pendekatan kesisteman. 1.5. Novelty Penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini dan telah dilakukan adalah : 1.5.1. Penelitian di luar Danau Sentani 1) Guo et al. (2001) telah mengkaji tentang perencanaan dan pengelolaan lingkungan dengan studi kasus Danau Erhai Cina dengan pendekatan sistem dinamik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuantitas air danau Erhai dan sungai Xier sangat dipengaruhi oleh subsistem populasi penduduk, subsistem sumberdaya air, subsistem industri, subsistem
36
polusi (pencemaran), subsistem kualitas air, subsistem pariwisata, dan subsistem pertanian. 2) Slobodan (2002) telah mengkaji sumberdaya air Kanada melalui sistem dinamik. Hasil kajian menunjukkan bahwa kebutuhan air di Kanada dipengaruhi oleh sektor penduduk, pertanian, industri, jasa, sumberdaya tak terbarukan, sektor energi, pencemaran, kelautan, air fresh, dan Danau Great. 3) Stave (2002) telah mengkaji tentang pengelolaan air di Danau Mead dengan pendekatan sistem dinamik menggunakan software Vensim PLE version 3.0. Siklus air adalah air dari pemukiman di Las Vegas menghasilkan air limbah, air limbah Las Vegas di proses (treatment) menggunakan tanaman kemudian air hasil proses mengalir ke Las Vegas Wash dan akhirnya masuk ke Danau Mead. 4) Varekamp (2003) telah melakukan penelitian tentang model pencemaran danau yang disebabkan oleh pencemaran termal. 5) Shinji (2004) telah mengkaji sebuah bentuk partisipasi masyarakat pada pengelolaan daerah tangkapan air Danau Biwa Jepang. Hasil kajian menunjukkan bahwa pelestarian Danau Biwa dalam bentuk ”Mother lake 21
plan”,
organisasi
consociation, network),
berbasis
masyarakat-OBM
(tipe
choinaikai,
pembentukan Basin Consotiation (kelompok
DTA), dan Lake Biwa Basin Network Commitee (Komite jejaring DTA Danau Biwa). Organisasi pelestarian lingkungan hidup (Danau Biwa) di Jepang merupakan penggabungan community initiative dan community participation. 6) Takuo (2004) telah mengkaji konservasi dan pengelolaan Danau Biwa. Hasil kajian menunjukkan bahwa Danau Biwa yang luasnya 670 km 2 memiliki 50 spesis endemik. Metode konservasi yang dikembangkan adalah berdasarkan distribusi topografi, vegetasi, makrofit, bentos, burung air, dan kualitas air. Metode ini sangat berguna untuk mengetahui struktur ekosistim dan hubungan antara elemen –elemen pembentuknya. 7) Adelina (2004) telah mengkaji pembangunan danau Laguna Pilipina. Hasil kajian menunjukkan pelestarian danau diperkuat oleh kelembagaan danau yakni the Laguna Lake Development Authority dan regulasi. 8) Goldar dan Banerjee (2004) telah mengkaji keefektifan regulasi informal dalam mengontrol pencemaran air sungai di India. Regulasi informal
37
merupakan bentuk partisipasi masyarakat lokal dalam mengurangi pencemaran. 9) Zachry (2004) telah mengkaji model dinamik dengan tool STELLA, untuk menganalisis sumber pencemaran limbah padat
di Taiwan. Mereka
mengembangkan sebuah model baru dan akurat untuk menganalisis limbah peternakan dan perkotaan. Limbah peternakan dan perkotaan sebagai sumber pencemar di Taiwan. 10) Orindi dan Huggins (2005) telah mengkaji hubungan antara property right, pengelolaan perairan dan kemelaratan di sekitar daerah tangkapan air Danau Victoria. Hasil kajian menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam pengelolaan
air
adalah
menggunakan
paradigma
Pengelolaan
Sumberdaya Air Terpadu (Integrated Water Resources Management atau IWRM). Aspek – aspek penting yang perlu dan harus diperhatikan dalam pengelolaan air adalah keterpaduan, koordinasi dan keseimbangan, kebutuhan pengguna hulu dan hilir, manfaat, perbedaan penggunaan air (seperti lingkungan, pertanian, dan industri), faktor persediaan dan permintaan, keuntungan ekonomi dan sosial. 11) Munafo, Cecchi, Baiocco, dan Mancini (2005) telah mengkaji pengukuran pencemaran pada pada badan air dari sumber tak tentu (non-point sources) menggunakan indeks PNPI (potensial non-point pollution index). PNPI dapat menggambarkan hubungan antara skenario pengelolan lahan dengan pencemaran. 12) Dueri, Zaldivar dan Olivella (2005) telah mengkaji tentang model dinamic aliran DDT di Danau Maggiore. 13) Xevi
dan Khan (2005) telah mengkaji pendekatan optimisasi multi –
objektif tentang pengelolaan air dengan teknik multiple criteria decision – making (MCDM). Teknik tool MCDM mampu mengkaji pilihan – pilihan perbedaan pengelolaan lahan. 14) Neto et al. (2006) telah melakukan eksperimen pertambahan populasi dan perkembangan industri sejalan dengan meningkatnya pencemaran air dan degradasi lingkungan. Model ini mensimulasikan hipotesa perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan populasi terhadap pencemaran air. 15) Paat (1986) telah mengkaji faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi pendangkalan Danau Tondano di Kabupaten Minahasa. Hasil penelitian
38
menunjukkan bahwa 1) makin luas hutan yang tergarap di sekitar danau/DAS Tondano makin cepat terjadi pendangkalan, 2) Makin tinggi derajat pendidikan penduduk sekitar Danau/DAS Tondano maka makin lestari danau, 3) makin luas hutan dan reboisasi maka makin lestari danau/DAS Tondano, dan 4) sikap masyarakat yang positif terhadap kelestarian lingkungan hutan berpengaruh positif terhadap kelestarian danau. Peneliti menyarankan 1) Para petani perlu diberikan penyuluhan tentang pelestarian hutan dan reboisasi, dan 2) perlunya efektifitas pemanfaatan Danau Tondano mengingat pertambahan penduduk, dan adanya pemanfaatan danau seperti keperluan rumah tangga, industri PLTA, budidaya ikan, obyek wisata dan mata pencaharian. 16) Mohamad (1995) telah mengkaji prediksi dan distribusi sedimentasi pada rencana waduk PLTA Kota Panjang Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa total laju sedimentasi tahunan pada waduk PLTA kota panjang sebesar 1,45 juta m 3. Setelah 100 tahun waduk beroperasi, sedimen akan mengisi tampungan mati sebesar 60,4 juta m3 (40,3%). Apabila waduk beroperasi selama 350 tahun, maka tampungan mati diperkirakan terisi penuh. Apabila terjadi pengurangan luas hutan sekitar 20% dari luas DAS,
diperkirakan
akan
menimbulkan
laju
sedimentasi
tahunan
meningkat drastis dan layanan waduk PLTA ini akan menurun drastis. Peneliti menyarankan 1) diperlukan suatu strategi perencanaan dalam pengelolaan DAS secara terpadu. Terutama untuk mempertahankan luas hutan tidak kurang dari 40%, 2) agar DAS lestari perlu dikembangkan usaha konservasi pertanian, 3) pemerintah perlu menetapkan zona hutan lindung di hulu DAS (sungai). 17) Laoh (2002) telah mengkaji keterkaitan faktor fisik, sosial ekonomi dan tata guna lahan di daerah tangkapan air dengan erosi dan sedimentasi di Danau Tondano. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Pertumbuhan penduduk diikuti oleh peningkatan jumlah pemukiman dan lahan bercocok tanam, 2) peningkatan pendapatan diikuti oleh meningkatnya kepemilikan akan lahan, 3) Tataguna lahan mempengaruhi tingkat erosi yakni penurunan luas hutan akan menaikkan tingkat erosi, 4) Faktor sosial ekonomi mempengaruhi tataguna lahan dan perubahan tataguna lahan akan mempengaruhi daerah tangkapan air Danau Tondano dan 5) Tingkat kehilangan tanah dipengaruhi oleh pembangunan kampus.
39
Peneliti menyarankan perlunya peraturan pelarangan pemukiman pada lahan yang kemiringannya diatas 40%. 18) Irwen (2004) telah mengkaji analisis beban pencemaran lingkungan pada Sungai Way Seputih Desa Buyut Udik – Buyut Ilir Kabupaten Lampung Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pencemaran Sungai Way Seputih berdasarkan BOD dan DO berada pada kondisi yang tercemar berat. Sumber beban pencemaran terbesar dari kegiatan industri, sedangkan kegiatan rumah tangga relatif kecil. Peneliti menyarankan perlunya kesadaran masyarakat. 19) Suzy (2004) telah mengkaji beban pencemaran yang terakumulasi melalui aliran sungai – sungai yang masuk ke Teluk Jakarta serta menganalisis kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun beban pencemaran amonia dan Fosfat terus meningkat pada musim kemarau, sedangkan Nitrat terus meningkat pada musim hujan. Beban pencemaran ini berasal dari aktivitas industri. 20) Maintindom (2005) telah melakukan analisis kebijakan pengelolaan sumberdaya alam lahan pada Cagar Alam Pegunungan Cycloop (cagar alam sekitar danau). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) masih adanya tumpang tindih kebijakan pemerintah kota dan kabupaten Jayapura dalam implementasi RUTRW untuk konservasi Cagar Alam pegunungan Cycloop (CAPC), 2) koordinasi antar sektor dan penegak hukum masih lemah dalam pengelolaan CAPC, 3) sesuai analisis AHP kawasan CAPC lebih optimal jika kawasan ini dikelola menjadi kawasan konservasi dan pariwisata, kemudian ekonomi dan sosial , dan 4) Masih terdapatnya perbedaan pemahaman konservasi antara pihak – pihak yang berkepentingan (pemerintah, masyarakat adat, swasta/dunia usaha, perguruan tinggi da LSM). Peneliti menyarankan perlunya penataan institusi dalam pengelolaan CAPC. 1.5.2. Penelitian di Dalam Danau Sentani 1) Badjoeri dan Lukman (1991) telah mengkaji kelimpahan bakteri heterotrofik di perairan Danau Sentani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri heterotrof di perairan Danau Sentani berkisar antara 0,48 – 350 sel/ml.
40
2) Lukman dan Gunawan (1991) telah mengkaji distribusi vertikal fitoplankton di Danau Sentani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton berkisar antara 57 – 5260 individu per mililiter air. 3) Lukman (1991) telah melakukan pra survai Danau Sentani Irian Jaya dan wilayah sekitarnya. Hasil survai mengemukakan bahwa Jenis – jenis ikan di Danau Sentani terdiri dari :11 jenis ikan asli, 8 jenis ikan bahari yg teradaptasi ke perairan tawar, dan 7 jenis ikan introduksi. 8 jenis ikan bahari yaitu : kahio/belut (anguilla australis Richards), merlemai/hiu gergaji (Pristis microdon Latham), barra (Garranx stellatus Eydoux et Slyt), bara (C. ignobilis Forskal), kaijo/belanak (Mugil cephalus Linnaeus), Megalops cyprinoides Broussonet, Lutjanus sp, dan bandeng (chanoschanos Forskal). 4) Mantiri (1994) telah mengkaji evaluasi beban pencemaran dan kualitas air Danau Sentani. Hasil penelitian untuk analisis kualitas air menunjukkan bahwa 1) kadar amoniak, nitrit dan oksigen terlarut (DO) pada beberapa lokasi air telah melampaui baku mutu air golongan B dan C, 2) jumlah Escherichia coli pada jarak 0 – 10 m di Zona II (Kecamatan Sentani induk/tengah) telah melampaui baku mutu air untuk pemandian umum, 3) beban pencemaran perairan Danau Sentani, terutama berasal dari permukiman dan peternakan yang ada di sekitarnya. Sumber pencemar lainnya berasal dari hotel, restoran, pencucian mobil, transportasi danau dan lain – lain, dan 4) berdasarkan parameter fisik, status kualitas air Danau Sentani belum melampaui persyaratan baku mutu air seperti yang ditetapkan PP N0. 20 tahun 1980 (golongan B dan C). Peneliti menyarankan 1) untuk mengurangi beban pencemaran maka perlu adanya penataan pemukiman
penduduk yang tinggal pada rumah
terapung di perairan danau, 2) Limbah cair (faeces-tinja) rumah tangga, hotel dan restoran hendaknya dimasukkan dalam septic tank dan limbah padat dari kegiatan ini sebaiknya dibakar, ditimbun (landfill) atau dibuang pada tempat yang telah disiapkan. 5) Sulastry dan Fachmijany (1996) telah mengkaji evaluasi sifat limnologis Danau Sentani Irian Jaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Danau Sentani merupakan danau eutrofik. Kondisi eutrofik sudah pada taraf penurunan kualitas perairan, khususnya untuk mendukung kehidupan
41
ikan. Kondisi ini terlihat dari rendahnya oksigen pada bagian dalam perairan, serta sebagian wilayah permukaan perairan. Berdasarkan uraian di atas kajian – kajian tentang sistem DAS dan danau khususnya masih menekankan pada pendekatan biofisik oleh sebab itu keterbaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah : 1. Sistem pendekatan yang terpadu dengan menggunakan sistem model dinamik, yakni gabungan antara teknik hard system methodology (kapasitas asimilasi, erosi, beban pencemaran), dan teknik soft system methodology (ISM, skenario prospektif). 2. Model pengembangan Danau Sentani yang berwawasan lingkungan dengan mengintegrasikan ekonomi dan sosial.